Kebebasan
Perspektif Filsafat Klasik hingga Kontemporer
Alihkan ke: Kebebasan
Berkehendak, Eksperimen
Libet.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan konseptual dan filosofis mengenai kebebasan dari masa
klasik hingga era kontemporer. Dalam lintasan sejarah pemikiran, kebebasan
tidak dipahami secara tunggal, melainkan melalui berbagai perspektif yang
mencerminkan konteks historis, kultural, dan epistemologis masing-masing zaman.
Pada era klasik, filsuf seperti Plato dan Aristoteles memahami kebebasan
sebagai pengendalian diri oleh akal dan orientasi menuju kebaikan. Pada abad
pertengahan, kebebasan ditinjau dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan dan
rahmat ilahi dalam tradisi Kristen dan Islam. Periode modern memperkenalkan
gagasan kebebasan sebagai otonomi moral dan hak kodrati melalui pemikiran
Descartes, Locke, Rousseau, dan Kant. Sementara itu, pemikir kontemporer
seperti Isaiah Berlin, Sartre, Foucault, dan Charles Taylor menyoroti
kompleksitas kebebasan dalam konteks eksistensial, kekuasaan tersembunyi, dan
pengakuan sosial. Artikel ini juga menelaah dimensi sosial-politik kebebasan
dalam demokrasi, hak asasi manusia, serta ketegangan antara individu dan
kolektif. Selain itu, kebebasan ditinjau dalam perspektif agama dan
spiritualitas sebagai pembebasan batiniah menuju kesempurnaan moral dan
transendensi. Di era digital, kebebasan menghadapi tantangan baru seperti
pengawasan masif, manipulasi algoritmik, dan ketimpangan digital. Artikel ini
menyimpulkan bahwa kebebasan adalah konsep multidimensional yang terus menuntut
refleksi kritis dan pembaruan kontekstual.
Kata Kunci: kebebasan, filsafat, otonomi, hak asasi manusia,
eksistensialisme, pengawasan digital, agama, demokrasi, etika, sejarah
pemikiran.
PEMBAHASAN
Menelusuri Makna Kebebasan
1.
Pendahuluan
Konsep kebebasan
atau freedom
merupakan salah satu tema sentral dalam filsafat, baik dalam ranah etika,
politik, maupun metafisika. Sejak zaman kuno hingga era kontemporer, para
filsuf telah bergulat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
hakikat kebebasan: Apakah manusia benar-benar bebas dalam menentukan pilihan
hidupnya? Apakah kebebasan berarti ketiadaan batasan, atau justru mengandaikan
adanya tatanan moral dan hukum? Bagaimana kebebasan berperan dalam kehidupan
individu dan masyarakat?
Kebebasan bukan
sekadar soal memilih tanpa paksaan, melainkan berkaitan erat dengan pemahaman
akan diri, tanggung jawab, dan relasi dengan sesama. Oleh karena itu, studi
tentang kebebasan tidak hanya menyentuh dimensi teoritis, tetapi juga
mempengaruhi orientasi praksis dalam bidang politik, hukum, pendidikan, bahkan
spiritualitas. Isaiah Berlin, seorang filsuf politik terkemuka abad ke-20,
membedakan antara dua konsep kebebasan: kebebasan negatif (freedom from)
dan kebebasan
positif (freedom to). Keduanya memiliki implikasi yang sangat
berbeda terhadap cara kita memahami peran negara, hak individu, dan moralitas
sosial.¹
Selain dalam konteks
politik, kebebasan juga menjadi bahan renungan metafisik. Dalam tradisi
filsafat modern, Immanuel Kant menempatkan kebebasan sebagai dasar dari
tindakan moral. Menurutnya, manusia hanya dapat dianggap bertanggung jawab
secara etis apabila ia bertindak secara otonom, yakni berdasarkan hukum moral
yang ditetapkan oleh akalnya sendiri.² Di sisi lain, para pemikir
eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan radikal manusia,
sembari menunjukkan bahwa kebebasan juga bisa menjadi beban, karena manusia
bertanggung jawab sepenuhnya atas dirinya.³
Namun, perbincangan
mengenai kebebasan tidak berhenti pada wacana filosofis Barat. Dalam filsafat
Islam, perdebatan antara qadar (takdir) dan ikhtiyar (pilihan bebas) telah lama
menjadi tema utama dalam diskursus teologi dan etika.⁴ Ini menunjukkan bahwa
kebebasan adalah isu yang melampaui batas-batas geografis dan budaya, serta
menuntut refleksi yang mendalam dari berbagai perspektif.
Artikel ini
bertujuan untuk menelusuri dan memetakan konsep kebebasan dalam sejarah
pemikiran filsafat, mulai dari filsafat Yunani Kuno, abad pertengahan, modern,
hingga kontemporer. Pendekatan yang digunakan bersifat historis-komparatif
dengan menekankan relevansi filosofis setiap pandangan terhadap dinamika
kehidupan manusia masa kini. Dengan pemahaman yang komprehensif terhadap konsep
kebebasan, diharapkan pembaca tidak hanya memahami pelbagai perspektif
teoritis, tetapi juga mampu merefleksikannya dalam konteks aktual yang terus
berubah.
Footnotes
[1]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1969), 118–172.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 44–46.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553–554.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 135–145.
2.
Definisi
dan Esensi Kebebasan
Kebebasan (freedom
atau liberty)
merupakan konsep multidimensi yang dapat didekati dari berbagai sudut pandang:
linguistik, filosofis, sosial, dan politis. Secara etimologis, kata “kebebasan”
dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “bebas”, yang berarti
tidak terikat atau tidak terhalangi. Dalam bahasa Latin, istilah libertas
berarti kondisi tidak berada dalam perbudakan, yang berkaitan dengan hak politik
dan otonomi pribadi.¹ Sementara dalam bahasa Yunani kuno, istilah eleutheria
mengacu pada status sebagai warga bebas yang memiliki hak untuk berpartisipasi
dalam urusan publik.²
Dalam ranah
filsafat, kebebasan sering didefinisikan dalam dua bentuk utama: kebebasan
negatif dan kebebasan positif. Pembagian
ini secara eksplisit dikemukakan oleh Isaiah Berlin dalam kuliah terkenalnya
berjudul Two
Concepts of Liberty (1958).³
·
Kebebasan
negatif adalah kebebasan dari campur tangan pihak luar. Dalam
pengertian ini, seseorang dianggap bebas sejauh tidak ada orang lain yang
menghalangi tindakannya. Konsep ini menjadi landasan penting bagi pemikiran
liberal klasik yang menekankan perlindungan hak individu dari intervensi
negara.⁴
·
Kebebasan
positif, di sisi lain, merujuk pada kebebasan untuk menguasai
diri sendiri, menjadi tuan atas hidupnya sendiri. Dalam pengertian ini,
kebebasan bukan sekadar ketiadaan batasan, tetapi kemampuan untuk bertindak
sesuai dengan akal dan nilai-nilai yang diyakini secara otonom.⁵
Pandangan Berlin
tersebut memperjelas bahwa kebebasan bukanlah satu konsep tunggal, melainkan
mencerminkan ketegangan antara perlindungan terhadap individu dan upaya
pembentukan identitas moral serta kolektifitas sosial. Kedua bentuk kebebasan
ini sering kali saling bertentangan dalam praktik politik modern: misalnya,
perluasan kebebasan positif melalui pendidikan atau intervensi negara bisa
dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan negatif individu.
Selain pembagian di
atas, filsafat kontemporer juga membedakan antara kebebasan
sebagai kondisi dan kebebasan sebagai kapasitas.⁶
Kebebasan sebagai kondisi mengacu pada situasi eksternal yang memungkinkan
individu bebas dari dominasi dan tekanan, seperti kebebasan politik atau
sosial. Sedangkan kebebasan sebagai kapasitas menyoroti kemampuan internal
seseorang untuk bertindak secara sadar, rasional, dan bertanggung jawab.
Konsep kebebasan
juga sering dipertentangkan dengan determinisme. Apakah manusia bebas dalam
arti mutlak, ataukah tindakannya selalu ditentukan oleh sebab-sebab tertentu?
Dalam filsafat metafisika, perdebatan ini dikenal sebagai free
will vs. determinism. Filsuf-filsuf seperti David Hume berusaha
mencari titik temu dengan mengembangkan teori compatibilism, yaitu pandangan
bahwa kehendak bebas dapat eksis sekalipun dalam kerangka sebab-akibat yang
ketat.⁷
Dengan demikian,
kebebasan merupakan konsep yang kaya dan kompleks. Ia tidak dapat dipahami
secara tunggal atau disederhanakan menjadi “boleh melakukan apa saja”.
Sebaliknya, pemahaman yang mendalam tentang kebebasan menuntut pertimbangan
terhadap kondisi sosial-politik, kemampuan internal manusia, serta struktur
nilai dan moralitas yang mendasarinya.
Footnotes
[1]
Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society
(New York: Oxford University Press, 1983), 121.
[2]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 30–33.
[3]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1969), 118–172.
[4]
John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, Roberts &
Green, 1859), 12–16.
[5]
Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?”, dalam Philosophy
and the Human Sciences: Philosophical Papers, vol. 2 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 211–229.
[6]
Quentin Skinner, Liberty Before Liberalism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 7–10.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 95–100.
3.
Perspektif
Filsafat Klasik
Pemikiran tentang
kebebasan telah hadir sejak masa awal filsafat Barat, khususnya dalam tradisi
Yunani Kuno. Para filsuf klasik seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah
memunculkan dasar-dasar konseptual penting tentang hubungan antara kebebasan,
kehendak, akal budi, dan moralitas. Meskipun gagasan kebebasan pada masa ini
belum dirumuskan secara eksplisit sebagaimana dalam filsafat modern, kerangka
pemikirannya tetap memiliki pengaruh besar terhadap diskursus filosofis
selanjutnya.
3.1.
Socrates: Kebebasan sebagai Kebajikan dalam Pengetahuan
Socrates tidak
secara langsung mendefinisikan “kebebasan”, namun ajarannya menekankan
bahwa kebebasan sejati berasal dari penguasaan diri dan kehidupan yang dijalani
secara reflektif. Dalam Apologia, Socrates menyatakan bahwa
“hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani” (the unexamined life is not worth living).¹
Pernyataan ini mencerminkan gagasan bahwa kebebasan manusia sejati adalah
kemampuan untuk menggunakan akal secara kritis dan etis dalam menentukan arah
hidupnya, bukan sekadar mengikuti nafsu atau tradisi.
3.2.
Plato: Kebebasan dari Belenggu Hasrat dan
Ketidaktahuan
Plato, murid
Socrates, mengembangkan lebih lanjut pemikiran tentang kebebasan dalam
karya-karya seperti Republic dan Phaedrus.
Bagi Plato, manusia tidak benar-benar bebas jika ia diperbudak oleh hasrat
rendah dan ketidaktahuan. Kebebasan sejati adalah hasil dari keteraturan jiwa,
di mana akal (logos) mengendalikan semangat (thymos) dan keinginan
(epithymia).² Dalam mitos gua yang terkenal, Plato
menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terikat dalam ketidaktahuan, dan
hanya dengan filsafat serta pengetahuan yang benar, ia dapat membebaskan diri
menuju dunia ide yang lebih hakiki.³
3.3.
Aristoteles: Kebebasan dalam Kerangka
Rasionalitas dan Etika
Aristoteles
menawarkan pendekatan yang lebih sistematis terhadap konsep kehendak dan
tanggung jawab moral. Dalam Nicomachean Ethics, ia mengemukakan
bahwa kebebasan berkaitan erat dengan kehendak yang rasional. Tindakan yang prohairetikon
(berdasarkan pilihan yang disengaja) adalah tindakan bebas, dan hanya tindakan
semacam itu yang dapat dinilai secara etis.⁴ Kebebasan, dalam pandangan
Aristoteles, bukanlah ketiadaan aturan, melainkan tindakan sadar yang diarahkan
pada kebaikan (eudaimonia) melalui kebiasaan baik (arete).⁵
Lebih lanjut,
Aristoteles juga menekankan pentingnya konteks sosial-politik dalam pemahaman
kebebasan. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa
manusia adalah “zoon politikon” (makhluk politik), dan hanya
dalam polis
(kota negara) seseorang dapat mengaktualisasikan potensi kebebasannya sebagai
warga yang rasional dan bermoral.⁶
Simpulan Sementara
Dari pemikiran
ketiga tokoh ini, tampak bahwa filsafat klasik memahami kebebasan sebagai
pembebasan dari ketidaktahuan dan dominasi hasrat, serta sebagai kemampuan
untuk bertindak berdasarkan akal dan nilai-nilai moral. Kebebasan tidak
dipandang sebagai kebebasan negatif (kebebasan dari paksaan), melainkan sebagai
kondisi batin dan rasionalitas yang terarah pada kehidupan yang baik. Kerangka
ini menjadi fondasi penting bagi perkembangan konsep kebebasan dalam filsafat
modern dan kontemporer.
Footnotes
[1]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.
[2]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing,
1997), 439d–441c.
[3]
Plato, Republic, 514a–520a.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1111b5–1113b22.
[5]
Ibid., 1098a16–1098b9.
[6]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 1253a1–3.
4.
Pandangan
Filsafat Abad Pertengahan
Dalam periode
filsafat Abad Pertengahan, pembahasan mengenai kebebasan tidak dapat dilepaskan
dari kerangka teologis yang dominan, baik dalam tradisi Kristen Latin maupun
filsafat Islam. Pertanyaan utama dalam periode ini bukan hanya tentang apakah
manusia bebas, tetapi bagaimana kebebasan manusia dapat dikatakan
eksis dalam tatanan kosmis yang dikuasai oleh kehendak dan pengetahuan Tuhan
yang absolut. Ketegangan antara kehendak bebas manusia (free will)
dan penentuan
ilahi (divine providence) menjadi perdebatan sentral dalam
pemikiran para filsuf dan teolog seperti Agustinus, Thomas
Aquinas, serta filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina.
4.1.
Agustinus (354–430 M): Dosa, Anugerah, dan
Kebebasan Kehendak
Agustinus dari Hippo
merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam merumuskan hubungan antara
kehendak bebas dan rahmat Tuhan. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak
bebas sebagai karunia dari Tuhan, namun akibat dosa asal, kehendak tersebut
menjadi cenderung pada kejahatan. Kebebasan sejati, menurut Agustinus, hanya
mungkin ketika kehendak manusia dibebaskan oleh rahmat ilahi (grace).¹
Dalam karyanya De
Libero Arbitrio, Agustinus membela eksistensi kehendak bebas
sebagai dasar tanggung jawab moral.² Namun dalam karya-karya berikutnya,
khususnya setelah polemik melawan Pelagius, ia lebih menekankan pentingnya
rahmat Tuhan dalam membebaskan kehendak manusia yang telah rusak oleh dosa.³
Dengan demikian, kebebasan dalam pandangan Agustinus adalah kemampuan
untuk memilih yang baik karena terbebas oleh kasih karunia, bukan
kebebasan netral untuk memilih baik atau jahat secara setara.
4.2.
Thomas Aquinas (1225–1274): Sintesis
Aristotelian dan Teologi Kristen
Thomas Aquinas
berupaya menyelaraskan ajaran Kristen dengan filsafat Aristoteles. Dalam Summa
Theologiae, ia menjelaskan bahwa kebebasan manusia berakar pada
kemampuan akal untuk menimbang kebaikan, dan kehendak untuk memilih sesuai
hasil pertimbangan tersebut.⁴ Akal memberikan arah, sedangkan kehendak memberi
dorongan tindakan; dan keduanya bekerja dalam harmoni.
Menurut Aquinas,
Tuhan adalah penyebab utama dari segala sesuatu, termasuk tindakan bebas
manusia. Namun, kausalitas ilahi tidak membatalkan kebebasan manusia karena
Tuhan menyebabkan kehendak manusia bertindak secara bebas sesuai kodratnya.⁵
Inilah prinsip concurrent causality, di mana Tuhan
dan manusia bertindak bersama tanpa saling meniadakan.
Kebebasan, dalam
pengertian Aquinas, bukan sekadar ketiadaan paksaan, tetapi kapasitas rasional
untuk memilih yang sesuai dengan kebaikan moral.⁶ Maka, manusia paling bebas
justru ketika ia memilih apa yang secara objektif baik, bukan saat ia bertindak
sembarangan tanpa kendali.
4.3.
Perspektif Filsuf Muslim: Kebebasan antara
Qadar dan Ikhtiyar
Dalam tradisi
filsafat Islam, isu kehendak bebas juga menjadi perhatian utama. Filsuf seperti
al-Farabi
(w. 950) dan Ibn Sina (Avicenna, w. 1037)
mengikuti pendekatan rasionalistik dalam menjelaskan kebebasan manusia. Ibn
Sina, misalnya, menyatakan bahwa kehendak bebas manusia merupakan hasil dari
pengetahuan dan kecenderungan jiwa terhadap yang dipandang baik.⁷ Dalam
pandangan ini, tindakan manusia tidak terjadi secara acak, tetapi melalui sebab
yang melibatkan akal dan kehendak.
Namun dalam teologi
Islam (kalam), perdebatan antara golongan Jabariyah dan Qadariyah
memperlihatkan kutub ekstrem antara determinisme dan kebebasan mutlak. Posisi
teologis Ahlus
Sunnah wal Jamaah, khususnya dalam mazhab Asy'ariyah, mengambil
jalan tengah dengan konsep kasb (perolehan), yaitu bahwa
manusia "memperoleh" perbuatannya meskipun Tuhan menciptakan dan
mengetahui semuanya.⁸ Konsep ini menjadi kontribusi khas Islam dalam diskursus
teologis-filosofis tentang kebebasan.
Simpulan Sementara
Pandangan filsafat
Abad Pertengahan mengenai kebebasan ditandai oleh upaya untuk menjaga
keseimbangan antara supremasi Tuhan dan tanggung jawab moral manusia. Kebebasan
bukanlah kebebasan otonom dalam arti modern, tetapi suatu kapasitas untuk
mengarahkan kehendak kepada kebaikan melalui bantuan akal dan rahmat ilahi.
Meskipun berakar pada teologi, pemikiran para filsuf abad pertengahan tetap
meletakkan fondasi penting dalam diskusi metafisika dan etika tentang kebebasan
yang terus bergema hingga masa kini.
Footnotes
[1]
Augustine, On the Free Choice of the Will, trans. Thomas
Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 54–65.
[2]
Ibid., 3–7.
[3]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), XIX.13–14.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 13–17, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[5]
Ibid., I, q. 83, a. 1–2.
[6]
Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics, trans.
Mary Thomas Noble (Washington, D.C.: Catholic University of America Press,
1995), 374–376.
[7]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 150–155.
[8]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 130–136.
5.
Era
Modern: Rasionalitas dan Otonomi
Filsafat modern
ditandai oleh pergeseran paradigma dari penekanan pada tatanan ilahi menuju
afirmasi terhadap subjek rasional sebagai pusat
kesadaran dan moralitas. Dalam konteks ini, kebebasan tidak lagi dipahami terutama sebagai
hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan sebagai kapasitas
otonom individu untuk berpikir dan bertindak berdasarkan akal. Era ini
mencerminkan optimisme terhadap kemampuan manusia untuk mengatur dirinya
sendiri dan masyarakat melalui prinsip rasionalitas, kontrak sosial, dan hukum
moral.
5.1.
René Descartes (1596–1650): Subjek sebagai
Dasar Kebebasan
Descartes memulai
proyek filsafat modern dengan cogito ergo sum
(“aku berpikir, maka aku ada”), yang menempatkan kesadaran diri sebagai
fondasi pengetahuan. Dalam konteks kebebasan, Descartes menegaskan bahwa
kehendak adalah fakultas tertinggi dalam diri
manusia karena ia tidak terbatas seperti intelek.¹
Ia membedakan antara
dua aspek kebebasan: kebebasan indiferen (freedom of
indifference), yaitu kemampuan memilih tanpa alasan, dan kebebasan
rasional, yaitu kehendak yang diarahkan oleh pengetahuan dan
kebaikan. Descartes lebih memihak pada kebebasan yang rasional karena ia
memandang bahwa tindakan bebas yang baik justru terjadi ketika kehendak
mengikuti intelek yang terang.²
5.2.
John Locke (1632–1704): Kebebasan sebagai Hak
Alamiah
Dalam ranah politik,
Locke memberikan sumbangan penting terhadap konsep kebebasan
sipil dan politik melalui teori hak alamiah dan kontrak sosial.
Menurut Locke, manusia pada hakikatnya bebas dan setara dalam “keadaan
alamiah” (state of nature), dan memiliki hak
untuk hidup, kebebasan, dan milik.³ Negara, dalam pandangan Locke, dibentuk
justru untuk melindungi kebebasan individu,
bukan untuk mengekangnya.⁴
Kebebasan di sini
dipahami sebagai kebebasan dari paksaan eksternal,
tetapi dalam batasan hukum alam dan akal. Artinya, seseorang bebas sejauh ia
tidak dirugikan oleh orang lain dan tidak merugikan orang lain. Pandangan Locke
menjadi dasar penting bagi pemikiran liberalisme modern, termasuk pengaruhnya
terhadap Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.
5.3.
Jean-Jacques Rousseau (1712–1778): Otonomi dan
Kehendak Umum
Rousseau menawarkan
pendekatan berbeda dalam The Social Contract, dengan
menyatakan bahwa manusia “dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia
terbelenggu.”_⁵ Bagi Rousseau, kebebasan sejati tidak terletak pada hidup
liar di alam, melainkan pada partisipasi dalam pembentukan kehendak
umum (volonté générale) yang menjadi dasar hukum bersama.
Konsep kebebasan
Rousseau bersifat positif dan kolektif,
yakni menjadi bebas berarti menaati hukum yang dibuat oleh diri sendiri sebagai
bagian dari komunitas politik.⁶ Oleh karena itu, kendati tampak paradoksal,
Rousseau menyatakan bahwa dengan mematuhi hukum umum, seseorang justru “dipaksa
untuk bebas.”_⁷
5.4.
Immanuel Kant (1724–1804): Kebebasan sebagai
Otonomi Moral
Kant memberikan
artikulasi paling mendalam tentang kebebasan sebagai autonomi,
yaitu kemampuan untuk memberi hukum moral bagi diri sendiri berdasarkan akal
praktis. Dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals,
ia menyatakan bahwa kebebasan adalah prasyarat bagi moralitas:
seseorang hanya dapat dianggap bertanggung jawab jika ia bertindak berdasarkan
hukum yang dipilihnya secara bebas dan rasional.⁸
Menurut Kant,
kebebasan bukanlah sekadar kebebasan bertindak menurut keinginan, melainkan kebebasan
untuk menaati hukum moral (imperatif kategoris) yang bersifat
universal.⁹ Maka, kebebasan dan kewajiban moral tidak saling bertentangan,
tetapi justru saling menyempurnakan. Inilah inti dari otonomi moral dalam
filsafat Kant.
Simpulan Sementara
Era modern
mengangkat manusia sebagai subjek rasional yang bebas, otonom, dan bertanggung
jawab. Kebebasan dipahami dalam berbagai dimensi: sebagai kehendak rasional
(Descartes), sebagai hak individual (Locke), sebagai partisipasi dalam kehendak
kolektif (Rousseau), dan sebagai penataan diri berdasarkan hukum moral (Kant).
Paradigma ini menjadi pondasi filsafat politik liberal dan etika modern yang
menekankan penghormatan terhadap martabat manusia dan otonomi pribadi.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 59–62.
[2]
René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine
Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), Part I, §39–41.
[3]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.
[4]
Ibid., 350–360.
[5]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49.
[6]
Ibid., 60–64.
[7]
Ibid., 64.
[8]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 52–58.
[9]
Ibid., 62–67.
6.
Perspektif
Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
menyajikan pemikiran tentang kebebasan dalam konteks dunia yang semakin
kompleks: pluralisme nilai, struktur kekuasaan yang tersembunyi, dan krisis
identitas subjek modern. Dalam kerangka ini, kebebasan tidak lagi dilihat
semata-mata sebagai pilihan rasional atau hak individual, melainkan sebagai
hasil tarik-menarik antara struktur sosial, wacana budaya, dan kapasitas
agensi. Pemikir-pemikir seperti Isaiah Berlin, Jean-Paul
Sartre, Michel Foucault, dan Charles
Taylor memberikan kontribusi penting dengan pendekatan yang
berbeda-beda terhadap konsep kebebasan.
6.1.
Isaiah Berlin: Dua Konsep Kebebasan
Isaiah Berlin
terkenal karena pembedahannya antara kebebasan negatif dan kebebasan
positif, yang ia kemukakan dalam kuliahnya tahun 1958 berjudul Two
Concepts of Liberty.¹
·
Kebebasan
negatif adalah kebebasan dari paksaan eksternal—misalnya,
kebebasan dari campur tangan negara, kekuasaan, atau individu lain. Konsep ini
menjadi landasan filsafat politik liberal yang menekankan perlindungan terhadap
hak-hak individu.
·
Kebebasan
positif, di sisi lain, adalah kebebasan untuk menguasai
diri sendiri, yaitu menjadi tuan atas kehendak pribadi, sering kali
melalui identifikasi dengan rasionalitas atau kehendak umum.
Berlin
memperingatkan bahwa ketika kebebasan positif disalahgunakan oleh kekuasaan
politik, ia bisa menjadi alat penindasan yang dibenarkan dengan klaim bahwa
individu “dibebaskan” untuk kebaikan mereka sendiri.² Oleh karena itu,
menurut Berlin, menjaga kebebasan negatif sangat penting dalam masyarakat
pluralistik.
6.2.
Jean-Paul Sartre: Kebebasan sebagai Kondisi
Eksistensial
Dalam filsafat
eksistensialisme, khususnya pemikiran Jean-Paul Sartre, kebebasan
memiliki posisi yang radikal. Sartre menyatakan bahwa manusia “dikutuk untuk
bebas” karena ia tidak memiliki esensi tetap dan harus membentuk dirinya
melalui pilihan.³
Dalam Being
and Nothingness, Sartre menjelaskan bahwa kebebasan adalah ciri
hakiki kesadaran (consciousness), yang tidak bisa
dilepaskan. Bahkan dalam situasi penindasan sekalipun, manusia tetap bebas
karena ia selalu bisa memilih bagaimana menanggapi kenyataan tersebut.⁴ Namun,
kebebasan semacam ini juga membawa beban: tanggung jawab penuh atas semua
pilihan. Dengan kata lain, kebebasan Sartre adalah bebas
dari determinasi eksternal dan internal, tetapi juga terkait
dengan kecemasan dan rasa bersalah karena kita tidak bisa
menyalahkan siapa pun atas hidup kita.
6.3.
Michel Foucault: Kebebasan dan Kekuasaan dalam
Wacana
Michel Foucault
menyuguhkan pendekatan yang sangat berbeda terhadap kebebasan dengan menyoroti
hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan subjek.
Dalam pandangannya, subjek tidak berada di luar struktur kekuasaan, melainkan
dibentuk oleh wacana sosial, institusi, dan praktik historis.⁵
Dalam karya seperti Discipline
and Punish dan The History of Sexuality, Foucault
menunjukkan bahwa kekuasaan modern tidak bekerja melalui represi semata,
melainkan melalui normalisasi, pengawasan, dan pengendalian tubuh serta
identitas.⁶ Dalam konteks ini, kebebasan tidak bisa dipahami sebagai ketiadaan
dominasi semata, tetapi sebagai kapasitas untuk melakukan resistensi terhadap
bentuk-bentuk kekuasaan yang tidak terlihat.
Foucault tidak
memberikan definisi final tentang kebebasan, namun ia berbicara tentang praktik
kebebasan, yaitu usaha subjek untuk membentuk diri secara etis
dalam menghadapi norma-norma yang membentuknya.⁷
6.4.
Charles Taylor: Kebebasan, Identitas, dan
Pengakuan
Charles Taylor,
dalam esainya What’s Wrong with Negative Liberty?,
mengkritik pemahaman sempit tentang kebebasan negatif yang hanya melihat
individu sebagai makhluk yang perlu dilindungi dari gangguan luar.⁸ Ia
berpendapat bahwa kebebasan sejati tidak bisa dilepaskan dari konteks
sosial dan identitas moral individu.
Taylor mengusulkan
pandangan bahwa kebebasan harus dilihat dalam konteks aktualisasi
diri—yakni, kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bermakna
sesuai nilai-nilai yang penting bagi individu, yang hanya dapat berkembang
dalam komunitas.⁹ Bagi Taylor, kebebasan adalah hasil dari relasi timbal balik
antara pengakuan sosial dan integritas moral pribadi. Oleh karena itu, ia lebih
menekankan pada kebebasan sebagai ekspresi otentik dari diri
dalam relasi sosial yang mendukung.
Simpulan Sementara
Filsafat kontemporer
menggeser perbincangan kebebasan dari wilayah abstrak dan normatif ke wilayah
yang lebih konkret dan kritis. Dari Berlin hingga Taylor, perdebatan mengenai
kebebasan mencerminkan keragaman pendekatan: dari perlindungan hak individu,
eksistensi dan tanggung jawab pribadi, dekonstruksi kekuasaan, hingga relasi
sosial dan pengakuan. Kebebasan tidak lagi dipahami secara tunggal, melainkan
sebagai medan kompleks antara subjek, nilai, dan struktur sosial yang terus
berubah.
Footnotes
[1]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University
Press, 1969), 118–172.
[2]
Ibid., 131–133.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–30.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553–554.
[5]
Michel Foucault, The Subject and Power, in Power, ed.
James D. Faubion, trans. Robert Hurley (New York: The New Press, 2000),
326–348.
[6]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.
[7]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 2: The Use of
Pleasure, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 25–27.
[8]
Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?” in Philosophy
and the Human Sciences: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 211–229.
[9]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 36–39.
7.
Dimensi
Sosial dan Politik Kebebasan
Kebebasan sebagai
konsep filsafat tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan politik di
mana individu hidup dan berinteraksi. Ia bukan hanya soal kehendak batin atau kapasitas
moral, tetapi juga berkaitan dengan struktur kelembagaan, norma-norma
masyarakat, dan sistem kekuasaan yang memfasilitasi atau justru menghalangi
realisasi kebebasan. Dalam ranah ini, filsafat politik modern dan kontemporer
telah mengeksplorasi berbagai bentuk kebebasan kolektif, perlindungan
hak-hak sipil, serta perimbangan antara kebebasan individu dan
kepentingan bersama.
7.1.
Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Kebebasan merupakan
fondasi utama dari hak asasi manusia (HAM).
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) menegaskan bahwa setiap individu
memiliki hak atas kebebasan berpikir, bersuara, beragama, berkumpul, dan
bergerak tanpa takut akan penindasan.¹ Gagasan ini memiliki akar kuat dalam
tradisi liberalisme, terutama pemikiran John Locke, yang menyatakan bahwa
hak-hak alamiah seperti kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan adalah tidak
dapat dicabut dan harus dilindungi oleh negara.²
Dalam masyarakat
modern, HAM menjadi standar universal yang melampaui batas negara, tetapi
sering kali berhadapan dengan tantangan politik seperti tirani mayoritas,
intoleransi agama, atau otoritarianisme negara. Oleh karena itu, konsep
kebebasan yang terkandung dalam HAM menuntut perlindungan institusional yang kuat,
serta partisipasi
aktif warga negara dalam kehidupan politik.
7.2.
Kebebasan dalam Sistem Demokrasi
Demokrasi merupakan
bentuk pemerintahan yang secara ideal menjamin dan memperluas kebebasan
warganya. Alexis de Tocqueville, dalam Democracy in America, menunjukkan
bahwa demokrasi memungkinkan individu untuk memiliki suara dalam pengambilan
keputusan politik dan menyediakan ruang bagi kebebasan berpendapat dan
berkumpul.³ Namun, ia juga memperingatkan tentang bahaya tirani
mayoritas, yakni ketika kebebasan individu dikorbankan atas nama
kehendak kolektif.⁴
Dalam demokrasi
liberal modern, kebebasan diposisikan sebagai hak yang harus
dijaga dari intervensi negara (dalam bentuk jaminan
konstitusional), tetapi pada saat yang sama, negara juga memiliki kewajiban
untuk menjamin
kondisi sosial dan ekonomi yang memungkinkan kebebasan tersebut
dapat direalisasikan secara nyata oleh semua warga negara.⁵ Dengan demikian,
kebebasan politik tidak hanya berarti “bebas dari” penindasan, tetapi
juga “bebas untuk” berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.
7.3.
Ketegangan antara Kebebasan Individu dan
Kepentingan Kolektif
Salah satu dilema
klasik dalam filsafat politik adalah bagaimana menyeimbangkan kebebasan individu
dengan kepentingan kolektif. John Stuart Mill, dalam On
Liberty, mengajukan prinsip “non-intervensi” (harm principle):
bahwa kebebasan individu hanya boleh dibatasi untuk mencegah kerugian terhadap
orang lain.⁶ Prinsip ini menegaskan batas yang jelas antara ruang pribadi dan
ruang sosial.
Namun, dalam praktik
sosial-politik, batas tersebut sering kali kabur. Misalnya, dalam kasus
pandemi, kebebasan individu untuk menolak vaksin atau masker dapat berkonflik
dengan kesehatan publik. Dalam hal ini, negara sering kali menggunakan argumen
“kepentingan umum” untuk membatasi kebebasan tertentu.⁷ Maka,
pertanyaan filosofis yang muncul adalah: sampai sejauh mana kebebasan individu dapat
dikompromikan demi kebaikan bersama? Tidak ada jawaban mutlak,
tetapi debat ini menunjukkan bahwa kebebasan selalu berada dalam ranah
negosiasi sosial yang dinamis.
7.4.
Kebebasan dan Ketidaksetaraan Sosial
Sebagian filsuf
kontemporer, terutama dari tradisi marxis dan poststrukturalis,
mengkritik pemahaman liberal tentang kebebasan yang dianggap terlalu formal dan
abstrak. Mereka menekankan bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan sosial
sering kali membuat kebebasan menjadi semu bagi kelompok tertindas.⁸ Misalnya,
seseorang mungkin secara hukum bebas untuk mengenyam pendidikan tinggi, tetapi
secara nyata tidak mampu karena faktor ekonomi.
Filsuf seperti Nancy
Fraser dan Axel Honneth memperluas pemahaman kebebasan ke dalam wilayah keadilan
distributif dan pengakuan.⁹ Kebebasan dalam konteks ini bukan
hanya soal pilihan bebas, tetapi tentang kapasitas yang adil untuk memilih,
yang hanya mungkin jika struktur sosial mendukungnya. Dengan demikian,
kebebasan politik dan sosial harus disertai dengan keadilan ekonomi dan
kultural agar tidak menjadi sekadar retorika formal.
Simpulan Sementara
Dimensi sosial dan
politik dari kebebasan memperlihatkan bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang
absolut atau berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan struktur hukum, sistem
politik, norma sosial, dan distribusi kekuasaan. Menjaga kebebasan berarti membangun
masyarakat yang mampu menjamin hak-hak individu sekaligus memperkuat
solidaritas kolektif, serta memastikan bahwa setiap orang
benar-benar memiliki kesempatan yang setara untuk menjalani kehidupan yang
bermakna dan bermartabat.
Footnotes
[1]
United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (New
York: UN, 1948), art. 1–21.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.
[3]
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C.
Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000),
235–240.
[4]
Ibid., 245–250.
[5]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books,
1999), 5–11.
[6]
John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, Roberts &
Green, 1859), 13–15.
[7]
Judith Butler, The Force of Nonviolence (London: Verso Books,
2020), 45–48.
[8]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (Mineola, NY: Dover Publications, 2007), 92–95.
[9]
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb et al. (London: Verso
Books, 2003), 17–44.
8.
Kebebasan
dalam Perspektif Agama dan Spiritualitas
Berbeda dari
pendekatan sekuler yang menekankan rasionalitas, hak, dan struktur sosial, agama
dan spiritualitas memahami kebebasan dalam kaitannya dengan transendensi,
tujuan
akhir manusia, dan hubungan dengan Yang Ilahi.
Dalam berbagai tradisi keagamaan, kebebasan bukan semata soal otonomi pribadi,
tetapi tentang pembebasan jiwa dari keterikatan duniawi dan
penyelarasan diri dengan kehendak Tuhan. Perspektif ini
menggeser pemahaman kebebasan dari wilayah horizontal (manusia dan masyarakat)
ke wilayah vertikal (manusia dan Tuhan), serta menyoroti kebebasan
batin sebagai jalan menuju keselamatan dan kesempurnaan spiritual.
8.1.
Kebebasan dalam Tradisi Kristen
Dalam teologi
Kristen, khususnya dalam pemikiran Agustinus dan Martin
Luther, kebebasan dikaitkan erat dengan rahmat
Tuhan dan pembebasan dari dosa. Agustinus
menyatakan bahwa kehendak bebas manusia telah rusak akibat dosa asal, sehingga
manusia tidak mampu memilih kebaikan tanpa bantuan rahmat ilahi.¹ Dengan
demikian, kebebasan sejati adalah kemampuan untuk
mencintai dan menaati Tuhan, yang hanya mungkin jika Tuhan
terlebih dahulu membebaskan kehendak manusia dari perbudakan dosa.²
Pandangan ini
dilanjutkan oleh Luther dalam Reformasi, yang menekankan bahwa manusia tidak
dapat menyelamatkan dirinya melalui kehendak bebasnya sendiri. Dalam karyanya The
Bondage of the Will, Luther menyatakan bahwa kehendak manusia “terikat”
oleh kecenderungan berdosa, dan hanya iman serta rahmat Allah yang dapat
membebaskannya.³ Dengan demikian, kebebasan dalam perspektif Kristen bukanlah
kebebasan moral netral, melainkan pembebasan dari kuasa dosa untuk hidup dalam
kebenaran ilahi.
8.2.
Kebebasan dalam Islam: Antara Qadar dan Ikhtiyar
Dalam tradisi Islam,
pembahasan kebebasan erat kaitannya dengan doktrin qadar
(takdir) dan ikhtiyar (pilihan bebas).
Al-Qur’an sendiri memuat ketegangan antara pengetahuan dan kehendak Allah yang
absolut dan tanggung jawab moral manusia. Misalnya, QS. Al-Insan [76] ayat 3
menyatakan bahwa manusia telah ditunjukkan dua jalan: kebaikan dan kejahatan,
dan ia bebas memilih.⁴
Para teolog klasik
seperti al-Ghazali dan Fakhruddin
al-Razi mencoba menggabungkan kebebasan manusia dengan
kekuasaan Tuhan melalui konsep kasb (perolehan), yaitu bahwa
manusia “memperoleh” tindakan yang diciptakan oleh Allah.⁵ Sementara
filsuf seperti Ibn Sina menekankan bahwa
kehendak bebas manusia merupakan hasil dari kemampuan akal dalam menimbang baik
dan buruk, sehingga tindakan bebas adalah hasil kesadaran rasional, bukan
pilihan arbitrer.⁶
Kebebasan dalam
Islam juga dipahami secara spiritual: manusia bebas ketika
ia membebaskan
diri dari hawa nafsu dan syahwat, serta menyerahkan
dirinya secara ikhlas kepada kehendak Allah. Konsep ini
tercermin dalam istilah taqwa dan tazkiyatun
nafs, yakni penyucian jiwa sebagai syarat kebebasan batin.⁷
8.3.
Spiritualitas Timur: Pembebasan dari
Keterikatan Duniawi
Dalam filsafat dan
agama-agama Timur seperti Hindu, Buddha,
dan Taoisme,
kebebasan umumnya tidak dipahami sebagai kebebasan memilih, tetapi sebagai pembebasan
dari lingkaran samsara—yakni kelahiran kembali yang terus
menerus akibat keterikatan terhadap keinginan dan ego.
Dalam filsafat Vedanta,
kebebasan (moksha)
adalah pencapaian kesatuan antara Atman (diri sejati) dan Brahman
(realitas mutlak).⁸ Kebebasan sejati hanya terjadi ketika manusia menyadari
bahwa dirinya bukan ego individual, melainkan bagian dari realitas ilahi yang
tak terbatas.
Demikian pula dalam Buddhisme,
nirvana
bukanlah kebebasan untuk bertindak, melainkan kebebasan dari penderitaan, nafsu, dan
ketidaktahuan.⁹ Dalam kerangka ini, kebebasan adalah kondisi
batin yang dicapai melalui disiplin spiritual, meditasi, dan pengendalian diri.
8.4.
Konvergensi: Kebebasan sebagai Jalan
Transformasi Diri
Terlepas dari
perbedaan doktrin, agama-agama besar memiliki titik temu dalam melihat
kebebasan sebagai transformasi diri. Kebebasan
bukanlah kebebasan untuk bertindak semaunya, melainkan kemampuan
untuk melepaskan diri dari dorongan-dorongan rendah dan bersatu dengan kehendak
yang lebih tinggi. Karen Armstrong menyebut hal ini sebagai “paradoks
kebebasan spiritual”—bahwa dengan menyerahkan diri kepada Tuhan atau
Dharma, manusia justru menemukan kebebasan sejatinya.¹⁰
Simpulan Sementara
Perspektif agama dan
spiritualitas menunjukkan bahwa kebebasan tidak dapat dipahami hanya dalam
kerangka sekuler dan sosial. Kebebasan yang sejati adalah pembebasan
batin, yakni kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu ego,
nafsu, dosa, atau ketidaktahuan, dan bergerak menuju kebenaran transenden.
Dalam perspektif ini, otoritas Ilahi bukan penghalang kebebasan,
tetapi sumber sejatinya, karena hanya dalam hubungan dengan
yang transenden manusia menemukan makna dan kedamaian terdalam.
Footnotes
[1]
Augustine, On the Free Choice of the Will, trans. Thomas
Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 35–46.
[2]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX.13–14.
[3]
Martin Luther, The Bondage of the Will, trans. J.I. Packer and
O.R. Johnston (Grand Rapids: Revell, 1957), 101–105.
[4]
The Qur’an, Surah Al-Insan [76]:3.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 134–140.
[6]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 152–158.
[7]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris
(Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991), Book XXII, 33–41.
[8]
Radhakrishnan, S., Indian Philosophy, Volume II (Oxford:
Oxford University Press, 1957), 73–75.
[9]
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press,
1974), 44–53.
[10]
Karen Armstrong, The Case for God (New York: Knopf, 2009),
98–100.
9.
Tantangan
Kebebasan di Era Digital
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan radikal dalam cara
manusia hidup, berpikir, dan berinteraksi. Di satu sisi, era
digital menjanjikan perluasan kebebasan: akses terbuka terhadap
informasi, kebebasan berekspresi di media sosial, dan kemampuan untuk
mengorganisasi gerakan sosial lintas batas. Namun di sisi lain, era ini juga
menimbulkan tantangan serius terhadap kebebasan individu
yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban. Pengawasan massal,
manipulasi algoritmik, dan eksploitasi data pribadi menjadi ancaman nyata
terhadap otonomi dan hak asasi manusia di dunia digital.
9.1.
Pengawasan dan Erosi Privasi
Salah satu ancaman
paling signifikan terhadap kebebasan di era digital adalah pengawasan
digital (digital surveillance). Pemerintah dan korporasi
teknologi memiliki kemampuan untuk melacak aktivitas online individu secara
real-time—mulai dari pencarian internet, lokasi, hingga kebiasaan belanja.
Edward Snowden, dalam pembongkarannya terhadap program PRISM milik NSA
(National Security Agency) AS, menunjukkan bagaimana kebebasan individu dapat
dikompromikan oleh kekuasaan yang tersembunyi dan tidak akuntabel.¹
Filsuf seperti Shoshana
Zuboff menyebut fenomena ini sebagai “surveillance
capitalism”, yakni model ekonomi yang mengandalkan ekstraksi
data personal pengguna untuk diproses dan dimonetisasi.² Dalam kerangka ini,
data bukan hanya komoditas, tetapi juga alat kontrol dan prediksi perilaku,
sehingga menciptakan ancaman terhadap kebebasan memilih secara otentik.
9.2.
Manipulasi Algoritmik dan Otonomi Subjek
Platform digital
saat ini tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga mengatur
dan membentuk apa yang pengguna lihat, baca, dan pikirkan
melalui algoritma personalisasi.³ Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah
kita benar-benar bebas dalam memilih jika pilihan-pilihan kita sudah difilter
dan diarahkan sebelumnya?
Byung-Chul
Han, dalam karyanya Psychopolitics, berargumen bahwa
kekuasaan digital bersifat “psikopolitik”, yakni
mengendalikan individu bukan dengan kekerasan fisik, tetapi dengan memengaruhi
preferensi dan kesadaran bawah sadar.⁴ Dalam konteks ini, kebebasan menjadi
ilusi karena subjek dikonstruksi oleh algoritma yang tidak
disadarinya.
9.3.
Ekspresi dan Polarisasi di Dunia Maya
Era digital juga
membawa perluasan ruang ekspresi melalui media sosial, tetapi hal ini sekaligus
memunculkan masalah baru seperti polarisasi opini, ujaran
kebencian, dan disinformasi. Kebebasan berekspresi menjadi
paradoksal ketika digunakan untuk menyebarkan kebohongan, merusak reputasi,
atau mengintimidasi pihak lain.
Jürgen
Habermas memperingatkan bahwa ruang publik digital sering kali
gagal menjadi arena diskusi rasional, dan malah
menjadi tempat dominasi opini yang didorong oleh emosi dan algoritma
viralitas.⁵ Dalam hal ini, kebebasan berbicara tanpa tanggung jawab dapat
merusak kebebasan kolektif untuk hidup dalam masyarakat yang tertib dan
rasional.
9.4.
Kesenjangan Akses dan Ketidakadilan Digital
Tantangan lainnya
adalah kesenjangan
digital (digital divide), yakni ketimpangan akses terhadap
teknologi dan literasi digital antar individu dan kelompok sosial. Kebebasan
untuk belajar, berpendapat, atau bekerja melalui teknologi hanya mungkin jika
seseorang memiliki sarana dan pengetahuan yang memadai.
Amartya
Sen menyatakan bahwa kebebasan sejati menuntut kapabilitas
yang riil, bukan hanya hak formal.⁶ Maka, dalam konteks
digital, akses internet, literasi teknologi, dan
perlindungan terhadap eksploitasi adalah syarat dasar bagi
realisasi kebebasan. Tanpa itu, kebebasan hanya menjadi milik segelintir
kelompok yang berkuasa atas data dan infrastruktur teknologi.
Simpulan Sementara
Era digital
memperluas dan sekaligus memperumit pengertian kebebasan. Teknologi informasi
memberikan peluang untuk memperkuat demokrasi dan partisipasi, tetapi juga
membawa mekanisme kontrol, manipulasi, dan ketimpangan
baru. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan etis, filosofis,
dan politis yang kritis terhadap ekosistem digital—bukan hanya untuk melindungi
kebebasan individu, tetapi juga untuk membentuk tata dunia digital yang adil,
transparan, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Glenn Greenwald, No Place to Hide: Edward Snowden, the NSA, and the
U.S. Surveillance State (New York: Metropolitan Books, 2014), 45–63.
[2]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 8–15.
[3]
Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from
You (New York: Penguin Press, 2011), 3–7.
[4]
Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies
of Power, trans. Erik Butler (London: Verso Books, 2017), 5–14.
[5]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere,
trans. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 178–185.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books,
1999), 35–41.
10. Penutup
Konsep kebebasan
telah menjadi benang merah dalam sejarah filsafat, dari masa klasik hingga era
kontemporer, dari diskursus metafisik hingga persoalan etika, politik, dan
sosial. Perjalanan intelektual ini menunjukkan bahwa kebebasan bukanlah ide
yang statis dan seragam, melainkan konsep dinamis yang terus bergeser sesuai
konteks historis, budaya, dan teknologi.
Dalam filsafat
klasik, kebebasan dipahami sebagai penguasaan diri melalui akal dan kebajikan,
sebagaimana dikemukakan Plato dan Aristoteles.¹ Pandangan ini berkembang dalam
tradisi teologis abad pertengahan, di mana kebebasan dikaitkan dengan rahmat
ilahi dan orientasi moral terhadap kebaikan tertinggi,
sebagaimana ditampilkan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas.²
Memasuki era modern,
kebebasan mengalami sekularisasi dan rasionalisasi.
Pemikir seperti Locke, Rousseau, dan Kant menekankan otonomi individu, hak
kodrati, serta kapasitas manusia untuk mengatur hidupnya sendiri berdasarkan
hukum moral atau sosial yang rasional.³ Namun, pemikiran kontemporer memperluas
cakrawala kebebasan lebih jauh lagi: kebebasan sebagai kemampuan
eksistensial (Sartre), ruang resistensi terhadap kekuasaan (Foucault),
atau sebagai aktualisasi diri dalam pengakuan sosial
(Taylor).⁴
Di samping perbedaan
pendekatan, satu kesamaan dapat disimpulkan: kebebasan bukan
hanya soal ketiadaan batasan eksternal, tetapi lebih dalam
lagi, berkaitan dengan kondisi batin, struktur sosial, dan kemampuan
nyata untuk memilih secara bermakna. Seperti dinyatakan oleh
Amartya Sen, kebebasan sejati adalah ketika seseorang memiliki kapabilitas
nyata untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga, bukan
sekadar hak formal.⁵
Dalam konteks zaman
sekarang—yang ditandai oleh krisis ekologis, ketimpangan global, dan revolusi
digital—pemahaman tentang kebebasan menjadi semakin mendesak untuk dikaji
ulang. Tantangan-tantangan baru seperti pengawasan digital, manipulasi algoritmik, dan
ketimpangan akses informasi memunculkan bentuk-bentuk dominasi
yang tidak selalu terlihat, namun sangat efektif dalam membatasi kebebasan
sejati manusia.⁶ Oleh karena itu, refleksi filosofis tentang kebebasan tidak
boleh berhenti pada teori, melainkan harus menginspirasi
transformasi praksis dalam arah keadilan, kesetaraan, dan
penghormatan terhadap martabat manusia.
Akhirnya,
sebagaimana ditegaskan oleh Charles Taylor, memahami kebebasan secara utuh
menuntut kita untuk melampaui dikotomi antara individu dan
masyarakat, antara kebebasan negatif dan positif, dan mulai
membangun visi kebebasan yang inklusif, kontekstual, dan transformatif.⁷
Filsafat, dalam hal ini, tidak hanya menyediakan kerangka teoritis, tetapi juga
menjadi alat kritik dan pembebasan
dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1111b5–1113b22; Plato, Republic,
trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve, in Plato: Complete Works, ed.
John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 439d–441c.
[2]
Augustine, On the Free Choice of the Will, trans. Thomas
Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 35–46; Thomas Aquinas, Summa
Theologiae, I-II, q. 13–17.
[3]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289; Immanuel Kant, Groundwork
of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), 52–58; Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract,
trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–64.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553–554; Michel Foucault, The
Subject and Power, in Power, ed. James D. Faubion, trans. Robert
Hurley (New York: The New Press, 2000), 326–348; Charles Taylor, Sources of
the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University
Press, 1989), 36–39.
[5]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books,
1999), 35–41.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 8–15; Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism
and New Technologies of Power, trans. Erik Butler (London: Verso Books,
2017), 5–14.
[7]
Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?” in Philosophy
and the Human Sciences: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), 211–229.
Daftar Pustaka
Armstrong, K. (2009). The case for God.
Knopf.
Arendt, H. (1958). The human condition.
University of Chicago Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Augustine. (1993). On the free choice of the
will (T. Williams, Trans.). Hackett Publishing.
Augustine. (2003). The city of God (H.
Bettenson, Trans.). Penguin Books.
Berlin, I. (1969). Four essays on liberty.
Oxford University Press.
Butler, J. (2020). The force of nonviolence.
Verso Books.
Descartes, R. (1983). Principles of philosophy
(V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.
Foucault, M. (1990). The history of sexuality,
Vol. 2: The use of pleasure (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (2000). The subject and power
(R. Hurley, Trans.). In J. D. Faubion (Ed.), Power (pp. 326–348). The
New Press.
Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution
or recognition? A political-philosophical exchange (J. Golb et al.,
Trans.). Verso Books.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Greenwald, G. (2014). No place to hide: Edward
Snowden, the NSA, and the U.S. surveillance state. Metropolitan Books.
Habermas, J. (1989). The structural
transformation of the public sphere (T. Burger, Trans.). MIT Press.
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism
and new technologies of power (E. Butler, Trans.). Verso Books.
Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
Luther, M. (1957). The bondage of the will
(J. I. Packer & O. R. Johnston, Trans.). Revell.
Mill, J. S. (1859). On liberty. Longman,
Roberts & Green.
Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the
Internet is hiding from you. Penguin Press.
Pinckaers, S. (1995). The sources of Christian
ethics (M. T. Noble, Trans.). Catholic University of America Press.
Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M.
Cooper, Ed.; G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught.
Grove Press.
Radhakrishnan, S. (1957). Indian philosophy:
Volume II. Oxford University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Books.
Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Anchor Books.
Taylor, C. (1985). Philosophy and the human
sciences: Philosophical papers, Volume 2. Cambridge University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Tocqueville, A. de. (2000). Democracy in America
(H. C. Mansfield & D. Winthrop, Trans.). University of Chicago Press.
United Nations. (1948). The Universal Declaration
of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
Williams, R. (1983). Keywords: A vocabulary of
culture and society. Oxford University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar