Pemikiran Edmund Husserl
Fenomenologi sebagai Fondasi Pengetahuan
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
Edmund Husserl, pendiri fenomenologi, sebagai upaya mendasar dalam membangun
fondasi pengetahuan yang kokoh berdasarkan pengalaman subyektif. Melalui
konsep-konsep utama seperti intensionalitas, epokhē, reduksi fenomenologis,
intuisi eidetik, dan ego transendental, Husserl mengembangkan metode reflektif
yang bertujuan untuk menyingkap struktur esensial kesadaran. Artikel ini juga
mengkaji kritik Husserl terhadap ilmu pengetahuan modern yang dianggap
mengalami krisis makna karena terlepas dari dunia kehidupan (Lebenswelt).
Berbagai kritik terhadap fenomenologi Husserl, seperti tuduhan solipsisme dan
ketegangan antara idealisme dan realisme, turut dibahas sebagai bagian dari
dinamika perkembangan pemikiran fenomenologis. Di samping itu, pembahasan ini
menyoroti pengaruh luas Husserl terhadap filsafat kontemporer serta
relevansinya dalam bidang kajian kesadaran, ilmu kognitif, etika, dan kritik
sosial. Dengan demikian, artikel ini menunjukkan bahwa fenomenologi Husserl
tetap merupakan kerangka filsafat yang signifikan dalam menanggapi tantangan
epistemologis dan eksistensial di era modern dan pascamodern.
Kata Kunci: Edmund Husserl, fenomenologi, kesadaran, ego
transendental, epokhē, reduksi fenomenologis, Lebenswelt, ilmu pengetahuan
modern, filsafat kontemporer, kritik sosial.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Edmund Husserl
1.
Pendahuluan
Perkembangan
filsafat modern, khususnya di Eropa Barat sejak abad ke-17, ditandai oleh upaya
sistematis untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan yang pasti dan tidak dapat
diragukan. Dari rasionalisme Descartes hingga empirisme Hume, filsuf-filsuf
besar Eropa mencari landasan kokoh bagi epistemologi—yakni teori
pengetahuan—yang dapat membedakan antara kebenaran dan ilusi. Namun, alih-alih
mencapai kepastian, proyek-proyek tersebut justru menimbulkan krisis dalam
fondasi filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal ini tampak, misalnya, dalam keraguan
terhadap objek-objek eksternal, relativisme persepsi, dan jurang antara subjek
dan objek. Dalam konteks inilah Edmund Husserl (1859–1938) muncul dengan proyek
radikalnya untuk merevolusi epistemologi melalui metode fenomenologi
transendental.
Husserl memulai
kariernya sebagai matematikawan sebelum beralih ke filsafat atas pengaruh
gurunya, Franz Brentano, yang memperkenalkan konsep intensionalitas sebagai
ciri utama kesadaran. Karya awalnya, Philosophie der Arithmetik (1891),
menunjukkan ketertarikannya pada fondasi logika dan matematika. Namun kemudian,
melalui karya monumentalnya Logische Untersuchungen
(1900–1901), ia mengembangkan pendekatan filosofis yang mengutamakan analisis
kesadaran dan pengalaman langsung sebagai sumber makna dan kebenaran, menandai
lahirnya fenomenologi sebagai disiplin filsafat baru. Husserl menyebut
proyeknya sebagai "ilmu pengetahuan yang ketat" (strenge
Wissenschaft), sebuah ilmu yang berangkat dari pengalaman murni dan
tidak didasarkan pada asumsi metafisik atau spekulatif apa pun.¹
Fenomenologi,
menurut Husserl, adalah studi sistematis tentang struktur kesadaran sebagaimana
dialami dari sudut pandang pertama. Hal ini dilakukan dengan melakukan epoché—yakni
penangguhan atau penyanggahan asumsi-asumsi naturalistis—untuk mencapai reduksi
fenomenologis yang memungkinkan peneliti mengamati esensi
pengalaman sebagaimana adanya (zu den Sachen selbst).² Dalam hal
ini, Husserl tidak sekadar menawarkan metode baru, melainkan memulihkan kembali
nilai refleksi filosofis terhadap kesadaran subjektif, yang telah lama
diabaikan oleh sains modern yang objektivistik.
Krisis dalam ilmu
pengetahuan modern yang dirasakan Husserl memuncak dalam karya terakhirnya, Die
Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie
(1936). Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan telah kehilangan makna
eksistensialnya karena memisahkan dunia objektif dari dunia kehidupan (Lebenswelt)
tempat makna pertama-tama muncul bagi subjek.³ Oleh karena itu, bagi Husserl,
fenomenologi bukan hanya usaha teoretis, melainkan juga misi kultural dan
eksistensial untuk menyelamatkan makna-makna yang hilang dalam dunia modern.
Dengan kerangka
tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis pokok-pokok
pemikiran Edmund Husserl, dengan menelusuri latar belakang historisnya,
landasan metodologis fenomenologi, implikasi epistemologisnya, serta pengaruh
dan kritik yang muncul terhadap pemikirannya. Kajian ini diharapkan tidak hanya
memperdalam pemahaman terhadap kontribusi Husserl dalam tradisi filsafat
kontinental, tetapi juga merefleksikan relevansinya dalam konteks filsafat dan
ilmu pengetahuan kontemporer.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 2001), xlvii.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1983), 59–60.
[3]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1970), 5–7.
2.
Biografi
Intelektual Edmund Husserl
Edmund Gustav
Albrecht Husserl dilahirkan pada 8 April 1859 di kota kecil Proßnitz, Moravia
(kini Prostějov, Republik Ceko), yang pada waktu itu merupakan bagian dari
Kekaisaran Austro-Hungaria. Lahir dalam keluarga Yahudi yang taat, Husserl
sejak muda menunjukkan ketertarikan besar pada ilmu pasti dan logika. Ia
memulai studi akademiknya di bidang matematika dan ilmu alam di Universitas
Leipzig, kemudian melanjutkan ke Universitas Berlin dan Wina, tempat ia belajar
di bawah bimbingan tokoh-tokoh seperti Karl Weierstrass dan Leo Königsberger.¹
Namun, arah
intelektual Husserl mengalami perubahan besar ketika ia berjumpa dengan Franz
Brentano di Wina. Brentano, yang dikenal dengan konsep intensionalitas
sebagai ciri khas semua akta mental, mengilhami Husserl untuk mengalihkan
perhatian dari matematika murni ke ranah filsafat.² Setelah mempelajari
psikologi deskriptif Brentano dan teori pengetahuan Carl Stumpf, Husserl mulai
merumuskan proyek filsafatnya sendiri: menyelidiki fondasi logika, aritmetika,
dan pengalaman kesadaran dengan cara yang ketat dan sistematis.
Karya awal Husserl
yang penting adalah Philosophie der Arithmetik (1891),
di mana ia mencoba menelaah asal-usul konsep bilangan dengan pendekatan
psikologis. Namun, pendekatan ini kemudian ia kritik sendiri karena terlalu
terjebak dalam psikologisme—yakni anggapan bahwa hukum-hukum logika bergantung
pada hukum psikologis. Kritik ini memuncak dalam karya monumentalnya, Logische
Untersuchungen (1900–1901), di mana Husserl menolak psikologisme
dan menyatakan bahwa kebenaran logis bersifat ideal dan independen dari kondisi
mental subjek.³ Di sinilah fondasi awal fenomenologi mulai terbentuk.
Karier akademik
Husserl berkembang pesat. Ia mengajar di Universitas Halle dari 1887 hingga
1901, kemudian diundang menjadi profesor luar biasa di Universitas Göttingen,
tempat ia mulai menarik perhatian murid-murid brilian seperti Edith Stein,
Roman Ingarden, dan Alexandre Koyré. Göttingen menjadi pusat awal bagi apa yang
kemudian dikenal sebagai Gerakan Fenomenologis.⁴ Pada
1916, Husserl dipindahkan ke Universitas Freiburg sebagai profesor penuh,
posisi yang ia duduki hingga pensiun pada 1928. Di sanalah ia mengajar Martin
Heidegger, murid yang kemudian menjadi kritikus utama dan sekaligus
penerus paling berpengaruh dalam tradisi fenomenologi.
Pada masa akhir
hidupnya, Husserl semakin memusatkan perhatian pada kritik terhadap krisis ilmu
pengetahuan modern dan kehilangan makna eksistensial dalam kehidupan manusia.
Meskipun menghadapi tekanan akibat kebijakan anti-Semitisme Nazi—termasuk
kehilangan hak-haknya sebagai profesor emeritus—Husserl tetap melanjutkan
penelitiannya hingga wafat pada 27 April 1938.⁵
Warisan intelektual
Husserl sangat besar dan menjangkau luas. Ia tidak hanya membuka jalan bagi
fenomenologi sebagai cabang filsafat yang mandiri, tetapi juga meletakkan dasar
bagi pemikiran eksistensialisme, hermeneutika, dan bahkan filsafat analitik
kontemporer yang bersentuhan dengan kajian kesadaran dan bahasa. Melalui metode
yang ketat dan reflektif, Husserl berhasil menunjukkan bahwa pengalaman
subyektif memiliki peran mendasar dalam membentuk struktur makna dan realitas.
Footnotes
[1]
Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology
(Cambridge: Polity Press, 2005), 4–7.
[2]
Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford, CA: Stanford
University Press, 2003), 15–17.
[3]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 2001), vol. 1, lxxv–lxxviii.
[4]
Herbert Spiegelberg, The Phenomenological Movement: A Historical
Introduction, 3rd rev. ed. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 152–157.
[5]
David Carr, “Husserl,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/husserl/.
3.
Konteks
Historis dan Filosofis Lahirnya Fenomenologi
Fenomenologi sebagai
suatu aliran filsafat tidak muncul dalam kekosongan. Kelahirannya pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan respons langsung terhadap kondisi
krisis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Sejak pencerahan, proyek
filsafat modern ditandai oleh usaha untuk menemukan fondasi pengetahuan yang
kokoh, yang berpuncak pada dualisme Cartesian, rasionalisme Leibnizian, serta
empirisme Humean. Namun, semua proyek ini, menurut banyak pemikir pada masa
Husserl, justru menyisakan persoalan mendasar: keterputusan antara subjek dan
objek, antara dunia batin dan dunia luar, serta antara pengalaman manusia dan
realitas yang dipahami secara objektif.
Di paruh kedua abad
ke-19, dominasi positivisme logis dan empirisme ilmiah
semakin mengukuhkan pemisahan ini. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai
satu-satunya jalan sah untuk memahami realitas, dan pengalaman manusia
direduksi menjadi data yang dapat diukur secara kuantitatif. Auguste Comte, sebagai
pelopor positivisme, menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin melalui
observasi empiris dan hukum-hukum umum, sedangkan refleksi metafisik dan
subjektif dianggap tidak ilmiah.¹ Dalam konteks ini, kesadaran manusia sebagai
pusat pengalaman kehilangan kedudukan filosofisnya yang penting.
Selain positivisme,
filsafat Jerman pada akhir abad ke-19 juga dikuasai oleh aliran
Neo-Kantianisme, terutama di Marburg dan Baden. Aliran ini
berusaha membangkitkan kembali semangat kritisisme Kantian dengan penekanan
pada struktur a priori dalam kesadaran sebagai syarat kemungkinan pengalaman.
Namun, pendekatan Neo-Kantian dianggap Husserl sebagai masih terlalu terikat
pada konstruksi konseptual yang bersifat formal, dan belum menyentuh pengalaman
konkret sebagai sumber makna.²
Dalam konteks ini,
Husserl merumuskan proyek fenomenologi sebagai sebuah alternatif filosofis yang
radikal: yaitu kembali kepada pengalaman sebagaimana dialami oleh subjek,
sebelum segala bentuk penafsiran teoretis atau kategorisasi ilmiah dilakukan.
Motto terkenalnya, “Zu den Sachen selbst”
(“kembali kepada hal-hal itu sendiri”), menjadi penanda arah filsafat
baru yang berusaha mengakses hakikat pengalaman murni.³ Fenomenologi lahir
sebagai upaya untuk memulihkan kembali relevansi dimensi subjektif dalam
memahami realitas, tanpa jatuh ke dalam relativisme atau psikologisme.
Fenomenologi juga
dapat dipahami sebagai respon terhadap psikologisme dalam logika,
suatu pandangan yang menganggap hukum-hukum logis sebagai produk dari proses
psikologis manusia. Dalam Logische Untersuchungen, Husserl
menyerang pandangan ini secara tajam dengan menunjukkan bahwa kebenaran logis
bersifat ideal dan tidak dapat direduksi pada kondisi mental.⁴ Dengan demikian,
fenomenologi bukan hanya merupakan pendekatan baru terhadap kesadaran, tetapi
juga sebuah kritik epistemologis terhadap reduksionisme ilmiah dan spekulasi
metafisik yang mendominasi zamannya.
Dengan latar
belakang filsafat yang diliputi ketegangan antara idealisme dan naturalisme,
antara subjektivitas dan objektivitas, proyek fenomenologis Husserl muncul
sebagai jalan tengah yang mencoba merumuskan fondasi pengetahuan dari kesadaran
murni dan refleksi sistematis. Fenomenologi Husserl bertujuan untuk mengatasi
fragmentasi dalam filsafat modern dan menawarkan model pengetahuan yang
memadukan kedalaman pengalaman dengan ketelitian metodologis.
Footnotes
[1]
Auguste Comte, Cours de philosophie positive, trans. Harriet
Martineau as The Positive Philosophy (London: George Bell and Sons,
1896), 1–5.
[2]
Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology
(Cambridge: Polity Press, 2005), 12–15.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1983), 35.
[4]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 2001), vol. 1, lxxvi–lxxx.
4.
Dasar-dasar
Pemikiran Fenomenologi Husserl
Pemikiran
fenomenologis Edmund Husserl bertumpu pada usaha untuk membangun suatu filsafat
pertama—sebuah fondasi pengetahuan yang kokoh dan bebas dari
asumsi. Dalam hal ini, Husserl berangkat dari pengalaman subyektif sebagai
titik awal semua pengetahuan. Fenomenologi, menurutnya, bukan sekadar sebuah
metode, tetapi merupakan jalan untuk menyingkap struktur esensial dari
kesadaran dan bagaimana makna hadir dalam pengalaman manusia.⁽¹⁾ Pendekatan ini
ditandai oleh beberapa konsep kunci yang membentuk dasar filsafat
fenomenologinya.
4.1.
Intensionalitas
Kesadaran
Salah satu gagasan
paling mendasar dalam fenomenologi Husserl adalah intensionalitas
(dari bahasa Latin intentio, “mengarah kepada”).
Konsep ini merujuk pada sifat struktural kesadaran yang selalu “mengarah
kepada” atau “berkaitan dengan” sesuatu di luar dirinya.⁽²⁾ Tidak
ada pengalaman yang bersifat netral atau tertutup dalam dirinya; setiap akta
kesadaran—baik itu persepsi, ingatan, harapan, atau imajinasi—selalu memiliki
objek, bahkan jika objek itu imajiner atau tidak eksis secara faktual.
Husserl mengadopsi
konsep ini dari gurunya, Franz Brentano, tetapi memberinya dimensi yang lebih
mendalam dengan menelusuri struktur internal dari akta kesadaran itu sendiri.
Dengan memahami intensionalitas, Husserl menyatakan bahwa kesadaran bukanlah
sesuatu yang pasif, melainkan aktif dalam membentuk dunia makna.⁽³⁾
4.2.
Epokhē (Penangguhan
Asumsi)
Langkah awal dalam
metode fenomenologi adalah epokhē, yaitu penangguhan (bracketing)
terhadap semua asumsi naturalistik dan keyakinan tentang dunia eksternal.
Tujuan dari epokhē adalah untuk mengesampingkan segala prasangka mengenai
eksistensi objek-objek di luar kesadaran, agar fenomena dapat dihadirkan
sebagaimana ia tampak dalam pengalaman murni.⁽⁴⁾ Ini bukanlah bentuk
skeptisisme, melainkan strategi metodologis untuk memfokuskan perhatian pada “dunia
sebagaimana ditampakkan”, bukan dunia sebagaimana diasumsikan secara
dogmatis oleh ilmu pengetahuan alam.
Dengan epokhē,
filsuf dapat menghindari jebakan metafisika yang tidak terverifikasi dan
memulai penyelidikan dari dasar yang benar-benar terjamin, yakni kesadaran itu
sendiri.
4.3.
Reduksi
Fenomenologis
Melalui epokhē,
subjek sampai pada reduksi fenomenologis, yakni
proses kembali ke “esensi” dari pengalaman. Reduksi ini menyingkap
struktur esensial dari fenomena tanpa intervensi interpretasi empiris atau
teoretis. Husserl menyebut hasil dari proses ini sebagai kesadaran
transendental, yaitu kesadaran yang murni dan merupakan
prasyarat bagi segala bentuk penghayatan makna.⁽⁵⁾ Dalam pengertian ini,
fenomenologi bukan studi tentang isi pengalaman psikologis, melainkan
penyelidikan atas bagaimana segala sesuatu menjadi
berarti bagi subjek.
4.4.
Esensialisme dan
Intuisi Eidetik
Salah satu aspek penting
dari reduksi fenomenologis adalah intuisi eidetik, yakni
kemampuan untuk menangkap esensi universal dari suatu fenomena. Husserl
membedakan antara fakta individual dan hakikat esensial (Wesen).
Dengan mengandalkan variasi imajinatif (eidetic variation), subjek dapat
mengabstraksi hal-hal yang bersifat kebetulan dan mencapai pemahaman tentang
hakikat tetap yang membentuk pengalaman.⁽⁶⁾
Contohnya, ketika
seseorang membayangkan berbagai bentuk kursi, ia dapat mengesampingkan
perbedaan-perbedaan konkret dan sampai pada esensi “kekursian” itu
sendiri. Bagi Husserl, filsafat harus berurusan dengan esensi-esensi semacam
ini, bukan fakta-fakta kontingen.
4.5.
Ego Transendental
Puncak dari metode
fenomenologi Husserl adalah penemuan ego transendental—yaitu subjek murni
yang menjadi sumber segala makna. Ego ini bukanlah diri psikologis atau
empiris, melainkan “aku” yang menghayati dan membentuk makna melalui
akta kesadaran.⁽⁷⁾ Dalam kerangka ini, dunia bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri secara objektif, tetapi merupakan korelat kesadaran: dunia hanya
bermakna sejauh ia dihayati oleh subjek transendental.
Ego transendental
menjadi pusat dari dunia pengalaman, bukan karena ia menciptakan dunia secara
ontologis, tetapi karena ia merupakan syarat kemungkinan bagi segala
penghayatan makna. Inilah yang menjadikan fenomenologi Husserl sebagai bentuk idealism
transendental—yakni penegasan bahwa makna dunia berakar pada
struktur kesadaran subjek.
Footnotes
[1]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 8–10.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1983), 192.
[3]
Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford, CA: Stanford
University Press, 2003), 14–16.
[4]
Husserl, Ideas I, 61–62.
[5]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1970), 75–77.
[6]
Herbert Spiegelberg, The Phenomenological Movement: A Historical
Introduction, 3rd rev. ed. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 95–98.
[7]
Husserl, Ideas I, 111–112.
5.
Kritik
Husserl terhadap Ilmu Pengetahuan Modern
Edmund Husserl,
dalam karya-karya terakhirnya terutama Die Krisis der europäischen Wissenschaften und
die transzendentale Phänomenologie (1936), melancarkan kritik tajam
terhadap arah dan dasar-dasar ilmu pengetahuan modern. Ia berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan, khususnya sains alam (Naturwissenschaften), telah mengalami “krisis
makna” karena memisahkan dirinya dari dunia kehidupan
(Lebenswelt) dan dari pengalaman subyektif manusia yang menjadi prasyarat
pengetahuan.¹
5.1.
Krisis Ilmu Pengetahuan
dan Kehilangan Dasar Filosofis
Menurut Husserl,
ilmu pengetahuan modern sejak era Galileo Galilei dan Isaac Newton telah
dikonstruksi berdasarkan paradigma matematis dan objektifistik. Alam dipahami
sebagai sistem hukum kuantitatif yang dapat dirumuskan secara universal, dan
keberadaan manusia sebagai subjek mengalami marginalisasi. Husserl menyebut
proses ini sebagai “idealization of nature”, yakni
pengubahan dunia konkret yang dialami ke dalam struktur matematis yang
abstrak.² Meskipun pendekatan ini menghasilkan kemajuan teknologi dan prediksi
ilmiah, ia gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna, nilai,
dan eksistensi manusia.
Sebagai akibatnya,
ilmu pengetahuan menjadi semakin terlepas dari realitas konkret yang dihidupi
manusia sehari-hari. Dunia yang dihuni manusia tidak lagi dimaknai sebagai
dunia pengalaman, melainkan sebagai entitas fisik netral yang tunduk pada hukum
mekanistik.³ Inilah yang dimaksud Husserl dengan kehilangan
fondasi fenomenologis ilmu pengetahuan: sains melupakan
asal-usulnya dalam kehidupan subyektif dan tidak mampu merefleksikan makna
dunia sebagaimana dihayati.
5.2.
Kritik terhadap
Naturalisme dan Objektivisme
Husserl juga
mengkritik naturalisme—pandangan yang
menyamakan realitas dengan alam material yang dapat dijelaskan secara ilmiah.
Ia menegaskan bahwa pengetahuan tidak mungkin sepenuhnya bersifat objektif jika
tidak memperhitungkan subjek pengamat. Ilmu pengetahuan naturalistik cenderung
mengabaikan peran kesadaran dalam membentuk pengalaman terhadap realitas.⁴ Oleh
karena itu, bagi Husserl, objektivitas yang diklaim oleh ilmu modern bersifat
semu karena bergantung pada perspektif subyektif yang tidak pernah disadari
atau dianalisis secara mendalam.
Objektivisme sains
juga menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang makna dan
keberadaan. Ilmu hanya tertarik pada bagaimana sesuatu bekerja (how),
tetapi tidak pada apa dan mengapa sesuatu itu bermakna (what
and why).
Dalam hal ini, fenomenologi berperan sebagai koreksi filosofis terhadap sains
yang telah menjadi “tanpa jiwa”—karena tercerabut dari dimensi
eksistensial manusia.
5.3.
Dunia Kehidupan
(Lebenswelt) sebagai Asal-usul Pengetahuan
Untuk mengatasi
krisis ini, Husserl mengajukan konsep Lebenswelt (dunia
kehidupan)—yakni dunia pra-teoretis yang secara langsung dihidupi manusia dalam
keseharian. Dunia kehidupan bukanlah dunia “benda-benda” yang diukur
oleh fisika, melainkan dunia makna yang dialami oleh subjek sebagai tempat
tinggal, relasi, nilai, dan tujuan.⁵ Ia menegaskan bahwa semua ilmu, termasuk
fisika dan matematika, pada akhirnya berpijak pada struktur pengalaman dalam
dunia kehidupan.
Dengan demikian,
Husserl tidak menolak ilmu pengetahuan, melainkan mengajak untuk merefleksikan fondasi
epistemologisnya agar kembali pada pengalaman konkret dan
kesadaran subyektif yang mendasarinya. Ilmu yang tidak merefleksikan
asal-muasalnya justru menjadi dogmatis, tidak kritis, dan akhirnya terjebak
dalam krisis spiritual dan budaya.
5.4.
Fenomenologi sebagai
“Ilmu Pengetahuan yang Ketat”
Sebagai solusi, Husserl
menawarkan fenomenologi sebagai “ilmu pengetahuan yang ketat” (strenge
Wissenschaft), yaitu filsafat yang mendasarkan dirinya pada
deskripsi sistematis tentang struktur pengalaman murni.⁶ Fenomenologi berusaha
mengatasi dikotomi antara subjek dan objek, serta membuka kembali horizon makna
yang hilang dalam objektivisme sains.
Dengan
merekonstruksi filsafat sebagai penyelidikan terhadap hakikat kesadaran dan
pengalaman, Husserl menegaskan bahwa hanya melalui refleksi fenomenologis
manusia dapat menemukan kembali tempatnya di tengah dunia dan membangun fondasi
pengetahuan yang utuh secara eksistensial maupun logis.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1970), 3–5.
[2]
Ibid., 23–27.
[3]
Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford, CA: Stanford
University Press, 2003), 96–98.
[4]
Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology
(Cambridge: Polity Press, 2005), 153–157.
[5]
Husserl, Crisis, 103–107.
[6]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 2001), vol. 1, lxxvii.
6.
Pengaruh
dan Relevansi Pemikiran Husserl
Pemikiran Edmund
Husserl memiliki pengaruh yang sangat luas dalam sejarah filsafat kontemporer,
terutama dalam tradisi filsafat kontinental. Fenomenologi yang ia rumuskan
bukan hanya menjadi gerakan filsafat besar abad ke-20, tetapi juga menjadi
fondasi bagi beragam aliran filsafat dan ilmu humaniora yang berkembang
setelahnya. Gagasan-gagasannya tentang kesadaran, intensionalitas, reduksi
fenomenologis, dan dunia kehidupan (Lebenswelt) menjangkau jauh
melampaui filsafat murni dan masuk ke dalam ranah psikologi, sosiologi,
teologi, sastra, hingga kajian budaya.
6.1.
Pengaruh terhadap
Para Penerus Fenomenologi
Di antara
tokoh-tokoh besar yang dipengaruhi langsung oleh Husserl adalah Martin
Heidegger, muridnya di Universitas Freiburg. Heidegger menerima
warisan fenomenologis Husserl tetapi kemudian merekonstruksinya menjadi
filsafat ontologis yang berpusat pada pertanyaan tentang keberadaan (Sein)
dalam karyanya Sein und Zeit (1927). Heidegger
mengganti fokus dari kesadaran murni menuju eksistensi manusia konkret (Dasein),
dan ini menandai pergeseran dari fenomenologi transendental ke fenomenologi
hermeneutik.¹
Selain Heidegger,
pemikir seperti Maurice Merleau-Ponty dan Jean-Paul
Sartre juga mengembangkan fenomenologi ke arah yang lebih
eksistensialis. Merleau-Ponty menekankan tubuh sebagai pusat pengalaman
fenomenologis dalam Phenomenology of Perception,
sedangkan Sartre dalam Being and Nothingness menjadikan
fenomenologi sebagai dasar filsafat kebebasan manusia.² Bahkan pemikir Katolik
seperti Edith Stein dan Max
Scheler mengintegrasikan fenomenologi dengan filsafat agama dan
etika.³
Pengaruh Husserl
juga tampak dalam filsafat Jerman pasca-perang melalui tokoh seperti Hans-Georg
Gadamer, serta dalam filsafat Perancis melalui Emmanuel
Levinas, yang mengkritik ego transendental Husserl demi
menegaskan etika sebagai filsafat pertama.⁴
6.2.
Relevansi
Interdisipliner dalam Ilmu Humaniora dan Sosial
Fenomenologi Husserl
tidak hanya berdampak dalam bidang filsafat tetapi juga dalam pengembangan
metodologi ilmiah di berbagai disiplin lain. Dalam psikologi,
pendekatan fenomenologis menjadi dasar bagi psikologi humanistik dan eksistensial,
seperti terlihat dalam karya Carl Rogers dan Rollo
May, yang menolak reduksionisme behavioristik demi memahami
pengalaman subyektif secara holistik.⁵
Dalam sosiologi,
fenomenologi Husserl memberi inspirasi langsung kepada Alfred
Schutz, yang mengembangkan sosiologi fenomenologis untuk
menjelaskan struktur makna dalam interaksi sosial dan konstruksi dunia
kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini kemudian diteruskan oleh teori
konstruksionisme sosial dan teori tindakan simbolik.⁶
Di bidang teologi,
terutama dalam teologi Katolik dan eksistensial, fenomenologi memberi kerangka
reflektif terhadap pengalaman religius yang tidak dapat direduksi ke dalam
penjelasan rasional semata. Sementara itu, dalam kritik
sastra dan hermeneutika, fenomenologi berperan dalam
menjelaskan hubungan antara teks, pembaca, dan pengalaman makna.
6.3.
Fenomenologi dan
Relevansi Kontemporer
Dalam konteks
kontemporer, pemikiran Husserl tetap relevan, terutama dalam diskursus tentang kesadaran,
identitas
subyektif, dan pengalaman manusia dalam dunia digital.
Fenomenologi digunakan untuk memahami bagaimana manusia membentuk realitas
melalui persepsi dan interpretasi yang dibentuk oleh sejarah dan konteks
sosial. Gagasan tentang Lebenswelt kembali mengemuka dalam
kritik terhadap rasionalisasi teknologis dan dehumanisasi dalam masyarakat
modern.⁷
Lebih lanjut,
fenomenologi Husserl memberikan kontribusi penting dalam filsafat kognitif dan
kajian kesadaran, karena menekankan aspek first-person experience yang selama
ini diabaikan dalam pendekatan naturalistik. Fenomenologi berperan sebagai
pengingat bahwa segala pengetahuan—baik ilmiah maupun praktis—berakar pada
pengalaman langsung manusia dan tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa
menyelidiki struktur kesadaran.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.
[2]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), vii–xii; Jean-Paul Sartre, Being and
Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press,
1956), 3–6.
[3]
Edith Stein, Finite and Eternal Being, trans. Kurt F.
Reinhardt (Washington, DC: ICS Publications, 2002), 47–50.
[4]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 27–32.
[5]
Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton
Mifflin, 1961), 1–5.
[6]
Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, trans. George
Walsh and Frederick Lehnert (Evanston, IL: Northwestern University Press,
1967), 3–6.
[7]
Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge,
2019), 108–112.
7.
Kritik
terhadap Pemikiran Husserl
Meskipun Edmund
Husserl dianggap sebagai pendiri fenomenologi dan peletak dasar filsafat
subyektivitas modern yang kokoh, pemikirannya tidak luput dari kritik tajam
baik dari murid-muridnya sendiri maupun dari pemikir luar tradisi fenomenologi.
Kritik-kritik tersebut mencakup aspek metodologis, metafisis, dan epistemologis
dari fenomenologi transendental yang dirumuskannya. Beberapa kritik bahkan
menjadi titik tolak bagi lahirnya arah baru dalam perkembangan filsafat abad
ke-20.
7.1.
Kritik Martin
Heidegger: Kehidupan konkret versus ego transendental
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap Husserl datang dari muridnya sendiri, Martin
Heidegger, yang pernah menjadi asistennya di Freiburg. Dalam Being
and Time (1927), Heidegger menilai bahwa pendekatan Husserl terlalu
menekankan pada subjek murni atau ego transendental, sehingga
mengabaikan dimensi keberadaan konkret manusia di dunia. Heidegger mengganti
fokus dari kesadaran ke eksistensi manusia sebagai Dasein—yakni makhluk yang “berada-di-dalam-dunia”
(In-der-Welt-sein)
secara historis dan temporal.¹ Bagi Heidegger, proyek Husserl bersifat terlalu
idealistis dan tidak cukup memperhitungkan keterlemparan manusia ke dalam dunia
yang sudah penuh makna secara historis dan sosial.
7.2.
Tuduhan Solipsisme
dan Krisis Intersubjektivitas
Husserl juga
dikritik karena posisinya dianggap mengarah pada solipsisme
transendental—yakni pandangan bahwa dunia hanya dapat dipahami
dalam kaitannya dengan kesadaran subjek tunggal.² Meskipun Husserl berupaya
mengatasi persoalan ini dalam Cartesian Meditations dengan konsep
intersubjektivitas
transendental, yakni pengakuan terhadap kesadaran orang lain
dalam horizon pengalaman subjektif, banyak filsuf menilai pendekatan ini tetap
terlalu bergantung pada refleksi internal subjek.³ Emmanuel Levinas, misalnya,
menolak pendekatan ini karena dianggap menundukkan keberadaan “yang Lain”
(l’autrui) dalam horizon ego dan bukannya mengakui alteritas radikal dari orang
lain.⁴
7.3.
Ketegangan antara
Fenomenologi Statis dan Fenomenologi Genetik
Kritik juga muncul
terhadap pembagian dalam karya Husserl antara fenomenologi statis dan fenomenologi
genetik. Fenomenologi statis berusaha mendeskripsikan struktur
esensial kesadaran sebagaimana tampak dalam pengalaman sekarang, sementara
fenomenologi genetik berusaha menelusuri asal-usul temporal dan konstitusi
makna dalam kesadaran melalui waktu internal.⁵ Beberapa sarjana menilai bahwa
Husserl gagal menyatukan kedua pendekatan ini secara konseptual. Padahal,
struktur makna dalam pengalaman manusia tidak bisa dilepaskan dari aspek waktu,
sejarah, dan proses hidup konkret.
7.4.
Ambiguitas Antara
Realisme dan Idealisme
Husserl sering kali
dituduh tidak konsisten dalam posisi filosofisnya antara realisme
fenomenologis dan idealisme transendental. Dalam Logical
Investigations, ia tampak menegaskan bahwa makna dan kebenaran
bersifat objektif dan independen dari subjek. Namun dalam Ideas I,
ia justru menekankan bahwa dunia hanya bermakna dalam dan melalui struktur ego
transendental.⁶ Perubahan ini menimbulkan kritik bahwa fenomenologi Husserl
mengalami transisi yang tidak dijelaskan secara tuntas, bahkan berpotensi
membingungkan pembaca mengenai komitmen ontologis yang sebenarnya dari
pendekatannya.
7.5.
Kritik terhadap
Metode Reduksi
Metode reduksi
fenomenologis, yang menjadi fondasi epistemologis dalam
fenomenologi Husserl, juga dipersoalkan. Banyak filsuf mempertanyakan apakah
benar seseorang dapat secara murni menangguhkan seluruh keyakinan naturalistik
dan berfokus pada “esensi” pengalaman tanpa campur tangan interpretasi
atau bias. Paul Ricoeur, misalnya, menyatakan bahwa reduksi fenomenologis
bersifat ilusioner karena setiap pemahaman sudah dipengaruhi oleh pra-struktur
hermeneutik.⁷ Dalam hal ini, pendekatan fenomenologis harus dilengkapi dengan
perspektif hermeneutis yang lebih menyadari konteks sejarah, bahasa, dan
budaya.
Kesimpulan Sementara
atas Kritik
Kritik-kritik
tersebut tidak serta-merta membatalkan kontribusi besar Husserl dalam
mendirikan fenomenologi, tetapi justru memperkaya perkembangan selanjutnya. Ia
menjadi titik tolak bagi berbagai varian fenomenologi baru—baik yang bersifat
eksistensial, hermeneutik, intersubjektif, maupun praksis. Bahkan dalam kritik
terhadapnya, Husserl tetap hadir sebagai referensi utama yang tidak dapat
dilepaskan dari percakapan filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 56–60.
[2]
Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology
(Cambridge: Polity Press, 2005), 260–263.
[3]
Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to
Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960),
§§42–44.
[4]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–42.
[5]
Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford, CA: Stanford
University Press, 2003), 90–93.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1983), xx–xxiv.
[7]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1991), 10–12.
8.
Relevansi
Kontemporer Pemikiran Husserl
Pemikiran Edmund
Husserl tetap memiliki relevansi yang kuat dalam berbagai perdebatan filsafat
kontemporer, terutama dalam diskursus mengenai kesadaran, makna, subjektivitas, serta krisis
epistemologis dan etis dalam ilmu pengetahuan modern. Meskipun
fenomenologi transendentalnya telah mengalami revisi dan transformasi oleh
generasi-generasi setelahnya, kerangka kerja yang ia bangun terus menjadi
pijakan kritis dalam berbagai disiplin ilmu humaniora dan sosial, bahkan hingga
ke ranah filsafat kognitif dan teknologi.
8.1.
Refleksi terhadap
Krisis Makna dalam Dunia Modern
Salah satu
kontribusi paling relevan dari Husserl adalah analisisnya mengenai krisis
dalam ilmu pengetahuan modern yang terlepas dari akar-akar
eksistensial dan dunia kehidupan (Lebenswelt). Dalam konteks
pascamodern, di mana sains dan teknologi telah mendominasi lanskap kehidupan
manusia tetapi seringkali mengabaikan dimensi makna dan etika, kritik Husserl
menjadi semakin signifikan.¹ Dunia yang dipahami secara teknis dan kuantitatif
membutuhkan kembali penekanan pada pengalaman subyektif dan nilai-nilai
kemanusiaan yang dihayati secara langsung. Di sinilah fenomenologi memainkan
peran penting dalam mengembalikan perhatian kepada pengalaman konkrit manusia
yang telah terpinggirkan oleh objektivisme saintifik.
8.2.
Kontribusi dalam
Filsafat Kesadaran dan Kajian Kognitif
Dalam kajian filsafat
pikiran dan ilmu kognitif, pemikiran Husserl juga mengalami
revitalisasi. Para filsuf kontemporer seperti Shaun Gallagher dan Dan Zahavi
menekankan pentingnya pendekatan fenomenologis terhadap kesadaran sebagai
pelengkap terhadap model-model neurobiologis yang dominan. Husserl dianggap
sebagai pionir pendekatan first-person perspective yang
mengkaji struktur pengalaman dari dalam, bukan dari luar sebagai objek
observasi ilmiah.² Pendekatan ini memberi kontribusi dalam studi tentang
persepsi, waktu subyektif, identitas diri, dan pengalaman tubuh (embodiment).
Dalam bidang neurofenomenologi,
yang digagas oleh Francisco Varela, prinsip-prinsip fenomenologi Husserl
dikombinasikan dengan penelitian neuroscience modern untuk memahami hubungan
antara pengalaman sadar dan struktur otak.³ Dengan demikian, fenomenologi
Husserl berkontribusi dalam menjembatani kesenjangan antara subjektivitas dan
objektivitas dalam studi tentang pikiran manusia.
8.3.
Fenomenologi sebagai
Kritik Kultural dan Sosial
Relevansi Husserl
juga terasa dalam konteks kritik sosial dan kultural.
Konsep Lebenswelt
telah digunakan sebagai alat untuk mengkritik proses rasionalisasi
teknologis, dehumanisasi, dan kehilangan makna dalam masyarakat
modern. Pemikir-pemikir seperti Jürgen Habermas dan Alfred Schutz mengembangkan
gagasan Husserl untuk menelusuri bagaimana struktur makna dan komunikasi
terbentuk dalam interaksi sosial.⁴ Dalam hal ini, fenomenologi tidak hanya
menjadi metode filosofis, tetapi juga kerangka analitis untuk memahami struktur
kesadaran kolektif dan realitas sosial.
Di era globalisasi
dan krisis lingkungan, pendekatan fenomenologis juga mulai digunakan untuk
menelaah relasi manusia dengan alam, teknologi, dan tubuhnya sendiri.⁵
Fenomenologi ekologis, misalnya, menggunakan prinsip-prinsip Husserlian untuk
mengkaji pengalaman ekologis secara langsung dan berkelanjutan.
8.4.
Relevansi Etis dan
Eksistensial
Dalam dunia yang
semakin terfragmentasi oleh relativisme nilai dan krisis identitas,
fenomenologi Husserl juga memberikan ruang untuk refleksi etis dan
eksistensial. Ia menekankan bahwa makna tidak datang dari sistem luar atau
institusi, melainkan dari akta penghayatan manusia sendiri. Oleh karena itu,
dalam dunia yang dipenuhi manipulasi informasi dan kehilangan orientasi moral,
refleksi fenomenologis menjadi sarana penting untuk memulihkan otonomi
subjektif dan tanggung jawab personal.⁶
Kesimpulan Sementara
atas Relevansi Husserl
Dengan mencerminkan
kembali kepada pengalaman murni, fenomenologi Husserl berupaya mengembalikan kesadaran
manusia sebagai pusat makna dan pengetahuan, dalam dunia yang
makin kompleks dan terdistorsi oleh rasionalitas teknis. Di tengah dinamika
global saat ini, pemikirannya tetap menawarkan landasan kritis dan normatif
bagi pengembangan ilmu, filsafat, dan kebudayaan yang lebih berorientasi pada
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1970), 6–10.
[2]
Dan Zahavi, Subjectivity and Selfhood: Investigating the
First-Person Perspective (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 10–13.
[3]
Francisco J. Varela, Neurophenomenology: A Methodological Remedy
for the Hard Problem, Journal of Consciousness Studies 6, no. 2–3
(1999): 330–49.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 70–74.
[5]
David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in
a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1997), 35–38.
[6]
Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The Phenomenological Mind, 2nd
ed. (London: Routledge, 2012), 164–170.
9.
Kesimpulan
Fenomenologi Edmund
Husserl menandai salah satu tonggak paling penting dalam sejarah filsafat
modern. Melalui proyek filsafatnya yang ambisius untuk membangun kembali
fondasi pengetahuan secara radikal, Husserl menegaskan bahwa semua pengetahuan
manusia berpangkal pada kesadaran subyektif yang
menghayati dunia dalam horizon makna. Dengan mengembangkan konsep-konsep kunci
seperti intensionalitas, epokhē,
reduksi
fenomenologis, intuisi eidetik, dan ego
transendental, ia merumuskan pendekatan filosofis yang
bertujuan untuk mengembalikan refleksi filosofis pada akar-akar pengalaman
manusia yang paling mendasar.¹
Husserl juga
melakukan kritik fundamental terhadap ilmu pengetahuan modern yang
telah mengabaikan dimensi subyektif dan eksistensial dari kehidupan manusia.
Melalui konsep Lebenswelt (dunia kehidupan),
ia menunjukkan bahwa semua bentuk objektivitas saintifik pada dasarnya berpijak
pada pengalaman subyektif yang dihayati secara langsung.² Dalam kerangka ini,
fenomenologi tidak hanya berfungsi sebagai metode filsafat, tetapi juga sebagai
tindakan
penyelamatan makna dalam dunia yang semakin terserap dalam
rasionalisasi teknologis dan reduksionisme saintifik.
Meski pemikiran
Husserl telah mendapatkan kritik dari berbagai arah—termasuk dari Martin
Heidegger yang menilai pendekatan transendentalnya terlalu abstrak dan dari
Emmanuel Levinas yang menolak subordinasi “yang Lain” ke dalam ego
transendental—justru dari kritik-kritik itulah fenomenologi berkembang ke
berbagai arah baru.³ Fenomenologi eksistensial, hermeneutik, dan intersubjektif
merupakan bukti kelenturan dan daya hidup pemikiran Husserl dalam percakapan
filosofis kontemporer.
Relevansi pemikiran
Husserl hari ini tetap terjaga, bahkan meningkat. Dalam konteks filsafat
kognitif, fenomenologi memberikan alternatif terhadap
reduksionisme neurologis dengan menyodorkan pendekatan first-person
perspective dalam memahami kesadaran.⁴ Dalam sosiologi
dan humaniora, konsep Lebenswelt dan struktur makna
subyektif terus digunakan untuk menganalisis dunia sosial, budaya, dan etika.
Dan dalam refleksi eksistensial,
fenomenologi tetap menjadi jalan filsafat yang menekankan otonomi, tanggung
jawab, dan pemaknaan hidup manusia.
Dengan demikian,
warisan filsafat Edmund Husserl tidak hanya terletak pada gagasan-gagasannya
yang kompleks, tetapi juga pada metode berpikir yang terbuka terhadap
pengalaman manusia secara reflektif dan sistematis.
Fenomenologi menjadi ruang filosofis yang memungkinkan kembalinya filsafat
kepada tugas asalnya: bukan hanya menjelaskan realitas secara teknis, tetapi memaknai
eksistensi manusia dalam dunia yang penuh kemungkinan.⁵
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1983), 59–62.
[2]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1970), 103–107.
[3]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–42; Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper
& Row, 1962), 56–60.
[4]
Dan Zahavi, Subjectivity and Selfhood: Investigating the
First-Person Perspective (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 11–14.
[5]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 11–13.
Daftar Pustaka
Abram, D. (1997). The spell of the sensuous:
Perception and language in a more-than-human world. Vintage Books.
Carr, D. (Trans.). (1970). The crisis of
European sciences and transcendental phenomenology (E. Husserl, Author).
Northwestern University Press.
Gallagher, S., & Zahavi, D. (2012). The
phenomenological mind (2nd ed.). Routledge.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy: First book (F. Kersten,
Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work published 1913)
Husserl, E. (2001). Logical investigations
(J. N. Findlay, Trans.; Vols. 1–2). Routledge. (Original work published
1900–1901)
Husserl, E. (1960). Cartesian meditations: An
introduction to phenomenology (D. Cairns, Trans.). Martinus Nijhoff.
(Original work published 1931)
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
(Original work published 1961)
Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
Routledge.
Moran, D. (2005). Edmund Husserl: Founder of
phenomenology. Polity Press.
Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern
University Press.
Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A
therapist's view of psychotherapy. Houghton Mifflin.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness: An
essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Washington
Square Press. (Original work published 1943)
Schutz, A. (1967). The phenomenology of the
social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Northwestern University
Press. (Original work published 1932)
Stein, E. (2002). Finite and eternal being: An
attempt at an ascent to the meaning of being (K. F. Reinhardt, Trans.). ICS
Publications. (Original work published 1949)
Varela, F. J. (1999). Neurophenomenology: A
methodological remedy for the hard problem. Journal of Consciousness
Studies, 6(2–3), 330–349.
Zahavi, D. (2003). Husserl’s phenomenology.
Stanford University Press.
Zahavi, D. (2005). Subjectivity and selfhood:
Investigating the first-person perspective. MIT Press.
Zahavi, D. (2019). Phenomenology: The basics.
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar