Kamis, 29 Mei 2025

Konsep Aktualitas-Potensialitas: Menjembatani Perubahan Melalui Pemikiran Aristoteles

Aktualitas-Potensialitas

Menjembatani Perubahan Melalui Pemikiran Aristoteles


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep aktualitas (energeia / entelecheia) dan potensialitas (dunamis) dalam kerangka metafisika Aristoteles. Kedua konsep ini digunakan Aristoteles untuk menjelaskan realitas sebagai proses dinamis yang melibatkan perubahan dari kemungkinan menjadi kenyataan. Melalui pendekatan hylemorfisme, Aristoteles memformulasikan struktur ontologis di mana bentuk dan materi berpadu dalam transisi dari potensi menuju aktualisasi. Artikel ini juga mengulas aplikasi konsep tersebut dalam kosmologi Aristoteles, terutama dalam kaitannya dengan doktrin Unmoved Mover sebagai wujud aktualitas murni. Selain itu, dibahas pula relevansi kontemporer dari gagasan ini dalam bidang filsafat ilmu, biologi, etika, hingga pendidikan, serta tanggapan kritis dari para filsuf pasca-Aristotelian seperti Ibn Sina, Mulla Sadra, Thomas Aquinas, Heidegger, dan Kripke. Kesimpulan artikel ini menegaskan bahwa kerangka aktualitas-potensialitas tidak hanya menawarkan sintesis filosofis terhadap problem perubahan, tetapi juga memberikan dasar reflektif bagi pembacaan dunia yang terarah dan bermakna dalam berbagai disiplin kontemporer.

Kata Kunci: Aristoteles, aktualitas, potensialitas, perubahan, hylemorfisme, metafisika, teleologi, filsafat kontemporer, Unmoved Mover, filsafat klasik.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat Aktualitas dan Potensialitas dalam Pemikiran Aristoteles


1.           Pendahuluan

Konsep perubahan merupakan salah satu problem metafisis paling mendasar yang telah memikat perhatian para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Bagi pemikir awal seperti Herakleitos, dunia ini ditandai oleh ketidakmenentuan dan perubahan yang abadi; “segala sesuatu mengalir” (panta rhei) menjadi semboyan yang mencerminkan keyakinannya bahwa tiada satu pun yang tetap dalam kenyataan.1 Di sisi lain, Parmenides menyanggah kemungkinan perubahan dengan argumentasi rasional bahwa perubahan mengandaikan peralihan dari “ada” ke “tiada”, yang menurutnya mustahil, karena “yang tiada” tidak bisa dipikirkan apalagi menjadi kenyataan.2 Dua posisi ekstrem ini menghadirkan dilema filosofis yang menantang: bagaimana mungkin sesuatu berubah tanpa kehilangan identitasnya?

Plato, sebagai murid dari Sokrates dan pengaruh besar dalam sejarah filsafat Barat, mencoba menjembatani persoalan tersebut dengan konsep dunia ide dan dunia bayangan (fenomena). Baginya, dunia fisik yang berubah-ubah hanyalah refleksi dari dunia ide yang abadi dan sempurna. Namun, solusi dualistik ini menimbulkan kesulitan baru karena memisahkan hakikat (realitas sejati) dari kenyataan empiris, yang justru menjadi arena pengalaman manusia sehari-hari.3

Aristoteles, sebagai murid Plato yang kritis dan independen, menawarkan jalan tengah yang lebih integratif melalui konsepsi hylemorfisme, yakni doktrin bahwa segala sesuatu terdiri atas materi (hyle) dan bentuk (morphe). Dalam kerangka ini, perubahan bukanlah ilusi maupun kemustahilan, melainkan proses nyata yang dapat dijelaskan secara logis melalui hubungan antara potensialitas (dunamis) dan aktualitas (energeia atau entelecheia). Konsep ini menjadi pilar utama dalam metafisika Aristoteles karena menjelaskan bagaimana sesuatu dapat berada dalam proses menjadi tanpa kehilangan keberadaan atau hakikatnya.4

Dengan menelaah gagasan ini, kita tidak hanya memahami struktur realitas menurut Aristoteles, tetapi juga mendapatkan wawasan mendalam tentang prinsip universal yang mengatur eksistensi, gerak, dan transformasi. Artikel ini bertujuan untuk membedah konsep aktualitas-potensialitas secara sistematis, menempatkannya dalam konteks historis-filosofisnya, menguraikan pengaruhnya terhadap kosmologi dan teologi Aristoteles, serta mempertimbangkan relevansinya dalam wacana kontemporer.


Footnotes

[1]                Heraclitus, dalam kutipan fragmen DK B12, sebagaimana dikutip dalam G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 195.

[2]                Parmenides, Fragments, dalam Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 155–158.

[3]                Plato, The Republic, Book VII, dalam trans. G.M.A. Grube, Plato: Republic (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion Press, 2002), Book IX, 1049b5–1050a3.


2.           Konteks Historis dan Filosofis

Pemikiran Aristoteles tentang aktualitas dan potensialitas tidak dapat dilepaskan dari konteks historis-filosofis yang melatarbelakanginya. Aristoteles hidup pada abad ke-4 SM, suatu masa ketika filsafat Yunani sedang berada dalam periode transisional dari spekulasi kosmologis ala Presokratik menuju sistematika metafisik dan logika yang lebih terstruktur. Ia merupakan murid Plato selama dua puluh tahun di Akademia, namun pada akhirnya mengembangkan sistem filsafat yang berbeda secara fundamental, terutama dalam memahami realitas, perubahan, dan substansi.1

Sebelum Aristoteles, para filsuf Presokratik seperti Thales, Anaximandros, Herakleitos, dan Parmenides telah meletakkan dasar-dasar spekulasi mengenai hakikat perubahan dan keberadaan. Herakleitos menegaskan bahwa perubahan merupakan hakikat realitas itu sendiri: “Engkau tidak dapat melangkah ke sungai yang sama dua kali.2 Namun, Parmenides justru menyangkal keberadaan perubahan dengan menyatakan bahwa “yang ada adalah dan yang tidak ada tidak mungkin ada”; oleh karena itu, perubahan yang mengandaikan peralihan dari tidak-ada ke ada dianggap ilusi.3 Konfrontasi filosofis antara Herakleitos dan Parmenides ini menjadi medan pemikiran yang menginspirasi Plato dan kemudian Aristoteles untuk mencari titik temu rasional atas problem perubahan.

Plato merespons dilema ini melalui teori dunia ide. Ia membedakan antara dunia inderawi yang fana dan berubah (doxa) dengan dunia ide yang kekal dan tak berubah (episteme). Dunia nyata hanyalah bayangan dari bentuk-bentuk ideal yang tidak berubah, dan karena itu perubahan di dunia materi dianggap tidak sejati melainkan sebagai refleksi dari perubahan semu.4 Namun, pemisahan antara dunia ide dan dunia konkret menimbulkan dualisme ontologis yang problematik—karena menjauhkan pengalaman empiris dari realitas sejati.

Aristoteles mengkritik model dualistik Plato dan mengajukan pendekatan yang lebih imanen terhadap realitas. Dalam kerangka ini, ia memperkenalkan doktrin hylemorfisme, yakni bahwa setiap benda tersusun atas dua prinsip dasar: materi (hyle), sebagai substrat potensial, dan bentuk (morphe), sebagai prinsip pengaktual. Perubahan bukanlah hasil dari partisipasi dalam dunia ide, melainkan proses transformasi internal dalam suatu entitas yang bergerak dari potensi menuju aktualitas berdasarkan prinsip formanya.5

Dengan demikian, gagasan tentang potensialitas dan aktualitas menjadi bagian penting dari sistem metafisika Aristoteles yang berupaya menjelaskan perubahan tanpa menafikan identitas. Gagasannya ini merekonsiliasi dinamika dunia empiris dengan prinsip logis yang konsisten, sekaligus menjawab tantangan para pendahulunya. Ia tidak menolak perubahan sebagaimana Parmenides, dan juga tidak menyerah pada fluks mutlak sebagaimana Herakleitos, melainkan menawarkan sintesis metafisik yang lebih dalam dan sistematis.

Melalui pendekatan tersebut, Aristoteles menjadi pionir dalam filsafat substansi dan kausalitas, dan kontribusinya memengaruhi perkembangan filsafat Barat, Islam, dan skolastik selama berabad-abad. Konsep aktualitas dan potensialitas ini kemudian menjadi tulang punggung dalam teori gerak, ontologi, dan bahkan teologi, seperti tampak dalam pemikiran para pemikir besar seperti Thomas Aquinas dan Mulla Sadra.


Footnotes

[1]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923), 1–4.

[2]                Heraclitus, Fragmen B91 dalam G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 195.

[3]                Parmenides, Fragmen B2 dan B8 dalam Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 155–158.

[4]                Plato, Republic, Book VII, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.

[5]                Aristotle, Metaphysics, Book VII–IX, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion Press, 2002), esp. 1045a–1050a.


3.           Definisi dan Makna Konsep Potensialitas (Dunamis)

Dalam kerangka metafisika Aristoteles, potensialitas (dunamis, δύναμις) merupakan konsep kunci yang menjelaskan bagaimana sesuatu dapat "menjadi" tanpa harus sepenuhnya "menjadi" pada saat tertentu. Potensialitas mengacu pada kapasitas atau kemungkinan yang dimiliki oleh suatu entitas untuk mewujudkan keadaan tertentu—kemungkinan untuk berubah, berkembang, atau mencapai bentuk yang lebih sempurna. Bagi Aristoteles, dunamis bukan sekadar kemungkinan abstrak, tetapi kekuatan internal yang melekat pada substansi dan menunggu untuk direalisasikan melalui aktualisasi.1

Dalam Metaphysics, Aristoteles membedakan antara dua jenis potensialitas: potensialitas pasif dan potensialitas aktif. Potensialitas pasif mengacu pada kapasitas suatu objek untuk menerima perubahan dari luar—misalnya, kapasitas kayu untuk menjadi meja. Sebaliknya, potensialitas aktif berkaitan dengan kemampuan untuk menyebabkan perubahan, seperti keterampilan seorang tukang kayu dalam membuat meja.2 Dengan kata lain, potensialitas mencakup baik keadaan menerima bentuk maupun kemampuan memberi bentuk, tergantung pada konteks perubahan yang dianalisis.

Lebih jauh, Aristoteles menggarisbawahi bahwa potensialitas bukanlah non-eksistensi mutlak, melainkan eksistensi dalam modus lain. Potensialitas memiliki realitas yang bersifat belum sempurna atau belum selesai. Misalnya, biji pohon memiliki potensi untuk menjadi pohon dewasa, meskipun saat ini belum aktual sebagai pohon. Potensialitas bersifat intrinsik terhadap substansi dan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan aktual suatu hal.3

Yang menarik dalam definisi Aristoteles adalah bahwa potensialitas hanya masuk akal dalam hubungannya dengan aktualitas. Potensialitas adalah keterarahan menuju aktualisasi, yaitu bentuk akhir dari suatu proses perubahan. Aristoteles menegaskan bahwa untuk memahami potensialitas, kita harus mengetahui bentuk atau keadaan akhir yang menjadi tujuan aktualisasi tersebut. Hal ini ditegaskannya dalam Metaphysics IX (Θ): “potensial adalah apa yang memiliki prinsip perubahan di dalam dirinya sendiri atau dalam entitas lain.”4

Dalam tradisi filsafat sesudahnya, terutama di tangan para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas, konsep potensialitas dimaknai secara ontologis sebagai status eksistensial makhluk yang belum sempurna. Segala makhluk dianggap memiliki potensialitas karena hanya Tuhan yang merupakan actus purus—aktualitas murni tanpa potensi.5 Dengan demikian, konsep potensialitas berfungsi sebagai jembatan metafisik untuk memahami dinamika ontologis antara keadaan belum jadi dan keadaan telah jadi dalam sistem realitas.

Secara filosofis, pemahaman terhadap dunamis membuka ruang bagi analisis lebih dalam mengenai perubahan, perkembangan, dan keberadaan sebagai proses, bukan sebagai kondisi statis. Dalam dunia alami, segala sesuatu yang belum mencapai bentuk sempurnanya tetap berada dalam potensi, dan hanya melalui gerak serta prinsip formal-lah potensi itu diwujudkan dalam aktualitas.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion Press, 2002), Book IX, 1046a–1048a.

[2]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923), 172–174.

[3]                Edward Feser, Aristotle's Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 190–192.

[4]                Aristotle, Metaphysics, 1046a11–1046b4.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; lihat juga Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 108–110.


4.           Definisi dan Makna Konsep Aktualitas (Energeia / Entelecheia)

Dalam filsafat Aristoteles, aktualitas merupakan kunci untuk memahami bagaimana sesuatu berpindah dari keadaan belum menjadi kepada keadaan telah menjadi. Dua istilah utama yang digunakan oleh Aristoteles untuk menggambarkan konsep ini adalah energeia (ἐνέργεια) dan entelecheia (ἐντελέχεια). Meski keduanya sering digunakan secara bergantian, masing-masing memiliki nuansa filosofis yang penting. Energeia lebih menekankan pada aktivitas atau pelaksanaan, sedangkan entelecheia merujuk pada keadaan “selesai” atau “terselesaikan” dalam mencapai tujuan alami suatu entitas.1

Aristoteles menjelaskan bahwa aktualitas adalah “pengaktifan dari potensialitas,” yaitu perwujudan dari kapasitas atau kemungkinan yang dimiliki oleh sesuatu. Ia menggambarkan perbedaan antara potensi dan aktual dengan ilustrasi yang terkenal: seorang arsitek memiliki potensi untuk membangun rumah, tetapi ketika ia benar-benar membangun rumah itu, potensinya menjadi aktualitas.2 Dalam konteks ini, aktualitas tidak sekadar kondisi pasif, tetapi wujud konkrit dari bentuk (form) yang termanifestasi dalam materi.

Lebih jauh, dalam Metaphysics Book Θ, Aristoteles menyatakan bahwa energeia adalah keadaan ketika sesuatu “berada dalam tindakan,” sebagai lawan dari hanya “mampu bertindak.” Dengan kata lain, aktualitas adalah bentuk yang sedang dijalankan atau diwujudkan, dan dalam banyak hal, ia identik dengan “kesempurnaan” dari suatu entitas, yakni ketika sesuatu mencapai tujuannya (telos) secara penuh.3 Oleh sebab itu, aktualitas dapat dipahami sebagai keberadaan dalam makna paling definitif—keberadaan yang telah menyelesaikan potensi dasarnya.

Konsep entelecheia, yang berasal dari kata telos (tujuan), lebih mempertegas gagasan bahwa aktualitas melibatkan realisasi dari tujuan bawaan. Misalnya, benih memiliki telos menjadi pohon; maka pohon dewasa merupakan entelecheia dari benih tersebut, yakni keadaan akhir yang menyempurnakan potensi benih. Aristoteles menggunakan istilah ini terutama dalam konteks biologi dan kosmologi, di mana segala sesuatu bergerak ke arah bentuk atau tujuan alaminya.4

Aktualitas dalam sistem Aristoteles juga memiliki dimensi hierarkis. Tingkat tertinggi dari aktualitas adalah wujud yang tidak memiliki potensi sama sekali karena telah aktual sepenuhnya—yakni Tuhan atau Penggerak Tak Digegerakkan (Unmoved Mover). Tuhan tidak berubah karena Ia adalah actus purus, wujud murni tanpa potensi. Dalam pandangan Aristoteles, semua gerak dalam kosmos mengarah pada realisasi aktualitas yang tertinggi ini, menjadikan aktualitas sebagai prinsip teleologis universal.5

Penting untuk dicatat bahwa bagi Aristoteles, tidak ada perubahan tanpa keberadaan aktualitas yang mendahului. Potensialitas tidak akan pernah teraktualkan tanpa kehadiran prinsip aktual sebagai penyebab gerak. Oleh karena itu, dalam setiap transformasi ontologis, aktualitas selalu menjadi prioritas secara ontologis maupun epistemologis. Inilah mengapa dalam metafisika Aristoteles, aktualitas tidak hanya menggenapi potensialitas, tetapi juga mendasari dan menjelaskan dinamika perubahan secara menyeluruh.

Konsep ini kelak diadopsi dan dikembangkan secara signifikan oleh pemikir-pemikir skolastik, terutama oleh Thomas Aquinas yang menjadikannya landasan dalam teologi natural. Aquinas memahami hubungan antara potensialitas dan aktualitas sebagai kerangka untuk menjelaskan perbedaan antara makhluk (yang memiliki campuran potensi dan aktualitas) dan Sang Pencipta (yang adalah aktualitas murni).6 Oleh karena itu, aktualitas dalam filsafat Aristotelian tidak hanya relevan dalam kerangka metafisika, tetapi juga menjadi dasar bagi etika, kosmologi, bahkan teologi.


Footnotes

[1]                Joe Sachs, Aristotle's Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion Press, 2002), xxiv–xxv.

[2]                Aristotle, Metaphysics, Book IX, 1048a25–1049a10.

[3]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923), 176–179.

[4]                David Charles, Aristotle on Meaning and Essence (Oxford: Clarendon Press, 2000), 132–135.

[5]                Aristotle, Metaphysics, Book XII, 1071b4–1072a10.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 122–125.


5.           Relasi antara Potensialitas dan Aktualitas

Dalam filsafat Aristoteles, hubungan antara potensialitas (dunamis) dan aktualitas (energeia atau entelecheia) merupakan struktur metafisik yang menjelaskan realitas sebagai proses. Kedua konsep ini tidak berdiri sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai modus keberadaan yang saling berkaitan dalam menjelaskan gerak, perubahan, dan keberlangsungan entitas alamiah. Potensialitas menunjukkan kemungkinan untuk menjadi, sedangkan aktualitas adalah keadaan menjadi itu sendiri—yaitu realisasi dari apa yang sebelumnya hanya merupakan potensi.

Aristoteles menegaskan bahwa tidak ada perubahan tanpa kehadiran potensialitas dan aktualitas sekaligus. Segala perubahan adalah perpindahan dari yang “belum” menjadi “sudah,” dan transisi ini hanya mungkin jika suatu objek mengandung potensi yang dapat diwujudkan melalui suatu prinsip aktual.1 Misalnya, kayu memiliki potensi untuk menjadi meja, tetapi ia tidak akan menjadi meja tanpa tindakan dari tukang kayu yang mengaktualkan potensi tersebut. Dengan demikian, aktualitas bertindak sebagai penggerak, sedangkan potensialitas adalah yang digerakkan menuju bentuk akhirnya.

Dalam Physics, Aristoteles menyatakan bahwa “perubahan adalah aktualitas dari apa yang berada dalam potensi, sejauh ia dalam potensi.2 Ini berarti bahwa perubahan bukan hanya penghilangan dan penggantian, tetapi merupakan proses aktualisasi yang berlangsung dalam konteks potensi tertentu. Konsep ini memungkinkan Aristoteles menjelaskan fenomena alam secara sistematis—mengapa sesuatu bisa berubah, bagaimana perubahan itu berlangsung, dan apa yang menjadi akhir dari perubahan tersebut.

Lebih jauh, hubungan antara potensialitas dan aktualitas bersifat hierarkis dan temporal. Aktualitas selalu mendahului potensialitas dalam hal penjelasan metafisik, karena potensi hanya dapat terwujud melalui aktualitas yang telah ada sebelumnya. Aristoteles mencontohkan hal ini dalam konteks reproduksi: manusia berasal dari manusia, bukan dari potensi manusia semata.3 Maka, dalam setiap transformasi, prinsip aktual hadir lebih dahulu sebagai penyebab atau penggerak.

Prinsip ini mencapai klimaksnya dalam doktrin Penggerak Tak Digegerakkan (Unmoved Mover) dalam Metaphysics Book XII. Di sana, Aristoteles mengidentifikasi suatu wujud yang adalah aktualitas murni (actus purus)—tidak memiliki potensi karena sepenuhnya aktual. Wujud ini adalah sebab utama dari seluruh gerak kosmis, bukan karena ia sendiri bergerak, tetapi karena ia menjadi tujuan yang diinginkan oleh segala sesuatu yang bergerak.4 Ini menunjukkan bahwa relasi antara potensi dan aktual tidak hanya menjelaskan gerak fisik, tetapi juga menyusun tatanan kosmologis dan teleologis semesta.

Relasi ini juga memperjelas perbedaan antara bentuk (form) dan materi (matter) dalam hylemorfisme. Materi adalah substrat potensial, sedangkan bentuk adalah prinsip aktualisasi. Suatu entitas dikatakan ada secara penuh hanya jika ia memiliki bentuk aktual yang mewujudkan potensi dalam materinya. Oleh karena itu, keberadaan bukan sekadar soal ada atau tidak ada, melainkan soal dalam tingkat keberadaan yang ditentukan oleh kadar aktualisasinya.5

Para pemikir sesudah Aristoteles, khususnya dalam tradisi skolastik dan Islam klasik, mengembangkan relasi ini sebagai kerangka untuk memahami tidak hanya ontologi, tetapi juga epistemologi, etika, dan teologi. Thomas Aquinas, misalnya, memaknai perbedaan antara makhluk dan Sang Pencipta melalui kerangka ini: makhluk selalu merupakan kombinasi antara potensialitas dan aktualitas, sementara Tuhan adalah wujud yang telah dan selalu aktual, tanpa potensi, dan oleh karena itu tidak berubah.6

Dengan demikian, relasi antara potensialitas dan aktualitas dalam pemikiran Aristoteles tidak hanya menjelaskan bagaimana sesuatu berubah, tetapi juga mengapa dan menuju ke mana perubahan itu terjadi. Dalam hal ini, konsep tersebut menawarkan sintesis filosofis yang menghubungkan antara struktur ontologis dan arah teleologis dari segala sesuatu yang ada.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion Press, 2002), Book IX, 1049a5–1049b5.

[2]                Aristotle, Physics, Book III, 201a10–12, dalam The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 1, 336.

[3]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923), 180–183.

[4]                Aristotle, Metaphysics, Book XII, 1072a10–1072b15.

[5]                David Charles, Aristotle on Meaning and Essence (Oxford: Clarendon Press, 2000), 137–140.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 99–103.


6.           Aplikasi Konsep Ini dalam Kosmologi Aristoteles

Konsep aktualitas dan potensialitas tidak hanya berfungsi dalam kerangka metafisika umum, tetapi juga menjadi fondasi utama dalam kosmologi Aristoteles, yakni pemahaman sistematis tentang struktur, gerak, dan tujuan alam semesta. Aristoteles membangun sistem kosmologis yang mencerminkan keteraturan alam melalui prinsip-prinsip perubahan yang ia rumuskan berdasarkan hubungan antara potensialitas dan aktualitas.

Menurut Aristoteles, alam semesta adalah kesatuan hierarkis yang terdiri atas berbagai entitas yang memiliki derajat keberadaan berbeda, tergantung pada tingkat aktualisasi potensi yang dimilikinya. Benda-benda langit seperti bintang dan planet, menurutnya, bersifat abadi dan tidak berubah, sedangkan benda-benda dunia sublunar (di bawah bulan)—seperti makhluk hidup dan benda mati—terdiri dari materi dan bentuk serta mengalami perubahan secara terus-menerus.1 Perubahan ini berlangsung sebagai proses aktualisasi: segala sesuatu bergerak dari potensi menjadi aktual berdasarkan bentuk yang terkandung dalam naturanya.

Dalam Physics dan On the Heavens, Aristoteles menjelaskan bahwa semua gerak di alam memiliki penyebab. Namun, rantai kausalitas gerak ini tidak dapat berlanjut tanpa henti, dan karena itu harus ada suatu prinsip pertama yang menyebabkan gerak tanpa sendiri digerakkan: inilah yang disebutnya sebagai Penggerak Tak Digegerakkan (Unmoved Mover).2 Wujud ini adalah aktualitas murni (actus purus), tidak memiliki potensi, tidak berubah, dan tidak bersifat material. Penggerak ini tidak menggerakkan dengan cara mendorong secara fisik, melainkan menarik semua gerak di alam semesta sebagai objek cinta dan tujuan akhir (telos).

Penggerak Tak Digegerakkan adalah puncak tertinggi dalam hierarki kosmologis Aristoteles. Ia bertindak sebagai sumber aktualitas bagi seluruh sistem gerak kosmis. Planet-planet dan bintang berputar karena meniru atau mengarahkan geraknya menuju prinsip aktualitas sempurna ini. Gerak sirkular langit, yang menurut Aristoteles bersifat paling sempurna, adalah manifestasi dari usaha abadi entitas langit untuk menyerupai aktualitas mutlak tersebut.3 Dengan demikian, kosmologi Aristoteles bersifat teleologis, yaitu memahami realitas berdasarkan tujuan yang inheren dalam naturanya.

Konsep ini sangat penting dalam menjelaskan struktur alam semesta yang teratur dan rasional. Aristoteles membagi dunia menjadi dua wilayah besar:

·                     Dunia sublunar, yang terdiri dari empat elemen (tanah, air, udara, dan api), bersifat berubah dan fana, mengalami generasi dan korupsi.

·                     Dunia supralunar, yakni langit dan benda-benda langit, bersifat kekal, terdiri dari zat kelima (aether), dan bergerak secara abadi dalam lingkaran sempurna.4

Dalam sistem ini, segala sesuatu diarahkan oleh bentuk akhir (final cause) yang merupakan prinsip aktualisasi tertinggi. Tidak ada gerak yang bersifat acak atau tanpa tujuan, sebab seluruh realitas tunduk pada prinsip teleologis: setiap entitas memiliki telos yang mengarahkan potensi alaminya menuju aktualisasi sempurna.

Konsekuensinya, konsep potensialitas dan aktualitas dalam kosmologi Aristoteles bukan hanya menjelaskan bagaimana perubahan berlangsung di alam, tetapi juga mengapa alam bersifat teratur, terstruktur, dan bermakna. Prinsip actus purus sebagai aktualitas tanpa potensi bukan hanya menjawab persoalan metafisika gerak pertama, tetapi juga menawarkan dasar bagi teologi natural, yakni pemikiran tentang Tuhan sebagai prinsip terakhir yang mengatur kosmos dengan daya tarik intelektual dan teleologis.

Pemikiran ini kemudian sangat berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam dan skolastik. Ibn Sina, misalnya, mengadopsi model kosmologis Aristoteles dalam teori emanasi, sedangkan Thomas Aquinas menggabungkan gagasan Unmoved Mover dengan konsep Tuhan dalam teologi Kristen, menganggap bahwa Tuhan adalah aktualitas murni dan penyebab segala keberadaan.5 Dengan demikian, kosmologi Aristoteles adalah pencapaian monumental dalam usaha menjelaskan keteraturan dunia fisik secara rasional, berbasis prinsip-prinsip metafisik yang sistematik.


Footnotes

[1]                Aristotle, On the Heavens, Book I–II, trans. W.K.C. Guthrie (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1939), 268a–270b.

[2]                Aristotle, Physics, Book VIII, 256a–258b; lihat juga Metaphysics, Book XII, 1071b–1072a.

[3]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923), 188–191.

[4]                Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 109–113.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, Book I, ch. 13–15; lihat juga Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 96–99.


7.           Relevansi Konseptual dalam Konteks Kontemporer

Meskipun dikembangkan lebih dari dua milenium lalu, konsep aktualitas dan potensialitas dalam filsafat Aristoteles tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam berbagai bidang pemikiran kontemporer, baik dalam metafisika, filsafat ilmu, biologi, hingga etika. Pemahaman tentang perubahan sebagai transisi dari potensi ke aktual memungkinkan pembacaan realitas secara dinamis, progresif, dan bertujuan—sebuah kerangka yang sangat diperlukan dalam menanggapi kompleksitas dunia modern.

Dalam metafisika kontemporer, banyak filsuf meninjau kembali konsep Aristotelian ini untuk mengkritik reduksionisme ilmiah yang mengabaikan struktur ontologis dari keberadaan. Edward Feser, misalnya, dalam Aristotle’s Revenge, menegaskan bahwa pendekatan Aristoteles terhadap substansi dan aktualisasi lebih koheren daripada model-materialisme murni yang gagal menjelaskan esensi, bentuk, dan tujuan dalam realitas fisik.1 Konsep potensialitas menyediakan kerangka untuk memahami kemungkinan yang belum terwujud dalam diri objek—membuka ruang bagi kontinjensi, kebebasan, dan kreativitas, yang sering kali diabaikan dalam pendekatan deterministik.

Dalam filsafat ilmu dan biologi, aktualitas-potensialitas relevan dalam menjelaskan perkembangan organisme hidup sebagai proses natural menuju bentuk atau keadaan tertentu. Pendekatan Aristotelian tentang telos atau tujuan inheren dalam alam menjadi alternatif terhadap penjelasan evolusioner yang murni kausal. Beberapa filsuf biologi kontemporer, seperti Marjorie Grene dan Francisco J. Varela, mengusulkan pendekatan “organismik” yang mencerminkan gagasan bentuk akhir dan aktualisasi sebagaimana ditemukan dalam kerangka Aristotelian.2 Dalam konteks ini, pertumbuhan bukan hanya akumulasi perubahan, tetapi perwujudan dari desain atau kecenderungan bentuk bawaan.

Dalam bidang etika dan filsafat manusia, aktualitas dipahami sebagai pencapaian kesempurnaan kodrati (natural perfection). Aristoteles sendiri dalam Nicomachean Ethics menyatakan bahwa kebahagiaan manusia (eudaimonia) adalah bentuk aktualisasi tertinggi dari potensi rasional yang melekat dalam jiwa manusia.3 Gagasan ini mengilhami teori-teori etika berbasis kebajikan (virtue ethics), yang belakangan kembali dihidupkan oleh filsuf seperti Alasdair MacIntyre dan Martha Nussbaum sebagai alternatif terhadap utilitarianisme dan deontologi modern yang bersifat mekanistik.4

Dalam bidang teologi filsafat, terutama dalam tradisi skolastik maupun Islam klasik, pemahaman tentang Tuhan sebagai actus purus tetap menjadi dasar metafisika ketuhanan. Di era modern, meskipun filsafat sekuler mendominasi, para pemikir seperti William Lane Craig dan Brian Leftow tetap menggunakan kerangka aktualitas-potensialitas untuk menjelaskan konsep Tuhan yang tak berubah, tak bergantung, dan menjadi dasar dari seluruh keberadaan.5

Di sisi lain, teori kemungkinan dalam logika dan ontologi modal, seperti yang dikembangkan oleh Saul Kripke dan David Lewis, secara tidak langsung bersinggungan dengan konsep Aristotelian tentang potensialitas. Ide tentang “possible worlds” dan “counterfactuals” menyiratkan adanya eksistensi potensial yang belum teraktualisasi di dunia nyata, meskipun dikemas dalam bahasa modern dan formal.6

Konsep ini juga penting dalam ranah pendidikan dan pengembangan manusia. Pandangan Aristoteles menyiratkan bahwa setiap individu memiliki potensi yang harus dibimbing menuju aktualisasi melalui pendidikan, bimbingan moral, dan pembentukan karakter. Oleh karena itu, filsafat Aristotelian memberikan landasan kuat bagi pendekatan pedagogis yang berfokus pada pengembangan totalitas potensi manusia, bukan sekadar pengisian pengetahuan.

Dengan demikian, relevansi konseptual aktualitas dan potensialitas tidak terbatas pada kajian historis atau metafisik semata, tetapi juga menyentuh aspek praktis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan besar: apa hakikat keberadaan, bagaimana manusia berkembang, dan ke mana arah perubahan dunia? Dalam dunia yang dipenuhi ketidakpastian dan transformasi cepat, kerangka ini justru memberikan stabilitas filosofis dalam membaca kenyataan sebagai sesuatu yang bergerak menuju kesempurnaan, bukan sekadar berubah tanpa arah.


Footnotes

[1]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 145–152.

[2]                Marjorie Grene, The Understanding of Nature: Essays in the Philosophy of Biology (Dordrecht: Reidel, 1974), 123–130; Francisco J. Varela, Ethical Know-How: Action, Wisdom, and Cognition (Stanford: Stanford University Press, 1999), 34–36.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, Book I, 1097a15–1098a20, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999).

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 100–110; Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 293–298.

[5]                William Lane Craig, The Only Wise God: The Compatibility of Divine Foreknowledge and Human Freedom (Grand Rapids: Baker Book House, 1999), 53–55; Brian Leftow, Time and Eternity (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 78–81.

[6]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 42–45; David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 84–88.


8.           Kritik dan Perkembangan Pasca-Aristoteles

Konsep aktualitas dan potensialitas yang dirumuskan oleh Aristoteles telah memainkan peran sentral dalam sejarah filsafat Barat dan Islam, namun tidak luput dari kritik, revisi, dan pengembangan lebih lanjut oleh para filsuf sesudahnya. Seiring bergesernya paradigma metafisika, epistemologi, dan kosmologi, gagasan Aristotelian ini mengalami berbagai penafsiran ulang yang mencerminkan dinamika pemikiran filosofis dari abad ke-3 SM hingga zaman modern.

Pada masa awal pasca-Aristoteles, Alexander dari Aphrodisias (abad ke-2 M), sebagai komentator otoritatif Aristoteles dalam tradisi Yunani, mempertahankan kerangka dasar dunamis-energeia namun berupaya mengklarifikasi distingsi antara aktus aktual dan potensial dalam konteks jiwa dan intelek. Ia menekankan bahwa aktualisasi dalam intelek manusia melibatkan bentuk-bentuk universal, sehingga berkontribusi terhadap teori tentang intelek aktif dan pasif.1

Di dalam tradisi filsafat Islam, konsep ini diterima secara luas, terutama melalui pemikiran Ibn Sina (Avicenna) dan Mulla Sadra. Ibn Sina mengintegrasikan doktrin aktualitas-potensialitas ke dalam sistem metafisiknya, dengan menempatkan Tuhan sebagai wujud wajib (necessary being) yang sepenuhnya aktual dan tanpa potensi. Namun, ia menambahkan lapisan elaboratif melalui teori emanasi, yang menggambarkan keluarnya keberadaan dari Tuhan secara bertingkat, dimulai dari aktualitas tertinggi menuju tingkat-tingkat potensialitas dalam makhluk ciptaan.2 Sementara itu, Mulla Sadra dari tradisi Hikmah Muta’aliyah (filsafat transendental) memberikan interpretasi lebih dinamis dengan teorinya tentang gerak substansial (al-harakah al-jawhariyyah), di mana segala substansi tidak statis, melainkan secara terus-menerus bergerak dari potensi ke aktualitas dalam eksistensinya sendiri.3

Dalam tradisi Skolastik Kristen, Thomas Aquinas menjadikan konsep aktualitas-potensialitas sebagai pilar utama dalam sistem metafisika dan teologinya. Ia menggunakannya untuk membedakan antara esensi dan eksistensi, menjelaskan bahwa hanya Tuhan yang esensinya adalah eksistensi-Nya sendiri, dan karena itu adalah actus purus (aktualitas murni), sedangkan makhluk memiliki potensi dan tergantung pada penyebab lain untuk mewujud.4 Namun, Aquinas juga menghadapi kritik dari kaum nominalis dan voluntarist seperti William of Ockham, yang menolak universalia dan esensi sebagai realitas objektif, sehingga memperlemah dasar ontologis bagi aktualitas dan potensialitas dalam bentuk Aristotelian klasik.5

Di era modern, konsep Aristoteles mendapat tantangan besar dari filsafat mekanistik dan empirisisme, terutama oleh René Descartes, Francis Bacon, dan Isaac Newton. Pendekatan ilmiah baru yang menekankan hukum kuantitatif dan kausalitas efisien mengesampingkan penyebab formal dan final, yang merupakan basis bagi struktur potensialitas-aktualitas Aristoteles. Dunia tidak lagi dilihat sebagai entitas yang bergerak menuju tujuan, tetapi sebagai mesin yang bergerak berdasarkan hukum sebab-akibat tanpa arah final.6

Meski demikian, kebangkitan metafisika kontinental di abad ke-20 membawa semacam rehabilitasi terhadap struktur berpikir Aristotelian, terutama dalam pemikiran Martin Heidegger. Dalam Being and Time, Heidegger merefleksikan ulang makna keberadaan sebagai “kemungkinan yang mendahului aktualitas”—menunjukkan bahwa potensialitas bukan hanya tahap menuju keberadaan, tetapi bagian konstitutif dari eksistensi manusia (Dasein) sendiri.7 Heidegger juga mengkritik metafisika Barat pasca-Aristoteles karena terlalu menekankan pada entelecheia dan kehilangan pemahaman yang lebih orisinal tentang energeia sebagai pemunculan-diri keberadaan.

Di sisi lain, dalam filsafat analitik, meskipun bahasa konseptualnya berbeda, kita dapat menemukan jejak analogis terhadap pemikiran Aristoteles. Misalnya, Saul Kripke dengan teori modalitasnya menggunakan istilah “kemungkinan” dan “dunia mungkin” untuk merujuk pada status eksistensial alternatif yang beresonansi dengan gagasan potensialitas dalam bentuk kontemporer.8

Secara umum, kritik terhadap konsep ini tidak membatalkannya, tetapi justru memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana ide dasar Aristoteles dapat disesuaikan dengan horizon filsafat dan sains yang terus berkembang. Potensialitas dan aktualitas tetap menjadi kerangka filosofis yang produktif dalam menjelaskan perubahan, eksistensi, dan arah keberadaan, baik dalam dimensi fisik maupun eksistensial.


Footnotes

[1]                Alexander of Aphrodisias, On the Soul: Part I, trans. Victor Caston (London: Bloomsbury, 2012), 44–47.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 87–92.

[3]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra, ed. and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Islamic Research Institute, 2006), 123–128.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1–2; Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 115–121.

[5]                William of Ockham, Ordinatio, I.2, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure: Franciscan Institute Publications, 1967), 33–36.

[6]                Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 151–155.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–187.

[8]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 44–46.


9.           Penutup

Konsep aktualitas dan potensialitas dalam pemikiran Aristoteles merupakan tonggak fundamental dalam sejarah filsafat yang menawarkan sintesis komprehensif antara keberadaan, perubahan, dan tujuan. Melalui kerangka ini, Aristoteles berhasil mengatasi dilema klasik antara kaum Herakleitean yang menekankan perubahan mutlak dan Parmenidean yang menolak segala bentuk perubahan. Ia menunjukkan bahwa perubahan bukanlah kontradiksi, melainkan transisi wajar dari dunamis menuju energeia, dari apa yang mungkin menjadi apa yang nyata.1

Lebih dari sekadar kategori metafisis, konsep ini membentuk fondasi ontologis bagi sistem pemikiran Aristoteles secara keseluruhan, mencakup bidang logika, fisika, biologi, etika, dan kosmologi. Dalam setiap tataran, aktualitas menjadi prinsip penggerak, sedangkan potensialitas menjadi modal eksistensial yang mengandaikan arah dan makna perubahan. Dalam Metaphysics, Aristoteles menegaskan bahwa “substansi adalah yang terutama dan terutama dalam keberadaan,” dan bahwa substansi ini selalu mengandung bentuk aktual yang mewujudkan potensi materi tertentu.2

Penerapan kerangka ini dalam kosmologi menegaskan bahwa gerak semesta diarahkan oleh prinsip teleologis yang berujung pada Unmoved Mover—wujud yang sepenuhnya aktual dan tanpa potensi, menjadi sebab final dari seluruh perubahan di alam. Di sini, aktualitas-potensialitas tidak hanya menjelaskan bagaimana gerak terjadi, tetapi juga mengapa gerak itu memiliki tujuan tertentu, menjadikan sistem Aristoteles sebagai alternatif rasional terhadap pandangan mekanistik yang ahistoris dan tak bertujuan.3

Perjalanan intelektual pasca-Aristoteles menunjukkan bahwa konsep ini bukan dogma statis, melainkan ide yang terus berkembang dan dimodifikasi sesuai dengan konteks zamannya. Dari Ibn Sina dan Mulla Sadra di dunia Islam hingga Thomas Aquinas dan Heidegger di Barat, struktur relasional antara potensialitas dan aktualitas tetap menjadi sumbu dialog metafisika yang terus berputar. Bahkan dalam teori kemungkinan kontemporer, modalitas eksistensial yang dianalisis oleh Kripke dan Lewis masih beresonansi dengan pertanyaan Aristotelian tentang apa yang bisa ada dan bagaimana sesuatu menjadi ada.4

Dalam konteks modern yang ditandai oleh percepatan perubahan, ketidakpastian, dan krisis identitas, pendekatan Aristotelian ini justru menawarkan stabilitas konseptual. Dengan memahami bahwa perubahan bukanlah lompatan dari ketiadaan, tetapi realisasi bertahap dari kapasitas yang telah ada, kita dibantu untuk melihat transformasi sebagai bagian dari kodrat eksistensial yang terarah. Dalam pendidikan, politik, dan pengembangan manusia, kerangka ini mendorong kita untuk tidak sekadar menerima kenyataan, melainkan membimbingnya menuju aktualitas terbaiknya.

Oleh karena itu, kajian terhadap konsep aktualitas dan potensialitas tidak hanya penting sebagai warisan intelektual, tetapi juga sebagai instrumen reflektif yang memungkinkan kita untuk memahami dan memaknai keberadaan dalam segala kompleksitasnya. Dalam terang Aristoteles, menjadi bukan hanya soal ada, tetapi soal menjadi apa yang seharusnya kita jadi—yakni, mewujudkan potensi terdalam yang melekat dalam diri dan dunia.5


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion Press, 2002), Book IX, 1049a–1050a.

[2]                Aristotle, Metaphysics, Book VII, 1029a–1030a.

[3]                W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923), 188–191.

[4]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 42–45; David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 84–88.

[5]                Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 45–50.


Daftar Pustaka

Alexander of Aphrodisias. (2012). On the soul: Part I (V. Caston, Trans.). Bloomsbury.

Aristotle. (1984). The complete works of Aristotle (J. Barnes, Ed.). Princeton University Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans., 2nd ed.). Hackett Publishing.

Aristotle. (2002). Metaphysics (J. Sachs, Trans.). Green Lion Press.

Aristotle. (1939). On the heavens (W. K. C. Guthrie, Trans.). Harvard University Press.

Aristotle. (1999). Physics (J. Sachs, Trans.). Rutgers University Press.

Charles, D. (2000). Aristotle on meaning and essence. Clarendon Press.

Feser, E. (2019). Aristotle’s revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science. Editiones Scholasticae.

Gilson, É. (1949). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Grant, E. (1996). The foundations of modern science in the Middle Ages. Cambridge University Press.

Grene, M. (1974). The understanding of nature: Essays in the philosophy of biology. Reidel.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds. Blackwell.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1999). Dependent rational animals: Why human beings need the virtues. Open Court.

Mulla Sadra. (2006). The transcendent philosophy of Mulla Sadra (I. Kalin, Ed. & Trans.). Islamic Research Institute.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge University Press.

Ross, W. D. (1923). Aristotle. Methuen & Co.

Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion: Theories in antiquity and their sequel. Duckworth.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Thomas Aquinas. (1955). Summa contra gentiles (A. C. Pegis, Trans.). University of Notre Dame Press.

Varela, F. J. (1999). Ethical know-how: Action, wisdom, and cognition. Stanford University Press.

William of Ockham. (1967). Ordinatio, I.2 (P. Boehner, Ed.). Franciscan Institute Publications.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar