Aktualitas-Potensialitas
Menjembatani Perubahan Melalui Pemikiran Aristoteles
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep aktualitas
(energeia / entelecheia) dan potensialitas (dunamis) dalam
kerangka metafisika Aristoteles. Kedua konsep ini digunakan Aristoteles untuk
menjelaskan realitas sebagai proses dinamis yang melibatkan perubahan dari
kemungkinan menjadi kenyataan. Melalui pendekatan hylemorfisme, Aristoteles
memformulasikan struktur ontologis di mana bentuk dan materi berpadu dalam
transisi dari potensi menuju aktualisasi. Artikel ini juga mengulas aplikasi
konsep tersebut dalam kosmologi Aristoteles, terutama dalam kaitannya dengan
doktrin Unmoved Mover sebagai wujud aktualitas murni. Selain itu,
dibahas pula relevansi kontemporer dari gagasan ini dalam bidang filsafat ilmu,
biologi, etika, hingga pendidikan, serta tanggapan kritis dari para filsuf
pasca-Aristotelian seperti Ibn Sina, Mulla Sadra, Thomas Aquinas, Heidegger,
dan Kripke. Kesimpulan artikel ini menegaskan bahwa kerangka
aktualitas-potensialitas tidak hanya menawarkan sintesis filosofis terhadap
problem perubahan, tetapi juga memberikan dasar reflektif bagi pembacaan dunia
yang terarah dan bermakna dalam berbagai disiplin kontemporer.
Kata Kunci: Aristoteles,
aktualitas, potensialitas, perubahan, hylemorfisme, metafisika, teleologi,
filsafat kontemporer, Unmoved Mover, filsafat klasik.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat Aktualitas dan Potensialitas dalam
Pemikiran Aristoteles
1.
Pendahuluan
Konsep perubahan
merupakan salah satu problem metafisis paling mendasar yang telah memikat
perhatian para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Bagi pemikir awal seperti
Herakleitos, dunia ini ditandai oleh ketidakmenentuan dan perubahan yang abadi;
“segala sesuatu mengalir” (panta rhei) menjadi semboyan yang
mencerminkan keyakinannya bahwa tiada satu pun yang tetap dalam kenyataan.1
Di sisi lain, Parmenides menyanggah kemungkinan perubahan dengan argumentasi
rasional bahwa perubahan mengandaikan peralihan dari “ada” ke “tiada”,
yang menurutnya mustahil, karena “yang tiada” tidak bisa dipikirkan
apalagi menjadi kenyataan.2 Dua posisi ekstrem ini menghadirkan
dilema filosofis yang menantang: bagaimana mungkin sesuatu berubah tanpa
kehilangan identitasnya?
Plato, sebagai murid
dari Sokrates dan pengaruh besar dalam sejarah filsafat Barat, mencoba
menjembatani persoalan tersebut dengan konsep dunia ide dan dunia bayangan
(fenomena). Baginya, dunia fisik yang berubah-ubah hanyalah refleksi dari dunia
ide yang abadi dan sempurna. Namun, solusi dualistik ini menimbulkan kesulitan
baru karena memisahkan hakikat (realitas sejati) dari kenyataan empiris, yang
justru menjadi arena pengalaman manusia sehari-hari.3
Aristoteles, sebagai
murid Plato yang kritis dan independen, menawarkan jalan tengah yang lebih
integratif melalui konsepsi hylemorfisme, yakni doktrin bahwa
segala sesuatu terdiri atas materi (hyle) dan bentuk
(morphe). Dalam kerangka ini, perubahan bukanlah ilusi maupun kemustahilan,
melainkan proses nyata yang dapat dijelaskan secara logis melalui hubungan
antara potensialitas
(dunamis) dan aktualitas (energeia atau
entelecheia). Konsep ini menjadi pilar utama dalam metafisika Aristoteles
karena menjelaskan bagaimana sesuatu dapat berada dalam proses menjadi tanpa
kehilangan keberadaan atau hakikatnya.4
Dengan menelaah
gagasan ini, kita tidak hanya memahami struktur realitas menurut Aristoteles,
tetapi juga mendapatkan wawasan mendalam tentang prinsip universal yang
mengatur eksistensi, gerak, dan transformasi. Artikel ini bertujuan untuk
membedah konsep aktualitas-potensialitas secara
sistematis, menempatkannya dalam konteks historis-filosofisnya, menguraikan
pengaruhnya terhadap kosmologi dan teologi Aristoteles, serta mempertimbangkan
relevansinya dalam wacana kontemporer.
Footnotes
[1]
Heraclitus, dalam kutipan fragmen DK B12, sebagaimana dikutip dalam
G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 195.
[2]
Parmenides, Fragments, dalam Jonathan Barnes, The
Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 155–158.
[3]
Plato, The Republic, Book VII, dalam trans. G.M.A. Grube, Plato:
Republic (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion
Press, 2002), Book IX, 1049b5–1050a3.
2.
Konteks Historis dan Filosofis
Pemikiran
Aristoteles tentang aktualitas dan potensialitas tidak dapat dilepaskan dari
konteks historis-filosofis yang melatarbelakanginya. Aristoteles hidup pada
abad ke-4 SM, suatu masa ketika filsafat Yunani sedang berada dalam periode
transisional dari spekulasi kosmologis ala Presokratik menuju sistematika
metafisik dan logika yang lebih terstruktur. Ia merupakan murid Plato selama
dua puluh tahun di Akademia, namun pada akhirnya mengembangkan sistem filsafat
yang berbeda secara fundamental, terutama dalam memahami realitas, perubahan,
dan substansi.1
Sebelum Aristoteles,
para filsuf Presokratik seperti Thales, Anaximandros, Herakleitos, dan
Parmenides telah meletakkan dasar-dasar spekulasi mengenai hakikat perubahan
dan keberadaan. Herakleitos menegaskan bahwa perubahan merupakan hakikat
realitas itu sendiri: “Engkau tidak dapat melangkah ke sungai yang sama dua
kali.”2 Namun, Parmenides justru menyangkal keberadaan perubahan
dengan menyatakan bahwa “yang ada adalah dan yang tidak ada tidak mungkin
ada”; oleh karena itu, perubahan yang mengandaikan peralihan dari tidak-ada
ke ada dianggap ilusi.3 Konfrontasi filosofis antara Herakleitos dan
Parmenides ini menjadi medan pemikiran yang menginspirasi Plato dan kemudian
Aristoteles untuk mencari titik temu rasional atas problem perubahan.
Plato merespons
dilema ini melalui teori dunia ide. Ia membedakan antara dunia inderawi yang
fana dan berubah (doxa) dengan dunia ide yang kekal dan tak berubah (episteme).
Dunia nyata hanyalah bayangan dari bentuk-bentuk ideal yang tidak berubah, dan
karena itu perubahan di dunia materi dianggap tidak sejati melainkan sebagai
refleksi dari perubahan semu.4 Namun, pemisahan antara dunia ide dan
dunia konkret menimbulkan dualisme ontologis yang problematik—karena menjauhkan
pengalaman empiris dari realitas sejati.
Aristoteles
mengkritik model dualistik Plato dan mengajukan pendekatan yang lebih imanen
terhadap realitas. Dalam kerangka ini, ia memperkenalkan doktrin hylemorfisme,
yakni bahwa setiap benda tersusun atas dua prinsip dasar: materi
(hyle),
sebagai substrat potensial, dan bentuk (morphe),
sebagai prinsip pengaktual. Perubahan bukanlah hasil dari partisipasi dalam
dunia ide, melainkan proses transformasi internal dalam suatu entitas yang
bergerak dari potensi menuju aktualitas
berdasarkan prinsip formanya.5
Dengan demikian,
gagasan tentang potensialitas dan aktualitas menjadi bagian penting dari sistem
metafisika Aristoteles yang berupaya menjelaskan perubahan tanpa menafikan
identitas. Gagasannya ini merekonsiliasi dinamika dunia empiris dengan prinsip
logis yang konsisten, sekaligus menjawab tantangan para pendahulunya. Ia tidak
menolak perubahan sebagaimana Parmenides, dan juga tidak menyerah pada fluks
mutlak sebagaimana Herakleitos, melainkan menawarkan sintesis metafisik yang
lebih dalam dan sistematis.
Melalui pendekatan
tersebut, Aristoteles menjadi pionir dalam filsafat substansi dan kausalitas,
dan kontribusinya memengaruhi perkembangan filsafat Barat, Islam, dan skolastik
selama berabad-abad. Konsep aktualitas dan potensialitas ini kemudian menjadi
tulang punggung dalam teori gerak, ontologi, dan bahkan teologi, seperti tampak
dalam pemikiran para pemikir besar seperti Thomas Aquinas dan Mulla Sadra.
Footnotes
[1]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923), 1–4.
[2]
Heraclitus, Fragmen B91 dalam G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
195.
[3]
Parmenides, Fragmen B2 dan B8 dalam Jonathan Barnes, The
Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 155–158.
[4]
Plato, Republic, Book VII, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.
[5]
Aristotle, Metaphysics, Book VII–IX, trans. Joe Sachs (Santa
Fe: Green Lion Press, 2002), esp. 1045a–1050a.
3.
Definisi dan Makna Konsep Potensialitas (Dunamis)
Dalam kerangka
metafisika Aristoteles, potensialitas (dunamis,
δύναμις) merupakan konsep kunci yang menjelaskan bagaimana sesuatu dapat "menjadi"
tanpa harus sepenuhnya "menjadi" pada saat tertentu.
Potensialitas mengacu pada kapasitas atau kemungkinan yang dimiliki oleh suatu
entitas untuk mewujudkan keadaan tertentu—kemungkinan untuk berubah,
berkembang, atau mencapai bentuk yang lebih sempurna. Bagi Aristoteles, dunamis
bukan sekadar kemungkinan abstrak, tetapi kekuatan internal yang melekat pada substansi
dan menunggu untuk direalisasikan melalui aktualisasi.1
Dalam Metaphysics,
Aristoteles membedakan antara dua jenis potensialitas: potensialitas
pasif dan potensialitas aktif.
Potensialitas pasif mengacu pada kapasitas suatu objek untuk menerima perubahan
dari luar—misalnya, kapasitas kayu untuk menjadi meja. Sebaliknya,
potensialitas aktif berkaitan dengan kemampuan untuk menyebabkan perubahan,
seperti keterampilan seorang tukang kayu dalam membuat meja.2 Dengan
kata lain, potensialitas mencakup baik keadaan menerima bentuk maupun kemampuan
memberi bentuk, tergantung pada konteks perubahan yang dianalisis.
Lebih jauh,
Aristoteles menggarisbawahi bahwa potensialitas bukanlah non-eksistensi mutlak,
melainkan eksistensi
dalam modus lain. Potensialitas memiliki realitas yang bersifat
belum sempurna atau belum selesai. Misalnya, biji pohon memiliki potensi untuk
menjadi pohon dewasa, meskipun saat ini belum aktual sebagai pohon.
Potensialitas bersifat intrinsik terhadap substansi dan tidak dapat dipisahkan
dari keberadaan aktual suatu hal.3
Yang menarik dalam
definisi Aristoteles adalah bahwa potensialitas hanya masuk akal dalam
hubungannya dengan aktualitas. Potensialitas adalah keterarahan menuju
aktualisasi, yaitu bentuk akhir dari suatu proses perubahan. Aristoteles
menegaskan bahwa untuk memahami potensialitas, kita harus mengetahui bentuk
atau keadaan akhir yang menjadi tujuan aktualisasi tersebut. Hal ini
ditegaskannya dalam Metaphysics IX (Θ): “potensial
adalah apa yang memiliki prinsip perubahan di dalam dirinya sendiri atau dalam
entitas lain.”4
Dalam tradisi
filsafat sesudahnya, terutama di tangan para filsuf skolastik seperti Thomas
Aquinas, konsep potensialitas dimaknai secara ontologis sebagai status
eksistensial makhluk yang belum sempurna. Segala makhluk dianggap memiliki
potensialitas karena hanya Tuhan yang merupakan actus purus—aktualitas murni tanpa
potensi.5 Dengan demikian, konsep potensialitas berfungsi sebagai
jembatan metafisik untuk memahami dinamika ontologis antara keadaan belum jadi
dan keadaan telah jadi dalam sistem realitas.
Secara filosofis,
pemahaman terhadap dunamis membuka ruang bagi analisis
lebih dalam mengenai perubahan, perkembangan, dan keberadaan sebagai proses,
bukan sebagai kondisi statis. Dalam dunia alami, segala sesuatu yang belum
mencapai bentuk sempurnanya tetap berada dalam potensi, dan hanya melalui gerak
serta prinsip formal-lah potensi itu diwujudkan dalam aktualitas.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion
Press, 2002), Book IX, 1046a–1048a.
[2]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923),
172–174.
[3]
Edward Feser, Aristotle's Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones
Scholasticae, 2019), 190–192.
[4]
Aristotle, Metaphysics, 1046a11–1046b4.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; lihat juga
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1949), 108–110.
4.
Definisi dan Makna Konsep Aktualitas (Energeia
/ Entelecheia)
Dalam filsafat
Aristoteles, aktualitas merupakan kunci
untuk memahami bagaimana sesuatu berpindah dari keadaan belum menjadi kepada
keadaan telah menjadi. Dua istilah utama yang digunakan oleh Aristoteles untuk
menggambarkan konsep ini adalah energeia (ἐνέργεια) dan entelecheia
(ἐντελέχεια). Meski keduanya sering digunakan secara bergantian, masing-masing
memiliki nuansa filosofis yang penting. Energeia lebih menekankan pada
aktivitas atau pelaksanaan, sedangkan entelecheia merujuk pada keadaan “selesai”
atau “terselesaikan” dalam mencapai tujuan alami suatu entitas.1
Aristoteles
menjelaskan bahwa aktualitas adalah “pengaktifan dari potensialitas,”
yaitu perwujudan dari kapasitas atau kemungkinan yang dimiliki oleh sesuatu. Ia
menggambarkan perbedaan antara potensi dan aktual dengan ilustrasi yang
terkenal: seorang arsitek memiliki potensi untuk membangun rumah, tetapi ketika
ia benar-benar membangun rumah itu, potensinya menjadi aktualitas.2
Dalam konteks ini, aktualitas tidak sekadar kondisi pasif, tetapi wujud konkrit
dari bentuk (form) yang termanifestasi dalam materi.
Lebih jauh, dalam Metaphysics
Book Θ, Aristoteles menyatakan bahwa energeia adalah keadaan ketika
sesuatu “berada dalam tindakan,” sebagai lawan dari hanya “mampu
bertindak.” Dengan kata lain, aktualitas adalah bentuk yang sedang
dijalankan atau diwujudkan, dan dalam banyak hal, ia identik dengan “kesempurnaan”
dari suatu entitas, yakni ketika sesuatu mencapai tujuannya (telos) secara
penuh.3 Oleh sebab itu, aktualitas dapat dipahami sebagai keberadaan
dalam makna paling definitif—keberadaan yang telah menyelesaikan
potensi dasarnya.
Konsep entelecheia,
yang berasal dari kata telos (tujuan), lebih mempertegas
gagasan bahwa aktualitas melibatkan realisasi dari tujuan bawaan. Misalnya,
benih memiliki telos menjadi pohon; maka pohon
dewasa merupakan entelecheia dari benih tersebut, yakni keadaan akhir yang
menyempurnakan potensi benih. Aristoteles menggunakan istilah ini terutama
dalam konteks biologi dan kosmologi, di mana segala sesuatu bergerak ke arah
bentuk atau tujuan alaminya.4
Aktualitas dalam
sistem Aristoteles juga memiliki dimensi hierarkis. Tingkat tertinggi dari
aktualitas adalah wujud yang tidak memiliki potensi sama sekali karena telah
aktual sepenuhnya—yakni Tuhan atau Penggerak Tak Digegerakkan (Unmoved
Mover). Tuhan tidak berubah karena Ia adalah actus
purus, wujud murni tanpa potensi. Dalam pandangan Aristoteles,
semua gerak dalam kosmos mengarah pada realisasi aktualitas yang tertinggi ini,
menjadikan aktualitas sebagai prinsip teleologis universal.5
Penting untuk
dicatat bahwa bagi Aristoteles, tidak ada perubahan tanpa keberadaan aktualitas
yang mendahului. Potensialitas tidak akan pernah teraktualkan tanpa kehadiran
prinsip aktual sebagai penyebab gerak. Oleh karena itu, dalam setiap
transformasi ontologis, aktualitas selalu menjadi prioritas secara ontologis
maupun epistemologis. Inilah mengapa dalam metafisika Aristoteles, aktualitas
tidak hanya menggenapi potensialitas, tetapi juga mendasari dan menjelaskan
dinamika perubahan secara menyeluruh.
Konsep ini kelak
diadopsi dan dikembangkan secara signifikan oleh pemikir-pemikir skolastik,
terutama oleh Thomas Aquinas yang menjadikannya landasan dalam teologi natural.
Aquinas memahami hubungan antara potensialitas dan aktualitas sebagai kerangka
untuk menjelaskan perbedaan antara makhluk (yang memiliki campuran potensi dan
aktualitas) dan Sang Pencipta (yang adalah aktualitas murni).6 Oleh
karena itu, aktualitas dalam filsafat Aristotelian tidak hanya relevan dalam
kerangka metafisika, tetapi juga menjadi dasar bagi etika, kosmologi, bahkan
teologi.
Footnotes
[1]
Joe Sachs, Aristotle's Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa
Fe: Green Lion Press, 2002), xxiv–xxv.
[2]
Aristotle, Metaphysics, Book IX, 1048a25–1049a10.
[3]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923),
176–179.
[4]
David Charles, Aristotle on Meaning and Essence (Oxford:
Clarendon Press, 2000), 132–135.
[5]
Aristotle, Metaphysics, Book XII, 1071b4–1072a10.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; Étienne Gilson,
Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of
Mediaeval Studies, 1949), 122–125.
5.
Relasi antara Potensialitas dan Aktualitas
Dalam filsafat
Aristoteles, hubungan antara potensialitas (dunamis)
dan aktualitas
(energeia
atau entelecheia)
merupakan struktur metafisik yang menjelaskan realitas sebagai proses. Kedua
konsep ini tidak berdiri sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai modus
keberadaan yang saling berkaitan dalam menjelaskan gerak,
perubahan, dan keberlangsungan entitas alamiah. Potensialitas menunjukkan kemungkinan
untuk menjadi, sedangkan aktualitas adalah keadaan menjadi itu sendiri—yaitu
realisasi dari apa yang sebelumnya hanya merupakan potensi.
Aristoteles
menegaskan bahwa tidak ada perubahan tanpa kehadiran potensialitas dan
aktualitas sekaligus. Segala perubahan adalah perpindahan dari yang “belum”
menjadi “sudah,” dan transisi ini hanya mungkin jika suatu objek
mengandung potensi yang dapat diwujudkan melalui suatu prinsip aktual.1
Misalnya, kayu memiliki potensi untuk menjadi meja, tetapi ia tidak akan
menjadi meja tanpa tindakan dari tukang kayu yang mengaktualkan potensi
tersebut. Dengan demikian, aktualitas bertindak sebagai penggerak,
sedangkan potensialitas adalah yang digerakkan
menuju bentuk akhirnya.
Dalam Physics,
Aristoteles menyatakan bahwa “perubahan adalah aktualitas dari apa yang
berada dalam potensi, sejauh ia dalam potensi.”2 Ini berarti
bahwa perubahan bukan hanya penghilangan dan penggantian, tetapi merupakan proses
aktualisasi yang berlangsung dalam konteks potensi tertentu.
Konsep ini memungkinkan Aristoteles menjelaskan fenomena alam secara
sistematis—mengapa sesuatu bisa berubah, bagaimana perubahan itu berlangsung,
dan apa yang menjadi akhir dari perubahan tersebut.
Lebih jauh, hubungan
antara potensialitas dan aktualitas bersifat hierarkis dan temporal.
Aktualitas selalu mendahului potensialitas dalam hal penjelasan
metafisik, karena potensi hanya dapat terwujud melalui
aktualitas yang telah ada sebelumnya. Aristoteles mencontohkan hal ini dalam
konteks reproduksi: manusia berasal dari manusia, bukan dari potensi manusia
semata.3 Maka, dalam setiap transformasi, prinsip aktual hadir lebih
dahulu sebagai penyebab atau penggerak.
Prinsip ini mencapai
klimaksnya dalam doktrin Penggerak Tak Digegerakkan (Unmoved
Mover) dalam Metaphysics Book XII. Di sana,
Aristoteles mengidentifikasi suatu wujud yang adalah aktualitas murni (actus
purus)—tidak memiliki potensi karena sepenuhnya aktual. Wujud ini
adalah sebab utama dari seluruh gerak kosmis, bukan karena ia sendiri bergerak,
tetapi karena ia menjadi tujuan yang diinginkan oleh
segala sesuatu yang bergerak.4 Ini menunjukkan bahwa relasi antara
potensi dan aktual tidak hanya menjelaskan gerak fisik, tetapi juga menyusun
tatanan kosmologis dan teleologis semesta.
Relasi ini juga memperjelas
perbedaan antara bentuk (form) dan materi (matter)
dalam hylemorfisme. Materi adalah substrat potensial, sedangkan bentuk adalah
prinsip aktualisasi. Suatu entitas dikatakan ada secara penuh hanya jika ia
memiliki bentuk aktual yang mewujudkan potensi dalam materinya. Oleh karena
itu, keberadaan bukan sekadar soal ada atau tidak ada, melainkan soal dalam tingkat
keberadaan yang ditentukan oleh kadar aktualisasinya.5
Para pemikir sesudah
Aristoteles, khususnya dalam tradisi skolastik dan Islam klasik, mengembangkan
relasi ini sebagai kerangka untuk memahami tidak hanya ontologi, tetapi juga
epistemologi, etika, dan teologi. Thomas Aquinas, misalnya, memaknai perbedaan
antara makhluk dan Sang Pencipta melalui kerangka ini: makhluk selalu merupakan
kombinasi antara potensialitas dan aktualitas, sementara Tuhan adalah wujud
yang telah dan selalu aktual, tanpa potensi, dan oleh karena itu tidak berubah.6
Dengan demikian,
relasi antara potensialitas dan aktualitas dalam pemikiran Aristoteles tidak
hanya menjelaskan bagaimana sesuatu berubah,
tetapi juga mengapa dan menuju ke mana
perubahan itu terjadi. Dalam hal ini, konsep tersebut menawarkan sintesis
filosofis yang menghubungkan antara struktur ontologis dan arah
teleologis dari segala sesuatu yang ada.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion
Press, 2002), Book IX, 1049a5–1049b5.
[2]
Aristotle, Physics, Book III, 201a10–12, dalam The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), vol. 1, 336.
[3]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923),
180–183.
[4]
Aristotle, Metaphysics, Book XII, 1072a10–1072b15.
[5]
David Charles, Aristotle on Meaning and Essence (Oxford:
Clarendon Press, 2000), 137–140.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; Étienne Gilson,
The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1956), 99–103.
6.
Aplikasi Konsep Ini dalam Kosmologi Aristoteles
Konsep aktualitas
dan potensialitas tidak hanya berfungsi dalam kerangka
metafisika umum, tetapi juga menjadi fondasi utama dalam kosmologi
Aristoteles, yakni pemahaman sistematis tentang struktur,
gerak, dan tujuan alam semesta. Aristoteles membangun sistem kosmologis yang
mencerminkan keteraturan alam melalui prinsip-prinsip perubahan yang ia
rumuskan berdasarkan hubungan antara potensialitas dan aktualitas.
Menurut Aristoteles,
alam semesta adalah kesatuan hierarkis yang terdiri
atas berbagai entitas yang memiliki derajat keberadaan berbeda, tergantung pada
tingkat aktualisasi potensi yang dimilikinya. Benda-benda langit seperti
bintang dan planet, menurutnya, bersifat abadi dan tidak berubah, sedangkan
benda-benda dunia sublunar (di bawah bulan)—seperti makhluk hidup dan benda
mati—terdiri dari materi dan bentuk serta
mengalami perubahan secara terus-menerus.1 Perubahan ini berlangsung
sebagai proses aktualisasi: segala sesuatu bergerak dari potensi menjadi aktual
berdasarkan bentuk yang terkandung dalam naturanya.
Dalam Physics
dan On the
Heavens, Aristoteles menjelaskan bahwa semua gerak di alam memiliki
penyebab. Namun, rantai kausalitas gerak ini tidak dapat berlanjut tanpa henti,
dan karena itu harus ada suatu prinsip pertama yang menyebabkan gerak tanpa
sendiri digerakkan: inilah yang disebutnya sebagai Penggerak
Tak Digegerakkan (Unmoved Mover).2 Wujud
ini adalah aktualitas murni (actus purus), tidak memiliki
potensi, tidak berubah, dan tidak bersifat material. Penggerak ini tidak
menggerakkan dengan cara mendorong secara fisik, melainkan menarik
semua gerak di alam semesta sebagai objek cinta dan tujuan akhir (telos).
Penggerak Tak
Digegerakkan adalah puncak tertinggi dalam hierarki kosmologis Aristoteles. Ia
bertindak sebagai sumber aktualitas bagi seluruh sistem gerak kosmis.
Planet-planet dan bintang berputar karena meniru atau mengarahkan geraknya
menuju prinsip aktualitas sempurna ini. Gerak sirkular langit, yang menurut
Aristoteles bersifat paling sempurna, adalah manifestasi dari usaha abadi
entitas langit untuk menyerupai aktualitas mutlak tersebut.3 Dengan
demikian, kosmologi Aristoteles bersifat teleologis,
yaitu memahami realitas berdasarkan tujuan yang inheren dalam naturanya.
Konsep ini sangat
penting dalam menjelaskan struktur alam semesta yang teratur dan rasional.
Aristoteles membagi dunia menjadi dua wilayah besar:
·
Dunia
sublunar, yang terdiri dari empat elemen (tanah, air, udara,
dan api), bersifat berubah dan fana, mengalami generasi dan korupsi.
·
Dunia
supralunar, yakni langit dan benda-benda langit, bersifat
kekal, terdiri dari zat kelima (aether), dan bergerak secara abadi
dalam lingkaran sempurna.4
Dalam sistem ini,
segala sesuatu diarahkan oleh bentuk akhir (final cause) yang merupakan prinsip
aktualisasi tertinggi. Tidak ada gerak yang bersifat acak atau tanpa tujuan,
sebab seluruh realitas tunduk pada prinsip teleologis: setiap entitas memiliki
telos
yang mengarahkan potensi alaminya menuju aktualisasi sempurna.
Konsekuensinya,
konsep potensialitas dan aktualitas dalam kosmologi Aristoteles bukan hanya
menjelaskan bagaimana perubahan berlangsung di alam, tetapi juga mengapa alam
bersifat teratur, terstruktur, dan bermakna. Prinsip actus
purus sebagai aktualitas tanpa potensi bukan hanya menjawab
persoalan metafisika gerak pertama, tetapi juga menawarkan dasar bagi teologi
natural, yakni pemikiran tentang Tuhan sebagai prinsip terakhir yang mengatur
kosmos dengan daya tarik intelektual dan teleologis.
Pemikiran ini
kemudian sangat berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam dan skolastik. Ibn
Sina, misalnya, mengadopsi model kosmologis Aristoteles dalam teori emanasi,
sedangkan Thomas Aquinas menggabungkan gagasan Unmoved Mover dengan konsep Tuhan
dalam teologi Kristen, menganggap bahwa Tuhan adalah aktualitas murni dan
penyebab segala keberadaan.5 Dengan demikian, kosmologi Aristoteles
adalah pencapaian monumental dalam usaha menjelaskan keteraturan dunia fisik
secara rasional, berbasis prinsip-prinsip metafisik yang sistematik.
Footnotes
[1]
Aristotle, On the Heavens, Book I–II, trans. W.K.C. Guthrie
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1939), 268a–270b.
[2]
Aristotle, Physics, Book VIII, 256a–258b; lihat juga Metaphysics,
Book XII, 1071b–1072a.
[3]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923),
188–191.
[4]
Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity
and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 109–113.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, Book I, ch. 13–15;
lihat juga Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 96–99.
7.
Relevansi Konseptual dalam Konteks Kontemporer
Meskipun
dikembangkan lebih dari dua milenium lalu, konsep aktualitas
dan potensialitas dalam filsafat Aristoteles tetap memiliki
relevansi yang signifikan dalam berbagai bidang pemikiran kontemporer, baik
dalam metafisika, filsafat ilmu, biologi, hingga etika. Pemahaman tentang
perubahan sebagai transisi dari potensi ke aktual memungkinkan pembacaan
realitas secara dinamis, progresif, dan bertujuan—sebuah kerangka yang sangat
diperlukan dalam menanggapi kompleksitas dunia modern.
Dalam metafisika
kontemporer, banyak filsuf meninjau kembali konsep Aristotelian
ini untuk mengkritik reduksionisme ilmiah yang mengabaikan struktur ontologis
dari keberadaan. Edward Feser, misalnya, dalam Aristotle’s Revenge, menegaskan
bahwa pendekatan Aristoteles terhadap substansi dan aktualisasi lebih koheren
daripada model-materialisme murni yang gagal menjelaskan esensi, bentuk, dan
tujuan dalam realitas fisik.1 Konsep potensialitas menyediakan
kerangka untuk memahami kemungkinan yang belum terwujud dalam diri
objek—membuka ruang bagi kontinjensi, kebebasan, dan kreativitas, yang sering
kali diabaikan dalam pendekatan deterministik.
Dalam filsafat
ilmu dan biologi, aktualitas-potensialitas relevan dalam
menjelaskan perkembangan organisme hidup sebagai proses natural menuju bentuk
atau keadaan tertentu. Pendekatan Aristotelian tentang telos
atau tujuan inheren dalam alam menjadi alternatif terhadap penjelasan
evolusioner yang murni kausal. Beberapa filsuf biologi kontemporer, seperti
Marjorie Grene dan Francisco J. Varela, mengusulkan pendekatan “organismik”
yang mencerminkan gagasan bentuk akhir dan aktualisasi sebagaimana ditemukan
dalam kerangka Aristotelian.2 Dalam konteks ini, pertumbuhan bukan
hanya akumulasi perubahan, tetapi perwujudan dari desain atau kecenderungan
bentuk bawaan.
Dalam bidang etika
dan filsafat manusia, aktualitas dipahami sebagai pencapaian
kesempurnaan kodrati (natural perfection). Aristoteles sendiri dalam Nicomachean
Ethics menyatakan bahwa kebahagiaan manusia (eudaimonia)
adalah bentuk aktualisasi tertinggi dari potensi rasional yang melekat dalam
jiwa manusia.3 Gagasan ini mengilhami teori-teori etika berbasis
kebajikan (virtue ethics), yang belakangan kembali dihidupkan oleh filsuf
seperti Alasdair MacIntyre dan Martha Nussbaum sebagai alternatif terhadap
utilitarianisme dan deontologi modern yang bersifat mekanistik.4
Dalam bidang teologi
filsafat, terutama dalam tradisi skolastik maupun Islam klasik,
pemahaman tentang Tuhan sebagai actus purus tetap menjadi dasar
metafisika ketuhanan. Di era modern, meskipun filsafat sekuler mendominasi,
para pemikir seperti William Lane Craig dan Brian Leftow tetap menggunakan
kerangka aktualitas-potensialitas untuk menjelaskan konsep Tuhan yang tak
berubah, tak bergantung, dan menjadi dasar dari seluruh keberadaan.5
Di sisi lain, teori
kemungkinan dalam logika dan ontologi modal, seperti yang
dikembangkan oleh Saul Kripke dan David Lewis, secara tidak langsung
bersinggungan dengan konsep Aristotelian tentang potensialitas. Ide tentang “possible
worlds” dan “counterfactuals” menyiratkan adanya eksistensi
potensial yang belum teraktualisasi di dunia nyata, meskipun dikemas dalam
bahasa modern dan formal.6
Konsep ini juga
penting dalam ranah pendidikan dan pengembangan manusia.
Pandangan Aristoteles menyiratkan bahwa setiap individu memiliki potensi yang
harus dibimbing menuju aktualisasi melalui pendidikan, bimbingan moral, dan
pembentukan karakter. Oleh karena itu, filsafat Aristotelian memberikan
landasan kuat bagi pendekatan pedagogis yang berfokus pada pengembangan
totalitas potensi manusia, bukan sekadar pengisian pengetahuan.
Dengan demikian,
relevansi konseptual aktualitas dan potensialitas tidak terbatas pada kajian
historis atau metafisik semata, tetapi juga menyentuh aspek praktis dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan besar: apa hakikat keberadaan, bagaimana manusia
berkembang, dan ke mana arah perubahan dunia? Dalam dunia yang
dipenuhi ketidakpastian dan transformasi cepat, kerangka ini justru memberikan
stabilitas filosofis dalam membaca kenyataan sebagai sesuatu yang bergerak
menuju kesempurnaan, bukan sekadar berubah tanpa arah.
Footnotes
[1]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones
Scholasticae, 2019), 145–152.
[2]
Marjorie Grene, The Understanding of Nature: Essays in the
Philosophy of Biology (Dordrecht: Reidel, 1974), 123–130; Francisco J.
Varela, Ethical Know-How: Action, Wisdom, and Cognition (Stanford:
Stanford University Press, 1999), 34–36.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, Book I, 1097a15–1098a20, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999).
[4]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 100–110; Martha C.
Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 293–298.
[5]
William Lane Craig, The Only Wise God: The Compatibility of Divine
Foreknowledge and Human Freedom (Grand Rapids: Baker Book House, 1999), 53–55;
Brian Leftow, Time and Eternity (Ithaca: Cornell University Press,
1991), 78–81.
[6]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 42–45; David Lewis, On the Plurality of Worlds
(Oxford: Blackwell, 1986), 84–88.
8.
Kritik dan Perkembangan Pasca-Aristoteles
Konsep aktualitas
dan potensialitas yang dirumuskan oleh Aristoteles telah
memainkan peran sentral dalam sejarah filsafat Barat dan Islam, namun tidak
luput dari kritik, revisi, dan pengembangan lebih lanjut oleh para filsuf
sesudahnya. Seiring bergesernya paradigma metafisika, epistemologi, dan
kosmologi, gagasan Aristotelian ini mengalami berbagai penafsiran ulang yang
mencerminkan dinamika pemikiran filosofis dari abad ke-3 SM hingga zaman
modern.
Pada masa awal
pasca-Aristoteles, Alexander dari Aphrodisias
(abad ke-2 M), sebagai komentator otoritatif Aristoteles dalam tradisi Yunani,
mempertahankan kerangka dasar dunamis-energeia namun berupaya
mengklarifikasi distingsi antara aktus aktual dan potensial dalam konteks jiwa
dan intelek. Ia menekankan bahwa aktualisasi dalam intelek manusia melibatkan
bentuk-bentuk universal, sehingga berkontribusi terhadap teori tentang intelek
aktif dan pasif.1
Di dalam tradisi filsafat
Islam, konsep ini diterima secara luas, terutama melalui
pemikiran Ibn Sina (Avicenna) dan Mulla
Sadra. Ibn Sina mengintegrasikan doktrin
aktualitas-potensialitas ke dalam sistem metafisiknya, dengan menempatkan Tuhan
sebagai wujud
wajib (necessary being) yang sepenuhnya aktual dan tanpa potensi. Namun,
ia menambahkan lapisan elaboratif melalui teori emanasi, yang menggambarkan
keluarnya keberadaan dari Tuhan secara bertingkat, dimulai dari aktualitas
tertinggi menuju tingkat-tingkat potensialitas dalam makhluk ciptaan.2
Sementara itu, Mulla Sadra dari tradisi Hikmah Muta’aliyah (filsafat
transendental) memberikan interpretasi lebih dinamis dengan teorinya tentang gerak
substansial (al-harakah al-jawhariyyah), di mana
segala substansi tidak statis, melainkan secara terus-menerus bergerak dari
potensi ke aktualitas dalam eksistensinya sendiri.3
Dalam tradisi Skolastik
Kristen, Thomas Aquinas menjadikan
konsep aktualitas-potensialitas sebagai pilar utama dalam sistem metafisika dan
teologinya. Ia menggunakannya untuk membedakan antara esensi dan eksistensi,
menjelaskan bahwa hanya Tuhan yang esensinya adalah eksistensi-Nya sendiri, dan
karena itu adalah actus purus (aktualitas murni),
sedangkan makhluk memiliki potensi dan tergantung pada penyebab lain untuk
mewujud.4 Namun, Aquinas juga menghadapi kritik dari kaum nominalis
dan voluntarist seperti William of Ockham, yang menolak
universalia dan esensi sebagai realitas objektif, sehingga memperlemah dasar
ontologis bagi aktualitas dan potensialitas dalam bentuk Aristotelian klasik.5
Di era modern,
konsep Aristoteles mendapat tantangan besar dari filsafat
mekanistik dan empirisisme, terutama oleh René
Descartes, Francis Bacon, dan Isaac
Newton. Pendekatan ilmiah baru yang menekankan hukum
kuantitatif dan kausalitas efisien mengesampingkan penyebab formal dan final,
yang merupakan basis bagi struktur potensialitas-aktualitas Aristoteles. Dunia
tidak lagi dilihat sebagai entitas yang bergerak menuju tujuan, tetapi sebagai
mesin yang bergerak berdasarkan hukum sebab-akibat tanpa arah final.6
Meski demikian, kebangkitan
metafisika
kontinental di abad ke-20 membawa semacam rehabilitasi terhadap
struktur berpikir Aristotelian, terutama dalam pemikiran Martin
Heidegger. Dalam Being and Time, Heidegger
merefleksikan ulang makna keberadaan sebagai “kemungkinan yang mendahului
aktualitas”—menunjukkan bahwa potensialitas bukan hanya tahap menuju
keberadaan, tetapi bagian konstitutif dari eksistensi manusia (Dasein)
sendiri.7 Heidegger juga mengkritik metafisika Barat
pasca-Aristoteles karena terlalu menekankan pada entelecheia dan kehilangan
pemahaman yang lebih orisinal tentang energeia sebagai pemunculan-diri
keberadaan.
Di sisi lain, dalam filsafat
analitik, meskipun bahasa konseptualnya berbeda, kita dapat
menemukan jejak analogis terhadap pemikiran Aristoteles. Misalnya, Saul
Kripke dengan teori modalitasnya menggunakan istilah “kemungkinan”
dan “dunia mungkin” untuk merujuk pada status eksistensial alternatif
yang beresonansi dengan gagasan potensialitas dalam bentuk kontemporer.8
Secara umum, kritik
terhadap konsep ini tidak membatalkannya, tetapi justru memperkaya pemahaman
kita tentang bagaimana ide dasar Aristoteles dapat disesuaikan dengan horizon
filsafat dan sains yang terus berkembang. Potensialitas dan aktualitas tetap
menjadi kerangka filosofis yang produktif dalam menjelaskan perubahan,
eksistensi, dan arah keberadaan, baik dalam dimensi fisik maupun eksistensial.
Footnotes
[1]
Alexander of Aphrodisias, On the Soul: Part I, trans. Victor
Caston (London: Bloomsbury, 2012), 44–47.
[2]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 87–92.
[3]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra, ed.
and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Islamic Research Institute, 2006), 123–128.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1–2; Étienne
Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of
Mediaeval Studies, 1949), 115–121.
[5]
William of Ockham, Ordinatio, I.2, ed. Philotheus Boehner (St.
Bonaventure: Franciscan Institute Publications, 1967), 33–36.
[6]
Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 151–155.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–187.
[8]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 44–46.
9.
Penutup
Konsep aktualitas
dan potensialitas dalam pemikiran Aristoteles merupakan tonggak
fundamental dalam sejarah filsafat yang menawarkan sintesis komprehensif antara
keberadaan, perubahan, dan tujuan. Melalui kerangka ini, Aristoteles berhasil
mengatasi dilema klasik antara kaum Herakleitean yang menekankan perubahan
mutlak dan Parmenidean yang menolak segala bentuk perubahan. Ia menunjukkan
bahwa perubahan bukanlah kontradiksi, melainkan transisi wajar dari dunamis
menuju energeia,
dari apa yang mungkin menjadi apa yang nyata.1
Lebih dari sekadar
kategori metafisis, konsep ini membentuk fondasi ontologis bagi sistem
pemikiran Aristoteles secara keseluruhan, mencakup bidang logika, fisika,
biologi, etika, dan kosmologi. Dalam setiap tataran, aktualitas menjadi prinsip
penggerak, sedangkan potensialitas menjadi modal eksistensial yang mengandaikan
arah dan makna perubahan. Dalam Metaphysics, Aristoteles menegaskan
bahwa “substansi adalah yang terutama dan terutama dalam keberadaan,”
dan bahwa substansi ini selalu mengandung bentuk aktual yang mewujudkan potensi
materi tertentu.2
Penerapan kerangka
ini dalam kosmologi menegaskan bahwa
gerak semesta diarahkan oleh prinsip teleologis yang berujung pada Unmoved
Mover—wujud yang sepenuhnya aktual dan tanpa potensi, menjadi sebab
final dari seluruh perubahan di alam. Di sini, aktualitas-potensialitas tidak
hanya menjelaskan bagaimana gerak terjadi, tetapi juga mengapa
gerak itu memiliki tujuan tertentu, menjadikan sistem Aristoteles sebagai
alternatif rasional terhadap pandangan mekanistik yang ahistoris dan tak bertujuan.3
Perjalanan
intelektual pasca-Aristoteles menunjukkan bahwa konsep ini bukan dogma statis,
melainkan ide yang terus berkembang dan dimodifikasi sesuai dengan konteks
zamannya. Dari Ibn Sina dan Mulla Sadra di dunia Islam hingga Thomas Aquinas
dan Heidegger di Barat, struktur relasional antara potensialitas dan aktualitas
tetap menjadi sumbu dialog metafisika yang terus berputar. Bahkan dalam teori
kemungkinan kontemporer, modalitas eksistensial yang dianalisis oleh Kripke dan
Lewis masih beresonansi dengan pertanyaan Aristotelian tentang apa yang
bisa ada dan bagaimana sesuatu menjadi ada.4
Dalam konteks modern
yang ditandai oleh percepatan perubahan, ketidakpastian, dan krisis identitas,
pendekatan Aristotelian ini justru menawarkan stabilitas konseptual. Dengan
memahami bahwa perubahan bukanlah lompatan dari ketiadaan, tetapi realisasi
bertahap dari kapasitas yang telah ada, kita dibantu untuk melihat transformasi
sebagai bagian dari kodrat eksistensial yang terarah. Dalam pendidikan,
politik, dan pengembangan manusia, kerangka ini mendorong kita untuk tidak
sekadar menerima kenyataan, melainkan membimbingnya menuju aktualitas
terbaiknya.
Oleh karena itu,
kajian terhadap konsep aktualitas dan potensialitas tidak hanya penting sebagai
warisan intelektual, tetapi juga sebagai instrumen reflektif yang memungkinkan
kita untuk memahami dan memaknai keberadaan dalam segala kompleksitasnya. Dalam
terang Aristoteles, menjadi bukan hanya soal ada, tetapi soal menjadi
apa yang seharusnya kita jadi—yakni, mewujudkan potensi terdalam
yang melekat dalam diri dan dunia.5
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. Joe Sachs (Santa Fe: Green Lion
Press, 2002), Book IX, 1049a–1050a.
[2]
Aristotle, Metaphysics, Book VII, 1029a–1030a.
[3]
W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen & Co., 1923),
188–191.
[4]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 42–45; David Lewis, On the Plurality of Worlds
(Oxford: Blackwell, 1986), 84–88.
[5]
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings
Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 45–50.
Daftar Pustaka
Alexander of Aphrodisias. (2012). On the soul:
Part I (V. Caston, Trans.). Bloomsbury.
Aristotle. (1984). The complete works of
Aristotle (J. Barnes, Ed.). Princeton University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans., 2nd ed.). Hackett Publishing.
Aristotle. (2002). Metaphysics (J. Sachs,
Trans.). Green Lion Press.
Aristotle. (1939). On the heavens (W. K. C.
Guthrie, Trans.). Harvard University Press.
Aristotle. (1999). Physics (J. Sachs,
Trans.). Rutgers University Press.
Charles, D. (2000). Aristotle on meaning and
essence. Clarendon Press.
Feser, E. (2019). Aristotle’s revenge: The
metaphysical foundations of physical and biological science. Editiones
Scholasticae.
Gilson, É. (1949). Being and some philosophers.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Grant, E. (1996). The foundations of modern
science in the Middle Ages. Cambridge University Press.
Grene, M. (1974). The understanding of nature:
Essays in the philosophy of biology. Reidel.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds.
Blackwell.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1999). Dependent rational
animals: Why human beings need the virtues. Open Court.
Mulla Sadra. (2006). The transcendent philosophy
of Mulla Sadra (I. Kalin, Ed. & Trans.). Islamic Research Institute.
Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of
goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge
University Press.
Ross, W. D. (1923). Aristotle. Methuen &
Co.
Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion:
Theories in antiquity and their sequel. Duckworth.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Thomas Aquinas. (1955). Summa contra gentiles
(A. C. Pegis, Trans.). University of Notre Dame Press.
Varela, F. J. (1999). Ethical know-how: Action,
wisdom, and cognition. Stanford University Press.
William of Ockham. (1967). Ordinatio, I.2
(P. Boehner, Ed.). Franciscan Institute Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar