Kosmologi Metafisik
Menyingkap Hakikat Realitas Semesta dari Perspektif
Ontologis dan Transenden
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini mengkaji kosmologi metafisik sebagai
suatu pendekatan filosofis yang menelusuri asal-usul, struktur, dan makna
terdalam dari alam semesta melalui kerangka ontologis dan transenden. Tidak
seperti kosmologi ilmiah yang bertumpu pada data empiris dan penjelasan
mekanistik, kosmologi metafisik berupaya mengungkap prinsip-prinsip dasar
seperti causa prima, keberadaan niscaya, esensi dan eksistensi, serta
teleologi kosmos. Artikel ini menyusuri sejarah perkembangan pemikiran
kosmologis dari filsafat Yunani, pemikiran Islam klasik, hingga kritik-kritik
kontemporer terhadap model metafisik. Selain itu, dibahas pula relasi dan
dialog antara kosmologi metafisik dan kosmologi sains, termasuk perdebatan
seputar Big Bang, fine-tuning, dan multiverse. Implikasi etis dan eksistensial
dari pandangan kosmologis ini dijelaskan dalam kaitannya dengan tanggung jawab
manusia, makna hidup, serta spiritualitas kosmik. Di tengah tantangan dari
saintisme, relativisme epistemologis, dan nihilisme modern, artikel ini
menegaskan pentingnya kosmologi metafisik sebagai basis rasional dan spiritual
untuk memahami posisi manusia dalam semesta dan realitas secara utuh.
Kata Kunci: Kosmologi metafisik, ontologi, sebab pertama,
eksistensi, Big Bang, teleologi, spiritualitas kosmik, dialog sains dan
filsafat, etika kosmik, realitas transenden.
PEMBAHASAN
Kajian Kosmologi dalam Filsafat dan Sains
1.
Pendahuluan
Pertanyaan tentang asal-usul, struktur, dan makna
alam semesta merupakan salah satu perenungan paling tua dalam sejarah pemikiran
manusia. Sejak masa awal filsafat, manusia telah berupaya memahami hakikat
kosmos—apakah ia hasil dari kebetulan, keteraturan, atau kehendak transenden.
Dalam konteks ini, kosmologi metafisik hadir bukan sekadar sebagai usaha
ilmiah untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisik, tetapi sebagai cabang
filsafat yang mencoba menyelami fondasi ontologis dan prinsip-prinsip hakiki
dari seluruh realitas yang ada.
Kosmologi metafisik berbeda dari kosmologi ilmiah
dalam hal pendekatannya. Bila kosmologi ilmiah seperti astrofisika dan
kosmologi fisik modern berlandaskan pada pengamatan empiris dan metode
kuantitatif, maka kosmologi metafisik bergerak di wilayah spekulatif dan
rasional yang lebih dalam. Ia tidak sekadar bertanya "bagaimana"
semesta bekerja, tetapi "mengapa" dan "untuk apa"
semesta itu ada. Misalnya, pertanyaan tentang sebab pertama (causa prima),
keberadaan abadi (necessary being), serta struktur hierarkis dalam realitas
adalah tema-tema sentral dalam kosmologi metafisik yang tidak dapat dijawab
sepenuhnya oleh metode empiris murni¹.
Dalam filsafat klasik, Plato dan Aristoteles
adalah dua tokoh utama yang memberikan fondasi awal bagi kajian kosmologi
metafisik. Dalam Timaeus, Plato memandang semesta sebagai ciptaan
rasional dari seorang Demiurgos, pengatur kosmik yang menyusun chaos menjadi
kosmos berdasarkan bentuk-bentuk ideal². Sementara itu, Aristoteles dalam Metaphysics
memperkenalkan konsep “motor tak bergerak” (unmoved mover) sebagai
penyebab pertama dari gerak kosmis³. Gagasan-gagasan ini kemudian menjadi
landasan bagi pemikiran metafisik dalam berbagai tradisi, termasuk filsafat
Islam dan skolastik Kristen.
Di sisi lain, perkembangan kosmologi ilmiah
modern—terutama setelah teori relativitas Einstein dan model Big Bang—membawa
pertanyaan-pertanyaan baru yang tak jarang justru menghidupkan kembali minat
pada dimensi metafisik dari kosmos. Contohnya, konsep "fine-tuning"
dalam fisika modern menimbulkan perdebatan apakah keteraturan semesta
menunjukkan desain rasional atau sekadar kebetulan statistik⁴. Dalam situasi
inilah, kosmologi metafisik menawarkan kontribusi unik: ia membangun dialog
antara sains dan filsafat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental
mengenai asal-usul, makna, dan tujuan realitas semesta.
Dengan demikian, kajian kosmologi metafisik menjadi
relevan tidak hanya untuk ranah filsafat spekulatif, tetapi juga sebagai
jembatan antara disiplin ilmu, spiritualitas, dan refleksi eksistensial.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis fondasi, struktur, dan
dinamika pemikiran dalam kosmologi metafisik, serta menelusuri relevansinya
dalam konteks kontemporer.
Footnotes
[1]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 91–93.
[2]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 28–29.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross,
in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern
Library, 2001), Book XII, 1072a–1073a.
[4]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the
Universe Just Right for Life? (London: Penguin Books, 2006), 150–155.
2.
Konsep Dasar Kosmologi dalam Filsafat
Kosmologi dalam filsafat merupakan cabang kajian
yang menelaah struktur, asal-usul, dan prinsip fundamental yang
melandasi keberadaan dan keteraturan semesta. Secara etimologis, istilah “kosmologi”
berasal dari bahasa Yunani: kosmos yang berarti “dunia yang
tertata” atau “tatanan”, dan logos yang berarti “akal”
atau “ilmu”. Maka, kosmologi secara literal merujuk pada "ilmu
tentang tatanan semesta".¹
Berbeda dengan kosmologi dalam fisika atau
astronomi modern yang menekankan aspek kuantitatif, matematis, dan empiris, kosmologi
dalam filsafat bersifat metafisik—yakni menyelidiki realitas semesta dalam
kerangka ontologis dan kausal. Dalam tradisi filsafat klasik, kosmologi
tidak hanya mempertanyakan apa yang membentuk alam semesta, tetapi juga mengapa
dan untuk apa ia ada. Di sinilah letak kosmologi sebagai bagian integral
dari metafisika, karena menyentuh aspek-aspek terdalam realitas, seperti sebab
pertama (prima causa), keberadaan niscaya (necessary being),
hierarki eksistensial, dan tujuan kosmik (telos).²
Kosmologi metafisik beroperasi dalam medan
perenungan yang melibatkan beberapa tema inti:
1)
Keberadaan sebagai Realitas Fundamental:
Segala yang
ada dalam kosmos merupakan bagian dari realitas keberadaan (being), yang
menjadi fokus utama dari metafisika. Dalam pandangan Aristoteles, filsafat
pertama (metafisika) adalah ilmu yang menyelidiki “ada sebagai ada” (being
qua being)³. Kosmologi mengadopsi perspektif ini untuk menelusuri bagaimana
"ada" itu terwujud dalam skala kosmik.
2)
Struktur Hierarkis Realitas:
Dalam banyak
sistem metafisika klasik, kosmos dipahami memiliki struktur hierarkis yang
mencerminkan tingkatan eksistensi, dari materi kasar hingga bentuk yang paling
sempurna. Misalnya, dalam filsafat Neoplatonisme, realitas berasal dari Yang
Esa (The One), lalu memancar turun ke akal (Nous), jiwa semesta (World
Soul), hingga alam materi⁴. Struktur ini menekankan bahwa semesta bukan
sekadar agregat benda, tetapi sistem keteraturan yang memiliki arah dan
jenjang.
3)
Prinsip Kausalitas dan Kontingensi:
Kosmologi
metafisik mengkaji pertanyaan seperti: apakah semesta ini abadi atau tercipta?
Adakah penyebab yang mendasari kemunculan dan keteraturannya? Ibn Sina,
misalnya, membedakan antara wajib al-wujud (yang wajib ada) dan mumkin
al-wujud (yang mungkin ada) untuk menjelaskan bahwa segala sesuatu yang
mungkin membutuhkan penyebab, dan pada akhirnya merujuk pada sesuatu yang
niscaya keberadaannya⁵. Pendekatan ini memberikan dasar ontologis bagi
pencarian akan “sebab pertama”.
4)
Kosmos sebagai Tatanan Rasional:
Salah satu
warisan penting dari filsafat Yunani adalah pandangan bahwa semesta bukanlah
kekacauan acak, melainkan tatanan yang dapat dipahami oleh akal. Dalam Timaeus,
Plato menggambarkan dunia sebagai makhluk hidup rasional yang dibentuk oleh
Demiurgos berdasarkan model kekal dari bentuk-bentuk ideal⁶. Gagasan ini
menjadi dasar bagi pandangan teleologis, yakni bahwa semesta memiliki arah dan
maksud tertentu.
5)
Hubungan antara Makro dan Mikro:
Kosmologi
metafisik juga menyoroti keterkaitan antara manusia sebagai mikrokosmos
dan semesta sebagai makrokosmos. Dalam banyak tradisi filsafat dan
spiritualitas, manusia dipandang sebagai cerminan dari struktur kosmik.
Pandangan ini menumbuhkan pemahaman bahwa mengenal semesta adalah jalan
untuk mengenal diri sendiri dan realitas tertinggi⁷.
Dengan demikian, kosmologi dalam filsafat bukan
sekadar spekulasi abstrak, melainkan pencarian mendalam akan makna, struktur,
dan prinsip tertinggi dari seluruh eksistensi. Ia menjadi jembatan antara
ontologi (ilmu tentang ada) dan aksiologi (ilmu tentang nilai), karena
pemahaman tentang struktur kosmos membawa implikasi etis dan eksistensial yang
besar bagi manusia.
Footnotes
[1]
Edward Craig, ed., The Shorter Routledge
Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2005), s.v. “Cosmology.”
[2]
Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1992), 71–74.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross,
in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern
Library, 2001), Book IV, 1003a21.
[4]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), V.1–3.
[5]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of The Healing,
trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005),
241–244.
[6]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 28–29.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997),
4–6.
3.
Sejarah Perkembangan Kosmologi Metafisik
Kosmologi metafisik,
sebagai salah satu percabangan penting dalam filsafat, telah mengalami
perkembangan panjang dan kompleks dari era Yunani Kuno hingga pemikiran
kontemporer. Perjalanan ini tidak hanya mencerminkan perubahan dalam cara
manusia memahami alam semesta, tetapi juga mencerminkan dinamika interaksi
antara filsafat, agama, dan ilmu pengetahuan.
3.1. Kosmologi Yunani Kuno: Awal Pencarian Rasional atas
Kosmos
Kosmologi metafisik
bermula dari para filsuf Presokratik seperti Thales,
Anaximandros, dan Herakleitos yang mencoba menjelaskan asal-usul kosmos secara
rasional tanpa mengandalkan mitologi. Mereka memperkenalkan konsep arche
(prinsip pertama) sebagai dasar segala sesuatu¹. Dalam Timaeus,
Plato
mengemukakan bahwa kosmos adalah makhluk hidup rasional yang diciptakan oleh Demiurgos
(pengrajin ilahi) menurut cetak biru bentuk-bentuk ideal, sehingga semesta
memiliki keteraturan dan keindahan². Sementara itu, Aristoteles
memperkenalkan gagasan tentang motor tak bergerak (unmoved
mover) sebagai prinsip pertama dari gerak dalam semesta.
Menurutnya, kosmos bersifat abadi dan bergerak dalam lingkaran sempurna, dipicu
oleh daya tarik entitas yang tak bergerak namun menjadi tujuan dari segala
gerak³.
3.2. Kosmologi dalam Filsafat Islam: Sintesis Akal dan
Wahyu
Kosmologi metafisik
berkembang secara signifikan dalam dunia Islam, terutama melalui pemikiran para
filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina
(Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes). Mereka
mengembangkan sintesis antara filsafat Yunani, khususnya Aristotelianisme dan
Neoplatonisme, dengan prinsip-prinsip teologis Islam. Ibn Sina menjelaskan
struktur kosmos sebagai emanasi dari Tuhan Yang Maha Esa (Wajib al-Wujud), di
mana dari-Nya mengalir eksistensi berbagai entitas kosmik secara bertingkat,
mulai dari akal-akal langit hingga dunia materi⁴. Kosmos dalam pandangannya
bukan hasil dari kehendak temporal, melainkan pancaran niscaya dari keberadaan
Tuhan⁵. Meskipun pemikiran ini dikritik oleh teolog seperti Al-Ghazali, yang
mempertanyakan gagasan keabadian alam, namun kosmologi Ibn Sina tetap menjadi
tonggak penting dalam tradisi metafisika Islam.
3.3. Kosmologi Skolastik: Penalaran Kosmik dalam Bingkai
Teologi Kristen
Di Eropa Abad
Pertengahan, kosmologi metafisik diteruskan oleh filsuf skolastik seperti Thomas
Aquinas, yang menggabungkan Aristotelianisme dengan teologi
Kristen. Ia mempertahankan konsep actus purus dan causa
prima sebagai dasar dari penciptaan semesta. Menurut Aquinas, Tuhan
adalah penyebab pertama yang tak disebabkan, dan semesta adalah ciptaan
kontingen yang bergantung secara mutlak kepada-Nya⁶. Dalam konteks ini,
kosmologi tidak hanya menjelaskan struktur semesta, tetapi juga berfungsi
sebagai dasar rasional bagi teologi alam (natural theology).
3.4. Tantangan dari Kosmologi Modern: Pemisahan
Metafisika dan Sains
Revolusi ilmiah yang
dimulai pada abad ke-17 membawa perubahan besar dalam kosmologi. Descartes
mereduksi semesta menjadi sistem mekanistik yang tersusun dari ekstensi dan
gerak, sedangkan Newton menggambarkan alam
semesta sebagai mesin raksasa yang beroperasi berdasarkan hukum-hukum
universal⁷. Meskipun masih mempertahankan gagasan Tuhan sebagai pencipta,
pendekatan ini menggeser pusat perhatian dari aspek metafisik ke aspek fisikal.
Kosmologi menjadi ranah sains murni yang dianggap tidak memerlukan fondasi
metafisik.
Immanuel
Kant, meskipun tidak sepenuhnya menolak metafisika, menunjukkan
batas-batas rasionalitas manusia dalam memahami totalitas kosmos. Dalam Critique
of Pure Reason, ia mengemukakan “antinomies of reason” yang
menunjukkan bahwa baik argumen tentang keterhinggaan maupun keabadian dunia
dapat dibenarkan secara logis, yang berarti bahwa kosmologi spekulatif
terperangkap dalam paradoks⁸. Hal ini membuat banyak filsuf modern menjadi
skeptis terhadap validitas kosmologi metafisik.
3.5. Kebangkitan Kosmologi Metafisik di Era Kontemporer
Meskipun sempat
surut, kosmologi metafisik mengalami kebangkitan di abad ke-20 dan 21, terutama
melalui pendekatan-pendekatan baru seperti proses kosmologi (Whitehead)
dan pemikiran kosmoteandrik (Teilhard de Chardin). Teori-teori dalam fisika
modern seperti Big Bang, entropi,
dan fine-tuning
justru memunculkan kembali pertanyaan-pertanyaan metafisik: Mengapa semesta
bermula? Mengapa hukum alam memungkinkan kehidupan? Apakah keteraturan semesta
mengimplikasikan desain? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab
sepenuhnya oleh sains dan mendorong pembaruan minat pada dimensi metafisik dari
kosmos⁹.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin
Books, 2001), 18–22.
[2]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 27–33.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
Book XII, 1072a–1074b.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 84–89.
[5]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of The Healing, trans.
Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 243–250.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.
[7]
Richard Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms
and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 43–55.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A426/B454–A432/B460.
[9]
William Lane Craig and James D. Sinclair, “The Kalam Cosmological
Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William
Lane Craig and J.P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 183–186.
4.
Struktur dan Prinsip-Prinsip Ontologis Kosmos
Kosmologi metafisik
tidak hanya membahas asal-usul semesta, tetapi juga berupaya merumuskan struktur
internal dan prinsip ontologis yang membentuk serta menopang
realitas kosmos. Prinsip-prinsip ini menjadi kerangka rasional untuk memahami
mengapa dan bagaimana semesta memiliki keteraturan, kestabilan, dan arah. Dalam
konteks metafisika, kosmos dipandang bukan sekadar kumpulan entitas
material, melainkan sistem eksistensial yang tersusun berdasarkan hukum dan
tingkatan ontologis.
4.1. Prinsip Causa Prima (Sebab Pertama)
Salah satu prinsip
kunci dalam kosmologi metafisik adalah gagasan sebab pertama (causa prima).
Konsep ini menyatakan bahwa segala yang mengalami perubahan atau muncul ke
dalam eksistensi pasti memiliki sebab. Rantai kausalitas ini tidak dapat
berlangsung tanpa batas (regressus ad infinitum), sehingga harus ada entitas
yang menyebabkan
tanpa disebabkan, yaitu penyebab pertama yang niscaya
keberadaannya. Aristoteles menyebutnya sebagai
motor
tak bergerak (unmoved mover), yang menggerakkan
segala sesuatu karena ia adalah bentuk murni dan objek dari hasrat universal¹.
Dalam versi teistik, penyebab pertama ini identik dengan Tuhan, yang merupakan
sumber dari segala eksistensi².
4.2. Prinsip Actus Purus dan Hierarki Eksistensi
Dalam metafisika
skolastik, terutama menurut Thomas Aquinas, Tuhan sebagai
penyebab pertama juga merupakan actus purus—yakni keberadaan murni
yang tidak memiliki potensi dan karena itu tidak berubah. Setiap entitas lain
dalam kosmos memiliki gabungan actus (aktualitas) dan potentia
(kemungkinan). Semakin besar aktualitas dan semakin kecil
potensinya, semakin tinggi tingkat eksistensinya³. Maka, semesta dipahami
sebagai struktur hierarkis, dari bentuk
eksistensi tertinggi (Tuhan), ke para malaikat, jiwa rasional (manusia), hewan,
tumbuhan, benda mati, hingga materi murni.
Pandangan serupa
juga dikembangkan dalam filsafat Islam oleh Ibn Sina, yang membedakan
antara wajib
al-wujud (yang keberadaannya niscaya) dan mumkin
al-wujud (yang keberadaannya mungkin). Segala sesuatu yang mungkin
ada tidak dapat menjelaskan eksistensinya sendiri, dan karena itu bergantung
pada entitas yang niscaya⁴. Struktur ini membentuk tangga
ontologis yang menghubungkan realitas duniawi dengan sumber
ilahiah.
4.3. Prinsip Keteraturan dan Finalitas
Salah satu ciri khas
dari kosmos dalam pandangan metafisik adalah keteraturan internal yang inheren,
yang tidak sekadar bersifat mekanistik, melainkan memiliki tujuan
(telos). Dalam Physics dan Metaphysics,
Aristoteles menegaskan bahwa alam bertindak untuk suatu tujuan, dan setiap
proses alami bergerak menuju kondisi yang sesuai dengan kodratnya⁵. Ini berarti
bahwa kosmos tidak bergerak secara acak, melainkan berstruktur
secara teleologis—semesta memiliki arah dan maksud.
Konsep ini mendapat
tempat penting dalam teologi alam dan kosmologi metafisik. Dalam filsafat
Islam, Al-Farabi dan Ibn Rushd juga mengafirmasi keteraturan kosmos sebagai
bukti dari hikmah ilahiah⁶. Finalitas kosmis menunjukkan bahwa semesta bukan
hanya disusun berdasarkan hukum, tetapi juga dimaknai oleh tujuan yang inheren
dalam tatanan eksistensialnya.
4.4. Relasi antara Esensi dan Eksistensi
Prinsip lain yang
penting dalam struktur ontologis kosmos adalah relasi antara esensi (mahiyyah)
dan eksistensi (wujud). Menurut Ibn Sina dan Aquinas, esensi adalah apa
dari suatu hal, sedangkan eksistensi adalah bahwa hal itu ada. Pada makhluk
kontingen, keduanya terpisah: ada hal yang secara esensial mungkin, tetapi
hanya aktual jika diberi eksistensi oleh sebab luar. Sebaliknya, dalam Tuhan,
esensi dan eksistensi adalah satu dan sama⁷. Relasi ini menjadi kunci dalam
memahami kontingensi kosmos dan keniscayaan Tuhan,
serta menegaskan bahwa realitas semesta tidak mandiri, tetapi
bergantung secara mutlak pada sumber eksistensialnya.
4.5. Keterpaduan antara Kausalitas Vertikal dan
Horizontal
Struktur kosmos
dalam kosmologi metafisik melibatkan dua jenis kausalitas:
1)
Kausalitas horizontal,
yaitu hubungan sebab-akibat antar peristiwa atau entitas dalam waktu dan ruang
(misalnya, api menyebabkan kayu terbakar).
2)
Kausalitas vertikal,
yaitu relasi antara eksistensi kontingen dan penyebab niscaya pada setiap momen
(misalnya, keberadaan kayu pada saat ini tergantung pada Tuhan sebagai sumber
wujudnya).
Etienne
Gilson menekankan bahwa kausalitas vertikal merupakan dasar
paling dalam dari eksistensi kosmos, karena tanpa fondasi dari keberadaan
murni, semua wujud akan lenyap⁸. Dengan demikian, kosmos dipahami bukan sebagai
mesin tertutup, tetapi sebagai sistem terbuka yang tergantung
secara ontologis pada prinsip transenden.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
Book XII, 1072a–1073b.
[2]
William Lane Craig, The Kalām Cosmological Argument (Eugene,
OR: Wipf & Stock, 2000), 133–135.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.2.
[4]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of The Healing, trans.
Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 241–247.
[5]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library,
2001), Book II, 194a–198a.
[6]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 61–66.
[7]
Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 38–45.
[8]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 100–105.
5.
Kosmologi Metafisik dalam Perspektif Tradisi
Agama
Kosmologi metafisik
tidak hanya lahir dari tradisi filsafat rasional, tetapi juga berkembang secara
integral dalam wacana teologi dan spiritualitas agama-agama besar.
Dalam banyak ajaran agama samawi seperti Islam, Kristen, dan Yudaisme,
pemahaman tentang kosmos tidak bisa dilepaskan dari doktrin tentang penciptaan,
kehendak ilahi, dan tujuan eksistensial semesta. Kosmos
dipandang bukan sebagai entitas otonom, melainkan sebagai manifestasi dari
kehendak Tuhan dan arena bagi keterlibatan ilahiah dalam sejarah manusia.
5.1. Konsepsi Penciptaan dan Keberadaan Tertinggi
Dalam ketiga agama
Abrahamik, konsep dasar yang mendasari kosmologi adalah penciptaan
semesta ex nihilo—yakni, bahwa Tuhan menciptakan alam dari
ketiadaan, bukan dari materi yang telah ada sebelumnya. Dalam Kitab
Kejadian, tertulis bahwa “Pada mulanya Allah menciptakan langit
dan bumi” (Kejadian 1:1)⁽¹⁾. Hal ini menegaskan bahwa semesta
bukan kekal, tetapi memiliki awal yang ditentukan oleh kehendak transenden.
Pemahaman ini berbeda dari beberapa tradisi filosofis Yunani seperti
Aristoteles, yang berpendapat bahwa alam bersifat abadi.
Dalam Islam,
konsep ini ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur'an, seperti: “Allah
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam
masa” (Q.S. As-Sajdah [32] ayat 4)⁽²⁾. Tuhan dalam Islam,
sebagaimana ditegaskan oleh para teolog seperti Al-Ash‘ari dan Al-Maturidi,
adalah al-Khāliq
(Pencipta) yang menciptakan seluruh eksistensi tanpa
membutuhkan bahan, waktu, atau sebab eksternal. Ini memperkuat prinsip kontingensi
kosmos dan keniscayaan Tuhan dalam
struktur ontologis keberadaan.
5.2. Struktur Kosmik sebagai Manifestasi Kehendak Ilahi
Tradisi agama
mengajarkan bahwa kosmos merupakan manifestasi dari hikmah dan kehendak Tuhan.
Dalam pandangan ini, setiap elemen dalam semesta memiliki posisi, fungsi, dan
tujuan tertentu yang ditetapkan secara sadar oleh Tuhan. Thomas
Aquinas, misalnya, menyatakan bahwa keteraturan dan tujuan
dalam alam semesta adalah bukti adanya intelligent designer⁽³⁾. Semesta
bukan hanya ada, tetapi ada dengan maksud.
Dalam tasawuf
dan filsafat Islam, gagasan tentang kosmos sebagai “tajalli”
(penampakan) atau “manifestasi” dari asma dan sifat Allah juga
menjadi pusat kosmologi metafisik. Ibnu Arabi menegaskan bahwa
segala sesuatu di alam merupakan bentuk penyingkapan dari al-Haqq
(Yang Maha Benar), sehingga kosmos bukan hanya ciptaan, tetapi juga cermin
kehadiran Tuhan dalam eksistensi⁽⁴⁾. Pemikiran ini
mengintegrasikan aspek ontologis, spiritual, dan metafisik secara menyeluruh.
5.3. Waktu dan Kekekalan: Antara Transendensi dan
Sejarah
Agama-agama samawi
memiliki pemahaman khas tentang waktu sebagai dimensi linear
yang memiliki awal dan akhir, berbeda dengan pandangan siklis dalam banyak
sistem kosmologi Timur. Dalam Al-Qur'an dan Alkitab, waktu dilihat sebagai arena
ujian dan wahyu, bukan sebagai lingkaran tanpa arah. Tuhan
berada di luar waktu (transenden), namun juga bertindak dalam waktu
(imanen)⁽⁵⁾.
Dalam Islam,
misalnya, waktu tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga secara
ontologis—ia adalah makhluk Tuhan (Q.S. Al-‘Asr [103]), dan keberadaan makhluk
tergantung pada hubungan mereka dengan waktu dan takdir. Konsepsi ini
menunjukkan ketergantungan eksistensial kosmos kepada
Tuhan, tidak hanya dalam penciptaannya, tetapi dalam pelestariannya secara
berkelanjutan.
5.4. Kosmos dan Tujuan Eksistensial: Perspektif Teologis
dan Eskatologis
Kosmologi dalam
agama tidak netral secara nilai; ia selalu dikaitkan dengan tujuan moral dan spiritual
semesta. Dalam pandangan keagamaan, kosmos diciptakan untuk
suatu maksud tertentu—yakni, sebagai wadah bagi kehendak Tuhan dan tempat manusia
menjalankan tanggung jawab eksistensialnya.
Dalam Islam,
Al-Qur'an menegaskan: “Tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main” (Q.S.
Ad-Dukhan [44] ayat 38)⁽⁶⁾. Pernyataan ini menekankan teleologi
kosmis—bahwa semesta memiliki makna yang dalam dan tidak
sia-sia. Dalam Kekristenan, doktrin eskatologi juga berperan penting, yaitu
bahwa semesta bergerak menuju pemulihan dan pembaruan akhir (New Heaven and New
Earth dalam Wahyu 21:1)⁽⁷⁾.
Dengan demikian,
kosmologi metafisik dalam tradisi agama tidak hanya menjelaskan asal-usul dan
struktur kosmos, tetapi juga memberikan orientasi spiritual dan moral
bagi manusia sebagai makhluk yang sadar akan posisinya dalam tatanan semesta.
Footnotes
[1]
The Holy Bible, New International Version (Grand Rapids, MI:
Zondervan, 2011), Genesis 1:1.
[2]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, ed. Kementerian Agama Republik Indonesia
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), Q.S. As-Sajdah [32]: 4.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.
[4]
Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, vol. I, ed. Osman Yahya
(Cairo: Al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Matābi‘ al-Amīriyyah, 1911), 110–115.
[5]
William Lane Craig, Time and Eternity: Exploring God's Relationship
to Time (Wheaton, IL: Crossway, 2001), 120–124.
[6]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Q.S. Ad-Dukhan [44]: 38.
[7]
The Holy Bible, New International Version, Revelation 21:1.
6.
Dialog antara Kosmologi Metafisik dan Kosmologi
Sains
Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan modern, terutama dalam bidang fisika dan
astronomi, kosmologi telah mengalami pergeseran besar dari dominasi pendekatan
metafisik dan teologis menuju analisis empiris dan matematis. Namun demikian,
kemajuan kosmologi sains justru membuka peluang bagi dialog
produktif antara dimensi saintifik dan metafisik. Keduanya,
meskipun berangkat dari metode dan tujuan yang berbeda, sama-sama berusaha
menjawab pertanyaan fundamental mengenai asal-usul, struktur, dan makna alam semesta.
6.1. Perbedaan Pendekatan: Empiris vs Ontologis
Kosmologi sains,
sebagaimana dikembangkan dalam kerangka teori relativitas umum dan mekanika
kuantum, memusatkan perhatian pada pengamatan terhadap fenomena kosmis
seperti radiasi latar gelombang mikro, pengembangan ruang waktu, dan distribusi
galaksi. Model Big Bang, misalnya, menjelaskan
bahwa semesta bermula sekitar 13,8 miliar tahun lalu dari kondisi sangat padat
dan panas⁽¹⁾. Kosmologi sains bertujuan untuk menjawab “bagaimana” semesta terjadi dan
berfungsi, bukan “mengapa” atau “untuk apa”.
Sebaliknya,
kosmologi metafisik bertanya tentang landasan keberadaan: mengapa
ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali? Pertanyaan ini tidak
dapat dijawab oleh data observasi saja, melainkan menuntut refleksi ontologis
mengenai sebab pertama, keberadaan niscaya, dan tujuan
semesta⁽²⁾. Karena itu, dialog antara dua pendekatan ini tidak
bersifat kompetitif, melainkan komplementer.
6.2. Big Bang dan Masalah Awal
Salah satu titik
temu penting antara kosmologi sains dan metafisika adalah pertanyaan
tentang awal mula semesta. Teori Big Bang, dengan segala
keberhasilannya menjelaskan ekspansi semesta, menimbulkan pertanyaan metafisik
mendalam: apa yang menyebabkan Big Bang?
Apakah waktu dan ruang juga tercipta bersamaan dengannya, dan jika ya, apa yang
ada “sebelum” itu?
Fisikawan seperti Stephen
Hawking mencoba menjawabnya dengan model no-boundary,
yang menyatakan bahwa waktu “berubah” menjadi dimensi spasial di awal
semesta, sehingga pertanyaan tentang “sebelum Big Bang” menjadi tidak
bermakna dalam kerangka matematis⁽³⁾. Namun, filsuf seperti William
Lane Craig berargumen bahwa model-model fisika tidak bisa menjelaskan mengapa semesta
muncul dari ketiadaan, dan karenanya tetap membutuhkan sebab metafisik atau
agen transenden⁽⁴⁾.
6.3. Fine-Tuning dan Pertanyaan tentang Desain
Isu lain yang
membuka ruang bagi dialog kosmologi metafisik dan sains adalah fenomena fine-tuning.
Banyak konstanta fisika dasar (seperti konstanta gravitasi, kecepatan cahaya,
dan rasio massa partikel) berada dalam rentang sangat sempit yang memungkinkan
terbentuknya kehidupan. Jika konstanta-konstanta ini berbeda sedikit saja,
semesta yang mendukung kehidupan tidak akan ada⁽⁵⁾.
Penjelasan terhadap
fine-tuning terbagi menjadi tiga: kebetulan, multiverse, atau desain.
Pandangan metafisik (dan teologis) melihat fine-tuning sebagai indikasi
adanya tujuan dan kebijaksanaan di balik struktur semesta.
Dalam pandangan John Polkinghorne, seorang
fisikawan dan teolog, "dalam menemukan dunia yang begitu tertata dan dapat
dikenali oleh akal manusia, kita melihat jejak dari Rasio Ilahi"⁽⁶⁾.
6.4. Keterbatasan Penjelasan Saintifik dan Peran
Metafisika
Sains memiliki
kekuatan besar dalam menjelaskan fenomena, tetapi ia
memiliki keterbatasan dalam menjelaskan fondasi ontologis keberadaan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti:
·
Mengapa hukum-hukum fisika
berlaku?
·
Mengapa semesta memiliki
struktur rasional yang dapat dipahami?
·
Apakah hukum alam itu
entitas real atau hanya deskripsi matematis?
tidak dapat dijawab secara tuntas oleh metode
empiris. Di sinilah metafisika berfungsi sebagai penyelaras
reflektif, memberikan kerangka interpretatif
dan kedalaman makna atas data saintifik⁽⁷⁾.
Sebagaimana
dikatakan Werner Heisenberg, salah satu
pelopor mekanika kuantum, “Ilmu alam tidak menjawab pertanyaan tentang mengapa dunia ini ada… Untuk itu kita
perlu filsafat”⁽⁸⁾.
6.5. Kolaborasi antara Rasio dan Iman: Jalan Menuju
Pemahaman Holistik
Dalam pendekatan
integratif, kosmologi metafisik dan kosmologi sains dapat saling melengkapi.
Sains menawarkan deskripsi mekanistik, sementara
metafisika menawarkan pemahaman ontologis dan teleologis.
Pendekatan ini tidak hanya memperluas cakrawala pengetahuan manusia, tetapi
juga membuka
ruang bagi dialog antara rasio dan iman, antara observasi dan
kontemplasi.
Kosmologi metafisik
tidak berusaha menggantikan sains, tetapi mengajukan pertanyaan yang mendalam
dan melampaui batas empiris. Sebaliknya, sains menyediakan fondasi
observasional yang kaya untuk ditafsirkan secara filosofis. Dengan demikian, dialog
antara keduanya menciptakan pemahaman kosmos yang lebih utuh,
baik dari sisi struktur fisiknya maupun makna eksistensialnya.
Footnotes
[1]
Stephen Hawking and Roger Penrose, The Nature of Space and Time
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1996), 36–38.
[2]
Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 1992), 88–92.
[3]
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam
Books, 1988), 134–136.
[4]
William Lane Craig and James D. Sinclair, “The Kalam Cosmological
Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William
Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 183–190.
[5]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right
for Life? (London: Penguin Books, 2006), 111–116.
[6]
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(Minneapolis: Fortress Press, 1998), 76–78.
[7]
Anthony Kenny, The Unknown God: Agnostic Essays (London:
Continuum, 2004), 59–63.
[8]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 206.
7.
Kosmologi Kontemporer dan Tantangan Baru
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat di abad ke-20 dan ke-21 telah membawa kosmologi pada
medan yang semakin kompleks. Kemajuan dalam fisika teoritis, astronomi observasional,
dan matematika kosmologis tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang
struktur alam semesta, tetapi juga menimbulkan tantangan-tantangan filosofis baru
terhadap kerangka kosmologi metafisik tradisional. Tantangan ini tidak selalu
bersifat destruktif, melainkan membuka ruang penafsiran ulang terhadap makna,
struktur, dan tujuan kosmos dalam cahaya pemikiran kontemporer.
7.1. Kosmologi Proses: Dari Substansi ke Peristiwa
Salah satu tantangan
utama terhadap kosmologi metafisik klasik datang dari filsafat proses yang
dikembangkan oleh Alfred North Whitehead. Dalam
bukunya Process
and Reality, Whitehead mengkritik pemikiran metafisika tradisional
yang berpusat pada substansi tetap, dan menggantinya dengan realitas sebagai
rangkaian peristiwa yang terus-menerus terjadi (actual occasions).¹
Dalam kerangka ini, kosmos bukanlah entitas statis, melainkan
proses dinamis yang bersifat kreatif dan terbuka.
Kosmologi proses
menekankan bahwa segala sesuatu berada dalam keterkaitan dan perubahan terus-menerus,
di mana Tuhan sendiri dipahami sebagai realitas yang memuat aspek abadi (primordial
nature) dan aspek temporal (consequent nature)². Hal ini
menantang konsep Tuhan sebagai actus purus yang sepenuhnya tidak
berubah, sebagaimana dikemukakan dalam metafisika skolastik.
7.2. Kosmologi Kuantum dan Kehampaan Kreatif
Fisikawan
kontemporer telah mengembangkan model-model kosmologis berbasis teori kuantum,
seperti kosmologi inflasi kuantum, teori
string, dan mekanika kuantum gravitasi.
Salah satu implikasi menarik dari teori ini adalah kemungkinan penciptaan
semesta dari “vakum kuantum” atau
fluktuasi energi kosong. Lawrence Krauss, misalnya, berargumen
dalam A
Universe from Nothing bahwa hukum fisika dapat menjelaskan
bagaimana semesta muncul tanpa sebab transenden³.
Namun pendekatan ini
dikritik oleh para filsuf karena istilah "nothing" dalam
fisika kuantum sebenarnya merujuk pada keadaan fisik yang tetap memiliki struktur
hukum dan potensi eksistensial—bukan “ketiadaan mutlak”
sebagaimana dimaksud dalam metafisika⁴. Oleh karena itu, klaim bahwa sains
telah “menghapus” kebutuhan akan metafisika dinilai tergesa-gesa
dan menyederhanakan kompleksitas ontologis realitas.
7.3. Multiverse dan Krisis Antroposentrisme
Konsep multiverse—yakni
keberadaan banyak semesta yang mungkin tak terbatas jumlahnya—telah dikemukakan
sebagai solusi terhadap problem fine-tuning. Jika terdapat tak terhingga
banyaknya semesta dengan variasi kondisi fisika, maka semesta kita hanyalah
salah satu dari sekian banyak yang “kebetulan” cocok untuk kehidupan⁵.
Namun, secara metafisik, model ini
menimbulkan pertanyaan: apakah
multiverse benar-benar menjelaskan, atau hanya menghindari, kebutuhan akan
penjelasan eksistensial?⁶. Selain itu, multiverse berpotensi menggeser
makna dan nilai eksistensi manusia, yang dalam banyak tradisi
dipandang sebagai pusat makna semesta (antroposentrisme), menjadi “kebetulan
statistik”.
7.4. Rehabilitasi Teleologi dan Transendensi
Meskipun
tantangan-tantangan ilmiah dan filosofis muncul, beberapa pemikir kontemporer
justru menyerukan kembalinya refleksi metafisik dan spiritual
dalam kosmologi. Filsuf seperti Robert C. Koons dan Edward
Feser mengembangkan kembali pendekatan teleologis dan
hylomorfik (materi-bentuk) dalam memahami alam semesta, dengan berargumen bahwa
keteraturan
dan tujuan dalam alam tidak bisa direduksi menjadi proses buta atau kebetulan
mekanistik⁷.
Bahkan dalam
kalangan ilmuwan, terdapat kesadaran bahwa struktur kosmos terlalu kompleks dan rasional
untuk dipahami sebagai entitas tanpa makna. Paul
Davies, dalam The Mind of God, menyatakan bahwa
keberadaan hukum-hukum fisika yang dapat dikenali dan dirumuskan secara
matematis menunjukkan bahwa alam semesta mengandung prinsip-prinsip
rasional yang selaras dengan intuisi metafisik tentang keteraturan dan desain⁸.
7.5. Kosmologi dan Krisis Makna di Era Postmodern
Di tengah semaraknya
pencapaian saintifik, peradaban kontemporer menghadapi krisis
makna yang tidak bisa dijawab oleh sains semata. Kosmologi
sebagai narasi besar yang menyatukan pemahaman tentang asal-usul, struktur, dan
tujuan hidup manusia mengalami fragmentasi. Kosmologi metafisik, dengan seluruh
perangkat ontologis dan spiritualnya, dapat berkontribusi pada pemulihan narasi kosmik yang
koheren, yang tidak hanya menjelaskan “apa” dan “bagaimana”,
tetapi juga “mengapa” kita berada di sini.
Footnotes
[1]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–27.
[2]
Ibid., 343–349.
[3]
Lawrence M. Krauss, A Universe from Nothing: Why There Is Something
Rather than Nothing (New York: Free Press, 2012), 145–148.
[4]
David Albert, “On the Origin of Everything,” The New York Times,
March 23, 2012, https://www.nytimes.com.
[5]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate
Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 81–88.
[6]
George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?” Scientific
American 305, no. 2 (2011): 38–43.
[7]
Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San
Francisco: Ignatius Press, 2017), 135–154.
[8]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 200–203.
8.
Implikasi Etis dan Eksistensial Kosmologi
Metafisik
Kosmologi metafisik
tidak hanya menawarkan pandangan spekulatif tentang asal-usul dan struktur alam
semesta, tetapi juga melahirkan implikasi mendalam terhadap pemahaman manusia
tentang makna hidup, tanggung jawab moral, dan posisi eksistensial dalam kosmos.
Ketika semesta dipahami bukan sekadar sebagai sistem mekanik yang netral,
melainkan sebagai tatanan ontologis dan teleologis yang sarat makna, maka
manusia pun ditempatkan dalam relasi yang sarat nilai terhadap realitas itu
sendiri.
8.1. Manusia sebagai Mikrokosmos: Refleksi Makna dan
Posisi Ontologis
Dalam tradisi
metafisik klasik dan keagamaan, manusia sering digambarkan sebagai mikrokosmos,
yaitu miniatur dari keseluruhan kosmos. Pemikiran ini muncul dalam filsafat
Yunani, filsafat Islam, dan pemikiran mistik Kristen⁽¹⁾. Gagasan ini
menyiratkan bahwa struktur kosmik tercermin dalam struktur batin manusia: rasionalitas,
kehendak, dan jiwa manusia merupakan refleksi dari tatanan
kosmik yang lebih luas.
Konsekuensinya,
memahami kosmos tidak hanya menjadi kegiatan ilmiah atau filosofis, tetapi juga
spiritual dan eksistensial. Kosmologi metafisik mengajak
manusia untuk melihat dirinya sebagai bagian dari tatanan yang lebih besar dan
bertujuan, yang keberadaannya tidak terlepas dari keteraturan dan sumber
transendennya⁽²⁾. Ini memberi dasar ontologis bagi kesadaran etis dan tanggung jawab
moral manusia di dunia.
8.2. Etika Kosmik: Tanggung Jawab terhadap Tatanan
Semesta
Jika semesta
memiliki struktur rasional dan tujuan ilahi, maka tindakan manusia—baik secara
personal maupun sosial—harus selaras dengan tatanan moral dan metafisik itu.
Konsep ini disebut oleh sebagian pemikir sebagai etika
kosmik, yakni etika yang berlandaskan pada keterpaduan antara
manusia dan kosmos.
Filsuf kontemporer
seperti Hans Jonas dalam The
Imperative of Responsibility menegaskan bahwa kesadaran
manusia akan dampak tindakannya terhadap keberlanjutan kosmos menciptakan etika
baru yang melampaui sekadar hukum positif atau utilitarianisme.
Tanggung jawab ekologis, misalnya, menjadi ekspresi konkret dari etika
metafisik yang menyadari keberadaan semesta sebagai sesuatu yang bernilai
intrinsik⁽³⁾.
8.3. Kesadaran Eksistensial: Dari Absurdisme ke Makna
Transenden
Salah satu
pertanyaan sentral dalam filsafat eksistensial modern adalah: apakah
kehidupan memiliki makna dalam semesta yang tampaknya acak dan tidak peduli?
Tokoh-tokoh seperti Albert Camus menyatakan bahwa
dunia bersifat absurd karena tidak menawarkan jawaban atas pencarian makna oleh
manusia⁽⁴⁾.
Namun kosmologi
metafisik, dengan penekanan pada tatanan, tujuan, dan sumber transenden
semesta, memberikan alternatif terhadap nihilisme.
Ketika semesta dipahami sebagai manifestasi dari prinsip rasional dan
spiritual, maka keberadaan manusia tidak terjadi secara acak, melainkan dalam
konteks rencana kosmik yang bermakna.
Ini memberikan landasan bagi harapan, orientasi hidup, dan pengharapan
eskatologis yang tidak dapat diberikan oleh sains semata⁽⁵⁾.
8.4. Spiritualitas Kosmologis: Kontemplasi dan Kehadiran
Ilahi
Kosmologi metafisik
juga memperkaya praktik spiritual. Dalam tradisi kontemplatif baik dalam Islam
(tasawuf), Kristen (mistisisme), maupun Timur, refleksi atas alam semesta
sering menjadi jalan menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi.
Kosmos bukan hanya objek studi, tetapi medan pengalaman spiritual, di
mana keindahan, keteraturan, dan harmoni semesta menjadi tanda-tanda (ayat)
dari realitas yang lebih tinggi.
Ibn
‘Arabi, misalnya, menyebut kosmos sebagai “cermin” bagi
manifestasi Tuhan. Dengan memahami dan merenungkan semesta, manusia dapat
mencapai ma‘rifah (pengetahuan batin) tentang Al-Haqq (Yang Maha Benar)⁽⁶⁾. Ini
menunjukkan bahwa kosmologi bukan hanya masalah epistemologi,
tetapi juga jalan spiritual menuju transendensi.
8.5. Rekonstruksi Nilai dalam Dunia Modern
Di tengah krisis
ekologi, individualisme, dan relativisme moral yang mewarnai zaman modern,
kosmologi metafisik menawarkan kerangka nilai yang kokoh. Ia
mengajarkan bahwa keberadaan manusia terikat secara ontologis dengan realitas
yang lebih besar, sehingga moralitas tidak bisa dipisahkan dari struktur
realitas itu sendiri. Dengan demikian, etika tidak bersifat
arbitrer, tetapi tertanam dalam kodrat eksistensial kosmos dan manusia sebagai
bagian darinya⁽⁷⁾.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 8–12.
[2]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York:
Ballantine Books, 1991), 71–75.
[3]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 121–128.
[4]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 3–5.
[5]
John Haught, God After Darwin: A Theology of Evolution
(Boulder, CO: Westview Press, 2000), 145–149.
[6]
Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyah, vol. I, ed. Osman Yahya
(Cairo: Al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Matābi‘ al-Amīriyyah, 1911), 98–101.
[7]
Edward Feser, The Last Superstition: A Refutation of the New
Atheism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2008), 182–187.
9.
Kritik dan Respons terhadap Kosmologi Metafisik
Kosmologi metafisik,
sebagai usaha rasional untuk memahami hakikat semesta secara ontologis dan
transenden, telah menjadi bagian penting dalam tradisi filsafat sepanjang
sejarah. Namun demikian, tidak lepas dari berbagai kritik, khususnya
dalam era modern dan kontemporer yang didominasi oleh paradigma ilmiah dan
positivistik. Kritik-kritik ini menantang metodologi, validitas, dan relevansi kosmologi
metafisik, serta mengundang respons dari para filsuf metafisika
yang berusaha menunjukkan keberlanjutan dan signifikansi disiplin ini.
9.1. Kritik terhadap Spekulasi Non-Empiris
Salah satu kritik
paling umum datang dari filsafat positivistik dan empirisme logis,
yang menilai bahwa pernyataan metafisik, termasuk kosmologi metafisik, tidak
bermakna secara kognitif karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh seperti A.J. Ayer dalam Language,
Truth and Logic menegaskan bahwa pernyataan metafisika adalah
pseudo-statements—yakni, pernyataan yang tampak seperti klaim pengetahuan,
tetapi sebenarnya tidak bermakna karena tidak dapat diuji melalui
pengalaman⁽¹⁾.
Bagi kalangan ini,
pertanyaan seperti “mengapa ada sesuatu daripada tidak ada” atau “apakah
semesta memiliki tujuan” dianggap tidak produktif secara ilmiah. Mereka
lebih memilih fokus pada deskripsi empiris dan hukum-hukum alam,
tanpa masuk pada wilayah spekulatif yang tidak dapat dibuktikan atau dibantah
secara observasional.
9.2. Relativisme dan Pluralisme Epistemologis
Dalam era
postmodern, kritik terhadap kosmologi metafisik muncul dalam bentuk keraguan
terhadap klaim kebenaran universal dan sistemik. Pemikir
seperti Richard Rorty berpendapat bahwa
metafisika adalah bentuk “metanarrative” yang memaksakan struktur pada
realitas dan mengabaikan keragaman interpretasi manusia⁽²⁾. Dalam pandangan
ini, kosmologi metafisik dianggap sebagai warisan wacana hegemonik Barat yang
perlu ditinjau ulang dalam konteks keberagaman budaya dan bahasa.
Implikasi dari
kritik ini adalah bahwa tidak ada satu kosmologi metafisik yang dapat
mengklaim status final atau objektif, melainkan hanya sekadar
salah satu dari sekian banyak cara manusia memaknai realitas. Kritik ini
menyerukan agar kosmologi metafisik bersikap lebih rendah hati dan terbuka
terhadap pluralitas perspektif.
9.3. Tantangan dari Kosmologi Sains
Kosmologi ilmiah
modern, dengan model seperti Big Bang, inflasi
kosmik, dan teori multiverse, telah
menghasilkan penjelasan-penjelasan yang kuat dan terukur tentang struktur dan
evolusi semesta. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa tidak
perlu lagi bergantung pada penjelasan metafisik atau teologis
untuk menjelaskan asal-usul semesta. Misalnya, Stephen Hawking menyatakan
bahwa karena adanya hukum seperti gravitasi, “semesta dapat dan akan
menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan”⁽³⁾.
Pernyataan seperti
ini memberi kesan bahwa metafisika telah usang dan digantikan oleh fisika
teoritis. Tantangan ini menuntut kosmologi metafisik untuk menjelaskan peran
distingtifnya yang tidak bisa digantikan oleh sains, terutama
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimate tentang eksistensi, nilai, dan
tujuan.
9.4. Respons: Pembelaan terhadap Rasionalitas dan
Signifikansi Kosmologi Metafisik
Sebagai respons,
para pembela kosmologi metafisik menegaskan bahwa sains
dan metafisika bekerja pada level pertanyaan yang berbeda.
Sains menjelaskan bagaimana semesta bekerja melalui
hukum-hukum, tetapi tidak menjawab mengapa hukum itu ada, atau apa
dasar eksistensialnya. David Bentley Hart, misalnya,
berargumen bahwa klaim sains untuk “menghapus Tuhan” adalah bentuk
kategori kekeliruan, karena Tuhan bukan bagian dari semesta yang bisa ditemukan
secara empiris, tetapi merupakan prinsip dasar dari eksistensi itu sendiri⁽⁴⁾.
Lebih lanjut, Edward
Feser menegaskan bahwa keberatan terhadap metafisika sering
kali didasarkan pada kesalahpahaman terhadap klaim metafisik itu sendiri. Ia
menunjukkan bahwa argumentasi seperti argument from contingency, kalam
cosmological argument, atau argument from finality bersifat
logis dan tidak tergantung pada model fisika tertentu⁽⁵⁾. Dengan demikian,
kosmologi metafisik tetap sah dan penting sebagai bagian dari pencarian
rasional manusia terhadap realitas terdalam.
9.5. Dialog Konstruktif antara Metafisika dan Sains
Alih-alih
mempertahankan antagonisme, banyak pemikir kontemporer mengupayakan dialog
harmonis antara kosmologi metafisik dan ilmiah. Mereka melihat
bahwa sains dapat memperkaya kosmologi metafisik melalui data dan teori
empiris, sementara metafisika memberikan kerangka ontologis dan interpretatif
yang lebih dalam bagi sains.
John
Polkinghorne, fisikawan dan teolog, menegaskan bahwa memahami
semesta sebagai hasil dari rasionalitas dan kehendak transenden justru memperluas
makna penemuan ilmiah, bukan meniadakannya⁽⁶⁾. Dengan demikian,
kosmologi metafisik bukanlah residu dari kepercayaan pra-ilmiah, melainkan dimensi
reflektif dari akal yang tetap relevan di tengah kemajuan pengetahuan modern.
Footnotes
[1]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 34–40.
[2]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1979), 385–389.
[3]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New
York: Bantam Books, 2010), 180–182.
[4]
David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness,
Bliss (New Haven: Yale University Press, 2013), 74–76.
[5]
Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco:
Ignatius Press, 2017), 109–123.
[6]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New
Haven: Yale University Press, 1998), 92–95.
10.
Simpulan dan Refleksi Filosofis
Kosmologi metafisik, sebagai cabang filsafat yang
menelaah hakikat realitas semesta secara ontologis dan transenden, tetap
memiliki relevansi yang mendalam dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan paling
mendasar tentang asal-usul, struktur, dan makna eksistensi. Melalui telaah
terhadap prinsip-prinsip seperti causa prima, actus purus, esensi
dan eksistensi, serta finalitas kosmos, kita menemukan bahwa kosmos bukan
hanya objek fisik yang dapat diukur dan diamati, melainkan realitas yang
mengandung dimensi rasional, struktural, dan spiritual yang lebih dalam⁽¹⁾.
Simpulan dari kajian ini menunjukkan bahwa
kosmologi metafisik tidak bermaksud menggantikan kosmologi ilmiah, melainkan melengkapi
dan memperluas horizon pemahaman manusia tentang alam semesta. Di satu
sisi, sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja dalam tatanan hukum-hukum
kuantitatif dan empiris; di sisi lain, kosmologi metafisik bertanya mengapa
hukum-hukum itu ada dan apa makna eksistensial dari keberadaan semesta⁽²⁾.
Dengan demikian, hubungan antara metafisika dan sains bersifat komplementer,
bukan kompetitif.
Dalam ranah etis dan eksistensial, kosmologi
metafisik memberikan fondasi normatif dan spiritual bagi perilaku
manusia. Dengan memahami dirinya sebagai bagian dari kosmos yang rasional dan
bertujuan, manusia dapat membangun etika kosmik yang bertumpu pada tanggung
jawab terhadap tatanan eksistensial, serta menolak pandangan nihilistik yang
meniadakan makna dan nilai dari kehidupan⁽³⁾.
Kritik-kritik terhadap kosmologi metafisik—baik
dari aliran positivistik, relativisme postmodern, maupun saintisme modern—perlu
dipahami sebagai tantangan produktif yang mendorong pendalaman dan
klarifikasi lebih lanjut. Respons filosofis yang muncul menunjukkan bahwa metafisika
tidak tergantikan, karena pertanyaan tentang sebab pertama, kontingensi
keberadaan, dan tujuan semesta tetap berdiri bahkan setelah seluruh persoalan
ilmiah dijawab⁽⁴⁾.
Sebagai refleksi akhir, kosmologi metafisik
mengajak kita untuk melampaui horizon empiris dan menyentuh kedalaman
realitas sebagai ada yang bermakna. Dalam semangat ini, kosmologi bukan
hanya soal peta ruang dan waktu, tetapi juga narasi spiritual dan rasional
tentang tempat manusia dalam keseluruhan tatanan eksistensial. Oleh karena
itu, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, kosmologi
metafisik hadir sebagai jalan kebijaksanaan—sebagai upaya menyatukan
pengetahuan, makna, dan kehadiran transenden dalam satu wawasan filosofis yang
utuh⁽⁵⁾.
Footnotes
[1]
Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1992), 81–84.
[2]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A
Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014),
142–145.
[3]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 9–12.
[4]
David Bentley Hart, The Experience of God:
Being, Consciousness, Bliss (New Haven: Yale University Press, 2013),
83–89.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany, NY: State University of New York Press, 1989), 214–217.
Daftar Pustaka
Albert, D. (2012, March
23). On the origin of everything. The New York Times. https://www.nytimes.com
Aquinas, T. (1947). Summa
theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Bros.
(Original work published c. 1274)
Aquinas, T. (1968). On
being and essence (A. Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval
Studies.
(Original work published c. 1256)
Aristotle. (2001). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle
(pp. 681–926). Modern Library.
Aristotle. (2001). Physics
(R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic
works of Aristotle (pp. 218–394). Modern Library.
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. Dover Publications. (Original work published 1936)
Barnes, J. (2001). Early
Greek philosophy. Penguin Books.
Camus, A. (1991). The
myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.
(Original work published 1942)
Craig, W. L. (2008). Reasonable
faith: Christian truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.
Craig, W. L., &
Sinclair, J. D. (2009). The Kalam cosmological argument. In W. L. Craig &
J. P. Moreland (Eds.), The Blackwell companion to natural theology
(pp. 101–201). Wiley-Blackwell.
Davies, P. (1992). The
mind of God: The scientific basis for a rational world. Simon &
Schuster.
Davies, P. (2006). The
Goldilocks enigma: Why is the universe just right for life? Penguin Books.
Ellis, G. F. R. (2011).
Does the multiverse really exist? Scientific American, 305(2), 38–43.
Feser, E. (2008). The
last superstition: A refutation of the new atheism. St. Augustine’s Press.
Feser, E. (2017). Five
proofs of the existence of God. Ignatius Press.
Feser, E. (2014). Scholastic
metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.
Haught, J. (2000). God
after Darwin: A theology of evolution. Westview Press.
Hart, D. B. (2013). The
experience of God: Being, consciousness, bliss. Yale University Press.
Hawking, S. (1988). A
brief history of time. Bantam Books.
Hawking, S., &
Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.
Hawking, S., & Penrose,
R. (1996). The nature of space and time. Princeton University Press.
Heisenberg, W. (1958). Physics
and philosophy: The revolution in modern science. Harper & Row.
Ibn ‘Arabi. (1911). Futūḥāt
al-Makkiyyah (Vol. 1, O. Yahya, Ed.). Al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn
al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah.
Ibn Sina. (2005). Metaphysics
of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press.
(Original work published 1781/1787)
Krauss, L. M. (2012). A
universe from nothing: Why there is something rather than nothing. Free
Press.
Leaman, O. (1999). A
brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.
Leaman, O. (2002). An
introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University
Press.
Nasr, S. H. (1997). Man
and nature: The spiritual crisis of modern man. ABC International Group.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. State University of New York Press.
Plato. (2000). Timaeus
(D. J. Zeyl, Trans.). Hackett Publishing.
Polkinghorne, J. (1998). Belief
in God in an age of science. Yale University Press.
Polkinghorne, J. (1998). Science
and theology: An introduction. Fortress Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Tarnas, R. (1991). The
passion of the Western mind: Understanding the ideas that have shaped our world
view. Ballantine Books.
Taylor, R. (1992). Metaphysics
(4th ed.). Prentice Hall.
Tegmark, M. (2014). Our
mathematical universe: My quest for the ultimate nature of reality. Knopf.
Westfall, R. S. (1977). The
construction of modern science: Mechanisms and mechanics. Cambridge
University Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process
and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
(Original work published 1929)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar