Sejarah Filsafat
Perjalanan Pemikiran Manusia dari Mitologi ke
Rasionalitas
Alihkan ke: Pengantar Filsafat.
Periodisasi Sejarah Filsafat:
·
Sejarah
Filsafat Pra-Sokratik;
·
Sejarah
Filsafat Masa Klasik Yunani;
·
Sejarah
Filsafat Periode Helenistik dan Romawi;
·
Sejarah
Filsafat Abad Pertengahan;
·
Sejarah
Filsafat Periode Renaisans;
·
Sejarah
Filsafat Modern Awal;
·
Periode
Modernitas dalam Filsafat;
·
Sejarah
Filsafat Abad ke-19;
·
Sejarah
Filsafat Abad ke-20;
·
Sejarah
Filsafat Periode Kontemporer.
Abstrak
Artikel ini mengulas secara komprehensif lintasan
sejarah filsafat dari masa pralogis hingga pemikiran kontemporer, dengan
menyoroti transformasi gagasan, metode, dan orientasi intelektual manusia dari
era mitologi menuju rasionalitas kritis. Dimulai dari para filsuf pra-Sokratik
yang mentransisikan penjelasan mitologis ke penalaran kosmologis, artikel ini
memetakan perkembangan pemikiran filsafat klasik Yunani, sintesis teologi dan
filsafat pada Abad Pertengahan, serta revolusi epistemologis di era modern awal
melalui rasionalisme dan empirisme. Puncaknya terletak pada filsafat transendental Kant yang mereformasi basis pengetahuan dan etika, diikuti oleh
diversifikasi pendekatan filosofis pada abad ke-19 melalui eksistensialisme,
utilitarianisme, dan positivisme. Memasuki abad ke-20 dan kontemporer, fokus
filsafat bergeser ke ranah bahasa, struktur sosial, serta rekonstruksi subjek.
Artikel ini menunjukkan bahwa sejarah filsafat bukan sekadar catatan pemikiran
masa lalu, tetapi refleksi dinamis atas perjalanan kesadaran manusia dalam
menghadapi realitas, kebenaran, dan tanggung jawab etis di tengah perubahan zaman.
Kata Kunci: Sejarah filsafat; rasionalitas; etika;
eksistensialisme; Kantianisme; positivisme; filsafat kontemporer; bahasa;
struktur; subjek.
PEMBAHASAN
Menelusuri Sejarah Filsafat Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan:
Makna dan Pentingnya Sejarah Filsafat
Sejarah filsafat bukan sekadar kronik tokoh-tokoh
besar dan gagasan-gagasan mereka, melainkan merupakan narasi mendalam tentang
bagaimana manusia terus-menerus berupaya memahami hakikat realitas, kebenaran,
dan eksistensinya sendiri. Filsafat, sebagaimana didefinisikan oleh para
pemikir klasik dan modern, adalah usaha rasional, kritis, dan sistematis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan, alam semesta, dan
nilai-nilai yang membimbing tindakan manusia. Sejarah filsafat, dengan
demikian, mencerminkan evolusi kesadaran manusia dalam merespons tantangan
intelektual, sosial, dan spiritual yang dihadapinya sepanjang masa.
Dalam pandangan Frederick Copleston, sejarah
filsafat merupakan ekspresi dari "dialog intelektual panjang antara
generasi pemikir, yang masing-masing menyumbang terhadap pencarian kebenaran
yang lebih mendalam."_¹ Ini menunjukkan bahwa setiap era filsafat
tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkait dan menanggapi konteks zaman
serta warisan sebelumnya. Maka, mempelajari sejarah filsafat berarti memasuki
ruang diskusi lintas zaman, memahami cara berpikir para filsuf, dan menyelami
struktur problematika filosofis yang berkembang dari waktu ke waktu.
Pentingnya sejarah filsafat tidak hanya bersifat
akademis, tetapi juga etis dan eksistensial. Dalam pendidikan, sejarah filsafat
mengajarkan kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan analitis, yang sangat
dibutuhkan dalam menghadapi kompleksitas dunia modern. Anthony Kenny
menegaskan bahwa dengan mempelajari sejarah filsafat, kita tidak hanya
mempelajari 'apa yang dipikirkan', tetapi juga 'bagaimana berpikir'². Melalui
sejarah filsafat, pelajar dan pembaca didorong untuk mengembangkan sikap
intelektual yang tidak dogmatis, terbuka terhadap perbedaan pandangan, dan mampu
membedakan argumen yang valid dari yang keliru.
Selain itu, sejarah filsafat juga memiliki nilai
kultural dan peradaban. Pemikiran-pemikiran filsafat telah membentuk fondasi
berbagai institusi sosial, politik, dan ilmiah di dunia Barat dan Timur.
Misalnya, ide-ide Plato dan Aristoteles tidak hanya menjadi dasar metafisika
dan etika, tetapi juga memengaruhi pengembangan sistem pemerintahan,
pendidikan, dan bahkan teologi dalam tradisi Abrahamik. Demikian pula, para
filsuf Muslim klasik seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina telah memainkan peran
penting dalam mentransmisikan dan mengembangkan filsafat Yunani dalam kerangka
Islam, sebelum akhirnya memengaruhi Eropa Latin pada Abad Pertengahan³.
Secara metodologis, sejarah filsafat dapat
ditelusuri secara sinkronik (analisis horizontal dalam satu periode)
maupun diakronik (analisis kronologis lintas waktu). Pendekatan
sinkronik memungkinkan kita membandingkan pemikiran para filsuf yang hidup
sezaman dalam konteks sosial budaya yang sama, sedangkan pendekatan diakronik menelusuri
transformasi gagasan dari masa ke masa, menampakkan kesinambungan dan
diskontinuitas historis⁴.
Dengan menyadari pentingnya sejarah filsafat
sebagai warisan intelektual umat manusia, kita diundang untuk tidak hanya
mempelajarinya sebagai doktrin masa lalu, melainkan sebagai inspirasi untuk
menghadapi persoalan masa kini dengan kejernihan nalar dan kebijaksanaan batin.
Sebagaimana dikatakan Bertrand Russell, “Filsafat tidak menawarkan
jawaban pasti, tetapi memperluas cakrawala kemungkinan dan membebaskan akal
dari tirani adat kebiasaan.”_⁵ Sejarah filsafat, dengan demikian, adalah
cermin reflektif bagi manusia yang terus mencari arti dan arah hidupnya.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 3.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 47–49.
[4]
Richard Popkin and Avrum Stroll, Philosophy Made
Simple (New York: Doubleday, 1993), 11–12.
[5]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 90.
2.
Filsafat
Pra-Sokratik: Dari Mitologi ke Kosmologi
Filsafat Pra-Sokratik menandai babak awal dalam
sejarah pemikiran filsafat di dunia Barat, yakni ketika manusia Yunani mulai
berpaling dari penjelasan mitologis menuju penalaran rasional tentang alam
semesta. Sebelum para filsuf ini, pengetahuan tentang dunia umumnya disusun
dalam bentuk mitos—cerita-cerita ilahi seperti yang terdapat dalam karya
Theogonia Hesiodos dan epos Homer, yang menjelaskan asal usul kosmos,
fenomena alam, serta relasi antara dewa-dewi dan manusia¹. Dalam mitos,
sebab-akibat bersifat personal (akibat kehendak dewa), bukan sistematis. Para
filsuf Pra-Sokratik merevolusi cara berpikir ini dengan mengusulkan bahwa
realitas tunduk pada prinsip-prinsip rasional dan universal.
Gerakan intelektual ini muncul sekitar abad ke-6 SM
di wilayah Ionia (Asia Kecil), yang merupakan pusat perdagangan dan pertemuan
budaya, memungkinkan terjadinya pertukaran ide antara Timur dan Yunani. Thales
dari Miletos, sering dianggap sebagai filsuf pertama, berpendapat bahwa
seluruh realitas berasal dari satu prinsip dasar atau arche, yaitu air
(ὕδωρ). Ia mengemukakan bahwa segala sesuatu berasal dari air dan kembali
menjadi air². Ini adalah langkah radikal karena mengabaikan penjelasan
mitologis dan memperkenalkan pendekatan rasional terhadap asal-usul kosmos.
Setelah Thales, Anaximandros, muridnya,
memperluas gagasan ini dengan mengusulkan apeiron (tak terbatas) sebagai
asal mula segala sesuatu. Ia berpendapat bahwa alam semesta berkembang melalui
proses pertentangan dan keseimbangan antara unsur-unsur yang bertentangan³. Anaximenes,
murid Anaximandros, mengusulkan bahwa udara (aēr) adalah unsur dasar,
yang melalui proses pengembunan dan penguapan menghasilkan bentuk-bentuk lain
seperti api, air, dan tanah⁴.
Sementara para filsuf Milesian berfokus pada unsur
material, Herakleitos dari Efesos menekankan perubahan sebagai hakikat
realitas. Ia menyatakan bahwa "semua mengalir" (panta rhei)
dan bahwa api adalah unsur dinamis yang mencerminkan perubahan terus-menerus⁵.
Sebaliknya, Parmenides dari Elea berpendapat bahwa perubahan adalah
ilusi, dan satu-satunya kenyataan adalah yang ada (to eon), yang
bersifat abadi dan tak berubah⁶. Kontras ini menunjukkan awal mula pertentangan
metafisis antara "menjadi" (becoming) dan "ada"
(being) yang akan terus memengaruhi filsafat Barat.
Upaya sintesis atas pandangan ekstrem ini dilakukan
oleh Empedokles, yang mengemukakan bahwa segala sesuatu tersusun dari
empat unsur dasar—tanah, air, api, dan udara—yang dipersatukan dan dipisahkan
oleh dua kekuatan: cinta (philia) dan benci (neikos)⁷. Anaxagoras
kemudian memperkenalkan konsep nous (akal) sebagai kekuatan penggerak
kosmos yang mengatur spemata (benih-benih) dari segala sesuatu⁸.
Terakhir, Demokritos dan Leukippos mengembangkan teori atomistik,
menyatakan bahwa realitas terdiri dari atom-atom yang tidak dapat dibagi dan
bergerak dalam ruang hampa⁹. Pandangan ini secara mencolok menyerupai
prinsip-prinsip dasar fisika modern.
Kontribusi utama para filsuf Pra-Sokratik adalah
penemuan prinsip-prinsip kosmologis yang bersifat abstrak, universal, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Mereka tidak sekadar mencoba memahami
dunia, tetapi membentuk cara berpikir ilmiah yang mengutamakan penyebab
natural, bukan adikodrati. Sebagaimana ditegaskan oleh Jonathan Barnes,
“Para filsuf Pra-Sokratik adalah para penemu cara berpikir ilmiah, mereka
mengalihkan penjelasan dunia dari mitos ke logos.”_¹⁰
Dengan demikian, era Pra-Sokratik merupakan fase
transformatif dalam sejarah filsafat, saat rasionalitas pertama kali digunakan
untuk menjelaskan realitas secara sistematis dan non-mitologis. Ia membuka
jalan bagi pemikiran filsafat selanjutnya, terutama oleh Socrates, Plato, dan
Aristoteles, yang melanjutkan serta mengembangkan pendekatan rasional tersebut
dalam bidang etika, epistemologi, dan metafisika.
Footnotes
[1]
Hesiod, Theogony, trans. Hugh G.
Evelyn-White (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914), 25–33.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers,
trans. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 1.22.
[3]
Kirk, G. S., J. E. Raven, and M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
104–106.
[4]
Ibid., 147–149.
[5]
Heraclitus, Fragments, in Early Greek
Philosophy, ed. and trans. Jonathan Barnes (London: Penguin, 2001), fr. 12,
fr. 30.
[6]
Parmenides, Fragments, in Barnes, Early
Greek Philosophy, fr. 8.
[7]
Empedocles, Fragments, in The Presocratic
Philosophers, Kirk et al., 288–290.
[8]
Anaxagoras, Fragments, in Barnes, Early
Greek Philosophy, fr. 12.
[9]
Democritus, Fragments, in Kirk et al., The
Presocratic Philosophers, 416–419.
[10]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 2001), 3.
3.
Masa
Klasik Yunani: Filsafat Sebagai Jalan Menuju Etika dan Pengetahuan
Masa Klasik dalam sejarah filsafat Yunani—sekitar abad ke-5 hingga ke-4 SM—merupakan periode
paling produktif dalam pematangan metode dan isi pemikiran filosofis, terutama
dalam bidang etika, epistemologi, dan politik. Jika filsuf Pra-Sokratik
terfokus pada kosmologi dan prinsip dasar alam semesta, maka para filsuf Klasik
memusatkan perhatian pada manusia sebagai subjek moral dan rasional,
serta pada kondisi ideal kehidupan sosial dan politik. Filsafat kini tidak
hanya bertanya "apa asal mula segala sesuatu", tetapi juga
"bagaimana manusia seharusnya hidup" dan "bagaimana
pengetahuan dapat diperoleh secara sah".
3.1. Socrates: Etika sebagai Dialog dan Introspeksi
Tokoh sentral dari
masa ini adalah Socrates (470–399 SM), yang
oleh Cicero
dijuluki sebagai "bapak filsafat moral" karena perhatiannya terhadap
kebajikan dan hidup baik⁽¹⁾. Ia tidak menulis karya sendiri, namun pemikirannya
diketahui terutama melalui dialog-dialog Plato. Socrates menolak pendekatan
relativistik kaum Sofis dan percaya bahwa kebajikan (aretē)
adalah pengetahuan. Dengan metode elenchus (tanya jawab dialektis), ia berusaha membongkar definisi-definisi yang tidak konsisten dan
mengarahkan lawan bicaranya pada pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran
moral.
Socrates meyakini
bahwa manusia berbuat salah bukan karena kehendak jahat, tetapi karena
ketidaktahuan; maka pendidikan adalah jalan menuju kehidupan bermoral. Ia
dihukum mati karena dianggap merusak pikiran anak muda dan tidak menghormati
dewa-dewa kota, namun wafatnya justru menjadi simbol keberanian intelektual
dalam mempertahankan integritas moral⁽²⁾.
3.2. Plato: Dunia Ide dan Keutamaan Jiwa
Plato
(427–347 SM), murid Socrates, membangun sistem filsafat komprehensif yang
menjembatani etika, epistemologi, dan metafisika. Ia mengembangkan teori Dunia Ide (eidos), yaitu dunia non-material
yang berisi bentuk-bentuk sempurna dari segala sesuatu yang kita temui di dunia
fisik. Menurutnya, pengetahuan sejati (episteme) hanya dapat diperoleh
melalui akal budi yang mengingat (anamnesis) Ide-Ide tersebut, bukan
melalui indra⁽³⁾.
Dalam dialog Republik,
Plato menjabarkan struktur jiwa dan negara ideal. Jiwa terdiri dari tiga
bagian: rasional, keberanian, dan nafsu. Keadilan tercapai jika ketiganya
berada dalam harmoni, dengan bagian rasional memimpin. Konsep ini diterapkan
juga pada masyarakat, di mana para filsuf—karena memiliki pengetahuan tentang
Ide Kebaikan—seharusnya menjadi pemimpin⁽⁴⁾. Bagi Plato, filsafat adalah jalan
untuk menyucikan jiwa dan membebaskannya dari belenggu dunia indra.
3.3. Aristoteles: Pengetahuan Ilmiah dan Etika sebagai
Keseimbangan
Aristoteles
(384–322 SM), murid Plato namun berbeda pandangan, menolak eksistensi Dunia Ide
yang terpisah dari realitas konkret. Ia mengembangkan filsafat
empiris yang berakar pada pengamatan sistematis terhadap dunia
nyata. Bagi Aristoteles, semua benda terdiri dari materi dan bentuk (teori hylemorfisme), dan setiap entitas memiliki
tujuan atau telos yang secara alami ingin
dicapai⁽⁵⁾.
Dalam bidang
epistemologi, Aristoteles meletakkan dasar-dasar logika formal melalui silogisme sebagai alat penalaran ilmiah,
sebagaimana dibukukan dalam Organon. Ia membedakan antara
pengetahuan teoretis (filsafat alam dan metafisika), praktis (etika dan
politik), dan produktif (seni dan teknik)⁽⁶⁾.
Dalam Etika
Nikomachea, Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan (eudaimonia)
adalah tujuan akhir hidup manusia dan dicapai melalui praktik kebajikan dalam
keseimbangan atau jalan tengah (mesotes)—misalnya,
keberanian sebagai titik tengah antara ketakutan dan nekat⁽⁷⁾. Ia menekankan
pentingnya kebiasaan (hexis) dalam membentuk karakter
moral.
Masa Klasik Yunani
menandai konsolidasi filsafat sebagai disiplin rasional yang menyelidiki
hakikat pengetahuan, kebaikan, jiwa, dan kehidupan sosial. Tiga pilar
filsafat—Socrates, Plato, dan Aristoteles—bukan hanya mewariskan doktrin,
tetapi juga membentuk kerangka metodologis dan etis bagi pemikiran Barat selama
lebih dari dua milenium. Sebagaimana dikemukakan oleh Anthony
Kenny, ketiganya telah "membangun landasan intelektual
yang tak tergantikan bagi semua filsafat sesudahnya"⁽⁸⁾.
Footnotes
[1]
Cicero, Tusculan Disputations, trans. J. E. King (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1927), 5.10.
[2]
Plato, Apology, in The Trial and Death of Socrates,
trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 2000), 29d–38a.
[3]
Plato, Phaedo, trans. David Gallop (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 72e–77a.
[4]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube and rev. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett, 1992), 427d–445e.
[5]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), Book VII.
[6]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes, in The
Complete Works of Aristotle, Vol. 1, 1140a–1142b.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), II.6–7, 1106a–1109b.
[8]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 196.
4.
Filsafat
Helenistik dan Romawi: Etika dan Kebijaksanaan Hidup
Periode Helenistik dan Romawi (± 323 SM – 500 M) ditandai oleh pergeseran fokus filsafat dari
spekulasi metafisis dan epistemologis menuju praktik etika dan pencarian
kebijaksanaan hidup. Setelah kematian Alexander Agung dan disintegrasi
kekuasaan polis Yunani, dunia mengalami gejolak politik dan kultural yang
meluas. Dalam situasi ketidakpastian tersebut, filsafat berkembang sebagai
sarana untuk mencapai kedamaian batin (ataraxia)
dan ketahanan
moral (autarkeia), bukan hanya sebagai disiplin intelektual⁽¹⁾.
Tiga mazhab utama
mendominasi lanskap filsafat masa ini: Stoisisme, Epikureanisme,
dan Skeptisisme,
yang semuanya menekankan pada bagaimana manusia dapat hidup bijaksana dan bebas
dari penderitaan, dengan cara yang berbeda-beda.
4.1. Stoisisme: Hidup Sesuai Alam dan Rasio
Didirikan oleh Zeno
dari Citium (sekitar 334–262 SM), Stoisisme mengajarkan bahwa
kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai dengan hidup sesuai dengan logos—hukum
rasional alam semesta. Stoik percaya bahwa manusia tidak dapat mengontrol
peristiwa eksternal, tetapi dapat mengontrol respons internal terhadapnya melalui
kebijaksanaan, keberanian, dan penguasaan diri⁽²⁾.
Para filsuf Stoik
terkenal seperti Seneca, Epiktetos,
dan Marcus Aurelius menekankan pentingnya menerima takdir (amor fati)
dengan kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan yang sejati. Dalam Meditations,
Marcus Aurelius menulis, “Kebahagiaan hidupmu tergantung pada kualitas
pikiranmu”⁽³⁾. Etika Stoik mendorong integritas pribadi dalam menghadapi
penderitaan dan kegagalan duniawi, menjadikannya filsafat yang sangat relevan
bagi kehidupan sehari-hari.
4.2. Epikureanisme: Pencapaian Kenikmatan Melalui
Moderasi
Epikuros
(341–270 SM) mendirikan mazhab yang secara populer disalahpahami sebagai ajaran
hedonisme vulgar. Padahal, Epikureanisme justru menekankan kenikmatan
yang bijaksana dan terukur sebagai tujuan hidup, di mana
kenikmatan tertinggi adalah ketenangan batin (ataraxia)
dan bebas
dari rasa sakit (aponia)⁽⁴⁾.
Epikuros membedakan
antara keinginan alamiah dan tidak alamiah, serta keinginan yang perlu dan
tidak perlu. Dengan membatasi keinginan dan menjauhi ketakutan irasional
(terutama terhadap para dewa dan kematian), manusia dapat mencapai hidup yang
damai. Dalam Surat kepada Menoikeus, ia menulis,
“Kematian tidak menyangkut kita, karena selama kita hidup, kematian tidak
ada, dan ketika kematian datang, kita tidak lagi ada”⁽⁵⁾.
4.3. Skeptisisme: Ketidaktahuan sebagai Jalan Menuju Ketenangan
Mazhab Skeptisisme,
yang diasosiasikan dengan Pyrrho dari Elis dan kemudian
dikembangkan oleh Akademi Platonis Baru seperti Sextus Empiricus, menolak
kemungkinan pengetahuan yang pasti. Para skeptik berargumen bahwa karena setiap
klaim memiliki argumen tandingan yang sama kuatnya, kita harus menangguhkan
penilaian (epochē)⁽⁶⁾.
Sikap ini tidak
mengarah pada nihilisme, melainkan pada pencapaian ketenangan batin melalui
kesadaran akan keterbatasan akal manusia. Dalam Outlines of Pyrrhonism, Sextus Empiricus
menyatakan bahwa dengan menangguhkan penghakiman, “pikiran menjadi tenang”⁽⁷⁾.
4.4. Integrasi dalam Konteks Romawi
Ketika filsafat
Yunani dibawa ke Roma, terutama selama era Kekaisaran, ia diserap dan
disesuaikan dalam konteks budaya Latin. Tokoh seperti Cicero,
Seneca,
dan Marcus Aurelius menjadikan filsafat sebagai fondasi etika publik dan
moralitas pribadi. Filsafat tidak lagi bersifat spekulatif semata, tetapi
menjadi panduan hidup bagi negarawan, tentara, dan masyarakat umum.
Menurut A.A.
Long, filsafat Helenistik menawarkan “alat psikologis untuk
menanggapi kesulitan eksistensial”⁽⁸⁾, memberikan arah bagi kehidupan
individu di tengah ketidakpastian politik, perubahan sosial, dan keruntuhan
sistem nilai tradisional.
Filsafat Helenistik
dan Romawi memperlihatkan bahwa filsafat tidak hanya hidup di akademi, tetapi
juga di pasar, istana, dan kamp militer. Mazhab-mazhab tersebut mengajarkan
bahwa kebijaksanaan sejati tercermin dalam praktik hidup, bukan sekadar teori.
Maka, periode ini menghadirkan filsafat sebagai seni menjalani hidup, di mana
nalar, moderasi, dan penerimaan memainkan peran utama dalam meraih kehidupan
yang baik.
Footnotes
[1]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?, trans. Michael
Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 104–108.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D.
Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII. 1–4.
[3]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), Book II, §13.
[4]
Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Essential Epicurus,
trans. Eugene O'Connor (Amherst, NY: Prometheus Books, 1993), 123–124.
[5]
Ibid., 125.
[6]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.8.
[7]
Ibid., I.12.
[8]
A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(Berkeley: University of California Press, 1986), 15.
5.
Filsafat
Abad Pertengahan: Sintesis antara Filsafat dan Teologi
Filsafat Abad Pertengahan (± abad ke-5 hingga abad ke-15 M) merupakan fase penting dalam
sejarah pemikiran manusia, yang ditandai oleh upaya sistematis untuk merekonsiliasi
akal rasional (filsafat) dengan wahyu ilahi (teologi). Tidak
seperti dalam periode klasik yang menempatkan nalar sebagai otoritas tertinggi,
pada Abad Pertengahan, nalar digunakan untuk mendukung, menjelaskan, dan
membela iman. Filsafat menjadi pelayan (ancilla) teologi, tetapi dalam
prosesnya juga melahirkan pemikiran-pemikiran yang sangat kompleks dan
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu dan sistem metafisika.
5.1. Filsafat Kristen Latin: Dari Augustinus ke Aquinas
Salah satu tokoh
paling berpengaruh pada awal Abad Pertengahan adalah Agustinus
dari Hippo (354–430 M). Ia mengintegrasikan warisan filsafat
Plato, khususnya neoplatonisme, ke dalam kerangka pemikiran Kristen. Dalam Confessiones
dan De
Civitate Dei, Agustinus mengajarkan bahwa pengetahuan sejati
bersumber dari pencerahan ilahi (illumination divina)
dan bahwa manusia dikuasai oleh dualitas antara cinta dunia (amor
mundi) dan cinta Tuhan (amor Dei)¹. Ia meyakini bahwa akal
harus dipandu oleh iman: crede ut intelligas
("percayalah agar engkau mengerti")².
Puncak sintesis
antara filsafat dan teologi dalam tradisi Kristen dicapai oleh Thomas Aquinas (1225–1274), seorang teolog Dominikan yang
menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan doktrin Katolik. Dalam karya monumentalnya
Summa
Theologiae, Aquinas menyusun argumen rasional untuk membuktikan
keberadaan Tuhan melalui lima jalan (quinque viae), termasuk argumentasi
dari gerak, sebab-akibat, dan kontingensi³. Ia mengembangkan prinsip harmoni
antara akal dan wahyu, dengan keyakinan bahwa keduanya tidak
akan bertentangan bila digunakan dengan benar⁴.
Aquinas juga
membedakan antara filsafat alam dan teologi
suci, serta menyumbangkan teori hukum alam (lex
naturalis) yang kelak menjadi dasar bagi filsafat moral dan hukum
di Barat. Menurutnya, manusia sebagai makhluk rasional secara kodrati mampu
mengetahui sebagian dari hukum ilahi melalui nalar, terutama dalam hal kebaikan
dan keadilan⁵.
5.2. Filsafat Islam: Rasionalisme dan Teologi Kalam
Sementara filsafat
Latin berkembang di Eropa Barat, dunia Islam menghasilkan tradisi filsafat
rasional yang luar biasa pada masa yang sama, terutama melalui para penerjemah
dan komentator karya-karya Yunani klasik. Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi,
Al-Farabi,
Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes) tidak
hanya meneruskan warisan Aristoteles dan Plato, tetapi juga mengembangkannya
secara orisinal dalam bidang metafisika, logika, etika, dan ilmu pengetahuan⁶.
Ibnu Sina, misalnya, memperkenalkan argumen eksistensial mengenai
Tuhan sebagai wajib al-wujud (yang keberadaannya niscaya), serta membedakan secara tegas antara esensi dan eksistensi.
Pemikirannya sangat mempengaruhi skolastisisme Latin, khususnya Thomas Aquinas⁷. Sementara itu, Ibnu Rusyd menjadi pembela
rasionalisme Aristotelian dalam Islam dan menolak pemisahan antara filsafat dan
agama seperti yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam Tahāfut
al-Falāsifah⁸. Dalam karyanya Tahāfut al-Tahāfut, Ibnu Rusyd
berargumen bahwa wahyu dan akal tidak bertentangan karena keduanya berasal dari
sumber yang sama, yakni Tuhan⁹.
5.3. Filsafat Yahudi dan Warisan Andalusia
Di sisi lain,
tradisi Yahudi juga turut berkontribusi dalam sintesis filsafat dan agama,
terutama melalui tokoh seperti Musa Maimonides (1135–1204),
yang menulis Guide for the Perplexed dalam upaya
mendamaikan filsafat Aristotelian dengan ajaran Taurat. Ia meyakini bahwa
interpretasi alegoris diperlukan untuk memahami wahyu yang tampak kontradiktif
dengan nalar, dan ia sangat memengaruhi tradisi skolastik Latin maupun
Islam⁽¹⁰⁾.
5.4. Skolastisisme dan Universitas
Filsafat Abad Pertengahan mencapai puncaknya dalam skolastisisme, sebuah metode
pendidikan dan argumentasi yang digunakan di universitas-universitas Eropa
seperti Paris, Bologna, dan Oxford. Skolastisisme ditandai oleh penggunaan
logika Aristotelian, debat sistematis, dan penalaran deduktif untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan teologis maupun filosofis. Tokoh-tokoh seperti Anselmus
dari Canterbury, Duns Scotus, dan William
dari Ockham berkontribusi pada pengembangan metafisika,
epistemologi, dan teori bahasa⁽¹¹⁾.
Misalnya, Anselmus
terkenal dengan argumen ontologis untuk
membuktikan eksistensi Tuhan, yaitu bahwa Tuhan sebagai "yang tidak
dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar darinya" niscaya ada, karena
jika tidak, Ia tidak akan menjadi yang terbesar⁽¹²⁾. Sementara itu, Ockham
mengembangkan prinsip Occam's Razor, yang menyatakan
bahwa penjelasan yang paling sederhana dan paling sedikit asumsi adalah yang
paling baik⁽¹³⁾.
Filsafat Abad Pertengahan membentuk jembatan penting antara pemikiran kuno dan modern. Ia
bukan hanya kelanjutan dari warisan Yunani-Romawi, tetapi juga hasil interaksi
lintas budaya antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Dalam konteks ini, filsafat
tidak hanya menjadi alat rasional, tetapi juga instrumen untuk memperdalam
keimanan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang eksistensi, Tuhan,
dan tujuan manusia.
Footnotes
[1]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books,
2003), Book XIV.
[2]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), Book I.1.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.2, a.3.
[4]
Etienne Gilson, The Spirit of Mediaeval
Philosophy, trans. A. H. C. Downes
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 15.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, Q.94, a.2.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 104–128.
[7]
Dimitri Gutas, Avicenna and the
Aristotelian Tradition (Leiden:
Brill, 2001), 99–101.
[8]
Al-Ghazali, The Incoherence of the
Philosophers, trans. Michael Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3.
[9]
Averroes, The Incoherence of the
Incoherence, trans. Simon van den
Bergh (London: Luzac, 1954), Introduction.
[10]
Moses Maimonides, The Guide for the
Perplexed, trans. Shlomo Pines
(Chicago: University of Chicago Press, 1963), 17–21.
[11]
David Knowles, The Evolution of
Medieval Thought (New York: Vintage
Books, 1962), 89–110.
[12]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M. J. Charlesworth (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1979), ch. II.
[13]
William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The
Franciscan Institute, 1957), I, c.12.
6.
Renaisans
dan Filsafat Modern Awal: Revolusi Pengetahuan
Periode Renaisans
(abad ke-14 hingga ke-16) dan Filsafat Modern Awal (abad ke-17 hingga awal abad
ke-18) merupakan titik balik penting dalam sejarah filsafat, yang ditandai oleh
lahirnya kembali semangat humanisme, kritik terhadap
otoritas skolastik, serta munculnya metode ilmiah sebagai fondasi
pengetahuan. Era ini menandai pergeseran dari paradigma teosentris (berpusat
pada Tuhan) menuju paradigma antroposentris (berpusat pada manusia), serta dari
otoritas tradisional menuju rasionalitas individual dan observasi empiris.
6.1. Renaisans: Kebangkitan Humanisme dan Rehabilitasi
Akal
Renaisans yang
berarti “kelahiran kembali” (dari bahasa Prancis renaître)
merupakan periode kebangkitan minat terhadap literatur klasik Yunani-Romawi. Para
humanis seperti Petrarch, Erasmus,
dan Pico
della Mirandola menekankan pentingnya pendidikan liberal dan
martabat manusia sebagai makhluk rasional yang diciptakan menurut citra
Ilahi⁽¹⁾. Dalam Oration on the Dignity of Man, Pico
menulis bahwa manusia diberi kebebasan untuk membentuk dirinya sendiri, menjadi
“hewan fana atau makhluk ilahi” sesuai kehendaknya⁽²⁾.
Para filsuf
Renaisans tidak hanya mempelajari kembali karya Plato dan Aristoteles, tetapi
juga mengeksplorasi gagasan Hermetik, Neoplatonik, dan Kabbalistik yang
memperkaya diskursus filsafat metafisika dan etika. Di sisi lain, muncul juga
minat besar terhadap ilmu alam, yang membuka jalan bagi kelahiran revolusi
ilmiah.
6.2. Filsafat Modern Awal: Rasionalisme dan Empirisme
Filsafat modern awal
ditandai oleh pertanyaan fundamental mengenai sumber dan validitas pengetahuan.
Di satu sisi, rasionalisme menekankan akal (ratio)
sebagai dasar utama pengetahuan yang pasti. Di sisi lain, empirisme
menekankan pengalaman indrawi (empiria) sebagai fondasi
pengetahuan. Kedua pendekatan ini membentuk fondasi epistemologi modern.
6.2.1.
Rasionalisme:
Kepastian melalui Akal
Tokoh utama
rasionalisme adalah René Descartes (1596–1650),
yang terkenal dengan asas cogito ergo sum ("aku berpikir maka aku ada"). Dalam Meditationes de Prima Philosophia,
Descartes meragukan segala hal yang mungkin salah, termasuk data indrawi dan
keberadaan dunia luar, untuk mencari kepastian absolut. Satu-satunya yang tidak
bisa diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai subjek yang berpikir⁽³⁾.
Descartes membangun
sistem pengetahuan deduktif berdasarkan ide-ide bawaan (innate
ideas), termasuk gagasan tentang Tuhan sebagai substansi yang
sempurna. Ia membedakan antara res cogitans (substansi
berpikir) dan res extensa (substansi
berdimensi), meletakkan dasar bagi dualisme antara jiwa dan
tubuh⁽⁴⁾. Rasionalisme ini dilanjutkan oleh Baruch Spinoza dan Gottfried
Wilhelm Leibniz, yang mengembangkan metafisika monistik dan
logika universal⁽⁵⁾.
6.2.2.
Empirisme:
Pengetahuan melalui Pengalaman
Sebaliknya, para
filsuf empiris seperti John Locke, George
Berkeley, dan David Hume menolak gagasan
tentang ide bawaan. Dalam An Essay Concerning Human Understanding,
Locke mengemukakan bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah seperti kertas
kosong (tabula
rasa), dan semua pengetahuan diperoleh melalui pengalaman⁽⁶⁾.
George
Berkeley mengambil langkah lebih radikal dengan menolak
eksistensi materi yang independen dari persepsi, mengklaim bahwa esse est
percipi ("ada berarti dipersepsi")⁽⁷⁾. Sementara itu, David
Hume mengembangkan skeptisisme empiris dengan mempertanyakan
dasar hubungan sebab-akibat dan keberadaan diri sebagai substansi tetap.
Menurut Hume, yang kita sebut “diri” hanyalah sekumpulan persepsi yang
terus-menerus berganti⁽⁸⁾.
6.3. Implikasi Epistemologis dan Ilmiah
Kedua aliran ini
melahirkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan modern. Descartes meletakkan
dasar bagi deduksi matematika dalam sains,
sementara empirisme mempengaruhi metode induktif dalam observasi
ilmiah. Kontribusi mereka menjadi dasar bagi epistemologi Kant dan munculnya
filsafat kritisisme di akhir abad ke-18.
Sebagaimana dicatat
oleh Anthony
Kenny, filsafat modern awal tidak hanya mengubah struktur
filsafat, tetapi juga membentuk cara kita memahami sains, diri, dan Tuhan dalam
kerangka modernitas⁽⁹⁾. Revolusi pengetahuan ini bukan semata-mata pergeseran
teori, tetapi transformasi epistemologis dan ontologis yang berdampak luas pada
peradaban Barat.
Footnotes
[1]
Charles G. Nauert, Humanism and the Culture of Renaissance Europe
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 17–25.
[2]
Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man,
trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Gateway Editions, 1956), 3–6.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.
[4]
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald Cress
(Indianapolis: Hackett, 1998), Part IV.
[5]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 120–145; Nicholas Jolley, Leibniz (London:
Routledge, 2005), 88–101.
[6]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, ch. I.
[7]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3.
[8]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), Book I, Part IV, Section VI.
[9]
Anthony Kenny, Modern Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 12–35.
7.
Puncak
dan Kritik Modernitas: Immanuel Kant dan Reaksi Pascanya
Periode modernitas dalam filsafat mencapai puncaknya dengan pemikiran Immanuel Kant (1724–1804), seorang filsuf asal Königsberg yang secara
mendalam mereformulasi epistemologi, metafisika, dan etika. Kant muncul sebagai
penengah antara rasionalisme dan empirisme,
dua arus besar filsafat modern sebelumnya yang dianggapnya gagal menjelaskan
bagaimana pengetahuan objektif mungkin terjadi. Dalam karyanya yang monumental,
Critique
of Pure Reason (Kritik der reinen Vernunft, 1781),
Kant memulai revolusi kopernikan dalam filsafat, menggeser fokus dari objek
sebagai pusat pengetahuan ke subjek yang mengenal⁽¹⁾.
7.1. Revolusi Kopernikan Kant dalam Epistemologi
Kant berargumen
bahwa meskipun semua pengetahuan kita dimulai dari pengalaman (Erfahrung),
tidak semua pengetahuan berasal darinya. Ia memperkenalkan distingsi penting
antara a priori
(pengetahuan yang tidak tergantung pada pengalaman) dan a
posteriori (pengetahuan yang bergantung pada pengalaman), serta
antara analitik
dan sintetik.
Kant berupaya menunjukkan bahwa terdapat kebenaran-kebenaran sintetik
a priori, seperti dalam matematika dan prinsip-prinsip dasar
ilmu pengetahuan⁽²⁾.
Dalam pandangan
Kant, akal budi tidak sekadar menerima data dari dunia luar, tetapi secara
aktif membentuk
pengalaman melalui struktur-struktur apriori seperti ruang dan
waktu, serta kategori-kategori seperti kausalitas. Dengan demikian, kita tidak
mengenal Ding an
sich (hal dalam dirinya sendiri), melainkan hanya fenomena—dunia
sebagaimana tampil kepada subjek yang mengenal⁽³⁾.
7.2. Etika Deontologis dan Otonomi Moral
Dalam Critique
of Practical Reason dan Groundwork of the Metaphysics of Morals,
Kant mengembangkan sistem etika deontologis yang berakar
pada otonomi rasional dan prinsip kewajiban. Moralitas, bagi Kant, bukan
ditentukan oleh konsekuensi tindakan, melainkan oleh maksud dan niat di
baliknya, yang tunduk pada hukum moral universal. Prinsip utamanya adalah imperatif kategoris, yakni bertindak hanya menurut asas yang dapat
dijadikan hukum universal⁽⁴⁾.
Kant memulihkan
martabat kehendak moral manusia melalui gagasan otonomi, yakni bahwa manusia
sebagai makhluk rasional tunduk pada hukum yang ia berikan kepada dirinya
sendiri. Etika Kant menolak utilitarianisme dan hedonisme, dan meletakkan dasar
moralitas pada kehormatan terhadap hukum moral sebagai tujuan itu sendiri⁽⁵⁾.
7.3. Kritik dan Reaksi Pascakantian
Pemikiran Kant
melahirkan berbagai reaksi, baik yang mendukung maupun yang menolak.
Filsuf-filsuf idealism Jerman seperti Johann
Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Schelling,
dan terutama Georg Wilhelm Friedrich Hegel
mengembangkan lebih lanjut warisan Kant, tetapi menolak batasan-batasan
Kantian, terutama dikotomi antara fenomena dan noumena.
Fichte
menekankan keutamaan Ich (Aku) sebagai sumber segala
realitas; Schelling mengeksplorasi
kesatuan antara subjek dan objek dalam alam; sementara Hegel
mengembangkan sistem dialektika historis, di mana
realitas dan kesadaran berkembang melalui proses tesis–antitesis–sintesis
menuju realisasi Roh Absolut⁽⁶⁾. Hegel menolak “hal dalam dirinya” yang
tak dapat dikenal, dan menegaskan bahwa rasio dapat memahami seluruh realitas
karena realitas itu sendiri bersifat rasional: das Wirkliche ist vernünftig (“yang
nyata adalah rasional”)⁽⁷⁾.
Sebaliknya, filsuf
seperti Arthur Schopenhauer dan Søren
Kierkegaard mengkritik sistem rasionalistik Hegelian dengan menekankan
aspek irasional dan eksistensial dari kehidupan manusia. Schopenhauer menyoroti
kehendak buta (der Wille) sebagai dasar metafisis
realitas, sementara Kierkegaard—bapak eksistensialisme—menekankan pilihan
personal, kecemasan, dan lompatan iman sebagai fondasi eksistensi otentik⁽⁸⁾.
7.4. Warisan Kant dalam Dunia Modern
Pengaruh Kant dalam
filsafat modern sangat luas, meliputi bidang epistemologi, etika, filsafat
politik, estetika, hingga metafisika. Ia menjadi rujukan utama dalam tradisi kritisisme,
yaitu pendekatan yang menyelidiki batas-batas kemampuan nalar manusia. Bahkan filsafat analitik maupun kontinental—dua aliran besar
filsafat abad ke-20—sama-sama mewarisi persoalan-persoalan yang dirumuskan oleh
Kant.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Paul Guyer, “Kant bukan
hanya menutup masa modern awal, tetapi juga membuka jalan bagi seluruh filsafat
modern kontemporer”⁽⁹⁾. Ia tidak hanya menjembatani rasionalisme dan
empirisme, tetapi juga menggeser paradigma filsafat dari spekulasi metafisika
ke analisis struktur kognitif manusia dan dasar normatif tindakan moral.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), Bxvi–Bxviii.
[2]
Ibid., A7/B11–A9/B13.
[3]
Ibid., A246/B303–A252/B309.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–4:424.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Practical
Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 5:31–5:36.
[6]
Frederick C. Beiser, German
Idealism: The Struggle Against Subjectivism 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002),
12–25.
[7]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Elements
of the Philosophy of Right, trans.
H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), Preface, 20.
[8]
Arthur Schopenhauer, The
World as Will and Representation,
trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1966), Vol. 1, §27; Søren
Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton
University Press, 1980), 35–38.
[9]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 3.
8.
Filsafat
Abad ke-19: Eksistensialisme, Utilitarianisme, dan Positivisme
Filsafat abad ke-19
menandai diversifikasi pemikiran filosofis sebagai respons terhadap dinamika
revolusi industri, transformasi sosial-politik, dan kemajuan sains. Jika
sebelumnya Kant dan para idealis Jerman menekankan rasionalitas dan sistem
metafisik, maka pada abad ke-19 muncul pendekatan-pendekatan baru yang lebih
pluralistik dan kontekstual. Tiga arus besar—Eksistensialisme, Utilitarianisme,
dan Positivisme—mewakili
respons yang berbeda terhadap tantangan zaman: keterasingan individu, reformasi
moral-sosial, dan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan.
8.1. Eksistensialisme: Diri, Kebebasan, dan Kecemasan
Cikal bakal eksistensialisme
modern dapat ditelusuri pada Søren Kierkegaard (1813–1855)
dan Friedrich Nietzsche (1844–1900). Keduanya mengkritik sistem rasionalistik
Hegel dan menekankan pengalaman subjektif, pilihan eksistensial, dan kehendak
individu.
Kierkegaard,
dalam karya The Sickness unto Death dan Fear and
Trembling, menekankan pentingnya iman personal, kecemasan (angst),
dan keputusan eksistensial yang tidak dapat dirasionalisasi sepenuhnya. Ia
memperkenalkan konsep "lompatan iman"
sebagai bentuk keberanian eksistensial untuk mempercayai sesuatu di luar bukti
rasional⁽¹⁾.
Nietzsche,
sebaliknya, mengumumkan "kematian Tuhan" dalam The Gay
Science, menolak nilai-nilai moral tradisional, dan memperkenalkan
konsep “kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht) serta “manusia unggul” (Übermensch) sebagai visi baru bagi
kemanusiaan. Ia mengkritik nihilisme Barat dan menolak objektivitas moral,
sembari menyerukan pembentukan nilai-nilai baru yang otentik⁽²⁾.
Eksistensialisme
dalam bentuk awal ini lebih bersifat filosofis-sastrawi, menekankan pengalaman
tragis manusia yang terlempar ke dunia tanpa jaminan makna objektif. Aliran ini
kelak berkembang lebih jauh dalam pemikiran abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti
Heidegger, Sartre, dan Camus.
8.2. Utilitarianisme: Moralitas Berdasarkan Konsekuensi
Di sisi lain, utilitarianisme
berkembang sebagai filsafat etika dan sosial yang berbasis pada prinsip manfaat
dan kebahagiaan terbesar. Dua tokoh utama aliran ini adalah Jeremy
Bentham (1748–1832) dan John Stuart Mill (1806–1873).
Bentham
memformulasikan prinsip "the greatest happiness for the greatest
number" sebagai asas moral dan legislasi. Dalam An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ia
mengembangkan kalkulus kebahagiaan (hedonic calculus) untuk mengukur nilai
moral tindakan berdasarkan intensitas dan durasi kesenangan atau penderitaan
yang ditimbulkannya⁽³⁾.
Mill,
dalam Utilitarianism
(1861), memperhalus pandangan Bentham dengan membedakan antara kesenangan
yang lebih tinggi (seperti intelektual dan moral) dan kesenangan
yang lebih rendah (fisik dan sensual). Ia juga memperluas
utilitarianisme ke bidang kebebasan individu, pendidikan, dan demokrasi,
sebagaimana tampak dalam On Liberty (1859), di mana ia
membela kebebasan berpikir dan berekspresi sebagai syarat esensial bagi
kemajuan manusia⁽⁴⁾.
Utilitarianisme memberikan
dasar etis dan politik bagi banyak kebijakan sosial modern, termasuk reformasi
hukum, sistem penjara, pendidikan publik, dan hak-hak sipil.
8.3. Positivisme: Ilmu sebagai Jalan Pengetahuan Sahih
Dalam bidang epistemologi
dan filsafat sains, August Comte (1798–1857)
memperkenalkan positivisme, sebuah pendekatan
yang hanya mengakui pengetahuan yang diperoleh melalui metode empiris dan
ilmiah. Dalam Cours de philosophie positive,
Comte merumuskan Hukum Tiga Tahapan perkembangan
intelektual umat manusia: teologis, metafisik, dan positif⁽⁵⁾.
Comte melihat ilmu
sebagai satu-satunya cara untuk memahami realitas secara sahih. Ia menolak
spekulasi metafisik dan menempatkan sosiologi sebagai “ratu” ilmu-ilmu
sosial. Positivisme Comte menjadi inspirasi awal bagi perkembangan metodologi
ilmiah modern serta dasar bagi filsafat logika dan filsafat ilmu di abad ke-20.
Pengaruh positivisme
terlihat dalam gerakan empiris logis (logical empiricism) di Wina dan Praha,
yang menyatakan bahwa makna dari sebuah pernyataan terletak pada metode
verifikasinya secara empiris⁽⁶⁾.
Filsafat abad ke-19
memperlihatkan bahwa respons terhadap krisis modernitas tidak tunggal.
Eksistensialisme menekankan subjektivitas dan tragisme keberadaan,
utilitarianisme mencari prinsip rasional untuk kebijakan moral dan sosial,
sedangkan positivisme menawarkan jalan objektif dan ilmiah untuk memahami
dunia. Ketiganya, meski berbeda arah, tetap berupaya menjawab tantangan yang
sama: bagaimana
manusia memahami dan mengarahkan kehidupannya di tengah transformasi zaman.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair
Hannay (London: Penguin Books, 1989), 45–49.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), §125; Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J.
Hollingdale (London: Penguin, 1969), 41–43.
[3]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, ed. J.H. Burns and H.L.A. Hart (Oxford: Oxford University
Press, 1996), ch. I–II.
[4]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), ch. II–III; On Liberty, ed. Elizabeth
Rapaport (Indianapolis: Hackett, 1978), ch. I–III.
[5]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte,
trans. Harriet Martineau (New York: Calvin Blanchard, 1855), Vol. I, 2–4.
[6]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936),
ch. I.
9.
Filsafat
Abad ke-20 dan Kontemporer: Bahasa, Struktur, dan Subjek
Filsafat abad ke-20
dan kontemporer merupakan lanskap pemikiran yang sangat plural dan dinamis. Di
tengah realitas modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi, konflik ideologi,
serta krisis makna, para filsuf menggeser fokus mereka dari metafisika dan
epistemologi klasik ke kajian bahasa, struktur
sosial, dan subjektivitas. Periode ini
menyaksikan lahirnya dua tradisi besar filsafat—filsafat analitik dan filsafat kontinental—yang, meskipun berangkat dari latar belakang
metodologis yang berbeda, sama-sama mencoba merespons tantangan intelektual
abad modern.
9.1. Filsafat Analitik: Bahasa, Logika, dan Klarifikasi
Konsep
Filsafat analitik
berkembang terutama di dunia Anglo-Saxon, dan ditandai oleh perhatian yang
besar terhadap bahasa, logika formal, dan analisis konseptual.
Pendekatan ini dipelopori oleh Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein.
Frege
memperkenalkan distingsi antara sense (Sinn)
dan reference
(Bedeutung)
dalam pemaknaan, yang kemudian menjadi fondasi bagi filsafat bahasa modern⁽¹⁾. Bertrand Russell, dalam esainya On Denoting (1905), merumuskan
teori deskripsi yang memecahkan problem makna dalam kalimat eksistensial⁽²⁾.
Filsafat, bagi Russell, bertugas mengklarifikasi struktur proposisional dan
memurnikan bahasa dari kebingungan metafisik.
Wittgenstein,
dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, mengembangkan pandangan bahwa struktur bahasa
mencerminkan struktur realitas; "dunia adalah totalitas fakta, bukan
benda"⁽³⁾. Namun dalam karyanya yang lebih matang, Philosophical
Investigations, Wittgenstein membalik pandangannya dengan
menekankan bahwa makna adalah hasil penggunaan dalam praktik bahasa.
Ia menolak idealisasi logika dan menggantikannya dengan konsep “game
bahasa” yang plural dan kontekstual⁽⁴⁾.
9.2. Filsafat Kontinental: Struktur, Kuasa, dan Krisis
Subjek
Berbeda dengan
pendekatan analitik, filsafat kontinental
(berkembang di daratan Eropa, terutama Prancis dan Jerman) lebih banyak
berurusan dengan struktur sosial, ideologi, sejarah, dan
subjektivitas. Aliran-aliran penting dalam tradisi ini meliputi
fenomenologi,
eksistensialisme,
hermeneutika,
strukturalisme,
posmodernisme,
dan dekonstruksi.
Fenomenologi,
yang dimulai oleh Edmund Husserl, menekankan kembali
ke hal-hal itu sendiri (zu den Sachen selbst)—yakni
deskripsi langsung tentang pengalaman kesadaran tanpa asumsi teoritis⁽⁵⁾. Martin Heidegger, murid Husserl, mengembangkan eksistensialisme
ontologis melalui Being and Time, dengan fokus pada Dasein
(ada-di-dunia) dan pengalaman keterlemparan, kecemasan, serta kematian⁽⁶⁾.
Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir
mengembangkan eksistensialisme dalam ranah kebebasan, tanggung jawab, dan
etika. Sartre menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, dan bahwa
manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk bebas⁽⁷⁾.
Pada paruh kedua
abad ke-20, muncul strukturalisme dan post-strukturalisme.
Claude
Lévi-Strauss menggunakan struktur linguistik untuk menganalisis
budaya; sementara Michel Foucault mengembangkan arkeologi
dan genealogi pengetahuan, serta menunjukkan bahwa kuasa
dan wacana saling membentuk kebenaran sosial⁽⁸⁾. Dalam Discipline
and Punish dan The History of Sexuality, Foucault
menjelaskan bagaimana institusi sosial membentuk subjek manusia melalui
pengawasan dan normalisasi⁽⁹⁾.
Jacques
Derrida, tokoh utama dekonstruksi, menolak gagasan
pusat makna yang stabil dalam teks. Melalui konsep différance, ia menunjukkan bahwa
makna selalu tertunda dan bersifat kontekstual. Dekonstruksi menjadi alat
kritis terhadap struktur biner dan otoritas metafisik dalam teks dan
budaya⁽¹⁰⁾.
9.3. Isu-Isu Filsafat Kontemporer: Identitas, Etika, dan
Ekologi
Memasuki abad ke-21,
filsafat kontemporer semakin terlibat dalam isu-isu aktual seperti identitas
gender, multikulturalisme, lingkungan
hidup, dan teknologi digital. Filsuf
feminis seperti Judith Butler mengkritik
essentialisme gender dan menegaskan bahwa gender adalah konstruksi
performatif⁽¹¹⁾. Jürgen Habermas dari aliran
teori kritis memperjuangkan rasionalitas komunikatif
sebagai dasar bagi masyarakat demokratis pluralis⁽¹²⁾.
Sementara itu,
filsafat lingkungan—seperti yang dikembangkan oleh Arne
Naess (ekofilsafat dalam tradisi deep ecology)—menantang
antropo-sentrisme modern dan menyerukan paradigma baru hubungan
manusia-alam⁽¹³⁾.
Filsafat abad ke-20
dan kontemporer telah memperluas cakrawala refleksi filosofis dari soal
metafisika tradisional ke medan-medan yang lebih konkret: bahasa, tubuh,
sejarah, dan politik. Jika filsafat kuno bertanya tentang “apa itu realitas?”,
filsafat kontemporer bertanya “bagaimana realitas diproduksi dan dimaknai
dalam praktik sosial, linguistik, dan ideologis?” Dengan demikian, filsafat
tetap hidup sebagai kritik, interpretasi, dan pencarian makna di tengah dunia
yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, On Sense and Reference, in Translations
from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max
Black (Oxford: Blackwell, 1952), 56–78.
[2]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905):
479–493.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.
K. Ogden (London: Routledge, 1922), Proposition 1.1–2.1.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–§49.
[5]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Nijhoff, 1983),
§27.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §45–53.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20–22.
[8]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 135–139.
[9]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–211; The History
of Sexuality, Vol. 1, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books,
1978), 92–102.
[10]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–72.
[11]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), xv–xxxiii.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–326.
[13]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry
16, no. 1–4 (1973): 95–100.
10. Relevansi Sejarah Filsafat dalam Dunia Modern
Dalam dunia yang
ditandai oleh percepatan teknologi, krisis identitas, tantangan ekologis, dan
disrupsi sosial-politik, pertanyaan mengenai relevansi sejarah filsafat
menjadi semakin penting. Banyak yang menganggap filsafat sebagai disiplin yang
abstrak dan tidak praktis, namun sejarah filsafat justru menyediakan kerangka berpikir kritis, etis, dan reflektif yang sangat diperlukan
untuk memahami kompleksitas realitas kontemporer. Sejarah filsafat bukan
sekadar arsip ide-ide lama, melainkan warisan intelektual yang hidup,
yang terus berdialog dengan kondisi zaman dan membuka ruang bagi pencerahan
baru.
10.1. Filsafat sebagai Panduan Etis dan Kritik Sosial
Salah satu relevansi
utama sejarah filsafat adalah kemampuannya untuk menawarkan kerangka etis dalam menghadapi dilema moral masa kini. Misalnya,
filsafat Stoik yang diwariskan oleh Epiktetos dan Marcus Aurelius telah
mengalami kebangkitan dalam konteks pengembangan diri dan kepemimpinan
kontemporer⁽¹⁾. Nilai-nilai seperti pengendalian diri, keberanian moral, dan
hidup selaras dengan alam kembali dipandang sebagai landasan etis yang penting
dalam menghadapi stres dan tekanan sosial modern.
Demikian pula,
warisan filsafat moral Kantian, dengan penekanannya pada otonomi,
rasionalitas, dan penghargaan terhadap martabat manusia,
menjadi sangat relevan dalam diskusi hak asasi manusia, bioetika, dan teknologi
kecerdasan buatan⁽²⁾. Prinsip imperatif kategoris Kant, yakni bertindak sesuai
asas yang dapat dijadikan hukum universal, memberikan arah moral dalam
kebijakan publik yang adil dan konsisten.
10.2. Filsafat dan Tantangan Demokrasi
Dalam iklim
demokrasi global yang sedang mengalami tekanan dari populisme, disinformasi, dan
erosi kepercayaan publik, sejarah filsafat politik—dari Plato dan Aristoteles
hingga John Locke, Rousseau, dan Habermas—menawarkan wawasan mendalam tentang konsep keadilan, kebebasan, dan peran warga negara.
John
Stuart Mill, dalam On Liberty, menekankan pentingnya
kebebasan berpikir sebagai syarat bagi kemajuan intelektual dan sosial. Gagasan
ini sangat relevan dalam konteks kebebasan berpendapat di era media sosial dan
algoritma informasi⁽³⁾. Sementara itu, Jürgen Habermas menyumbangkan
teori komunikasi rasional sebagai dasar diskursus publik yang inklusif dan
etis⁽⁴⁾.
10.3. Filsafat dan Teknologi: Refleksi atas Kemajuan
Tanpa Arah
Kemajuan teknologi
seringkali berlangsung lebih cepat daripada refleksi etis dan filosofis atas
dampaknya. Di sinilah sejarah filsafat membantu membingkai ulang hubungan
manusia dengan teknologi. Martin Heidegger, misalnya,
dalam The
Question Concerning Technology, memperingatkan bahwa teknologi
modern cenderung mengubah alam menjadi sekadar “sumber daya” (standing-reserve)
dan manusia menjadi alat dalam sistem teknokratis⁽⁵⁾. Filsafat mengingatkan
bahwa kemajuan
bukanlah nilai netral, melainkan harus selalu ditimbang dalam
kerangka nilai, tujuan, dan tanggung jawab.
10.4. Pendidikan Filsafat untuk Kemanusiaan yang Kritis
Studi filsafat
mengajarkan kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan
argumentatif. Hal ini sangat penting dalam pendidikan abad
ke-21 yang menekankan literasi berpikir tinggi
(higher-order thinking skills). Seperti dikemukakan oleh Martha
Nussbaum, dalam bukunya Not for Profit, pendidikan yang
menyertakan filsafat membantu membentuk warga negara demokratis yang berpikir
mandiri, sensitif terhadap keadilan sosial, dan mampu berdialog secara
terbuka⁽⁶⁾.
10.5. Filsafat sebagai Dialog Lintas Zaman dan Budaya
Sejarah filsafat
menunjukkan bahwa pemikiran manusia tentang realitas, kebenaran, dan kehidupan
tidak bersifat seragam atau linear, tetapi plural dan kontekstual. Dengan
mempelajari tradisi filsafat Yunani, Islam, Tiongkok, India, dan Afrika, kita
menyadari pentingnya dialog antar-peradaban dalam
membentuk pemahaman yang lebih utuh tentang dunia. Filsafat tidak hanya
mendorong toleransi intelektual, tetapi juga memperkaya cara kita melihat dan
memaknai keragaman pandangan.
Dengan demikian,
sejarah filsafat tetap relevan karena ia memberikan orientasi, bukan
instruksi; mengajukan pertanyaan, bukan
dogma; dan mendorong pemikiran bebas,
bukan penyeragaman ide. Ia adalah cermin untuk mengevaluasi siapa kita, dari
mana kita datang, dan ke mana kita akan menuju. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan terpolarisasi, filsafat adalah bentuk kebijaksanaan yang paling manusiawi.
Footnotes
[1]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London:
Hodder & Stoughton, 2013), 11–15.
[2]
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 99–104.
[3]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport
(Indianapolis: Hackett, 1978), ch. II.
[4]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg
(Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–119.
[5]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans.
William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–23.
[6]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 45–60.
11. Penutup: Sejarah Filsafat sebagai Cermin Perjalanan
Intelektual Manusia
Sejarah filsafat merupakan pantulan paling
jernih dari pergulatan intelektual umat manusia dalam mencari makna,
kebenaran, dan kebijaksanaan. Ia bukan sekadar kronologi pemikiran atau katalog
aliran, tetapi cermin reflektif dari dinamika kesadaran manusia yang
terus berubah seiring zaman. Dari kosmologi mitologis para pemikir
pra-Sokratik, hingga dekonstruksi struktur bahasa dan kekuasaan dalam filsafat
kontemporer, sejarah filsafat menunjukkan bahwa upaya memahami dunia tidak
pernah berhenti dan selalu berakar dalam situasi historis, sosial, dan eksistensial
manusia.
Sebagaimana ditegaskan oleh Frederick Copleston,
sejarah filsafat bukan hanya menceritakan ide-ide, melainkan “usaha untuk
memahami bagaimana manusia, dalam berbagai zaman dan kondisi, memikirkan
realitas dan dirinya sendiri”⁽¹⁾. Artinya, setiap sistem filsafat
mencerminkan kerangka nilai, tantangan zaman, dan horizon pengharapan
yang hidup dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, memahami sejarah filsafat juga
berarti memahami bagaimana manusia membentuk dan dibentuk oleh dunia tempat ia
hidup.
Dalam prosesnya, filsafat telah mengalami
transformasi radikal: dari spekulasi metafisika ke analisis bahasa, dari sistem
besar ke kritik terhadap totalitas, dari kepercayaan terhadap akal universal ke
penghargaan terhadap partikularitas dan perbedaan. Namun demikian, yang tetap
bertahan adalah semangat filosofis itu sendiri: keberanian untuk
bertanya secara mendalam, kesediaan untuk meragukan asumsi, dan komitmen
terhadap pencarian kebenaran secara rasional dan dialogis.
Filsafat juga menyingkap paradoks eksistensial
manusia: bahwa di satu sisi, ia adalah makhluk yang lemah dan fana; namun
di sisi lain, ia memiliki akal, kesadaran diri, dan kemampuan untuk
merefleksikan keberadaannya sendiri. Sebagaimana disampaikan oleh Karl
Jaspers, filsafat lahir dari "situasi-situasi batas" yang
menuntut manusia untuk tidak sekadar hidup, tetapi memahami arti hidup itu
sendiri⁽²⁾.
Lebih dari itu, sejarah filsafat menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan
terdalam manusia adalah pertanyaan yang bersifat universal, sekaligus
selalu memerlukan jawaban kontekstual. Apa itu kebaikan? Apa hakikat
realitas? Apakah kita memiliki kehendak bebas? Apakah kebenaran itu objektif?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah usang, sebab ia mencerminkan kodrat
manusia sebagai makhluk pencari makna.
Dalam dunia yang dilanda disinformasi,
reduksionisme sains, dan ketegangan ideologis, filsafat tetap menawarkan jalan
tengah antara kepastian dogmatis dan skeptisisme relativistik. Ia
mengajarkan bagaimana berpikir dengan jelas, bersikap terbuka, dan menghargai
kompleksitas kenyataan. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh A.C.
Grayling, sejarah filsafat bukanlah museum pemikiran masa lalu, tetapi
"perbendaharaan hidup" yang senantiasa memberi terang bagi
persoalan hari ini⁽³⁾.
Dengan demikian, menelusuri sejarah filsafat bukan
hanya menyusuri lorong masa silam, tetapi juga membuka cakrawala masa depan:
membayangkan dunia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih rasional. Dalam
setiap zaman, filsafat akan selalu dibutuhkan bukan karena ia menawarkan
jawaban terakhir, tetapi karena ia menjaga kesadaran kritis manusia tetap
hidup.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), xii.
[2]
Karl Jaspers, Philosophy of Existence,
trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1971), 16–18.
[3]
A. C. Grayling, The History of Philosophy
(London: Viking, 2019), 5.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Beiser, F. C. (2002). German idealism: The
struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.
Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the
principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press.
Bentham, J. (1996). An introduction to the
principles of morals and legislation (J. H. Burns & H. L. A. Hart,
Eds.). Oxford University Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume
1, Greece and Rome. Image Books.
Comte, A. (1855). The positive philosophy of
Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). Calvin Blanchard.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on method
(D. Cress, Trans.). Hackett.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality,
Volume 1 (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Frege, G. (1952). On sense and reference. In P.
Geach & M. Black (Eds.), Translations from the philosophical writings of
Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell.
Grayling, A. C. (2019). The history of
philosophy. Viking.
Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action: Volume 1 (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Hume, D. (1978). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Nijhoff.
Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence
(R. F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kenny, A. (2004). Ancient philosophy. Oxford
University Press.
Kenny, A. (2006). Modern philosophy. Oxford
University Press.
Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety
(R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.
Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
Knowles, D. (1962). The evolution of medieval
thought. Vintage Books.
Levi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology
(C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.
Maimonides, M. (1963). The guide for the
perplexed (S. Pines, Trans.). University of Chicago Press.
Mill, J. S. (1978). On liberty (E. Rapaport,
Ed.). Hackett.
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R.
Crisp, Ed.). Oxford University Press.
Naess, A. (1973). The shallow and the deep,
long-range ecology movement. Inquiry, 16(1–4), 95–100.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Nietzsche, F. (1969). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage.
Plato. (1991). Republic (G. M. A. Grube
& C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett.
Plato. (2000). The trial and death of Socrates
(G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.
Plato. (2009). Phaedo (D. Gallop, Trans.).
Oxford University Press.
Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of
happiness. Hodder & Stoughton.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56),
479–493.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Schopenhauer, A. (1966). The world as will and
representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover Publications.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations
(G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar