Dimensi Pengetahuan
Fondasi Kognitif dalam Proses Belajar dan Berpikir
Alihkan ke: Kurikulum.
Pengetahuan, Ilmu Kognitif, Pikiran Manusia, Filsafat Kebajikan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep
dimensi pengetahuan sebagai kerangka dasar dalam pembelajaran dan pengembangan
kognitif. Berdasarkan revisi Taksonomi Bloom oleh Anderson dan Krathwohl,
pengetahuan diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama: faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif. Masing-masing dimensi memiliki
karakteristik, fungsi, dan implikasi pedagogis yang berbeda dalam proses
belajar. Artikel ini juga membandingkan klasifikasi tersebut dengan kerangka
lain, seperti model Marzano dan SOLO Taxonomy, untuk menilai keunggulan dan
keterbatasan relatif dari masing-masing pendekatan. Selain itu, artikel ini
membahas kritik terhadap kecenderungan reduksionis, tantangan kontekstual, dan
dinamika baru dalam era pembelajaran digital. Dengan pendekatan analitis dan
reflektif, artikel ini merekomendasikan penggunaan klasifikasi pengetahuan
secara fleksibel, kontekstual, dan terintegrasi untuk memperkuat kualitas
pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan berpikir tingkat tinggi dan
pembelajaran sepanjang hayat.
Kata Kunci: dimensi pengetahuan; Taksonomi Bloom revisi;
pembelajaran kognitif; pengetahuan faktual; pengetahuan konseptual; pengetahuan
prosedural; pengetahuan metakognitif; asesmen otentik; teori belajar; refleksi
pedagogis.
PEMBAHASAN
Menjelajahi Dimensi Pengetahuan
1.
Pendahuluan
Pengetahuan merupakan salah satu komponen utama
dalam proses belajar dan berpikir manusia. Dalam konteks pendidikan,
pengetahuan tidak sekadar dipahami sebagai kumpulan informasi, tetapi sebagai
struktur kognitif yang terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungan,
pengalaman, serta refleksi terhadap proses berpikir itu sendiri. Oleh karena
itu, pemahaman terhadap jenis-jenis pengetahuan menjadi krusial dalam membangun
sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada pengembangan kemampuan
berpikir tingkat tinggi.
Dalam kerangka taksonomi tujuan pendidikan yang
direvisi oleh Anderson dan Krathwohl (2001), pengetahuan diklasifikasikan ke
dalam empat dimensi utama, yaitu: pengetahuan faktual, pengetahuan
konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif.
Masing-masing dimensi ini merepresentasikan jenis pengetahuan yang berbeda,
baik dari segi isi, fungsi, maupun cara penggunaannya dalam proses berpikir dan
pembelajaran. Dimensi-dimensi ini menjadi dasar dalam perencanaan pembelajaran,
pengembangan kurikulum, serta perancangan asesmen yang autentik dan
menyeluruh.¹
Pemahaman yang baik terhadap dimensi pengetahuan
memungkinkan pendidik untuk mengidentifikasi secara tepat apa yang harus
diajarkan, bagaimana menyampaikannya, serta bagaimana mengukurnya. Misalnya,
pengetahuan faktual sangat penting sebagai fondasi awal, sementara pengetahuan
metakognitif membantu peserta didik dalam merefleksikan proses berpikir mereka
dan mengatur strategi belajar secara mandiri.²
Lebih jauh, klasifikasi ini juga sejalan dengan
teori konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibangun secara aktif
oleh pembelajar melalui proses internalisasi dan asimilasi pengalaman baru ke
dalam struktur kognitif yang sudah ada.³ Oleh karena itu, pembelajaran tidak
lagi hanya difokuskan pada penguasaan materi, tetapi juga pada pengembangan
kesadaran belajar, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan memecahkan
masalah.
Artikel ini akan menjelajahi secara sistematis
keempat dimensi pengetahuan tersebut, menguraikan karakteristik masing-masing
dimensi, peran strategisnya dalam proses belajar, serta implikasinya dalam
konteks pendidikan kontemporer. Dengan pendekatan yang berbasis literatur
ilmiah dan praktik pedagogis, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan model pembelajaran yang lebih komprehensif dan
reflektif.
Footnotes
[1]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy
of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 45–46.
[2]
John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R.
Cocking, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School
(Washington, DC: National Academy Press, 2000), 15–17.
[3]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence,
trans. Malcolm Piercy and D.E. Berlyne (London: Routledge & Kegan Paul,
1950), 54–57.
2.
Kerangka
Teoritis tentang Pengetahuan
Untuk memahami
dimensi pengetahuan secara mendalam, diperlukan pemahaman yang kokoh mengenai
kerangka teoritis yang mendasarinya. Teori-teori tentang pengetahuan telah
berkembang pesat, terutama dalam bidang psikologi kognitif dan pendidikan.
Pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai entitas pasif yang diterima begitu
saja, melainkan sebagai hasil dari proses mental yang aktif dan terstruktur.
2.1. Pengetahuan sebagai Konstruksi Kognitif
Teori
konstruktivisme, sebagaimana dikembangkan oleh Jean Piaget, menekankan bahwa
pengetahuan dibangun secara aktif oleh individu melalui proses asimilasi dan
akomodasi terhadap pengalaman baru.¹ Proses ini terjadi dalam interaksi antara
struktur kognitif yang telah ada dan stimulus eksternal yang dihadapi, yang
kemudian mendorong terjadinya adaptasi kognitif. Piaget melihat perkembangan
pengetahuan sebagai hasil dari tahap-tahap perkembangan intelektual yang
berlangsung secara sistematis dan progresif.
Selain itu, Lev
Vygotsky menambahkan aspek sosial-kultural ke dalam konstruksi pengetahuan
melalui teorinya tentang zone of proximal development (ZPD),
yang menunjukkan bahwa pembelajaran paling efektif terjadi ketika seorang
individu dibimbing untuk menyelesaikan tugas yang berada sedikit di atas
kemampuannya sendiri.² Perspektif ini menggarisbawahi bahwa pengetahuan tidak
hanya dibangun secara individual, tetapi juga merupakan hasil dari interaksi
sosial dan mediasi kultural.
2.2. Taksonomi Bloom Revisi: Dimensi Pengetahuan dan
Proses Kognitif
Salah satu kerangka
yang paling berpengaruh dalam mengklasifikasikan pengetahuan adalah Taksonomi
Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl. Revisi ini
mengklasifikasikan hasil belajar ke dalam dua dimensi utama: dimensi
pengetahuan (factual, conceptual, procedural, dan
metacognitive) dan dimensi proses kognitif
(mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta).³
Model ini menawarkan pendekatan dua dimensi yang memungkinkan analisis lebih
rinci terhadap apa yang dipelajari dan bagaimana pembelajar mengolah informasi
tersebut.
Keempat dimensi
pengetahuan dalam revisi ini mencerminkan kompleksitas dan kedalaman pemahaman
yang dibutuhkan dalam berbagai konteks pembelajaran. Pendekatan ini sangat
berguna dalam merancang tujuan pembelajaran, strategi pengajaran, dan asesmen
yang selaras dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking
skills/HOTs).⁴
2.3. Pengetahuan dan Proses Berpikir Tingkat Tinggi
Pengetahuan tidak
terpisahkan dari proses berpikir. Dalam perspektif kognitif, pengetahuan
menyediakan kerangka dasar bagi individu untuk mengembangkan keterampilan
berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Bransford dan rekan-rekannya
menekankan bahwa belajar yang efektif bergantung pada keterkaitan antara
pengetahuan awal dan pengetahuan baru, serta pada kemampuan peserta didik untuk
memahami kapan dan bagaimana menerapkan pengetahuan tersebut.⁵
Pengetahuan
metakognitif, dalam hal ini, memainkan peran penting dalam mengontrol dan
mengarahkan proses berpikir. Dengan memahami bagaimana mereka berpikir dan
belajar, peserta didik menjadi lebih sadar diri dalam mengelola strategi
belajar dan memecahkan masalah.⁶ Oleh karena itu, pendekatan pedagogis yang
berfokus pada pengembangan semua dimensi pengetahuan menjadi kunci dalam
menciptakan pembelajaran yang bermakna dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm
Piercy and D. E. Berlyne (London: Routledge & Kegan Paul, 1950), 54–57.
[2]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–91.
[3]
Lorin W. Anderson and David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 43–46.
[4]
Rex Heer, “A Model of Learning Objectives: Based on A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing,” Iowa State University Center for Excellence
in Learning and Teaching, accessed May 21, 2025, https://www.celt.iastate.edu/.
[5]
John D. Bransford, Ann L. Brown, and Rodney R. Cocking, eds., How
People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Washington, DC:
National Academy Press, 2000), 15–20.
[6]
Gregory Schraw and David Moshman, “Metacognitive Theories,” Educational
Psychology Review 7, no. 4 (1995): 351–371.
3.
Dimensi
Pengetahuan: Kategori dan Karakteristik
Dimensi pengetahuan,
sebagaimana dikemukakan dalam revisi Taksonomi Bloom oleh Anderson dan
Krathwohl, merupakan klasifikasi yang menjelaskan apa yang
diketahui oleh peserta didik.¹ Dalam pendekatan dua dimensi
(pengetahuan dan proses kognitif), dimensi pengetahuan menjadi fondasi yang
mendasari pengembangan kemampuan berpikir pada berbagai tingkat. Keempat
kategori utama—pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif—menggambarkan kedalaman dan kompleksitas struktur pengetahuan yang
perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran.
3.1. Pengetahuan Faktual
Pengetahuan faktual
mengacu pada informasi dasar dan elemen-elemen spesifik yang harus diketahui
untuk memahami suatu disiplin ilmu atau menyelesaikan tugas tertentu.² Jenis
pengetahuan ini mencakup terminologi (istilah teknis atau akademik) dan
detail-detail spesifik seperti fakta, tanggal, atau elemen-elemen penting
lainnya.
Misalnya, dalam
bidang sejarah, mengetahui tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945)
termasuk dalam pengetahuan faktual. Begitu pula dalam sains, menghafal simbol
unsur kimia atau rumus dasar tergolong sebagai pengetahuan faktual. Pengetahuan
ini penting sebagai pondasi awal bagi pemahaman
konseptual dan pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.³
3.2. Pengetahuan Konseptual
Pengetahuan konseptual
mencakup pemahaman terhadap sistem klasifikasi, prinsip, teori, model, dan
struktur relasional antar konsep.⁴ Ini adalah jenis pengetahuan yang lebih
kompleks karena melibatkan pengorganisasian informasi ke dalam pola atau
kerangka yang lebih besar.
Sebagai contoh,
pemahaman tentang sistem demokrasi tidak cukup hanya mengetahui definisinya
(pengetahuan faktual), tetapi juga mencakup bagaimana prinsip kedaulatan
rakyat, pemisahan kekuasaan, dan peran lembaga legislatif saling berinteraksi.⁵
Pengetahuan konseptual berperan penting dalam kemampuan berpikir kritis dan
reflektif karena membantu peserta didik melihat hubungan, pola, dan struktur
dalam informasi yang mereka pelajari.
3.3. Pengetahuan Prosedural
Pengetahuan
prosedural merujuk pada cara melakukan sesuatu,
termasuk pengetahuan tentang metode, teknik, algoritma, dan urutan
langkah-langkah tertentu dalam menyelesaikan tugas.⁶ Ini mencakup tidak hanya
prosedur itu sendiri, tetapi juga kriteria untuk menentukan kapan dan mengapa
prosedur tersebut digunakan.
Contohnya dalam
matematika, penggunaan rumus luas segitiga merupakan bentuk pengetahuan
prosedural, yang mencakup pemahaman langkah-langkah penghitungan serta kapan
rumus itu relevan untuk digunakan. Dalam bidang keterampilan vokasional,
seperti teknik otomotif atau kerajinan tangan, pengetahuan prosedural sangat
dominan dan menjadi dasar bagi keterampilan praktis.⁷
3.4. Pengetahuan Metakognitif
Pengetahuan
metakognitif adalah kesadaran dan pemahaman tentang proses
berpikir sendiri. Ini mencakup pemahaman terhadap strategi
belajar, gaya berpikir pribadi, serta kondisi-kondisi di mana suatu strategi
lebih efektif digunakan.⁸
Menurut Flavell,
pelopor kajian metakognisi, pengetahuan ini terbagi menjadi tiga komponen
utama: (1) pengetahuan tentang diri sebagai pembelajar, (2) pengetahuan tentang
tugas, dan (3) pengetahuan tentang strategi.⁹ Misalnya, seorang siswa yang
menyadari bahwa ia lebih memahami bacaan dengan cara membuat peta konsep
menunjukkan adanya pengetahuan metakognitif. Jenis pengetahuan ini sangat
penting dalam pengembangan kemampuan belajar mandiri (self-regulated
learning) dan refleksi kognitif.
Footnotes
[1]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 45–47.
[2]
Ibid., 46.
[3]
John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R. Cocking, eds., How
People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Washington, DC:
National Academy Press, 2000), 14.
[4]
Anderson dan Krathwohl, A Taxonomy for Learning, 46–47.
[5]
Joseph D. Novak dan D. Bob Gowin, Learning How to Learn
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 34–36.
[6]
Anderson dan Krathwohl, A Taxonomy for Learning, 47.
[7]
Robert M. Gagné, The Conditions of Learning and Theory of
Instruction, 4th ed. (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), 85–86.
[8]
Gregory Schraw dan David Moshman, “Metacognitive Theories,” Educational
Psychology Review 7, no. 4 (1995): 351–371.
[9]
John H. Flavell, “Metacognition and Cognitive Monitoring: A New Area of
Cognitive–Developmental Inquiry,” American Psychologist 34, no. 10
(1979): 906–911.
4.
Implikasi
Dimensi Pengetahuan dalam Pembelajaran
Pemahaman terhadap
dimensi pengetahuan tidak hanya bersifat teoretis, tetapi memiliki dampak
langsung terhadap bagaimana proses pembelajaran dirancang, diterapkan, dan dievaluasi.
Keempat dimensi pengetahuan—faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif—menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan guru dan perancang
kurikulum untuk mengembangkan pembelajaran yang holistik dan berorientasi pada kompetensi abad
ke-21, seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas,
dan pembelajaran mandiri.¹
4.1. Perencanaan Pembelajaran yang Terarah
Dalam perencanaan
pembelajaran, setiap dimensi pengetahuan memerlukan pendekatan instruksional
yang berbeda. Pengetahuan faktual, misalnya, membutuhkan strategi yang membantu
siswa menghafal
dan mengingat informasi penting secara akurat. Strategi seperti
mnemonics,
pengulangan, dan penggunaan flashcard sangat efektif dalam mengembangkan
dimensi ini.²
Sementara itu,
pengetahuan konseptual dapat dikembangkan melalui kegiatan yang menekankan
pemahaman makna dan hubungan antar konsep, seperti concept mapping, diskusi kelompok,
dan studi kasus.³ Guru perlu merancang pembelajaran yang merangsang siswa untuk
menemukan pola, prinsip, dan struktur konseptual dari materi yang dipelajari.
Untuk pengetahuan
prosedural, penggunaan metode pembelajaran berbasis praktik seperti
demonstrasi, problem-based learning (PBL), dan simulation
sangat penting. Strategi ini memungkinkan siswa mempelajari langkah-langkah atau prosedur
secara langsung melalui pengalaman dan latihan berulang.⁴
Pengetahuan
metakognitif, yang berkaitan dengan kesadaran terhadap proses berpikir sendiri,
dapat ditumbuhkan melalui kegiatan reflektif seperti self-assessment,
learning
journals, dan pembelajaran eksplisit tentang strategi berpikir.
Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa menyadari cara mereka
belajar dan berpikir, serta mengevaluasi efektivitas strategi yang mereka
gunakan.⁵
4.2. Asesmen yang Menyeluruh dan Otentik
Implikasi lain dari
pemahaman dimensi pengetahuan adalah perlunya asesmen yang tidak hanya mengukur apa yang
diketahui siswa, tetapi juga bagaimana mereka menggunakannya.
Taksonomi dua dimensi dari Anderson dan Krathwohl memfasilitasi perancangan
asesmen yang mengevaluasi pengetahuan dalam konteks proses kognitif yang
sesuai.⁶
Misalnya, untuk
mengukur pengetahuan faktual, soal pilihan ganda yang menguji recall dapat
digunakan. Namun, untuk pengetahuan konseptual, dibutuhkan soal yang meminta
siswa menjelaskan hubungan antar konsep atau menerapkan konsep dalam situasi
baru. Pengetahuan prosedural dapat dinilai melalui tugas praktik atau
portofolio, sementara pengetahuan metakognitif dapat dievaluasi melalui jurnal
refleksi atau wawancara metakognitif.⁷
Dengan pendekatan
asesmen yang seimbang dan kontekstual, guru dapat memperoleh gambaran
menyeluruh mengenai pemahaman dan kemampuan belajar siswa secara holistik.
4.3. Pembelajaran Diferensiasi dan Pengembangan HOTs
Dimensi pengetahuan
juga mendukung implementasi pembelajaran berdiferensiasi,
di mana guru menyesuaikan strategi, konten, dan produk belajar berdasarkan
profil kognitif dan kebutuhan peserta didik.⁸ Siswa yang belum menguasai
pengetahuan faktual mungkin memerlukan penguatan materi dasar, sementara siswa
dengan penguasaan konseptual tinggi bisa diarahkan pada tugas-tugas yang
mendorong analisis, evaluasi, atau penciptaan pengetahuan baru.
Lebih jauh,
integrasi keempat dimensi pengetahuan sangat penting dalam mengembangkan higher
order thinking skills (HOTs). Berpikir tingkat tinggi bukan
hanya tentang berpikir secara kompleks, tetapi juga tentang menggunakan
berbagai jenis pengetahuan secara fleksibel dan strategis untuk menghadapi
permasalahan nyata.⁹
4.4. Peran Guru sebagai Fasilitator Kognitif
Dalam kerangka ini,
guru tidak lagi menjadi pusat informasi, melainkan fasilitator
kognitif yang mendukung siswa dalam membangun, menggunakan, dan
merefleksikan pengetahuannya. Guru harus mampu mengidentifikasi dimensi
pengetahuan yang dominan dalam suatu materi, merancang aktivitas yang sesuai,
serta memberikan umpan balik yang mendalam terhadap pemahaman siswa.¹⁰ Dengan
demikian, proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan transformatif.
Footnotes
[1]
John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R. Cocking, eds., How
People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Washington, DC:
National Academy Press, 2000), 18–21.
[2]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
12th ed. (Boston: Pearson, 2018), 153.
[3]
Joseph D. Novak and Alberto J. Cañas, “The Theory Underlying Concept
Maps and How to Construct and Use Them,” Institute for Human and Machine
Cognition, accessed May 22, 2025, https://cmap.ihmc.us/docs/theory-of-concept-maps.
[4]
Hmelo-Silver, Cindy E., “Problem-Based Learning: What and How Do
Students Learn?” Educational Psychology Review 16, no. 3 (2004):
235–266.
[5]
Gregory Schraw and David Moshman, “Metacognitive Theories,” Educational
Psychology Review 7, no. 4 (1995): 351–371.
[6]
Lorin W. Anderson and David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives (New York: Longman, 2001), 45–49.
[7]
Susan M. Brookhart, How to Create and Use Rubrics for Formative
Assessment and Grading (Alexandria, VA: ASCD, 2013), 65–67.
[8]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to
the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 28–32.
[9]
Rex Heer, “A Model of Learning Objectives: Based on A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing,” Iowa State University Center for Excellence
in Learning and Teaching, accessed May 22, 2025, https://www.celt.iastate.edu/.
[10]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed.
(Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2018), 122–125.
5.
Perbandingan
dengan Kategori Pengetahuan Lainnya
Meskipun model dimensi
pengetahuan dari Anderson dan Krathwohl (2001) banyak digunakan dalam praktik
pendidikan kontemporer, penting untuk meninjau dan membandingkannya dengan
model klasifikasi pengetahuan lain yang juga berpengaruh, seperti kerangka
kerja yang dikembangkan oleh Marzano dan Kendall, serta pendekatan SOLO
Taxonomy oleh Biggs dan Collis. Dengan melakukan perbandingan ini, kita
memperoleh pemahaman yang lebih luas dan reflektif mengenai cara pandang
terhadap pengetahuan dan pengembangannya dalam konteks belajar.
5.1. Model Pengetahuan oleh Marzano dan Kendall
Robert J. Marzano
dan John S. Kendall mengembangkan kerangka yang dikenal sebagai The New
Taxonomy of Educational Objectives, yang mengklasifikasikan
pengetahuan ke dalam tiga sistem: Self-System, Metacognitive
System, dan Cognitive System, serta empat
jenis pengetahuan: informational, procedural,
mental
models, dan metacognitive.¹
Dalam model ini,
pengetahuan prosedural dan metakognitif memiliki kesamaan dengan klasifikasi
Anderson dan Krathwohl, namun Marzano menekankan bahwa setiap jenis pengetahuan
diaktifkan oleh sistem kognitif yang berbeda.² Sebagai contoh, mental
models dalam kerangka Marzano mencakup pemahaman yang lebih
mendalam tentang bagaimana sesuatu bekerja dalam konteks tertentu, yang dapat
disejajarkan secara fungsional dengan pengetahuan konseptual dalam kerangka
Bloom revisi.
Perbedaan utama
terletak pada dimensi sistemik yang diperkenalkan oleh Marzano—di mana
pengetahuan tidak hanya diklasifikasikan berdasarkan jenisnya, tetapi juga
dilihat dari bagaimana sistem kognitif dan afektif individu memprosesnya.
Pendekatan ini menekankan keterlibatan motivasional dan regulasi diri secara
lebih eksplisit.³
5.2. SOLO Taxonomy oleh Biggs dan Collis
Struktur Taksonomi
SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome) yang dikembangkan oleh John
Biggs dan Kevin Collis memberikan pendekatan alternatif dalam
mengklasifikasikan hasil belajar berdasarkan kompleksitas struktur jawaban siswa,
bukan berdasarkan jenis pengetahuan atau proses kognitif tertentu.⁴
SOLO
mengklasifikasikan hasil belajar ke dalam lima tingkat utama:
1)
Pre-structural
(belum memahami),
2)
Uni-structural
(memahami satu aspek),
3)
Multi-structural (memahami
beberapa aspek secara terpisah),
4)
Relational
(menghubungkan aspek-aspek dalam suatu struktur bermakna),
5)
Extended abstract
(menggeneralisasi dan mentransfer ke konteks baru).⁵
Meskipun taksonomi
ini tidak secara eksplisit membedakan pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural, atau metakognitif, struktur SOLO memungkinkan pendidik melihat kematangan
dan kedalaman struktur kognitif siswa dalam memahami
pengetahuan yang diberikan. Dalam konteks ini, dimensi pengetahuan dalam
Taksonomi Bloom Revisi dapat dipandang sebagai isi atau materi,
sementara taksonomi SOLO menggambarkan struktur organisasi pengetahuan
dalam benak peserta didik.
5.3. Kelebihan dan Keterbatasan Relatif
Setiap kerangka
memiliki keunggulan dan batasan tersendiri. Taksonomi Anderson dan Krathwohl
menawarkan sistem klasifikasi yang jelas antara jenis pengetahuan dan proses kognitif,
sangat berguna dalam perencanaan pembelajaran dan asesmen. Namun, ia cenderung
linear dan kurang menangkap aspek motivasi, emosi, dan dinamika belajar aktual
di kelas.⁶
Sebaliknya, model
Marzano lebih memperhatikan aspek regulasi diri dan motivasi belajar, meskipun
pembagian jenis pengetahuannya cenderung lebih abstrak dan membutuhkan
pemahaman mendalam dari guru. SOLO Taxonomy unggul dalam menilai kualitas
struktur pemahaman siswa, namun tidak memberikan panduan
eksplisit untuk perencanaan isi pembelajaran.
Dengan demikian,
pendekatan yang integratif dan kontekstual
menjadi pilihan bijak. Penggunaan kerangka Anderson-Krathwohl dapat
dikombinasikan dengan perspektif Marzano dan SOLO untuk merancang pembelajaran
dan asesmen yang tidak hanya menekankan pada isi dan proses, tetapi juga pada makna,
motivasi, dan struktur pemahaman siswa secara menyeluruh.
Footnotes
[1]
Robert J. Marzano dan John S. Kendall, The New Taxonomy of
Educational Objectives (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2007), 14–18.
[2]
Ibid., 35–38.
[3]
Ibid., 75–78.
[4]
John B. Biggs dan Kevin F. Collis, Evaluating the Quality of
Learning: The SOLO Taxonomy (New York: Academic Press, 1982), 21–25.
[5]
Ibid., 24–27.
[6]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 45–47.
6.
Kritik
dan Tantangan dalam Klasifikasi Pengetahuan
Meskipun model
klasifikasi pengetahuan yang dikembangkan oleh Anderson dan Krathwohl telah
diadopsi secara luas dalam dunia pendidikan, model ini tidak luput dari kritik
dan tantangan yang bersifat teoritis maupun praktis. Pemahaman kritis terhadap
keterbatasan model ini penting agar penggunaannya dalam perencanaan
pembelajaran dan asesmen tidak bersifat mekanis, melainkan tetap kontekstual
dan reflektif.
6.1. Batasan Konseptual: Reduksi Kompleksitas Kognitif
Salah satu kritik
utama terhadap klasifikasi pengetahuan dalam revisi Taksonomi Bloom adalah
kecenderungannya untuk menyederhanakan kompleksitas proses kognitif dan
epistemologis menjadi empat kategori utama: faktual, konseptual, prosedural,
dan metakognitif.¹ Kritik ini menyatakan bahwa dalam praktik nyata, jenis-jenis
pengetahuan sering kali tidak terpisah secara jelas, tetapi saling
tumpang tindih dan saling mendukung.² Sebagai contoh, memahami
sebuah prosedur (pengetahuan prosedural) sering kali memerlukan pemahaman yang
kuat terhadap konsep-konsep yang mendasarinya (pengetahuan konseptual).
Selain itu,
pembagian dimensi ini tidak secara eksplisit mengakomodasi pengetahuan
nilai (value-based knowledge), yang sering kali menjadi inti
dalam pembelajaran moral, etika, dan humaniora.³ Model ini juga kurang
memberikan ruang bagi bentuk-bentuk pengetahuan yang bersifat intuitif,
estetis, atau transformatif, yang banyak dijumpai dalam pendidikan seni dan
filsafat.
6.2. Konteks Budaya dan Situasional
Model klasifikasi
pengetahuan ini lahir dari tradisi pendidikan Barat dan kerap kali
mengasumsikan bahwa struktur kognitif bersifat universal. Padahal, dalam banyak
konteks budaya, cara individu membangun, memaknai, dan menggunakan pengetahuan
bisa sangat berbeda.⁴ Dalam pendidikan multikultural, pengetahuan tidak selalu
dikategorikan secara hierarkis atau sistematis, melainkan dibentuk melalui
narasi, pengalaman kolektif, atau praktik spiritual.
Tantangan ini
menuntut para pendidik untuk menggunakan klasifikasi pengetahuan secara fleksibel
dan sensitif terhadap konteks lokal, terutama dalam pendidikan
berbasis nilai-nilai komunitas dan budaya.
6.3. Implikasi Praktis: Penerapan yang Kaku dan Mekanis
Dalam praktik di
lapangan, klasifikasi pengetahuan sering kali diterapkan secara mekanis dalam
silabus atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Alih-alih digunakan
sebagai kerangka berpikir pedagogis, ia menjadi template administratif yang
hanya dipenuhi secara formal.⁵ Hal ini dapat menyebabkan pendekatan pengajaran
yang bersifat parsial, di mana dimensi pengetahuan hanya disebutkan, tetapi
tidak benar-benar ditekankan dalam strategi instruksional.
Lebih jauh, karena
kerangka ini bersifat kategoris, guru terkadang kesulitan merancang asesmen
yang secara otentik mencerminkan integrasi antar dimensi pengetahuan. Misalnya,
asesmen yang dirancang hanya untuk mengukur hafalan fakta sering kali
mengabaikan pemahaman konsep dan refleksi metakognitif.
6.4. Dinamika Pengetahuan dalam Era Digital
Dalam konteks abad
ke-21, di mana informasi berubah dengan cepat dan teknologi berperan besar
dalam kehidupan belajar, pendekatan klasifikasi pengetahuan juga menghadapi
tantangan besar. Pengetahuan hari ini tidak hanya dikonstruksi di ruang kelas,
tetapi juga melalui platform digital, kolaborasi daring, dan kecerdasan
buatan.⁶
Kondisi ini menuntut
model klasifikasi yang lebih adaptif dan terbuka terhadap
bentuk-bentuk pengetahuan baru, termasuk networked
knowledge, distributed cognition, dan digital
literacy. Model Anderson-Krathwohl, meskipun masih relevan,
membutuhkan perluasan agar mampu menampung kompleksitas pembelajaran dalam
dunia yang terdigitalisasi.
6.5. Arah Perbaikan dan Pengembangan
Menanggapi kritik
tersebut, sejumlah ahli menyarankan agar model klasifikasi pengetahuan tidak
dipandang sebagai kerangka tertutup, melainkan sebagai alat
reflektif yang terbuka terhadap penyesuaian dan pengembangan.⁷
Pendekatan integratif dan lintas-model, seperti menggabungkan klasifikasi
pengetahuan dengan taksonomi SOLO atau kerangka Marzano, dapat memperkaya
pemahaman guru terhadap dinamika pengetahuan dan cara menumbuhkannya secara
efektif.
Dengan demikian,
tantangan-tantangan tersebut bukan alasan untuk meninggalkan model ini,
melainkan dorongan untuk terus mengembangkan dan mengadaptasikannya dalam
praktik pendidikan yang kontekstual dan relevan.
Footnotes
[1]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 45–47.
[2]
D.C. Berliner, “Educational Research: The Hardest Science of All,” Educational
Researcher 31, no. 8 (2002): 18–20.
[3]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2012), 91–94.
[4]
Fazal Rizvi, “Globalization and the New Imaginaries of Public
Education,” Globalization, Societies and Education 4, no. 2 (2006):
183–202.
[5]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed.
(Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2018), 123–125.
[6]
John Seely Brown and Paul Duguid, The Social Life of Information
(Boston: Harvard Business Review Press, 2002), 153–157.
[7]
Susan M. Brookhart, How to Assess Higher-Order Thinking Skills in
Your Classroom (Alexandria, VA: ASCD, 2010), 6–9.
7.
Kesimpulan
Pemahaman yang mendalam terhadap dimensi
pengetahuan merupakan fondasi penting dalam membentuk sistem pembelajaran yang
adaptif, reflektif, dan transformatif. Keempat dimensi utama dalam kerangka
Anderson dan Krathwohl—pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif—tidak hanya mencerminkan jenis-jenis informasi yang perlu dikuasai
peserta didik, tetapi juga menunjukkan bagaimana pengetahuan tersebut diproses,
diterapkan, dan diinternalisasi dalam praktik belajar sehari-hari.¹
Melalui pendekatan yang sistematis terhadap
klasifikasi pengetahuan, guru dan perancang kurikulum dapat lebih tepat dalam
menyusun tujuan pembelajaran, memilih metode instruksional yang relevan, serta
merancang asesmen yang mencerminkan pemahaman holistik.² Pengetahuan faktual
menjadi dasar untuk membangun struktur pemahaman, pengetahuan konseptual
memungkinkan terjadinya integrasi dan analisis, pengetahuan prosedural
memfasilitasi aplikasi dalam konteks nyata, sementara pengetahuan metakognitif
mengembangkan kemampuan reflektif dan regulasi diri dalam belajar.³
Namun demikian, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, kerangka klasifikasi ini tidak bebas dari keterbatasan. Kritik
terhadap reduksionisme, konteks budaya, dan tantangan praktis dalam penerapan menggarisbawahi
perlunya pendekatan yang fleksibel dan kontekstual dalam menggunakan
model ini.⁴ Tidak ada satu model pun yang sepenuhnya mampu menangkap
kompleksitas pembelajaran manusia yang bersifat dinamis dan multidimensional.
Oleh karena itu, guru dan pendidik perlu memosisikan klasifikasi pengetahuan
ini sebagai alat bantu pedagogis, bukan sebagai kerangka yang kaku dan
final.
Dalam konteks pembelajaran abad ke-21 yang ditandai
oleh kompleksitas informasi dan teknologi digital, pendekatan terhadap pengetahuan
perlu terus diperbarui.⁵ Klasifikasi pengetahuan tetap relevan jika disertai
dengan inovasi pedagogis, kesadaran kontekstual, dan integrasi nilai-nilai
reflektif dalam pembelajaran. Pendidikan yang efektif tidak hanya bertumpu pada
transfer pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan kompetensi berpikir
kritis, belajar sepanjang hayat, dan kesiapan menghadapi tantangan dunia nyata.⁶
Akhirnya, eksplorasi terhadap dimensi pengetahuan
ini mengingatkan kita bahwa belajar bukan hanya proses mengisi memori, tetapi
merupakan aktivitas membangun makna, membentuk hubungan, dan menciptakan
pemahaman yang bermakna dalam kehidupan peserta didik.
Footnotes
[1]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy
of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 45–49.
[2]
John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R.
Cocking, eds., How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School
(Washington, DC: National Academy Press, 2000), 19–21.
[3]
Gregory Schraw dan David Moshman, “Metacognitive
Theories,” Educational Psychology Review 7, no. 4 (1995): 351–371.
[4]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd
ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2012), 93–95.
[5]
John Seely Brown dan Paul Duguid, The Social
Life of Information (Boston: Harvard Business Review Press, 2002), 153–157.
[6]
Tony Wagner, The Global Achievement Gap: Why
Even Our Best Schools Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need—and
What We Can Do About It (New York: Basic Books, 2008), 52–56.
Daftar Pustaka
Anderson, L. W., &
Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and
assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New
York, NY: Longman.
Berliner, D. C. (2002).
Educational research: The hardest science of all. Educational Researcher,
31(8), 18–20. https://doi.org/10.3102/0013189X031008018
Biggs, J. B., & Collis,
K. F. (1982). Evaluating the quality of learning: The SOLO taxonomy
(Structure of the Observed Learning Outcome). New York, NY: Academic
Press.
Bransford, J. D., Brown, A.
L., & Cocking, R. R. (Eds.). (2000). How people learn: Brain, mind,
experience, and school. Washington, DC: National Academy Press.
Brookhart, S. M. (2010). How
to assess higher-order thinking skills in your classroom. Alexandria, VA:
ASCD.
Brookhart, S. M. (2013). How
to create and use rubrics for formative assessment and grading.
Alexandria, VA: ASCD.
Brown, J. S., & Duguid,
P. (2002). The social life of information (2nd ed.). Boston, MA:
Harvard Business Review Press.
Flavell, J. H. (1979).
Metacognition and cognitive monitoring: A new area of cognitive–developmental
inquiry. American Psychologist, 34(10), 906–911. https://doi.org/10.1037/0003-066X.34.10.906
Gagné, R. M. (1985). The
conditions of learning and theory of instruction (4th ed.). New York, NY:
Holt, Rinehart and Winston.
Hmelo-Silver, C. E. (2004).
Problem-based learning: What and how do students learn? Educational
Psychology Review, 16(3), 235–266. https://doi.org/10.1023/B:EDPR.0000034022.16470.f3
Marzano, R. J., & Kendall,
J. S. (2007). The new taxonomy of educational objectives (2nd ed.).
Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Noddings, N. (2012). Philosophy
of education (3rd ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Novak, J. D., & Cañas,
A. J. (n.d.). The theory underlying concept maps and how to construct and use
them. Institute for Human and Machine Cognition. Retrieved May 22,
2025, from https://cmap.ihmc.us/docs/theory-of-concept-maps
Novak, J. D., & Gowin,
D. B. (1984). Learning how to learn. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Rizvi, F. (2006).
Globalization and the new imaginaries of public education. Globalization,
Societies and Education, 4(2), 183–202. https://doi.org/10.1080/14767720600752937
Schraw, G., & Moshman,
D. (1995). Metacognitive theories. Educational Psychology Review, 7(4),
351–371. https://doi.org/10.1007/BF02212307
Slavin, R. E. (2018). Educational
psychology: Theory and practice (12th ed.). Boston, MA: Pearson.
Tomlinson, C. A. (2014). The
differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd
ed.). Alexandria, VA: ASCD.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V.
John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Wagner, T. (2008). The
global achievement gap: Why even our best schools don't teach the new survival
skills our children need—and what we can do about it. New York, NY: Basic
Books.
Wiliam, D. (2018). Embedded
formative assessment (2nd ed.). Bloomington, IN: Solution Tree Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar