Pragmatisme
Asal Usul, Konsep Pokok, Tokoh Sentral, dan Relevansinya
dalam Konteks Kontemporer
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran
filsafat pragmatisme, yang merupakan salah satu kontribusi khas dari
tradisi intelektual Amerika terhadap perkembangan pemikiran modern. Kajian ini
dimulai dengan penelusuran asal-usul historis pragmatisme pada akhir abad ke-19
sebagai respons terhadap idealisme rasionalis dan empirisme klasik, kemudian
dilanjutkan dengan pemaparan konsep-konsep kunci seperti kebenaran sebagai
efektivitas praktis, makna sebagai konsekuensi, dan instrumentalisme. Artikel
ini juga mengulas pemikiran para tokoh utama pragmatisme, yaitu Charles Sanders
Peirce, William James, John Dewey, dan Richard Rorty, yang memperluas cakupan
pragmatisme dari logika ilmiah hingga etika sosial dan diskursus budaya.
Selanjutnya, artikel ini mengkaji posisi
pragmatisme dalam perbandingannya dengan aliran filsafat lain seperti
rasionalisme, empirisme, positivisme, dan eksistensialisme, serta menelaah
kritik-kritik terhadap pragmatisme, khususnya terkait isu relativisme,
kelemahan normatif, dan kekaburan konsep. Bagian akhir artikel menunjukkan
bahwa pragmatisme tetap relevan dalam kehidupan kontemporer karena kemampuannya
untuk mengintegrasikan teori dan praktik, serta menawarkan pendekatan reflektif
dalam pendidikan, kebijakan publik, teknologi, dan kehidupan sosial. Dengan
demikian, pragmatisme tidak hanya menjadi sistem filsafat, tetapi juga kerangka
kerja praktis yang tangguh dalam merespons tantangan dunia modern.
Kata Kunci: Pragmatisme, kebenaran praktis, Peirce, William
James, John Dewey, Richard Rorty, relativisme, pendidikan progresif, etika
kontekstual, filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Telaah Pragmatisme dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat adalah
pencarian makna yang terus berkembang, menjawab pertanyaan-pertanyaan besar
tentang kebenaran, realitas, dan nilai. Di antara sekian banyak aliran filsafat
modern, pragmatisme muncul sebagai
salah satu pendekatan yang paling khas dalam tradisi pemikiran Amerika. Aliran
ini menantang asumsi-asumsi metafisika klasik dan epistemologi tradisional
dengan menyatakan bahwa makna dan kebenaran suatu ide harus dilihat dari dampak
praktis dan manfaat fungsionalnya dalam kehidupan nyata. Dalam pandangan ini,
kebenaran bukanlah cerminan realitas yang absolut dan abadi, melainkan hasil
dari proses dan pengalaman yang terus berkembang dalam konteks sosial dan
historis tertentu.
Pragmatisme lahir di
akhir abad ke-19 sebagai respons terhadap keterbatasan idealisme dan dogmatisme
rasionalisme. Ia menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel, eksperimental, dan
terbuka terhadap perubahan, sesuai dengan dinamika masyarakat demokratis dan
ilmiah yang sedang berkembang di Amerika Serikat pada masa itu. Charles Sanders
Peirce, yang pertama kali memperkenalkan prinsip "pragmatic maxim",
menjadi pelopor dari pendekatan ini, diikuti oleh William James yang
mempopulerkannya melalui karya-karya yang lebih komunikatif dan aplikatif.
James memandang bahwa suatu gagasan benar apabila ia terbukti berguna dan
memuaskan dalam pengalaman manusia sehari-hari¹.
Di kemudian hari,
John Dewey memperluas cakupan pragmatisme dengan menekankan dimensi sosial,
pedagogis, dan politik dari filsafat ini. Ia mengaitkan pragmatisme dengan
proyek demokrasi dan pendidikan progresif, menjadikan filsafat sebagai alat
untuk memperbaiki masyarakat melalui refleksi kritis dan tindakan kolektif².
Sementara itu, pada abad ke-20, Richard Rorty mengembangkan bentuk neopragmatisme
yang menolak klaim-klaim epistemologis universal dan menggantikannya dengan
pandangan bahwa kebenaran bersifat kontingen dan dikonstruksi secara linguistik
dalam komunitas³.
Urgensi mengkaji
pragmatisme dalam konteks kontemporer tidak hanya terletak pada nilai
historisnya, tetapi juga pada kemampuannya memberikan kerangka berpikir yang
relevan dalam menghadapi problem-problem aktual—dari pendidikan dan kebijakan
publik, hingga teknologi dan pluralisme nilai. Dengan menekankan keberfungsian
dan konsekuensi ide, pragmatisme mendorong manusia untuk bersikap reflektif,
terbuka, dan berorientasi pada solusi nyata dalam menyikapi kompleksitas zaman
modern.
Melalui artikel ini,
pembaca diajak untuk menelusuri asal-usul pragmatisme, memahami konsep-konsep
utamanya, mengenal tokoh-tokoh sentral yang membentuk aliran ini, serta menilai
relevansinya dalam konteks filsafat dan kehidupan sosial masa kini. Pemahaman
terhadap pragmatisme dapat memperluas horizon berpikir kita tentang bagaimana
kebenaran, nilai, dan tindakan seharusnya dipertimbangkan secara kontekstual
dan bertanggung jawab dalam dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 30–32.
[2]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 1–5.
[3]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 9–10.
2.
Asal Usul dan Latar Historis Pragmatisme
Pragmatisme lahir di
Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19, dalam sebuah konteks intelektual
yang ditandai oleh krisis epistemologis, pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan, dan
dinamika sosial-politik yang menuntut pendekatan baru terhadap filsafat. Aliran
ini bukan sekadar reaksi terhadap sistem filsafat sebelumnya, melainkan
merupakan bentuk penyusunan ulang cara berpikir filsafat yang menekankan nilai praktikal
dari ide dan teori dalam kehidupan nyata. Dalam pengertian ini, pragmatisme
dapat dipahami sebagai sintesis dari empirisme Inggris, idealisme Jerman, dan
transendentalisme Amerika yang telah berkembang lebih dahulu¹.
Tokoh yang secara
umum dianggap sebagai pendiri pragmatisme adalah Charles
Sanders Peirce, yang pada tahun 1878 memperkenalkan gagasan "pragmatic
maxim" dalam esainya yang terkenal, How to
Make Our Ideas Clear. Dalam prinsip ini, Peirce menekankan bahwa
makna sebuah konsep terletak pada konsekuensi praktis yang dapat dihasilkan
dari penerapannya. Gagasan ini merupakan upaya Peirce untuk memberikan dasar
metodologis bagi pencarian pengetahuan yang ilmiah dan dapat diuji secara
empirik². Menurut Peirce, "untuk mengembangkan makna suatu gagasan,
kita harus mempertimbangkan dampaknya yang dapat dibayangkan terhadap
pengalaman praktis."_³
Namun demikian,
pragmatisme tidak memperoleh pengaruh yang luas sampai William
James memperkenalkan dan mempopulerkannya dalam kuliah-kuliah
yang kemudian diterbitkan sebagai buku Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of
Thinking (1907). James memaknai pragmatisme secara lebih psikologis
dan eksistensial. Ia berpandangan bahwa kebenaran bersifat dinamis dan sangat
tergantung pada keberhasilan suatu ide dalam membantu manusia menjalani
kehidupan yang lebih memuaskan. Baginya, suatu ide adalah benar apabila
berguna, berfungsi dalam praktik, dan mendukung pertumbuhan pengalaman hidup
manusia⁴.
Selanjutnya, John
Dewey mengembangkan pragmatisme ke ranah yang lebih luas dengan
menekankan bahwa filsafat seharusnya menjadi alat untuk menyelesaikan
masalah-masalah nyata dalam masyarakat. Ia memperkenalkan istilah instrumentalisme
untuk menggambarkan bahwa ide, konsep, dan teori adalah alat (instruments) yang
harus diuji melalui eksperimen sosial. Dalam sistem berpikir Dewey, kebenaran
bukanlah korespondensi dengan realitas objektif, tetapi merupakan hasil dari
proses kolektif yang bertujuan memecahkan masalah secara demokratis dan
partisipatif⁵.
Kemunculan
pragmatisme juga tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya Amerika yang
bercirikan praktikalisme, demokrasi,
dan individualisme.
Sejak awal, pragmatisme menolak filsafat yang bersifat spekulatif dan
doktriner. Ia lebih menekankan pendekatan yang berbasis pengalaman, tindakan,
dan keberhasilan ide dalam dunia nyata. Karena itu, aliran ini sering kali
dikontraskan dengan idealisme rasionalis Eropa yang dinilai terlalu abstrak dan
kurang relevan dengan realitas sehari-hari⁶.
Dengan demikian,
pragmatisme lahir dari ketegangan antara tradisi filsafat lama dan kebutuhan
akan pendekatan baru yang lebih relevan dengan zaman modern. Ia menjadi
sumbangan penting Amerika bagi dunia filsafat, menawarkan metode berpikir yang
terbuka, dinamis, dan berorientasi pada hasil. Warisan awal dari Peirce, James,
dan Dewey terus dikembangkan oleh para filsuf kontemporer, membuktikan bahwa
pragmatisme tetap relevan sebagai fondasi filsafat yang kontekstual dan
transformatif.
Footnotes
[1]
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 4–6.
[2]
Charles S. Peirce, "How to Make Our Ideas Clear," in The
Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1, ed. Nathan
Houser and Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992),
124–141.
[3]
Ibid., 132.
[4]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45–47.
[5]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925),
8–10.
[6]
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity
Press, 2010), 21–23.
3.
Konsep-Konsep Kunci dalam Pragmatisme
Pragmatisme
merupakan aliran filsafat yang menekankan kegunaan praktis dari ide,
teori, dan nilai-nilai sebagai ukuran utama makna dan kebenarannya. Dalam
perkembangannya, aliran ini membentuk sejumlah konsep kunci yang menjadi
fondasi filosofis dan metodologisnya. Konsep-konsep tersebut tidak bersifat
dogmatis atau tetap, melainkan lentur dan kontekstual, sesuai dengan semangat
dasar pragmatisme yang menekankan keberhasilan dalam pengalaman nyata.
3.1.
Kebenaran sebagai
Efektivitas Praktis
Salah satu konsep
utama dalam pragmatisme adalah pemahaman bahwa kebenaran bukanlah korespondensi pasif antara
pikiran dan realitas, melainkan hasil dari fungsi
efektif suatu ide dalam pengalaman. Dalam pandangan William James,
ide dinilai benar sejauh ia "bekerja" (works), yaitu jika ia terbukti
berguna dalam menghadapi kehidupan dan memecahkan persoalan⁽¹⁾. Dengan
demikian, kebenaran bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan manusia, serta
ditentukan melalui pengujian dalam praktik sosial.
3.2.
Makna sebagai
Konsekuensi Praktis
Charles Sanders
Peirce memperkenalkan apa yang disebut sebagai “pragmatic maxim”, yaitu
prinsip bahwa makna suatu gagasan dapat ditemukan dalam konsekuensi
praktis yang dapat diperkirakan dari penerapannya. Dengan kata
lain, untuk memahami suatu konsep, kita harus menanyakan: apa yang akan terjadi
jika konsep itu diterapkan dalam tindakan?⁽²⁾ Prinsip ini menjadi dasar dari
pendekatan semantik dan epistemologi pragmatis.
3.3.
Instrumentalisme:
Teori Sebagai Alat
John Dewey
mengembangkan gagasan bahwa ide dan teori bukanlah refleksi realitas
objektif, melainkan instrumen atau alat untuk bertindak dan menyelesaikan
masalah. Dalam kerangka ini, ilmu pengetahuan bukan upaya
menemukan “kebenaran akhir”, melainkan proses eksperimental yang terus
disempurnakan demi adaptasi manusia terhadap lingkungannya⁽³⁾. Dewey menyebut
filsafatnya sebagai instrumentalisme, yang menolak
klaim absolut dan menggantikannya dengan pendekatan berbasis proses.
3.4.
Antimetafisika dan
Penolakan terhadap Absolutisme
Pragmatisme secara
umum bersikap kritik terhadap metafisika spekulatif
dan dogma-dogma absolut. Tokoh-tokoh pragmatisme menilai bahwa filsafat tidak
seharusnya terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan metafisik yang tidak dapat
diverifikasi melalui pengalaman. Richard Rorty, misalnya, menolak pandangan
bahwa filsafat bertugas mencerminkan realitas, dan sebaliknya mendorong
filsafat untuk menjadi diskursus kultural yang bersifat terbuka⁽⁴⁾. Dalam
konteks ini, kebenaran menjadi produk sosial yang dibentuk oleh dialog dan
konsensus dalam komunitas.
3.5.
Pengalaman sebagai
Basis Pengetahuan
Pengalaman dianggap
sebagai sumber utama pengetahuan dalam pragmatisme. Namun berbeda dari
empirisme klasik, pengalaman di sini tidak dipahami sebagai data pasif,
melainkan sebagai interaksi aktif antara individu dan
lingkungannya. Pengetahuan bukanlah representasi, tetapi hasil
dari proses dinamis antara tindakan dan refleksi⁽⁵⁾. Hal ini memungkinkan
manusia untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki tindakan di masa depan.
3.6.
Konteks dan
Konsekuensi Sosial
Pragmatisme juga
menekankan bahwa nilai dan makna suatu ide tidak dapat
dilepaskan dari konteks sosial dan konsekuensi yang ditimbulkannya.
Sebuah ide dianggap bermakna jika ia memiliki kontribusi dalam meningkatkan
kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, pragmatisme sangat relevan dalam
ranah etika sosial, pendidikan, hukum, dan politik⁽⁶⁾. Penekanan pada hasil dan
dampak menjadikan pragmatisme sangat aplikatif dalam dunia modern yang sarat
dengan kompleksitas dan perubahan.
Footnotes
[1]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 94–96.
[2]
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” in The Essential
Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1, ed. Nathan Houser and
Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132–133.
[3]
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt
and Company, 1938), 9–10.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 6–7.
[5]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925),
13–14.
[6]
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 101–104.
4.
Tokoh-Tokoh Sentral dan Gagasannya
Perkembangan
filsafat pragmatisme sangat erat kaitannya dengan pemikiran sejumlah tokoh
penting yang tidak hanya membentuk fondasi aliran ini, tetapi juga memperluas
cakupannya ke berbagai bidang pengetahuan. Para pemikir ini tidak sepenuhnya
sepakat dalam semua hal, tetapi mereka disatukan oleh keyakinan bahwa filsafat
harus bersandar pada pengalaman dan berorientasi pada konsekuensi praktis.
Berikut ini adalah empat tokoh sentral dalam tradisi pragmatisme: Charles
Sanders Peirce, William James, John Dewey, dan Richard Rorty.
4.1.
Charles Sanders
Peirce (1839–1914): Pendiri Pragmatisme
Charles S. Peirce
merupakan tokoh pertama yang merumuskan prinsip dasar pragmatisme. Dalam
esainya How to
Make Our Ideas Clear (1878), ia mengemukakan “pragmatic
maxim”, yaitu bahwa makna suatu konsep terletak pada
konsekuensi praktis yang dapat diturunkan dari ide tersebut dalam pengalaman
konkret¹. Peirce tidak memaknai pragmatisme secara subjektif atau utilitarian,
tetapi sebagai alat logis untuk memperjelas ide dan meningkatkan keakuratan
penyelidikan ilmiah.
Selain itu, Peirce
mengembangkan teori semiotika dan menyatakan bahwa
proses pengetahuan adalah proses tanda (sign) yang melibatkan representamen,
objek, dan interpretan. Ia juga menekankan pentingnya metode ilmiah dalam
membentuk keyakinan yang stabil dan menolak metode dogmatis seperti otoritas
dan intuisi². Bagi Peirce, kebenaran adalah apa yang akan disepakati dalam
penyelidikan rasional tanpa akhir oleh komunitas ilmiah³.
4.2.
William James (1842–1910):
Pragmatisme Psikologis dan Eksistensial
William James adalah
tokoh yang paling berjasa dalam mempopulerkan pragmatisme di ranah publik.
Dalam bukunya Pragmatism (1907), ia memaparkan
bahwa suatu
ide dianggap benar sejauh ia berguna secara praktis bagi individu dalam
pengalaman hidupnya⁴. James menekankan bahwa kebenaran bersifat
plural dan berkembang, sesuai dengan konteks dan kebutuhan manusia. Ia
memperluas pragmatisme ke dalam bidang psikologi dan agama, serta membela
pentingnya kehendak bebas, keyakinan pribadi, dan pengalaman religius sebagai
bagian dari realitas filosofis.
James mengkritik
filsafat akademik yang terlalu abstrak dan terputus dari kenyataan hidup
manusia. Ia mendukung pendekatan filsafat yang lebih terbuka terhadap keragaman
pengalaman, termasuk pengalaman spiritual, asalkan dapat dibuktikan manfaatnya
bagi kehidupan nyata⁵.
4.3.
John Dewey
(1859–1952): Pragmatisme Sosial dan Pendidikan
John Dewey merupakan
tokoh pragmatis yang paling berpengaruh dalam bidang pendidikan, politik, dan
filsafat sosial. Ia mengembangkan pragmatisme menjadi apa yang disebutnya “instrumentalisme”,
yaitu pandangan bahwa ide-ide adalah alat yang harus diuji melalui pengalaman
untuk menyelesaikan masalah⁶. Dewey percaya bahwa filsafat harus berkontribusi
terhadap perbaikan kehidupan bersama, terutama dalam masyarakat demokratis.
Dalam karya-karyanya
seperti Democracy
and Education (1916) dan Experience and Nature (1925), Dewey
menekankan pentingnya proses belajar sebagai interaksi aktif antara individu
dan lingkungan. Ia juga menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya bentuk
pemerintahan, tetapi cara hidup yang didasarkan pada komunikasi, partisipasi,
dan eksperimentasi sosial⁷. Melalui pendekatannya, Dewey menjadikan pragmatisme
sebagai dasar teoritis bagi pendidikan progresif dan reformasi sosial.
4.4.
Richard Rorty
(1931–2007): Neopragmatisme dan Penolakan terhadap Epistemologi Tradisional
Richard Rorty
memperbarui pragmatisme dalam konteks filsafat pascamodern dengan menolak
fondasi epistemologis klasik. Dalam bukunya Philosophy and the Mirror of Nature
(1979), ia mengkritik gagasan bahwa filsafat bertugas mencerminkan realitas
secara objektif⁸. Rorty menolak adanya “fondasi pengetahuan” yang pasti dan menyarankan bahwa kebenaran adalah hasil
konsensus dalam komunitas linguistik, bukan cerminan realitas
eksternal⁹.
Neopragmatisme Rorty
bersifat antifundasional, antiesensialis,
dan menempatkan bahasa sebagai pusat dari praktik intelektual. Ia tidak lagi
berupaya menetapkan kebenaran absolut, melainkan memperlakukan filsafat sebagai
percakapan budaya yang terbuka dan plural. Dalam pandangannya, tujuan filsafat
bukanlah untuk menemukan realitas metafisik, melainkan untuk memperluas
solidaritas dan memperbaiki cara kita berbicara tentang dunia¹⁰.
Footnotes
[1]
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” in The Essential
Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1, ed. Nathan Houser and
Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132–133.
[2]
Ibid., 138–139.
[3]
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of
Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 1–2.
[4]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 94–96.
[5]
William James, The Varieties of Religious Experience (New
York: Longmans, Green, and Co., 1902), 20–21.
[6]
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt
and Company, 1938), 5–6.
[7]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 87–90.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 6–7.
[9]
Ibid., 385–387.
[10]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 44–45.
5.
Perbandingan Pragmatisme dengan Aliran Filsafat
Lain
Pragmatisme
merupakan salah satu aliran filsafat modern yang tampil sebagai alternatif
terhadap berbagai aliran filsafat klasik yang lebih bersifat sistematik dan
deduktif. Ciri khas pragmatisme yang berorientasi pada konsekuensi
praktis, pengalaman konkrit, dan fleksibilitas
epistemologis membuatnya sering dikontraskan dengan
pendekatan-pendekatan filosofis lain yang menekankan pada rasionalitas murni,
pengalaman empiris yang netral, atau prinsip metafisika absolut. Bagian ini
mengulas perbandingan pragmatisme dengan empat aliran filsafat besar:
rasionalisme, empirisme, positivisme, dan eksistensialisme.
5.1.
Pragmatisme vs
Rasionalisme
Rasionalisme
menekankan bahwa pengetahuan yang sahih diperoleh melalui akal
budi dan prinsip-prinsip a priori, yang bersifat universal dan
tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Tokoh-tokoh seperti René Descartes
dan Baruch Spinoza percaya bahwa kebenaran dapat dicapai melalui deduksi logis
dan sistem pemikiran tertutup⁽¹⁾.
Sebaliknya, pragmatisme
menolak anggapan bahwa akal dapat berdiri sendiri tanpa pengalaman. William
James berpendapat bahwa ide-ide rasional harus diuji melalui fungsi
praktisnya dalam kehidupan nyata, bukan semata-mata berdasarkan
koherensi internal⁽²⁾. Dalam pragmatisme, kebenaran bukan sesuatu yang sudah
ada sejak awal, melainkan sesuatu yang terbentuk melalui pengalaman dan
diperkuat oleh hasil praktisnya.
5.2.
Pragmatisme vs
Empirisme
Empirisme, seperti
dikembangkan oleh John Locke, George Berkeley, dan David Hume, menekankan bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Empirisme
bersifat deskriptif dan berusaha menggambarkan realitas berdasarkan observasi
objektif⁽³⁾.
Meskipun pragmatisme
juga berakar pada pengalaman, ia memperluas makna pengalaman
menjadi sesuatu yang bersifat interaktif, aktif, dan penuh nilai. John Dewey,
misalnya, menyatakan bahwa pengalaman bukan sekadar menerima data dari luar,
tetapi proses
dinamis antara subjek dan lingkungan yang menghasilkan pengetahuan
melalui tindakan dan refleksi⁽⁴⁾. Dengan demikian, pragmatisme menolak
empirisme pasif dan menekankan bahwa makna timbul dari konsekuensi tindakan.
5.3.
Pragmatisme vs
Positivisme
Positivisme, yang
dipelopori oleh Auguste Comte dan dikembangkan oleh kaum logis-positivis
seperti A.J. Ayer dan Rudolf Carnap, meyakini bahwa pengetahuan
ilmiah adalah satu-satunya bentuk pengetahuan yang sah, dan
bahwa pernyataan bermakna harus dapat diverifikasi secara empiris⁽⁵⁾.
Pragmatisme
mengkritik positivisme karena terlalu sempit dalam memahami ilmu dan kebenaran.
Menurut pragmatisme, pengetahuan bukan sekadar verifikasi empiris,
tetapi juga tentang kegunaan sosial, etika, dan politik
dari suatu teori. Richard Rorty bahkan menolak gagasan bahwa filsafat harus
mengikuti model ilmiah yang ketat, dan sebaliknya mengusulkan agar filsafat
menjadi wacana terbuka yang bersifat naratif dan kontekstual⁽⁶⁾.
5.4.
Pragmatisme vs
Eksistensialisme
Eksistensialisme,
sebagaimana dikembangkan oleh Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul
Sartre, dan Martin Heidegger, berfokus pada pengalaman subjektif, kebebasan
individual, dan makna eksistensial yang
bersumber dari keunikan eksistensi manusia⁽⁷⁾.
Pragmatisme memiliki
kesamaan dengan eksistensialisme dalam hal penekanan pada kehidupan
konkret dan pengalaman individual, tetapi
tetap mempertahankan orientasi sosial dan intersubjektif.
Jika eksistensialisme menekankan krisis makna dalam kesendirian manusia,
pragmatisme mengedepankan solusi melalui partisipasi kolektif dalam pemecahan masalah.
James bahkan dianggap sebagai penghubung antara pragmatisme dan
eksistensialisme karena pengakuannya terhadap pluralitas dan pengalaman
personal⁽⁸⁾.
Kesimpulan
Perbandingan
Dari perbandingan di
atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatisme berada di antara rasionalitas dan
empirisitas, antara subjektivitas dan intersubjektivitas, serta antara teori
dan praksis. Keunikan pragmatisme terletak pada kemampuannya menggabungkan
unsur-unsur dari berbagai tradisi filsafat, sekaligus
memberikan kerangka kerja yang fleksibel, terbuka, dan transformatif dalam
menghadapi kompleksitas dunia modern.
Footnotes
[1]
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17–18.
[2]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 95–97.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 12–14.
[4]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925),
14–15.
[5]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 10–11.
[6]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 318–320.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–24.
[8]
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 76–78.
6.
Kritik terhadap Pragmatisme
Meskipun pragmatisme
telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat modern dan
pendekatan interdisipliner dalam ilmu pengetahuan, pendidikan, dan etika, namun
aliran ini tidak luput dari kritik. Kritik-kritik terhadap pragmatisme
mencerminkan ketegangan filosofis antara kebutuhan akan fleksibilitas epistemologis
dan tuntutan akan kejelasan normatif. Secara umum, kritik terhadap pragmatisme
berfokus pada tiga hal utama: relativisme kebenaran, kekaburan konseptual, dan
kelemahan dalam menghadapi problem normatif.
6.1.
Tuduhan Relativisme
dan Subjektivisme
Salah satu kritik
paling umum terhadap pragmatisme adalah bahwa ia membuka
jalan bagi relativisme, karena menilai kebenaran berdasarkan
keberhasilan praktis atau kepuasan subjektif. Para kritikus berpendapat bahwa
dengan menyatakan bahwa "yang benar adalah yang berguna",
pragmatisme berisiko menyamakan kebenaran dengan kepentingan jangka pendek atau
keuntungan pragmatis belaka. Hal ini berpotensi merelatifkan standar kognitif
dan etika yang seharusnya objektif dan universal¹.
Jürgen Habermas,
misalnya, mengkritik Richard Rorty karena meninggalkan klaim kebenaran
universal demi solidaritas sosial. Ia menilai bahwa pragmatisme Rorty tidak
mampu menjelaskan bagaimana mungkin terjadi diskursus rasional yang bebas dari dominasi
tanpa fondasi normatif yang kokoh². Dengan kata lain, tanpa kriteria objektif,
pragmatisme berisiko menjadi alat legitimasi status quo dan kehilangan
kemampuan kritisnya.
6.2.
Kekaburan Konseptual
dan Ambiguitas Filosofis
Kritik lain
diarahkan pada kekaburan definisional dalam
pragmatisme. Beberapa filsuf menilai bahwa istilah-istilah sentral seperti
"manfaat praktis", "fungsi", dan "pengalaman"
dalam pragmatisme sering kali digunakan secara ambigu dan tidak konsisten. Hal
ini menyebabkan pragmatisme sulit dibedakan secara tajam dari aliran filsafat
lain atau bahkan dari sekadar pragmatisme dalam pengertian sehari-hari³.
Bertrand Russell,
dalam salah satu esainya, menyatakan bahwa pragmatisme cenderung “melarutkan”
filsafat ke dalam praktik sosial tanpa memberikan dasar metafisik atau logis
yang memadai⁴. Menurutnya, klaim bahwa kebenaran adalah “apa yang bekerja”
tidak menjawab pertanyaan filosofis mengenai mengapa sesuatu bekerja atau
apakah ia bekerja dalam arti moral, epistemologis, atau teknis.
6.3.
Kesulitan dalam
Menyediakan Dasar Etika dan Politik yang Kuat
Pragmatisme juga
dikritik karena kesulitan dalam menawarkan dasar normatif yang
kuat bagi etika dan politik. Karena menolak nilai-nilai absolut
dan cenderung kontekstual, pragmatisme dinilai tidak cukup mampu memberikan
kerangka universal untuk menilai tindakan moral atau kebijakan publik. Dalam
dunia yang plural dan penuh konflik nilai, hal ini menjadi problematis.
Hilary Putnam,
meskipun bersimpati terhadap pragmatisme, mengingatkan bahwa pluralisme
tanpa batas dapat melemahkan komitmen moral terhadap keadilan
dan hak asasi manusia⁵. Ia menyerukan agar pragmatisme tetap mempertahankan
elemen rasionalitas moral dan tidak semata-mata menyerah pada relativisme
kultural atau utilitarianisme sempit.
6.4.
Respons dari Para
Pendukung Pragmatisme
Para filsuf
pragmatis merespons kritik ini dengan menyatakan bahwa pragmatisme bukanlah
relativisme, melainkan bentuk kontekstualisme kritis yang
tetap terbuka terhadap koreksi diri dan penyempurnaan melalui pengalaman.
Misalnya, Dewey berargumen bahwa kebenaran dan nilai moral tidak perlu bersifat
absolut untuk tetap dapat dipertanggungjawabkan secara rasional melalui proses
reflektif kolektif⁶. Rorty pun, meski menolak fondasionalisme, tidak menolak
nilai moral; ia hanya memindahkan landasan moral dari metafisika ke solidaritas
dan empati antar manusia⁷.
Kesimpulan Kritik
Kritik-kritik
terhadap pragmatisme menunjukkan bahwa meskipun aliran ini menawarkan
pendekatan yang fleksibel dan dinamis, namun ia juga menghadapi tantangan
serius dalam hal koherensi teoritis dan kapasitas
normatif. Pertanyaan tentang bagaimana membedakan “apa yang
berguna” dari “apa yang benar secara etis dan rasional” tetap
menjadi perdebatan terbuka dalam wacana pragmatisme kontemporer. Namun
demikian, daya hidup pragmatisme justru terletak pada keterbukaannya terhadap
kritik dan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman tanpa
kehilangan arah praksis.
Footnotes
[1]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable
Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 130–133.
[2]
Jürgen Habermas, Truth and Justification, trans. Barbara
Fultner (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 34–36.
[3]
Richard J. Bernstein, The Restructuring of Social and Political
Theory (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1976), 160–162.
[4]
Bertrand Russell, The Philosophy of William James, in Mysticism
and Logic (London: George Allen & Unwin, 1917), 85–87.
[5]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other
Essays (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 22–24.
[6]
John Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch
& Company, 1929), 64–66.
[7]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 189–191.
7.
Relevansi Pragmatisme dalam Kehidupan
Kontemporer
Di tengah perubahan
sosial yang cepat, kompleksitas global, dan ketidakpastian epistemologis di era
digital, filsafat pragmatisme menawarkan pendekatan yang fleksibel,
kontekstual, dan berorientasi solusi. Berbeda dari filsafat normatif yang
terkadang abstrak dan teoritis, pragmatisme hadir sebagai kerangka berpikir
yang menekankan eksperimentasi sosial, pengambilan
keputusan berdasarkan konsekuensi, dan penyesuaian
terus-menerus terhadap kenyataan. Oleh karena itu, pragmatisme
tetap memiliki daya hidup yang tinggi dan aplikatif dalam berbagai aspek
kehidupan kontemporer, mulai dari pendidikan hingga kebijakan publik, dari
etika terapan hingga inovasi teknologi.
7.1.
Pendidikan:
Mendorong Pembelajaran Kontekstual dan Partisipatif
Pemikiran John Dewey
tentang pendidikan progresif sangat berpengaruh pada sistem pendidikan abad
ke-21. Dewey menolak model pendidikan otoriter yang menekankan hafalan, dan
menggantikannya dengan pendekatan “learning by doing”, yaitu
pembelajaran berbasis pengalaman aktif siswa dalam memecahkan masalah⁽¹⁾. Dalam
kerangka pragmatisme, sekolah dipandang sebagai laboratorium sosial, tempat
siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan adaptasi
terhadap perubahan.
Di era pembelajaran
digital dan kurikulum merdeka seperti yang berkembang di Indonesia saat ini,
pendekatan pragmatis memberikan fondasi teoritis bagi pembelajaran berbasis
proyek, refleksi kritis, dan interaksi lintas disiplin⁽²⁾.
7.2.
Etika dan Kebijakan
Publik: Pendekatan Deliberatif dan Adaptif
Pragmatisme menolak
pendekatan etika yang absolut dan menggantikannya dengan etika
kontekstual, di mana keputusan moral diambil melalui proses
deliberatif yang mempertimbangkan dampak nyata terhadap individu dan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendekatan etika diskursus dan kebijakan
responsif, di mana keputusan dirumuskan melalui partisipasi
kolektif dan terbuka terhadap revisi⁽³⁾.
Dalam kebijakan
publik, pragmatisme mendorong evidence-based policy yang
menguji efektivitas kebijakan melalui evaluasi dan penyesuaian. Sebagaimana
ditunjukkan oleh Hilary Putnam, pragmatisme mendorong pengambilan keputusan
publik yang menggabungkan nilai moral dengan pertimbangan fakta, tanpa terjebak
dalam dikotomi fakta-nilai⁽⁴⁾.
7.3.
Teknologi dan
Inovasi: Menilai Kegunaan dan Dampak Sosial
Dalam era Revolusi
Industri 4.0, pragmatisme relevan dalam menilai fungsi sosial dan etika dari teknologi.
Alih-alih mengagungkan kemajuan teknologi semata, pragmatisme mengajukan
pertanyaan tentang apa manfaat teknologi ini bagi kemanusiaan?,
siapa
yang diuntungkan atau dirugikan?, dan bagaimana dampaknya terhadap tatanan sosial dan
lingkungan?
Richard Rorty
berpendapat bahwa sains dan teknologi tidak harus didekati sebagai institusi
netral, tetapi sebagai hasil dari kesepakatan sosial yang harus dievaluasi
berdasarkan nilai-nilai demokratis dan solidaritas⁽⁵⁾. Pendekatan ini membantu
menavigasi isu-isu kontemporer seperti kecerdasan buatan, pengawasan digital,
dan disrupsi sosial.
7.4.
Pluralisme dan
Toleransi: Penguatan Solidaritas Sosial
Dalam masyarakat
yang plural dan multikultural, pragmatisme membantu membangun toleransi
dan solidaritas melalui diskursus terbuka. Rorty menolak ide
bahwa ada satu kebenaran universal untuk semua, dan sebaliknya mendorong sikap
saling memahami melalui perbincangan antar komunitas⁽⁶⁾. Pendekatan ini penting
untuk memelihara kohesi sosial di tengah polarisasi politik dan konflik
identitas yang kerap menguat di era global.
Pragmatisme juga
menawarkan kerangka etika praktis dalam
menyikapi perbedaan, yakni bukan bertanya apakah suatu keyakinan “benar” secara
metafisik, tetapi apakah keyakinan itu memupuk kerja sama dan kemanusiaan
bersama.
7.5.
Dunia Kerja dan
Kepemimpinan Adaptif
Dalam dunia kerja
modern yang ditandai oleh ketidakpastian dan disrupsi, pragmatisme mengajarkan
pentingnya kepemimpinan berbasis refleksi dan
eksperimentasi. Alih-alih terpaku pada prosedur tetap, pemimpin
pragmatis bersikap fleksibel, bersedia mencoba pendekatan baru, dan terbuka
terhadap umpan balik berdasarkan hasil nyata.
Konsep problem-solving
mindset yang populer dalam manajemen organisasi kontemporer sangat
sejalan dengan semangat pragmatisme⁽⁷⁾. Hal ini membuat pragmatisme menjadi
sumber inspirasi penting bagi pengembangan keterampilan abad ke-21 seperti
kreativitas, kolaborasi, dan ketahanan (resilience).
Kesimpulan Relevansi
Dengan penekanannya
pada fleksibilitas, keberfungsian, dan orientasi pada pemecahan masalah nyata,
pragmatisme tetap relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan-tantangan
dunia kontemporer. Ia menawarkan pendekatan yang inklusif,
partisipatif, dan reflektif, menjembatani antara teori dan
praktik, antara idealisme dan realitas. Dalam dunia yang bergerak cepat dan
kompleks, pragmatisme memberikan bekal intelektual untuk bertindak secara
cerdas, adaptif, dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 34–37.
[2]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable
Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 117–118.
[3]
Richard J. Bernstein, The Restructuring of Social and Political
Theory (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1976), 175–177.
[4]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other
Essays (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 22–26.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 389–391.
[6]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 193–196.
[7]
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 145–147.
8.
Penutup
Pragmatisme
merupakan salah satu kontribusi paling khas dari tradisi filsafat Amerika
terhadap pemikiran modern. Aliran ini lahir dari kebutuhan untuk menjembatani
antara teori dan praktik, antara idealisme rasionalis dan empirisme
tradisional, serta antara kepastian filosofis dan realitas sosial yang dinamis.
Melalui gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Charles
Sanders Peirce, William James, John Dewey, hingga Richard Rorty, pragmatisme
berhasil memperkenalkan paradigma filsafat yang berorientasi pada pengalaman, tindakan, dan
hasil nyata sebagai ukuran nilai dan kebenaran¹.
Dengan menolak
absolutisme metafisik dan menekankan pentingnya konsekuensi praktis,
pragmatisme telah membuka jalan bagi filsafat yang lebih terbuka, fleksibel,
dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip pragmatis seperti kebenaran
sebagai apa yang berguna, makna sebagai konsekuensi praktis,
dan pengetahuan
sebagai hasil interaksi dinamis dengan dunia telah memperluas
cakrawala epistemologis dan etis dalam diskursus filsafat kontemporer². Selain
itu, pendekatan pragmatis telah menginspirasi banyak bidang praktis, mulai dari
pendidikan, etika terapan, kebijakan publik, hingga inovasi sosial dan
teknologi.
Namun, seperti yang
telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, pragmatisme juga menghadapi berbagai
kritik serius, mulai dari tuduhan relativisme hingga kelemahan dalam membangun
fondasi normatif yang kokoh. Tantangan-tantangan ini bukanlah titik akhir,
melainkan peluang bagi pengembangan lebih lanjut. Para pendukung pragmatisme
menunjukkan bahwa kekuatan utama aliran ini justru terletak pada kemampuannya
untuk terus beradaptasi, mengoreksi diri, dan bersifat reflektif terhadap
realitas yang berubah³.
Dalam konteks
kehidupan kontemporer yang kompleks dan penuh ketidakpastian, pragmatisme
menawarkan cara berpikir yang tidak hanya teoritis tetapi juga operasional. Ia
mengajarkan pentingnya belajar dari pengalaman, menguji ide-ide
melalui praktik sosial, dan mengembangkan sikap terbuka terhadap pluralitas
cara pandang. Dengan demikian, pragmatisme tidak hanya menjadi
sistem filsafat, tetapi juga sebuah etos intelektual dan moral
untuk menghadapi tantangan zaman dengan sikap kritis, partisipatif, dan bertanggung
jawab⁴.
Penutup ini
menegaskan bahwa pragmatisme tetap relevan bukan karena ia menawarkan
jawaban-jawaban final, melainkan karena ia menyediakan kerangka
kerja filosofis yang hidup, yang mampu berkembang bersama dinamika
masyarakat. Oleh karena itu, studi terhadap pragmatisme tidak hanya penting
dalam ranah akademik, tetapi juga dalam membentuk budaya berpikir yang
reflektif dan solutif di tengah tantangan global abad ke-21.
Footnotes
[1]
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 5–6.
[2]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 95–97.
[3]
John Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch
& Company, 1929), 33–35.
[4]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 189–191.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. Dover Publications.
Bernstein, R. J. (1976). The
restructuring of social and political theory. University of Pennsylvania
Press.
Bernstein, R. J. (2010). The
pragmatic turn. Polity Press.
Descartes, R. (1998). Discourse
on the method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work
published 1637)
Dewey, J. (1916). Democracy
and education: An introduction to the philosophy of education. Macmillan.
Dewey, J. (1925). Experience
and nature. Open Court.
Dewey, J. (1929). The
quest for certainty: A study of the relation of knowledge and action.
Minton, Balch & Company.
Dewey, J. (1938). Logic:
The theory of inquiry. Henry Holt and Company.
Habermas, J. (2003). Truth
and justification (B. Fultner, Trans.). MIT Press.
Haack, S. (1998). Manifesto
of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago
Press.
Hume, D. (1993). An
enquiry concerning human understanding (E. Steinberg, Ed.). Hackett
Publishing. (Original work published 1748)
James, W. (1902). The
varieties of religious experience: A study in human nature. Longmans,
Green, and Co.
James, W. (1907). Pragmatism:
A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.
Misak, C. (2004). Truth
and the end of inquiry: A Peircean account of truth. Oxford University
Press.
Misak, C. (2013). The
American pragmatists. Oxford University Press.
Peirce, C. S. (1992). The
essential Peirce: Selected philosophical writings, volume 1 (N. Houser
& C. Kloesel, Eds.). Indiana University Press.
Putnam, H. (2002). The
collapse of the fact/value dichotomy and other essays. Harvard University
Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency,
irony, and solidarity. Cambridge University Press.
Russell, B. (1917). Mysticism
and logic: Including a paper on the philosophy of William James. George
Allen & Unwin.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
published 1946)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar