Kamis, 29 Mei 2025

Teori Empat Penyebab: Telaah Filsafat Kausalitas Aristoteles

Teori Empat Penyebab

Telaah Filsafat Kausalitas Aristoteles


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori Empat Penyebab (causa materialis, causa formalis, causa efficiens, dan causa finalis) dalam pemikiran Aristoteles sebagai kerangka filosofis yang integral dalam memahami realitas dan perubahan. Teori ini tidak hanya berperan dalam menjelaskan struktur dan dinamika keberadaan, tetapi juga mendasari bangunan ontologi, kosmologi, dan epistemologi Aristoteles. Melalui pembahasan yang mencakup konteks historis, penjabaran konseptual, aplikasi dalam alam dan seni, serta relevansinya di berbagai disiplin kontemporer seperti biologi, teknologi, dan etika, artikel ini menunjukkan bahwa kerangka kausal Aristotelian memiliki daya tahan filosofis yang signifikan. Kendati mendapat kritik tajam dari pemikir modern seperti Descartes dan Hume, serta tantangan dari pendekatan empiris dan mekanistik dalam sains, teori ini tetap relevan dan bahkan mengalami rehabilitasi dalam diskursus interdisipliner kontemporer. Penutup artikel ini menegaskan bahwa teori Empat Penyebab bukan hanya instrumen penjelas, melainkan kerangka ontologis dan eksistensial yang kaya untuk menyatukan pemahaman antara hakikat, sebab, dan tujuan dalam menjelaskan dunia.

Kata Kunci: Aristoteles, kausalitas, Empat Penyebab, ontologi, teleologi, filsafat ilmu, penyebab final, struktur realitas, kritik modern, aplikasi interdisipliner.


PEMBAHASAN

Menyingkap Realitas Melalui Empat Penyebab


1.           Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah filsafat, persoalan tentang mengapa sesuatu terjadi menjadi salah satu tema mendasar yang mendorong kelahiran berbagai sistem pemikiran. Para filsuf Yunani kuno, seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos, telah berusaha menjelaskan asal-usul alam semesta melalui prinsip-prinsip dasar seperti air, apeiron, dan api. Namun, pertanyaan mengenai penyebab suatu peristiwa atau entitas tidak mencapai elaborasi sistematis hingga munculnya Aristoteles (384–322 SM), yang memperkenalkan konsep revolusioner tentang empat jenis penyebab dalam menjelaskan eksistensi dan perubahan di dunia nyata1.

Teori Empat Penyebab (Greek: aitiai) yang diajukan oleh Aristoteles tidak hanya menawarkan kerangka kausalitas yang holistik, tetapi juga menjadi dasar ontologi yang membedakan dirinya dari pendahulunya, terutama Plato. Jika Plato berupaya menjelaskan realitas melalui dunia ide yang tetap dan abadi, Aristoteles justru menekankan pentingnya memahami dunia konkret melalui analisis kausal terhadap materi (bahan), bentuk (struktur), agen (penyebab aktif), dan tujuan (tujuan akhir atau maksud keberadaan)2. Dalam Physics dan Metaphysics, Aristoteles menjelaskan bahwa untuk memahami suatu hal secara menyeluruh, kita harus mengetahui keempat penyebab tersebut, bukan hanya satu aspek saja3.

Konsep ini tidak hanya merevolusi cara berpikir dalam filsafat alam dan metafisika, tetapi juga memberikan pengaruh besar pada perkembangan ilmu pengetahuan, teologi, dan logika selama berabad-abad. Dalam pemikiran skolastik, terutama melalui pemikiran Thomas Aquinas, teori empat penyebab dijadikan landasan dalam memahami hubungan antara makhluk dan Tuhan sebagai causa prima atau penyebab pertama4. Bahkan dalam konteks kontemporer, model kausalitas Aristotelian tetap relevan dalam diskusi-diskusi filsafat ilmu, etika terapan, hingga teori sistem dalam teknologi dan kecerdasan buatan5.

Pendahuluan ini bertujuan untuk mengantarkan pembaca pada kerangka berpikir Aristoteles mengenai realitas dan perubahan melalui empat jenis penyebab yang saling melengkapi. Pemahaman terhadap konsep ini menjadi krusial tidak hanya untuk memahami struktur dasar filsafat Aristoteles, tetapi juga untuk menilai bagaimana konsep kausalitas terus bergema dalam wacana intelektual hingga era modern.


Footnotes

[1]                Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on Aristotle’s Theory (London: Duckworth, 1980), 12–15.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 48–51.

[3]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), II.3, 194b16–195a2.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3; lihat pula Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 115–118.

[5]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 27–30.


2.           Konteks Historis dan Epistemologis Pemikiran Aristoteles

Untuk memahami secara utuh teori Empat Penyebab Aristoteles, penting terlebih dahulu mengkaji latar historis dan epistemologis dari mana teori ini muncul. Aristoteles hidup pada masa ketika filsafat Yunani telah mengalami perkembangan pesat sejak masa pra-Sokratik hingga puncaknya dalam filsafat Plato. Pemikiran filsafat pada masa itu sangat dipengaruhi oleh upaya untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang arkhē (asal mula) dan prinsip perubahan di alam semesta1.

Para filsuf pra-Sokratik seperti Thales, Anaximenes, dan Herakleitos mencoba menjelaskan perubahan dunia dengan satu prinsip dasar materi (monisme), seperti air, udara, atau api. Namun, mereka umumnya gagal memberikan penjelasan menyeluruh karena terlalu menekankan aspek material tanpa memperhitungkan struktur formal, penyebab efisien, atau tujuan akhir dari suatu fenomena2. Demokritos, misalnya, mengembangkan teori atomisme yang materialistik dan mekanistik, tetapi mengabaikan pertimbangan bentuk dan tujuan.

Sebagai murid Plato, Aristoteles mengadopsi sekaligus mengkritik pandangan gurunya. Plato membedakan antara dunia indrawi yang tidak sempurna dan dunia ide yang sempurna dan abadi, di mana bentuk-bentuk ideal dari segala sesuatu berada. Namun, Aristoteles menolak dikotomi ini. Ia menganggap bahwa bentuk (form) tidak berada di dunia terpisah, melainkan melekat pada benda-benda konkret dalam dunia nyata. Di sinilah Aristoteles mengusulkan pendekatan yang imanen terhadap realitas dengan menyatukan bentuk dan materi dalam setiap eksistensi3.

Epistemologisnya, Aristoteles menekankan pendekatan empiris dan deduktif. Ia memandang pengetahuan sebagai hasil dari pengamatan terhadap kenyataan dan penalaran logis terhadap fakta-fakta tersebut. Dalam sistem pengetahuan Aristoteles, penyelidikan terhadap sebab-sebab menjadi krusial karena menurutnya, untuk mengetahui sesuatu adalah mengetahui sebabnya (Greek: to eidenai ti aitia estin)4. Oleh karena itu, teori Empat Penyebab lahir sebagai hasil dari pendekatan sistematis yang menyatukan pengamatan empiris dan analisis metafisis dalam kerangka rasional yang kokoh.

Dalam Metaphysics dan Posterior Analytics, Aristoteles mengembangkan kerangka kerja ilmiah (epistēmē) berdasarkan prinsip pertama (archai), silogisme, dan penjelasan kausal. Hal ini membentuk dasar bagi struktur ilmu pengetahuan Aristotelian yang menggabungkan antara sebab formal dan final dalam memahami alam semesta secara rasional dan sistematis5. Oleh karena itu, teori Empat Penyebab bukan sekadar konsep metafisik, melainkan juga fondasi metodologis bagi segala pengetahuan ilmiah dalam sistem filsafat Aristoteles.

Dengan demikian, teori Empat Penyebab Aristoteles muncul sebagai respons kritis terhadap pemikiran sebelumnya dan sebagai upaya untuk mengintegrasikan aspek-aspek penting dari realitas dalam satu kesatuan penjelasan. Teori ini tidak hanya mengisi kekosongan dalam model-model kausal pra-Sokratik, tetapi juga memberikan struktur yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang pengetahuan, dari biologi hingga etika.


Footnotes

[1]                G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to Aristotle (New York: Norton, 1970), 25–27.

[2]                Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 109–112.

[3]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 41–45.

[4]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), Book II, 90a–90b.

[5]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 54–56.


3.           Penjelasan Mendasar tentang Empat Jenis Penyebab

Dalam sistem filsafatnya, Aristoteles menjelaskan bahwa untuk memahami sepenuhnya eksistensi atau perubahan sesuatu, seseorang harus mengetahui empat jenis penyebab atau aitiai. Dalam Physics II.3, ia menyatakan bahwa “kita tidak berpikir bahwa kita tahu sesuatu sampai kita memahami penyebabnya1. Keempat penyebab ini bukanlah alternatif satu sama lain, melainkan saling melengkapi dalam memberikan gambaran utuh tentang mengapa sesuatu itu ada atau terjadi. Aristoteles menyebutnya sebagai: penyebab material (causa materialis), penyebab formal (causa formalis), penyebab efisien (causa efficiens), dan penyebab final (causa finalis).

3.1.       Penyebab Material (Causa Materialis)

Penyebab material merujuk pada bahan dasar dari mana sesuatu dibuat. Ini adalah substratum yang menerima bentuk dan memungkinkan eksistensi aktual dari suatu objek. Misalnya, marmer adalah penyebab material dari patung; kayu adalah penyebab material dari meja. Menurut Aristoteles, materi adalah potensi yang mewujud ketika diberi bentuk2.

Materi itu sendiri tidak memiliki bentuk aktual, tetapi bersifat pasif dan membutuhkan bentuk untuk menjadi sesuatu yang tertentu. Dalam Metaphysics, Aristoteles menyebut materi sebagai elemen potensial dalam perubahan: “Materi adalah itu yang sendiri bukan sesuatu secara aktual, tetapi dapat menjadi sesuatu3.

3.2.       Penyebab Formal (Causa Formalis)

Penyebab formal adalah struktur, bentuk, atau esensi yang membuat sesuatu menjadi apa adanya. Ini adalah jawaban atas pertanyaan: apa itu? Misalnya, bentuk lingkaran adalah penyebab formal dari roda. Bentuk ini bukan hanya tampilan luar, tetapi mencakup prinsip internal dan hakikat suatu entitas.

Bagi Aristoteles, bentuk adalah aspek yang mengaktualkan potensi materi dan menjadikannya realitas konkret. Dalam konteks makhluk hidup, bentuk ini identik dengan jiwa sebagai prinsip penggerak dan pengorganisasi tubuh4. Oleh karena itu, penyebab formal memainkan peran sentral dalam menjelaskan substansi dan identitas esensial.

3.3.       Penyebab Efisien (Causa Efficiens)

Penyebab efisien adalah agen atau kekuatan yang menyebabkan perubahan atau permulaan eksistensi sesuatu. Dalam contoh pembuatan patung, sang pematung adalah penyebab efisien. Dalam konteks alami, seperti tumbuhnya tanaman, benih dan sinar matahari dapat dianggap sebagai penyebab efisien pertumbuhannya.

Aristoteles menggunakan istilah arkhē kinēseōs (prinsip gerakan) untuk menunjukkan bahwa penyebab efisien bertanggung jawab atas awal mula gerakan atau perubahan5. Konsep ini sangat berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam dan skolastik, yang kemudian mengaitkannya dengan Tuhan sebagai Unmoved Mover atau penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh apa pun6.

3.4.       Penyebab Final (Causa Finalis)

Penyebab final adalah tujuan atau alasan akhir dari suatu entitas atau tindakan. Ini menjawab pertanyaan: untuk apa sesuatu itu ada? Misalnya, tujuan akhir dari pisau adalah untuk memotong; tujuan akhir dari pendidikan adalah pencapaian pengetahuan dan kebajikan.

Penyebab final menjadi sangat khas dalam filsafat Aristoteles karena menandai pergeseran dari kausalitas mekanistik ke kausalitas teleologis. Dalam dunia alam, segala sesuatu memiliki arah atau kecenderungan menuju realisasinya yang sempurna, yang disebut entelecheia7. Aristoteles bahkan menggunakan prinsip finalitas ini dalam kosmologinya, menyatakan bahwa gerakan langit dipicu oleh daya tarik terhadap penyebab akhir, yaitu Tuhan sebagai prima causa finalis8.


Keempat penyebab ini bukanlah elemen yang berdiri sendiri, tetapi membentuk satu kesatuan penjelasan yang menyeluruh. Ketika menjelaskan entitas seperti rumah, kita membutuhkan semua penyebab: batu bata dan kayu sebagai bahan (material), rencana arsitektur sebagai bentuk (formal), tukang sebagai pelaku pembangunan (efisien), dan fungsi rumah sebagai tempat tinggal (final). Aristoteles menolak pandangan bahwa satu jenis penyebab saja cukup untuk menjelaskan eksistensi sesuatu, dan menekankan perlunya sintesis antara keempatnya untuk menghasilkan pemahaman ilmiah dan filosofis yang lengkap9.


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), II.3, 194b16–20.

[2]                Edward Feser, Aristotle's Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 33–35.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), VII.3, 1029a.

[4]                Martha C. Nussbaum, Aristotle’s De Motu Animalium (Princeton: Princeton University Press, 1978), 102–106.

[5]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 54–56.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.13; Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 142–144.

[7]                Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on Aristotle’s Theory (London: Duckworth, 1980), 115–118.

[8]                Aristotle, Metaphysics, XII.7, 1072b; cf. Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 77–80.

[9]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 63–65.


4.           Aplikasi Konseptual Empat Penyebab: Studi Kasus dalam Alam dan Seni

Teori Empat Penyebab Aristoteles tidak hanya bersifat abstrak atau spekulatif, melainkan berakar kuat pada realitas konkret. Dalam karya-karyanya, Aristoteles secara eksplisit menerapkan keempat jenis penyebab dalam analisis fenomena alam (physis) maupun benda-benda hasil buatan manusia (techne). Ia meyakini bahwa hanya dengan memahami keempat aspek penyebab ini secara simultan, seseorang dapat memperoleh pengetahuan utuh mengenai sesuatu—baik dalam wujudnya, asal usulnya, maupun tujuannya1.

4.1.       Studi Kasus dalam Alam: Pertumbuhan Pohon dan Biologi Makhluk Hidup

Dalam konteks alam, Aristoteles sangat tertarik pada proses biologis seperti pertumbuhan, reproduksi, dan perubahan bentuk pada makhluk hidup. Ambillah contoh pohon. Pohon tumbuh dari biji sebagai bahan awal; inilah penyebab material. Struktur pohon—akar, batang, daun—merupakan penyebab formal, yang menentukan wujud khas pohon sebagai organisme jenis tertentu2.

Sinar matahari, air, tanah, serta proses biologis seperti fotosintesis menjadi penyebab efisien, yaitu kekuatan-kekuatan yang secara aktual menyebabkan terjadinya pertumbuhan. Sementara itu, penyebab final adalah tujuan dari pertumbuhan itu sendiri: pohon tumbuh untuk mencapai bentuk dewasanya dan mereproduksi, yakni mencapai telos-nya sebagai pohon utuh yang menghasilkan buah dan benih baru3.

Dalam De Anima dan Historia Animalium, Aristoteles menekankan bahwa organisme hidup tidak hanya dipahami melalui penyebab fisik, tetapi juga dari tujuan inheren yang mendasari eksistensinya. Hal ini menjadikan pendekatannya berbeda dari reduksionisme mekanistik dan tetap relevan dalam teori-teori teleologis dalam biologi kontemporer4.

4.2.       Studi Kasus dalam Seni: Pembuatan Patung dan Bangunan

Dalam dunia seni dan teknik (techne), keempat penyebab juga dapat dijelaskan dengan jelas. Misalnya, dalam proses pembuatan patung, penyebab material adalah bahan mentah seperti marmer atau perunggu. Penyebab formal adalah desain atau bentuk ideal yang diinginkan seniman—apakah patung itu menggambarkan dewa, tokoh mitologi, atau manusia biasa5.

Penyebab efisien adalah pematung itu sendiri beserta alat dan keterampilannya. Adapun penyebab final adalah tujuan dibuatnya patung: untuk menghormati dewa, memperingati tokoh penting, atau sebagai ekspresi estetika tertentu. Dalam hal ini, Aristoteles menunjukkan bahwa seni meniru alam (mimesis) karena sama-sama melibatkan aktualisasi potensi menuju bentuk yang sempurna sesuai tujuan tertentu6.

Aplikasi ini tidak hanya berlaku dalam seni rupa, tetapi juga dalam arsitektur dan teknik. Dalam pembangunan rumah, misalnya, batu bata dan kayu adalah bahan, denah bangunan adalah bentuk, tukang dan arsitek adalah agen, dan tujuan rumah sebagai tempat tinggal merupakan telos-nya. Dengan demikian, filsafat kausalitas Aristoteles mampu menjelaskan struktur dan proses produksi buatan manusia secara sistematis dan menyeluruh7.

4.3.       Relevansi Aplikasi dalam Pengetahuan Interdisipliner

Penerapan teori ini bahkan tidak berhenti pada era Aristoteles. Dalam ilmu kontemporer, khususnya dalam bidang sistem kompleks, rekayasa sistem, dan desain teknologi, keempat penyebab masih memiliki relevansi analitis. Perancang teknologi modern sering kali harus mempertimbangkan “materi” (komponen fisik), “bentuk” (rancangan dan logika sistem), “agen” (proses manufaktur atau algoritma), dan “tujuan” (fungsi atau nilai penggunaan teknologi tersebut). Ini menunjukkan bahwa kerangka empat penyebab Aristoteles bersifat transdisipliner dan tetap aplikatif8.


Dengan pendekatan empat penyebab, Aristoteles tidak hanya menawarkan cara untuk menjelaskan fenomena, tetapi juga cara untuk memahami makna dan tujuan terdalam dari eksistensi. Ia mengajak manusia untuk melihat dunia tidak sekadar sebagai rangkaian peristiwa acak, melainkan sebagai tatanan rasional yang dapat ditelusuri dari sebab-sebab yang mendasarinya.


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), II.3, 194b16–195a2.

[2]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 61–63.

[3]                Martha C. Nussbaum, Aristotle’s De Motu Animalium (Princeton: Princeton University Press, 1978), 97–99.

[4]                David Sedley, Creationism and Its Critics in Antiquity (Berkeley: University of California Press, 2007), 150–152.

[5]                Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on Aristotle’s Theory (London: Duckworth, 1980), 117–118.

[6]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 66–68.

[7]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 42–44.

[8]                Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement (Oxford: Clarendon Press, 1989), 17–19.


5.           Signifikansi Teoretis dalam Ontologi dan Kosmologi Aristoteles

Teori Empat Penyebab dalam pemikiran Aristoteles tidak dapat dilepaskan dari kerangka besar filsafatnya tentang ontologi (ilmu tentang keberadaan) dan kosmologi (ilmu tentang alam semesta). Bagi Aristoteles, pertanyaan tentang “mengapa sesuatu ada dan menjadi seperti itu” bukan hanya menyangkut proses perubahan semata, melainkan menyentuh hakikat terdalam dari keberadaan itu sendiri. Dalam hal ini, empat jenis penyebab memberikan alat konseptual untuk menjelaskan struktur realitas secara menyeluruh, dari benda-benda alam hingga entitas metafisis tertinggi, yakni Tuhan sebagai Penyebab Pertama (Unmoved Mover)1.

5.1.       Ontologi Aristotelian: Substansi sebagai Perpaduan Materi dan Bentuk

Dalam Metaphysics, Aristoteles menyatakan bahwa realitas tersusun atas ousia (substansi), yang merupakan gabungan dari materi (hyle) dan bentuk (morphē). Konsep ini menolak dikotomi radikal antara dunia ide dan dunia nyata sebagaimana diajukan oleh Plato. Dalam pandangan Aristoteles, bentuk tidak eksis secara terpisah, tetapi diaktualisasikan dalam materi. Maka, substansi adalah “komposit aktual” dari potensi material dan bentuk aktual yang menjadikannya sebagai entitas tertentu2.

Penerapan teori empat penyebab dalam ontologi ini bersifat fundamental. Materi adalah potensi, bentuk adalah esensi, penyebab efisien adalah prinsip penggerak aktual, dan penyebab final adalah arah atau tujuan aktualisasi. Keempat unsur ini memungkinkan kita memahami tidak hanya bahwa sesuatu itu ada, tetapi juga mengapa dan untuk apa ia ada3.

5.2.       Kosmologi: Gerak, Keteraturan, dan Tuhan sebagai Causa Prima

Dalam filsafat alam dan kosmologi Aristoteles, teori empat penyebab memainkan peran sentral dalam menjelaskan tatanan gerak dan keteraturan di alam semesta. Aristoteles menolak gagasan bahwa alam semesta bersifat kacau atau tanpa arah. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa segala gerak dan perubahan memiliki arah menuju aktualitas tertinggi, yakni bentuk yang sempurna. Gerak itu terjadi karena adanya prinsip finalitas dalam segala sesuatu—semua bergerak menuju bentuk terbaiknya menurut kodratnya4.

Dalam kerangka ini, Aristoteles merumuskan konsep Penyebab Pertama yang Tak Bergerak (Unmoved Mover)—sebuah entitas abadi, tidak berubah, dan menjadi penyebab akhir dari segala gerak kosmis. Tuhan, dalam sistem Aristoteles, bukanlah penyebab dalam arti temporal atau kronologis, melainkan penyebab final yang memikat seluruh kosmos menuju aktualitasnya melalui daya tarik terhadap kesempurnaan dan keabadian5.

Gerakan langit dan tatanan kosmos, menurut Aristoteles, terjadi karena benda-benda langit meniru kesempurnaan gerak melingkar abadi Sang Penggerak Tak Bergerak. Dengan demikian, dalam kosmologi Aristotelian, penyebab final bukan sekadar kategori metafisik, tetapi menjadi prinsip kosmis yang menjelaskan keteraturan dan struktur dinamis jagat raya6.

5.3.       Konsekuensi Epistemologis dan Teologis

Implikasi dari pendekatan ontologis dan kosmologis ini sangat luas. Secara epistemologis, untuk mengetahui sesuatu secara ilmiah (epistēmē), menurut Aristoteles, berarti mengetahui keempat penyebabnya secara utuh. Pengetahuan sejati tidak sekadar mengenali akibat atau gejala, tetapi memahami struktur kausalitas yang menjadikannya seperti itu7.

Secara teologis, Aristoteles tidak memahami Tuhan sebagai pribadi yang transenden seperti dalam agama-agama wahyu, tetapi sebagai prinsip metafisis tertinggi: wujud yang sepenuhnya aktual (actus purus), tak bercampur potensi, dan menjadi teladan sempurna bagi segala realitas. Tuhan sebagai penyebab final dari seluruh eksistensi mewujudkan bentuk tertinggi dari teleologi metafisis, yaitu penjelasan tentang segala sesuatu berdasarkan tujuan akhirnya8.


Dengan demikian, teori Empat Penyebab bukan hanya menjelaskan perubahan dan proses natural, melainkan juga mendasari sistem ontologis yang mengintegrasikan esensi, eksistensi, gerak, dan arah semesta dalam satu kerangka filsafat yang rasional dan holistik. Ini menjadikan Aristoteles sebagai fondator tidak hanya filsafat alam, tetapi juga metafisika dan filsafat ketuhanan.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, XII.6–7, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1071b–1072b.

[2]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 71–75.

[3]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 39–42.

[4]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 92–96.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, ch.13–15; cf. Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 151–155.

[6]                David Furley, The Greek Cosmologists: Volume 1, The Formation of the Atomic Theory and Its Earliest Critics (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 127–130.

[7]                Aristotle, Posterior Analytics, II.11, 94a20–25; cf. Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame: Perspectives on Aristotle’s Theory (London: Duckworth, 1980), 143–145.

[8]                Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 61–66.


6.           Pengaruh Teori Empat Penyebab dalam Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Teori Empat Penyebab Aristoteles menempati posisi krusial dalam sejarah perkembangan filsafat Barat dan ilmu pengetahuan klasik. Sejak diperkenalkan, kerangka kausalitas ini telah membentuk fondasi cara berpikir ilmiah dan metafisis di dunia Yunani, dunia Islam, dan kemudian dunia Latin Kristen. Pengaruhnya menjalar ke berbagai bidang seperti filsafat alam, biologi, etika, logika, bahkan teologi. Kemampuan teori ini untuk menjelaskan realitas secara menyeluruh—dari bahan, bentuk, agen, hingga tujuan—menjadikannya alat analisis yang luas dan mendalam, melampaui sekadar kerangka spekulatif metafisika.

6.1.       Dalam Tradisi Filsafat Yunani dan Skolastik

Para filsuf setelah Aristoteles segera menyadari kekuatan heuristik dari struktur empat penyebab. Dalam dunia Helenistik, filsuf seperti Theophrastus dan Alexander dari Aphrodisias meneruskan upaya sistematisasi teori ini dalam konteks logika dan metafisika1. Namun, pengaruh yang paling besar terlihat pada filsafat abad pertengahan, terutama melalui tradisi skolastik yang dipelopori oleh tokoh-tokoh besar seperti Thomas Aquinas.

Bagi Aquinas, teori empat penyebab adalah instrumen utama untuk menjelaskan hubungan antara ciptaan dan Sang Pencipta. Ia menggunakan kerangka ini untuk membuktikan eksistensi Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama) dan causa finalis (tujuan akhir) dari seluruh realitas, seraya mempertahankan keutuhan filsafat Aristoteles dalam bingkai teologis Kristen2. Aquinas menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya sebagai penyebab awal (causa efficiens), tetapi juga sebagai tujuan tertinggi dari seluruh tatanan semesta3.

6.2.       Dalam Filsafat Islam dan Transmisi Pengetahuan

Di dunia Islam, teori ini mengalami penerimaan yang luas. Filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes) menjadikan empat penyebab sebagai bagian penting dari sistematika filsafat Islam. Ibnu Sina, khususnya, mengembangkan konsep wujūd (eksistensi) dan mahiyyah (hakikat) dalam kerangka kausalitas Aristotelian, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah penyebab niscaya dari segala sesuatu yang ada4.

Ibnu Rusyd memberikan komentar rinci terhadap karya Aristoteles, khususnya Metaphysics dan Physics, yang kemudian sangat berpengaruh pada para filsuf dan teolog Kristen Latin. Jalur transmisi inilah yang menjadikan Aristoteles dikenal kembali di Eropa abad ke-12 dan ke-13 melalui pusat-pusat penerjemahan seperti Toledo dan Palermo5.

6.3.       Dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan Biologi

Dalam ilmu pengetahuan klasik, khususnya biologi dan fisika, teori empat penyebab mendominasi hingga awal era modern. Aristoteles mengembangkan sistem klasifikasi dan observasi dalam biologi berdasarkan kausalitas—dari struktur anatomi (penyebab formal), proses perkembangan embrio (penyebab efisien), hingga fungsi organ (penyebab final). Ini menjadi dasar bagi ilmu kedokteran dan ilmu hayati selama berabad-abad, termasuk dalam karya Galen dan ilmuwan Muslim seperti Al-Razi dan Ibnu Nafis6.

Namun, pada masa Renaisans dan Revolusi Ilmiah, pendekatan ini mulai dikritik. Tokoh seperti Francis Bacon dan René Descartes menolak causa finalis, menganggapnya terlalu spekulatif dan tidak sesuai dengan metode eksperimental. Mereka lebih menekankan pada sebab material dan efisien yang dapat diuji secara empiris7. Meskipun demikian, beberapa ilmuwan modern seperti teleonomis dalam biologi evolusioner masih menggunakan pendekatan mirip dengan causa finalis, meskipun dalam bentuk fungsional, bukan metafisis.

6.4.       Relevansi Kontemporer dan Kritik

Pada abad ke-20 dan ke-21, teori ini mendapatkan apresiasi kembali dalam berbagai kajian filsafat sains dan metafisika. Filsuf seperti Edward Feser dan David Oderberg menekankan bahwa penolakan terhadap penyebab formal dan final menyebabkan hilangnya dimensi makna dan tujuan dalam ilmu pengetahuan kontemporer8. Mereka menyatakan bahwa pemahaman modern yang terlalu mekanistik tidak cukup untuk menjelaskan kompleksitas dalam biologi, psikologi, dan teknologi.

Sebagai contoh, dalam rekayasa sistem, perancangan kecerdasan buatan, dan bioetika, para ilmuwan dan insinyur dituntut mempertimbangkan bukan hanya "apa bahan dan prosesnya", tetapi juga "apa bentuk sistemnya" dan "apa tujuan akhirnya". Ini menunjukkan bahwa meskipun bahasanya telah berubah, struktur pemikiran Aristoteles tentang empat penyebab tetap relevan secara konseptual.


Secara keseluruhan, pengaruh teori Empat Penyebab Aristoteles membentang lintas zaman, tradisi intelektual, dan disiplin ilmu. Meskipun mengalami transformasi dan kritik, ia tetap menjadi salah satu kerangka kausal paling komprehensif dalam sejarah pemikiran manusia.


Footnotes

[1]                Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators and Their Influence (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 37–39.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3; lihat juga Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 117–119.

[3]                William Wallace, The Modeling of Nature: Philosophy of Science and Philosophy of Nature in Synthesis (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1996), 45–49.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 90–94.

[5]                Charles Burnett, Arabic into Latin in the Middle Ages: The Translators and Their Intellectual and Social Context (Farnham: Ashgate, 2009), 23–28.

[6]                G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 142–146.

[7]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Aphorisms I.48–52.

[8]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 73–76.


7.           Relevansi Kontemporer dan Aplikasi Interdisipliner

Di tengah kemajuan sains dan teknologi modern yang sangat bergantung pada penjelasan empiris dan kuantitatif, teori kausalitas Aristoteles tetap menunjukkan daya tahan konseptualnya. Empat jenis penyebab—material, formal, efisien, dan final—menawarkan kerangka penjelasan yang jauh lebih luas daripada pendekatan reduksionistik. Dalam berbagai bidang ilmu kontemporer, baik sains alam, teknologi, filsafat sains, hingga bioetika dan kecerdasan buatan, gagasan Aristoteles menemukan kembali relevansinya dalam memahami kompleksitas dunia modern1.

7.1.       Dalam Filsafat Sains dan Ilmu Alam

Filsafat sains kontemporer telah mengakui bahwa penjelasan ilmiah tidak cukup hanya dengan menyebutkan sebab material dan efisien. Nancy Cartwright, misalnya, mengkritik kecenderungan positivisme dalam sains modern yang hanya memfokuskan pada hukum-hukum sebab-akibat yang dapat diuji secara eksperimental, tanpa memerhatikan bentuk (struktur) dan tujuan dari sistem yang dikaji2. Ia mengusulkan bahwa banyak fenomena ilmiah hanya dapat dipahami secara realistis jika kita mengakui kapasitas, disposisi, dan kecenderungan sistem tertentu—konsep yang sejalan dengan penyebab formal dan final Aristotelian.

Dalam biologi evolusioner, konsep fungsi biologis sering dianggap sebagai bentuk causa finalis dalam istilah modern. Organ tertentu dianggap “bertujuan” untuk melakukan fungsi tertentu (misalnya, jantung untuk memompa darah), walaupun penjelasannya bersifat mekanistik. Hal ini menunjukkan bahwa teleologi fungsional masih memiliki tempat, meskipun tidak secara eksplisit diakui sebagai bentuk finalitas metafisis3.

7.2.       Dalam Teknologi dan Rekayasa Sistem

Di bidang teknologi, terutama rekayasa sistem dan desain perangkat lunak, keempat jenis penyebab Aristoteles dapat ditemukan dalam praktik rekayasa modern. Misalnya, dalam merancang sebuah sistem perangkat lunak:

·                     Penyebab material adalah komponen-komponen digital (kode, perangkat keras).

·                     Penyebab formal adalah arsitektur sistem dan logika algoritma.

·                     Penyebab efisien adalah para insinyur dan proses pengembangan perangkat lunak.

·                     Penyebab final adalah fungsi atau kebutuhan pengguna yang hendak dipenuhi oleh sistem tersebut4.

Kerangka ini sejalan dengan pendekatan desain sistem berbasis purpose-driven architecture dan goal-oriented engineering, di mana aspek-aspek struktural dan tujuan operasional menjadi landasan evaluasi desain. Maka, teori Aristoteles bukan hanya historis, tetapi juga sangat aplikatif dalam konteks teknologi modern.

7.3.       Dalam Etika Terapan dan Bioetika

Di ranah etika, khususnya bioetika, gagasan tentang causa finalis kembali diangkat dalam diskusi mengenai tujuan tindakan moral, nilai kehidupan manusia, dan prinsip kebajikan. Dalam pendekatan etika kebajikan (virtue ethics) yang berakar pada Aristoteles, kehidupan manusia dinilai baik sejauh ia mencapai telos-nya, yaitu eudaimonia (kebahagiaan atau aktualisasi diri)5.

Dalam diskusi mengenai teknologi kedokteran, misalnya, pertanyaan tentang apakah intervensi medis tertentu “baik” atau “bertujuan luhur” tidak dapat dijawab hanya dengan analisis material (apa substansinya) atau efisien (siapa pelakunya), tetapi juga harus memperhitungkan bentuk tindakan dan tujuannya. Dengan demikian, teori empat penyebab menyediakan fondasi konseptual yang mendalam untuk menilai dimensi etis dan filosofis dari tindakan manusia dalam sains dan teknologi6.

7.4.       Dalam Kecerdasan Buatan dan Teori Sistem Kompleks

Dalam kecerdasan buatan (AI) dan teori sistem kompleks, para peneliti mulai menyadari bahwa sekadar merancang algoritma tidak cukup untuk menghasilkan sistem yang “cerdas” atau “berperilaku bermakna.” Dibutuhkan pemahaman tentang struktur kognitif (penyebab formal), dinamika pembelajaran (penyebab efisien), dan tujuan sistem (penyebab final) untuk menciptakan AI yang adaptif dan bertanggung jawab7.

Pendekatan interdisipliner seperti system thinking, cybernetics, dan design science juga menunjukkan ketergantungan terhadap kerangka berpikir yang tidak jauh dari teori kausalitas Aristotelian, meskipun dalam istilah kontemporer. Ini menunjukkan bahwa model empat penyebab tetap menjadi paradigma konseptual yang relevan dalam memahami dan membangun sistem yang kompleks dan bernilai.


Dengan demikian, teori Empat Penyebab Aristoteles bukan sekadar warisan klasik, tetapi menjadi struktur pemikiran yang melintasi batas disiplin dan zaman. Relevansinya terletak pada kemampuannya menjembatani penjelasan antara “apa”, “bagaimana”, dan “mengapa”—sebuah sintesis yang sangat dibutuhkan di era kompleksitas dan krisis makna dewasa ini.


Footnotes

[1]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 65–70.

[2]                Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement (Oxford: Clarendon Press, 1989), 12–16.

[3]                Alexander Rosenberg, Philosophy of Science: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 2012), 208–210.

[4]                Klaus Krippendorff, The Semantic Turn: A New Foundation for Design (Boca Raton: CRC Press, 2005), 75–78.

[5]                Rosalind Hursthouse and Glen Pettigrove, "Virtue Ethics," in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Fall 2018 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/ethics-virtue/.

[6]                Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical Practice (Oxford: Oxford University Press, 1993), 15–18.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 91–93.


8.           Kritik dan Perkembangan Pemikiran Pasca-Aristotelian

Teori Empat Penyebab Aristoteles telah memengaruhi pemikiran filsafat dan sains selama lebih dari dua milenium. Namun, seiring dengan perkembangan epistemologi dan metode ilmiah modern, kerangka kausalitas Aristoteles mulai mengalami tantangan yang signifikan, terutama dalam kaitannya dengan validitas ilmiah dan keberterimaan dalam komunitas akademik rasionalistik dan empiris. Kendati demikian, warisan pemikiran ini juga tidak ditinggalkan sepenuhnya, melainkan mengalami reinterpretasi, kritik, dan transformasi yang melahirkan diskursus baru dalam berbagai bidang.

8.1.       Kritik dari Ilmuwan Modern dan Empirisisme

Kritik besar terhadap teori empat penyebab mulai muncul secara sistematis pada masa Renaissance dan menguat pada masa Pencerahan. Tokoh seperti Francis Bacon dan René Descartes menolak pendekatan teleologis Aristoteles yang dinilai terlalu spekulatif dan tidak operasional secara ilmiah. Bacon dalam Novum Organum menyerukan pengabaian terhadap causa finalis, dengan alasan bahwa sains sejati hanya dapat dibangun di atas observasi dan eksperimen, bukan atas asumsi tujuan metafisis1.

Descartes juga menolak penjelasan berbasis bentuk dan tujuan, dan menggantinya dengan mekanika deterministik, di mana fenomena alam dijelaskan sepenuhnya melalui hukum gerak dan interaksi antarpartikel. Dalam pandangan Descartes, dunia bekerja seperti mesin, dan karena itu penyebab efisien menjadi satu-satunya bentuk kausalitas yang sah secara ilmiah2.

Kritik ini diperkuat oleh perkembangan fisika Newtonian yang sangat berhasil menjelaskan gerakan benda tanpa melibatkan konsep finalitas atau bentuk. Akibatnya, teori kausalitas Aristotelian dianggap usang dalam kerangka paradigma ilmiah modern yang berbasis empirisme dan kuantifikasi.

8.2.       Tantangan dari Filsafat Empiris dan Analitik

David Hume memberikan tantangan serius terhadap seluruh struktur kausalitas, bukan hanya dalam versi Aristoteles. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, Hume meragukan dasar epistemologis dari hubungan sebab-akibat, karena ia tidak dapat ditangkap secara langsung oleh indra dan hanya merupakan kebiasaan pikiran manusia yang menyimpulkan bahwa satu peristiwa mengikuti peristiwa lain3. Kritik ini mengguncang seluruh fondasi kausalitas metafisik dan menandai titik balik dalam filsafat modern.

Filsuf analitik seperti Bertrand Russell lebih lanjut menyatakan bahwa konsep “sebab” itu sendiri sudah tidak berguna lagi dalam fisika teoretis modern, terutama dalam konteks teori relativitas dan mekanika kuantum4. Menurut Russell, “cause” tidak memiliki tempat dalam deskripsi matematis terhadap hukum alam.

8.3.       Rehabilitasi dan Pembacaan Kembali Teori Aristoteles

Meskipun mendapat kritik tajam, beberapa filsuf abad ke-20 dan ke-21 mencoba merehabilitasi teori Aristoteles melalui pembacaan ulang yang lebih kontekstual. Misalnya, Martin Heidegger dalam Being and Time mengapresiasi gagasan Aristoteles tentang causa formalis dan causa finalis sebagai cara memahami makna eksistensial dari keberadaan5. Ia menyatakan bahwa reduksi realitas menjadi sekadar fenomena kuantitatif mengabaikan aspek makna yang melekat dalam eksistensi manusia dan benda.

Edward Feser, filsuf kontemporer dari tradisi Thomistik, juga membela relevansi teori Empat Penyebab dalam menjelaskan kompleksitas sistem biologi dan ilmu pengetahuan alam. Feser berpendapat bahwa penyebab formal dan final diperlukan untuk memahami tujuan fungsional dan integritas sistematis yang tidak dapat dijelaskan secara memadai melalui penyebab material dan efisien saja6.

8.4.       Evolusi Konseptual dalam Ilmu dan Teknologi

Dalam beberapa dekade terakhir, muncul pendekatan interdisipliner yang secara tidak langsung menghidupkan kembali kerangka Aristotelian, meskipun dengan bahasa dan pendekatan baru. Misalnya, dalam teori sistem kompleks dan desain perangkat lunak, konsep-konsep seperti purpose, architecture, dan agency sejatinya merupakan terjemahan modern dari empat penyebab7.

Sementara dalam etika terapan dan bioetika, konsep finalitas kembali menjadi sorotan dalam diskusi tentang hakikat tindakan moral, nilai-nilai hidup, dan arah perkembangan teknologi. Bahkan dalam ranah AI dan teknologi otonom, dimensi tujuan (final cause) mulai menjadi pertimbangan penting dalam perancangan sistem yang bertanggung jawab secara sosial8.


Dengan demikian, meskipun mengalami dekonstruksi dan kritik dalam sejarah modern, teori Empat Penyebab Aristoteles terus menunjukkan elastisitasnya. Ia bukan sistem tertutup yang dogmatis, tetapi kerangka reflektif yang kaya, yang terus mengilhami pendekatan holistik dalam memahami realitas, baik dalam ilmu maupun dalam filsafat.


Footnotes

[1]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Aphorisms I.48–52.

[2]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger and Reese Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), I.26–28.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), Section VII.

[4]                Bertrand Russell, “On the Notion of Cause,” Proceedings of the Aristotelian Society 13 (1912): 1–26.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–83.

[6]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 101–106.

[7]                Klaus Krippendorff, The Semantic Turn: A New Foundation for Design (Boca Raton: CRC Press, 2005), 62–65.

[8]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 88–93.


9.           Penutup

Teori Empat Penyebab yang dikembangkan oleh Aristoteles merupakan salah satu kontribusi paling berpengaruh dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan memadukan empat dimensi penjelasan—yakni causa materialis (bahan), causa formalis (bentuk), causa efficiens (penyebab aktif), dan causa finalis (tujuan)—Aristoteles menyusun suatu kerangka kausalitas yang menyeluruh dan sistematis. Teori ini tidak hanya menjawab pertanyaan tentang apa dan bagaimana sesuatu terjadi, tetapi juga mengapa sesuatu itu ada dan menjadi seperti adanya1.

Dalam dimensi ontologis, teori ini memberikan landasan untuk memahami struktur dasar realitas sebagai kombinasi dari potensi dan aktualitas—suatu pendekatan yang memperkaya pandangan metafisis dan membedakannya dari reduksionisme materialistik atau dualisme platonik2. Sementara dalam dimensi kosmologis, kerangka empat penyebab mengarah pada pemahaman tentang alam semesta sebagai tatanan yang tertuju pada aktualisasi dan keteraturan, dengan Tuhan sebagai penyebab pertama yang tidak bergerak (unmoved mover) sekaligus tujuan akhir dari segala eksistensi3.

Kekuatan teori ini juga terletak pada kemampuannya untuk melintasi batas-batas disiplin ilmu. Dalam biologi, teknologi, etika, dan bahkan filsafat informasi kontemporer, konsep-konsep Aristotelian terus menginspirasi cara berpikir yang bersifat integratif dan reflektif. Meskipun dikritik keras selama era modern, terutama oleh ilmuwan empiris dan filsuf rasionalis seperti Descartes, Hume, dan Russell4, kerangka ini tetap hidup dan mengalami revitalisasi dalam pemikiran pascamodern dan interdisipliner. Upaya-upaya pembacaan kembali, seperti yang dilakukan oleh Edward Feser dan Nancy Cartwright, menunjukkan bahwa teori Empat Penyebab masih menyimpan relevansi filosofis dan heuristik dalam menjawab tantangan kompleksitas zaman kini5.

Lebih dari sekadar model kausalitas, teori Aristoteles ini merupakan refleksi mendalam tentang makna keberadaan. Ia mengajarkan bahwa memahami sesuatu secara utuh membutuhkan pandangan yang tidak terpecah: antara bahan dan bentuk, antara proses dan tujuan. Dalam dunia yang sering kali terfragmentasi oleh spesialisasi ilmu, pendekatan Aristotelian mengingatkan kita pada pentingnya integrasi pengetahuan sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Maka, menyingkap realitas melalui Empat Penyebab bukanlah sekadar usaha intelektual, tetapi juga jalan menuju pemahaman eksistensial yang lebih dalam tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya6.


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), II.3, 194b–195a.

[2]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 71–75.

[3]                Aristotle, Metaphysics, XII.7, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1072a–1072b.

[4]                Bertrand Russell, “On the Notion of Cause,” Proceedings of the Aristotelian Society 13 (1912): 1–26; David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), Section VII.

[5]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2019), 65–72; Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement (Oxford: Clarendon Press, 1989), 17–20.

[6]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 198–200.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1984). The complete works of Aristotle (J. Barnes, Ed.; R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). Princeton University Press.
(Termasuk: Physics, Metaphysics, Posterior Analytics)

Bacon, F. (2000). The new organon (L. Jardine & M. Silverthorne, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1620)

Burnett, C. (2009). Arabic into Latin in the Middle Ages: The translators and their intellectual and social context. Ashgate.

Cartwright, N. (1989). Nature’s capacities and their measurement. Clarendon Press.

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. Rodger & R. Miller, Trans.). Reidel. (Original work published 1644)

Feser, E. (2017). Five proofs of the existence of God. Ignatius Press.

Feser, E. (2019). Aristotle’s revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science. Editiones Scholasticae.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1748)

Hursthouse, R., & Pettigrove, G. (2018). Virtue ethics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2018 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/ethics-virtue/

Krippendorff, K. (2005). The semantic turn: A new foundation for design. CRC Press.

Lear, J. (1988). Aristotle: The desire to understand. Cambridge University Press.

Lloyd, G. E. R. (1968). Aristotle: The growth and structure of his thought. Cambridge University Press.

Loux, M. (2006). Metaphysics: A contemporary introduction (3rd ed.). Routledge.

Nussbaum, M. C. (1978). Aristotle’s De motu animalium. Princeton University Press.

Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The virtues in medical practice. Oxford University Press.

Rosenberg, A. (2012). Philosophy of science: A contemporary introduction (3rd ed.). Routledge.

Russell, B. (1912). On the notion of cause. Proceedings of the Aristotelian Society, 13, 1–26.

Sedley, D. (2007). Creationism and its critics in antiquity. University of California Press.

Sorabji, R. (1980). Necessity, cause, and blame: Perspectives on Aristotle’s theory. Duckworth.

Sorabji, R. (1990). Aristotle transformed: The ancient commentators and their influence. Cornell University Press.

Wallace, W. A. (1996). The modeling of nature: Philosophy of science and philosophy of nature in synthesis. Catholic University of America Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar