Selasa, 20 Mei 2025

Determinisme Keras: Menembus Ilusi Kebebasan

Determinisme Keras

Menembus Ilusi Kebebasan


Alihkan ke: Kebebasan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif salah satu perspektif paling radikal dalam filsafat kehendak bebas, yaitu determinisme keras (hard determinism), yang menyatakan bahwa semua tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya dan bahwa kehendak bebas adalah ilusi. Pembahasan dimulai dari penelusuran konsep dasar kehendak bebas dan determinisme, dilanjutkan dengan penguraian gagasan determinisme keras, serta argumentasi filosofis dan ilmiah yang mendukungnya, termasuk temuan dalam neurosains dan psikologi. Artikel ini juga mengkaji kritik-kritik utama terhadap determinisme keras dari sudut pandang libertarian, kompatibilis, serta pendekatan agama dan spiritualitas. Selain itu, disajikan ilustrasi dan studi kasus modern yang menunjukkan relevansi praktis dari perdebatan ini, termasuk dalam bidang hukum, teknologi, dan budaya populer. Penutup artikel ini menyoroti dampak etis dan filosofis yang mendalam jika determinisme keras diterima sebagai kebenaran, sekaligus membuka ruang refleksi kritis tentang makna kebebasan, tanggung jawab, dan kemanusiaan dalam dunia yang semakin ditentukan oleh hukum kausal dan algoritmik.

Kata Kunci: Determinisme keras; kehendak bebas; tanggung jawab moral; neurosains; filsafat etika; libertarianisme; kompatibilisme; spiritualitas; sistem hukum; filsafat modern.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat tentang Determinisme Keras dan Implikasinya terhadap Kehendak Bebas


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang apakah manusia benar-benar memiliki kebebasan dalam berkehendak telah menjadi perdebatan panjang dalam sejarah filsafat. Di satu sisi, pengalaman subjektif sehari-hari tampaknya menunjukkan bahwa manusia bebas dalam memilih dan bertindak. Namun, di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat metafisika memberikan tantangan serius terhadap klaim kebebasan tersebut. Salah satu pandangan yang paling ekstrem dan radikal dalam menanggapi persoalan ini adalah determinisme keras (hard determinism), sebuah posisi yang menolak eksistensi kehendak bebas secara mutlak dan menyatakan bahwa semua peristiwa, termasuk pilihan manusia, sepenuhnya ditentukan oleh hukum kausalitas.

Gagasan tentang determinisme sebenarnya telah hadir sejak masa Yunani Kuno, terutama dalam pemikiran kaum Stoik yang percaya bahwa alam semesta tunduk pada logos atau hukum rasional yang tidak dapat diubah. Namun, dalam konteks modern, perdebatan mengenai kehendak bebas mencapai intensitas filosofis baru setelah munculnya pemahaman ilmiah tentang kausalitas mekanistik dalam fisika Newtonian. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap kejadian adalah akibat yang niscaya dari sebab-sebab sebelumnya, sehingga tidak ada ruang tersisa untuk kebebasan murni dalam pengambilan keputusan manusia.¹

Dalam arus pemikiran ini, para determinis keras seperti Paul-Henri Thiry d’Holbach menegaskan bahwa manusia hanyalah bagian dari alam yang tunduk pada hukum-hukum alamiah, dan bahwa kehendak manusia bukanlah kekuatan otonom, melainkan produk dari rangkaian sebab yang tak terhindarkan. Dalam karyanya The System of Nature, d’Holbach menyatakan secara tegas bahwa "man is connected to universal nature, and subjected to the necessary and immutable laws she imposes on all beings."² Dengan demikian, menurut determinisme keras, kebebasan hanyalah ilusi psikologis yang timbul dari ketidaktahuan terhadap sebab-sebab terdahulu yang memengaruhi tindakan kita.

Pandangan ini memiliki konsekuensi mendalam, tidak hanya dalam ranah metafisika, tetapi juga dalam moralitas, tanggung jawab hukum, dan bahkan agama. Jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, maka bagaimana mungkin ia dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan dalam diskursus kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan sistem peradilan dan etika sosial.³

Mengingat pentingnya persoalan ini, artikel ini akan secara sistematis mengeksplorasi gagasan determinisme keras, menelusuri argumentasi filosofis yang mendukungnya, serta mempertimbangkan kritik-kritik utama yang ditujukan terhadapnya. Dengan demikian, pembaca diharapkan dapat memahami kedalaman filsafat kebebasan berkehendak serta tantangan yang dihadirkan oleh determinisme keras dalam upaya menafsirkan makna tanggung jawab dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]               Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 1–4.

[2]               Paul-Henri Thiry d’Holbach, The System of Nature, trans. H.D. Robinson (New York: Burt Franklin, 1970), 39.

[3]               Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 63–67.


2.           Konsep Dasar Kehendak Bebas dalam Filsafat

Kehendak bebas (free will) merupakan konsep sentral dalam filsafat yang merujuk pada kapasitas manusia untuk membuat keputusan secara otonom, tanpa dipaksa oleh faktor eksternal maupun determinasi internal yang tak terkendali. Dalam pengertian klasik, kehendak bebas menuntut bahwa seseorang, dalam situasi tertentu, bisa saja telah memilih secara berbeda dari apa yang ia pilih sebenarnya.¹ Pandangan ini menekankan bahwa tindakan moral seseorang memiliki makna hanya jika ia dilakukan secara bebas, dan bukan karena paksaan atau determinasi kausal yang tak dapat dielakkan.

Dalam tradisi filsafat Barat, pembahasan tentang kehendak bebas telah mengalami berbagai perkembangan. Santo Agustinus (354–430 M), misalnya, mempertahankan kehendak bebas sebagai dasar tanggung jawab moral, meskipun ia mengakui adanya pengaruh kuat dari kehendak Ilahi.² Di era modern, perdebatan lebih difokuskan pada ketegangan antara kebebasan dan determinisme. Filsuf seperti Immanuel Kant memandang kehendak bebas sebagai syarat mutlak bagi tanggung jawab moral, dan oleh karena itu, ia menempatkannya dalam ranah rasional dan transendental, di luar jangkauan hukum sebab-akibat empiris.³

Sebagian filsuf membedakan antara kebebasan kehendak (freedom of will) dan kebebasan bertindak (freedom of action). Yang pertama merujuk pada kemampuan untuk menginginkan atau menghendaki sesuatu secara bebas, sedangkan yang kedua merujuk pada kemampuan untuk mewujudkan kehendak itu dalam tindakan nyata.⁴ Distingsi ini penting karena seseorang mungkin memiliki kebebasan untuk menghendaki sesuatu, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk merealisasikannya karena pembatasan fisik, sosial, atau psikologis.

Persoalan mengenai kehendak bebas menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan tanggung jawab moral. Banyak filsuf berargumen bahwa tanpa kehendak bebas, tidak mungkin seseorang secara sah dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Harry Frankfurt, dalam esainya yang berpengaruh Freedom of the Will and the Concept of a Person, mengembangkan gagasan bahwa kehendak bebas tidak harus diartikan sebagai kebebasan metafisik dari sebab-akibat, tetapi sebagai keselarasan antara kehendak tingkat pertama (desire) dan kehendak tingkat kedua (refleksi atas desire itu).⁵ Pandangan ini menjadi awal dari pendekatan kompatibilisme, yang berusaha menjembatani determinisme dengan tanggung jawab moral.

Namun, bagi para inkompatibilis, termasuk para penganut determinisme keras dan libertarian, kehendak bebas sejati harus berarti bahwa pada saat tertentu, seseorang dapat secara nyata memilih alternatif yang berbeda, dan pilihan itu tidak sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu dan hukum-hukum alam.⁶ Oleh karena itu, memahami konsep kehendak bebas dalam filsafat tidak hanya berarti memahami kapasitas memilih, tetapi juga mempertanyakan hakikat dari kebebasan itu sendiri dan bagaimana ia dapat (atau tidak dapat) bertahan dalam dunia yang tampaknya diatur oleh determinasi.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 8–9.

[2]                Augustine, On Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993), 19–23.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 95–100.

[4]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 1–5.

[5]                Harry G. Frankfurt, "Freedom of the Will and the Concept of a Person," The Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5–20.

[6]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–3.


3.           Pengantar tentang Determinisme

Determinisme adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa segala peristiwa dalam alam semesta, termasuk pikiran, keputusan, dan tindakan manusia, terjadi sebagai akibat yang tak terelakkan dari rangkaian sebab sebelumnya.¹ Dengan kata lain, jika seluruh kondisi awal dan hukum-hukum alam diketahui secara sempurna, maka semua peristiwa di masa depan secara teoritis dapat diprediksi. Pandangan ini bertumpu pada prinsip kausalitas, yakni bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara acak atau tanpa sebab.

Dalam sejarah filsafat, determinisme telah hadir sejak masa pra-Sokratik, namun mendapatkan fondasi ilmiah yang kuat dalam era modern, khususnya melalui mekanika Newtonian. Menurut pandangan mekanistik klasik, alam semesta beroperasi layaknya mesin raksasa yang mengikuti hukum-hukum fisika secara ketat.² Pierre-Simon Laplace, seorang ilmuwan Prancis abad ke-18, menggambarkan gambaran ekstrem dari determinisme ini melalui konsep “iblis Laplace” (Laplace’s demon)—yakni makhluk hipotetik yang, jika mengetahui posisi dan kecepatan seluruh partikel di alam semesta pada suatu waktu, dapat memprediksi seluruh masa depan dan merekonstruksi seluruh masa lalu.³

Dalam perkembangannya, determinisme tidak hanya dimaknai dalam ranah fisika atau metafisika, melainkan juga berkembang ke dalam berbagai bentuk dan cabang, di antaranya:

1)                  Determinisme Kausal (Causal Determinism): Pandangan bahwa setiap peristiwa disebabkan oleh peristiwa sebelumnya menurut hukum-hukum alam.

2)                  Determinisme Logis (Logical Determinism): Gagasan bahwa pernyataan tentang masa depan adalah benar atau salah sekarang, sehingga masa depan telah “tertentukan secara logis.”⁴

3)                  Determinisme Teologis: Kepercayaan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh kehendak atau pengetahuan Tuhan yang mutlak, sebagaimana dalam doktrin predestinasi.

4)                  Determinisme Biologis dan Genetik: Pandangan bahwa sifat dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor biologis atau genetis.

5)                  Determinisme Lingkungan atau Sosial: Gagasan bahwa latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya menentukan perilaku dan pilihan individu.⁵

Penting untuk membedakan determinisme dari fatalisme. Meskipun keduanya menekankan keterikatan manusia terhadap sesuatu yang tidak dapat dihindari, determinisme berakar pada prinsip kausalitas dan hukum alam, sedangkan fatalisme lebih mengacu pada gagasan bahwa apapun yang terjadi sudah ditakdirkan, tidak peduli apa pun usaha manusia.⁶ Dalam determinisme, pilihan manusia masih merupakan bagian dari rantai sebab-akibat; dalam fatalisme, pilihan manusia dianggap tidak relevan.

Pandangan deterministik menimbulkan dilema filosofis ketika dihadapkan pada gagasan kehendak bebas. Jika semua tindakan manusia telah ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya, apakah benar manusia bisa dikatakan "bebas"? Perdebatan ini membagi para filsuf ke dalam dua kubu utama: kompatibilis, yang percaya bahwa kehendak bebas dan determinisme bisa berdampingan, dan inkompatibilis, yang berpendapat bahwa keduanya saling bertentangan secara logis.⁷

Dengan memahami berbagai bentuk determinisme dan bagaimana ia berkembang dalam tradisi filsafat dan sains, kita memperoleh landasan penting untuk mengeksplorasi versi yang paling ketat dari pandangan ini, yaitu determinisme keras, yang menolak sepenuhnya kemungkinan kehendak bebas.


Footnotes

[1]                Carl Hoefer, “Causal Determinism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, rev. 2016, https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.

[2]                Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 23–27.

[3]                Pierre-Simon Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities, trans. Frederick Wilson Truscott and Frederick Lincoln Emory (New York: Dover Publications, 1951), 4.

[4]                Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1992), 48–51.

[5]                Steven Pinker, The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature (New York: Viking, 2002), 19–20.

[6]                Richard Hanley, “Fatalism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2005, https://plato.stanford.edu/entries/fatalism/.

[7]                Robert Kane, ed., The Oxford Handbook of Free Will, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 5–10.


4.           Determinisme Keras: Definisi dan Pokok Gagasan

Determinisme keras (hard determinism) adalah posisi filosofis yang menyatakan bahwa determinisme universal adalah benar dan bahwa konsekuensi dari kebenaran ini adalah nihilnya kehendak bebas.¹ Dalam pandangan ini, segala sesuatu—termasuk pikiran, keputusan, dan tindakan manusia—ditentukan sepenuhnya oleh rangkaian sebab-akibat yang mendahuluinya. Karena itu, tidak ada ruang bagi kebebasan memilih dalam arti yang sejati; manusia bertindak karena ia harus, bukan karena ia bebas untuk bertindak lain.

Posisi ini merupakan bentuk ekstrem dari inkompatibilisme, yakni pandangan bahwa determinisme dan kehendak bebas saling bertentangan secara logis.² Jika determinisme benar, maka kehendak bebas, sebagaimana biasanya dipahami (sebagai kemampuan untuk memilih di antara berbagai kemungkinan secara otonom), adalah mustahil. Sebaliknya, jika kehendak bebas benar-benar ada, maka determinisme tidak dapat sepenuhnya benar. Namun berbeda dengan libertarianisme, yang menolak determinisme demi mempertahankan kebebasan, determinisme keras justru menolak kebebasan demi konsistensi dengan prinsip kausalitas universal.

Salah satu pelopor determinisme keras adalah filsuf Prancis abad ke-18, Paul-Henri Thiry d’Holbach, yang dalam karya monumentalnya The System of Nature menggambarkan manusia sebagai bagian integral dari alam, tunduk pada hukum-hukum sebab-akibat sebagaimana segala hal lainnya. Menurutnya, "man’s life is a line that nature commands him to describe upon the surface of the earth, without his ever being able to swerve from it, even for an instant."³ Dalam pandangan ini, kehendak manusia hanyalah gejala dari proses sebab-akibat internal, seperti dorongan fisiologis, kondisi lingkungan, atau struktur otak. Tidak ada kehendak yang muncul secara independen dari rangkaian penyebab tersebut.

Pemikir kontemporer seperti Derk Pereboom juga mempertahankan versi determinisme keras yang lebih moderat, sering disebut sebagai hard incompatibilism. Menurut Pereboom, baik determinisme maupun indeterminisme (sebagaimana ditawarkan oleh fisika kuantum atau libertarianisme) gagal menyediakan landasan yang memadai bagi kehendak bebas sebagaimana disyaratkan oleh tanggung jawab moral.⁴ Artinya, entah alam semesta deterministik atau indeterministik, tetap saja kita tidak dapat memiliki kendali ultimate atas tindakan kita. Dalam bukunya Living Without Free Will, ia berpendapat bahwa intuisi kita tentang tanggung jawab moral harus direvisi secara radikal, dan kita harus melepaskan diri dari ide tentang ganjaran dan hukuman berbasis pada gagasan kebebasan personal.⁵

Selain argumen metafisik, determinisme keras juga memperoleh dukungan dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama dalam bidang neurosains. Penelitian oleh Benjamin Libet, misalnya, menunjukkan bahwa keputusan untuk bertindak sudah tampak dalam aktivitas otak (dalam bentuk readiness potential) sebelum individu secara sadar “memutuskan” untuk bertindak.⁶ Temuan ini menantang intuisi bahwa kehendak bebas mendahului dan mengontrol tindakan secara sadar, serta memperkuat pandangan bahwa kesadaran manusia hanyalah tahap akhir dari proses deterministik yang kompleks.

Secara konseptual, determinisme keras menganggap bahwa kebebasan sejati—yakni kebebasan yang memutuskan diri dari rantai sebab-akibat—adalah ilusi. Sebagai gantinya, perilaku manusia harus dipahami sebagai hasil dari interaksi kompleks antara determinasi biologis, lingkungan, dan sejarah personal. Bahkan niat baik dan keputusan moral tertinggi pun, dalam perspektif ini, adalah produk dari mekanisme deterministik yang bekerja di bawah kesadaran manusia.


Footnotes

[1]                Ted Honderich, How Free Are You? The Determinism Problem (Oxford: Oxford University Press, 2002), 9–10.

[2]                Robert Kane, The Oxford Handbook of Free Will, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 5–7.

[3]                Paul-Henri Thiry d’Holbach, The System of Nature, trans. H.D. Robinson (New York: Burt Franklin, 1970), 45.

[4]                Derk Pereboom, “Hard Incompatibilism,” in Four Views on Free Will, ed. John Martin Fischer et al. (Malden, MA: Blackwell, 2007), 85–88.

[5]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 63–67.

[6]                Benjamin Libet et al., “Time of Conscious Intention to Act in Relation to Onset of Cerebral Activity (Readiness-Potential),” Brain 106, no. 3 (1983): 623–642.


5.           Argumentasi Pendukung Determinisme Keras

Determinisme keras bertumpu pada sejumlah argumen filosofis dan ilmiah yang menolak eksistensi kehendak bebas sejati. Pendukung determinisme keras berpendapat bahwa segala tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh kondisi dan hukum kausal yang mendahuluinya, sehingga tidak ada ruang bagi pilihan yang bebas dalam arti metafisik. Argumen-argumen utama yang mendukung posisi ini mencakup aspek kausalitas universal, temuan dalam ilmu pengetahuan (khususnya neurologi dan psikologi), serta keterbatasan dalam kontrol manusia terhadap kehendaknya sendiri.

5.1.       Argumen Kausalitas Universal

Argumen kausalitas universal merupakan dasar utama dari determinisme keras. Pandangan ini menyatakan bahwa setiap peristiwa dalam alam semesta memiliki sebab, dan tidak ada yang terjadi secara acak atau tanpa determinasi. Dalam konteks tindakan manusia, hal ini berarti bahwa keputusan, niat, dan kehendak adalah akibat dari sebab-sebab sebelumnya, baik itu faktor biologis, lingkungan, pendidikan, atau pengalaman masa lalu.¹

Dari sudut pandang ini, kebebasan sejati akan menuntut semacam “pemberhentian kausal” (causal break), yakni tindakan yang tidak disebabkan oleh apapun selain diri pelakunya sendiri. Namun, para determinis keras berpendapat bahwa ide semacam itu tidak koheren secara logis dan tidak sesuai dengan pemahaman ilmiah tentang alam semesta.² Jika setiap kondisi dan peristiwa memiliki sebab, maka klaim tentang kehendak yang bebas dari sebab menjadi tidak masuk akal.

5.2.       Argumen dari Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang fisika klasik, memperkuat keyakinan terhadap determinisme dengan menunjukkan bahwa hukum-hukum alam bekerja secara konsisten dan dapat diprediksi. Prinsip-prinsip Newtonian menggambarkan alam semesta sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum mekanistik, dan dalam kerangka ini, perilaku manusia tidak dapat dikecualikan.³ Meskipun fisika kuantum menantang determinisme dalam level subatomik, sebagian besar determinis keras menganggap bahwa ketidakpastian kuantum tidak serta-merta membuktikan kehendak bebas, karena ketidaktertentuan bukanlah kebebasan, melainkan justru bentuk lain dari keterlepasan kendali.⁴

5.3.       Argumen dari Ilmu Neurosains

Penelitian dalam bidang neurosains memberikan kontribusi besar terhadap argumentasi determinisme keras, terutama melalui eksperimen yang menunjukkan bahwa otak manusia mempersiapkan tindakan sebelum seseorang secara sadar memutuskan untuk bertindak. Salah satu eksperimen paling terkenal adalah milik Benjamin Libet (1983), yang menunjukkan bahwa terdapat readiness potential (potensial kesiapan) dalam aktivitas otak yang muncul sekitar 350 milidetik sebelum individu menyatakan keputusan sadar untuk melakukan tindakan.⁵ Temuan ini mengimplikasikan bahwa otak telah “memutuskan” lebih dulu, dan kesadaran hanya menyusul sebagai epifenomena.

Eksperimen serupa oleh Soon et al. (2008) mendukung hasil tersebut dengan menunjukkan bahwa keputusan bisa diprediksi melalui pemindaian aktivitas otak hingga 10 detik sebelum individu sadar akan keputusannya.⁶ Hal ini semakin menegaskan bahwa kehendak sadar bukanlah pengontrol utama tindakan, melainkan produk akhir dari proses bawah sadar yang deterministik.

5.4.       Argumen Psikologis dan Sosiologis

Determinisme keras juga memperoleh dukungan dari psikologi dan sosiologi, yang menunjukkan bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan melalui faktor-faktor eksternal dan internal yang teramati. Faktor-faktor seperti trauma masa kecil, struktur sosial, tekanan lingkungan, dan kondisi ekonomi semuanya berperan besar dalam membentuk keputusan dan tindakan seseorang.⁷ Argumen ini menggarisbawahi bahwa apa yang tampak sebagai "pilihan bebas" sebenarnya adalah hasil dari konfigurasi kompleks yang berada di luar kendali sadar individu.

Sebagaimana dinyatakan oleh B.F. Skinner, seorang behavioris radikal, "the illusion that we are free to act independently of our conditioning has no place in a scientific analysis of behavior."⁸ Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, pengaruh lingkungan dan sistem nilai yang ditanamkan dalam diri seseorang sejak dini menjadikan kebebasan sebagai konstruksi psikologis, bukan realitas metafisik.


Dengan gabungan argumen dari metafisika, fisika klasik, neurosains, dan ilmu sosial, determinisme keras membentuk posisi yang kuat dalam menyangkal keberadaan kehendak bebas dalam arti yang utuh. Meskipun kritik terhadap posisi ini tetap kuat, argumen-argumen pendukungnya terus mengundang perdebatan filosofis yang mendalam dan belum menemukan konsensus final.


Footnotes

[1]                Carl Hoefer, “Causal Determinism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, rev. 2016, https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.

[2]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 19–22.

[3]                Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 26–29.

[4]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 84–86.

[5]                Benjamin Libet et al., “Time of Conscious Intention to Act in Relation to Onset of Cerebral Activity (Readiness-Potential),” Brain 106, no. 3 (1983): 623–642.

[6]                Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543–545.

[7]                John Martin Fischer and Mark Ravizza, Responsibility and Control: A Theory of Moral Responsibility (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 77–79.

[8]                B.F. Skinner, Beyond Freedom and Dignity (New York: Knopf, 1971), 68.


6.           Kritik terhadap Determinisme Keras

Meskipun determinisme keras menawarkan kerangka yang konsisten dan terkesan ilmiah untuk memahami tindakan manusia, posisi ini tidak luput dari berbagai kritik filosofis, ilmiah, maupun moral. Kritik terhadap determinisme keras mencakup keberatan dari aliran inkompatibilisme libertarian, pendekatan kompatibilisme, pandangan teologis, serta keberatan terhadap implikasi moral dan hukum dari penolakan terhadap kehendak bebas.

6.1.       Kritik dari Libertarianisme Filosofis

Kaum libertarian dalam filsafat kehendak bebas menolak determinisme karena dianggap merusak prasyarat tanggung jawab moral. Mereka berpegang pada prinsip bahwa seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan jika ia dapat memilih secara bebas, dalam arti bahwa ia benar-benar dapat berbuat lain.¹ Dalam pandangan ini, tindakan yang sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya tidak dapat disebut sebagai hasil dari agen moral yang otonom.

Robert Kane, seorang pembela utama libertarianisme, mengembangkan konsep "self-forming actions" (SFA) sebagai dasar kebebasan. Ia berargumen bahwa dalam situasi-situasi tertentu, individu membuat keputusan dalam kondisi ketegangan batin yang memungkinkan terbentuknya karakter moral. Dalam momen-momen seperti itu, ketidaktertentuan (indeterminism) di tingkat mikroskopik bisa memperkuat, bukan melemahkan, agensi moral.²

Libertarian juga mengkritik determinisme keras karena bersandar pada asumsi empiris yang terlalu menyederhanakan realitas manusia. Mereka menegaskan bahwa meskipun sains dapat menjelaskan mekanisme keputusan, ia tidak serta-merta menjelaskan makna moral dari tindakan, yang justru bergantung pada kebebasan dan pilihan yang sadar.³

6.2.       Kritik dari Kompatibilisme

Kompatibilis mempertahankan bahwa kehendak bebas tidak bertentangan dengan determinisme. Mereka menolak definisi kehendak bebas yang mengharuskan kebebasan dari sebab-akibat dan menggantinya dengan konsep kebebasan sebagai tindakan yang muncul dari motif dan keinginan internal tanpa paksaan eksternal.⁴ Dalam pandangan ini, seseorang dikatakan bertindak secara bebas jika ia bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, meskipun keinginan itu sendiri memiliki sebab.

Daniel Dennett, seorang kompatibilis terkemuka, menyatakan bahwa pertanyaan penting bukanlah “apakah kita bebas dalam arti metafisik mutlak?”, tetapi “apakah kita cukup bebas untuk dianggap bertanggung jawab?”⁵ Kritik kompatibilis terhadap determinisme keras menyoroti bahwa menyangkal semua bentuk kehendak bebas justru mengaburkan nuansa penting dalam pengambilan keputusan moral dan praktik sosial.

6.3.       Kritik dari Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Meskipun eksperimen Libet dan Soon sering dikutip oleh determinis keras, banyak peneliti meragukan kesimpulan yang terlalu jauh dari data tersebut. Misalnya, Alfred Mele berpendapat bahwa readiness potential tidak selalu mengarah pada tindakan tertentu dan tidak dapat dianggap sebagai bukti bahwa semua tindakan telah ditentukan sebelum munculnya kesadaran.⁶ Selain itu, kritik terhadap metodologi dan interpretasi hasil menunjukkan bahwa temuan neurosains belum mampu secara definitif menggugurkan keberadaan kehendak bebas.

Selain itu, fisika kuantum telah memperkenalkan elemen indeterminasi yang mendasar dalam alam semesta. Meskipun sebagian filsuf menganggap bahwa ketidakpastian kuantum tidak langsung mendukung kehendak bebas, hal ini tetap melemahkan klaim determinisme universal yang menjadi fondasi determinisme keras.⁷

6.4.       Kritik terhadap Implikasi Etis dan Sosial

Salah satu kritik paling serius terhadap determinisme keras adalah bahwa ia tampaknya menghancurkan dasar bagi tanggung jawab moral, penghargaan, hukuman, dan keadilan. Jika tidak ada tindakan yang benar-benar berasal dari individu sebagai agen moral, maka tidak masuk akal untuk memberikan hukuman atau pujian. Filsuf Galen Strawson berargumen bahwa ultimate moral responsibility memang mustahil, tetapi banyak pemikir menilai bahwa penerimaan terhadap determinisme keras akan mengikis landasan bagi sistem etika dan hukum yang adil.⁸

Sebaliknya, kompatibilis seperti John Martin Fischer mencoba menyelamatkan tanggung jawab moral dengan menunjukkan bahwa kita bisa tetap menganggap seseorang bertanggung jawab jika ia bertindak berdasarkan niat dan karakter pribadinya, bahkan jika niat itu sendiri ditentukan.⁹ Namun, bagi kritikus determinisme keras, penolakan total terhadap kebebasan dianggap sebagai bentuk penghilangan makna manusia sebagai makhluk bermoral.


Dengan demikian, kritik terhadap determinisme keras berasal dari berbagai sudut: filsafat agensi, sains kontemporer, dan refleksi etika. Meskipun posisi ini menawarkan kesatuan logis dan konsistensi internal, banyak pihak menilai bahwa ia terlalu menyederhanakan kompleksitas kesadaran dan tanggung jawab manusia.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 132–135.

[2]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 124–129.

[3]                Timothy O’Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, rev. 2022, https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.

[4]                John Martin Fischer and Mark Ravizza, Responsibility and Control: A Theory of Moral Responsibility (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 9–11.

[5]                Daniel Dennett, Elbow Room: The Varieties of Free Will Worth Wanting (Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 143.

[6]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn't Disproved Free Will (New York: Oxford University Press, 2014), 45–52.

[7]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 40–44.

[8]                Galen Strawson, “The Impossibility of Moral Responsibility,” Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.

[9]                John Martin Fischer, “The Transfer of Nonresponsibility,” Philosophical Studies 114, no. 1 (2003): 43–58.


7.           Implikasi Filosofis dan Etis dari Determinisme Keras

Penerimaan terhadap determinisme keras tidak hanya menimbulkan persoalan konseptual dalam filsafat kehendak bebas, tetapi juga mengguncang dasar-dasar etika, hukum, dan moralitas. Jika semua tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya yang berada di luar kendali pribadi, maka muncul pertanyaan mendasar: apakah manusia dapat dimintai pertanggungjawaban moral atas tindakannya? Apa makna dari pujian, hukuman, keadilan, atau bahkan makna hidup itu sendiri jika kebebasan dianggap ilusi?

7.1.       Tanggung Jawab Moral di Bawah Determinisme Keras

Salah satu dampak paling signifikan dari determinisme keras adalah penolakan terhadap konsep tanggung jawab moral tradisional. Menurut pandangan ini, tidak adil untuk memuji atau menyalahkan seseorang atas tindakan yang tidak ia kendalikan secara bebas.¹ Jika keputusan seseorang untuk mencuri, berbohong, atau bahkan berbuat baik adalah akibat dari rangkaian sebab yang tidak ia pilih—misalnya latar belakang genetik, pengalaman masa kecil, kondisi sosial, dan keadaan otak—maka menimpakan tanggung jawab pribadi padanya menjadi problematik secara etis.

Filsuf Derk Pereboom menegaskan bahwa karena kita tidak memiliki kendali "ultimate" atas faktor-faktor pembentuk diri kita, maka sistem penghargaan dan hukuman yang berbasis pada tanggung jawab moral harus diganti dengan pendekatan yang lebih rehabilitatif dan preventif.² Dalam sistem hukum, ini berarti bergeser dari retribusi (hukuman sebagai balasan atas kesalahan) ke pendekatan yang lebih pragmatis, seperti perlindungan masyarakat dan reformasi pelaku kejahatan.

7.2.       Kritik terhadap Konsep Hukuman Retributif

Implikasi etis lainnya adalah keruntuhan dasar dari hukuman retributif, yaitu gagasan bahwa seseorang pantas dihukum karena kesalahan yang ia lakukan secara sadar dan bebas.³ Dalam kerangka determinisme keras, tidak ada individu yang benar-benar "layak dihukum" karena tidak ada yang dapat memilih untuk bertindak selain dari yang telah ditentukan. Oleh karena itu, para determinis keras mengusulkan agar sistem hukum modern lebih berfokus pada konsekuensi sosial dan kemanfaatan praktis, bukan pada pembalasan moral.

Filsuf Gregg D. Caruso berpendapat bahwa penghukuman berbasis tanggung jawab moral tidak hanya tidak adil, tetapi juga kontraproduktif secara sosial dan psikologis. Dalam bukunya Rejecting Retributivism, ia mengajukan "Public Health Quarantine Model" sebagai pendekatan yang lebih etis—yakni memperlakukan pelaku kejahatan seperti kita memperlakukan ancaman penyakit: bukan dengan menghukum karena kesalahan moral, tetapi dengan mengisolasi dan merehabilitasi demi kebaikan bersama.⁴

7.3.       Tantangan terhadap Otonomi dan Makna Hidup

Di luar bidang hukum, determinisme keras juga menantang pandangan umum tentang otonomi pribadi dan makna hidup. Jika semua pilihan kita sudah ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya, maka muncul kekhawatiran eksistensial bahwa hidup manusia hanyalah "skenario yang dimainkan ulang" tanpa keaslian.⁵ Kritik ini sering datang dari filsafat eksistensial dan humanistik, yang menekankan pentingnya kebebasan sebagai dasar keberadaan dan makna manusia.

Namun demikian, beberapa determinis keras berusaha menunjukkan bahwa makna dan nilai hidup tidak harus bergantung pada kebebasan metafisik. Kita masih bisa memiliki harapan, mencintai, mencipta, dan memperjuangkan kebaikan, meskipun semua itu merupakan bagian dari sistem kausal yang kompleks. Seperti diungkapkan oleh Galen Strawson, "kita tidak perlu menjadi pencipta diri kita sendiri agar hidup kita tetap penting dan penuh makna."⁶

7.4.       Implikasi terhadap Etika dan Pendidikan

Dalam bidang etika praktis dan pendidikan, determinisme keras mendorong pergeseran dari pendekatan berbasis hukuman dan pujian ke pendekatan berbasis pemahaman kausal dan pembinaan karakter. Pemahaman bahwa perilaku destruktif mungkin muncul dari trauma, ketidaktahuan, atau faktor sosial membuat kita lebih cenderung menggunakan pendekatan empatik dan korektif.⁷ Dalam pendidikan, ini berarti lebih menekankan pengembangan lingkungan yang sehat, bimbingan personal, dan intervensi sosial sebagai sarana membentuk perilaku positif.


Dengan demikian, determinisme keras menantang banyak asumsi moral dan sosial yang telah mapan. Meskipun pandangan ini tampak suram bagi sebagian orang, banyak pendukungnya justru melihatnya sebagai pintu masuk menuju tanggung jawab yang lebih rasional, sistem hukum yang lebih manusiawi, dan etika yang lebih empatik. Namun, perdebatan ini masih jauh dari selesai dan terus memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang teratur oleh hukum kausal.


Footnotes

[1]           Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 87–91.

[2]           Derk Pereboom, “Hard Incompatibilism,” in Four Views on Free Will, ed. John Martin Fischer et al. (Malden, MA: Blackwell, 2007), 89–93.

[3]           John Martin Fischer and Mark Ravizza, Responsibility and Control: A Theory of Moral Responsibility (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 22–25.

[4]           Gregg D. Caruso, Rejecting Retributivism: Free Will, Punishment, and Criminal Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 103–108.

[5]           Saul Smilansky, Free Will and Illusion (Oxford: Oxford University Press, 2000), 75–78.

[6]           Galen Strawson, “The Impossibility of Ultimate Moral Responsibility,” Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.

[7]           Bruce N. Waller, Against Moral Responsibility (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 189–192.


8.           Determinisme Keras dalam Perspektif Agama dan Spiritualitas

Isu kehendak bebas dan determinisme bukan hanya menjadi perdebatan dalam filsafat sekuler, tetapi juga menjadi perbincangan yang intens dalam tradisi keagamaan dan spiritualitas. Sebagian tradisi teologis telah lama mempersoalkan relasi antara kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan manusia, sehingga muncul konsep seperti predestinasi, qadar (takdir), dan ikhtiar dalam berbagai konteks keimanan. Namun demikian, determinisme keras dalam bentuknya yang sekuler dan naturalistik—yang menolak semua bentuk kehendak bebas—menantang dasar-dasar banyak doktrin agama yang menekankan tanggung jawab moral, pahala, dan dosa.

8.1.       Determinisme dan Teologi dalam Tradisi Kristen

Dalam teologi Kristen, perdebatan antara kehendak bebas dan predestinasi mencapai puncaknya dalam karya-karya Augustinus dan kemudian John Calvin. Augustinus mempertahankan bahwa manusia memerlukan rahmat ilahi untuk dapat memilih yang baik, tetapi masih memiliki bentuk kehendak bebas dalam batas-batas tertentu.¹ Calvin, sebaliknya, menekankan predestinasi mutlak, yaitu bahwa Allah telah menentukan sejak awal siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang tidak.²

Pandangan ini tampak selaras dengan determinisme keras, tetapi perlu dicatat bahwa determinisme teologis tetap mengakui agen transenden (yaitu Tuhan) sebagai sumber kehendak dan bukan sekadar mekanisme fisikal-kausal seperti dalam determinisme naturalistik.³ Dalam sistem Calvinis, kehendak manusia tetap dianggap "bebas" dalam arti ia bertindak sesuai dengan keinginannya, meskipun keinginan itu sendiri telah ditentukan oleh kehendak ilahi.

8.2.       Perspektif Islam: Qadar dan Ikhtiar

Dalam Islam, persoalan qadar (takdir) dan ikhtiar (usaha) merupakan tema utama dalam diskursus teologis klasik. Aliran Jabariyah memandang bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas; semua tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh kehendak Allah.⁴ Sebaliknya, Qadariyah dan kemudian Mu’tazilah menegaskan kebebasan manusia dalam memilih dan bertindak, sebagai dasar tanggung jawab moral dan perintah syariat.

Namun, posisi yang paling berpengaruh dalam sejarah teologi Islam Sunni adalah Asy’ariyah, yang mengembangkan konsep kasb (perolehan). Menurut Imam al-Asy’ari, Allah menciptakan semua perbuatan, tetapi manusia “memperoleh” perbuatan itu melalui pilihan dan niatnya.⁵ Konsep ini berusaha menengahi antara absolutisme takdir dan kebebasan kehendak, tetapi tidak sampai pada penolakan determinisme seperti libertarianisme modern.

Oleh karena itu, walaupun ada kesamaan antara determinisme keras dan gagasan tentang takdir ilahi, mayoritas tradisi teologis Islam tetap mempertahankan unsur kebebasan dan tanggung jawab manusia, yang sangat penting dalam konteks hukum syariat, pahala-dosa, dan hari pengadilan.

8.3.       Tradisi Timur: Karma dan Kausalitas Spiritual

Dalam tradisi-tradisi Timur seperti Hinduisme dan Buddhisme, terdapat keyakinan yang kuat terhadap hukum karma, yaitu hukum kausalitas moral yang menegaskan bahwa tindakan (baik atau buruk) akan menghasilkan konsekuensi yang setimpal, baik dalam kehidupan ini maupun yang akan datang.⁶ Pandangan ini bisa dianggap deterministik dalam pengertian moral, tetapi tidak meniadakan kebebasan.

Sebaliknya, kebebasan dalam ajaran Buddha dipahami sebagai kebebasan dari nafsu, kebodohan, dan keterikatan, bukan dalam pengertian libertarian tentang kehendak yang lepas dari sebab.⁷ Dalam konteks ini, spiritualitas berfungsi bukan untuk memperkuat ilusi kebebasan, tetapi untuk membebaskan individu dari rantai sebab-akibat yang mengikatnya dalam penderitaan.

8.4.       Pertentangan antara Determinisme Keras dan Spiritualitas

Pandangan determinisme keras, yang menolak seluruh bentuk kehendak bebas—termasuk kehendak moral dan spiritual—bertentangan secara langsung dengan fungsi utama agama, yakni memberikan makna dan tanggung jawab kepada tindakan manusia. Jika semua tindakan manusia hanyalah hasil dari proses otak yang ditentukan oleh sebab fisik, maka perintah etis, larangan ilahi, pahala, dan hukuman akhirat kehilangan maknanya.⁸

Namun, beberapa pemikir kontemporer mencoba menjembatani determinisme dan spiritualitas dengan menekankan bahwa kesadaran atas keterbatasan kebebasan manusia justru dapat memperdalam kerendahan hati, keikhlasan, dan pengandalan kepada Tuhan (tawakkal). Sebagian lainnya berpendapat bahwa meskipun kebebasan metafisik mungkin tidak ada, manusia tetap bisa menjalani hidup bermakna dan bertanggung jawab secara spiritual dalam keterbatasan kodratinya.⁹


Dengan demikian, determinisme keras menantang bukan hanya filsafat kehendak bebas, tetapi juga dasar-dasar spiritualitas dan religiositas dalam berbagai tradisi. Meskipun terdapat titik-titik persinggungan dalam konsep takdir atau karma, pendekatan deterministik sekuler yang sepenuhnya menolak kehendak bebas tetap menjadi tantangan serius bagi semua sistem keimanan yang mendasarkan tanggung jawab manusia pada kebebasan memilih.


Footnotes

[1]                Augustine, On Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993), 87–90.

[2]                John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (Peabody, MA: Hendrickson Publishers, 2008), III.21–24.

[3]                Paul Helm, The Providence of God (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1994), 65–69.

[4]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Berlin: De Gruyter, 1991), vol. 2, 234–239.

[5]                Al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn, ed. Helmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner Verlag, 1980), 214–217.

[6]                Wendy Doniger, Hinduism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 49–52.

[7]                Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 40–43.

[8]                William Lane Craig, The Only Wise God: The Compatibility of Divine Foreknowledge and Human Freedom (Grand Rapids: Baker Book House, 1999), 103–105.

[9]                Nader El-Bizri, “God, Nature, and the Cause: The Philosophical Significance of Occasionalism in Islamic Thought,” in Islamic Thought in the Middle Ages, ed. F. Opwis and D. Reisman (Leiden: Brill, 2008), 279–280.


9.           Studi Kasus dan Ilustrasi Modern

Untuk memahami dampak nyata dan kompleksitas filosofis dari determinisme keras, penting untuk melihat bagaimana gagasan ini berinteraksi dengan dunia modern—baik dalam ranah neurosains, sistem hukum, maupun budaya populer. Studi kasus dan ilustrasi ini menunjukkan bahwa isu kehendak bebas bukan hanya perdebatan abstrak, tetapi memiliki implikasi praktis dan naratif yang menyentuh kehidupan sehari-hari serta struktur masyarakat.

9.1.       Eksperimen Benjamin Libet: "Kesadaran yang Tertinggal"

Salah satu studi paling terkenal yang sering dikaitkan dengan determinisme keras adalah eksperimen Benjamin Libet pada awal 1980-an. Dalam eksperimen tersebut, ditemukan bahwa aktivitas otak yang dikenal sebagai readiness potential muncul sekitar 350 milidetik sebelum subjek melaporkan secara sadar niat untuk menggerakkan jarinya.¹ Temuan ini ditafsirkan sebagai bukti bahwa otak “memulai” tindakan sebelum kita menyadari keputusan tersebut, yang mendukung klaim bahwa kehendak sadar hanyalah ilusi.

Meskipun beberapa filsuf dan ilmuwan seperti Alfred Mele mengkritik generalisasi dari eksperimen Libet—dengan menyatakan bahwa keterlambatan kesadaran tidak membuktikan absennya kehendak bebas secara menyeluruh²—eksperimen ini tetap menjadi dasar banyak argumen kontemporer dalam mendukung posisi deterministik.

9.2.       Prediksi Tindakan melalui Neurosains: Studi Soon et al.

Melanjutkan temuan Libet, sebuah studi oleh Chun Siong Soon dan koleganya (2008) menggunakan fMRI untuk menunjukkan bahwa pilihan biner (misalnya: menekan tombol kiri atau kanan) dapat diprediksi oleh pola aktivitas otak hingga 7–10 detik sebelum subjek menyadarinya.³ Penelitian ini menyiratkan bahwa proses pengambilan keputusan dimulai jauh sebelum kesadaran muncul ke permukaan, memperkuat pandangan bahwa kesadaran adalah penumpang, bukan pengemudi dalam tindakan manusia.

9.3.       Studi Hukum: Kasus Neurosains dan Pertanggungjawaban Kriminal

Dalam dunia hukum, argumen deterministik mulai memasuki pengadilan melalui neurohukum (neurolaw). Salah satu kasus yang terkenal adalah kasus Herbert Weinstein, seorang eksekutif yang membunuh istrinya dan kemudian ditemukan memiliki kista besar di lobus frontal otaknya—bagian otak yang berperan dalam pengendalian impuls.⁴ Pembelaan Weinstein mengklaim bahwa kelainan otak tersebut mengurangi kemampuannya untuk mengendalikan tindakan, sehingga tanggung jawab moral dan hukum harus dipertimbangkan ulang.

Kasus ini membuka diskusi tentang apakah pelaku kejahatan dapat dimintai pertanggungjawaban jika tindakan mereka disebabkan oleh kondisi neurologis yang tidak mereka pilih. Pendukung determinisme keras melihat ini sebagai konfirmasi bahwa bahkan tindakan ekstrem sekalipun dapat ditelusuri pada sebab biologis atau neurologis yang berada di luar kendali individu.

9.4.       Representasi dalam Film dan Sastra: Ilusi Kebebasan dalam Narasi Populer

Determinisme keras juga menemukan ekspresi artistik dan naratif dalam budaya populer, terutama dalam film dan sastra fiksi ilmiah. Film Minority Report (2002) yang disutradarai Steven Spielberg, misalnya, menggambarkan masyarakat di mana kejahatan dapat diprediksi sebelum terjadi dan pelaku ditangkap sebelum sempat berbuat.⁵ Premis film ini mempertanyakan apakah seseorang dapat dihukum atas sesuatu yang belum ia lakukan secara sadar tetapi "sudah ditentukan" akan dilakukan.

Contoh lain adalah film The Adjustment Bureau (2011), yang menampilkan agen-agen tak terlihat yang menjaga agar manusia tetap mengikuti rencana hidup yang telah ditentukan oleh "Chairman" misterius. Film ini menjadi alegori tentang konflik antara kehendak bebas dan takdir yang ditentukan oleh kekuatan yang lebih besar.

Melalui medium ini, determinisme keras tidak hanya menjadi ide akademik, tetapi juga alat eksplorasi imajinatif untuk mengeksplorasi makna kebebasan, tanggung jawab, dan kontrol dalam dunia modern.

9.5.       Kecerdasan Buatan dan Determinisme Algoritmik

Dalam dunia teknologi, terutama pada pengembangan kecerdasan buatan (AI), pertanyaan tentang kehendak bebas menjadi semakin relevan. Ketika sistem AI dapat “belajar” dan “mengambil keputusan” melalui algoritme kompleks, timbul pertanyaan: apakah manusia juga hanyalah sistem biologis yang diprogram oleh genetika dan lingkungan?_⁶ Dalam beberapa argumen kontemporer, determinisme keras diparalelkan dengan cara kerja mesin cerdas—di mana input selalu menentukan output, tanpa adanya kebebasan sejati.


Dengan melihat berbagai ilustrasi modern ini, jelas bahwa determinisme keras bukanlah teori yang hanya hidup di ruang filsafat, tetapi telah menyeberang ke ranah sains, hukum, seni, dan teknologi. Ia menantang asumsi dasar tentang kehendak, pilihan, dan tanggung jawab di era modern, dan terus menjadi titik diskusi kritis dalam menghadapi masa depan manusia yang semakin dikendalikan oleh data dan determinasi algoritmik.


Footnotes

[1]                Benjamin Libet et al., “Time of Conscious Intention to Act in Relation to Onset of Cerebral Activity (Readiness-Potential),” Brain 106, no. 3 (1983): 623–642.

[2]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn't Disproved Free Will (New York: Oxford University Press, 2014), 32–41.

[3]                Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543–545.

[4]                Joshua Greene and Jonathan Cohen, “For the Law, Neuroscience Changes Nothing and Everything,” Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 359, no. 1451 (2004): 1775–1785.

[5]                Steven Spielberg, dir., Minority Report (Los Angeles: 20th Century Fox/DreamWorks Pictures, 2002).

[6]                Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 101–106.


10.       Kesimpulan

Pembahasan mengenai determinisme keras dalam kerangka filsafat kehendak bebas membuka cakrawala pemikiran yang luas dan menantang. Di satu sisi, determinisme keras menyajikan argumen yang sistematis dan terkesan ilmiah dalam menjelaskan perilaku manusia sebagai bagian dari jaringan kausalitas alam semesta. Mulai dari prinsip kausalitas universal, temuan dalam neurosains, hingga studi kasus hukum dan budaya populer, determinisme keras membangun narasi bahwa kehendak bebas sebagaimana lazim dipahami mungkin tidak pernah benar-benar ada

Namun di sisi lain, posisi ini menimbulkan konsekuensi filosofis dan etis yang signifikan. Jika manusia sepenuhnya tunduk pada hukum deterministik, maka makna tanggung jawab moral, keadilan, dan kebebasan eksistensial berada dalam ancaman serius.² Dalam konteks ini, para kritikus—baik dari aliran libertarian, kompatibilis, maupun perspektif religius—berusaha mempertahankan bahwa masih terdapat ruang bagi kehendak bebas, setidaknya dalam bentuk yang lebih fungsional atau terbatas.³

Beberapa pemikir seperti Derk Pereboom dan Gregg D. Caruso mengusulkan agar masyarakat mulai membangun sistem etika dan hukum yang tidak bergantung pada konsep tanggung jawab moral tradisional, melainkan berdasarkan pada prinsip rehabilitasi, pencegahan, dan perlindungan sosial.⁴ Pandangan ini tidak meniadakan etika, tetapi justru mencoba mendasarkan etika pada pemahaman ilmiah yang lebih realistis tentang manusia sebagai makhluk yang terbentuk oleh lingkungan, genetika, dan pengalaman hidup.

Sementara itu, dari perspektif teologis dan spiritual, determinisme keras memicu refleksi baru mengenai hubungan antara takdir dan ikhtiar, serta mendorong reinterpretasi tentang bagaimana tanggung jawab manusia dapat dipahami dalam kerangka ketundukan kepada kehendak ilahi.⁵ Dalam konteks ini, sebagian kalangan berpendapat bahwa pengakuan terhadap determinasi dalam diri manusia justru dapat menjadi jalan menuju kerendahan hati, pemahaman diri, dan kesadaran akan ketergantungan kepada kekuatan yang lebih besar.

Akhirnya, diskusi mengenai determinisme keras menuntut kita untuk menghadapi pertanyaan paling mendasar dalam filsafat: Apakah kita sungguh bebas? Apakah makna menjadi manusia tanpa kebebasan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang sederhana, namun tetap perlu dipikirkan secara serius. Seperti yang diungkapkan Daniel Dennett, bahkan jika kebebasan yang kita miliki bukanlah “kebebasan absolut”, mungkin itu sudah cukup untuk menjadikan kita makhluk bermoral, kreatif, dan bertanggung jawab.⁶

Dengan demikian, memahami determinisme keras bukan berarti menerima atau menolaknya secara mutlak, melainkan menggunakannya sebagai lensa kritis untuk mengevaluasi asumsi-asumsi dasar tentang siapa kita, mengapa kita bertindak, dan bagaimana kita seharusnya memperlakukan sesama. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh data, algoritma, dan prediksi perilaku, refleksi filosofis tentang kebebasan menjadi lebih relevan dari sebelumnya.


Footnotes

[1]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–3.

[2]                Galen Strawson, “The Impossibility of Moral Responsibility,” Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.

[3]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 29–32.

[4]                Gregg D. Caruso, Rejecting Retributivism: Free Will, Punishment, and Criminal Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 102–105.

[5]                Al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn, ed. Helmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner Verlag, 1980), 215–217.

[6]                Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 165–169.


Daftar Pustaka

Al-Asy’ari. (1980). Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn (H. Ritter, Ed.). Wiesbaden: Franz Steiner Verlag.

Augustine. (1993). On free choice of the will (T. Williams, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company.

Calvin, J. (2008). Institutes of the Christian religion (H. Beveridge, Trans.). Peabody, MA: Hendrickson Publishers. (Original work published 1536)

Caruso, G. D. (2021). Rejecting retributivism: Free will, punishment, and criminal justice. Cambridge: Cambridge University Press.

Craig, W. L. (1999). The only wise God: The compatibility of divine foreknowledge and human freedom. Grand Rapids, MI: Baker Book House.

Dennett, D. C. (1984). Elbow room: The varieties of free will worth wanting. Cambridge, MA: MIT Press.

Dennett, D. C. (2003). Freedom evolves. New York, NY: Viking.

Doniger, W. (2010). Hinduism: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

El-Bizri, N. (2008). God, nature, and the cause: The philosophical significance of occasionalism in Islamic thought. In F. Opwis & D. Reisman (Eds.), Islamic thought in the Middle Ages (pp. 257–281). Leiden: Brill.

Fischer, J. M., & Ravizza, M. (1998). Responsibility and control: A theory of moral responsibility. Cambridge: Cambridge University Press.

Fischer, J. M. (2003). The transfer of nonresponsibility. Philosophical Studies, 114(1), 43–58.

Greene, J., & Cohen, J. (2004). For the law, neuroscience changes nothing and everything. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 359(1451), 1775–1785.

Helm, P. (1994). The providence of God. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. New York, NY: Harper.

Hoefer, C. (2016). Causal determinism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2016 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/

Kane, R. (1996). The significance of free will. New York, NY: Oxford University Press.

Kane, R. (Ed.). (2011). The Oxford handbook of free will (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

Keown, D. (2000). Buddhism: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Libet, B., Gleason, C. A., Wright, E. W., & Pearl, D. K. (1983). Time of conscious intention to act in relation to onset of cerebral activity (readiness-potential). Brain, 106(3), 623–642.

Mele, A. R. (2014). Free: Why science hasn't disproved free will. New York, NY: Oxford University Press.

Pereboom, D. (2001). Living without free will. Cambridge: Cambridge University Press.

Pereboom, D. (2007). Hard incompatibilism. In J. M. Fischer, R. Kane, D. Pereboom, & M. Vargas, Four views on free will (pp. 85–125). Malden, MA: Blackwell Publishing.

Pink er, S. (2002). The blank slate: The modern denial of human nature. New York, NY: Viking.

Schneider, S. (2019). Artificial you: AI and the future of your mind. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Skinner, B. F. (1971). Beyond freedom and dignity. New York, NY: Knopf.

Smilansky, S. (2000). Free will and illusion. Oxford: Oxford University Press.

Soon, C. S., Brass, M., Heinze, H. J., & Haynes, J. D. (2008). Unconscious determinants of free decisions in the human brain. Nature Neuroscience, 11(5), 543–545.

Spielberg, S. (Director). (2002). Minority Report [Film]. 20th Century Fox; DreamWorks Pictures.

Strawson, G. (1994). The impossibility of moral responsibility. Philosophical Studies, 75(1–2), 5–24.

Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

van Ess, J. (1991). Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 2). Berlin: De Gruyter.

van Inwagen, P. (1983). An essay on free will. Oxford: Clarendon Press.

Waller, B. N. (2011). Against moral responsibility. Cambridge, MA: MIT Press.

Wegner, D. M. (2002). The illusion of conscious will. Cambridge, MA: MIT Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar