Kamis, 29 Mei 2025

Teori Behavioristik dalam Belajar: Fondasi, Konsep, Tokoh, dan Relevansi di Era Pendidikan Modern

Teori Behavioristik dalam Belajar

Fondasi, Konsep, Tokoh, dan Relevansi di Era Pendidikan Modern


Alihkan ke: Teori Belajar dan Pembelajaran.


Abstrak

Artikel ini membahas teori behavioristik sebagai salah satu fondasi utama dalam kajian teori belajar dan pembelajaran. Teori ini memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai hasil dari interaksi antara stimulus dan respons, serta dipengaruhi oleh penguatan atau hukuman. Melalui pembahasan yang sistematis, artikel ini mengeksplorasi landasan filosofis dan psikologis behaviorisme, kontribusi tokoh-tokoh kunci seperti John B. Watson, Ivan Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F. Skinner, serta konsep inti seperti pengondisian klasik dan operan, penguatan, dan pembelajaran mekanistik. Ditekankan pula penerapan teori ini dalam konteks pembelajaran konvensional dan digital, termasuk dalam strategi pengajaran berbasis teknologi dan penguatan perilaku. Selain menyoroti keunggulan behaviorisme dalam membentuk kebiasaan dan evaluasi perilaku, artikel ini juga menguraikan kritik dari pendekatan kognitif, konstruktivis, dan humanistik. Artikel ini kemudian menegaskan bahwa meskipun memiliki keterbatasan, teori behavioristik tetap relevan dalam pendidikan abad ke-21, terutama sebagai komponen dalam pendekatan pembelajaran eklektik yang adaptif, terukur, dan terstruktur sesuai dengan regulasi pendidikan nasional Indonesia.

Kata Kunci: Teori behavioristik, pembelajaran, penguatan, stimulus-respons, pengondisian, Watson, Skinner, pembelajaran digital, pendidikan abad ke-21, regulasi pendidikan Indonesia.


PEMBAHASAN

Teori Behavioristik dalam Pembelajaran


1.           Pendahuluan

Teori belajar merupakan fondasi utama dalam dunia pendidikan karena berfungsi sebagai landasan konseptual dalam merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Salah satu pendekatan awal yang berpengaruh besar dalam perkembangan teori belajar adalah teori behavioristik, yang berfokus pada perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai hasil dari pengalaman. Pendekatan ini memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik pendidikan, terutama pada abad ke-20, dengan menekankan bahwa belajar terjadi ketika seseorang merespons rangsangan dari lingkungan dan perilaku tersebut diperkuat melalui penguatan atau hukuman.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, pemahaman tentang teori belajar, termasuk behaviorisme, sangat penting karena menjadi salah satu landasan dalam perumusan kebijakan kurikulum dan pendekatan pembelajaran. Hal ini tercermin dalam berbagai regulasi nasional, seperti Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menekankan pentingnya proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan, yang secara tidak langsung menuntut pemahaman terhadap prinsip-prinsip belajar termasuk dari aliran behavioristik.¹

Teori behavioristik memiliki nilai praktis yang tinggi dalam pengelolaan kelas, karena memberikan strategi konkret untuk membentuk perilaku yang diinginkan. Misalnya, penggunaan penguatan positif (seperti pujian atau hadiah) dalam pembelajaran merupakan penerapan langsung dari prinsip behavioristik yang telah teruji efektivitasnya dalam meningkatkan partisipasi dan motivasi siswa, terutama dalam pendidikan usia dini dan dasar.²

Seiring dengan berkembangnya teori pembelajaran lainnya seperti kognitivisme dan konstruktivisme, behaviorisme tidak kehilangan relevansinya. Justru, teori ini menjadi bagian penting dalam eklektisisme pendekatan pembelajaran modern, termasuk dalam desain pembelajaran berbasis teknologi seperti gamifikasi dan sistem manajemen pembelajaran (learning management systems) yang masih mengandalkan prinsip penguatan dan pengulangan.³

Oleh karena itu, memahami teori behavioristik secara mendalam tidak hanya penting dalam konteks historis dan teoritis, tetapi juga dalam konteks aplikatif sebagai dasar bagi guru, dosen, maupun pengembang kurikulum dalam merancang pembelajaran yang efektif dan terukur. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi teori behavioristik secara komprehensif—mulai dari latar belakang filosofis, tokoh-tokoh utama, konsep inti, hingga implementasi dan kritik kontemporer—guna memberikan kontribusi terhadap pengembangan praktik pendidikan yang berbasis teori.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[2]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 129–130.

[3]                Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson, 2011), 66–67.


2.           Landasan Filosofis dan Psikologis Teori Behavioristik

Teori behavioristik tidak muncul dalam kekosongan, melainkan lahir dari fondasi filsafat empirisme dan psikologi asosiasi, yang menekankan bahwa semua pengetahuan dan perilaku manusia berasal dari pengalaman yang dapat diamati. Filsuf Inggris John Locke (1632–1704) adalah salah satu tokoh awal yang berpengaruh, dengan konsep tabula rasa—gagasan bahwa pikiran manusia ibarat kertas kosong yang diisi melalui pengalaman indrawi.¹ Pandangan ini menjadi landasan utama bagi behaviorisme yang menganggap pembelajaran sebagai respons terhadap stimulus lingkungan tanpa melibatkan proses mental internal yang tidak dapat diamati.

Secara filosofis, behaviorisme sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme logis, yang mengutamakan data empiris dan penalaran logis dalam menjelaskan fenomena. Oleh karena itu, behaviorisme menolak introspeksi dan spekulasi metafisik dalam memahami perilaku manusia, dan justru menekankan pentingnya pengamatan objektif dan pengukuran perilaku yang dapat dilihat.² Dalam konteks ini, behaviorisme berpijak pada pandangan deterministik yang melihat perilaku sebagai hasil dari hubungan sebab-akibat antara stimulus dan respons.

Secara psikologis, behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap pendekatan introspektif dalam psikologi strukturalisme dan fungsionalisme yang dianggap terlalu subjektif. John B. Watson (1878–1958) menjadi pelopor utama behaviorisme modern dengan makalah terkenalnya tahun 1913 yang berjudul “Psychology as the Behaviorist Views It”, di mana ia menyatakan bahwa psikologi harus menjadi ilmu yang objektif, bebas dari subjektivitas, dan hanya mempelajari perilaku yang tampak.³ Ia menolak eksistensi “kesadaran” sebagai objek kajian psikologi karena tidak dapat diamati secara ilmiah.

Pandangan Watson kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Ivan Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F. Skinner yang masing-masing mengembangkan model pengkondisian klasik dan operan. Meski pendekatan mereka berbeda, semua sepakat bahwa pembelajaran dapat dijelaskan tanpa perlu menyentuh aspek-aspek mental seperti pikiran, perasaan, atau niat. Sebagai gantinya, pembelajaran dianggap terjadi melalui asosiasi antara stimulus dan respons, yang diperkuat oleh konsekuensi seperti ganjaran atau hukuman.⁴

Landasan filosofis dan psikologis teori behavioristik ini memberikan dasar yang kuat bagi desain pembelajaran yang sistematis, terukur, dan terstruktur, sebagaimana dituntut dalam praktik pendidikan modern. Bahkan dalam dokumen-dokumen kebijakan pendidikan Indonesia, pendekatan berbasis perilaku ini masih tampak dalam strategi pembelajaran seperti penggunaan reward system, penilaian berbasis kompetensi, dan penguatan kebiasaan positif, sebagaimana tertuang dalam Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan.⁵

Dengan demikian, behaviorisme tidak hanya mencerminkan pergulatan filsafat dan psikologi dalam memahami manusia, tetapi juga menawarkan kontribusi nyata dalam praktik pendidikan, terutama dalam membentuk perilaku dan keterampilan dasar yang diinginkan melalui metode yang dapat diuji secara empiris dan diukur secara objektif.


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 33–35.

[2]                Carl G. Hempel, “The Logical Analysis of Psychology,” American Psychologist 2, no. 1 (1949): 134–136.

[3]                John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 158–177.

[4]                B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis (New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 17–19.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).


3.           Konsep Dasar Teori Behavioristik

Teori behavioristik memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati dan diukur secara objektif, yang terjadi sebagai hasil dari interaksi antara individu dan lingkungannya.¹ Dalam kerangka ini, perilaku dipahami sebagai respons terhadap stimulus, dan keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh terbentuknya hubungan yang kuat antara stimulus (S) dan respons (R). Pendekatan ini menolak keterlibatan proses mental internal seperti pemahaman, persepsi, atau niat, karena dianggap tidak dapat diamati secara ilmiah.²

Konsep inti dari teori behavioristik meliputi:

3.1.        Stimulus–Respons (S–R)

Konsep paling mendasar dalam behaviorisme adalah asosiasi antara stimulus dan respons. Dalam pandangan ini, perilaku manusia terbentuk melalui proses pengkondisian, yakni ketika individu diberi rangsangan (stimulus), mereka akan memberikan respons tertentu. Jika respons tersebut diulang dan diperkuat, maka akan menjadi bagian dari perilaku tetap.³ Misalnya, seorang siswa yang diberi pujian setiap kali menjawab benar akan cenderung mengulangi perilaku belajar yang sama untuk mendapatkan hasil serupa.

3.2.        Penguatan (Reinforcement)

Penguatan adalah kunci dalam pembentukan dan pemeliharaan perilaku. B.F. Skinner membedakan dua jenis penguatan dalam teori operant conditioning:

·                     Penguatan positif: Memberikan stimulus menyenangkan (misalnya hadiah atau pujian) setelah perilaku yang diinginkan ditunjukkan.

·                     Penguatan negatif: Menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (misalnya pengurangan tugas) ketika perilaku yang diinginkan terjadi.⁴

Kedua jenis penguatan ini digunakan untuk meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku yang sama akan terjadi kembali di masa depan.

3.3.        Hukuman (Punishment)

Sebaliknya, hukuman digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Hukuman bisa bersifat positif (menambahkan stimulus yang tidak menyenangkan) atau negatif (mengambil stimulus yang menyenangkan).⁵ Namun, para ahli behaviorisme modern memperingatkan bahwa penggunaan hukuman harus hati-hati karena dapat menimbulkan efek samping seperti ketakutan atau agresi, serta kurang efektif dalam jangka panjang dibandingkan penguatan.

3.4.        Generalisasi dan Diskriminasi

Dalam teori behavioristik, generalisasi terjadi ketika individu memberikan respons yang sama terhadap stimulus yang mirip dengan stimulus asli. Sebaliknya, diskriminasi terjadi ketika individu mampu membedakan stimulus yang berbeda dan merespons secara selektif.⁶ Misalnya, siswa dapat belajar membedakan antara nada suara guru yang menunjukkan pujian dengan nada yang menunjukkan teguran.

3.5.        Pembelajaran sebagai Hasil Pengondisian

Behaviorisme mengenal dua jenis pengondisian utama:

·                     Pengondisian klasik (classical conditioning) yang diperkenalkan oleh Ivan Pavlov, yaitu asosiasi stimulus netral dengan stimulus yang bermakna hingga stimulus netral memunculkan respons yang sama.⁷

·                     Pengondisian operan (operant conditioning) dari B.F. Skinner, yaitu pembelajaran yang terjadi karena konsekuensi dari suatu tindakan (penguatan atau hukuman).⁸

Kedua pendekatan ini berperan penting dalam menjelaskan bagaimana kebiasaan belajar terbentuk melalui pengulangan dan konsekuensi.


Implikasi Konseptual bagi Pendidikan

Konsep-konsep dasar teori behavioristik banyak diadopsi dalam model pembelajaran langsung, latihan berulang (drill and practice), dan strategi manajemen kelas berbasis reward and punishment. Dalam kurikulum nasional, pendekatan ini dapat terlihat dalam penekanan pada kompetensi dasar dan indikator ketercapaian, yang mengarah pada perilaku terukur sesuai standar. Hal ini selaras dengan pendekatan pembelajaran berbasis hasil belajar (outcome-based education) yang diatur dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.⁹

Dengan demikian, konsep-konsep utama dalam teori behavioristik memberikan dasar yang kuat untuk praktik pembelajaran yang terukur, sistematis, dan berbasis perilaku, sekaligus memudahkan guru dalam merancang strategi pengajaran yang konkret dan dapat dievaluasi secara langsung.


Footnotes

[1]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 122.

[2]                John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 158–159.

[3]                Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson, 2011), 30–32.

[4]                B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis (New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 35–38.

[5]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 256.

[6]                Ormrod, Human Learning, 42–43.

[7]                Ivan P. Pavlov, Conditioned Reflexes (London: Oxford University Press, 1927), 26–30.

[8]                Skinner, The Behavior of Organisms, 41–43.

[9]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).


4.           Tokoh-Tokoh Utama dan Sumbangsihnya

Teori behavioristik dikembangkan melalui kontribusi sejumlah tokoh besar dalam sejarah psikologi, yang masing-masing memperluas dan memperdalam pemahaman tentang bagaimana manusia belajar melalui asosiasi, penguatan, dan respons terhadap lingkungan. Tokoh-tokoh ini tidak hanya berperan dalam membentuk teori behavioristik secara konseptual, tetapi juga memberikan kontribusi praktis terhadap pendidikan melalui model-model pembelajaran yang terukur dan berbasis empiris.

4.1.        John B. Watson (1878–1958): Perintis Behaviorisme Radikal

Watson merupakan tokoh pertama yang secara eksplisit menyatakan bahwa psikologi seharusnya hanya mempelajari perilaku yang dapat diamati, bukan proses mental yang bersifat subjektif. Dalam artikelnya yang terkenal, “Psychology as the Behaviorist Views It” (1913), ia mendeklarasikan bahwa psikologi adalah cabang eksperimental alamiah yang bertujuan mengontrol dan meramalkan perilaku

Eksperimen terkenalnya bersama Rosalie Rayner terhadap bayi “Little Albert” menunjukkan bahwa ketakutan dapat dikondisikan melalui asosiasi stimulus netral dengan stimulus menakutkan.² Temuan ini menggarisbawahi pentingnya lingkungan dalam membentuk respons emosional dan perilaku anak, dan menjadi dasar bagi pendekatan behavioristik dalam pendidikan, terutama dalam membentuk kebiasaan dan respons tertentu.

4.2.        Ivan Petrovich Pavlov (1849–1936): Teori Pengondisian Klasik

Pavlov, seorang ahli fisiologi Rusia, dikenal melalui eksperimen tentang refleks bersyarat pada anjing, yang kemudian melahirkan konsep pengondisian klasik. Dalam eksperimennya, Pavlov menunjukkan bahwa anjing dapat dilatih untuk mengeluarkan air liur (respons) terhadap bunyi bel (stimulus netral) yang dikaitkan secara berulang dengan pemberian makanan (stimulus tak bersyarat).³

Konsep ini memperlihatkan bahwa asosiasi sederhana antara dua stimulus dapat menghasilkan respons baru, yang menjadi dasar dalam pengondisian perilaku manusia. Dalam pendidikan, prinsip pengondisian klasik dapat diterapkan untuk menciptakan asosiasi positif terhadap belajar, seperti menciptakan suasana kelas yang menyenangkan agar siswa senang belajar.

4.3.        Edward L. Thorndike (1874–1949): Hukum Efek dan Penguatan

Thorndike mengembangkan pendekatan behavioristik melalui konsep “Law of Effect”, yaitu bahwa perilaku yang diikuti oleh hasil yang menyenangkan cenderung diulangi, sedangkan perilaku yang diikuti oleh hasil yang tidak menyenangkan cenderung tidak diulangi.⁴

Melalui eksperimen dengan kucing dalam puzzle box, ia menunjukkan bahwa perilaku belajar berkembang secara bertahap melalui proses trial and error. Sumbangsihnya sangat besar dalam pendidikan karena ia menekankan pentingnya latihan dan penguatan dalam memperkuat koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike juga dikenal sebagai pelopor dalam mengembangkan pengukuran hasil belajar, yang selaras dengan prinsip pendidikan berbasis capaian (outcome-based education) dalam regulasi pendidikan modern.⁵

4.4.        B.F. Skinner (1904–1990): Pengondisian Operan dan Teknologi Pembelajaran

Skinner merupakan tokoh paling berpengaruh dalam behaviorisme modern. Ia memperluas teori pengondisian klasik dengan mengenalkan pengondisian operan, di mana perilaku ditentukan oleh konsekuensinya.⁶ Melalui eksperimen dengan hewan dalam Skinner Box, ia membuktikan bahwa perilaku yang diberi penguatan positif atau negatif akan cenderung berulang, sedangkan perilaku yang tidak diperkuat akan punah.

Skinner menekankan pentingnya reinforcement schedule (jadwal penguatan) dalam membentuk perilaku secara efektif. Ia juga memperkenalkan konsep “teaching machine” dan programmed instruction, yang menjadi cikal bakal pembelajaran berbasis teknologi.⁷ Dalam praktik pendidikan, ide Skinner sangat berpengaruh terhadap pengembangan strategi pembelajaran seperti penilaian bertingkat, token economy, dan sistem reward yang masih banyak digunakan hingga saat ini.


Implikasi Bagi Dunia Pendidikan

Kontribusi keempat tokoh tersebut membentuk landasan kuat bagi praktik pembelajaran berbasis perilaku, yang menekankan pentingnya:

·                     Tujuan pembelajaran yang spesifik dan terukur,

·                     Penguatan positif dalam meningkatkan motivasi belajar,

·                     Lingkungan belajar yang dikondisikan untuk mendukung perilaku yang diinginkan.

Penerapan prinsip-prinsip ini terlihat dalam kebijakan pendidikan nasional, seperti dalam Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan, yang menekankan pentingnya strategi pembelajaran yang aktif, terencana, dan mengarah pada perubahan perilaku siswa secara terukur.⁸


Footnotes

[1]                John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 158–177.

[2]                John B. Watson and Rosalie Rayner, “Conditioned Emotional Reactions,” Journal of Experimental Psychology 3, no. 1 (1920): 1–14.

[3]                Ivan P. Pavlov, Conditioned Reflexes (London: Oxford University Press, 1927), 26–30.

[4]                Edward L. Thorndike, Animal Intelligence: Experimental Studies (New York: Macmillan, 1911), 244–250.

[5]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 133–134.

[6]                B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis (New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 35–42.

[7]                B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no. 3330 (1958): 969–977.

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).


5.           Penerapan Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Teori behavioristik telah memberikan kontribusi signifikan terhadap praktik pembelajaran, khususnya dalam merancang strategi yang terukur, sistematis, dan berorientasi pada hasil yang tampak. Dengan pendekatan yang menekankan pentingnya penguatan, stimulus-respons, serta kontrol terhadap lingkungan belajar, teori ini sangat berguna dalam membentuk kebiasaan, keterampilan dasar, dan perilaku yang diinginkan pada peserta didik.

5.1.        Strategi Pembelajaran Berbasis Behavioristik

Salah satu penerapan utama teori ini dalam kelas adalah penggunaan strategi yang berbasis latihan dan pengulangan (drill and practice). Strategi ini efektif untuk penguasaan materi yang bersifat mekanis, seperti menghafal kosakata, rumus matematika, atau keterampilan motorik dasar.¹ Dalam konteks ini, siswa secara berulang-ulang diberikan stimulus berupa soal atau tugas, dan respons yang benar diperkuat melalui pujian, nilai, atau hadiah.

Selain itu, behaviorisme juga digunakan dalam pembelajaran langsung (direct instruction), yaitu pendekatan yang menekankan penyampaian informasi secara eksplisit, terstruktur, dan bertahap oleh guru.² Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan contoh, melakukan latihan bersama, lalu mengevaluasi hasilnya secara langsung. Model ini sesuai dengan prinsip behavioristik karena memungkinkan guru mengendalikan stimulus, mengamati respons, dan memberikan penguatan secara cepat dan tepat.

5.2.        Penguatan dalam Proses Belajar

Penguatan adalah inti dari penerapan behavioristik. Dalam praktiknya, guru dapat menerapkan:

·                     Penguatan positif, seperti pujian verbal (“bagus, kamu hebat!”), penghargaan simbolik (bintang, poin), atau hadiah konkret (alat tulis, waktu bermain).

·                     Penguatan negatif, seperti membebaskan dari tugas tambahan jika siswa menyelesaikan tugas lebih awal atau menunjukkan perilaku baik.³

Di sisi lain, hukuman juga kadang digunakan untuk menekan perilaku yang tidak diinginkan, namun dalam pendidikan modern, hukuman fisik dan verbal cenderung dihindari. Sebagai gantinya, guru menerapkan hukuman edukatif yang bersifat membangun, seperti kehilangan poin atau refleksi tertulis atas perilaku yang menyimpang.⁴

5.3.        Pengelolaan Kelas dengan Prinsip Behavioristik

Pengelolaan kelas berbasis behaviorisme menekankan penguatan perilaku positif dan kontrol terhadap stimulus lingkungan. Guru dapat mengatur pengaturan tempat duduk, suasana ruang kelas, aturan yang jelas, dan konsekuensi yang konsisten untuk mendorong perilaku yang diharapkan.⁵

Salah satu contoh implementasi yang sangat populer adalah token economy system, di mana siswa mendapatkan token setiap kali menunjukkan perilaku baik, dan token tersebut dapat ditukar dengan hadiah. Sistem ini terbukti efektif terutama pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan inklusi.

5.4.        Penerapan dalam Teknologi Pembelajaran

Dalam era digital, prinsip behavioristik banyak digunakan dalam media pembelajaran berbasis teknologi, seperti e-learning, aplikasi kuis, dan sistem manajemen pembelajaran (LMS). Program seperti Kahoot, Quizizz, dan Duolingo menggunakan feedback langsung, reward digital, dan level up system yang merupakan turunan dari prinsip penguatan behavioristik.⁶

Pendekatan ini sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional, yang mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, sebagaimana tercantum dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, yang mengedepankan model pembelajaran berbasis kompetensi dan partisipatif.⁷

5.5.        Relevansi dalam Penilaian Berbasis Kompetensi

Teori behavioristik juga mendasari sistem penilaian formatif dan sumatif yang berbasis pada capaian perilaku yang dapat diukur. Dalam Kurikulum Merdeka, misalnya, capaian pembelajaran dirancang untuk mengukur indikator kinerja peserta didik secara konkret, dan guru didorong untuk memberikan umpan balik dan penguatan untuk membantu siswa mencapai level kompetensi tertentu.⁸


Dengan demikian, teori behavioristik tetap relevan dan aplikatif dalam pendidikan kontemporer, terutama dalam pembentukan perilaku, pengembangan keterampilan dasar, serta integrasi teknologi dalam pembelajaran. Strategi-strategi yang dikembangkan dari teori ini memungkinkan guru untuk merancang proses belajar yang terstruktur, efektif, dan berorientasi pada hasil nyata, sekaligus membangun motivasi siswa melalui penguatan yang tepat.


Footnotes

[1]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 135–137.

[2]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 300–302.

[3]                Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson, 2011), 45–47.

[4]                Carol S. Weinstein and Ingrid Novodvorsky, Middle and Secondary Classroom Management: Lessons from Research and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 2015), 89–91.

[5]                Paul Eggen and Don Kauchak, Educational Psychology: Windows on Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013), 270–275.

[6]                B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no. 3330 (1958): 969–977.

[7]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024).

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 33–35.


6.           Kelebihan dan Keterbatasan Teori Behavioristik

Sebagai salah satu teori pembelajaran paling awal dan berpengaruh, teori behavioristik memiliki kekuatan dalam menjelaskan dan mengarahkan proses pembelajaran, khususnya dalam konteks perubahan perilaku yang terukur. Namun, teori ini juga mengandung sejumlah keterbatasan konseptual dan praktis, terutama ketika dihadapkan pada pembelajaran kompleks yang melibatkan proses mental tingkat tinggi. Evaluasi terhadap kelebihan dan keterbatasan ini sangat penting agar teori behavioristik dapat ditempatkan secara proporsional dalam praktik pendidikan masa kini.

6.1.        Kelebihan Teori Behavioristik

1)                  Mudah Diterapkan dalam Praktik Pembelajaran

Teori ini menyediakan prinsip-prinsip konkret dan sederhana dalam merancang kegiatan belajar-mengajar, seperti penggunaan penguatan, pengulangan, dan hukuman. Pendekatan ini memudahkan guru dalam merancang strategi pembelajaran yang sistematis, khususnya pada jenjang pendidikan dasar.¹

2)                  Berorientasi pada Perilaku yang Terukur

Behaviorisme menekankan pada indikator perilaku yang dapat diamati dan diukur secara objektif, sesuai dengan prinsip evaluasi pembelajaran dalam standar proses pendidikan nasional. Hal ini sangat relevan dengan pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi yang diatur dalam Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan

3)                  Efektif untuk Membangun Kebiasaan dan Keterampilan Dasar

Dalam fase-fase awal belajar, teori ini terbukti efektif untuk menanamkan kebiasaan baik, seperti disiplin, ketertiban, dan keterampilan motorik. Contoh nyata penerapannya dapat dilihat dalam penggunaan token economy system di kelas PAUD atau program reward di kelas SD.³

4)                  Mendukung Pengembangan Sistem Pembelajaran Digital dan Adaptif

Konsep penguatan behavioristik banyak digunakan dalam desain aplikasi pembelajaran, seperti Duolingo, Quizizz, dan Kahoot, yang memberikan umpan balik langsung dan penghargaan digital untuk memperkuat respons siswa.⁴

6.2.        Keterbatasan Teori Behavioristik

1)                  Mengabaikan Proses Mental Internal

Salah satu kritik utama terhadap behaviorisme adalah penolakannya terhadap proses kognitif internal seperti berpikir, memahami, mengingat, dan bernalar.⁵ Dalam pembelajaran kompleks, terutama di jenjang menengah dan tinggi, teori ini dianggap kurang mampu menjelaskan bagaimana pemahaman dan konstruksi makna terbentuk dalam diri peserta didik.

2)                  Pendekatan Mekanistik terhadap Manusia

Behaviorisme melihat individu sebagai “mesin respons” terhadap stimulus, dan cenderung mengabaikan aspek kehendak bebas, motivasi intrinsik, serta nilai-nilai sosial dan emosional dalam pembelajaran. Hal ini membuat pendekatan behavioristik menjadi terlalu reduksionistik.⁶

3)                  Efektivitas Jangka Panjang Terbatas

Penguatan eksternal seperti hadiah dan pujian memang efektif dalam jangka pendek, tetapi tidak selalu membangun motivasi belajar yang bersifat intrinsik. Akibatnya, siswa cenderung belajar hanya demi mendapatkan ganjaran, bukan karena kesadaran akan pentingnya ilmu.⁷

4)                  Kurang Kontekstual dan Kultural

Behaviorisme cenderung mengabaikan konteks sosial, budaya, dan pengalaman personal peserta didik. Dalam pendidikan modern yang mengedepankan pendekatan humanistik dan kontekstual, behaviorisme dinilai kurang fleksibel dan tidak responsif terhadap keragaman peserta didik.⁸


Implikasi dalam Pengembangan Pembelajaran

Memahami kelebihan dan keterbatasan ini memungkinkan pendidik untuk mengintegrasikan behaviorisme secara bijak dalam praktik pembelajaran. Misalnya, prinsip-prinsip penguatan dan kontrol lingkungan dapat digunakan pada tahap awal pembelajaran atau untuk pembentukan kebiasaan, sementara pada tahap lanjut, teori ini dapat digabungkan dengan pendekatan kognitif, konstruktivis, atau humanistik untuk menciptakan pembelajaran yang lebih menyeluruh dan bermakna.

Kebijakan pendidikan Indonesia sendiri menekankan pendekatan holistik dan berpusat pada peserta didik, seperti yang tercantum dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum Merdeka, yang mendorong eksplorasi beragam teori belajar sesuai dengan karakteristik materi dan kebutuhan siswa.⁹


Footnotes

[1]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 132–134.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[3]                Paul Eggen and Don Kauchak, Educational Psychology: Windows on Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013), 278.

[4]                B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no. 3330 (1958): 969–977.

[5]                Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson, 2011), 48–50.

[6]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 258–259.

[7]                Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 2000), 89.

[8]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 84–87.

[9]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024).


7.           Kritik dan Perkembangan Teori Lanjutan

Seiring berkembangnya ilmu psikologi dan pendidikan, teori behavioristik mendapat banyak kritik yang memicu lahirnya teori-teori pembelajaran baru yang lebih holistik dan kontekstual. Kritik terhadap behaviorisme umumnya diarahkan pada asumsi reduksionistiknya terhadap proses belajar, yang dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas manusia hanya dalam hubungan stimulus dan respons. Hal ini mendorong munculnya pendekatan kognitif, konstruktivis, humanistik, dan sosial-kultural sebagai respons teoretis dan pedagogis yang lebih komprehensif.

7.1.        Kritik Terhadap Behaviorisme

1)                  Mengabaikan Proses Mental Internal

Tokoh-tokoh seperti Jean Piaget dan Jerome Bruner mengkritik behaviorisme karena tidak mempertimbangkan proses mental yang terjadi antara stimulus dan respons, seperti persepsi, atensi, pemahaman, dan pemrosesan informasi.¹ Piaget menekankan bahwa anak membangun pengetahuan secara aktif melalui interaksi dengan lingkungannya, bukan sekadar hasil dari penguatan eksternal.

2)                  Keterbatasan dalam Memfasilitasi Pembelajaran Bermakna

Behaviorisme hanya cocok untuk keterampilan dasar dan kebiasaan mekanistik, tetapi gagal menjelaskan pembelajaran kompleks yang memerlukan pemahaman konsep, pemecahan masalah, dan berpikir kritis.² Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang menuntut kompetensi berpikir tingkat tinggi (HOTS), behaviorisme dinilai tidak cukup mendukung pengembangan capaian tersebut.

3)                  Motivasi Eksternal yang Tidak Berkelanjutan

Para ahli seperti Edward Deci dan Richard Ryan dari teori Self-Determination Theory (SDT) menilai bahwa penguatan eksternal yang menjadi inti behaviorisme dapat menghambat motivasi intrinsik peserta didik.³ Jika siswa terlalu bergantung pada hadiah atau hukuman, maka dorongan untuk belajar secara mandiri dan reflektif akan melemah.

4)                  Kurang Responsif terhadap Konteks Sosial dan Budaya

Behaviorisme cenderung mengabaikan konteks sosial, budaya, dan emosi dalam pembelajaran. Tokoh seperti Lev Vygotsky menunjukkan bahwa proses belajar juga sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial, bahasa, dan budaya, yang sama sekali tidak dibahas dalam kerangka behavioristik.⁴

7.2.        Perkembangan Teori Lanjutan sebagai Respons

1)                  Teori Kognitif

Muncul pada pertengahan abad ke-20, teori ini memandang manusia sebagai pemroses aktif informasi, bukan sekadar penerima stimulus. Tokoh seperti Robert Gagné dan David Ausubel menekankan pemrosesan informasi, organisasi pengetahuan, dan struktur kognitif dalam pembelajaran.⁵ Gagné bahkan menyusun taksonomi hasil belajar yang mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

2)                  Teori Konstruktivis

Dikembangkan oleh Piaget dan Vygotsky, pendekatan ini melihat belajar sebagai proses konstruksi makna secara aktif, bukan hasil dari respon terhadap stimulus. Konstruktivisme menekankan pentingnya pengalaman, skemata, dan keterlibatan sosial dalam pembelajaran.⁶

3)                  Teori Pembelajaran Sosial

Albert Bandura memperkenalkan teori belajar sosial (social learning theory) yang menggabungkan prinsip behavioristik dengan proses observasi dan imitasi. Konsep modeling, self-efficacy, dan penguatan vikarius menjembatani kekosongan antara behaviorisme dan kognitivisme.⁷

4)                  Pendekatan Humanistik

Tokoh seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow menekankan peran emosi, kebutuhan dasar, dan aktualisasi diri dalam pembelajaran. Pendekatan ini melihat manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk berkembang, bukan sekadar objek penguatan.⁸

7.3.        Posisi Behaviorisme dalam Pendidikan Kontemporer

Meskipun banyak dikritik, teori behavioristik belum sepenuhnya ditinggalkan. Justru, pendekatan ini sering digunakan secara eklektik, dikombinasikan dengan teori-teori lain sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Dalam regulasi nasional, seperti Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022, prinsip penguatan dan pembelajaran terstruktur masih tercermin dalam desain pembelajaran aktif dan diferensiasi.⁹

Di era digital, behaviorisme tetap relevan melalui desain pembelajaran adaptif, game-based learning, dan assessment berbasis penguatan, yang banyak diterapkan dalam aplikasi dan platform belajar daring. Oleh karena itu, behaviorisme tidak lagi berdiri sendiri sebagai paradigma tunggal, melainkan sebagai bagian dari mosaik teori pembelajaran yang saling melengkapi dalam praktik pendidikan modern.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New York: International Universities Press, 1952), 9–10.

[2]                Jerome Bruner, The Process of Education (Cambridge: Harvard University Press, 1960), 72.

[3]                Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum, 1985), 42–47.

[4]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 88–90.

[5]                Robert M. Gagné, The Conditions of Learning and Theory of Instruction, 4th ed. (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), 3–5.

[6]                David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 147–149.

[7]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1977), 22–24.

[8]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Columbus: Merrill Publishing Company, 1994), 37–41.

[9]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).


8.           Relevansi Teori Behavioristik dalam Pendidikan Abad ke-21

Meskipun telah banyak muncul teori-teori pembelajaran baru yang lebih kompleks dan integratif, teori behavioristik tetap memiliki relevansi signifikan dalam praktik pendidikan abad ke-21, terutama dalam konteks pembelajaran berbasis teknologi, pendidikan karakter, manajemen kelas, dan pendekatan pedagogis yang menuntut perubahan perilaku terukur. Di tengah era yang ditandai oleh percepatan informasi dan digitalisasi pembelajaran, prinsip-prinsip behaviorisme justru menemukan bentuk penerapan baru yang lebih kontekstual dan fungsional.

8.1.        Peran Behaviorisme dalam Penguatan Pembelajaran Berbasis Teknologi

Transformasi pendidikan menuju era digital membuat teori behavioristik semakin relevan, khususnya dalam pengembangan pembelajaran daring (online learning) dan aplikasi pembelajaran berbasis gamifikasi. Banyak platform digital seperti Kahoot!, Quizizz, Duolingo, dan Edmodo mengandalkan prinsip penguatan (reinforcement) dan umpan balik instan untuk mendorong keterlibatan siswa.¹ Konsep reward (poin, lencana, badge), hukuman (pengurangan skor), dan pengulangan (drill) dalam aplikasi tersebut adalah manifestasi langsung dari prinsip behavioristik.

Sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, pembelajaran abad ke-21 harus mendorong pemanfaatan teknologi informasi untuk menciptakan pembelajaran yang adaptif, menarik, dan sesuai dengan perkembangan zaman.² Behaviorisme memberikan dasar teoretis untuk mengembangkan sistem pembelajaran digital yang bersifat terstruktur dan responsif terhadap perilaku peserta didik.

8.2.        Relevansi dalam Pembentukan Karakter dan Disiplin Positif

Dalam pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai moral, teori behavioristik juga tetap relevan. Pembentukan kebiasaan baik (habit formation), seperti disiplin, tanggung jawab, dan kebiasaan belajar mandiri, dapat dilakukan melalui pendekatan penguatan perilaku positif.³ Strategi seperti token economy, kontrak perilaku, dan pemberian penghargaan terukur merupakan bagian dari implementasi behaviorisme dalam mendidik perilaku positif, terutama pada pendidikan anak usia dini dan dasar.

Prinsip ini juga diperkuat dalam kebijakan pendidikan karakter nasional yang tercermin dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang mendorong guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang konsisten dalam memberikan penguatan dan teladan positif.⁴

8.3.        Efektivitas dalam Evaluasi Berbasis Kompetensi

Behaviorisme juga mendukung pendekatan penilaian formatif dan sumatif yang berbasis pada pengamatan terhadap perilaku belajar yang nyata dan terukur. Kurikulum Merdeka, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi, menekankan pentingnya capaian pembelajaran yang dapat diukur melalui indikator perilaku.⁵ Dalam praktiknya, teori behavioristik menyediakan alat konseptual bagi guru untuk merancang rubrik penilaian, checklists, dan prosedur penguatan berbasis hasil belajar.

8.4.        Integrasi Behaviorisme dalam Model Pembelajaran Hybrid dan Adaptif

Dalam konteks blended learning dan hybrid learning, behaviorisme membantu merancang alur pembelajaran yang jelas dan bertahap, memungkinkan sistem pembelajaran adaptif (adaptive learning) memberikan materi berdasarkan respons peserta didik sebelumnya. Platform-platform ini menggunakan algoritma yang secara implisit mengadopsi prinsip behavioristik: respons siswa terhadap satu kegiatan menentukan stimulus berikutnya.⁶

Dengan demikian, behaviorisme menjadi pondasi penting dalam membangun sistem kecerdasan buatan (AI) dan analitik pembelajaran (learning analytics) yang kini digunakan untuk mempersonalisasi pembelajaran secara lebih efektif.

8.5.        Posisi Behaviorisme dalam Pendekatan Eklektik Pendidikan Kontemporer

Pendidikan abad ke-21 menghendaki pendekatan yang fleksibel dan integratif. Di sinilah teori behavioristik memainkan peran sebagai komponen dalam pendekatan eklektik, bukan sebagai teori tunggal. Bersama dengan teori kognitif, konstruktivis, dan humanistik, behaviorisme memperkaya strategi pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik siswa, dan konteks sosial budaya.

Dalam hal ini, behaviorisme tidak ditinggalkan, melainkan digunakan secara selektif untuk tujuan-tujuan instruksional yang menuntut presisi, disiplin, dan hasil perilaku yang terukur, seperti pelatihan vokasional, pembelajaran berbasis simulasi, dan pelatihan berbasis prosedur (procedural learning).⁷


Kesimpulan Sementara

Behaviorisme tetap memiliki daya guna dan relevansi dalam pendidikan modern, khususnya ketika dikombinasikan secara bijak dengan teori lain. Di era pendidikan digital, prinsip behavioristik menjadi landasan dalam merancang sistem pembelajaran yang responsif, objektif, dan adaptif terhadap perilaku peserta didik, selaras dengan kebutuhan pendidikan masa kini yang menuntut efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas.


Footnotes

[1]                B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no. 3330 (1958): 969–977.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024).

[3]                Paul Eggen and Don Kauchak, Educational Psychology: Windows on Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013), 279.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti (Jakarta: Kemendikbud, 2015).

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[6]                Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson, 2011), 452–454.

[7]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson, 2012), 142–144.


9.           Kesimpulan

Teori behavioristik merupakan salah satu tonggak awal dalam perkembangan teori belajar yang memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan bagaimana perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan melalui stimulus dan respons. Sebagai pendekatan yang empiris dan terukur, behaviorisme menekankan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku yang dapat diamati, yang diperkuat melalui penguatan (reinforcement) atau dikendalikan melalui hukuman (punishment).¹ Prinsip-prinsip inilah yang menjadi fondasi dari banyak strategi pembelajaran dasar, terutama dalam konteks pengajaran yang bersifat prosedural, repetitif, dan berbasis kompetensi.

Kontribusi tokoh-tokoh besar seperti John B. Watson, Ivan Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F. Skinner telah memperkaya pemahaman tentang mekanisme belajar dari sudut pandang perilaku.² Mereka tidak hanya merumuskan teori-teori pengondisian, tetapi juga menginspirasi praktik pengajaran yang terstruktur, sistematis, dan mudah diterapkan dalam konteks pendidikan formal.³ Dalam pendidikan Indonesia sendiri, prinsip-prinsip behavioristik tercermin dalam berbagai kebijakan pendidikan, seperti Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan dan Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi, yang menekankan pentingnya pembelajaran aktif dan penguatan capaian pembelajaran.⁴

Meski demikian, kritik terhadap behaviorisme tidak dapat diabaikan. Teori ini dianggap terlalu menyederhanakan proses belajar, mengabaikan dimensi kognitif, afektif, dan sosial-budaya yang juga penting dalam pengembangan diri peserta didik secara menyeluruh.⁵ Lahirnya teori-teori lanjutan seperti kognitivisme, konstruktivisme, humanisme, dan teori belajar sosial menjadi bukti bahwa behaviorisme tidak mampu menjawab seluruh kompleksitas pembelajaran modern secara tunggal.⁶

Namun demikian, di tengah arus digitalisasi dan pembelajaran berbasis teknologi, behaviorisme mengalami revitalisasi dalam bentuk baru. Prinsip-prinsip seperti penguatan langsung, pengulangan adaptif, dan evaluasi berbasis respons menjadi dasar bagi pengembangan sistem e-learning, gamifikasi, dan machine-based learning yang digunakan secara luas di era abad ke-21.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa behaviorisme tetap memiliki nilai praktis dan fungsional, terutama bila digunakan secara selektif dan dikombinasikan dengan pendekatan lain yang lebih menyeluruh dan kontekstual.

Dengan demikian, teori behavioristik bukanlah pendekatan usang, melainkan teori dasar yang terus berevolusi dan berkontribusi dalam ekosistem pendidikan kontemporer. Pemahaman yang proporsional terhadap kelebihan dan keterbatasannya memungkinkan para pendidik untuk mengintegrasikan prinsip behaviorisme secara strategis dalam mendesain pembelajaran yang adaptif, efektif, dan bermakna. Di tangan pendidik yang reflektif dan kreatif, teori ini dapat terus menjadi alat pedagogis yang relevan dalam menjawab tantangan pendidikan abad ke-21.


Footnotes

[1]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson Education, 2012), 122–124.

[2]                John B. Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 158–177; Ivan P. Pavlov, Conditioned Reflexes (London: Oxford University Press, 1927); Edward L. Thorndike, Animal Intelligence (New York: Macmillan, 1911); B.F. Skinner, The Behavior of Organisms (New York: Appleton-Century-Crofts, 1938).

[3]                Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 6th ed. (Boston: Pearson, 2011), 42–46.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022); Permendikbudristek Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[5]                Jerome Bruner, The Process of Education (Cambridge: Harvard University Press, 1960), 67–68.

[6]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1977); Lev Vygotsky, Mind in Society (Cambridge: Harvard University Press, 1978); Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Columbus: Merrill Publishing Company, 1994).

[7]                B.F. Skinner, Teaching Machines, Science 128, no. 3330 (1958): 969–977; Paul Eggen and Don Kauchak, Educational Psychology: Windows on Classrooms, 9th ed. (Boston: Pearson, 2013), 279–281.


Daftar Pustaka

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. New York, NY: Plenum.

Eggen, P., & Kauchak, D. (2013). Educational psychology: Windows on classrooms (9th ed.). Boston, MA: Pearson.

Gagné, R. M. (1985). The conditions of learning and theory of instruction (4th ed.). New York, NY: Holt, Rinehart and Winston.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2024). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.

Ormrod, J. E. (2011). Human learning (6th ed.). Boston, MA: Pearson.

Pavlov, I. P. (1927). Conditioned reflexes. London, UK: Oxford University Press.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children. New York, NY: International Universities Press.

Rogers, C. R. (1994). Freedom to learn (3rd ed.). Columbus, OH: Merrill Publishing Company.

Skinner, B. F. (1938). The behavior of organisms: An experimental analysis. New York, NY: Appleton-Century-Crofts.

Skinner, B. F. (1958). Teaching machines. Science, 128(3330), 969–977. https://doi.org/10.1126/science.128.3330.969

Slavin, R. E. (2012). Educational psychology: Theory and practice (11th ed.). Boston, MA: Pearson Education.

Thorndike, E. L. (1911). Animal intelligence: Experimental studies. New York, NY: Macmillan.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Watson, J. B. (1913). Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review, 20(2), 158–177. https://doi.org/10.1037/h0074428

Watson, J. B., & Rayner, R. (1920). Conditioned emotional reactions. Journal of Experimental Psychology, 3(1), 1–14. https://doi.org/10.1037/h0069608

Woolfolk, A. (2016). Educational psychology (13th ed.). Boston, MA: Pearson.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar