Dualisme Cartesian
Abstrak
Artikel ini membahas
secara komprehensif konsep dualisme Cartesian yang diperkenalkan oleh René
Descartes, khususnya mengenai pemisahan antara pikiran (res
cogitans) dan materi (res extensa). Dualisme Cartesian
dianggap sebagai fondasi penting dalam filsafat modern yang memberikan wawasan
mendalam tentang hubungan antara kesadaran dan dunia material. Artikel ini
menguraikan konsep dasar dualisme Cartesian, termasuk metode keraguan, argumen
keberadaan Tuhan, serta ontologi pikiran dan tubuh. Selain itu, artikel ini
membahas kritik dan tantangan terhadap dualisme, baik dari perspektif
filosofis, seperti masalah interaksi pikiran-tubuh dan kritik empiris, maupun
ilmiah melalui penemuan dalam ilmu saraf dan materialisme.
Melalui kajian ini,
relevansi dualisme Cartesian dalam filsafat kontemporer, psikologi, dan teknologi modern, termasuk
kecerdasan buatan (AI), juga dieksplorasi secara mendalam. Sintesis dan
refleksi kritis menunjukkan bahwa meskipun dualisme ini menghadapi banyak
kritik, ia tetap menjadi landasan penting dalam diskusi tentang kesadaran,
etika, dan spiritualitas. Artikel ini menutup dengan saran untuk kajian lintas
disiplin guna menjembatani kesenjangan dalam memahami hubungan antara pikiran
dan tubuh, sekaligus menawarkan perspektif baru yang lebih kontekstual di era
modern.
Kata Kunci: Dualisme
Cartesian, René Descartes, res cogitans, res extensa, filsafat modern,
kesadaran, ilmu saraf, kecerdasan buatan.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
René Descartes (1596–1650) dikenal sebagai "Bapak
Filsafat Modern." Pemikiran revolusionernya melahirkan paradigma baru
dalam filsafat dan sains. Salah satu kontribusi utamanya adalah konsep dualisme
Cartesian, yang membedakan secara mendasar antara pikiran (res cogitans)
dan materi (res extensa). Gagasan ini pertama kali diperkenalkan dalam
karyanya Meditations on First Philosophy, di mana ia berupaya membangun fondasi
filsafat yang kokoh melalui metode keraguan radikal.¹
Dualisme Cartesian menjadi titik awal pembahasan
tentang hubungan antara kesadaran dan tubuh, yang hingga kini masih menjadi
perdebatan dalam filsafat, psikologi, dan ilmu saraf.² Dalam konteks sejarah,
gagasan ini muncul pada masa transisi dari pemikiran skolastik ke pendekatan
ilmiah modern, yang ditandai dengan upaya mendamaikan teologi Kristen dengan
penemuan-penemuan baru dalam ilmu alam.³
1.2. Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian
mendalam tentang dualisme Cartesian dari perspektif filosofis, ilmiah, dan
teologis. Kajian ini juga akan menelusuri bagaimana gagasan Descartes
memengaruhi berbagai bidang ilmu hingga hari ini. Selain itu, artikel ini akan
mengupas tantangan-tantangan terhadap dualisme Cartesian, baik dari segi kritik
tradisional maupun perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan pendekatan ini,
diharapkan pembaca dapat memahami kompleksitas dan relevansi dualisme Cartesian
dalam wacana akademis.
Catatan Kaki
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 18.
[2]
Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[3]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford:
Clarendon Press, 1995), 112–115.
2.
Konsep
Dasar Dualisme Cartesian
2.1. Definisi Dualisme Cartesian
Dualisme Cartesian adalah teori filsafat yang
mengusulkan adanya pemisahan substansial antara pikiran (res cogitans)
dan materi (res extensa). Dalam pandangan Descartes, pikiran bersifat
non-fisik, memiliki kapasitas untuk berpikir, merasakan, dan memahami; sedangkan
materi adalah substansi yang memiliki dimensi ruang dan dapat diukur secara
fisik.¹ Konsep ini menandai perbedaan tajam antara dunia internal subjektif
kesadaran dan dunia eksternal yang bersifat mekanistik.²
Descartes menegaskan bahwa pikiran adalah esensi
keberadaan manusia yang tidak bergantung pada tubuh fisik. Pernyataan terkenal
“Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) menjadi landasan bagi
argumen ini, menempatkan kemampuan untuk berpikir sebagai bukti keberadaan
pikiran yang independen.³
2.2. Argumentasi Descartes
2.2.1.
Metode Keraguan
Descartes menggunakan metode keraguan radikal untuk
menyingkirkan semua keyakinan yang dapat diragukan, termasuk keberadaan dunia
fisik. Dalam proses ini, ia menyimpulkan bahwa satu-satunya hal yang tidak
dapat diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai makhluk yang berpikir.⁴
Dengan cara ini, ia membangun dasar filosofis bagi pemisahan pikiran dan
materi.
2.2.2.
Keberadaan Tuhan sebagai Landasan
Dualisme
Descartes juga menganggap keberadaan Tuhan sebagai
landasan ontologis dualisme. Ia berargumen bahwa gagasan tentang Tuhan sebagai
makhluk sempurna tidak mungkin berasal dari pikiran manusia yang terbatas,
melainkan harus berasal dari substansi yang sempurna itu sendiri. Dengan
demikian, ia membedakan eksistensi pikiran dan tubuh yang saling terhubung
tetapi memiliki sifat berbeda.⁵
2.3. Ontologi Dualisme
Menurut Descartes, substansi pikiran (res
cogitans) adalah non-material dan tidak memiliki dimensi ruang, sementara
substansi materi (res extensa) bersifat material dan dapat diukur.
Hubungan antara keduanya diatur melalui kelenjar pineal, yang ia anggap sebagai
titik interaksi antara pikiran dan tubuh.⁶ Namun, Descartes tidak memberikan
penjelasan yang memuaskan tentang bagaimana interaksi ini terjadi, sehingga
memunculkan kritik besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan.⁷
Catatan Kaki
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 22.
[2]
Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[3]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford:
Clarendon Press, 1995), 123.
[4]
John Cottingham, Descartes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 1986), 34.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, 45.
[6]
Paul Hoffman, Essays on Descartes (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 76.
[7]
Margaret Wilson, Descartes (London: Routledge, 1982), 95.
3.
Kritik
dan Tantangan terhadap Dualisme Cartesian
3.1. Kritik Filosofis
3.1.1.
Masalah Interaksi Pikiran dan Tubuh
Salah satu kritik terbesar terhadap dualisme
Cartesian adalah masalah interaksi antara pikiran (res cogitans) dan
tubuh (res extensa). Jika pikiran bersifat non-fisik dan tubuh bersifat
fisik, bagaimana keduanya dapat saling mempengaruhi?¹ Descartes mengusulkan
bahwa interaksi terjadi melalui kelenjar pineal di otak, namun penjelasan ini
dianggap tidak memadai oleh filsuf-filsuf setelahnya, seperti Gilbert Ryle,
yang menyebut dualisme Cartesian sebagai "mitos mesin dalam tubuh."²
3.1.2.
Kritik dari Empirisme
Filsuf empiris seperti John Locke dan David Hume
menolak gagasan substansi non-material karena sulit dibuktikan melalui
pengalaman inderawi. Locke mengkritik pandangan Descartes tentang substansi
pikiran sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diakses oleh pengalaman
langsung.³ Sementara itu, Hume menekankan bahwa apa yang kita sebut "pikiran"
sebenarnya adalah kumpulan persepsi yang terus berubah, bukan entitas yang
tetap dan terpisah.⁴
3.2. Kritik Ilmiah
3.2.1.
Pandangan Ilmu Saraf
Dalam sains modern, terutama ilmu saraf, gagasan
dualisme telah banyak ditentang. Penelitian menunjukkan bahwa pikiran tidak
dapat dipisahkan dari aktivitas otak. Antonio Damasio, misalnya, menunjukkan
bahwa kesadaran dan pemikiran bergantung pada fungsi otak dan sistem saraf,
yang berarti tidak ada bukti untuk entitas non-material seperti yang diusulkan
Descartes.⁵
3.2.2.
Argumen Materialisme dan
Reduksionisme
Materialisme, yang menegaskan bahwa hanya materi
yang ada, telah menggantikan dualisme Cartesian dalam banyak diskusi ilmiah.
Filsuf seperti Daniel Dennett berpendapat bahwa fenomena mental dapat
dijelaskan sepenuhnya melalui proses fisik, tanpa perlu mengandaikan substansi
non-material.⁶ Pendekatan reduksionis ini menganggap kesadaran sebagai hasil
dari interaksi kimiawi dan elektris dalam otak.⁷
3.3. Kritik Teologis
3.3.1.
Pandangan Teologi Tradisional
Beberapa teolog mempertanyakan implikasi dualisme
Cartesian terhadap pandangan agama tentang jiwa dan tubuh. Dalam Kristen,
Islam, dan agama lainnya, tubuh dan jiwa sering dianggap saling terkait, bukan
terpisah secara substansial.⁸ Dualisme Cartesian dapat dianggap mengabaikan
hubungan spiritual antara jiwa dan tubuh dalam ajaran agama.⁹
3.3.2.
Isu Etika dan Spiritualitas
Dualisme juga dipandang problematis dalam konteks
etika dan spiritualitas. Misalnya, pendekatan ini dapat mengarah pada pemisahan
antara pengalaman spiritual dan fisik manusia, yang bertentangan dengan banyak
tradisi keagamaan yang menekankan integrasi keduanya.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 75.
[2]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 112.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1896), 239.
[5]
Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human
Brain (New York: Avon, 1994), 23.
[6]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown,
1991), 35.
[7]
Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the
Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 68.
[8]
Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2010), 201.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism (New York: HarperOne, 2007), 89.
[10]
William C. Placher, Narratives of a Vulnerable God (Louisville:
Westminster John Knox Press, 1994), 55.
4.
Relevansi
Dualisme Cartesian dalam Kajian Modern
4.1. Filsafat Kontemporer
4.1.1.
Fenomenologi dan Eksistensialisme
Dualisme Cartesian terus menjadi rujukan utama
dalam filsafat kontemporer, meskipun sering dikritik dan dimodifikasi.
Fenomenologi, misalnya, yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl, menolak
pemisahan substansial antara pikiran dan tubuh tetapi tetap mengakui adanya
dimensi subjektif pengalaman manusia.¹ Maurice Merleau-Ponty, seorang filsuf
fenomenologis, mengkritik dualisme Cartesian karena mengabaikan tubuh sebagai
elemen integral dari kesadaran.² Dalam pandangannya, tubuh adalah "medium"
kesadaran yang tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dunia.³
Eksistensialisme, yang dipelopori oleh Jean-Paul
Sartre, juga mengkritik dualisme Cartesian, dengan menekankan bahwa manusia
adalah makhluk yang "berada di dunia," di mana pengalaman fisik
dan mental tidak dapat dipisahkan.⁴ Sartre menolak gagasan bahwa manusia dapat
sepenuhnya dipahami melalui analisis terpisah terhadap pikiran dan tubuh.
4.1.2.
Monisme dalam Filsafat Modern
Sebagai respon terhadap dualisme, monisme muncul
sebagai pendekatan alternatif, yang menolak pemisahan substansial antara
pikiran dan materi. Filsuf seperti Baruch Spinoza menawarkan pandangan bahwa
pikiran dan tubuh adalah dua aspek dari substansi yang sama.⁵ Pendekatan ini
menjadi landasan bagi banyak filsafat kontemporer yang lebih fokus pada
keterpaduan antara aspek fisik dan non-fisik manusia.
4.2. Psikologi dan Ilmu Saraf
4.2.1.
Kesadaran dan Otak
Dalam bidang psikologi dan ilmu saraf, dualisme
Cartesian sering dipertimbangkan dalam diskusi tentang kesadaran. Meskipun
sebagian besar ahli saraf modern cenderung mendukung pandangan materialis bahwa
kesadaran muncul dari proses biologis dalam otak, dualisme tetap relevan dalam
menjelaskan pengalaman subjektif yang sulit direduksi ke mekanisme fisik.⁶
Penelitian dalam ilmu saraf kognitif menunjukkan bahwa, meskipun pikiran sangat
terkait dengan otak, fenomena seperti "kesadaran diri" dan
"pengalaman subyektif" tetap sulit dipahami dalam kerangka
materialis murni.⁷
4.2.2.
Psikologi Humanistik
Dalam psikologi humanistik, gagasan tentang
dualisme Cartesian diterapkan untuk memahami pengalaman manusia secara
holistik. Pendekatan ini menekankan pentingnya dimensi non-fisik, seperti
makna, tujuan, dan kesadaran diri, yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan
melalui pendekatan reduksionis.⁸
4.3. Teknologi dan Kecerdasan Buatan
4.3.1.
Debat tentang Kecerdasan Buatan (AI)
Dalam kajian teknologi modern, dualisme Cartesian
memengaruhi diskusi tentang kecerdasan buatan (AI). Pertanyaan tentang apakah
mesin dapat memiliki kesadaran sering kali mengacu pada dualisme: jika kesadaran
bersifat non-material, maka AI berbasis materi tidak akan pernah memiliki
kesadaran sejati.⁹ Filosof seperti John Searle, melalui argumen "Chinese
Room," menegaskan bahwa meskipun AI dapat mensimulasikan pemikiran, ia
tidak memiliki kesadaran sejati.¹⁰
4.3.2.
Implikasi Etis dan Filosofis
Selain itu, dualisme juga memengaruhi perdebatan
etis tentang hubungan manusia dan mesin. Dengan mempertimbangkan perbedaan
antara pikiran manusia dan sistem AI, dualisme Cartesian membantu menggarisbawahi
pentingnya dimensi non-fisik dalam pengalaman manusia, seperti emosi,
kreativitas, dan moralitas.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W.R. Boyce Gibson (London: Allen & Unwin, 1931), 45.
[2]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin
Smith (London: Routledge, 1962), 94.
[3]
Ibid., 101.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 30.
[5]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin,
1996), 123.
[6]
Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human
Brain (New York: Avon, 1994), 112.
[7]
Stanislas Dehaene, Consciousness and the Brain: Deciphering How the
Brain Codes Our Thoughts (New York: Viking, 2014), 56.
[8]
Carl Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton Mifflin,
1961), 117.
[9]
Ray Kurzweil, The Age of Spiritual Machines (New York: Viking,
1999), 143.
[10]
John Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain
Sciences 3, no. 3 (1980): 417.
[11]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 78.
5.
Sintesis
dan Refleksi Kritis
5.1. Kekuatan dan Kelemahan Dualisme Cartesian
5.1.1.
Kekuatan Konseptual
Dualisme Cartesian telah memberikan kerangka
penting dalam memahami hubungan antara pikiran dan tubuh. Salah satu kekuatan
utamanya adalah kemampuannya untuk menjelaskan pengalaman subjektif manusia,
seperti kesadaran, emosi, dan pemikiran, yang sulit direduksi menjadi proses biologis
murni.¹ Gagasan tentang pikiran sebagai entitas non-material juga membuka ruang
bagi diskusi tentang moralitas, spiritualitas, dan kebebasan kehendak, yang
menjadi fondasi penting dalam etika dan filsafat agama.²
5.1.2.
Kelemahan Filosofis dan Empiris
Namun, dualisme Cartesian menghadapi kritik serius
dalam filsafat dan sains. Masalah utama adalah ketidakmampuan untuk memberikan
penjelasan yang memuaskan tentang interaksi antara pikiran dan tubuh.³ Dalam
ilmu pengetahuan modern, penelitian tentang otak telah menunjukkan bahwa proses
mental sangat bergantung pada aktivitas fisik di dalam otak, sehingga menantang
asumsi bahwa pikiran dapat berdiri sendiri sebagai entitas non-material.⁴
Selain itu, kritik filosofis dari aliran empirisme dan materialisme menuduh dualisme
sebagai spekulasi metafisis yang tidak dapat diverifikasi.⁵
5.2. Alternatif dan Pendekatan Baru
5.2.1.
Pendekatan Materialisme Modern
Sebagai alternatif, materialisme modern telah
memberikan penjelasan berbasis empiris tentang hubungan pikiran dan tubuh.
Daniel Dennett, misalnya, mengusulkan bahwa kesadaran adalah ilusi evolusioner
yang muncul dari interaksi kompleks dalam otak.⁶ Pendekatan ini menekankan
bahwa semua pengalaman mental dapat dijelaskan melalui mekanisme biologis.
5.2.2.
Dualisme Non-Kartesian
Sebagai respon terhadap kritik terhadap dualisme
Cartesian, beberapa filsuf menawarkan pendekatan dualisme non-Kartesian. Thomas
Nagel, misalnya, berpendapat bahwa meskipun kesadaran berakar pada proses
biologis, pengalaman subjektif tetap tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui
metode ilmiah objektif.⁷ Pendekatan ini mengintegrasikan pandangan dualisme
dengan wawasan materialisme modern.
5.2.3.
Filsafat Postmodern
Dalam filsafat postmodern, dualisme Cartesian
dianggap terlalu kaku dan tidak mencerminkan kompleksitas realitas manusia.
Gilles Deleuze, misalnya, mengusulkan pandangan tentang manusia sebagai "tubuh
tanpa organ," di mana pikiran dan tubuh bukanlah entitas yang terpisah
tetapi saling berinteraksi dalam jaringan pengalaman yang dinamis.⁸ Pendekatan
ini mencoba melampaui dikotomi pikiran-tubuh yang diwariskan dari Descartes.
5.3. Refleksi Kritis
5.3.1.
Relevansi dalam Wacana Modern
Dualisme Cartesian tetap relevan karena membuka
ruang untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan,
kesadaran, dan moralitas. Meskipun gagasan ini telah banyak dikritik, ia
menyediakan landasan bagi pengembangan pemikiran baru dalam filsafat dan
sains.⁹
5.3.2.
Konteks Interdisipliner
Refleksi kritis terhadap dualisme Cartesian
menunjukkan pentingnya pendekatan interdisipliner. Diskusi tentang hubungan
pikiran dan tubuh membutuhkan kolaborasi antara filsafat, psikologi, ilmu
saraf, dan bahkan teologi untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik
tentang pengalaman manusia.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 54.
[2]
Alister McGrath, The Great Mystery: Science, God, and the Human Quest
for Meaning (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 82.
[3]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 16.
[4]
Stanislas Dehaene, Consciousness and the Brain: Deciphering How the
Brain Codes Our Thoughts (New York: Viking, 2014), 34.
[5]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1896), 241.
[6]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown,
1991), 38.
[7]
Thomas Nagel, What Is It Like to Be a Bat? (New York: Oxford
University Press, 1974), 22.
[8]
Gilles Deleuze, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia,
trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 89.
[9]
Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[10]
Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human
Brain (New York: Avon, 1994), 112.
6.
Penutup
6.1. Kesimpulan Utama
Dualisme Cartesian, sebagai salah satu fondasi
filsafat modern, telah memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hubungan
antara pikiran dan tubuh. Konsep pemisahan antara res cogitans (pikiran)
dan res extensa (materi) memungkinkan manusia untuk mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang kesadaran, kebebasan kehendak, dan eksistensi.¹
Namun, meskipun memiliki kekuatan filosofis dalam menjelaskan pengalaman
subjektif, dualisme Cartesian menghadapi kritik tajam karena tidak mampu
memberikan penjelasan memadai tentang interaksi antara pikiran dan tubuh.²
Dalam konteks modern, gagasan ini telah direspons dengan pengembangan
pendekatan baru seperti materialisme, monisme, dan dualisme non-Kartesian yang
lebih sesuai dengan penemuan ilmiah kontemporer.³
6.2. Saran Kajian Lanjutan
Untuk memperkaya pemahaman tentang dualisme
Cartesian, diperlukan kajian yang lebih mendalam dalam beberapa bidang berikut:
·
Ilmu Saraf dan Psikologi Kognitif:
Kajian
tentang bagaimana fenomena kesadaran dapat dijelaskan melalui hubungan kompleks
antara pikiran dan otak tetap menjadi tantangan besar.⁴
·
Etika dan Teologi:
Eksplorasi
tentang implikasi dualisme dalam pengembangan teori etika dan pandangan agama
tentang hubungan jiwa dan tubuh.⁵
·
Filsafat Teknologi:
Studi
tentang relevansi dualisme Cartesian dalam diskusi tentang kecerdasan buatan
(AI) dan kesadaran buatan, terutama dalam konteks perbedaan antara pengalaman
manusia dan simulasi komputer.⁶
6.3. Harapan
Dualisme Cartesian, meskipun sering dikritik, tetap
menjadi pilar penting dalam filsafat. Dengan memadukan perspektif tradisional
dan pendekatan modern, diharapkan gagasan ini dapat terus menginspirasi diskusi
lintas disiplin yang mendalam tentang sifat manusia dan dunia. Pendekatan
interdisipliner, yang melibatkan filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama, dapat
membantu menjembatani kesenjangan dalam memahami kompleksitas pikiran dan
tubuh.⁷ Semoga kajian ini dapat mendorong pembaca untuk terus mengeksplorasi
pemikiran Descartes dan relevansinya dalam kehidupan modern.
Catatan Kaki
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 18.
[2]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15.
[3]
Howard Robinson, “Dualism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[4]
Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human
Brain (New York: Avon, 1994), 45.
[5]
Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2010), 201.
[6]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 78.
[7]
Thomas Nagel, What Is It Like to Be a Bat? (New York: Oxford
University Press, 1974), 22.
Daftar Pustaka
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
dangers, strategies. Oxford University Press.
Cottingham, J. (1986). Descartes: A very short
introduction. Oxford University Press.
Damasio, A. (1994). Descartes’ error: Emotion,
reason, and the human brain. Avon.
Dehaene, S. (2014). Consciousness and the brain:
Deciphering how the brain codes our thoughts. Viking.
Dennett, D. (1991). Consciousness explained.
Little, Brown.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work
published 1641)
Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual
biography. Clarendon Press.
Hoffman, P. (2009). Essays on Descartes.
Oxford University Press.
Hume, D. (1896). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)
Husserl, E. (1931). Ideas: General introduction
to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). Allen & Unwin.
Kurzweil, R. (1999). The age of spiritual
machines: When computers exceed human intelligence. Viking.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work
published 1689)
McGrath, A. E. (2010). Christian theology: An
introduction. Wiley-Blackwell.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception
(C. Smith, Trans.). Routledge.
Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat?.
Oxford University Press.
Rogers, C. (1961). On becoming a person: A
therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.
Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.
Searle, J. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral
and Brain Sciences, 3(3), 417–457.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). Penguin.
Wilson, M. (1982). Descartes. Routledge.
Zalta, E. N. (Ed.). (2020). Dualism. In The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/dualism/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar