Kalkulus Kebahagiaan
Analisis Utilitarian atas Nilai Moral dan Pilihan Etis
Alihkan ke: Pemikiran
Jeremy Bentham.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep Hedonic Calculus
yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham sebagai bagian integral dari filsafat
utilitarianisme klasik. Melalui pendekatan rasional dan konsekuensialis,
Bentham mengusulkan bahwa kebahagiaan—yang diukur melalui tujuh kriteria
seperti intensitas, durasi, kepastian, dan luas dampak—merupakan tolok ukur
utama dalam menilai moralitas suatu tindakan. Artikel ini tidak hanya
memaparkan latar belakang intelektual Bentham dan fondasi teoritis
utilitarianisme, tetapi juga mengulas penerapan kalkulus kebahagiaan dalam
dilema etis kontemporer, kebijakan publik, bioetika, hingga pengambilan
keputusan oleh kecerdasan buatan. Di sisi lain, artikel ini juga menyajikan
kritik-kritik mendalam dari perspektif epistemologis, deontologis, dan
psikologis terhadap konsep tersebut, serta menunjukkan bagaimana
prinsip-prinsip Hedonic Calculus terus berkembang dalam teori etika
modern. Dengan pendekatan analitis dan historis, artikel ini menegaskan bahwa
meskipun tidak bebas dari keterbatasan, Hedonic Calculus tetap relevan
sebagai kerangka evaluatif dalam merespons kompleksitas moral dunia
kontemporer.
Kata Kunci: Jeremy Bentham, Hedonic Calculus, Utilitarianisme,
Etika Konsekuensialis, Kebahagiaan, Moralitas, Kebijakan Publik, Kritik Etika,
Bioetika, Kecerdasan Buatan.
PEMBAHASAN
Kalkulus Kebahagiaan Jeremy Bentham
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah filsafat moral modern,
utilitarianisme muncul sebagai salah satu pendekatan etika yang paling
berpengaruh dan sistematis dalam menilai tindakan manusia berdasarkan hasil
atau konsekuensinya. Gagasan utama dari utilitarianisme adalah bahwa tindakan
yang benar secara moral adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness of the
greatest number)—sebuah prinsip yang dikenal sebagai Prinsip Utilitas
atau Prinsip Kebahagiaan Tertinggi (Greatest Happiness Principle).¹
Gagasan ini berakar pada pemikiran Jeremy Bentham (1748–1832), seorang
filsuf, ekonom, dan reformis hukum asal Inggris, yang dikenal luas sebagai
pendiri aliran utilitarianisme klasik.
Bentham percaya bahwa seluruh sistem etika dan
hukum harus disusun berdasarkan asas kebahagiaan dan penderitaan yang dapat
diamati dan dianalisis secara rasional.² Ia mengusulkan bahwa kesenangan
(pleasure) dan penderitaan (pain) adalah satu-satunya dasar yang sah
untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan.³ Dalam upaya untuk menjadikan
prinsip ini lebih operasional dan terukur, Bentham mengembangkan suatu metode
kuantitatif yang dikenal sebagai Kalkulus Kebahagiaan (Hedonic
Calculus), yaitu kerangka analisis yang memuat tujuh kriteria untuk menilai
dan membandingkan konsekuensi moral dari berbagai tindakan.
Kalkulus Kebahagiaan tidak hanya menjadi instrumen
filosofis untuk mengukur kebahagiaan, melainkan juga mencerminkan ambisi besar
Bentham untuk menjadikan etika sebagai ilmu positif yang rasional dan terukur,
setara dengan pendekatan ilmiah dalam bidang hukum dan kebijakan publik.⁴ Bagi
Bentham, etik tidak seharusnya menjadi wilayah spekulatif metafisika yang
kabur, melainkan harus menjadi alat praktis dalam pengambilan keputusan
yang konkret, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam perumusan kebijakan
sosial.⁵
Seiring berkembangnya zaman, Kalkulus Kebahagiaan
telah menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi moral dan hukum. Meskipun
banyak kritik diajukan—terutama mengenai kemungkinan menghitung kebahagiaan
secara objektif—konsep ini tetap relevan dalam berbagai bidang seperti filsafat
politik, ekonomi kesejahteraan, etika terapan, hingga kecerdasan buatan.⁶
Dengan demikian, pemahaman terhadap Kalkulus Kebahagiaan tidak hanya penting
secara historis, tetapi juga secara konseptual dan praktis dalam konteks dunia
kontemporer yang semakin kompleks dalam pengambilan keputusan etis.
Footnotes
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford:
Clarendon Press, 1907), 1.
[2]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[3]
Bentham, An Introduction to the Principles of
Morals and Legislation, 1–3.
[4]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism:
Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham
(Oxford: Clarendon Press, 1990), 45.
[5]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in
Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 19–22.
[6]
Roger Crisp, “Hedonism and Utilitarianism,” in Routledge
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.
2.
Biografi
Intelektual Jeremy Bentham
Jeremy Bentham lahir pada 15 Februari 1748 di
London, Inggris, dari keluarga kelas menengah atas yang konservatif dan
berlatar belakang hukum. Sejak usia dini, kecerdasan intelektualnya telah
menonjol. Ia mulai membaca karya-karya klasik Yunani dan Latin pada usia tiga
tahun dan diterima di Queen’s College, Oxford, pada usia dua belas tahun,
sebuah prestasi luar biasa bahkan pada zamannya.¹ Meskipun ia kemudian
melanjutkan studi hukum di Lincoln’s Inn, Bentham tidak pernah benar-benar
mempraktikkan profesi hukum; sebaliknya, ia mengabdikan hidupnya untuk
merancang reformasi sistem hukum dan sosial yang lebih rasional, manusiawi, dan
berbasis prinsip utilitas.²
Secara intelektual, Bentham terinspirasi oleh Enlightenment
Eropa, terutama semangat rasionalitas dan skeptisisme terhadap otoritas tradisional.³
Ia menolak pendekatan hukum alami yang bersifat abstrak dan tidak terukur,
seperti yang dianut oleh banyak filsuf sebelumnya, termasuk John Locke.
Sebaliknya, ia mengembangkan suatu pendekatan yang disebutnya sebagai jurisprudence
utilitarian, di mana semua hukum dan kebijakan publik harus dievaluasi
berdasarkan kontribusinya terhadap peningkatan kebahagiaan masyarakat.⁴
Karya utamanya, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (1789), memperkenalkan prinsip
utilitas sebagai asas moral dan hukum. Dalam karya tersebut, Bentham merumuskan
bahwa "nature has placed mankind under the governance of two sovereign
masters, pain and pleasure"—sebuah pernyataan fundamental yang
meletakkan dasar bagi seluruh sistem etika utilitarian.⁵ Melalui gagasan ini,
ia berupaya menjadikan moralitas sebagai ilmu yang objektif, dapat dianalisis,
dan bahkan dihitung secara sistematis melalui metode yang ia sebut sebagai Hedonic
Calculus.⁶
Bentham bukan hanya seorang pemikir spekulatif,
tetapi juga reformis sosial yang aktif menulis tentang berbagai isu, mulai dari
reformasi penjara, sistem peradilan, perbankan, pendidikan, hingga hak-hak
perempuan dan homoseksualitas—jauh mendahului zamannya.⁷ Ia juga dikenal
sebagai sosok yang percaya pada transparansi pemerintahan dan mendukung
sistem demokrasi representatif. Pemikirannya tentang akuntabilitas lembaga
publik menginspirasi perkembangan teori panopticon dan ide-ide awal
tentang pengawasan sosial.⁸
Setelah wafatnya pada tahun 1832, pengaruh Bentham
terus meluas melalui murid-murid dan pengikutnya, terutama John Stuart Mill dan
kelompok Philosophical Radicals, yang meneruskan gagasan utilitarianisme
ke ranah yang lebih kompleks dan sistematis.⁹ Dengan demikian, Bentham bukan
hanya pelopor utilitarianisme, tetapi juga arsitek intelektual bagi gerakan
reformasi sosial modern berbasis rasionalitas dan kesejahteraan kolektif.
Footnotes
[1]
F. Rosen, Jeremy Bentham and the Law: A
Philosophical Introduction (Oxford: Clarendon Press, 1994), 1–3.
[2]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[3]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism:
Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham
(Oxford: Clarendon Press, 1990), 18.
[4]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in
Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 25–26.
[5]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart
(Oxford: Clarendon Press, 1907), 1.
[6]
Ibid., 29–30.
[7]
Philip Schofield, Bentham: A Guide for the
Perplexed (London: Continuum, 2009), 105–110.
[8]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977),
195–228.
[9]
John Stuart Mill, Autobiography, ed. Jack
Stillinger (Boston: Houghton Mifflin, 1969), 97–100.
3.
Fondasi
Filsafat Utilitarianisme
Filsafat utilitarianisme muncul sebagai jawaban
terhadap kebutuhan akan pendekatan etika yang bersifat rasional, empiris, dan
pragmatis, khususnya dalam menghadapi kompleksitas kehidupan sosial dan politik
modern. Di tengah tradisi filsafat moral yang kerap dikuasai oleh dogma
teologis atau prinsip metafisik yang abstrak, Jeremy Bentham memperkenalkan
satu prinsip dasar yang sederhana namun radikal: segala tindakan harus
dinilai berdasarkan sejauh mana ia mempromosikan kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan.¹
Prinsip ini dikenal sebagai Prinsip Utilitas
(Principle of Utility), yang berbunyi: "the greatest happiness
of the greatest number is the foundation of morals and legislation."²
Dalam pandangan Bentham, manusia secara alami dikendalikan oleh dua kekuatan
fundamental: kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain).³ Oleh
karena itu, satu-satunya dasar yang valid untuk menilai moralitas suatu
tindakan bukanlah niat, doktrin agama, atau tradisi, melainkan konsekuensi
nyata yang dapat dilihat dan diukur melalui dampaknya terhadap kebahagiaan
manusia.
Utilitarianisme yang dirumuskan Bentham dikenal
sebagai utilitarianisme hedonistik, karena mendefinisikan kebaikan moral
sebagai hasil maksimal dari pengalaman yang menyenangkan dan minimnya
penderitaan.⁴ Prinsip ini menolak pendekatan deontologis yang menilai
tindakan sebagai benar atau salah berdasarkan kewajiban moral terlepas dari
akibatnya, seperti dalam filsafat Immanuel Kant.⁵ Dalam konteks ini, Bentham
menegaskan bahwa nilai moral tidak bersifat intrinsik, melainkan instrumental,
yakni seberapa efektif suatu tindakan dalam menghasilkan hasil akhir yang
diinginkan, yaitu kebahagiaan.
Bentham tidak hanya meletakkan dasar moralitas pada
prinsip utilitas, tetapi juga menjadikannya sebagai asas utama dalam
pembentukan hukum dan kebijakan publik. Bagi Bentham, hukum yang adil
adalah hukum yang meningkatkan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat.⁶
Gagasannya inilah yang menjadi dasar dari pendekatan konsekuensialis, di
mana moralitas suatu tindakan ditentukan bukan oleh motif, melainkan oleh hasil
yang ditimbulkan.
Dalam perkembangannya, aliran utilitarianisme
mengalami diversifikasi. Murid Bentham, John Stuart Mill, menyempurnakan
pendekatan ini dengan menekankan kualitas kebahagiaan, bukan hanya
kuantitasnya.⁷ Ia membedakan antara pleasure of the body dan pleasure
of the mind, dengan menyatakan bahwa beberapa bentuk kebahagiaan lebih
tinggi nilainya daripada yang lain. Namun demikian, fondasi dasar pemikiran
utilitarianisme tetap bertumpu pada prinsip Bentham bahwa kebahagiaan adalah
ukuran utama nilai moral suatu tindakan.
Dengan prinsip ini, utilitarianisme membuka jalan
bagi pendekatan etika yang dapat diaplikasikan secara luas dalam kehidupan
sosial modern—dari analisis kebijakan publik hingga kecerdasan buatan—karena
menawarkan framework normatif yang bisa diterjemahkan ke dalam bentuk
evaluasi rasional, kuantitatif, dan praktis.
Footnotes
[1]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[2]
Jeremy Bentham, A Fragment on Government and an
Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. Wilfrid
Harrison (Oxford: Basil Blackwell, 1948), 125.
[3]
Bentham, An Introduction to the Principles of
Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford:
Clarendon Press, 1907), 1.
[4]
Roger Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy,
s.v. “Utilitarianism and Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998),
https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
12–15.
[6]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in
Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 43–46.
[7]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George
Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 8–10.
4.
Pengertian
dan Tujuan Hedonic Calculus
Dalam kerangka etika utilitarianisme yang digagas
oleh Jeremy Bentham, Hedonic Calculus atau Felicific Calculus
merupakan inovasi konseptual yang dirancang untuk memberikan cara sistematis
dan kuantitatif dalam menilai baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan
dampaknya terhadap kebahagiaan atau penderitaan. Bentham menyadari bahwa
prinsip utilitas, meskipun sederhana secara teoritis, membutuhkan mekanisme
praktis untuk dapat diterapkan dalam konteks konkret kehidupan manusia—baik
dalam pengambilan keputusan moral individu maupun dalam penyusunan kebijakan
publik.¹
Secara umum, Hedonic Calculus didefinisikan sebagai
alat ukur rasional untuk menghitung dan membandingkan jumlah kesenangan dan
penderitaan yang kemungkinan akan ditimbulkan oleh suatu tindakan
tertentu.² Gagasan dasar dari kalkulus ini adalah bahwa semua tindakan dapat
dianalisis berdasarkan konsekuensinya terhadap kesejahteraan manusia, dan oleh
karena itu, harus dinilai berdasarkan seberapa besar "saldo kebahagiaan
bersih" yang dihasilkan—yakni jumlah kesenangan dikurangi jumlah
penderitaan.³
Bentham mengusulkan tujuh dimensi atau kriteria
evaluatif yang dapat digunakan untuk menilai nilai moral suatu tindakan
dari segi kebahagiaan yang dihasilkannya: intensitas, durasi, kepastian,
kedekatan waktu, kesuburan (kemampuan menghasilkan kesenangan lain), kemurnian
(bebas dari penderitaan), dan luas dampak terhadap orang lain.⁴ Dengan
menggunakan tujuh parameter ini, seseorang atau pembuat kebijakan dapat
mengevaluasi tindakan-tindakan yang tersedia dan memilih tindakan yang
memberikan hasil terbaik secara moral. Bentham sendiri menyatakan bahwa prinsip
ini "seeks to subordinate every action, and every law, to the principle
of utility," dan dengan demikian menjadikan kalkulus ini
sebagai alat bantu utama dalam proses pengambilan keputusan moral dan
legislatif.⁵
Tujuan utama dari Hedonic Calculus bukan
hanya untuk memberikan kerangka berpikir normatif, melainkan juga untuk membawa
filsafat moral ke dalam ranah ilmu empiris yang dapat diverifikasi dan
diterapkan secara praktis. Dalam semangat Pencerahan (Enlightenment) yang
menekankan rasionalitas dan sains, Bentham ingin menjadikan moralitas sebagai
sesuatu yang bisa dihitung, dianalisis, dan diorganisasi dengan
pendekatan mirip seperti matematika atau ekonomi.⁶ Karena itu, Hedonic
Calculus tidak hanya relevan secara filosofis, tetapi juga memiliki dimensi
teknokratis yang kuat, memungkinkan evaluasi kebijakan publik berdasarkan nilai
kebahagiaan yang dapat diprediksi dan dikuantifikasi.
Meski demikian, Bentham tidak pernah mengklaim
bahwa kalkulasi ini dapat bersifat mutlak atau sempurna. Ia menyadari bahwa sejumlah
variabel dalam kalkulus bersifat estimatif dan bergantung pada konteks. Namun,
menurutnya, upaya untuk mengukur kebahagiaan, meski tidak sempurna, lebih
unggul secara moral daripada sekadar bersandar pada intuisi atau dogma.⁷
Dalam pandangan ini, Hedonic Calculus adalah upaya untuk menggantikan
etika berbasis asumsi metafisik dengan kerangka kerja yang rasional dan
aplikatif, sekaligus memberikan dasar moral bagi perundang-undangan yang adil
dan progresif.
Footnotes
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart
(Oxford: Clarendon Press, 1907), 29.
[2]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[3]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism:
Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham
(Oxford: Clarendon Press, 1990), 33.
[4]
Bentham, An Introduction to the Principles of
Morals and Legislation, 30–31.
[5]
Ibid., 3.
[6]
Philip Schofield, Bentham: A Guide for the
Perplexed (London: Continuum, 2009), 76–78.
[7]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in
Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 45.
5.
Tujuh
Kriteria dalam Kalkulus Kebahagiaan Bentham
Untuk
mengoperasionalisasikan prinsip utilitas secara rasional dan sistematis, Jeremy
Bentham mengembangkan tujuh kriteria penilaian moral dalam apa yang ia sebut
sebagai Hedonic
Calculus atau Felicific Calculus. Melalui
pendekatan ini, Bentham mencoba menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana kita
dapat membandingkan secara objektif kesenangan dan penderitaan yang dihasilkan
oleh berbagai tindakan?¹
Berikut ini adalah
tujuh kriteria yang dirumuskan Bentham, masing-masing dimaksudkan untuk
mengukur dimensi etis dari suatu tindakan berdasarkan efeknya terhadap
kebahagiaan manusia.
5.1. Intensitas (Intensity)
Intensitas merujuk
pada seberapa kuat atau besar tingkat kesenangan atau penderitaan yang
dihasilkan oleh suatu tindakan.² Semakin intens efeknya, semakin besar bobot
moral yang dimiliki tindakan tersebut. Misalnya, kebahagiaan yang mendalam
dalam membantu orang lain dianggap lebih bernilai daripada kesenangan ringan
seperti menonton hiburan sesaat.
5.2. Durasi (Duration)
Durasi mengacu pada
lamanya kesenangan atau penderitaan itu dirasakan.³ Kebahagiaan yang
berlangsung lama lebih bernilai daripada kebahagiaan sesaat. Oleh karena itu,
suatu tindakan dianggap lebih bermoral jika hasil positifnya tidak hanya kuat
tetapi juga berkelanjutan.
5.3. Kepastian atau Kemungkinan (Certainty or
Uncertainty)
Kriteria ini
mempertimbangkan sejauh mana kemungkinan suatu kesenangan atau penderitaan akan
benar-benar terjadi.⁴ Tindakan dengan peluang keberhasilan tinggi untuk
menghasilkan kebahagiaan lebih diutamakan daripada tindakan yang bersifat
spekulatif.
5.4. Kedekatan Waktu (Propinquity or Remoteness)
Kedekatan waktu
berkaitan dengan seberapa cepat dampak kesenangan atau penderitaan dirasakan
setelah suatu tindakan dilakukan.⁵ Menurut Bentham, semakin dekat kesenangan
itu dapat dinikmati, semakin besar nilainya secara moral.
5.5. Kesuburan (Fecundity)
Fecundity menilai
apakah suatu tindakan yang menghasilkan kesenangan juga akan menimbulkan lebih
banyak kesenangan di masa depan.⁶ Tindakan yang memiliki potensi untuk
memperpanjang atau melipatgandakan kebahagiaan dianggap lebih bernilai daripada
yang hanya memberikan efek satu kali.
5.6. Kemurnian (Purity)
Kemurnian mengacu
pada seberapa bebas suatu kesenangan dari penderitaan yang menyertainya.⁷
Misalnya, suatu kenikmatan yang datang tanpa efek samping negatif lebih tinggi
nilainya daripada kenikmatan yang membawa dampak buruk kemudian.
5.7. Luas Dampak (Extent)
Kriteria ini menilai
jumlah individu yang dipengaruhi oleh suatu tindakan.⁸ Semakin banyak orang
yang memperoleh manfaat dari suatu tindakan, semakin tinggi nilai moral
tindakan tersebut. Inilah esensi dari prinsip the greatest happiness of the greatest number
yang menjadi pusat etika utilitarian.
Secara keseluruhan,
tujuh kriteria ini membentuk kerangka kalkulatif yang memungkinkan penilaian
tindakan moral dilakukan secara rasional dan berorientasi pada konsekuensi.
Bentham menyadari bahwa proses ini tidak selalu mudah atau eksak, namun ia
berpendapat bahwa pendekatan sistematis ini tetap lebih unggul dibandingkan
dengan intuisi moral yang kabur atau norma sosial yang tidak terukur.⁹ Dalam
semangat rasionalitas abad Pencerahan, Hedonic Calculus merupakan upaya
Bentham untuk menjembatani filsafat moral dengan praktik pengambilan keputusan
yang bertanggung jawab dan ilmiah.
Footnotes
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press,
1907), 30.
[2]
Ibid., 31.
[3]
Ibid.
[4]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[5]
Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London:
Continuum, 2009), 78.
[6]
Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, 31.
[7]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 49.
[8]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 35.
[9]
Roger
Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy, s.v. “Utilitarianism and
Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.
6.
Aplikasi
Praktis dan Contoh Kasus Kalkulus Kebahagiaan
Meskipun Hedonic
Calculus yang dikembangkan Jeremy Bentham awalnya bersifat
teoritis, konsep ini memiliki potensi aplikatif yang sangat luas, terutama
dalam konteks pengambilan keputusan etis, penyusunan
kebijakan publik, dan bahkan perkembangan kecerdasan
buatan serta algoritma etis masa kini.¹ Dengan memanfaatkan
tujuh kriteria kalkulus, Bentham berusaha menyediakan alat analisis normatif
yang dapat digunakan secara praktis untuk membandingkan tindakan-tindakan dalam
konteks moral tertentu.
6.1. Aplikasi dalam Dilema Moral Individu: Kasus Trolley
Problem
Salah satu ilustrasi
paling terkenal dalam etika modern yang dapat dianalisis dengan Hedonic
Calculus adalah Trolley Problem.² Dalam kasus
ini, seseorang harus memilih antara membiarkan sebuah kereta api melaju dan
menabrak lima orang di rel utama, atau mengalihkan jalur kereta ke rel lain
yang hanya menabrak satu orang. Pendekatan utilitarian klasik, termasuk
Bentham, akan mengarahkan pada keputusan untuk mengorbankan satu orang demi menyelamatkan lima,
karena total kebahagiaan yang dihasilkan akan lebih besar—suatu kalkulasi
berdasarkan luas dampak (extent) dan intensitas
penderitaan.
Dengan menerapkan
kriteria Bentham, seseorang dapat mengevaluasi:
·
Intensitas
dan Durasi penderitaan dari satu korban versus lima korban.
·
Kepastian
bahwa tindakan akan langsung mempengaruhi hidup-mati.
·
Kemurnian
tindakan (apakah menimbulkan rasa bersalah atau efek psikologis jangka
panjang).
·
Fecundity,
yakni apakah penyelamatan lima orang akan membawa manfaat lebih besar di masa
depan (misalnya jika mereka adalah tenaga kesehatan, guru, dll).³
Kalkulus ini tidak
dimaksudkan untuk menghasilkan jawaban “otomatis”, melainkan untuk mengarahkan
pertimbangan rasional dan sistematis terhadap konsekuensi moral
dari suatu tindakan.
6.2. Aplikasi dalam Kebijakan Publik: Vaksinasi Wajib
dan Kesehatan Masyarakat
Dalam konteks
kebijakan publik, Hedonic Calculus dapat diterapkan
dalam analisis
cost-benefit dari program vaksinasi wajib. Keputusan untuk
mewajibkan vaksinasi dapat dipandang membatasi kebebasan individu, namun
menghasilkan manfaat luas bagi populasi dalam bentuk kekebalan kelompok (herd
immunity).⁴
Dengan mengacu pada
tujuh kriteria Bentham, kebijakan tersebut akan dinilai:
·
Memberikan kesenangan
besar dalam bentuk keamanan kesehatan (intensitas).
·
Memiliki durasi
panjang terhadap stabilitas masyarakat.
·
Kepastian
tinggi berdasarkan bukti ilmiah mengenai efektivitas vaksin.
·
Mempunyai kemurnian
relatif karena efek samping kecil.
·
Fecundity,
karena mengurangi beban rumah sakit dan menjaga produktivitas masyarakat.
·
Dampaknya sangat luas
(extent) karena menyangkut seluruh populasi.⁵
Dengan demikian,
kebijakan vaksinasi wajib dapat dibenarkan secara utilitarian karena
menghasilkan total kebahagiaan bersih yang
lebih besar daripada kebijakan non-intervensi.
6.3. Aplikasi dalam Ekonomi dan Perencanaan Sosial
Dalam ekonomi
kesejahteraan (welfare economics), prinsip-prinsip
Bentham menjadi dasar dari pendekatan utilitas total yang digunakan
untuk mengevaluasi distribusi sumber daya.⁶ Misalnya, dalam program subsidi
pendidikan atau bantuan sosial, pemerintah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi kelompok rentan yang paling membutuhkan,
berdasarkan perkiraan bahwa tambahan kebahagiaan (marginal utility)
lebih besar di kalangan miskin daripada kaya.
Ini selaras dengan
prinsip Bentham bahwa tindakan terbaik adalah yang menghasilkan
kebahagiaan terbesar, bukan hanya bagi individu yang kuat,
tetapi bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat.⁷ Bahkan, banyak perangkat
modern seperti quality-adjusted life years (QALYs)
dalam sistem kesehatan nasional Inggris (NHS) menggunakan prinsip serupa dalam
menilai kebijakan berdasarkan nilai kehidupan dan manfaat kesehatan yang
dihasilkan.
6.4. Relevansi dalam Perkembangan Etika Algoritma dan
Kecerdasan Buatan
Saat ini, Hedonic
Calculus juga mulai diadaptasi dalam desain algoritma
etis pada kendaraan otonom dan kecerdasan buatan. Misalnya,
sistem AI dapat diprogram untuk memilih skenario tabrakan yang meminimalkan
korban jiwa—sebuah bentuk penerapan kalkulus kebahagiaan dalam ranah
teknologi.⁸
Kesimpulan Sementara
Dari contoh-contoh
di atas, terlihat bahwa meskipun Hedonic Calculus sering dikritik
karena kesederhanaannya, ia tetap memberikan kerangka berpikir yang relevan dan
aplikatif. Melalui kriteria-kriteria yang terstruktur, Bentham menawarkan alat
untuk menilai
konsekuensi moral secara sistematis, baik dalam dilema individu
maupun kebijakan publik berskala luas. Aplikasi ini mencerminkan upaya besar
untuk menjadikan
etika bukan hanya sebagai teori, melainkan sebagai panduan praktis bagi
keputusan moral yang rasional dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 43–44.
[2]
Judith Jarvis Thomson, “The Trolley Problem,” The Yale Law Journal
94, no. 6 (1985): 1395–1415.
[3]
Roger Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy, s.v.
“Utilitarianism and Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.
[4]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 74–78.
[5]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[6]
Amartya Sen, Collective Choice and Social Welfare, 2nd ed.
(London: Penguin Books, 2017), 112–115.
[7]
Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press,
1907), 5–6.
[8]
Patrick Lin, “Why Ethics Matters for Autonomous Cars,” in Autonomes
Fahren, ed. Markus Maurer et al. (Berlin: Springer Vieweg, 2015), 69–85.
7.
Kritik
terhadap Hedonic Calculus
Meskipun Hedonic
Calculus yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham telah memberikan
kontribusi besar dalam sistematisasi etika berbasis konsekuensi, pendekatan ini
tidak luput dari berbagai kritik tajam, baik dari
kalangan filsuf moral, psikolog, maupun pemikir politik. Kritik terhadap
kalkulus kebahagiaan mencakup aspek epistemologis, etis-normatif,
dan psikologis,
yang semuanya mempertanyakan keberlakuan universal, keakuratan, dan
kelayakan moral dari model ini.
7.1. Kritik Epistemologis: Apakah Kebahagiaan Dapat
Diukur Secara Objektif?
Kritik utama terhadap
Hedonic
Calculus adalah asumsi bahwa kesenangan dan penderitaan dapat
diukur, dibandingkan, dan dijumlahkan secara objektif.¹ Banyak
filsuf menyangsikan kemungkinan pengukuran kuantitatif terhadap pengalaman
subjektif manusia yang bersifat sangat personal, kontekstual, dan tidak
stabil.² Sebagaimana dikemukakan oleh John Rawls, utilitarianisme gagal
memperhitungkan keragaman preferensi dan perbedaan identitas moral antara
individu, yang tidak selalu dapat direduksi menjadi “unit kebahagiaan”
yang homogen.³
Masalah
epistemologis ini semakin kompleks dalam konteks sosial yang pluralistik, di
mana nilai-nilai kebahagiaan dan penderitaan tidak hanya berbeda antarindividu,
tetapi juga dipengaruhi oleh budaya, struktur sosial, dan posisi kekuasaan.
7.2. Kritik Etis: Mengorbankan Hak Individu Demi
Mayoritas
Kritik paling tajam
secara etis terhadap Hedonic Calculus datang dari
pendekatan deontologis dan teori
keadilan, yang menilai bahwa kalkulus kebahagiaan berpotensi melegitimasi
pelanggaran hak-hak individu demi keuntungan kolektif.⁴
Misalnya, dalam kasus pengorbanan satu orang demi menyelamatkan lima,
pendekatan utilitarian dapat membenarkan tindakan yang secara moral intuitif
tidak adil. Immanuel Kant dengan tegas menolak pendekatan ini, karena menilai
bahwa manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan orang lain, bahkan jika
hasilnya menguntungkan secara keseluruhan.⁵
Robert Nozick
melalui eksperimen pemikirannya “The Experience Machine” juga
menunjukkan bahwa nilai moral tidak semata-mata bergantung pada
pengalaman kesenangan, melainkan juga pada keaslian, identitas,
dan integritas moral individu.⁶ Ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak bisa
menjadi satu-satunya standar moral yang sah.
7.3. Kritik Psikologis: Reduksi terhadap Kompleksitas
Manusia
Secara psikologis,
kritik terhadap Hedonic Calculus muncul dari reduksionisme
yang menyederhanakan manusia sebagai makhluk pencari kesenangan dan penghindar
penderitaan. Psikolog dan filsuf seperti Martha Nussbaum
berargumen bahwa kesejahteraan manusia tidak dapat direduksi
menjadi kuantitas kesenangan, melainkan melibatkan realisasi
kapasitas kemanusiaan seperti berpikir kritis, membangun relasi, dan bertindak
secara bermakna.⁷
Pendekatan capabilities
approach (pendekatan kemampuan) yang dikembangkan oleh Nussbaum dan
Amartya Sen merupakan respons terhadap keterbatasan utilitarianisme dalam
memahami dimensi kualitatif dari kesejahteraan manusia.⁸
Mereka menunjukkan bahwa angka atau kalkulasi kesenangan semata tidak cukup
mencerminkan kehidupan yang bermartabat.
7.4. Kritik Praktis: Ketidakpraktisan dalam Pengambilan
Keputusan Nyata
Meskipun secara
teori Hedonic
Calculus menawarkan struktur analitis yang logis, dalam praktiknya
kalkulus ini sering dianggap terlalu kompleks dan tidak realistis untuk
diterapkan secara cepat dan tepat dalam situasi kehidupan
nyata. Menilai tujuh kriteria secara objektif untuk setiap tindakan membutuhkan
waktu, data, dan pertimbangan yang sangat rinci—sesuatu yang tidak selalu
tersedia dalam pengambilan keputusan sehari-hari atau dalam kebijakan krisis.⁹
Selain itu, metode
ini membuka ruang bagi manipulasi data atau bias keputusan yang menyamar
sebagai “analisis rasional”, padahal secara moral belum tentu adil atau
sah.
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik
terhadap Hedonic
Calculus menunjukkan bahwa walaupun model ini penting secara historis dan
teoritis, ia bukan kerangka yang bebas dari masalah. Masalah
epistemologis, etis, psikologis, dan praktis menandakan bahwa konsep ini harus
digunakan dengan kehati-hatian, keterbatasan, dan pelengkap dari
pendekatan moral lainnya. Dengan demikian, Hedonic
Calculus tetap relevan sebagai instrumen evaluatif dalam kerangka
utilitarianisme, tetapi bukan sebagai alat tunggal dalam menetapkan
keputusan etis yang kompleks dan menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang
mendalam.
Footnotes
[1]
Roger Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy, s.v.
“Utilitarianism and Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.
[2]
Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London:
Continuum, 2009), 81.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 22–25.
[4]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 56.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–39.
[6]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 42–45.
[7]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–22.
[8]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 74–78.
[9]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 47.
8.
Relevansi
Konsep Hedonic Calculus dalam Konteks Kontemporer
Meskipun Hedonic
Calculus lahir pada akhir abad ke-18, warisan intelektualnya terus
hidup dan mengalami transformasi dalam berbagai ranah kehidupan modern. Bentham
mungkin tidak membayangkan bahwa prinsip-prinsip yang ia rumuskan akan menjadi
landasan bagi banyak instrumen pengambilan keputusan dalam kebijakan
publik, ekonomi kesejahteraan, bioetika, hingga kecerdasan buatan.¹
Relevansi Hedonic
Calculus pada masa kini terutama terletak pada kemampuannya menyediakan
kerangka evaluatif yang rasional dan konsekuensialis dalam
menilai manfaat dari suatu tindakan atau kebijakan.
8.1. Evaluasi Kebijakan Publik dan Ekonomi Kesejahteraan
Dalam ekonomi dan
kebijakan publik, prinsip-prinsip utilitarian Bentham menjadi fondasi bagi
pendekatan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis)
yang digunakan untuk menilai efisiensi dan efektivitas kebijakan sosial,
infrastruktur, dan program kesejahteraan.² Model ini mengasumsikan bahwa
tindakan terbaik adalah yang memaksimalkan “kesejahteraan total” masyarakat,
suatu gagasan yang sangat sejalan dengan semangat Hedonic Calculus.³
Contohnya adalah
penggunaan QALY (Quality-Adjusted Life Years)
dan DALY
(Disability-Adjusted Life Years) dalam menilai dampak kebijakan
kesehatan. Alat-alat ini menghitung manfaat dari intervensi medis berdasarkan
kuantifikasi kebahagiaan, umur, dan kualitas hidup—sebuah penerapan eksplisit
dari kalkulasi kebahagiaan dalam praktik klinis dan sistem asuransi kesehatan
nasional seperti NHS Inggris.⁴
8.2. Teknologi dan Etika Kecerdasan Buatan
Dalam perkembangan
teknologi, terutama pada etika kecerdasan buatan (AI ethics),
gagasan Hedonic
Calculus digunakan dalam pemrograman algoritma keputusan etis,
misalnya pada kendaraan otonom. Dilema klasik seperti Trolley
Problem diadaptasi dalam simulasi mobil self-driving, di mana
sistem harus diprogram untuk mengambil keputusan yang meminimalkan
jumlah korban jiwa atau penderitaan, sebagaimana diatur dalam
kerangka konsekuensialis.⁵
Studi oleh MIT dalam
proyek Moral
Machine menunjukkan bahwa pertimbangan seperti umur, jumlah korban,
dan profesi menjadi bagian dari pengambilan keputusan berbasis data—sesuatu
yang secara historis berakar pada kalkulasi moral ala Bentham.⁶
8.3. Bioetika dan Hak atas Kesehatan
Di ranah bioetika,
Hedonic
Calculus digunakan dalam menilai keputusan yang menyangkut alokasi
sumber daya medis yang terbatas, seperti dalam pandemi COVID-19. Misalnya,
ketika tenaga kesehatan dan pembuat kebijakan harus memilih siapa yang lebih
layak menerima ventilator dalam situasi krisis, pertimbangan seperti umur,
kemungkinan sembuh, dan peran sosial digunakan untuk menentukan pilihan yang
menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak.⁷
Meskipun keputusan
semacam itu tidak pernah mudah secara moral, pendekatan kalkulatif Bentham
memberikan dasar analitis yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks
darurat dan keterbatasan sumber daya.
8.4. Platform Digital dan Desain Pengalaman Pengguna
(UX)
Relevansi Hedonic
Calculus juga muncul dalam dunia teknologi digital, khususnya
dalam desain aplikasi, media sosial, dan ekonomi perhatian. Banyak platform
digital menggunakan pengukuran pengalaman pengguna (user happiness
metrics) sebagai indikator keberhasilan, yang mencerminkan
aspek-aspek seperti intensitas keterlibatan, durasi penggunaan, dan kepuasan emosional
pengguna.⁸ Dengan kata lain, pengembang teknologi saat ini secara implisit
mengadopsi kalkulasi hedonistik sebagai acuan desain produk dan intervensi
perilaku.
Namun, ini juga
menimbulkan kekhawatiran etis terkait manipulasi kesenangan semu (artificial
pleasure) dan potensi kecanduan digital, yang dapat dikritisi dari
perspektif utilitarianisme kritis yang lebih memperhatikan kualitas daripada
kuantitas kesenangan.
8.5. Kritik Lanjutan dan Upaya Revisi
Meskipun tetap
relevan, banyak filsuf dan ekonom kontemporer mencoba merevisi pendekatan
Bentham dengan memperkenalkan versi utilitarianisme yang lebih “berkualitas”,
seperti yang dikembangkan oleh John Stuart Mill, Amartya Sen, dan Martha
Nussbaum.⁹ Mereka menekankan bahwa kesejahteraan tidak hanya terletak pada
pengalaman kesenangan, tetapi juga pada pemenuhan kebebasan, kesetaraan, dan
kapasitas manusia untuk berkembang.
Pendekatan ini tidak
sepenuhnya menolak Hedonic Calculus, tetapi
menyesuaikannya agar lebih selaras dengan kompleksitas kehidupan manusia modern
yang multidimensional.
Kesimpulan Sementara
Dalam berbagai
sektor kehidupan kontemporer, Hedonic Calculus tetap memainkan
peran penting sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan etis,
rasional, dan berbasis data. Meskipun menghadapi tantangan
epistemologis dan normatif, warisan Bentham terbukti mampu menyesuaikan diri
dengan kebutuhan zaman. Dengan revisi dan pengayaan oleh para pemikir modern, Hedonic
Calculus tidak hanya bertahan sebagai warisan sejarah, tetapi terus
berkontribusi dalam membentuk masyarakat yang berkeadilan dan berorientasi pada
kesejahteraan bersama.
Footnotes
[1]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[2]
Amartya Sen, Collective Choice and Social Welfare, 2nd ed.
(London: Penguin Books, 2017), 102–105.
[3]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 58.
[4]
Richard Cookson et al., “Using Cost-Effectiveness Analysis to Address
Health Equity Concerns,” Value in Health 20, no. 2 (2017): 206–212.
[5]
Patrick Lin, “Why Ethics Matters for Autonomous Cars,” in Autonomes
Fahren, ed. Markus Maurer et al. (Berlin: Springer Vieweg, 2015), 69–85.
[6]
Edmond Awad et al., “The Moral Machine Experiment,” Nature
563, no. 7729 (2018): 59–64.
[7]
Ezekiel J. Emanuel et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources
in the Time of Covid-19,” The New England Journal of Medicine 382, no.
21 (2020): 2049–2055.
[8]
Natasha Schüll, Addiction by Design: Machine Gambling in Las Vegas
(Princeton: Princeton University Press, 2012), 87–90.
[9]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–23.
9.
Simpulan
Konsep Hedonic Calculus yang diperkenalkan
oleh Jeremy Bentham merupakan salah satu inovasi paling signifikan dalam
sejarah filsafat moral modern. Dengan membangun kerangka konsekuensialis yang
menitikberatkan pada kuantifikasi kebahagiaan dan penderitaan, Bentham
tidak hanya menawarkan teori etika yang bersifat normatif, tetapi juga
memperkenalkan alat praktis untuk menilai dan membandingkan nilai moral
dari tindakan-tindakan yang ada.¹
Fondasi teoritis Bentham yang berakar pada prinsip
utilitas—yakni bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak—telah memberi arah baru bagi
pemikiran etika, hukum, dan kebijakan publik.² Melalui Hedonic Calculus,
Bentham mencoba merasionalisasi moralitas, membawanya keluar dari ruang
metafisik ke ranah analisis yang dapat dihitung dan diukur secara sistematis.³
Meskipun kalkulasi moral tersebut tidak bebas dari persoalan praktis dan
teoretis, ia tetap menjadi sumbangan monumental dalam upaya menjadikan
etika sebagai ilmu yang berpijak pada bukti dan logika.
Kekuatan Hedonic Calculus terletak pada kesederhanaan
dan fleksibilitasnya, yang membuatnya dapat diadaptasi dalam berbagai
konteks. Dari analisis kebijakan publik dan ekonomi kesejahteraan hingga etika
teknologi dan bioetika, prinsip-prinsip Bentham terus memberi kontribusi
signifikan dalam pengambilan keputusan yang berorientasi pada kesejahteraan
manusia.⁴
Namun demikian, tidak dapat diabaikan bahwa konsep
ini telah menjadi sasaran kritik dari berbagai perspektif. Kritik epistemologis
menyoroti kesulitan dalam mengukur kebahagiaan secara objektif,
sementara kritik normatif mengangkat isu keadilan dan hak individu yang
berpotensi dikorbankan dalam perhitungan kebahagiaan kolektif.⁵ Kritik
psikologis dan filosofis kontemporer juga menantang reduksi kehidupan manusia
menjadi sekadar pencapaian kesenangan dan penghindaran penderitaan, yang
dianggap menyederhanakan kompleksitas pengalaman manusia.⁶
Kritik-kritik tersebut tidak lantas menggugurkan
nilai Hedonic Calculus, melainkan mendorong pengembangan pendekatan
utilitarian yang lebih holistik dan reflektif, seperti yang terlihat
dalam karya John Stuart Mill, Amartya Sen, dan Martha Nussbaum.⁷ Reformulasi
ini berupaya mempertahankan semangat rasionalitas dan kesejahteraan sosial yang
diperjuangkan Bentham, sembari memperkaya dimensi moralnya dengan memperhatikan
keadilan, martabat, dan hak individu.
Dengan demikian, Hedonic Calculus tetap
relevan dalam dunia modern yang semakin kompleks dan pluralistik. Ia bukan
sekadar warisan sejarah, melainkan sumbangan hidup yang terus berkembang,
memberikan landasan bagi etika publik yang rasional, transparan, dan berpihak
pada kemaslahatan bersama.⁸ Dalam era global yang ditandai oleh dilema etis
multidimensional, prinsip dan metode yang diperkenalkan oleh Bentham memberikan
kerangka evaluasi yang tetap layak untuk digunakan, tentu dengan kesadaran akan
batas-batas dan perlunya pengayaan kritis.
Footnotes
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart
(Oxford: Clarendon Press, 1907), 30–33.
[2]
William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.
[3]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism:
Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham
(Oxford: Clarendon Press, 1990), 45.
[4]
Richard Cookson et al., “Using Cost-Effectiveness
Analysis to Address Health Equity Concerns,” Value in Health 20, no. 2
(2017): 206–212.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 24–25.
[6]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
18–23.
[7]
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 76.
[8]
Philip Schofield, Bentham: A Guide for the
Perplexed (London: Continuum, 2009), 122–125.
Daftar Pustaka
Awad, E., Dsouza, S., Kim, R., Schulz, J., Henrich,
J., Shariff, A., Bonnefon, J.-F., & Rahwan, I. (2018). The moral machine
experiment. Nature, 563(7729), 59–64. https://doi.org/10.1038/s41586-018-0637-6
Bentham, J. (1907). An introduction to the
principles of morals and legislation (J. H. Burns & H. L. A. Hart,
Eds.). Clarendon Press. (Original work published 1789)
Bentham, J. (1948). A fragment on government and
an introduction to the principles of morals and legislation (W. Harrison,
Ed.). Basil Blackwell.
Cookson, R., Mirelman, A. J., Griffin, S., Asaria,
M., Dawkins, B., Norheim, O. F., & Culyer, A. J. (2017). Using
cost-effectiveness analysis to address health equity concerns. Value in
Health, 20(2), 206–212. https://doi.org/10.1016/j.jval.2016.11.027
Crimmins, J. E. (1990). Secular utilitarianism:
Social science and the critique of religion in the thought of Jeremy Bentham.
Clarendon Press.
Crisp, R. (1998). Utilitarianism and hedonism. In
E. Craig (Ed.), Routledge encyclopedia of philosophy (Vol. 9).
Routledge. https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1
Emanuel, E. J., Persad, G., Upshur, R., Thome, B.,
Parker, M., Glickman, A., Zhang, C., Boyle, C., Smith, M., & Phillips, J.
P. (2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of Covid-19.
The New England Journal of Medicine, 382(21), 2049–2055. https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114
Hart, H. L. A. (1982). Essays on Bentham:
Studies in jurisprudence and political theory. Clarendon Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1785)
Lin, P. (2015). Why ethics matters for autonomous
cars. In M. Maurer, J. C. Gerdes, B. Lenz, & H. Winner (Eds.), Autonomes
Fahren (pp. 69–85). Springer Vieweg. https://doi.org/10.1007/978-3-662-45854-9_4
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher,
Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1863)
Mill, J. S. (1969). Autobiography (J.
Stillinger, Ed.). Houghton Mifflin.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
Basic Books.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Schofield, P. (2009). Bentham: A guide for the
perplexed. Continuum.
Schüll, N. D. (2012). Addiction by design:
Machine gambling in Las Vegas. Princeton University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2017). Collective choice and social
welfare (2nd ed.). Penguin Books.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Sweet, W. (2020). Jeremy Bentham. In E. N. Zalta
(Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Summer 2020 ed.).
Stanford University. https://plato.stanford.edu/entries/bentham/
Thomson, J. J. (1985). The trolley problem. The
Yale Law Journal, 94(6), 1395–1415. https://doi.org/10.2307/796133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar