Jumat, 30 Mei 2025

Pemikiran Edmund Husserl: Fenomenologi sebagai Fondasi Pengetahuan

Pemikiran Edmund Husserl

Fenomenologi sebagai Fondasi Pengetahuan


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Edmund Husserl, pendiri fenomenologi, sebagai upaya mendasar dalam membangun fondasi pengetahuan yang kokoh berdasarkan pengalaman subyektif. Melalui konsep-konsep utama seperti intensionalitas, epokhē, reduksi fenomenologis, intuisi eidetik, dan ego transendental, Husserl mengembangkan metode reflektif yang bertujuan untuk menyingkap struktur esensial kesadaran. Artikel ini juga mengkaji kritik Husserl terhadap ilmu pengetahuan modern yang dianggap mengalami krisis makna karena terlepas dari dunia kehidupan (Lebenswelt). Berbagai kritik terhadap fenomenologi Husserl, seperti tuduhan solipsisme dan ketegangan antara idealisme dan realisme, turut dibahas sebagai bagian dari dinamika perkembangan pemikiran fenomenologis. Di samping itu, pembahasan ini menyoroti pengaruh luas Husserl terhadap filsafat kontemporer serta relevansinya dalam bidang kajian kesadaran, ilmu kognitif, etika, dan kritik sosial. Dengan demikian, artikel ini menunjukkan bahwa fenomenologi Husserl tetap merupakan kerangka filsafat yang signifikan dalam menanggapi tantangan epistemologis dan eksistensial di era modern dan pascamodern.

Kata Kunci: Edmund Husserl, fenomenologi, kesadaran, ego transendental, epokhē, reduksi fenomenologis, Lebenswelt, ilmu pengetahuan modern, filsafat kontemporer, kritik sosial.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Edmund Husserl


1.           Pendahuluan

Perkembangan filsafat modern, khususnya di Eropa Barat sejak abad ke-17, ditandai oleh upaya sistematis untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan yang pasti dan tidak dapat diragukan. Dari rasionalisme Descartes hingga empirisme Hume, filsuf-filsuf besar Eropa mencari landasan kokoh bagi epistemologi—yakni teori pengetahuan—yang dapat membedakan antara kebenaran dan ilusi. Namun, alih-alih mencapai kepastian, proyek-proyek tersebut justru menimbulkan krisis dalam fondasi filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal ini tampak, misalnya, dalam keraguan terhadap objek-objek eksternal, relativisme persepsi, dan jurang antara subjek dan objek. Dalam konteks inilah Edmund Husserl (1859–1938) muncul dengan proyek radikalnya untuk merevolusi epistemologi melalui metode fenomenologi transendental.

Husserl memulai kariernya sebagai matematikawan sebelum beralih ke filsafat atas pengaruh gurunya, Franz Brentano, yang memperkenalkan konsep intensionalitas sebagai ciri utama kesadaran. Karya awalnya, Philosophie der Arithmetik (1891), menunjukkan ketertarikannya pada fondasi logika dan matematika. Namun kemudian, melalui karya monumentalnya Logische Untersuchungen (1900–1901), ia mengembangkan pendekatan filosofis yang mengutamakan analisis kesadaran dan pengalaman langsung sebagai sumber makna dan kebenaran, menandai lahirnya fenomenologi sebagai disiplin filsafat baru. Husserl menyebut proyeknya sebagai "ilmu pengetahuan yang ketat" (strenge Wissenschaft), sebuah ilmu yang berangkat dari pengalaman murni dan tidak didasarkan pada asumsi metafisik atau spekulatif apa pun.¹

Fenomenologi, menurut Husserl, adalah studi sistematis tentang struktur kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang pertama. Hal ini dilakukan dengan melakukan epoché—yakni penangguhan atau penyanggahan asumsi-asumsi naturalistis—untuk mencapai reduksi fenomenologis yang memungkinkan peneliti mengamati esensi pengalaman sebagaimana adanya (zu den Sachen selbst).² Dalam hal ini, Husserl tidak sekadar menawarkan metode baru, melainkan memulihkan kembali nilai refleksi filosofis terhadap kesadaran subjektif, yang telah lama diabaikan oleh sains modern yang objektivistik.

Krisis dalam ilmu pengetahuan modern yang dirasakan Husserl memuncak dalam karya terakhirnya, Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie (1936). Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan telah kehilangan makna eksistensialnya karena memisahkan dunia objektif dari dunia kehidupan (Lebenswelt) tempat makna pertama-tama muncul bagi subjek.³ Oleh karena itu, bagi Husserl, fenomenologi bukan hanya usaha teoretis, melainkan juga misi kultural dan eksistensial untuk menyelamatkan makna-makna yang hilang dalam dunia modern.

Dengan kerangka tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis pokok-pokok pemikiran Edmund Husserl, dengan menelusuri latar belakang historisnya, landasan metodologis fenomenologi, implikasi epistemologisnya, serta pengaruh dan kritik yang muncul terhadap pemikirannya. Kajian ini diharapkan tidak hanya memperdalam pemahaman terhadap kontribusi Husserl dalam tradisi filsafat kontinental, tetapi juga merefleksikan relevansinya dalam konteks filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), xlvii.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 59–60.

[3]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 5–7.


2.           Biografi Intelektual Edmund Husserl

Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada 8 April 1859 di kota kecil Proßnitz, Moravia (kini Prostějov, Republik Ceko), yang pada waktu itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austro-Hungaria. Lahir dalam keluarga Yahudi yang taat, Husserl sejak muda menunjukkan ketertarikan besar pada ilmu pasti dan logika. Ia memulai studi akademiknya di bidang matematika dan ilmu alam di Universitas Leipzig, kemudian melanjutkan ke Universitas Berlin dan Wina, tempat ia belajar di bawah bimbingan tokoh-tokoh seperti Karl Weierstrass dan Leo Königsberger.¹

Namun, arah intelektual Husserl mengalami perubahan besar ketika ia berjumpa dengan Franz Brentano di Wina. Brentano, yang dikenal dengan konsep intensionalitas sebagai ciri khas semua akta mental, mengilhami Husserl untuk mengalihkan perhatian dari matematika murni ke ranah filsafat.² Setelah mempelajari psikologi deskriptif Brentano dan teori pengetahuan Carl Stumpf, Husserl mulai merumuskan proyek filsafatnya sendiri: menyelidiki fondasi logika, aritmetika, dan pengalaman kesadaran dengan cara yang ketat dan sistematis.

Karya awal Husserl yang penting adalah Philosophie der Arithmetik (1891), di mana ia mencoba menelaah asal-usul konsep bilangan dengan pendekatan psikologis. Namun, pendekatan ini kemudian ia kritik sendiri karena terlalu terjebak dalam psikologisme—yakni anggapan bahwa hukum-hukum logika bergantung pada hukum psikologis. Kritik ini memuncak dalam karya monumentalnya, Logische Untersuchungen (1900–1901), di mana Husserl menolak psikologisme dan menyatakan bahwa kebenaran logis bersifat ideal dan independen dari kondisi mental subjek.³ Di sinilah fondasi awal fenomenologi mulai terbentuk.

Karier akademik Husserl berkembang pesat. Ia mengajar di Universitas Halle dari 1887 hingga 1901, kemudian diundang menjadi profesor luar biasa di Universitas Göttingen, tempat ia mulai menarik perhatian murid-murid brilian seperti Edith Stein, Roman Ingarden, dan Alexandre Koyré. Göttingen menjadi pusat awal bagi apa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Fenomenologis.⁴ Pada 1916, Husserl dipindahkan ke Universitas Freiburg sebagai profesor penuh, posisi yang ia duduki hingga pensiun pada 1928. Di sanalah ia mengajar Martin Heidegger, murid yang kemudian menjadi kritikus utama dan sekaligus penerus paling berpengaruh dalam tradisi fenomenologi.

Pada masa akhir hidupnya, Husserl semakin memusatkan perhatian pada kritik terhadap krisis ilmu pengetahuan modern dan kehilangan makna eksistensial dalam kehidupan manusia. Meskipun menghadapi tekanan akibat kebijakan anti-Semitisme Nazi—termasuk kehilangan hak-haknya sebagai profesor emeritus—Husserl tetap melanjutkan penelitiannya hingga wafat pada 27 April 1938.⁵

Warisan intelektual Husserl sangat besar dan menjangkau luas. Ia tidak hanya membuka jalan bagi fenomenologi sebagai cabang filsafat yang mandiri, tetapi juga meletakkan dasar bagi pemikiran eksistensialisme, hermeneutika, dan bahkan filsafat analitik kontemporer yang bersentuhan dengan kajian kesadaran dan bahasa. Melalui metode yang ketat dan reflektif, Husserl berhasil menunjukkan bahwa pengalaman subyektif memiliki peran mendasar dalam membentuk struktur makna dan realitas.


Footnotes

[1]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 4–7.

[2]                Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford, CA: Stanford University Press, 2003), 15–17.

[3]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), vol. 1, lxxv–lxxviii.

[4]                Herbert Spiegelberg, The Phenomenological Movement: A Historical Introduction, 3rd rev. ed. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 152–157.

[5]                David Carr, “Husserl,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2021), https://plato.stanford.edu/entries/husserl/.


3.           Konteks Historis dan Filosofis Lahirnya Fenomenologi

Fenomenologi sebagai suatu aliran filsafat tidak muncul dalam kekosongan. Kelahirannya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan respons langsung terhadap kondisi krisis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Sejak pencerahan, proyek filsafat modern ditandai oleh usaha untuk menemukan fondasi pengetahuan yang kokoh, yang berpuncak pada dualisme Cartesian, rasionalisme Leibnizian, serta empirisme Humean. Namun, semua proyek ini, menurut banyak pemikir pada masa Husserl, justru menyisakan persoalan mendasar: keterputusan antara subjek dan objek, antara dunia batin dan dunia luar, serta antara pengalaman manusia dan realitas yang dipahami secara objektif.

Di paruh kedua abad ke-19, dominasi positivisme logis dan empirisme ilmiah semakin mengukuhkan pemisahan ini. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai satu-satunya jalan sah untuk memahami realitas, dan pengalaman manusia direduksi menjadi data yang dapat diukur secara kuantitatif. Auguste Comte, sebagai pelopor positivisme, menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin melalui observasi empiris dan hukum-hukum umum, sedangkan refleksi metafisik dan subjektif dianggap tidak ilmiah.¹ Dalam konteks ini, kesadaran manusia sebagai pusat pengalaman kehilangan kedudukan filosofisnya yang penting.

Selain positivisme, filsafat Jerman pada akhir abad ke-19 juga dikuasai oleh aliran Neo-Kantianisme, terutama di Marburg dan Baden. Aliran ini berusaha membangkitkan kembali semangat kritisisme Kantian dengan penekanan pada struktur a priori dalam kesadaran sebagai syarat kemungkinan pengalaman. Namun, pendekatan Neo-Kantian dianggap Husserl sebagai masih terlalu terikat pada konstruksi konseptual yang bersifat formal, dan belum menyentuh pengalaman konkret sebagai sumber makna.²

Dalam konteks ini, Husserl merumuskan proyek fenomenologi sebagai sebuah alternatif filosofis yang radikal: yaitu kembali kepada pengalaman sebagaimana dialami oleh subjek, sebelum segala bentuk penafsiran teoretis atau kategorisasi ilmiah dilakukan. Motto terkenalnya, Zu den Sachen selbst (“kembali kepada hal-hal itu sendiri”), menjadi penanda arah filsafat baru yang berusaha mengakses hakikat pengalaman murni.³ Fenomenologi lahir sebagai upaya untuk memulihkan kembali relevansi dimensi subjektif dalam memahami realitas, tanpa jatuh ke dalam relativisme atau psikologisme.

Fenomenologi juga dapat dipahami sebagai respon terhadap psikologisme dalam logika, suatu pandangan yang menganggap hukum-hukum logis sebagai produk dari proses psikologis manusia. Dalam Logische Untersuchungen, Husserl menyerang pandangan ini secara tajam dengan menunjukkan bahwa kebenaran logis bersifat ideal dan tidak dapat direduksi pada kondisi mental.⁴ Dengan demikian, fenomenologi bukan hanya merupakan pendekatan baru terhadap kesadaran, tetapi juga sebuah kritik epistemologis terhadap reduksionisme ilmiah dan spekulasi metafisik yang mendominasi zamannya.

Dengan latar belakang filsafat yang diliputi ketegangan antara idealisme dan naturalisme, antara subjektivitas dan objektivitas, proyek fenomenologis Husserl muncul sebagai jalan tengah yang mencoba merumuskan fondasi pengetahuan dari kesadaran murni dan refleksi sistematis. Fenomenologi Husserl bertujuan untuk mengatasi fragmentasi dalam filsafat modern dan menawarkan model pengetahuan yang memadukan kedalaman pengalaman dengan ketelitian metodologis.


Footnotes

[1]                Auguste Comte, Cours de philosophie positive, trans. Harriet Martineau as The Positive Philosophy (London: George Bell and Sons, 1896), 1–5.

[2]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 12–15.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 35.

[4]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), vol. 1, lxxvi–lxxx.


4.           Dasar-dasar Pemikiran Fenomenologi Husserl

Pemikiran fenomenologis Edmund Husserl bertumpu pada usaha untuk membangun suatu filsafat pertama—sebuah fondasi pengetahuan yang kokoh dan bebas dari asumsi. Dalam hal ini, Husserl berangkat dari pengalaman subyektif sebagai titik awal semua pengetahuan. Fenomenologi, menurutnya, bukan sekadar sebuah metode, tetapi merupakan jalan untuk menyingkap struktur esensial dari kesadaran dan bagaimana makna hadir dalam pengalaman manusia.⁽¹⁾ Pendekatan ini ditandai oleh beberapa konsep kunci yang membentuk dasar filsafat fenomenologinya.

4.1.       Intensionalitas Kesadaran

Salah satu gagasan paling mendasar dalam fenomenologi Husserl adalah intensionalitas (dari bahasa Latin intentio, “mengarah kepada”). Konsep ini merujuk pada sifat struktural kesadaran yang selalu “mengarah kepada” atau “berkaitan dengan” sesuatu di luar dirinya.⁽²⁾ Tidak ada pengalaman yang bersifat netral atau tertutup dalam dirinya; setiap akta kesadaran—baik itu persepsi, ingatan, harapan, atau imajinasi—selalu memiliki objek, bahkan jika objek itu imajiner atau tidak eksis secara faktual.

Husserl mengadopsi konsep ini dari gurunya, Franz Brentano, tetapi memberinya dimensi yang lebih mendalam dengan menelusuri struktur internal dari akta kesadaran itu sendiri. Dengan memahami intensionalitas, Husserl menyatakan bahwa kesadaran bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan aktif dalam membentuk dunia makna.⁽³⁾

4.2.       Epokhē (Penangguhan Asumsi)

Langkah awal dalam metode fenomenologi adalah epokhē, yaitu penangguhan (bracketing) terhadap semua asumsi naturalistik dan keyakinan tentang dunia eksternal. Tujuan dari epokhē adalah untuk mengesampingkan segala prasangka mengenai eksistensi objek-objek di luar kesadaran, agar fenomena dapat dihadirkan sebagaimana ia tampak dalam pengalaman murni.⁽⁴⁾ Ini bukanlah bentuk skeptisisme, melainkan strategi metodologis untuk memfokuskan perhatian pada “dunia sebagaimana ditampakkan”, bukan dunia sebagaimana diasumsikan secara dogmatis oleh ilmu pengetahuan alam.

Dengan epokhē, filsuf dapat menghindari jebakan metafisika yang tidak terverifikasi dan memulai penyelidikan dari dasar yang benar-benar terjamin, yakni kesadaran itu sendiri.

4.3.       Reduksi Fenomenologis

Melalui epokhē, subjek sampai pada reduksi fenomenologis, yakni proses kembali ke “esensi” dari pengalaman. Reduksi ini menyingkap struktur esensial dari fenomena tanpa intervensi interpretasi empiris atau teoretis. Husserl menyebut hasil dari proses ini sebagai kesadaran transendental, yaitu kesadaran yang murni dan merupakan prasyarat bagi segala bentuk penghayatan makna.⁽⁵⁾ Dalam pengertian ini, fenomenologi bukan studi tentang isi pengalaman psikologis, melainkan penyelidikan atas bagaimana segala sesuatu menjadi berarti bagi subjek.

4.4.       Esensialisme dan Intuisi Eidetik

Salah satu aspek penting dari reduksi fenomenologis adalah intuisi eidetik, yakni kemampuan untuk menangkap esensi universal dari suatu fenomena. Husserl membedakan antara fakta individual dan hakikat esensial (Wesen). Dengan mengandalkan variasi imajinatif (eidetic variation), subjek dapat mengabstraksi hal-hal yang bersifat kebetulan dan mencapai pemahaman tentang hakikat tetap yang membentuk pengalaman.⁽⁶⁾

Contohnya, ketika seseorang membayangkan berbagai bentuk kursi, ia dapat mengesampingkan perbedaan-perbedaan konkret dan sampai pada esensi “kekursian” itu sendiri. Bagi Husserl, filsafat harus berurusan dengan esensi-esensi semacam ini, bukan fakta-fakta kontingen.

4.5.       Ego Transendental

Puncak dari metode fenomenologi Husserl adalah penemuan ego transendental—yaitu subjek murni yang menjadi sumber segala makna. Ego ini bukanlah diri psikologis atau empiris, melainkan “aku” yang menghayati dan membentuk makna melalui akta kesadaran.⁽⁷⁾ Dalam kerangka ini, dunia bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri secara objektif, tetapi merupakan korelat kesadaran: dunia hanya bermakna sejauh ia dihayati oleh subjek transendental.

Ego transendental menjadi pusat dari dunia pengalaman, bukan karena ia menciptakan dunia secara ontologis, tetapi karena ia merupakan syarat kemungkinan bagi segala penghayatan makna. Inilah yang menjadikan fenomenologi Husserl sebagai bentuk idealism transendental—yakni penegasan bahwa makna dunia berakar pada struktur kesadaran subjek.


Footnotes

[1]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 8–10.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 192.

[3]                Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford, CA: Stanford University Press, 2003), 14–16.

[4]                Husserl, Ideas I, 61–62.

[5]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 75–77.

[6]                Herbert Spiegelberg, The Phenomenological Movement: A Historical Introduction, 3rd rev. ed. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 95–98.

[7]                Husserl, Ideas I, 111–112.


5.           Kritik Husserl terhadap Ilmu Pengetahuan Modern

Edmund Husserl, dalam karya-karya terakhirnya terutama Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie (1936), melancarkan kritik tajam terhadap arah dan dasar-dasar ilmu pengetahuan modern. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan, khususnya sains alam (Naturwissenschaften), telah mengalami “krisis makna” karena memisahkan dirinya dari dunia kehidupan (Lebenswelt) dan dari pengalaman subyektif manusia yang menjadi prasyarat pengetahuan.¹

5.1.       Krisis Ilmu Pengetahuan dan Kehilangan Dasar Filosofis

Menurut Husserl, ilmu pengetahuan modern sejak era Galileo Galilei dan Isaac Newton telah dikonstruksi berdasarkan paradigma matematis dan objektifistik. Alam dipahami sebagai sistem hukum kuantitatif yang dapat dirumuskan secara universal, dan keberadaan manusia sebagai subjek mengalami marginalisasi. Husserl menyebut proses ini sebagai “idealization of nature”, yakni pengubahan dunia konkret yang dialami ke dalam struktur matematis yang abstrak.² Meskipun pendekatan ini menghasilkan kemajuan teknologi dan prediksi ilmiah, ia gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna, nilai, dan eksistensi manusia.

Sebagai akibatnya, ilmu pengetahuan menjadi semakin terlepas dari realitas konkret yang dihidupi manusia sehari-hari. Dunia yang dihuni manusia tidak lagi dimaknai sebagai dunia pengalaman, melainkan sebagai entitas fisik netral yang tunduk pada hukum mekanistik.³ Inilah yang dimaksud Husserl dengan kehilangan fondasi fenomenologis ilmu pengetahuan: sains melupakan asal-usulnya dalam kehidupan subyektif dan tidak mampu merefleksikan makna dunia sebagaimana dihayati.

5.2.       Kritik terhadap Naturalisme dan Objektivisme

Husserl juga mengkritik naturalisme—pandangan yang menyamakan realitas dengan alam material yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tidak mungkin sepenuhnya bersifat objektif jika tidak memperhitungkan subjek pengamat. Ilmu pengetahuan naturalistik cenderung mengabaikan peran kesadaran dalam membentuk pengalaman terhadap realitas.⁴ Oleh karena itu, bagi Husserl, objektivitas yang diklaim oleh ilmu modern bersifat semu karena bergantung pada perspektif subyektif yang tidak pernah disadari atau dianalisis secara mendalam.

Objektivisme sains juga menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang makna dan keberadaan. Ilmu hanya tertarik pada bagaimana sesuatu bekerja (how), tetapi tidak pada apa dan mengapa sesuatu itu bermakna (what and why). Dalam hal ini, fenomenologi berperan sebagai koreksi filosofis terhadap sains yang telah menjadi “tanpa jiwa”—karena tercerabut dari dimensi eksistensial manusia.

5.3.       Dunia Kehidupan (Lebenswelt) sebagai Asal-usul Pengetahuan

Untuk mengatasi krisis ini, Husserl mengajukan konsep Lebenswelt (dunia kehidupan)—yakni dunia pra-teoretis yang secara langsung dihidupi manusia dalam keseharian. Dunia kehidupan bukanlah dunia “benda-benda” yang diukur oleh fisika, melainkan dunia makna yang dialami oleh subjek sebagai tempat tinggal, relasi, nilai, dan tujuan.⁵ Ia menegaskan bahwa semua ilmu, termasuk fisika dan matematika, pada akhirnya berpijak pada struktur pengalaman dalam dunia kehidupan.

Dengan demikian, Husserl tidak menolak ilmu pengetahuan, melainkan mengajak untuk merefleksikan fondasi epistemologisnya agar kembali pada pengalaman konkret dan kesadaran subyektif yang mendasarinya. Ilmu yang tidak merefleksikan asal-muasalnya justru menjadi dogmatis, tidak kritis, dan akhirnya terjebak dalam krisis spiritual dan budaya.

5.4.       Fenomenologi sebagai “Ilmu Pengetahuan yang Ketat”

Sebagai solusi, Husserl menawarkan fenomenologi sebagai “ilmu pengetahuan yang ketat” (strenge Wissenschaft), yaitu filsafat yang mendasarkan dirinya pada deskripsi sistematis tentang struktur pengalaman murni.⁶ Fenomenologi berusaha mengatasi dikotomi antara subjek dan objek, serta membuka kembali horizon makna yang hilang dalam objektivisme sains.

Dengan merekonstruksi filsafat sebagai penyelidikan terhadap hakikat kesadaran dan pengalaman, Husserl menegaskan bahwa hanya melalui refleksi fenomenologis manusia dapat menemukan kembali tempatnya di tengah dunia dan membangun fondasi pengetahuan yang utuh secara eksistensial maupun logis.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 3–5.

[2]                Ibid., 23–27.

[3]                Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford, CA: Stanford University Press, 2003), 96–98.

[4]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 153–157.

[5]                Husserl, Crisis, 103–107.

[6]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), vol. 1, lxxvii.


6.           Pengaruh dan Relevansi Pemikiran Husserl

Pemikiran Edmund Husserl memiliki pengaruh yang sangat luas dalam sejarah filsafat kontemporer, terutama dalam tradisi filsafat kontinental. Fenomenologi yang ia rumuskan bukan hanya menjadi gerakan filsafat besar abad ke-20, tetapi juga menjadi fondasi bagi beragam aliran filsafat dan ilmu humaniora yang berkembang setelahnya. Gagasan-gagasannya tentang kesadaran, intensionalitas, reduksi fenomenologis, dan dunia kehidupan (Lebenswelt) menjangkau jauh melampaui filsafat murni dan masuk ke dalam ranah psikologi, sosiologi, teologi, sastra, hingga kajian budaya.

6.1.       Pengaruh terhadap Para Penerus Fenomenologi

Di antara tokoh-tokoh besar yang dipengaruhi langsung oleh Husserl adalah Martin Heidegger, muridnya di Universitas Freiburg. Heidegger menerima warisan fenomenologis Husserl tetapi kemudian merekonstruksinya menjadi filsafat ontologis yang berpusat pada pertanyaan tentang keberadaan (Sein) dalam karyanya Sein und Zeit (1927). Heidegger mengganti fokus dari kesadaran murni menuju eksistensi manusia konkret (Dasein), dan ini menandai pergeseran dari fenomenologi transendental ke fenomenologi hermeneutik.¹

Selain Heidegger, pemikir seperti Maurice Merleau-Ponty dan Jean-Paul Sartre juga mengembangkan fenomenologi ke arah yang lebih eksistensialis. Merleau-Ponty menekankan tubuh sebagai pusat pengalaman fenomenologis dalam Phenomenology of Perception, sedangkan Sartre dalam Being and Nothingness menjadikan fenomenologi sebagai dasar filsafat kebebasan manusia.² Bahkan pemikir Katolik seperti Edith Stein dan Max Scheler mengintegrasikan fenomenologi dengan filsafat agama dan etika.³

Pengaruh Husserl juga tampak dalam filsafat Jerman pasca-perang melalui tokoh seperti Hans-Georg Gadamer, serta dalam filsafat Perancis melalui Emmanuel Levinas, yang mengkritik ego transendental Husserl demi menegaskan etika sebagai filsafat pertama.⁴

6.2.       Relevansi Interdisipliner dalam Ilmu Humaniora dan Sosial

Fenomenologi Husserl tidak hanya berdampak dalam bidang filsafat tetapi juga dalam pengembangan metodologi ilmiah di berbagai disiplin lain. Dalam psikologi, pendekatan fenomenologis menjadi dasar bagi psikologi humanistik dan eksistensial, seperti terlihat dalam karya Carl Rogers dan Rollo May, yang menolak reduksionisme behavioristik demi memahami pengalaman subyektif secara holistik.⁵

Dalam sosiologi, fenomenologi Husserl memberi inspirasi langsung kepada Alfred Schutz, yang mengembangkan sosiologi fenomenologis untuk menjelaskan struktur makna dalam interaksi sosial dan konstruksi dunia kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini kemudian diteruskan oleh teori konstruksionisme sosial dan teori tindakan simbolik.⁶

Di bidang teologi, terutama dalam teologi Katolik dan eksistensial, fenomenologi memberi kerangka reflektif terhadap pengalaman religius yang tidak dapat direduksi ke dalam penjelasan rasional semata. Sementara itu, dalam kritik sastra dan hermeneutika, fenomenologi berperan dalam menjelaskan hubungan antara teks, pembaca, dan pengalaman makna.

6.3.       Fenomenologi dan Relevansi Kontemporer

Dalam konteks kontemporer, pemikiran Husserl tetap relevan, terutama dalam diskursus tentang kesadaran, identitas subyektif, dan pengalaman manusia dalam dunia digital. Fenomenologi digunakan untuk memahami bagaimana manusia membentuk realitas melalui persepsi dan interpretasi yang dibentuk oleh sejarah dan konteks sosial. Gagasan tentang Lebenswelt kembali mengemuka dalam kritik terhadap rasionalisasi teknologis dan dehumanisasi dalam masyarakat modern.⁷

Lebih lanjut, fenomenologi Husserl memberikan kontribusi penting dalam filsafat kognitif dan kajian kesadaran, karena menekankan aspek first-person experience yang selama ini diabaikan dalam pendekatan naturalistik. Fenomenologi berperan sebagai pengingat bahwa segala pengetahuan—baik ilmiah maupun praktis—berakar pada pengalaman langsung manusia dan tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa menyelidiki struktur kesadaran.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.

[2]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), vii–xii; Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 3–6.

[3]                Edith Stein, Finite and Eternal Being, trans. Kurt F. Reinhardt (Washington, DC: ICS Publications, 2002), 47–50.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 27–32.

[5]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 1–5.

[6]                Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, trans. George Walsh and Frederick Lehnert (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1967), 3–6.

[7]                Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge, 2019), 108–112.


7.           Kritik terhadap Pemikiran Husserl

Meskipun Edmund Husserl dianggap sebagai pendiri fenomenologi dan peletak dasar filsafat subyektivitas modern yang kokoh, pemikirannya tidak luput dari kritik tajam baik dari murid-muridnya sendiri maupun dari pemikir luar tradisi fenomenologi. Kritik-kritik tersebut mencakup aspek metodologis, metafisis, dan epistemologis dari fenomenologi transendental yang dirumuskannya. Beberapa kritik bahkan menjadi titik tolak bagi lahirnya arah baru dalam perkembangan filsafat abad ke-20.

7.1.       Kritik Martin Heidegger: Kehidupan konkret versus ego transendental

Salah satu kritik paling mendasar terhadap Husserl datang dari muridnya sendiri, Martin Heidegger, yang pernah menjadi asistennya di Freiburg. Dalam Being and Time (1927), Heidegger menilai bahwa pendekatan Husserl terlalu menekankan pada subjek murni atau ego transendental, sehingga mengabaikan dimensi keberadaan konkret manusia di dunia. Heidegger mengganti fokus dari kesadaran ke eksistensi manusia sebagai Dasein—yakni makhluk yang “berada-di-dalam-dunia” (In-der-Welt-sein) secara historis dan temporal.¹ Bagi Heidegger, proyek Husserl bersifat terlalu idealistis dan tidak cukup memperhitungkan keterlemparan manusia ke dalam dunia yang sudah penuh makna secara historis dan sosial.

7.2.       Tuduhan Solipsisme dan Krisis Intersubjektivitas

Husserl juga dikritik karena posisinya dianggap mengarah pada solipsisme transendental—yakni pandangan bahwa dunia hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan kesadaran subjek tunggal.² Meskipun Husserl berupaya mengatasi persoalan ini dalam Cartesian Meditations dengan konsep intersubjektivitas transendental, yakni pengakuan terhadap kesadaran orang lain dalam horizon pengalaman subjektif, banyak filsuf menilai pendekatan ini tetap terlalu bergantung pada refleksi internal subjek.³ Emmanuel Levinas, misalnya, menolak pendekatan ini karena dianggap menundukkan keberadaan “yang Lain” (l’autrui) dalam horizon ego dan bukannya mengakui alteritas radikal dari orang lain.⁴

7.3.       Ketegangan antara Fenomenologi Statis dan Fenomenologi Genetik

Kritik juga muncul terhadap pembagian dalam karya Husserl antara fenomenologi statis dan fenomenologi genetik. Fenomenologi statis berusaha mendeskripsikan struktur esensial kesadaran sebagaimana tampak dalam pengalaman sekarang, sementara fenomenologi genetik berusaha menelusuri asal-usul temporal dan konstitusi makna dalam kesadaran melalui waktu internal.⁵ Beberapa sarjana menilai bahwa Husserl gagal menyatukan kedua pendekatan ini secara konseptual. Padahal, struktur makna dalam pengalaman manusia tidak bisa dilepaskan dari aspek waktu, sejarah, dan proses hidup konkret.

7.4.       Ambiguitas Antara Realisme dan Idealisme

Husserl sering kali dituduh tidak konsisten dalam posisi filosofisnya antara realisme fenomenologis dan idealisme transendental. Dalam Logical Investigations, ia tampak menegaskan bahwa makna dan kebenaran bersifat objektif dan independen dari subjek. Namun dalam Ideas I, ia justru menekankan bahwa dunia hanya bermakna dalam dan melalui struktur ego transendental.⁶ Perubahan ini menimbulkan kritik bahwa fenomenologi Husserl mengalami transisi yang tidak dijelaskan secara tuntas, bahkan berpotensi membingungkan pembaca mengenai komitmen ontologis yang sebenarnya dari pendekatannya.

7.5.       Kritik terhadap Metode Reduksi

Metode reduksi fenomenologis, yang menjadi fondasi epistemologis dalam fenomenologi Husserl, juga dipersoalkan. Banyak filsuf mempertanyakan apakah benar seseorang dapat secara murni menangguhkan seluruh keyakinan naturalistik dan berfokus pada “esensi” pengalaman tanpa campur tangan interpretasi atau bias. Paul Ricoeur, misalnya, menyatakan bahwa reduksi fenomenologis bersifat ilusioner karena setiap pemahaman sudah dipengaruhi oleh pra-struktur hermeneutik.⁷ Dalam hal ini, pendekatan fenomenologis harus dilengkapi dengan perspektif hermeneutis yang lebih menyadari konteks sejarah, bahasa, dan budaya.


Kesimpulan Sementara atas Kritik

Kritik-kritik tersebut tidak serta-merta membatalkan kontribusi besar Husserl dalam mendirikan fenomenologi, tetapi justru memperkaya perkembangan selanjutnya. Ia menjadi titik tolak bagi berbagai varian fenomenologi baru—baik yang bersifat eksistensial, hermeneutik, intersubjektif, maupun praksis. Bahkan dalam kritik terhadapnya, Husserl tetap hadir sebagai referensi utama yang tidak dapat dilepaskan dari percakapan filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 56–60.

[2]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 260–263.

[3]                Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960), §§42–44.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–42.

[5]                Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford, CA: Stanford University Press, 2003), 90–93.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), xx–xxiv.

[7]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 10–12.


8.           Relevansi Kontemporer Pemikiran Husserl

Pemikiran Edmund Husserl tetap memiliki relevansi yang kuat dalam berbagai perdebatan filsafat kontemporer, terutama dalam diskursus mengenai kesadaran, makna, subjektivitas, serta krisis epistemologis dan etis dalam ilmu pengetahuan modern. Meskipun fenomenologi transendentalnya telah mengalami revisi dan transformasi oleh generasi-generasi setelahnya, kerangka kerja yang ia bangun terus menjadi pijakan kritis dalam berbagai disiplin ilmu humaniora dan sosial, bahkan hingga ke ranah filsafat kognitif dan teknologi.

8.1.       Refleksi terhadap Krisis Makna dalam Dunia Modern

Salah satu kontribusi paling relevan dari Husserl adalah analisisnya mengenai krisis dalam ilmu pengetahuan modern yang terlepas dari akar-akar eksistensial dan dunia kehidupan (Lebenswelt). Dalam konteks pascamodern, di mana sains dan teknologi telah mendominasi lanskap kehidupan manusia tetapi seringkali mengabaikan dimensi makna dan etika, kritik Husserl menjadi semakin signifikan.¹ Dunia yang dipahami secara teknis dan kuantitatif membutuhkan kembali penekanan pada pengalaman subyektif dan nilai-nilai kemanusiaan yang dihayati secara langsung. Di sinilah fenomenologi memainkan peran penting dalam mengembalikan perhatian kepada pengalaman konkrit manusia yang telah terpinggirkan oleh objektivisme saintifik.

8.2.       Kontribusi dalam Filsafat Kesadaran dan Kajian Kognitif

Dalam kajian filsafat pikiran dan ilmu kognitif, pemikiran Husserl juga mengalami revitalisasi. Para filsuf kontemporer seperti Shaun Gallagher dan Dan Zahavi menekankan pentingnya pendekatan fenomenologis terhadap kesadaran sebagai pelengkap terhadap model-model neurobiologis yang dominan. Husserl dianggap sebagai pionir pendekatan first-person perspective yang mengkaji struktur pengalaman dari dalam, bukan dari luar sebagai objek observasi ilmiah.² Pendekatan ini memberi kontribusi dalam studi tentang persepsi, waktu subyektif, identitas diri, dan pengalaman tubuh (embodiment).

Dalam bidang neurofenomenologi, yang digagas oleh Francisco Varela, prinsip-prinsip fenomenologi Husserl dikombinasikan dengan penelitian neuroscience modern untuk memahami hubungan antara pengalaman sadar dan struktur otak.³ Dengan demikian, fenomenologi Husserl berkontribusi dalam menjembatani kesenjangan antara subjektivitas dan objektivitas dalam studi tentang pikiran manusia.

8.3.       Fenomenologi sebagai Kritik Kultural dan Sosial

Relevansi Husserl juga terasa dalam konteks kritik sosial dan kultural. Konsep Lebenswelt telah digunakan sebagai alat untuk mengkritik proses rasionalisasi teknologis, dehumanisasi, dan kehilangan makna dalam masyarakat modern. Pemikir-pemikir seperti Jürgen Habermas dan Alfred Schutz mengembangkan gagasan Husserl untuk menelusuri bagaimana struktur makna dan komunikasi terbentuk dalam interaksi sosial.⁴ Dalam hal ini, fenomenologi tidak hanya menjadi metode filosofis, tetapi juga kerangka analitis untuk memahami struktur kesadaran kolektif dan realitas sosial.

Di era globalisasi dan krisis lingkungan, pendekatan fenomenologis juga mulai digunakan untuk menelaah relasi manusia dengan alam, teknologi, dan tubuhnya sendiri.⁵ Fenomenologi ekologis, misalnya, menggunakan prinsip-prinsip Husserlian untuk mengkaji pengalaman ekologis secara langsung dan berkelanjutan.

8.4.       Relevansi Etis dan Eksistensial

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh relativisme nilai dan krisis identitas, fenomenologi Husserl juga memberikan ruang untuk refleksi etis dan eksistensial. Ia menekankan bahwa makna tidak datang dari sistem luar atau institusi, melainkan dari akta penghayatan manusia sendiri. Oleh karena itu, dalam dunia yang dipenuhi manipulasi informasi dan kehilangan orientasi moral, refleksi fenomenologis menjadi sarana penting untuk memulihkan otonomi subjektif dan tanggung jawab personal.⁶


Kesimpulan Sementara atas Relevansi Husserl

Dengan mencerminkan kembali kepada pengalaman murni, fenomenologi Husserl berupaya mengembalikan kesadaran manusia sebagai pusat makna dan pengetahuan, dalam dunia yang makin kompleks dan terdistorsi oleh rasionalitas teknis. Di tengah dinamika global saat ini, pemikirannya tetap menawarkan landasan kritis dan normatif bagi pengembangan ilmu, filsafat, dan kebudayaan yang lebih berorientasi pada kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 6–10.

[2]                Dan Zahavi, Subjectivity and Selfhood: Investigating the First-Person Perspective (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 10–13.

[3]                Francisco J. Varela, Neurophenomenology: A Methodological Remedy for the Hard Problem, Journal of Consciousness Studies 6, no. 2–3 (1999): 330–49.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 70–74.

[5]                David Abram, The Spell of the Sensuous: Perception and Language in a More-than-Human World (New York: Vintage Books, 1997), 35–38.

[6]                Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The Phenomenological Mind, 2nd ed. (London: Routledge, 2012), 164–170.


9.           Kesimpulan

Fenomenologi Edmund Husserl menandai salah satu tonggak paling penting dalam sejarah filsafat modern. Melalui proyek filsafatnya yang ambisius untuk membangun kembali fondasi pengetahuan secara radikal, Husserl menegaskan bahwa semua pengetahuan manusia berpangkal pada kesadaran subyektif yang menghayati dunia dalam horizon makna. Dengan mengembangkan konsep-konsep kunci seperti intensionalitas, epokhē, reduksi fenomenologis, intuisi eidetik, dan ego transendental, ia merumuskan pendekatan filosofis yang bertujuan untuk mengembalikan refleksi filosofis pada akar-akar pengalaman manusia yang paling mendasar.¹

Husserl juga melakukan kritik fundamental terhadap ilmu pengetahuan modern yang telah mengabaikan dimensi subyektif dan eksistensial dari kehidupan manusia. Melalui konsep Lebenswelt (dunia kehidupan), ia menunjukkan bahwa semua bentuk objektivitas saintifik pada dasarnya berpijak pada pengalaman subyektif yang dihayati secara langsung.² Dalam kerangka ini, fenomenologi tidak hanya berfungsi sebagai metode filsafat, tetapi juga sebagai tindakan penyelamatan makna dalam dunia yang semakin terserap dalam rasionalisasi teknologis dan reduksionisme saintifik.

Meski pemikiran Husserl telah mendapatkan kritik dari berbagai arah—termasuk dari Martin Heidegger yang menilai pendekatan transendentalnya terlalu abstrak dan dari Emmanuel Levinas yang menolak subordinasi “yang Lain” ke dalam ego transendental—justru dari kritik-kritik itulah fenomenologi berkembang ke berbagai arah baru.³ Fenomenologi eksistensial, hermeneutik, dan intersubjektif merupakan bukti kelenturan dan daya hidup pemikiran Husserl dalam percakapan filosofis kontemporer.

Relevansi pemikiran Husserl hari ini tetap terjaga, bahkan meningkat. Dalam konteks filsafat kognitif, fenomenologi memberikan alternatif terhadap reduksionisme neurologis dengan menyodorkan pendekatan first-person perspective dalam memahami kesadaran.⁴ Dalam sosiologi dan humaniora, konsep Lebenswelt dan struktur makna subyektif terus digunakan untuk menganalisis dunia sosial, budaya, dan etika. Dan dalam refleksi eksistensial, fenomenologi tetap menjadi jalan filsafat yang menekankan otonomi, tanggung jawab, dan pemaknaan hidup manusia.

Dengan demikian, warisan filsafat Edmund Husserl tidak hanya terletak pada gagasan-gagasannya yang kompleks, tetapi juga pada metode berpikir yang terbuka terhadap pengalaman manusia secara reflektif dan sistematis. Fenomenologi menjadi ruang filosofis yang memungkinkan kembalinya filsafat kepada tugas asalnya: bukan hanya menjelaskan realitas secara teknis, tetapi memaknai eksistensi manusia dalam dunia yang penuh kemungkinan.⁵


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 59–62.

[2]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1970), 103–107.

[3]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–42; Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 56–60.

[4]                Dan Zahavi, Subjectivity and Selfhood: Investigating the First-Person Perspective (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 11–14.

[5]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 11–13.


Daftar Pustaka

Abram, D. (1997). The spell of the sensuous: Perception and language in a more-than-human world. Vintage Books.

Carr, D. (Trans.). (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (E. Husserl, Author). Northwestern University Press.

Gallagher, S., & Zahavi, D. (2012). The phenomenological mind (2nd ed.). Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy: First book (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work published 1913)

Husserl, E. (2001). Logical investigations (J. N. Findlay, Trans.; Vols. 1–2). Routledge. (Original work published 1900–1901)

Husserl, E. (1960). Cartesian meditations: An introduction to phenomenology (D. Cairns, Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work published 1931)

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press. (Original work published 1961)

Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Moran, D. (2005). Edmund Husserl: Founder of phenomenology. Polity Press.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A therapist's view of psychotherapy. Houghton Mifflin.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness: An essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)

Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Northwestern University Press. (Original work published 1932)

Stein, E. (2002). Finite and eternal being: An attempt at an ascent to the meaning of being (K. F. Reinhardt, Trans.). ICS Publications. (Original work published 1949)

Varela, F. J. (1999). Neurophenomenology: A methodological remedy for the hard problem. Journal of Consciousness Studies, 6(2–3), 330–349.

Zahavi, D. (2003). Husserl’s phenomenology. Stanford University Press.

Zahavi, D. (2005). Subjectivity and selfhood: Investigating the first-person perspective. MIT Press.

Zahavi, D. (2019). Phenomenology: The basics. Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar