Minggu, 11 Mei 2025

Sejarah Filsafat: Perjalanan Pemikiran Manusia dari Mitologi ke Rasionalitas

Sejarah Filsafat

Perjalanan Pemikiran Manusia dari Mitologi ke Rasionalitas


Alihkan ke: Pengantar Filsafat.

Periodisasi Sejarah Filsafat:

·                    Sejarah Filsafat Pra-Sokratik;

·                    Sejarah Filsafat Masa Klasik Yunani;

·                    Sejarah Filsafat Periode Helenistik dan Romawi;

·                    Sejarah Filsafat Abad Pertengahan;

·                    Sejarah Filsafat Periode Renaisans;

·                    Sejarah Filsafat Modern Awal;

·                    Periode Modernitas dalam Filsafat;

·                    Sejarah Filsafat Abad ke-19;

·                    Sejarah Filsafat Abad ke-20;

·                    Sejarah Filsafat Periode Kontemporer.


Abstrak

Artikel ini mengulas secara komprehensif lintasan sejarah filsafat dari masa pralogis hingga pemikiran kontemporer, dengan menyoroti transformasi gagasan, metode, dan orientasi intelektual manusia dari era mitologi menuju rasionalitas kritis. Dimulai dari para filsuf pra-Sokratik yang mentransisikan penjelasan mitologis ke penalaran kosmologis, artikel ini memetakan perkembangan pemikiran filsafat klasik Yunani, sintesis teologi dan filsafat pada Abad Pertengahan, serta revolusi epistemologis di era modern awal melalui rasionalisme dan empirisme. Puncaknya terletak pada filsafat transendental Kant yang mereformasi basis pengetahuan dan etika, diikuti oleh diversifikasi pendekatan filosofis pada abad ke-19 melalui eksistensialisme, utilitarianisme, dan positivisme. Memasuki abad ke-20 dan kontemporer, fokus filsafat bergeser ke ranah bahasa, struktur sosial, serta rekonstruksi subjek. Artikel ini menunjukkan bahwa sejarah filsafat bukan sekadar catatan pemikiran masa lalu, tetapi refleksi dinamis atas perjalanan kesadaran manusia dalam menghadapi realitas, kebenaran, dan tanggung jawab etis di tengah perubahan zaman.

Kata Kunci: Sejarah filsafat; rasionalitas; etika; eksistensialisme; Kantianisme; positivisme; filsafat kontemporer; bahasa; struktur; subjek.


PEMBAHASAN

Menelusuri Sejarah Filsafat Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan: Makna dan Pentingnya Sejarah Filsafat

Sejarah filsafat bukan sekadar kronik tokoh-tokoh besar dan gagasan-gagasan mereka, melainkan merupakan narasi mendalam tentang bagaimana manusia terus-menerus berupaya memahami hakikat realitas, kebenaran, dan eksistensinya sendiri. Filsafat, sebagaimana didefinisikan oleh para pemikir klasik dan modern, adalah usaha rasional, kritis, dan sistematis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan, alam semesta, dan nilai-nilai yang membimbing tindakan manusia. Sejarah filsafat, dengan demikian, mencerminkan evolusi kesadaran manusia dalam merespons tantangan intelektual, sosial, dan spiritual yang dihadapinya sepanjang masa.

Dalam pandangan Frederick Copleston, sejarah filsafat merupakan ekspresi dari "dialog intelektual panjang antara generasi pemikir, yang masing-masing menyumbang terhadap pencarian kebenaran yang lebih mendalam."_¹ Ini menunjukkan bahwa setiap era filsafat tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkait dan menanggapi konteks zaman serta warisan sebelumnya. Maka, mempelajari sejarah filsafat berarti memasuki ruang diskusi lintas zaman, memahami cara berpikir para filsuf, dan menyelami struktur problematika filosofis yang berkembang dari waktu ke waktu.

Pentingnya sejarah filsafat tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga etis dan eksistensial. Dalam pendidikan, sejarah filsafat mengajarkan kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan analitis, yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi kompleksitas dunia modern. Anthony Kenny menegaskan bahwa dengan mempelajari sejarah filsafat, kita tidak hanya mempelajari 'apa yang dipikirkan', tetapi juga 'bagaimana berpikir'². Melalui sejarah filsafat, pelajar dan pembaca didorong untuk mengembangkan sikap intelektual yang tidak dogmatis, terbuka terhadap perbedaan pandangan, dan mampu membedakan argumen yang valid dari yang keliru.

Selain itu, sejarah filsafat juga memiliki nilai kultural dan peradaban. Pemikiran-pemikiran filsafat telah membentuk fondasi berbagai institusi sosial, politik, dan ilmiah di dunia Barat dan Timur. Misalnya, ide-ide Plato dan Aristoteles tidak hanya menjadi dasar metafisika dan etika, tetapi juga memengaruhi pengembangan sistem pemerintahan, pendidikan, dan bahkan teologi dalam tradisi Abrahamik. Demikian pula, para filsuf Muslim klasik seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina telah memainkan peran penting dalam mentransmisikan dan mengembangkan filsafat Yunani dalam kerangka Islam, sebelum akhirnya memengaruhi Eropa Latin pada Abad Pertengahan³.

Secara metodologis, sejarah filsafat dapat ditelusuri secara sinkronik (analisis horizontal dalam satu periode) maupun diakronik (analisis kronologis lintas waktu). Pendekatan sinkronik memungkinkan kita membandingkan pemikiran para filsuf yang hidup sezaman dalam konteks sosial budaya yang sama, sedangkan pendekatan diakronik menelusuri transformasi gagasan dari masa ke masa, menampakkan kesinambungan dan diskontinuitas historis⁴.

Dengan menyadari pentingnya sejarah filsafat sebagai warisan intelektual umat manusia, kita diundang untuk tidak hanya mempelajarinya sebagai doktrin masa lalu, melainkan sebagai inspirasi untuk menghadapi persoalan masa kini dengan kejernihan nalar dan kebijaksanaan batin. Sebagaimana dikatakan Bertrand Russell, “Filsafat tidak menawarkan jawaban pasti, tetapi memperluas cakrawala kemungkinan dan membebaskan akal dari tirani adat kebiasaan.”_⁵ Sejarah filsafat, dengan demikian, adalah cermin reflektif bagi manusia yang terus mencari arti dan arah hidupnya.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 3.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 47–49.

[4]                Richard Popkin and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (New York: Doubleday, 1993), 11–12.

[5]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 90.


2.           Filsafat Pra-Sokratik: Dari Mitologi ke Kosmologi

Filsafat Pra-Sokratik menandai babak awal dalam sejarah pemikiran filsafat di dunia Barat, yakni ketika manusia Yunani mulai berpaling dari penjelasan mitologis menuju penalaran rasional tentang alam semesta. Sebelum para filsuf ini, pengetahuan tentang dunia umumnya disusun dalam bentuk mitos—cerita-cerita ilahi seperti yang terdapat dalam karya Theogonia Hesiodos dan epos Homer, yang menjelaskan asal usul kosmos, fenomena alam, serta relasi antara dewa-dewi dan manusia¹. Dalam mitos, sebab-akibat bersifat personal (akibat kehendak dewa), bukan sistematis. Para filsuf Pra-Sokratik merevolusi cara berpikir ini dengan mengusulkan bahwa realitas tunduk pada prinsip-prinsip rasional dan universal.

Gerakan intelektual ini muncul sekitar abad ke-6 SM di wilayah Ionia (Asia Kecil), yang merupakan pusat perdagangan dan pertemuan budaya, memungkinkan terjadinya pertukaran ide antara Timur dan Yunani. Thales dari Miletos, sering dianggap sebagai filsuf pertama, berpendapat bahwa seluruh realitas berasal dari satu prinsip dasar atau arche, yaitu air (ὕδωρ). Ia mengemukakan bahwa segala sesuatu berasal dari air dan kembali menjadi air². Ini adalah langkah radikal karena mengabaikan penjelasan mitologis dan memperkenalkan pendekatan rasional terhadap asal-usul kosmos.

Setelah Thales, Anaximandros, muridnya, memperluas gagasan ini dengan mengusulkan apeiron (tak terbatas) sebagai asal mula segala sesuatu. Ia berpendapat bahwa alam semesta berkembang melalui proses pertentangan dan keseimbangan antara unsur-unsur yang bertentangan³. Anaximenes, murid Anaximandros, mengusulkan bahwa udara (aēr) adalah unsur dasar, yang melalui proses pengembunan dan penguapan menghasilkan bentuk-bentuk lain seperti api, air, dan tanah⁴.

Sementara para filsuf Milesian berfokus pada unsur material, Herakleitos dari Efesos menekankan perubahan sebagai hakikat realitas. Ia menyatakan bahwa "semua mengalir" (panta rhei) dan bahwa api adalah unsur dinamis yang mencerminkan perubahan terus-menerus⁵. Sebaliknya, Parmenides dari Elea berpendapat bahwa perubahan adalah ilusi, dan satu-satunya kenyataan adalah yang ada (to eon), yang bersifat abadi dan tak berubah⁶. Kontras ini menunjukkan awal mula pertentangan metafisis antara "menjadi" (becoming) dan "ada" (being) yang akan terus memengaruhi filsafat Barat.

Upaya sintesis atas pandangan ekstrem ini dilakukan oleh Empedokles, yang mengemukakan bahwa segala sesuatu tersusun dari empat unsur dasar—tanah, air, api, dan udara—yang dipersatukan dan dipisahkan oleh dua kekuatan: cinta (philia) dan benci (neikos)⁷. Anaxagoras kemudian memperkenalkan konsep nous (akal) sebagai kekuatan penggerak kosmos yang mengatur spemata (benih-benih) dari segala sesuatu⁸. Terakhir, Demokritos dan Leukippos mengembangkan teori atomistik, menyatakan bahwa realitas terdiri dari atom-atom yang tidak dapat dibagi dan bergerak dalam ruang hampa⁹. Pandangan ini secara mencolok menyerupai prinsip-prinsip dasar fisika modern.

Kontribusi utama para filsuf Pra-Sokratik adalah penemuan prinsip-prinsip kosmologis yang bersifat abstrak, universal, dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Mereka tidak sekadar mencoba memahami dunia, tetapi membentuk cara berpikir ilmiah yang mengutamakan penyebab natural, bukan adikodrati. Sebagaimana ditegaskan oleh Jonathan Barnes, “Para filsuf Pra-Sokratik adalah para penemu cara berpikir ilmiah, mereka mengalihkan penjelasan dunia dari mitos ke logos.”_¹⁰

Dengan demikian, era Pra-Sokratik merupakan fase transformatif dalam sejarah filsafat, saat rasionalitas pertama kali digunakan untuk menjelaskan realitas secara sistematis dan non-mitologis. Ia membuka jalan bagi pemikiran filsafat selanjutnya, terutama oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang melanjutkan serta mengembangkan pendekatan rasional tersebut dalam bidang etika, epistemologi, dan metafisika.


Footnotes

[1]                Hesiod, Theogony, trans. Hugh G. Evelyn-White (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914), 25–33.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 1.22.

[3]                Kirk, G. S., J. E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 104–106.

[4]                Ibid., 147–149.

[5]                Heraclitus, Fragments, in Early Greek Philosophy, ed. and trans. Jonathan Barnes (London: Penguin, 2001), fr. 12, fr. 30.

[6]                Parmenides, Fragments, in Barnes, Early Greek Philosophy, fr. 8.

[7]                Empedocles, Fragments, in The Presocratic Philosophers, Kirk et al., 288–290.

[8]                Anaxagoras, Fragments, in Barnes, Early Greek Philosophy, fr. 12.

[9]                Democritus, Fragments, in Kirk et al., The Presocratic Philosophers, 416–419.

[10]             Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 2001), 3.


3.           Masa Klasik Yunani: Filsafat Sebagai Jalan Menuju Etika dan Pengetahuan

Masa Klasik dalam sejarah filsafat Yunani—sekitar abad ke-5 hingga ke-4 SM—merupakan periode paling produktif dalam pematangan metode dan isi pemikiran filosofis, terutama dalam bidang etika, epistemologi, dan politik. Jika filsuf Pra-Sokratik terfokus pada kosmologi dan prinsip dasar alam semesta, maka para filsuf Klasik memusatkan perhatian pada manusia sebagai subjek moral dan rasional, serta pada kondisi ideal kehidupan sosial dan politik. Filsafat kini tidak hanya bertanya "apa asal mula segala sesuatu", tetapi juga "bagaimana manusia seharusnya hidup" dan "bagaimana pengetahuan dapat diperoleh secara sah".

3.1.       Socrates: Etika sebagai Dialog dan Introspeksi

Tokoh sentral dari masa ini adalah Socrates (470–399 SM), yang oleh Cicero dijuluki sebagai "bapak filsafat moral" karena perhatiannya terhadap kebajikan dan hidup baik⁽¹⁾. Ia tidak menulis karya sendiri, namun pemikirannya diketahui terutama melalui dialog-dialog Plato. Socrates menolak pendekatan relativistik kaum Sofis dan percaya bahwa kebajikan (aretē) adalah pengetahuan. Dengan metode elenchus (tanya jawab dialektis), ia berusaha membongkar definisi-definisi yang tidak konsisten dan mengarahkan lawan bicaranya pada pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran moral.

Socrates meyakini bahwa manusia berbuat salah bukan karena kehendak jahat, tetapi karena ketidaktahuan; maka pendidikan adalah jalan menuju kehidupan bermoral. Ia dihukum mati karena dianggap merusak pikiran anak muda dan tidak menghormati dewa-dewa kota, namun wafatnya justru menjadi simbol keberanian intelektual dalam mempertahankan integritas moral⁽²⁾.

3.2.       Plato: Dunia Ide dan Keutamaan Jiwa

Plato (427–347 SM), murid Socrates, membangun sistem filsafat komprehensif yang menjembatani etika, epistemologi, dan metafisika. Ia mengembangkan teori Dunia Ide (eidos), yaitu dunia non-material yang berisi bentuk-bentuk sempurna dari segala sesuatu yang kita temui di dunia fisik. Menurutnya, pengetahuan sejati (episteme) hanya dapat diperoleh melalui akal budi yang mengingat (anamnesis) Ide-Ide tersebut, bukan melalui indra⁽³⁾.

Dalam dialog Republik, Plato menjabarkan struktur jiwa dan negara ideal. Jiwa terdiri dari tiga bagian: rasional, keberanian, dan nafsu. Keadilan tercapai jika ketiganya berada dalam harmoni, dengan bagian rasional memimpin. Konsep ini diterapkan juga pada masyarakat, di mana para filsuf—karena memiliki pengetahuan tentang Ide Kebaikan—seharusnya menjadi pemimpin⁽⁴⁾. Bagi Plato, filsafat adalah jalan untuk menyucikan jiwa dan membebaskannya dari belenggu dunia indra.

3.3.       Aristoteles: Pengetahuan Ilmiah dan Etika sebagai Keseimbangan

Aristoteles (384–322 SM), murid Plato namun berbeda pandangan, menolak eksistensi Dunia Ide yang terpisah dari realitas konkret. Ia mengembangkan filsafat empiris yang berakar pada pengamatan sistematis terhadap dunia nyata. Bagi Aristoteles, semua benda terdiri dari materi dan bentuk (teori hylemorfisme), dan setiap entitas memiliki tujuan atau telos yang secara alami ingin dicapai⁽⁵⁾.

Dalam bidang epistemologi, Aristoteles meletakkan dasar-dasar logika formal melalui silogisme sebagai alat penalaran ilmiah, sebagaimana dibukukan dalam Organon. Ia membedakan antara pengetahuan teoretis (filsafat alam dan metafisika), praktis (etika dan politik), dan produktif (seni dan teknik)⁽⁶⁾.

Dalam Etika Nikomachea, Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan akhir hidup manusia dan dicapai melalui praktik kebajikan dalam keseimbangan atau jalan tengah (mesotes)—misalnya, keberanian sebagai titik tengah antara ketakutan dan nekat⁽⁷⁾. Ia menekankan pentingnya kebiasaan (hexis) dalam membentuk karakter moral.


Masa Klasik Yunani menandai konsolidasi filsafat sebagai disiplin rasional yang menyelidiki hakikat pengetahuan, kebaikan, jiwa, dan kehidupan sosial. Tiga pilar filsafat—Socrates, Plato, dan Aristoteles—bukan hanya mewariskan doktrin, tetapi juga membentuk kerangka metodologis dan etis bagi pemikiran Barat selama lebih dari dua milenium. Sebagaimana dikemukakan oleh Anthony Kenny, ketiganya telah "membangun landasan intelektual yang tak tergantikan bagi semua filsafat sesudahnya"⁽⁸⁾.


Footnotes

[1]                Cicero, Tusculan Disputations, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927), 5.10.

[2]                Plato, Apology, in The Trial and Death of Socrates, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 2000), 29d–38a.

[3]                Plato, Phaedo, trans. David Gallop (Oxford: Oxford University Press, 2009), 72e–77a.

[4]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube and rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 427d–445e.

[5]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), Book VII.

[6]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes, in The Complete Works of Aristotle, Vol. 1, 1140a–1142b.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), II.6–7, 1106a–1109b.

[8]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), 196.


4.           Filsafat Helenistik dan Romawi: Etika dan Kebijaksanaan Hidup

Periode Helenistik dan Romawi (± 323 SM – 500 M) ditandai oleh pergeseran fokus filsafat dari spekulasi metafisis dan epistemologis menuju praktik etika dan pencarian kebijaksanaan hidup. Setelah kematian Alexander Agung dan disintegrasi kekuasaan polis Yunani, dunia mengalami gejolak politik dan kultural yang meluas. Dalam situasi ketidakpastian tersebut, filsafat berkembang sebagai sarana untuk mencapai kedamaian batin (ataraxia) dan ketahanan moral (autarkeia), bukan hanya sebagai disiplin intelektual⁽¹⁾.

Tiga mazhab utama mendominasi lanskap filsafat masa ini: Stoisisme, Epikureanisme, dan Skeptisisme, yang semuanya menekankan pada bagaimana manusia dapat hidup bijaksana dan bebas dari penderitaan, dengan cara yang berbeda-beda.

4.1.       Stoisisme: Hidup Sesuai Alam dan Rasio

Didirikan oleh Zeno dari Citium (sekitar 334–262 SM), Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai dengan hidup sesuai dengan logos—hukum rasional alam semesta. Stoik percaya bahwa manusia tidak dapat mengontrol peristiwa eksternal, tetapi dapat mengontrol respons internal terhadapnya melalui kebijaksanaan, keberanian, dan penguasaan diri⁽²⁾.

Para filsuf Stoik terkenal seperti Seneca, Epiktetos, dan Marcus Aurelius menekankan pentingnya menerima takdir (amor fati) dengan kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan yang sejati. Dalam Meditations, Marcus Aurelius menulis, “Kebahagiaan hidupmu tergantung pada kualitas pikiranmu”⁽³⁾. Etika Stoik mendorong integritas pribadi dalam menghadapi penderitaan dan kegagalan duniawi, menjadikannya filsafat yang sangat relevan bagi kehidupan sehari-hari.

4.2.       Epikureanisme: Pencapaian Kenikmatan Melalui Moderasi

Epikuros (341–270 SM) mendirikan mazhab yang secara populer disalahpahami sebagai ajaran hedonisme vulgar. Padahal, Epikureanisme justru menekankan kenikmatan yang bijaksana dan terukur sebagai tujuan hidup, di mana kenikmatan tertinggi adalah ketenangan batin (ataraxia) dan bebas dari rasa sakit (aponia)⁽⁴⁾.

Epikuros membedakan antara keinginan alamiah dan tidak alamiah, serta keinginan yang perlu dan tidak perlu. Dengan membatasi keinginan dan menjauhi ketakutan irasional (terutama terhadap para dewa dan kematian), manusia dapat mencapai hidup yang damai. Dalam Surat kepada Menoikeus, ia menulis, “Kematian tidak menyangkut kita, karena selama kita hidup, kematian tidak ada, dan ketika kematian datang, kita tidak lagi ada”⁽⁵⁾.

4.3.       Skeptisisme: Ketidaktahuan sebagai Jalan Menuju Ketenangan

Mazhab Skeptisisme, yang diasosiasikan dengan Pyrrho dari Elis dan kemudian dikembangkan oleh Akademi Platonis Baru seperti Sextus Empiricus, menolak kemungkinan pengetahuan yang pasti. Para skeptik berargumen bahwa karena setiap klaim memiliki argumen tandingan yang sama kuatnya, kita harus menangguhkan penilaian (epochē)⁽⁶⁾.

Sikap ini tidak mengarah pada nihilisme, melainkan pada pencapaian ketenangan batin melalui kesadaran akan keterbatasan akal manusia. Dalam Outlines of Pyrrhonism, Sextus Empiricus menyatakan bahwa dengan menangguhkan penghakiman, “pikiran menjadi tenang”⁽⁷⁾.

4.4.       Integrasi dalam Konteks Romawi

Ketika filsafat Yunani dibawa ke Roma, terutama selama era Kekaisaran, ia diserap dan disesuaikan dalam konteks budaya Latin. Tokoh seperti Cicero, Seneca, dan Marcus Aurelius menjadikan filsafat sebagai fondasi etika publik dan moralitas pribadi. Filsafat tidak lagi bersifat spekulatif semata, tetapi menjadi panduan hidup bagi negarawan, tentara, dan masyarakat umum.

Menurut A.A. Long, filsafat Helenistik menawarkan “alat psikologis untuk menanggapi kesulitan eksistensial”⁽⁸⁾, memberikan arah bagi kehidupan individu di tengah ketidakpastian politik, perubahan sosial, dan keruntuhan sistem nilai tradisional.


Filsafat Helenistik dan Romawi memperlihatkan bahwa filsafat tidak hanya hidup di akademi, tetapi juga di pasar, istana, dan kamp militer. Mazhab-mazhab tersebut mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati tercermin dalam praktik hidup, bukan sekadar teori. Maka, periode ini menghadirkan filsafat sebagai seni menjalani hidup, di mana nalar, moderasi, dan penerimaan memainkan peran utama dalam meraih kehidupan yang baik.


Footnotes

[1]                Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 104–108.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII. 1–4.

[3]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), Book II, §13.

[4]                Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Essential Epicurus, trans. Eugene O'Connor (Amherst, NY: Prometheus Books, 1993), 123–124.

[5]                Ibid., 125.

[6]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.8.

[7]                Ibid., I.12.

[8]                A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), 15.


5.           Filsafat Abad Pertengahan: Sintesis antara Filsafat dan Teologi

Filsafat Abad Pertengahan (± abad ke-5 hingga abad ke-15 M) merupakan fase penting dalam sejarah pemikiran manusia, yang ditandai oleh upaya sistematis untuk merekonsiliasi akal rasional (filsafat) dengan wahyu ilahi (teologi). Tidak seperti dalam periode klasik yang menempatkan nalar sebagai otoritas tertinggi, pada Abad Pertengahan, nalar digunakan untuk mendukung, menjelaskan, dan membela iman. Filsafat menjadi pelayan (ancilla) teologi, tetapi dalam prosesnya juga melahirkan pemikiran-pemikiran yang sangat kompleks dan berpengaruh terhadap perkembangan ilmu dan sistem metafisika.

5.1.       Filsafat Kristen Latin: Dari Augustinus ke Aquinas

Salah satu tokoh paling berpengaruh pada awal Abad Pertengahan adalah Agustinus dari Hippo (354–430 M). Ia mengintegrasikan warisan filsafat Plato, khususnya neoplatonisme, ke dalam kerangka pemikiran Kristen. Dalam Confessiones dan De Civitate Dei, Agustinus mengajarkan bahwa pengetahuan sejati bersumber dari pencerahan ilahi (illumination divina) dan bahwa manusia dikuasai oleh dualitas antara cinta dunia (amor mundi) dan cinta Tuhan (amor Dei)¹. Ia meyakini bahwa akal harus dipandu oleh iman: crede ut intelligas ("percayalah agar engkau mengerti")².

Puncak sintesis antara filsafat dan teologi dalam tradisi Kristen dicapai oleh Thomas Aquinas (1225–1274), seorang teolog Dominikan yang menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan doktrin Katolik. Dalam karya monumentalnya Summa Theologiae, Aquinas menyusun argumen rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui lima jalan (quinque viae), termasuk argumentasi dari gerak, sebab-akibat, dan kontingensi³. Ia mengembangkan prinsip harmoni antara akal dan wahyu, dengan keyakinan bahwa keduanya tidak akan bertentangan bila digunakan dengan benar⁴.

Aquinas juga membedakan antara filsafat alam dan teologi suci, serta menyumbangkan teori hukum alam (lex naturalis) yang kelak menjadi dasar bagi filsafat moral dan hukum di Barat. Menurutnya, manusia sebagai makhluk rasional secara kodrati mampu mengetahui sebagian dari hukum ilahi melalui nalar, terutama dalam hal kebaikan dan keadilan⁵.

5.2.       Filsafat Islam: Rasionalisme dan Teologi Kalam

Sementara filsafat Latin berkembang di Eropa Barat, dunia Islam menghasilkan tradisi filsafat rasional yang luar biasa pada masa yang sama, terutama melalui para penerjemah dan komentator karya-karya Yunani klasik. Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes) tidak hanya meneruskan warisan Aristoteles dan Plato, tetapi juga mengembangkannya secara orisinal dalam bidang metafisika, logika, etika, dan ilmu pengetahuan⁶.

Ibnu Sina, misalnya, memperkenalkan argumen eksistensial mengenai Tuhan sebagai wajib al-wujud (yang keberadaannya niscaya), serta membedakan secara tegas antara esensi dan eksistensi. Pemikirannya sangat mempengaruhi skolastisisme Latin, khususnya Thomas Aquinas⁷. Sementara itu, Ibnu Rusyd menjadi pembela rasionalisme Aristotelian dalam Islam dan menolak pemisahan antara filsafat dan agama seperti yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah⁸. Dalam karyanya Tahāfut al-Tahāfut, Ibnu Rusyd berargumen bahwa wahyu dan akal tidak bertentangan karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yakni Tuhan⁹.

5.3.       Filsafat Yahudi dan Warisan Andalusia

Di sisi lain, tradisi Yahudi juga turut berkontribusi dalam sintesis filsafat dan agama, terutama melalui tokoh seperti Musa Maimonides (1135–1204), yang menulis Guide for the Perplexed dalam upaya mendamaikan filsafat Aristotelian dengan ajaran Taurat. Ia meyakini bahwa interpretasi alegoris diperlukan untuk memahami wahyu yang tampak kontradiktif dengan nalar, dan ia sangat memengaruhi tradisi skolastik Latin maupun Islam⁽¹⁰⁾.

5.4.       Skolastisisme dan Universitas

Filsafat Abad Pertengahan mencapai puncaknya dalam skolastisisme, sebuah metode pendidikan dan argumentasi yang digunakan di universitas-universitas Eropa seperti Paris, Bologna, dan Oxford. Skolastisisme ditandai oleh penggunaan logika Aristotelian, debat sistematis, dan penalaran deduktif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis maupun filosofis. Tokoh-tokoh seperti Anselmus dari Canterbury, Duns Scotus, dan William dari Ockham berkontribusi pada pengembangan metafisika, epistemologi, dan teori bahasa⁽¹¹⁾.

Misalnya, Anselmus terkenal dengan argumen ontologis untuk membuktikan eksistensi Tuhan, yaitu bahwa Tuhan sebagai "yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar darinya" niscaya ada, karena jika tidak, Ia tidak akan menjadi yang terbesar⁽¹²⁾. Sementara itu, Ockham mengembangkan prinsip Occam's Razor, yang menyatakan bahwa penjelasan yang paling sederhana dan paling sedikit asumsi adalah yang paling baik⁽¹³⁾.


Filsafat Abad Pertengahan membentuk jembatan penting antara pemikiran kuno dan modern. Ia bukan hanya kelanjutan dari warisan Yunani-Romawi, tetapi juga hasil interaksi lintas budaya antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Dalam konteks ini, filsafat tidak hanya menjadi alat rasional, tetapi juga instrumen untuk memperdalam keimanan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang eksistensi, Tuhan, dan tujuan manusia.


Footnotes

[1]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIV.

[2]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book I.1.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.2, a.3.

[4]                Etienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy, trans. A. H. C. Downes (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 15.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, Q.94, a.2.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 104–128.

[7]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 99–101.

[8]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3.

[9]                Averroes, The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), Introduction.

[10]             Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), 17–21.

[11]             David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (New York: Vintage Books, 1962), 89–110.

[12]             Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M. J. Charlesworth (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1979), ch. II.

[13]             William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The Franciscan Institute, 1957), I, c.12.


6.           Renaisans dan Filsafat Modern Awal: Revolusi Pengetahuan

Periode Renaisans (abad ke-14 hingga ke-16) dan Filsafat Modern Awal (abad ke-17 hingga awal abad ke-18) merupakan titik balik penting dalam sejarah filsafat, yang ditandai oleh lahirnya kembali semangat humanisme, kritik terhadap otoritas skolastik, serta munculnya metode ilmiah sebagai fondasi pengetahuan. Era ini menandai pergeseran dari paradigma teosentris (berpusat pada Tuhan) menuju paradigma antroposentris (berpusat pada manusia), serta dari otoritas tradisional menuju rasionalitas individual dan observasi empiris.

6.1.       Renaisans: Kebangkitan Humanisme dan Rehabilitasi Akal

Renaisans yang berarti “kelahiran kembali” (dari bahasa Prancis renaître) merupakan periode kebangkitan minat terhadap literatur klasik Yunani-Romawi. Para humanis seperti Petrarch, Erasmus, dan Pico della Mirandola menekankan pentingnya pendidikan liberal dan martabat manusia sebagai makhluk rasional yang diciptakan menurut citra Ilahi⁽¹⁾. Dalam Oration on the Dignity of Man, Pico menulis bahwa manusia diberi kebebasan untuk membentuk dirinya sendiri, menjadi “hewan fana atau makhluk ilahi” sesuai kehendaknya⁽²⁾.

Para filsuf Renaisans tidak hanya mempelajari kembali karya Plato dan Aristoteles, tetapi juga mengeksplorasi gagasan Hermetik, Neoplatonik, dan Kabbalistik yang memperkaya diskursus filsafat metafisika dan etika. Di sisi lain, muncul juga minat besar terhadap ilmu alam, yang membuka jalan bagi kelahiran revolusi ilmiah.

6.2.       Filsafat Modern Awal: Rasionalisme dan Empirisme

Filsafat modern awal ditandai oleh pertanyaan fundamental mengenai sumber dan validitas pengetahuan. Di satu sisi, rasionalisme menekankan akal (ratio) sebagai dasar utama pengetahuan yang pasti. Di sisi lain, empirisme menekankan pengalaman indrawi (empiria) sebagai fondasi pengetahuan. Kedua pendekatan ini membentuk fondasi epistemologi modern.

6.2.1.    Rasionalisme: Kepastian melalui Akal

Tokoh utama rasionalisme adalah René Descartes (1596–1650), yang terkenal dengan asas cogito ergo sum ("aku berpikir maka aku ada"). Dalam Meditationes de Prima Philosophia, Descartes meragukan segala hal yang mungkin salah, termasuk data indrawi dan keberadaan dunia luar, untuk mencari kepastian absolut. Satu-satunya yang tidak bisa diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai subjek yang berpikir⁽³⁾.

Descartes membangun sistem pengetahuan deduktif berdasarkan ide-ide bawaan (innate ideas), termasuk gagasan tentang Tuhan sebagai substansi yang sempurna. Ia membedakan antara res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi berdimensi), meletakkan dasar bagi dualisme antara jiwa dan tubuh⁽⁴⁾. Rasionalisme ini dilanjutkan oleh Baruch Spinoza dan Gottfried Wilhelm Leibniz, yang mengembangkan metafisika monistik dan logika universal⁽⁵⁾.

6.2.2.    Empirisme: Pengetahuan melalui Pengalaman

Sebaliknya, para filsuf empiris seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume menolak gagasan tentang ide bawaan. Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke mengemukakan bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah seperti kertas kosong (tabula rasa), dan semua pengetahuan diperoleh melalui pengalaman⁽⁶⁾.

George Berkeley mengambil langkah lebih radikal dengan menolak eksistensi materi yang independen dari persepsi, mengklaim bahwa esse est percipi ("ada berarti dipersepsi")⁽⁷⁾. Sementara itu, David Hume mengembangkan skeptisisme empiris dengan mempertanyakan dasar hubungan sebab-akibat dan keberadaan diri sebagai substansi tetap. Menurut Hume, yang kita sebut “diri” hanyalah sekumpulan persepsi yang terus-menerus berganti⁽⁸⁾.

6.3.       Implikasi Epistemologis dan Ilmiah

Kedua aliran ini melahirkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan modern. Descartes meletakkan dasar bagi deduksi matematika dalam sains, sementara empirisme mempengaruhi metode induktif dalam observasi ilmiah. Kontribusi mereka menjadi dasar bagi epistemologi Kant dan munculnya filsafat kritisisme di akhir abad ke-18.

Sebagaimana dicatat oleh Anthony Kenny, filsafat modern awal tidak hanya mengubah struktur filsafat, tetapi juga membentuk cara kita memahami sains, diri, dan Tuhan dalam kerangka modernitas⁽⁹⁾. Revolusi pengetahuan ini bukan semata-mata pergeseran teori, tetapi transformasi epistemologis dan ontologis yang berdampak luas pada peradaban Barat.


Footnotes

[1]                Charles G. Nauert, Humanism and the Culture of Renaissance Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 17–25.

[2]                Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Gateway Editions, 1956), 3–6.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.

[4]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), Part IV.

[5]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 120–145; Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge, 2005), 88–101.

[6]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, ch. I.

[7]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3.

[8]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), Book I, Part IV, Section VI.

[9]                Anthony Kenny, Modern Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–35.


7.           Puncak dan Kritik Modernitas: Immanuel Kant dan Reaksi Pascanya

Periode modernitas dalam filsafat mencapai puncaknya dengan pemikiran Immanuel Kant (1724–1804), seorang filsuf asal Königsberg yang secara mendalam mereformulasi epistemologi, metafisika, dan etika. Kant muncul sebagai penengah antara rasionalisme dan empirisme, dua arus besar filsafat modern sebelumnya yang dianggapnya gagal menjelaskan bagaimana pengetahuan objektif mungkin terjadi. Dalam karyanya yang monumental, Critique of Pure Reason (Kritik der reinen Vernunft, 1781), Kant memulai revolusi kopernikan dalam filsafat, menggeser fokus dari objek sebagai pusat pengetahuan ke subjek yang mengenal⁽¹⁾.

7.1.       Revolusi Kopernikan Kant dalam Epistemologi

Kant berargumen bahwa meskipun semua pengetahuan kita dimulai dari pengalaman (Erfahrung), tidak semua pengetahuan berasal darinya. Ia memperkenalkan distingsi penting antara a priori (pengetahuan yang tidak tergantung pada pengalaman) dan a posteriori (pengetahuan yang bergantung pada pengalaman), serta antara analitik dan sintetik. Kant berupaya menunjukkan bahwa terdapat kebenaran-kebenaran sintetik a priori, seperti dalam matematika dan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan⁽²⁾.

Dalam pandangan Kant, akal budi tidak sekadar menerima data dari dunia luar, tetapi secara aktif membentuk pengalaman melalui struktur-struktur apriori seperti ruang dan waktu, serta kategori-kategori seperti kausalitas. Dengan demikian, kita tidak mengenal Ding an sich (hal dalam dirinya sendiri), melainkan hanya fenomena—dunia sebagaimana tampil kepada subjek yang mengenal⁽³⁾.

7.2.       Etika Deontologis dan Otonomi Moral

Dalam Critique of Practical Reason dan Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant mengembangkan sistem etika deontologis yang berakar pada otonomi rasional dan prinsip kewajiban. Moralitas, bagi Kant, bukan ditentukan oleh konsekuensi tindakan, melainkan oleh maksud dan niat di baliknya, yang tunduk pada hukum moral universal. Prinsip utamanya adalah imperatif kategoris, yakni bertindak hanya menurut asas yang dapat dijadikan hukum universal⁽⁴⁾.

Kant memulihkan martabat kehendak moral manusia melalui gagasan otonomi, yakni bahwa manusia sebagai makhluk rasional tunduk pada hukum yang ia berikan kepada dirinya sendiri. Etika Kant menolak utilitarianisme dan hedonisme, dan meletakkan dasar moralitas pada kehormatan terhadap hukum moral sebagai tujuan itu sendiri⁽⁵⁾.

7.3.       Kritik dan Reaksi Pascakantian

Pemikiran Kant melahirkan berbagai reaksi, baik yang mendukung maupun yang menolak. Filsuf-filsuf idealism Jerman seperti Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Schelling, dan terutama Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengembangkan lebih lanjut warisan Kant, tetapi menolak batasan-batasan Kantian, terutama dikotomi antara fenomena dan noumena.

Fichte menekankan keutamaan Ich (Aku) sebagai sumber segala realitas; Schelling mengeksplorasi kesatuan antara subjek dan objek dalam alam; sementara Hegel mengembangkan sistem dialektika historis, di mana realitas dan kesadaran berkembang melalui proses tesis–antitesis–sintesis menuju realisasi Roh Absolut⁽⁶⁾. Hegel menolak “hal dalam dirinya” yang tak dapat dikenal, dan menegaskan bahwa rasio dapat memahami seluruh realitas karena realitas itu sendiri bersifat rasional: das Wirkliche ist vernünftig (“yang nyata adalah rasional”)⁽⁷⁾.

Sebaliknya, filsuf seperti Arthur Schopenhauer dan Søren Kierkegaard mengkritik sistem rasionalistik Hegelian dengan menekankan aspek irasional dan eksistensial dari kehidupan manusia. Schopenhauer menyoroti kehendak buta (der Wille) sebagai dasar metafisis realitas, sementara Kierkegaard—bapak eksistensialisme—menekankan pilihan personal, kecemasan, dan lompatan iman sebagai fondasi eksistensi otentik⁽⁸⁾.

7.4.       Warisan Kant dalam Dunia Modern

Pengaruh Kant dalam filsafat modern sangat luas, meliputi bidang epistemologi, etika, filsafat politik, estetika, hingga metafisika. Ia menjadi rujukan utama dalam tradisi kritisisme, yaitu pendekatan yang menyelidiki batas-batas kemampuan nalar manusia. Bahkan filsafat analitik maupun kontinental—dua aliran besar filsafat abad ke-20—sama-sama mewarisi persoalan-persoalan yang dirumuskan oleh Kant.

Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Guyer, “Kant bukan hanya menutup masa modern awal, tetapi juga membuka jalan bagi seluruh filsafat modern kontemporer”⁽⁹⁾. Ia tidak hanya menjembatani rasionalisme dan empirisme, tetapi juga menggeser paradigma filsafat dari spekulasi metafisika ke analisis struktur kognitif manusia dan dasar normatif tindakan moral.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi–Bxviii.

[2]                Ibid., A7/B11–A9/B13.

[3]                Ibid., A246/B303–A252/B309.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:424.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 5:31–5:36.

[6]                Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 12–25.

[7]                Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Elements of the Philosophy of Right, trans. H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), Preface, 20.

[8]                Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1966), Vol. 1, §27; Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 35–38.

[9]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 3.


8.           Filsafat Abad ke-19: Eksistensialisme, Utilitarianisme, dan Positivisme

Filsafat abad ke-19 menandai diversifikasi pemikiran filosofis sebagai respons terhadap dinamika revolusi industri, transformasi sosial-politik, dan kemajuan sains. Jika sebelumnya Kant dan para idealis Jerman menekankan rasionalitas dan sistem metafisik, maka pada abad ke-19 muncul pendekatan-pendekatan baru yang lebih pluralistik dan kontekstual. Tiga arus besar—Eksistensialisme, Utilitarianisme, dan Positivisme—mewakili respons yang berbeda terhadap tantangan zaman: keterasingan individu, reformasi moral-sosial, dan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan.

8.1.       Eksistensialisme: Diri, Kebebasan, dan Kecemasan

Cikal bakal eksistensialisme modern dapat ditelusuri pada Søren Kierkegaard (1813–1855) dan Friedrich Nietzsche (1844–1900). Keduanya mengkritik sistem rasionalistik Hegel dan menekankan pengalaman subjektif, pilihan eksistensial, dan kehendak individu.

Kierkegaard, dalam karya The Sickness unto Death dan Fear and Trembling, menekankan pentingnya iman personal, kecemasan (angst), dan keputusan eksistensial yang tidak dapat dirasionalisasi sepenuhnya. Ia memperkenalkan konsep "lompatan iman" sebagai bentuk keberanian eksistensial untuk mempercayai sesuatu di luar bukti rasional⁽¹⁾.

Nietzsche, sebaliknya, mengumumkan "kematian Tuhan" dalam The Gay Science, menolak nilai-nilai moral tradisional, dan memperkenalkan konsep kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) serta manusia unggul (Übermensch) sebagai visi baru bagi kemanusiaan. Ia mengkritik nihilisme Barat dan menolak objektivitas moral, sembari menyerukan pembentukan nilai-nilai baru yang otentik⁽²⁾.

Eksistensialisme dalam bentuk awal ini lebih bersifat filosofis-sastrawi, menekankan pengalaman tragis manusia yang terlempar ke dunia tanpa jaminan makna objektif. Aliran ini kelak berkembang lebih jauh dalam pemikiran abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Heidegger, Sartre, dan Camus.

8.2.       Utilitarianisme: Moralitas Berdasarkan Konsekuensi

Di sisi lain, utilitarianisme berkembang sebagai filsafat etika dan sosial yang berbasis pada prinsip manfaat dan kebahagiaan terbesar. Dua tokoh utama aliran ini adalah Jeremy Bentham (1748–1832) dan John Stuart Mill (1806–1873).

Bentham memformulasikan prinsip "the greatest happiness for the greatest number" sebagai asas moral dan legislasi. Dalam An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ia mengembangkan kalkulus kebahagiaan (hedonic calculus) untuk mengukur nilai moral tindakan berdasarkan intensitas dan durasi kesenangan atau penderitaan yang ditimbulkannya⁽³⁾.

Mill, dalam Utilitarianism (1861), memperhalus pandangan Bentham dengan membedakan antara kesenangan yang lebih tinggi (seperti intelektual dan moral) dan kesenangan yang lebih rendah (fisik dan sensual). Ia juga memperluas utilitarianisme ke bidang kebebasan individu, pendidikan, dan demokrasi, sebagaimana tampak dalam On Liberty (1859), di mana ia membela kebebasan berpikir dan berekspresi sebagai syarat esensial bagi kemajuan manusia⁽⁴⁾.

Utilitarianisme memberikan dasar etis dan politik bagi banyak kebijakan sosial modern, termasuk reformasi hukum, sistem penjara, pendidikan publik, dan hak-hak sipil.

8.3.       Positivisme: Ilmu sebagai Jalan Pengetahuan Sahih

Dalam bidang epistemologi dan filsafat sains, August Comte (1798–1857) memperkenalkan positivisme, sebuah pendekatan yang hanya mengakui pengetahuan yang diperoleh melalui metode empiris dan ilmiah. Dalam Cours de philosophie positive, Comte merumuskan Hukum Tiga Tahapan perkembangan intelektual umat manusia: teologis, metafisik, dan positif⁽⁵⁾.

Comte melihat ilmu sebagai satu-satunya cara untuk memahami realitas secara sahih. Ia menolak spekulasi metafisik dan menempatkan sosiologi sebagai “ratu” ilmu-ilmu sosial. Positivisme Comte menjadi inspirasi awal bagi perkembangan metodologi ilmiah modern serta dasar bagi filsafat logika dan filsafat ilmu di abad ke-20.

Pengaruh positivisme terlihat dalam gerakan empiris logis (logical empiricism) di Wina dan Praha, yang menyatakan bahwa makna dari sebuah pernyataan terletak pada metode verifikasinya secara empiris⁽⁶⁾.


Filsafat abad ke-19 memperlihatkan bahwa respons terhadap krisis modernitas tidak tunggal. Eksistensialisme menekankan subjektivitas dan tragisme keberadaan, utilitarianisme mencari prinsip rasional untuk kebijakan moral dan sosial, sedangkan positivisme menawarkan jalan objektif dan ilmiah untuk memahami dunia. Ketiganya, meski berbeda arah, tetap berupaya menjawab tantangan yang sama: bagaimana manusia memahami dan mengarahkan kehidupannya di tengah transformasi zaman.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 45–49.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125; Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin, 1969), 41–43.

[3]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J.H. Burns and H.L.A. Hart (Oxford: Oxford University Press, 1996), ch. I–II.

[4]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), ch. II–III; On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett, 1978), ch. I–III.

[5]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (New York: Calvin Blanchard, 1855), Vol. I, 2–4.

[6]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), ch. I.


9.           Filsafat Abad ke-20 dan Kontemporer: Bahasa, Struktur, dan Subjek

Filsafat abad ke-20 dan kontemporer merupakan lanskap pemikiran yang sangat plural dan dinamis. Di tengah realitas modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi, konflik ideologi, serta krisis makna, para filsuf menggeser fokus mereka dari metafisika dan epistemologi klasik ke kajian bahasa, struktur sosial, dan subjektivitas. Periode ini menyaksikan lahirnya dua tradisi besar filsafat—filsafat analitik dan filsafat kontinental—yang, meskipun berangkat dari latar belakang metodologis yang berbeda, sama-sama mencoba merespons tantangan intelektual abad modern.

9.1.       Filsafat Analitik: Bahasa, Logika, dan Klarifikasi Konsep

Filsafat analitik berkembang terutama di dunia Anglo-Saxon, dan ditandai oleh perhatian yang besar terhadap bahasa, logika formal, dan analisis konseptual. Pendekatan ini dipelopori oleh Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein.

Frege memperkenalkan distingsi antara sense (Sinn) dan reference (Bedeutung) dalam pemaknaan, yang kemudian menjadi fondasi bagi filsafat bahasa modern⁽¹⁾. Bertrand Russell, dalam esainya On Denoting (1905), merumuskan teori deskripsi yang memecahkan problem makna dalam kalimat eksistensial⁽²⁾. Filsafat, bagi Russell, bertugas mengklarifikasi struktur proposisional dan memurnikan bahasa dari kebingungan metafisik.

Wittgenstein, dalam Tractatus Logico-Philosophicus, mengembangkan pandangan bahwa struktur bahasa mencerminkan struktur realitas; "dunia adalah totalitas fakta, bukan benda"⁽³⁾. Namun dalam karyanya yang lebih matang, Philosophical Investigations, Wittgenstein membalik pandangannya dengan menekankan bahwa makna adalah hasil penggunaan dalam praktik bahasa. Ia menolak idealisasi logika dan menggantikannya dengan konsep “game bahasa” yang plural dan kontekstual⁽⁴⁾.

9.2.       Filsafat Kontinental: Struktur, Kuasa, dan Krisis Subjek

Berbeda dengan pendekatan analitik, filsafat kontinental (berkembang di daratan Eropa, terutama Prancis dan Jerman) lebih banyak berurusan dengan struktur sosial, ideologi, sejarah, dan subjektivitas. Aliran-aliran penting dalam tradisi ini meliputi fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, strukturalisme, posmodernisme, dan dekonstruksi.

Fenomenologi, yang dimulai oleh Edmund Husserl, menekankan kembali ke hal-hal itu sendiri (zu den Sachen selbst)—yakni deskripsi langsung tentang pengalaman kesadaran tanpa asumsi teoritis⁽⁵⁾. Martin Heidegger, murid Husserl, mengembangkan eksistensialisme ontologis melalui Being and Time, dengan fokus pada Dasein (ada-di-dunia) dan pengalaman keterlemparan, kecemasan, serta kematian⁽⁶⁾.

Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir mengembangkan eksistensialisme dalam ranah kebebasan, tanggung jawab, dan etika. Sartre menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, dan bahwa manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk bebas⁽⁷⁾.

Pada paruh kedua abad ke-20, muncul strukturalisme dan post-strukturalisme. Claude Lévi-Strauss menggunakan struktur linguistik untuk menganalisis budaya; sementara Michel Foucault mengembangkan arkeologi dan genealogi pengetahuan, serta menunjukkan bahwa kuasa dan wacana saling membentuk kebenaran sosial⁽⁸⁾. Dalam Discipline and Punish dan The History of Sexuality, Foucault menjelaskan bagaimana institusi sosial membentuk subjek manusia melalui pengawasan dan normalisasi⁽⁹⁾.

Jacques Derrida, tokoh utama dekonstruksi, menolak gagasan pusat makna yang stabil dalam teks. Melalui konsep différance, ia menunjukkan bahwa makna selalu tertunda dan bersifat kontekstual. Dekonstruksi menjadi alat kritis terhadap struktur biner dan otoritas metafisik dalam teks dan budaya⁽¹⁰⁾.

9.3.       Isu-Isu Filsafat Kontemporer: Identitas, Etika, dan Ekologi

Memasuki abad ke-21, filsafat kontemporer semakin terlibat dalam isu-isu aktual seperti identitas gender, multikulturalisme, lingkungan hidup, dan teknologi digital. Filsuf feminis seperti Judith Butler mengkritik essentialisme gender dan menegaskan bahwa gender adalah konstruksi performatif⁽¹¹⁾. Jürgen Habermas dari aliran teori kritis memperjuangkan rasionalitas komunikatif sebagai dasar bagi masyarakat demokratis pluralis⁽¹²⁾.

Sementara itu, filsafat lingkungan—seperti yang dikembangkan oleh Arne Naess (ekofilsafat dalam tradisi deep ecology)—menantang antropo-sentrisme modern dan menyerukan paradigma baru hubungan manusia-alam⁽¹³⁾.


Filsafat abad ke-20 dan kontemporer telah memperluas cakrawala refleksi filosofis dari soal metafisika tradisional ke medan-medan yang lebih konkret: bahasa, tubuh, sejarah, dan politik. Jika filsafat kuno bertanya tentang “apa itu realitas?”, filsafat kontemporer bertanya “bagaimana realitas diproduksi dan dimaknai dalam praktik sosial, linguistik, dan ideologis?” Dengan demikian, filsafat tetap hidup sebagai kritik, interpretasi, dan pencarian makna di tengah dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, On Sense and Reference, in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1952), 56–78.

[2]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), Proposition 1.1–2.1.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–§49.

[5]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Nijhoff, 1983), §27.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §45–53.

[7]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20–22.

[8]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 135–139.

[9]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–211; The History of Sexuality, Vol. 1, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978), 92–102.

[10]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–72.

[11]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), xv–xxxiii.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–326.

[13]             Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.


10.       Relevansi Sejarah Filsafat dalam Dunia Modern

Dalam dunia yang ditandai oleh percepatan teknologi, krisis identitas, tantangan ekologis, dan disrupsi sosial-politik, pertanyaan mengenai relevansi sejarah filsafat menjadi semakin penting. Banyak yang menganggap filsafat sebagai disiplin yang abstrak dan tidak praktis, namun sejarah filsafat justru menyediakan kerangka berpikir kritis, etis, dan reflektif yang sangat diperlukan untuk memahami kompleksitas realitas kontemporer. Sejarah filsafat bukan sekadar arsip ide-ide lama, melainkan warisan intelektual yang hidup, yang terus berdialog dengan kondisi zaman dan membuka ruang bagi pencerahan baru.

10.1.    Filsafat sebagai Panduan Etis dan Kritik Sosial

Salah satu relevansi utama sejarah filsafat adalah kemampuannya untuk menawarkan kerangka etis dalam menghadapi dilema moral masa kini. Misalnya, filsafat Stoik yang diwariskan oleh Epiktetos dan Marcus Aurelius telah mengalami kebangkitan dalam konteks pengembangan diri dan kepemimpinan kontemporer⁽¹⁾. Nilai-nilai seperti pengendalian diri, keberanian moral, dan hidup selaras dengan alam kembali dipandang sebagai landasan etis yang penting dalam menghadapi stres dan tekanan sosial modern.

Demikian pula, warisan filsafat moral Kantian, dengan penekanannya pada otonomi, rasionalitas, dan penghargaan terhadap martabat manusia, menjadi sangat relevan dalam diskusi hak asasi manusia, bioetika, dan teknologi kecerdasan buatan⁽²⁾. Prinsip imperatif kategoris Kant, yakni bertindak sesuai asas yang dapat dijadikan hukum universal, memberikan arah moral dalam kebijakan publik yang adil dan konsisten.

10.2.    Filsafat dan Tantangan Demokrasi

Dalam iklim demokrasi global yang sedang mengalami tekanan dari populisme, disinformasi, dan erosi kepercayaan publik, sejarah filsafat politik—dari Plato dan Aristoteles hingga John Locke, Rousseau, dan Habermas—menawarkan wawasan mendalam tentang konsep keadilan, kebebasan, dan peran warga negara.

John Stuart Mill, dalam On Liberty, menekankan pentingnya kebebasan berpikir sebagai syarat bagi kemajuan intelektual dan sosial. Gagasan ini sangat relevan dalam konteks kebebasan berpendapat di era media sosial dan algoritma informasi⁽³⁾. Sementara itu, Jürgen Habermas menyumbangkan teori komunikasi rasional sebagai dasar diskursus publik yang inklusif dan etis⁽⁴⁾.

10.3.    Filsafat dan Teknologi: Refleksi atas Kemajuan Tanpa Arah

Kemajuan teknologi seringkali berlangsung lebih cepat daripada refleksi etis dan filosofis atas dampaknya. Di sinilah sejarah filsafat membantu membingkai ulang hubungan manusia dengan teknologi. Martin Heidegger, misalnya, dalam The Question Concerning Technology, memperingatkan bahwa teknologi modern cenderung mengubah alam menjadi sekadar “sumber daya” (standing-reserve) dan manusia menjadi alat dalam sistem teknokratis⁽⁵⁾. Filsafat mengingatkan bahwa kemajuan bukanlah nilai netral, melainkan harus selalu ditimbang dalam kerangka nilai, tujuan, dan tanggung jawab.

10.4.    Pendidikan Filsafat untuk Kemanusiaan yang Kritis

Studi filsafat mengajarkan kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan argumentatif. Hal ini sangat penting dalam pendidikan abad ke-21 yang menekankan literasi berpikir tinggi (higher-order thinking skills). Seperti dikemukakan oleh Martha Nussbaum, dalam bukunya Not for Profit, pendidikan yang menyertakan filsafat membantu membentuk warga negara demokratis yang berpikir mandiri, sensitif terhadap keadilan sosial, dan mampu berdialog secara terbuka⁽⁶⁾.

10.5.    Filsafat sebagai Dialog Lintas Zaman dan Budaya

Sejarah filsafat menunjukkan bahwa pemikiran manusia tentang realitas, kebenaran, dan kehidupan tidak bersifat seragam atau linear, tetapi plural dan kontekstual. Dengan mempelajari tradisi filsafat Yunani, Islam, Tiongkok, India, dan Afrika, kita menyadari pentingnya dialog antar-peradaban dalam membentuk pemahaman yang lebih utuh tentang dunia. Filsafat tidak hanya mendorong toleransi intelektual, tetapi juga memperkaya cara kita melihat dan memaknai keragaman pandangan.


Dengan demikian, sejarah filsafat tetap relevan karena ia memberikan orientasi, bukan instruksi; mengajukan pertanyaan, bukan dogma; dan mendorong pemikiran bebas, bukan penyeragaman ide. Ia adalah cermin untuk mengevaluasi siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita akan menuju. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terpolarisasi, filsafat adalah bentuk kebijaksanaan yang paling manusiawi.


Footnotes

[1]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), 11–15.

[2]                Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 99–104.

[3]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett, 1978), ch. II.

[4]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–119.

[5]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–23.

[6]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 45–60.


11.       Penutup: Sejarah Filsafat sebagai Cermin Perjalanan Intelektual Manusia

Sejarah filsafat merupakan pantulan paling jernih dari pergulatan intelektual umat manusia dalam mencari makna, kebenaran, dan kebijaksanaan. Ia bukan sekadar kronologi pemikiran atau katalog aliran, tetapi cermin reflektif dari dinamika kesadaran manusia yang terus berubah seiring zaman. Dari kosmologi mitologis para pemikir pra-Sokratik, hingga dekonstruksi struktur bahasa dan kekuasaan dalam filsafat kontemporer, sejarah filsafat menunjukkan bahwa upaya memahami dunia tidak pernah berhenti dan selalu berakar dalam situasi historis, sosial, dan eksistensial manusia.

Sebagaimana ditegaskan oleh Frederick Copleston, sejarah filsafat bukan hanya menceritakan ide-ide, melainkan “usaha untuk memahami bagaimana manusia, dalam berbagai zaman dan kondisi, memikirkan realitas dan dirinya sendiri”⁽¹⁾. Artinya, setiap sistem filsafat mencerminkan kerangka nilai, tantangan zaman, dan horizon pengharapan yang hidup dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, memahami sejarah filsafat juga berarti memahami bagaimana manusia membentuk dan dibentuk oleh dunia tempat ia hidup.

Dalam prosesnya, filsafat telah mengalami transformasi radikal: dari spekulasi metafisika ke analisis bahasa, dari sistem besar ke kritik terhadap totalitas, dari kepercayaan terhadap akal universal ke penghargaan terhadap partikularitas dan perbedaan. Namun demikian, yang tetap bertahan adalah semangat filosofis itu sendiri: keberanian untuk bertanya secara mendalam, kesediaan untuk meragukan asumsi, dan komitmen terhadap pencarian kebenaran secara rasional dan dialogis.

Filsafat juga menyingkap paradoks eksistensial manusia: bahwa di satu sisi, ia adalah makhluk yang lemah dan fana; namun di sisi lain, ia memiliki akal, kesadaran diri, dan kemampuan untuk merefleksikan keberadaannya sendiri. Sebagaimana disampaikan oleh Karl Jaspers, filsafat lahir dari "situasi-situasi batas" yang menuntut manusia untuk tidak sekadar hidup, tetapi memahami arti hidup itu sendiri⁽²⁾.

Lebih dari itu, sejarah filsafat menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan terdalam manusia adalah pertanyaan yang bersifat universal, sekaligus selalu memerlukan jawaban kontekstual. Apa itu kebaikan? Apa hakikat realitas? Apakah kita memiliki kehendak bebas? Apakah kebenaran itu objektif? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah usang, sebab ia mencerminkan kodrat manusia sebagai makhluk pencari makna.

Dalam dunia yang dilanda disinformasi, reduksionisme sains, dan ketegangan ideologis, filsafat tetap menawarkan jalan tengah antara kepastian dogmatis dan skeptisisme relativistik. Ia mengajarkan bagaimana berpikir dengan jelas, bersikap terbuka, dan menghargai kompleksitas kenyataan. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh A.C. Grayling, sejarah filsafat bukanlah museum pemikiran masa lalu, tetapi "perbendaharaan hidup" yang senantiasa memberi terang bagi persoalan hari ini⁽³⁾.

Dengan demikian, menelusuri sejarah filsafat bukan hanya menyusuri lorong masa silam, tetapi juga membuka cakrawala masa depan: membayangkan dunia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih rasional. Dalam setiap zaman, filsafat akan selalu dibutuhkan bukan karena ia menawarkan jawaban terakhir, tetapi karena ia menjaga kesadaran kritis manusia tetap hidup.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii.

[2]                Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 16–18.

[3]                A. C. Grayling, The History of Philosophy (London: Viking, 2019), 5.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Beiser, F. C. (2002). German idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.

Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press.

Bentham, J. (1996). An introduction to the principles of morals and legislation (J. H. Burns & H. L. A. Hart, Eds.). Oxford University Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume 1, Greece and Rome. Image Books.

Comte, A. (1855). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). Calvin Blanchard.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. Cress, Trans.). Hackett.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1978). The history of sexuality, Volume 1 (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Frege, G. (1952). On sense and reference. In P. Geach & M. Black (Eds.), Translations from the philosophical writings of Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell.

Grayling, A. C. (2019). The history of philosophy. Viking.

Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Volume 1 (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Nijhoff.

Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence (R. F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kenny, A. (2004). Ancient philosophy. Oxford University Press.

Kenny, A. (2006). Modern philosophy. Oxford University Press.

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.

Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.

Knowles, D. (1962). The evolution of medieval thought. Vintage Books.

Levi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology (C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.

Maimonides, M. (1963). The guide for the perplexed (S. Pines, Trans.). University of Chicago Press.

Mill, J. S. (1978). On liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement. Inquiry, 16(1–4), 95–100.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Nietzsche, F. (1969). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Plato. (1991). Republic (G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett.

Plato. (2000). The trial and death of Socrates (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.

Plato. (2009). Phaedo (D. Gallop, Trans.). Oxford University Press.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. Hodder & Stoughton.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Schopenhauer, A. (1966). The world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover Publications.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar