Rabu, 14 Mei 2025

Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter: Pilar Moral bagi Generasi Berkepribadian Mulia

Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter

Pilar Moral bagi Generasi Berkepribadian Mulia


Alihkan ke: Implementasi Pendidikan Karakter.

Ilmu Pendidikan, Moralitas, Etika.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai definisi dan landasan pendidikan karakter sebagai pilar utama dalam pembentukan generasi yang berkepribadian mulia. Pendidikan karakter tidak hanya dipahami sebagai bagian dari kurikulum formal, tetapi juga sebagai proses integral yang membentuk nilai moral, etika, dan spiritual peserta didik. Pembahasan diawali dengan telaah etimologis dan terminologis untuk menjelaskan hakikat pendidikan karakter dari berbagai perspektif ilmiah. Selanjutnya, artikel menguraikan lima landasan utama yang mendasari praktik pendidikan karakter, yaitu: landasan filosofis, psikologis, sosiologis, yuridis, dan teologi Islam. Setiap landasan dikaji berdasarkan teori-teori klasik dan kontemporer dari para pemikir seperti Plato, Aristotle, Dewey, Piaget, Kohlberg, Bandura, dan tokoh Islam seperti Al-Ghazali dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Implikasi dari kelima landasan tersebut diterjemahkan dalam praktik pendidikan yang menekankan peran keteladanan guru, integrasi nilai dalam kurikulum, penguatan budaya sekolah, serta kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Artikel ini menyimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri, dan keberhasilannya membutuhkan komitmen kolektif yang berkelanjutan. Pemahaman terhadap landasan konseptual pendidikan karakter menjadi kunci dalam merancang kebijakan dan praktik yang mampu membentuk generasi cerdas, berakhlak, dan bertanggung jawab di era global.

Kata Kunci: Pendidikan karakter, nilai moral, landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, landasan yuridis, teologi Islam, pembentukan kepribadian, etika pendidikan, kurikulum nilai.


PEMBAHASAN

Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter


1.           Pendahuluan

Di tengah dinamika globalisasi, revolusi digital, serta tantangan sosial yang kian kompleks, dunia pendidikan dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk tidak hanya mencerdaskan peserta didik secara intelektual, tetapi juga membentuk karakter yang kuat dan berbudi luhur. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, jika tidak dibarengi dengan penguatan nilai-nilai moral dan etika, justru dapat menghasilkan generasi yang cerdas namun kehilangan arah dalam menjalani kehidupan sosial dan kebangsaan. Hal ini ditegaskan oleh Thomas Lickona, tokoh terkemuka dalam pendidikan karakter, bahwa krisis moral pada generasi muda bukan hanya soal kurangnya pengetahuan, melainkan karena lemahnya nilai karakter seperti tanggung jawab, hormat, dan integritas yang ditanamkan sejak dini¹.

Pendidikan karakter merupakan upaya sistematis dan terencana untuk menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan peserta didik, guna membentuk kepribadian yang tangguh dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Di Indonesia, urgensi pendidikan karakter telah ditegaskan dalam berbagai kebijakan nasional, salah satunya pada Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat². Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya sarana transfer ilmu, tetapi juga wahana transformasi nilai.

Krisis karakter yang tampak dalam perilaku menyimpang, seperti korupsi, kekerasan di kalangan pelajar, intoleransi, dan kurangnya etos kerja, menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperkuat aspek moral dan etika dalam sistem pendidikan³. Oleh karena itu, pendidikan karakter bukan hanya menjadi pelengkap kurikulum, melainkan fondasi utama dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga matang secara emosional, sosial, dan spiritual.

Selain itu, tantangan abad ke-21, seperti perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan fragmentasi sosial akibat informasi digital, semakin menuntut kehadiran individu-individu yang mampu mengambil keputusan secara bijaksana dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter menjadi jawaban atas kebutuhan untuk membentuk warga negara yang demokratis, inklusif, dan berdaya saing global, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal dan nasional⁴.

Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang definisi dan landasan pendidikan karakter menjadi sangat penting. Definisi yang jelas dan landasan yang kuat akan menjadi pijakan dalam merancang kebijakan, strategi pembelajaran, dan budaya sekolah yang konsisten dengan tujuan luhur pendidikan. Artikel ini bertujuan untuk membahas secara sistematis pengertian pendidikan karakter baik dari segi etimologi maupun terminologi, serta menjelaskan berbagai landasan yang mendasarinya, mulai dari filosofis, psikologis, sosiologis, hingga yuridis, sebagai dasar konseptual dalam pengembangan karakter peserta didik di era kontemporer.


Footnotes

[1]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 3–4.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 3.

[3]                H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 63.

[4]                UNESCO, Education for Sustainable Development Goals: Learning Objectives (Paris: UNESCO Publishing, 2017), 10–12.


2.            Definisi Pendidikan Karakter

2.1.       Etimologi Pendidikan Karakter

Secara etimologis, istilah pendidikan berasal dari bahasa Latin educare yang berarti “mengeluarkan” atau “menumbuhkan” potensi yang ada dalam diri manusia⁽¹⁾. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan, tetapi juga merupakan usaha membimbing dan mengarahkan potensi internal seseorang agar berkembang optimal. Sementara itu, kata karakter berasal dari bahasa Yunani kharaktēr, yang berarti “tanda yang terukir” atau “ciri khas yang membedakan” seseorang⁽²⁾. Dalam bahasa Inggris, character merujuk pada sifat moral dan mental yang membentuk perilaku individu.

Dengan demikian, dari sisi etimologi, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses mengembangkan dan menumbuhkan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang, sehingga ia mampu bertindak secara konsisten sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang baik.

2.2.       Terminologi Pendidikan Karakter

Secara terminologis, pendidikan karakter memiliki beragam definisi yang dikembangkan oleh para ahli dan lembaga pendidikan. Thomas Lickona, tokoh terkemuka dalam gerakan pendidikan karakter di Amerika Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “upaya sadar untuk membantu seseorang memahami, mencintai, dan menjalankan nilai-nilai kebajikan” seperti hormat, tanggung jawab, kejujuran, kasih sayang, dan keadilan⁽³⁾. Lickona menekankan bahwa pendidikan karakter tidak hanya menyangkut aspek kognitif (pengetahuan tentang yang baik), tetapi juga afektif (komitmen untuk melakukan yang baik) dan perilaku (tindakan nyata yang mencerminkan nilai tersebut).

Di Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai luhur yang membentuk kepribadian bangsa, seperti religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, dan cinta tanah air”⁽⁴⁾. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari 18 nilai karakter nasional yang diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui pembelajaran, pembiasaan, dan keteladanan.

UNESCO juga menekankan bahwa pendidikan karakter berfungsi sebagai bagian integral dari pendidikan nilai (values education) yang bertujuan menumbuhkan warga dunia yang bertanggung jawab, toleran, dan mampu hidup damai di tengah keberagaman⁽⁵⁾. Pendidikan karakter bukan sekadar pengajaran moral, tetapi merupakan proses pembangunan kepribadian utuh yang berkelanjutan.

2.3.       Unsur dan Komponen Pendidikan Karakter

Dalam praktiknya, pendidikan karakter mencakup beberapa komponen utama: (1) nilai moral sebagai dasar; (2) keteladanan dalam sikap dan perilaku; (3) penguatan budaya sekolah yang mendukung nilai-nilai kebajikan; serta (4) evaluasi dan refleksi terhadap perkembangan karakter peserta didik⁽⁶⁾. Pendidikan karakter menuntut keterlibatan aktif semua pihak—pendidik, keluarga, komunitas, dan lingkungan—dalam membentuk kepribadian anak secara holistik.

Karakter bukanlah sesuatu yang diwariskan secara genetis, melainkan dibentuk melalui pengalaman dan pembelajaran yang bermakna. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dirancang secara sistemik dan konsisten agar mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral dan sosial.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 11–13.

[2]                Lickona, Educating for Character, 4.

[3]                Ibid., 6–7.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar dan Menengah (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2017), 5.

[5]                UNESCO, Learning to Live Together: Education Policies and Realities in the Asia-Pacific (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education, 2008), 9.

[6]                Muhammad Zuhri dan Ahmad Rofiuddin, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2015), 36–38.


3.           Landasan Pendidikan Karakter

3.1.       Landasan Filosofis

Landasan filosofis pendidikan karakter berakar pada pandangan mendasar tentang hakikat manusia, tujuan hidup, serta esensi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan berfungsi memberikan dasar ontologis (hakikat manusia), epistemologis (sumber pengetahuan moral), dan aksiologis (tujuan nilai) bagi pendidikan karakter.

Secara ontologis, manusia dipandang sebagai makhluk moral (homo moralis) yang memiliki akal, hati nurani, dan kebebasan untuk memilih tindakan.1 Dalam pandangan filsuf Yunani klasik, Plato menyatakan bahwa pendidikan sejati bertujuan untuk menuntun jiwa menuju kebaikan sejati (the good), dan hanya melalui pendidikan yang benar manusia dapat mencapai keadilan dan keharmonisan batin.2 Sementara itu, Aristoteles menekankan pentingnya habit formation atau pembiasaan dalam membentuk kebajikan, karena karakter dibentuk melalui tindakan yang terus diulang.3 Pendidikan, menurutnya, bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses menanamkan ethos dan kebajikan moral (virtue ethics) sebagai dasar hidup bermasyarakat.

Filsuf modern seperti John Dewey turut memperkuat pandangan bahwa pendidikan adalah sarana rekonstruksi pengalaman yang membentuk individu untuk hidup secara demokratis dan bertanggung jawab. Bagi Dewey, nilai-nilai moral tidak dapat ditanamkan hanya dengan ceramah, tetapi harus tumbuh dari pengalaman sosial yang reflektif dan bermakna.4 Oleh karena itu, pendidikan karakter harus melibatkan partisipasi aktif siswa dalam kehidupan sekolah yang demokratis, penuh dialog, dan kolaboratif.

Dalam konteks Indonesia, Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrati anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.5 Prinsip tut wuri handayani menekankan pentingnya keteladanan dan kebebasan bertanggung jawab sebagai pondasi pendidikan karakter. Menurutnya, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti luhur—yang dalam istilah kontemporer dapat dipadankan dengan karakter mulia.

Landasan filosofis ini memberi arah dan makna bagi seluruh proses pendidikan karakter. Nilai-nilai yang diajarkan tidak bersifat instan atau mekanis, melainkan merupakan bagian dari perjalanan eksistensial manusia menuju kebaikan yang paripurna. Pendidikan karakter dalam konteks ini bukan hanya alat pembentukan perilaku, tetapi proses transformasi diri menuju pribadi yang utuh secara moral, sosial, dan spiritual.

3.2.       Landasan Psikologis

Landasan psikologis pendidikan karakter berkaitan erat dengan pemahaman mengenai perkembangan mental, emosional, dan moral individu, khususnya peserta didik, dalam proses pembentukan kepribadian yang utuh. Psikologi pendidikan memberikan landasan ilmiah tentang bagaimana karakter dibentuk, dikembangkan, dan diperkuat melalui interaksi antara faktor internal (kognisi, emosi, motivasi) dan eksternal (lingkungan keluarga, sekolah, serta masyarakat).

Menurut Jean Piaget, perkembangan moral anak terjadi dalam dua tahap utama: moralitas heteronom dan moralitas otonom. Pada tahap awal (heteronom), anak memahami aturan sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak dapat diubah. Namun seiring perkembangan kognitif, anak mulai memahami bahwa aturan dapat dinegosiasikan secara sosial dan tindakan moral berkaitan dengan niat dan keadilan.6 Oleh karena itu, pendidikan karakter harus memperhatikan tahap perkembangan kognitif anak agar nilai-nilai yang diajarkan dapat dipahami secara tepat.

Melengkapi teori Piaget, Lawrence Kohlberg mengembangkan teori perkembangan moral menjadi enam tahap dalam tiga tingkatan utama: prakonvensional, konvensional, dan pascakovenisional. Setiap tahap menunjukkan peningkatan dalam kemampuan individu untuk memahami dan menilai tindakan berdasarkan prinsip moral yang lebih abstrak, dari sekadar kepatuhan terhadap hukuman hingga pada kesadaran terhadap prinsip etika universal.7 Pendidikan karakter yang efektif harus mampu menstimulasi kemajuan peserta didik dalam tahapan tersebut melalui proses berpikir kritis, diskusi moral, dan pengalaman reflektif.

Sementara itu, Albert Bandura, melalui teori pembelajaran sosial (social learning theory), menekankan bahwa perilaku moral tidak hanya dipelajari melalui instruksi verbal, tetapi juga melalui observasi dan peniruan terhadap model yang menjadi panutan, seperti guru, orang tua, dan tokoh masyarakat.8 Hal ini menunjukkan pentingnya keteladanan dalam pendidikan karakter. Anak akan cenderung meniru perilaku yang dilihatnya diberi penghargaan atau dianggap bernilai dalam lingkungannya.

Dari sudut pandang psikologi positif, Martin Seligman menegaskan bahwa pendidikan harus mengembangkan kekuatan karakter (character strengths) seperti keberanian, ketekunan, empati, dan rasa syukur sebagai bagian dari pembentukan kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis jangka panjang.9 Pendidikan karakter tidak boleh hanya berfokus pada pencegahan perilaku negatif, tetapi juga pada penguatan kualitas positif dalam diri siswa.

Dengan demikian, landasan psikologis memberikan pemahaman yang mendalam bahwa pendidikan karakter harus menyesuaikan dengan perkembangan psikologis peserta didik, menggunakan pendekatan yang humanistik, serta melibatkan pembelajaran afektif, sosial, dan moral yang berkesinambungan. Kesadaran akan cara berpikir, merasakan, dan berperilaku anak menjadi kunci dalam membangun karakter yang kuat dan otentik.

3.3.       Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis pendidikan karakter berangkat dari pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk sosial (homo socius) yang tumbuh dan berkembang dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Nilai dan norma moral tidak tumbuh dalam ruang hampa, melainkan dibentuk, dipelajari, dan diwariskan melalui berbagai institusi sosial seperti keluarga, sekolah, komunitas, dan media. Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial di mana individu hidup dan berinteraksi.

Emile Durkheim, salah satu tokoh sosiologi pendidikan, menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya masyarakat untuk mentransmisikan norma dan nilai kolektif kepada generasi muda demi menjaga integrasi sosial.10 Menurutnya, pendidikan berfungsi sebagai mekanisme internalisasi norma yang menjamin keteraturan dan kesatuan masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan karakter menjadi sarana penting untuk memperkuat kohesi sosial melalui penanaman nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, toleransi, dan disiplin.

Di sisi lain, teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer menekankan bahwa pembentukan karakter berlangsung melalui interaksi simbolik dengan orang lain, di mana individu memaknai nilai sosial berdasarkan pengalaman konkret dan dialog sosial.11 Hal ini menunjukkan pentingnya membangun lingkungan sosial yang suportif, partisipatif, dan dialogis dalam proses pendidikan karakter. Keteladanan, komunikasi yang sehat, serta penghargaan terhadap keberagaman menjadi elemen penting dalam pembentukan identitas moral siswa.

Dalam masyarakat modern yang kompleks dan majemuk, pendidikan karakter juga berfungsi sebagai instrumen untuk memperkuat integrasi sosial di tengah arus globalisasi dan individualisme. Anthony Giddens menyatakan bahwa masyarakat kontemporer menghadapi tantangan fragmentasi identitas akibat perubahan sosial yang cepat dan ekspos terhadap budaya global yang heterogen.12 Oleh karena itu, pendidikan karakter harus mampu membangun kesadaran kolektif, solidaritas sosial, dan identitas kebangsaan yang kokoh, tanpa mengabaikan penghargaan terhadap pluralitas budaya dan agama.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai luhur Pancasila berperan penting sebagai fondasi integratif yang mampu menjembatani keragaman sosial, budaya, dan agama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menegaskan bahwa pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional untuk membentuk warga negara yang berbudaya, beradab, dan bertanggung jawab sosial.13 Implementasi nilai-nilai kebangsaan, seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi, menjadi sarana untuk membentuk masyarakat yang inklusif dan harmonis.

Dengan demikian, landasan sosiologis menggarisbawahi bahwa pendidikan karakter bukan hanya urusan individu, tetapi merupakan bagian dari upaya sosial untuk membangun peradaban yang berkeadaban. Pendidikan karakter yang efektif harus melibatkan seluruh elemen masyarakat sebagai agen sosial yang turut serta dalam membangun budaya nilai yang kokoh dan berkelanjutan.

3.4.       Landasan Yuridis dan Kebijakan

Landasan yuridis pendidikan karakter memberikan legitimasi hukum terhadap pelaksanaan nilai-nilai moral dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kerangka hukum Indonesia, pendidikan karakter bukan sekadar wacana ideal, tetapi merupakan mandat konstitusional dan regulatif yang mengikat penyelenggara pendidikan di semua jenjang.

Secara konstitusional, amanat pendidikan karakter tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan negara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.14 Pencerdasan yang dimaksud tidak hanya mencakup aspek intelektual, tetapi juga pembinaan moral dan karakter bangsa.

Secara lebih spesifik, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi landasan yuridis utama pendidikan karakter. Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan untuk “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.15 Rumusan ini mengafirmasi bahwa karakter merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan pendidikan nasional.

Selanjutnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menjadi tonggak kebijakan penting dalam implementasi pendidikan karakter di satuan pendidikan. Perpres ini menetapkan lima nilai utama yang menjadi fokus penguatan karakter, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Implementasi PPK diwujudkan dalam tiga basis utama: kelas, budaya sekolah, dan masyarakat, yang menunjukkan pentingnya sinergi antara sistem formal dan lingkungan sosial.16

Selain itu, Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal memberikan petunjuk teknis dan operasional mengenai integrasi nilai-nilai karakter dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.17 Regulasi ini menekankan pentingnya keteladanan pendidik, pembiasaan nilai, serta penciptaan lingkungan belajar yang kondusif sebagai strategi implementatif pendidikan karakter.

Pendidikan karakter juga mendapat dukungan dari Kurikulum Merdeka yang dikembangkan Kemendikbudristek sejak 2022. Dalam kurikulum ini, nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila menjadi tujuan holistik pembelajaran. Enam dimensi profil pelajar Pancasila—beriman dan bertakwa, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif—dijadikan rujukan untuk membentuk karakter generasi masa depan Indonesia.18

Dengan demikian, pendidikan karakter di Indonesia tidak hanya berlandaskan norma-norma etis dan filosofis, tetapi juga diperkuat oleh struktur hukum dan kebijakan nasional. Hal ini memberikan dasar legal yang kuat bagi penyelenggara pendidikan untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam seluruh aspek pembelajaran dan kehidupan sekolah, serta menjamin keberlanjutannya sebagai investasi strategis pembangunan bangsa.

3.5.       Landasan Teologi Islam

Landasan teologi Islam memberikan dasar spiritual dan normatif yang sangat kuat bagi penyelenggaraan pendidikan karakter dalam masyarakat Muslim. Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan bukan hanya sebagai makhluk rasional, tetapi juga sebagai makhluk yang bertanggung jawab secara moral di hadapan Allah Swt. Karakter yang baik (akhlaq al-karimah) merupakan perwujudan dari keimanan dan ketakwaan yang autentik, sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad Saw.

Secara teologis, tujuan utama penciptaan manusia dalam Islam adalah untuk menjadi khalifah di bumi dan mengabdi kepada Allah (QS Al-Baqarah [2] ayat 30; QS Adz-Dzariyat [51] ayat 56).19 Amanah kekhalifahan ini menuntut manusia untuk bertindak dengan keadilan, tanggung jawab, kejujuran, dan kasih sayang dalam menjalankan tugas kehidupannya. Nilai-nilai tersebut merupakan inti dari pendidikan karakter dalam perspektif Islam.

Pendidikan karakter dalam Islam berakar kuat pada konsep tazkiyah al-nafs (pensucian jiwa), yaitu proses menyucikan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Allah Swt berfirman: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya” (QS Asy-Syams [91] ayat 9).20 Proses ini tidak semata-mata bersifat ritual, tetapi menyangkut dimensi etis dan sosial dari perilaku manusia. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam tidak hanya mengembangkan akal (rasio) dan fisik, tetapi juga membina akhlak dan spiritualitas.

Nabi Muhammad Saw sebagai teladan utama umat Islam ditegaskan dalam Al-Qur’an sebagai uswah hasanah (suri teladan yang baik) dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk akhlaknya yang luhur (QS Al-Ahzab [33] ayat 21; QS Al-Qalam [68] ayat 4).21 Rasulullah menyatakan bahwa misi utama kerasulannya adalah untuk menyempurnakan akhlak: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.22 Hadis ini memberikan dasar bahwa pendidikan karakter bukan tambahan, melainkan inti dari misi pendidikan Islam.

Konsep adab dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti yang digagas oleh Imam Al-Ghazali dan Syekh Naquib al-Attas, juga menegaskan pentingnya pendidikan yang membentuk kepribadian yang beradab, bukan sekadar berilmu. Al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai proses ta’dib, yakni penanaman rasa tanggung jawab terhadap diri, masyarakat, dan Tuhan melalui pengenalan terhadap tempat yang benar dari segala sesuatu dalam tatanan keberadaan.23 Dalam konteks ini, pendidikan karakter dalam Islam menempatkan nilai moral, spiritual, dan sosial dalam satu kesatuan yang saling melengkapi.

Penerapan nilai-nilai karakter dalam Islam mencakup berbagai aspek kehidupan: kejujuran dalam transaksi (shidq), menepati janji (wafa’ al-‘ahd), tolong-menolong (ta’awun), menjaga amanah (amanah), serta menebar kasih sayang (rahmah). Semua nilai ini tidak berdiri sendiri, melainkan berakar pada keimanan yang kokoh dan kesadaran akan pertanggungjawaban akhirat.

Dengan demikian, landasan teologi Islam menegaskan bahwa pendidikan karakter bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga amanah spiritual yang harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan karakter dalam perspektif Islam harus mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, dan spiritual secara holistik demi membentuk insan kamil—manusia paripurna yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berakhlak mulia dan bertakwa.


Footnotes

[1]                Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metodologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), 51.

[2]                Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin Books, 2007), 245–247.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 28–30.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 35–37.

[5]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 2004), 14.

[6]                Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child, trans. Marjorie Gabain (New York: Free Press, 1965), 132–135.

[7]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 17–18.

[8]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 22–25.

[9]                Martin E. P. Seligman dan Christopher Peterson, Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification (New York: Oxford University Press, 2004), 4–5.

[10]             Emile Durkheim, Moral Education: A Study in the Theory and Application of the Sociology of Education, trans. Everett K. Wilson and Herman Schnurer (New York: The Free Press, 1961), 11–13.

[11]             Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective and Method (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1969), 78–80.

[12]             Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 33–35.

[13]             Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2017), 7.

[14]             Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan alinea keempat.

[15]             Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 3.

[16]             Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, Jakarta: Sekretariat Negara, 2017.

[17]             Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal, Jakarta: Kemendikbud, 2018.

[18]             Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 3–4.

[19]             Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2005), QS Al-Baqarah [2] ayat 30; QS Adz-Dzariyat [51] ayat 56.

[20]             Ibid., QS Asy-Syams [91] ayat 9.

[21]             Ibid., QS Al-Ahzab [33] ayat 21; QS Al-Qalam [68] ayat 4.

[22]             Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, Hadis No. 5680.

[23]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 13–14.


4.           Implikasi Landasan terhadap Praktik Pendidikan Karakter

Pemahaman yang menyeluruh mengenai berbagai landasan pendidikan karakter—filosofis, psikologis, sosiologis, yuridis, dan teologis—tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga memiliki konsekuensi praktis yang signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan formal maupun nonformal. Implikasi dari landasan ini menyentuh tiga ranah utama: peran pendidik, perencanaan kurikulum, dan pembentukan budaya sekolah.

4.1.       Peran Guru sebagai Teladan Moral dan Pemandu Nilai

Berdasarkan landasan teologis dan psikologis, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar (instructor) tetapi juga sebagai teladan moral (moral exemplar). Dalam teori pembelajaran sosial Bandura, peserta didik belajar nilai melalui observasi terhadap perilaku model yang dihormati⁽¹⁾. Oleh karena itu, guru harus memperlihatkan konsistensi antara ucapan dan tindakan, menjadikan dirinya panutan dalam kejujuran, kedisiplinan, empati, dan tanggung jawab. Dalam Islam, fungsi guru juga disebut sebagai penerus tugas kenabian dalam membina akhlak peserta didik⁽²⁾.

4.2.       Integrasi Nilai Karakter dalam Kurikulum dan Pembelajaran

Implikasi dari landasan yuridis dan filosofis menuntut agar nilai-nilai karakter tidak hanya menjadi bagian dari pelajaran khusus seperti Pendidikan Pancasila atau Pendidikan Agama, tetapi diintegrasikan ke seluruh mata pelajaran dan aktivitas pembelajaran. Kurikulum Merdeka, misalnya, menggariskan bahwa seluruh capaian pembelajaran harus mendukung profil Pelajar Pancasila sebagai tujuan akhir pendidikan⁽³⁾.

Model pembelajaran berbasis nilai (value-based learning), pembelajaran kontekstual, dan pendekatan reflektif harus menjadi bagian dari strategi penguatan karakter. Hal ini sejalan dengan pandangan John Dewey yang menyatakan bahwa nilai-nilai moral perlu ditumbuhkan dalam konteks kehidupan nyata, bukan sekadar melalui instruksi verbal⁽⁴⁾.

4.3.       Penguatan Budaya Sekolah sebagai Ekosistem Karakter

Landasan sosiologis mengajarkan bahwa karakter peserta didik dibentuk dalam ekosistem sosial yang saling memengaruhi. Oleh karena itu, budaya sekolah harus menjadi medan tumbuhnya nilai-nilai luhur melalui pembiasaan, simbol-simbol budaya positif, dan aturan yang konsisten. UNESCO menekankan pentingnya whole-school approach dalam pendidikan karakter, di mana seluruh warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, staf, hingga orang tua, terlibat dalam pembentukan lingkungan etis dan inklusif⁽⁵⁾.

Kegiatan seperti upacara bendera, proyek sosial, pelatihan kepemimpinan, dan pengelolaan konflik juga menjadi wadah penting dalam internalisasi nilai. Lingkungan sekolah yang ramah, adil, dan berdisiplin akan menjadi laboratorium sosial yang efektif bagi pembentukan karakter.

4.4.       Kolaborasi antara Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat

Sebagaimana ditegaskan dalam landasan sosiologis dan yuridis, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan banyak pihak. Sekolah tidak dapat berjalan sendiri dalam membentuk kepribadian anak. Orang tua sebagai pendidik utama di rumah memiliki tanggung jawab untuk menyambung nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah. Kemitraan strategis antara sekolah dan masyarakat, seperti melalui kegiatan bakti sosial, program pengabdian, atau keterlibatan tokoh masyarakat, akan memperkuat relevansi nilai karakter dalam kehidupan nyata peserta didik⁽⁶⁾.

4.5.       Evaluasi dan Refleksi Nilai dalam Kehidupan Peserta Didik

Landasan psikologis menekankan pentingnya evaluasi yang tidak hanya berorientasi pada hasil akademik, tetapi juga pada perkembangan moral dan karakter peserta didik. Refleksi nilai melalui jurnal pribadi, diskusi kelas, dan asesmen sikap harus menjadi bagian dari sistem evaluasi menyeluruh. Hal ini sejalan dengan gagasan Lawrence Kohlberg bahwa perkembangan moral memerlukan kesempatan untuk berpikir kritis dan mendiskusikan dilema etis⁽⁷⁾.


Footnotes

[1]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 22–25.

[2]                Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 62.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 4–6.

[4]                John Dewey, Moral Principles in Education (New York: Houghton Mifflin, 1909), 11–14.

[5]                UNESCO, Learning to Live Together: Education Policies and Realities in the Asia-Pacific (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education, 2008), 9–10.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 12–14.

[7]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 34–36.


5.           Penutup

Pendidikan karakter merupakan fondasi esensial dalam pembangunan manusia seutuhnya. Di tengah kompleksitas tantangan global, seperti disrupsi teknologi, krisis moral, dan fragmentasi sosial, peran pendidikan karakter menjadi semakin penting untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral, spiritual, dan sosial. Pendidikan karakter tidak sekadar merupakan tambahan kurikulum, tetapi merupakan inti dari esensi pendidikan itu sendiri.

Pembahasan dalam artikel ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter memiliki definisi yang kokoh, baik secara etimologis maupun terminologis. Istilah ini merujuk pada upaya sadar dan sistematis untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etika agar peserta didik mampu mengambil keputusan yang baik dan bertanggung jawab dalam kehidupan nyata⁽¹⁾. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, toleransi, disiplin, dan empati adalah komponen utama yang harus diinternalisasi secara terus-menerus.

Pendidikan karakter juga memiliki landasan konseptual yang kuat. Dari segi filsafat, pendidikan karakter didasarkan pada pandangan tentang manusia sebagai makhluk etis dan rasional yang perlu dibimbing menuju kebajikan dan kemanusiaan yang paripurna⁽²⁾. Dari sudut psikologi, pengembangan karakter harus disesuaikan dengan tahap perkembangan moral, kognitif, dan emosional peserta didik⁽³⁾. Sosiologi menekankan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam pembentukan karakter, sementara landasan yuridis dan kebijakan nasional menegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan mandat konstitusional dan legal dalam sistem pendidikan Indonesia⁽⁴⁾. Adapun teologi Islam memberikan dasar spiritual bahwa akhlak merupakan bagian integral dari iman dan penghambaan manusia kepada Allah Swt⁽⁵⁾.

Implikasi dari keseluruhan landasan tersebut mengharuskan pendidikan karakter dilaksanakan secara menyeluruh, terintegrasi, dan berkelanjutan. Pendidikan karakter tidak bisa hanya bertumpu pada instruksi verbal atau program sesaat, melainkan memerlukan pendekatan holistik yang mencakup keteladanan guru, penguatan budaya sekolah, integrasi nilai dalam kurikulum, serta kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. UNESCO menyebut pendekatan ini sebagai whole-school approach, yang terbukti efektif dalam membangun karakter peserta didik dalam berbagai konteks pendidikan di dunia⁽⁶⁾.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan ajaran agama, Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun sistem pendidikan karakter yang kontekstual, berbasis nilai lokal dan universal, serta mampu membentuk generasi berkepribadian mulia. Namun, keberhasilan pendidikan karakter tidak akan tercapai tanpa komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari pemerintah, guru, orang tua, hingga masyarakat luas.

Dengan demikian, pendidikan karakter bukan sekadar program, tetapi merupakan roh dari pendidikan itu sendiri. Ia adalah investasi jangka panjang dalam membangun peradaban yang bermartabat dan bangsa yang beradab. Dalam kata-kata Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejati adalah yang “menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”⁽⁷⁾—dan pendidikan karakter adalah jalan untuk mencapai tujuan luhur tersebut.


Footnotes

[1]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 28–30.

[3]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 17–18.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 3.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 14.

[6]                UNESCO, Learning to Live Together: Education Policies and Realities in the Asia-Pacific (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education, 2008), 10.

[7]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 2004), 15.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of education in Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Bukhari, M. I. (2005). Shahih al-Bukhari (Kitab al-Adab, Hadis No. 5680). Beirut: Dar Ibn Katsir.

Al-Ghazali, I. (2005). Ihya’ ‘Ulumuddin (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing. (Original work published ca. 350 BCE)

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Blumer, H. (1969). Symbolic interactionism: Perspective and method. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Dewantara, K. H. (2004). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Dewey, J. (1909). Moral principles in education. New York, NY: Houghton Mifflin.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York, NY: Macmillan.

Durkheim, E. (1961). Moral education: A study in the theory and application of the sociology of education (E. K. Wilson & H. Schnurer, Trans.). New York, NY: The Free Press. (Original work published 1925)

Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford, CA: Stanford University Press.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2017). Panduan penguatan pendidikan karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kohlberg, L. (1981). Essays on moral development, Vol. I: The philosophy of moral development. San Francisco, CA: Harper & Row.

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York, NY: Bantam Books.

Piaget, J. (1965). The moral judgment of the child (M. Gabain, Trans.). New York, NY: Free Press. (Original work published 1932)

Presiden Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.

Republik Indonesia. (2005). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media.

Seligman, M. E. P., & Peterson, C. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and classification. New York, NY: Oxford University Press.

Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

UNESCO. (2008). Learning to live together: Education policies and realities in the Asia-Pacific. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education.

UNESCO. (2017). Education for sustainable development goals: Learning objectives. Paris: UNESCO Publishing.

Zuhri, M., & Rofiuddin, A. (2015). Pendidikan karakter: Konsep dan implementasi dalam pendidikan Islam. Yogyakarta: Deepublish.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar