Selasa, 08 April 2025

Pemikiran Augustinus: Fondasi Intelektual Abad Pertengahan Barat

Pemikiran Augustinus

Fondasi Intelektual Abad Pertengahan Barat


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran filsafat dan teologi Santo Augustinus dari Hippo, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Kristen dan Barat. Dengan pendekatan historis-filosofis dan teologis, artikel ini mengeksplorasi konteks historis kehidupan Augustinus, struktur dasar pemikirannya, serta pengaruhnya yang meluas dari Abad Pertengahan hingga masa modern. Beberapa tema utama yang diangkat meliputi teori pengetahuan berbasis iluminasi ilahi, konsep metafisika tentang Tuhan sebagai wujud tertinggi, relasi antara kehendak bebas dan rahmat dalam keselamatan, serta pandangan teologis tentang Trinitas dan sejarah umat manusia. Artikel ini juga meninjau kritik-kritik yang muncul terhadap doktrin Augustinus, seperti dosa asal dan predestinasi, serta relevansi pemikirannya dalam diskursus teologis dan filosofis kontemporer. Dilengkapi dengan sumber-sumber akademik yang kredibel, tulisan ini bertujuan memberikan kontribusi bagi kajian sejarah pemikiran dan teologi Kristen, serta membuka ruang refleksi atas warisan intelektual yang ditinggalkan oleh Augustinus.

Kata Kunci: Augustinus; filsafat Kristen; teologi; iluminasi ilahi; dosa asal; predestinasi; Civitas Dei; kehendak bebas; sejarah pemikiran; Abad Pertengahan.


PEMBAHASAN

Pemikiran Filsafat dan Teologi Santo Augustinus


1.           Pendahuluan

Filsafat Abad Pertengahan merupakan periode transisi yang menjembatani warisan intelektual dunia klasik dengan bangunan pemikiran Kristen di Eropa Barat. Dalam periode ini, salah satu tokoh paling berpengaruh yang meletakkan dasar bagi perkembangan teologi dan filsafat Kristen adalah Santo Augustinus dari Hippo (354–430 M). Augustinus tidak hanya dikenal sebagai seorang teolog gereja, tetapi juga sebagai filsuf yang pemikirannya meresap dalam hampir seluruh aspek diskursus intelektual Barat, dari metafisika, epistemologi, hingga etika dan teori politik. Peranannya sangat penting dalam membentuk orientasi filosofis yang memadukan unsur rasionalitas Yunani—khususnya Platonisme dan Neoplatonisme—dengan doktrin dan pengalaman iman Kristen.¹

Pemikiran Augustinus tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah zamannya, yaitu masa kemunduran Kekaisaran Romawi dan transformasi besar dalam lanskap sosial-religius Eropa. Melalui karya-karyanya seperti Confessiones, De Civitate Dei (Kota Tuhan), dan De Trinitate, Augustinus menghadirkan pemikiran yang bukan hanya bersifat spekulatif, tetapi juga kontemplatif dan eksistensial.² Ia menjawab keresahan intelektual dan spiritual masyarakat masa itu dengan menjangkau kedalaman makna hidup manusia, hubungan antara kehendak dan kebenaran, serta posisi Tuhan dalam sejarah dan keberadaan.³ Karena itulah, Augustinus sering dianggap sebagai "Bapa Gereja Barat" dan pelopor utama dalam mengembangkan filsafat Kristen yang kelak akan memengaruhi para pemikir besar seperti Boethius, Anselmus, hingga Thomas Aquinas.⁴

Di antara banyak kontribusinya, pemikiran Augustinus tentang waktu dan kekekalan, kehendak bebas dan anugerah ilahi, serta hubungan antara Kota Tuhan dan Kota Dunia menjadi landasan penting dalam pembentukan kerangka teologis dan filosofis Abad Pertengahan. Ia juga membentuk paradigma bahwa iman dan akal tidaklah bertentangan, melainkan saling mendukung dalam pencarian kebenaran.⁵ Dalam tradisi Augustinian, keyakinan menjadi dasar pemahaman (credo ut intelligam—"aku percaya supaya aku mengerti"), yang kemudian menjadi prinsip utama dalam teologi skolastik dan spiritualitas Barat.⁶

Dengan memahami pemikiran Augustinus secara komprehensif, kita dapat menelusuri akar dari banyak konsep dasar yang membentuk struktur teologi dan filsafat Barat, serta memahami bagaimana warisan klasik diterjemahkan ke dalam kerangka iman Kristen. Artikel ini akan mengulas secara sistematis pokok-pokok pemikiran Augustinus dan relevansinya dalam perjalanan panjang filsafat Barat.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New York: Random House, 1960), 1–3.

[2]                Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 46–49.

[3]                John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 10–12.

[4]                Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers, 2005), 1.

[5]                Robert Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 140–144.

[6]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book I, §1.


2.           Biografi Singkat Augustinus

Santo Augustinus dilahirkan dengan nama Aurelius Augustinus pada tanggal 13 November 354 M di Tagaste, sebuah kota kecil di Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair), yang pada masa itu merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi. Ia lahir dari pasangan Patricius, seorang pegawai pemerintah Romawi yang masih beragama pagan, dan Monica, seorang Kristen yang saleh yang kelak sangat memengaruhi kehidupan spiritualnya.¹

Augustinus mendapatkan pendidikan klasik yang baik, yang pada masa itu didasarkan pada tradisi retorika dan filsafat Yunani-Romawi. Ia menempuh studi di Madauros dan kemudian di Kartago, pusat pendidikan penting di Afrika Utara. Di Kartago, Augustinus mulai menaruh minat pada pencarian kebenaran dan makna hidup melalui filsafat, meskipun ia juga bergumul dengan kehidupan moral yang tidak stabil.² Dalam masa mudanya, Augustinus sempat tertarik pada ajaran Manikheisme, sebuah sekte dualistik Persia yang mengajarkan pertarungan abadi antara terang dan gelap. Ia mengikuti ajaran ini selama hampir satu dekade sebelum akhirnya meninggalkannya karena merasa ajaran tersebut tidak memuaskan akal dan jiwanya.³

Perjalanan intelektual dan spiritual Augustinus membawanya ke Roma dan kemudian ke Milan, di mana ia bertemu dengan Ambrosius, Uskup Milan yang kemudian menjadi mentor spiritualnya. Pertemuan ini sangat menentukan, karena melalui Ambrosius, Augustinus mulai memahami bagaimana ajaran Kristen dapat bersinergi dengan filsafat, terutama Platonisme.⁴ Ia juga mulai membaca karya-karya para filsuf Neoplatonis seperti Plotinus, yang sangat memengaruhi konsepsinya tentang Tuhan, jiwa, dan kebenaran.⁵

Puncak dari pencarian spiritualnya terjadi pada tahun 386 M, saat ia mengalami konversi religius yang mendalam di sebuah taman di Milan. Ia menggambarkan momen ini dalam Confessiones sebagai pengalaman yang sangat personal dan emosional, ketika ia mendengar suara anak kecil berkata, Tolle lege, tolle lege (“Ambillah dan bacalah”), yang kemudian membawanya untuk membuka dan membaca bagian dari Surat Paulus kepada Jemaat di Roma.⁶ Tahun berikutnya, ia dibaptis oleh Ambrosius pada malam Paskah tahun 387 M. Setelah kembali ke tanah kelahirannya di Afrika, ia mendirikan komunitas monastik di Hippo dan kemudian ditahbiskan menjadi imam pada tahun 391 M.⁷

Karier kegerejaannya berkembang pesat; pada tahun 395 M, Augustinus diangkat menjadi uskup Hippo Regius, sebuah kota pelabuhan penting di Afrika Utara. Ia menjabat posisi tersebut hingga wafatnya pada tanggal 28 Agustus 430 M, saat Hippo dikepung oleh bangsa Vandal. Selama masa kepemimpinannya sebagai uskup, Augustinus menghasilkan lebih dari 100 karya tulis, termasuk risalah filosofis, teologis, tafsir Alkitab, dan polemik terhadap berbagai ajaran sesat.⁸

Pemikiran dan karya-karya Augustinus menjadikan dirinya tidak hanya sebagai salah satu Bapa Gereja Latin yang paling penting, tetapi juga sebagai filsuf besar yang jembatani pemikiran klasik dengan dunia Kristen Abad Pertengahan. Kepribadiannya yang reflektif dan gaya penulisannya yang intensif dalam Confessiones menjadikan dirinya tokoh yang sangat berpengaruh, baik dalam tradisi Katolik maupun Protestan.⁹


Footnotes

[1]                Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 15–17.

[2]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New York: Random House, 1960), 4–6.

[3]                Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies (Philadelphia: Westminster Press, 1963), 34–37.

[4]                James J. O'Donnell, Augustine: A New Biography (New York: HarperCollins, 2005), 113–115.

[5]                John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–48.

[6]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book VIII, §§12–29.

[7]                Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers, 2005), 8–10.

[8]                Robert Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 188–190.

[9]                Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1: The Emergence of the Catholic Tradition (100–600) (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 291.


3.           Konteks Historis dan Intelektual

Pemikiran Augustinus tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berkembang dalam lanskap sejarah dan intelektual yang kompleks pada akhir zaman kuno, ketika Kekaisaran Romawi berada di ambang keruntuhan dan dunia Kristen sedang mencari bentuk identitas teologisnya. Augustinus hidup pada masa transisi besar, yang ditandai oleh ketegangan antara warisan klasik dunia Romawi dan munculnya tatanan baru yang dipengaruhi oleh agama Kristen.¹ Peristiwa-peristiwa besar seperti serbuan bangsa barbar, ketidakstabilan politik, dan krisis budaya di Barat menciptakan kondisi kegelisahan eksistensial yang mendorong munculnya refleksi filosofis dan teologis yang mendalam.

Secara politik dan sosial, abad ke-4 dan ke-5 Masehi ditandai oleh melemahnya struktur Kekaisaran Romawi, terutama di bagian Barat. Penjarahan kota Roma oleh bangsa Visigoth pada tahun 410 M mengguncang fondasi simbolik kekaisaran yang dianggap abadi.² Banyak orang Romawi kala itu mengaitkan bencana ini dengan pertumbuhan agama Kristen yang dianggap telah melemahkan kekuatan tradisional Romawi. Sebagai respons atas tuduhan ini, Augustinus menulis karya monumentalnya De Civitate Dei (Kota Tuhan), yang menjadi refleksi mendalam tentang sejarah manusia, keterbatasan kekuasaan duniawi, dan supremasi kehendak ilahi.³ Dalam karya ini, Augustinus mengembangkan dikotomi antara Civitas Dei (Kota Tuhan) dan Civitas Terrena (Kota Dunia), sebagai kerangka untuk memahami dinamika sejarah dari perspektif iman.

Dari sisi intelektual, Augustinus merupakan penerus warisan filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan bentuk lanjutannya dalam Neoplatonisme, terutama pemikiran Plotinus.⁴ Ia menyerap gagasan-gagasan metafisik tentang realitas dan jiwa dari tradisi ini, namun mengkristenisasinya melalui sintesis dengan doktrin iman. Misalnya, konsep the One dari Plotinus diadaptasi oleh Augustinus sebagai Tuhan yang transenden, sumber dari segala yang ada, namun juga personal dan penuh kasih.⁵ Meski sangat terinspirasi oleh Neoplatonisme, Augustinus mengkritik kecenderungan impersonal dalam metafisika Yunani dan menekankan relasi personal antara Tuhan dan manusia melalui rahmat dan kasih.

Pengaruh Alkitab, khususnya tulisan-tulisan Rasul Paulus, juga sangat dominan dalam membentuk kerangka pemikiran Augustinus, terutama dalam isu-isu seperti dosa asal, rahmat, dan kehendak bebas.⁶ Selain itu, Augustinus juga terlibat aktif dalam perdebatan teologis dengan berbagai kelompok seperti Manikheisme, Donatisme, dan Pelagianisme. Melalui polemik ini, ia merumuskan banyak aspek penting dari doktrin Kristen, seperti konsep gereja sejati, pentingnya rahmat, dan keterbatasan kehendak manusia.⁷

Dengan demikian, pemikiran Augustinus mencerminkan upaya sintesis besar antara warisan klasik dan wahyu Kristen, antara filsafat rasional dan teologi iman. Dalam proses ini, ia menciptakan paradigma baru yang sangat berpengaruh bagi filsafat dan teologi Abad Pertengahan, serta menjadi pondasi bagi tradisi intelektual Barat selama lebih dari satu milenium.⁸


Footnotes

[1]                Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 152–154.

[2]                James J. O'Donnell, Augustine: A New Biography (New York: HarperCollins, 2005), 263–264.

[3]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book I, Preface.

[4]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New York: Random House, 1960), 45–49.

[5]                John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 85–90.

[6]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book VII, §§21–24.

[7]                Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies (Philadelphia: Westminster Press, 1963), 106–109.

[8]                Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1: The Emergence of the Catholic Tradition (100–600) (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 297–299.


4.           Pokok-Pokok Pemikiran Augustinus

Pemikiran filsafat dan teologi Augustinus merupakan sintesis unik antara warisan klasik (terutama Neoplatonisme) dan doktrin iman Kristen. Ia meletakkan dasar intelektual bagi banyak diskursus utama dalam filsafat Barat dan teologi Kristen. Pokok-pokok pemikirannya dapat dijabarkan dalam beberapa tema utama berikut ini:

4.1.       Epistemologi (Teori Pengetahuan)

Augustinus mengembangkan teori pengetahuan yang berakar pada pengalaman batin dan penerangan ilahi (divine illumination). Ia menolak skeptisisme, seperti yang dikembangkan oleh akademisis Platonik, dengan menyatakan bahwa kebenaran sejati dapat diketahui karena Allah adalah sumber segala kebenaran dan manusia diciptakan dengan akal untuk mengenalnya.¹

Menurut Augustinus, pengetahuan sejati tidak datang hanya dari pengamatan inderawi, melainkan dari penerangan yang diberikan oleh Tuhan dalam batin manusia. Konsep ini dikenal sebagai illuminatio, di mana akal manusia dapat memahami kebenaran karena telah disinari oleh cahaya ilahi.² Dalam De Magistro, Augustinus menegaskan bahwa pengajaran manusia hanyalah alat bantu; pengertian sejati adalah hasil penerangan dari Tuhan yang hadir dalam jiwa manusia.³

4.2.       Ontologi dan Metafisika

Dalam ranah metafisika, Augustinus memahami Tuhan sebagai Ens Realissimum, wujud yang paling nyata dan absolut. Tuhan tidak hanya “ada”, tetapi adalah keberadaan itu sendiri, sumber dari segala sesuatu yang ada.⁴ Semua ciptaan memiliki keberadaan yang terbatas dan tergantung, sedangkan Tuhan bersifat niscaya, kekal, dan tidak berubah.

Augustinus juga mengembangkan pemikiran mendalam tentang waktu dalam Confessiones. Ia menyatakan bahwa waktu bukanlah entitas objektif yang berdiri sendiri, melainkan suatu pengalaman jiwa: masa lalu sebagai ingatan, masa kini sebagai perhatian, dan masa depan sebagai pengharapan.⁵ Waktu adalah bagian dari ciptaan, sedangkan Tuhan berada “di luar waktu” atau kekal (aeternitas).⁶

4.3.       Etika dan Kehendak Bebas

Etika Augustinus berakar pada konsep kehendak (voluntas) sebagai pusat tindakan moral. Dalam menghadapi dilema moral, manusia dituntut untuk memilih berdasarkan kehendaknya, bukan sekadar rasio.⁷ Namun, setelah kejatuhan manusia akibat dosa asal, kehendak manusia menjadi lemah dan cenderung pada kejahatan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan rahmat (gratia) Tuhan untuk melakukan kebaikan dan memperoleh keselamatan.⁸

Konsep ini menjadi dasar dari perdebatan panjang dengan kaum Pelagian, yang mengklaim bahwa manusia dapat mencapai keselamatan melalui kehendaknya sendiri tanpa rahmat. Augustinus menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa hanya melalui rahmat Allah-lah manusia dapat diselamatkan, tanpa menghilangkan tanggung jawab moral individu.⁹

4.4.       Teologi tentang Tuhan dan Trinitas

Teologi Augustinus mencapai puncaknya dalam karyanya De Trinitate, di mana ia menguraikan pemahaman tentang Allah Tritunggal. Ia menggambarkan relasi antar Pribadi dalam Trinitas melalui analogi jiwa manusia: memori (Bapa), pengertian (Putra), dan kehendak atau kasih (Roh Kudus).¹⁰

Augustinus menolak pandangan Arianisme yang merendahkan martabat Kristus, dan ia memperjuangkan doktrin bahwa ketiga pribadi dalam Tritunggal adalah setara dalam esensi, tetapi berbeda dalam relasi.¹¹ Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi perkembangan teologi Latin Barat, khususnya dalam perdebatan antara Gereja Barat dan Timur.

4.5.       Filsafat Sejarah dan Politik

Melalui De Civitate Dei, Augustinus merumuskan teori tentang sejarah universal yang bergerak dalam kerangka pertarungan spiritual antara dua kota: Civitas Dei (Kota Tuhan) yang dipimpin oleh kasih kepada Allah, dan Civitas Terrena (Kota Dunia) yang dipimpin oleh kasih kepada diri.¹² Sejarah bukan sekadar rentetan kejadian duniawi, tetapi medan pertempuran antara kehendak ilahi dan ambisi manusia.

Pandangan ini bukan hanya teologis, tetapi juga filosofis: Augustinus menolak ide bahwa kebesaran politik atau kekaisaran Romawi adalah bentuk tertinggi dari realitas manusia. Sebaliknya, hanya dalam komunitas rohani yang berorientasi pada Allah-lah manusia dapat menemukan makna sejati.¹³


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New York: Random House, 1960), 51–54.

[2]                Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers, 2005), 41.

[3]                Augustine, De Magistro, in The Teacher, trans. Robert P. Russell (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1968), §11.

[4]                John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 93–95.

[5]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book XI, §§14–28.

[6]                Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 309–312.

[7]                James Wetzel, “Splitting the Difference: Augustine and the Mask of Ethics,” Harvard Theological Review 90, no. 1 (1997): 107–120.

[8]                Robert Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 160–165.

[9]                Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies (Philadelphia: Westminster Press, 1963), 300–304.

[10]             Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill, O.P., The Trinity (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), Book IX, §§4–12.

[11]             Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1: The Emergence of the Catholic Tradition (100–600) (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 226.

[12]             Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIV, §§1–4.

[13]             R.A. Markus, “Saint Augustine’s Views on the ‘Two Cities’: Political Philosophy and Theological Doctrine,” Journal of Theological Studies 22, no. 1 (1971): 1–12.


5.           Pengaruh Pemikiran Augustinus

Pemikiran Santo Augustinus dari Hippo memiliki pengaruh yang luar biasa luas dan mendalam, tidak hanya dalam dunia teologi Kristen, tetapi juga dalam perkembangan filsafat Barat secara keseluruhan. Gagasannya membentuk kerangka dasar bagi tradisi intelektual Eropa selama lebih dari seribu tahun dan menjadi titik rujukan penting dalam hampir semua perdebatan besar dalam sejarah pemikiran Kristen.

5.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Skolastik dan Abad Pertengahan

Augustinus merupakan figur kunci dalam pengembangan filsafat skolastik, yaitu tradisi pemikiran yang mendominasi abad pertengahan dan berusaha mensintesiskan iman dengan akal. Para tokoh seperti Boethius, Anselmus dari Canterbury, dan bahkan Thomas Aquinas, sangat dipengaruhi oleh struktur konseptual yang diwariskan Augustinus, terutama dalam hal epistemologi dan teologi Trinitas.¹

Meskipun Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, namun ia tetap menggunakan banyak prinsip Augustinian, terutama dalam pandangan mengenai Tuhan sebagai actus purus dan dalam teologi anugerah.² Dalam konteks ini, Augustinus dianggap sebagai pilar utama teologi Latin Barat yang memberikan kontribusi metodologis dan doktrinal dalam penalaran teologis.

5.2.       Pengaruh terhadap Teologi Barat

Dalam tradisi teologis, terutama di Gereja Katolik Roma, ajaran-ajaran Augustinus tentang rahmat ilahi, dosa asal, dan kehendak bebas menjadi dasar bagi pemikiran teologi Latin. Konsili Orange (529 M), misalnya, secara eksplisit mengadopsi pandangan Augustinus dalam menolak ajaran Pelagianisme dan menegaskan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh melalui rahmat Tuhan.³

Augustinus juga menjadi rujukan sentral dalam teologi Protestan, terutama dalam ajaran Martin Luther dan John Calvin. Luther, yang juga merupakan anggota ordo Agustinian, mengadopsi doktrin tentang kebobrokan manusia dan kebutuhan akan rahmat Tuhan secara mutlak.⁴ Calvin pun menegaskan kembali konsep predestinasi, yang dalam bentuk dasarnya telah dirumuskan oleh Augustinus.⁵ Dengan demikian, pemikiran Augustinus menjembatani dua kutub besar dalam Kekristenan Barat: Katolik dan Protestan.

5.3.       Pengaruh terhadap Pemikiran Etika dan Psikologi

Konsep Augustinus tentang kehendak (voluntas) sebagai pusat moralitas manusia menjadi landasan bagi perkembangan teori etika Kristen. Berbeda dengan tradisi Stoik atau Aristotelian yang menekankan rasio, Augustinus menekankan bahwa akar tindakan manusia terletak pada kehendaknya yang terdalam, dan kehendak ini rusak oleh dosa dan hanya dapat diperbarui oleh kasih karunia.⁶

Dalam bidang psikologi religius, Confessiones Augustinus dianggap sebagai salah satu teks tertua dan paling berpengaruh dalam menggambarkan dunia batin manusia secara mendalam. Banyak sarjana modern, termasuk psikolog seperti William James, menilai Augustinus sebagai pelopor dalam eksplorasi kesadaran dan pengalaman religius subjektif.⁷

5.4.       Pengaruh terhadap Filsafat Modern dan Kontemporer

Pemikiran Augustinus juga memiliki jejak panjang dalam filsafat modern. René Descartes, misalnya, mengadopsi metode refleksi diri dalam pencarian kebenaran yang mengingatkan pada pendekatan Augustinus dalam Confessiones. Bahkan pernyataan terkenal Descartes cogito, ergo sum sering dikaitkan secara paralel dengan keyakinan Augustinus: Si fallor, sum (“Jika aku salah, maka aku ada”).⁸

Dalam filsafat eksistensialis dan fenomenologi, seperti dalam pemikiran Søren Kierkegaard dan Gabriel Marcel, warisan Augustinus juga tampak dalam penekanan pada individualitas, kecemasan eksistensial, dan pencarian makna hidup dalam relasi dengan Tuhan.⁹


Relevansi Kontemporer

Hingga saat ini, pemikiran Augustinus tetap menjadi bahan diskusi dalam ranah filsafat agama, etika teologis, dan teori politik Kristen. Dalam diskursus postmodern, beberapa pemikir seperti Charles Taylor dan Alasdair MacIntyre bahkan mengangkat kembali warisan Augustinus sebagai alternatif bagi pendekatan sekuler dalam memahami identitas moral dan masyarakat.¹⁰


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New York: Random House, 1960), 134–137.

[2]                Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 3: The Growth of Medieval Theology (600–1300) (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 243–245.

[3]                R.A. Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 192–193.

[4]                Heiko A. Oberman, The Dawn of the Reformation: Essays in Late Medieval and Early Reformation Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 85–87.

[5]                Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 4th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 115–118.

[6]                James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 24–27.

[7]                William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 56–58.

[8]                Gareth B. Matthews, Thought’s Ego in Augustine and Descartes (Ithaca: Cornell University Press, 1992), 12–15.

[9]                Robert Crouse, “Augustine and the Mystery of the Self,” Dionysius 4 (1980): 61–75.

[10]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 127–132.


6.           Kritik dan Perdebatan

Meskipun pemikiran Santo Augustinus memberikan sumbangsih besar bagi tradisi filsafat dan teologi Kristen, ia tidak luput dari kritik dan kontroversi sepanjang sejarah. Banyak ide utamanya, seperti konsep dosa asal, predestinasi, dan relasi antara kehendak bebas dan rahmat, telah menimbulkan perdebatan teologis dan filosofis yang cukup intens, baik pada zamannya sendiri maupun di masa-masa berikutnya. Kritik terhadap pemikirannya tidak hanya datang dari luar tradisi Kristen, tetapi juga dari kalangan dalam Gereja sendiri.

6.1.       Kritik terhadap Konsep Dosa Asal dan Seksualitas

Salah satu aspek paling kontroversial dari pemikiran Augustinus adalah doktrinnya mengenai dosa asal (peccatum originale). Dalam pandangannya, dosa Adam diwariskan kepada seluruh umat manusia, tidak hanya dalam bentuk konsekuensi moral, tetapi juga dalam kerusakan kodrati, terutama pada kehendak dan dorongan seksual.¹ Ia bahkan menyatakan bahwa seksualitas manusia pasca-kejatuhan tidak lagi berada dalam kendali rasio, melainkan tunduk pada hasrat yang tidak teratur (concupiscentia).²

Pandangan ini dikritik oleh banyak pemikir modern yang menilai bahwa konsep dosa yang diwariskan secara biologis atau moral dapat melemahkan tanggung jawab individual dan menyulitkan pemahaman tentang keadilan ilahi.³ Beberapa teolog, termasuk dalam tradisi Ortodoks Timur, menolak gagasan Augustinus tentang dosa asal sebagai warisan personal, dan lebih menekankan kondisi mortalitas daripada kesalahan moral bawaan.⁴

6.2.       Kontroversi tentang Predestinasi dan Kehendak Bebas

Augustinus juga mengembangkan teori predestinasi sebagai respons terhadap ajaran Pelagianisme, yang menekankan kebebasan kehendak manusia untuk melakukan kebaikan tanpa bantuan rahmat. Dalam polemiknya melawan Pelagius, Augustinus menegaskan bahwa hanya rahmat ilahi yang dapat menyelamatkan manusia dan bahwa Tuhan telah menentukan sejak kekekalan siapa yang akan diselamatkan (predestinatio sanctorum).⁵

Pandangan ini memicu perdebatan panjang, bahkan hingga era Reformasi, dan memunculkan pertanyaan serius tentang keadilan dan kasih Tuhan, serta peran kehendak manusia dalam keselamatan. Beberapa teolog menuduh bahwa Augustinus terlalu menekankan kedaulatan Tuhan hingga mengorbankan kebebasan manusia.⁶ Meskipun Konsili Orange (529 M) mengadopsi sebagian besar ajaran Augustinus, namun doktrin predestinasi ganda (bahwa sebagian ditentukan untuk selamat dan sebagian untuk binasa) tidak diadopsi secara eksplisit.⁷

6.3.       Kritik terhadap Pandangan Gereja dan Politik

Dalam De Civitate Dei, Augustinus mengembangkan pandangan dualistik antara Kota Tuhan dan Kota Dunia. Meski secara teologis mendalam, pendekatan ini juga dikritik karena dianggap terlalu pesimistis terhadap politik dan budaya duniawi. Ia dianggap memberikan justifikasi terhadap ketundukan pada otoritas negara, selama negara tidak secara langsung menentang Tuhan, sehingga membuka kemungkinan lahirnya bentuk politik sakral dalam Kekristenan Barat.⁸

Beberapa filsuf politik modern, seperti John Milbank dan Oliver O'Donovan, mengkritik Augustinus karena kontribusinya terhadap model relasi gereja-negara yang hierarkis dan kadang represif, terutama dalam sejarah Kristen Eropa.⁹ Kritik ini memperkuat argumen bahwa diperlukan pembacaan ulang terhadap De Civitate Dei dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan inklusif.

6.4.       Debat Modern terhadap Psikologi Augustinian

Augustinus dianggap sebagai pelopor dalam eksplorasi batin manusia, tetapi dalam konteks psikologi modern, beberapa penafsir menganggap pendekatan Augustinus terlalu intraspektif dan negatif terhadap diri manusia.¹⁰ Gagasannya tentang kehendak yang cenderung pada kejahatan pasca-kejatuhan, serta pandangan suram terhadap kondisi eksistensial manusia, dipandang oleh sebagian pemikir humanis sebagai terlalu pesimis dan mengabaikan potensi kebaikan dalam diri manusia.¹¹

Di sisi lain, para sarjana seperti James Wetzel dan Robert Dodaro justru melihat kekuatan pemikiran Augustinus dalam menggambarkan realitas batin manusia secara jujur dan spiritual, sehingga tetap relevan dalam dunia modern yang sarat dengan krisis identitas dan eksistensi.¹²


Footnotes

[1]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book VII, §21.

[2]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New York: Random House, 1960), 110–113.

[3]                Elaine Pagels, Adam, Eve, and the Serpent (New York: Vintage Books, 1988), 103–105.

[4]                John Meyendorff, Byzantine Theology: Historical Trends and Doctrinal Themes (New York: Fordham University Press, 1983), 144–145.

[5]                Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies (Philadelphia: Westminster Press, 1963), 329–335.

[6]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 352–354.

[7]                R.A. Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 196–198.

[8]                Robert A. Markus, “Political Theology and the City of God,” Journal of Theological Studies 33, no. 1 (1982): 2–15.

[9]                John Milbank, Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason (Oxford: Blackwell Publishing, 1990), 382–386.

[10]             William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 77–78.

[11]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 129–130.

[12]             James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 58–60.


7.           Kesimpulan

Santo Augustinus dari Hippo merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Barat. Pemikirannya berdiri di persimpangan antara dunia klasik Greko-Romawi dan bangkitnya peradaban Kristen abad pertengahan. Dengan mengintegrasikan warisan filsafat Plato dan Neoplatonisme ke dalam kerangka teologis Kristen, Augustinus berhasil menciptakan suatu sistem pemikiran yang menyentuh ranah metafisika, etika, epistemologi, dan teologi dengan kekayaan reflektif yang mendalam.¹

Melalui karya-karya utamanya seperti Confessiones, De Civitate Dei, dan De Trinitate, Augustinus tidak hanya mengekspresikan spiritualitas pribadi yang kuat, tetapi juga membangun dasar-dasar filsafat dan teologi yang akan membentuk pemikiran Barat selama berabad-abad.² Ia menegaskan pentingnya penerangan ilahi dalam proses pengetahuan, menempatkan kehendak sebagai pusat kehidupan etis, serta merumuskan hubungan antara rahmat dan kehendak bebas dalam keselamatan manusia.³ Kontribusinya dalam memahami sejarah sebagai arena pertarungan spiritual antara Civitas Dei dan Civitas Terrena menunjukkan orisinalitas pemikirannya dalam mengaitkan iman dengan dinamika historis.⁴

Meskipun tidak bebas dari kritik—seperti dalam hal konsep dosa asal, predestinasi, dan sikap terhadap dunia politik—pemikiran Augustinus tetap menunjukkan daya tahan filosofis dan spiritual yang luar biasa. Beberapa kritik bahkan memperkaya pemahaman kontemporer tentang manusia dan Tuhan, karena memperlihatkan kompleksitas realitas eksistensial yang ia gumuli.⁵

Warisan Augustinus tidak hanya membentuk teologi Katolik, tetapi juga menjadi inspirasi utama bagi Reformasi Protestan dan bahkan pemikiran filsafat modern. Pengaruhnya dapat dirasakan dalam karya para teolog seperti Anselmus dan Aquinas, para reformator seperti Luther dan Calvin, serta para filsuf modern seperti Descartes dan Kierkegaard.⁶ Dalam konteks kontemporer, pemikir seperti Charles Taylor dan Alasdair MacIntyre mengangkat kembali relevansi pemikiran Augustinus dalam menjawab krisis identitas moral dan spiritual zaman modern.⁷

Dengan demikian, pemikiran Augustinus bukan hanya milik masa lalu, tetapi tetap hidup sebagai fondasi intelektual dan sumber refleksi mendalam tentang hakikat manusia, Tuhan, dan dunia. Ia tidak hanya berbicara kepada generasinya, tetapi juga kepada umat manusia sepanjang zaman yang mencari kebenaran, makna, dan pengharapan di tengah dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New York: Random House, 1960), 7–9.

[2]                Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 422–426.

[3]                Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers, 2005), 55–58.

[4]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX, §§17–28.

[5]                James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 74–77.

[6]                Alister E. McGrath, Historical Theology: An Introduction to the History of Christian Thought, 2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 96–98.

[7]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 129–132.


Daftar Pustaka

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 397–400)

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Books. (Original work published ca. 413–426)

Augustine. (1991). The Trinity (E. Hill, Trans.). New City Press. (Original work published ca. 400–416)

Augustine. (1968). The teacher (De Magistro) (R. P. Russell, Trans.). Catholic University of America Press.

Bonner, G. (1963). St. Augustine of Hippo: Life and controversies. Westminster Press.

Brown, P. (2000). Augustine of Hippo: A biography (New ed.). University of California Press.

Gilson, E. (1960). The Christian philosophy of St. Augustine. Random House.

James, W. (1902). The varieties of religious experience: A study in human nature. Longmans, Green, and Co.

Markus, R. A. (1982). Political theology and the City of God. Journal of Theological Studies, 33(1), 2–15. https://doi.org/10.1093/jts/XXXIII.1.2

Markus, R. A. (1990). The end of ancient Christianity. Cambridge University Press.

Matthews, G. B. (2005). Augustine. Blackwell Publishers.

Matthews, G. B. (1992). Thought’s ego in Augustine and Descartes. Cornell University Press.

McGrath, A. E. (2012). Historical theology: An introduction to the history of Christian thought (2nd ed.). Wiley-Blackwell.

McGrath, A. E. (2017). Christian theology: An introduction (6th ed.). Wiley-Blackwell.

Meyendorff, J. (1983). Byzantine theology: Historical trends and doctrinal themes. Fordham University Press.

Milbank, J. (1990). Theology and social theory: Beyond secular reason. Blackwell Publishing.

O'Donnell, J. J. (2005). Augustine: A new biography. HarperCollins.

Oberman, H. A. (1992). The dawn of the Reformation: Essays in late medieval and early Reformation thought. Eerdmans.

Pagels, E. (1988). Adam, Eve, and the serpent. Vintage Books.

Pelikan, J. (1971). The Christian tradition: A history of the development of doctrine, Vol. 1: The emergence of the Catholic tradition (100–600). University of Chicago Press.

Pelikan, J. (1978). The Christian tradition: A history of the development of doctrine, Vol. 3: The growth of medieval theology (600–1300). University of Chicago Press.

Rist, J. M. (1994). Augustine: Ancient thought baptized. Cambridge University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Wetzel, J. (1992). Augustine and the limits of virtue. Cambridge University Press.

Wetzel, J. (1997). Splitting the difference: Augustine and the mask of ethics. Harvard Theological Review, 90(1), 107–120. https://doi.org/10.1017/S0017816000003069

Crouse, R. (1980). Augustine and the mystery of the self. Dionysius, 4, 61–75.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar