Kamis, 29 Mei 2025

Kiri dan Kanan dalam Politik: Asal-Usul, Evolusi, dan Dinamika Istilah Kiri dan Kanan dalam Politik

Membaca Spektrum Politik

Kiri dan Kanan dalam Politik


Alihkan ke: Ilmu Politik.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang istilah “kiri” dan “kanan” dalam politik, mulai dari asal-usul historisnya pada masa Revolusi Prancis hingga evolusi maknanya dalam konteks kontemporer dan lokal, khususnya di Indonesia. Pembahasan diawali dengan pelacakan akar istilah dalam tradisi parlementer Eropa, diikuti dengan karakteristik ideologis masing-masing kubu, perkembangan spektrum dalam sejarah dunia, serta tantangan baru yang dihadapi dalam era globalisasi dan disrupsi digital. Dalam konteks Indonesia, istilah kiri dan kanan memiliki muatan historis dan ideologis yang sangat khas, terutama pasca peristiwa 1965 dan dominasi wacana politik Orde Baru. Artikel ini juga menelaah relevansi dan keterbatasan penggunaan dikotomi kiri–kanan di tengah munculnya isu-isu lintas dimensi seperti populisme, politik identitas, krisis iklim, dan teknologi informasi. Di akhir tulisan, disimpulkan bahwa meskipun istilah ini masih berguna sebagai peta konseptual awal, pendekatan yang lebih multidimensi, kontekstual, dan reflektif diperlukan untuk memahami kompleksitas politik modern secara lebih akurat dan adil.

Kata Kunci: kiri dan kanan, spektrum politik, ideologi, politik Indonesia, populisme, sejarah politik, multidimensi politik, globalisasi, politik identitas, pasca-Orde Baru.

 


PEMBAHASAN

Asal-Usul, Evolusi, dan Dinamika Istilah Kiri dan Kanan dalam Politik


1.           Pendahuluan

Dalam wacana politik global maupun lokal, istilah "kiri" dan "kanan" telah menjadi penanda utama dalam memetakan posisi ideologis, kecenderungan kebijakan, dan afiliasi politik suatu individu maupun kelompok. Meski terdengar sederhana, pembagian ini membawa kompleksitas yang mendalam dan kerap menimbulkan salah tafsir, terutama ketika digunakan dalam konteks yang berbeda secara historis maupun geografis. Pemahaman yang keliru terhadap kedua istilah tersebut sering kali memperkeruh diskursus publik dan mempersempit ruang dialog yang produktif dalam masyarakat demokratis.

Secara historis, istilah "kiri" dan "kanan" muncul pertama kali dalam konteks Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, ketika anggota Majelis Nasional Prancis membagi posisi duduk berdasarkan sikap terhadap monarki: kelompok yang mendukung pelestarian kekuasaan raja duduk di sebelah kanan presiden majelis, sementara kelompok yang menginginkan perubahan radikal dan republikanisme duduk di sebelah kiri¹. Sejak saat itu, istilah tersebut mengalami evolusi makna yang kompleks, menjadi simbol dari spektrum ideologis yang luas, mencakup isu-isu sosial, ekonomi, budaya, hingga kebijakan luar negeri.

Dalam perkembangannya, spektrum politik kiri dan kanan tidak lagi sekadar mencerminkan sikap terhadap institusi monarki, tetapi juga merangkum pandangan-pandangan terkait peran negara dalam ekonomi, hak-hak individu, hierarki sosial, nilai-nilai budaya, dan model pemerintahan. Kaum kiri cenderung mendukung prinsip-prinsip egalitarianisme, keadilan sosial, dan intervensi negara dalam menjamin kesejahteraan publik. Sebaliknya, kubu kanan biasanya menekankan nilai-nilai konservatif, kebebasan individu dalam ekonomi pasar bebas, serta penekanan pada ketertiban sosial dan tradisi².

Di tengah arus globalisasi, disrupsi teknologi, dan meningkatnya polarisasi politik, istilah kiri dan kanan pun mengalami perluasan maupun pergeseran makna. Gerakan populisme kanan yang menguat di berbagai negara Barat serta kebangkitan kembali narasi sosialisme dalam generasi muda menunjukkan bahwa spektrum ini tetap relevan namun membutuhkan interpretasi yang lebih kontekstual dan nuansial³. Bahkan, dalam banyak kasus, pembelahan ini menjadi alat politisasi identitas, yang lebih didasarkan pada simbolisme dan sentimen emosional daripada pertimbangan ideologis yang rasional.

Dalam konteks Indonesia, penggunaan istilah kiri dan kanan sering kali dibayangi oleh beban sejarah dan trauma politik masa lalu, terutama terkait dengan peristiwa 1965 dan stigmatisasi terhadap komunisme. Hal ini menyebabkan diskursus kiri-kanan di Indonesia berkembang dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan Eropa atau Amerika Latin⁴. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam dan historis terhadap istilah-istilah ini menjadi sangat penting, baik dalam ranah akademik, kebijakan publik, maupun pendidikan kewarganegaraan.

Melalui artikel ini, pembaca diajak untuk menelusuri asal-usul, evolusi, dan dinamika kontemporer istilah kiri dan kanan dalam politik. Dengan pendekatan historis dan teoritis, artikel ini bertujuan memberikan peta pemikiran yang utuh agar istilah-istilah tersebut tidak hanya menjadi jargon politik yang kabur, melainkan sarana untuk memperdalam pemahaman terhadap sistem nilai dan pertarungan ideologi yang membentuk kehidupan politik kita hari ini.


Footnotes

[1]                François Furet, Interpreting the French Revolution, trans. Elborg Forster (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 23–26.

[2]                Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 10–12.

[3]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 1–5.

[4]                Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 47–53.


2.           Asal-Usul Istilah “Kiri” dan “Kanan”

Istilah “kiri” dan “kanan” dalam konteks politik memiliki akar historis yang jelas dan spesifik, yaitu Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Dalam sidang-sidang Majelis Nasional (Assemblée nationale) yang berlangsung setelah runtuhnya sistem monarki absolut, para anggota dewan terbagi menjadi dua kelompok utama berdasarkan posisi duduk mereka dalam ruangan legislatif. Mereka yang mendukung pelestarian kekuasaan monarki dan struktur sosial tradisional memilih duduk di sebelah kanan kursi presiden majelis, sedangkan mereka yang menghendaki perubahan radikal, seperti penghapusan monarki dan pembentukan republik, duduk di sebelah kiri¹. Pembagian ini awalnya bersifat fungsional dan tidak dimaksudkan untuk menciptakan kategorisasi ideologis yang kaku, namun dengan cepat menjadi simbol dari perbedaan mendasar dalam orientasi politik.

Seiring waktu, posisi duduk ini berkembang menjadi representasi dari dua kutub pemikiran politik. Kubu kiri diasosiasikan dengan progresivisme, egalitarianisme, dan cita-cita revolusioner yang berupaya menciptakan tatanan sosial baru berbasis keadilan dan kesetaraan. Sementara itu, kubu kanan cenderung mempertahankan hierarki sosial, status quo, dan otoritas tradisional, termasuk peran gereja dan aristokrasi². Dalam konteks Revolusi Prancis, istilah “kiri” dan “kanan” pun mulai berkonotasi ideologis, menjadi identitas politik yang melekat pada posisi seseorang dalam perjuangan antara perubahan dan pelestarian struktur lama.

Istilah-istilah ini kemudian digunakan secara lebih luas dalam sejarah politik Eropa pada abad ke-19. Misalnya, selama masa Restorasi Bourbon dan pembentukan konstitusi-konstitusi baru di Prancis, terminologi “kiri” digunakan untuk menyebut kaum republikan, sosialis, dan liberal radikal, sementara “kanan” mengacu pada kaum royalist dan konservatif. Kategori ini juga diadopsi dalam konteks negara-negara lain seperti Jerman dan Italia selama proses unifikasi nasional dan munculnya partai-partai politik berbasis ideologi³.

Meskipun istilah “kiri” dan “kanan” berasal dari konteks khusus di Prancis, penggunaannya menyebar dan mengalami transformasi lintas budaya. Di Inggris, misalnya, istilah ini tidak selalu digunakan secara eksplisit, namun konsep yang diwakilinya—yakni perbedaan antara progresif dan konservatif—tetap hidup dalam perbedaan antara Partai Buruh dan Partai Konservatif. Di Amerika Serikat, istilah tersebut sering diasosiasikan dengan perbedaan antara Partai Demokrat (kiri-tengah) dan Partai Republik (kanan), meskipun konteks sejarah dan konstelasi nilai-nilai politik di negara tersebut tidak sepenuhnya identik dengan model Eropa⁴.

Penting dicatat bahwa makna "kiri" dan "kanan" tidak bersifat tetap dan universal. Istilah tersebut sangat bergantung pada konteks sosial, sejarah, dan budaya di mana mereka digunakan. Apa yang dianggap sebagai sikap “kiri” di satu negara bisa jadi dipandang “kanan” di negara lain. Misalnya, dalam konteks negara-negara Skandinavia, negara kesejahteraan yang besar dan sistem pajak progresif merupakan hal lazim bahkan di kalangan partai kanan-tengah, sementara hal yang sama di negara-negara lain mungkin dilihat sebagai kebijakan kiri yang radikal⁵.

Dengan demikian, asal-usul istilah “kiri” dan “kanan” bukan hanya mencerminkan perbedaan posisi duduk dalam suatu majelis, tetapi mencerminkan pembelahan yang lebih mendalam antara dua cara pandang tentang dunia: antara perubahan versus konservasi, egalitarianisme versus hierarki, serta progresivisme versus tradisionalisme. Memahami akar historis ini penting agar kita tidak mengabaikan dimensi ideologis yang membentuk praktik politik kontemporer.


Footnotes

[1]                François Furet, Interpreting the French Revolution, trans. Elborg Forster (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 24–26.

[2]                Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 11–13.

[3]                Roger Eatwell and Noël O'Sullivan, eds., The Nature of the Right: American and European Politics and Political Thought Since 1789 (London: Pinter, 1989), 5–7.

[4]                Seymour Martin Lipset and Gary Marks, It Didn't Happen Here: Why Socialism Failed in the United States (New York: W. W. Norton & Company, 2000), 16–18.

[5]                Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 47–50.


3.           Makna Umum dan Ciri Ideologis Kubu Kiri dan Kanan

Dalam perkembangan ilmu politik modern, istilah “kiri” dan “kanan” telah melampaui konteks posisi duduk di parlemen menjadi simbol bagi spektrum ideologi yang kompleks. Pembagian ini, meskipun tampak dikotomis, pada kenyataannya lebih bersifat spektral dan sering kali membentuk kontinum yang mencerminkan berbagai pandangan politik terhadap isu-isu seperti ekonomi, peran negara, keadilan sosial, hak individu, dan nilai-nilai budaya.

3.1.       Kubu Kiri: Egalitarianisme, Reformasi Sosial, dan Intervensi Negara

Secara umum, kubu kiri identik dengan pandangan yang menekankan pada egalitarianisme sosial, keadilan distributif, dan perubahan struktural guna mengatasi ketimpangan kekuasaan dan ekonomi. Kelompok ini mendorong intervensi aktif negara dalam bidang ekonomi dan sosial, termasuk redistribusi kekayaan, program kesejahteraan sosial, dan perlindungan terhadap kelompok rentan¹. Kaum kiri juga cenderung mendukung sekularisme, hak-hak minoritas, emansipasi gender, serta lingkungan hidup sebagai bagian dari komitmen terhadap kesetaraan dan kemajuan sosial².

Dalam sejarahnya, kubu kiri mencakup spektrum luas yang meliputi sosialisme, komunisme, sosial-demokrasi, hingga gerakan kiri baru (New Left) yang mengangkat isu-isu pasca-material seperti hak asasi manusia, feminisme, dan anti-globalisasi³. Meskipun pendekatan dan strategi berbeda-beda, kesamaan utama mereka adalah tekad untuk mengubah struktur sosial-ekonomi demi mewujudkan tatanan yang lebih adil dan setara.

3.2.       Kubu Kanan: Konservatisme, Kebebasan Ekonomi, dan Tatanan Sosial Tradisional

Sementara itu, kubu kanan secara umum diasosiasikan dengan konservatisme, yaitu pandangan yang menekankan pentingnya kelangsungan tatanan sosial tradisional, otoritas, dan nilai-nilai budaya yang mapan⁴. Kelompok kanan juga mendukung pasar bebas dan kebebasan individu dalam kegiatan ekonomi, serta menolak bentuk intervensi negara yang dianggap mengganggu mekanisme pasar dan tanggung jawab pribadi.

Kanan juga memiliki spektrum ideologis yang luas, mulai dari liberalisme klasik (yang menekankan kebebasan dan kepemilikan pribadi) hingga nasionalisme konservatif dan populisme kanan yang mengedepankan identitas budaya, agama, dan kedaulatan nasional sebagai respons terhadap globalisasi⁵. Dalam bentuk ekstremnya, kubu kanan dapat melahirkan fasisme atau gerakan ultranasionalis yang anti-demokrasi dan eksklusif secara etnis atau agama.

3.3.       Perbandingan Ciri Ideologis Kubu Kiri dan Kanan

3.3.1.    Pandangan Ekonomi

·                     Kiri:

Mendukung peran aktif negara dalam mengatur dan mengintervensi ekonomi.

Mendorong redistribusi kekayaan untuk mengurangi kesenjangan sosial.

Menekankan pentingnya pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan gratis.

·                     Kanan:

Menjunjung tinggi prinsip pasar bebas dan mekanisme ekonomi liberal.

Meminimalkan campur tangan negara dalam ekonomi.

Mengutamakan kepemilikan pribadi dan inisiatif individu sebagai motor kemajuan.

3.3.2.      Tujuan Sosial

·                     Kiri:

Berorientasi pada kesetaraan sosial dan penghapusan diskriminasi struktural.

Menekankan perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan.

Mendorong transformasi sosial yang progresif dan inklusif.

·                     Kanan:

Menjaga ketertiban dan stabilitas sosial sebagai prioritas utama.

Mendukung struktur sosial yang hierarkis dan berbasis nilai tradisional.

Memperkuat identitas nasional, keluarga, dan moralitas konservatif.

3.3.3.      Pandangan terhadap Negara

·                     Kiri:

Melihat negara sebagai alat untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi.

Negara dianggap bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan dasar warganya.

·                     Kanan:

Memposisikan negara sebagai penjaga hukum dan pelindung hak milik individu.

Mendorong pembatasan kekuasaan negara agar tidak menghambat kebebasan individu.

3.3.4.      Isu Budaya

·                     Kiri:

Mendorong sekularisme dan pluralisme dalam kehidupan berbangsa.

Mendukung hak-hak minoritas, kesetaraan gender, dan kebebasan berekspresi.

·                     Kanan:

Menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dan moralitas berbasis agama atau budaya lokal.

Cenderung menolak perubahan nilai budaya yang dianggap bertentangan dengan identitas nasional atau agama.

3.3.5.      Sikap terhadap Perubahan

·                     Kiri:

Bersifat progresif dan reformis, bahkan revolusioner jika perlu.

Percaya bahwa perubahan sosial yang radikal diperlukan untuk menciptakan keadilan.

·                     Kanan:

Bersifat konservatif dan restoratif, lebih memilih perubahan yang gradual.

Memandang sejarah dan tradisi sebagai fondasi yang perlu dijaga dari perubahan yang terlalu cepat.

3.4.       Konteks Dinamis dan Hibridisasi Ideologis

Penting dicatat bahwa batas antara kiri dan kanan tidak selalu bersifat absolut. Dalam praktiknya, banyak partai politik dan tokoh publik mengadopsi posisi campuran yang disebut sebagai sentrisme, atau bahkan menampilkan wajah yang berbeda dalam isu ekonomi dan sosial. Misalnya, seorang pemimpin mungkin mempromosikan kebijakan ekonomi kiri seperti subsidi sosial, sambil memegang nilai-nilai konservatif dalam isu agama dan budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman atas spektrum kiri-kanan harus dilakukan secara kontekstual dan multidimensional⁶.

Dengan demikian, makna umum dari istilah “kiri” dan “kanan” dalam politik tidak hanya merefleksikan perbedaan posisi dalam satu isu, tetapi mencerminkan pendekatan yang menyeluruh terhadap bagaimana masyarakat seharusnya diatur, sumber daya dibagi, dan nilai-nilai dikembangkan. Pemahaman yang tepat terhadap ciri-ciri masing-masing kubu akan memperkaya kemampuan masyarakat dalam membaca dinamika politik dan ideologi yang mempengaruhi kebijakan publik.


Footnotes

[1]                Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 50–53.

[2]                Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 23–26.

[3]                Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 84–86.

[4]                Roger Scruton, The Meaning of Conservatism, 3rd ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2006), 12–15.

[5]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 9–12.

[6]                Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 33–36.


4.           Evolusi Pemikiran Kiri dan Kanan dalam Konteks Sejarah Dunia

Pembelahan antara “kiri” dan “kanan” dalam politik tidak bersifat statis. Sejak kemunculannya dalam konteks Revolusi Prancis, spektrum ideologi ini telah mengalami transformasi yang signifikan seiring dengan dinamika sosial, ekonomi, dan politik global. Pemikiran kiri dan kanan berkembang mengikuti zaman—menyesuaikan dengan tantangan, tuntutan, serta sistem nilai masyarakat yang terus berubah.

4.1.       Abad ke-19: Konsolidasi Ideologi dan Lahirnya Gerakan Sosial

Pada abad ke-19, terminologi kiri dan kanan mulai terinstitusionalisasi dalam bentuk partai politik dan ideologi yang lebih sistematis. Di kubu kiri, muncul ideologi sosialisme dan komunisme sebagai tanggapan terhadap ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh Revolusi Industri. Pemikir seperti Karl Marx dan Friedrich Engels menegaskan bahwa konflik kelas merupakan motor sejarah, dan hanya dengan penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi, keadilan sosial dapat tercapai¹. Gerakan kiri dalam periode ini lebih bersifat radikal, menyerukan revolusi proletar sebagai jalan menuju masyarakat tanpa kelas.

Di sisi lain, kubu kanan berkembang dalam bentuk konservatisme yang berupaya mempertahankan tatanan sosial dan nilai-nilai tradisional, serta liberalisme klasik yang mengedepankan hak individu, kepemilikan pribadi, dan pasar bebas. Konservatisme, sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Burke, memandang perubahan sosial yang terlalu cepat sebagai ancaman terhadap stabilitas dan moralitas sosial².

4.2.       Abad ke-20 Awal: Polarisasi Ideologis dan Munculnya Ekstremisme

Pada awal abad ke-20, dunia menyaksikan polarisasi yang semakin tajam antara ideologi kiri dan kanan. Di sisi kiri, ideologi komunisme revolusioner mengambil bentuk konkret dalam Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia yang melahirkan Uni Soviet—sebuah negara yang secara eksplisit mengklaim diri sebagai representasi kekuatan proletariat. Komunisme kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Tiongkok, Kuba, dan Vietnam³.

Sebagai respons, muncul gerakan kanan ekstrem seperti fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman yang menggabungkan nasionalisme ultrakonservatif, anti-komunisme, rasisme, dan otoritarianisme. Kedua ideologi ekstrem ini menciptakan dua blok besar yang saling berhadapan dan berkontribusi pada pecahnya Perang Dunia II⁴.

4.3.       Era Perang Dingin: Bipolarisasi Global

Perang Dingin (1947–1991) menandai fase baru dalam evolusi kiri dan kanan, dengan dunia terbelah antara dua blok besar: Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dan menganut ideologi kiri-komunis, dan Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan menganut kapitalisme liberal. Persaingan ini tidak hanya bersifat militer dan diplomatik, tetapi juga ideologis. Di dunia Barat, “kiri” mulai diidentikkan dengan komunisme, meskipun sebenarnya spektrum kiri juga mencakup sosial-demokrasi yang berakar pada nilai-nilai demokrasi dan pluralisme⁵.

Dalam konteks ini, banyak negara Eropa mengembangkan negara kesejahteraan (welfare state) yang merupakan hasil sintesis antara prinsip pasar bebas dan intervensi negara. Sosial-demokrasi di Skandinavia menjadi contoh nyata dari gerakan kiri moderat yang berhasil mengurangi ketimpangan tanpa meninggalkan demokrasi parlementer.

4.4.       Era Pasca-Perang Dingin: Reorientasi dan Hibridisasi Ideologi

Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 menandai kebangkrutan model komunisme otoriter dan memberikan dorongan bagi transformasi ideologi kiri secara global. Banyak partai komunis beralih menjadi partai sosialis demokrat atau menempuh jalur reformis. Kiri baru pun muncul dengan fokus pada isu-isu pasca-material seperti lingkungan hidup, feminisme, hak-hak minoritas, dan anti-globalisasi⁶.

Di sisi kanan, muncul neo-liberalisme yang mendorong privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi pasar secara luas, dipopulerkan oleh tokoh-tokoh seperti Ronald Reagan dan Margaret Thatcher. Namun pada dasawarsa terakhir, muncul pula populisme kanan yang menekankan proteksionisme ekonomi, nasionalisme etno-kultural, serta resistensi terhadap imigrasi dan globalisasi.

4.5.       Abad ke-21: Fragmentasi dan Tantangan Baru

Pada abad ke-21, batas antara kiri dan kanan menjadi semakin kabur. Banyak partai politik mengadopsi posisi tengah atau pragmatis, mencampur elemen dari kedua sisi. Di saat yang sama, tantangan baru seperti krisis iklim, migrasi global, polarisasi digital, dan ketidaksetaraan ekonomi memunculkan formasi ideologis baru yang tidak selalu dapat dimasukkan dalam kerangka kiri-kanan tradisional⁷.

Beberapa pengamat seperti Chantal Mouffe menekankan perlunya revitalisasi kiri populis sebagai kekuatan tandingan terhadap dominasi kapitalisme global dan kebangkitan kanan radikal⁸. Sementara itu, para pemikir konservatif menyuarakan kekhawatiran bahwa modernitas liberal telah kehilangan akar moral dan kebudayaannya.


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 33–37.

[2]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London: Penguin Classics, 2004), 94–96.

[3]                Stephen Kotkin, Stalin: Volume I: Paradoxes of Power, 1878–1928 (New York: Penguin Press, 2014), 407–410.

[4]                Robert Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 21–24.

[5]                Tony Judt, Postwar: A History of Europe Since 1945 (New York: Penguin Press, 2005), 83–85.

[6]                Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 100–103.

[7]                Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 5–8.

[8]                Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 9–12.


5.           Spektrum Politik Kiri dan Kanan dalam Konteks Kontemporer

Memasuki abad ke-21, spektrum kiri dan kanan dalam politik mengalami redefinisi yang signifikan akibat dinamika globalisasi, transformasi teknologi, serta perubahan preferensi dan nilai-nilai masyarakat. Meskipun istilah “kiri” dan “kanan” tetap digunakan dalam wacana publik, batas-batas keduanya menjadi semakin kabur. Politik kontemporer tidak lagi ditentukan oleh garis ideologis tunggal, melainkan oleh beragam dimensi isu yang saling bersilangan: ekonomi, identitas, lingkungan, hingga otoritarianisme versus demokrasi.

5.1.       Kiri Baru: Isu Lingkungan, Kesetaraan, dan Politik Identitas

Di banyak negara, kubu kiri telah berevolusi dari perjuangan kelas tradisional menuju orientasi pasca-materialis, dengan menekankan hak asasi manusia, feminisme, keberagaman, serta perlindungan lingkungan hidup. Gerakan seperti Extinction Rebellion, Black Lives Matter, serta kampanye politik tokoh seperti Alexandria Ocasio-Cortez di AS dan Jeremy Corbyn di Inggris mencerminkan kiri progresif yang menggabungkan semangat sosialisme dengan tuntutan-tuntutan baru seperti keadilan iklim dan keadilan rasial¹.

Secara ekonomi, kiri kontemporer juga mengusulkan alternatif terhadap kapitalisme neoliberal, termasuk reformasi pajak progresif, perluasan program jaminan sosial, dan penguatan regulasi terhadap korporasi global. Dalam konteks ini, kiri populis—sebagaimana dikemukakan Chantal Mouffe—mencoba membentuk front rakyat yang demokratis untuk menandingi dominasi pasar dan elit politik².

Namun demikian, pendekatan ini kerap mendapat kritik karena dianggap terlalu fokus pada isu identitas dan terlalu bergantung pada narasi moral, sehingga kurang mampu membangun konsensus lintas kelas dan budaya³.

5.2.       Kanan Baru: Populisme, Nasionalisme, dan Reaksi terhadap Globalisasi

Di sisi lain, kubu kanan kontemporer mengalami kebangkitan melalui gerakan populisme kanan yang menentang globalisme, imigrasi, dan pluralisme budaya. Kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat (2016), keberhasilan Brexit di Inggris, dan popularitas partai-partai seperti Rassemblement National di Prancis atau Fidesz di Hungaria menunjukkan bahwa narasi kanan—terutama yang mengusung nasionalisme etno-kultural, proteksionisme ekonomi, dan skeptisisme terhadap institusi supranasional—menemukan resonansi luas di tengah keresahan masyarakat⁴.

Populisme kanan menyasar ketidakpuasan kelas menengah terhadap ketimpangan ekonomi, migrasi besar-besaran, serta alienasi budaya. Mereka mengklaim diri sebagai suara “rakyat sejati” melawan “elit korup” dan kerap mengeksploitasi simbol-simbol religius, patriotik, dan moral untuk memperkuat basis dukungan⁵. Namun, pendekatan ini juga dikritik karena sering kali menormalisasi ujaran kebencian, otoritarianisme, dan anti-demokrasi⁶.

5.3.       Politik Sentris dan Hibridisasi Ideologi

Di tengah polarisasi kiri dan kanan, banyak partai politik dan pemimpin kontemporer mengadopsi posisi tengah yang pragmatis dan menggabungkan unsur dari kedua kubu. Mereka memilih pendekatan moderat dalam ekonomi (seperti dukungan terhadap pasar yang dikombinasikan dengan jaminan sosial) dan kebijakan sosial yang inklusif namun berbasis nilai lokal.

Contohnya adalah Emmanuel Macron di Prancis yang membentuk partai La République En Marche! sebagai upaya untuk melampaui pembelahan ideologis tradisional. Di negara-negara Skandinavia, beberapa partai konservatif pun mendukung negara kesejahteraan, membuktikan bahwa batas kiri-kanan bisa cair tergantung pada konteks budaya dan sejarah⁷.

Model ini sering disebut sebagai bentuk post-ideological politics, di mana pragmatisme dan efisiensi administratif lebih diutamakan daripada konsistensi ideologis. Namun, pendekatan ini juga dikritik karena dianggap terlalu teknokratis dan kehilangan visi transformatif yang dibutuhkan dalam menjawab krisis global seperti perubahan iklim atau kesenjangan ekonomi⁸.

5.4.       Spektrum Baru: Dimensi Ganda dalam Politik Kontemporer

Untuk membaca spektrum politik hari ini, para ilmuwan politik merekomendasikan pendekatan multi-dimensi, bukan hanya kiri-kanan. Salah satu model populer adalah kompas politik (political compass), yang menggabungkan dua sumbu:

·                     Ekonomi (kiri–kanan): dari intervensi negara ke pasar bebas

·                     Otoritas (libertarian–otoritarian): dari kebebasan individu ke kendali negara

Model ini lebih akurat dalam menangkap posisi ideologis aktor politik, seperti membedakan antara kiri-libertarian (misalnya, partai hijau progresif) dan kanan-otoritarian (misalnya, partai nasionalis populis)⁹.


Footnotes

[1]                Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 105–108.

[2]                Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 26–29.

[3]                Nancy Fraser, “The Old Is Dying and the New Cannot Be Born,” Verso Blog, May 30, 2017, https://www.versobooks.com/blogs/3285-the-old-is-dying-and-the-new-cannot-be-born.

[4]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 14–17.

[5]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 19–23.

[6]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 38–41.

[7]                Tony Judt, Ill Fares the Land (New York: Penguin Press, 2010), 91–94.

[8]                Colin Crouch, Post-Democracy (Cambridge: Polity Press, 2004), 70–74.

[9]                Political Compass Organisation, “About the Political Compass,” accessed May 20, 2025, https://www.politicalcompass.org/about.


6.           Istilah Kiri dan Kanan dalam Politik Indonesia

Penggunaan istilah “kiri” dan “kanan” dalam politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah nasional yang unik dan kompleks. Berbeda dengan perkembangan di Eropa yang ditandai oleh tradisi parlementer yang konsisten dan formasi ideologis yang relatif terlembaga, di Indonesia, istilah kiri dan kanan berkembang secara dinamis, sering kali sarat dengan konotasi ideologis, kultural, bahkan traumatis. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap spektrum politik ini dalam konteks Indonesia harus mempertimbangkan faktor sejarah, politik identitas, serta dampak dari represi negara terhadap wacana ideologis tertentu.

6.1.       Awal Perkembangan: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

Pada masa pergerakan nasional awal abad ke-20, belum dikenal pembelahan politik yang secara eksplisit disebut sebagai kiri atau kanan. Namun demikian, diversifikasi ideologi sudah mulai tampak melalui kemunculan tiga kekuatan besar:

·                     Nasionalisme sekuler, yang diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan tokoh seperti Sukarno.

·                     Islamisme, yang muncul dalam bentuk Sarekat Islam dan kemudian Masyumi.

·                     Marxisme atau sosialisme, yang dianut oleh organisasi seperti PKI (Partai Komunis Indonesia) dan SI Merah¹.

Dalam kerangka ini, PKI dapat dikategorikan sebagai kiri karena komitmennya terhadap perjuangan kelas dan keadilan sosial berbasis Marxisme-Leninisme, sedangkan Masyumi dan kelompok Islam konservatif lebih sering diposisikan sebagai kanan karena penekanannya pada nilai-nilai moral dan religius, serta keterikatan dengan struktur sosial tradisional².

6.2.       Orde Lama: Dominasi dan Konflik Ideologis

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965), istilah “kiri” menjadi sangat menonjol karena dominasi PKI dalam lanskap politik nasional. Sukarno sendiri menyatakan dukungan terhadap poros Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), sebuah upaya untuk merangkul tiga kekuatan ideologis utama dalam satu format kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, PKI mendapatkan pengaruh yang sangat besar, baik dalam lembaga-lembaga negara maupun organisasi massa³.

Situasi ini menimbulkan ketegangan antara kubu kiri (PKI dan sekutunya) dengan kelompok Islam dan militer yang lebih konservatif (kanan). Ketegangan ini mencapai puncaknya pada peristiwa G30S 1965, yang kemudian disusul oleh pembantaian massal terhadap anggota atau simpatisan PKI. Peristiwa ini menandai titik balik dalam sejarah politik Indonesia dan mengakibatkan stigmatisasi total terhadap istilah “kiri” yang identik dengan komunisme dan ateisme⁴.

6.3.       Orde Baru: Pembekuan Wacana Kiri

Selama masa Orde Baru (1966–1998), negara secara sistematis membekukan segala bentuk ekspresi kiri melalui kebijakan represif dan propaganda anti-komunis. Label “kiri” menjadi sinonim dengan ancaman terhadap negara, dan siapa pun yang dicurigai memiliki afiliasi dengan ideologi Marxis akan menghadapi diskriminasi politik, sosial, bahkan kekerasan fisik. Wacana kiri tidak hanya dilarang, tetapi juga demonisasi secara struktural, terutama melalui kurikulum pendidikan, media massa, dan regulasi politik⁵.

Sebaliknya, rezim Orde Baru mengukuhkan diri dalam posisi kanan konservatif: mendukung kapitalisme negara, militerisme, moralitas tradisional, dan sentralisasi kekuasaan. Dalam konteks ini, spektrum politik menjadi timpang—kiri dilumpuhkan, sementara kanan dilembagakan sebagai norma⁶.

6.4.       Era Reformasi: Rehabilitasi Wacana, tetapi Bukan Ideologi

Pasca jatuhnya Orde Baru, iklim demokrasi membuka ruang bagi rehabilitasi sejarah dan narasi-narasi alternatif, termasuk kajian kritis terhadap gerakan kiri dan ideologi sosialisme. Diskursus kiri mulai masuk ke ranah akademik, seni, dan gerakan masyarakat sipil. Namun demikian, penyebutan istilah “kiri” tetap sensitif, dan partai-partai politik arus utama umumnya menghindari identifikasi ideologis yang eksplisit karena trauma sejarah dan ketakutan terhadap stigma lama⁷.

Di sisi lain, wacana kanan tetap eksis, terutama dalam bentuk populisme berbasis agama dan identitas etno-kultural. Fenomena polarisasi seperti dalam Pemilu 2014 dan 2019 menunjukkan kecenderungan meningkatnya politik identitas yang menghidupkan kembali dikotomi lama dalam bentuk baru—kali ini bukan sekadar kiri-kanan dalam arti klasik, melainkan antara nasionalisme pluralis versus konservatisme eksklusif⁸.

6.5.       Pembacaan Kritis: Perlu Dekonstruksi Spektrum Lama

Dalam konteks Indonesia kontemporer, pembacaan terhadap istilah kiri dan kanan perlu dilakukan secara kritis dan kontekstual. Pertama, spektrum ideologis Indonesia tidak dapat dipetakan secara langsung ke dalam model kiri-kanan Eropa. Kedua, banyak aktor politik bersikap pragmatis dan tidak memiliki komitmen ideologis yang konsisten. Ketiga, masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh narasi historis Orde Baru yang memanipulasi istilah kiri untuk kepentingan kekuasaan.

Untuk itu, pemetaan ideologi politik di Indonesia sebaiknya memperhatikan faktor-faktor lokal, seperti:

·                     Posisi terhadap pluralisme dan toleransi beragama.

·                     Sikap terhadap ekonomi kerakyatan versus oligarki.

·                     Orientasi pada demokrasi substantif versus otoritarianisme populis.

Hanya dengan pendekatan kontekstual dan reflektif, istilah “kiri” dan “kanan” dapat difungsikan secara konstruktif dalam analisis politik Indonesia.


Footnotes

[1]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 17–22.

[2]                Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 243–245.

[3]                Rex Mortimer, Indonesian Communism under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1974), 84–88.

[4]                Robert Cribb, “The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali,” in Monash Papers on Southeast Asia, no. 21 (Clayton: Monash University, 1990), 9–12.

[5]                Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 50–54.

[6]                Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), 33–35.

[7]                Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 123–125.

[8]                Marcus Mietzner, “Populist Anti-Islamic or Anti-Pluralist? Explaining the Rise of Identity Politics in Contemporary Indonesia,” Contemporary Southeast Asia 41, no. 1 (2019): 28–29.


7.           Kritik terhadap Penggunaan Dikotomis: Apakah Masih Relevan?

Meskipun istilah “kiri” dan “kanan” telah lama menjadi alat klasifikasi dalam studi dan praktik politik, dalam konteks kontemporer semakin banyak kritik yang mempertanyakan relevansi dan kecukupan kerangka dikotomis ini. Kritik-kritik tersebut muncul dari kalangan ilmuwan politik, pengamat sosial, serta aktivis yang melihat bahwa spektrum kiri–kanan sering kali menyederhanakan realitas politik yang kompleks, dinamis, dan multidimensional.

7.1.       Reduksionisme Ideologis

Salah satu kritik utama terhadap pembelahan kiri dan kanan adalah bahwa ia bersifat reduksionis—yaitu memaksakan kerangka biner atas keragaman pandangan politik yang sesungguhnya tidak selalu berseberangan secara tegas. Dalam dunia nyata, banyak aktor dan partai politik yang memegang posisi campuran atau inkonsisten: mereka bisa progresif dalam isu ekonomi namun konservatif dalam isu budaya, atau sebaliknya. Dalam kasus ini, kategorisasi kiri–kanan gagal menangkap kompleksitas ideologis secara utuh¹.

Contohnya dapat dilihat pada gerakan hijau (green politics), yang tidak selalu cocok masuk dalam kategori kiri (karena menolak modernitas industri) maupun kanan (karena mendukung regulasi lingkungan yang ketat). Posisi mereka lebih tepat ditempatkan dalam dimensi baru seperti ekologi versus eksploitatif, yang tidak ditangkap oleh spektrum tradisional².

7.2.       Konteks Budaya dan Geografis yang Berbeda

Model kiri–kanan berasal dari konteks sejarah Eropa, terutama Revolusi Prancis. Namun ketika dipaksakan ke konteks negara-negara non-Barat, pembagian ini bisa menjadi tidak relevan atau menyesatkan. Di banyak negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, formasi ideologis berkembang berdasarkan sejarah kolonialisme, tradisi lokal, dan pengalaman nasional yang berbeda, sehingga tidak bisa sepenuhnya diserap ke dalam dikotomi kiri–kanan³.

Sebagai contoh, dalam politik Indonesia, posisi partai atau tokoh tidak selalu konsisten dengan garis kiri–kanan sebagaimana dipahami dalam literatur Barat. Partai-partai besar cenderung pragmatis, menghindari identifikasi ideologis secara eksplisit, dan lebih memilih strategi populis atau berbasis patronase⁴.

7.3.       Munculnya Dimensi Baru dalam Politik

Kritik juga muncul karena spektrum kiri–kanan gagal menjelaskan fenomena-fenomena baru dalam politik abad ke-21. Isu-isu seperti krisis iklim, teknologi digital, data privasi, bioetika, dan globalisasi tidak selalu beririsan dengan posisi kiri atau kanan. Banyak dari isu ini menciptakan poros baru dalam politik global, seperti:

·                     Kosmopolitanisme vs. Nasionalisme

·                     Globalisme vs. Proteksionisme

·                     Libertarianisme digital vs. Kontrol negara atas informasi

Model seperti Political Compass dan Inglehart-Welzel World Values Map berusaha menangkap keragaman ini dengan menghadirkan dimensi ideologis ganda, yaitu sumbu ekonomi (kiri–kanan) dan sumbu otoritarianisme–libertarianisme⁵. Model ini dianggap lebih representatif karena dapat memetakan posisi ideologi secara interaktif dan fleksibel.

7.4.       Alat Retoris, Bukan Analisis Substantif

Dalam praktik politik sehari-hari, istilah kiri dan kanan sering digunakan sebagai label retoris, bukan sebagai kategori analitis yang ilmiah. Ia kerap menjadi alat delegitimasi—“kiri” diasosiasikan dengan radikalisme atau ateisme, “kanan” dikaitkan dengan otoritarianisme atau anti-perubahan. Akibatnya, penggunaan istilah ini mendorong polarisasi dan memperkeruh wacana publik, alih-alih memperjelas posisi politik secara substantif⁶.

Kondisi ini diperparah oleh media sosial, yang mendorong penyebaran narasi politik yang simplistik dan emosional. Ketimbang mendorong diskusi berbasis ide dan nilai, dikotomi kiri–kanan sering kali digunakan untuk memproduksi identitas kelompok dan memperkuat bias konfirmasi⁷.

7.5.       Alternatif: Pendekatan Multidimensi dan Kontekstual

Sebagai respons terhadap keterbatasan tersebut, sejumlah ilmuwan dan praktisi menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih multidimensi, kontekstual, dan historis dalam membaca peta politik. Ini mencakup:

·                     Analisis kebijakan per isu, bukan berdasarkan spektrum ideologis.

·                     Studi konteks lokal, termasuk nilai budaya, agama, dan pengalaman historis.

·                     Pemetaan kuadran politik berbasis survei nilai dan perilaku pemilih.

Dengan pendekatan semacam ini, pemahaman politik tidak lagi bergantung pada dikotomi lama yang tidak lagi relevan, tetapi dibangun atas basis empiris dan reflektif.


Footnotes

[1]                Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 44–47.

[2]                Michael Dobson and Ronald H. Tuschl, Green Politics: Dictatorship or Democracy? (Aldershot: Avebury, 1993), 9–12.

[3]                Chua Beng Huat, Communitarian Ideology and Democracy in Singapore (London: Routledge, 1995), 4–5.

[4]                Edward Aspinall and Marcus Mietzner, Indonesian Politics in Transition: Policy, Patronage, and Public Opinion (Singapore: ISEAS Publishing, 2010), 22–24.

[5]                Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy: The Human Development Sequence (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 61–63.

[6]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 43–46.

[7]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 72–74.


8.           Kesimpulan

Istilah “kiri” dan “kanan” dalam politik, meskipun berasal dari konteks historis yang sangat spesifik—yakni posisi duduk dalam Majelis Nasional Prancis pasca-Revolusi 1789—telah mengalami perjalanan panjang dan transformasi makna yang kompleks dalam lintas waktu dan ruang. Dari simbol posisi fisik menjadi simbol ideologis, spektrum ini berkembang menjadi peta kognitif bagi masyarakat dalam memahami posisi politik, kebijakan publik, dan identitas kolektif suatu gerakan atau partai¹.

Dalam perjalanannya, kubu kiri secara umum diasosiasikan dengan gagasan progresivisme, keadilan sosial, dan intervensi negara dalam ekonomi, sedangkan kubu kanan lebih menekankan konservatisme, kebebasan individu dalam pasar, dan pelestarian nilai-nilai tradisional². Namun, klasifikasi ini bukanlah kategori yang absolut atau tetap. Ia terus bertransformasi mengikuti dinamika zaman, seperti terlihat pada kemunculan kiri baru yang menekankan hak-hak minoritas dan keadilan iklim, atau kanan baru yang mengusung populisme nasionalis dan kritik terhadap globalisasi³.

Dalam konteks Indonesia, penggunaan istilah kiri dan kanan memiliki bobot historis yang sangat besar dan traumatik, terutama karena peristiwa 1965 dan represi ideologis selama Orde Baru, yang menjadikan “kiri” sinonim dengan bahaya dan pengkhianatan terhadap negara⁴. Setelah era Reformasi, wacana kiri secara perlahan mulai dipulihkan, meskipun tetap menghadapi hambatan psikologis dan kultural. Di sisi lain, politik kanan tampil dalam berbagai bentuk, mulai dari konservatisme agama hingga populisme berbasis identitas.

Seiring dengan meningkatnya kompleksitas isu global—seperti krisis iklim, disrupsi teknologi, dan migrasi transnasional—pembelahan kiri dan kanan semakin tidak mencukupi untuk menjelaskan realitas politik yang penuh nuansa. Para ilmuwan dan pengamat politik kini banyak menganjurkan model analisis multi-dimensi, seperti penggunaan dua sumbu (ekonomi dan otoritas) atau pemetaan berbasis nilai budaya, untuk menggantikan model biner yang cenderung menyederhanakan persoalan⁵.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap istilah kiri dan kanan perlu dilakukan secara kritis, historis, dan kontekstual. Istilah ini tetap berguna sebagai alat bantu awal dalam membaca peta ideologis, tetapi tidak boleh dijadikan satu-satunya tolok ukur dalam menilai orientasi politik seseorang atau kelompok. Alih-alih memperkuat polarisasi atau stereotip, pemahaman yang cermat terhadap dinamika spektrum politik dapat memperluas wawasan demokratis masyarakat dan memperdalam kualitas dialog politik publik⁶.

Dalam dunia yang semakin kompleks, literasi ideologis semacam ini bukan hanya kebutuhan akademik, melainkan tuntutan kewarganegaraan yang bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                François Furet, Interpreting the French Revolution, trans. Elborg Forster (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 24–25.

[2]                Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 6th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2017), 50–55.

[3]                Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 17–20.

[4]                Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 47–54.

[5]                Ronald Inglehart and Pippa Norris, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 38–41.

[6]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 29–31.


Daftar Pustaka

Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Indonesian politics in transition: Policy, patronage, and public opinion. ISEAS Publishing.

Burke, E. (2004). Reflections on the revolution in France (L. G. Mitchell, Ed.). Penguin Classics. (Asli diterbitkan tahun 1790)

Chua, B. H. (1995). Communitarian ideology and democracy in Singapore. Routledge.

Cribb, R. (Ed.). (1990). The Indonesian killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Monash Papers on Southeast Asia No. 21). Monash University.

Crouch, C. (2004). Post-democracy. Polity Press.

Dobson, M., & Tuschl, R. H. (1993). Green politics: Dictatorship or democracy? Avebury.

Feith, H. (1962). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Cornell University Press.

Furet, F. (1981). Interpreting the French Revolution (E. Forster, Trans.). Cambridge University Press.

Harsono, A. (2010). Agama saya adalah jurnalisme. Penerbit Buku Kompas.

Heywood, A. (2017). Political ideologies: An introduction (6th ed.). Palgrave Macmillan.

Heryanto, A. (2006). State terrorism and political identity in Indonesia: Fatally belonging. Routledge.

Inglehart, R., & Norris, P. (2019). Cultural backlash: Trump, Brexit, and authoritarian populism. Cambridge University Press.

Inglehart, R., & Welzel, C. (2005). Modernization, cultural change, and democracy: The human development sequence. Cambridge University Press.

Judt, T. (2005). Postwar: A history of Europe since 1945. Penguin Press.

Judt, T. (2010). Ill fares the land. Penguin Press.

Kotkin, S. (2014). Stalin: Volume I: Paradoxes of power, 1878–1928. Penguin Press.

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics. (Karya asli diterbitkan 1848)

McVey, R. T. (1965). The rise of Indonesian communism. Cornell University Press.

Mietzner, M. (2019). Populist anti-Islamic or anti-pluralist? Explaining the rise of identity politics in contemporary Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 41(1), 24–49. https://doi.org/10.1355/cs41-1d

Mortimer, R. (1974). Indonesian communism under Sukarno: Ideology and politics, 1959–1965. Cornell University Press.

Mouffe, C. (2018). For a left populism. Verso.

Mudde, C. (2019). The far right today. Polity Press.

Müller, J.-W. (2016). What is populism? University of Pennsylvania Press.

Newman, M. (2005). Socialism: A very short introduction. Oxford University Press.

Paxton, R. (2004). The anatomy of fascism. Alfred A. Knopf.

Political Compass Organisation. (2025). About the political compass. Retrieved May 20, 2025, from https://www.politicalcompass.org/about

Scruton, R. (2006). The meaning of conservatism (3rd ed.). Palgrave Macmillan.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Verso Books. (2017, May 30). The old is dying and the new cannot be born [Blog post by Nancy Fraser]. https://www.versobooks.com/blogs/3285-the-old-is-dying-and-the-new-cannot-be-born


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar