Kamis, 26 Desember 2024

Dualisme Cartesian: Pemisahan antara Pikiran (Res Cogitans) dan Materi (Res Extensa)

 Dualisme Cartesian

Pemisahan antara Pikiran (Res Cogitans) dan Materi (Res Extensa)


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep dualisme Cartesian yang diperkenalkan oleh René Descartes, khususnya mengenai pemisahan antara pikiran (res cogitans) dan materi (res extensa). Dualisme Cartesian dianggap sebagai fondasi penting dalam filsafat modern yang memberikan wawasan mendalam tentang hubungan antara kesadaran dan dunia material. Artikel ini menguraikan konsep dasar dualisme Cartesian, termasuk metode keraguan, argumen keberadaan Tuhan, serta ontologi pikiran dan tubuh. Selain itu, artikel ini membahas kritik dan tantangan terhadap dualisme, baik dari perspektif filosofis, seperti masalah interaksi pikiran-tubuh dan kritik empiris, maupun ilmiah melalui penemuan dalam ilmu saraf dan materialisme.

Melalui kajian ini, relevansi dualisme Cartesian dalam filsafat kontemporer, psikologi, dan teknologi modern, termasuk kecerdasan buatan (AI), juga dieksplorasi secara mendalam. Sintesis dan refleksi kritis menunjukkan bahwa meskipun dualisme ini menghadapi banyak kritik, ia tetap menjadi landasan penting dalam diskusi tentang kesadaran, etika, dan spiritualitas. Artikel ini menutup dengan saran untuk kajian lintas disiplin guna menjembatani kesenjangan dalam memahami hubungan antara pikiran dan tubuh, sekaligus menawarkan perspektif baru yang lebih kontekstual di era modern.

Kata Kunci: Dualisme Cartesian, René Descartes, res cogitans, res extensa, filsafat modern, kesadaran, ilmu saraf, kecerdasan buatan.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

René Descartes (1596–1650) dikenal sebagai "Bapak Filsafat Modern." Pemikiran revolusionernya melahirkan paradigma baru dalam filsafat dan sains. Salah satu kontribusi utamanya adalah konsep dualisme Cartesian, yang membedakan secara mendasar antara pikiran (res cogitans) dan materi (res extensa). Gagasan ini pertama kali diperkenalkan dalam karyanya Meditations on First Philosophy, di mana ia berupaya membangun fondasi filsafat yang kokoh melalui metode keraguan radikal.¹

Dualisme Cartesian menjadi titik awal pembahasan tentang hubungan antara kesadaran dan tubuh, yang hingga kini masih menjadi perdebatan dalam filsafat, psikologi, dan ilmu saraf.² Dalam konteks sejarah, gagasan ini muncul pada masa transisi dari pemikiran skolastik ke pendekatan ilmiah modern, yang ditandai dengan upaya mendamaikan teologi Kristen dengan penemuan-penemuan baru dalam ilmu alam.³

1.2.       Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian mendalam tentang dualisme Cartesian dari perspektif filosofis, ilmiah, dan teologis. Kajian ini juga akan menelusuri bagaimana gagasan Descartes memengaruhi berbagai bidang ilmu hingga hari ini. Selain itu, artikel ini akan mengupas tantangan-tantangan terhadap dualisme Cartesian, baik dari segi kritik tradisional maupun perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memahami kompleksitas dan relevansi dualisme Cartesian dalam wacana akademis.


Catatan Kaki

[1]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 18.

[2]              Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[3]              Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 112–115.

2.           Konsep Dasar Dualisme Cartesian

2.1.       Definisi Dualisme Cartesian

Dualisme Cartesian adalah teori filsafat yang mengusulkan adanya pemisahan substansial antara pikiran (res cogitans) dan materi (res extensa). Dalam pandangan Descartes, pikiran bersifat non-fisik, memiliki kapasitas untuk berpikir, merasakan, dan memahami; sedangkan materi adalah substansi yang memiliki dimensi ruang dan dapat diukur secara fisik.¹ Konsep ini menandai perbedaan tajam antara dunia internal subjektif kesadaran dan dunia eksternal yang bersifat mekanistik.²

Descartes menegaskan bahwa pikiran adalah esensi keberadaan manusia yang tidak bergantung pada tubuh fisik. Pernyataan terkenal “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) menjadi landasan bagi argumen ini, menempatkan kemampuan untuk berpikir sebagai bukti keberadaan pikiran yang independen.³

2.2.       Argumentasi Descartes

2.2.1.    Metode Keraguan

Descartes menggunakan metode keraguan radikal untuk menyingkirkan semua keyakinan yang dapat diragukan, termasuk keberadaan dunia fisik. Dalam proses ini, ia menyimpulkan bahwa satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai makhluk yang berpikir.⁴ Dengan cara ini, ia membangun dasar filosofis bagi pemisahan pikiran dan materi.

2.2.2.    Keberadaan Tuhan sebagai Landasan Dualisme

Descartes juga menganggap keberadaan Tuhan sebagai landasan ontologis dualisme. Ia berargumen bahwa gagasan tentang Tuhan sebagai makhluk sempurna tidak mungkin berasal dari pikiran manusia yang terbatas, melainkan harus berasal dari substansi yang sempurna itu sendiri. Dengan demikian, ia membedakan eksistensi pikiran dan tubuh yang saling terhubung tetapi memiliki sifat berbeda.⁵

2.3.       Ontologi Dualisme

Menurut Descartes, substansi pikiran (res cogitans) adalah non-material dan tidak memiliki dimensi ruang, sementara substansi materi (res extensa) bersifat material dan dapat diukur. Hubungan antara keduanya diatur melalui kelenjar pineal, yang ia anggap sebagai titik interaksi antara pikiran dan tubuh.⁶ Namun, Descartes tidak memberikan penjelasan yang memuaskan tentang bagaimana interaksi ini terjadi, sehingga memunculkan kritik besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan.⁷


Catatan Kaki

[1]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 22.

[2]              Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[3]              Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 123.

[4]              John Cottingham, Descartes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1986), 34.

[5]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, 45.

[6]              Paul Hoffman, Essays on Descartes (Oxford: Oxford University Press, 2009), 76.

[7]              Margaret Wilson, Descartes (London: Routledge, 1982), 95.


3.           Kritik dan Tantangan terhadap Dualisme Cartesian

3.1.       Kritik Filosofis

3.1.1.    Masalah Interaksi Pikiran dan Tubuh

Salah satu kritik terbesar terhadap dualisme Cartesian adalah masalah interaksi antara pikiran (res cogitans) dan tubuh (res extensa). Jika pikiran bersifat non-fisik dan tubuh bersifat fisik, bagaimana keduanya dapat saling mempengaruhi?¹ Descartes mengusulkan bahwa interaksi terjadi melalui kelenjar pineal di otak, namun penjelasan ini dianggap tidak memadai oleh filsuf-filsuf setelahnya, seperti Gilbert Ryle, yang menyebut dualisme Cartesian sebagai "mitos mesin dalam tubuh.

3.1.2.    Kritik dari Empirisme

Filsuf empiris seperti John Locke dan David Hume menolak gagasan substansi non-material karena sulit dibuktikan melalui pengalaman inderawi. Locke mengkritik pandangan Descartes tentang substansi pikiran sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diakses oleh pengalaman langsung.³ Sementara itu, Hume menekankan bahwa apa yang kita sebut "pikiran" sebenarnya adalah kumpulan persepsi yang terus berubah, bukan entitas yang tetap dan terpisah.⁴

3.2.       Kritik Ilmiah

3.2.1.    Pandangan Ilmu Saraf

Dalam sains modern, terutama ilmu saraf, gagasan dualisme telah banyak ditentang. Penelitian menunjukkan bahwa pikiran tidak dapat dipisahkan dari aktivitas otak. Antonio Damasio, misalnya, menunjukkan bahwa kesadaran dan pemikiran bergantung pada fungsi otak dan sistem saraf, yang berarti tidak ada bukti untuk entitas non-material seperti yang diusulkan Descartes.⁵

3.2.2.    Argumen Materialisme dan Reduksionisme

Materialisme, yang menegaskan bahwa hanya materi yang ada, telah menggantikan dualisme Cartesian dalam banyak diskusi ilmiah. Filsuf seperti Daniel Dennett berpendapat bahwa fenomena mental dapat dijelaskan sepenuhnya melalui proses fisik, tanpa perlu mengandaikan substansi non-material.⁶ Pendekatan reduksionis ini menganggap kesadaran sebagai hasil dari interaksi kimiawi dan elektris dalam otak.⁷

3.3.       Kritik Teologis

3.3.1.    Pandangan Teologi Tradisional

Beberapa teolog mempertanyakan implikasi dualisme Cartesian terhadap pandangan agama tentang jiwa dan tubuh. Dalam Kristen, Islam, dan agama lainnya, tubuh dan jiwa sering dianggap saling terkait, bukan terpisah secara substansial.⁸ Dualisme Cartesian dapat dianggap mengabaikan hubungan spiritual antara jiwa dan tubuh dalam ajaran agama.⁹

3.3.2.    Isu Etika dan Spiritualitas

Dualisme juga dipandang problematis dalam konteks etika dan spiritualitas. Misalnya, pendekatan ini dapat mengarah pada pemisahan antara pengalaman spiritual dan fisik manusia, yang bertentangan dengan banyak tradisi keagamaan yang menekankan integrasi keduanya.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 75.

[2]              Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15.

[3]              John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 112.

[4]              David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1896), 239.

[5]              Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Avon, 1994), 23.

[6]              Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 35.

[7]              Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 68.

[8]              Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 201.

[9]              Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism (New York: HarperOne, 2007), 89.

[10]          William C. Placher, Narratives of a Vulnerable God (Louisville: Westminster John Knox Press, 1994), 55.


4.           Relevansi Dualisme Cartesian dalam Kajian Modern

4.1.       Filsafat Kontemporer

4.1.1.    Fenomenologi dan Eksistensialisme

Dualisme Cartesian terus menjadi rujukan utama dalam filsafat kontemporer, meskipun sering dikritik dan dimodifikasi. Fenomenologi, misalnya, yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl, menolak pemisahan substansial antara pikiran dan tubuh tetapi tetap mengakui adanya dimensi subjektif pengalaman manusia.¹ Maurice Merleau-Ponty, seorang filsuf fenomenologis, mengkritik dualisme Cartesian karena mengabaikan tubuh sebagai elemen integral dari kesadaran.² Dalam pandangannya, tubuh adalah "medium" kesadaran yang tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dunia.³

Eksistensialisme, yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre, juga mengkritik dualisme Cartesian, dengan menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang "berada di dunia," di mana pengalaman fisik dan mental tidak dapat dipisahkan.⁴ Sartre menolak gagasan bahwa manusia dapat sepenuhnya dipahami melalui analisis terpisah terhadap pikiran dan tubuh.

4.1.2.    Monisme dalam Filsafat Modern

Sebagai respon terhadap dualisme, monisme muncul sebagai pendekatan alternatif, yang menolak pemisahan substansial antara pikiran dan materi. Filsuf seperti Baruch Spinoza menawarkan pandangan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua aspek dari substansi yang sama.⁵ Pendekatan ini menjadi landasan bagi banyak filsafat kontemporer yang lebih fokus pada keterpaduan antara aspek fisik dan non-fisik manusia.

4.2.       Psikologi dan Ilmu Saraf

4.2.1.    Kesadaran dan Otak

Dalam bidang psikologi dan ilmu saraf, dualisme Cartesian sering dipertimbangkan dalam diskusi tentang kesadaran. Meskipun sebagian besar ahli saraf modern cenderung mendukung pandangan materialis bahwa kesadaran muncul dari proses biologis dalam otak, dualisme tetap relevan dalam menjelaskan pengalaman subjektif yang sulit direduksi ke mekanisme fisik.⁶ Penelitian dalam ilmu saraf kognitif menunjukkan bahwa, meskipun pikiran sangat terkait dengan otak, fenomena seperti "kesadaran diri" dan "pengalaman subyektif" tetap sulit dipahami dalam kerangka materialis murni.⁷

4.2.2.    Psikologi Humanistik

Dalam psikologi humanistik, gagasan tentang dualisme Cartesian diterapkan untuk memahami pengalaman manusia secara holistik. Pendekatan ini menekankan pentingnya dimensi non-fisik, seperti makna, tujuan, dan kesadaran diri, yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan melalui pendekatan reduksionis.⁸

4.3.       Teknologi dan Kecerdasan Buatan

4.3.1.    Debat tentang Kecerdasan Buatan (AI)

Dalam kajian teknologi modern, dualisme Cartesian memengaruhi diskusi tentang kecerdasan buatan (AI). Pertanyaan tentang apakah mesin dapat memiliki kesadaran sering kali mengacu pada dualisme: jika kesadaran bersifat non-material, maka AI berbasis materi tidak akan pernah memiliki kesadaran sejati.⁹ Filosof seperti John Searle, melalui argumen "Chinese Room," menegaskan bahwa meskipun AI dapat mensimulasikan pemikiran, ia tidak memiliki kesadaran sejati.¹⁰

4.3.2.    Implikasi Etis dan Filosofis

Selain itu, dualisme juga memengaruhi perdebatan etis tentang hubungan manusia dan mesin. Dengan mempertimbangkan perbedaan antara pikiran manusia dan sistem AI, dualisme Cartesian membantu menggarisbawahi pentingnya dimensi non-fisik dalam pengalaman manusia, seperti emosi, kreativitas, dan moralitas.¹¹


Catatan Kaki

[1]              Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W.R. Boyce Gibson (London: Allen & Unwin, 1931), 45.

[2]              Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94.

[3]              Ibid., 101.

[4]              Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 30.

[5]              Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), 123.

[6]              Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Avon, 1994), 112.

[7]              Stanislas Dehaene, Consciousness and the Brain: Deciphering How the Brain Codes Our Thoughts (New York: Viking, 2014), 56.

[8]              Carl Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 117.

[9]              Ray Kurzweil, The Age of Spiritual Machines (New York: Viking, 1999), 143.

[10]          John Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417.

[11]          Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 78.


5.           Sintesis dan Refleksi Kritis

5.1.       Kekuatan dan Kelemahan Dualisme Cartesian

5.1.1.    Kekuatan Konseptual

Dualisme Cartesian telah memberikan kerangka penting dalam memahami hubungan antara pikiran dan tubuh. Salah satu kekuatan utamanya adalah kemampuannya untuk menjelaskan pengalaman subjektif manusia, seperti kesadaran, emosi, dan pemikiran, yang sulit direduksi menjadi proses biologis murni.¹ Gagasan tentang pikiran sebagai entitas non-material juga membuka ruang bagi diskusi tentang moralitas, spiritualitas, dan kebebasan kehendak, yang menjadi fondasi penting dalam etika dan filsafat agama.²

5.1.2.    Kelemahan Filosofis dan Empiris

Namun, dualisme Cartesian menghadapi kritik serius dalam filsafat dan sains. Masalah utama adalah ketidakmampuan untuk memberikan penjelasan yang memuaskan tentang interaksi antara pikiran dan tubuh.³ Dalam ilmu pengetahuan modern, penelitian tentang otak telah menunjukkan bahwa proses mental sangat bergantung pada aktivitas fisik di dalam otak, sehingga menantang asumsi bahwa pikiran dapat berdiri sendiri sebagai entitas non-material.⁴ Selain itu, kritik filosofis dari aliran empirisme dan materialisme menuduh dualisme sebagai spekulasi metafisis yang tidak dapat diverifikasi.⁵

5.2.       Alternatif dan Pendekatan Baru

5.2.1.    Pendekatan Materialisme Modern

Sebagai alternatif, materialisme modern telah memberikan penjelasan berbasis empiris tentang hubungan pikiran dan tubuh. Daniel Dennett, misalnya, mengusulkan bahwa kesadaran adalah ilusi evolusioner yang muncul dari interaksi kompleks dalam otak.⁶ Pendekatan ini menekankan bahwa semua pengalaman mental dapat dijelaskan melalui mekanisme biologis.

5.2.2.    Dualisme Non-Kartesian

Sebagai respon terhadap kritik terhadap dualisme Cartesian, beberapa filsuf menawarkan pendekatan dualisme non-Kartesian. Thomas Nagel, misalnya, berpendapat bahwa meskipun kesadaran berakar pada proses biologis, pengalaman subjektif tetap tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui metode ilmiah objektif.⁷ Pendekatan ini mengintegrasikan pandangan dualisme dengan wawasan materialisme modern.

5.2.3.    Filsafat Postmodern

Dalam filsafat postmodern, dualisme Cartesian dianggap terlalu kaku dan tidak mencerminkan kompleksitas realitas manusia. Gilles Deleuze, misalnya, mengusulkan pandangan tentang manusia sebagai "tubuh tanpa organ," di mana pikiran dan tubuh bukanlah entitas yang terpisah tetapi saling berinteraksi dalam jaringan pengalaman yang dinamis.⁸ Pendekatan ini mencoba melampaui dikotomi pikiran-tubuh yang diwariskan dari Descartes.

5.3.       Refleksi Kritis

5.3.1.    Relevansi dalam Wacana Modern

Dualisme Cartesian tetap relevan karena membuka ruang untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan, kesadaran, dan moralitas. Meskipun gagasan ini telah banyak dikritik, ia menyediakan landasan bagi pengembangan pemikiran baru dalam filsafat dan sains.⁹

5.3.2.    Konteks Interdisipliner

Refleksi kritis terhadap dualisme Cartesian menunjukkan pentingnya pendekatan interdisipliner. Diskusi tentang hubungan pikiran dan tubuh membutuhkan kolaborasi antara filsafat, psikologi, ilmu saraf, dan bahkan teologi untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang pengalaman manusia.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 54.

[2]              Alister McGrath, The Great Mystery: Science, God, and the Human Quest for Meaning (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 82.

[3]              Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 16.

[4]              Stanislas Dehaene, Consciousness and the Brain: Deciphering How the Brain Codes Our Thoughts (New York: Viking, 2014), 34.

[5]              David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1896), 241.

[6]              Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 38.

[7]              Thomas Nagel, What Is It Like to Be a Bat? (New York: Oxford University Press, 1974), 22.

[8]              Gilles Deleuze, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 89.

[9]              Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[10]          Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Avon, 1994), 112.


6.           Penutup

6.1.       Kesimpulan Utama

Dualisme Cartesian, sebagai salah satu fondasi filsafat modern, telah memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hubungan antara pikiran dan tubuh. Konsep pemisahan antara res cogitans (pikiran) dan res extensa (materi) memungkinkan manusia untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang kesadaran, kebebasan kehendak, dan eksistensi.¹ Namun, meskipun memiliki kekuatan filosofis dalam menjelaskan pengalaman subjektif, dualisme Cartesian menghadapi kritik tajam karena tidak mampu memberikan penjelasan memadai tentang interaksi antara pikiran dan tubuh.² Dalam konteks modern, gagasan ini telah direspons dengan pengembangan pendekatan baru seperti materialisme, monisme, dan dualisme non-Kartesian yang lebih sesuai dengan penemuan ilmiah kontemporer.³

6.2.       Saran Kajian Lanjutan

Untuk memperkaya pemahaman tentang dualisme Cartesian, diperlukan kajian yang lebih mendalam dalam beberapa bidang berikut:

·                     Ilmu Saraf dan Psikologi Kognitif:

Kajian tentang bagaimana fenomena kesadaran dapat dijelaskan melalui hubungan kompleks antara pikiran dan otak tetap menjadi tantangan besar.⁴

·                     Etika dan Teologi:

Eksplorasi tentang implikasi dualisme dalam pengembangan teori etika dan pandangan agama tentang hubungan jiwa dan tubuh.⁵

·                     Filsafat Teknologi:

Studi tentang relevansi dualisme Cartesian dalam diskusi tentang kecerdasan buatan (AI) dan kesadaran buatan, terutama dalam konteks perbedaan antara pengalaman manusia dan simulasi komputer.⁶

6.3.       Harapan

Dualisme Cartesian, meskipun sering dikritik, tetap menjadi pilar penting dalam filsafat. Dengan memadukan perspektif tradisional dan pendekatan modern, diharapkan gagasan ini dapat terus menginspirasi diskusi lintas disiplin yang mendalam tentang sifat manusia dan dunia. Pendekatan interdisipliner, yang melibatkan filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama, dapat membantu menjembatani kesenjangan dalam memahami kompleksitas pikiran dan tubuh.⁷ Semoga kajian ini dapat mendorong pembaca untuk terus mengeksplorasi pemikiran Descartes dan relevansinya dalam kehidupan modern.


Catatan Kaki

[1]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 18.

[2]              Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15.

[3]              Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[4]              Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Avon, 1994), 45.

[5]              Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 201.

[6]              Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 78.

[7]              Thomas Nagel, What Is It Like to Be a Bat? (New York: Oxford University Press, 1974), 22.


Daftar Pustaka


Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Cottingham, J. (1986). Descartes: A very short introduction. Oxford University Press.

Damasio, A. (1994). Descartes’ error: Emotion, reason, and the human brain. Avon.

Dehaene, S. (2014). Consciousness and the brain: Deciphering how the brain codes our thoughts. Viking.

Dennett, D. (1991). Consciousness explained. Little, Brown.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1641)

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual biography. Clarendon Press.

Hoffman, P. (2009). Essays on Descartes. Oxford University Press.

Hume, D. (1896). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)

Husserl, E. (1931). Ideas: General introduction to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). Allen & Unwin.

Kurzweil, R. (1999). The age of spiritual machines: When computers exceed human intelligence. Viking.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1689)

McGrath, A. E. (2010). Christian theology: An introduction. Wiley-Blackwell.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat?. Oxford University Press.

Rogers, C. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.

Searle, J. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3), 417–457.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin.

Wilson, M. (1982). Descartes. Routledge.

Zalta, E. N. (Ed.). (2020). Dualism. In The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/dualism/


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar