Jumat, 15 November 2024

Kebebasan: Perspektif Filsafat Klasik hingga Kontemporer

Kebebasan

Perspektif Filsafat Klasik hingga Kontemporer


Alihkan ke: Kebebasan Berkehendak, Eksperimen Libet.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan konseptual dan filosofis mengenai kebebasan dari masa klasik hingga era kontemporer. Dalam lintasan sejarah pemikiran, kebebasan tidak dipahami secara tunggal, melainkan melalui berbagai perspektif yang mencerminkan konteks historis, kultural, dan epistemologis masing-masing zaman. Pada era klasik, filsuf seperti Plato dan Aristoteles memahami kebebasan sebagai pengendalian diri oleh akal dan orientasi menuju kebaikan. Pada abad pertengahan, kebebasan ditinjau dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan dan rahmat ilahi dalam tradisi Kristen dan Islam. Periode modern memperkenalkan gagasan kebebasan sebagai otonomi moral dan hak kodrati melalui pemikiran Descartes, Locke, Rousseau, dan Kant. Sementara itu, pemikir kontemporer seperti Isaiah Berlin, Sartre, Foucault, dan Charles Taylor menyoroti kompleksitas kebebasan dalam konteks eksistensial, kekuasaan tersembunyi, dan pengakuan sosial. Artikel ini juga menelaah dimensi sosial-politik kebebasan dalam demokrasi, hak asasi manusia, serta ketegangan antara individu dan kolektif. Selain itu, kebebasan ditinjau dalam perspektif agama dan spiritualitas sebagai pembebasan batiniah menuju kesempurnaan moral dan transendensi. Di era digital, kebebasan menghadapi tantangan baru seperti pengawasan masif, manipulasi algoritmik, dan ketimpangan digital. Artikel ini menyimpulkan bahwa kebebasan adalah konsep multidimensional yang terus menuntut refleksi kritis dan pembaruan kontekstual.

Kata Kunci: kebebasan, filsafat, otonomi, hak asasi manusia, eksistensialisme, pengawasan digital, agama, demokrasi, etika, sejarah pemikiran.


PEMBAHASAN

Menelusuri Makna Kebebasan


1.           Pendahuluan

Konsep kebebasan atau freedom merupakan salah satu tema sentral dalam filsafat, baik dalam ranah etika, politik, maupun metafisika. Sejak zaman kuno hingga era kontemporer, para filsuf telah bergulat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat kebebasan: Apakah manusia benar-benar bebas dalam menentukan pilihan hidupnya? Apakah kebebasan berarti ketiadaan batasan, atau justru mengandaikan adanya tatanan moral dan hukum? Bagaimana kebebasan berperan dalam kehidupan individu dan masyarakat?

Kebebasan bukan sekadar soal memilih tanpa paksaan, melainkan berkaitan erat dengan pemahaman akan diri, tanggung jawab, dan relasi dengan sesama. Oleh karena itu, studi tentang kebebasan tidak hanya menyentuh dimensi teoritis, tetapi juga mempengaruhi orientasi praksis dalam bidang politik, hukum, pendidikan, bahkan spiritualitas. Isaiah Berlin, seorang filsuf politik terkemuka abad ke-20, membedakan antara dua konsep kebebasan: kebebasan negatif (freedom from) dan kebebasan positif (freedom to). Keduanya memiliki implikasi yang sangat berbeda terhadap cara kita memahami peran negara, hak individu, dan moralitas sosial.¹

Selain dalam konteks politik, kebebasan juga menjadi bahan renungan metafisik. Dalam tradisi filsafat modern, Immanuel Kant menempatkan kebebasan sebagai dasar dari tindakan moral. Menurutnya, manusia hanya dapat dianggap bertanggung jawab secara etis apabila ia bertindak secara otonom, yakni berdasarkan hukum moral yang ditetapkan oleh akalnya sendiri.² Di sisi lain, para pemikir eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan radikal manusia, sembari menunjukkan bahwa kebebasan juga bisa menjadi beban, karena manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas dirinya.³

Namun, perbincangan mengenai kebebasan tidak berhenti pada wacana filosofis Barat. Dalam filsafat Islam, perdebatan antara qadar (takdir) dan ikhtiyar (pilihan bebas) telah lama menjadi tema utama dalam diskursus teologi dan etika.⁴ Ini menunjukkan bahwa kebebasan adalah isu yang melampaui batas-batas geografis dan budaya, serta menuntut refleksi yang mendalam dari berbagai perspektif.

Artikel ini bertujuan untuk menelusuri dan memetakan konsep kebebasan dalam sejarah pemikiran filsafat, mulai dari filsafat Yunani Kuno, abad pertengahan, modern, hingga kontemporer. Pendekatan yang digunakan bersifat historis-komparatif dengan menekankan relevansi filosofis setiap pandangan terhadap dinamika kehidupan manusia masa kini. Dengan pemahaman yang komprehensif terhadap konsep kebebasan, diharapkan pembaca tidak hanya memahami pelbagai perspektif teoritis, tetapi juga mampu merefleksikannya dalam konteks aktual yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 44–46.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553–554.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 135–145.


2.           Definisi dan Esensi Kebebasan

Kebebasan (freedom atau liberty) merupakan konsep multidimensi yang dapat didekati dari berbagai sudut pandang: linguistik, filosofis, sosial, dan politis. Secara etimologis, kata “kebebasan” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “bebas”, yang berarti tidak terikat atau tidak terhalangi. Dalam bahasa Latin, istilah libertas berarti kondisi tidak berada dalam perbudakan, yang berkaitan dengan hak politik dan otonomi pribadi.¹ Sementara dalam bahasa Yunani kuno, istilah eleutheria mengacu pada status sebagai warga bebas yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik.²

Dalam ranah filsafat, kebebasan sering didefinisikan dalam dua bentuk utama: kebebasan negatif dan kebebasan positif. Pembagian ini secara eksplisit dikemukakan oleh Isaiah Berlin dalam kuliah terkenalnya berjudul Two Concepts of Liberty (1958).³

·                     Kebebasan negatif adalah kebebasan dari campur tangan pihak luar. Dalam pengertian ini, seseorang dianggap bebas sejauh tidak ada orang lain yang menghalangi tindakannya. Konsep ini menjadi landasan penting bagi pemikiran liberal klasik yang menekankan perlindungan hak individu dari intervensi negara.⁴

·                     Kebebasan positif, di sisi lain, merujuk pada kebebasan untuk menguasai diri sendiri, menjadi tuan atas hidupnya sendiri. Dalam pengertian ini, kebebasan bukan sekadar ketiadaan batasan, tetapi kemampuan untuk bertindak sesuai dengan akal dan nilai-nilai yang diyakini secara otonom.⁵

Pandangan Berlin tersebut memperjelas bahwa kebebasan bukanlah satu konsep tunggal, melainkan mencerminkan ketegangan antara perlindungan terhadap individu dan upaya pembentukan identitas moral serta kolektifitas sosial. Kedua bentuk kebebasan ini sering kali saling bertentangan dalam praktik politik modern: misalnya, perluasan kebebasan positif melalui pendidikan atau intervensi negara bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan negatif individu.

Selain pembagian di atas, filsafat kontemporer juga membedakan antara kebebasan sebagai kondisi dan kebebasan sebagai kapasitas.⁶ Kebebasan sebagai kondisi mengacu pada situasi eksternal yang memungkinkan individu bebas dari dominasi dan tekanan, seperti kebebasan politik atau sosial. Sedangkan kebebasan sebagai kapasitas menyoroti kemampuan internal seseorang untuk bertindak secara sadar, rasional, dan bertanggung jawab.

Konsep kebebasan juga sering dipertentangkan dengan determinisme. Apakah manusia bebas dalam arti mutlak, ataukah tindakannya selalu ditentukan oleh sebab-sebab tertentu? Dalam filsafat metafisika, perdebatan ini dikenal sebagai free will vs. determinism. Filsuf-filsuf seperti David Hume berusaha mencari titik temu dengan mengembangkan teori compatibilism, yaitu pandangan bahwa kehendak bebas dapat eksis sekalipun dalam kerangka sebab-akibat yang ketat.⁷

Dengan demikian, kebebasan merupakan konsep yang kaya dan kompleks. Ia tidak dapat dipahami secara tunggal atau disederhanakan menjadi “boleh melakukan apa saja”. Sebaliknya, pemahaman yang mendalam tentang kebebasan menuntut pertimbangan terhadap kondisi sosial-politik, kemampuan internal manusia, serta struktur nilai dan moralitas yang mendasarinya.


Footnotes

[1]                Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (New York: Oxford University Press, 1983), 121.

[2]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 30–33.

[3]                Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.

[4]                John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, Roberts & Green, 1859), 12–16.

[5]                Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?”, dalam Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 211–229.

[6]                Quentin Skinner, Liberty Before Liberalism (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 7–10.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 95–100.


3.           Perspektif Filsafat Klasik

Pemikiran tentang kebebasan telah hadir sejak masa awal filsafat Barat, khususnya dalam tradisi Yunani Kuno. Para filsuf klasik seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah memunculkan dasar-dasar konseptual penting tentang hubungan antara kebebasan, kehendak, akal budi, dan moralitas. Meskipun gagasan kebebasan pada masa ini belum dirumuskan secara eksplisit sebagaimana dalam filsafat modern, kerangka pemikirannya tetap memiliki pengaruh besar terhadap diskursus filosofis selanjutnya.

3.1.       Socrates: Kebebasan sebagai Kebajikan dalam Pengetahuan

Socrates tidak secara langsung mendefinisikan “kebebasan”, namun ajarannya menekankan bahwa kebebasan sejati berasal dari penguasaan diri dan kehidupan yang dijalani secara reflektif. Dalam Apologia, Socrates menyatakan bahwa “hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani” (the unexamined life is not worth living).¹ Pernyataan ini mencerminkan gagasan bahwa kebebasan manusia sejati adalah kemampuan untuk menggunakan akal secara kritis dan etis dalam menentukan arah hidupnya, bukan sekadar mengikuti nafsu atau tradisi.

3.2.       Plato: Kebebasan dari Belenggu Hasrat dan Ketidaktahuan

Plato, murid Socrates, mengembangkan lebih lanjut pemikiran tentang kebebasan dalam karya-karya seperti Republic dan Phaedrus. Bagi Plato, manusia tidak benar-benar bebas jika ia diperbudak oleh hasrat rendah dan ketidaktahuan. Kebebasan sejati adalah hasil dari keteraturan jiwa, di mana akal (logos) mengendalikan semangat (thymos) dan keinginan (epithymia).² Dalam mitos gua yang terkenal, Plato menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terikat dalam ketidaktahuan, dan hanya dengan filsafat serta pengetahuan yang benar, ia dapat membebaskan diri menuju dunia ide yang lebih hakiki.³

3.3.       Aristoteles: Kebebasan dalam Kerangka Rasionalitas dan Etika

Aristoteles menawarkan pendekatan yang lebih sistematis terhadap konsep kehendak dan tanggung jawab moral. Dalam Nicomachean Ethics, ia mengemukakan bahwa kebebasan berkaitan erat dengan kehendak yang rasional. Tindakan yang prohairetikon (berdasarkan pilihan yang disengaja) adalah tindakan bebas, dan hanya tindakan semacam itu yang dapat dinilai secara etis.⁴ Kebebasan, dalam pandangan Aristoteles, bukanlah ketiadaan aturan, melainkan tindakan sadar yang diarahkan pada kebaikan (eudaimonia) melalui kebiasaan baik (arete).⁵

Lebih lanjut, Aristoteles juga menekankan pentingnya konteks sosial-politik dalam pemahaman kebebasan. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa manusia adalah “zoon politikon” (makhluk politik), dan hanya dalam polis (kota negara) seseorang dapat mengaktualisasikan potensi kebebasannya sebagai warga yang rasional dan bermoral.⁶


Simpulan Sementara

Dari pemikiran ketiga tokoh ini, tampak bahwa filsafat klasik memahami kebebasan sebagai pembebasan dari ketidaktahuan dan dominasi hasrat, serta sebagai kemampuan untuk bertindak berdasarkan akal dan nilai-nilai moral. Kebebasan tidak dipandang sebagai kebebasan negatif (kebebasan dari paksaan), melainkan sebagai kondisi batin dan rasionalitas yang terarah pada kehidupan yang baik. Kerangka ini menjadi fondasi penting bagi perkembangan konsep kebebasan dalam filsafat modern dan kontemporer.


Footnotes

[1]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.

[2]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 439d–441c.

[3]                Plato, Republic, 514a–520a.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1111b5–1113b22.

[5]                Ibid., 1098a16–1098b9.

[6]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1253a1–3.


4.           Pandangan Filsafat Abad Pertengahan

Dalam periode filsafat Abad Pertengahan, pembahasan mengenai kebebasan tidak dapat dilepaskan dari kerangka teologis yang dominan, baik dalam tradisi Kristen Latin maupun filsafat Islam. Pertanyaan utama dalam periode ini bukan hanya tentang apakah manusia bebas, tetapi bagaimana kebebasan manusia dapat dikatakan eksis dalam tatanan kosmis yang dikuasai oleh kehendak dan pengetahuan Tuhan yang absolut. Ketegangan antara kehendak bebas manusia (free will) dan penentuan ilahi (divine providence) menjadi perdebatan sentral dalam pemikiran para filsuf dan teolog seperti Agustinus, Thomas Aquinas, serta filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina.

4.1.       Agustinus (354–430 M): Dosa, Anugerah, dan Kebebasan Kehendak

Agustinus dari Hippo merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam merumuskan hubungan antara kehendak bebas dan rahmat Tuhan. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas sebagai karunia dari Tuhan, namun akibat dosa asal, kehendak tersebut menjadi cenderung pada kejahatan. Kebebasan sejati, menurut Agustinus, hanya mungkin ketika kehendak manusia dibebaskan oleh rahmat ilahi (grace).¹

Dalam karyanya De Libero Arbitrio, Agustinus membela eksistensi kehendak bebas sebagai dasar tanggung jawab moral.² Namun dalam karya-karya berikutnya, khususnya setelah polemik melawan Pelagius, ia lebih menekankan pentingnya rahmat Tuhan dalam membebaskan kehendak manusia yang telah rusak oleh dosa.³ Dengan demikian, kebebasan dalam pandangan Agustinus adalah kemampuan untuk memilih yang baik karena terbebas oleh kasih karunia, bukan kebebasan netral untuk memilih baik atau jahat secara setara.

4.2.       Thomas Aquinas (1225–1274): Sintesis Aristotelian dan Teologi Kristen

Thomas Aquinas berupaya menyelaraskan ajaran Kristen dengan filsafat Aristoteles. Dalam Summa Theologiae, ia menjelaskan bahwa kebebasan manusia berakar pada kemampuan akal untuk menimbang kebaikan, dan kehendak untuk memilih sesuai hasil pertimbangan tersebut.⁴ Akal memberikan arah, sedangkan kehendak memberi dorongan tindakan; dan keduanya bekerja dalam harmoni.

Menurut Aquinas, Tuhan adalah penyebab utama dari segala sesuatu, termasuk tindakan bebas manusia. Namun, kausalitas ilahi tidak membatalkan kebebasan manusia karena Tuhan menyebabkan kehendak manusia bertindak secara bebas sesuai kodratnya.⁵ Inilah prinsip concurrent causality, di mana Tuhan dan manusia bertindak bersama tanpa saling meniadakan.

Kebebasan, dalam pengertian Aquinas, bukan sekadar ketiadaan paksaan, tetapi kapasitas rasional untuk memilih yang sesuai dengan kebaikan moral.⁶ Maka, manusia paling bebas justru ketika ia memilih apa yang secara objektif baik, bukan saat ia bertindak sembarangan tanpa kendali.

4.3.       Perspektif Filsuf Muslim: Kebebasan antara Qadar dan Ikhtiyar

Dalam tradisi filsafat Islam, isu kehendak bebas juga menjadi perhatian utama. Filsuf seperti al-Farabi (w. 950) dan Ibn Sina (Avicenna, w. 1037) mengikuti pendekatan rasionalistik dalam menjelaskan kebebasan manusia. Ibn Sina, misalnya, menyatakan bahwa kehendak bebas manusia merupakan hasil dari pengetahuan dan kecenderungan jiwa terhadap yang dipandang baik.⁷ Dalam pandangan ini, tindakan manusia tidak terjadi secara acak, tetapi melalui sebab yang melibatkan akal dan kehendak.

Namun dalam teologi Islam (kalam), perdebatan antara golongan Jabariyah dan Qadariyah memperlihatkan kutub ekstrem antara determinisme dan kebebasan mutlak. Posisi teologis Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya dalam mazhab Asy'ariyah, mengambil jalan tengah dengan konsep kasb (perolehan), yaitu bahwa manusia "memperoleh" perbuatannya meskipun Tuhan menciptakan dan mengetahui semuanya.⁸ Konsep ini menjadi kontribusi khas Islam dalam diskursus teologis-filosofis tentang kebebasan.


Simpulan Sementara

Pandangan filsafat Abad Pertengahan mengenai kebebasan ditandai oleh upaya untuk menjaga keseimbangan antara supremasi Tuhan dan tanggung jawab moral manusia. Kebebasan bukanlah kebebasan otonom dalam arti modern, tetapi suatu kapasitas untuk mengarahkan kehendak kepada kebaikan melalui bantuan akal dan rahmat ilahi. Meskipun berakar pada teologi, pemikiran para filsuf abad pertengahan tetap meletakkan fondasi penting dalam diskusi metafisika dan etika tentang kebebasan yang terus bergema hingga masa kini.


Footnotes

[1]                Augustine, On the Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 54–65.

[2]                Ibid., 3–7.

[3]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.13–14.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 13–17, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[5]                Ibid., I, q. 83, a. 1–2.

[6]                Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics, trans. Mary Thomas Noble (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1995), 374–376.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 150–155.

[8]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 130–136.


5.           Era Modern: Rasionalitas dan Otonomi

Filsafat modern ditandai oleh pergeseran paradigma dari penekanan pada tatanan ilahi menuju afirmasi terhadap subjek rasional sebagai pusat kesadaran dan moralitas. Dalam konteks ini, kebebasan tidak lagi dipahami terutama sebagai hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan sebagai kapasitas otonom individu untuk berpikir dan bertindak berdasarkan akal. Era ini mencerminkan optimisme terhadap kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri dan masyarakat melalui prinsip rasionalitas, kontrak sosial, dan hukum moral.

5.1.       René Descartes (1596–1650): Subjek sebagai Dasar Kebebasan

Descartes memulai proyek filsafat modern dengan cogito ergo sum (“aku berpikir, maka aku ada”), yang menempatkan kesadaran diri sebagai fondasi pengetahuan. Dalam konteks kebebasan, Descartes menegaskan bahwa kehendak adalah fakultas tertinggi dalam diri manusia karena ia tidak terbatas seperti intelek.¹

Ia membedakan antara dua aspek kebebasan: kebebasan indiferen (freedom of indifference), yaitu kemampuan memilih tanpa alasan, dan kebebasan rasional, yaitu kehendak yang diarahkan oleh pengetahuan dan kebaikan. Descartes lebih memihak pada kebebasan yang rasional karena ia memandang bahwa tindakan bebas yang baik justru terjadi ketika kehendak mengikuti intelek yang terang.²

5.2.       John Locke (1632–1704): Kebebasan sebagai Hak Alamiah

Dalam ranah politik, Locke memberikan sumbangan penting terhadap konsep kebebasan sipil dan politik melalui teori hak alamiah dan kontrak sosial. Menurut Locke, manusia pada hakikatnya bebas dan setara dalam “keadaan alamiah” (state of nature), dan memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan milik.³ Negara, dalam pandangan Locke, dibentuk justru untuk melindungi kebebasan individu, bukan untuk mengekangnya.⁴

Kebebasan di sini dipahami sebagai kebebasan dari paksaan eksternal, tetapi dalam batasan hukum alam dan akal. Artinya, seseorang bebas sejauh ia tidak dirugikan oleh orang lain dan tidak merugikan orang lain. Pandangan Locke menjadi dasar penting bagi pemikiran liberalisme modern, termasuk pengaruhnya terhadap Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.

5.3.       Jean-Jacques Rousseau (1712–1778): Otonomi dan Kehendak Umum

Rousseau menawarkan pendekatan berbeda dalam The Social Contract, dengan menyatakan bahwa manusia “dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu.”_⁵ Bagi Rousseau, kebebasan sejati tidak terletak pada hidup liar di alam, melainkan pada partisipasi dalam pembentukan kehendak umum (volonté générale) yang menjadi dasar hukum bersama.

Konsep kebebasan Rousseau bersifat positif dan kolektif, yakni menjadi bebas berarti menaati hukum yang dibuat oleh diri sendiri sebagai bagian dari komunitas politik.⁶ Oleh karena itu, kendati tampak paradoksal, Rousseau menyatakan bahwa dengan mematuhi hukum umum, seseorang justru “dipaksa untuk bebas.”_⁷

5.4.       Immanuel Kant (1724–1804): Kebebasan sebagai Otonomi Moral

Kant memberikan artikulasi paling mendalam tentang kebebasan sebagai autonomi, yaitu kemampuan untuk memberi hukum moral bagi diri sendiri berdasarkan akal praktis. Dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals, ia menyatakan bahwa kebebasan adalah prasyarat bagi moralitas: seseorang hanya dapat dianggap bertanggung jawab jika ia bertindak berdasarkan hukum yang dipilihnya secara bebas dan rasional.⁸

Menurut Kant, kebebasan bukanlah sekadar kebebasan bertindak menurut keinginan, melainkan kebebasan untuk menaati hukum moral (imperatif kategoris) yang bersifat universal.⁹ Maka, kebebasan dan kewajiban moral tidak saling bertentangan, tetapi justru saling menyempurnakan. Inilah inti dari otonomi moral dalam filsafat Kant.


Simpulan Sementara

Era modern mengangkat manusia sebagai subjek rasional yang bebas, otonom, dan bertanggung jawab. Kebebasan dipahami dalam berbagai dimensi: sebagai kehendak rasional (Descartes), sebagai hak individual (Locke), sebagai partisipasi dalam kehendak kolektif (Rousseau), dan sebagai penataan diri berdasarkan hukum moral (Kant). Paradigma ini menjadi pondasi filsafat politik liberal dan etika modern yang menekankan penghormatan terhadap martabat manusia dan otonomi pribadi.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 59–62.

[2]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), Part I, §39–41.

[3]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.

[4]                Ibid., 350–360.

[5]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49.

[6]                Ibid., 60–64.

[7]                Ibid., 64.

[8]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 52–58.

[9]                Ibid., 62–67.


6.           Perspektif Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer menyajikan pemikiran tentang kebebasan dalam konteks dunia yang semakin kompleks: pluralisme nilai, struktur kekuasaan yang tersembunyi, dan krisis identitas subjek modern. Dalam kerangka ini, kebebasan tidak lagi dilihat semata-mata sebagai pilihan rasional atau hak individual, melainkan sebagai hasil tarik-menarik antara struktur sosial, wacana budaya, dan kapasitas agensi. Pemikir-pemikir seperti Isaiah Berlin, Jean-Paul Sartre, Michel Foucault, dan Charles Taylor memberikan kontribusi penting dengan pendekatan yang berbeda-beda terhadap konsep kebebasan.

6.1.       Isaiah Berlin: Dua Konsep Kebebasan

Isaiah Berlin terkenal karena pembedahannya antara kebebasan negatif dan kebebasan positif, yang ia kemukakan dalam kuliahnya tahun 1958 berjudul Two Concepts of Liberty

·                     Kebebasan negatif adalah kebebasan dari paksaan eksternal—misalnya, kebebasan dari campur tangan negara, kekuasaan, atau individu lain. Konsep ini menjadi landasan filsafat politik liberal yang menekankan perlindungan terhadap hak-hak individu.

·                     Kebebasan positif, di sisi lain, adalah kebebasan untuk menguasai diri sendiri, yaitu menjadi tuan atas kehendak pribadi, sering kali melalui identifikasi dengan rasionalitas atau kehendak umum.

Berlin memperingatkan bahwa ketika kebebasan positif disalahgunakan oleh kekuasaan politik, ia bisa menjadi alat penindasan yang dibenarkan dengan klaim bahwa individu “dibebaskan” untuk kebaikan mereka sendiri.² Oleh karena itu, menurut Berlin, menjaga kebebasan negatif sangat penting dalam masyarakat pluralistik.

6.2.       Jean-Paul Sartre: Kebebasan sebagai Kondisi Eksistensial

Dalam filsafat eksistensialisme, khususnya pemikiran Jean-Paul Sartre, kebebasan memiliki posisi yang radikal. Sartre menyatakan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena ia tidak memiliki esensi tetap dan harus membentuk dirinya melalui pilihan.³

Dalam Being and Nothingness, Sartre menjelaskan bahwa kebebasan adalah ciri hakiki kesadaran (consciousness), yang tidak bisa dilepaskan. Bahkan dalam situasi penindasan sekalipun, manusia tetap bebas karena ia selalu bisa memilih bagaimana menanggapi kenyataan tersebut.⁴ Namun, kebebasan semacam ini juga membawa beban: tanggung jawab penuh atas semua pilihan. Dengan kata lain, kebebasan Sartre adalah bebas dari determinasi eksternal dan internal, tetapi juga terkait dengan kecemasan dan rasa bersalah karena kita tidak bisa menyalahkan siapa pun atas hidup kita.

6.3.       Michel Foucault: Kebebasan dan Kekuasaan dalam Wacana

Michel Foucault menyuguhkan pendekatan yang sangat berbeda terhadap kebebasan dengan menyoroti hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan subjek. Dalam pandangannya, subjek tidak berada di luar struktur kekuasaan, melainkan dibentuk oleh wacana sosial, institusi, dan praktik historis.⁵

Dalam karya seperti Discipline and Punish dan The History of Sexuality, Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan modern tidak bekerja melalui represi semata, melainkan melalui normalisasi, pengawasan, dan pengendalian tubuh serta identitas.⁶ Dalam konteks ini, kebebasan tidak bisa dipahami sebagai ketiadaan dominasi semata, tetapi sebagai kapasitas untuk melakukan resistensi terhadap bentuk-bentuk kekuasaan yang tidak terlihat.

Foucault tidak memberikan definisi final tentang kebebasan, namun ia berbicara tentang praktik kebebasan, yaitu usaha subjek untuk membentuk diri secara etis dalam menghadapi norma-norma yang membentuknya.⁷

6.4.       Charles Taylor: Kebebasan, Identitas, dan Pengakuan

Charles Taylor, dalam esainya What’s Wrong with Negative Liberty?, mengkritik pemahaman sempit tentang kebebasan negatif yang hanya melihat individu sebagai makhluk yang perlu dilindungi dari gangguan luar.⁸ Ia berpendapat bahwa kebebasan sejati tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan identitas moral individu.

Taylor mengusulkan pandangan bahwa kebebasan harus dilihat dalam konteks aktualisasi diri—yakni, kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bermakna sesuai nilai-nilai yang penting bagi individu, yang hanya dapat berkembang dalam komunitas.⁹ Bagi Taylor, kebebasan adalah hasil dari relasi timbal balik antara pengakuan sosial dan integritas moral pribadi. Oleh karena itu, ia lebih menekankan pada kebebasan sebagai ekspresi otentik dari diri dalam relasi sosial yang mendukung.


Simpulan Sementara

Filsafat kontemporer menggeser perbincangan kebebasan dari wilayah abstrak dan normatif ke wilayah yang lebih konkret dan kritis. Dari Berlin hingga Taylor, perdebatan mengenai kebebasan mencerminkan keragaman pendekatan: dari perlindungan hak individu, eksistensi dan tanggung jawab pribadi, dekonstruksi kekuasaan, hingga relasi sosial dan pengakuan. Kebebasan tidak lagi dipahami secara tunggal, melainkan sebagai medan kompleks antara subjek, nilai, dan struktur sosial yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.

[2]                Ibid., 131–133.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–30.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553–554.

[5]                Michel Foucault, The Subject and Power, in Power, ed. James D. Faubion, trans. Robert Hurley (New York: The New Press, 2000), 326–348.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.

[7]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 2: The Use of Pleasure, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 25–27.

[8]                Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?” in Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 211–229.

[9]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 36–39.


7.           Dimensi Sosial dan Politik Kebebasan

Kebebasan sebagai konsep filsafat tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan politik di mana individu hidup dan berinteraksi. Ia bukan hanya soal kehendak batin atau kapasitas moral, tetapi juga berkaitan dengan struktur kelembagaan, norma-norma masyarakat, dan sistem kekuasaan yang memfasilitasi atau justru menghalangi realisasi kebebasan. Dalam ranah ini, filsafat politik modern dan kontemporer telah mengeksplorasi berbagai bentuk kebebasan kolektif, perlindungan hak-hak sipil, serta perimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan bersama.

7.1.       Kebebasan dan Hak Asasi Manusia

Kebebasan merupakan fondasi utama dari hak asasi manusia (HAM). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak atas kebebasan berpikir, bersuara, beragama, berkumpul, dan bergerak tanpa takut akan penindasan.¹ Gagasan ini memiliki akar kuat dalam tradisi liberalisme, terutama pemikiran John Locke, yang menyatakan bahwa hak-hak alamiah seperti kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan adalah tidak dapat dicabut dan harus dilindungi oleh negara.²

Dalam masyarakat modern, HAM menjadi standar universal yang melampaui batas negara, tetapi sering kali berhadapan dengan tantangan politik seperti tirani mayoritas, intoleransi agama, atau otoritarianisme negara. Oleh karena itu, konsep kebebasan yang terkandung dalam HAM menuntut perlindungan institusional yang kuat, serta partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik.

7.2.       Kebebasan dalam Sistem Demokrasi

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang secara ideal menjamin dan memperluas kebebasan warganya. Alexis de Tocqueville, dalam Democracy in America, menunjukkan bahwa demokrasi memungkinkan individu untuk memiliki suara dalam pengambilan keputusan politik dan menyediakan ruang bagi kebebasan berpendapat dan berkumpul.³ Namun, ia juga memperingatkan tentang bahaya tirani mayoritas, yakni ketika kebebasan individu dikorbankan atas nama kehendak kolektif.⁴

Dalam demokrasi liberal modern, kebebasan diposisikan sebagai hak yang harus dijaga dari intervensi negara (dalam bentuk jaminan konstitusional), tetapi pada saat yang sama, negara juga memiliki kewajiban untuk menjamin kondisi sosial dan ekonomi yang memungkinkan kebebasan tersebut dapat direalisasikan secara nyata oleh semua warga negara.⁵ Dengan demikian, kebebasan politik tidak hanya berarti “bebas dari” penindasan, tetapi juga “bebas untuk” berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.

7.3.       Ketegangan antara Kebebasan Individu dan Kepentingan Kolektif

Salah satu dilema klasik dalam filsafat politik adalah bagaimana menyeimbangkan kebebasan individu dengan kepentingan kolektif. John Stuart Mill, dalam On Liberty, mengajukan prinsip “non-intervensi” (harm principle): bahwa kebebasan individu hanya boleh dibatasi untuk mencegah kerugian terhadap orang lain.⁶ Prinsip ini menegaskan batas yang jelas antara ruang pribadi dan ruang sosial.

Namun, dalam praktik sosial-politik, batas tersebut sering kali kabur. Misalnya, dalam kasus pandemi, kebebasan individu untuk menolak vaksin atau masker dapat berkonflik dengan kesehatan publik. Dalam hal ini, negara sering kali menggunakan argumen “kepentingan umum” untuk membatasi kebebasan tertentu.⁷ Maka, pertanyaan filosofis yang muncul adalah: sampai sejauh mana kebebasan individu dapat dikompromikan demi kebaikan bersama? Tidak ada jawaban mutlak, tetapi debat ini menunjukkan bahwa kebebasan selalu berada dalam ranah negosiasi sosial yang dinamis.

7.4.       Kebebasan dan Ketidaksetaraan Sosial

Sebagian filsuf kontemporer, terutama dari tradisi marxis dan poststrukturalis, mengkritik pemahaman liberal tentang kebebasan yang dianggap terlalu formal dan abstrak. Mereka menekankan bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan sosial sering kali membuat kebebasan menjadi semu bagi kelompok tertindas.⁸ Misalnya, seseorang mungkin secara hukum bebas untuk mengenyam pendidikan tinggi, tetapi secara nyata tidak mampu karena faktor ekonomi.

Filsuf seperti Nancy Fraser dan Axel Honneth memperluas pemahaman kebebasan ke dalam wilayah keadilan distributif dan pengakuan.⁹ Kebebasan dalam konteks ini bukan hanya soal pilihan bebas, tetapi tentang kapasitas yang adil untuk memilih, yang hanya mungkin jika struktur sosial mendukungnya. Dengan demikian, kebebasan politik dan sosial harus disertai dengan keadilan ekonomi dan kultural agar tidak menjadi sekadar retorika formal.


Simpulan Sementara

Dimensi sosial dan politik dari kebebasan memperlihatkan bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang absolut atau berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan struktur hukum, sistem politik, norma sosial, dan distribusi kekuasaan. Menjaga kebebasan berarti membangun masyarakat yang mampu menjamin hak-hak individu sekaligus memperkuat solidaritas kolektif, serta memastikan bahwa setiap orang benar-benar memiliki kesempatan yang setara untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan bermartabat.


Footnotes

[1]                United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (New York: UN, 1948), art. 1–21.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.

[3]                Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 235–240.

[4]                Ibid., 245–250.

[5]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 5–11.

[6]                John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, Roberts & Green, 1859), 13–15.

[7]                Judith Butler, The Force of Nonviolence (London: Verso Books, 2020), 45–48.

[8]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Mineola, NY: Dover Publications, 2007), 92–95.

[9]                Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb et al. (London: Verso Books, 2003), 17–44.


8.           Kebebasan dalam Perspektif Agama dan Spiritualitas

Berbeda dari pendekatan sekuler yang menekankan rasionalitas, hak, dan struktur sosial, agama dan spiritualitas memahami kebebasan dalam kaitannya dengan transendensi, tujuan akhir manusia, dan hubungan dengan Yang Ilahi. Dalam berbagai tradisi keagamaan, kebebasan bukan semata soal otonomi pribadi, tetapi tentang pembebasan jiwa dari keterikatan duniawi dan penyelarasan diri dengan kehendak Tuhan. Perspektif ini menggeser pemahaman kebebasan dari wilayah horizontal (manusia dan masyarakat) ke wilayah vertikal (manusia dan Tuhan), serta menyoroti kebebasan batin sebagai jalan menuju keselamatan dan kesempurnaan spiritual.

8.1.       Kebebasan dalam Tradisi Kristen

Dalam teologi Kristen, khususnya dalam pemikiran Agustinus dan Martin Luther, kebebasan dikaitkan erat dengan rahmat Tuhan dan pembebasan dari dosa. Agustinus menyatakan bahwa kehendak bebas manusia telah rusak akibat dosa asal, sehingga manusia tidak mampu memilih kebaikan tanpa bantuan rahmat ilahi.¹ Dengan demikian, kebebasan sejati adalah kemampuan untuk mencintai dan menaati Tuhan, yang hanya mungkin jika Tuhan terlebih dahulu membebaskan kehendak manusia dari perbudakan dosa.²

Pandangan ini dilanjutkan oleh Luther dalam Reformasi, yang menekankan bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya melalui kehendak bebasnya sendiri. Dalam karyanya The Bondage of the Will, Luther menyatakan bahwa kehendak manusia “terikat” oleh kecenderungan berdosa, dan hanya iman serta rahmat Allah yang dapat membebaskannya.³ Dengan demikian, kebebasan dalam perspektif Kristen bukanlah kebebasan moral netral, melainkan pembebasan dari kuasa dosa untuk hidup dalam kebenaran ilahi.

8.2.       Kebebasan dalam Islam: Antara Qadar dan Ikhtiyar

Dalam tradisi Islam, pembahasan kebebasan erat kaitannya dengan doktrin qadar (takdir) dan ikhtiyar (pilihan bebas). Al-Qur’an sendiri memuat ketegangan antara pengetahuan dan kehendak Allah yang absolut dan tanggung jawab moral manusia. Misalnya, QS. Al-Insan [76] ayat 3 menyatakan bahwa manusia telah ditunjukkan dua jalan: kebaikan dan kejahatan, dan ia bebas memilih.⁴

Para teolog klasik seperti al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi mencoba menggabungkan kebebasan manusia dengan kekuasaan Tuhan melalui konsep kasb (perolehan), yaitu bahwa manusia “memperoleh” tindakan yang diciptakan oleh Allah.⁵ Sementara filsuf seperti Ibn Sina menekankan bahwa kehendak bebas manusia merupakan hasil dari kemampuan akal dalam menimbang baik dan buruk, sehingga tindakan bebas adalah hasil kesadaran rasional, bukan pilihan arbitrer.⁶

Kebebasan dalam Islam juga dipahami secara spiritual: manusia bebas ketika ia membebaskan diri dari hawa nafsu dan syahwat, serta menyerahkan dirinya secara ikhlas kepada kehendak Allah. Konsep ini tercermin dalam istilah taqwa dan tazkiyatun nafs, yakni penyucian jiwa sebagai syarat kebebasan batin.⁷

8.3.       Spiritualitas Timur: Pembebasan dari Keterikatan Duniawi

Dalam filsafat dan agama-agama Timur seperti Hindu, Buddha, dan Taoisme, kebebasan umumnya tidak dipahami sebagai kebebasan memilih, tetapi sebagai pembebasan dari lingkaran samsara—yakni kelahiran kembali yang terus menerus akibat keterikatan terhadap keinginan dan ego.

Dalam filsafat Vedanta, kebebasan (moksha) adalah pencapaian kesatuan antara Atman (diri sejati) dan Brahman (realitas mutlak).⁸ Kebebasan sejati hanya terjadi ketika manusia menyadari bahwa dirinya bukan ego individual, melainkan bagian dari realitas ilahi yang tak terbatas.

Demikian pula dalam Buddhisme, nirvana bukanlah kebebasan untuk bertindak, melainkan kebebasan dari penderitaan, nafsu, dan ketidaktahuan.⁹ Dalam kerangka ini, kebebasan adalah kondisi batin yang dicapai melalui disiplin spiritual, meditasi, dan pengendalian diri.

8.4.       Konvergensi: Kebebasan sebagai Jalan Transformasi Diri

Terlepas dari perbedaan doktrin, agama-agama besar memiliki titik temu dalam melihat kebebasan sebagai transformasi diri. Kebebasan bukanlah kebebasan untuk bertindak semaunya, melainkan kemampuan untuk melepaskan diri dari dorongan-dorongan rendah dan bersatu dengan kehendak yang lebih tinggi. Karen Armstrong menyebut hal ini sebagai “paradoks kebebasan spiritual”—bahwa dengan menyerahkan diri kepada Tuhan atau Dharma, manusia justru menemukan kebebasan sejatinya.¹⁰


Simpulan Sementara

Perspektif agama dan spiritualitas menunjukkan bahwa kebebasan tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka sekuler dan sosial. Kebebasan yang sejati adalah pembebasan batin, yakni kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu ego, nafsu, dosa, atau ketidaktahuan, dan bergerak menuju kebenaran transenden. Dalam perspektif ini, otoritas Ilahi bukan penghalang kebebasan, tetapi sumber sejatinya, karena hanya dalam hubungan dengan yang transenden manusia menemukan makna dan kedamaian terdalam.


Footnotes

[1]                Augustine, On the Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 35–46.

[2]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX.13–14.

[3]                Martin Luther, The Bondage of the Will, trans. J.I. Packer and O.R. Johnston (Grand Rapids: Revell, 1957), 101–105.

[4]                The Qur’an, Surah Al-Insan [76]:3.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 134–140.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 152–158.

[7]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991), Book XXII, 33–41.

[8]                Radhakrishnan, S., Indian Philosophy, Volume II (Oxford: Oxford University Press, 1957), 73–75.

[9]                Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 44–53.

[10]             Karen Armstrong, The Case for God (New York: Knopf, 2009), 98–100.


9.           Tantangan Kebebasan di Era Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan radikal dalam cara manusia hidup, berpikir, dan berinteraksi. Di satu sisi, era digital menjanjikan perluasan kebebasan: akses terbuka terhadap informasi, kebebasan berekspresi di media sosial, dan kemampuan untuk mengorganisasi gerakan sosial lintas batas. Namun di sisi lain, era ini juga menimbulkan tantangan serius terhadap kebebasan individu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban. Pengawasan massal, manipulasi algoritmik, dan eksploitasi data pribadi menjadi ancaman nyata terhadap otonomi dan hak asasi manusia di dunia digital.

9.1.       Pengawasan dan Erosi Privasi

Salah satu ancaman paling signifikan terhadap kebebasan di era digital adalah pengawasan digital (digital surveillance). Pemerintah dan korporasi teknologi memiliki kemampuan untuk melacak aktivitas online individu secara real-time—mulai dari pencarian internet, lokasi, hingga kebiasaan belanja. Edward Snowden, dalam pembongkarannya terhadap program PRISM milik NSA (National Security Agency) AS, menunjukkan bagaimana kebebasan individu dapat dikompromikan oleh kekuasaan yang tersembunyi dan tidak akuntabel.¹

Filsuf seperti Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai “surveillance capitalism”, yakni model ekonomi yang mengandalkan ekstraksi data personal pengguna untuk diproses dan dimonetisasi.² Dalam kerangka ini, data bukan hanya komoditas, tetapi juga alat kontrol dan prediksi perilaku, sehingga menciptakan ancaman terhadap kebebasan memilih secara otentik.

9.2.       Manipulasi Algoritmik dan Otonomi Subjek

Platform digital saat ini tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga mengatur dan membentuk apa yang pengguna lihat, baca, dan pikirkan melalui algoritma personalisasi.³ Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah kita benar-benar bebas dalam memilih jika pilihan-pilihan kita sudah difilter dan diarahkan sebelumnya?

Byung-Chul Han, dalam karyanya Psychopolitics, berargumen bahwa kekuasaan digital bersifat “psikopolitik”, yakni mengendalikan individu bukan dengan kekerasan fisik, tetapi dengan memengaruhi preferensi dan kesadaran bawah sadar.⁴ Dalam konteks ini, kebebasan menjadi ilusi karena subjek dikonstruksi oleh algoritma yang tidak disadarinya.

9.3.       Ekspresi dan Polarisasi di Dunia Maya

Era digital juga membawa perluasan ruang ekspresi melalui media sosial, tetapi hal ini sekaligus memunculkan masalah baru seperti polarisasi opini, ujaran kebencian, dan disinformasi. Kebebasan berekspresi menjadi paradoksal ketika digunakan untuk menyebarkan kebohongan, merusak reputasi, atau mengintimidasi pihak lain.

Jürgen Habermas memperingatkan bahwa ruang publik digital sering kali gagal menjadi arena diskusi rasional, dan malah menjadi tempat dominasi opini yang didorong oleh emosi dan algoritma viralitas.⁵ Dalam hal ini, kebebasan berbicara tanpa tanggung jawab dapat merusak kebebasan kolektif untuk hidup dalam masyarakat yang tertib dan rasional.

9.4.       Kesenjangan Akses dan Ketidakadilan Digital

Tantangan lainnya adalah kesenjangan digital (digital divide), yakni ketimpangan akses terhadap teknologi dan literasi digital antar individu dan kelompok sosial. Kebebasan untuk belajar, berpendapat, atau bekerja melalui teknologi hanya mungkin jika seseorang memiliki sarana dan pengetahuan yang memadai.

Amartya Sen menyatakan bahwa kebebasan sejati menuntut kapabilitas yang riil, bukan hanya hak formal.⁶ Maka, dalam konteks digital, akses internet, literasi teknologi, dan perlindungan terhadap eksploitasi adalah syarat dasar bagi realisasi kebebasan. Tanpa itu, kebebasan hanya menjadi milik segelintir kelompok yang berkuasa atas data dan infrastruktur teknologi.


Simpulan Sementara

Era digital memperluas dan sekaligus memperumit pengertian kebebasan. Teknologi informasi memberikan peluang untuk memperkuat demokrasi dan partisipasi, tetapi juga membawa mekanisme kontrol, manipulasi, dan ketimpangan baru. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan etis, filosofis, dan politis yang kritis terhadap ekosistem digital—bukan hanya untuk melindungi kebebasan individu, tetapi juga untuk membentuk tata dunia digital yang adil, transparan, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Glenn Greenwald, No Place to Hide: Edward Snowden, the NSA, and the U.S. Surveillance State (New York: Metropolitan Books, 2014), 45–63.

[2]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–15.

[3]                Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (New York: Penguin Press, 2011), 3–7.

[4]                Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power, trans. Erik Butler (London: Verso Books, 2017), 5–14.

[5]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, trans. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 178–185.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 35–41.


10.       Penutup

Konsep kebebasan telah menjadi benang merah dalam sejarah filsafat, dari masa klasik hingga era kontemporer, dari diskursus metafisik hingga persoalan etika, politik, dan sosial. Perjalanan intelektual ini menunjukkan bahwa kebebasan bukanlah ide yang statis dan seragam, melainkan konsep dinamis yang terus bergeser sesuai konteks historis, budaya, dan teknologi.

Dalam filsafat klasik, kebebasan dipahami sebagai penguasaan diri melalui akal dan kebajikan, sebagaimana dikemukakan Plato dan Aristoteles.¹ Pandangan ini berkembang dalam tradisi teologis abad pertengahan, di mana kebebasan dikaitkan dengan rahmat ilahi dan orientasi moral terhadap kebaikan tertinggi, sebagaimana ditampilkan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas.²

Memasuki era modern, kebebasan mengalami sekularisasi dan rasionalisasi. Pemikir seperti Locke, Rousseau, dan Kant menekankan otonomi individu, hak kodrati, serta kapasitas manusia untuk mengatur hidupnya sendiri berdasarkan hukum moral atau sosial yang rasional.³ Namun, pemikiran kontemporer memperluas cakrawala kebebasan lebih jauh lagi: kebebasan sebagai kemampuan eksistensial (Sartre), ruang resistensi terhadap kekuasaan (Foucault), atau sebagai aktualisasi diri dalam pengakuan sosial (Taylor).⁴

Di samping perbedaan pendekatan, satu kesamaan dapat disimpulkan: kebebasan bukan hanya soal ketiadaan batasan eksternal, tetapi lebih dalam lagi, berkaitan dengan kondisi batin, struktur sosial, dan kemampuan nyata untuk memilih secara bermakna. Seperti dinyatakan oleh Amartya Sen, kebebasan sejati adalah ketika seseorang memiliki kapabilitas nyata untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga, bukan sekadar hak formal.⁵

Dalam konteks zaman sekarang—yang ditandai oleh krisis ekologis, ketimpangan global, dan revolusi digital—pemahaman tentang kebebasan menjadi semakin mendesak untuk dikaji ulang. Tantangan-tantangan baru seperti pengawasan digital, manipulasi algoritmik, dan ketimpangan akses informasi memunculkan bentuk-bentuk dominasi yang tidak selalu terlihat, namun sangat efektif dalam membatasi kebebasan sejati manusia.⁶ Oleh karena itu, refleksi filosofis tentang kebebasan tidak boleh berhenti pada teori, melainkan harus menginspirasi transformasi praksis dalam arah keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Akhirnya, sebagaimana ditegaskan oleh Charles Taylor, memahami kebebasan secara utuh menuntut kita untuk melampaui dikotomi antara individu dan masyarakat, antara kebebasan negatif dan positif, dan mulai membangun visi kebebasan yang inklusif, kontekstual, dan transformatif.⁷ Filsafat, dalam hal ini, tidak hanya menyediakan kerangka teoritis, tetapi juga menjadi alat kritik dan pembebasan dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1111b5–1113b22; Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 439d–441c.

[2]                Augustine, On the Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 35–46; Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 13–17.

[3]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289; Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 52–58; Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–64.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 553–554; Michel Foucault, The Subject and Power, in Power, ed. James D. Faubion, trans. Robert Hurley (New York: The New Press, 2000), 326–348; Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 36–39.

[5]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 35–41.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–15; Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power, trans. Erik Butler (London: Verso Books, 2017), 5–14.

[7]                Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?” in Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 211–229.


Daftar Pustaka

Armstrong, K. (2009). The case for God. Knopf.

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (1993). On the free choice of the will (T. Williams, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Books.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Butler, J. (2020). The force of nonviolence. Verso Books.

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.

Foucault, M. (1990). The history of sexuality, Vol. 2: The use of pleasure (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (2000). The subject and power (R. Hurley, Trans.). In J. D. Faubion (Ed.), Power (pp. 326–348). The New Press.

Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical exchange (J. Golb et al., Trans.). Verso Books.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Greenwald, G. (2014). No place to hide: Edward Snowden, the NSA, and the U.S. surveillance state. Metropolitan Books.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere (T. Burger, Trans.). MIT Press.

Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and new technologies of power (E. Butler, Trans.). Verso Books.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

Luther, M. (1957). The bondage of the will (J. I. Packer & O. R. Johnston, Trans.). Revell.

Mill, J. S. (1859). On liberty. Longman, Roberts & Green.

Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the Internet is hiding from you. Penguin Press.

Pinckaers, S. (1995). The sources of Christian ethics (M. T. Noble, Trans.). Catholic University of America Press.

Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M. Cooper, Ed.; G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.

Radhakrishnan, S. (1957). Indian philosophy: Volume II. Oxford University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Anchor Books.

Taylor, C. (1985). Philosophy and the human sciences: Philosophical papers, Volume 2. Cambridge University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Tocqueville, A. de. (2000). Democracy in America (H. C. Mansfield & D. Winthrop, Trans.). University of Chicago Press.

United Nations. (1948). The Universal Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

Williams, R. (1983). Keywords: A vocabulary of culture and society. Oxford University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar