Pemikiran Augustinus
Fondasi Intelektual Abad Pertengahan Barat
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsafat dan teologi Santo Augustinus dari Hippo, salah satu tokoh paling
berpengaruh dalam sejarah intelektual Kristen dan Barat. Dengan pendekatan
historis-filosofis dan teologis, artikel ini mengeksplorasi konteks historis
kehidupan Augustinus, struktur dasar pemikirannya, serta pengaruhnya yang
meluas dari Abad Pertengahan hingga masa modern. Beberapa tema utama yang
diangkat meliputi teori pengetahuan berbasis iluminasi ilahi, konsep metafisika
tentang Tuhan sebagai wujud tertinggi, relasi antara kehendak bebas dan rahmat
dalam keselamatan, serta pandangan teologis tentang Trinitas dan sejarah umat
manusia. Artikel ini juga meninjau kritik-kritik yang muncul terhadap doktrin
Augustinus, seperti dosa asal dan predestinasi, serta relevansi pemikirannya
dalam diskursus teologis dan filosofis kontemporer. Dilengkapi dengan
sumber-sumber akademik yang kredibel, tulisan ini bertujuan memberikan
kontribusi bagi kajian sejarah pemikiran dan teologi Kristen, serta membuka
ruang refleksi atas warisan intelektual yang ditinggalkan oleh Augustinus.
Kata Kunci: Augustinus; filsafat Kristen; teologi; iluminasi
ilahi; dosa asal; predestinasi; Civitas Dei; kehendak bebas; sejarah pemikiran;
Abad Pertengahan.
PEMBAHASAN
Pemikiran Filsafat dan Teologi Santo Augustinus
1.
Pendahuluan
Filsafat Abad
Pertengahan merupakan periode transisi yang menjembatani warisan intelektual
dunia klasik dengan bangunan pemikiran Kristen di Eropa Barat. Dalam periode
ini, salah satu tokoh paling berpengaruh yang meletakkan dasar bagi
perkembangan teologi dan filsafat Kristen adalah Santo Augustinus dari Hippo
(354–430 M). Augustinus tidak hanya dikenal sebagai seorang teolog gereja,
tetapi juga sebagai filsuf yang pemikirannya meresap dalam hampir seluruh aspek
diskursus intelektual Barat, dari metafisika, epistemologi, hingga etika dan
teori politik. Peranannya sangat penting dalam membentuk orientasi filosofis
yang memadukan unsur rasionalitas Yunani—khususnya Platonisme dan Neoplatonisme—dengan
doktrin dan pengalaman iman Kristen.¹
Pemikiran Augustinus
tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah zamannya, yaitu masa kemunduran
Kekaisaran Romawi dan transformasi besar dalam lanskap sosial-religius Eropa.
Melalui karya-karyanya seperti Confessiones, De
Civitate Dei (Kota Tuhan), dan De Trinitate, Augustinus
menghadirkan pemikiran yang bukan hanya bersifat spekulatif, tetapi juga
kontemplatif dan eksistensial.² Ia menjawab keresahan intelektual dan spiritual
masyarakat masa itu dengan menjangkau kedalaman makna hidup manusia, hubungan
antara kehendak dan kebenaran, serta posisi Tuhan dalam sejarah dan
keberadaan.³ Karena itulah, Augustinus sering dianggap sebagai "Bapa
Gereja Barat" dan pelopor utama dalam mengembangkan filsafat Kristen yang
kelak akan memengaruhi para pemikir besar seperti Boethius, Anselmus, hingga
Thomas Aquinas.⁴
Di antara banyak
kontribusinya, pemikiran Augustinus tentang waktu dan kekekalan, kehendak bebas
dan anugerah ilahi, serta hubungan antara Kota Tuhan dan Kota Dunia menjadi
landasan penting dalam pembentukan kerangka teologis dan filosofis Abad
Pertengahan. Ia juga membentuk paradigma bahwa iman dan akal tidaklah
bertentangan, melainkan saling mendukung dalam pencarian kebenaran.⁵ Dalam
tradisi Augustinian, keyakinan menjadi dasar pemahaman (credo ut
intelligam—"aku percaya supaya aku mengerti"),
yang kemudian menjadi prinsip utama dalam teologi skolastik dan spiritualitas
Barat.⁶
Dengan memahami
pemikiran Augustinus secara komprehensif, kita dapat menelusuri akar dari
banyak konsep dasar yang membentuk struktur teologi dan filsafat Barat, serta
memahami bagaimana warisan klasik diterjemahkan ke dalam kerangka iman Kristen.
Artikel ini akan mengulas secara sistematis pokok-pokok pemikiran Augustinus
dan relevansinya dalam perjalanan panjang filsafat Barat.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 1–3.
[2]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 46–49.
[3]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 10–12.
[4]
Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers,
2005), 1.
[5]
Robert Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 140–144.
[6]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book I, §1.
2.
Biografi Singkat Augustinus
Santo Augustinus
dilahirkan dengan nama Aurelius Augustinus pada
tanggal 13 November 354 M di Tagaste, sebuah kota kecil di
Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair), yang pada masa itu merupakan bagian
dari Kekaisaran Romawi. Ia lahir dari pasangan Patricius, seorang pegawai
pemerintah Romawi yang masih beragama pagan, dan Monica, seorang Kristen yang
saleh yang kelak sangat memengaruhi kehidupan spiritualnya.¹
Augustinus
mendapatkan pendidikan klasik yang baik, yang pada masa itu didasarkan pada
tradisi retorika dan filsafat Yunani-Romawi. Ia menempuh studi di Madauros dan
kemudian di Kartago, pusat pendidikan penting di Afrika Utara. Di Kartago,
Augustinus mulai menaruh minat pada pencarian kebenaran dan makna hidup melalui
filsafat, meskipun ia juga bergumul dengan kehidupan moral yang tidak stabil.²
Dalam masa mudanya, Augustinus sempat tertarik pada ajaran
Manikheisme, sebuah sekte dualistik Persia yang mengajarkan
pertarungan abadi antara terang dan gelap. Ia mengikuti ajaran ini selama
hampir satu dekade sebelum akhirnya meninggalkannya karena merasa ajaran
tersebut tidak memuaskan akal dan jiwanya.³
Perjalanan
intelektual dan spiritual Augustinus membawanya ke Roma dan kemudian ke Milan,
di mana ia bertemu dengan Ambrosius, Uskup Milan yang
kemudian menjadi mentor spiritualnya. Pertemuan ini sangat menentukan, karena
melalui Ambrosius, Augustinus mulai memahami bagaimana ajaran Kristen dapat
bersinergi dengan filsafat, terutama Platonisme.⁴ Ia juga mulai membaca
karya-karya para filsuf Neoplatonis seperti Plotinus, yang sangat memengaruhi
konsepsinya tentang Tuhan, jiwa, dan kebenaran.⁵
Puncak dari
pencarian spiritualnya terjadi pada tahun 386 M, saat ia mengalami konversi
religius yang mendalam di sebuah taman di Milan. Ia
menggambarkan momen ini dalam Confessiones sebagai pengalaman
yang sangat personal dan emosional, ketika ia mendengar suara anak kecil
berkata, “Tolle lege, tolle lege”
(“Ambillah dan bacalah”), yang kemudian membawanya untuk membuka dan
membaca bagian dari Surat Paulus kepada Jemaat di Roma.⁶ Tahun berikutnya, ia
dibaptis oleh Ambrosius pada malam Paskah tahun 387 M. Setelah kembali ke tanah
kelahirannya di Afrika, ia mendirikan komunitas monastik di Hippo dan kemudian
ditahbiskan menjadi imam pada tahun 391 M.⁷
Karier kegerejaannya
berkembang pesat; pada tahun 395 M, Augustinus diangkat menjadi uskup
Hippo Regius, sebuah kota pelabuhan penting di Afrika Utara. Ia
menjabat posisi tersebut hingga wafatnya pada tanggal 28 Agustus 430 M, saat
Hippo dikepung oleh bangsa Vandal. Selama masa kepemimpinannya sebagai uskup,
Augustinus menghasilkan lebih dari 100 karya tulis, termasuk risalah filosofis,
teologis, tafsir Alkitab, dan polemik terhadap berbagai ajaran sesat.⁸
Pemikiran dan
karya-karya Augustinus menjadikan dirinya tidak hanya sebagai salah satu Bapa
Gereja Latin yang paling penting, tetapi juga sebagai filsuf
besar yang jembatani pemikiran klasik dengan dunia Kristen Abad
Pertengahan. Kepribadiannya yang reflektif dan gaya penulisannya yang intensif
dalam Confessiones
menjadikan dirinya tokoh yang sangat berpengaruh, baik dalam tradisi Katolik
maupun Protestan.⁹
Footnotes
[1]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 15–17.
[2]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 4–6.
[3]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies
(Philadelphia: Westminster Press, 1963), 34–37.
[4]
James J. O'Donnell, Augustine: A New Biography (New York:
HarperCollins, 2005), 113–115.
[5]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 45–48.
[6]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book VIII, §§12–29.
[7]
Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers,
2005), 8–10.
[8]
Robert Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 188–190.
[9]
Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the
Development of Doctrine, Volume 1: The Emergence of the Catholic Tradition
(100–600) (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 291.
3.
Konteks Historis dan Intelektual
Pemikiran Augustinus
tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berkembang dalam lanskap sejarah dan
intelektual yang kompleks pada akhir zaman kuno, ketika Kekaisaran
Romawi berada di ambang keruntuhan dan dunia Kristen sedang
mencari bentuk identitas teologisnya. Augustinus hidup pada masa transisi
besar, yang ditandai oleh ketegangan antara warisan klasik dunia Romawi dan
munculnya tatanan baru yang dipengaruhi oleh agama Kristen.¹
Peristiwa-peristiwa besar seperti serbuan bangsa barbar, ketidakstabilan
politik, dan krisis budaya di Barat menciptakan kondisi kegelisahan
eksistensial yang mendorong munculnya refleksi filosofis dan teologis yang
mendalam.
Secara politik dan
sosial, abad ke-4 dan ke-5 Masehi ditandai oleh melemahnya struktur Kekaisaran
Romawi, terutama di bagian Barat. Penjarahan kota Roma oleh bangsa Visigoth
pada tahun 410 M mengguncang fondasi simbolik kekaisaran yang dianggap abadi.²
Banyak orang Romawi kala itu mengaitkan bencana ini dengan pertumbuhan agama
Kristen yang dianggap telah melemahkan kekuatan tradisional Romawi. Sebagai
respons atas tuduhan ini, Augustinus menulis karya monumentalnya De
Civitate Dei (Kota Tuhan), yang menjadi refleksi
mendalam tentang sejarah manusia, keterbatasan kekuasaan duniawi, dan supremasi
kehendak ilahi.³ Dalam karya ini, Augustinus mengembangkan dikotomi antara Civitas
Dei (Kota Tuhan) dan Civitas Terrena (Kota Dunia),
sebagai kerangka untuk memahami dinamika sejarah dari perspektif iman.
Dari sisi
intelektual, Augustinus merupakan penerus warisan filsafat
Yunani, khususnya Platonisme dan bentuk
lanjutannya dalam Neoplatonisme, terutama
pemikiran Plotinus.⁴ Ia menyerap gagasan-gagasan metafisik tentang realitas dan
jiwa dari tradisi ini, namun mengkristenisasinya melalui sintesis dengan
doktrin iman. Misalnya, konsep the One dari Plotinus diadaptasi
oleh Augustinus sebagai Tuhan yang transenden, sumber dari segala yang ada,
namun juga personal dan penuh kasih.⁵ Meski sangat terinspirasi oleh
Neoplatonisme, Augustinus mengkritik kecenderungan impersonal dalam metafisika
Yunani dan menekankan relasi personal antara Tuhan dan manusia melalui rahmat
dan kasih.
Pengaruh Alkitab,
khususnya tulisan-tulisan Rasul Paulus, juga sangat dominan dalam membentuk
kerangka pemikiran Augustinus, terutama dalam isu-isu seperti dosa asal,
rahmat, dan kehendak bebas.⁶ Selain itu, Augustinus juga terlibat aktif dalam perdebatan
teologis dengan berbagai kelompok seperti Manikheisme, Donatisme,
dan Pelagianisme. Melalui polemik ini, ia merumuskan banyak aspek penting dari
doktrin Kristen, seperti konsep gereja sejati, pentingnya rahmat, dan
keterbatasan kehendak manusia.⁷
Dengan demikian,
pemikiran Augustinus mencerminkan upaya sintesis besar antara warisan klasik
dan wahyu Kristen, antara filsafat rasional dan teologi iman. Dalam proses ini,
ia menciptakan paradigma baru yang sangat berpengaruh bagi filsafat
dan teologi Abad Pertengahan, serta menjadi pondasi bagi
tradisi intelektual Barat selama lebih dari satu milenium.⁸
Footnotes
[1]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 152–154.
[2]
James J. O'Donnell, Augustine: A New Biography (New York:
HarperCollins, 2005), 263–264.
[3]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book I, Preface.
[4]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 45–49.
[5]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 85–90.
[6]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book VII, §§21–24.
[7]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies
(Philadelphia: Westminster Press, 1963), 106–109.
[8]
Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the
Development of Doctrine, Volume 1: The Emergence of the Catholic Tradition
(100–600) (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 297–299.
4.
Pokok-Pokok Pemikiran Augustinus
Pemikiran filsafat
dan teologi Augustinus merupakan sintesis unik antara warisan klasik (terutama
Neoplatonisme) dan doktrin iman Kristen. Ia meletakkan dasar intelektual bagi
banyak diskursus utama dalam filsafat Barat dan teologi Kristen. Pokok-pokok
pemikirannya dapat dijabarkan dalam beberapa tema utama berikut ini:
4.1.
Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Augustinus
mengembangkan teori pengetahuan yang berakar pada pengalaman batin dan
penerangan ilahi (divine illumination). Ia menolak
skeptisisme, seperti yang dikembangkan oleh akademisis Platonik, dengan
menyatakan bahwa kebenaran sejati dapat diketahui karena Allah adalah sumber
segala kebenaran dan manusia diciptakan dengan akal untuk mengenalnya.¹
Menurut Augustinus,
pengetahuan sejati tidak datang hanya dari pengamatan inderawi, melainkan dari
penerangan yang diberikan oleh Tuhan dalam batin manusia. Konsep ini dikenal
sebagai illuminatio,
di mana akal manusia dapat memahami kebenaran karena telah disinari oleh cahaya
ilahi.² Dalam De Magistro, Augustinus menegaskan
bahwa pengajaran manusia hanyalah alat bantu; pengertian sejati adalah hasil
penerangan dari Tuhan yang hadir dalam jiwa manusia.³
4.2.
Ontologi dan Metafisika
Dalam ranah
metafisika, Augustinus memahami Tuhan sebagai Ens Realissimum, wujud yang paling
nyata dan absolut. Tuhan tidak hanya “ada”, tetapi adalah keberadaan itu
sendiri, sumber dari segala sesuatu yang ada.⁴ Semua ciptaan memiliki
keberadaan yang terbatas dan tergantung, sedangkan Tuhan bersifat niscaya,
kekal, dan tidak berubah.
Augustinus juga
mengembangkan pemikiran mendalam tentang waktu dalam Confessiones.
Ia menyatakan bahwa waktu bukanlah entitas objektif yang berdiri sendiri,
melainkan suatu pengalaman jiwa: masa lalu sebagai ingatan, masa kini sebagai
perhatian, dan masa depan sebagai pengharapan.⁵ Waktu adalah bagian dari
ciptaan, sedangkan Tuhan berada “di luar waktu” atau kekal (aeternitas).⁶
4.3.
Etika dan Kehendak Bebas
Etika Augustinus
berakar pada konsep kehendak (voluntas) sebagai pusat tindakan
moral. Dalam menghadapi dilema moral, manusia dituntut untuk memilih
berdasarkan kehendaknya, bukan sekadar rasio.⁷ Namun, setelah kejatuhan manusia
akibat dosa asal, kehendak manusia menjadi lemah dan cenderung pada kejahatan.
Oleh karena itu, manusia membutuhkan rahmat (gratia) Tuhan untuk melakukan
kebaikan dan memperoleh keselamatan.⁸
Konsep ini menjadi
dasar dari perdebatan panjang dengan kaum Pelagian, yang mengklaim bahwa
manusia dapat mencapai keselamatan melalui kehendaknya sendiri tanpa rahmat.
Augustinus menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa hanya melalui rahmat
Allah-lah manusia dapat diselamatkan, tanpa menghilangkan tanggung jawab moral
individu.⁹
4.4.
Teologi tentang Tuhan dan Trinitas
Teologi Augustinus
mencapai puncaknya dalam karyanya De Trinitate, di mana ia
menguraikan pemahaman tentang Allah Tritunggal. Ia menggambarkan relasi antar
Pribadi dalam Trinitas melalui analogi jiwa manusia: memori (Bapa), pengertian
(Putra), dan kehendak atau kasih (Roh Kudus).¹⁰
Augustinus menolak
pandangan Arianisme yang merendahkan martabat Kristus, dan ia memperjuangkan
doktrin bahwa ketiga pribadi dalam Tritunggal adalah setara dalam esensi,
tetapi berbeda dalam relasi.¹¹ Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi
perkembangan teologi Latin Barat, khususnya dalam perdebatan antara Gereja
Barat dan Timur.
4.5.
Filsafat Sejarah dan Politik
Melalui De
Civitate Dei, Augustinus merumuskan teori tentang sejarah universal
yang bergerak dalam kerangka pertarungan spiritual antara dua kota: Civitas
Dei (Kota Tuhan) yang dipimpin oleh kasih kepada Allah, dan Civitas
Terrena (Kota Dunia) yang dipimpin oleh kasih kepada diri.¹²
Sejarah bukan sekadar rentetan kejadian duniawi, tetapi medan pertempuran
antara kehendak ilahi dan ambisi manusia.
Pandangan ini bukan
hanya teologis, tetapi juga filosofis: Augustinus menolak ide bahwa kebesaran
politik atau kekaisaran Romawi adalah bentuk tertinggi dari realitas manusia.
Sebaliknya, hanya dalam komunitas rohani yang berorientasi pada Allah-lah
manusia dapat menemukan makna sejati.¹³
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 51–54.
[2]
Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers,
2005), 41.
[3]
Augustine, De Magistro, in The Teacher, trans. Robert
P. Russell (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1968), §11.
[4]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 93–95.
[5]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book XI, §§14–28.
[6]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 309–312.
[7]
James Wetzel, “Splitting the Difference: Augustine and the Mask of
Ethics,” Harvard Theological Review 90, no. 1 (1997): 107–120.
[8]
Robert Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 160–165.
[9]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies
(Philadelphia: Westminster Press, 1963), 300–304.
[10]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill, O.P., The
Trinity (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), Book IX, §§4–12.
[11]
Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the
Development of Doctrine, Volume 1: The Emergence of the Catholic Tradition
(100–600) (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 226.
[12]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIV, §§1–4.
[13]
R.A. Markus, “Saint Augustine’s Views on the ‘Two Cities’: Political
Philosophy and Theological Doctrine,” Journal of Theological Studies
22, no. 1 (1971): 1–12.
5.
Pengaruh Pemikiran Augustinus
Pemikiran Santo
Augustinus dari Hippo memiliki pengaruh yang luar biasa luas dan mendalam,
tidak hanya dalam dunia teologi Kristen, tetapi juga dalam perkembangan
filsafat Barat secara keseluruhan. Gagasannya membentuk kerangka dasar bagi
tradisi intelektual Eropa selama lebih dari seribu tahun dan menjadi titik
rujukan penting dalam hampir semua perdebatan besar dalam sejarah pemikiran
Kristen.
5.1.
Pengaruh terhadap Filsafat Skolastik dan Abad
Pertengahan
Augustinus merupakan
figur kunci dalam pengembangan filsafat skolastik, yaitu
tradisi pemikiran yang mendominasi abad pertengahan dan berusaha mensintesiskan
iman dengan akal. Para tokoh seperti Boethius, Anselmus
dari Canterbury, dan bahkan Thomas Aquinas, sangat
dipengaruhi oleh struktur konseptual yang diwariskan Augustinus, terutama dalam
hal epistemologi dan teologi Trinitas.¹
Meskipun Thomas
Aquinas banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, namun ia tetap menggunakan banyak
prinsip Augustinian, terutama dalam pandangan mengenai Tuhan sebagai actus
purus dan dalam teologi anugerah.² Dalam konteks ini, Augustinus
dianggap sebagai pilar utama teologi Latin Barat
yang memberikan kontribusi metodologis dan doktrinal dalam penalaran teologis.
5.2.
Pengaruh terhadap Teologi Barat
Dalam tradisi
teologis, terutama di Gereja Katolik Roma,
ajaran-ajaran Augustinus tentang rahmat ilahi, dosa
asal, dan kehendak bebas menjadi dasar
bagi pemikiran teologi Latin. Konsili Orange (529 M), misalnya, secara eksplisit
mengadopsi pandangan Augustinus dalam menolak ajaran Pelagianisme dan
menegaskan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh melalui rahmat Tuhan.³
Augustinus juga
menjadi rujukan sentral dalam teologi Protestan, terutama
dalam ajaran Martin Luther dan John
Calvin. Luther, yang juga merupakan anggota ordo Agustinian,
mengadopsi doktrin tentang kebobrokan manusia dan kebutuhan akan rahmat Tuhan
secara mutlak.⁴ Calvin pun menegaskan kembali konsep predestinasi,
yang dalam bentuk dasarnya telah dirumuskan oleh Augustinus.⁵ Dengan demikian,
pemikiran Augustinus menjembatani dua kutub besar dalam Kekristenan Barat:
Katolik dan Protestan.
5.3.
Pengaruh terhadap Pemikiran Etika dan Psikologi
Konsep Augustinus
tentang kehendak (voluntas)
sebagai pusat moralitas manusia menjadi landasan bagi perkembangan teori etika
Kristen. Berbeda dengan tradisi Stoik atau Aristotelian yang menekankan rasio,
Augustinus menekankan bahwa akar tindakan manusia terletak pada kehendaknya
yang terdalam, dan kehendak ini rusak oleh dosa dan hanya dapat diperbarui oleh
kasih karunia.⁶
Dalam bidang psikologi
religius, Confessiones Augustinus dianggap
sebagai salah satu teks tertua dan paling berpengaruh dalam menggambarkan dunia
batin manusia secara mendalam. Banyak sarjana modern, termasuk psikolog
seperti William James, menilai
Augustinus sebagai pelopor dalam eksplorasi kesadaran dan pengalaman religius
subjektif.⁷
5.4.
Pengaruh terhadap Filsafat Modern dan
Kontemporer
Pemikiran Augustinus
juga memiliki jejak panjang dalam filsafat modern.
René
Descartes, misalnya, mengadopsi metode refleksi diri dalam
pencarian kebenaran yang mengingatkan pada pendekatan Augustinus dalam Confessiones.
Bahkan pernyataan terkenal Descartes cogito, ergo sum sering dikaitkan
secara paralel dengan keyakinan Augustinus: “Si fallor, sum”
(“Jika aku salah, maka aku ada”).⁸
Dalam filsafat
eksistensialis dan fenomenologi, seperti dalam pemikiran Søren
Kierkegaard dan Gabriel Marcel, warisan
Augustinus juga tampak dalam penekanan pada individualitas, kecemasan
eksistensial, dan pencarian makna hidup dalam relasi dengan
Tuhan.⁹
Relevansi Kontemporer
Hingga saat ini,
pemikiran Augustinus tetap menjadi bahan diskusi dalam ranah filsafat
agama, etika teologis, dan teori
politik Kristen. Dalam diskursus postmodern, beberapa pemikir
seperti Charles Taylor dan Alasdair
MacIntyre bahkan mengangkat kembali warisan Augustinus sebagai
alternatif bagi pendekatan sekuler dalam memahami identitas moral dan
masyarakat.¹⁰
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 134–137.
[2]
Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the
Development of Doctrine, Vol. 3: The Growth of Medieval Theology (600–1300)
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 243–245.
[3]
R.A. Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 192–193.
[4]
Heiko A. Oberman, The Dawn of the Reformation: Essays in Late
Medieval and Early Reformation Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 1992),
85–87.
[5]
Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 4th
ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 115–118.
[6]
James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 24–27.
[7]
William James, The Varieties of Religious Experience (New
York: Longmans, Green, and Co., 1902), 56–58.
[8]
Gareth B. Matthews, Thought’s Ego in Augustine and Descartes
(Ithaca: Cornell University Press, 1992), 12–15.
[9]
Robert Crouse, “Augustine and the Mystery of the Self,” Dionysius
4 (1980): 61–75.
[10]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 127–132.
6.
Kritik dan Perdebatan
Meskipun pemikiran
Santo Augustinus memberikan sumbangsih besar bagi tradisi filsafat dan teologi
Kristen, ia tidak luput dari kritik dan kontroversi sepanjang sejarah. Banyak
ide utamanya, seperti konsep dosa asal, predestinasi, dan relasi antara
kehendak bebas dan rahmat, telah menimbulkan perdebatan teologis dan filosofis
yang cukup intens, baik pada zamannya sendiri maupun di masa-masa berikutnya.
Kritik terhadap pemikirannya tidak hanya datang dari luar tradisi Kristen,
tetapi juga dari kalangan dalam Gereja sendiri.
6.1.
Kritik terhadap Konsep Dosa Asal dan
Seksualitas
Salah satu aspek
paling kontroversial dari pemikiran Augustinus adalah doktrinnya mengenai dosa
asal (peccatum originale). Dalam
pandangannya, dosa Adam diwariskan kepada seluruh umat manusia, tidak hanya
dalam bentuk konsekuensi moral, tetapi juga dalam kerusakan kodrati, terutama
pada kehendak dan dorongan seksual.¹ Ia bahkan menyatakan bahwa seksualitas
manusia pasca-kejatuhan tidak lagi berada dalam kendali rasio, melainkan tunduk
pada hasrat yang tidak teratur (concupiscentia).²
Pandangan ini
dikritik oleh banyak pemikir modern yang menilai bahwa konsep dosa yang
diwariskan secara biologis atau moral dapat melemahkan tanggung jawab
individual dan menyulitkan pemahaman tentang keadilan ilahi.³ Beberapa teolog,
termasuk dalam tradisi Ortodoks Timur, menolak gagasan Augustinus tentang dosa
asal sebagai warisan personal, dan lebih menekankan kondisi mortalitas daripada
kesalahan moral bawaan.⁴
6.2.
Kontroversi tentang Predestinasi dan Kehendak
Bebas
Augustinus juga
mengembangkan teori predestinasi sebagai respons
terhadap ajaran Pelagianisme, yang menekankan
kebebasan kehendak manusia untuk melakukan kebaikan tanpa bantuan rahmat. Dalam
polemiknya melawan Pelagius, Augustinus menegaskan bahwa hanya rahmat ilahi
yang dapat menyelamatkan manusia dan bahwa Tuhan telah menentukan sejak
kekekalan siapa yang akan diselamatkan (predestinatio sanctorum).⁵
Pandangan ini memicu
perdebatan panjang, bahkan hingga era Reformasi, dan memunculkan pertanyaan
serius tentang keadilan dan kasih Tuhan, serta
peran kehendak manusia dalam keselamatan. Beberapa teolog menuduh bahwa
Augustinus terlalu menekankan kedaulatan Tuhan hingga mengorbankan kebebasan
manusia.⁶ Meskipun Konsili Orange (529 M) mengadopsi sebagian besar ajaran
Augustinus, namun doktrin predestinasi ganda (bahwa
sebagian ditentukan untuk selamat dan sebagian untuk binasa) tidak diadopsi
secara eksplisit.⁷
6.3.
Kritik terhadap Pandangan Gereja dan Politik
Dalam De
Civitate Dei, Augustinus mengembangkan pandangan dualistik antara
Kota Tuhan dan Kota Dunia. Meski secara teologis mendalam, pendekatan ini juga
dikritik karena dianggap terlalu pesimistis terhadap politik dan budaya duniawi.
Ia dianggap memberikan justifikasi terhadap ketundukan pada otoritas negara,
selama negara tidak secara langsung menentang Tuhan, sehingga membuka
kemungkinan lahirnya bentuk politik sakral dalam
Kekristenan Barat.⁸
Beberapa filsuf
politik modern, seperti John Milbank dan Oliver
O'Donovan, mengkritik Augustinus karena kontribusinya terhadap
model relasi gereja-negara yang hierarkis dan kadang represif, terutama dalam
sejarah Kristen Eropa.⁹ Kritik ini memperkuat argumen bahwa diperlukan
pembacaan ulang terhadap De Civitate Dei dengan pendekatan
yang lebih kontekstual dan inklusif.
6.4.
Debat Modern terhadap Psikologi Augustinian
Augustinus dianggap
sebagai pelopor dalam eksplorasi batin manusia, tetapi dalam konteks psikologi
modern, beberapa penafsir menganggap pendekatan Augustinus
terlalu intraspektif dan negatif
terhadap diri manusia.¹⁰ Gagasannya tentang kehendak yang cenderung pada
kejahatan pasca-kejatuhan, serta pandangan suram terhadap kondisi eksistensial
manusia, dipandang oleh sebagian pemikir humanis sebagai terlalu pesimis dan
mengabaikan potensi kebaikan dalam diri manusia.¹¹
Di sisi lain, para
sarjana seperti James Wetzel dan Robert
Dodaro justru melihat kekuatan pemikiran Augustinus dalam
menggambarkan realitas batin manusia secara jujur dan spiritual, sehingga tetap
relevan dalam dunia modern yang sarat dengan krisis identitas dan eksistensi.¹²
Footnotes
[1]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book VII, §21.
[2]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 110–113.
[3]
Elaine Pagels, Adam, Eve, and the Serpent (New York: Vintage
Books, 1988), 103–105.
[4]
John Meyendorff, Byzantine Theology: Historical Trends and Doctrinal
Themes (New York: Fordham University Press, 1983), 144–145.
[5]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo: Life and Controversies
(Philadelphia: Westminster Press, 1963), 329–335.
[6]
Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th
ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 352–354.
[7]
R.A. Markus, The End of Ancient Christianity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 196–198.
[8]
Robert A. Markus, “Political Theology and the City of God,” Journal
of Theological Studies 33, no. 1 (1982): 2–15.
[9]
John Milbank, Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason
(Oxford: Blackwell Publishing, 1990), 382–386.
[10]
William James, The Varieties of Religious Experience (New
York: Longmans, Green, and Co., 1902), 77–78.
[11]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 129–130.
[12]
James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 58–60.
7.
Kesimpulan
Santo Augustinus
dari Hippo merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah
intelektual Barat. Pemikirannya berdiri di persimpangan antara dunia klasik
Greko-Romawi dan bangkitnya peradaban Kristen abad pertengahan. Dengan
mengintegrasikan warisan filsafat Plato dan Neoplatonisme ke dalam kerangka
teologis Kristen, Augustinus berhasil menciptakan suatu sistem pemikiran yang
menyentuh ranah metafisika, etika, epistemologi, dan teologi dengan kekayaan
reflektif yang mendalam.¹
Melalui karya-karya
utamanya seperti Confessiones, De
Civitate Dei, dan De Trinitate, Augustinus tidak
hanya mengekspresikan spiritualitas pribadi yang kuat, tetapi juga membangun
dasar-dasar filsafat dan teologi yang akan membentuk pemikiran Barat selama
berabad-abad.² Ia menegaskan pentingnya penerangan ilahi dalam proses pengetahuan,
menempatkan kehendak sebagai pusat kehidupan etis, serta merumuskan hubungan
antara rahmat dan kehendak bebas dalam keselamatan manusia.³ Kontribusinya
dalam memahami sejarah sebagai arena pertarungan spiritual antara Civitas
Dei dan Civitas Terrena menunjukkan
orisinalitas pemikirannya dalam mengaitkan iman dengan dinamika historis.⁴
Meskipun tidak bebas
dari kritik—seperti dalam hal konsep dosa asal, predestinasi, dan sikap
terhadap dunia politik—pemikiran Augustinus tetap menunjukkan daya tahan filosofis
dan spiritual yang luar biasa. Beberapa kritik bahkan memperkaya pemahaman
kontemporer tentang manusia dan Tuhan, karena memperlihatkan kompleksitas
realitas eksistensial yang ia gumuli.⁵
Warisan Augustinus
tidak hanya membentuk teologi Katolik, tetapi juga menjadi inspirasi utama bagi
Reformasi Protestan dan bahkan pemikiran filsafat modern. Pengaruhnya dapat
dirasakan dalam karya para teolog seperti Anselmus dan Aquinas, para reformator
seperti Luther dan Calvin, serta para filsuf modern seperti Descartes dan
Kierkegaard.⁶ Dalam konteks kontemporer, pemikir seperti Charles Taylor dan
Alasdair MacIntyre mengangkat kembali relevansi pemikiran Augustinus dalam
menjawab krisis identitas moral dan spiritual zaman modern.⁷
Dengan demikian,
pemikiran Augustinus bukan hanya milik masa lalu, tetapi tetap hidup sebagai fondasi
intelektual dan sumber refleksi mendalam
tentang hakikat manusia, Tuhan, dan dunia. Ia tidak hanya berbicara kepada
generasinya, tetapi juga kepada umat manusia sepanjang zaman yang mencari
kebenaran, makna, dan pengharapan di tengah dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 7–9.
[2]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, new ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 422–426.
[3]
Gareth B. Matthews, Augustine (Oxford: Blackwell Publishers,
2005), 55–58.
[4]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX, §§17–28.
[5]
James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 74–77.
[6]
Alister E. McGrath, Historical Theology: An Introduction to the
History of Christian Thought, 2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012),
96–98.
[7]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 129–132.
Daftar Pustaka
Augustine. (1991). Confessions
(H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca.
397–400)
Augustine. (2003). The
city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Books. (Original work
published ca. 413–426)
Augustine. (1991). The
Trinity (E. Hill, Trans.). New City Press. (Original work published ca.
400–416)
Augustine. (1968). The
teacher (De Magistro) (R. P. Russell, Trans.). Catholic University of
America Press.
Bonner, G. (1963). St.
Augustine of Hippo: Life and controversies. Westminster Press.
Brown, P. (2000). Augustine
of Hippo: A biography (New ed.). University of California Press.
Gilson, E. (1960). The
Christian philosophy of St. Augustine. Random House.
James, W. (1902). The
varieties of religious experience: A study in human nature. Longmans,
Green, and Co.
Markus, R. A. (1982).
Political theology and the City of God. Journal of Theological
Studies, 33(1), 2–15. https://doi.org/10.1093/jts/XXXIII.1.2
Markus, R. A. (1990). The
end of ancient Christianity. Cambridge University Press.
Matthews, G. B. (2005). Augustine.
Blackwell Publishers.
Matthews, G. B. (1992). Thought’s
ego in Augustine and Descartes. Cornell University Press.
McGrath, A. E. (2012). Historical
theology: An introduction to the history of Christian thought (2nd ed.).
Wiley-Blackwell.
McGrath, A. E. (2017). Christian
theology: An introduction (6th ed.). Wiley-Blackwell.
Meyendorff, J. (1983). Byzantine
theology: Historical trends and doctrinal themes. Fordham University
Press.
Milbank, J. (1990). Theology
and social theory: Beyond secular reason. Blackwell Publishing.
O'Donnell, J. J. (2005). Augustine:
A new biography. HarperCollins.
Oberman, H. A. (1992). The
dawn of the Reformation: Essays in late medieval and early Reformation thought.
Eerdmans.
Pagels, E. (1988). Adam,
Eve, and the serpent. Vintage Books.
Pelikan, J. (1971). The
Christian tradition: A history of the development of doctrine, Vol. 1: The
emergence of the Catholic tradition (100–600). University of Chicago
Press.
Pelikan, J. (1978). The
Christian tradition: A history of the development of doctrine, Vol. 3: The
growth of medieval theology (600–1300). University of Chicago Press.
Rist, J. M. (1994). Augustine:
Ancient thought baptized. Cambridge University Press.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Wetzel, J. (1992). Augustine
and the limits of virtue. Cambridge University Press.
Wetzel, J. (1997).
Splitting the difference: Augustine and the mask of ethics. Harvard
Theological Review, 90(1), 107–120. https://doi.org/10.1017/S0017816000003069
Crouse, R. (1980).
Augustine and the mystery of the self. Dionysius, 4, 61–75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar