Teori Behavioristik dalam Belajar
Fondasi, Konsep, Tokoh, dan Relevansi di Era Pendidikan
Modern
Alihkan ke: Teori Belajar dan Pembelajaran.
Abstrak
Artikel ini membahas teori behavioristik sebagai
salah satu fondasi utama dalam kajian teori belajar dan pembelajaran. Teori ini
memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai hasil
dari interaksi antara stimulus dan respons, serta dipengaruhi oleh penguatan
atau hukuman. Melalui pembahasan yang sistematis, artikel ini mengeksplorasi landasan
filosofis dan psikologis behaviorisme, kontribusi tokoh-tokoh kunci seperti
John B. Watson, Ivan Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F. Skinner, serta konsep
inti seperti pengondisian klasik dan operan, penguatan, dan pembelajaran
mekanistik. Ditekankan pula penerapan teori ini dalam konteks pembelajaran
konvensional dan digital, termasuk dalam strategi pengajaran berbasis teknologi
dan penguatan perilaku. Selain menyoroti keunggulan behaviorisme dalam
membentuk kebiasaan dan evaluasi perilaku, artikel ini juga menguraikan kritik
dari pendekatan kognitif, konstruktivis, dan humanistik. Artikel ini kemudian
menegaskan bahwa meskipun memiliki keterbatasan, teori behavioristik tetap
relevan dalam pendidikan abad ke-21, terutama sebagai komponen dalam pendekatan
pembelajaran eklektik yang adaptif, terukur, dan terstruktur sesuai dengan
regulasi pendidikan nasional Indonesia.
Kata Kunci: Teori behavioristik, pembelajaran, penguatan,
stimulus-respons, pengondisian, Watson, Skinner, pembelajaran digital, pendidikan
abad ke-21, regulasi pendidikan Indonesia.
PEMBAHASAN
Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
1.
Pendahuluan
Teori belajar merupakan fondasi utama dalam dunia
pendidikan karena berfungsi sebagai landasan konseptual dalam merancang, mengimplementasikan,
dan mengevaluasi proses pembelajaran. Salah satu pendekatan awal yang
berpengaruh besar dalam perkembangan teori belajar adalah teori
behavioristik, yang berfokus pada perubahan perilaku yang dapat diamati
sebagai hasil dari pengalaman. Pendekatan ini memiliki pengaruh signifikan
terhadap praktik pendidikan, terutama pada abad ke-20, dengan menekankan bahwa
belajar terjadi ketika seseorang merespons rangsangan dari lingkungan dan
perilaku tersebut diperkuat melalui penguatan atau hukuman.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, pemahaman
tentang teori belajar, termasuk behaviorisme, sangat penting karena menjadi
salah satu landasan dalam perumusan kebijakan kurikulum dan pendekatan
pembelajaran. Hal ini tercermin dalam berbagai regulasi nasional, seperti Permendikbud
No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah,
yang menekankan pentingnya proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan
menyenangkan, yang secara tidak langsung menuntut pemahaman terhadap
prinsip-prinsip belajar termasuk dari aliran behavioristik.¹
Teori behavioristik memiliki nilai praktis yang
tinggi dalam pengelolaan kelas, karena memberikan strategi konkret untuk
membentuk perilaku yang diinginkan. Misalnya, penggunaan penguatan positif
(seperti pujian atau hadiah) dalam pembelajaran merupakan penerapan langsung
dari prinsip behavioristik yang telah teruji efektivitasnya dalam meningkatkan
partisipasi dan motivasi siswa, terutama dalam pendidikan usia dini dan dasar.²
Seiring dengan berkembangnya teori pembelajaran
lainnya seperti kognitivisme dan konstruktivisme, behaviorisme tidak kehilangan
relevansinya. Justru, teori ini menjadi bagian penting dalam eklektisisme
pendekatan pembelajaran modern, termasuk dalam desain pembelajaran berbasis
teknologi seperti gamifikasi dan sistem manajemen pembelajaran (learning
management systems) yang masih mengandalkan prinsip penguatan dan
pengulangan.³
Oleh karena itu, memahami teori behavioristik
secara mendalam tidak hanya penting dalam konteks historis dan teoritis, tetapi
juga dalam konteks aplikatif sebagai dasar bagi guru, dosen, maupun pengembang
kurikulum dalam merancang pembelajaran yang efektif dan terukur. Artikel ini
bertujuan untuk mengeksplorasi teori behavioristik secara komprehensif—mulai
dari latar belakang filosofis, tokoh-tokoh utama, konsep inti, hingga
implementasi dan kritik kontemporer—guna memberikan kontribusi terhadap
pengembangan praktik pendidikan yang berbasis teori.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbud, 2016).
[2]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory
and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 129–130.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed.
(Boston: Pearson, 2011), 66–67.
2.
Landasan
Filosofis dan Psikologis Teori Behavioristik
Teori behavioristik tidak muncul dalam kekosongan,
melainkan lahir dari fondasi filsafat empirisme dan psikologi
asosiasi, yang menekankan bahwa semua pengetahuan dan perilaku manusia
berasal dari pengalaman yang dapat diamati. Filsuf Inggris John Locke
(1632–1704) adalah salah satu tokoh awal yang berpengaruh, dengan konsep tabula
rasa—gagasan bahwa pikiran manusia ibarat kertas kosong yang diisi
melalui pengalaman indrawi.¹ Pandangan ini menjadi landasan utama bagi
behaviorisme yang menganggap pembelajaran sebagai respons terhadap stimulus
lingkungan tanpa melibatkan proses mental internal yang tidak dapat diamati.
Secara filosofis, behaviorisme sangat dipengaruhi
oleh aliran positivisme logis, yang mengutamakan data empiris dan
penalaran logis dalam menjelaskan fenomena. Oleh karena itu, behaviorisme
menolak introspeksi dan spekulasi metafisik dalam memahami perilaku manusia,
dan justru menekankan pentingnya pengamatan objektif dan pengukuran perilaku
yang dapat dilihat.² Dalam konteks ini, behaviorisme berpijak pada
pandangan deterministik yang melihat perilaku sebagai hasil dari hubungan
sebab-akibat antara stimulus dan respons.
Secara psikologis, behaviorisme lahir sebagai
reaksi terhadap pendekatan introspektif dalam psikologi strukturalisme dan
fungsionalisme yang dianggap terlalu subjektif. John B. Watson (1878–1958)
menjadi pelopor utama behaviorisme modern dengan makalah terkenalnya tahun 1913
yang berjudul “Psychology as the Behaviorist Views It”, di mana ia
menyatakan bahwa psikologi harus menjadi ilmu yang objektif, bebas dari
subjektivitas, dan hanya mempelajari perilaku yang tampak.³ Ia menolak
eksistensi “kesadaran” sebagai objek kajian psikologi karena tidak dapat
diamati secara ilmiah.
Pandangan Watson kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh tokoh-tokoh seperti Ivan Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F.
Skinner yang masing-masing mengembangkan model pengkondisian klasik dan
operan. Meski pendekatan mereka berbeda, semua sepakat bahwa pembelajaran dapat
dijelaskan tanpa perlu menyentuh aspek-aspek mental seperti pikiran, perasaan,
atau niat. Sebagai gantinya, pembelajaran dianggap terjadi melalui asosiasi
antara stimulus dan respons, yang diperkuat oleh konsekuensi seperti
ganjaran atau hukuman.⁴
Landasan filosofis dan psikologis teori
behavioristik ini memberikan dasar yang kuat bagi desain pembelajaran yang sistematis,
terukur, dan terstruktur, sebagaimana dituntut dalam praktik pendidikan
modern. Bahkan dalam dokumen-dokumen kebijakan pendidikan Indonesia, pendekatan
berbasis perilaku ini masih tampak dalam strategi pembelajaran seperti
penggunaan reward system, penilaian berbasis kompetensi, dan penguatan
kebiasaan positif, sebagaimana tertuang dalam Permendikbudristek No. 16
Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan.⁵
Dengan demikian, behaviorisme tidak hanya
mencerminkan pergulatan filsafat dan psikologi dalam memahami manusia, tetapi
juga menawarkan kontribusi nyata dalam praktik pendidikan, terutama dalam
membentuk perilaku dan keterampilan dasar yang diinginkan melalui metode yang
dapat diuji secara empiris dan diukur secara objektif.
Footnotes
[1]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 33–35.
[2]
Carl G. Hempel, “The Logical Analysis of
Psychology,” American Psychologist 2, no. 1 (1949): 134–136.
[3]
John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist
Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 158–177.
[4]
B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An
Experimental Analysis (New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 17–19.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
3.
Konsep
Dasar Teori Behavioristik
Teori behavioristik
memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat
diamati dan diukur secara objektif, yang terjadi sebagai hasil
dari interaksi antara individu dan lingkungannya.¹ Dalam kerangka ini, perilaku
dipahami sebagai respons terhadap stimulus, dan keberhasilan pembelajaran
ditentukan oleh terbentuknya hubungan yang kuat antara stimulus (S) dan respons
(R). Pendekatan ini menolak keterlibatan proses mental internal seperti
pemahaman, persepsi, atau niat, karena dianggap tidak dapat diamati secara
ilmiah.²
Konsep inti dari
teori behavioristik meliputi:
3.1.
Stimulus–Respons
(S–R)
Konsep paling mendasar
dalam behaviorisme adalah asosiasi antara stimulus dan respons.
Dalam pandangan ini, perilaku manusia terbentuk melalui proses pengkondisian,
yakni ketika individu diberi rangsangan (stimulus), mereka akan memberikan
respons tertentu. Jika respons tersebut diulang dan diperkuat, maka akan
menjadi bagian dari perilaku tetap.³ Misalnya, seorang siswa yang diberi pujian
setiap kali menjawab benar akan cenderung mengulangi perilaku belajar yang sama
untuk mendapatkan hasil serupa.
3.2.
Penguatan
(Reinforcement)
Penguatan
adalah kunci dalam pembentukan dan pemeliharaan perilaku. B.F.
Skinner membedakan dua jenis penguatan dalam teori operant
conditioning:
·
Penguatan
positif: Memberikan stimulus menyenangkan (misalnya hadiah atau
pujian) setelah perilaku yang diinginkan ditunjukkan.
·
Penguatan
negatif: Menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan
(misalnya pengurangan tugas) ketika perilaku yang diinginkan terjadi.⁴
Kedua jenis
penguatan ini digunakan untuk meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku yang sama
akan terjadi kembali di masa depan.
3.3.
Hukuman
(Punishment)
Sebaliknya, hukuman
digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.
Hukuman bisa bersifat positif (menambahkan stimulus yang tidak menyenangkan)
atau negatif (mengambil stimulus yang menyenangkan).⁵ Namun, para ahli
behaviorisme modern memperingatkan bahwa penggunaan hukuman harus hati-hati
karena dapat menimbulkan efek samping seperti ketakutan atau agresi, serta
kurang efektif dalam jangka panjang dibandingkan penguatan.
3.4.
Generalisasi
dan Diskriminasi
Dalam teori
behavioristik, generalisasi terjadi ketika
individu memberikan respons yang sama terhadap stimulus yang mirip dengan
stimulus asli. Sebaliknya, diskriminasi terjadi ketika
individu mampu membedakan stimulus yang berbeda dan merespons secara selektif.⁶
Misalnya, siswa dapat belajar membedakan antara nada suara guru yang
menunjukkan pujian dengan nada yang menunjukkan teguran.
3.5.
Pembelajaran
sebagai Hasil Pengondisian
Behaviorisme
mengenal dua jenis pengondisian utama:
·
Pengondisian
klasik (classical conditioning) yang diperkenalkan
oleh Ivan Pavlov, yaitu asosiasi stimulus netral dengan stimulus yang bermakna
hingga stimulus netral memunculkan respons yang sama.⁷
·
Pengondisian
operan (operant conditioning) dari B.F. Skinner, yaitu
pembelajaran yang terjadi karena konsekuensi dari suatu tindakan (penguatan
atau hukuman).⁸
Kedua pendekatan ini
berperan penting dalam menjelaskan bagaimana kebiasaan belajar terbentuk
melalui pengulangan dan konsekuensi.
Implikasi Konseptual bagi Pendidikan
Konsep-konsep dasar
teori behavioristik banyak diadopsi dalam model pembelajaran langsung, latihan
berulang (drill and practice), dan strategi
manajemen kelas berbasis reward and punishment. Dalam kurikulum
nasional, pendekatan ini dapat terlihat dalam penekanan pada kompetensi
dasar dan indikator ketercapaian, yang mengarah pada perilaku
terukur sesuai standar. Hal ini selaras dengan pendekatan pembelajaran berbasis
hasil belajar (outcome-based education) yang
diatur dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang
Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.⁹
Dengan demikian,
konsep-konsep utama dalam teori behavioristik memberikan dasar yang kuat untuk
praktik pembelajaran yang terukur, sistematis, dan berbasis perilaku,
sekaligus memudahkan guru dalam merancang strategi pengajaran yang konkret dan
dapat dievaluasi secara langsung.
Footnotes
[1]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 122.
[2]
John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological
Review 20, no. 2 (1913): 158–159.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson,
2011), 30–32.
[4]
B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis
(New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 35–38.
[5]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 256.
[6]
Ormrod, Human Learning, 42–43.
[7]
Ivan P. Pavlov, Conditioned Reflexes (London: Oxford
University Press, 1927), 26–30.
[8]
Skinner, The Behavior of Organisms, 41–43.
[9]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
4.
Tokoh-Tokoh
Utama dan Sumbangsihnya
Teori behavioristik
dikembangkan melalui kontribusi sejumlah tokoh besar dalam sejarah psikologi,
yang masing-masing memperluas dan memperdalam pemahaman tentang bagaimana
manusia belajar melalui asosiasi, penguatan, dan respons terhadap lingkungan.
Tokoh-tokoh ini tidak hanya berperan dalam membentuk teori behavioristik secara
konseptual, tetapi juga memberikan kontribusi praktis terhadap pendidikan
melalui model-model pembelajaran yang terukur dan berbasis empiris.
4.1.
John
B. Watson (1878–1958): Perintis Behaviorisme Radikal
Watson merupakan
tokoh pertama yang secara eksplisit menyatakan bahwa psikologi seharusnya hanya
mempelajari perilaku yang dapat diamati,
bukan proses mental yang bersifat subjektif. Dalam artikelnya yang terkenal, “Psychology
as the Behaviorist Views It” (1913), ia mendeklarasikan bahwa
psikologi adalah cabang eksperimental alamiah yang bertujuan mengontrol
dan meramalkan perilaku.¹
Eksperimen
terkenalnya bersama Rosalie Rayner terhadap bayi “Little Albert” menunjukkan
bahwa ketakutan
dapat dikondisikan melalui asosiasi stimulus netral dengan
stimulus menakutkan.² Temuan ini menggarisbawahi pentingnya lingkungan dalam
membentuk respons emosional dan perilaku anak, dan menjadi dasar bagi pendekatan
behavioristik dalam pendidikan, terutama dalam membentuk kebiasaan dan respons
tertentu.
4.2.
Ivan
Petrovich Pavlov (1849–1936): Teori Pengondisian Klasik
Pavlov, seorang ahli
fisiologi Rusia, dikenal melalui eksperimen tentang refleks
bersyarat pada anjing, yang kemudian melahirkan konsep pengondisian
klasik. Dalam eksperimennya, Pavlov menunjukkan bahwa anjing
dapat dilatih untuk mengeluarkan air liur (respons) terhadap bunyi bel
(stimulus netral) yang dikaitkan secara berulang dengan pemberian makanan
(stimulus tak bersyarat).³
Konsep ini
memperlihatkan bahwa asosiasi sederhana antara dua stimulus
dapat menghasilkan respons baru, yang menjadi dasar dalam pengondisian perilaku
manusia. Dalam pendidikan, prinsip pengondisian klasik dapat diterapkan untuk
menciptakan asosiasi positif terhadap belajar,
seperti menciptakan suasana kelas yang menyenangkan agar siswa senang belajar.
4.3.
Edward
L. Thorndike (1874–1949): Hukum Efek dan Penguatan
Thorndike
mengembangkan pendekatan behavioristik melalui konsep “Law of
Effect”, yaitu bahwa perilaku yang diikuti oleh hasil yang
menyenangkan cenderung diulangi, sedangkan perilaku yang diikuti oleh hasil
yang tidak menyenangkan cenderung tidak diulangi.⁴
Melalui eksperimen
dengan kucing dalam puzzle box, ia menunjukkan bahwa perilaku
belajar berkembang secara bertahap melalui proses trial and error.
Sumbangsihnya sangat besar dalam pendidikan karena ia menekankan pentingnya latihan
dan penguatan dalam memperkuat koneksi antara stimulus dan
respons. Thorndike juga dikenal sebagai pelopor dalam mengembangkan pengukuran
hasil belajar, yang selaras dengan prinsip pendidikan berbasis
capaian (outcome-based education) dalam regulasi pendidikan modern.⁵
4.4.
B.F.
Skinner (1904–1990): Pengondisian Operan dan Teknologi Pembelajaran
Skinner merupakan
tokoh paling berpengaruh dalam behaviorisme modern. Ia memperluas teori
pengondisian klasik dengan mengenalkan pengondisian operan, di mana
perilaku ditentukan oleh konsekuensinya.⁶ Melalui eksperimen dengan hewan dalam
Skinner
Box, ia membuktikan bahwa perilaku yang diberi penguatan
positif atau negatif akan cenderung berulang, sedangkan
perilaku yang tidak diperkuat akan punah.
Skinner menekankan
pentingnya reinforcement schedule (jadwal
penguatan) dalam membentuk perilaku secara efektif. Ia juga memperkenalkan
konsep “teaching
machine” dan programmed instruction, yang
menjadi cikal bakal pembelajaran berbasis teknologi.⁷ Dalam praktik pendidikan,
ide Skinner sangat berpengaruh terhadap pengembangan strategi pembelajaran
seperti penilaian bertingkat, token economy, dan sistem
reward yang masih banyak digunakan hingga saat ini.
Implikasi Bagi Dunia Pendidikan
Kontribusi keempat
tokoh tersebut membentuk landasan kuat bagi praktik pembelajaran
berbasis perilaku, yang menekankan pentingnya:
·
Tujuan pembelajaran yang
spesifik dan terukur,
·
Penguatan positif dalam
meningkatkan motivasi belajar,
·
Lingkungan belajar yang
dikondisikan untuk mendukung perilaku yang diinginkan.
Penerapan
prinsip-prinsip ini terlihat dalam kebijakan pendidikan nasional, seperti dalam
Permendikbudristek
No. 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan, yang
menekankan pentingnya strategi pembelajaran yang aktif, terencana, dan mengarah
pada perubahan perilaku siswa secara terukur.⁸
Footnotes
[1]
John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological
Review 20, no. 2 (1913): 158–177.
[2]
John B. Watson and Rosalie Rayner, “Conditioned Emotional Reactions,” Journal
of Experimental Psychology 3, no. 1 (1920): 1–14.
[3]
Ivan P. Pavlov, Conditioned Reflexes (London: Oxford
University Press, 1927), 26–30.
[4]
Edward L. Thorndike, Animal Intelligence: Experimental Studies
(New York: Macmillan, 1911), 244–250.
[5]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 133–134.
[6]
B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis
(New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 35–42.
[7]
B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no.
3330 (1958): 969–977.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022).
5.
Penerapan
Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Teori behavioristik
telah memberikan kontribusi signifikan terhadap praktik pembelajaran, khususnya
dalam merancang strategi yang terukur, sistematis, dan berorientasi pada
hasil yang tampak. Dengan pendekatan yang menekankan pentingnya
penguatan,
stimulus-respons, serta kontrol terhadap lingkungan belajar,
teori ini sangat berguna dalam membentuk kebiasaan, keterampilan dasar, dan perilaku
yang diinginkan pada peserta didik.
5.1.
Strategi
Pembelajaran Berbasis Behavioristik
Salah satu penerapan
utama teori ini dalam kelas adalah penggunaan strategi yang berbasis latihan
dan pengulangan (drill and practice). Strategi ini efektif
untuk penguasaan materi yang bersifat mekanis, seperti menghafal kosakata,
rumus matematika, atau keterampilan motorik dasar.¹ Dalam konteks ini, siswa
secara berulang-ulang diberikan stimulus berupa soal atau tugas, dan respons
yang benar diperkuat melalui pujian, nilai, atau hadiah.
Selain itu,
behaviorisme juga digunakan dalam pembelajaran langsung (direct instruction),
yaitu pendekatan yang menekankan penyampaian informasi secara eksplisit,
terstruktur, dan bertahap oleh guru.² Guru menyampaikan tujuan
pembelajaran, memberikan contoh, melakukan latihan bersama, lalu mengevaluasi
hasilnya secara langsung. Model ini sesuai dengan prinsip behavioristik karena
memungkinkan guru mengendalikan stimulus,
mengamati respons, dan memberikan penguatan secara cepat dan tepat.
5.2.
Penguatan
dalam Proses Belajar
Penguatan adalah
inti dari penerapan behavioristik. Dalam praktiknya, guru dapat menerapkan:
·
Penguatan
positif, seperti pujian verbal (“bagus, kamu hebat!”),
penghargaan simbolik (bintang, poin), atau hadiah konkret (alat tulis, waktu
bermain).
·
Penguatan
negatif, seperti membebaskan dari tugas tambahan jika siswa
menyelesaikan tugas lebih awal atau menunjukkan perilaku baik.³
Di sisi lain, hukuman
juga kadang digunakan untuk menekan perilaku yang tidak diinginkan, namun dalam
pendidikan modern, hukuman fisik dan verbal cenderung dihindari. Sebagai
gantinya, guru menerapkan hukuman edukatif yang bersifat membangun, seperti kehilangan
poin atau refleksi tertulis atas perilaku
yang menyimpang.⁴
5.3.
Pengelolaan
Kelas dengan Prinsip Behavioristik
Pengelolaan kelas
berbasis behaviorisme menekankan penguatan perilaku positif dan kontrol terhadap
stimulus lingkungan. Guru dapat mengatur pengaturan
tempat duduk, suasana ruang kelas, aturan
yang jelas, dan konsekuensi yang konsisten
untuk mendorong perilaku yang diharapkan.⁵
Salah satu contoh
implementasi yang sangat populer adalah token economy system, di mana
siswa mendapatkan token setiap kali menunjukkan perilaku baik, dan token
tersebut dapat ditukar dengan hadiah. Sistem ini terbukti efektif terutama pada
pendidikan anak usia dini dan pendidikan inklusi.
5.4.
Penerapan
dalam Teknologi Pembelajaran
Dalam era digital,
prinsip behavioristik banyak digunakan dalam media pembelajaran berbasis teknologi,
seperti e-learning, aplikasi kuis, dan sistem manajemen
pembelajaran (LMS). Program seperti Kahoot, Quizizz, dan Duolingo
menggunakan feedback langsung, reward digital, dan level up
system yang merupakan turunan dari prinsip penguatan
behavioristik.⁶
Pendekatan ini
sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional, yang mendorong penggunaan teknologi
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, sebagaimana tercantum
dalam Permendikbudristek
No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang
Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, yang
mengedepankan model pembelajaran berbasis kompetensi dan partisipatif.⁷
5.5.
Relevansi
dalam Penilaian Berbasis Kompetensi
Teori behavioristik
juga mendasari sistem penilaian formatif dan sumatif
yang berbasis pada capaian perilaku yang dapat diukur. Dalam Kurikulum Merdeka,
misalnya, capaian pembelajaran dirancang untuk mengukur indikator
kinerja peserta didik secara konkret, dan guru didorong untuk memberikan
umpan balik dan penguatan untuk membantu siswa mencapai level
kompetensi tertentu.⁸
Dengan demikian,
teori behavioristik tetap relevan dan aplikatif dalam pendidikan kontemporer,
terutama dalam pembentukan perilaku, pengembangan keterampilan dasar, serta
integrasi teknologi dalam pembelajaran. Strategi-strategi yang dikembangkan
dari teori ini memungkinkan guru untuk merancang proses belajar yang terstruktur,
efektif, dan berorientasi pada hasil nyata, sekaligus membangun
motivasi siswa melalui penguatan yang tepat.
Footnotes
[1]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 135–137.
[2]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 300–302.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson,
2011), 45–47.
[4]
Carol S. Weinstein and Ingrid Novodvorsky, Middle and Secondary
Classroom Management: Lessons from Research and Practice, 5th ed. (New
York: McGraw-Hill, 2015), 89–91.
[5]
Paul Eggen and Don Kauchak, Educational Psychology: Windows on
Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013), 270–275.
[6]
B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no.
3330 (1958): 969–977.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang
Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2024).
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 33–35.
6.
Kelebihan
dan Keterbatasan Teori Behavioristik
Sebagai salah satu
teori pembelajaran paling awal dan berpengaruh, teori behavioristik memiliki
kekuatan dalam menjelaskan dan mengarahkan proses pembelajaran, khususnya dalam
konteks perubahan perilaku yang terukur. Namun, teori ini juga mengandung
sejumlah keterbatasan konseptual dan praktis,
terutama ketika dihadapkan pada pembelajaran kompleks yang melibatkan proses
mental tingkat tinggi. Evaluasi terhadap kelebihan dan keterbatasan ini sangat
penting agar teori behavioristik dapat ditempatkan secara proporsional dalam
praktik pendidikan masa kini.
6.1.
Kelebihan
Teori Behavioristik
1)
Mudah Diterapkan dalam
Praktik Pembelajaran
Teori ini menyediakan prinsip-prinsip konkret dan
sederhana dalam merancang kegiatan belajar-mengajar, seperti penggunaan penguatan,
pengulangan, dan hukuman. Pendekatan ini memudahkan guru dalam
merancang strategi pembelajaran yang sistematis, khususnya pada
jenjang pendidikan dasar.¹
2)
Berorientasi pada
Perilaku yang Terukur
Behaviorisme menekankan pada indikator
perilaku yang dapat diamati dan diukur secara objektif, sesuai
dengan prinsip evaluasi pembelajaran dalam standar proses pendidikan nasional.
Hal ini sangat relevan dengan pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi yang
diatur dalam Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022
tentang Standar Proses Pendidikan.²
3)
Efektif untuk Membangun
Kebiasaan dan Keterampilan Dasar
Dalam fase-fase awal belajar, teori ini terbukti
efektif untuk menanamkan kebiasaan baik, seperti
disiplin, ketertiban, dan keterampilan motorik. Contoh nyata
penerapannya dapat dilihat dalam penggunaan token economy system
di kelas PAUD atau program reward di kelas SD.³
4)
Mendukung Pengembangan
Sistem Pembelajaran Digital dan Adaptif
Konsep penguatan behavioristik banyak digunakan
dalam desain aplikasi pembelajaran,
seperti Duolingo, Quizizz, dan Kahoot, yang
memberikan umpan balik langsung dan penghargaan
digital untuk memperkuat respons siswa.⁴
6.2.
Keterbatasan
Teori Behavioristik
1)
Mengabaikan Proses
Mental Internal
Salah satu kritik utama terhadap behaviorisme
adalah penolakannya terhadap proses kognitif
internal seperti berpikir, memahami, mengingat, dan bernalar.⁵
Dalam pembelajaran kompleks, terutama di jenjang menengah dan tinggi, teori ini
dianggap kurang mampu menjelaskan bagaimana
pemahaman dan konstruksi makna terbentuk dalam diri peserta
didik.
2)
Pendekatan Mekanistik
terhadap Manusia
Behaviorisme melihat individu sebagai “mesin
respons” terhadap stimulus, dan cenderung mengabaikan aspek
kehendak bebas, motivasi intrinsik, serta nilai-nilai sosial dan emosional
dalam pembelajaran. Hal ini membuat pendekatan behavioristik menjadi terlalu
reduksionistik.⁶
3)
Efektivitas Jangka
Panjang Terbatas
Penguatan eksternal seperti hadiah dan pujian
memang efektif dalam jangka pendek, tetapi tidak selalu membangun
motivasi belajar yang bersifat intrinsik. Akibatnya, siswa
cenderung belajar hanya demi mendapatkan ganjaran, bukan karena kesadaran akan
pentingnya ilmu.⁷
4)
Kurang Kontekstual dan
Kultural
Behaviorisme cenderung mengabaikan
konteks sosial, budaya, dan pengalaman personal peserta didik.
Dalam pendidikan modern yang mengedepankan pendekatan humanistik
dan kontekstual, behaviorisme dinilai kurang fleksibel dan
tidak responsif terhadap keragaman peserta didik.⁸
Implikasi dalam Pengembangan Pembelajaran
Memahami kelebihan
dan keterbatasan ini memungkinkan pendidik untuk mengintegrasikan
behaviorisme secara bijak dalam praktik pembelajaran. Misalnya,
prinsip-prinsip penguatan dan kontrol lingkungan dapat digunakan pada tahap
awal pembelajaran atau untuk pembentukan kebiasaan, sementara pada tahap
lanjut, teori ini dapat digabungkan dengan pendekatan kognitif,
konstruktivis, atau humanistik untuk menciptakan pembelajaran
yang lebih menyeluruh dan bermakna.
Kebijakan pendidikan
Indonesia sendiri menekankan pendekatan holistik dan berpusat pada peserta didik,
seperti yang tercantum dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang
Kurikulum Merdeka, yang mendorong eksplorasi beragam teori
belajar sesuai dengan karakteristik materi dan kebutuhan siswa.⁹
Footnotes
[1]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 132–134.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022).
[3]
Paul Eggen and Don Kauchak, Educational Psychology: Windows on
Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013), 278.
[4]
B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no.
3330 (1958): 969–977.
[5]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson,
2011), 48–50.
[6]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 258–259.
[7]
Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality,
and Development (Philadelphia: Psychology Press, 2000), 89.
[8]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes (Cambridge: Harvard University Press, 1978),
84–87.
[9]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang
Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2024).
7.
Kritik
dan Perkembangan Teori Lanjutan
Seiring
berkembangnya ilmu psikologi dan pendidikan, teori behavioristik mendapat banyak kritik
yang memicu lahirnya teori-teori pembelajaran baru yang lebih holistik dan
kontekstual. Kritik terhadap behaviorisme umumnya diarahkan pada asumsi
reduksionistiknya terhadap proses belajar, yang dianggap
terlalu menyederhanakan kompleksitas manusia hanya dalam hubungan stimulus dan
respons. Hal ini mendorong munculnya pendekatan kognitif, konstruktivis, humanistik, dan
sosial-kultural sebagai respons teoretis dan pedagogis yang
lebih komprehensif.
7.1.
Kritik
Terhadap Behaviorisme
1)
Mengabaikan Proses
Mental Internal
Tokoh-tokoh seperti Jean
Piaget dan Jerome Bruner mengkritik
behaviorisme karena tidak mempertimbangkan proses mental yang
terjadi antara stimulus dan respons, seperti persepsi, atensi,
pemahaman, dan pemrosesan informasi.¹ Piaget menekankan bahwa anak membangun
pengetahuan secara aktif melalui interaksi dengan lingkungannya, bukan sekadar
hasil dari penguatan eksternal.
2)
Keterbatasan dalam
Memfasilitasi Pembelajaran Bermakna
Behaviorisme hanya cocok untuk keterampilan
dasar dan kebiasaan mekanistik, tetapi gagal menjelaskan pembelajaran
kompleks yang memerlukan pemahaman konsep, pemecahan masalah, dan berpikir
kritis.² Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang menuntut kompetensi
berpikir tingkat tinggi (HOTS), behaviorisme dinilai tidak
cukup mendukung pengembangan capaian tersebut.
3)
Motivasi Eksternal yang
Tidak Berkelanjutan
Para ahli seperti Edward Deci
dan Richard Ryan dari teori Self-Determination
Theory (SDT) menilai bahwa penguatan eksternal yang menjadi
inti behaviorisme dapat menghambat motivasi intrinsik
peserta didik.³ Jika siswa terlalu bergantung pada hadiah atau hukuman, maka
dorongan untuk belajar secara mandiri dan reflektif akan melemah.
4)
Kurang Responsif
terhadap Konteks Sosial dan Budaya
Behaviorisme cenderung mengabaikan konteks
sosial, budaya, dan emosi dalam pembelajaran. Tokoh seperti Lev
Vygotsky menunjukkan bahwa proses belajar juga sangat
dipengaruhi oleh interaksi sosial, bahasa, dan budaya,
yang sama sekali tidak dibahas dalam kerangka behavioristik.⁴
7.2.
Perkembangan
Teori Lanjutan sebagai Respons
1)
Teori Kognitif
Muncul pada pertengahan abad ke-20, teori ini
memandang manusia sebagai pemroses aktif informasi,
bukan sekadar penerima stimulus. Tokoh seperti Robert Gagné
dan David Ausubel menekankan pemrosesan
informasi, organisasi pengetahuan, dan struktur kognitif dalam
pembelajaran.⁵ Gagné bahkan menyusun taksonomi hasil belajar yang mengintegrasikan
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2)
Teori Konstruktivis
Dikembangkan oleh Piaget dan Vygotsky, pendekatan
ini melihat belajar sebagai proses konstruksi makna secara
aktif, bukan hasil dari respon terhadap stimulus.
Konstruktivisme menekankan pentingnya pengalaman, skemata, dan keterlibatan
sosial dalam pembelajaran.⁶
3)
Teori Pembelajaran
Sosial
Albert Bandura
memperkenalkan teori belajar sosial (social learning
theory) yang menggabungkan prinsip behavioristik dengan proses
observasi dan imitasi. Konsep modeling, self-efficacy,
dan penguatan vikarius menjembatani kekosongan
antara behaviorisme dan kognitivisme.⁷
4)
Pendekatan Humanistik
Tokoh seperti Carl Rogers
dan Abraham Maslow menekankan peran
emosi, kebutuhan dasar, dan aktualisasi diri dalam
pembelajaran. Pendekatan ini melihat manusia sebagai makhluk yang memiliki
potensi untuk berkembang, bukan sekadar objek penguatan.⁸
7.3.
Posisi
Behaviorisme dalam Pendidikan Kontemporer
Meskipun banyak
dikritik, teori behavioristik belum sepenuhnya ditinggalkan.
Justru, pendekatan ini sering digunakan secara eklektik, dikombinasikan dengan
teori-teori lain sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Dalam regulasi
nasional, seperti Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022,
prinsip penguatan dan pembelajaran terstruktur masih tercermin dalam desain
pembelajaran aktif dan diferensiasi.⁹
Di era digital,
behaviorisme tetap relevan melalui desain pembelajaran adaptif, game-based
learning, dan assessment berbasis penguatan,
yang banyak diterapkan dalam aplikasi dan platform belajar daring. Oleh karena
itu, behaviorisme tidak lagi berdiri sendiri sebagai paradigma tunggal,
melainkan sebagai bagian dari mosaik teori pembelajaran yang
saling melengkapi dalam praktik pendidikan modern.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New
York: International Universities Press, 1952), 9–10.
[2]
Jerome Bruner, The Process of Education (Cambridge: Harvard
University Press, 1960), 72.
[3]
Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and
Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum, 1985), 42–47.
[4]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes (Cambridge: Harvard University Press, 1978),
88–90.
[5]
Robert M. Gagné, The Conditions of Learning and Theory of Instruction,
4th ed. (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), 3–5.
[6]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View
(New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 147–149.
[7]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs:
Prentice Hall, 1977), 22–24.
[8]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Columbus: Merrill
Publishing Company, 1994), 37–41.
[9]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022).
8.
Relevansi
Teori Behavioristik dalam Pendidikan Abad ke-21
Meskipun telah
banyak muncul teori-teori pembelajaran baru yang lebih kompleks dan integratif,
teori
behavioristik tetap memiliki relevansi signifikan dalam praktik pendidikan abad
ke-21, terutama dalam konteks pembelajaran berbasis teknologi,
pendidikan karakter, manajemen kelas, dan pendekatan pedagogis yang menuntut
perubahan perilaku terukur. Di tengah era yang ditandai oleh percepatan
informasi dan digitalisasi pembelajaran, prinsip-prinsip behaviorisme justru
menemukan bentuk penerapan baru yang lebih kontekstual dan fungsional.
8.1.
Peran
Behaviorisme dalam Penguatan Pembelajaran Berbasis Teknologi
Transformasi
pendidikan menuju era digital membuat teori behavioristik semakin relevan,
khususnya dalam pengembangan pembelajaran daring (online learning)
dan aplikasi
pembelajaran berbasis gamifikasi. Banyak platform digital
seperti Kahoot!,
Quizizz,
Duolingo,
dan Edmodo
mengandalkan prinsip penguatan (reinforcement) dan umpan
balik instan untuk mendorong keterlibatan siswa.¹ Konsep reward
(poin, lencana, badge), hukuman (pengurangan skor), dan pengulangan (drill)
dalam aplikasi tersebut adalah manifestasi langsung dari prinsip behavioristik.
Sebagaimana
ditegaskan dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang
Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang
Pendidikan Menengah, pembelajaran abad ke-21 harus mendorong
pemanfaatan teknologi informasi untuk menciptakan pembelajaran yang adaptif,
menarik, dan sesuai dengan perkembangan zaman.² Behaviorisme memberikan dasar
teoretis untuk mengembangkan sistem pembelajaran digital yang bersifat terstruktur
dan responsif terhadap perilaku peserta didik.
8.2.
Relevansi
dalam Pembentukan Karakter dan Disiplin Positif
Dalam pendidikan
karakter dan penguatan nilai-nilai moral, teori behavioristik juga tetap
relevan. Pembentukan kebiasaan baik (habit formation),
seperti disiplin, tanggung jawab, dan kebiasaan belajar mandiri, dapat
dilakukan melalui pendekatan penguatan perilaku positif.³ Strategi seperti token
economy, kontrak perilaku, dan pemberian
penghargaan terukur merupakan bagian dari implementasi
behaviorisme dalam mendidik perilaku positif, terutama pada pendidikan anak
usia dini dan dasar.
Prinsip ini juga
diperkuat dalam kebijakan pendidikan karakter nasional yang tercermin dalam Permendikbud
No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang
mendorong guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang konsisten dalam
memberikan penguatan dan teladan positif.⁴
8.3.
Efektivitas
dalam Evaluasi Berbasis Kompetensi
Behaviorisme juga
mendukung pendekatan penilaian formatif dan sumatif
yang berbasis pada pengamatan terhadap perilaku belajar yang nyata dan terukur.
Kurikulum Merdeka, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang
Standar Isi, menekankan pentingnya capaian pembelajaran yang
dapat diukur melalui indikator perilaku.⁵ Dalam praktiknya, teori behavioristik
menyediakan alat konseptual bagi guru untuk merancang rubrik
penilaian, checklists, dan prosedur penguatan berbasis hasil belajar.
8.4.
Integrasi
Behaviorisme dalam Model Pembelajaran Hybrid dan Adaptif
Dalam konteks blended
learning dan hybrid learning, behaviorisme
membantu merancang alur pembelajaran yang jelas dan bertahap,
memungkinkan sistem pembelajaran adaptif (adaptive learning)
memberikan materi berdasarkan respons peserta didik sebelumnya.
Platform-platform ini menggunakan algoritma yang secara implisit mengadopsi
prinsip behavioristik: respons siswa terhadap satu kegiatan menentukan stimulus
berikutnya.⁶
Dengan demikian,
behaviorisme menjadi pondasi penting dalam membangun sistem
kecerdasan buatan (AI) dan analitik pembelajaran (learning analytics)
yang kini digunakan untuk mempersonalisasi pembelajaran secara lebih efektif.
8.5.
Posisi
Behaviorisme dalam Pendekatan Eklektik Pendidikan Kontemporer
Pendidikan abad
ke-21 menghendaki pendekatan yang fleksibel dan integratif. Di sinilah teori
behavioristik memainkan peran sebagai komponen dalam pendekatan eklektik,
bukan sebagai teori tunggal. Bersama dengan teori kognitif, konstruktivis, dan
humanistik, behaviorisme memperkaya strategi pembelajaran yang dapat disesuaikan
dengan tujuan pembelajaran, karakteristik siswa, dan konteks sosial budaya.
Dalam hal ini,
behaviorisme tidak ditinggalkan, melainkan digunakan secara selektif untuk tujuan-tujuan
instruksional yang menuntut presisi, disiplin, dan hasil perilaku yang terukur,
seperti pelatihan vokasional, pembelajaran berbasis simulasi, dan pelatihan
berbasis prosedur (procedural learning).⁷
Kesimpulan Sementara
Behaviorisme tetap
memiliki daya guna dan relevansi dalam pendidikan modern,
khususnya ketika dikombinasikan secara bijak dengan teori lain. Di era pendidikan
digital, prinsip behavioristik menjadi landasan dalam merancang sistem
pembelajaran yang responsif, objektif, dan adaptif terhadap
perilaku peserta didik, selaras dengan kebutuhan pendidikan
masa kini yang menuntut efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas.
Footnotes
[1]
B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no.
3330 (1958): 969–977.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang
Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2024).
[3]
Paul Eggen and Don Kauchak, Educational Psychology: Windows on
Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013), 279.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti (Jakarta: Kemendikbud, 2015).
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
[6]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson,
2011), 452–454.
[7]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
11th ed. (Boston: Pearson, 2012), 142–144.
9.
Kesimpulan
Teori behavioristik merupakan salah satu tonggak
awal dalam perkembangan teori belajar yang memberikan kontribusi besar dalam
menjelaskan bagaimana perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan melalui
stimulus dan respons. Sebagai pendekatan yang empiris dan terukur,
behaviorisme menekankan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku yang
dapat diamati, yang diperkuat melalui penguatan (reinforcement) atau
dikendalikan melalui hukuman (punishment).¹ Prinsip-prinsip inilah yang
menjadi fondasi dari banyak strategi pembelajaran dasar, terutama dalam konteks
pengajaran yang bersifat prosedural, repetitif, dan berbasis kompetensi.
Kontribusi tokoh-tokoh besar seperti John B.
Watson, Ivan Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F. Skinner
telah memperkaya pemahaman tentang mekanisme belajar dari sudut pandang
perilaku.² Mereka tidak hanya merumuskan teori-teori pengondisian, tetapi juga
menginspirasi praktik pengajaran yang terstruktur, sistematis, dan mudah
diterapkan dalam konteks pendidikan formal.³ Dalam pendidikan Indonesia
sendiri, prinsip-prinsip behavioristik tercermin dalam berbagai kebijakan
pendidikan, seperti Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022 tentang Standar
Proses Pendidikan dan Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang
Standar Isi, yang menekankan pentingnya pembelajaran aktif dan penguatan
capaian pembelajaran.⁴
Meski demikian, kritik terhadap behaviorisme
tidak dapat diabaikan. Teori ini dianggap terlalu menyederhanakan proses
belajar, mengabaikan dimensi kognitif, afektif, dan sosial-budaya yang juga
penting dalam pengembangan diri peserta didik secara menyeluruh.⁵ Lahirnya
teori-teori lanjutan seperti kognitivisme, konstruktivisme, humanisme, dan
teori belajar sosial menjadi bukti bahwa behaviorisme tidak mampu menjawab
seluruh kompleksitas pembelajaran modern secara tunggal.⁶
Namun demikian, di tengah arus digitalisasi dan
pembelajaran berbasis teknologi, behaviorisme mengalami revitalisasi dalam
bentuk baru. Prinsip-prinsip seperti penguatan langsung, pengulangan
adaptif, dan evaluasi berbasis respons menjadi dasar bagi pengembangan
sistem e-learning, gamifikasi, dan machine-based learning yang digunakan
secara luas di era abad ke-21.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa behaviorisme tetap
memiliki nilai praktis dan fungsional, terutama bila digunakan secara
selektif dan dikombinasikan dengan pendekatan lain yang lebih menyeluruh dan
kontekstual.
Dengan demikian, teori behavioristik bukanlah
pendekatan usang, melainkan teori dasar yang terus berevolusi dan
berkontribusi dalam ekosistem pendidikan kontemporer. Pemahaman yang
proporsional terhadap kelebihan dan keterbatasannya memungkinkan para pendidik
untuk mengintegrasikan prinsip behaviorisme secara strategis dalam
mendesain pembelajaran yang adaptif, efektif, dan bermakna. Di tangan pendidik
yang reflektif dan kreatif, teori ini dapat terus menjadi alat pedagogis yang
relevan dalam menjawab tantangan pendidikan abad ke-21.
Footnotes
[1]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory
and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 122–124.
[2]
John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist
Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 158–177; Ivan P.
Pavlov, Conditioned Reflexes (London: Oxford University Press, 1927);
Edward L. Thorndike, Animal Intelligence (New York: Macmillan, 1911);
B.F. Skinner, The Behavior of Organisms (New York:
Appleton-Century-Crofts, 1938).
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed.
(Boston: Pearson, 2011), 42–46.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022); Permendikbudristek Nomor 21 Tahun 2022
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022).
[5]
Jerome Bruner, The Process of Education
(Cambridge: Harvard University Press, 1960), 67–68.
[6]
Albert Bandura, Social Learning Theory
(Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1977); Lev Vygotsky, Mind in Society
(Cambridge: Harvard University Press, 1978); Carl R. Rogers, Freedom to
Learn, 3rd ed. (Columbus: Merrill Publishing Company, 1994).
[7]
B.F. Skinner, Teaching Machines, Science
128, no. 3330 (1958): 969–977; Paul Eggen and Don Kauchak, Educational
Psychology: Windows on Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013),
279–281.
Daftar Pustaka
Bandura, A. (1977). Social learning theory.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Bruner, J. S. (1960). The process of education.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic
motivation and self-determination in human behavior. New York, NY: Plenum.
Eggen, P., & Kauchak, D. (2013). Educational
psychology: Windows on classrooms (9th ed.). Boston, MA: Pearson.
Gagné, R. M. (1985). The conditions of learning
and theory of instruction (4th ed.). New York, NY: Holt, Rinehart and
Winston.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Jakarta:
Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2024). Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada
Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan
Menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.
Ormrod, J. E. (2011). Human learning (6th
ed.). Boston, MA: Pearson.
Pavlov, I. P. (1927). Conditioned reflexes.
London, UK: Oxford University Press.
Piaget, J. (1952). The origins of intelligence
in children. New York, NY: International Universities Press.
Rogers, C. R. (1994). Freedom to learn (3rd
ed.). Columbus, OH: Merrill Publishing Company.
Skinner, B. F. (1938). The behavior of
organisms: An experimental analysis. New York, NY: Appleton-Century-Crofts.
Skinner, B. F. (1958). Teaching machines. Science,
128(3330), 969–977. https://doi.org/10.1126/science.128.3330.969
Slavin, R. E. (2012). Educational psychology:
Theory and practice (11th ed.). Boston, MA: Pearson Education.
Thorndike, E. L. (1911). Animal intelligence:
Experimental studies. New York, NY: Macmillan.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Watson, J. B. (1913). Psychology as the behaviorist
views it. Psychological Review, 20(2), 158–177. https://doi.org/10.1037/h0074428
Watson, J. B., & Rayner, R. (1920). Conditioned
emotional reactions. Journal of Experimental Psychology, 3(1), 1–14. https://doi.org/10.1037/h0069608
Woolfolk, A. (2016). Educational psychology
(13th ed.). Boston, MA: Pearson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar