Sabtu, 31 Mei 2025

Kematian Tuhan: Membaca Simbolisme Nietzsche dalam Krisis Peradaban Modern

Kematian Tuhan

Membaca Simbolisme Nietzsche dalam Krisis Peradaban Modern


Alihkan ke: Pemikiran Friedrich Nietzsche.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif simbolisme “kematian Tuhan” dalam filsafat Friedrich Nietzsche sebagai ekspresi dari keruntuhan sistem nilai tradisional dalam peradaban Barat modern. Melalui pendekatan filosofis-hermeneutik dan analisis historis-kultural, artikel ini menelusuri latar belakang munculnya konsep tersebut dalam konteks sekularisasi, rasionalisasi modernitas, serta krisis spiritual yang ditimbulkannya. Nietzsche menggambarkan bahwa kematian Tuhan bukan hanya penolakan terhadap entitas ilahi, tetapi representasi dari hilangnya fondasi metafisis yang selama ini menopang struktur moral dan makna kehidupan manusia. Dalam kehampaan nilai yang ditinggalkan oleh nihilisme, Nietzsche mengusulkan gagasan transvaluasi nilai (Umwertung aller Werte) sebagai proyek pembebasan eksistensial dan penciptaan nilai-nilai baru yang berakar pada afirmasi kehidupan. Artikel ini juga mengulas kritik-kritik terhadap konsep tersebut dari perspektif teologis, etis, dan filosofis kontemporer, serta menunjukkan relevansinya dalam menghadapi tantangan pluralisme dan krisis makna di era modern dan pascamodern.

Kata Kunci: Nietzsche, kematian Tuhan, nihilisme, transvaluasi nilai, modernitas, krisis makna, Übermensch, etika eksistensial, sekularisme, filsafat moral.


PEMBAHASAN

Kematian Tuhan dan Keruntuhan Sistem Nilai


1.           Pendahuluan

Modernitas sebagai sebuah periode sejarah dan paradigma budaya ditandai oleh kemajuan rasionalitas ilmiah, sekularisasi kehidupan sosial, dan krisis otoritas religius. Di tengah geliat pencerahan yang menjunjung tinggi akal budi sebagai pusat otoritas epistemik, eksistensi nilai-nilai tradisional yang dahulu bersandar pada fondasi religius-metafisik mulai goyah. Dalam konteks inilah Friedrich Nietzsche mengumandangkan deklarasi filosofis yang mengguncang dunia pemikiran modern: “Tuhan telah mati” (Gott ist tot)¹. Pernyataan ini bukanlah sebatas proklamasi ateisme, melainkan simbol dari keruntuhan sistem nilai absolut yang telah mengatur orientasi moral dan makna hidup manusia selama berabad-abad.

Nietzsche menempatkan manusia modern dalam suatu situasi krisis: di satu sisi, manusia telah kehilangan kepercayaannya terhadap narasi metafisika besar seperti agama dan moralitas objektif; di sisi lain, belum tersedia sistem nilai baru yang mampu menggantikan peran eksistensial dari sistem yang telah runtuh itu². Kehampaan makna dan kehilangan arah dalam kehidupan modern bukanlah sekadar problem psikologis, melainkan gejala kultural dan spiritual dari peradaban yang sedang teralienasi dari fondasi nilai yang transenden.

Simbol “kematian Tuhan” dalam karya Nietzsche seperti The Gay Science dan Thus Spoke Zarathustra tidak dapat dipahami secara literal sebagai penolakan terhadap keberadaan Tuhan secara metafisik, melainkan harus dimaknai secara hermeneutik sebagai kritik terhadap struktur nilai yang diwarisi dari agama Kristen dan filsafat metafisika Barat³. Ia menyatakan bahwa manusia telah “membunuh Tuhan” dengan menggantikan iman dengan sains, mitos dengan fakta, dan dogma dengan relativisme. Dunia modern, dalam pandangan Nietzsche, telah kehilangan pusat maknanya dan bergerak menuju nihilisme: suatu keadaan di mana semua nilai kehilangan validitasnya⁴.

Krisis nilai yang dimaksud Nietzsche tidak hanya bersifat teoritis, tetapi nyata dalam bentuk disorientasi etis, relasi sosial yang mekanistik, dan gaya hidup yang tereduksi menjadi konsumsi dan utilitas. Dalam menghadapi kenyataan ini, Nietzsche tidak berhenti pada kritik, melainkan menawarkan konsep transvaluasi nilai sebagai upaya menciptakan kembali makna hidup manusia secara otentik. Namun, proyek ini tidak bebas dari tantangan, sebab membutuhkan manusia baru—Übermensch—yang mampu hidup tanpa ilusi dan menanggung beban kebebasan mutlak⁵.

Tulisan ini bertujuan untuk membedah secara mendalam makna simbolik dari konsep “kematian Tuhan”, latar belakang historis-filosofisnya, serta implikasi etis dan kulturalnya dalam lanskap peradaban modern. Dengan pendekatan filosofis-hermeneutik, artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana Nietzsche membaca keruntuhan nilai tradisional, bagaimana nihilisme muncul sebagai konsekuensinya, dan apa yang ditawarkan sebagai jalan keluar dari krisis spiritual kontemporer.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181, §125.

[2]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 299–303.

[3]                Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. I: The Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 61–66.

[4]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 148–150.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.


2.           Konteks Historis dan Filosofis Lahirnya Gagasan “Kematian Tuhan”

Untuk memahami sepenuhnya makna dan kedalaman simbol “kematian Tuhan” dalam filsafat Friedrich Nietzsche, penting untuk menempatkan gagasan tersebut dalam konteks historis dan filosofis dari zaman di mana ia hidup dan berpikir. Nietzsche menyusun pemikirannya pada akhir abad ke-19, sebuah masa di mana Eropa sedang mengalami perubahan besar dalam berbagai bidang kehidupan—sains, filsafat, politik, dan agama—yang semuanya menandai pergeseran tajam dari dunia tradisional menuju modernitas yang rasionalistik dan sekuler¹.

2.1.       Latar Sosial dan Kultural Eropa Abad ke-19

Zaman Nietzsche merupakan era pasca-Pencerahan (Aufklärung) dan pasca-Revolusi Industri, di mana rasionalitas ilmiah dan sekularisme semakin mendominasi cara pandang masyarakat terhadap dunia. Kepercayaan pada Tuhan, moralitas absolut, dan tatanan dunia yang terstruktur secara metafisik mulai tergantikan oleh materialisme ilmiah, positivisme, serta kepercayaan bahwa akal budi manusia mampu menjelaskan segalanya tanpa membutuhkan intervensi ilahi². Dalam suasana ini, agama—terutama Kristen—kehilangan pengaruh sentralnya dalam mengatur struktur makna dan nilai dalam kehidupan masyarakat.

Munculnya gejala sekularisasi, yang menurut Charles Taylor merupakan pengurangan dominasi kepercayaan religius dalam ruang publik, secara perlahan menggantikan struktur kehidupan yang dulunya berpusat pada Allah dengan tatanan yang menekankan otonomi manusia dan dunia³. Di samping itu, filsafat modern—seperti rasionalisme Descartes, empirisme Locke, dan idealisme Kant—telah menciptakan jarak antara manusia dan transendensi, sehingga membuka jalan menuju krisis spiritual dan nihilisme.

2.2.       Reaksi Nietzsche terhadap Pencerahan dan Modernitas

Nietzsche menanggapi modernitas dengan sikap ambivalen—di satu sisi mengakui kemajuan intelektual yang dicapai umat manusia, tetapi di sisi lain melihatnya sebagai awal dari kehancuran struktur makna yang telah menopang peradaban Barat selama berabad-abad. Bagi Nietzsche, proyek pencerahan telah “membunuh Tuhan” karena menempatkan rasio sebagai otoritas tertinggi dan menyingkirkan kepercayaan metafisik terhadap realitas adikodrati⁴. Dalam The Gay Science, ia menyatakan dengan penuh simbolisme bahwa "kita telah membunuh-Nya—engkau dan aku" sebagai pernyataan kolektif dari manusia modern yang telah menggantikan Tuhan dengan sains dan pengetahuan duniawi⁵.

Nietzsche menilai bahwa sains modern tidak benar-benar netral, melainkan turut serta dalam menggantikan fondasi nilai yang sebelumnya diberikan oleh agama. Kepercayaan bahwa dunia dapat dijelaskan sepenuhnya melalui hukum-hukum fisika dan kalkulasi matematika menyisakan kekosongan spiritual yang sangat dalam. Oleh sebab itu, “kematian Tuhan” menjadi simbol dari kehancuran basis moral dan nilai-nilai tradisional yang telah menjadi penopang kehidupan Barat⁶.

2.3.       Kehilangan Fondasi Metafisika dan Krisis Nilai

Dalam filsafat Barat sebelum Nietzsche, keberadaan Tuhan dianggap sebagai grundlage atau fondasi dari segala yang ada, termasuk moralitas, tujuan hidup, dan tatanan kosmik. Namun, dengan hilangnya otoritas Tuhan, sistem nilai yang didasarkan pada perintah ilahi menjadi rapuh dan kehilangan justifikasi rasional. Nietzsche melihat hal ini sebagai awal dari nihilisme, yaitu keadaan di mana nilai-nilai tradisional kehilangan makna, tetapi belum ada nilai baru yang menggantikannya⁷.

Nietzsche tidak sekadar mengkritik agama, tetapi membongkar seluruh bangunan metafisika Barat yang menurutnya telah membangun “nilai-nilai yang menolak kehidupan”—yakni nilai-nilai yang mengingkari dunia ini demi dunia lain, atau menundukkan kehendak manusia pada moralitas universal yang abstrak⁸. Dalam pandangan Nietzsche, ini adalah bentuk kebohongan besar yang menindas vitalitas manusia dan menghambat penciptaan nilai-nilai baru yang bersumber dari kehidupan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 251–253.

[2]                Michael Gillespie, The Theological Origins of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 2008), 2–5.

[3]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 25–30.

[4]                Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. II: The Eternal Recurrence of the Same, trans. David Farrell Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 82–85.

[5]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[6]                John D. Caputo, Philosophy and Theology (Nashville: Abingdon Press, 2006), 45–46.

[7]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §2.

[8]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 150–155.


3.           Arti Simbolik “Kematian Tuhan” dalam Pemikiran Nietzsche

Konsep “kematian Tuhan” (Gott ist tot) yang diungkapkan oleh Friedrich Nietzsche dalam Die fröhliche Wissenschaft (The Gay Science) dan Also sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra) merupakan salah satu simbol paling radikal dan kontroversial dalam sejarah filsafat modern. Nietzsche sendiri tidak pernah menyajikannya sebagai pernyataan metafisika atau biologis tentang entitas ilahi, melainkan sebagai diagnosis budaya terhadap kondisi eksistensial dan spiritual manusia modern yang telah kehilangan fondasi metafisik dan moral dari kehidupan¹.

3.1.       Bukan Pernyataan Ateistik Biasa

Sering kali, frasa “Tuhan telah mati” disalahpahami sebagai ungkapan ateisme vulgar, seolah Nietzsche sekadar menolak eksistensi Tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh filsuf ateis seperti Ludwig Feuerbach atau Karl Marx. Namun, Nietzsche tidak sekadar menyangkal Tuhan secara ontologis; yang ia maksud adalah bahwa kepercayaan pada Tuhan sebagai pusat nilai dan makna telah hancur dalam kesadaran kolektif manusia modern. Artinya, meskipun Tuhan secara sosial masih dipercayai oleh banyak orang, secara budaya dan epistemik, Tuhan tidak lagi menjadi sumber otoritas yang hidup dalam membentuk struktur nilai masyarakat².

Dalam bagian terkenal §125 The Gay Science, Nietzsche menampilkan tokoh “orang gila” (der tolle Mensch) yang berteriak di pasar bahwa “Tuhan telah mati!” dan bahwa “kita telah membunuh-Nya—engkau dan aku!”³. Simbol ini mengekspresikan keterkejutan manusia terhadap konsekuensi dari kemajuan intelektual yang telah menyingkirkan kebutuhan akan keyakinan metafisik, tetapi belum sanggup menemukan pengganti yang sepadan untuk mengisi kekosongan nilai yang ditinggalkannya.

3.2.       Tuhan sebagai Simbol Sistem Nilai Absolut

Dalam kerangka pemikiran Nietzsche, Tuhan bukan sekadar entitas ilahi, tetapi simbol dari sistem nilai absolut yang mengklaim otoritas universal dan tidak dapat digugat. Ini termasuk agama Kristen, filsafat metafisika Platonik, dan moralitas Kantian yang mendasarkan nilai-nilai pada hukum moral transendental. Bagi Nietzsche, semua sistem tersebut mengabdi pada apa yang ia sebut sebagai “nilai-nilai yang menolak kehidupan” (life-denying values)⁴.

Dengan kata lain, kematian Tuhan melambangkan dekonstruksi terhadap semua nilai yang bersandar pada dunia adikodrati dan menggantikan kehidupan nyata dengan dunia ilusi—dunia yang ideal, sempurna, dan abadi, sebagaimana dalam ajaran Kristen mengenai surga, atau dalam metafisika Plato tentang dunia ide. Nietzsche menganggap bahwa kepercayaan seperti itu menciptakan jarak antara manusia dan keberadaan konkritnya, menjadikan hidup ini sebagai sesuatu yang perlu “ditebus” alih-alih dirayakan⁵.

3.3.       Keruntuhan Makna dan Munculnya Nihilisme

Akibat langsung dari kematian Tuhan adalah nihilisme—keadaan di mana semua nilai sebelumnya kehilangan makna dan validitas. Nietzsche menyebut nihilisme sebagai “penyakit masa depan,” karena meskipun manusia telah membongkar kepercayaan pada nilai-nilai lama, mereka belum menciptakan nilai baru yang dapat menopang eksistensi secara otentik⁶. Kehilangan pusat nilai ini mengakibatkan disorientasi moral dan eksistensial: manusia tidak lagi tahu untuk apa mereka hidup, dan tidak ada lagi patokan mutlak untuk membimbing tindakan mereka.

Nihilisme dalam pengertian Nietzsche tidak identik dengan pesimisme; sebaliknya, ia melihatnya sebagai peluang historis untuk melakukan “penilaian ulang terhadap semua nilai” (Umwertung aller Werte)⁷. Dalam pandangannya, dunia tanpa Tuhan bukan akhir dari segala sesuatu, melainkan permulaan bagi manusia untuk menciptakan makna baru secara bebas dan otonom, tanpa bersandar pada otoritas transendental.

3.4.       Makna Etis dan Eksistensial bagi Manusia Modern

Simbolisme “kematian Tuhan” membawa konsekuensi etis dan eksistensial yang mendalam. Jika tidak ada lagi otoritas ilahi yang menentukan baik dan buruk, maka manusialah yang harus mengambil alih tugas menciptakan nilai. Dalam hal ini, Nietzsche tidak menawarkan sistem etika baru, melainkan mengajak manusia untuk menjadi “pencipta nilai”, yakni individu yang berani hidup dalam dunia tanpa ilusi dan mengafirmasi kehidupan apa adanya⁸.

Tokoh Übermensch (manusia unggul) dalam Thus Spoke Zarathustra adalah representasi dari manusia yang berhasil melewati nihilisme dan menciptakan nilai-nilai baru dari kekuatan kehendaknya sendiri. Dalam pandangan Nietzsche, hanya dengan membebaskan diri dari ilusi metafisik tentang Tuhan dan moralitas absolut, manusia bisa menjadi benar-benar bebas dan otentik⁹.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[2]                Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. I: The Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 61–66.

[3]                Nietzsche, The Gay Science, §125.

[4]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe and Maudemarie Clark (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 15–17.

[5]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 142–145.

[6]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1–22.

[7]                Nietzsche, On the Genealogy of Morality, 55–58.

[8]                John D. Caputo, Philosophy and Theology (Nashville: Abingdon Press, 2006), 50–52.

[9]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.


4.           Keruntuhan Sistem Nilai Tradisional dan Krisis Makna

Deklarasi Nietzsche mengenai “kematian Tuhan” tidak berdiri sendiri sebagai provokasi retoris, melainkan merupakan ekspresi mendalam dari keruntuhan sistem nilai tradisional yang telah menopang struktur makna dalam peradaban Barat selama berabad-abad. Sistem nilai ini, yang berakar pada fondasi metafisika Kristen dan moralitas absolut, mulai tergerus oleh kemajuan rasionalisme, sekularisasi, serta kritik-kritik filosofis terhadap objektivitas nilai. Dalam kerangka pemikiran Nietzsche, keruntuhan ini menimbulkan apa yang ia sebut sebagai nihilisme, yakni kesadaran bahwa “nilai-nilai tertinggi kehilangan nilai mereka”¹.

4.1.       Sistem Nilai Tradisional sebagai Warisan Agama dan Metafisika Barat

Sistem nilai tradisional dalam sejarah Barat secara dominan dibentuk oleh ajaran agama Kristen yang menekankan moralitas objektif, kebenaran transenden, dan tujuan hidup yang melampaui dunia. Tuhan diposisikan sebagai sumber segala kebaikan, makna, dan tatanan kosmos, sedangkan kehidupan duniawi dianggap sebagai persinggahan menuju keselamatan kekal. Nilai-nilai seperti ketaatan, pengorbanan diri, rendah hati, dan pengendalian hasrat—semuanya dijustifikasi atas dasar kehendak ilahi².

Filsafat metafisika klasik, khususnya dalam warisan Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas, memperkuat posisi nilai-nilai tersebut dengan mengasumsikan adanya realitas hakiki yang bersifat abadi dan tidak berubah. Dunia empiris dianggap sebagai bayangan dari dunia ide atau esensi, dan moralitas diturunkan dari struktur ontologis yang bersumber pada realitas mutlak (theos)³. Oleh karena itu, sistem nilai tradisional tidak hanya bersifat religius, tetapi juga filosofis, karena ia menyandarkan otoritasnya pada struktur realitas yang dianggap universal dan objektif.

4.2.       Proses Keruntuhan: Sains, Kritik Filosofis, dan Sekularisasi

Pada abad ke-17 hingga ke-19, berbagai perkembangan dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan politik mulai menggoyahkan keabsahan sistem nilai tradisional. Revolusi ilmiah dan kemajuan teknologi menggeser cara pandang manusia dari yang bersifat teosentris ke antroposentris. Penemuan-penemuan seperti heliosentrisme, hukum gravitasi, dan teori evolusi membuka kemungkinan penjelasan dunia tanpa rujukan kepada Tuhan⁴.

Filsuf-filsuf modern seperti René Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant semakin memperlemah fondasi metafisika tradisional. Descartes menekankan otonomi rasio sebagai sumber kebenaran, sementara Hume menunjukkan bahwa gagasan tentang kausalitas dan Tuhan tidak memiliki dasar empiris yang dapat diverifikasi. Kant, meskipun tetap religius, membatasi pengetahuan hanya pada fenomena dan menempatkan Tuhan sebagai postulat moral belaka⁵.

Dalam pandangan Nietzsche, proses sekularisasi ini menyebabkan “kematian Tuhan”—yakni runtuhnya keyakinan pada pusat nilai transenden yang selama ini menjadi sumber makna kehidupan. Namun, yang lebih penting bagi Nietzsche adalah bahwa manusia belum siap menghadapi kenyataan tersebut. Mereka hidup seolah-olah nilai-nilai lama masih berlaku, padahal fondasinya telah runtuh. Inilah yang ia sebut sebagai kondisi nihilistik⁶.

4.3.       Krisis Makna dan Disorientasi Etis

Ketika sistem nilai tradisional kehilangan legitimasi metafisiknya, manusia modern dihadapkan pada kekosongan makna. Tidak ada lagi acuan moral absolut, tidak ada lagi tujuan hidup yang dijamin oleh kehendak ilahi, dan tidak ada lagi “kebaikan tertinggi” (summum bonum) yang menjadi orientasi tindakan. Kehidupan menjadi terfragmentasi, kehilangan arah, dan bergantung pada preferensi subjektif atau konvensi sosial yang terus berubah⁷.

Nietzsche menyebut kondisi ini sebagai nihilisme pasif, di mana manusia masih terikat pada nilai-nilai lama tetapi tidak lagi percaya pada keabsahannya. Akibatnya, muncullah bentuk-bentuk kehidupan yang dangkal: hidup sekadar untuk kenyamanan, kekuasaan, atau hiburan. Nilai-nilai besar digantikan oleh relativisme, hedonisme, dan konformitas massa. Dalam The Will to Power, Nietzsche mencatat: “Apa yang berarti?—Tidak ada yang berarti.”⁸

Situasi ini bukan hanya masalah pribadi atau moral, tetapi krisis peradaban. Dalam pandangan Nietzsche, Barat sedang menghadapi keruntuhan spiritual yang lebih dalam daripada sekadar krisis ekonomi atau politik. Ketika Tuhan mati, bukan hanya moralitas yang terguncang, tetapi seluruh struktur eksistensi yang menopang kehidupan manusia⁹.

4.4.       Menuju Transvaluasi: Jalan Keluar atau Ilusi Baru?

Nietzsche tidak berhenti pada kritik. Ia mengusulkan perlunya transvaluasi nilai-nilai (Umwertung aller Werte), yakni penciptaan sistem nilai baru yang berpijak pada afirmasi kehidupan, bukan pada penyangkalannya. Namun, transvaluasi ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sanggup menanggung beban nihilisme dan melampauinya secara aktif. Di sinilah peran Übermensch menjadi penting—sebagai individu yang mampu menjadi pencipta nilai dan menemukan makna secara otonom, tanpa bersandar pada otoritas eksternal¹⁰.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §2.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 39–45.

[3]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, trans. A.H.C. Downes (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 115–120.

[4]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 53–56.

[5]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy (London: Routledge, 2001), 120–125.

[6]                Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism, trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 196–200.

[7]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[8]                Nietzsche, The Will to Power, §55.

[9]                John D. Caputo, Philosophy and Theology (Nashville: Abingdon Press, 2006), 50–53.

[10]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 89–91.


5.           Munculnya Nihilisme dan Tantangan Baru bagi Manusia Modern

Konsekuensi paling mendalam dari kematian Tuhan dalam pemikiran Friedrich Nietzsche adalah munculnya nihilisme, yakni kesadaran bahwa tidak ada lagi nilai absolut, tujuan hidup yang transenden, atau tatanan moral universal yang dapat dijadikan pegangan. Dengan kematian Tuhan, fondasi makna dan nilai yang sebelumnya dianggap tak tergoyahkan mengalami kehampaan. Nietzsche tidak hanya menyaksikan kehancuran nilai-nilai lama, tetapi juga menggambarkan krisis spiritual dan eksistensial yang menyertainya sebagai tantangan terbesar umat manusia modern¹.

5.1.       Definisi Nihilisme dalam Pemikiran Nietzsche

Nietzsche mendefinisikan nihilisme sebagai kondisi di mana "nilai-nilai tertinggi yang dianut manusia kehilangan kekuatannya untuk mengikat dan mengarahkan"². Dalam The Will to Power, ia menulis bahwa nihilisme adalah “keyakinan bahwa segala sesuatu tidak bernilai; dunia tidak memiliki makna, tujuan, ataupun moralitas yang melekat”³. Nihilisme bukan sekadar ketiadaan iman religius, melainkan kehancuran seluruh struktur makna yang mendasari eksistensi manusia.

Dalam kerangka ini, nihilisme adalah tahap sejarah yang tak terelakkan dari perkembangan budaya Barat. Nietzsche melihatnya sebagai proses "autokritik" terhadap nilai-nilai yang telah terbukti tidak tahan uji di bawah terang akal dan ilmu pengetahuan. Dunia modern yang telah mengusir Tuhan juga telah menggoyahkan landasan moral dan metafisika yang bersandar pada-Nya, namun belum mampu menggantinya dengan nilai-nilai baru yang memadai⁴.

5.2.       Nihilisme Pasif dan Nihilisme Aktif

Nietzsche membedakan antara dua bentuk nihilisme: nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Nihilisme pasif adalah bentuk penerimaan pasrah terhadap kenyataan bahwa kehidupan tidak memiliki makna objektif. Manusia dalam kondisi ini cenderung mengalami keputusasaan, apatisme, dan keterasingan. Mereka tetap terikat pada nilai-nilai lama, namun sudah tidak mempercayainya lagi. Ini adalah bentuk nihilisme yang paling umum ditemukan dalam masyarakat modern, menurut Nietzsche⁵.

Sebaliknya, nihilisme aktif adalah bentuk pemberontakan kreatif terhadap kehampaan. Individu yang mengalami nihilisme aktif tidak hanya menyadari kematian Tuhan, tetapi juga menjadikannya titik tolak untuk menciptakan nilai-nilai baru. Mereka tidak terjebak dalam nostalgia nilai-nilai lama atau kesedihan karena hilangnya makna, melainkan menerima kondisi ini sebagai peluang untuk menata ulang dasar-dasar eksistensial dan etis manusia secara otonom⁶.

5.3.       Tantangan Eksistensial Manusia Pasca-Kematian Tuhan

Munculnya nihilisme menyisakan tantangan berat bagi manusia modern. Ketika tidak ada lagi otoritas moral transendental, manusia harus menjadi pusat dari penciptaan makna itu sendiri. Dalam hal ini, Nietzsche menantang manusia untuk keluar dari zona nyaman nilai-nilai konvensional dan menghadapi dunia secara naked (telanjang), tanpa perlindungan dogma religius atau moralitas universal⁷.

Namun, tantangan ini tidak mudah. Ketiadaan arah objektif menimbulkan kecemasan eksistensial, karena manusia dipaksa untuk bertanggung jawab penuh atas eksistensinya sendiri. Dalam masyarakat kontemporer, ini dapat terlihat dalam bentuk meningkatnya relativisme, individualisme ekstrem, dan krisis identitas budaya. Kehidupan sehari-hari menjadi terfragmentasi dan cenderung kehilangan kedalaman makna⁸.

Nietzsche memandang situasi ini sebagai “masa transisi”, di mana manusia modern belum benar-benar mati bagi nilai-nilai lama, tetapi juga belum sanggup hidup sepenuhnya dalam kerangka nilai baru. Masa ini adalah ladang subur bagi kehampaan spiritual, tetapi juga kesempatan untuk melahirkan bentuk kemanusiaan baru yang lebih kuat dan bebas⁹.

5.4.       Peluang dalam Nihilisme: Menuju Penciptaan Diri

Meskipun nihilisme tampak sebagai kehancuran, Nietzsche melihat di dalamnya peluang untuk transformasi. Dengan menggugurkan nilai-nilai lama yang memenjara kehidupan, nihilisme membuka jalan bagi manusia untuk menjadi pencipta nilai. Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menggambarkan figur Übermensch (manusia unggul) sebagai sosok yang mampu melewati nihilisme dan hidup secara afirmatif tanpa ilusi transendental¹⁰.

Übermensch bukanlah makhluk super secara biologis, melainkan simbol dari manusia yang menolak tunduk pada nilai-nilai eksternal dan menciptakan nilai dari kehendaknya sendiri (der Wille zur Macht). Ia menafsirkan dunia dan hidup dengan penuh kesadaran bahwa tidak ada makna yang datang dari luar, dan oleh karena itu makna harus diciptakan dari dalam diri manusia itu sendiri¹¹.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §343.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1–2.

[3]                Ibid., §55.

[4]                Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism, trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 196–200.

[5]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 147–149.

[6]                John D. Caputo, Philosophy and Theology (Nashville: Abingdon Press, 2006), 51–53.

[7]                Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 108–112.

[8]                Charles Taylor, The Malaise of Modernity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 18–24.

[9]                Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 323–325.

[10]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.

[11]             Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), §260.


6.           Transvaluasi Nilai: Jalan Keluar Nietzsche dari Nihilisme

Di tengah gelombang kehampaan nilai dan krisis makna yang ditandai oleh nihilisme, Nietzsche tidak berhenti pada pesimisme filosofis. Ia justru mengembangkan sebuah proyek revolusioner yang disebutnya sebagai Umwertung aller Werte—penilaian ulang atau transvaluasi terhadap semua nilai. Gagasan ini merupakan respons aktif terhadap nihilisme: bukan dengan kembali pada nilai-nilai lama, tetapi dengan menciptakan nilai-nilai baru yang berpijak pada afirmasi kehidupan dan kehendak manusia untuk menjadi otentik. Dengan demikian, transvaluasi nilai menjadi inti dari filsafat etika Nietzsche dan representasi dari visi manusia yang telah melampaui kematian Tuhan¹.

6.1.       Makna Transvaluasi: Kritik terhadap Moralitas Tradisional

Konsep transvaluasi dalam pemikiran Nietzsche bermula dari kritiknya yang tajam terhadap moralitas Kristen, yang ia anggap sebagai moralitas "budak" (Sklavenmoral)—moral yang mengagungkan kelemahan, kepasrahan, kerendahan hati, dan pengorbanan diri. Menurut Nietzsche, moralitas ini lahir dari kebencian terhadap kekuatan dan kehidupan, serta menjadi alat bagi kaum lemah untuk membalas dendam secara simbolik terhadap kaum kuat².

Dalam On the Genealogy of Morality, Nietzsche menjelaskan bagaimana nilai-nilai yang kini dianggap luhur sesungguhnya adalah hasil konstruksi historis yang dimotivasi oleh ressentiment, yakni perasaan iri yang disublimasikan menjadi kebajikan. Moralitas tradisional tidak lahir dari kekuatan, melainkan dari kepengecutan dan penyangkalan terhadap eksistensi dunia nyata³. Karena itu, Nietzsche menyerukan perlunya menilai ulang semua nilai—yakni mempertanyakan asal-usul, fungsi, dan relevansi nilai-nilai tersebut terhadap kehidupan.

6.2.       Afirmasi Kehidupan dan Nilai sebagai Ciptaan

Berbeda dengan pendekatan moralitas universal yang mengklaim validitas objektif, Nietzsche memandang nilai sebagai produk kreatif dari kehendak manusia yang kuat. Ia menekankan pentingnya afirmasi terhadap kehidupan apa adanya—yakni menerima kehidupan beserta penderitaan, ketidaksempurnaan, dan absurditasnya—sebagai dasar bagi penciptaan nilai. Dalam hal ini, Nietzsche menentang semua sistem etika yang merendahkan kehidupan duniawi demi dunia ideal, sebagaimana dalam agama dan metafisika klasik⁴.

Transvaluasi nilai bukanlah sekadar mengganti isi moral, tetapi sebuah revolusi dalam cara manusia memahami dan memaknai dunia. Nilai bukan lagi sesuatu yang diterima dari luar, melainkan sesuatu yang diciptakan dari dalam oleh individu yang mampu merespon dunia dengan kekuatan kreatifnya sendiri. Nietzsche menyebut proses ini sebagai ekspresi dari der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa)—yaitu dorongan mendasar dalam diri manusia untuk menegaskan eksistensinya secara otonom⁵.

6.3.       Peran Übermensch dalam Penciptaan Nilai Baru

Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche memperkenalkan konsep Übermensch (manusia unggul) sebagai figur ideal yang mampu melampaui nihilisme dan menjadi pencipta nilai-nilai baru. Übermensch bukanlah manusia dengan kekuatan fisik luar biasa, melainkan individu yang menolak tunduk pada nilai-nilai lama dan berani menciptakan makna secara mandiri. Ia hidup dengan semangat amor fati—cinta terhadap takdir—dan menegaskan hidup bukan karena adanya jaminan transendental, melainkan karena hidup itu sendiri layak untuk dihidupi⁶.

Nietzsche menggambarkan Übermensch sebagai antitesis dari “manusia terakhir” (der letzte Mensch), yakni manusia modern yang puas dengan kenyamanan, keamanan, dan mediokritas. Manusia terakhir tidak lagi memiliki kehendak untuk melampaui diri; sebaliknya, ia menolak penderitaan, tantangan, dan risiko eksistensial. Dalam konteks inilah, proyek transvaluasi nilai menuntut keberanian untuk menanggung kehampaan tanpa pelarian, dan dari sana melahirkan bentuk kehidupan baru yang lebih autentik⁷.

6.4.       Transvaluasi dalam Konteks Dunia Modern

Gagasan Nietzsche tentang transvaluasi nilai memiliki resonansi kuat dalam dunia modern yang pluralistik dan sekuler. Ketika tidak ada lagi sistem nilai tunggal yang memonopoli kebenaran moral, manusia modern dipaksa untuk menemukan dan merumuskan sendiri prinsip hidupnya. Namun, kondisi ini tidak serta-merta menjamin pembebasan, sebab nihilisme tetap mengintai sebagai ancaman laten dalam dunia yang kehilangan orientasi tetap.

Transvaluasi menjadi penting sebagai bentuk resistensi terhadap dua ekstrem: pertama, regresi ke nilai-nilai lama yang sudah runtuh; kedua, tenggelam dalam relativisme dan hedonisme pasca-modern. Dalam pandangan Nietzsche, hanya dengan menanggung nihilisme secara sadar dan produktif, manusia dapat keluar dari krisis dan menciptakan kembali makna yang bersifat otentik dan vital⁸.

6.5.       Kritik terhadap Transvaluasi: Antara Kebebasan dan Bahaya Relativisme

Meskipun gagasan transvaluasi Nietzsche menawarkan jalan keluar dari nihilisme, tidak sedikit kritik yang dilontarkan terhadapnya. Beberapa filsuf menilai bahwa proyek penciptaan nilai tanpa rujukan objektif membuka ruang bagi relativisme radikal dan justifikasi terhadap kekerasan atau dominasi atas nama kehendak individu. Paul Ricoeur, misalnya, memperingatkan bahwa tanpa batasan etik yang lebih tinggi, transvaluasi dapat tergelincir menjadi nihilisme baru yang destruktif⁹.

Namun, pembela Nietzsche menyatakan bahwa transvaluasi bukan anarki nilai, melainkan pengujian nilai secara mendalam, berdasarkan keberanian untuk hidup secara autentik dan tanggung jawab penuh atas makna yang diciptakan. Nietzsche tidak menolak moralitas secara keseluruhan, melainkan mengajak manusia untuk mendefinisikan ulang moralitas melalui afirmasi kehidupan dan kebebasan diri yang sejati¹⁰.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §22.

[2]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe and Maudemarie Clark (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 25–27.

[3]                Ibid., 32–35.

[4]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 3–7.

[5]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), §211.

[6]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.

[7]                Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 116–120.

[8]                John D. Caputo, Philosophy and Theology (Nashville: Abingdon Press, 2006), 55–57.

[9]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 222–225.

[10]             Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 337–342.


7.           Relevansi dan Kritik terhadap Gagasan “Kematian Tuhan”

Gagasan “kematian Tuhan” yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche tidak hanya memiliki dampak filosofis yang luas pada zamannya, tetapi juga terus memicu diskusi hingga hari ini, baik dalam ranah teologi, etika, filsafat politik, maupun studi budaya kontemporer. Simbol ini telah menjelma menjadi semacam “poros interpretatif” bagi pemahaman tentang krisis nilai dalam modernitas dan pascamodernitas. Meskipun banyak pihak mengakui ketajaman diagnosis Nietzsche atas kondisi spiritual peradaban Barat, tak sedikit pula yang mengajukan kritik mendalam atas implikasi dan konsekuensi gagasannya.

7.1.       Relevansi dalam Konteks Sekularisme dan Pluralisme Nilai

Relevansi gagasan kematian Tuhan dapat dilihat dalam konteks masyarakat modern dan pascamodern yang ditandai oleh sekularisme, pluralisme nilai, dan fragmentasi makna. Dalam A Secular Age, Charles Taylor menunjukkan bahwa manusia modern hidup dalam kondisi di mana keberadaan Tuhan bukan lagi sesuatu yang diandaikan secara otomatis, melainkan menjadi salah satu dari sekian banyak kemungkinan dalam lanskap iman yang plural dan kompleks¹. Dalam kondisi seperti itu, banyak individu mengalami apa yang disebut Taylor sebagai “fragilitas keyakinan” yang senada dengan krisis eksistensial yang digambarkan oleh Nietzsche.

Gagasan Nietzsche juga menemukan resonansi dalam wacana kontemporer mengenai deconstruction dan post-foundationalism, di mana asumsi tentang kebenaran objektif dan otoritas moral absolut ditangguhkan demi membuka ruang bagi keragaman interpretasi dan pengalaman hidup yang majemuk². Maka, “kematian Tuhan” menjadi simbol atas gugurnya satu-satunya pusat makna, dan terbukanya medan sosial yang mengharuskan pencarian makna secara individual dan reflektif.

7.2.       Kritik Teologis dan Religio-Filosofis

Dari sudut pandang teologis, terutama dalam tradisi Kristen dan Islam, gagasan “kematian Tuhan” dipandang sebagai bentuk ekstrem dari secular humanism yang mengabaikan dimensi transendental manusia. Paul Tillich, seorang teolog eksistensialis Kristen, mengakui bahwa Nietzsche berhasil mengungkap kebangkrutan agama institusional yang kaku, tetapi ia menegaskan bahwa yang mati bukanlah Tuhan yang sejati, melainkan “Tuhan dari metafisika tradisional” yang kehilangan relevansi eksistensial³. Tillich menawarkan konsep “the God beyond God”, yakni Tuhan sebagai kedalaman keberadaan yang tidak dapat direduksi menjadi konsep dogmatis⁴.

Dalam perspektif Islam, gagasan “kematian Tuhan” tidak memiliki legitimasi ontologis karena Allah dalam Islam tidak pernah disubordinasikan kepada institusi atau sistem nilai yang bisa mati secara historis. Namun, beberapa pemikir Muslim seperti Seyyed Hossein Nasr membaca gagasan Nietzsche sebagai kritik atas modernitas Barat yang telah kehilangan dimensi sakral dan memisahkan pengetahuan dari hikmah ilahiah⁵. Dalam hal ini, Nietzsche menjadi semacam prophet of crisis, meskipun solusinya dinilai nihilistik dan terlalu mengandalkan otonomi manusia.

7.3.       Kritik Etis: Bahaya Relativisme dan Individualisme Radikal

Gagasan “kematian Tuhan” sering dikritik karena membuka jalan menuju relativisme moral dan individualisme ekstrem. Jika semua nilai dianggap hasil konstruksi manusia, maka tidak ada dasar objektif untuk menilai kebenaran, keadilan, atau kebaikan. Hannah Arendt, dalam The Origins of Totalitarianism, menunjukkan bahwa krisis makna dan keruntuhan nilai objektif dalam masyarakat dapat membuka ruang bagi munculnya ideologi totaliter yang mengisi kekosongan tersebut dengan “kebenaran absolut buatan”⁶.

Begitu pula, dalam konteks kontemporer, kritik datang dari filsuf moral seperti Alasdair MacIntyre yang dalam After Virtue menyatakan bahwa proyek modernitas telah gagal membangun sistem etika yang koheren setelah melepaskan diri dari fondasi metafisik tradisional. Menurutnya, Nietzsche memang tepat dalam mendiagnosis kehancuran etika modern, tetapi solusinya berupa transvaluasi nilai dianggap sebagai bentuk kehendak estetis yang tidak memiliki stabilitas normatif⁷.

7.4.       Apresiasi Filosofis: Membangun Keberanian Eksistensial

Terlepas dari berbagai kritik, banyak pemikir kontemporer yang mengapresiasi keberanian Nietzsche dalam menghadapi realitas tanpa ilusi. Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, meskipun tidak sepenuhnya mengikuti Nietzsche, mengembangkan filsafat eksistensial yang juga bertolak dari pengakuan bahwa tidak ada makna yang telah tersedia sebelumnya dalam kehidupan ini. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus mengakui absurditas eksistensi, tetapi juga mengajak manusia untuk tetap berjuang dalam dunia tanpa makna yang tetap layak untuk dijalani⁸.

Dengan demikian, Nietzsche telah membuka ruang bagi manusia untuk menjadi penafsir eksistensinya sendiri, mengajak mereka untuk hidup secara otentik, tanpa berpura-pura bahwa ada kekuatan adikodrati yang menjamin moralitas. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, Nietzsche mengajarkan keberanian untuk menjadi, sebagaimana ditegaskan kembali oleh Heidegger dalam tafsir ontologisnya terhadap nihilisme⁹.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 3–6.

[2]                Gianni Vattimo, After Christianity, trans. Luca D’Isanto (New York: Columbia University Press, 2002), 47–50.

[3]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 2000), 179–181.

[4]                Ibid., 182–185.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 263–266.

[6]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, 1973), 460–465.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 109–112.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 119–123.

[9]                Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism, trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 257–259.


8.           Kesimpulan

Simbol “kematian Tuhan” yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche bukanlah sekadar pernyataan ateistik, melainkan sebuah diagnosis filosofis yang mengguncang fondasi metafisika dan sistem nilai tradisional peradaban Barat. Dalam kerangka ini, Nietzsche menunjukkan bahwa modernitas dengan rasionalisme, sekularisasi, dan kemajuan ilmiahnya secara tidak langsung telah “membunuh Tuhan”—yakni, meruntuhkan otoritas transenden yang selama berabad-abad menjadi sumber legitimasi moral, makna hidup, dan struktur kosmologis masyarakat¹.

Keruntuhan nilai-nilai tradisional yang menyertai kematian Tuhan menimbulkan krisis makna yang luas dan melahirkan kondisi nihilisme. Manusia modern, menurut Nietzsche, terombang-ambing dalam kehampaan eksistensial karena nilai-nilai lama telah kehilangan validitasnya, sementara nilai-nilai baru belum berhasil diciptakan. Nihilisme, dalam konteks ini, bukanlah akhir dari segalanya, melainkan momen transisi yang menuntut keberanian eksistensial untuk melampaui kehampaan tersebut dan menciptakan horizon nilai baru secara otonom².

Jawaban Nietzsche atas krisis ini adalah gagasan Umwertung aller Werte—transvaluasi terhadap semua nilai. Ia menolak moralitas tradisional yang dianggap mengekang kehidupan, dan mengusulkan penciptaan nilai-nilai baru yang berakar pada afirmasi kehidupan dan kehendak manusia untuk berkuasa. Tokoh ideal dalam proyek ini adalah Übermensch—manusia unggul yang berani hidup tanpa sandaran transenden, dan sanggup menanggung tanggung jawab eksistensial sepenuhnya³.

Namun demikian, gagasan ini tidak lepas dari kritik. Sebagian pihak menilai bahwa proyek Nietzsche berisiko membuka jalan bagi relativisme ekstrem, kehendak destruktif, dan ketidakstabilan etika. Teolog seperti Paul Tillich dan pemikir moral seperti Alasdair MacIntyre menekankan pentingnya mempertahankan struktur etika yang lebih kokoh daripada sekadar kehendak individual⁴. Meskipun demikian, banyak pemikir kontemporer yang mengapresiasi Nietzsche karena keberaniannya mengungkap krisis spiritual modern dan mengusulkan paradigma baru tentang kebebasan, penciptaan diri, dan tanggung jawab makna⁵.

Secara keseluruhan, simbol “kematian Tuhan” dalam filsafat Nietzsche tetap relevan sebagai lensa kritis dalam memahami dinamika spiritual, moral, dan kultural masyarakat kontemporer. Ia mengajak manusia untuk tidak berlindung pada dogma yang telah usang, melainkan untuk menghadapi dunia secara jujur, berani, dan kreatif. Dalam dunia tanpa pusat makna yang tetap, Nietzsche menyerukan perlunya manusia menjadi subjek makna, bukan sekadar objek dari nilai-nilai yang diwariskan secara pasif. Ia menantang manusia untuk menjadi pencipta kehidupan, bukan hanya penafsir dari kehancuran⁶.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §2, §55.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1969), 41–45.

[4]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 2000), 182–185; Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 109–112.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24; Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 119–123.

[6]                Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. IV: Nihilism, trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: HarperOne, 1991), 257–259.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1973). The origins of totalitarianism. Harcourt.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage. (Original work published 1942)

Caputo, J. D. (2006). Philosophy and theology. Abingdon Press.

Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press. (Original work published 1936)

Gillespie, M. (2008). The theological origins of modernity. University of Chicago Press.

Heidegger, M. (1991). Nietzsche, Vol. I: The will to power as art (D. F. Krell, Trans.). HarperOne.

Heidegger, M. (1991). Nietzsche, Vol. II: The eternal recurrence of the same (D. F. Krell, Trans.). HarperOne.

Heidegger, M. (1991). Nietzsche, Vol. IV: Nihilism (F. A. Capuzzi, Trans.). HarperOne.

Kaufmann, W. (Ed. & Trans.). (1974). The gay science (F. Nietzsche). Vintage.

Kaufmann, W., & Hollingdale, R. J. (Trans.). (1968). The will to power (F. Nietzsche). Vintage.

MacIntyre, A. (1984). After virtue: A study in moral theory (2nd ed.). University of Notre Dame Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as literature. Harvard University Press.

Nietzsche, F. (1969). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1883–1885)

Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1886)

Nietzsche, F. (2007). On the genealogy of morality (C. Diethe & M. Clark, Trans.). Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)

Scruton, R. (2001). A short history of modern philosophy: From Descartes to Wittgenstein (2nd ed.). Routledge.

Taylor, C. (1991). The malaise of modernity. Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard University Press.

Tillich, P. (2000). The courage to be. Yale University Press. (Original work published 1952)

Vattimo, G. (2002). After Christianity (L. D’Isanto, Trans.). Columbia University Press.

Young, J. (2010). Friedrich Nietzsche: A philosophical biography. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar