Teori Empat Penyebab
Telaah Filsafat Kausalitas Aristoteles
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori
Empat Penyebab (causa materialis, causa formalis, causa efficiens, dan causa
finalis) dalam pemikiran Aristoteles sebagai kerangka filosofis yang
integral dalam memahami realitas dan perubahan. Teori ini tidak hanya berperan
dalam menjelaskan struktur dan dinamika keberadaan, tetapi juga mendasari
bangunan ontologi, kosmologi, dan epistemologi Aristoteles. Melalui pembahasan
yang mencakup konteks historis, penjabaran konseptual, aplikasi dalam alam dan
seni, serta relevansinya di berbagai disiplin kontemporer seperti biologi,
teknologi, dan etika, artikel ini menunjukkan bahwa kerangka kausal
Aristotelian memiliki daya tahan filosofis yang signifikan. Kendati mendapat
kritik tajam dari pemikir modern seperti Descartes dan Hume, serta tantangan
dari pendekatan empiris dan mekanistik dalam sains, teori ini tetap relevan dan
bahkan mengalami rehabilitasi dalam diskursus interdisipliner kontemporer.
Penutup artikel ini menegaskan bahwa teori Empat Penyebab bukan hanya instrumen
penjelas, melainkan kerangka ontologis dan eksistensial yang kaya untuk
menyatukan pemahaman antara hakikat, sebab, dan tujuan dalam menjelaskan dunia.
Kata Kunci: Aristoteles, kausalitas, Empat Penyebab, ontologi,
teleologi, filsafat ilmu, penyebab final, struktur realitas, kritik modern,
aplikasi interdisipliner.
PEMBAHASAN
Menyingkap Realitas Melalui Empat Penyebab
1.
Pendahuluan
Dalam lintasan
sejarah filsafat, persoalan tentang mengapa sesuatu terjadi menjadi
salah satu tema mendasar yang mendorong kelahiran berbagai sistem pemikiran.
Para filsuf Yunani kuno, seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos, telah
berusaha menjelaskan asal-usul alam semesta melalui prinsip-prinsip dasar
seperti air, apeiron, dan api. Namun, pertanyaan mengenai penyebab
suatu peristiwa atau entitas tidak mencapai elaborasi sistematis hingga
munculnya Aristoteles (384–322 SM), yang memperkenalkan konsep revolusioner
tentang empat jenis penyebab dalam menjelaskan eksistensi dan perubahan di
dunia nyata1.
Teori Empat
Penyebab (Greek: aitiai) yang diajukan oleh
Aristoteles tidak hanya menawarkan kerangka kausalitas yang holistik, tetapi
juga menjadi dasar ontologi yang membedakan dirinya dari pendahulunya, terutama
Plato. Jika Plato berupaya menjelaskan realitas melalui dunia ide yang tetap
dan abadi, Aristoteles justru menekankan pentingnya memahami dunia konkret melalui
analisis kausal terhadap materi (bahan), bentuk (struktur), agen (penyebab
aktif), dan tujuan (tujuan akhir atau maksud keberadaan)2. Dalam Physics
dan Metaphysics,
Aristoteles menjelaskan bahwa untuk memahami suatu hal secara menyeluruh, kita
harus mengetahui keempat penyebab tersebut, bukan hanya satu aspek saja3.
Konsep ini tidak
hanya merevolusi cara berpikir dalam filsafat alam dan metafisika, tetapi juga
memberikan pengaruh besar pada perkembangan ilmu pengetahuan, teologi, dan
logika selama berabad-abad. Dalam pemikiran skolastik, terutama melalui
pemikiran Thomas Aquinas, teori empat penyebab dijadikan landasan dalam
memahami hubungan antara makhluk dan Tuhan sebagai causa prima atau penyebab pertama4.
Bahkan dalam konteks kontemporer, model kausalitas Aristotelian tetap relevan
dalam diskusi-diskusi filsafat ilmu, etika terapan, hingga teori sistem dalam
teknologi dan kecerdasan buatan5.
Pendahuluan ini
bertujuan untuk mengantarkan pembaca pada kerangka berpikir Aristoteles
mengenai realitas dan perubahan melalui empat jenis penyebab yang saling
melengkapi. Pemahaman terhadap konsep ini menjadi krusial tidak hanya untuk
memahami struktur dasar filsafat Aristoteles, tetapi juga untuk menilai
bagaimana konsep kausalitas terus bergema dalam wacana intelektual hingga era
modern.
Footnotes
[1]
Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on
Aristotle’s Theory (London: Duckworth, 1980), 12–15.
[2]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 48–51.
[3]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), II.3, 194b16–195a2.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3; lihat pula
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 115–118.
[5]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 27–30.
2.
Konteks Historis dan Epistemologis Pemikiran
Aristoteles
Untuk memahami
secara utuh teori Empat Penyebab Aristoteles, penting terlebih dahulu mengkaji
latar historis dan epistemologis dari mana teori ini muncul. Aristoteles hidup
pada masa ketika filsafat Yunani telah mengalami perkembangan pesat sejak masa
pra-Sokratik hingga puncaknya dalam filsafat Plato. Pemikiran filsafat pada
masa itu sangat dipengaruhi oleh upaya untuk menjawab pertanyaan mendasar
tentang arkhē
(asal mula) dan prinsip perubahan di alam semesta1.
Para filsuf
pra-Sokratik seperti Thales, Anaximenes, dan Herakleitos mencoba menjelaskan
perubahan dunia dengan satu prinsip dasar materi (monisme), seperti air, udara,
atau api. Namun, mereka umumnya gagal memberikan penjelasan menyeluruh karena
terlalu menekankan aspek material tanpa memperhitungkan struktur formal,
penyebab efisien, atau tujuan akhir dari suatu fenomena2.
Demokritos, misalnya, mengembangkan teori atomisme yang materialistik dan
mekanistik, tetapi mengabaikan pertimbangan bentuk dan tujuan.
Sebagai murid Plato,
Aristoteles mengadopsi sekaligus mengkritik pandangan gurunya. Plato membedakan
antara dunia indrawi yang tidak sempurna dan dunia ide yang sempurna dan abadi,
di mana bentuk-bentuk ideal dari segala sesuatu berada. Namun, Aristoteles
menolak dikotomi ini. Ia menganggap bahwa bentuk (form) tidak berada di dunia
terpisah, melainkan melekat pada benda-benda konkret dalam dunia nyata. Di
sinilah Aristoteles mengusulkan pendekatan yang imanen terhadap realitas dengan
menyatukan bentuk dan materi dalam setiap eksistensi3.
Epistemologisnya,
Aristoteles menekankan pendekatan empiris dan deduktif. Ia memandang
pengetahuan sebagai hasil dari pengamatan terhadap kenyataan dan penalaran
logis terhadap fakta-fakta tersebut. Dalam sistem pengetahuan Aristoteles,
penyelidikan terhadap sebab-sebab menjadi krusial karena menurutnya, untuk
mengetahui sesuatu adalah mengetahui sebabnya (Greek: to
eidenai ti aitia estin)4. Oleh karena itu, teori Empat
Penyebab lahir sebagai hasil dari pendekatan sistematis yang menyatukan
pengamatan empiris dan analisis metafisis dalam kerangka rasional yang kokoh.
Dalam Metaphysics
dan Posterior
Analytics, Aristoteles mengembangkan kerangka kerja ilmiah (epistēmē)
berdasarkan prinsip pertama (archai), silogisme, dan penjelasan
kausal. Hal ini membentuk dasar bagi struktur ilmu pengetahuan Aristotelian
yang menggabungkan antara sebab formal dan final dalam memahami alam semesta
secara rasional dan sistematis5. Oleh karena itu, teori Empat Penyebab
bukan sekadar konsep metafisik, melainkan juga fondasi metodologis bagi segala
pengetahuan ilmiah dalam sistem filsafat Aristoteles.
Dengan demikian,
teori Empat Penyebab Aristoteles muncul sebagai respons kritis terhadap
pemikiran sebelumnya dan sebagai upaya untuk mengintegrasikan aspek-aspek
penting dari realitas dalam satu kesatuan penjelasan. Teori ini tidak hanya
mengisi kekosongan dalam model-model kausal pra-Sokratik, tetapi juga
memberikan struktur yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang pengetahuan,
dari biologi hingga etika.
Footnotes
[1]
G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to Aristotle (New
York: Norton, 1970), 25–27.
[2]
Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of
Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006),
109–112.
[3]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 41–45.
[4]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), Book II, 90a–90b.
[5]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 54–56.
3.
Penjelasan Mendasar tentang Empat Jenis
Penyebab
Dalam sistem filsafatnya,
Aristoteles menjelaskan bahwa untuk memahami sepenuhnya eksistensi atau
perubahan sesuatu, seseorang harus mengetahui empat jenis penyebab atau aitiai.
Dalam Physics
II.3, ia menyatakan bahwa “kita tidak berpikir bahwa kita tahu sesuatu
sampai kita memahami penyebabnya”1. Keempat penyebab ini
bukanlah alternatif satu sama lain, melainkan saling melengkapi dalam
memberikan gambaran utuh tentang mengapa sesuatu itu ada atau terjadi.
Aristoteles menyebutnya sebagai: penyebab material (causa materialis), penyebab formal
(causa
formalis), penyebab efisien (causa efficiens), dan penyebab
final (causa
finalis).
3.1.
Penyebab Material
(Causa Materialis)
Penyebab material
merujuk pada bahan dasar dari mana sesuatu dibuat. Ini adalah substratum yang
menerima bentuk dan memungkinkan eksistensi aktual dari suatu objek. Misalnya,
marmer adalah penyebab material dari patung; kayu adalah penyebab material dari
meja. Menurut Aristoteles, materi adalah potensi yang mewujud ketika diberi
bentuk2.
Materi itu sendiri
tidak memiliki bentuk aktual, tetapi bersifat pasif dan membutuhkan bentuk
untuk menjadi sesuatu yang tertentu. Dalam Metaphysics, Aristoteles menyebut
materi sebagai elemen potensial dalam perubahan: “Materi adalah itu yang
sendiri bukan sesuatu secara aktual, tetapi dapat menjadi sesuatu”3.
3.2.
Penyebab Formal
(Causa Formalis)
Penyebab formal
adalah struktur, bentuk, atau esensi yang membuat sesuatu menjadi apa adanya.
Ini adalah jawaban atas pertanyaan: apa itu? Misalnya, bentuk lingkaran
adalah penyebab formal dari roda. Bentuk ini bukan hanya tampilan luar, tetapi
mencakup prinsip internal dan hakikat suatu entitas.
Bagi Aristoteles,
bentuk adalah aspek yang mengaktualkan potensi materi dan menjadikannya
realitas konkret. Dalam konteks makhluk hidup, bentuk ini identik dengan jiwa
sebagai prinsip penggerak dan pengorganisasi tubuh4. Oleh karena
itu, penyebab formal memainkan peran sentral dalam menjelaskan substansi dan
identitas esensial.
3.3.
Penyebab Efisien
(Causa Efficiens)
Penyebab efisien
adalah agen atau kekuatan yang menyebabkan perubahan atau permulaan eksistensi
sesuatu. Dalam contoh pembuatan patung, sang pematung adalah penyebab efisien.
Dalam konteks alami, seperti tumbuhnya tanaman, benih dan sinar matahari dapat
dianggap sebagai penyebab efisien pertumbuhannya.
Aristoteles
menggunakan istilah arkhē kinēseōs (prinsip gerakan)
untuk menunjukkan bahwa penyebab efisien bertanggung jawab atas awal mula
gerakan atau perubahan5. Konsep ini sangat berpengaruh dalam tradisi
filsafat Islam dan skolastik, yang kemudian mengaitkannya dengan Tuhan sebagai Unmoved
Mover atau penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh apa pun6.
3.4.
Penyebab Final
(Causa Finalis)
Penyebab final
adalah tujuan atau alasan akhir dari suatu entitas atau tindakan. Ini menjawab pertanyaan:
untuk
apa sesuatu itu ada? Misalnya, tujuan akhir dari pisau adalah untuk
memotong; tujuan akhir dari pendidikan adalah pencapaian pengetahuan dan
kebajikan.
Penyebab final
menjadi sangat khas dalam filsafat Aristoteles karena menandai pergeseran dari
kausalitas mekanistik ke kausalitas teleologis. Dalam dunia alam, segala
sesuatu memiliki arah atau kecenderungan menuju realisasinya yang sempurna,
yang disebut entelecheia7.
Aristoteles bahkan menggunakan prinsip finalitas ini dalam kosmologinya,
menyatakan bahwa gerakan langit dipicu oleh daya tarik terhadap penyebab akhir,
yaitu Tuhan sebagai prima causa finalis8.
Keempat penyebab ini
bukanlah elemen yang berdiri sendiri, tetapi membentuk satu kesatuan penjelasan
yang menyeluruh. Ketika menjelaskan entitas seperti rumah, kita membutuhkan
semua penyebab: batu bata dan kayu sebagai bahan (material), rencana arsitektur
sebagai bentuk (formal), tukang sebagai pelaku pembangunan (efisien), dan
fungsi rumah sebagai tempat tinggal (final). Aristoteles menolak pandangan
bahwa satu jenis penyebab saja cukup untuk menjelaskan eksistensi sesuatu, dan
menekankan perlunya sintesis antara keempatnya untuk menghasilkan pemahaman
ilmiah dan filosofis yang lengkap9.
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), II.3, 194b16–20.
[2]
Edward Feser, Aristotle's Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 33–35.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), VII.3, 1029a.
[4]
Martha C. Nussbaum, Aristotle’s De Motu Animalium (Princeton:
Princeton University Press, 1978), 102–106.
[5]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 54–56.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.13; Etienne
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1956), 142–144.
[7]
Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on
Aristotle’s Theory (London: Duckworth, 1980), 115–118.
[8]
Aristotle, Metaphysics, XII.7, 1072b; cf. Edward Feser, Five
Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017),
77–80.
[9]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 63–65.
4.
Aplikasi Konseptual Empat Penyebab: Studi Kasus
dalam Alam dan Seni
Teori Empat Penyebab
Aristoteles tidak hanya bersifat abstrak atau spekulatif, melainkan berakar
kuat pada realitas konkret. Dalam karya-karyanya, Aristoteles secara eksplisit
menerapkan keempat jenis penyebab dalam analisis fenomena alam (physis)
maupun benda-benda hasil buatan manusia (techne). Ia meyakini bahwa hanya
dengan memahami keempat aspek penyebab ini secara simultan, seseorang dapat
memperoleh pengetahuan utuh mengenai sesuatu—baik dalam wujudnya, asal usulnya,
maupun tujuannya1.
4.1.
Studi Kasus dalam
Alam: Pertumbuhan Pohon dan Biologi Makhluk Hidup
Dalam konteks alam,
Aristoteles sangat tertarik pada proses biologis seperti pertumbuhan,
reproduksi, dan perubahan bentuk pada makhluk hidup. Ambillah contoh pohon.
Pohon tumbuh dari biji sebagai bahan awal; inilah penyebab
material. Struktur pohon—akar, batang, daun—merupakan penyebab
formal, yang menentukan wujud khas pohon sebagai organisme
jenis tertentu2.
Sinar matahari, air,
tanah, serta proses biologis seperti fotosintesis menjadi penyebab
efisien, yaitu kekuatan-kekuatan yang secara aktual menyebabkan
terjadinya pertumbuhan. Sementara itu, penyebab final adalah tujuan
dari pertumbuhan itu sendiri: pohon tumbuh untuk mencapai bentuk dewasanya dan
mereproduksi, yakni mencapai telos-nya sebagai pohon utuh yang
menghasilkan buah dan benih baru3.
Dalam De Anima
dan Historia
Animalium, Aristoteles menekankan bahwa organisme hidup tidak hanya
dipahami melalui penyebab fisik, tetapi juga dari tujuan inheren yang mendasari
eksistensinya. Hal ini menjadikan pendekatannya berbeda dari reduksionisme
mekanistik dan tetap relevan dalam teori-teori teleologis dalam biologi
kontemporer4.
4.2.
Studi Kasus dalam
Seni: Pembuatan Patung dan Bangunan
Dalam dunia seni dan
teknik (techne),
keempat penyebab juga dapat dijelaskan dengan jelas. Misalnya, dalam proses
pembuatan patung, penyebab material adalah bahan
mentah seperti marmer atau perunggu. Penyebab formal adalah desain
atau bentuk ideal yang diinginkan seniman—apakah patung itu menggambarkan dewa,
tokoh mitologi, atau manusia biasa5.
Penyebab
efisien adalah pematung itu sendiri beserta alat dan
keterampilannya. Adapun penyebab final adalah tujuan
dibuatnya patung: untuk menghormati dewa, memperingati tokoh penting, atau
sebagai ekspresi estetika tertentu. Dalam hal ini, Aristoteles menunjukkan
bahwa seni meniru alam (mimesis) karena sama-sama
melibatkan aktualisasi potensi menuju bentuk yang sempurna sesuai tujuan
tertentu6.
Aplikasi ini tidak
hanya berlaku dalam seni rupa, tetapi juga dalam arsitektur dan teknik. Dalam
pembangunan rumah, misalnya, batu bata dan kayu adalah bahan, denah bangunan
adalah bentuk, tukang dan arsitek adalah agen, dan tujuan rumah sebagai tempat
tinggal merupakan telos-nya. Dengan demikian,
filsafat kausalitas Aristoteles mampu menjelaskan struktur dan proses produksi
buatan manusia secara sistematis dan menyeluruh7.
4.3.
Relevansi Aplikasi
dalam Pengetahuan Interdisipliner
Penerapan teori ini
bahkan tidak berhenti pada era Aristoteles. Dalam ilmu kontemporer, khususnya
dalam bidang sistem kompleks, rekayasa sistem, dan desain teknologi, keempat
penyebab masih memiliki relevansi analitis. Perancang teknologi modern sering
kali harus mempertimbangkan “materi” (komponen fisik), “bentuk”
(rancangan dan logika sistem), “agen” (proses manufaktur atau
algoritma), dan “tujuan” (fungsi atau nilai penggunaan teknologi
tersebut). Ini menunjukkan bahwa kerangka empat penyebab Aristoteles
bersifat transdisipliner dan tetap aplikatif8.
Dengan pendekatan
empat penyebab, Aristoteles tidak hanya menawarkan cara untuk menjelaskan
fenomena, tetapi juga cara untuk memahami makna dan tujuan terdalam
dari eksistensi. Ia mengajak manusia untuk melihat dunia tidak sekadar sebagai
rangkaian peristiwa acak, melainkan sebagai tatanan rasional yang dapat ditelusuri
dari sebab-sebab yang mendasarinya.
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), II.3, 194b16–195a2.
[2]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 61–63.
[3]
Martha C. Nussbaum, Aristotle’s De Motu Animalium (Princeton:
Princeton University Press, 1978), 97–99.
[4]
David Sedley, Creationism and Its Critics in Antiquity
(Berkeley: University of California Press, 2007), 150–152.
[5]
Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on
Aristotle’s Theory (London: Duckworth, 1980), 117–118.
[6]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 66–68.
[7]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 42–44.
[8]
Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 17–19.
5.
Signifikansi Teoretis dalam Ontologi dan
Kosmologi Aristoteles
Teori Empat Penyebab
dalam pemikiran Aristoteles tidak dapat dilepaskan dari kerangka besar
filsafatnya tentang ontologi (ilmu tentang keberadaan)
dan kosmologi
(ilmu tentang alam semesta). Bagi Aristoteles, pertanyaan tentang “mengapa
sesuatu ada dan menjadi seperti itu” bukan hanya menyangkut proses
perubahan semata, melainkan menyentuh hakikat terdalam dari keberadaan itu
sendiri. Dalam hal ini, empat jenis penyebab memberikan alat konseptual untuk
menjelaskan struktur realitas secara menyeluruh, dari benda-benda alam hingga
entitas metafisis tertinggi, yakni Tuhan sebagai Penyebab Pertama (Unmoved Mover)1.
5.1.
Ontologi
Aristotelian: Substansi sebagai Perpaduan Materi dan Bentuk
Dalam Metaphysics,
Aristoteles menyatakan bahwa realitas tersusun atas ousia (substansi), yang merupakan
gabungan dari materi (hyle) dan bentuk
(morphē). Konsep ini menolak dikotomi radikal antara dunia ide
dan dunia nyata sebagaimana diajukan oleh Plato. Dalam pandangan Aristoteles,
bentuk tidak eksis secara terpisah, tetapi diaktualisasikan dalam materi. Maka,
substansi adalah “komposit aktual” dari potensi material dan bentuk aktual yang
menjadikannya sebagai entitas tertentu2.
Penerapan teori
empat penyebab dalam ontologi ini bersifat fundamental. Materi adalah potensi,
bentuk adalah esensi, penyebab efisien adalah prinsip penggerak aktual, dan
penyebab final adalah arah atau tujuan aktualisasi. Keempat unsur ini
memungkinkan kita memahami tidak hanya bahwa sesuatu itu ada,
tetapi juga mengapa dan untuk apa ia ada3.
5.2.
Kosmologi: Gerak,
Keteraturan, dan Tuhan sebagai Causa Prima
Dalam filsafat alam
dan kosmologi Aristoteles, teori empat penyebab memainkan peran sentral dalam
menjelaskan tatanan gerak dan keteraturan di alam semesta. Aristoteles menolak
gagasan bahwa alam semesta bersifat kacau atau tanpa arah. Sebaliknya, ia
berpendapat bahwa segala gerak dan perubahan memiliki arah menuju aktualitas
tertinggi, yakni bentuk yang sempurna. Gerak itu terjadi karena adanya prinsip
finalitas dalam segala sesuatu—semua bergerak menuju bentuk terbaiknya menurut
kodratnya4.
Dalam kerangka ini,
Aristoteles merumuskan konsep Penyebab Pertama yang Tak Bergerak (Unmoved
Mover)—sebuah entitas abadi, tidak berubah, dan menjadi
penyebab akhir dari segala gerak kosmis. Tuhan, dalam sistem Aristoteles,
bukanlah penyebab dalam arti temporal atau kronologis, melainkan penyebab final
yang memikat seluruh kosmos menuju aktualitasnya melalui daya tarik terhadap
kesempurnaan dan keabadian5.
Gerakan langit dan
tatanan kosmos, menurut Aristoteles, terjadi karena benda-benda langit meniru
kesempurnaan gerak melingkar abadi Sang Penggerak Tak Bergerak. Dengan
demikian, dalam kosmologi Aristotelian, penyebab final bukan sekadar kategori
metafisik, tetapi menjadi prinsip kosmis yang menjelaskan keteraturan dan
struktur dinamis jagat raya6.
5.3.
Konsekuensi
Epistemologis dan Teologis
Implikasi dari
pendekatan ontologis dan kosmologis ini sangat luas. Secara epistemologis,
untuk mengetahui sesuatu secara ilmiah (epistēmē), menurut Aristoteles,
berarti mengetahui keempat penyebabnya secara utuh. Pengetahuan sejati tidak
sekadar mengenali akibat atau gejala, tetapi memahami struktur kausalitas yang
menjadikannya seperti itu7.
Secara teologis,
Aristoteles tidak memahami Tuhan sebagai pribadi yang transenden seperti dalam
agama-agama wahyu, tetapi sebagai prinsip metafisis tertinggi: wujud yang
sepenuhnya aktual (actus purus), tak bercampur
potensi, dan menjadi teladan sempurna bagi segala realitas. Tuhan sebagai
penyebab final dari seluruh eksistensi mewujudkan bentuk tertinggi dari teleologi
metafisis, yaitu penjelasan tentang segala sesuatu berdasarkan
tujuan akhirnya8.
Dengan demikian,
teori Empat Penyebab bukan hanya menjelaskan perubahan dan proses natural,
melainkan juga mendasari sistem ontologis yang mengintegrasikan esensi,
eksistensi, gerak, dan arah semesta dalam satu kerangka filsafat yang rasional
dan holistik. Ini menjadikan Aristoteles sebagai fondator tidak hanya filsafat
alam, tetapi juga metafisika dan filsafat ketuhanan.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, XII.6–7, trans. W. D. Ross, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 1071b–1072b.
[2]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 71–75.
[3]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 39–42.
[4]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 92–96.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, ch.13–15; cf.
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 151–155.
[6]
David Furley, The Greek Cosmologists: Volume 1, The Formation of
the Atomic Theory and Its Earliest Critics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1987), 127–130.
[7]
Aristotle, Posterior Analytics, II.11, 94a20–25; cf. Richard
Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on Aristotle’s Theory
(London: Duckworth, 1980), 143–145.
[8]
Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San
Francisco: Ignatius Press, 2017), 61–66.
6.
Pengaruh Teori Empat Penyebab dalam Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan
Teori Empat Penyebab
Aristoteles menempati posisi krusial dalam sejarah perkembangan filsafat Barat
dan ilmu pengetahuan klasik. Sejak diperkenalkan, kerangka kausalitas ini telah
membentuk fondasi cara berpikir ilmiah dan metafisis di dunia Yunani, dunia
Islam, dan kemudian dunia Latin Kristen. Pengaruhnya menjalar ke berbagai
bidang seperti filsafat alam, biologi, etika, logika, bahkan teologi. Kemampuan
teori ini untuk menjelaskan realitas secara menyeluruh—dari bahan, bentuk,
agen, hingga tujuan—menjadikannya alat analisis yang luas dan mendalam,
melampaui sekadar kerangka spekulatif metafisika.
6.1.
Dalam Tradisi
Filsafat Yunani dan Skolastik
Para filsuf setelah
Aristoteles segera menyadari kekuatan heuristik dari struktur empat penyebab.
Dalam dunia Helenistik, filsuf seperti Theophrastus dan Alexander dari
Aphrodisias meneruskan upaya sistematisasi teori ini dalam konteks logika dan
metafisika1. Namun, pengaruh yang
paling besar terlihat pada filsafat abad pertengahan, terutama melalui tradisi
skolastik yang dipelopori oleh tokoh-tokoh besar seperti Thomas Aquinas.
Bagi Aquinas, teori
empat penyebab adalah instrumen utama untuk menjelaskan hubungan antara ciptaan
dan Sang Pencipta. Ia menggunakan kerangka ini untuk membuktikan eksistensi
Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama) dan causa
finalis (tujuan akhir) dari seluruh realitas, seraya mempertahankan
keutuhan filsafat Aristoteles dalam bingkai teologis Kristen2.
Aquinas menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya sebagai penyebab awal (causa
efficiens), tetapi juga sebagai tujuan tertinggi dari seluruh
tatanan semesta3.
6.2.
Dalam Filsafat Islam
dan Transmisi Pengetahuan
Di dunia Islam,
teori ini mengalami penerimaan yang luas. Filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina
(Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes) menjadikan empat penyebab sebagai bagian
penting dari sistematika filsafat Islam. Ibnu Sina, khususnya, mengembangkan
konsep wujūd
(eksistensi) dan mahiyyah (hakikat) dalam kerangka
kausalitas Aristotelian, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah penyebab niscaya
dari segala sesuatu yang ada4.
Ibnu Rusyd
memberikan komentar rinci terhadap karya Aristoteles, khususnya Metaphysics
dan Physics,
yang kemudian sangat berpengaruh pada para filsuf dan teolog Kristen Latin.
Jalur transmisi inilah yang menjadikan Aristoteles dikenal kembali di Eropa
abad ke-12 dan ke-13 melalui pusat-pusat penerjemahan seperti Toledo dan
Palermo5.
6.3.
Dalam Ilmu
Pengetahuan Alam dan Biologi
Dalam ilmu
pengetahuan klasik, khususnya biologi dan fisika, teori empat penyebab
mendominasi hingga awal era modern. Aristoteles mengembangkan sistem
klasifikasi dan observasi dalam biologi berdasarkan kausalitas—dari struktur
anatomi (penyebab formal), proses perkembangan embrio (penyebab efisien),
hingga fungsi organ (penyebab final). Ini menjadi dasar bagi ilmu kedokteran
dan ilmu hayati selama berabad-abad, termasuk dalam karya Galen dan ilmuwan
Muslim seperti Al-Razi dan Ibnu Nafis6.
Namun, pada masa
Renaisans dan Revolusi Ilmiah, pendekatan ini mulai dikritik. Tokoh seperti
Francis Bacon dan René Descartes menolak causa finalis, menganggapnya
terlalu spekulatif dan tidak sesuai dengan metode eksperimental. Mereka lebih
menekankan pada sebab material dan efisien yang dapat diuji secara empiris7.
Meskipun demikian, beberapa ilmuwan modern seperti teleonomis dalam biologi
evolusioner masih menggunakan pendekatan mirip dengan causa
finalis, meskipun dalam bentuk fungsional, bukan metafisis.
6.4.
Relevansi
Kontemporer dan Kritik
Pada abad ke-20 dan
ke-21, teori ini mendapatkan apresiasi kembali dalam berbagai kajian filsafat
sains dan metafisika. Filsuf seperti Edward Feser dan David Oderberg menekankan
bahwa penolakan terhadap penyebab formal dan final menyebabkan hilangnya
dimensi makna dan tujuan dalam ilmu pengetahuan kontemporer8.
Mereka menyatakan bahwa pemahaman modern yang terlalu mekanistik tidak cukup
untuk menjelaskan kompleksitas dalam biologi, psikologi, dan teknologi.
Sebagai contoh,
dalam rekayasa sistem, perancangan kecerdasan buatan, dan bioetika, para
ilmuwan dan insinyur dituntut mempertimbangkan bukan hanya "apa bahan
dan prosesnya", tetapi juga "apa bentuk sistemnya"
dan "apa tujuan akhirnya". Ini menunjukkan bahwa meskipun
bahasanya telah berubah, struktur pemikiran Aristoteles tentang empat penyebab
tetap relevan secara konseptual.
Secara keseluruhan,
pengaruh teori Empat Penyebab Aristoteles membentang lintas zaman, tradisi
intelektual, dan disiplin ilmu. Meskipun mengalami transformasi dan kritik, ia
tetap menjadi salah satu kerangka kausal paling komprehensif dalam sejarah
pemikiran manusia.
Footnotes
[1]
Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators
and Their Influence (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 37–39.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3; lihat juga
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 117–119.
[3]
William Wallace, The Modeling of Nature: Philosophy of Science and
Philosophy of Nature in Synthesis (Washington, D.C.: Catholic University
of America Press, 1996), 45–49.
[4]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 90–94.
[5]
Charles Burnett, Arabic into Latin in the Middle Ages: The
Translators and Their Intellectual and Social Context (Farnham: Ashgate,
2009), 23–28.
[6]
G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 142–146.
[7]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Aphorisms I.48–52.
[8]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 73–76.
7.
Relevansi Kontemporer dan Aplikasi
Interdisipliner
Di tengah kemajuan
sains dan teknologi modern yang sangat bergantung pada penjelasan empiris dan
kuantitatif, teori kausalitas Aristoteles tetap menunjukkan daya tahan
konseptualnya. Empat jenis penyebab—material, formal, efisien, dan
final—menawarkan kerangka penjelasan yang jauh lebih luas daripada pendekatan
reduksionistik. Dalam berbagai bidang ilmu kontemporer, baik sains alam,
teknologi, filsafat sains, hingga bioetika dan kecerdasan buatan, gagasan
Aristoteles menemukan kembali relevansinya dalam memahami kompleksitas dunia
modern1.
7.1.
Dalam Filsafat Sains
dan Ilmu Alam
Filsafat sains
kontemporer telah mengakui bahwa penjelasan ilmiah tidak cukup hanya dengan
menyebutkan sebab material dan efisien. Nancy Cartwright, misalnya, mengkritik
kecenderungan positivisme dalam sains modern yang hanya memfokuskan pada
hukum-hukum sebab-akibat yang dapat diuji secara eksperimental, tanpa
memerhatikan bentuk (struktur) dan tujuan dari sistem yang dikaji2.
Ia mengusulkan bahwa banyak fenomena ilmiah hanya dapat dipahami secara
realistis jika kita mengakui kapasitas, disposisi, dan kecenderungan sistem
tertentu—konsep yang sejalan dengan penyebab formal dan final Aristotelian.
Dalam biologi evolusioner,
konsep fungsi
biologis sering dianggap sebagai bentuk causa finalis dalam istilah modern.
Organ tertentu dianggap “bertujuan” untuk melakukan fungsi tertentu
(misalnya, jantung untuk memompa darah), walaupun penjelasannya bersifat
mekanistik. Hal ini menunjukkan bahwa teleologi fungsional masih memiliki
tempat, meskipun tidak secara eksplisit diakui sebagai bentuk finalitas
metafisis3.
7.2.
Dalam Teknologi dan
Rekayasa Sistem
Di bidang teknologi,
terutama rekayasa sistem dan desain perangkat lunak, keempat jenis penyebab
Aristoteles dapat ditemukan dalam praktik rekayasa modern. Misalnya, dalam
merancang sebuah sistem perangkat lunak:
·
Penyebab
material adalah komponen-komponen digital (kode, perangkat
keras).
·
Penyebab
formal adalah arsitektur sistem dan logika algoritma.
·
Penyebab
efisien adalah para insinyur dan proses pengembangan perangkat
lunak.
·
Penyebab
final adalah fungsi atau kebutuhan pengguna yang hendak
dipenuhi oleh sistem tersebut4.
Kerangka ini sejalan
dengan pendekatan desain sistem berbasis purpose-driven architecture dan goal-oriented
engineering, di mana aspek-aspek struktural dan tujuan operasional
menjadi landasan evaluasi desain. Maka, teori Aristoteles bukan hanya historis,
tetapi juga sangat aplikatif dalam konteks teknologi modern.
7.3.
Dalam Etika Terapan
dan Bioetika
Di ranah etika,
khususnya bioetika, gagasan tentang causa finalis kembali diangkat
dalam diskusi mengenai tujuan tindakan moral, nilai kehidupan manusia, dan
prinsip kebajikan. Dalam pendekatan etika kebajikan (virtue
ethics) yang berakar pada Aristoteles, kehidupan manusia dinilai
baik sejauh ia mencapai telos-nya, yaitu eudaimonia
(kebahagiaan atau aktualisasi diri)5.
Dalam diskusi
mengenai teknologi kedokteran, misalnya, pertanyaan tentang apakah intervensi
medis tertentu “baik” atau “bertujuan luhur” tidak dapat dijawab
hanya dengan analisis material (apa substansinya) atau efisien (siapa
pelakunya), tetapi juga harus memperhitungkan bentuk tindakan dan tujuannya.
Dengan demikian, teori empat penyebab menyediakan fondasi konseptual yang
mendalam untuk menilai dimensi etis dan filosofis dari tindakan manusia dalam
sains dan teknologi6.
7.4.
Dalam Kecerdasan
Buatan dan Teori Sistem Kompleks
Dalam kecerdasan
buatan (AI) dan teori sistem kompleks, para peneliti mulai menyadari bahwa
sekadar merancang algoritma tidak cukup untuk menghasilkan sistem yang “cerdas”
atau “berperilaku bermakna.” Dibutuhkan pemahaman tentang
struktur kognitif (penyebab formal), dinamika pembelajaran (penyebab efisien),
dan tujuan sistem (penyebab final) untuk menciptakan AI yang adaptif dan
bertanggung jawab7.
Pendekatan
interdisipliner seperti system thinking, cybernetics,
dan design
science juga menunjukkan ketergantungan terhadap kerangka berpikir
yang tidak jauh dari teori kausalitas Aristotelian, meskipun dalam istilah
kontemporer. Ini menunjukkan bahwa model empat penyebab tetap menjadi paradigma
konseptual yang relevan dalam memahami dan membangun sistem yang kompleks dan
bernilai.
Dengan demikian,
teori Empat Penyebab Aristoteles bukan sekadar warisan klasik, tetapi menjadi
struktur pemikiran yang melintasi batas disiplin dan zaman. Relevansinya
terletak pada kemampuannya menjembatani penjelasan antara “apa”, “bagaimana”,
dan “mengapa”—sebuah sintesis yang sangat dibutuhkan di era kompleksitas
dan krisis makna dewasa ini.
Footnotes
[1]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 65–70.
[2]
Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 12–16.
[3]
Alexander Rosenberg, Philosophy of Science: A Contemporary
Introduction (New York: Routledge, 2012), 208–210.
[4]
Klaus Krippendorff, The Semantic Turn: A New Foundation for Design
(Boca Raton: CRC Press, 2005), 75–78.
[5]
Rosalind Hursthouse and Glen Pettigrove, "Virtue Ethics," in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Fall 2018
Edition, https://plato.stanford.edu/entries/ethics-virtue/.
[6]
Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical
Practice (Oxford: Oxford University Press, 1993), 15–18.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 91–93.
8.
Kritik dan Perkembangan Pemikiran
Pasca-Aristotelian
Teori Empat Penyebab
Aristoteles telah memengaruhi pemikiran filsafat dan sains selama lebih dari
dua milenium. Namun, seiring dengan perkembangan epistemologi dan metode ilmiah
modern, kerangka kausalitas Aristoteles mulai mengalami tantangan yang
signifikan, terutama dalam kaitannya dengan validitas ilmiah dan keberterimaan
dalam komunitas akademik rasionalistik dan empiris. Kendati demikian, warisan
pemikiran ini juga tidak ditinggalkan sepenuhnya, melainkan mengalami
reinterpretasi, kritik, dan transformasi yang melahirkan diskursus baru dalam
berbagai bidang.
8.1.
Kritik dari Ilmuwan
Modern dan Empirisisme
Kritik besar
terhadap teori empat penyebab mulai muncul secara sistematis pada masa
Renaissance dan menguat pada masa Pencerahan. Tokoh seperti Francis Bacon dan
René Descartes menolak pendekatan teleologis Aristoteles yang dinilai terlalu
spekulatif dan tidak operasional secara ilmiah. Bacon dalam Novum
Organum menyerukan pengabaian terhadap causa finalis, dengan alasan bahwa
sains sejati hanya dapat dibangun di atas observasi dan eksperimen, bukan atas
asumsi tujuan metafisis1.
Descartes juga
menolak penjelasan berbasis bentuk dan tujuan, dan menggantinya dengan mekanika
deterministik, di mana fenomena alam dijelaskan sepenuhnya melalui hukum gerak
dan interaksi antarpartikel. Dalam pandangan Descartes, dunia bekerja seperti
mesin, dan karena itu penyebab efisien menjadi satu-satunya bentuk kausalitas
yang sah secara ilmiah2.
Kritik ini diperkuat
oleh perkembangan fisika Newtonian yang sangat berhasil menjelaskan gerakan
benda tanpa melibatkan konsep finalitas atau bentuk. Akibatnya, teori
kausalitas Aristotelian dianggap usang dalam kerangka paradigma ilmiah modern
yang berbasis empirisme dan kuantifikasi.
8.2.
Tantangan dari
Filsafat Empiris dan Analitik
David Hume
memberikan tantangan serius terhadap seluruh struktur kausalitas, bukan hanya
dalam versi Aristoteles. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding,
Hume meragukan dasar epistemologis dari hubungan sebab-akibat, karena ia tidak
dapat ditangkap secara langsung oleh indra dan hanya merupakan kebiasaan
pikiran manusia yang menyimpulkan bahwa satu peristiwa mengikuti peristiwa lain3.
Kritik ini mengguncang seluruh fondasi kausalitas metafisik dan menandai titik
balik dalam filsafat modern.
Filsuf analitik
seperti Bertrand Russell lebih lanjut menyatakan bahwa konsep “sebab”
itu sendiri sudah tidak berguna lagi dalam fisika teoretis modern, terutama
dalam konteks teori relativitas dan mekanika kuantum4.
Menurut Russell, “cause” tidak memiliki tempat dalam deskripsi matematis
terhadap hukum alam.
8.3.
Rehabilitasi dan
Pembacaan Kembali Teori Aristoteles
Meskipun mendapat
kritik tajam, beberapa filsuf abad ke-20 dan ke-21 mencoba merehabilitasi teori
Aristoteles melalui pembacaan ulang yang lebih kontekstual. Misalnya, Martin
Heidegger dalam Being and Time mengapresiasi
gagasan Aristoteles tentang causa formalis dan causa
finalis sebagai cara memahami makna eksistensial dari keberadaan5.
Ia menyatakan bahwa reduksi realitas menjadi sekadar fenomena kuantitatif
mengabaikan aspek makna yang melekat dalam eksistensi manusia dan benda.
Edward Feser, filsuf
kontemporer dari tradisi Thomistik, juga membela relevansi teori Empat Penyebab
dalam menjelaskan kompleksitas sistem biologi dan ilmu pengetahuan alam. Feser
berpendapat bahwa penyebab formal dan final diperlukan untuk memahami tujuan
fungsional dan integritas sistematis yang tidak dapat dijelaskan secara memadai
melalui penyebab material dan efisien saja6.
8.4.
Evolusi Konseptual
dalam Ilmu dan Teknologi
Dalam beberapa
dekade terakhir, muncul pendekatan interdisipliner yang secara tidak langsung
menghidupkan kembali kerangka Aristotelian, meskipun dengan bahasa dan
pendekatan baru. Misalnya, dalam teori sistem kompleks dan desain perangkat
lunak, konsep-konsep seperti purpose, architecture,
dan agency
sejatinya merupakan terjemahan modern dari empat penyebab7.
Sementara dalam
etika terapan dan bioetika, konsep finalitas kembali menjadi sorotan
dalam diskusi tentang hakikat tindakan moral, nilai-nilai hidup, dan arah
perkembangan teknologi. Bahkan dalam ranah AI dan teknologi otonom, dimensi
tujuan (final cause) mulai menjadi pertimbangan penting dalam perancangan
sistem yang bertanggung jawab secara sosial8.
Dengan demikian,
meskipun mengalami dekonstruksi dan kritik dalam sejarah modern, teori Empat
Penyebab Aristoteles terus menunjukkan elastisitasnya. Ia bukan sistem tertutup
yang dogmatis, tetapi kerangka reflektif yang kaya, yang terus mengilhami
pendekatan holistik dalam memahami realitas, baik dalam ilmu maupun dalam
filsafat.
Footnotes
[1]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Aphorisms I.48–52.
[2]
René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine
Rodger and Reese Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), I.26–28.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), Section VII.
[4]
Bertrand Russell, “On the Notion of Cause,” Proceedings of the
Aristotelian Society 13 (1912): 1–26.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–83.
[6]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 101–106.
[7]
Klaus Krippendorff, The Semantic Turn: A New Foundation for Design
(Boca Raton: CRC Press, 2005), 62–65.
[8]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 88–93.
9.
Penutup
Teori Empat Penyebab
yang dikembangkan oleh Aristoteles merupakan salah satu kontribusi paling
berpengaruh dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan memadukan empat
dimensi penjelasan—yakni causa materialis (bahan), causa
formalis (bentuk), causa efficiens (penyebab aktif),
dan causa
finalis (tujuan)—Aristoteles menyusun suatu kerangka kausalitas
yang menyeluruh dan sistematis. Teori ini tidak hanya menjawab pertanyaan tentang
apa
dan bagaimana
sesuatu terjadi, tetapi juga mengapa sesuatu itu ada dan menjadi
seperti adanya1.
Dalam dimensi
ontologis, teori ini memberikan landasan untuk memahami struktur dasar realitas
sebagai kombinasi dari potensi dan aktualitas—suatu pendekatan yang memperkaya
pandangan metafisis dan membedakannya dari reduksionisme materialistik atau
dualisme platonik2. Sementara dalam dimensi kosmologis, kerangka
empat penyebab mengarah pada pemahaman tentang alam semesta sebagai tatanan
yang tertuju pada aktualisasi dan keteraturan, dengan Tuhan sebagai penyebab
pertama yang tidak bergerak (unmoved mover) sekaligus tujuan
akhir dari segala eksistensi3.
Kekuatan teori ini
juga terletak pada kemampuannya untuk melintasi batas-batas disiplin ilmu.
Dalam biologi, teknologi, etika, dan bahkan filsafat informasi kontemporer,
konsep-konsep Aristotelian terus menginspirasi cara berpikir yang bersifat
integratif dan reflektif. Meskipun dikritik keras selama era modern, terutama
oleh ilmuwan empiris dan filsuf rasionalis seperti Descartes, Hume, dan Russell4,
kerangka ini tetap hidup dan mengalami revitalisasi dalam pemikiran pascamodern
dan interdisipliner. Upaya-upaya pembacaan kembali, seperti yang dilakukan oleh
Edward Feser dan Nancy Cartwright, menunjukkan bahwa teori Empat Penyebab masih
menyimpan relevansi filosofis dan heuristik dalam menjawab tantangan
kompleksitas zaman kini5.
Lebih dari sekadar
model kausalitas, teori Aristoteles ini merupakan refleksi mendalam tentang
makna keberadaan. Ia mengajarkan bahwa memahami sesuatu secara utuh membutuhkan
pandangan yang tidak terpecah: antara bahan dan bentuk, antara proses dan
tujuan. Dalam dunia yang sering kali terfragmentasi oleh spesialisasi ilmu,
pendekatan Aristotelian mengingatkan kita pada pentingnya integrasi pengetahuan
sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Maka, menyingkap realitas melalui Empat
Penyebab bukanlah sekadar usaha intelektual, tetapi juga jalan menuju pemahaman
eksistensial yang lebih dalam tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya6.
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), II.3, 194b–195a.
[2]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 71–75.
[3]
Aristotle, Metaphysics, XII.7, trans. W. D. Ross, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 1072a–1072b.
[4]
Bertrand Russell, “On the Notion of Cause,” Proceedings of the
Aristotelian Society 13 (1912): 1–26; David Hume, An Enquiry
Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford
University Press, 2000), Section VII.
[5]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae,
2019), 65–72; Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 17–20.
[6]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 198–200.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1984). The
complete works of Aristotle (J. Barnes, Ed.; R. P. Hardie & R. K.
Gaye, Trans.). Princeton University Press.
(Termasuk: Physics, Metaphysics, Posterior Analytics)
Bacon, F. (2000). The
new organon (L. Jardine & M. Silverthorne, Trans.). Cambridge
University Press. (Original work published 1620)
Burnett, C. (2009). Arabic
into Latin in the Middle Ages: The translators and their intellectual and
social context. Ashgate.
Cartwright, N. (1989). Nature’s
capacities and their measurement. Clarendon Press.
Descartes, R. (1983). Principles
of philosophy (V. Rodger & R. Miller, Trans.). Reidel. (Original work
published 1644)
Feser, E. (2017). Five
proofs of the existence of God. Ignatius Press.
Feser, E. (2019). Aristotle’s
revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science.
Editiones Scholasticae.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Gilson, E. (1956). The
Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame
Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna.
Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
(Original work published 1927)
Hume, D. (2000). An
enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press. (Original work published 1748)
Hursthouse, R., &
Pettigrove, G. (2018). Virtue ethics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Fall 2018 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/ethics-virtue/
Krippendorff, K. (2005). The
semantic turn: A new foundation for design. CRC Press.
Lear, J. (1988). Aristotle:
The desire to understand. Cambridge University Press.
Lloyd, G. E. R. (1968). Aristotle:
The growth and structure of his thought. Cambridge University Press.
Loux, M. (2006). Metaphysics:
A contemporary introduction (3rd ed.). Routledge.
Nussbaum, M. C. (1978). Aristotle’s
De motu animalium. Princeton University Press.
Pellegrino, E. D., &
Thomasma, D. C. (1993). The virtues in medical practice. Oxford
University Press.
Rosenberg, A. (2012). Philosophy
of science: A contemporary introduction (3rd ed.). Routledge.
Russell, B. (1912). On the
notion of cause. Proceedings of the Aristotelian Society, 13, 1–26.
Sedley, D. (2007). Creationism
and its critics in antiquity. University of California Press.
Sorabji, R. (1980). Necessity,
cause, and blame: Perspectives on Aristotle’s theory. Duckworth.
Sorabji, R. (1990). Aristotle
transformed: The ancient commentators and their influence. Cornell
University Press.
Wallace, W. A. (1996). The
modeling of nature: Philosophy of science and philosophy of nature in synthesis.
Catholic University of America Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar