Kematian Tuhan
Membaca Simbolisme Nietzsche dalam Krisis Peradaban
Modern
Alihkan ke: Pemikiran Friedrich Nietzsche.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif simbolisme
“kematian Tuhan” dalam filsafat Friedrich Nietzsche sebagai ekspresi dari
keruntuhan sistem nilai tradisional dalam peradaban Barat modern. Melalui
pendekatan filosofis-hermeneutik dan analisis historis-kultural, artikel ini
menelusuri latar belakang munculnya konsep tersebut dalam konteks sekularisasi,
rasionalisasi modernitas, serta krisis spiritual yang ditimbulkannya. Nietzsche
menggambarkan bahwa kematian Tuhan bukan hanya penolakan terhadap entitas
ilahi, tetapi representasi dari hilangnya fondasi metafisis yang selama ini
menopang struktur moral dan makna kehidupan manusia. Dalam kehampaan nilai yang
ditinggalkan oleh nihilisme, Nietzsche mengusulkan gagasan transvaluasi nilai (Umwertung
aller Werte) sebagai proyek pembebasan eksistensial dan penciptaan
nilai-nilai baru yang berakar pada afirmasi kehidupan. Artikel ini juga
mengulas kritik-kritik terhadap konsep tersebut dari perspektif teologis, etis,
dan filosofis kontemporer, serta menunjukkan relevansinya dalam menghadapi
tantangan pluralisme dan krisis makna di era modern dan pascamodern.
Kata Kunci: Nietzsche, kematian Tuhan, nihilisme, transvaluasi
nilai, modernitas, krisis makna, Übermensch, etika eksistensial, sekularisme,
filsafat moral.
PEMBAHASAN
Kematian Tuhan dan Keruntuhan Sistem Nilai
1.
Pendahuluan
Modernitas sebagai sebuah periode sejarah dan
paradigma budaya ditandai oleh kemajuan rasionalitas ilmiah, sekularisasi
kehidupan sosial, dan krisis otoritas religius. Di tengah geliat pencerahan
yang menjunjung tinggi akal budi sebagai pusat otoritas epistemik, eksistensi
nilai-nilai tradisional yang dahulu bersandar pada fondasi religius-metafisik
mulai goyah. Dalam konteks inilah Friedrich Nietzsche mengumandangkan deklarasi
filosofis yang mengguncang dunia pemikiran modern: “Tuhan telah mati” (Gott
ist tot)¹. Pernyataan ini bukanlah sebatas proklamasi ateisme, melainkan
simbol dari keruntuhan sistem nilai absolut yang telah mengatur orientasi moral
dan makna hidup manusia selama berabad-abad.
Nietzsche menempatkan manusia modern dalam suatu
situasi krisis: di satu sisi, manusia telah kehilangan kepercayaannya terhadap
narasi metafisika besar seperti agama dan moralitas objektif; di sisi lain,
belum tersedia sistem nilai baru yang mampu menggantikan peran eksistensial
dari sistem yang telah runtuh itu². Kehampaan makna dan kehilangan arah dalam
kehidupan modern bukanlah sekadar problem psikologis, melainkan gejala kultural
dan spiritual dari peradaban yang sedang teralienasi dari fondasi nilai yang
transenden.
Simbol “kematian Tuhan” dalam karya
Nietzsche seperti The Gay Science dan Thus Spoke Zarathustra
tidak dapat dipahami secara literal sebagai penolakan terhadap keberadaan Tuhan
secara metafisik, melainkan harus dimaknai secara hermeneutik sebagai kritik
terhadap struktur nilai yang diwarisi dari agama Kristen dan filsafat
metafisika Barat³. Ia menyatakan bahwa manusia telah “membunuh Tuhan”
dengan menggantikan iman dengan sains, mitos dengan fakta, dan dogma dengan
relativisme. Dunia modern, dalam pandangan Nietzsche, telah kehilangan pusat
maknanya dan bergerak menuju nihilisme: suatu keadaan di mana semua nilai
kehilangan validitasnya⁴.
Krisis nilai yang dimaksud Nietzsche tidak hanya
bersifat teoritis, tetapi nyata dalam bentuk disorientasi etis, relasi sosial
yang mekanistik, dan gaya hidup yang tereduksi menjadi konsumsi dan utilitas.
Dalam menghadapi kenyataan ini, Nietzsche tidak berhenti pada kritik, melainkan
menawarkan konsep transvaluasi nilai sebagai upaya menciptakan kembali makna
hidup manusia secara otentik. Namun, proyek ini tidak bebas dari tantangan,
sebab membutuhkan manusia baru—Übermensch—yang mampu hidup tanpa ilusi
dan menanggung beban kebebasan mutlak⁵.
Tulisan ini bertujuan untuk membedah secara
mendalam makna simbolik dari konsep “kematian Tuhan”, latar belakang
historis-filosofisnya, serta implikasi etis dan kulturalnya dalam lanskap
peradaban modern. Dengan pendekatan filosofis-hermeneutik, artikel ini akan
mengeksplorasi bagaimana Nietzsche membaca keruntuhan nilai tradisional,
bagaimana nihilisme muncul sebagai konsekuensinya, dan apa yang ditawarkan
sebagai jalan keluar dari krisis spiritual kontemporer.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181, §125.
[2]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 299–303.
[3]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. I: The Will to
Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: HarperOne, 1991),
61–66.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy,
trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 148–150.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.
2.
Konteks
Historis dan Filosofis Lahirnya Gagasan “Kematian Tuhan”
Untuk memahami sepenuhnya makna dan kedalaman
simbol “kematian Tuhan” dalam filsafat Friedrich Nietzsche, penting
untuk menempatkan gagasan tersebut dalam konteks historis dan filosofis dari
zaman di mana ia hidup dan berpikir. Nietzsche menyusun pemikirannya pada akhir
abad ke-19, sebuah masa di mana Eropa sedang mengalami perubahan besar dalam
berbagai bidang kehidupan—sains, filsafat, politik, dan agama—yang semuanya
menandai pergeseran tajam dari dunia tradisional menuju modernitas yang
rasionalistik dan sekuler¹.
2.1. Latar Sosial dan Kultural Eropa Abad ke-19
Zaman Nietzsche merupakan era pasca-Pencerahan (Aufklärung)
dan pasca-Revolusi Industri, di mana rasionalitas ilmiah dan sekularisme
semakin mendominasi cara pandang masyarakat terhadap dunia. Kepercayaan pada
Tuhan, moralitas absolut, dan tatanan dunia yang terstruktur secara metafisik
mulai tergantikan oleh materialisme ilmiah, positivisme, serta kepercayaan
bahwa akal budi manusia mampu menjelaskan segalanya tanpa membutuhkan
intervensi ilahi². Dalam suasana ini, agama—terutama Kristen—kehilangan
pengaruh sentralnya dalam mengatur struktur makna dan nilai dalam kehidupan
masyarakat.
Munculnya gejala sekularisasi, yang menurut Charles
Taylor merupakan pengurangan dominasi kepercayaan religius dalam ruang publik, secara
perlahan menggantikan struktur kehidupan yang dulunya berpusat pada Allah
dengan tatanan yang menekankan otonomi manusia dan dunia³. Di samping itu,
filsafat modern—seperti rasionalisme Descartes, empirisme Locke, dan idealisme
Kant—telah menciptakan jarak antara manusia dan transendensi, sehingga membuka
jalan menuju krisis spiritual dan nihilisme.
2.2. Reaksi Nietzsche terhadap Pencerahan dan Modernitas
Nietzsche menanggapi modernitas dengan sikap
ambivalen—di satu sisi mengakui kemajuan intelektual yang dicapai umat manusia,
tetapi di sisi lain melihatnya sebagai awal dari kehancuran struktur makna yang
telah menopang peradaban Barat selama berabad-abad. Bagi Nietzsche, proyek
pencerahan telah “membunuh Tuhan” karena menempatkan rasio sebagai
otoritas tertinggi dan menyingkirkan kepercayaan metafisik terhadap realitas
adikodrati⁴. Dalam The Gay Science, ia menyatakan dengan penuh
simbolisme bahwa "kita telah membunuh-Nya—engkau dan aku"
sebagai pernyataan kolektif dari manusia modern yang telah menggantikan Tuhan
dengan sains dan pengetahuan duniawi⁵.
Nietzsche menilai bahwa sains modern tidak
benar-benar netral, melainkan turut serta dalam menggantikan fondasi nilai yang
sebelumnya diberikan oleh agama. Kepercayaan bahwa dunia dapat dijelaskan
sepenuhnya melalui hukum-hukum fisika dan kalkulasi matematika menyisakan
kekosongan spiritual yang sangat dalam. Oleh sebab itu, “kematian Tuhan”
menjadi simbol dari kehancuran basis moral dan nilai-nilai tradisional yang
telah menjadi penopang kehidupan Barat⁶.
2.3. Kehilangan Fondasi Metafisika dan Krisis Nilai
Dalam filsafat Barat sebelum Nietzsche, keberadaan
Tuhan dianggap sebagai grundlage atau fondasi dari segala yang ada,
termasuk moralitas, tujuan hidup, dan tatanan kosmik. Namun, dengan hilangnya
otoritas Tuhan, sistem nilai yang didasarkan pada perintah ilahi menjadi rapuh
dan kehilangan justifikasi rasional. Nietzsche melihat hal ini sebagai awal
dari nihilisme, yaitu keadaan di mana nilai-nilai tradisional kehilangan makna,
tetapi belum ada nilai baru yang menggantikannya⁷.
Nietzsche tidak sekadar mengkritik agama, tetapi
membongkar seluruh bangunan metafisika Barat yang menurutnya telah membangun “nilai-nilai
yang menolak kehidupan”—yakni nilai-nilai yang mengingkari dunia ini demi
dunia lain, atau menundukkan kehendak manusia pada moralitas universal yang
abstrak⁸. Dalam pandangan Nietzsche, ini adalah bentuk kebohongan besar yang
menindas vitalitas manusia dan menghambat penciptaan nilai-nilai baru yang
bersumber dari kehidupan itu sendiri.
Footnotes
[1]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A
Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010),
251–253.
[2]
Michael Gillespie, The Theological Origins of
Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 2008), 2–5.
[3]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 25–30.
[4]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. II: The
Eternal Recurrence of the Same, trans. David Farrell Krell (San Francisco:
HarperOne, 1991), 82–85.
[5]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
[6]
John D. Caputo, Philosophy and Theology
(Nashville: Abingdon Press, 2006), 45–46.
[7]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §2.
[8]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy,
trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 150–155.
3.
Arti
Simbolik “Kematian Tuhan” dalam Pemikiran Nietzsche
Konsep “kematian Tuhan” (Gott ist tot)
yang diungkapkan oleh Friedrich Nietzsche dalam Die fröhliche Wissenschaft
(The Gay Science) dan Also sprach Zarathustra (Thus Spoke
Zarathustra) merupakan salah satu simbol paling radikal dan kontroversial
dalam sejarah filsafat modern. Nietzsche sendiri tidak pernah menyajikannya
sebagai pernyataan metafisika atau biologis tentang entitas ilahi, melainkan
sebagai diagnosis budaya terhadap kondisi eksistensial dan spiritual manusia
modern yang telah kehilangan fondasi metafisik dan moral dari kehidupan¹.
3.1. Bukan Pernyataan Ateistik Biasa
Sering kali, frasa “Tuhan telah mati”
disalahpahami sebagai ungkapan ateisme vulgar, seolah Nietzsche sekadar menolak
eksistensi Tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh filsuf ateis seperti Ludwig
Feuerbach atau Karl Marx. Namun, Nietzsche tidak sekadar menyangkal Tuhan
secara ontologis; yang ia maksud adalah bahwa kepercayaan pada Tuhan sebagai
pusat nilai dan makna telah hancur dalam kesadaran kolektif manusia modern.
Artinya, meskipun Tuhan secara sosial masih dipercayai oleh banyak orang,
secara budaya dan epistemik, Tuhan tidak lagi menjadi sumber otoritas yang
hidup dalam membentuk struktur nilai masyarakat².
Dalam bagian terkenal §125 The Gay Science,
Nietzsche menampilkan tokoh “orang gila” (der tolle Mensch) yang
berteriak di pasar bahwa “Tuhan telah mati!” dan bahwa “kita telah
membunuh-Nya—engkau dan aku!”³. Simbol ini mengekspresikan keterkejutan
manusia terhadap konsekuensi dari kemajuan intelektual yang telah menyingkirkan
kebutuhan akan keyakinan metafisik, tetapi belum sanggup menemukan pengganti
yang sepadan untuk mengisi kekosongan nilai yang ditinggalkannya.
3.2. Tuhan sebagai Simbol Sistem Nilai Absolut
Dalam kerangka pemikiran Nietzsche, Tuhan bukan
sekadar entitas ilahi, tetapi simbol dari sistem nilai absolut yang mengklaim
otoritas universal dan tidak dapat digugat. Ini termasuk agama Kristen,
filsafat metafisika Platonik, dan moralitas Kantian yang mendasarkan
nilai-nilai pada hukum moral transendental. Bagi Nietzsche, semua sistem
tersebut mengabdi pada apa yang ia sebut sebagai “nilai-nilai yang menolak
kehidupan” (life-denying values)⁴.
Dengan kata lain, kematian Tuhan melambangkan
dekonstruksi terhadap semua nilai yang bersandar pada dunia adikodrati dan
menggantikan kehidupan nyata dengan dunia ilusi—dunia yang ideal, sempurna, dan
abadi, sebagaimana dalam ajaran Kristen mengenai surga, atau dalam metafisika
Plato tentang dunia ide. Nietzsche menganggap bahwa kepercayaan seperti itu
menciptakan jarak antara manusia dan keberadaan konkritnya, menjadikan hidup
ini sebagai sesuatu yang perlu “ditebus” alih-alih dirayakan⁵.
3.3. Keruntuhan Makna dan Munculnya Nihilisme
Akibat langsung dari kematian Tuhan adalah
nihilisme—keadaan di mana semua nilai sebelumnya kehilangan makna dan
validitas. Nietzsche menyebut nihilisme sebagai “penyakit masa depan,”
karena meskipun manusia telah membongkar kepercayaan pada nilai-nilai lama,
mereka belum menciptakan nilai baru yang dapat menopang eksistensi secara
otentik⁶. Kehilangan pusat nilai ini mengakibatkan disorientasi moral dan
eksistensial: manusia tidak lagi tahu untuk apa mereka hidup, dan tidak ada
lagi patokan mutlak untuk membimbing tindakan mereka.
Nihilisme dalam pengertian Nietzsche tidak identik
dengan pesimisme; sebaliknya, ia melihatnya sebagai peluang historis untuk
melakukan “penilaian ulang terhadap semua nilai” (Umwertung aller
Werte)⁷. Dalam pandangannya, dunia tanpa Tuhan bukan akhir dari segala
sesuatu, melainkan permulaan bagi manusia untuk menciptakan makna baru secara
bebas dan otonom, tanpa bersandar pada otoritas transendental.
3.4. Makna Etis dan Eksistensial bagi Manusia Modern
Simbolisme “kematian Tuhan” membawa
konsekuensi etis dan eksistensial yang mendalam. Jika tidak ada lagi otoritas
ilahi yang menentukan baik dan buruk, maka manusialah yang harus mengambil alih
tugas menciptakan nilai. Dalam hal ini, Nietzsche tidak menawarkan sistem etika
baru, melainkan mengajak manusia untuk menjadi “pencipta nilai”, yakni
individu yang berani hidup dalam dunia tanpa ilusi dan mengafirmasi kehidupan
apa adanya⁸.
Tokoh Übermensch (manusia unggul) dalam Thus
Spoke Zarathustra adalah representasi dari manusia yang berhasil melewati
nihilisme dan menciptakan nilai-nilai baru dari kekuatan kehendaknya sendiri.
Dalam pandangan Nietzsche, hanya dengan membebaskan diri dari ilusi metafisik
tentang Tuhan dan moralitas absolut, manusia bisa menjadi benar-benar bebas dan
otentik⁹.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
[2]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. I: The Will to
Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: HarperOne, 1991),
61–66.
[3]
Nietzsche, The Gay Science, §125.
[4]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of
Morality, trans. Carol Diethe and Maudemarie Clark (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), 15–17.
[5]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy,
trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 142–145.
[6]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1–22.
[7]
Nietzsche, On the Genealogy of Morality,
55–58.
[8]
John D. Caputo, Philosophy and Theology
(Nashville: Abingdon Press, 2006), 50–52.
[9]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.
4.
Keruntuhan
Sistem Nilai Tradisional dan Krisis Makna
Deklarasi Nietzsche mengenai “kematian Tuhan”
tidak berdiri sendiri sebagai provokasi retoris, melainkan merupakan ekspresi
mendalam dari keruntuhan sistem nilai tradisional yang telah menopang struktur
makna dalam peradaban Barat selama berabad-abad. Sistem nilai ini, yang berakar
pada fondasi metafisika Kristen dan moralitas absolut, mulai tergerus oleh
kemajuan rasionalisme, sekularisasi, serta kritik-kritik filosofis terhadap
objektivitas nilai. Dalam kerangka pemikiran Nietzsche, keruntuhan ini
menimbulkan apa yang ia sebut sebagai nihilisme, yakni kesadaran bahwa
“nilai-nilai tertinggi kehilangan nilai mereka”¹.
4.1. Sistem Nilai Tradisional sebagai Warisan Agama dan
Metafisika Barat
Sistem nilai tradisional dalam sejarah Barat secara
dominan dibentuk oleh ajaran agama Kristen yang menekankan moralitas objektif,
kebenaran transenden, dan tujuan hidup yang melampaui dunia. Tuhan diposisikan
sebagai sumber segala kebaikan, makna, dan tatanan kosmos, sedangkan kehidupan
duniawi dianggap sebagai persinggahan menuju keselamatan kekal. Nilai-nilai
seperti ketaatan, pengorbanan diri, rendah hati, dan pengendalian
hasrat—semuanya dijustifikasi atas dasar kehendak ilahi².
Filsafat metafisika klasik, khususnya dalam warisan
Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas, memperkuat posisi nilai-nilai tersebut
dengan mengasumsikan adanya realitas hakiki yang bersifat abadi dan tidak
berubah. Dunia empiris dianggap sebagai bayangan dari dunia ide atau esensi,
dan moralitas diturunkan dari struktur ontologis yang bersumber pada realitas
mutlak (theos)³. Oleh karena itu, sistem nilai tradisional tidak hanya bersifat
religius, tetapi juga filosofis, karena ia menyandarkan otoritasnya pada struktur
realitas yang dianggap universal dan objektif.
4.2. Proses Keruntuhan: Sains, Kritik Filosofis, dan
Sekularisasi
Pada abad ke-17 hingga ke-19, berbagai perkembangan
dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan politik mulai menggoyahkan keabsahan
sistem nilai tradisional. Revolusi ilmiah dan kemajuan teknologi menggeser cara
pandang manusia dari yang bersifat teosentris ke antroposentris.
Penemuan-penemuan seperti heliosentrisme, hukum gravitasi, dan teori evolusi
membuka kemungkinan penjelasan dunia tanpa rujukan kepada Tuhan⁴.
Filsuf-filsuf modern seperti René Descartes, David
Hume, dan Immanuel Kant semakin memperlemah fondasi metafisika tradisional.
Descartes menekankan otonomi rasio sebagai sumber kebenaran, sementara Hume
menunjukkan bahwa gagasan tentang kausalitas dan Tuhan tidak memiliki dasar
empiris yang dapat diverifikasi. Kant, meskipun tetap religius, membatasi
pengetahuan hanya pada fenomena dan menempatkan Tuhan sebagai postulat moral
belaka⁵.
Dalam pandangan Nietzsche, proses sekularisasi ini
menyebabkan “kematian Tuhan”—yakni runtuhnya keyakinan pada pusat nilai
transenden yang selama ini menjadi sumber makna kehidupan. Namun, yang lebih
penting bagi Nietzsche adalah bahwa manusia belum siap menghadapi kenyataan
tersebut. Mereka hidup seolah-olah nilai-nilai lama masih berlaku, padahal
fondasinya telah runtuh. Inilah yang ia sebut sebagai kondisi nihilistik⁶.
4.3. Krisis Makna dan Disorientasi Etis
Ketika sistem nilai tradisional kehilangan
legitimasi metafisiknya, manusia modern dihadapkan pada kekosongan makna. Tidak
ada lagi acuan moral absolut, tidak ada lagi tujuan hidup yang dijamin oleh
kehendak ilahi, dan tidak ada lagi “kebaikan tertinggi” (summum bonum)
yang menjadi orientasi tindakan. Kehidupan menjadi terfragmentasi, kehilangan
arah, dan bergantung pada preferensi subjektif atau konvensi sosial yang terus
berubah⁷.
Nietzsche menyebut kondisi ini sebagai nihilisme
pasif, di mana manusia masih terikat pada nilai-nilai lama tetapi tidak lagi
percaya pada keabsahannya. Akibatnya, muncullah bentuk-bentuk kehidupan yang
dangkal: hidup sekadar untuk kenyamanan, kekuasaan, atau hiburan. Nilai-nilai
besar digantikan oleh relativisme, hedonisme, dan konformitas massa. Dalam The
Will to Power, Nietzsche mencatat: “Apa yang berarti?—Tidak ada yang
berarti.”⁸
Situasi ini bukan hanya masalah pribadi atau moral,
tetapi krisis peradaban. Dalam pandangan Nietzsche, Barat sedang menghadapi
keruntuhan spiritual yang lebih dalam daripada sekadar krisis ekonomi atau
politik. Ketika Tuhan mati, bukan hanya moralitas yang terguncang, tetapi
seluruh struktur eksistensi yang menopang kehidupan manusia⁹.
4.4. Menuju Transvaluasi: Jalan Keluar atau Ilusi Baru?
Nietzsche tidak berhenti pada kritik. Ia
mengusulkan perlunya transvaluasi nilai-nilai (Umwertung aller Werte),
yakni penciptaan sistem nilai baru yang berpijak pada afirmasi kehidupan, bukan
pada penyangkalannya. Namun, transvaluasi ini hanya dapat dilakukan oleh mereka
yang sanggup menanggung beban nihilisme dan melampauinya secara aktif. Di sinilah
peran Übermensch menjadi penting—sebagai individu yang mampu menjadi
pencipta nilai dan menemukan makna secara otonom, tanpa bersandar pada otoritas
eksternal¹⁰.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §2.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 39–45.
[3]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, trans. A.H.C. Downes (Notre Dame: University of Notre Dame
Press, 1991), 115–120.
[4]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 53–56.
[5]
Roger Scruton, A Short History of Modern
Philosophy (London: Routledge, 2001), 120–125.
[6]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism,
trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 196–200.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[8]
Nietzsche, The Will to Power, §55.
[9]
John D. Caputo, Philosophy and Theology
(Nashville: Abingdon Press, 2006), 50–53.
[10]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 89–91.
5.
Munculnya
Nihilisme dan Tantangan Baru bagi Manusia Modern
Konsekuensi paling mendalam dari kematian Tuhan
dalam pemikiran Friedrich Nietzsche adalah munculnya nihilisme, yakni
kesadaran bahwa tidak ada lagi nilai absolut, tujuan hidup yang transenden,
atau tatanan moral universal yang dapat dijadikan pegangan. Dengan kematian
Tuhan, fondasi makna dan nilai yang sebelumnya dianggap tak tergoyahkan
mengalami kehampaan. Nietzsche tidak hanya menyaksikan kehancuran nilai-nilai
lama, tetapi juga menggambarkan krisis spiritual dan eksistensial yang
menyertainya sebagai tantangan terbesar umat manusia modern¹.
5.1. Definisi Nihilisme dalam Pemikiran Nietzsche
Nietzsche mendefinisikan nihilisme sebagai kondisi
di mana "nilai-nilai tertinggi yang dianut manusia kehilangan
kekuatannya untuk mengikat dan mengarahkan"². Dalam The Will to
Power, ia menulis bahwa nihilisme adalah “keyakinan bahwa segala sesuatu
tidak bernilai; dunia tidak memiliki makna, tujuan, ataupun moralitas yang
melekat”³. Nihilisme bukan sekadar ketiadaan iman religius, melainkan
kehancuran seluruh struktur makna yang mendasari eksistensi manusia.
Dalam kerangka ini, nihilisme adalah tahap sejarah
yang tak terelakkan dari perkembangan budaya Barat. Nietzsche melihatnya
sebagai proses "autokritik" terhadap nilai-nilai yang telah
terbukti tidak tahan uji di bawah terang akal dan ilmu pengetahuan. Dunia
modern yang telah mengusir Tuhan juga telah menggoyahkan landasan moral dan
metafisika yang bersandar pada-Nya, namun belum mampu menggantinya dengan
nilai-nilai baru yang memadai⁴.
5.2. Nihilisme Pasif dan Nihilisme Aktif
Nietzsche membedakan antara dua bentuk nihilisme: nihilisme
pasif dan nihilisme aktif. Nihilisme pasif adalah bentuk penerimaan
pasrah terhadap kenyataan bahwa kehidupan tidak memiliki makna objektif.
Manusia dalam kondisi ini cenderung mengalami keputusasaan, apatisme, dan
keterasingan. Mereka tetap terikat pada nilai-nilai lama, namun sudah tidak
mempercayainya lagi. Ini adalah bentuk nihilisme yang paling umum ditemukan
dalam masyarakat modern, menurut Nietzsche⁵.
Sebaliknya, nihilisme aktif adalah bentuk
pemberontakan kreatif terhadap kehampaan. Individu yang mengalami nihilisme
aktif tidak hanya menyadari kematian Tuhan, tetapi juga menjadikannya titik
tolak untuk menciptakan nilai-nilai baru. Mereka tidak terjebak dalam nostalgia
nilai-nilai lama atau kesedihan karena hilangnya makna, melainkan menerima
kondisi ini sebagai peluang untuk menata ulang dasar-dasar eksistensial dan
etis manusia secara otonom⁶.
5.3. Tantangan Eksistensial Manusia Pasca-Kematian Tuhan
Munculnya nihilisme menyisakan tantangan berat bagi
manusia modern. Ketika tidak ada lagi otoritas moral transendental, manusia
harus menjadi pusat dari penciptaan makna itu sendiri. Dalam hal ini, Nietzsche
menantang manusia untuk keluar dari zona nyaman nilai-nilai konvensional dan menghadapi
dunia secara naked (telanjang), tanpa perlindungan dogma religius atau
moralitas universal⁷.
Namun, tantangan ini tidak mudah. Ketiadaan arah
objektif menimbulkan kecemasan eksistensial, karena manusia dipaksa untuk
bertanggung jawab penuh atas eksistensinya sendiri. Dalam masyarakat
kontemporer, ini dapat terlihat dalam bentuk meningkatnya relativisme,
individualisme ekstrem, dan krisis identitas budaya. Kehidupan sehari-hari
menjadi terfragmentasi dan cenderung kehilangan kedalaman makna⁸.
Nietzsche memandang situasi ini sebagai “masa
transisi”, di mana manusia modern belum benar-benar mati bagi nilai-nilai
lama, tetapi juga belum sanggup hidup sepenuhnya dalam kerangka nilai baru.
Masa ini adalah ladang subur bagi kehampaan spiritual, tetapi juga kesempatan
untuk melahirkan bentuk kemanusiaan baru yang lebih kuat dan bebas⁹.
5.4. Peluang dalam Nihilisme: Menuju Penciptaan Diri
Meskipun nihilisme tampak sebagai kehancuran,
Nietzsche melihat di dalamnya peluang untuk transformasi. Dengan menggugurkan
nilai-nilai lama yang memenjara kehidupan, nihilisme membuka jalan bagi manusia
untuk menjadi pencipta nilai. Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche
menggambarkan figur Übermensch (manusia unggul) sebagai sosok yang mampu
melewati nihilisme dan hidup secara afirmatif tanpa ilusi transendental¹⁰.
Übermensch bukanlah makhluk super secara biologis, melainkan simbol dari manusia
yang menolak tunduk pada nilai-nilai eksternal dan menciptakan nilai dari
kehendaknya sendiri (der Wille zur Macht). Ia menafsirkan dunia dan
hidup dengan penuh kesadaran bahwa tidak ada makna yang datang dari luar, dan
oleh karena itu makna harus diciptakan dari dalam diri manusia itu sendiri¹¹.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §343.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1–2.
[3]
Ibid., §55.
[4]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism,
trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 196–200.
[5]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy,
trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 147–149.
[6]
John D. Caputo, Philosophy and Theology
(Nashville: Abingdon Press, 2006), 51–53.
[7]
Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 108–112.
[8]
Charles Taylor, The Malaise of Modernity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 18–24.
[9]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A
Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010),
323–325.
[10]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.
[11]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), §260.
6.
Transvaluasi
Nilai: Jalan Keluar Nietzsche dari Nihilisme
Di tengah gelombang kehampaan nilai dan krisis
makna yang ditandai oleh nihilisme, Nietzsche tidak berhenti pada pesimisme
filosofis. Ia justru mengembangkan sebuah proyek revolusioner yang disebutnya
sebagai Umwertung aller Werte—penilaian ulang atau transvaluasi terhadap
semua nilai. Gagasan ini merupakan respons aktif terhadap nihilisme: bukan
dengan kembali pada nilai-nilai lama, tetapi dengan menciptakan nilai-nilai
baru yang berpijak pada afirmasi kehidupan dan kehendak manusia untuk menjadi
otentik. Dengan demikian, transvaluasi nilai menjadi inti dari filsafat etika
Nietzsche dan representasi dari visi manusia yang telah melampaui kematian
Tuhan¹.
6.1. Makna Transvaluasi: Kritik terhadap Moralitas
Tradisional
Konsep transvaluasi dalam pemikiran Nietzsche
bermula dari kritiknya yang tajam terhadap moralitas Kristen, yang ia anggap
sebagai moralitas "budak" (Sklavenmoral)—moral yang
mengagungkan kelemahan, kepasrahan, kerendahan hati, dan pengorbanan diri.
Menurut Nietzsche, moralitas ini lahir dari kebencian terhadap kekuatan dan
kehidupan, serta menjadi alat bagi kaum lemah untuk membalas dendam secara
simbolik terhadap kaum kuat².
Dalam On the Genealogy of Morality,
Nietzsche menjelaskan bagaimana nilai-nilai yang kini dianggap luhur
sesungguhnya adalah hasil konstruksi historis yang dimotivasi oleh ressentiment,
yakni perasaan iri yang disublimasikan menjadi kebajikan. Moralitas tradisional
tidak lahir dari kekuatan, melainkan dari kepengecutan dan penyangkalan
terhadap eksistensi dunia nyata³. Karena itu, Nietzsche menyerukan perlunya
menilai ulang semua nilai—yakni mempertanyakan asal-usul, fungsi, dan relevansi
nilai-nilai tersebut terhadap kehidupan.
6.2. Afirmasi Kehidupan dan Nilai sebagai Ciptaan
Berbeda dengan pendekatan moralitas universal yang
mengklaim validitas objektif, Nietzsche memandang nilai sebagai produk kreatif
dari kehendak manusia yang kuat. Ia menekankan pentingnya afirmasi terhadap
kehidupan apa adanya—yakni menerima kehidupan beserta penderitaan,
ketidaksempurnaan, dan absurditasnya—sebagai dasar bagi penciptaan nilai. Dalam
hal ini, Nietzsche menentang semua sistem etika yang merendahkan kehidupan
duniawi demi dunia ideal, sebagaimana dalam agama dan metafisika klasik⁴.
Transvaluasi nilai bukanlah sekadar mengganti isi
moral, tetapi sebuah revolusi dalam cara manusia memahami dan memaknai dunia.
Nilai bukan lagi sesuatu yang diterima dari luar, melainkan sesuatu yang
diciptakan dari dalam oleh individu yang mampu merespon dunia dengan
kekuatan kreatifnya sendiri. Nietzsche menyebut proses ini sebagai ekspresi
dari der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa)—yaitu dorongan
mendasar dalam diri manusia untuk menegaskan eksistensinya secara otonom⁵.
6.3. Peran Übermensch dalam Penciptaan Nilai Baru
Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche
memperkenalkan konsep Übermensch (manusia unggul) sebagai figur ideal
yang mampu melampaui nihilisme dan menjadi pencipta nilai-nilai baru.
Übermensch bukanlah manusia dengan kekuatan fisik luar biasa, melainkan
individu yang menolak tunduk pada nilai-nilai lama dan berani menciptakan makna
secara mandiri. Ia hidup dengan semangat amor fati—cinta terhadap
takdir—dan menegaskan hidup bukan karena adanya jaminan transendental,
melainkan karena hidup itu sendiri layak untuk dihidupi⁶.
Nietzsche menggambarkan Übermensch sebagai
antitesis dari “manusia terakhir” (der letzte Mensch), yakni
manusia modern yang puas dengan kenyamanan, keamanan, dan mediokritas. Manusia
terakhir tidak lagi memiliki kehendak untuk melampaui diri; sebaliknya, ia
menolak penderitaan, tantangan, dan risiko eksistensial. Dalam konteks inilah,
proyek transvaluasi nilai menuntut keberanian untuk menanggung kehampaan tanpa
pelarian, dan dari sana melahirkan bentuk kehidupan baru yang lebih autentik⁷.
6.4. Transvaluasi dalam Konteks Dunia Modern
Gagasan Nietzsche tentang transvaluasi nilai
memiliki resonansi kuat dalam dunia modern yang pluralistik dan sekuler. Ketika
tidak ada lagi sistem nilai tunggal yang memonopoli kebenaran moral, manusia
modern dipaksa untuk menemukan dan merumuskan sendiri prinsip hidupnya. Namun,
kondisi ini tidak serta-merta menjamin pembebasan, sebab nihilisme tetap
mengintai sebagai ancaman laten dalam dunia yang kehilangan orientasi tetap.
Transvaluasi menjadi penting sebagai bentuk resistensi
terhadap dua ekstrem: pertama, regresi ke nilai-nilai lama yang sudah runtuh;
kedua, tenggelam dalam relativisme dan hedonisme pasca-modern. Dalam pandangan
Nietzsche, hanya dengan menanggung nihilisme secara sadar dan produktif,
manusia dapat keluar dari krisis dan menciptakan kembali makna yang bersifat
otentik dan vital⁸.
6.5. Kritik terhadap Transvaluasi: Antara Kebebasan dan
Bahaya Relativisme
Meskipun gagasan transvaluasi Nietzsche menawarkan
jalan keluar dari nihilisme, tidak sedikit kritik yang dilontarkan terhadapnya.
Beberapa filsuf menilai bahwa proyek penciptaan nilai tanpa rujukan objektif
membuka ruang bagi relativisme radikal dan justifikasi terhadap kekerasan atau
dominasi atas nama kehendak individu. Paul Ricoeur, misalnya, memperingatkan bahwa
tanpa batasan etik yang lebih tinggi, transvaluasi dapat tergelincir menjadi
nihilisme baru yang destruktif⁹.
Namun, pembela Nietzsche menyatakan bahwa
transvaluasi bukan anarki nilai, melainkan pengujian nilai secara mendalam,
berdasarkan keberanian untuk hidup secara autentik dan tanggung jawab penuh
atas makna yang diciptakan. Nietzsche tidak menolak moralitas secara
keseluruhan, melainkan mengajak manusia untuk mendefinisikan ulang moralitas
melalui afirmasi kehidupan dan kebebasan diri yang sejati¹⁰.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §22.
[2]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of
Morality, trans. Carol Diethe and Maudemarie Clark (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), 25–27.
[3]
Ibid., 32–35.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy,
trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 3–7.
[5]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), §211.
[6]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.
[7]
Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 116–120.
[8]
John D. Caputo, Philosophy and Theology
(Nashville: Abingdon Press, 2006), 55–57.
[9]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 222–225.
[10]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A
Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010),
337–342.
7.
Relevansi
dan Kritik terhadap Gagasan “Kematian Tuhan”
Gagasan “kematian Tuhan” yang dikemukakan
oleh Friedrich Nietzsche tidak hanya memiliki dampak filosofis yang luas pada
zamannya, tetapi juga terus memicu diskusi hingga hari ini, baik dalam ranah
teologi, etika, filsafat politik, maupun studi budaya kontemporer. Simbol ini
telah menjelma menjadi semacam “poros interpretatif” bagi pemahaman
tentang krisis nilai dalam modernitas dan pascamodernitas. Meskipun banyak
pihak mengakui ketajaman diagnosis Nietzsche atas kondisi spiritual peradaban
Barat, tak sedikit pula yang mengajukan kritik mendalam atas implikasi dan
konsekuensi gagasannya.
7.1. Relevansi dalam Konteks Sekularisme dan Pluralisme
Nilai
Relevansi gagasan kematian Tuhan dapat dilihat
dalam konteks masyarakat modern dan pascamodern yang ditandai oleh sekularisme,
pluralisme nilai, dan fragmentasi makna. Dalam A Secular Age, Charles
Taylor menunjukkan bahwa manusia modern hidup dalam kondisi di mana keberadaan
Tuhan bukan lagi sesuatu yang diandaikan secara otomatis, melainkan menjadi
salah satu dari sekian banyak kemungkinan dalam lanskap iman yang plural dan
kompleks¹. Dalam kondisi seperti itu, banyak individu mengalami apa yang
disebut Taylor sebagai “fragilitas keyakinan” yang senada dengan krisis
eksistensial yang digambarkan oleh Nietzsche.
Gagasan Nietzsche juga menemukan resonansi dalam
wacana kontemporer mengenai deconstruction dan post-foundationalism,
di mana asumsi tentang kebenaran objektif dan otoritas moral absolut
ditangguhkan demi membuka ruang bagi keragaman interpretasi dan pengalaman
hidup yang majemuk². Maka, “kematian Tuhan” menjadi simbol atas gugurnya
satu-satunya pusat makna, dan terbukanya medan sosial yang mengharuskan
pencarian makna secara individual dan reflektif.
7.2. Kritik Teologis dan Religio-Filosofis
Dari sudut pandang teologis, terutama dalam tradisi
Kristen dan Islam, gagasan “kematian Tuhan” dipandang sebagai bentuk
ekstrem dari secular humanism yang mengabaikan dimensi transendental
manusia. Paul Tillich, seorang teolog eksistensialis Kristen, mengakui bahwa
Nietzsche berhasil mengungkap kebangkrutan agama institusional yang kaku,
tetapi ia menegaskan bahwa yang mati bukanlah Tuhan yang sejati, melainkan “Tuhan
dari metafisika tradisional” yang kehilangan relevansi eksistensial³.
Tillich menawarkan konsep “the God beyond God”, yakni Tuhan sebagai
kedalaman keberadaan yang tidak dapat direduksi menjadi konsep dogmatis⁴.
Dalam perspektif Islam, gagasan “kematian Tuhan”
tidak memiliki legitimasi ontologis karena Allah dalam Islam tidak pernah
disubordinasikan kepada institusi atau sistem nilai yang bisa mati secara
historis. Namun, beberapa pemikir Muslim seperti Seyyed Hossein Nasr membaca
gagasan Nietzsche sebagai kritik atas modernitas Barat yang telah kehilangan
dimensi sakral dan memisahkan pengetahuan dari hikmah ilahiah⁵. Dalam hal ini,
Nietzsche menjadi semacam prophet of crisis, meskipun solusinya dinilai
nihilistik dan terlalu mengandalkan otonomi manusia.
7.3. Kritik Etis: Bahaya Relativisme dan Individualisme
Radikal
Gagasan “kematian Tuhan” sering dikritik
karena membuka jalan menuju relativisme moral dan individualisme ekstrem. Jika
semua nilai dianggap hasil konstruksi manusia, maka tidak ada dasar objektif
untuk menilai kebenaran, keadilan, atau kebaikan. Hannah Arendt, dalam The
Origins of Totalitarianism, menunjukkan bahwa krisis makna dan keruntuhan
nilai objektif dalam masyarakat dapat membuka ruang bagi munculnya ideologi
totaliter yang mengisi kekosongan tersebut dengan “kebenaran absolut buatan”⁶.
Begitu pula, dalam konteks kontemporer, kritik
datang dari filsuf moral seperti Alasdair MacIntyre yang dalam After Virtue
menyatakan bahwa proyek modernitas telah gagal membangun sistem etika yang koheren
setelah melepaskan diri dari fondasi metafisik tradisional. Menurutnya,
Nietzsche memang tepat dalam mendiagnosis kehancuran etika modern, tetapi
solusinya berupa transvaluasi nilai dianggap sebagai bentuk kehendak estetis
yang tidak memiliki stabilitas normatif⁷.
7.4. Apresiasi Filosofis: Membangun Keberanian
Eksistensial
Terlepas dari berbagai kritik, banyak pemikir
kontemporer yang mengapresiasi keberanian Nietzsche dalam menghadapi realitas
tanpa ilusi. Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, meskipun tidak sepenuhnya
mengikuti Nietzsche, mengembangkan filsafat eksistensial yang juga bertolak
dari pengakuan bahwa tidak ada makna yang telah tersedia sebelumnya dalam
kehidupan ini. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus mengakui absurditas
eksistensi, tetapi juga mengajak manusia untuk tetap berjuang dalam dunia tanpa
makna yang tetap layak untuk dijalani⁸.
Dengan demikian, Nietzsche telah membuka ruang bagi
manusia untuk menjadi penafsir eksistensinya sendiri, mengajak mereka
untuk hidup secara otentik, tanpa berpura-pura bahwa ada kekuatan adikodrati
yang menjamin moralitas. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, Nietzsche
mengajarkan keberanian untuk menjadi, sebagaimana ditegaskan kembali
oleh Heidegger dalam tafsir ontologisnya terhadap nihilisme⁹.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 3–6.
[2]
Gianni Vattimo, After Christianity, trans.
Luca D’Isanto (New York: Columbia University Press, 2002), 47–50.
[3]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 2000), 179–181.
[4]
Ibid., 182–185.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 263–266.
[6]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism
(New York: Harcourt, 1973), 460–465.
[7]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1984), 109–112.
[8]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 119–123.
[9]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism,
trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 257–259.
8.
Kesimpulan
Simbol “kematian Tuhan” yang dikemukakan
oleh Friedrich Nietzsche bukanlah sekadar pernyataan ateistik, melainkan sebuah
diagnosis filosofis yang mengguncang fondasi metafisika dan sistem nilai
tradisional peradaban Barat. Dalam kerangka ini, Nietzsche menunjukkan bahwa
modernitas dengan rasionalisme, sekularisasi, dan kemajuan ilmiahnya secara
tidak langsung telah “membunuh Tuhan”—yakni, meruntuhkan otoritas
transenden yang selama berabad-abad menjadi sumber legitimasi moral, makna
hidup, dan struktur kosmologis masyarakat¹.
Keruntuhan nilai-nilai tradisional yang menyertai
kematian Tuhan menimbulkan krisis makna yang luas dan melahirkan kondisi
nihilisme. Manusia modern, menurut Nietzsche, terombang-ambing dalam kehampaan
eksistensial karena nilai-nilai lama telah kehilangan validitasnya, sementara
nilai-nilai baru belum berhasil diciptakan. Nihilisme, dalam konteks ini,
bukanlah akhir dari segalanya, melainkan momen transisi yang menuntut
keberanian eksistensial untuk melampaui kehampaan tersebut dan menciptakan
horizon nilai baru secara otonom².
Jawaban Nietzsche atas krisis ini adalah gagasan Umwertung
aller Werte—transvaluasi terhadap semua nilai. Ia menolak moralitas
tradisional yang dianggap mengekang kehidupan, dan mengusulkan penciptaan
nilai-nilai baru yang berakar pada afirmasi kehidupan dan kehendak manusia
untuk berkuasa. Tokoh ideal dalam proyek ini adalah Übermensch—manusia
unggul yang berani hidup tanpa sandaran transenden, dan sanggup menanggung
tanggung jawab eksistensial sepenuhnya³.
Namun demikian, gagasan ini tidak lepas dari
kritik. Sebagian pihak menilai bahwa proyek Nietzsche berisiko membuka jalan
bagi relativisme ekstrem, kehendak destruktif, dan ketidakstabilan etika.
Teolog seperti Paul Tillich dan pemikir moral seperti Alasdair MacIntyre
menekankan pentingnya mempertahankan struktur etika yang lebih kokoh daripada
sekadar kehendak individual⁴. Meskipun demikian, banyak pemikir kontemporer
yang mengapresiasi Nietzsche karena keberaniannya mengungkap krisis spiritual
modern dan mengusulkan paradigma baru tentang kebebasan, penciptaan diri, dan
tanggung jawab makna⁵.
Secara keseluruhan, simbol “kematian Tuhan”
dalam filsafat Nietzsche tetap relevan sebagai lensa kritis dalam memahami
dinamika spiritual, moral, dan kultural masyarakat kontemporer. Ia mengajak
manusia untuk tidak berlindung pada dogma yang telah usang, melainkan untuk
menghadapi dunia secara jujur, berani, dan kreatif. Dalam dunia tanpa pusat
makna yang tetap, Nietzsche menyerukan perlunya manusia menjadi subjek makna,
bukan sekadar objek dari nilai-nilai yang diwariskan secara pasif. Ia menantang
manusia untuk menjadi pencipta kehidupan, bukan hanya penafsir dari
kehancuran⁶.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §2, §55.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.
[4]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 2000), 182–185; Alasdair MacIntyre, After Virtue
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 109–112.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24; Albert
Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage,
1991), 119–123.
[6]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism,
trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 257–259.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1973). The origins of
totalitarianism. Harcourt.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage. (Original work published 1942)
Caputo, J. D. (2006). Philosophy and theology.
Abingdon Press.
Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy
(H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.
Gilson, E. (1991). The spirit of medieval
philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press.
(Original work published 1936)
Gillespie, M. (2008). The theological origins of
modernity. University of Chicago Press.
Heidegger, M. (1991). Nietzsche, Vol. I: The
will to power as art (D. F. Krell, Trans.). HarperOne.
Heidegger, M. (1991). Nietzsche, Vol. II: The
eternal recurrence of the same (D. F. Krell, Trans.). HarperOne.
Heidegger, M. (1991). Nietzsche, Vol. IV:
Nihilism (F. A. Capuzzi, Trans.). HarperOne.
Kaufmann, W. (Ed. & Trans.). (1974). The gay
science (F. Nietzsche). Vintage.
Kaufmann, W., & Hollingdale, R. J. (Trans.).
(1968). The will to power (F. Nietzsche). Vintage.
MacIntyre, A. (1984). After virtue: A study in
moral theory (2nd ed.). University of Notre Dame Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as
literature. Harvard University Press.
Nietzsche, F. (1969). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1883–1885)
Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1886)
Nietzsche, F. (2007). On the genealogy of
morality (C. Diethe & M. Clark, Trans.). Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
published 1946)
Scruton, R. (2001). A short history of modern
philosophy: From Descartes to Wittgenstein (2nd ed.). Routledge.
Taylor, C. (1991). The malaise of modernity.
Harvard University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard
University Press.
Tillich, P. (2000). The courage to be. Yale
University Press. (Original work published 1952)
Vattimo, G. (2002). After Christianity (L.
D’Isanto, Trans.). Columbia University Press.
Young, J. (2010). Friedrich Nietzsche: A
philosophical biography. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar