Jumat, 23 Mei 2025

Kosmologi Metafisik: Menyingkap Hakikat Realitas Semesta dari Perspektif Ontologis dan Transenden

Kosmologi Metafisik

Menyingkap Hakikat Realitas Semesta dari Perspektif Ontologis dan Transenden


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini mengkaji kosmologi metafisik sebagai suatu pendekatan filosofis yang menelusuri asal-usul, struktur, dan makna terdalam dari alam semesta melalui kerangka ontologis dan transenden. Tidak seperti kosmologi ilmiah yang bertumpu pada data empiris dan penjelasan mekanistik, kosmologi metafisik berupaya mengungkap prinsip-prinsip dasar seperti causa prima, keberadaan niscaya, esensi dan eksistensi, serta teleologi kosmos. Artikel ini menyusuri sejarah perkembangan pemikiran kosmologis dari filsafat Yunani, pemikiran Islam klasik, hingga kritik-kritik kontemporer terhadap model metafisik. Selain itu, dibahas pula relasi dan dialog antara kosmologi metafisik dan kosmologi sains, termasuk perdebatan seputar Big Bang, fine-tuning, dan multiverse. Implikasi etis dan eksistensial dari pandangan kosmologis ini dijelaskan dalam kaitannya dengan tanggung jawab manusia, makna hidup, serta spiritualitas kosmik. Di tengah tantangan dari saintisme, relativisme epistemologis, dan nihilisme modern, artikel ini menegaskan pentingnya kosmologi metafisik sebagai basis rasional dan spiritual untuk memahami posisi manusia dalam semesta dan realitas secara utuh.

Kata Kunci: Kosmologi metafisik, ontologi, sebab pertama, eksistensi, Big Bang, teleologi, spiritualitas kosmik, dialog sains dan filsafat, etika kosmik, realitas transenden.


PEMBAHASAN

Kajian Kosmologi dalam Filsafat dan Sains


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang asal-usul, struktur, dan makna alam semesta merupakan salah satu perenungan paling tua dalam sejarah pemikiran manusia. Sejak masa awal filsafat, manusia telah berupaya memahami hakikat kosmos—apakah ia hasil dari kebetulan, keteraturan, atau kehendak transenden. Dalam konteks ini, kosmologi metafisik hadir bukan sekadar sebagai usaha ilmiah untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisik, tetapi sebagai cabang filsafat yang mencoba menyelami fondasi ontologis dan prinsip-prinsip hakiki dari seluruh realitas yang ada.

Kosmologi metafisik berbeda dari kosmologi ilmiah dalam hal pendekatannya. Bila kosmologi ilmiah seperti astrofisika dan kosmologi fisik modern berlandaskan pada pengamatan empiris dan metode kuantitatif, maka kosmologi metafisik bergerak di wilayah spekulatif dan rasional yang lebih dalam. Ia tidak sekadar bertanya "bagaimana" semesta bekerja, tetapi "mengapa" dan "untuk apa" semesta itu ada. Misalnya, pertanyaan tentang sebab pertama (causa prima), keberadaan abadi (necessary being), serta struktur hierarkis dalam realitas adalah tema-tema sentral dalam kosmologi metafisik yang tidak dapat dijawab sepenuhnya oleh metode empiris murni¹.

Dalam filsafat klasik, Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh utama yang memberikan fondasi awal bagi kajian kosmologi metafisik. Dalam Timaeus, Plato memandang semesta sebagai ciptaan rasional dari seorang Demiurgos, pengatur kosmik yang menyusun chaos menjadi kosmos berdasarkan bentuk-bentuk ideal². Sementara itu, Aristoteles dalam Metaphysics memperkenalkan konsep “motor tak bergerak” (unmoved mover) sebagai penyebab pertama dari gerak kosmis³. Gagasan-gagasan ini kemudian menjadi landasan bagi pemikiran metafisik dalam berbagai tradisi, termasuk filsafat Islam dan skolastik Kristen.

Di sisi lain, perkembangan kosmologi ilmiah modern—terutama setelah teori relativitas Einstein dan model Big Bang—membawa pertanyaan-pertanyaan baru yang tak jarang justru menghidupkan kembali minat pada dimensi metafisik dari kosmos. Contohnya, konsep "fine-tuning" dalam fisika modern menimbulkan perdebatan apakah keteraturan semesta menunjukkan desain rasional atau sekadar kebetulan statistik⁴. Dalam situasi inilah, kosmologi metafisik menawarkan kontribusi unik: ia membangun dialog antara sains dan filsafat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai asal-usul, makna, dan tujuan realitas semesta.

Dengan demikian, kajian kosmologi metafisik menjadi relevan tidak hanya untuk ranah filsafat spekulatif, tetapi juga sebagai jembatan antara disiplin ilmu, spiritualitas, dan refleksi eksistensial. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis fondasi, struktur, dan dinamika pemikiran dalam kosmologi metafisik, serta menelusuri relevansinya dalam konteks kontemporer.


Footnotes

[1]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 91–93.

[2]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 28–29.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), Book XII, 1072a–1073a.

[4]                Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin Books, 2006), 150–155.


2.           Konsep Dasar Kosmologi dalam Filsafat

Kosmologi dalam filsafat merupakan cabang kajian yang menelaah struktur, asal-usul, dan prinsip fundamental yang melandasi keberadaan dan keteraturan semesta. Secara etimologis, istilah “kosmologi” berasal dari bahasa Yunani: kosmos yang berarti “dunia yang tertata” atau “tatanan”, dan logos yang berarti “akal” atau “ilmu”. Maka, kosmologi secara literal merujuk pada "ilmu tentang tatanan semesta".¹

Berbeda dengan kosmologi dalam fisika atau astronomi modern yang menekankan aspek kuantitatif, matematis, dan empiris, kosmologi dalam filsafat bersifat metafisik—yakni menyelidiki realitas semesta dalam kerangka ontologis dan kausal. Dalam tradisi filsafat klasik, kosmologi tidak hanya mempertanyakan apa yang membentuk alam semesta, tetapi juga mengapa dan untuk apa ia ada. Di sinilah letak kosmologi sebagai bagian integral dari metafisika, karena menyentuh aspek-aspek terdalam realitas, seperti sebab pertama (prima causa), keberadaan niscaya (necessary being), hierarki eksistensial, dan tujuan kosmik (telos).²

Kosmologi metafisik beroperasi dalam medan perenungan yang melibatkan beberapa tema inti:

1)                  Keberadaan sebagai Realitas Fundamental:

Segala yang ada dalam kosmos merupakan bagian dari realitas keberadaan (being), yang menjadi fokus utama dari metafisika. Dalam pandangan Aristoteles, filsafat pertama (metafisika) adalah ilmu yang menyelidiki “ada sebagai ada” (being qua being)³. Kosmologi mengadopsi perspektif ini untuk menelusuri bagaimana "ada" itu terwujud dalam skala kosmik.

2)                  Struktur Hierarkis Realitas:

Dalam banyak sistem metafisika klasik, kosmos dipahami memiliki struktur hierarkis yang mencerminkan tingkatan eksistensi, dari materi kasar hingga bentuk yang paling sempurna. Misalnya, dalam filsafat Neoplatonisme, realitas berasal dari Yang Esa (The One), lalu memancar turun ke akal (Nous), jiwa semesta (World Soul), hingga alam materi⁴. Struktur ini menekankan bahwa semesta bukan sekadar agregat benda, tetapi sistem keteraturan yang memiliki arah dan jenjang.

3)                  Prinsip Kausalitas dan Kontingensi:

Kosmologi metafisik mengkaji pertanyaan seperti: apakah semesta ini abadi atau tercipta? Adakah penyebab yang mendasari kemunculan dan keteraturannya? Ibn Sina, misalnya, membedakan antara wajib al-wujud (yang wajib ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin ada) untuk menjelaskan bahwa segala sesuatu yang mungkin membutuhkan penyebab, dan pada akhirnya merujuk pada sesuatu yang niscaya keberadaannya⁵. Pendekatan ini memberikan dasar ontologis bagi pencarian akan “sebab pertama”.

4)                  Kosmos sebagai Tatanan Rasional:

Salah satu warisan penting dari filsafat Yunani adalah pandangan bahwa semesta bukanlah kekacauan acak, melainkan tatanan yang dapat dipahami oleh akal. Dalam Timaeus, Plato menggambarkan dunia sebagai makhluk hidup rasional yang dibentuk oleh Demiurgos berdasarkan model kekal dari bentuk-bentuk ideal⁶. Gagasan ini menjadi dasar bagi pandangan teleologis, yakni bahwa semesta memiliki arah dan maksud tertentu.

5)                  Hubungan antara Makro dan Mikro:

Kosmologi metafisik juga menyoroti keterkaitan antara manusia sebagai mikrokosmos dan semesta sebagai makrokosmos. Dalam banyak tradisi filsafat dan spiritualitas, manusia dipandang sebagai cerminan dari struktur kosmik. Pandangan ini menumbuhkan pemahaman bahwa mengenal semesta adalah jalan untuk mengenal diri sendiri dan realitas tertinggi⁷.

Dengan demikian, kosmologi dalam filsafat bukan sekadar spekulasi abstrak, melainkan pencarian mendalam akan makna, struktur, dan prinsip tertinggi dari seluruh eksistensi. Ia menjadi jembatan antara ontologi (ilmu tentang ada) dan aksiologi (ilmu tentang nilai), karena pemahaman tentang struktur kosmos membawa implikasi etis dan eksistensial yang besar bagi manusia.


Footnotes

[1]                Edward Craig, ed., The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2005), s.v. “Cosmology.”

[2]                Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1992), 71–74.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), Book IV, 1003a21.

[4]                Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), V.1–3.

[5]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of The Healing, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 241–244.

[6]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 28–29.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 4–6.


3.           Sejarah Perkembangan Kosmologi Metafisik

Kosmologi metafisik, sebagai salah satu percabangan penting dalam filsafat, telah mengalami perkembangan panjang dan kompleks dari era Yunani Kuno hingga pemikiran kontemporer. Perjalanan ini tidak hanya mencerminkan perubahan dalam cara manusia memahami alam semesta, tetapi juga mencerminkan dinamika interaksi antara filsafat, agama, dan ilmu pengetahuan.

3.1.       Kosmologi Yunani Kuno: Awal Pencarian Rasional atas Kosmos

Kosmologi metafisik bermula dari para filsuf Presokratik seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos yang mencoba menjelaskan asal-usul kosmos secara rasional tanpa mengandalkan mitologi. Mereka memperkenalkan konsep arche (prinsip pertama) sebagai dasar segala sesuatu¹. Dalam Timaeus, Plato mengemukakan bahwa kosmos adalah makhluk hidup rasional yang diciptakan oleh Demiurgos (pengrajin ilahi) menurut cetak biru bentuk-bentuk ideal, sehingga semesta memiliki keteraturan dan keindahan². Sementara itu, Aristoteles memperkenalkan gagasan tentang motor tak bergerak (unmoved mover) sebagai prinsip pertama dari gerak dalam semesta. Menurutnya, kosmos bersifat abadi dan bergerak dalam lingkaran sempurna, dipicu oleh daya tarik entitas yang tak bergerak namun menjadi tujuan dari segala gerak³.

3.2.       Kosmologi dalam Filsafat Islam: Sintesis Akal dan Wahyu

Kosmologi metafisik berkembang secara signifikan dalam dunia Islam, terutama melalui pemikiran para filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes). Mereka mengembangkan sintesis antara filsafat Yunani, khususnya Aristotelianisme dan Neoplatonisme, dengan prinsip-prinsip teologis Islam. Ibn Sina menjelaskan struktur kosmos sebagai emanasi dari Tuhan Yang Maha Esa (Wajib al-Wujud), di mana dari-Nya mengalir eksistensi berbagai entitas kosmik secara bertingkat, mulai dari akal-akal langit hingga dunia materi⁴. Kosmos dalam pandangannya bukan hasil dari kehendak temporal, melainkan pancaran niscaya dari keberadaan Tuhan⁵. Meskipun pemikiran ini dikritik oleh teolog seperti Al-Ghazali, yang mempertanyakan gagasan keabadian alam, namun kosmologi Ibn Sina tetap menjadi tonggak penting dalam tradisi metafisika Islam.

3.3.       Kosmologi Skolastik: Penalaran Kosmik dalam Bingkai Teologi Kristen

Di Eropa Abad Pertengahan, kosmologi metafisik diteruskan oleh filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas, yang menggabungkan Aristotelianisme dengan teologi Kristen. Ia mempertahankan konsep actus purus dan causa prima sebagai dasar dari penciptaan semesta. Menurut Aquinas, Tuhan adalah penyebab pertama yang tak disebabkan, dan semesta adalah ciptaan kontingen yang bergantung secara mutlak kepada-Nya⁶. Dalam konteks ini, kosmologi tidak hanya menjelaskan struktur semesta, tetapi juga berfungsi sebagai dasar rasional bagi teologi alam (natural theology).

3.4.       Tantangan dari Kosmologi Modern: Pemisahan Metafisika dan Sains

Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-17 membawa perubahan besar dalam kosmologi. Descartes mereduksi semesta menjadi sistem mekanistik yang tersusun dari ekstensi dan gerak, sedangkan Newton menggambarkan alam semesta sebagai mesin raksasa yang beroperasi berdasarkan hukum-hukum universal⁷. Meskipun masih mempertahankan gagasan Tuhan sebagai pencipta, pendekatan ini menggeser pusat perhatian dari aspek metafisik ke aspek fisikal. Kosmologi menjadi ranah sains murni yang dianggap tidak memerlukan fondasi metafisik.

Immanuel Kant, meskipun tidak sepenuhnya menolak metafisika, menunjukkan batas-batas rasionalitas manusia dalam memahami totalitas kosmos. Dalam Critique of Pure Reason, ia mengemukakan “antinomies of reason” yang menunjukkan bahwa baik argumen tentang keterhinggaan maupun keabadian dunia dapat dibenarkan secara logis, yang berarti bahwa kosmologi spekulatif terperangkap dalam paradoks⁸. Hal ini membuat banyak filsuf modern menjadi skeptis terhadap validitas kosmologi metafisik.

3.5.       Kebangkitan Kosmologi Metafisik di Era Kontemporer

Meskipun sempat surut, kosmologi metafisik mengalami kebangkitan di abad ke-20 dan 21, terutama melalui pendekatan-pendekatan baru seperti proses kosmologi (Whitehead) dan pemikiran kosmoteandrik (Teilhard de Chardin). Teori-teori dalam fisika modern seperti Big Bang, entropi, dan fine-tuning justru memunculkan kembali pertanyaan-pertanyaan metafisik: Mengapa semesta bermula? Mengapa hukum alam memungkinkan kehidupan? Apakah keteraturan semesta mengimplikasikan desain? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab sepenuhnya oleh sains dan mendorong pembaruan minat pada dimensi metafisik dari kosmos⁹.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin Books, 2001), 18–22.

[2]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 27–33.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), Book XII, 1072a–1074b.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 84–89.

[5]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of The Healing, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 243–250.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[7]                Richard Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 43–55.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A426/B454–A432/B460.

[9]                William Lane Craig and James D. Sinclair, “The Kalam Cosmological Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J.P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 183–186.


4.           Struktur dan Prinsip-Prinsip Ontologis Kosmos

Kosmologi metafisik tidak hanya membahas asal-usul semesta, tetapi juga berupaya merumuskan struktur internal dan prinsip ontologis yang membentuk serta menopang realitas kosmos. Prinsip-prinsip ini menjadi kerangka rasional untuk memahami mengapa dan bagaimana semesta memiliki keteraturan, kestabilan, dan arah. Dalam konteks metafisika, kosmos dipandang bukan sekadar kumpulan entitas material, melainkan sistem eksistensial yang tersusun berdasarkan hukum dan tingkatan ontologis.

4.1.       Prinsip Causa Prima (Sebab Pertama)

Salah satu prinsip kunci dalam kosmologi metafisik adalah gagasan sebab pertama (causa prima). Konsep ini menyatakan bahwa segala yang mengalami perubahan atau muncul ke dalam eksistensi pasti memiliki sebab. Rantai kausalitas ini tidak dapat berlangsung tanpa batas (regressus ad infinitum), sehingga harus ada entitas yang menyebabkan tanpa disebabkan, yaitu penyebab pertama yang niscaya keberadaannya. Aristoteles menyebutnya sebagai motor tak bergerak (unmoved mover), yang menggerakkan segala sesuatu karena ia adalah bentuk murni dan objek dari hasrat universal¹. Dalam versi teistik, penyebab pertama ini identik dengan Tuhan, yang merupakan sumber dari segala eksistensi².

4.2.       Prinsip Actus Purus dan Hierarki Eksistensi

Dalam metafisika skolastik, terutama menurut Thomas Aquinas, Tuhan sebagai penyebab pertama juga merupakan actus purus—yakni keberadaan murni yang tidak memiliki potensi dan karena itu tidak berubah. Setiap entitas lain dalam kosmos memiliki gabungan actus (aktualitas) dan potentia (kemungkinan). Semakin besar aktualitas dan semakin kecil potensinya, semakin tinggi tingkat eksistensinya³. Maka, semesta dipahami sebagai struktur hierarkis, dari bentuk eksistensi tertinggi (Tuhan), ke para malaikat, jiwa rasional (manusia), hewan, tumbuhan, benda mati, hingga materi murni.

Pandangan serupa juga dikembangkan dalam filsafat Islam oleh Ibn Sina, yang membedakan antara wajib al-wujud (yang keberadaannya niscaya) dan mumkin al-wujud (yang keberadaannya mungkin). Segala sesuatu yang mungkin ada tidak dapat menjelaskan eksistensinya sendiri, dan karena itu bergantung pada entitas yang niscaya⁴. Struktur ini membentuk tangga ontologis yang menghubungkan realitas duniawi dengan sumber ilahiah.

4.3.       Prinsip Keteraturan dan Finalitas

Salah satu ciri khas dari kosmos dalam pandangan metafisik adalah keteraturan internal yang inheren, yang tidak sekadar bersifat mekanistik, melainkan memiliki tujuan (telos). Dalam Physics dan Metaphysics, Aristoteles menegaskan bahwa alam bertindak untuk suatu tujuan, dan setiap proses alami bergerak menuju kondisi yang sesuai dengan kodratnya⁵. Ini berarti bahwa kosmos tidak bergerak secara acak, melainkan berstruktur secara teleologis—semesta memiliki arah dan maksud.

Konsep ini mendapat tempat penting dalam teologi alam dan kosmologi metafisik. Dalam filsafat Islam, Al-Farabi dan Ibn Rushd juga mengafirmasi keteraturan kosmos sebagai bukti dari hikmah ilahiah⁶. Finalitas kosmis menunjukkan bahwa semesta bukan hanya disusun berdasarkan hukum, tetapi juga dimaknai oleh tujuan yang inheren dalam tatanan eksistensialnya.

4.4.       Relasi antara Esensi dan Eksistensi

Prinsip lain yang penting dalam struktur ontologis kosmos adalah relasi antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud). Menurut Ibn Sina dan Aquinas, esensi adalah apa dari suatu hal, sedangkan eksistensi adalah bahwa hal itu ada. Pada makhluk kontingen, keduanya terpisah: ada hal yang secara esensial mungkin, tetapi hanya aktual jika diberi eksistensi oleh sebab luar. Sebaliknya, dalam Tuhan, esensi dan eksistensi adalah satu dan sama⁷. Relasi ini menjadi kunci dalam memahami kontingensi kosmos dan keniscayaan Tuhan, serta menegaskan bahwa realitas semesta tidak mandiri, tetapi bergantung secara mutlak pada sumber eksistensialnya.

4.5.       Keterpaduan antara Kausalitas Vertikal dan Horizontal

Struktur kosmos dalam kosmologi metafisik melibatkan dua jenis kausalitas:

1)                  Kausalitas horizontal, yaitu hubungan sebab-akibat antar peristiwa atau entitas dalam waktu dan ruang (misalnya, api menyebabkan kayu terbakar).

2)                  Kausalitas vertikal, yaitu relasi antara eksistensi kontingen dan penyebab niscaya pada setiap momen (misalnya, keberadaan kayu pada saat ini tergantung pada Tuhan sebagai sumber wujudnya).

Etienne Gilson menekankan bahwa kausalitas vertikal merupakan dasar paling dalam dari eksistensi kosmos, karena tanpa fondasi dari keberadaan murni, semua wujud akan lenyap⁸. Dengan demikian, kosmos dipahami bukan sebagai mesin tertutup, tetapi sebagai sistem terbuka yang tergantung secara ontologis pada prinsip transenden.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), Book XII, 1072a–1073b.

[2]                William Lane Craig, The Kalām Cosmological Argument (Eugene, OR: Wipf & Stock, 2000), 133–135.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.2.

[4]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of The Healing, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 241–247.

[5]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), Book II, 194a–198a.

[6]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 61–66.

[7]                Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 38–45.

[8]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 100–105.


5.           Kosmologi Metafisik dalam Perspektif Tradisi Agama

Kosmologi metafisik tidak hanya lahir dari tradisi filsafat rasional, tetapi juga berkembang secara integral dalam wacana teologi dan spiritualitas agama-agama besar. Dalam banyak ajaran agama samawi seperti Islam, Kristen, dan Yudaisme, pemahaman tentang kosmos tidak bisa dilepaskan dari doktrin tentang penciptaan, kehendak ilahi, dan tujuan eksistensial semesta. Kosmos dipandang bukan sebagai entitas otonom, melainkan sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan dan arena bagi keterlibatan ilahiah dalam sejarah manusia.

5.1.       Konsepsi Penciptaan dan Keberadaan Tertinggi

Dalam ketiga agama Abrahamik, konsep dasar yang mendasari kosmologi adalah penciptaan semesta ex nihilo—yakni, bahwa Tuhan menciptakan alam dari ketiadaan, bukan dari materi yang telah ada sebelumnya. Dalam Kitab Kejadian, tertulis bahwa “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1)⁽¹⁾. Hal ini menegaskan bahwa semesta bukan kekal, tetapi memiliki awal yang ditentukan oleh kehendak transenden. Pemahaman ini berbeda dari beberapa tradisi filosofis Yunani seperti Aristoteles, yang berpendapat bahwa alam bersifat abadi.

Dalam Islam, konsep ini ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur'an, seperti: “Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa” (Q.S. As-Sajdah [32] ayat 4)⁽²⁾. Tuhan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan oleh para teolog seperti Al-Ash‘ari dan Al-Maturidi, adalah al-Khāliq (Pencipta) yang menciptakan seluruh eksistensi tanpa membutuhkan bahan, waktu, atau sebab eksternal. Ini memperkuat prinsip kontingensi kosmos dan keniscayaan Tuhan dalam struktur ontologis keberadaan.

5.2.       Struktur Kosmik sebagai Manifestasi Kehendak Ilahi

Tradisi agama mengajarkan bahwa kosmos merupakan manifestasi dari hikmah dan kehendak Tuhan. Dalam pandangan ini, setiap elemen dalam semesta memiliki posisi, fungsi, dan tujuan tertentu yang ditetapkan secara sadar oleh Tuhan. Thomas Aquinas, misalnya, menyatakan bahwa keteraturan dan tujuan dalam alam semesta adalah bukti adanya intelligent designer⁽³⁾. Semesta bukan hanya ada, tetapi ada dengan maksud.

Dalam tasawuf dan filsafat Islam, gagasan tentang kosmos sebagai “tajalli” (penampakan) atau “manifestasi” dari asma dan sifat Allah juga menjadi pusat kosmologi metafisik. Ibnu Arabi menegaskan bahwa segala sesuatu di alam merupakan bentuk penyingkapan dari al-Haqq (Yang Maha Benar), sehingga kosmos bukan hanya ciptaan, tetapi juga cermin kehadiran Tuhan dalam eksistensi⁽⁴⁾. Pemikiran ini mengintegrasikan aspek ontologis, spiritual, dan metafisik secara menyeluruh.

5.3.       Waktu dan Kekekalan: Antara Transendensi dan Sejarah

Agama-agama samawi memiliki pemahaman khas tentang waktu sebagai dimensi linear yang memiliki awal dan akhir, berbeda dengan pandangan siklis dalam banyak sistem kosmologi Timur. Dalam Al-Qur'an dan Alkitab, waktu dilihat sebagai arena ujian dan wahyu, bukan sebagai lingkaran tanpa arah. Tuhan berada di luar waktu (transenden), namun juga bertindak dalam waktu (imanen)⁽⁵⁾.

Dalam Islam, misalnya, waktu tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga secara ontologis—ia adalah makhluk Tuhan (Q.S. Al-‘Asr [103]), dan keberadaan makhluk tergantung pada hubungan mereka dengan waktu dan takdir. Konsepsi ini menunjukkan ketergantungan eksistensial kosmos kepada Tuhan, tidak hanya dalam penciptaannya, tetapi dalam pelestariannya secara berkelanjutan.

5.4.       Kosmos dan Tujuan Eksistensial: Perspektif Teologis dan Eskatologis

Kosmologi dalam agama tidak netral secara nilai; ia selalu dikaitkan dengan tujuan moral dan spiritual semesta. Dalam pandangan keagamaan, kosmos diciptakan untuk suatu maksud tertentu—yakni, sebagai wadah bagi kehendak Tuhan dan tempat manusia menjalankan tanggung jawab eksistensialnya.

Dalam Islam, Al-Qur'an menegaskan: “Tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main” (Q.S. Ad-Dukhan [44] ayat 38)⁽⁶⁾. Pernyataan ini menekankan teleologi kosmis—bahwa semesta memiliki makna yang dalam dan tidak sia-sia. Dalam Kekristenan, doktrin eskatologi juga berperan penting, yaitu bahwa semesta bergerak menuju pemulihan dan pembaruan akhir (New Heaven and New Earth dalam Wahyu 21:1)⁽⁷⁾.

Dengan demikian, kosmologi metafisik dalam tradisi agama tidak hanya menjelaskan asal-usul dan struktur kosmos, tetapi juga memberikan orientasi spiritual dan moral bagi manusia sebagai makhluk yang sadar akan posisinya dalam tatanan semesta.


Footnotes

[1]                The Holy Bible, New International Version (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2011), Genesis 1:1.

[2]                Al-Qur’an dan Terjemahannya, ed. Kementerian Agama Republik Indonesia (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), Q.S. As-Sajdah [32]: 4.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[4]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, vol. I, ed. Osman Yahya (Cairo: Al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Matābi‘ al-Amīriyyah, 1911), 110–115.

[5]                William Lane Craig, Time and Eternity: Exploring God's Relationship to Time (Wheaton, IL: Crossway, 2001), 120–124.

[6]                Al-Qur’an dan Terjemahannya, Q.S. Ad-Dukhan [44]: 38.

[7]                The Holy Bible, New International Version, Revelation 21:1.


6.           Dialog antara Kosmologi Metafisik dan Kosmologi Sains

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan modern, terutama dalam bidang fisika dan astronomi, kosmologi telah mengalami pergeseran besar dari dominasi pendekatan metafisik dan teologis menuju analisis empiris dan matematis. Namun demikian, kemajuan kosmologi sains justru membuka peluang bagi dialog produktif antara dimensi saintifik dan metafisik. Keduanya, meskipun berangkat dari metode dan tujuan yang berbeda, sama-sama berusaha menjawab pertanyaan fundamental mengenai asal-usul, struktur, dan makna alam semesta.

6.1.       Perbedaan Pendekatan: Empiris vs Ontologis

Kosmologi sains, sebagaimana dikembangkan dalam kerangka teori relativitas umum dan mekanika kuantum, memusatkan perhatian pada pengamatan terhadap fenomena kosmis seperti radiasi latar gelombang mikro, pengembangan ruang waktu, dan distribusi galaksi. Model Big Bang, misalnya, menjelaskan bahwa semesta bermula sekitar 13,8 miliar tahun lalu dari kondisi sangat padat dan panas⁽¹⁾. Kosmologi sains bertujuan untuk menjawab “bagaimana” semesta terjadi dan berfungsi, bukan “mengapa” atau “untuk apa”.

Sebaliknya, kosmologi metafisik bertanya tentang landasan keberadaan: mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh data observasi saja, melainkan menuntut refleksi ontologis mengenai sebab pertama, keberadaan niscaya, dan tujuan semesta⁽²⁾. Karena itu, dialog antara dua pendekatan ini tidak bersifat kompetitif, melainkan komplementer.

6.2.       Big Bang dan Masalah Awal

Salah satu titik temu penting antara kosmologi sains dan metafisika adalah pertanyaan tentang awal mula semesta. Teori Big Bang, dengan segala keberhasilannya menjelaskan ekspansi semesta, menimbulkan pertanyaan metafisik mendalam: apa yang menyebabkan Big Bang? Apakah waktu dan ruang juga tercipta bersamaan dengannya, dan jika ya, apa yang ada “sebelum” itu?

Fisikawan seperti Stephen Hawking mencoba menjawabnya dengan model no-boundary, yang menyatakan bahwa waktu “berubah” menjadi dimensi spasial di awal semesta, sehingga pertanyaan tentang “sebelum Big Bang” menjadi tidak bermakna dalam kerangka matematis⁽³⁾. Namun, filsuf seperti William Lane Craig berargumen bahwa model-model fisika tidak bisa menjelaskan mengapa semesta muncul dari ketiadaan, dan karenanya tetap membutuhkan sebab metafisik atau agen transenden⁽⁴⁾.

6.3.       Fine-Tuning dan Pertanyaan tentang Desain

Isu lain yang membuka ruang bagi dialog kosmologi metafisik dan sains adalah fenomena fine-tuning. Banyak konstanta fisika dasar (seperti konstanta gravitasi, kecepatan cahaya, dan rasio massa partikel) berada dalam rentang sangat sempit yang memungkinkan terbentuknya kehidupan. Jika konstanta-konstanta ini berbeda sedikit saja, semesta yang mendukung kehidupan tidak akan ada⁽⁵⁾.

Penjelasan terhadap fine-tuning terbagi menjadi tiga: kebetulan, multiverse, atau desain. Pandangan metafisik (dan teologis) melihat fine-tuning sebagai indikasi adanya tujuan dan kebijaksanaan di balik struktur semesta. Dalam pandangan John Polkinghorne, seorang fisikawan dan teolog, "dalam menemukan dunia yang begitu tertata dan dapat dikenali oleh akal manusia, kita melihat jejak dari Rasio Ilahi"⁽⁶⁾.

6.4.       Keterbatasan Penjelasan Saintifik dan Peran Metafisika

Sains memiliki kekuatan besar dalam menjelaskan fenomena, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam menjelaskan fondasi ontologis keberadaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti:

·                     Mengapa hukum-hukum fisika berlaku?

·                     Mengapa semesta memiliki struktur rasional yang dapat dipahami?

·                     Apakah hukum alam itu entitas real atau hanya deskripsi matematis?

tidak dapat dijawab secara tuntas oleh metode empiris. Di sinilah metafisika berfungsi sebagai penyelaras reflektif, memberikan kerangka interpretatif dan kedalaman makna atas data saintifik⁽⁷⁾.

Sebagaimana dikatakan Werner Heisenberg, salah satu pelopor mekanika kuantum, “Ilmu alam tidak menjawab pertanyaan tentang mengapa dunia ini ada… Untuk itu kita perlu filsafat”⁽⁸⁾.

6.5.       Kolaborasi antara Rasio dan Iman: Jalan Menuju Pemahaman Holistik

Dalam pendekatan integratif, kosmologi metafisik dan kosmologi sains dapat saling melengkapi. Sains menawarkan deskripsi mekanistik, sementara metafisika menawarkan pemahaman ontologis dan teleologis. Pendekatan ini tidak hanya memperluas cakrawala pengetahuan manusia, tetapi juga membuka ruang bagi dialog antara rasio dan iman, antara observasi dan kontemplasi.

Kosmologi metafisik tidak berusaha menggantikan sains, tetapi mengajukan pertanyaan yang mendalam dan melampaui batas empiris. Sebaliknya, sains menyediakan fondasi observasional yang kaya untuk ditafsirkan secara filosofis. Dengan demikian, dialog antara keduanya menciptakan pemahaman kosmos yang lebih utuh, baik dari sisi struktur fisiknya maupun makna eksistensialnya.


Footnotes

[1]                Stephen Hawking and Roger Penrose, The Nature of Space and Time (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1996), 36–38.

[2]                Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1992), 88–92.

[3]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 134–136.

[4]                William Lane Craig and James D. Sinclair, “The Kalam Cosmological Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 183–190.

[5]                Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin Books, 2006), 111–116.

[6]                John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (Minneapolis: Fortress Press, 1998), 76–78.

[7]                Anthony Kenny, The Unknown God: Agnostic Essays (London: Continuum, 2004), 59–63.

[8]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 206.


7.           Kosmologi Kontemporer dan Tantangan Baru

Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di abad ke-20 dan ke-21 telah membawa kosmologi pada medan yang semakin kompleks. Kemajuan dalam fisika teoritis, astronomi observasional, dan matematika kosmologis tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang struktur alam semesta, tetapi juga menimbulkan tantangan-tantangan filosofis baru terhadap kerangka kosmologi metafisik tradisional. Tantangan ini tidak selalu bersifat destruktif, melainkan membuka ruang penafsiran ulang terhadap makna, struktur, dan tujuan kosmos dalam cahaya pemikiran kontemporer.

7.1.       Kosmologi Proses: Dari Substansi ke Peristiwa

Salah satu tantangan utama terhadap kosmologi metafisik klasik datang dari filsafat proses yang dikembangkan oleh Alfred North Whitehead. Dalam bukunya Process and Reality, Whitehead mengkritik pemikiran metafisika tradisional yang berpusat pada substansi tetap, dan menggantinya dengan realitas sebagai rangkaian peristiwa yang terus-menerus terjadi (actual occasions).¹ Dalam kerangka ini, kosmos bukanlah entitas statis, melainkan proses dinamis yang bersifat kreatif dan terbuka.

Kosmologi proses menekankan bahwa segala sesuatu berada dalam keterkaitan dan perubahan terus-menerus, di mana Tuhan sendiri dipahami sebagai realitas yang memuat aspek abadi (primordial nature) dan aspek temporal (consequent nature)². Hal ini menantang konsep Tuhan sebagai actus purus yang sepenuhnya tidak berubah, sebagaimana dikemukakan dalam metafisika skolastik.

7.2.       Kosmologi Kuantum dan Kehampaan Kreatif

Fisikawan kontemporer telah mengembangkan model-model kosmologis berbasis teori kuantum, seperti kosmologi inflasi kuantum, teori string, dan mekanika kuantum gravitasi. Salah satu implikasi menarik dari teori ini adalah kemungkinan penciptaan semesta dari “vakum kuantum” atau fluktuasi energi kosong. Lawrence Krauss, misalnya, berargumen dalam A Universe from Nothing bahwa hukum fisika dapat menjelaskan bagaimana semesta muncul tanpa sebab transenden³.

Namun pendekatan ini dikritik oleh para filsuf karena istilah "nothing" dalam fisika kuantum sebenarnya merujuk pada keadaan fisik yang tetap memiliki struktur hukum dan potensi eksistensial—bukan “ketiadaan mutlak” sebagaimana dimaksud dalam metafisika⁴. Oleh karena itu, klaim bahwa sains telah “menghapus” kebutuhan akan metafisika dinilai tergesa-gesa dan menyederhanakan kompleksitas ontologis realitas.

7.3.       Multiverse dan Krisis Antroposentrisme

Konsep multiverse—yakni keberadaan banyak semesta yang mungkin tak terbatas jumlahnya—telah dikemukakan sebagai solusi terhadap problem fine-tuning. Jika terdapat tak terhingga banyaknya semesta dengan variasi kondisi fisika, maka semesta kita hanyalah salah satu dari sekian banyak yang “kebetulan” cocok untuk kehidupan⁵.

Namun, secara metafisik, model ini menimbulkan pertanyaan: apakah multiverse benar-benar menjelaskan, atau hanya menghindari, kebutuhan akan penjelasan eksistensial?⁶. Selain itu, multiverse berpotensi menggeser makna dan nilai eksistensi manusia, yang dalam banyak tradisi dipandang sebagai pusat makna semesta (antroposentrisme), menjadi “kebetulan statistik”.

7.4.       Rehabilitasi Teleologi dan Transendensi

Meskipun tantangan-tantangan ilmiah dan filosofis muncul, beberapa pemikir kontemporer justru menyerukan kembalinya refleksi metafisik dan spiritual dalam kosmologi. Filsuf seperti Robert C. Koons dan Edward Feser mengembangkan kembali pendekatan teleologis dan hylomorfik (materi-bentuk) dalam memahami alam semesta, dengan berargumen bahwa keteraturan dan tujuan dalam alam tidak bisa direduksi menjadi proses buta atau kebetulan mekanistik⁷.

Bahkan dalam kalangan ilmuwan, terdapat kesadaran bahwa struktur kosmos terlalu kompleks dan rasional untuk dipahami sebagai entitas tanpa makna. Paul Davies, dalam The Mind of God, menyatakan bahwa keberadaan hukum-hukum fisika yang dapat dikenali dan dirumuskan secara matematis menunjukkan bahwa alam semesta mengandung prinsip-prinsip rasional yang selaras dengan intuisi metafisik tentang keteraturan dan desain⁸.

7.5.       Kosmologi dan Krisis Makna di Era Postmodern

Di tengah semaraknya pencapaian saintifik, peradaban kontemporer menghadapi krisis makna yang tidak bisa dijawab oleh sains semata. Kosmologi sebagai narasi besar yang menyatukan pemahaman tentang asal-usul, struktur, dan tujuan hidup manusia mengalami fragmentasi. Kosmologi metafisik, dengan seluruh perangkat ontologis dan spiritualnya, dapat berkontribusi pada pemulihan narasi kosmik yang koheren, yang tidak hanya menjelaskan “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga “mengapa” kita berada di sini.


Footnotes

[1]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–27.

[2]                Ibid., 343–349.

[3]                Lawrence M. Krauss, A Universe from Nothing: Why There Is Something Rather than Nothing (New York: Free Press, 2012), 145–148.

[4]                David Albert, “On the Origin of Everything,” The New York Times, March 23, 2012, https://www.nytimes.com.

[5]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 81–88.

[6]                George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?” Scientific American 305, no. 2 (2011): 38–43.

[7]                Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 135–154.

[8]                Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 200–203.


8.           Implikasi Etis dan Eksistensial Kosmologi Metafisik

Kosmologi metafisik tidak hanya menawarkan pandangan spekulatif tentang asal-usul dan struktur alam semesta, tetapi juga melahirkan implikasi mendalam terhadap pemahaman manusia tentang makna hidup, tanggung jawab moral, dan posisi eksistensial dalam kosmos. Ketika semesta dipahami bukan sekadar sebagai sistem mekanik yang netral, melainkan sebagai tatanan ontologis dan teleologis yang sarat makna, maka manusia pun ditempatkan dalam relasi yang sarat nilai terhadap realitas itu sendiri.

8.1.       Manusia sebagai Mikrokosmos: Refleksi Makna dan Posisi Ontologis

Dalam tradisi metafisik klasik dan keagamaan, manusia sering digambarkan sebagai mikrokosmos, yaitu miniatur dari keseluruhan kosmos. Pemikiran ini muncul dalam filsafat Yunani, filsafat Islam, dan pemikiran mistik Kristen⁽¹⁾. Gagasan ini menyiratkan bahwa struktur kosmik tercermin dalam struktur batin manusia: rasionalitas, kehendak, dan jiwa manusia merupakan refleksi dari tatanan kosmik yang lebih luas.

Konsekuensinya, memahami kosmos tidak hanya menjadi kegiatan ilmiah atau filosofis, tetapi juga spiritual dan eksistensial. Kosmologi metafisik mengajak manusia untuk melihat dirinya sebagai bagian dari tatanan yang lebih besar dan bertujuan, yang keberadaannya tidak terlepas dari keteraturan dan sumber transendennya⁽²⁾. Ini memberi dasar ontologis bagi kesadaran etis dan tanggung jawab moral manusia di dunia.

8.2.       Etika Kosmik: Tanggung Jawab terhadap Tatanan Semesta

Jika semesta memiliki struktur rasional dan tujuan ilahi, maka tindakan manusia—baik secara personal maupun sosial—harus selaras dengan tatanan moral dan metafisik itu. Konsep ini disebut oleh sebagian pemikir sebagai etika kosmik, yakni etika yang berlandaskan pada keterpaduan antara manusia dan kosmos.

Filsuf kontemporer seperti Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility menegaskan bahwa kesadaran manusia akan dampak tindakannya terhadap keberlanjutan kosmos menciptakan etika baru yang melampaui sekadar hukum positif atau utilitarianisme. Tanggung jawab ekologis, misalnya, menjadi ekspresi konkret dari etika metafisik yang menyadari keberadaan semesta sebagai sesuatu yang bernilai intrinsik⁽³⁾.

8.3.       Kesadaran Eksistensial: Dari Absurdisme ke Makna Transenden

Salah satu pertanyaan sentral dalam filsafat eksistensial modern adalah: apakah kehidupan memiliki makna dalam semesta yang tampaknya acak dan tidak peduli? Tokoh-tokoh seperti Albert Camus menyatakan bahwa dunia bersifat absurd karena tidak menawarkan jawaban atas pencarian makna oleh manusia⁽⁴⁾.

Namun kosmologi metafisik, dengan penekanan pada tatanan, tujuan, dan sumber transenden semesta, memberikan alternatif terhadap nihilisme. Ketika semesta dipahami sebagai manifestasi dari prinsip rasional dan spiritual, maka keberadaan manusia tidak terjadi secara acak, melainkan dalam konteks rencana kosmik yang bermakna. Ini memberikan landasan bagi harapan, orientasi hidup, dan pengharapan eskatologis yang tidak dapat diberikan oleh sains semata⁽⁵⁾.

8.4.       Spiritualitas Kosmologis: Kontemplasi dan Kehadiran Ilahi

Kosmologi metafisik juga memperkaya praktik spiritual. Dalam tradisi kontemplatif baik dalam Islam (tasawuf), Kristen (mistisisme), maupun Timur, refleksi atas alam semesta sering menjadi jalan menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi. Kosmos bukan hanya objek studi, tetapi medan pengalaman spiritual, di mana keindahan, keteraturan, dan harmoni semesta menjadi tanda-tanda (ayat) dari realitas yang lebih tinggi.

Ibn ‘Arabi, misalnya, menyebut kosmos sebagai “cermin” bagi manifestasi Tuhan. Dengan memahami dan merenungkan semesta, manusia dapat mencapai ma‘rifah (pengetahuan batin) tentang Al-Haqq (Yang Maha Benar)⁽⁶⁾. Ini menunjukkan bahwa kosmologi bukan hanya masalah epistemologi, tetapi juga jalan spiritual menuju transendensi.

8.5.       Rekonstruksi Nilai dalam Dunia Modern

Di tengah krisis ekologi, individualisme, dan relativisme moral yang mewarnai zaman modern, kosmologi metafisik menawarkan kerangka nilai yang kokoh. Ia mengajarkan bahwa keberadaan manusia terikat secara ontologis dengan realitas yang lebih besar, sehingga moralitas tidak bisa dipisahkan dari struktur realitas itu sendiri. Dengan demikian, etika tidak bersifat arbitrer, tetapi tertanam dalam kodrat eksistensial kosmos dan manusia sebagai bagian darinya⁽⁷⁾.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 8–12.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 71–75.

[3]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–128.

[4]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 3–5.

[5]                John Haught, God After Darwin: A Theology of Evolution (Boulder, CO: Westview Press, 2000), 145–149.

[6]                Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyah, vol. I, ed. Osman Yahya (Cairo: Al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Matābi‘ al-Amīriyyah, 1911), 98–101.

[7]                Edward Feser, The Last Superstition: A Refutation of the New Atheism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2008), 182–187.


9.           Kritik dan Respons terhadap Kosmologi Metafisik

Kosmologi metafisik, sebagai usaha rasional untuk memahami hakikat semesta secara ontologis dan transenden, telah menjadi bagian penting dalam tradisi filsafat sepanjang sejarah. Namun demikian, tidak lepas dari berbagai kritik, khususnya dalam era modern dan kontemporer yang didominasi oleh paradigma ilmiah dan positivistik. Kritik-kritik ini menantang metodologi, validitas, dan relevansi kosmologi metafisik, serta mengundang respons dari para filsuf metafisika yang berusaha menunjukkan keberlanjutan dan signifikansi disiplin ini.

9.1.       Kritik terhadap Spekulasi Non-Empiris

Salah satu kritik paling umum datang dari filsafat positivistik dan empirisme logis, yang menilai bahwa pernyataan metafisik, termasuk kosmologi metafisik, tidak bermakna secara kognitif karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Tokoh-tokoh seperti A.J. Ayer dalam Language, Truth and Logic menegaskan bahwa pernyataan metafisika adalah pseudo-statements—yakni, pernyataan yang tampak seperti klaim pengetahuan, tetapi sebenarnya tidak bermakna karena tidak dapat diuji melalui pengalaman⁽¹⁾.

Bagi kalangan ini, pertanyaan seperti “mengapa ada sesuatu daripada tidak ada” atau “apakah semesta memiliki tujuan” dianggap tidak produktif secara ilmiah. Mereka lebih memilih fokus pada deskripsi empiris dan hukum-hukum alam, tanpa masuk pada wilayah spekulatif yang tidak dapat dibuktikan atau dibantah secara observasional.

9.2.       Relativisme dan Pluralisme Epistemologis

Dalam era postmodern, kritik terhadap kosmologi metafisik muncul dalam bentuk keraguan terhadap klaim kebenaran universal dan sistemik. Pemikir seperti Richard Rorty berpendapat bahwa metafisika adalah bentuk “metanarrative” yang memaksakan struktur pada realitas dan mengabaikan keragaman interpretasi manusia⁽²⁾. Dalam pandangan ini, kosmologi metafisik dianggap sebagai warisan wacana hegemonik Barat yang perlu ditinjau ulang dalam konteks keberagaman budaya dan bahasa.

Implikasi dari kritik ini adalah bahwa tidak ada satu kosmologi metafisik yang dapat mengklaim status final atau objektif, melainkan hanya sekadar salah satu dari sekian banyak cara manusia memaknai realitas. Kritik ini menyerukan agar kosmologi metafisik bersikap lebih rendah hati dan terbuka terhadap pluralitas perspektif.

9.3.       Tantangan dari Kosmologi Sains

Kosmologi ilmiah modern, dengan model seperti Big Bang, inflasi kosmik, dan teori multiverse, telah menghasilkan penjelasan-penjelasan yang kuat dan terukur tentang struktur dan evolusi semesta. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa tidak perlu lagi bergantung pada penjelasan metafisik atau teologis untuk menjelaskan asal-usul semesta. Misalnya, Stephen Hawking menyatakan bahwa karena adanya hukum seperti gravitasi, “semesta dapat dan akan menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan”⁽³⁾.

Pernyataan seperti ini memberi kesan bahwa metafisika telah usang dan digantikan oleh fisika teoritis. Tantangan ini menuntut kosmologi metafisik untuk menjelaskan peran distingtifnya yang tidak bisa digantikan oleh sains, terutama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimate tentang eksistensi, nilai, dan tujuan.

9.4.       Respons: Pembelaan terhadap Rasionalitas dan Signifikansi Kosmologi Metafisik

Sebagai respons, para pembela kosmologi metafisik menegaskan bahwa sains dan metafisika bekerja pada level pertanyaan yang berbeda. Sains menjelaskan bagaimana semesta bekerja melalui hukum-hukum, tetapi tidak menjawab mengapa hukum itu ada, atau apa dasar eksistensialnya. David Bentley Hart, misalnya, berargumen bahwa klaim sains untuk “menghapus Tuhan” adalah bentuk kategori kekeliruan, karena Tuhan bukan bagian dari semesta yang bisa ditemukan secara empiris, tetapi merupakan prinsip dasar dari eksistensi itu sendiri⁽⁴⁾.

Lebih lanjut, Edward Feser menegaskan bahwa keberatan terhadap metafisika sering kali didasarkan pada kesalahpahaman terhadap klaim metafisik itu sendiri. Ia menunjukkan bahwa argumentasi seperti argument from contingency, kalam cosmological argument, atau argument from finality bersifat logis dan tidak tergantung pada model fisika tertentu⁽⁵⁾. Dengan demikian, kosmologi metafisik tetap sah dan penting sebagai bagian dari pencarian rasional manusia terhadap realitas terdalam.

9.5.       Dialog Konstruktif antara Metafisika dan Sains

Alih-alih mempertahankan antagonisme, banyak pemikir kontemporer mengupayakan dialog harmonis antara kosmologi metafisik dan ilmiah. Mereka melihat bahwa sains dapat memperkaya kosmologi metafisik melalui data dan teori empiris, sementara metafisika memberikan kerangka ontologis dan interpretatif yang lebih dalam bagi sains.

John Polkinghorne, fisikawan dan teolog, menegaskan bahwa memahami semesta sebagai hasil dari rasionalitas dan kehendak transenden justru memperluas makna penemuan ilmiah, bukan meniadakannya⁽⁶⁾. Dengan demikian, kosmologi metafisik bukanlah residu dari kepercayaan pra-ilmiah, melainkan dimensi reflektif dari akal yang tetap relevan di tengah kemajuan pengetahuan modern.


Footnotes

[1]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 34–40.

[2]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 385–389.

[3]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 180–182.

[4]                David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven: Yale University Press, 2013), 74–76.

[5]                Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 109–123.

[6]                John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 92–95.


10.       Simpulan dan Refleksi Filosofis

Kosmologi metafisik, sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat realitas semesta secara ontologis dan transenden, tetap memiliki relevansi yang mendalam dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar tentang asal-usul, struktur, dan makna eksistensi. Melalui telaah terhadap prinsip-prinsip seperti causa prima, actus purus, esensi dan eksistensi, serta finalitas kosmos, kita menemukan bahwa kosmos bukan hanya objek fisik yang dapat diukur dan diamati, melainkan realitas yang mengandung dimensi rasional, struktural, dan spiritual yang lebih dalam⁽¹⁾.

Simpulan dari kajian ini menunjukkan bahwa kosmologi metafisik tidak bermaksud menggantikan kosmologi ilmiah, melainkan melengkapi dan memperluas horizon pemahaman manusia tentang alam semesta. Di satu sisi, sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja dalam tatanan hukum-hukum kuantitatif dan empiris; di sisi lain, kosmologi metafisik bertanya mengapa hukum-hukum itu ada dan apa makna eksistensial dari keberadaan semesta⁽²⁾. Dengan demikian, hubungan antara metafisika dan sains bersifat komplementer, bukan kompetitif.

Dalam ranah etis dan eksistensial, kosmologi metafisik memberikan fondasi normatif dan spiritual bagi perilaku manusia. Dengan memahami dirinya sebagai bagian dari kosmos yang rasional dan bertujuan, manusia dapat membangun etika kosmik yang bertumpu pada tanggung jawab terhadap tatanan eksistensial, serta menolak pandangan nihilistik yang meniadakan makna dan nilai dari kehidupan⁽³⁾.

Kritik-kritik terhadap kosmologi metafisik—baik dari aliran positivistik, relativisme postmodern, maupun saintisme modern—perlu dipahami sebagai tantangan produktif yang mendorong pendalaman dan klarifikasi lebih lanjut. Respons filosofis yang muncul menunjukkan bahwa metafisika tidak tergantikan, karena pertanyaan tentang sebab pertama, kontingensi keberadaan, dan tujuan semesta tetap berdiri bahkan setelah seluruh persoalan ilmiah dijawab⁽⁴⁾.

Sebagai refleksi akhir, kosmologi metafisik mengajak kita untuk melampaui horizon empiris dan menyentuh kedalaman realitas sebagai ada yang bermakna. Dalam semangat ini, kosmologi bukan hanya soal peta ruang dan waktu, tetapi juga narasi spiritual dan rasional tentang tempat manusia dalam keseluruhan tatanan eksistensial. Oleh karena itu, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, kosmologi metafisik hadir sebagai jalan kebijaksanaan—sebagai upaya menyatukan pengetahuan, makna, dan kehadiran transenden dalam satu wawasan filosofis yang utuh⁽⁵⁾.


Footnotes

[1]                Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1992), 81–84.

[2]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 142–145.

[3]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–12.

[4]                David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven: Yale University Press, 2013), 83–89.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany, NY: State University of New York Press, 1989), 214–217.


Daftar Pustaka

Albert, D. (2012, March 23). On the origin of everything. The New York Times. https://www.nytimes.com

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
(Original work published c. 1274)

Aquinas, T. (1968). On being and essence (A. Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
(Original work published c. 1256)

Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Modern Library.

Aristotle. (2001). Physics (R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 218–394). Modern Library.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications. (Original work published 1936)

Barnes, J. (2001). Early Greek philosophy. Penguin Books.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.
(Original work published 1942)

Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.

Craig, W. L., & Sinclair, J. D. (2009). The Kalam cosmological argument. In W. L. Craig & J. P. Moreland (Eds.), The Blackwell companion to natural theology (pp. 101–201). Wiley-Blackwell.

Davies, P. (1992). The mind of God: The scientific basis for a rational world. Simon & Schuster.

Davies, P. (2006). The Goldilocks enigma: Why is the universe just right for life? Penguin Books.

Ellis, G. F. R. (2011). Does the multiverse really exist? Scientific American, 305(2), 38–43.

Feser, E. (2008). The last superstition: A refutation of the new atheism. St. Augustine’s Press.

Feser, E. (2017). Five proofs of the existence of God. Ignatius Press.

Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.

Haught, J. (2000). God after Darwin: A theology of evolution. Westview Press.

Hart, D. B. (2013). The experience of God: Being, consciousness, bliss. Yale University Press.

Hawking, S. (1988). A brief history of time. Bantam Books.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Hawking, S., & Penrose, R. (1996). The nature of space and time. Princeton University Press.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. Harper & Row.

Ibn ‘Arabi. (1911). Futūḥāt al-Makkiyyah (Vol. 1, O. Yahya, Ed.). Al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah.

Ibn Sina. (2005). Metaphysics of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1781/1787)

Krauss, L. M. (2012). A universe from nothing: Why there is something rather than nothing. Free Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. ABC International Group.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Plato. (2000). Timaeus (D. J. Zeyl, Trans.). Hackett Publishing.

Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age of science. Yale University Press.

Polkinghorne, J. (1998). Science and theology: An introduction. Fortress Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Tarnas, R. (1991). The passion of the Western mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine Books.

Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.). Prentice Hall.

Tegmark, M. (2014). Our mathematical universe: My quest for the ultimate nature of reality. Knopf.

Westfall, R. S. (1977). The construction of modern science: Mechanisms and mechanics. Cambridge University Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
(Original work published 1929)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar