Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter
Pilar Moral bagi Generasi Berkepribadian Mulia
Alihkan ke: Implementasi Pendidikan Karakter.
Ilmu Pendidikan, Moralitas,
Etika.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
definisi dan landasan pendidikan karakter sebagai pilar utama dalam pembentukan
generasi yang berkepribadian mulia. Pendidikan karakter tidak hanya dipahami
sebagai bagian dari kurikulum formal, tetapi juga sebagai proses integral yang
membentuk nilai moral, etika, dan spiritual peserta didik. Pembahasan diawali
dengan telaah etimologis dan terminologis untuk menjelaskan hakikat pendidikan
karakter dari berbagai perspektif ilmiah. Selanjutnya, artikel menguraikan lima
landasan utama yang mendasari praktik pendidikan karakter, yaitu: landasan
filosofis, psikologis, sosiologis, yuridis, dan teologi Islam. Setiap landasan
dikaji berdasarkan teori-teori klasik dan kontemporer dari para pemikir seperti
Plato, Aristotle, Dewey, Piaget, Kohlberg, Bandura, dan tokoh Islam seperti
Al-Ghazali dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Implikasi dari kelima landasan
tersebut diterjemahkan dalam praktik pendidikan yang menekankan peran
keteladanan guru, integrasi nilai dalam kurikulum, penguatan budaya sekolah,
serta kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Artikel ini
menyimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan esensi dari pendidikan itu
sendiri, dan keberhasilannya membutuhkan komitmen kolektif yang berkelanjutan.
Pemahaman terhadap landasan konseptual pendidikan karakter menjadi kunci dalam
merancang kebijakan dan praktik yang mampu membentuk generasi cerdas,
berakhlak, dan bertanggung jawab di era global.
Kata Kunci: Pendidikan
karakter, nilai moral, landasan filosofis, landasan psikologis, landasan
sosiologis, landasan yuridis, teologi Islam, pembentukan kepribadian, etika
pendidikan, kurikulum nilai.
PEMBAHASAN
Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter
1.
Pendahuluan
Di tengah dinamika
globalisasi, revolusi digital, serta tantangan sosial yang kian kompleks, dunia
pendidikan dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk tidak hanya mencerdaskan
peserta didik secara intelektual, tetapi juga membentuk karakter yang kuat dan
berbudi luhur. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, jika tidak dibarengi
dengan penguatan nilai-nilai moral dan etika, justru dapat menghasilkan
generasi yang cerdas namun kehilangan arah dalam menjalani kehidupan sosial dan
kebangsaan. Hal ini ditegaskan oleh Thomas Lickona, tokoh terkemuka dalam
pendidikan karakter, bahwa krisis moral pada generasi muda bukan hanya soal
kurangnya pengetahuan, melainkan karena lemahnya nilai karakter seperti
tanggung jawab, hormat, dan integritas yang ditanamkan sejak dini¹.
Pendidikan karakter
merupakan upaya sistematis dan terencana untuk menanamkan nilai-nilai moral
dalam kehidupan peserta didik, guna membentuk kepribadian yang tangguh dalam
berpikir, bersikap, dan bertindak. Di Indonesia, urgensi pendidikan karakter
telah ditegaskan dalam berbagai kebijakan nasional, salah satunya pada Pasal 3
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat². Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan bukan hanya sarana transfer ilmu, tetapi juga wahana
transformasi nilai.
Krisis karakter yang
tampak dalam perilaku menyimpang, seperti korupsi, kekerasan di kalangan
pelajar, intoleransi, dan kurangnya etos kerja, menunjukkan adanya kebutuhan
untuk memperkuat aspek moral dan etika dalam sistem pendidikan³. Oleh karena
itu, pendidikan karakter bukan hanya menjadi pelengkap kurikulum, melainkan
fondasi utama dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif,
tetapi juga matang secara emosional, sosial, dan spiritual.
Selain itu,
tantangan abad ke-21, seperti perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan
fragmentasi sosial akibat informasi digital, semakin menuntut kehadiran
individu-individu yang mampu mengambil keputusan secara bijaksana dan
bertanggung jawab. Pendidikan karakter menjadi jawaban atas kebutuhan untuk
membentuk warga negara yang demokratis, inklusif, dan berdaya saing global,
namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal dan nasional⁴.
Oleh karena itu,
pemahaman yang mendalam tentang definisi dan landasan
pendidikan karakter menjadi sangat penting. Definisi yang jelas
dan landasan yang kuat akan menjadi pijakan dalam merancang kebijakan, strategi
pembelajaran, dan budaya sekolah yang konsisten dengan tujuan luhur pendidikan.
Artikel ini bertujuan untuk membahas secara sistematis pengertian pendidikan
karakter baik dari segi etimologi maupun terminologi, serta menjelaskan
berbagai landasan yang mendasarinya, mulai dari filosofis, psikologis,
sosiologis, hingga yuridis, sebagai dasar konseptual dalam pengembangan
karakter peserta didik di era kontemporer.
Footnotes
[1]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 3–4.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78, Pasal 3.
[3]
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani
Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 63.
[4]
UNESCO, Education for Sustainable Development Goals: Learning
Objectives (Paris: UNESCO Publishing, 2017), 10–12.
2.
Definisi
Pendidikan Karakter
2.1.
Etimologi Pendidikan
Karakter
Secara etimologis,
istilah pendidikan
berasal dari bahasa Latin educare yang berarti “mengeluarkan”
atau “menumbuhkan” potensi yang ada dalam diri manusia⁽¹⁾. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan, tetapi
juga merupakan usaha membimbing dan mengarahkan potensi internal seseorang agar
berkembang optimal. Sementara itu, kata karakter berasal dari bahasa Yunani
kharaktēr,
yang berarti “tanda yang terukir” atau “ciri khas yang membedakan”
seseorang⁽²⁾. Dalam bahasa Inggris, character merujuk pada sifat moral
dan mental yang membentuk perilaku individu.
Dengan demikian,
dari sisi etimologi, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses
mengembangkan dan menumbuhkan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang,
sehingga ia mampu bertindak secara konsisten sesuai dengan prinsip-prinsip
moral yang baik.
2.2.
Terminologi Pendidikan
Karakter
Secara terminologis,
pendidikan karakter memiliki beragam definisi yang dikembangkan oleh para ahli
dan lembaga pendidikan. Thomas Lickona, tokoh terkemuka dalam gerakan
pendidikan karakter di Amerika Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter
sebagai “upaya sadar untuk membantu seseorang memahami, mencintai, dan
menjalankan nilai-nilai kebajikan” seperti hormat, tanggung jawab,
kejujuran, kasih sayang, dan keadilan⁽³⁾. Lickona menekankan bahwa pendidikan
karakter tidak hanya menyangkut aspek kognitif (pengetahuan tentang yang baik),
tetapi juga afektif (komitmen untuk melakukan yang baik) dan perilaku (tindakan
nyata yang mencerminkan nilai tersebut).
Di Indonesia,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan pendidikan karakter
sebagai “pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai luhur yang membentuk
kepribadian bangsa, seperti religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, dan cinta tanah air”⁽⁴⁾. Nilai-nilai tersebut
merupakan bagian dari 18 nilai karakter nasional yang diintegrasikan dalam
sistem pendidikan melalui pembelajaran, pembiasaan, dan keteladanan.
UNESCO juga
menekankan bahwa pendidikan karakter berfungsi sebagai bagian integral dari
pendidikan nilai (values education) yang bertujuan menumbuhkan warga dunia yang
bertanggung jawab, toleran, dan mampu hidup damai di tengah keberagaman⁽⁵⁾.
Pendidikan karakter bukan sekadar pengajaran moral, tetapi merupakan proses
pembangunan kepribadian utuh yang berkelanjutan.
2.3.
Unsur dan Komponen
Pendidikan Karakter
Dalam praktiknya,
pendidikan karakter mencakup beberapa komponen utama: (1) nilai
moral sebagai dasar; (2) keteladanan dalam sikap dan
perilaku; (3) penguatan budaya sekolah yang
mendukung nilai-nilai kebajikan; serta (4) evaluasi dan refleksi terhadap
perkembangan karakter peserta didik⁽⁶⁾. Pendidikan karakter menuntut
keterlibatan aktif semua pihak—pendidik, keluarga, komunitas, dan
lingkungan—dalam membentuk kepribadian anak secara holistik.
Karakter bukanlah
sesuatu yang diwariskan secara genetis, melainkan dibentuk melalui pengalaman
dan pembelajaran yang bermakna. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus
dirancang secara sistemik dan konsisten agar mampu melahirkan generasi yang
tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral dan
sosial.
Footnotes
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 11–13.
[2]
Lickona, Educating for Character, 4.
[3]
Ibid., 6–7.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar dan Menengah (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2017), 5.
[5]
UNESCO, Learning to Live Together: Education Policies and Realities
in the Asia-Pacific (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for
Education, 2008), 9.
[6]
Muhammad Zuhri dan Ahmad Rofiuddin, Pendidikan Karakter: Konsep dan
Implementasi dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2015), 36–38.
3.
Landasan Pendidikan Karakter
3.1.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis
pendidikan karakter berakar pada pandangan mendasar tentang hakikat manusia,
tujuan hidup, serta esensi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan berfungsi memberikan dasar ontologis
(hakikat manusia), epistemologis (sumber pengetahuan moral), dan aksiologis
(tujuan nilai) bagi pendidikan karakter.
Secara ontologis,
manusia dipandang sebagai makhluk moral (homo moralis) yang memiliki akal,
hati nurani, dan kebebasan untuk memilih tindakan.1 Dalam pandangan
filsuf Yunani klasik, Plato menyatakan bahwa pendidikan sejati bertujuan untuk
menuntun jiwa menuju kebaikan sejati (the good), dan hanya melalui pendidikan
yang benar manusia dapat mencapai keadilan dan keharmonisan batin.2
Sementara itu, Aristoteles menekankan pentingnya habit formation atau pembiasaan
dalam membentuk kebajikan, karena karakter dibentuk melalui tindakan yang terus
diulang.3 Pendidikan, menurutnya, bukan sekadar transfer ilmu,
tetapi proses menanamkan ethos dan kebajikan moral (virtue
ethics) sebagai dasar hidup bermasyarakat.
Filsuf modern
seperti John Dewey turut memperkuat pandangan bahwa pendidikan adalah sarana
rekonstruksi pengalaman yang membentuk individu untuk hidup secara demokratis
dan bertanggung jawab. Bagi Dewey, nilai-nilai moral tidak dapat ditanamkan
hanya dengan ceramah, tetapi harus tumbuh dari pengalaman sosial yang reflektif
dan bermakna.4 Oleh karena itu, pendidikan karakter harus melibatkan
partisipasi aktif siswa dalam kehidupan sekolah yang demokratis, penuh dialog,
dan kolaboratif.
Dalam konteks
Indonesia, Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pendidikan harus menuntun segala
kekuatan kodrati anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.5
Prinsip tut wuri
handayani menekankan pentingnya keteladanan dan kebebasan
bertanggung jawab sebagai pondasi pendidikan karakter. Menurutnya, pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti luhur—yang dalam
istilah kontemporer dapat dipadankan dengan karakter mulia.
Landasan filosofis ini
memberi arah dan makna bagi seluruh proses pendidikan karakter. Nilai-nilai
yang diajarkan tidak bersifat instan atau mekanis, melainkan merupakan bagian
dari perjalanan eksistensial manusia menuju kebaikan yang paripurna. Pendidikan
karakter dalam konteks ini bukan hanya alat pembentukan perilaku, tetapi proses
transformasi diri menuju pribadi yang utuh secara moral, sosial, dan spiritual.
3.2.
Landasan Psikologis
Landasan psikologis
pendidikan karakter berkaitan erat dengan pemahaman mengenai perkembangan mental,
emosional, dan moral individu, khususnya peserta didik, dalam proses
pembentukan kepribadian yang utuh. Psikologi pendidikan memberikan landasan
ilmiah tentang bagaimana karakter dibentuk, dikembangkan, dan diperkuat melalui
interaksi antara faktor internal (kognisi, emosi, motivasi) dan eksternal
(lingkungan keluarga, sekolah, serta masyarakat).
Menurut Jean Piaget,
perkembangan moral anak terjadi dalam dua tahap utama: moralitas heteronom dan
moralitas otonom. Pada tahap awal (heteronom), anak memahami aturan sebagai
sesuatu yang mutlak dan tidak dapat diubah. Namun seiring perkembangan
kognitif, anak mulai memahami bahwa aturan dapat dinegosiasikan secara sosial
dan tindakan moral berkaitan dengan niat dan keadilan.6 Oleh karena
itu, pendidikan karakter harus memperhatikan tahap perkembangan kognitif anak
agar nilai-nilai yang diajarkan dapat dipahami secara tepat.
Melengkapi teori
Piaget, Lawrence Kohlberg mengembangkan teori perkembangan moral menjadi enam
tahap dalam tiga tingkatan utama: prakonvensional, konvensional, dan
pascakovenisional. Setiap tahap menunjukkan peningkatan dalam kemampuan
individu untuk memahami dan menilai tindakan berdasarkan prinsip moral yang
lebih abstrak, dari sekadar kepatuhan terhadap hukuman hingga pada kesadaran terhadap
prinsip etika universal.7 Pendidikan karakter yang efektif harus
mampu menstimulasi kemajuan peserta didik dalam tahapan tersebut melalui proses
berpikir kritis, diskusi moral, dan pengalaman reflektif.
Sementara itu,
Albert Bandura, melalui teori pembelajaran sosial (social learning theory), menekankan
bahwa perilaku moral tidak hanya dipelajari melalui instruksi verbal, tetapi
juga melalui observasi dan peniruan terhadap model yang menjadi panutan,
seperti guru, orang tua, dan tokoh masyarakat.8 Hal ini menunjukkan
pentingnya keteladanan dalam pendidikan karakter. Anak akan cenderung meniru
perilaku yang dilihatnya diberi penghargaan atau dianggap bernilai dalam
lingkungannya.
Dari sudut pandang
psikologi positif, Martin Seligman menegaskan bahwa pendidikan harus
mengembangkan kekuatan karakter (character strengths) seperti keberanian,
ketekunan, empati, dan rasa syukur sebagai bagian dari pembentukan kebahagiaan
dan kesejahteraan psikologis jangka panjang.9 Pendidikan karakter
tidak boleh hanya berfokus pada pencegahan perilaku negatif, tetapi juga pada
penguatan kualitas positif dalam diri siswa.
Dengan demikian,
landasan psikologis memberikan pemahaman yang mendalam bahwa pendidikan
karakter harus menyesuaikan dengan perkembangan psikologis peserta didik,
menggunakan pendekatan yang humanistik, serta melibatkan pembelajaran afektif,
sosial, dan moral yang berkesinambungan. Kesadaran akan cara berpikir,
merasakan, dan berperilaku anak menjadi kunci dalam membangun karakter yang
kuat dan otentik.
3.3.
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis
pendidikan karakter berangkat dari pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk
sosial (homo
socius) yang tumbuh dan berkembang dalam interaksi dengan
lingkungan sosialnya. Nilai dan norma moral tidak tumbuh dalam ruang hampa,
melainkan dibentuk, dipelajari, dan diwariskan melalui berbagai institusi
sosial seperti keluarga, sekolah, komunitas, dan media. Oleh karena itu,
pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial di mana individu
hidup dan berinteraksi.
Emile Durkheim,
salah satu tokoh sosiologi pendidikan, menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya
masyarakat untuk mentransmisikan norma dan nilai kolektif kepada generasi muda
demi menjaga integrasi sosial.10 Menurutnya, pendidikan berfungsi
sebagai mekanisme internalisasi norma yang menjamin keteraturan dan kesatuan
masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan karakter menjadi sarana penting untuk
memperkuat kohesi sosial melalui penanaman nilai-nilai seperti kejujuran,
tanggung jawab, toleransi, dan disiplin.
Di sisi lain, teori
interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh George Herbert Mead dan Herbert
Blumer menekankan bahwa pembentukan karakter berlangsung melalui interaksi
simbolik dengan orang lain, di mana individu memaknai nilai sosial berdasarkan
pengalaman konkret dan dialog sosial.11 Hal ini menunjukkan
pentingnya membangun lingkungan sosial yang suportif, partisipatif, dan
dialogis dalam proses pendidikan karakter. Keteladanan, komunikasi yang sehat,
serta penghargaan terhadap keberagaman menjadi elemen penting dalam pembentukan
identitas moral siswa.
Dalam masyarakat
modern yang kompleks dan majemuk, pendidikan karakter juga berfungsi sebagai
instrumen untuk memperkuat integrasi sosial di tengah arus globalisasi dan
individualisme. Anthony Giddens menyatakan bahwa masyarakat kontemporer
menghadapi tantangan fragmentasi identitas akibat perubahan sosial yang cepat
dan ekspos terhadap budaya global yang heterogen.12 Oleh karena itu,
pendidikan karakter harus mampu membangun kesadaran kolektif, solidaritas
sosial, dan identitas kebangsaan yang kokoh, tanpa mengabaikan penghargaan
terhadap pluralitas budaya dan agama.
Dalam konteks
Indonesia, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai luhur Pancasila berperan
penting sebagai fondasi integratif yang mampu menjembatani keragaman sosial,
budaya, dan agama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menegaskan bahwa
pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan
nasional untuk membentuk warga negara yang berbudaya, beradab, dan bertanggung
jawab sosial.13 Implementasi nilai-nilai kebangsaan, seperti gotong
royong, musyawarah, dan toleransi, menjadi sarana untuk membentuk masyarakat
yang inklusif dan harmonis.
Dengan demikian,
landasan sosiologis menggarisbawahi bahwa pendidikan karakter bukan hanya
urusan individu, tetapi merupakan bagian dari upaya sosial untuk membangun
peradaban yang berkeadaban. Pendidikan karakter yang efektif harus melibatkan
seluruh elemen masyarakat sebagai agen sosial yang turut serta dalam membangun
budaya nilai yang kokoh dan berkelanjutan.
3.4.
Landasan Yuridis dan
Kebijakan
Landasan yuridis
pendidikan karakter memberikan legitimasi hukum terhadap pelaksanaan
nilai-nilai moral dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kerangka hukum
Indonesia, pendidikan karakter bukan sekadar wacana ideal, tetapi merupakan
mandat konstitusional dan regulatif yang mengikat penyelenggara pendidikan di
semua jenjang.
Secara
konstitusional, amanat pendidikan karakter tercermin dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa
salah satu tujuan negara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “membentuk
suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia”.14 Pencerdasan yang dimaksud
tidak hanya mencakup aspek intelektual, tetapi juga pembinaan moral dan
karakter bangsa.
Secara lebih
spesifik, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menjadi landasan yuridis utama
pendidikan karakter. Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan
untuk “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.15 Rumusan ini mengafirmasi bahwa karakter
merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya, Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) menjadi tonggak kebijakan penting dalam
implementasi pendidikan karakter di satuan pendidikan. Perpres ini menetapkan
lima nilai utama yang menjadi fokus penguatan karakter, yaitu religius,
nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Implementasi PPK diwujudkan
dalam tiga basis utama: kelas, budaya sekolah, dan masyarakat, yang menunjukkan
pentingnya sinergi antara sistem formal dan lingkungan sosial.16
Selain itu, Permendikbud
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan
Pendidikan Formal memberikan petunjuk teknis dan operasional
mengenai integrasi nilai-nilai karakter dalam kegiatan intrakurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler.17 Regulasi ini menekankan
pentingnya keteladanan pendidik, pembiasaan nilai, serta penciptaan lingkungan
belajar yang kondusif sebagai strategi implementatif pendidikan karakter.
Pendidikan karakter juga
mendapat dukungan dari Kurikulum Merdeka yang
dikembangkan Kemendikbudristek sejak 2022. Dalam kurikulum ini, nilai-nilai
Profil Pelajar Pancasila menjadi tujuan holistik pembelajaran. Enam dimensi
profil pelajar Pancasila—beriman dan bertakwa, berkebinekaan global, gotong
royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif—dijadikan rujukan untuk membentuk
karakter generasi masa depan Indonesia.18
Dengan demikian,
pendidikan karakter di Indonesia tidak hanya berlandaskan norma-norma etis dan
filosofis, tetapi juga diperkuat oleh struktur hukum dan kebijakan nasional.
Hal ini memberikan dasar legal yang kuat bagi penyelenggara pendidikan untuk
mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam seluruh aspek pembelajaran dan
kehidupan sekolah, serta menjamin keberlanjutannya sebagai investasi strategis
pembangunan bangsa.
3.5.
Landasan Teologi Islam
Landasan teologi
Islam memberikan dasar spiritual dan normatif yang sangat kuat bagi
penyelenggaraan pendidikan karakter dalam masyarakat Muslim. Dalam pandangan
Islam, manusia diciptakan bukan hanya sebagai makhluk rasional, tetapi juga
sebagai makhluk yang bertanggung jawab secara moral di hadapan Allah Swt.
Karakter yang baik (akhlaq al-karimah) merupakan
perwujudan dari keimanan dan ketakwaan yang autentik, sebagaimana ditegaskan
dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad Saw.
Secara teologis,
tujuan utama penciptaan manusia dalam Islam adalah untuk menjadi khalifah
di bumi dan mengabdi kepada Allah (QS Al-Baqarah [2] ayat 30; QS Adz-Dzariyat
[51] ayat 56).19 Amanah kekhalifahan ini menuntut manusia untuk
bertindak dengan keadilan, tanggung jawab, kejujuran, dan kasih sayang dalam
menjalankan tugas kehidupannya. Nilai-nilai tersebut merupakan inti dari
pendidikan karakter dalam perspektif Islam.
Pendidikan karakter
dalam Islam berakar kuat pada konsep tazkiyah al-nafs (pensucian
jiwa), yaitu proses menyucikan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya
dengan sifat-sifat terpuji. Allah Swt berfirman: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan
jiwanya” (QS Asy-Syams [91] ayat 9).20 Proses ini tidak
semata-mata bersifat ritual, tetapi menyangkut dimensi etis dan sosial dari
perilaku manusia. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam tidak hanya
mengembangkan akal (rasio) dan fisik, tetapi juga membina akhlak dan spiritualitas.
Nabi Muhammad Saw sebagai
teladan utama umat Islam ditegaskan dalam Al-Qur’an sebagai uswah
hasanah (suri teladan yang baik) dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk akhlaknya yang luhur (QS Al-Ahzab [33] ayat 21; QS Al-Qalam [68] ayat
4).21 Rasulullah menyatakan bahwa misi utama kerasulannya adalah
untuk menyempurnakan akhlak: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”.22 Hadis ini memberikan dasar bahwa
pendidikan karakter bukan tambahan, melainkan inti dari misi pendidikan Islam.
Konsep adab
dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti yang digagas oleh Imam Al-Ghazali
dan Syekh Naquib al-Attas, juga menegaskan pentingnya pendidikan yang membentuk
kepribadian yang beradab, bukan sekadar berilmu. Al-Attas mendefinisikan pendidikan
sebagai proses ta’dib, yakni penanaman rasa
tanggung jawab terhadap diri, masyarakat, dan Tuhan melalui pengenalan terhadap
tempat yang benar dari segala sesuatu dalam tatanan keberadaan.23
Dalam konteks ini, pendidikan karakter dalam Islam menempatkan nilai moral,
spiritual, dan sosial dalam satu kesatuan yang saling melengkapi.
Penerapan
nilai-nilai karakter dalam Islam mencakup berbagai aspek kehidupan: kejujuran
dalam transaksi (shidq), menepati janji (wafa’
al-‘ahd), tolong-menolong (ta’awun), menjaga amanah (amanah),
serta menebar kasih sayang (rahmah). Semua nilai ini tidak
berdiri sendiri, melainkan berakar pada keimanan yang kokoh dan kesadaran akan
pertanggungjawaban akhirat.
Dengan demikian,
landasan teologi Islam menegaskan bahwa pendidikan karakter bukan hanya
kewajiban sosial, tetapi juga amanah spiritual yang harus ditanamkan sejak
dini. Pendidikan karakter dalam perspektif Islam harus mengintegrasikan aspek
kognitif, afektif, dan spiritual secara holistik demi membentuk insan kamil—manusia
paripurna yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berakhlak mulia dan
bertakwa.
Footnotes
[1]
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metodologi
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), 51.
[2]
Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin
Books, 2007), 245–247.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 28–30.
[4]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 35–37.
[5]
Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka
(Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 2004), 14.
[6]
Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child, trans. Marjorie
Gabain (New York: Free Press, 1965), 132–135.
[7]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The
Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981),
17–18.
[8]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1977), 22–25.
[9]
Martin E. P. Seligman dan Christopher Peterson, Character Strengths
and Virtues: A Handbook and Classification (New York: Oxford University
Press, 2004), 4–5.
[10]
Emile Durkheim, Moral Education: A Study in the Theory and
Application of the Sociology of Education, trans. Everett K. Wilson and
Herman Schnurer (New York: The Free Press, 1961), 11–13.
[11]
Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective and Method
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1969), 78–80.
[12]
Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in
the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 33–35.
[13]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, 2017), 7.
[14]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pembukaan alinea keempat.
[15]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78, Pasal 3.
[16]
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017
tentang Penguatan Pendidikan Karakter, Jakarta: Sekretariat Negara, 2017.
[17]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018
tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal,
Jakarta: Kemendikbud, 2018.
[18]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 3–4.
[19]
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2005), QS Al-Baqarah [2] ayat 30; QS
Adz-Dzariyat [51] ayat 56.
[20]
Ibid., QS Asy-Syams [91] ayat 9.
[21]
Ibid., QS Al-Ahzab [33] ayat 21; QS Al-Qalam [68] ayat 4.
[22]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab
al-Adab, Hadis No. 5680.
[23]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 13–14.
4.
Implikasi Landasan terhadap Praktik Pendidikan
Karakter
Pemahaman yang
menyeluruh mengenai berbagai landasan pendidikan karakter—filosofis,
psikologis, sosiologis, yuridis, dan teologis—tidak hanya
bersifat konseptual, tetapi juga memiliki konsekuensi praktis yang signifikan
dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan formal maupun nonformal.
Implikasi dari landasan ini menyentuh tiga ranah utama: peran pendidik,
perencanaan kurikulum, dan pembentukan budaya sekolah.
4.1.
Peran Guru sebagai
Teladan Moral dan Pemandu Nilai
Berdasarkan landasan
teologis dan psikologis, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar (instructor)
tetapi juga sebagai teladan moral (moral exemplar). Dalam teori
pembelajaran sosial Bandura, peserta didik belajar nilai melalui observasi
terhadap perilaku model yang dihormati⁽¹⁾. Oleh karena itu, guru harus memperlihatkan
konsistensi antara ucapan dan tindakan, menjadikan dirinya panutan dalam
kejujuran, kedisiplinan, empati, dan tanggung jawab. Dalam Islam, fungsi guru
juga disebut sebagai penerus tugas kenabian dalam membina akhlak peserta
didik⁽²⁾.
4.2.
Integrasi Nilai
Karakter dalam Kurikulum dan Pembelajaran
Implikasi dari
landasan yuridis dan filosofis menuntut agar nilai-nilai karakter tidak hanya
menjadi bagian dari pelajaran khusus seperti Pendidikan Pancasila atau
Pendidikan Agama, tetapi diintegrasikan ke seluruh mata pelajaran dan aktivitas
pembelajaran. Kurikulum Merdeka, misalnya, menggariskan bahwa seluruh capaian
pembelajaran harus mendukung profil Pelajar Pancasila sebagai tujuan akhir
pendidikan⁽³⁾.
Model pembelajaran
berbasis nilai (value-based learning), pembelajaran kontekstual, dan pendekatan
reflektif harus menjadi bagian dari strategi penguatan karakter. Hal ini
sejalan dengan pandangan John Dewey yang menyatakan bahwa nilai-nilai moral
perlu ditumbuhkan dalam konteks kehidupan nyata, bukan sekadar melalui
instruksi verbal⁽⁴⁾.
4.3.
Penguatan Budaya
Sekolah sebagai Ekosistem Karakter
Landasan sosiologis
mengajarkan bahwa karakter peserta didik dibentuk dalam ekosistem sosial yang
saling memengaruhi. Oleh karena itu, budaya sekolah harus menjadi medan tumbuhnya
nilai-nilai luhur melalui pembiasaan, simbol-simbol budaya positif, dan aturan
yang konsisten. UNESCO menekankan pentingnya whole-school approach dalam
pendidikan karakter, di mana seluruh warga sekolah, mulai dari kepala sekolah,
guru, staf, hingga orang tua, terlibat dalam pembentukan lingkungan etis dan
inklusif⁽⁵⁾.
Kegiatan seperti
upacara bendera, proyek sosial, pelatihan kepemimpinan, dan pengelolaan konflik
juga menjadi wadah penting dalam internalisasi nilai. Lingkungan sekolah yang
ramah, adil, dan berdisiplin akan menjadi laboratorium sosial yang efektif bagi
pembentukan karakter.
4.4.
Kolaborasi antara
Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat
Sebagaimana
ditegaskan dalam landasan sosiologis dan yuridis, pendidikan karakter
memerlukan keterlibatan banyak pihak. Sekolah tidak dapat berjalan sendiri
dalam membentuk kepribadian anak. Orang tua sebagai pendidik utama di rumah
memiliki tanggung jawab untuk menyambung nilai-nilai yang ditanamkan di
sekolah. Kemitraan strategis antara sekolah dan masyarakat, seperti melalui
kegiatan bakti sosial, program pengabdian, atau keterlibatan tokoh masyarakat,
akan memperkuat relevansi nilai karakter dalam kehidupan nyata peserta
didik⁽⁶⁾.
4.5.
Evaluasi dan Refleksi
Nilai dalam Kehidupan Peserta Didik
Landasan psikologis
menekankan pentingnya evaluasi yang tidak hanya berorientasi pada hasil
akademik, tetapi juga pada perkembangan moral dan karakter peserta didik.
Refleksi nilai melalui jurnal pribadi, diskusi kelas, dan asesmen sikap harus
menjadi bagian dari sistem evaluasi menyeluruh. Hal ini sejalan dengan gagasan
Lawrence Kohlberg bahwa perkembangan moral memerlukan kesempatan untuk berpikir
kritis dan mendiskusikan dilema etis⁽⁷⁾.
Footnotes
[1]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1977), 22–25.
[2]
Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 62.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 4–6.
[4]
John Dewey, Moral Principles in Education (New York: Houghton
Mifflin, 1909), 11–14.
[5]
UNESCO, Learning to Live Together: Education Policies and Realities
in the Asia-Pacific (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for
Education, 2008), 9–10.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 12–14.
[7]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The
Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981),
34–36.
5.
Penutup
Pendidikan karakter
merupakan fondasi esensial dalam pembangunan manusia seutuhnya. Di tengah
kompleksitas tantangan global, seperti disrupsi teknologi, krisis moral, dan
fragmentasi sosial, peran pendidikan karakter menjadi semakin penting untuk
membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat
secara moral, spiritual, dan sosial. Pendidikan karakter tidak sekadar
merupakan tambahan kurikulum, tetapi merupakan inti dari esensi pendidikan itu
sendiri.
Pembahasan dalam
artikel ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter memiliki definisi
yang kokoh, baik secara etimologis maupun terminologis. Istilah
ini merujuk pada upaya sadar dan sistematis untuk menanamkan nilai-nilai moral
dan etika agar peserta didik mampu mengambil keputusan yang baik dan
bertanggung jawab dalam kehidupan nyata⁽¹⁾. Nilai-nilai seperti kejujuran,
tanggung jawab, toleransi, disiplin, dan empati adalah komponen utama yang
harus diinternalisasi secara terus-menerus.
Pendidikan karakter
juga memiliki landasan konseptual yang kuat.
Dari segi filsafat, pendidikan karakter
didasarkan pada pandangan tentang manusia sebagai makhluk etis dan rasional
yang perlu dibimbing menuju kebajikan dan kemanusiaan yang paripurna⁽²⁾. Dari
sudut psikologi,
pengembangan karakter harus disesuaikan dengan tahap perkembangan moral,
kognitif, dan emosional peserta didik⁽³⁾. Sosiologi menekankan pentingnya
konteks sosial dan budaya dalam pembentukan karakter, sementara landasan
yuridis dan kebijakan nasional menegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan mandat konstitusional dan legal dalam sistem pendidikan
Indonesia⁽⁴⁾. Adapun teologi Islam memberikan dasar
spiritual bahwa akhlak merupakan bagian integral dari iman dan penghambaan
manusia kepada Allah Swt⁽⁵⁾.
Implikasi dari
keseluruhan landasan tersebut mengharuskan pendidikan karakter dilaksanakan
secara menyeluruh, terintegrasi, dan berkelanjutan. Pendidikan karakter tidak
bisa hanya bertumpu pada instruksi verbal atau program sesaat, melainkan
memerlukan pendekatan holistik yang mencakup keteladanan guru, penguatan budaya
sekolah, integrasi nilai dalam kurikulum, serta kolaborasi antara sekolah,
keluarga, dan masyarakat. UNESCO menyebut pendekatan ini sebagai whole-school
approach, yang terbukti efektif dalam membangun karakter peserta
didik dalam berbagai konteks pendidikan di dunia⁽⁶⁾.
Sebagai bangsa yang
menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan ajaran agama, Indonesia memiliki
potensi besar untuk membangun sistem pendidikan karakter yang kontekstual,
berbasis nilai lokal dan universal, serta mampu membentuk generasi
berkepribadian mulia. Namun, keberhasilan pendidikan karakter tidak akan
tercapai tanpa komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan,
mulai dari pemerintah, guru, orang tua, hingga masyarakat luas.
Dengan demikian,
pendidikan karakter bukan sekadar program, tetapi merupakan roh
dari pendidikan itu sendiri. Ia adalah investasi jangka panjang dalam membangun
peradaban yang bermartabat dan bangsa yang beradab. Dalam kata-kata Ki Hajar
Dewantara, pendidikan sejati adalah yang “menuntun segala kekuatan kodrat
anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”⁽⁷⁾—dan pendidikan
karakter adalah jalan untuk mencapai tujuan luhur tersebut.
Footnotes
[1]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 28–30.
[3]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The
Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981),
17–18.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 3.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 14.
[6]
UNESCO, Learning to Live Together: Education Policies and Realities
in the Asia-Pacific (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for
Education, 2008), 10.
[7]
Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka
(Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 2004), 15.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1991). The
concept of education in Islam. Kuala Lumpur: International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Al-Bukhari, M. I. (2005). Shahih
al-Bukhari (Kitab al-Adab, Hadis No. 5680). Beirut: Dar Ibn Katsir.
Al-Ghazali, I. (2005). Ihya’
‘Ulumuddin (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing. (Original
work published ca. 350 BCE)
Bandura, A. (1977). Social
learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Blumer, H. (1969). Symbolic
interactionism: Perspective and method. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Dewantara, K. H. (2004). Pemikiran,
konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa.
Dewey, J. (1909). Moral
principles in education. New York, NY: Houghton Mifflin.
Dewey, J. (1916). Democracy
and education. New York, NY: Macmillan.
Durkheim, E. (1961). Moral
education: A study in the theory and application of the sociology of education
(E. K. Wilson & H. Schnurer, Trans.). New York, NY: The Free Press.
(Original work published 1925)
Giddens, A. (1991). Modernity
and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford, CA:
Stanford University Press.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2017). Panduan penguatan pendidikan
karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,
Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan
Karakter pada Satuan Pendidikan Formal. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Profil Pelajar
Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kohlberg, L. (1981). Essays
on moral development, Vol. I: The philosophy of moral development. San
Francisco, CA: Harper & Row.
Lickona, T. (1991). Educating
for character: How our schools can teach respect and responsibility. New
York, NY: Bantam Books.
Piaget, J. (1965). The
moral judgment of the child (M. Gabain, Trans.). New York, NY: Free Press.
(Original work published 1932)
Presiden Republik
Indonesia. (2017). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2003).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
78.
Republik Indonesia. (2005).
Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media.
Seligman, M. E. P., &
Peterson, C. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and
classification. New York, NY: Oxford University Press.
Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan,
kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
UNESCO. (2008). Learning
to live together: Education policies and realities in the Asia-Pacific.
Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education.
UNESCO. (2017). Education
for sustainable development goals: Learning objectives. Paris: UNESCO
Publishing.
Zuhri, M., & Rofiuddin,
A. (2015). Pendidikan karakter: Konsep dan implementasi dalam pendidikan
Islam. Yogyakarta: Deepublish.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar