Jumat, 16 Mei 2025

Pragmatisme: Asal Usul, Konsep Pokok, Tokoh Sentral, dan Relevansinya dalam Konteks Kontemporer

Pragmatisme

Asal Usul, Konsep Pokok, Tokoh Sentral, dan Relevansinya dalam Konteks Kontemporer


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran filsafat pragmatisme, yang merupakan salah satu kontribusi khas dari tradisi intelektual Amerika terhadap perkembangan pemikiran modern. Kajian ini dimulai dengan penelusuran asal-usul historis pragmatisme pada akhir abad ke-19 sebagai respons terhadap idealisme rasionalis dan empirisme klasik, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan konsep-konsep kunci seperti kebenaran sebagai efektivitas praktis, makna sebagai konsekuensi, dan instrumentalisme. Artikel ini juga mengulas pemikiran para tokoh utama pragmatisme, yaitu Charles Sanders Peirce, William James, John Dewey, dan Richard Rorty, yang memperluas cakupan pragmatisme dari logika ilmiah hingga etika sosial dan diskursus budaya.

Selanjutnya, artikel ini mengkaji posisi pragmatisme dalam perbandingannya dengan aliran filsafat lain seperti rasionalisme, empirisme, positivisme, dan eksistensialisme, serta menelaah kritik-kritik terhadap pragmatisme, khususnya terkait isu relativisme, kelemahan normatif, dan kekaburan konsep. Bagian akhir artikel menunjukkan bahwa pragmatisme tetap relevan dalam kehidupan kontemporer karena kemampuannya untuk mengintegrasikan teori dan praktik, serta menawarkan pendekatan reflektif dalam pendidikan, kebijakan publik, teknologi, dan kehidupan sosial. Dengan demikian, pragmatisme tidak hanya menjadi sistem filsafat, tetapi juga kerangka kerja praktis yang tangguh dalam merespons tantangan dunia modern.

Kata Kunci: Pragmatisme, kebenaran praktis, Peirce, William James, John Dewey, Richard Rorty, relativisme, pendidikan progresif, etika kontekstual, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Pragmatisme dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat adalah pencarian makna yang terus berkembang, menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang kebenaran, realitas, dan nilai. Di antara sekian banyak aliran filsafat modern, pragmatisme muncul sebagai salah satu pendekatan yang paling khas dalam tradisi pemikiran Amerika. Aliran ini menantang asumsi-asumsi metafisika klasik dan epistemologi tradisional dengan menyatakan bahwa makna dan kebenaran suatu ide harus dilihat dari dampak praktis dan manfaat fungsionalnya dalam kehidupan nyata. Dalam pandangan ini, kebenaran bukanlah cerminan realitas yang absolut dan abadi, melainkan hasil dari proses dan pengalaman yang terus berkembang dalam konteks sosial dan historis tertentu.

Pragmatisme lahir di akhir abad ke-19 sebagai respons terhadap keterbatasan idealisme dan dogmatisme rasionalisme. Ia menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel, eksperimental, dan terbuka terhadap perubahan, sesuai dengan dinamika masyarakat demokratis dan ilmiah yang sedang berkembang di Amerika Serikat pada masa itu. Charles Sanders Peirce, yang pertama kali memperkenalkan prinsip "pragmatic maxim", menjadi pelopor dari pendekatan ini, diikuti oleh William James yang mempopulerkannya melalui karya-karya yang lebih komunikatif dan aplikatif. James memandang bahwa suatu gagasan benar apabila ia terbukti berguna dan memuaskan dalam pengalaman manusia sehari-hari¹.

Di kemudian hari, John Dewey memperluas cakupan pragmatisme dengan menekankan dimensi sosial, pedagogis, dan politik dari filsafat ini. Ia mengaitkan pragmatisme dengan proyek demokrasi dan pendidikan progresif, menjadikan filsafat sebagai alat untuk memperbaiki masyarakat melalui refleksi kritis dan tindakan kolektif². Sementara itu, pada abad ke-20, Richard Rorty mengembangkan bentuk neopragmatisme yang menolak klaim-klaim epistemologis universal dan menggantikannya dengan pandangan bahwa kebenaran bersifat kontingen dan dikonstruksi secara linguistik dalam komunitas³.

Urgensi mengkaji pragmatisme dalam konteks kontemporer tidak hanya terletak pada nilai historisnya, tetapi juga pada kemampuannya memberikan kerangka berpikir yang relevan dalam menghadapi problem-problem aktual—dari pendidikan dan kebijakan publik, hingga teknologi dan pluralisme nilai. Dengan menekankan keberfungsian dan konsekuensi ide, pragmatisme mendorong manusia untuk bersikap reflektif, terbuka, dan berorientasi pada solusi nyata dalam menyikapi kompleksitas zaman modern.

Melalui artikel ini, pembaca diajak untuk menelusuri asal-usul pragmatisme, memahami konsep-konsep utamanya, mengenal tokoh-tokoh sentral yang membentuk aliran ini, serta menilai relevansinya dalam konteks filsafat dan kehidupan sosial masa kini. Pemahaman terhadap pragmatisme dapat memperluas horizon berpikir kita tentang bagaimana kebenaran, nilai, dan tindakan seharusnya dipertimbangkan secara kontekstual dan bertanggung jawab dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 30–32.

[2]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 1–5.

[3]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 9–10.


2.           Asal Usul dan Latar Historis Pragmatisme

Pragmatisme lahir di Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19, dalam sebuah konteks intelektual yang ditandai oleh krisis epistemologis, pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan, dan dinamika sosial-politik yang menuntut pendekatan baru terhadap filsafat. Aliran ini bukan sekadar reaksi terhadap sistem filsafat sebelumnya, melainkan merupakan bentuk penyusunan ulang cara berpikir filsafat yang menekankan nilai praktikal dari ide dan teori dalam kehidupan nyata. Dalam pengertian ini, pragmatisme dapat dipahami sebagai sintesis dari empirisme Inggris, idealisme Jerman, dan transendentalisme Amerika yang telah berkembang lebih dahulu¹.

Tokoh yang secara umum dianggap sebagai pendiri pragmatisme adalah Charles Sanders Peirce, yang pada tahun 1878 memperkenalkan gagasan "pragmatic maxim" dalam esainya yang terkenal, How to Make Our Ideas Clear. Dalam prinsip ini, Peirce menekankan bahwa makna sebuah konsep terletak pada konsekuensi praktis yang dapat dihasilkan dari penerapannya. Gagasan ini merupakan upaya Peirce untuk memberikan dasar metodologis bagi pencarian pengetahuan yang ilmiah dan dapat diuji secara empirik². Menurut Peirce, "untuk mengembangkan makna suatu gagasan, kita harus mempertimbangkan dampaknya yang dapat dibayangkan terhadap pengalaman praktis."_³

Namun demikian, pragmatisme tidak memperoleh pengaruh yang luas sampai William James memperkenalkan dan mempopulerkannya dalam kuliah-kuliah yang kemudian diterbitkan sebagai buku Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907). James memaknai pragmatisme secara lebih psikologis dan eksistensial. Ia berpandangan bahwa kebenaran bersifat dinamis dan sangat tergantung pada keberhasilan suatu ide dalam membantu manusia menjalani kehidupan yang lebih memuaskan. Baginya, suatu ide adalah benar apabila berguna, berfungsi dalam praktik, dan mendukung pertumbuhan pengalaman hidup manusia⁴.

Selanjutnya, John Dewey mengembangkan pragmatisme ke ranah yang lebih luas dengan menekankan bahwa filsafat seharusnya menjadi alat untuk menyelesaikan masalah-masalah nyata dalam masyarakat. Ia memperkenalkan istilah instrumentalisme untuk menggambarkan bahwa ide, konsep, dan teori adalah alat (instruments) yang harus diuji melalui eksperimen sosial. Dalam sistem berpikir Dewey, kebenaran bukanlah korespondensi dengan realitas objektif, tetapi merupakan hasil dari proses kolektif yang bertujuan memecahkan masalah secara demokratis dan partisipatif⁵.

Kemunculan pragmatisme juga tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya Amerika yang bercirikan praktikalisme, demokrasi, dan individualisme. Sejak awal, pragmatisme menolak filsafat yang bersifat spekulatif dan doktriner. Ia lebih menekankan pendekatan yang berbasis pengalaman, tindakan, dan keberhasilan ide dalam dunia nyata. Karena itu, aliran ini sering kali dikontraskan dengan idealisme rasionalis Eropa yang dinilai terlalu abstrak dan kurang relevan dengan realitas sehari-hari⁶.

Dengan demikian, pragmatisme lahir dari ketegangan antara tradisi filsafat lama dan kebutuhan akan pendekatan baru yang lebih relevan dengan zaman modern. Ia menjadi sumbangan penting Amerika bagi dunia filsafat, menawarkan metode berpikir yang terbuka, dinamis, dan berorientasi pada hasil. Warisan awal dari Peirce, James, dan Dewey terus dikembangkan oleh para filsuf kontemporer, membuktikan bahwa pragmatisme tetap relevan sebagai fondasi filsafat yang kontekstual dan transformatif.


Footnotes

[1]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 4–6.

[2]                Charles S. Peirce, "How to Make Our Ideas Clear," in The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1, ed. Nathan Houser and Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 124–141.

[3]                Ibid., 132.

[4]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45–47.

[5]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 8–10.

[6]                Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity Press, 2010), 21–23.


3.           Konsep-Konsep Kunci dalam Pragmatisme

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menekankan kegunaan praktis dari ide, teori, dan nilai-nilai sebagai ukuran utama makna dan kebenarannya. Dalam perkembangannya, aliran ini membentuk sejumlah konsep kunci yang menjadi fondasi filosofis dan metodologisnya. Konsep-konsep tersebut tidak bersifat dogmatis atau tetap, melainkan lentur dan kontekstual, sesuai dengan semangat dasar pragmatisme yang menekankan keberhasilan dalam pengalaman nyata.

3.1.       Kebenaran sebagai Efektivitas Praktis

Salah satu konsep utama dalam pragmatisme adalah pemahaman bahwa kebenaran bukanlah korespondensi pasif antara pikiran dan realitas, melainkan hasil dari fungsi efektif suatu ide dalam pengalaman. Dalam pandangan William James, ide dinilai benar sejauh ia "bekerja" (works), yaitu jika ia terbukti berguna dalam menghadapi kehidupan dan memecahkan persoalan⁽¹⁾. Dengan demikian, kebenaran bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan manusia, serta ditentukan melalui pengujian dalam praktik sosial.

3.2.       Makna sebagai Konsekuensi Praktis

Charles Sanders Peirce memperkenalkan apa yang disebut sebagai “pragmatic maxim”, yaitu prinsip bahwa makna suatu gagasan dapat ditemukan dalam konsekuensi praktis yang dapat diperkirakan dari penerapannya. Dengan kata lain, untuk memahami suatu konsep, kita harus menanyakan: apa yang akan terjadi jika konsep itu diterapkan dalam tindakan?⁽²⁾ Prinsip ini menjadi dasar dari pendekatan semantik dan epistemologi pragmatis.

3.3.       Instrumentalisme: Teori Sebagai Alat

John Dewey mengembangkan gagasan bahwa ide dan teori bukanlah refleksi realitas objektif, melainkan instrumen atau alat untuk bertindak dan menyelesaikan masalah. Dalam kerangka ini, ilmu pengetahuan bukan upaya menemukan “kebenaran akhir”, melainkan proses eksperimental yang terus disempurnakan demi adaptasi manusia terhadap lingkungannya⁽³⁾. Dewey menyebut filsafatnya sebagai instrumentalisme, yang menolak klaim absolut dan menggantikannya dengan pendekatan berbasis proses.

3.4.       Antimetafisika dan Penolakan terhadap Absolutisme

Pragmatisme secara umum bersikap kritik terhadap metafisika spekulatif dan dogma-dogma absolut. Tokoh-tokoh pragmatisme menilai bahwa filsafat tidak seharusnya terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan metafisik yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman. Richard Rorty, misalnya, menolak pandangan bahwa filsafat bertugas mencerminkan realitas, dan sebaliknya mendorong filsafat untuk menjadi diskursus kultural yang bersifat terbuka⁽⁴⁾. Dalam konteks ini, kebenaran menjadi produk sosial yang dibentuk oleh dialog dan konsensus dalam komunitas.

3.5.       Pengalaman sebagai Basis Pengetahuan

Pengalaman dianggap sebagai sumber utama pengetahuan dalam pragmatisme. Namun berbeda dari empirisme klasik, pengalaman di sini tidak dipahami sebagai data pasif, melainkan sebagai interaksi aktif antara individu dan lingkungannya. Pengetahuan bukanlah representasi, tetapi hasil dari proses dinamis antara tindakan dan refleksi⁽⁵⁾. Hal ini memungkinkan manusia untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki tindakan di masa depan.

3.6.       Konteks dan Konsekuensi Sosial

Pragmatisme juga menekankan bahwa nilai dan makna suatu ide tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Sebuah ide dianggap bermakna jika ia memiliki kontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, pragmatisme sangat relevan dalam ranah etika sosial, pendidikan, hukum, dan politik⁽⁶⁾. Penekanan pada hasil dan dampak menjadikan pragmatisme sangat aplikatif dalam dunia modern yang sarat dengan kompleksitas dan perubahan.


Footnotes

[1]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 94–96.

[2]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” in The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1, ed. Nathan Houser and Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132–133.

[3]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt and Company, 1938), 9–10.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 6–7.

[5]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 13–14.

[6]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 101–104.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dan Gagasannya

Perkembangan filsafat pragmatisme sangat erat kaitannya dengan pemikiran sejumlah tokoh penting yang tidak hanya membentuk fondasi aliran ini, tetapi juga memperluas cakupannya ke berbagai bidang pengetahuan. Para pemikir ini tidak sepenuhnya sepakat dalam semua hal, tetapi mereka disatukan oleh keyakinan bahwa filsafat harus bersandar pada pengalaman dan berorientasi pada konsekuensi praktis. Berikut ini adalah empat tokoh sentral dalam tradisi pragmatisme: Charles Sanders Peirce, William James, John Dewey, dan Richard Rorty.

4.1.       Charles Sanders Peirce (1839–1914): Pendiri Pragmatisme

Charles S. Peirce merupakan tokoh pertama yang merumuskan prinsip dasar pragmatisme. Dalam esainya How to Make Our Ideas Clear (1878), ia mengemukakan “pragmatic maxim”, yaitu bahwa makna suatu konsep terletak pada konsekuensi praktis yang dapat diturunkan dari ide tersebut dalam pengalaman konkret¹. Peirce tidak memaknai pragmatisme secara subjektif atau utilitarian, tetapi sebagai alat logis untuk memperjelas ide dan meningkatkan keakuratan penyelidikan ilmiah.

Selain itu, Peirce mengembangkan teori semiotika dan menyatakan bahwa proses pengetahuan adalah proses tanda (sign) yang melibatkan representamen, objek, dan interpretan. Ia juga menekankan pentingnya metode ilmiah dalam membentuk keyakinan yang stabil dan menolak metode dogmatis seperti otoritas dan intuisi². Bagi Peirce, kebenaran adalah apa yang akan disepakati dalam penyelidikan rasional tanpa akhir oleh komunitas ilmiah³.

4.2.       William James (1842–1910): Pragmatisme Psikologis dan Eksistensial

William James adalah tokoh yang paling berjasa dalam mempopulerkan pragmatisme di ranah publik. Dalam bukunya Pragmatism (1907), ia memaparkan bahwa suatu ide dianggap benar sejauh ia berguna secara praktis bagi individu dalam pengalaman hidupnya⁴. James menekankan bahwa kebenaran bersifat plural dan berkembang, sesuai dengan konteks dan kebutuhan manusia. Ia memperluas pragmatisme ke dalam bidang psikologi dan agama, serta membela pentingnya kehendak bebas, keyakinan pribadi, dan pengalaman religius sebagai bagian dari realitas filosofis.

James mengkritik filsafat akademik yang terlalu abstrak dan terputus dari kenyataan hidup manusia. Ia mendukung pendekatan filsafat yang lebih terbuka terhadap keragaman pengalaman, termasuk pengalaman spiritual, asalkan dapat dibuktikan manfaatnya bagi kehidupan nyata⁵.

4.3.       John Dewey (1859–1952): Pragmatisme Sosial dan Pendidikan

John Dewey merupakan tokoh pragmatis yang paling berpengaruh dalam bidang pendidikan, politik, dan filsafat sosial. Ia mengembangkan pragmatisme menjadi apa yang disebutnya “instrumentalisme”, yaitu pandangan bahwa ide-ide adalah alat yang harus diuji melalui pengalaman untuk menyelesaikan masalah⁶. Dewey percaya bahwa filsafat harus berkontribusi terhadap perbaikan kehidupan bersama, terutama dalam masyarakat demokratis.

Dalam karya-karyanya seperti Democracy and Education (1916) dan Experience and Nature (1925), Dewey menekankan pentingnya proses belajar sebagai interaksi aktif antara individu dan lingkungan. Ia juga menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya bentuk pemerintahan, tetapi cara hidup yang didasarkan pada komunikasi, partisipasi, dan eksperimentasi sosial⁷. Melalui pendekatannya, Dewey menjadikan pragmatisme sebagai dasar teoritis bagi pendidikan progresif dan reformasi sosial.

4.4.       Richard Rorty (1931–2007): Neopragmatisme dan Penolakan terhadap Epistemologi Tradisional

Richard Rorty memperbarui pragmatisme dalam konteks filsafat pascamodern dengan menolak fondasi epistemologis klasik. Dalam bukunya Philosophy and the Mirror of Nature (1979), ia mengkritik gagasan bahwa filsafat bertugas mencerminkan realitas secara objektif⁸. Rorty menolak adanya “fondasi pengetahuan” yang pasti dan menyarankan bahwa kebenaran adalah hasil konsensus dalam komunitas linguistik, bukan cerminan realitas eksternal⁹.

Neopragmatisme Rorty bersifat antifundasional, antiesensialis, dan menempatkan bahasa sebagai pusat dari praktik intelektual. Ia tidak lagi berupaya menetapkan kebenaran absolut, melainkan memperlakukan filsafat sebagai percakapan budaya yang terbuka dan plural. Dalam pandangannya, tujuan filsafat bukanlah untuk menemukan realitas metafisik, melainkan untuk memperluas solidaritas dan memperbaiki cara kita berbicara tentang dunia¹⁰.


Footnotes

[1]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” in The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1, ed. Nathan Houser and Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132–133.

[2]                Ibid., 138–139.

[3]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 1–2.

[4]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 94–96.

[5]                William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 20–21.

[6]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt and Company, 1938), 5–6.

[7]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87–90.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 6–7.

[9]                Ibid., 385–387.

[10]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 44–45.


5.           Perbandingan Pragmatisme dengan Aliran Filsafat Lain

Pragmatisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang tampil sebagai alternatif terhadap berbagai aliran filsafat klasik yang lebih bersifat sistematik dan deduktif. Ciri khas pragmatisme yang berorientasi pada konsekuensi praktis, pengalaman konkrit, dan fleksibilitas epistemologis membuatnya sering dikontraskan dengan pendekatan-pendekatan filosofis lain yang menekankan pada rasionalitas murni, pengalaman empiris yang netral, atau prinsip metafisika absolut. Bagian ini mengulas perbandingan pragmatisme dengan empat aliran filsafat besar: rasionalisme, empirisme, positivisme, dan eksistensialisme.

5.1.       Pragmatisme vs Rasionalisme

Rasionalisme menekankan bahwa pengetahuan yang sahih diperoleh melalui akal budi dan prinsip-prinsip a priori, yang bersifat universal dan tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Tokoh-tokoh seperti René Descartes dan Baruch Spinoza percaya bahwa kebenaran dapat dicapai melalui deduksi logis dan sistem pemikiran tertutup⁽¹⁾.

Sebaliknya, pragmatisme menolak anggapan bahwa akal dapat berdiri sendiri tanpa pengalaman. William James berpendapat bahwa ide-ide rasional harus diuji melalui fungsi praktisnya dalam kehidupan nyata, bukan semata-mata berdasarkan koherensi internal⁽²⁾. Dalam pragmatisme, kebenaran bukan sesuatu yang sudah ada sejak awal, melainkan sesuatu yang terbentuk melalui pengalaman dan diperkuat oleh hasil praktisnya.

5.2.       Pragmatisme vs Empirisme

Empirisme, seperti dikembangkan oleh John Locke, George Berkeley, dan David Hume, menekankan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Empirisme bersifat deskriptif dan berusaha menggambarkan realitas berdasarkan observasi objektif⁽³⁾.

Meskipun pragmatisme juga berakar pada pengalaman, ia memperluas makna pengalaman menjadi sesuatu yang bersifat interaktif, aktif, dan penuh nilai. John Dewey, misalnya, menyatakan bahwa pengalaman bukan sekadar menerima data dari luar, tetapi proses dinamis antara subjek dan lingkungan yang menghasilkan pengetahuan melalui tindakan dan refleksi⁽⁴⁾. Dengan demikian, pragmatisme menolak empirisme pasif dan menekankan bahwa makna timbul dari konsekuensi tindakan.

5.3.       Pragmatisme vs Positivisme

Positivisme, yang dipelopori oleh Auguste Comte dan dikembangkan oleh kaum logis-positivis seperti A.J. Ayer dan Rudolf Carnap, meyakini bahwa pengetahuan ilmiah adalah satu-satunya bentuk pengetahuan yang sah, dan bahwa pernyataan bermakna harus dapat diverifikasi secara empiris⁽⁵⁾.

Pragmatisme mengkritik positivisme karena terlalu sempit dalam memahami ilmu dan kebenaran. Menurut pragmatisme, pengetahuan bukan sekadar verifikasi empiris, tetapi juga tentang kegunaan sosial, etika, dan politik dari suatu teori. Richard Rorty bahkan menolak gagasan bahwa filsafat harus mengikuti model ilmiah yang ketat, dan sebaliknya mengusulkan agar filsafat menjadi wacana terbuka yang bersifat naratif dan kontekstual⁽⁶⁾.

5.4.       Pragmatisme vs Eksistensialisme

Eksistensialisme, sebagaimana dikembangkan oleh Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, dan Martin Heidegger, berfokus pada pengalaman subjektif, kebebasan individual, dan makna eksistensial yang bersumber dari keunikan eksistensi manusia⁽⁷⁾.

Pragmatisme memiliki kesamaan dengan eksistensialisme dalam hal penekanan pada kehidupan konkret dan pengalaman individual, tetapi tetap mempertahankan orientasi sosial dan intersubjektif. Jika eksistensialisme menekankan krisis makna dalam kesendirian manusia, pragmatisme mengedepankan solusi melalui partisipasi kolektif dalam pemecahan masalah. James bahkan dianggap sebagai penghubung antara pragmatisme dan eksistensialisme karena pengakuannya terhadap pluralitas dan pengalaman personal⁽⁸⁾.


Kesimpulan Perbandingan

Dari perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatisme berada di antara rasionalitas dan empirisitas, antara subjektivitas dan intersubjektivitas, serta antara teori dan praksis. Keunikan pragmatisme terletak pada kemampuannya menggabungkan unsur-unsur dari berbagai tradisi filsafat, sekaligus memberikan kerangka kerja yang fleksibel, terbuka, dan transformatif dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.


Footnotes

[1]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17–18.

[2]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 95–97.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 12–14.

[4]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 14–15.

[5]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 10–11.

[6]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 318–320.

[7]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–24.

[8]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 76–78.


6.           Kritik terhadap Pragmatisme

Meskipun pragmatisme telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat modern dan pendekatan interdisipliner dalam ilmu pengetahuan, pendidikan, dan etika, namun aliran ini tidak luput dari kritik. Kritik-kritik terhadap pragmatisme mencerminkan ketegangan filosofis antara kebutuhan akan fleksibilitas epistemologis dan tuntutan akan kejelasan normatif. Secara umum, kritik terhadap pragmatisme berfokus pada tiga hal utama: relativisme kebenaran, kekaburan konseptual, dan kelemahan dalam menghadapi problem normatif.

6.1.       Tuduhan Relativisme dan Subjektivisme

Salah satu kritik paling umum terhadap pragmatisme adalah bahwa ia membuka jalan bagi relativisme, karena menilai kebenaran berdasarkan keberhasilan praktis atau kepuasan subjektif. Para kritikus berpendapat bahwa dengan menyatakan bahwa "yang benar adalah yang berguna", pragmatisme berisiko menyamakan kebenaran dengan kepentingan jangka pendek atau keuntungan pragmatis belaka. Hal ini berpotensi merelatifkan standar kognitif dan etika yang seharusnya objektif dan universal¹.

Jürgen Habermas, misalnya, mengkritik Richard Rorty karena meninggalkan klaim kebenaran universal demi solidaritas sosial. Ia menilai bahwa pragmatisme Rorty tidak mampu menjelaskan bagaimana mungkin terjadi diskursus rasional yang bebas dari dominasi tanpa fondasi normatif yang kokoh². Dengan kata lain, tanpa kriteria objektif, pragmatisme berisiko menjadi alat legitimasi status quo dan kehilangan kemampuan kritisnya.

6.2.       Kekaburan Konseptual dan Ambiguitas Filosofis

Kritik lain diarahkan pada kekaburan definisional dalam pragmatisme. Beberapa filsuf menilai bahwa istilah-istilah sentral seperti "manfaat praktis", "fungsi", dan "pengalaman" dalam pragmatisme sering kali digunakan secara ambigu dan tidak konsisten. Hal ini menyebabkan pragmatisme sulit dibedakan secara tajam dari aliran filsafat lain atau bahkan dari sekadar pragmatisme dalam pengertian sehari-hari³.

Bertrand Russell, dalam salah satu esainya, menyatakan bahwa pragmatisme cenderung “melarutkan” filsafat ke dalam praktik sosial tanpa memberikan dasar metafisik atau logis yang memadai⁴. Menurutnya, klaim bahwa kebenaran adalah “apa yang bekerja” tidak menjawab pertanyaan filosofis mengenai mengapa sesuatu bekerja atau apakah ia bekerja dalam arti moral, epistemologis, atau teknis.

6.3.       Kesulitan dalam Menyediakan Dasar Etika dan Politik yang Kuat

Pragmatisme juga dikritik karena kesulitan dalam menawarkan dasar normatif yang kuat bagi etika dan politik. Karena menolak nilai-nilai absolut dan cenderung kontekstual, pragmatisme dinilai tidak cukup mampu memberikan kerangka universal untuk menilai tindakan moral atau kebijakan publik. Dalam dunia yang plural dan penuh konflik nilai, hal ini menjadi problematis.

Hilary Putnam, meskipun bersimpati terhadap pragmatisme, mengingatkan bahwa pluralisme tanpa batas dapat melemahkan komitmen moral terhadap keadilan dan hak asasi manusia⁵. Ia menyerukan agar pragmatisme tetap mempertahankan elemen rasionalitas moral dan tidak semata-mata menyerah pada relativisme kultural atau utilitarianisme sempit.

6.4.       Respons dari Para Pendukung Pragmatisme

Para filsuf pragmatis merespons kritik ini dengan menyatakan bahwa pragmatisme bukanlah relativisme, melainkan bentuk kontekstualisme kritis yang tetap terbuka terhadap koreksi diri dan penyempurnaan melalui pengalaman. Misalnya, Dewey berargumen bahwa kebenaran dan nilai moral tidak perlu bersifat absolut untuk tetap dapat dipertanggungjawabkan secara rasional melalui proses reflektif kolektif⁶. Rorty pun, meski menolak fondasionalisme, tidak menolak nilai moral; ia hanya memindahkan landasan moral dari metafisika ke solidaritas dan empati antar manusia⁷.


Kesimpulan Kritik

Kritik-kritik terhadap pragmatisme menunjukkan bahwa meskipun aliran ini menawarkan pendekatan yang fleksibel dan dinamis, namun ia juga menghadapi tantangan serius dalam hal koherensi teoritis dan kapasitas normatif. Pertanyaan tentang bagaimana membedakan “apa yang berguna” dari “apa yang benar secara etis dan rasional” tetap menjadi perdebatan terbuka dalam wacana pragmatisme kontemporer. Namun demikian, daya hidup pragmatisme justru terletak pada keterbukaannya terhadap kritik dan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan arah praksis.


Footnotes

[1]                Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 130–133.

[2]                Jürgen Habermas, Truth and Justification, trans. Barbara Fultner (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 34–36.

[3]                Richard J. Bernstein, The Restructuring of Social and Political Theory (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1976), 160–162.

[4]                Bertrand Russell, The Philosophy of William James, in Mysticism and Logic (London: George Allen & Unwin, 1917), 85–87.

[5]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 22–24.

[6]                John Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 64–66.

[7]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 189–191.


7.           Relevansi Pragmatisme dalam Kehidupan Kontemporer

Di tengah perubahan sosial yang cepat, kompleksitas global, dan ketidakpastian epistemologis di era digital, filsafat pragmatisme menawarkan pendekatan yang fleksibel, kontekstual, dan berorientasi solusi. Berbeda dari filsafat normatif yang terkadang abstrak dan teoritis, pragmatisme hadir sebagai kerangka berpikir yang menekankan eksperimentasi sosial, pengambilan keputusan berdasarkan konsekuensi, dan penyesuaian terus-menerus terhadap kenyataan. Oleh karena itu, pragmatisme tetap memiliki daya hidup yang tinggi dan aplikatif dalam berbagai aspek kehidupan kontemporer, mulai dari pendidikan hingga kebijakan publik, dari etika terapan hingga inovasi teknologi.

7.1.       Pendidikan: Mendorong Pembelajaran Kontekstual dan Partisipatif

Pemikiran John Dewey tentang pendidikan progresif sangat berpengaruh pada sistem pendidikan abad ke-21. Dewey menolak model pendidikan otoriter yang menekankan hafalan, dan menggantikannya dengan pendekatan “learning by doing”, yaitu pembelajaran berbasis pengalaman aktif siswa dalam memecahkan masalah⁽¹⁾. Dalam kerangka pragmatisme, sekolah dipandang sebagai laboratorium sosial, tempat siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan adaptasi terhadap perubahan.

Di era pembelajaran digital dan kurikulum merdeka seperti yang berkembang di Indonesia saat ini, pendekatan pragmatis memberikan fondasi teoritis bagi pembelajaran berbasis proyek, refleksi kritis, dan interaksi lintas disiplin⁽²⁾.

7.2.       Etika dan Kebijakan Publik: Pendekatan Deliberatif dan Adaptif

Pragmatisme menolak pendekatan etika yang absolut dan menggantikannya dengan etika kontekstual, di mana keputusan moral diambil melalui proses deliberatif yang mempertimbangkan dampak nyata terhadap individu dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendekatan etika diskursus dan kebijakan responsif, di mana keputusan dirumuskan melalui partisipasi kolektif dan terbuka terhadap revisi⁽³⁾.

Dalam kebijakan publik, pragmatisme mendorong evidence-based policy yang menguji efektivitas kebijakan melalui evaluasi dan penyesuaian. Sebagaimana ditunjukkan oleh Hilary Putnam, pragmatisme mendorong pengambilan keputusan publik yang menggabungkan nilai moral dengan pertimbangan fakta, tanpa terjebak dalam dikotomi fakta-nilai⁽⁴⁾.

7.3.       Teknologi dan Inovasi: Menilai Kegunaan dan Dampak Sosial

Dalam era Revolusi Industri 4.0, pragmatisme relevan dalam menilai fungsi sosial dan etika dari teknologi. Alih-alih mengagungkan kemajuan teknologi semata, pragmatisme mengajukan pertanyaan tentang apa manfaat teknologi ini bagi kemanusiaan?, siapa yang diuntungkan atau dirugikan?, dan bagaimana dampaknya terhadap tatanan sosial dan lingkungan?

Richard Rorty berpendapat bahwa sains dan teknologi tidak harus didekati sebagai institusi netral, tetapi sebagai hasil dari kesepakatan sosial yang harus dievaluasi berdasarkan nilai-nilai demokratis dan solidaritas⁽⁵⁾. Pendekatan ini membantu menavigasi isu-isu kontemporer seperti kecerdasan buatan, pengawasan digital, dan disrupsi sosial.

7.4.       Pluralisme dan Toleransi: Penguatan Solidaritas Sosial

Dalam masyarakat yang plural dan multikultural, pragmatisme membantu membangun toleransi dan solidaritas melalui diskursus terbuka. Rorty menolak ide bahwa ada satu kebenaran universal untuk semua, dan sebaliknya mendorong sikap saling memahami melalui perbincangan antar komunitas⁽⁶⁾. Pendekatan ini penting untuk memelihara kohesi sosial di tengah polarisasi politik dan konflik identitas yang kerap menguat di era global.

Pragmatisme juga menawarkan kerangka etika praktis dalam menyikapi perbedaan, yakni bukan bertanya apakah suatu keyakinan “benar” secara metafisik, tetapi apakah keyakinan itu memupuk kerja sama dan kemanusiaan bersama.

7.5.       Dunia Kerja dan Kepemimpinan Adaptif

Dalam dunia kerja modern yang ditandai oleh ketidakpastian dan disrupsi, pragmatisme mengajarkan pentingnya kepemimpinan berbasis refleksi dan eksperimentasi. Alih-alih terpaku pada prosedur tetap, pemimpin pragmatis bersikap fleksibel, bersedia mencoba pendekatan baru, dan terbuka terhadap umpan balik berdasarkan hasil nyata.

Konsep problem-solving mindset yang populer dalam manajemen organisasi kontemporer sangat sejalan dengan semangat pragmatisme⁽⁷⁾. Hal ini membuat pragmatisme menjadi sumber inspirasi penting bagi pengembangan keterampilan abad ke-21 seperti kreativitas, kolaborasi, dan ketahanan (resilience).


Kesimpulan Relevansi

Dengan penekanannya pada fleksibilitas, keberfungsian, dan orientasi pada pemecahan masalah nyata, pragmatisme tetap relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia kontemporer. Ia menawarkan pendekatan yang inklusif, partisipatif, dan reflektif, menjembatani antara teori dan praktik, antara idealisme dan realitas. Dalam dunia yang bergerak cepat dan kompleks, pragmatisme memberikan bekal intelektual untuk bertindak secara cerdas, adaptif, dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 34–37.

[2]                Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 117–118.

[3]                Richard J. Bernstein, The Restructuring of Social and Political Theory (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1976), 175–177.

[4]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 22–26.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 389–391.

[6]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 193–196.

[7]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 145–147.


8.           Penutup

Pragmatisme merupakan salah satu kontribusi paling khas dari tradisi filsafat Amerika terhadap pemikiran modern. Aliran ini lahir dari kebutuhan untuk menjembatani antara teori dan praktik, antara idealisme rasionalis dan empirisme tradisional, serta antara kepastian filosofis dan realitas sosial yang dinamis. Melalui gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Charles Sanders Peirce, William James, John Dewey, hingga Richard Rorty, pragmatisme berhasil memperkenalkan paradigma filsafat yang berorientasi pada pengalaman, tindakan, dan hasil nyata sebagai ukuran nilai dan kebenaran¹.

Dengan menolak absolutisme metafisik dan menekankan pentingnya konsekuensi praktis, pragmatisme telah membuka jalan bagi filsafat yang lebih terbuka, fleksibel, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip pragmatis seperti kebenaran sebagai apa yang berguna, makna sebagai konsekuensi praktis, dan pengetahuan sebagai hasil interaksi dinamis dengan dunia telah memperluas cakrawala epistemologis dan etis dalam diskursus filsafat kontemporer². Selain itu, pendekatan pragmatis telah menginspirasi banyak bidang praktis, mulai dari pendidikan, etika terapan, kebijakan publik, hingga inovasi sosial dan teknologi.

Namun, seperti yang telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, pragmatisme juga menghadapi berbagai kritik serius, mulai dari tuduhan relativisme hingga kelemahan dalam membangun fondasi normatif yang kokoh. Tantangan-tantangan ini bukanlah titik akhir, melainkan peluang bagi pengembangan lebih lanjut. Para pendukung pragmatisme menunjukkan bahwa kekuatan utama aliran ini justru terletak pada kemampuannya untuk terus beradaptasi, mengoreksi diri, dan bersifat reflektif terhadap realitas yang berubah³.

Dalam konteks kehidupan kontemporer yang kompleks dan penuh ketidakpastian, pragmatisme menawarkan cara berpikir yang tidak hanya teoritis tetapi juga operasional. Ia mengajarkan pentingnya belajar dari pengalaman, menguji ide-ide melalui praktik sosial, dan mengembangkan sikap terbuka terhadap pluralitas cara pandang. Dengan demikian, pragmatisme tidak hanya menjadi sistem filsafat, tetapi juga sebuah etos intelektual dan moral untuk menghadapi tantangan zaman dengan sikap kritis, partisipatif, dan bertanggung jawab⁴.

Penutup ini menegaskan bahwa pragmatisme tetap relevan bukan karena ia menawarkan jawaban-jawaban final, melainkan karena ia menyediakan kerangka kerja filosofis yang hidup, yang mampu berkembang bersama dinamika masyarakat. Oleh karena itu, studi terhadap pragmatisme tidak hanya penting dalam ranah akademik, tetapi juga dalam membentuk budaya berpikir yang reflektif dan solutif di tengah tantangan global abad ke-21.


Footnotes

[1]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 5–6.

[2]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 95–97.

[3]                John Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 33–35.

[4]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 189–191.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Bernstein, R. J. (1976). The restructuring of social and political theory. University of Pennsylvania Press.

Bernstein, R. J. (2010). The pragmatic turn. Polity Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on the method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1637)

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. Macmillan.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Open Court.

Dewey, J. (1929). The quest for certainty: A study of the relation of knowledge and action. Minton, Balch & Company.

Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry. Henry Holt and Company.

Habermas, J. (2003). Truth and justification (B. Fultner, Trans.). MIT Press.

Haack, S. (1998). Manifesto of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago Press.

Hume, D. (1993). An enquiry concerning human understanding (E. Steinberg, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1748)

James, W. (1902). The varieties of religious experience: A study in human nature. Longmans, Green, and Co.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.

Misak, C. (2004). Truth and the end of inquiry: A Peircean account of truth. Oxford University Press.

Misak, C. (2013). The American pragmatists. Oxford University Press.

Peirce, C. S. (1992). The essential Peirce: Selected philosophical writings, volume 1 (N. Houser & C. Kloesel, Eds.). Indiana University Press.

Putnam, H. (2002). The collapse of the fact/value dichotomy and other essays. Harvard University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Russell, B. (1917). Mysticism and logic: Including a paper on the philosophy of William James. George Allen & Unwin.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar