Determinisme Keras
Menembus Ilusi Kebebasan
Alihkan ke: Kebebasan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif salah satu
perspektif paling radikal dalam filsafat kehendak bebas, yaitu determinisme
keras (hard determinism), yang menyatakan bahwa semua tindakan
manusia sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya dan bahwa kehendak
bebas adalah ilusi. Pembahasan dimulai dari penelusuran konsep dasar kehendak
bebas dan determinisme, dilanjutkan dengan penguraian gagasan determinisme
keras, serta argumentasi filosofis dan ilmiah yang mendukungnya, termasuk
temuan dalam neurosains dan psikologi. Artikel ini juga mengkaji kritik-kritik
utama terhadap determinisme keras dari sudut pandang libertarian, kompatibilis,
serta pendekatan agama dan spiritualitas. Selain itu, disajikan ilustrasi dan
studi kasus modern yang menunjukkan relevansi praktis dari perdebatan ini,
termasuk dalam bidang hukum, teknologi, dan budaya populer. Penutup artikel ini
menyoroti dampak etis dan filosofis yang mendalam jika determinisme keras
diterima sebagai kebenaran, sekaligus membuka ruang refleksi kritis tentang
makna kebebasan, tanggung jawab, dan kemanusiaan dalam dunia yang semakin
ditentukan oleh hukum kausal dan algoritmik.
Kata Kunci: Determinisme keras; kehendak bebas; tanggung jawab
moral; neurosains; filsafat etika; libertarianisme; kompatibilisme;
spiritualitas; sistem hukum; filsafat modern.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat tentang Determinisme Keras dan
Implikasinya terhadap Kehendak Bebas
1.
Pendahuluan
Pertanyaan tentang apakah manusia benar-benar
memiliki kebebasan dalam berkehendak telah menjadi perdebatan panjang dalam
sejarah filsafat. Di satu sisi, pengalaman subjektif sehari-hari tampaknya
menunjukkan bahwa manusia bebas dalam memilih dan bertindak. Namun, di sisi
lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat metafisika memberikan
tantangan serius terhadap klaim kebebasan tersebut. Salah satu pandangan yang
paling ekstrem dan radikal dalam menanggapi persoalan ini adalah determinisme
keras (hard determinism), sebuah posisi yang menolak eksistensi
kehendak bebas secara mutlak dan menyatakan bahwa semua peristiwa, termasuk
pilihan manusia, sepenuhnya ditentukan oleh hukum kausalitas.
Gagasan tentang determinisme sebenarnya telah hadir
sejak masa Yunani Kuno, terutama dalam pemikiran kaum Stoik yang percaya bahwa
alam semesta tunduk pada logos atau hukum rasional yang tidak dapat diubah.
Namun, dalam konteks modern, perdebatan mengenai kehendak bebas mencapai
intensitas filosofis baru setelah munculnya pemahaman ilmiah tentang kausalitas
mekanistik dalam fisika Newtonian. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap kejadian
adalah akibat yang niscaya dari sebab-sebab sebelumnya, sehingga tidak ada
ruang tersisa untuk kebebasan murni dalam pengambilan keputusan manusia.¹
Dalam arus pemikiran ini, para determinis keras
seperti Paul-Henri Thiry d’Holbach menegaskan bahwa manusia hanyalah bagian
dari alam yang tunduk pada hukum-hukum alamiah, dan bahwa kehendak manusia
bukanlah kekuatan otonom, melainkan produk dari rangkaian sebab yang tak
terhindarkan. Dalam karyanya The System of Nature, d’Holbach menyatakan
secara tegas bahwa "man is connected to universal nature, and subjected
to the necessary and immutable laws she imposes on all beings."²
Dengan demikian, menurut determinisme keras, kebebasan hanyalah ilusi
psikologis yang timbul dari ketidaktahuan terhadap sebab-sebab terdahulu yang
memengaruhi tindakan kita.
Pandangan ini memiliki konsekuensi mendalam, tidak
hanya dalam ranah metafisika, tetapi juga dalam moralitas, tanggung jawab
hukum, dan bahkan agama. Jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, maka
bagaimana mungkin ia dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya? Pertanyaan
ini menjadi sangat relevan dalam diskursus kontemporer, terutama dalam kaitannya
dengan sistem peradilan dan etika sosial.³
Mengingat pentingnya persoalan ini, artikel ini
akan secara sistematis mengeksplorasi gagasan determinisme keras, menelusuri
argumentasi filosofis yang mendukungnya, serta mempertimbangkan kritik-kritik
utama yang ditujukan terhadapnya. Dengan demikian, pembaca diharapkan dapat
memahami kedalaman filsafat kebebasan berkehendak serta tantangan yang
dihadirkan oleh determinisme keras dalam upaya menafsirkan makna tanggung jawab
dan kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will
(Oxford: Clarendon Press, 1983), 1–4.
[2]
Paul-Henri Thiry d’Holbach, The System of Nature,
trans. H.D. Robinson (New York: Burt Franklin, 1970), 39.
[3]
Derk Pereboom, Living Without Free Will
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 63–67.
2.
Konsep
Dasar Kehendak Bebas dalam Filsafat
Kehendak bebas (free will) merupakan konsep
sentral dalam filsafat yang merujuk pada kapasitas manusia untuk membuat
keputusan secara otonom, tanpa dipaksa oleh faktor eksternal maupun determinasi
internal yang tak terkendali. Dalam pengertian klasik, kehendak bebas menuntut
bahwa seseorang, dalam situasi tertentu, bisa saja telah memilih secara
berbeda dari apa yang ia pilih sebenarnya.¹ Pandangan ini menekankan bahwa
tindakan moral seseorang memiliki makna hanya jika ia dilakukan secara bebas,
dan bukan karena paksaan atau determinasi kausal yang tak dapat dielakkan.
Dalam tradisi filsafat Barat, pembahasan tentang
kehendak bebas telah mengalami berbagai perkembangan. Santo Agustinus (354–430
M), misalnya, mempertahankan kehendak bebas sebagai dasar tanggung jawab moral,
meskipun ia mengakui adanya pengaruh kuat dari kehendak Ilahi.² Di era modern,
perdebatan lebih difokuskan pada ketegangan antara kebebasan dan determinisme.
Filsuf seperti Immanuel Kant memandang kehendak bebas sebagai syarat mutlak
bagi tanggung jawab moral, dan oleh karena itu, ia menempatkannya dalam ranah
rasional dan transendental, di luar jangkauan hukum sebab-akibat empiris.³
Sebagian filsuf membedakan antara kebebasan
kehendak (freedom of will) dan kebebasan bertindak (freedom
of action). Yang pertama merujuk pada kemampuan untuk menginginkan atau
menghendaki sesuatu secara bebas, sedangkan yang kedua merujuk pada kemampuan
untuk mewujudkan kehendak itu dalam tindakan nyata.⁴ Distingsi ini penting
karena seseorang mungkin memiliki kebebasan untuk menghendaki sesuatu, tetapi
tidak memiliki kapasitas untuk merealisasikannya karena pembatasan fisik,
sosial, atau psikologis.
Persoalan mengenai kehendak bebas menjadi semakin
kompleks ketika dikaitkan dengan tanggung jawab moral. Banyak filsuf berargumen
bahwa tanpa kehendak bebas, tidak mungkin seseorang secara sah dimintai
pertanggungjawaban atas tindakannya. Harry Frankfurt, dalam esainya yang
berpengaruh Freedom of the Will and the Concept of a Person,
mengembangkan gagasan bahwa kehendak bebas tidak harus diartikan sebagai
kebebasan metafisik dari sebab-akibat, tetapi sebagai keselarasan antara
kehendak tingkat pertama (desire) dan kehendak tingkat kedua (refleksi atas
desire itu).⁵ Pandangan ini menjadi awal dari pendekatan kompatibilisme,
yang berusaha menjembatani determinisme dengan tanggung jawab moral.
Namun, bagi para inkompatibilis, termasuk
para penganut determinisme keras dan libertarian, kehendak bebas sejati harus
berarti bahwa pada saat tertentu, seseorang dapat secara nyata memilih
alternatif yang berbeda, dan pilihan itu tidak sepenuhnya ditentukan oleh masa
lalu dan hukum-hukum alam.⁶ Oleh karena itu, memahami konsep kehendak bebas
dalam filsafat tidak hanya berarti memahami kapasitas memilih, tetapi juga
mempertanyakan hakikat dari kebebasan itu sendiri dan bagaimana ia dapat (atau
tidak dapat) bertahan dalam dunia yang tampaknya diatur oleh determinasi.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will
(Oxford: Clarendon Press, 1983), 8–9.
[2]
Augustine, On Free Choice of the Will,
trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993), 19–23.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
95–100.
[4]
Robert Kane, The Significance of Free Will
(New York: Oxford University Press, 1996), 1–5.
[5]
Harry G. Frankfurt, "Freedom of the Will and
the Concept of a Person," The Journal of Philosophy 68, no. 1
(1971): 5–20.
[6]
Derk Pereboom, Living Without Free Will
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–3.
3.
Pengantar
tentang Determinisme
Determinisme adalah
pandangan filosofis yang menyatakan bahwa segala peristiwa dalam alam semesta,
termasuk pikiran, keputusan, dan tindakan manusia, terjadi sebagai akibat yang
tak terelakkan dari rangkaian sebab sebelumnya.¹ Dengan kata lain, jika seluruh
kondisi awal dan hukum-hukum alam diketahui secara sempurna, maka semua
peristiwa di masa depan secara teoritis dapat diprediksi. Pandangan ini
bertumpu pada prinsip kausalitas, yakni bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi
secara acak atau tanpa sebab.
Dalam sejarah
filsafat, determinisme telah hadir sejak masa pra-Sokratik, namun mendapatkan
fondasi ilmiah yang kuat dalam era modern, khususnya melalui mekanika
Newtonian. Menurut pandangan mekanistik klasik, alam semesta beroperasi
layaknya mesin raksasa yang mengikuti hukum-hukum fisika secara ketat.²
Pierre-Simon Laplace, seorang ilmuwan Prancis abad ke-18, menggambarkan
gambaran ekstrem dari determinisme ini melalui konsep “iblis Laplace” (Laplace’s
demon)—yakni makhluk hipotetik yang, jika mengetahui posisi dan kecepatan
seluruh partikel di alam semesta pada suatu waktu, dapat memprediksi seluruh
masa depan dan merekonstruksi seluruh masa lalu.³
Dalam
perkembangannya, determinisme tidak hanya dimaknai dalam ranah fisika atau
metafisika, melainkan juga berkembang ke dalam berbagai bentuk dan cabang, di
antaranya:
1)
Determinisme Kausal
(Causal Determinism): Pandangan bahwa setiap peristiwa disebabkan oleh
peristiwa sebelumnya menurut hukum-hukum alam.
2)
Determinisme Logis (Logical
Determinism): Gagasan bahwa pernyataan tentang masa depan adalah benar
atau salah sekarang, sehingga masa depan telah “tertentukan secara logis.”⁴
3)
Determinisme Teologis:
Kepercayaan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh kehendak atau
pengetahuan Tuhan yang mutlak, sebagaimana dalam doktrin predestinasi.
4)
Determinisme Biologis dan
Genetik: Pandangan bahwa sifat dan perilaku manusia ditentukan oleh
faktor-faktor biologis atau genetis.
5)
Determinisme Lingkungan
atau Sosial: Gagasan bahwa latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya
menentukan perilaku dan pilihan individu.⁵
Penting untuk
membedakan determinisme dari fatalisme. Meskipun keduanya menekankan
keterikatan manusia terhadap sesuatu yang tidak dapat dihindari, determinisme
berakar pada prinsip kausalitas dan hukum alam, sedangkan fatalisme lebih
mengacu pada gagasan bahwa apapun yang terjadi sudah ditakdirkan, tidak peduli
apa pun usaha manusia.⁶ Dalam determinisme, pilihan manusia masih merupakan
bagian dari rantai sebab-akibat; dalam fatalisme, pilihan manusia dianggap
tidak relevan.
Pandangan
deterministik menimbulkan dilema filosofis ketika dihadapkan pada gagasan
kehendak bebas. Jika semua tindakan manusia telah ditentukan oleh sebab-sebab
sebelumnya, apakah benar manusia bisa dikatakan "bebas"?
Perdebatan ini membagi para filsuf ke dalam dua kubu utama: kompatibilis,
yang percaya bahwa kehendak bebas dan determinisme bisa berdampingan, dan inkompatibilis,
yang berpendapat bahwa keduanya saling bertentangan secara logis.⁷
Dengan memahami
berbagai bentuk determinisme dan bagaimana ia berkembang dalam tradisi filsafat
dan sains, kita memperoleh landasan penting untuk mengeksplorasi versi yang
paling ketat dari pandangan ini, yaitu determinisme keras, yang
menolak sepenuhnya kemungkinan kehendak bebas.
Footnotes
[1]
Carl Hoefer, “Causal Determinism,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy, rev. 2016, https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.
[2]
Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003),
23–27.
[3]
Pierre-Simon Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities,
trans. Frederick Wilson Truscott and Frederick Lincoln Emory (New York: Dover
Publications, 1951), 4.
[4]
Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1992), 48–51.
[5]
Steven Pinker, The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature
(New York: Viking, 2002), 19–20.
[6]
Richard Hanley, “Fatalism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy,
2005, https://plato.stanford.edu/entries/fatalism/.
[7]
Robert Kane, ed., The Oxford Handbook of Free Will, 2nd ed.
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 5–10.
4.
Determinisme
Keras: Definisi dan Pokok Gagasan
Determinisme keras (hard determinism) adalah posisi filosofis
yang menyatakan bahwa determinisme universal adalah benar dan bahwa konsekuensi
dari kebenaran ini adalah nihilnya kehendak bebas.¹ Dalam pandangan ini, segala
sesuatu—termasuk pikiran, keputusan, dan tindakan manusia—ditentukan sepenuhnya
oleh rangkaian sebab-akibat yang mendahuluinya. Karena itu, tidak ada ruang
bagi kebebasan memilih dalam arti yang sejati; manusia bertindak karena ia harus,
bukan karena ia bebas untuk bertindak lain.
Posisi ini merupakan bentuk ekstrem dari inkompatibilisme,
yakni pandangan bahwa determinisme dan kehendak bebas saling bertentangan
secara logis.² Jika determinisme benar, maka kehendak bebas, sebagaimana
biasanya dipahami (sebagai kemampuan untuk memilih di antara berbagai
kemungkinan secara otonom), adalah mustahil. Sebaliknya, jika kehendak bebas
benar-benar ada, maka determinisme tidak dapat sepenuhnya benar. Namun berbeda
dengan libertarianisme, yang menolak determinisme demi mempertahankan
kebebasan, determinisme keras justru menolak kebebasan demi konsistensi dengan
prinsip kausalitas universal.
Salah satu pelopor determinisme keras adalah filsuf
Prancis abad ke-18, Paul-Henri Thiry d’Holbach, yang dalam karya
monumentalnya The System of Nature menggambarkan manusia sebagai bagian
integral dari alam, tunduk pada hukum-hukum sebab-akibat sebagaimana segala hal
lainnya. Menurutnya, "man’s life is a line that nature commands him to
describe upon the surface of the earth, without his ever being able to swerve
from it, even for an instant."³ Dalam pandangan ini, kehendak manusia
hanyalah gejala dari proses sebab-akibat internal, seperti dorongan fisiologis,
kondisi lingkungan, atau struktur otak. Tidak ada kehendak yang muncul secara
independen dari rangkaian penyebab tersebut.
Pemikir kontemporer seperti Derk Pereboom
juga mempertahankan versi determinisme keras yang lebih moderat, sering disebut
sebagai hard incompatibilism. Menurut Pereboom, baik determinisme maupun
indeterminisme (sebagaimana ditawarkan oleh fisika kuantum atau
libertarianisme) gagal menyediakan landasan yang memadai bagi kehendak bebas
sebagaimana disyaratkan oleh tanggung jawab moral.⁴ Artinya, entah alam semesta
deterministik atau indeterministik, tetap saja kita tidak dapat memiliki
kendali ultimate atas tindakan kita. Dalam bukunya Living Without Free Will,
ia berpendapat bahwa intuisi kita tentang tanggung jawab moral harus direvisi
secara radikal, dan kita harus melepaskan diri dari ide tentang ganjaran dan
hukuman berbasis pada gagasan kebebasan personal.⁵
Selain argumen metafisik, determinisme keras juga
memperoleh dukungan dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama dalam
bidang neurosains. Penelitian oleh Benjamin Libet, misalnya, menunjukkan
bahwa keputusan untuk bertindak sudah tampak dalam aktivitas otak (dalam bentuk
readiness potential) sebelum individu secara sadar “memutuskan”
untuk bertindak.⁶ Temuan ini menantang intuisi bahwa kehendak bebas mendahului
dan mengontrol tindakan secara sadar, serta memperkuat pandangan bahwa
kesadaran manusia hanyalah tahap akhir dari proses deterministik yang kompleks.
Secara konseptual, determinisme keras menganggap
bahwa kebebasan sejati—yakni kebebasan yang memutuskan diri dari rantai
sebab-akibat—adalah ilusi. Sebagai gantinya, perilaku manusia harus dipahami
sebagai hasil dari interaksi kompleks antara determinasi biologis, lingkungan,
dan sejarah personal. Bahkan niat baik dan keputusan moral tertinggi pun, dalam
perspektif ini, adalah produk dari mekanisme deterministik yang bekerja di
bawah kesadaran manusia.
Footnotes
[1]
Ted Honderich, How Free Are You? The Determinism
Problem (Oxford: Oxford University Press, 2002), 9–10.
[2]
Robert Kane, The Oxford Handbook of Free Will,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 5–7.
[3]
Paul-Henri Thiry d’Holbach, The System of Nature,
trans. H.D. Robinson (New York: Burt Franklin, 1970), 45.
[4]
Derk Pereboom, “Hard Incompatibilism,” in Four
Views on Free Will, ed. John Martin Fischer et al. (Malden, MA: Blackwell,
2007), 85–88.
[5]
Derk Pereboom, Living Without Free Will
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 63–67.
[6]
Benjamin Libet et al., “Time of Conscious Intention
to Act in Relation to Onset of Cerebral Activity (Readiness-Potential),” Brain
106, no. 3 (1983): 623–642.
5.
Argumentasi
Pendukung Determinisme Keras
Determinisme keras
bertumpu pada sejumlah argumen filosofis dan ilmiah yang menolak eksistensi
kehendak bebas sejati. Pendukung determinisme keras berpendapat bahwa segala
tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh kondisi dan hukum kausal yang
mendahuluinya, sehingga tidak ada ruang bagi pilihan yang bebas dalam arti
metafisik. Argumen-argumen utama yang mendukung posisi ini mencakup aspek
kausalitas universal, temuan dalam ilmu pengetahuan (khususnya neurologi dan
psikologi), serta keterbatasan dalam kontrol manusia terhadap kehendaknya
sendiri.
5.1.
Argumen Kausalitas
Universal
Argumen kausalitas
universal merupakan dasar utama dari determinisme keras. Pandangan ini
menyatakan bahwa setiap peristiwa dalam alam semesta memiliki sebab, dan tidak
ada yang terjadi secara acak atau tanpa determinasi. Dalam konteks tindakan
manusia, hal ini berarti bahwa keputusan, niat, dan kehendak adalah akibat dari
sebab-sebab sebelumnya, baik itu faktor biologis, lingkungan, pendidikan, atau pengalaman
masa lalu.¹
Dari sudut pandang
ini, kebebasan sejati akan menuntut semacam “pemberhentian kausal” (causal
break), yakni tindakan yang tidak disebabkan oleh apapun selain diri
pelakunya sendiri. Namun, para determinis keras berpendapat bahwa ide semacam
itu tidak koheren secara logis dan tidak sesuai dengan pemahaman ilmiah tentang
alam semesta.² Jika setiap kondisi dan peristiwa memiliki sebab, maka klaim
tentang kehendak yang bebas dari sebab menjadi tidak masuk akal.
5.2.
Argumen dari Ilmu Pengetahuan
Alam
Ilmu pengetahuan,
khususnya dalam bidang fisika klasik, memperkuat keyakinan terhadap
determinisme dengan menunjukkan bahwa hukum-hukum alam bekerja secara konsisten
dan dapat diprediksi. Prinsip-prinsip Newtonian menggambarkan alam semesta
sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum mekanistik, dan dalam kerangka
ini, perilaku manusia tidak dapat dikecualikan.³ Meskipun fisika kuantum
menantang determinisme dalam level subatomik, sebagian besar determinis keras
menganggap bahwa ketidakpastian kuantum tidak serta-merta membuktikan kehendak
bebas, karena ketidaktertentuan bukanlah kebebasan, melainkan justru bentuk
lain dari keterlepasan kendali.⁴
5.3.
Argumen dari Ilmu
Neurosains
Penelitian dalam
bidang neurosains memberikan kontribusi besar terhadap argumentasi determinisme
keras, terutama melalui eksperimen yang menunjukkan bahwa otak manusia
mempersiapkan tindakan sebelum seseorang secara sadar memutuskan untuk
bertindak. Salah satu eksperimen paling terkenal adalah milik Benjamin
Libet (1983), yang menunjukkan bahwa terdapat readiness
potential (potensial kesiapan) dalam aktivitas otak yang muncul
sekitar 350 milidetik sebelum individu menyatakan keputusan sadar untuk
melakukan tindakan.⁵ Temuan ini mengimplikasikan bahwa otak telah “memutuskan” lebih
dulu, dan kesadaran hanya menyusul sebagai epifenomena.
Eksperimen serupa
oleh Soon et al. (2008) mendukung hasil tersebut dengan menunjukkan bahwa
keputusan bisa diprediksi melalui pemindaian aktivitas otak hingga 10 detik
sebelum individu sadar akan keputusannya.⁶ Hal ini semakin menegaskan bahwa
kehendak sadar bukanlah pengontrol utama tindakan, melainkan produk akhir dari
proses bawah sadar yang deterministik.
5.4.
Argumen Psikologis dan
Sosiologis
Determinisme keras
juga memperoleh dukungan dari psikologi dan sosiologi, yang menunjukkan bahwa
perilaku manusia dapat dijelaskan melalui faktor-faktor eksternal dan internal
yang teramati. Faktor-faktor seperti trauma masa kecil, struktur sosial,
tekanan lingkungan, dan kondisi ekonomi semuanya berperan besar dalam membentuk
keputusan dan tindakan seseorang.⁷ Argumen ini menggarisbawahi bahwa apa yang
tampak sebagai "pilihan
bebas" sebenarnya adalah hasil dari konfigurasi kompleks yang
berada di luar kendali sadar individu.
Sebagaimana
dinyatakan oleh B.F. Skinner, seorang behavioris radikal, "the illusion
that we are free to act independently of our conditioning has no place in a
scientific analysis of behavior."⁸ Oleh karena itu, menurut pendekatan
ini, pengaruh lingkungan dan sistem nilai yang ditanamkan dalam diri seseorang
sejak dini menjadikan kebebasan sebagai konstruksi psikologis, bukan realitas
metafisik.
Dengan gabungan
argumen dari metafisika, fisika klasik, neurosains, dan ilmu sosial,
determinisme keras membentuk posisi yang kuat dalam menyangkal keberadaan
kehendak bebas dalam arti yang utuh. Meskipun kritik terhadap posisi ini tetap
kuat, argumen-argumen pendukungnya terus mengundang perdebatan filosofis yang
mendalam dan belum menemukan konsensus final.
Footnotes
[1]
Carl Hoefer, “Causal Determinism,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy, rev. 2016, https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.
[2]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 19–22.
[3]
Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003),
26–29.
[4]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 84–86.
[5]
Benjamin Libet et al., “Time of Conscious Intention to Act in Relation
to Onset of Cerebral Activity (Readiness-Potential),” Brain 106, no. 3
(1983): 623–642.
[6]
Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in
the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543–545.
[7]
John Martin Fischer and Mark Ravizza, Responsibility and Control: A
Theory of Moral Responsibility (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 77–79.
[8]
B.F. Skinner, Beyond Freedom and Dignity (New York: Knopf,
1971), 68.
6.
Kritik
terhadap Determinisme Keras
Meskipun
determinisme keras menawarkan kerangka yang konsisten dan terkesan ilmiah untuk
memahami tindakan manusia, posisi ini tidak luput dari berbagai kritik
filosofis, ilmiah, maupun moral. Kritik terhadap determinisme keras mencakup
keberatan dari aliran inkompatibilisme libertarian, pendekatan kompatibilisme,
pandangan teologis, serta keberatan terhadap implikasi moral dan hukum dari
penolakan terhadap kehendak bebas.
6.1.
Kritik dari Libertarianisme
Filosofis
Kaum libertarian
dalam filsafat kehendak bebas menolak determinisme karena dianggap merusak
prasyarat tanggung jawab moral. Mereka berpegang pada prinsip bahwa seseorang
hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan jika ia dapat
memilih secara bebas, dalam arti bahwa ia benar-benar dapat
berbuat lain.¹ Dalam pandangan ini, tindakan yang sepenuhnya
ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya tidak dapat disebut sebagai hasil dari
agen moral yang otonom.
Robert Kane, seorang
pembela utama libertarianisme, mengembangkan konsep "self-forming
actions" (SFA) sebagai dasar kebebasan. Ia berargumen
bahwa dalam situasi-situasi tertentu, individu membuat keputusan dalam kondisi
ketegangan batin yang memungkinkan terbentuknya karakter moral. Dalam
momen-momen seperti itu, ketidaktertentuan (indeterminism) di tingkat
mikroskopik bisa memperkuat, bukan melemahkan, agensi moral.²
Libertarian juga
mengkritik determinisme keras karena bersandar pada asumsi empiris yang terlalu
menyederhanakan realitas manusia. Mereka menegaskan bahwa meskipun sains dapat
menjelaskan mekanisme keputusan, ia tidak
serta-merta menjelaskan makna moral dari tindakan, yang
justru bergantung pada kebebasan dan pilihan yang sadar.³
6.2.
Kritik dari Kompatibilisme
Kompatibilis
mempertahankan bahwa kehendak bebas tidak bertentangan dengan determinisme.
Mereka menolak definisi kehendak bebas yang mengharuskan kebebasan dari
sebab-akibat dan menggantinya dengan konsep kebebasan sebagai tindakan
yang muncul dari motif dan keinginan internal tanpa paksaan eksternal.⁴
Dalam pandangan ini, seseorang dikatakan bertindak secara bebas jika ia
bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, meskipun keinginan itu sendiri
memiliki sebab.
Daniel Dennett,
seorang kompatibilis terkemuka, menyatakan bahwa pertanyaan penting bukanlah “apakah
kita bebas dalam arti metafisik mutlak?”, tetapi “apakah kita cukup
bebas untuk dianggap bertanggung jawab?”⁵ Kritik kompatibilis terhadap
determinisme keras menyoroti bahwa menyangkal semua bentuk kehendak bebas
justru mengaburkan nuansa penting dalam pengambilan keputusan moral dan praktik
sosial.
6.3.
Kritik dari Ilmu
Pengetahuan Kontemporer
Meskipun eksperimen
Libet dan Soon sering dikutip oleh determinis keras, banyak peneliti meragukan
kesimpulan yang terlalu jauh dari data tersebut. Misalnya, Alfred Mele
berpendapat bahwa readiness potential tidak selalu
mengarah pada tindakan tertentu dan tidak dapat dianggap sebagai bukti bahwa
semua tindakan telah ditentukan sebelum munculnya kesadaran.⁶ Selain itu,
kritik terhadap metodologi dan interpretasi hasil menunjukkan bahwa temuan neurosains
belum mampu secara definitif menggugurkan keberadaan kehendak bebas.
Selain itu, fisika
kuantum telah memperkenalkan elemen indeterminasi yang mendasar
dalam alam semesta. Meskipun sebagian filsuf menganggap bahwa ketidakpastian
kuantum tidak langsung mendukung kehendak bebas, hal ini tetap melemahkan klaim
determinisme universal yang menjadi fondasi determinisme keras.⁷
6.4.
Kritik terhadap Implikasi
Etis dan Sosial
Salah satu kritik
paling serius terhadap determinisme keras adalah bahwa ia tampaknya
menghancurkan dasar bagi tanggung jawab moral, penghargaan, hukuman, dan
keadilan. Jika tidak ada tindakan yang benar-benar berasal dari
individu sebagai agen moral, maka tidak masuk akal untuk memberikan hukuman
atau pujian. Filsuf Galen Strawson berargumen bahwa ultimate moral responsibility
memang mustahil, tetapi banyak pemikir menilai bahwa penerimaan terhadap
determinisme keras akan mengikis landasan bagi sistem etika dan hukum yang
adil.⁸
Sebaliknya,
kompatibilis seperti John Martin Fischer mencoba menyelamatkan tanggung jawab
moral dengan menunjukkan bahwa kita bisa tetap menganggap seseorang bertanggung
jawab jika ia bertindak berdasarkan niat dan karakter pribadinya, bahkan jika
niat itu sendiri ditentukan.⁹ Namun, bagi kritikus determinisme keras,
penolakan total terhadap kebebasan dianggap sebagai bentuk penghilangan makna
manusia sebagai makhluk bermoral.
Dengan demikian,
kritik terhadap determinisme keras berasal dari berbagai sudut: filsafat
agensi, sains kontemporer, dan refleksi etika. Meskipun posisi ini menawarkan
kesatuan logis dan konsistensi internal, banyak pihak menilai bahwa ia terlalu
menyederhanakan kompleksitas kesadaran dan tanggung jawab manusia.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 132–135.
[2]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 124–129.
[3]
Timothy O’Connor, “Free Will,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, rev. 2022, https://plato.stanford.edu/entries/freewill/.
[4]
John Martin Fischer and Mark Ravizza, Responsibility and Control: A
Theory of Moral Responsibility (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 9–11.
[5]
Daniel Dennett, Elbow Room: The Varieties of Free Will Worth
Wanting (Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 143.
[6]
Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn't Disproved Free Will
(New York: Oxford University Press, 2014), 45–52.
[7]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 40–44.
[8]
Galen Strawson, “The Impossibility of Moral Responsibility,” Philosophical
Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
[9]
John Martin Fischer, “The Transfer of Nonresponsibility,” Philosophical
Studies 114, no. 1 (2003): 43–58.
7.
Implikasi
Filosofis dan Etis dari Determinisme Keras
Penerimaan terhadap determinisme keras tidak
hanya menimbulkan persoalan konseptual dalam filsafat kehendak bebas, tetapi
juga mengguncang dasar-dasar etika, hukum, dan moralitas. Jika semua tindakan
manusia sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya yang berada di luar
kendali pribadi, maka muncul pertanyaan mendasar: apakah manusia dapat
dimintai pertanggungjawaban moral atas tindakannya? Apa makna dari pujian,
hukuman, keadilan, atau bahkan makna hidup itu sendiri jika kebebasan dianggap
ilusi?
7.1.
Tanggung Jawab Moral di
Bawah Determinisme Keras
Salah satu dampak paling signifikan dari
determinisme keras adalah penolakan terhadap konsep tanggung jawab moral
tradisional. Menurut pandangan ini, tidak adil untuk memuji atau
menyalahkan seseorang atas tindakan yang tidak ia kendalikan secara bebas.¹ Jika
keputusan seseorang untuk mencuri, berbohong, atau bahkan berbuat baik adalah
akibat dari rangkaian sebab yang tidak ia pilih—misalnya latar belakang
genetik, pengalaman masa kecil, kondisi sosial, dan keadaan otak—maka
menimpakan tanggung jawab pribadi padanya menjadi problematik secara etis.
Filsuf Derk Pereboom menegaskan bahwa karena
kita tidak memiliki kendali "ultimate" atas faktor-faktor pembentuk diri kita, maka sistem penghargaan
dan hukuman yang berbasis pada tanggung jawab moral harus diganti dengan
pendekatan yang lebih rehabilitatif dan preventif.² Dalam sistem hukum, ini
berarti bergeser dari retribusi (hukuman sebagai balasan atas kesalahan) ke
pendekatan yang lebih pragmatis, seperti perlindungan masyarakat dan reformasi
pelaku kejahatan.
7.2.
Kritik terhadap Konsep
Hukuman Retributif
Implikasi etis lainnya adalah keruntuhan dasar
dari hukuman retributif, yaitu gagasan bahwa seseorang pantas dihukum
karena kesalahan yang ia lakukan secara sadar dan bebas.³ Dalam kerangka
determinisme keras, tidak ada individu yang benar-benar "layak dihukum"
karena tidak ada yang dapat memilih untuk bertindak selain dari yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, para determinis keras mengusulkan agar sistem
hukum modern lebih berfokus pada konsekuensi sosial dan kemanfaatan praktis,
bukan pada pembalasan moral.
Filsuf Gregg D. Caruso berpendapat bahwa
penghukuman berbasis tanggung jawab moral tidak hanya tidak adil, tetapi juga
kontraproduktif secara sosial dan psikologis. Dalam bukunya Rejecting
Retributivism, ia mengajukan "Public Health Quarantine Model"
sebagai pendekatan yang lebih etis—yakni memperlakukan pelaku kejahatan seperti
kita memperlakukan ancaman penyakit: bukan dengan menghukum karena kesalahan
moral, tetapi dengan mengisolasi dan merehabilitasi demi kebaikan bersama.⁴
7.3.
Tantangan terhadap Otonomi
dan Makna Hidup
Di luar bidang hukum, determinisme keras juga
menantang pandangan umum tentang otonomi pribadi dan makna hidup.
Jika semua pilihan kita sudah ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya, maka
muncul kekhawatiran eksistensial bahwa hidup manusia hanyalah "skenario
yang dimainkan ulang" tanpa keaslian.⁵ Kritik ini sering datang dari
filsafat eksistensial dan humanistik, yang menekankan pentingnya kebebasan
sebagai dasar keberadaan dan makna manusia.
Namun demikian, beberapa determinis keras berusaha
menunjukkan bahwa makna dan nilai hidup tidak harus bergantung pada
kebebasan metafisik. Kita masih bisa memiliki harapan, mencintai, mencipta,
dan memperjuangkan kebaikan, meskipun semua itu merupakan bagian dari sistem
kausal yang kompleks. Seperti diungkapkan oleh Galen Strawson, "kita
tidak perlu menjadi pencipta diri kita sendiri agar hidup kita tetap penting
dan penuh makna."⁶
7.4.
Implikasi terhadap Etika
dan Pendidikan
Dalam bidang etika praktis dan pendidikan,
determinisme keras mendorong pergeseran dari pendekatan berbasis hukuman dan
pujian ke pendekatan berbasis pemahaman kausal dan pembinaan karakter.
Pemahaman bahwa perilaku destruktif mungkin muncul dari trauma, ketidaktahuan,
atau faktor sosial membuat kita lebih cenderung menggunakan pendekatan
empatik dan korektif.⁷ Dalam pendidikan, ini berarti lebih menekankan
pengembangan lingkungan yang sehat, bimbingan personal, dan intervensi sosial
sebagai sarana membentuk perilaku positif.
Dengan demikian, determinisme keras menantang
banyak asumsi moral dan sosial yang telah mapan. Meskipun pandangan ini tampak
suram bagi sebagian orang, banyak pendukungnya justru melihatnya sebagai pintu
masuk menuju tanggung jawab yang lebih rasional, sistem hukum yang lebih
manusiawi, dan etika yang lebih empatik. Namun, perdebatan ini masih jauh
dari selesai dan terus memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang apa
artinya menjadi manusia dalam dunia yang teratur oleh hukum kausal.
Footnotes
[1]
Derk Pereboom, Living Without Free Will
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 87–91.
[2]
Derk Pereboom, “Hard Incompatibilism,” in Four
Views on Free Will, ed. John Martin Fischer et al. (Malden, MA: Blackwell,
2007), 89–93.
[3]
John Martin Fischer and Mark Ravizza, Responsibility
and Control: A Theory of Moral Responsibility (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998), 22–25.
[4]
Gregg D. Caruso, Rejecting Retributivism: Free
Will, Punishment, and Criminal Justice (Cambridge: Cambridge University
Press, 2021), 103–108.
[5]
Saul Smilansky, Free Will and Illusion
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 75–78.
[6]
Galen Strawson, “The Impossibility of Ultimate
Moral Responsibility,” Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
[7]
Bruce N. Waller, Against Moral Responsibility
(Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 189–192.
8.
Determinisme
Keras dalam Perspektif Agama dan Spiritualitas
Isu kehendak bebas dan determinisme bukan hanya
menjadi perdebatan dalam filsafat sekuler, tetapi juga menjadi perbincangan
yang intens dalam tradisi keagamaan dan spiritualitas. Sebagian tradisi
teologis telah lama mempersoalkan relasi antara kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan
manusia, sehingga muncul konsep seperti predestinasi, qadar
(takdir), dan ikhtiar dalam berbagai konteks keimanan. Namun
demikian, determinisme keras dalam bentuknya yang sekuler dan
naturalistik—yang menolak semua bentuk kehendak bebas—menantang dasar-dasar
banyak doktrin agama yang menekankan tanggung jawab moral, pahala, dan dosa.
8.1.
Determinisme dan Teologi
dalam Tradisi Kristen
Dalam teologi Kristen, perdebatan antara kehendak
bebas dan predestinasi mencapai puncaknya dalam karya-karya Augustinus
dan kemudian John Calvin. Augustinus mempertahankan bahwa manusia
memerlukan rahmat ilahi untuk dapat memilih yang baik, tetapi masih memiliki
bentuk kehendak bebas dalam batas-batas tertentu.¹ Calvin, sebaliknya,
menekankan predestinasi mutlak, yaitu bahwa Allah telah menentukan sejak
awal siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang tidak.²
Pandangan ini tampak selaras dengan determinisme
keras, tetapi perlu dicatat bahwa determinisme teologis tetap mengakui agen
transenden (yaitu Tuhan) sebagai sumber kehendak dan bukan sekadar mekanisme
fisikal-kausal seperti dalam determinisme naturalistik.³ Dalam sistem Calvinis,
kehendak manusia tetap dianggap "bebas" dalam arti ia
bertindak sesuai dengan keinginannya, meskipun keinginan itu sendiri telah
ditentukan oleh kehendak ilahi.
8.2.
Perspektif Islam: Qadar dan
Ikhtiar
Dalam Islam, persoalan qadar (takdir) dan ikhtiar
(usaha) merupakan tema utama dalam diskursus teologis klasik. Aliran Jabariyah
memandang bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas; semua tindakan manusia
sepenuhnya ditentukan oleh kehendak Allah.⁴ Sebaliknya, Qadariyah dan
kemudian Mu’tazilah menegaskan kebebasan manusia dalam memilih dan
bertindak, sebagai dasar tanggung jawab moral dan perintah syariat.
Namun, posisi yang paling berpengaruh dalam sejarah
teologi Islam Sunni adalah Asy’ariyah, yang mengembangkan konsep kasb
(perolehan). Menurut Imam al-Asy’ari, Allah menciptakan semua perbuatan, tetapi
manusia “memperoleh” perbuatan itu melalui pilihan dan niatnya.⁵ Konsep
ini berusaha menengahi antara absolutisme takdir dan kebebasan kehendak, tetapi
tidak sampai pada penolakan determinisme seperti libertarianisme modern.
Oleh karena itu, walaupun ada kesamaan antara
determinisme keras dan gagasan tentang takdir ilahi, mayoritas tradisi
teologis Islam tetap mempertahankan unsur kebebasan dan tanggung jawab manusia,
yang sangat penting dalam konteks hukum syariat, pahala-dosa, dan hari
pengadilan.
8.3.
Tradisi Timur: Karma dan
Kausalitas Spiritual
Dalam tradisi-tradisi Timur seperti Hinduisme
dan Buddhisme, terdapat keyakinan yang kuat terhadap hukum karma,
yaitu hukum kausalitas moral yang menegaskan bahwa tindakan (baik atau buruk)
akan menghasilkan konsekuensi yang setimpal, baik dalam kehidupan ini maupun
yang akan datang.⁶ Pandangan ini bisa dianggap deterministik dalam pengertian
moral, tetapi tidak meniadakan kebebasan.
Sebaliknya, kebebasan dalam ajaran Buddha dipahami
sebagai kebebasan dari nafsu, kebodohan, dan keterikatan, bukan dalam
pengertian libertarian tentang kehendak yang lepas dari sebab.⁷ Dalam konteks
ini, spiritualitas berfungsi bukan untuk memperkuat ilusi kebebasan, tetapi
untuk membebaskan individu dari rantai sebab-akibat yang mengikatnya dalam
penderitaan.
8.4.
Pertentangan antara
Determinisme Keras dan Spiritualitas
Pandangan determinisme keras, yang menolak seluruh
bentuk kehendak bebas—termasuk kehendak moral dan spiritual—bertentangan secara
langsung dengan fungsi utama agama, yakni memberikan makna dan tanggung
jawab kepada tindakan manusia. Jika semua tindakan manusia hanyalah hasil dari
proses otak yang ditentukan oleh sebab fisik, maka perintah etis, larangan
ilahi, pahala, dan hukuman akhirat kehilangan maknanya.⁸
Namun, beberapa pemikir kontemporer mencoba
menjembatani determinisme dan spiritualitas dengan menekankan bahwa kesadaran
atas keterbatasan kebebasan manusia justru dapat memperdalam kerendahan hati,
keikhlasan, dan pengandalan kepada Tuhan (tawakkal). Sebagian
lainnya berpendapat bahwa meskipun kebebasan metafisik mungkin tidak ada,
manusia tetap bisa menjalani hidup bermakna dan bertanggung jawab secara
spiritual dalam keterbatasan kodratinya.⁹
Dengan demikian, determinisme keras menantang bukan
hanya filsafat kehendak bebas, tetapi juga dasar-dasar spiritualitas dan
religiositas dalam berbagai tradisi. Meskipun terdapat titik-titik
persinggungan dalam konsep takdir atau karma, pendekatan deterministik sekuler
yang sepenuhnya menolak kehendak bebas tetap menjadi tantangan serius bagi
semua sistem keimanan yang mendasarkan tanggung jawab manusia pada kebebasan
memilih.
Footnotes
[1]
Augustine, On Free Choice of the Will,
trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993), 87–90.
[2]
John Calvin, Institutes of the Christian
Religion, trans. Henry Beveridge (Peabody, MA: Hendrickson Publishers,
2008), III.21–24.
[3]
Paul Helm, The Providence of God (Downers
Grove, IL: InterVarsity Press, 1994), 65–69.
[4]
Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2.
und 3. Jahrhundert Hidschra (Berlin: De Gruyter, 1991), vol. 2, 234–239.
[5]
Al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf
al-Muṣallīn, ed. Helmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner Verlag, 1980),
214–217.
[6]
Wendy Doniger, Hinduism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 49–52.
[7]
Damien Keown, Buddhism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 40–43.
[8]
William Lane Craig, The Only Wise God: The
Compatibility of Divine Foreknowledge and Human Freedom (Grand Rapids:
Baker Book House, 1999), 103–105.
[9]
Nader El-Bizri, “God, Nature, and the Cause: The
Philosophical Significance of Occasionalism in Islamic Thought,” in Islamic
Thought in the Middle Ages, ed. F. Opwis and D. Reisman (Leiden: Brill,
2008), 279–280.
9.
Studi
Kasus dan Ilustrasi Modern
Untuk memahami dampak nyata dan kompleksitas
filosofis dari determinisme keras, penting untuk melihat bagaimana
gagasan ini berinteraksi dengan dunia modern—baik dalam ranah neurosains,
sistem hukum, maupun budaya populer. Studi kasus dan ilustrasi
ini menunjukkan bahwa isu kehendak bebas bukan hanya perdebatan abstrak, tetapi
memiliki implikasi praktis dan naratif yang menyentuh kehidupan sehari-hari
serta struktur masyarakat.
9.1.
Eksperimen Benjamin Libet:
"Kesadaran yang Tertinggal"
Salah satu studi paling terkenal yang sering
dikaitkan dengan determinisme keras adalah eksperimen Benjamin Libet
pada awal 1980-an. Dalam eksperimen tersebut, ditemukan bahwa aktivitas otak
yang dikenal sebagai readiness potential muncul sekitar 350 milidetik
sebelum subjek melaporkan secara sadar niat untuk menggerakkan jarinya.¹ Temuan
ini ditafsirkan sebagai bukti bahwa otak “memulai” tindakan sebelum kita
menyadari keputusan tersebut, yang mendukung klaim bahwa kehendak sadar
hanyalah ilusi.
Meskipun beberapa filsuf dan ilmuwan seperti Alfred
Mele mengkritik generalisasi dari eksperimen Libet—dengan menyatakan bahwa
keterlambatan kesadaran tidak membuktikan absennya kehendak bebas secara
menyeluruh²—eksperimen ini tetap menjadi dasar banyak argumen kontemporer dalam
mendukung posisi deterministik.
9.2.
Prediksi Tindakan melalui
Neurosains: Studi Soon et al.
Melanjutkan temuan Libet, sebuah studi oleh Chun
Siong Soon dan koleganya (2008) menggunakan fMRI untuk menunjukkan bahwa
pilihan biner (misalnya: menekan tombol kiri atau kanan) dapat diprediksi oleh
pola aktivitas otak hingga 7–10 detik sebelum subjek menyadarinya.³
Penelitian ini menyiratkan bahwa proses pengambilan keputusan dimulai jauh
sebelum kesadaran muncul ke permukaan, memperkuat pandangan bahwa kesadaran
adalah penumpang, bukan pengemudi dalam tindakan manusia.
9.3.
Studi Hukum: Kasus
Neurosains dan Pertanggungjawaban Kriminal
Dalam dunia hukum, argumen deterministik mulai
memasuki pengadilan melalui neurohukum (neurolaw). Salah satu kasus yang
terkenal adalah kasus Herbert Weinstein, seorang eksekutif yang membunuh
istrinya dan kemudian ditemukan memiliki kista besar di lobus frontal
otaknya—bagian otak yang berperan dalam pengendalian impuls.⁴ Pembelaan
Weinstein mengklaim bahwa kelainan otak tersebut mengurangi kemampuannya untuk
mengendalikan tindakan, sehingga tanggung jawab moral dan hukum harus
dipertimbangkan ulang.
Kasus ini membuka diskusi tentang apakah pelaku
kejahatan dapat dimintai pertanggungjawaban jika tindakan mereka disebabkan
oleh kondisi neurologis yang tidak mereka pilih. Pendukung determinisme
keras melihat ini sebagai konfirmasi bahwa bahkan tindakan ekstrem sekalipun
dapat ditelusuri pada sebab biologis atau neurologis yang berada di luar
kendali individu.
9.4.
Representasi dalam Film dan
Sastra: Ilusi Kebebasan dalam Narasi Populer
Determinisme keras juga menemukan ekspresi artistik
dan naratif dalam budaya populer, terutama dalam film dan sastra fiksi
ilmiah. Film Minority Report (2002) yang disutradarai Steven
Spielberg, misalnya, menggambarkan masyarakat di mana kejahatan dapat
diprediksi sebelum terjadi dan pelaku ditangkap sebelum sempat berbuat.⁵ Premis
film ini mempertanyakan apakah seseorang dapat dihukum atas sesuatu yang
belum ia lakukan secara sadar tetapi "sudah ditentukan" akan
dilakukan.
Contoh lain adalah film The Adjustment Bureau
(2011), yang menampilkan agen-agen tak terlihat yang menjaga agar manusia tetap
mengikuti rencana hidup yang telah ditentukan oleh "Chairman"
misterius. Film ini menjadi alegori tentang konflik antara kehendak bebas
dan takdir yang ditentukan oleh kekuatan yang lebih besar.
Melalui medium ini, determinisme keras tidak hanya
menjadi ide akademik, tetapi juga alat eksplorasi imajinatif untuk
mengeksplorasi makna kebebasan, tanggung jawab, dan kontrol dalam dunia modern.
9.5.
Kecerdasan Buatan dan
Determinisme Algoritmik
Dalam dunia teknologi, terutama pada pengembangan
kecerdasan buatan (AI), pertanyaan tentang kehendak bebas menjadi semakin
relevan. Ketika sistem AI dapat “belajar” dan “mengambil keputusan”
melalui algoritme kompleks, timbul pertanyaan: apakah manusia juga hanyalah
sistem biologis yang diprogram oleh genetika dan lingkungan?_⁶ Dalam
beberapa argumen kontemporer, determinisme keras diparalelkan dengan cara kerja
mesin cerdas—di mana input selalu menentukan output, tanpa adanya
kebebasan sejati.
Dengan melihat berbagai ilustrasi modern ini, jelas
bahwa determinisme keras bukanlah teori yang hanya hidup di ruang filsafat,
tetapi telah menyeberang ke ranah sains, hukum, seni, dan teknologi. Ia
menantang asumsi dasar tentang kehendak, pilihan, dan tanggung jawab di era
modern, dan terus menjadi titik diskusi kritis dalam menghadapi masa depan
manusia yang semakin dikendalikan oleh data dan determinasi algoritmik.
Footnotes
[1]
Benjamin Libet et al., “Time of Conscious Intention
to Act in Relation to Onset of Cerebral Activity (Readiness-Potential),” Brain
106, no. 3 (1983): 623–642.
[2]
Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn't
Disproved Free Will (New York: Oxford University Press, 2014), 32–41.
[3]
Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants
of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5
(2008): 543–545.
[4]
Joshua Greene and Jonathan Cohen, “For the Law,
Neuroscience Changes Nothing and Everything,” Philosophical Transactions of
the Royal Society B: Biological Sciences 359, no. 1451 (2004): 1775–1785.
[5]
Steven Spielberg, dir., Minority Report (Los
Angeles: 20th Century Fox/DreamWorks Pictures, 2002).
[6]
Susan Schneider, Artificial You: AI and the
Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 101–106.
10. Kesimpulan
Pembahasan mengenai determinisme keras dalam
kerangka filsafat kehendak bebas membuka cakrawala pemikiran yang luas dan
menantang. Di satu sisi, determinisme keras menyajikan argumen yang sistematis
dan terkesan ilmiah dalam menjelaskan perilaku manusia sebagai bagian dari
jaringan kausalitas alam semesta. Mulai dari prinsip kausalitas universal,
temuan dalam neurosains, hingga studi kasus hukum dan budaya populer,
determinisme keras membangun narasi bahwa kehendak bebas sebagaimana lazim
dipahami mungkin tidak pernah benar-benar ada.¹
Namun di sisi lain, posisi ini menimbulkan
konsekuensi filosofis dan etis yang signifikan. Jika manusia sepenuhnya tunduk
pada hukum deterministik, maka makna tanggung jawab moral, keadilan, dan
kebebasan eksistensial berada dalam ancaman serius.² Dalam konteks ini,
para kritikus—baik dari aliran libertarian, kompatibilis, maupun perspektif
religius—berusaha mempertahankan bahwa masih terdapat ruang bagi kehendak
bebas, setidaknya dalam bentuk yang lebih fungsional atau terbatas.³
Beberapa pemikir seperti Derk Pereboom dan Gregg
D. Caruso mengusulkan agar masyarakat mulai membangun sistem etika dan
hukum yang tidak bergantung pada konsep tanggung jawab moral tradisional,
melainkan berdasarkan pada prinsip rehabilitasi, pencegahan, dan perlindungan
sosial.⁴ Pandangan ini tidak meniadakan etika, tetapi justru mencoba
mendasarkan etika pada pemahaman ilmiah yang lebih realistis tentang manusia
sebagai makhluk yang terbentuk oleh lingkungan, genetika, dan pengalaman hidup.
Sementara itu, dari perspektif teologis dan spiritual,
determinisme keras memicu refleksi baru mengenai hubungan antara takdir dan
ikhtiar, serta mendorong reinterpretasi tentang bagaimana tanggung jawab
manusia dapat dipahami dalam kerangka ketundukan kepada kehendak ilahi.⁵ Dalam
konteks ini, sebagian kalangan berpendapat bahwa pengakuan terhadap determinasi
dalam diri manusia justru dapat menjadi jalan menuju kerendahan hati,
pemahaman diri, dan kesadaran akan ketergantungan kepada kekuatan yang lebih
besar.
Akhirnya, diskusi mengenai determinisme keras
menuntut kita untuk menghadapi pertanyaan paling mendasar dalam filsafat: Apakah
kita sungguh bebas? Apakah makna menjadi manusia tanpa kebebasan?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang sederhana, namun tetap
perlu dipikirkan secara serius. Seperti yang diungkapkan Daniel Dennett,
bahkan jika kebebasan yang kita miliki bukanlah “kebebasan absolut”,
mungkin itu sudah cukup untuk menjadikan kita makhluk bermoral, kreatif, dan
bertanggung jawab.⁶
Dengan demikian, memahami determinisme keras bukan
berarti menerima atau menolaknya secara mutlak, melainkan menggunakannya
sebagai lensa kritis untuk mengevaluasi asumsi-asumsi dasar tentang
siapa kita, mengapa kita bertindak, dan bagaimana kita seharusnya memperlakukan
sesama. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh data, algoritma, dan
prediksi perilaku, refleksi filosofis tentang kebebasan menjadi lebih relevan
dari sebelumnya.
Footnotes
[1]
Derk Pereboom, Living Without Free Will
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–3.
[2]
Galen Strawson, “The Impossibility of Moral
Responsibility,” Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
[3]
Robert Kane, The Significance of Free Will
(New York: Oxford University Press, 1996), 29–32.
[4]
Gregg D. Caruso, Rejecting Retributivism: Free
Will, Punishment, and Criminal Justice (Cambridge: Cambridge University
Press, 2021), 102–105.
[5]
Al-Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf
al-Muṣallīn, ed. Helmut Ritter (Wiesbaden: Franz Steiner Verlag, 1980),
215–217.
[6]
Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York:
Viking, 2003), 165–169.
Daftar Pustaka
Al-Asy’ari. (1980). Maqālāt
al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn (H. Ritter, Ed.). Wiesbaden: Franz
Steiner Verlag.
Augustine. (1993). On
free choice of the will (T. Williams, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett
Publishing Company.
Calvin, J. (2008). Institutes
of the Christian religion (H. Beveridge, Trans.). Peabody, MA: Hendrickson
Publishers. (Original work published 1536)
Caruso, G. D. (2021). Rejecting
retributivism: Free will, punishment, and criminal justice. Cambridge:
Cambridge University Press.
Craig, W. L. (1999). The
only wise God: The compatibility of divine foreknowledge and human freedom.
Grand Rapids, MI: Baker Book House.
Dennett, D. C. (1984). Elbow
room: The varieties of free will worth wanting. Cambridge, MA: MIT Press.
Dennett, D. C. (2003). Freedom
evolves. New York, NY: Viking.
Doniger, W. (2010). Hinduism:
A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
El-Bizri, N. (2008). God,
nature, and the cause: The philosophical significance of occasionalism in
Islamic thought. In F. Opwis & D. Reisman (Eds.), Islamic thought in
the Middle Ages (pp. 257–281). Leiden: Brill.
Fischer, J. M., &
Ravizza, M. (1998). Responsibility and control: A theory of moral
responsibility. Cambridge: Cambridge University Press.
Fischer, J. M. (2003). The
transfer of nonresponsibility. Philosophical Studies, 114(1), 43–58.
Greene, J., & Cohen, J.
(2004). For the law, neuroscience changes nothing and everything. Philosophical
Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 359(1451),
1775–1785.
Helm, P. (1994). The
providence of God. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.
Heisenberg, W. (1958). Physics
and philosophy: The revolution in modern science. New York, NY: Harper.
Hoefer, C. (2016). Causal
determinism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Fall 2016 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/
Kane, R. (1996). The
significance of free will. New York, NY: Oxford University Press.
Kane, R. (Ed.). (2011). The
Oxford handbook of free will (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.
Keown, D. (2000). Buddhism:
A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
Libet, B., Gleason, C. A.,
Wright, E. W., & Pearl, D. K. (1983). Time of conscious intention to act in
relation to onset of cerebral activity (readiness-potential). Brain, 106(3),
623–642.
Mele, A. R. (2014). Free:
Why science hasn't disproved free will. New York, NY: Oxford University
Press.
Pereboom, D. (2001). Living
without free will. Cambridge: Cambridge University Press.
Pereboom, D. (2007). Hard
incompatibilism. In J. M. Fischer, R. Kane, D. Pereboom, & M. Vargas, Four
views on free will (pp. 85–125). Malden, MA: Blackwell Publishing.
Pink er, S. (2002). The
blank slate: The modern denial of human nature. New York, NY: Viking.
Schneider, S. (2019). Artificial
you: AI and the future of your mind. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Skinner, B. F. (1971). Beyond
freedom and dignity. New York, NY: Knopf.
Smilansky, S. (2000). Free
will and illusion. Oxford: Oxford University Press.
Soon, C. S., Brass, M.,
Heinze, H. J., & Haynes, J. D. (2008). Unconscious determinants of free
decisions in the human brain. Nature Neuroscience, 11(5), 543–545.
Spielberg, S. (Director).
(2002). Minority Report [Film]. 20th Century Fox; DreamWorks Pictures.
Strawson, G. (1994). The
impossibility of moral responsibility. Philosophical Studies, 75(1–2),
5–24.
Taylor, R. (1992). Metaphysics
(4th ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
van Ess, J. (1991). Theologie
und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 2). Berlin: De
Gruyter.
van Inwagen, P. (1983). An
essay on free will. Oxford: Clarendon Press.
Waller, B. N. (2011). Against
moral responsibility. Cambridge, MA: MIT Press.
Wegner, D. M. (2002). The
illusion of conscious will. Cambridge, MA: MIT Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar