Sabtu, 31 Mei 2025

Kalkulus Kebahagiaan: Analisis Utilitarian atas Nilai Moral dan Pilihan Etis

Kalkulus Kebahagiaan

Analisis Utilitarian atas Nilai Moral dan Pilihan Etis


Alihkan ke: Pemikiran Jeremy Bentham.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep Hedonic Calculus yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham sebagai bagian integral dari filsafat utilitarianisme klasik. Melalui pendekatan rasional dan konsekuensialis, Bentham mengusulkan bahwa kebahagiaan—yang diukur melalui tujuh kriteria seperti intensitas, durasi, kepastian, dan luas dampak—merupakan tolok ukur utama dalam menilai moralitas suatu tindakan. Artikel ini tidak hanya memaparkan latar belakang intelektual Bentham dan fondasi teoritis utilitarianisme, tetapi juga mengulas penerapan kalkulus kebahagiaan dalam dilema etis kontemporer, kebijakan publik, bioetika, hingga pengambilan keputusan oleh kecerdasan buatan. Di sisi lain, artikel ini juga menyajikan kritik-kritik mendalam dari perspektif epistemologis, deontologis, dan psikologis terhadap konsep tersebut, serta menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip Hedonic Calculus terus berkembang dalam teori etika modern. Dengan pendekatan analitis dan historis, artikel ini menegaskan bahwa meskipun tidak bebas dari keterbatasan, Hedonic Calculus tetap relevan sebagai kerangka evaluatif dalam merespons kompleksitas moral dunia kontemporer.

Kata Kunci: Jeremy Bentham, Hedonic Calculus, Utilitarianisme, Etika Konsekuensialis, Kebahagiaan, Moralitas, Kebijakan Publik, Kritik Etika, Bioetika, Kecerdasan Buatan.


PEMBAHASAN

Kalkulus Kebahagiaan Jeremy Bentham


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat moral modern, utilitarianisme muncul sebagai salah satu pendekatan etika yang paling berpengaruh dan sistematis dalam menilai tindakan manusia berdasarkan hasil atau konsekuensinya. Gagasan utama dari utilitarianisme adalah bahwa tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness of the greatest number)—sebuah prinsip yang dikenal sebagai Prinsip Utilitas atau Prinsip Kebahagiaan Tertinggi (Greatest Happiness Principle).¹ Gagasan ini berakar pada pemikiran Jeremy Bentham (1748–1832), seorang filsuf, ekonom, dan reformis hukum asal Inggris, yang dikenal luas sebagai pendiri aliran utilitarianisme klasik.

Bentham percaya bahwa seluruh sistem etika dan hukum harus disusun berdasarkan asas kebahagiaan dan penderitaan yang dapat diamati dan dianalisis secara rasional.² Ia mengusulkan bahwa kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain) adalah satu-satunya dasar yang sah untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan.³ Dalam upaya untuk menjadikan prinsip ini lebih operasional dan terukur, Bentham mengembangkan suatu metode kuantitatif yang dikenal sebagai Kalkulus Kebahagiaan (Hedonic Calculus), yaitu kerangka analisis yang memuat tujuh kriteria untuk menilai dan membandingkan konsekuensi moral dari berbagai tindakan.

Kalkulus Kebahagiaan tidak hanya menjadi instrumen filosofis untuk mengukur kebahagiaan, melainkan juga mencerminkan ambisi besar Bentham untuk menjadikan etika sebagai ilmu positif yang rasional dan terukur, setara dengan pendekatan ilmiah dalam bidang hukum dan kebijakan publik.⁴ Bagi Bentham, etik tidak seharusnya menjadi wilayah spekulatif metafisika yang kabur, melainkan harus menjadi alat praktis dalam pengambilan keputusan yang konkret, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam perumusan kebijakan sosial.⁵

Seiring berkembangnya zaman, Kalkulus Kebahagiaan telah menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi moral dan hukum. Meskipun banyak kritik diajukan—terutama mengenai kemungkinan menghitung kebahagiaan secara objektif—konsep ini tetap relevan dalam berbagai bidang seperti filsafat politik, ekonomi kesejahteraan, etika terapan, hingga kecerdasan buatan.⁶ Dengan demikian, pemahaman terhadap Kalkulus Kebahagiaan tidak hanya penting secara historis, tetapi juga secara konseptual dan praktis dalam konteks dunia kontemporer yang semakin kompleks dalam pengambilan keputusan etis.


Footnotes

[1]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press, 1907), 1.

[2]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[3]                Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 1–3.

[4]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 45.

[5]                H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 19–22.

[6]              Roger Crisp, “Hedonism and Utilitarianism,” in Routledge Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.


2.           Biografi Intelektual Jeremy Bentham

Jeremy Bentham lahir pada 15 Februari 1748 di London, Inggris, dari keluarga kelas menengah atas yang konservatif dan berlatar belakang hukum. Sejak usia dini, kecerdasan intelektualnya telah menonjol. Ia mulai membaca karya-karya klasik Yunani dan Latin pada usia tiga tahun dan diterima di Queen’s College, Oxford, pada usia dua belas tahun, sebuah prestasi luar biasa bahkan pada zamannya.¹ Meskipun ia kemudian melanjutkan studi hukum di Lincoln’s Inn, Bentham tidak pernah benar-benar mempraktikkan profesi hukum; sebaliknya, ia mengabdikan hidupnya untuk merancang reformasi sistem hukum dan sosial yang lebih rasional, manusiawi, dan berbasis prinsip utilitas.²

Secara intelektual, Bentham terinspirasi oleh Enlightenment Eropa, terutama semangat rasionalitas dan skeptisisme terhadap otoritas tradisional.³ Ia menolak pendekatan hukum alami yang bersifat abstrak dan tidak terukur, seperti yang dianut oleh banyak filsuf sebelumnya, termasuk John Locke. Sebaliknya, ia mengembangkan suatu pendekatan yang disebutnya sebagai jurisprudence utilitarian, di mana semua hukum dan kebijakan publik harus dievaluasi berdasarkan kontribusinya terhadap peningkatan kebahagiaan masyarakat.⁴

Karya utamanya, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), memperkenalkan prinsip utilitas sebagai asas moral dan hukum. Dalam karya tersebut, Bentham merumuskan bahwa "nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure"—sebuah pernyataan fundamental yang meletakkan dasar bagi seluruh sistem etika utilitarian.⁵ Melalui gagasan ini, ia berupaya menjadikan moralitas sebagai ilmu yang objektif, dapat dianalisis, dan bahkan dihitung secara sistematis melalui metode yang ia sebut sebagai Hedonic Calculus.⁶

Bentham bukan hanya seorang pemikir spekulatif, tetapi juga reformis sosial yang aktif menulis tentang berbagai isu, mulai dari reformasi penjara, sistem peradilan, perbankan, pendidikan, hingga hak-hak perempuan dan homoseksualitas—jauh mendahului zamannya.⁷ Ia juga dikenal sebagai sosok yang percaya pada transparansi pemerintahan dan mendukung sistem demokrasi representatif. Pemikirannya tentang akuntabilitas lembaga publik menginspirasi perkembangan teori panopticon dan ide-ide awal tentang pengawasan sosial.⁸

Setelah wafatnya pada tahun 1832, pengaruh Bentham terus meluas melalui murid-murid dan pengikutnya, terutama John Stuart Mill dan kelompok Philosophical Radicals, yang meneruskan gagasan utilitarianisme ke ranah yang lebih kompleks dan sistematis.⁹ Dengan demikian, Bentham bukan hanya pelopor utilitarianisme, tetapi juga arsitek intelektual bagi gerakan reformasi sosial modern berbasis rasionalitas dan kesejahteraan kolektif.


Footnotes

[1]                F. Rosen, Jeremy Bentham and the Law: A Philosophical Introduction (Oxford: Clarendon Press, 1994), 1–3.

[2]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[3]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 18.

[4]                H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 25–26.

[5]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press, 1907), 1.

[6]                Ibid., 29–30.

[7]                Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London: Continuum, 2009), 105–110.

[8]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 195–228.

[9]                John Stuart Mill, Autobiography, ed. Jack Stillinger (Boston: Houghton Mifflin, 1969), 97–100.


3.           Fondasi Filsafat Utilitarianisme

Filsafat utilitarianisme muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan pendekatan etika yang bersifat rasional, empiris, dan pragmatis, khususnya dalam menghadapi kompleksitas kehidupan sosial dan politik modern. Di tengah tradisi filsafat moral yang kerap dikuasai oleh dogma teologis atau prinsip metafisik yang abstrak, Jeremy Bentham memperkenalkan satu prinsip dasar yang sederhana namun radikal: segala tindakan harus dinilai berdasarkan sejauh mana ia mempromosikan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan

Prinsip ini dikenal sebagai Prinsip Utilitas (Principle of Utility), yang berbunyi: "the greatest happiness of the greatest number is the foundation of morals and legislation."² Dalam pandangan Bentham, manusia secara alami dikendalikan oleh dua kekuatan fundamental: kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain).³ Oleh karena itu, satu-satunya dasar yang valid untuk menilai moralitas suatu tindakan bukanlah niat, doktrin agama, atau tradisi, melainkan konsekuensi nyata yang dapat dilihat dan diukur melalui dampaknya terhadap kebahagiaan manusia.

Utilitarianisme yang dirumuskan Bentham dikenal sebagai utilitarianisme hedonistik, karena mendefinisikan kebaikan moral sebagai hasil maksimal dari pengalaman yang menyenangkan dan minimnya penderitaan.⁴ Prinsip ini menolak pendekatan deontologis yang menilai tindakan sebagai benar atau salah berdasarkan kewajiban moral terlepas dari akibatnya, seperti dalam filsafat Immanuel Kant.⁵ Dalam konteks ini, Bentham menegaskan bahwa nilai moral tidak bersifat intrinsik, melainkan instrumental, yakni seberapa efektif suatu tindakan dalam menghasilkan hasil akhir yang diinginkan, yaitu kebahagiaan.

Bentham tidak hanya meletakkan dasar moralitas pada prinsip utilitas, tetapi juga menjadikannya sebagai asas utama dalam pembentukan hukum dan kebijakan publik. Bagi Bentham, hukum yang adil adalah hukum yang meningkatkan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat.⁶ Gagasannya inilah yang menjadi dasar dari pendekatan konsekuensialis, di mana moralitas suatu tindakan ditentukan bukan oleh motif, melainkan oleh hasil yang ditimbulkan.

Dalam perkembangannya, aliran utilitarianisme mengalami diversifikasi. Murid Bentham, John Stuart Mill, menyempurnakan pendekatan ini dengan menekankan kualitas kebahagiaan, bukan hanya kuantitasnya.⁷ Ia membedakan antara pleasure of the body dan pleasure of the mind, dengan menyatakan bahwa beberapa bentuk kebahagiaan lebih tinggi nilainya daripada yang lain. Namun demikian, fondasi dasar pemikiran utilitarianisme tetap bertumpu pada prinsip Bentham bahwa kebahagiaan adalah ukuran utama nilai moral suatu tindakan.

Dengan prinsip ini, utilitarianisme membuka jalan bagi pendekatan etika yang dapat diaplikasikan secara luas dalam kehidupan sosial modern—dari analisis kebijakan publik hingga kecerdasan buatan—karena menawarkan framework normatif yang bisa diterjemahkan ke dalam bentuk evaluasi rasional, kuantitatif, dan praktis.


Footnotes

[1]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[2]                Jeremy Bentham, A Fragment on Government and an Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. Wilfrid Harrison (Oxford: Basil Blackwell, 1948), 125.

[3]                Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press, 1907), 1.

[4]                Roger Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy, s.v. “Utilitarianism and Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12–15.

[6]                H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 43–46.

[7]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 8–10.


4.           Pengertian dan Tujuan Hedonic Calculus

Dalam kerangka etika utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham, Hedonic Calculus atau Felicific Calculus merupakan inovasi konseptual yang dirancang untuk memberikan cara sistematis dan kuantitatif dalam menilai baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan atau penderitaan. Bentham menyadari bahwa prinsip utilitas, meskipun sederhana secara teoritis, membutuhkan mekanisme praktis untuk dapat diterapkan dalam konteks konkret kehidupan manusia—baik dalam pengambilan keputusan moral individu maupun dalam penyusunan kebijakan publik.¹

Secara umum, Hedonic Calculus didefinisikan sebagai alat ukur rasional untuk menghitung dan membandingkan jumlah kesenangan dan penderitaan yang kemungkinan akan ditimbulkan oleh suatu tindakan tertentu.² Gagasan dasar dari kalkulus ini adalah bahwa semua tindakan dapat dianalisis berdasarkan konsekuensinya terhadap kesejahteraan manusia, dan oleh karena itu, harus dinilai berdasarkan seberapa besar "saldo kebahagiaan bersih" yang dihasilkan—yakni jumlah kesenangan dikurangi jumlah penderitaan.³

Bentham mengusulkan tujuh dimensi atau kriteria evaluatif yang dapat digunakan untuk menilai nilai moral suatu tindakan dari segi kebahagiaan yang dihasilkannya: intensitas, durasi, kepastian, kedekatan waktu, kesuburan (kemampuan menghasilkan kesenangan lain), kemurnian (bebas dari penderitaan), dan luas dampak terhadap orang lain.⁴ Dengan menggunakan tujuh parameter ini, seseorang atau pembuat kebijakan dapat mengevaluasi tindakan-tindakan yang tersedia dan memilih tindakan yang memberikan hasil terbaik secara moral. Bentham sendiri menyatakan bahwa prinsip ini "seeks to subordinate every action, and every law, to the principle of utility," dan dengan demikian menjadikan kalkulus ini sebagai alat bantu utama dalam proses pengambilan keputusan moral dan legislatif.⁵

Tujuan utama dari Hedonic Calculus bukan hanya untuk memberikan kerangka berpikir normatif, melainkan juga untuk membawa filsafat moral ke dalam ranah ilmu empiris yang dapat diverifikasi dan diterapkan secara praktis. Dalam semangat Pencerahan (Enlightenment) yang menekankan rasionalitas dan sains, Bentham ingin menjadikan moralitas sebagai sesuatu yang bisa dihitung, dianalisis, dan diorganisasi dengan pendekatan mirip seperti matematika atau ekonomi.⁶ Karena itu, Hedonic Calculus tidak hanya relevan secara filosofis, tetapi juga memiliki dimensi teknokratis yang kuat, memungkinkan evaluasi kebijakan publik berdasarkan nilai kebahagiaan yang dapat diprediksi dan dikuantifikasi.

Meski demikian, Bentham tidak pernah mengklaim bahwa kalkulasi ini dapat bersifat mutlak atau sempurna. Ia menyadari bahwa sejumlah variabel dalam kalkulus bersifat estimatif dan bergantung pada konteks. Namun, menurutnya, upaya untuk mengukur kebahagiaan, meski tidak sempurna, lebih unggul secara moral daripada sekadar bersandar pada intuisi atau dogma.⁷ Dalam pandangan ini, Hedonic Calculus adalah upaya untuk menggantikan etika berbasis asumsi metafisik dengan kerangka kerja yang rasional dan aplikatif, sekaligus memberikan dasar moral bagi perundang-undangan yang adil dan progresif.


Footnotes

[1]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press, 1907), 29.

[2]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[3]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 33.

[4]                Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 30–31.

[5]                Ibid., 3.

[6]                Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London: Continuum, 2009), 76–78.

[7]                H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 45.


5.           Tujuh Kriteria dalam Kalkulus Kebahagiaan Bentham

Untuk mengoperasionalisasikan prinsip utilitas secara rasional dan sistematis, Jeremy Bentham mengembangkan tujuh kriteria penilaian moral dalam apa yang ia sebut sebagai Hedonic Calculus atau Felicific Calculus. Melalui pendekatan ini, Bentham mencoba menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana kita dapat membandingkan secara objektif kesenangan dan penderitaan yang dihasilkan oleh berbagai tindakan?¹

Berikut ini adalah tujuh kriteria yang dirumuskan Bentham, masing-masing dimaksudkan untuk mengukur dimensi etis dari suatu tindakan berdasarkan efeknya terhadap kebahagiaan manusia.

5.1.       Intensitas (Intensity)

Intensitas merujuk pada seberapa kuat atau besar tingkat kesenangan atau penderitaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan.² Semakin intens efeknya, semakin besar bobot moral yang dimiliki tindakan tersebut. Misalnya, kebahagiaan yang mendalam dalam membantu orang lain dianggap lebih bernilai daripada kesenangan ringan seperti menonton hiburan sesaat.

5.2.       Durasi (Duration)

Durasi mengacu pada lamanya kesenangan atau penderitaan itu dirasakan.³ Kebahagiaan yang berlangsung lama lebih bernilai daripada kebahagiaan sesaat. Oleh karena itu, suatu tindakan dianggap lebih bermoral jika hasil positifnya tidak hanya kuat tetapi juga berkelanjutan.

5.3.       Kepastian atau Kemungkinan (Certainty or Uncertainty)

Kriteria ini mempertimbangkan sejauh mana kemungkinan suatu kesenangan atau penderitaan akan benar-benar terjadi.⁴ Tindakan dengan peluang keberhasilan tinggi untuk menghasilkan kebahagiaan lebih diutamakan daripada tindakan yang bersifat spekulatif.

5.4.       Kedekatan Waktu (Propinquity or Remoteness)

Kedekatan waktu berkaitan dengan seberapa cepat dampak kesenangan atau penderitaan dirasakan setelah suatu tindakan dilakukan.⁵ Menurut Bentham, semakin dekat kesenangan itu dapat dinikmati, semakin besar nilainya secara moral.

5.5.       Kesuburan (Fecundity)

Fecundity menilai apakah suatu tindakan yang menghasilkan kesenangan juga akan menimbulkan lebih banyak kesenangan di masa depan.⁶ Tindakan yang memiliki potensi untuk memperpanjang atau melipatgandakan kebahagiaan dianggap lebih bernilai daripada yang hanya memberikan efek satu kali.

5.6.       Kemurnian (Purity)

Kemurnian mengacu pada seberapa bebas suatu kesenangan dari penderitaan yang menyertainya.⁷ Misalnya, suatu kenikmatan yang datang tanpa efek samping negatif lebih tinggi nilainya daripada kenikmatan yang membawa dampak buruk kemudian.

5.7.       Luas Dampak (Extent)

Kriteria ini menilai jumlah individu yang dipengaruhi oleh suatu tindakan.⁸ Semakin banyak orang yang memperoleh manfaat dari suatu tindakan, semakin tinggi nilai moral tindakan tersebut. Inilah esensi dari prinsip the greatest happiness of the greatest number yang menjadi pusat etika utilitarian.


Secara keseluruhan, tujuh kriteria ini membentuk kerangka kalkulatif yang memungkinkan penilaian tindakan moral dilakukan secara rasional dan berorientasi pada konsekuensi. Bentham menyadari bahwa proses ini tidak selalu mudah atau eksak, namun ia berpendapat bahwa pendekatan sistematis ini tetap lebih unggul dibandingkan dengan intuisi moral yang kabur atau norma sosial yang tidak terukur.⁹ Dalam semangat rasionalitas abad Pencerahan, Hedonic Calculus merupakan upaya Bentham untuk menjembatani filsafat moral dengan praktik pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dan ilmiah.


Footnotes

[1]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press, 1907), 30.

[2]                Ibid., 31.

[3]                Ibid.

[4]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[5]                Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London: Continuum, 2009), 78.

[6]                Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 31.

[7]                H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 49.

[8]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 35.

[9]              Roger Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy, s.v. “Utilitarianism and Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.


6.           Aplikasi Praktis dan Contoh Kasus Kalkulus Kebahagiaan

Meskipun Hedonic Calculus yang dikembangkan Jeremy Bentham awalnya bersifat teoritis, konsep ini memiliki potensi aplikatif yang sangat luas, terutama dalam konteks pengambilan keputusan etis, penyusunan kebijakan publik, dan bahkan perkembangan kecerdasan buatan serta algoritma etis masa kini.¹ Dengan memanfaatkan tujuh kriteria kalkulus, Bentham berusaha menyediakan alat analisis normatif yang dapat digunakan secara praktis untuk membandingkan tindakan-tindakan dalam konteks moral tertentu.

6.1.       Aplikasi dalam Dilema Moral Individu: Kasus Trolley Problem

Salah satu ilustrasi paling terkenal dalam etika modern yang dapat dianalisis dengan Hedonic Calculus adalah Trolley Problem.² Dalam kasus ini, seseorang harus memilih antara membiarkan sebuah kereta api melaju dan menabrak lima orang di rel utama, atau mengalihkan jalur kereta ke rel lain yang hanya menabrak satu orang. Pendekatan utilitarian klasik, termasuk Bentham, akan mengarahkan pada keputusan untuk mengorbankan satu orang demi menyelamatkan lima, karena total kebahagiaan yang dihasilkan akan lebih besar—suatu kalkulasi berdasarkan luas dampak (extent) dan intensitas penderitaan.

Dengan menerapkan kriteria Bentham, seseorang dapat mengevaluasi:

·                     Intensitas dan Durasi penderitaan dari satu korban versus lima korban.

·                     Kepastian bahwa tindakan akan langsung mempengaruhi hidup-mati.

·                     Kemurnian tindakan (apakah menimbulkan rasa bersalah atau efek psikologis jangka panjang).

·                     Fecundity, yakni apakah penyelamatan lima orang akan membawa manfaat lebih besar di masa depan (misalnya jika mereka adalah tenaga kesehatan, guru, dll).³

Kalkulus ini tidak dimaksudkan untuk menghasilkan jawaban “otomatis”, melainkan untuk mengarahkan pertimbangan rasional dan sistematis terhadap konsekuensi moral dari suatu tindakan.

6.2.       Aplikasi dalam Kebijakan Publik: Vaksinasi Wajib dan Kesehatan Masyarakat

Dalam konteks kebijakan publik, Hedonic Calculus dapat diterapkan dalam analisis cost-benefit dari program vaksinasi wajib. Keputusan untuk mewajibkan vaksinasi dapat dipandang membatasi kebebasan individu, namun menghasilkan manfaat luas bagi populasi dalam bentuk kekebalan kelompok (herd immunity).⁴

Dengan mengacu pada tujuh kriteria Bentham, kebijakan tersebut akan dinilai:

·                     Memberikan kesenangan besar dalam bentuk keamanan kesehatan (intensitas).

·                     Memiliki durasi panjang terhadap stabilitas masyarakat.

·                     Kepastian tinggi berdasarkan bukti ilmiah mengenai efektivitas vaksin.

·                     Mempunyai kemurnian relatif karena efek samping kecil.

·                     Fecundity, karena mengurangi beban rumah sakit dan menjaga produktivitas masyarakat.

·                     Dampaknya sangat luas (extent) karena menyangkut seluruh populasi.⁵

Dengan demikian, kebijakan vaksinasi wajib dapat dibenarkan secara utilitarian karena menghasilkan total kebahagiaan bersih yang lebih besar daripada kebijakan non-intervensi.

6.3.       Aplikasi dalam Ekonomi dan Perencanaan Sosial

Dalam ekonomi kesejahteraan (welfare economics), prinsip-prinsip Bentham menjadi dasar dari pendekatan utilitas total yang digunakan untuk mengevaluasi distribusi sumber daya.⁶ Misalnya, dalam program subsidi pendidikan atau bantuan sosial, pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi kelompok rentan yang paling membutuhkan, berdasarkan perkiraan bahwa tambahan kebahagiaan (marginal utility) lebih besar di kalangan miskin daripada kaya.

Ini selaras dengan prinsip Bentham bahwa tindakan terbaik adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar, bukan hanya bagi individu yang kuat, tetapi bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat.⁷ Bahkan, banyak perangkat modern seperti quality-adjusted life years (QALYs) dalam sistem kesehatan nasional Inggris (NHS) menggunakan prinsip serupa dalam menilai kebijakan berdasarkan nilai kehidupan dan manfaat kesehatan yang dihasilkan.

6.4.       Relevansi dalam Perkembangan Etika Algoritma dan Kecerdasan Buatan

Saat ini, Hedonic Calculus juga mulai diadaptasi dalam desain algoritma etis pada kendaraan otonom dan kecerdasan buatan. Misalnya, sistem AI dapat diprogram untuk memilih skenario tabrakan yang meminimalkan korban jiwa—sebuah bentuk penerapan kalkulus kebahagiaan dalam ranah teknologi.⁸


Kesimpulan Sementara

Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa meskipun Hedonic Calculus sering dikritik karena kesederhanaannya, ia tetap memberikan kerangka berpikir yang relevan dan aplikatif. Melalui kriteria-kriteria yang terstruktur, Bentham menawarkan alat untuk menilai konsekuensi moral secara sistematis, baik dalam dilema individu maupun kebijakan publik berskala luas. Aplikasi ini mencerminkan upaya besar untuk menjadikan etika bukan hanya sebagai teori, melainkan sebagai panduan praktis bagi keputusan moral yang rasional dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 43–44.

[2]                Judith Jarvis Thomson, “The Trolley Problem,” The Yale Law Journal 94, no. 6 (1985): 1395–1415.

[3]                Roger Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy, s.v. “Utilitarianism and Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.

[4]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 74–78.

[5]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[6]                Amartya Sen, Collective Choice and Social Welfare, 2nd ed. (London: Penguin Books, 2017), 112–115.

[7]                Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press, 1907), 5–6.

[8]                Patrick Lin, “Why Ethics Matters for Autonomous Cars,” in Autonomes Fahren, ed. Markus Maurer et al. (Berlin: Springer Vieweg, 2015), 69–85.


7.           Kritik terhadap Hedonic Calculus

Meskipun Hedonic Calculus yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham telah memberikan kontribusi besar dalam sistematisasi etika berbasis konsekuensi, pendekatan ini tidak luput dari berbagai kritik tajam, baik dari kalangan filsuf moral, psikolog, maupun pemikir politik. Kritik terhadap kalkulus kebahagiaan mencakup aspek epistemologis, etis-normatif, dan psikologis, yang semuanya mempertanyakan keberlakuan universal, keakuratan, dan kelayakan moral dari model ini.

7.1.       Kritik Epistemologis: Apakah Kebahagiaan Dapat Diukur Secara Objektif?

Kritik utama terhadap Hedonic Calculus adalah asumsi bahwa kesenangan dan penderitaan dapat diukur, dibandingkan, dan dijumlahkan secara objektif.¹ Banyak filsuf menyangsikan kemungkinan pengukuran kuantitatif terhadap pengalaman subjektif manusia yang bersifat sangat personal, kontekstual, dan tidak stabil.² Sebagaimana dikemukakan oleh John Rawls, utilitarianisme gagal memperhitungkan keragaman preferensi dan perbedaan identitas moral antara individu, yang tidak selalu dapat direduksi menjadi “unit kebahagiaan” yang homogen.³

Masalah epistemologis ini semakin kompleks dalam konteks sosial yang pluralistik, di mana nilai-nilai kebahagiaan dan penderitaan tidak hanya berbeda antarindividu, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya, struktur sosial, dan posisi kekuasaan.

7.2.       Kritik Etis: Mengorbankan Hak Individu Demi Mayoritas

Kritik paling tajam secara etis terhadap Hedonic Calculus datang dari pendekatan deontologis dan teori keadilan, yang menilai bahwa kalkulus kebahagiaan berpotensi melegitimasi pelanggaran hak-hak individu demi keuntungan kolektif.⁴ Misalnya, dalam kasus pengorbanan satu orang demi menyelamatkan lima, pendekatan utilitarian dapat membenarkan tindakan yang secara moral intuitif tidak adil. Immanuel Kant dengan tegas menolak pendekatan ini, karena menilai bahwa manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan orang lain, bahkan jika hasilnya menguntungkan secara keseluruhan.⁵

Robert Nozick melalui eksperimen pemikirannya “The Experience Machine” juga menunjukkan bahwa nilai moral tidak semata-mata bergantung pada pengalaman kesenangan, melainkan juga pada keaslian, identitas, dan integritas moral individu.⁶ Ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak bisa menjadi satu-satunya standar moral yang sah.

7.3.       Kritik Psikologis: Reduksi terhadap Kompleksitas Manusia

Secara psikologis, kritik terhadap Hedonic Calculus muncul dari reduksionisme yang menyederhanakan manusia sebagai makhluk pencari kesenangan dan penghindar penderitaan. Psikolog dan filsuf seperti Martha Nussbaum berargumen bahwa kesejahteraan manusia tidak dapat direduksi menjadi kuantitas kesenangan, melainkan melibatkan realisasi kapasitas kemanusiaan seperti berpikir kritis, membangun relasi, dan bertindak secara bermakna.⁷

Pendekatan capabilities approach (pendekatan kemampuan) yang dikembangkan oleh Nussbaum dan Amartya Sen merupakan respons terhadap keterbatasan utilitarianisme dalam memahami dimensi kualitatif dari kesejahteraan manusia.⁸ Mereka menunjukkan bahwa angka atau kalkulasi kesenangan semata tidak cukup mencerminkan kehidupan yang bermartabat.

7.4.       Kritik Praktis: Ketidakpraktisan dalam Pengambilan Keputusan Nyata

Meskipun secara teori Hedonic Calculus menawarkan struktur analitis yang logis, dalam praktiknya kalkulus ini sering dianggap terlalu kompleks dan tidak realistis untuk diterapkan secara cepat dan tepat dalam situasi kehidupan nyata. Menilai tujuh kriteria secara objektif untuk setiap tindakan membutuhkan waktu, data, dan pertimbangan yang sangat rinci—sesuatu yang tidak selalu tersedia dalam pengambilan keputusan sehari-hari atau dalam kebijakan krisis.⁹

Selain itu, metode ini membuka ruang bagi manipulasi data atau bias keputusan yang menyamar sebagai “analisis rasional”, padahal secara moral belum tentu adil atau sah.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik terhadap Hedonic Calculus menunjukkan bahwa walaupun model ini penting secara historis dan teoritis, ia bukan kerangka yang bebas dari masalah. Masalah epistemologis, etis, psikologis, dan praktis menandakan bahwa konsep ini harus digunakan dengan kehati-hatian, keterbatasan, dan pelengkap dari pendekatan moral lainnya. Dengan demikian, Hedonic Calculus tetap relevan sebagai instrumen evaluatif dalam kerangka utilitarianisme, tetapi bukan sebagai alat tunggal dalam menetapkan keputusan etis yang kompleks dan menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam.


Footnotes

[1]                Roger Crisp, Routledge Encyclopedia of Philosophy, s.v. “Utilitarianism and Hedonism,” ed. Edward Craig (London: Routledge, 1998), https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1.

[2]                Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London: Continuum, 2009), 81.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 22–25.

[4]                H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 56.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–39.

[6]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 42–45.

[7]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–22.

[8]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 74–78.

[9]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 47.


8.           Relevansi Konsep Hedonic Calculus dalam Konteks Kontemporer

Meskipun Hedonic Calculus lahir pada akhir abad ke-18, warisan intelektualnya terus hidup dan mengalami transformasi dalam berbagai ranah kehidupan modern. Bentham mungkin tidak membayangkan bahwa prinsip-prinsip yang ia rumuskan akan menjadi landasan bagi banyak instrumen pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, ekonomi kesejahteraan, bioetika, hingga kecerdasan buatan.¹ Relevansi Hedonic Calculus pada masa kini terutama terletak pada kemampuannya menyediakan kerangka evaluatif yang rasional dan konsekuensialis dalam menilai manfaat dari suatu tindakan atau kebijakan.

8.1.       Evaluasi Kebijakan Publik dan Ekonomi Kesejahteraan

Dalam ekonomi dan kebijakan publik, prinsip-prinsip utilitarian Bentham menjadi fondasi bagi pendekatan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang digunakan untuk menilai efisiensi dan efektivitas kebijakan sosial, infrastruktur, dan program kesejahteraan.² Model ini mengasumsikan bahwa tindakan terbaik adalah yang memaksimalkan “kesejahteraan total” masyarakat, suatu gagasan yang sangat sejalan dengan semangat Hedonic Calculus

Contohnya adalah penggunaan QALY (Quality-Adjusted Life Years) dan DALY (Disability-Adjusted Life Years) dalam menilai dampak kebijakan kesehatan. Alat-alat ini menghitung manfaat dari intervensi medis berdasarkan kuantifikasi kebahagiaan, umur, dan kualitas hidup—sebuah penerapan eksplisit dari kalkulasi kebahagiaan dalam praktik klinis dan sistem asuransi kesehatan nasional seperti NHS Inggris.⁴

8.2.       Teknologi dan Etika Kecerdasan Buatan

Dalam perkembangan teknologi, terutama pada etika kecerdasan buatan (AI ethics), gagasan Hedonic Calculus digunakan dalam pemrograman algoritma keputusan etis, misalnya pada kendaraan otonom. Dilema klasik seperti Trolley Problem diadaptasi dalam simulasi mobil self-driving, di mana sistem harus diprogram untuk mengambil keputusan yang meminimalkan jumlah korban jiwa atau penderitaan, sebagaimana diatur dalam kerangka konsekuensialis.⁵

Studi oleh MIT dalam proyek Moral Machine menunjukkan bahwa pertimbangan seperti umur, jumlah korban, dan profesi menjadi bagian dari pengambilan keputusan berbasis data—sesuatu yang secara historis berakar pada kalkulasi moral ala Bentham.⁶

8.3.       Bioetika dan Hak atas Kesehatan

Di ranah bioetika, Hedonic Calculus digunakan dalam menilai keputusan yang menyangkut alokasi sumber daya medis yang terbatas, seperti dalam pandemi COVID-19. Misalnya, ketika tenaga kesehatan dan pembuat kebijakan harus memilih siapa yang lebih layak menerima ventilator dalam situasi krisis, pertimbangan seperti umur, kemungkinan sembuh, dan peran sosial digunakan untuk menentukan pilihan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak.⁷

Meskipun keputusan semacam itu tidak pernah mudah secara moral, pendekatan kalkulatif Bentham memberikan dasar analitis yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks darurat dan keterbatasan sumber daya.

8.4.       Platform Digital dan Desain Pengalaman Pengguna (UX)

Relevansi Hedonic Calculus juga muncul dalam dunia teknologi digital, khususnya dalam desain aplikasi, media sosial, dan ekonomi perhatian. Banyak platform digital menggunakan pengukuran pengalaman pengguna (user happiness metrics) sebagai indikator keberhasilan, yang mencerminkan aspek-aspek seperti intensitas keterlibatan, durasi penggunaan, dan kepuasan emosional pengguna.⁸ Dengan kata lain, pengembang teknologi saat ini secara implisit mengadopsi kalkulasi hedonistik sebagai acuan desain produk dan intervensi perilaku.

Namun, ini juga menimbulkan kekhawatiran etis terkait manipulasi kesenangan semu (artificial pleasure) dan potensi kecanduan digital, yang dapat dikritisi dari perspektif utilitarianisme kritis yang lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas kesenangan.

8.5.       Kritik Lanjutan dan Upaya Revisi

Meskipun tetap relevan, banyak filsuf dan ekonom kontemporer mencoba merevisi pendekatan Bentham dengan memperkenalkan versi utilitarianisme yang lebih “berkualitas”, seperti yang dikembangkan oleh John Stuart Mill, Amartya Sen, dan Martha Nussbaum.⁹ Mereka menekankan bahwa kesejahteraan tidak hanya terletak pada pengalaman kesenangan, tetapi juga pada pemenuhan kebebasan, kesetaraan, dan kapasitas manusia untuk berkembang.

Pendekatan ini tidak sepenuhnya menolak Hedonic Calculus, tetapi menyesuaikannya agar lebih selaras dengan kompleksitas kehidupan manusia modern yang multidimensional.


Kesimpulan Sementara

Dalam berbagai sektor kehidupan kontemporer, Hedonic Calculus tetap memainkan peran penting sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan etis, rasional, dan berbasis data. Meskipun menghadapi tantangan epistemologis dan normatif, warisan Bentham terbukti mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Dengan revisi dan pengayaan oleh para pemikir modern, Hedonic Calculus tidak hanya bertahan sebagai warisan sejarah, tetapi terus berkontribusi dalam membentuk masyarakat yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.


Footnotes

[1]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[2]                Amartya Sen, Collective Choice and Social Welfare, 2nd ed. (London: Penguin Books, 2017), 102–105.

[3]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 58.

[4]                Richard Cookson et al., “Using Cost-Effectiveness Analysis to Address Health Equity Concerns,” Value in Health 20, no. 2 (2017): 206–212.

[5]                Patrick Lin, “Why Ethics Matters for Autonomous Cars,” in Autonomes Fahren, ed. Markus Maurer et al. (Berlin: Springer Vieweg, 2015), 69–85.

[6]                Edmond Awad et al., “The Moral Machine Experiment,” Nature 563, no. 7729 (2018): 59–64.

[7]                Ezekiel J. Emanuel et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of Covid-19,” The New England Journal of Medicine 382, no. 21 (2020): 2049–2055.

[8]                Natasha Schüll, Addiction by Design: Machine Gambling in Las Vegas (Princeton: Princeton University Press, 2012), 87–90.

[9]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–23.


9.           Simpulan

Konsep Hedonic Calculus yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham merupakan salah satu inovasi paling signifikan dalam sejarah filsafat moral modern. Dengan membangun kerangka konsekuensialis yang menitikberatkan pada kuantifikasi kebahagiaan dan penderitaan, Bentham tidak hanya menawarkan teori etika yang bersifat normatif, tetapi juga memperkenalkan alat praktis untuk menilai dan membandingkan nilai moral dari tindakan-tindakan yang ada.¹

Fondasi teoritis Bentham yang berakar pada prinsip utilitas—yakni bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak—telah memberi arah baru bagi pemikiran etika, hukum, dan kebijakan publik.² Melalui Hedonic Calculus, Bentham mencoba merasionalisasi moralitas, membawanya keluar dari ruang metafisik ke ranah analisis yang dapat dihitung dan diukur secara sistematis.³ Meskipun kalkulasi moral tersebut tidak bebas dari persoalan praktis dan teoretis, ia tetap menjadi sumbangan monumental dalam upaya menjadikan etika sebagai ilmu yang berpijak pada bukti dan logika.

Kekuatan Hedonic Calculus terletak pada kesederhanaan dan fleksibilitasnya, yang membuatnya dapat diadaptasi dalam berbagai konteks. Dari analisis kebijakan publik dan ekonomi kesejahteraan hingga etika teknologi dan bioetika, prinsip-prinsip Bentham terus memberi kontribusi signifikan dalam pengambilan keputusan yang berorientasi pada kesejahteraan manusia.⁴

Namun demikian, tidak dapat diabaikan bahwa konsep ini telah menjadi sasaran kritik dari berbagai perspektif. Kritik epistemologis menyoroti kesulitan dalam mengukur kebahagiaan secara objektif, sementara kritik normatif mengangkat isu keadilan dan hak individu yang berpotensi dikorbankan dalam perhitungan kebahagiaan kolektif.⁵ Kritik psikologis dan filosofis kontemporer juga menantang reduksi kehidupan manusia menjadi sekadar pencapaian kesenangan dan penghindaran penderitaan, yang dianggap menyederhanakan kompleksitas pengalaman manusia.⁶

Kritik-kritik tersebut tidak lantas menggugurkan nilai Hedonic Calculus, melainkan mendorong pengembangan pendekatan utilitarian yang lebih holistik dan reflektif, seperti yang terlihat dalam karya John Stuart Mill, Amartya Sen, dan Martha Nussbaum.⁷ Reformulasi ini berupaya mempertahankan semangat rasionalitas dan kesejahteraan sosial yang diperjuangkan Bentham, sembari memperkaya dimensi moralnya dengan memperhatikan keadilan, martabat, dan hak individu.

Dengan demikian, Hedonic Calculus tetap relevan dalam dunia modern yang semakin kompleks dan pluralistik. Ia bukan sekadar warisan sejarah, melainkan sumbangan hidup yang terus berkembang, memberikan landasan bagi etika publik yang rasional, transparan, dan berpihak pada kemaslahatan bersama.⁸ Dalam era global yang ditandai oleh dilema etis multidimensional, prinsip dan metode yang diperkenalkan oleh Bentham memberikan kerangka evaluasi yang tetap layak untuk digunakan, tentu dengan kesadaran akan batas-batas dan perlunya pengayaan kritis.


Footnotes

[1]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J. H. Burns and H. L. A. Hart (Oxford: Clarendon Press, 1907), 30–33.

[2]                William Sweet, “Jeremy Bentham,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/entries/bentham/.

[3]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 45.

[4]                Richard Cookson et al., “Using Cost-Effectiveness Analysis to Address Health Equity Concerns,” Value in Health 20, no. 2 (2017): 206–212.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 24–25.

[6]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–23.

[7]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 76.

[8]                Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London: Continuum, 2009), 122–125.


Daftar Pustaka

Awad, E., Dsouza, S., Kim, R., Schulz, J., Henrich, J., Shariff, A., Bonnefon, J.-F., & Rahwan, I. (2018). The moral machine experiment. Nature, 563(7729), 59–64. https://doi.org/10.1038/s41586-018-0637-6

Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and legislation (J. H. Burns & H. L. A. Hart, Eds.). Clarendon Press. (Original work published 1789)

Bentham, J. (1948). A fragment on government and an introduction to the principles of morals and legislation (W. Harrison, Ed.). Basil Blackwell.

Cookson, R., Mirelman, A. J., Griffin, S., Asaria, M., Dawkins, B., Norheim, O. F., & Culyer, A. J. (2017). Using cost-effectiveness analysis to address health equity concerns. Value in Health, 20(2), 206–212. https://doi.org/10.1016/j.jval.2016.11.027

Crimmins, J. E. (1990). Secular utilitarianism: Social science and the critique of religion in the thought of Jeremy Bentham. Clarendon Press.

Crisp, R. (1998). Utilitarianism and hedonism. In E. Craig (Ed.), Routledge encyclopedia of philosophy (Vol. 9). Routledge. https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/hedonism-and-utilitarianism/v-1

Emanuel, E. J., Persad, G., Upshur, R., Thome, B., Parker, M., Glickman, A., Zhang, C., Boyle, C., Smith, M., & Phillips, J. P. (2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of Covid-19. The New England Journal of Medicine, 382(21), 2049–2055. https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114

Hart, H. L. A. (1982). Essays on Bentham: Studies in jurisprudence and political theory. Clarendon Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Lin, P. (2015). Why ethics matters for autonomous cars. In M. Maurer, J. C. Gerdes, B. Lenz, & H. Winner (Eds.), Autonomes Fahren (pp. 69–85). Springer Vieweg. https://doi.org/10.1007/978-3-662-45854-9_4

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1863)

Mill, J. S. (1969). Autobiography (J. Stillinger, Ed.). Houghton Mifflin.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Schofield, P. (2009). Bentham: A guide for the perplexed. Continuum.

Schüll, N. D. (2012). Addiction by design: Machine gambling in Las Vegas. Princeton University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2017). Collective choice and social welfare (2nd ed.). Penguin Books.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Sweet, W. (2020). Jeremy Bentham. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Summer 2020 ed.). Stanford University. https://plato.stanford.edu/entries/bentham/

Thomson, J. J. (1985). The trolley problem. The Yale Law Journal, 94(6), 1395–1415. https://doi.org/10.2307/796133


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar