Membaca Spektrum Politik
Kiri dan Kanan dalam Politik
Alihkan ke: Ilmu Politik.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
istilah “kiri” dan “kanan” dalam politik, mulai dari asal-usul
historisnya pada masa Revolusi Prancis hingga evolusi maknanya dalam konteks
kontemporer dan lokal, khususnya di Indonesia. Pembahasan diawali dengan
pelacakan akar istilah dalam tradisi parlementer Eropa, diikuti dengan
karakteristik ideologis masing-masing kubu, perkembangan spektrum dalam sejarah
dunia, serta tantangan baru yang dihadapi dalam era globalisasi dan disrupsi
digital. Dalam konteks Indonesia, istilah kiri dan kanan memiliki muatan
historis dan ideologis yang sangat khas, terutama pasca peristiwa 1965 dan
dominasi wacana politik Orde Baru. Artikel ini juga menelaah relevansi dan
keterbatasan penggunaan dikotomi kiri–kanan di tengah munculnya isu-isu lintas
dimensi seperti populisme, politik identitas, krisis iklim, dan teknologi
informasi. Di akhir tulisan, disimpulkan bahwa meskipun istilah ini masih
berguna sebagai peta konseptual awal, pendekatan yang lebih multidimensi,
kontekstual, dan reflektif diperlukan untuk memahami kompleksitas politik
modern secara lebih akurat dan adil.
Kata Kunci: kiri dan kanan, spektrum politik, ideologi, politik
Indonesia, populisme, sejarah politik, multidimensi politik, globalisasi,
politik identitas, pasca-Orde Baru.
PEMBAHASAN
Asal-Usul, Evolusi, dan Dinamika Istilah Kiri dan Kanan
dalam Politik
1.
Pendahuluan
Dalam wacana politik global maupun lokal, istilah
"kiri" dan "kanan" telah menjadi penanda
utama dalam memetakan posisi ideologis, kecenderungan kebijakan, dan afiliasi
politik suatu individu maupun kelompok. Meski terdengar sederhana, pembagian
ini membawa kompleksitas yang mendalam dan kerap menimbulkan salah tafsir,
terutama ketika digunakan dalam konteks yang berbeda secara historis maupun
geografis. Pemahaman yang keliru terhadap kedua istilah tersebut sering kali
memperkeruh diskursus publik dan mempersempit ruang dialog yang produktif dalam
masyarakat demokratis.
Secara historis, istilah "kiri"
dan "kanan" muncul pertama kali dalam konteks Revolusi Prancis
pada akhir abad ke-18, ketika anggota Majelis Nasional Prancis membagi posisi
duduk berdasarkan sikap terhadap monarki: kelompok yang mendukung pelestarian
kekuasaan raja duduk di sebelah kanan presiden majelis, sementara kelompok yang
menginginkan perubahan radikal dan republikanisme duduk di sebelah kiri¹. Sejak
saat itu, istilah tersebut mengalami evolusi makna yang kompleks, menjadi
simbol dari spektrum ideologis yang luas, mencakup isu-isu sosial, ekonomi,
budaya, hingga kebijakan luar negeri.
Dalam perkembangannya, spektrum politik kiri dan
kanan tidak lagi sekadar mencerminkan sikap terhadap institusi monarki, tetapi
juga merangkum pandangan-pandangan terkait peran negara dalam ekonomi, hak-hak
individu, hierarki sosial, nilai-nilai budaya, dan model pemerintahan. Kaum
kiri cenderung mendukung prinsip-prinsip egalitarianisme, keadilan sosial, dan
intervensi negara dalam menjamin kesejahteraan publik. Sebaliknya, kubu kanan
biasanya menekankan nilai-nilai konservatif, kebebasan individu dalam ekonomi
pasar bebas, serta penekanan pada ketertiban sosial dan tradisi².
Di tengah arus globalisasi, disrupsi teknologi, dan
meningkatnya polarisasi politik, istilah kiri dan kanan pun mengalami perluasan
maupun pergeseran makna. Gerakan populisme kanan yang menguat di berbagai
negara Barat serta kebangkitan kembali narasi sosialisme dalam generasi muda
menunjukkan bahwa spektrum ini tetap relevan namun membutuhkan interpretasi
yang lebih kontekstual dan nuansial³. Bahkan, dalam banyak kasus, pembelahan
ini menjadi alat politisasi identitas, yang lebih didasarkan pada simbolisme
dan sentimen emosional daripada pertimbangan ideologis yang rasional.
Dalam konteks Indonesia, penggunaan istilah kiri
dan kanan sering kali dibayangi oleh beban sejarah dan trauma politik masa
lalu, terutama terkait dengan peristiwa 1965 dan stigmatisasi terhadap
komunisme. Hal ini menyebabkan diskursus kiri-kanan di Indonesia berkembang
dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan Eropa atau Amerika Latin⁴. Oleh
karena itu, pemahaman yang mendalam dan historis terhadap istilah-istilah ini
menjadi sangat penting, baik dalam ranah akademik, kebijakan publik, maupun
pendidikan kewarganegaraan.
Melalui artikel ini, pembaca diajak untuk
menelusuri asal-usul, evolusi, dan dinamika kontemporer istilah kiri dan kanan
dalam politik. Dengan pendekatan historis dan teoritis, artikel ini bertujuan
memberikan peta pemikiran yang utuh agar istilah-istilah tersebut tidak hanya
menjadi jargon politik yang kabur, melainkan sarana untuk memperdalam pemahaman
terhadap sistem nilai dan pertarungan ideologi yang membentuk kehidupan politik
kita hari ini.
Footnotes
[1]
François Furet, Interpreting the French
Revolution, trans. Elborg Forster (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), 23–26.
[2]
Andrew Heywood, Political Ideologies: An
Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 10–12.
[3]
Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge:
Polity Press, 2019), 1–5.
[4]
Ariel Heryanto, State Terrorism and Political
Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 47–53.
2.
Asal-Usul
Istilah “Kiri” dan “Kanan”
Istilah “kiri” dan “kanan” dalam
konteks politik memiliki akar historis yang jelas dan spesifik, yaitu Revolusi
Prancis pada akhir abad ke-18. Dalam sidang-sidang Majelis Nasional (Assemblée
nationale) yang berlangsung setelah runtuhnya sistem monarki absolut, para
anggota dewan terbagi menjadi dua kelompok utama berdasarkan posisi duduk
mereka dalam ruangan legislatif. Mereka yang mendukung pelestarian kekuasaan
monarki dan struktur sosial tradisional memilih duduk di sebelah kanan kursi
presiden majelis, sedangkan mereka yang menghendaki perubahan radikal, seperti
penghapusan monarki dan pembentukan republik, duduk di sebelah kiri¹. Pembagian
ini awalnya bersifat fungsional dan tidak dimaksudkan untuk menciptakan
kategorisasi ideologis yang kaku, namun dengan cepat menjadi simbol dari
perbedaan mendasar dalam orientasi politik.
Seiring waktu, posisi duduk ini berkembang menjadi
representasi dari dua kutub pemikiran politik. Kubu kiri diasosiasikan dengan
progresivisme, egalitarianisme, dan cita-cita revolusioner yang berupaya
menciptakan tatanan sosial baru berbasis keadilan dan kesetaraan. Sementara
itu, kubu kanan cenderung mempertahankan hierarki sosial, status quo, dan
otoritas tradisional, termasuk peran gereja dan aristokrasi². Dalam konteks
Revolusi Prancis, istilah “kiri” dan “kanan” pun mulai
berkonotasi ideologis, menjadi identitas politik yang melekat pada posisi
seseorang dalam perjuangan antara perubahan dan pelestarian struktur lama.
Istilah-istilah ini kemudian digunakan secara lebih
luas dalam sejarah politik Eropa pada abad ke-19. Misalnya, selama masa
Restorasi Bourbon dan pembentukan konstitusi-konstitusi baru di Prancis,
terminologi “kiri” digunakan untuk menyebut kaum republikan, sosialis,
dan liberal radikal, sementara “kanan” mengacu pada kaum royalist dan
konservatif. Kategori ini juga diadopsi dalam konteks negara-negara lain
seperti Jerman dan Italia selama proses unifikasi nasional dan munculnya
partai-partai politik berbasis ideologi³.
Meskipun istilah “kiri” dan “kanan”
berasal dari konteks khusus di Prancis, penggunaannya menyebar dan mengalami
transformasi lintas budaya. Di Inggris, misalnya, istilah ini tidak selalu
digunakan secara eksplisit, namun konsep yang diwakilinya—yakni perbedaan
antara progresif dan konservatif—tetap hidup dalam perbedaan antara Partai
Buruh dan Partai Konservatif. Di Amerika Serikat, istilah tersebut sering
diasosiasikan dengan perbedaan antara Partai Demokrat (kiri-tengah) dan Partai
Republik (kanan), meskipun konteks sejarah dan konstelasi nilai-nilai politik
di negara tersebut tidak sepenuhnya identik dengan model Eropa⁴.
Penting dicatat bahwa makna "kiri"
dan "kanan" tidak bersifat tetap dan universal. Istilah
tersebut sangat bergantung pada konteks sosial, sejarah, dan budaya di mana
mereka digunakan. Apa yang dianggap sebagai sikap “kiri” di satu negara
bisa jadi dipandang “kanan” di negara lain. Misalnya, dalam konteks
negara-negara Skandinavia, negara kesejahteraan yang besar dan sistem pajak
progresif merupakan hal lazim bahkan di kalangan partai kanan-tengah, sementara
hal yang sama di negara-negara lain mungkin dilihat sebagai kebijakan kiri yang
radikal⁵.
Dengan demikian, asal-usul istilah “kiri”
dan “kanan” bukan hanya mencerminkan perbedaan posisi duduk dalam suatu
majelis, tetapi mencerminkan pembelahan yang lebih mendalam antara dua cara
pandang tentang dunia: antara perubahan versus konservasi, egalitarianisme
versus hierarki, serta progresivisme versus tradisionalisme. Memahami akar
historis ini penting agar kita tidak mengabaikan dimensi ideologis yang
membentuk praktik politik kontemporer.
Footnotes
[1]
François Furet, Interpreting the French
Revolution, trans. Elborg Forster (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), 24–26.
[2]
Andrew Heywood, Political Ideologies: An
Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 11–13.
[3]
Roger Eatwell and Noël O'Sullivan, eds., The
Nature of the Right: American and European Politics and Political Thought Since
1789 (London: Pinter, 1989), 5–7.
[4]
Seymour Martin Lipset and Gary Marks, It Didn't
Happen Here: Why Socialism Failed in the United States (New York: W. W.
Norton & Company, 2000), 16–18.
[5]
Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural
Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2019), 47–50.
3.
Makna
Umum dan Ciri Ideologis Kubu Kiri dan Kanan
Dalam perkembangan
ilmu politik modern, istilah “kiri” dan “kanan” telah melampaui
konteks posisi duduk di parlemen menjadi simbol bagi spektrum ideologi yang
kompleks. Pembagian ini, meskipun tampak dikotomis, pada kenyataannya lebih
bersifat spektral dan sering kali membentuk kontinum yang mencerminkan berbagai
pandangan politik terhadap isu-isu seperti ekonomi, peran negara, keadilan
sosial, hak individu, dan nilai-nilai budaya.
3.1. Kubu Kiri: Egalitarianisme, Reformasi Sosial, dan
Intervensi Negara
Secara umum, kubu
kiri identik dengan pandangan yang menekankan pada egalitarianisme
sosial, keadilan distributif, dan perubahan
struktural guna mengatasi ketimpangan kekuasaan dan ekonomi.
Kelompok ini mendorong intervensi aktif negara dalam
bidang ekonomi dan sosial, termasuk redistribusi kekayaan, program
kesejahteraan sosial, dan perlindungan terhadap kelompok rentan¹. Kaum kiri
juga cenderung mendukung sekularisme, hak-hak
minoritas, emansipasi gender, serta lingkungan
hidup sebagai bagian dari komitmen terhadap kesetaraan dan
kemajuan sosial².
Dalam sejarahnya,
kubu kiri mencakup spektrum luas yang meliputi sosialisme, komunisme,
sosial-demokrasi, hingga gerakan kiri baru (New Left) yang mengangkat isu-isu
pasca-material seperti hak asasi manusia, feminisme, dan anti-globalisasi³.
Meskipun pendekatan dan strategi berbeda-beda, kesamaan utama mereka adalah
tekad untuk mengubah struktur sosial-ekonomi demi mewujudkan tatanan yang lebih
adil dan setara.
3.2. Kubu Kanan: Konservatisme, Kebebasan Ekonomi, dan
Tatanan Sosial Tradisional
Sementara itu, kubu
kanan secara umum diasosiasikan dengan konservatisme, yaitu pandangan
yang menekankan pentingnya kelangsungan tatanan sosial tradisional,
otoritas,
dan nilai-nilai
budaya yang mapan⁴. Kelompok kanan juga mendukung pasar
bebas dan kebebasan individu dalam
kegiatan ekonomi, serta menolak bentuk intervensi negara yang dianggap
mengganggu mekanisme pasar dan tanggung jawab pribadi.
Kanan juga memiliki
spektrum ideologis yang luas, mulai dari liberalisme klasik (yang
menekankan kebebasan dan kepemilikan pribadi) hingga nasionalisme
konservatif dan populisme kanan yang
mengedepankan identitas budaya, agama, dan kedaulatan nasional sebagai respons
terhadap globalisasi⁵. Dalam bentuk ekstremnya, kubu kanan dapat melahirkan
fasisme atau gerakan ultranasionalis yang anti-demokrasi dan eksklusif secara
etnis atau agama.
3.3. Perbandingan Ciri Ideologis Kubu Kiri dan Kanan
3.3.1.
Pandangan
Ekonomi
·
Kiri:
Mendukung peran aktif negara dalam mengatur dan
mengintervensi ekonomi.
Mendorong redistribusi kekayaan untuk mengurangi
kesenjangan sosial.
Menekankan pentingnya pelayanan publik seperti
pendidikan dan kesehatan gratis.
·
Kanan:
Menjunjung tinggi prinsip pasar bebas dan
mekanisme ekonomi liberal.
Meminimalkan campur tangan negara dalam ekonomi.
Mengutamakan kepemilikan pribadi dan inisiatif
individu sebagai motor kemajuan.
3.3.2.
Tujuan
Sosial
·
Kiri:
Berorientasi pada kesetaraan sosial dan
penghapusan diskriminasi struktural.
Menekankan perlindungan terhadap
kelompok-kelompok rentan.
Mendorong transformasi sosial yang progresif dan
inklusif.
·
Kanan:
Menjaga ketertiban dan stabilitas sosial sebagai
prioritas utama.
Mendukung struktur sosial yang hierarkis dan
berbasis nilai tradisional.
Memperkuat identitas nasional, keluarga, dan
moralitas konservatif.
3.3.3.
Pandangan
terhadap Negara
·
Kiri:
Melihat negara sebagai alat untuk mewujudkan
keadilan sosial dan ekonomi.
Negara dianggap bertanggung jawab terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar warganya.
·
Kanan:
Memposisikan negara sebagai penjaga hukum dan
pelindung hak milik individu.
Mendorong pembatasan kekuasaan negara agar tidak
menghambat kebebasan individu.
3.3.4.
Isu
Budaya
·
Kiri:
Mendorong sekularisme dan pluralisme dalam
kehidupan berbangsa.
Mendukung hak-hak minoritas, kesetaraan gender,
dan kebebasan berekspresi.
·
Kanan:
Menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dan
moralitas berbasis agama atau budaya lokal.
Cenderung menolak perubahan nilai budaya yang
dianggap bertentangan dengan identitas nasional atau agama.
3.3.5.
Sikap
terhadap Perubahan
·
Kiri:
Bersifat progresif dan reformis, bahkan
revolusioner jika perlu.
Percaya bahwa perubahan sosial yang radikal
diperlukan untuk menciptakan keadilan.
·
Kanan:
Bersifat konservatif dan restoratif, lebih memilih
perubahan yang gradual.
Memandang sejarah dan tradisi sebagai fondasi
yang perlu dijaga dari perubahan yang terlalu cepat.
3.4. Konteks Dinamis dan Hibridisasi Ideologis
Penting dicatat
bahwa batas antara kiri dan kanan tidak selalu bersifat absolut. Dalam
praktiknya, banyak partai politik dan tokoh publik mengadopsi posisi
campuran yang disebut sebagai sentrisme, atau bahkan
menampilkan wajah yang berbeda dalam isu ekonomi dan sosial. Misalnya, seorang
pemimpin mungkin mempromosikan kebijakan ekonomi kiri seperti subsidi sosial,
sambil memegang nilai-nilai konservatif dalam isu agama dan budaya. Fenomena
ini menunjukkan bahwa pemahaman atas spektrum kiri-kanan harus dilakukan secara
kontekstual dan multidimensional⁶.
Dengan demikian,
makna umum dari istilah “kiri” dan “kanan” dalam politik tidak
hanya merefleksikan perbedaan posisi dalam satu isu, tetapi mencerminkan
pendekatan yang menyeluruh terhadap bagaimana masyarakat seharusnya diatur,
sumber daya dibagi, dan nilai-nilai dikembangkan. Pemahaman yang tepat terhadap
ciri-ciri masing-masing kubu akan memperkaya kemampuan masyarakat dalam membaca
dinamika politik dan ideologi yang mempengaruhi kebijakan publik.
Footnotes
[1]
Andrew Heywood, Political Ideologies:
An Introduction, 6th ed. (London:
Palgrave Macmillan, 2017), 50–53.
[2]
Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 23–26.
[3]
Michael Newman, Socialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 84–86.
[4]
Roger Scruton, The Meaning of
Conservatism, 3rd ed. (New York: Palgrave
Macmillan, 2006), 12–15.
[5]
Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 9–12.
[6]
Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural
Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 33–36.
4.
Evolusi
Pemikiran Kiri dan Kanan dalam Konteks Sejarah Dunia
Pembelahan antara “kiri”
dan “kanan” dalam politik tidak bersifat statis. Sejak kemunculannya
dalam konteks Revolusi Prancis, spektrum ideologi ini telah mengalami
transformasi yang signifikan seiring dengan dinamika sosial, ekonomi, dan
politik global. Pemikiran kiri dan kanan berkembang mengikuti
zaman—menyesuaikan dengan tantangan, tuntutan, serta sistem nilai masyarakat
yang terus berubah.
4.1. Abad ke-19: Konsolidasi Ideologi dan Lahirnya
Gerakan Sosial
Pada abad ke-19,
terminologi kiri dan kanan mulai terinstitusionalisasi dalam bentuk partai
politik dan ideologi yang lebih sistematis. Di kubu kiri, muncul ideologi sosialisme
dan komunisme
sebagai tanggapan terhadap ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh Revolusi
Industri. Pemikir seperti Karl Marx dan Friedrich
Engels menegaskan bahwa konflik kelas merupakan motor sejarah,
dan hanya dengan penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi, keadilan
sosial dapat tercapai¹. Gerakan kiri dalam periode ini lebih bersifat radikal,
menyerukan revolusi proletar sebagai jalan menuju masyarakat tanpa kelas.
Di sisi lain, kubu
kanan berkembang dalam bentuk konservatisme yang berupaya
mempertahankan tatanan sosial dan nilai-nilai tradisional, serta liberalisme
klasik yang mengedepankan hak individu, kepemilikan pribadi,
dan pasar bebas. Konservatisme, sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Burke,
memandang perubahan sosial yang terlalu cepat sebagai ancaman terhadap
stabilitas dan moralitas sosial².
4.2. Abad ke-20 Awal: Polarisasi Ideologis dan Munculnya
Ekstremisme
Pada awal abad
ke-20, dunia menyaksikan polarisasi yang semakin tajam antara ideologi kiri dan
kanan. Di sisi kiri, ideologi komunisme revolusioner
mengambil bentuk konkret dalam Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia yang melahirkan
Uni Soviet—sebuah negara yang secara eksplisit mengklaim diri sebagai
representasi kekuatan proletariat. Komunisme kemudian menyebar ke berbagai
belahan dunia, termasuk Tiongkok, Kuba, dan Vietnam³.
Sebagai respons,
muncul gerakan
kanan ekstrem seperti fasisme di Italia dan Nazisme
di Jerman yang menggabungkan nasionalisme ultrakonservatif, anti-komunisme,
rasisme, dan otoritarianisme. Kedua ideologi ekstrem ini menciptakan dua blok
besar yang saling berhadapan dan berkontribusi pada pecahnya Perang Dunia II⁴.
4.3. Era Perang Dingin: Bipolarisasi Global
Perang Dingin
(1947–1991) menandai fase baru dalam evolusi kiri dan kanan, dengan dunia
terbelah antara dua blok besar: Blok Timur yang dipimpin oleh
Uni Soviet dan menganut ideologi kiri-komunis, dan Blok
Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan menganut
kapitalisme liberal. Persaingan ini tidak hanya bersifat militer dan
diplomatik, tetapi juga ideologis. Di dunia Barat, “kiri” mulai
diidentikkan dengan komunisme, meskipun sebenarnya spektrum kiri juga mencakup
sosial-demokrasi yang berakar pada nilai-nilai demokrasi dan pluralisme⁵.
Dalam konteks ini,
banyak negara Eropa mengembangkan negara kesejahteraan (welfare state)
yang merupakan hasil sintesis antara prinsip pasar bebas dan intervensi negara.
Sosial-demokrasi di Skandinavia menjadi contoh nyata dari gerakan kiri moderat
yang berhasil mengurangi ketimpangan tanpa meninggalkan demokrasi parlementer.
4.4. Era Pasca-Perang Dingin: Reorientasi dan
Hibridisasi Ideologi
Runtuhnya Uni Soviet
pada 1991 menandai kebangkrutan model komunisme otoriter
dan memberikan dorongan bagi transformasi ideologi kiri secara global. Banyak
partai komunis beralih menjadi partai sosialis demokrat atau menempuh jalur
reformis. Kiri baru pun muncul dengan fokus pada isu-isu pasca-material seperti
lingkungan
hidup, feminisme, hak-hak minoritas, dan anti-globalisasi⁶.
Di sisi kanan,
muncul neo-liberalisme
yang mendorong privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi pasar secara luas,
dipopulerkan oleh tokoh-tokoh seperti Ronald Reagan dan Margaret Thatcher.
Namun pada dasawarsa terakhir, muncul pula populisme kanan yang menekankan
proteksionisme ekonomi, nasionalisme etno-kultural, serta resistensi terhadap
imigrasi dan globalisasi.
4.5. Abad ke-21: Fragmentasi dan Tantangan Baru
Pada abad ke-21,
batas antara kiri dan kanan menjadi semakin kabur. Banyak partai politik
mengadopsi posisi tengah atau pragmatis,
mencampur elemen dari kedua sisi. Di saat yang sama, tantangan baru seperti
krisis iklim, migrasi global, polarisasi digital, dan ketidaksetaraan ekonomi
memunculkan formasi ideologis baru yang
tidak selalu dapat dimasukkan dalam kerangka kiri-kanan tradisional⁷.
Beberapa pengamat
seperti Chantal Mouffe menekankan perlunya revitalisasi kiri populis
sebagai kekuatan tandingan terhadap dominasi kapitalisme global dan kebangkitan
kanan radikal⁸. Sementara itu, para pemikir konservatif menyuarakan
kekhawatiran bahwa modernitas liberal telah kehilangan akar moral dan
kebudayaannya.
Footnotes
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The
Communist Manifesto, trans. Samuel
Moore (London: Penguin Classics, 2002), 33–37.
[2]
Edmund Burke, Reflections on the
Revolution in France (London:
Penguin Classics, 2004), 94–96.
[3]
Stephen Kotkin, Stalin: Volume I:
Paradoxes of Power, 1878–1928 (New
York: Penguin Press, 2014), 407–410.
[4]
Robert Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 21–24.
[5]
Tony Judt, Postwar: A History of
Europe Since 1945 (New York: Penguin
Press, 2005), 83–85.
[6]
Michael Newman, Socialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 100–103.
[7]
Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural
Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 5–8.
[8]
Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 9–12.
5.
Spektrum
Politik Kiri dan Kanan dalam Konteks Kontemporer
Memasuki abad ke-21,
spektrum kiri dan kanan dalam politik mengalami redefinisi yang signifikan
akibat dinamika globalisasi, transformasi teknologi, serta perubahan preferensi
dan nilai-nilai masyarakat. Meskipun istilah “kiri” dan “kanan”
tetap digunakan dalam wacana publik, batas-batas keduanya menjadi semakin
kabur. Politik kontemporer tidak lagi ditentukan oleh garis ideologis tunggal,
melainkan oleh beragam dimensi isu yang saling
bersilangan: ekonomi, identitas, lingkungan, hingga otoritarianisme versus
demokrasi.
5.1. Kiri Baru: Isu Lingkungan, Kesetaraan, dan Politik Identitas
Di banyak negara,
kubu kiri telah berevolusi dari perjuangan kelas tradisional menuju orientasi pasca-materialis,
dengan menekankan hak asasi manusia, feminisme, keberagaman,
serta perlindungan lingkungan hidup. Gerakan seperti Extinction
Rebellion, Black Lives Matter, serta kampanye
politik tokoh seperti Alexandria Ocasio-Cortez di AS dan Jeremy Corbyn di
Inggris mencerminkan kiri progresif yang
menggabungkan semangat sosialisme dengan tuntutan-tuntutan baru seperti
keadilan iklim dan keadilan rasial¹.
Secara ekonomi, kiri
kontemporer juga mengusulkan alternatif terhadap kapitalisme neoliberal,
termasuk reformasi pajak progresif,
perluasan program jaminan sosial, dan penguatan regulasi terhadap korporasi global.
Dalam konteks ini, kiri populis—sebagaimana
dikemukakan Chantal Mouffe—mencoba membentuk front rakyat yang demokratis untuk
menandingi dominasi pasar dan elit politik².
Namun demikian,
pendekatan ini kerap mendapat kritik karena dianggap terlalu fokus pada isu
identitas dan terlalu bergantung pada narasi moral, sehingga kurang mampu
membangun konsensus lintas kelas dan budaya³.
5.2. Kanan Baru: Populisme, Nasionalisme, dan Reaksi
terhadap Globalisasi
Di sisi lain, kubu
kanan kontemporer mengalami kebangkitan melalui gerakan populisme
kanan yang menentang globalisme, imigrasi, dan pluralisme
budaya. Kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat
(2016), keberhasilan Brexit di Inggris, dan
popularitas partai-partai seperti Rassemblement National di
Prancis atau Fidesz di Hungaria menunjukkan
bahwa narasi kanan—terutama yang mengusung nasionalisme etno-kultural, proteksionisme
ekonomi, dan skeptisisme terhadap institusi supranasional—menemukan
resonansi luas di tengah keresahan masyarakat⁴.
Populisme kanan
menyasar ketidakpuasan kelas menengah terhadap ketimpangan ekonomi, migrasi
besar-besaran, serta alienasi budaya. Mereka mengklaim diri sebagai suara “rakyat
sejati” melawan “elit korup” dan kerap mengeksploitasi simbol-simbol
religius, patriotik, dan moral untuk memperkuat basis dukungan⁵. Namun,
pendekatan ini juga dikritik karena sering kali menormalisasi ujaran kebencian,
otoritarianisme, dan anti-demokrasi⁶.
5.3. Politik Sentris dan Hibridisasi Ideologi
Di tengah polarisasi
kiri dan kanan, banyak partai politik dan pemimpin kontemporer mengadopsi posisi
tengah yang pragmatis dan menggabungkan unsur dari kedua kubu.
Mereka memilih pendekatan moderat dalam ekonomi (seperti dukungan terhadap
pasar yang dikombinasikan dengan jaminan sosial) dan kebijakan sosial yang
inklusif namun berbasis nilai lokal.
Contohnya adalah Emmanuel
Macron di Prancis yang membentuk partai La
République En Marche! sebagai upaya untuk melampaui pembelahan
ideologis tradisional. Di negara-negara Skandinavia, beberapa partai
konservatif pun mendukung negara kesejahteraan, membuktikan bahwa batas
kiri-kanan bisa cair tergantung pada konteks budaya dan sejarah⁷.
Model ini sering
disebut sebagai bentuk post-ideological politics, di
mana pragmatisme dan efisiensi administratif lebih diutamakan daripada
konsistensi ideologis. Namun, pendekatan ini juga dikritik karena dianggap
terlalu teknokratis dan kehilangan visi transformatif yang dibutuhkan dalam
menjawab krisis global seperti perubahan iklim atau kesenjangan ekonomi⁸.
5.4. Spektrum Baru: Dimensi Ganda dalam Politik
Kontemporer
Untuk membaca
spektrum politik hari ini, para ilmuwan politik merekomendasikan pendekatan multi-dimensi,
bukan hanya kiri-kanan. Salah satu model populer adalah kompas
politik (political compass), yang
menggabungkan dua sumbu:
·
Ekonomi
(kiri–kanan): dari intervensi negara ke pasar bebas
·
Otoritas
(libertarian–otoritarian): dari kebebasan individu ke kendali negara
Model ini lebih
akurat dalam menangkap posisi ideologis aktor politik, seperti membedakan
antara kiri-libertarian
(misalnya, partai hijau progresif) dan kanan-otoritarian (misalnya,
partai nasionalis populis)⁹.
Footnotes
[1]
Michael Newman, Socialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 105–108.
[2]
Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 26–29.
[3]
Nancy Fraser, “The Old Is Dying and the New Cannot Be Born,” Verso Blog, May 30,
2017, https://www.versobooks.com/blogs/3285-the-old-is-dying-and-the-new-cannot-be-born.
[4]
Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 14–17.
[5]
Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
2016), 19–23.
[6]
Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural
Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 38–41.
[7]
Tony Judt, Ill Fares the Land (New York: Penguin Press, 2010), 91–94.
[8]
Colin Crouch, Post-Democracy (Cambridge: Polity Press, 2004), 70–74.
[9]
Political Compass Organisation, “About the Political Compass,” accessed
May 20, 2025, https://www.politicalcompass.org/about.
6.
Istilah
Kiri dan Kanan dalam Politik Indonesia
Penggunaan istilah “kiri”
dan “kanan” dalam politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks
sejarah nasional yang unik dan kompleks. Berbeda dengan perkembangan di Eropa
yang ditandai oleh tradisi parlementer yang konsisten dan formasi ideologis
yang relatif terlembaga, di Indonesia, istilah kiri dan kanan berkembang secara
dinamis, sering kali sarat dengan konotasi ideologis, kultural, bahkan
traumatis. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap spektrum politik ini dalam
konteks Indonesia harus mempertimbangkan faktor sejarah, politik identitas,
serta dampak dari represi negara terhadap wacana ideologis tertentu.
6.1. Awal Perkembangan: Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme
Pada masa pergerakan
nasional awal abad ke-20, belum dikenal pembelahan politik yang secara
eksplisit disebut sebagai kiri atau kanan. Namun demikian, diversifikasi
ideologi sudah mulai tampak melalui kemunculan tiga kekuatan
besar:
·
Nasionalisme
sekuler, yang diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan
tokoh seperti Sukarno.
·
Islamisme,
yang muncul dalam bentuk Sarekat Islam dan kemudian Masyumi.
·
Marxisme
atau sosialisme, yang dianut oleh organisasi seperti PKI
(Partai Komunis Indonesia) dan SI Merah¹.
Dalam kerangka ini,
PKI dapat dikategorikan sebagai kiri karena komitmennya
terhadap perjuangan kelas dan keadilan sosial berbasis Marxisme-Leninisme,
sedangkan Masyumi dan kelompok Islam konservatif lebih sering diposisikan
sebagai kanan karena penekanannya pada
nilai-nilai moral dan religius, serta keterikatan dengan struktur sosial
tradisional².
6.2. Orde Lama: Dominasi dan Konflik Ideologis
Pada masa Demokrasi
Terpimpin (1959–1965), istilah “kiri” menjadi sangat menonjol karena
dominasi PKI dalam lanskap politik nasional. Sukarno sendiri menyatakan
dukungan terhadap poros Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme), sebuah upaya untuk merangkul tiga kekuatan ideologis utama dalam
satu format kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, PKI mendapatkan pengaruh yang sangat besar,
baik dalam lembaga-lembaga negara maupun organisasi massa³.
Situasi ini
menimbulkan ketegangan antara kubu kiri (PKI dan sekutunya) dengan kelompok
Islam dan militer yang lebih konservatif (kanan). Ketegangan ini mencapai
puncaknya pada peristiwa G30S 1965, yang kemudian
disusul oleh pembantaian massal terhadap anggota atau simpatisan PKI. Peristiwa
ini menandai titik balik dalam sejarah politik Indonesia dan mengakibatkan stigmatisasi
total terhadap istilah “kiri” yang identik dengan komunisme dan
ateisme⁴.
6.3. Orde Baru: Pembekuan Wacana Kiri
Selama masa Orde Baru
(1966–1998), negara secara sistematis membekukan segala bentuk ekspresi kiri
melalui kebijakan represif dan propaganda anti-komunis. Label
“kiri” menjadi sinonim dengan ancaman terhadap negara, dan
siapa pun yang dicurigai memiliki afiliasi dengan ideologi Marxis akan
menghadapi diskriminasi politik, sosial, bahkan kekerasan fisik. Wacana kiri
tidak hanya dilarang, tetapi juga demonisasi secara struktural,
terutama melalui kurikulum pendidikan, media massa, dan regulasi politik⁵.
Sebaliknya, rezim
Orde Baru mengukuhkan diri dalam posisi kanan konservatif: mendukung
kapitalisme negara, militerisme, moralitas tradisional, dan sentralisasi
kekuasaan. Dalam konteks ini, spektrum politik menjadi timpang—kiri
dilumpuhkan, sementara kanan dilembagakan sebagai norma⁶.
6.4. Era Reformasi: Rehabilitasi Wacana, tetapi Bukan
Ideologi
Pasca jatuhnya Orde
Baru, iklim demokrasi membuka ruang bagi rehabilitasi sejarah dan narasi-narasi
alternatif, termasuk kajian kritis terhadap gerakan kiri dan
ideologi sosialisme. Diskursus kiri mulai masuk ke ranah akademik, seni, dan
gerakan masyarakat sipil. Namun demikian, penyebutan istilah “kiri” tetap sensitif,
dan partai-partai politik arus utama umumnya menghindari identifikasi ideologis
yang eksplisit karena trauma sejarah dan ketakutan terhadap stigma lama⁷.
Di sisi lain, wacana
kanan tetap eksis, terutama dalam bentuk populisme berbasis agama dan identitas
etno-kultural. Fenomena polarisasi seperti dalam Pemilu 2014
dan 2019 menunjukkan kecenderungan meningkatnya politik identitas yang
menghidupkan kembali dikotomi lama dalam bentuk baru—kali ini bukan sekadar
kiri-kanan dalam arti klasik, melainkan antara nasionalisme pluralis versus
konservatisme eksklusif⁸.
6.5. Pembacaan Kritis: Perlu Dekonstruksi Spektrum Lama
Dalam konteks
Indonesia kontemporer, pembacaan terhadap istilah kiri dan kanan perlu
dilakukan secara kritis dan kontekstual.
Pertama, spektrum ideologis Indonesia tidak dapat dipetakan secara langsung ke
dalam model kiri-kanan Eropa. Kedua, banyak aktor politik bersikap pragmatis
dan tidak memiliki komitmen ideologis yang konsisten. Ketiga, masyarakat masih
sangat dipengaruhi oleh narasi historis Orde Baru yang memanipulasi istilah
kiri untuk kepentingan kekuasaan.
Untuk itu, pemetaan
ideologi politik di Indonesia sebaiknya memperhatikan faktor-faktor
lokal, seperti:
·
Posisi terhadap pluralisme
dan toleransi beragama.
·
Sikap terhadap ekonomi
kerakyatan versus oligarki.
·
Orientasi pada demokrasi
substantif versus otoritarianisme populis.
Hanya dengan
pendekatan kontekstual dan reflektif, istilah “kiri” dan “kanan”
dapat difungsikan secara konstruktif dalam analisis politik Indonesia.
Footnotes
[1]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian
Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 17–22.
[2]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 1962), 243–245.
[3]
Rex Mortimer, Indonesian Communism
under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1974), 84–88.
[4]
Robert Cribb, “The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java
and Bali,” in Monash Papers on
Southeast Asia, no. 21 (Clayton:
Monash University, 1990), 9–12.
[5]
Ariel Heryanto, State Terrorism and
Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 50–54.
[6]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in
Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), 33–35.
[7]
Andreas Harsono, Agama Saya Adalah
Jurnalisme (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010), 123–125.
[8]
Marcus Mietzner, “Populist Anti-Islamic or Anti-Pluralist? Explaining
the Rise of Identity Politics in Contemporary Indonesia,” Contemporary Southeast Asia 41, no. 1 (2019): 28–29.
7.
Kritik
terhadap Penggunaan Dikotomis: Apakah Masih Relevan?
Meskipun istilah “kiri”
dan “kanan” telah lama menjadi alat klasifikasi dalam studi dan praktik
politik, dalam konteks kontemporer semakin banyak kritik yang mempertanyakan relevansi
dan kecukupan kerangka dikotomis ini. Kritik-kritik tersebut
muncul dari kalangan ilmuwan politik, pengamat sosial, serta aktivis yang
melihat bahwa spektrum kiri–kanan sering kali menyederhanakan realitas politik yang kompleks,
dinamis, dan multidimensional.
7.1. Reduksionisme Ideologis
Salah satu kritik
utama terhadap pembelahan kiri dan kanan adalah bahwa ia bersifat reduksionis—yaitu
memaksakan kerangka biner atas keragaman pandangan politik yang sesungguhnya
tidak selalu berseberangan secara tegas. Dalam dunia nyata, banyak aktor dan
partai politik yang memegang posisi campuran atau inkonsisten:
mereka bisa progresif dalam isu ekonomi namun konservatif dalam isu budaya,
atau sebaliknya. Dalam kasus ini, kategorisasi kiri–kanan gagal menangkap kompleksitas
ideologis secara utuh¹.
Contohnya dapat
dilihat pada gerakan hijau (green politics),
yang tidak selalu cocok masuk dalam kategori kiri (karena menolak modernitas
industri) maupun kanan (karena mendukung regulasi lingkungan yang ketat).
Posisi mereka lebih tepat ditempatkan dalam dimensi baru seperti ekologi
versus eksploitatif, yang tidak ditangkap oleh spektrum
tradisional².
7.2. Konteks Budaya dan Geografis yang Berbeda
Model kiri–kanan
berasal dari konteks sejarah Eropa, terutama Revolusi Prancis. Namun ketika
dipaksakan ke konteks negara-negara non-Barat, pembagian ini bisa menjadi tidak
relevan atau menyesatkan. Di banyak negara Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, formasi ideologis berkembang berdasarkan sejarah kolonialisme,
tradisi lokal, dan pengalaman nasional yang berbeda, sehingga tidak bisa
sepenuhnya diserap ke dalam dikotomi kiri–kanan³.
Sebagai contoh,
dalam politik Indonesia, posisi partai atau tokoh tidak selalu konsisten dengan
garis kiri–kanan sebagaimana dipahami dalam literatur Barat. Partai-partai
besar cenderung pragmatis, menghindari
identifikasi ideologis secara eksplisit, dan lebih memilih strategi populis
atau berbasis patronase⁴.
7.3. Munculnya Dimensi Baru dalam Politik
Kritik juga muncul
karena spektrum kiri–kanan gagal menjelaskan fenomena-fenomena baru
dalam politik abad ke-21. Isu-isu seperti krisis iklim, teknologi digital, data
privasi, bioetika, dan globalisasi tidak selalu beririsan dengan posisi kiri
atau kanan. Banyak dari isu ini menciptakan poros baru dalam politik
global, seperti:
·
Kosmopolitanisme
vs. Nasionalisme
·
Globalisme
vs. Proteksionisme
·
Libertarianisme
digital vs. Kontrol negara atas informasi
Model seperti Political
Compass dan Inglehart-Welzel World Values Map
berusaha menangkap keragaman ini dengan menghadirkan dimensi
ideologis ganda, yaitu sumbu ekonomi (kiri–kanan) dan sumbu
otoritarianisme–libertarianisme⁵. Model ini dianggap lebih representatif karena
dapat memetakan posisi ideologi secara interaktif dan fleksibel.
7.4. Alat Retoris, Bukan Analisis Substantif
Dalam praktik
politik sehari-hari, istilah kiri dan kanan sering digunakan sebagai label
retoris, bukan sebagai kategori analitis yang ilmiah. Ia kerap
menjadi alat delegitimasi—“kiri” diasosiasikan dengan radikalisme atau
ateisme, “kanan” dikaitkan dengan otoritarianisme atau anti-perubahan.
Akibatnya, penggunaan istilah ini mendorong polarisasi dan memperkeruh wacana
publik, alih-alih memperjelas posisi politik secara
substantif⁶.
Kondisi ini
diperparah oleh media sosial, yang mendorong
penyebaran narasi politik yang simplistik dan emosional. Ketimbang mendorong
diskusi berbasis ide dan nilai, dikotomi kiri–kanan sering kali digunakan untuk
memproduksi identitas kelompok dan memperkuat bias konfirmasi⁷.
7.5. Alternatif: Pendekatan Multidimensi dan Kontekstual
Sebagai respons
terhadap keterbatasan tersebut, sejumlah ilmuwan dan praktisi menyarankan
penggunaan pendekatan yang lebih multidimensi, kontekstual, dan historis
dalam membaca peta politik. Ini mencakup:
·
Analisis
kebijakan per isu, bukan berdasarkan spektrum ideologis.
·
Studi
konteks lokal, termasuk nilai budaya, agama, dan pengalaman historis.
·
Pemetaan
kuadran politik berbasis survei nilai dan perilaku pemilih.
Dengan pendekatan
semacam ini, pemahaman politik tidak lagi bergantung pada dikotomi lama yang
tidak lagi relevan, tetapi dibangun atas basis empiris dan reflektif.
Footnotes
[1]
Andrew Heywood, Political Ideologies:
An Introduction, 6th ed. (London:
Palgrave Macmillan, 2017), 44–47.
[2]
Michael Dobson and Ronald H. Tuschl, Green
Politics: Dictatorship or Democracy?
(Aldershot: Avebury, 1993), 9–12.
[3]
Chua Beng Huat, Communitarian Ideology and
Democracy in Singapore (London:
Routledge, 1995), 4–5.
[4]
Edward Aspinall and Marcus Mietzner, Indonesian
Politics in Transition: Policy, Patronage, and Public Opinion (Singapore: ISEAS Publishing, 2010), 22–24.
[5]
Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy: The Human
Development Sequence (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 61–63.
[6]
Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
2016), 43–46.
[7]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided
Democracy in the Age of Social Media
(Princeton: Princeton University Press, 2017), 72–74.
8.
Kesimpulan
Istilah “kiri” dan “kanan” dalam
politik, meskipun berasal dari konteks historis yang sangat spesifik—yakni
posisi duduk dalam Majelis Nasional Prancis pasca-Revolusi 1789—telah mengalami
perjalanan panjang dan transformasi makna yang kompleks dalam lintas waktu dan
ruang. Dari simbol posisi fisik menjadi simbol ideologis, spektrum ini
berkembang menjadi peta kognitif bagi masyarakat dalam memahami posisi politik,
kebijakan publik, dan identitas kolektif suatu gerakan atau partai¹.
Dalam perjalanannya, kubu kiri secara umum
diasosiasikan dengan gagasan progresivisme, keadilan sosial, dan intervensi
negara dalam ekonomi, sedangkan kubu kanan lebih menekankan konservatisme,
kebebasan individu dalam pasar, dan pelestarian nilai-nilai tradisional².
Namun, klasifikasi ini bukanlah kategori yang absolut atau tetap. Ia terus
bertransformasi mengikuti dinamika zaman, seperti terlihat pada kemunculan kiri
baru yang menekankan hak-hak minoritas dan keadilan iklim, atau kanan
baru yang mengusung populisme nasionalis dan kritik terhadap globalisasi³.
Dalam konteks Indonesia, penggunaan istilah kiri
dan kanan memiliki bobot historis yang sangat besar dan traumatik, terutama
karena peristiwa 1965 dan represi ideologis selama Orde Baru, yang
menjadikan “kiri” sinonim dengan bahaya dan pengkhianatan terhadap
negara⁴. Setelah era Reformasi, wacana kiri secara perlahan mulai dipulihkan,
meskipun tetap menghadapi hambatan psikologis dan kultural. Di sisi lain,
politik kanan tampil dalam berbagai bentuk, mulai dari konservatisme agama
hingga populisme berbasis identitas.
Seiring dengan meningkatnya kompleksitas isu
global—seperti krisis iklim, disrupsi teknologi, dan migrasi
transnasional—pembelahan kiri dan kanan semakin tidak mencukupi untuk
menjelaskan realitas politik yang penuh nuansa. Para ilmuwan dan pengamat
politik kini banyak menganjurkan model analisis multi-dimensi, seperti
penggunaan dua sumbu (ekonomi dan otoritas) atau pemetaan berbasis nilai
budaya, untuk menggantikan model biner yang cenderung menyederhanakan
persoalan⁵.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap istilah kiri
dan kanan perlu dilakukan secara kritis, historis, dan kontekstual.
Istilah ini tetap berguna sebagai alat bantu awal dalam membaca peta ideologis,
tetapi tidak boleh dijadikan satu-satunya tolok ukur dalam menilai orientasi
politik seseorang atau kelompok. Alih-alih memperkuat polarisasi atau
stereotip, pemahaman yang cermat terhadap dinamika spektrum politik dapat
memperluas wawasan demokratis masyarakat dan memperdalam kualitas dialog
politik publik⁶.
Dalam dunia yang semakin kompleks, literasi
ideologis semacam ini bukan hanya kebutuhan akademik, melainkan tuntutan
kewarganegaraan yang bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
François Furet, Interpreting the French
Revolution, trans. Elborg Forster (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), 24–25.
[2]
Andrew Heywood, Political Ideologies: An
Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 50–55.
[3]
Chantal Mouffe, For a Left Populism (London:
Verso, 2018), 17–20.
[4]
Ariel Heryanto, State Terrorism and Political
Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 47–54.
[5]
Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural Backlash:
Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University
Press, 2019), 38–41.
[6]
Jan-Werner Müller, What Is Populism?
(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 29–31.
Daftar Pustaka
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Indonesian
politics in transition: Policy, patronage, and public opinion. ISEAS
Publishing.
Burke, E. (2004). Reflections on the revolution
in France (L. G. Mitchell, Ed.). Penguin Classics. (Asli diterbitkan tahun
1790)
Chua, B. H. (1995). Communitarian ideology and
democracy in Singapore. Routledge.
Cribb, R. (Ed.). (1990). The Indonesian killings
of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Monash Papers on Southeast Asia
No. 21). Monash University.
Crouch, C. (2004). Post-democracy. Polity
Press.
Dobson, M., & Tuschl, R. H. (1993). Green
politics: Dictatorship or democracy? Avebury.
Feith, H. (1962). The decline of constitutional
democracy in Indonesia. Cornell University Press.
Furet, F. (1981). Interpreting the French
Revolution (E. Forster, Trans.). Cambridge University Press.
Harsono, A. (2010). Agama saya adalah jurnalisme.
Penerbit Buku Kompas.
Heywood, A. (2017). Political ideologies: An
introduction (6th ed.). Palgrave Macmillan.
Heryanto, A. (2006). State terrorism and
political identity in Indonesia: Fatally belonging. Routledge.
Inglehart, R., & Norris, P. (2019). Cultural
backlash: Trump, Brexit, and authoritarian populism. Cambridge University
Press.
Inglehart, R., & Welzel, C. (2005). Modernization,
cultural change, and democracy: The human development sequence. Cambridge
University Press.
Judt, T. (2005). Postwar: A history of Europe
since 1945. Penguin Press.
Judt, T. (2010). Ill fares the land. Penguin
Press.
Kotkin, S. (2014). Stalin: Volume I: Paradoxes
of power, 1878–1928. Penguin Press.
Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics. (Karya asli diterbitkan
1848)
McVey, R. T. (1965). The rise of Indonesian
communism. Cornell University Press.
Mietzner, M. (2019). Populist anti-Islamic or
anti-pluralist? Explaining the rise of identity politics in contemporary
Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 41(1), 24–49. https://doi.org/10.1355/cs41-1d
Mortimer, R. (1974). Indonesian communism under
Sukarno: Ideology and politics, 1959–1965. Cornell University Press.
Mouffe, C. (2018). For a left populism.
Verso.
Mudde, C. (2019). The far right today. Polity
Press.
Müller, J.-W. (2016). What is populism?
University of Pennsylvania Press.
Newman, M. (2005). Socialism: A very short
introduction. Oxford University Press.
Paxton, R. (2004). The anatomy of fascism.
Alfred A. Knopf.
Political Compass Organisation. (2025). About
the political compass. Retrieved May 20, 2025, from https://www.politicalcompass.org/about
Scruton, R. (2006). The meaning of conservatism
(3rd ed.). Palgrave Macmillan.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided
democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Verso Books. (2017, May 30). The old is dying
and the new cannot be born [Blog post by Nancy Fraser]. https://www.versobooks.com/blogs/3285-the-old-is-dying-and-the-new-cannot-be-born
Tidak ada komentar:
Posting Komentar