Minggu, 16 Februari 2025

Metode Empirisme dalam Kajian Filsafat

Metode Empirisme

Sejarah, Prinsip, dan Pengaruhnya terhadap Ilmu Pengetahuan


Alihkan ke: Macam-Macam Metode Filsafat


Abstrak

Empirisme merupakan salah satu pendekatan utama dalam epistemologi yang menegaskan bahwa pengalaman adalah sumber utama pengetahuan. Artikel ini membahas secara komprehensif tentang metode empirisme dalam kajian filsafat, meliputi sejarah perkembangan, prinsip-prinsip dasar, serta pengaruhnya dalam ilmu pengetahuan. Dimulai dari akar empirisme dalam pemikiran Aristoteles, berkembang melalui kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Francis Bacon, John Locke, George Berkeley, dan David Hume, hingga penerapannya dalam filsafat kontemporer dan ilmu pengetahuan modern.

Penerapan metode empirisme dalam ilmu pengetahuan telah membentuk dasar bagi metode ilmiah berbasis observasi, eksperimen, dan induksi yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk sains alam, ilmu sosial, dan filsafat sains. Namun, metode ini tidak luput dari kritik, terutama terkait keterbatasan pengalaman dalam menjelaskan konsep-konsep universal, masalah induksi sebagaimana dikemukakan oleh David Hume, serta tantangan dari rasionalisme dan idealisme yang menekankan peran akal dan intuisi dalam pengetahuan.

Dalam era kontemporer, empirisme tetap relevan dalam filsafat analitik, ilmu kognitif, dan filsafat sains, meskipun mengalami modifikasi melalui pendekatan falsifikasi Karl Popper dan teori perubahan paradigma Thomas Kuhn. Selain itu, perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan menghadirkan tantangan baru dalam mendefinisikan pengalaman empiris, terutama dalam konteks pembelajaran mesin dan realitas virtual.

Artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun empirisme menghadapi berbagai kritik, prinsip dasarnya tetap menjadi fondasi penting dalam ilmu pengetahuan dan filsafat kontemporer. Ke depan, sintesis antara empirisme dan pendekatan lain seperti rasionalisme dan konstruktivisme dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang realitas dan pengetahuan manusia.

Kata Kunci: Empirisme, epistemologi, metode ilmiah, induksi, pengalaman, ilmu pengetahuan, falsifikasi, filsafat sains, kecerdasan buatan, realitas virtual.


PEMBAHASAN

Metode Empirisme dalam Kajian Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah filsafat, metode empirisme telah menjadi salah satu pendekatan utama dalam memahami hakikat pengetahuan dan realitas. Empirisme, sebagai aliran epistemologi, menekankan bahwa pengalaman inderawi merupakan sumber utama bagi semua pengetahuan manusia. Pendekatan ini menentang gagasan bahwa manusia memiliki ide bawaan (innate ideas) atau bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pemikiran rasional semata tanpa keterlibatan pengalaman langsung.¹

Secara historis, empirisme berkembang sebagai reaksi terhadap dominasi rasionalisme dalam filsafat, terutama yang dipengaruhi oleh pemikiran René Descartes (1596–1650) yang menekankan penggunaan akal sebagai sumber utama kebenaran.² Pada abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokoh seperti Francis Bacon (1561–1626), John Locke (1632–1704), George Berkeley (1685–1753), dan David Hume (1711–1776) mengembangkan fondasi empirisme dengan menekankan peran pengalaman dan observasi dalam pembentukan pengetahuan manusia.³

Metode empirisme kemudian berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam sains, metode empiris diterapkan melalui eksperimen, observasi, dan verifikasi empiris, yang menjadi standar utama dalam penelitian ilmiah. Francis Bacon, misalnya, memperkenalkan metode induktif dalam sains sebagai pendekatan yang lebih akurat dibandingkan deduksi murni yang sering digunakan dalam tradisi skolastik.⁴ Dalam filsafat ilmu, empirisme menjadi dasar bagi pemikiran positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1798–1857), yang menegaskan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada fakta yang dapat diamati dan diuji.⁵

Namun, meskipun metode empirisme memiliki pengaruh besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, pendekatan ini tidak lepas dari kritik. Beberapa filsuf, seperti Immanuel Kant (1724–1804), mengkritik empirisme karena dianggap gagal menjelaskan konsep-konsep yang tidak dapat direduksi ke dalam pengalaman inderawi, seperti matematika dan etika.⁶ Selain itu, skeptisisme yang muncul dari pemikiran David Hume menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana pengalaman inderawi dapat diandalkan sebagai sumber kebenaran.⁷

Dengan demikian, artikel ini akan membahas secara komprehensif metode empirisme dalam kajian filsafat, mulai dari definisi dan sejarahnya, prinsip-prinsip utama, kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, serta kritik terhadapnya. Dengan menggali pemikiran tokoh-tokoh utama empirisme dan menelaah dampaknya terhadap berbagai disiplin ilmu, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana empirisme membentuk pemikiran manusia dalam memahami dunia.


Catatan Kaki

[1]                John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science (Oxford: Oxford University Press, 2001), 45.

[2]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 112.

[3]                Jonathan Bennett, Learning from Six Philosophers: Descartes, Spinoza, Leibniz, Locke, Berkeley, Hume (Oxford: Oxford University Press, 2001), 186.

[4]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 77.

[5]                Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, trans. Harriet Martineau (London: Kegan Paul, 1896), 24.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 132.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 89.


2.           Pengertian dan Definisi Empirisme

2.1.       Pengertian Empirisme dalam Filsafat

Empirisme merupakan salah satu aliran utama dalam epistemologi yang menekankan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan manusia.¹ Secara etimologis, istilah "empirisme" berasal dari bahasa Yunani empeiria (ἐμπειρία), yang berarti "pengalaman".² Dalam tradisi filsafat Barat, empirisme berkembang sebagai respons terhadap rasionalisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui akal tanpa harus bergantung pada pengalaman.³

Para filsuf empiris berpendapat bahwa semua konsep dan gagasan manusia berasal dari pengalaman. John Locke (1632–1704), salah satu pelopor empirisme modern, mengajukan teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa pikiran manusia saat lahir seperti lembaran kosong tanpa ide bawaan. Semua pengetahuan yang diperoleh individu adalah hasil dari pengalaman inderawi yang dikumpulkan seiring waktu.⁴ Gagasan ini berlawanan dengan pandangan René Descartes (1596–1650), yang berpendapat bahwa manusia memiliki ide-ide bawaan yang diperoleh melalui akal.⁵

Selain Locke, empirisme juga dikembangkan oleh George Berkeley (1685–1753) dan David Hume (1711–1776). Berkeley mengajukan teori idealisme empiris, yang menyatakan bahwa keberadaan suatu objek bergantung pada pengamatannya oleh subjek ("esse est percipi"—to be is to be perceived).⁶ Sementara itu, Hume lebih radikal dalam pendekatannya dengan mengkritik gagasan kausalitas dan mempertanyakan sejauh mana pengalaman dapat digunakan untuk memastikan hubungan sebab-akibat yang universal.⁷

2.2.       Ciri-Ciri Utama Empirisme

Empirisme memiliki beberapa prinsip utama yang membedakannya dari aliran epistemologi lainnya, di antaranya:

1)                  Pengalaman sebagai Sumber Utama Pengetahuan

Dalam pandangan empirisme, manusia memperoleh pemahaman tentang dunia melalui pengalaman yang didapatkan melalui panca indera, bukan melalui pemikiran spekulatif atau intuisi murni.⁸

2)                  Penolakan terhadap Ide Bawaan

Filsuf empiris menolak gagasan bahwa manusia memiliki konsep atau pengetahuan yang melekat sejak lahir. Sebaliknya, semua pemikiran berasal dari pengalaman yang dikumpulkan dari interaksi dengan dunia luar.⁹

3)                  Metode Induktif dalam Penelitian

Empirisme lebih mengandalkan metode induktif, yang berarti bahwa kesimpulan ilmiah harus didasarkan pada pengamatan dan pengalaman konkret.ⁱ⁰

4)                  Pentingnya Observasi dan Eksperimen

Dalam ilmu pengetahuan, pendekatan empirisme mendorong penggunaan metode ilmiah berbasis observasi dan eksperimen untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang dapat diuji ulang.ⁱ¹

5)                  Kritik terhadap Metafisika Spekulatif

Para filsuf empiris cenderung skeptis terhadap konsep-konsep metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti konsep Tuhan, jiwa, dan esensi realitas yang tidak dapat diakses melalui pengalaman.ⁱ²

2.3.       Perbedaan Empirisme dengan Rasionalisme

Empirisme sering dibandingkan dengan rasionalisme, dua pendekatan epistemologi yang memiliki perbedaan mendasar. Berikut adalah beberapa perbandingan utama antara keduanya:

·                     Empirisme

Sumber Pengetahuan: Pengalaman inderawi

Metode: Induksi (dari pengalaman ke teori)

Pandangan terhadap Ide Bawaan: Tidak ada ide bawaan (tabula rasa)

Pendekatan terhadap Ilmu Pengetahuan: Observasi dan eksperimen

·                     Rasionalisme

Sumber Pengetahuan: Akal dan pemikiran logis

Metode: Deduksi (dari prinsip umum ke kesimpulan)

Pandangan terhadap Ide Bawaan: Ada ide bawaan dalam pikiran manusia

Pendekatan terhadap Ilmu Pengetahuan: Deduksi matematis dan prinsip universal

Salah satu kritik terhadap empirisme adalah bahwa pendekatan ini berpotensi terlalu bergantung pada pengalaman individu, yang dapat bersifat subjektif. Sementara itu, rasionalisme juga dikritik karena sering menghasilkan teori yang terlalu spekulatif tanpa pembuktian empiris.¹³


Kesimpulan

Bab ini telah menjelaskan pengertian empirisme sebagai metode epistemologi yang berfokus pada pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Dengan menolak ide bawaan dan menekankan metode induktif serta observasi dalam penelitian ilmiah, empirisme menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Di sisi lain, pendekatan ini juga menghadapi kritik dari rasionalisme dan skeptisisme, yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.


Catatan Kaki

[1]                Richard Fumerton, Epistemology (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 58.

[2]                Fred D. Miller Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 112.

[3]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 33.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 45.

[6]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 76.

[7]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000), 135.

[8]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 634.

[9]                John Cottingham, Rationalism (London: Palgrave Macmillan, 1984), 89.

[10]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 56.

[11]             Stephen Gaukroger, Francis Bacon and the Transformation of Early-Modern Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 102.

[12]             Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 98.

[13]             Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 287.


3.           Sejarah dan Perkembangan Empirisme

3.1.       Akar Sejarah Empirisme dalam Filsafat Klasik

Gagasan dasar empirisme dapat ditelusuri hingga zaman filsafat Yunani kuno, khususnya dalam pemikiran para filsuf seperti Aristoteles (384–322 SM). Berbeda dengan gurunya, Plato (428–348 SM), yang menekankan bahwa pengetahuan sejati berasal dari dunia ide (eidos), Aristoteles berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.¹ Dalam karyanya Metaphysics dan Posterior Analytics, Aristoteles menekankan pentingnya observasi dan pengalaman dalam membentuk pemahaman manusia tentang dunia.²

Tradisi empirisme juga terlihat dalam pemikiran filsuf Helenistik, seperti Epikuros (341–270 SM), yang menekankan bahwa pengalaman sensoris adalah satu-satunya sumber valid bagi pengetahuan manusia.³ Pemikiran ini kemudian diadopsi oleh kaum Stoik dan Skeptik, yang mengembangkan metode pengujian empiris terhadap klaim-klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi.⁴

3.2.       Empirisme dalam Filsafat Abad Pertengahan dan Islam

Pada masa filsafat Islam abad pertengahan, gagasan empirisme dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir Muslim seperti Al-Farabi (872–950 M), Ibn Sina (980–1037 M), dan Ibn Rusyd (1126–1198 M).⁵ Ibn Sina, dalam Kitab al-Shifa', menekankan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman sensoris sebelum diproses oleh akal.⁶ Ibn Rusyd bahkan lebih jauh mengkritik kecenderungan spekulatif para teolog dan mengusulkan metode observasi sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan.⁷

Di Eropa abad pertengahan, filsafat empirisme mulai berkembang melalui pengaruh pemikir skolastik seperti Roger Bacon (1219–1292 M), yang mengadvokasi penggunaan eksperimen dalam studi ilmiah.⁸ Namun, dominasi pemikiran skolastik yang berbasis otoritas teologis menyebabkan empirisme belum berkembang secara luas hingga era Renaisans.

3.3.       Kebangkitan Empirisme di Era Renaisans dan Awal Modern

Kebangkitan empirisme sebagai metode filsafat terjadi pada abad ke-16 dan ke-17, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam kebangkitan empirisme adalah Francis Bacon (1561–1626). Dalam karyanya Novum Organum, Bacon memperkenalkan metode induktif sebagai cara memperoleh pengetahuan yang lebih akurat dibandingkan metode deduktif Aristotelian yang sebelumnya dominan.⁹ Bacon berpendapat bahwa ilmu harus didasarkan pada pengamatan dan eksperimen yang sistematis.

Pada abad ke-17, empirisme semakin berkembang melalui pemikiran John Locke (1632–1704), yang dalam karyanya An Essay Concerning Human Understanding menegaskan bahwa pikiran manusia pada saat lahir adalah tabula rasa (lembaran kosong), dan semua ide berasal dari pengalaman.¹⁰ Konsep ini menjadi dasar epistemologi empiris yang menolak ide bawaan (innate ideas) seperti yang diajukan oleh rasionalis seperti René Descartes (1596–1650).¹¹

3.4.       Puncak Empirisme pada Abad ke-18

Pada abad ke-18, empirisme mencapai puncaknya melalui pemikiran George Berkeley (1685–1753) dan David Hume (1711–1776). Berkeley, dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, mengembangkan idealisme empiris, yang menyatakan bahwa realitas hanya ada sejauh ia dapat dipersepsi oleh subjek.¹² Dengan kata lain, tidak ada objek yang independen dari persepsi manusia (esse est percipi"to be is to be perceived").

David Hume kemudian mengembangkan empirisme lebih lanjut dengan pendekatan yang lebih skeptis. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, Hume mengkritik gagasan kausalitas dan menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan secara absolut, melainkan hanya kebiasaan psikologis yang muncul dari pengalaman berulang.¹³ Kritik Hume ini membawa dampak besar terhadap filsafat ilmu dan menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas metode empiris dalam memahami realitas.

3.5.       Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan dan Filsafat Kontemporer

Pengaruh empirisme tidak hanya terbatas pada filsafat, tetapi juga berkembang dalam ilmu pengetahuan modern. Pada abad ke-19, Auguste Comte (1798–1857) mengembangkan positivisme, yang menegaskan bahwa pengetahuan hanya sah jika dapat dibuktikan melalui metode empiris.¹⁴ Pemikiran ini melahirkan pendekatan ilmiah berbasis observasi dan eksperimen yang masih menjadi standar dalam penelitian ilmiah hingga saat ini.

Pada abad ke-20, empirisme berkembang dalam bentuk empirisme logis, yang dipelopori oleh kelompok Vienna Circle seperti Rudolf Carnap (1891–1970) dan Moritz Schlick (1882–1936).¹⁵ Mereka menggabungkan prinsip empirisme dengan logika formal untuk memperjelas batas antara ilmu pengetahuan dan metafisika. Meskipun aliran ini mengalami berbagai kritik, pengaruhnya tetap kuat dalam metodologi ilmu pengetahuan kontemporer.


Kesimpulan

Bab ini telah membahas sejarah panjang empirisme dari filsafat klasik hingga era modern. Dimulai dari pemikiran Aristoteles dan berkembang melalui filsafat Islam serta Renaisans, empirisme mencapai puncaknya pada abad ke-17 dan ke-18 dengan kontribusi tokoh-tokoh seperti Bacon, Locke, Berkeley, dan Hume. Perkembangannya dalam ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa metode empiris tetap relevan sebagai fondasi penelitian ilmiah.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1999), 87.

[2]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Oxford University Press, 1993), 45.

[3]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 125.

[4]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents, and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 78.

[5]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 95.

[6]                Avicenna (Ibn Sina), The Book of Healing, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), 202.

[7]                Averroes (Ibn Rushd), Tahafut al-Tahafut, trans. Simon Van den Bergh (London: Luzac, 1954), 145.

[8]                Roger Bacon, Opus Majus, trans. Robert Belle Burke (New York: Russell & Russell, 1962), 67.

[9]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 56.

[10]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 43.

[11]             René Descartes, Discourse on Method and Meditations, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 72.

[12]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 88.

[13]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 112.

[14]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, trans. Harriet Martineau (London: Kegan Paul, 1896), 34.

[15]             Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 97.


4.           Tokoh-Tokoh Utama Empirisme

Empirisme sebagai pendekatan epistemologi memiliki sejumlah pemikir utama yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh ini tidak hanya memperluas wawasan tentang bagaimana pengetahuan diperoleh tetapi juga membentuk metode ilmiah yang masih digunakan hingga saat ini. Bab ini akan membahas empat filsuf utama empirisme: Francis Bacon, John Locke, George Berkeley, dan David Hume.

4.1.       Francis Bacon (1561–1626): Pelopor Metode Ilmiah Empiris

Francis Bacon sering dianggap sebagai bapak empirisme modern karena kontribusinya dalam mengembangkan metode induktif dalam penelitian ilmiah.¹ Dalam karyanya Novum Organum (1620), Bacon menolak metode deduktif yang digunakan oleh filsafat skolastik dan menggantikannya dengan metode induktif yang berdasarkan observasi dan eksperimen.² Ia berpendapat bahwa manusia harus menghindari prasangka dan menggunakan pengalaman langsung untuk memperoleh pengetahuan.

Salah satu gagasan utama Bacon adalah konsep "idola", yaitu hambatan kognitif yang dapat menghalangi manusia dalam memperoleh pengetahuan yang objektif.³ Ia mengidentifikasi empat jenis idola:

1)                  Idola Tribus – Kesalahan yang berasal dari sifat dasar manusia.

2)                  Idola Specus – Bias yang muncul dari pengalaman pribadi dan latar belakang individu.

3)                  Idola Fori – Kekeliruan yang timbul akibat bahasa dan komunikasi.

4)                  Idola Theatri – Kesalahan yang berasal dari dogma filosofis dan tradisi yang diterima tanpa kritik.⁴

Bacon menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan pada observasi sistematis dan eksperimen, bukan pada spekulasi atau otoritas tradisional. Konsep ini kemudian menjadi dasar bagi metode ilmiah yang berkembang di era modern.⁵

4.2.       John Locke (1632–1704): Empirisme dan Teori Tabula Rasa

John Locke adalah salah satu filsuf empiris paling berpengaruh yang memperkenalkan konsep tabula rasa, yang berarti bahwa pikiran manusia pada saat lahir adalah "lembaran kosong" yang kemudian diisi melalui pengalaman.⁶ Dalam karyanya An Essay Concerning Human Understanding (1690), Locke menentang gagasan bahwa manusia memiliki ide bawaan (innate ideas) dan berargumen bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman sensoris dan refleksi mental.⁷

Locke membagi pengalaman menjadi dua kategori utama:

1)                  Sensation – Pengalaman yang diperoleh melalui panca indera, seperti melihat, mendengar, dan menyentuh.

2)                  Reflection – Proses berpikir yang muncul setelah pengalaman sensoris, seperti ingatan, pemikiran, dan pertimbangan.⁸

Selain itu, Locke juga mengembangkan teori tentang sifat primer dan sekunder dari objek. Sifat primer, seperti bentuk dan jumlah, ada secara independen dari pengamat, sementara sifat sekunder, seperti warna dan rasa, bergantung pada persepsi individu.⁹ Pandangan ini menjadi dasar bagi empirisme modern dan berpengaruh besar terhadap teori pengetahuan selanjutnya.

4.3.       George Berkeley (1685–1753): Idealisme Empiris

George Berkeley, dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), mengembangkan pendekatan empiris yang lebih radikal dibandingkan Locke.¹⁰ Ia berpendapat bahwa realitas terdiri dari persepsi, dan keberadaan suatu objek bergantung pada apakah objek tersebut sedang dipersepsi oleh seseorang atau tidak.¹¹ Pandangan ini dirangkum dalam frasa terkenalnya:

"Esse est percipi"To be is to be perceived (Ada berarti dipersepsi).¹²

Menurut Berkeley, konsep materi sebagai sesuatu yang eksis secara independen dari pikiran adalah ilusi.¹³ Jika tidak ada yang mengamati suatu objek, objek itu tidak memiliki eksistensi. Namun, ia mengatasi masalah ini dengan berargumen bahwa Tuhan selalu mengamati segala sesuatu, sehingga dunia tetap ada meskipun manusia tidak mengamatinya.¹⁴

Berkeley mengkritik Locke dengan menyatakan bahwa ide tentang substansi material tidak dapat dibuktikan secara empiris.¹⁵ Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa hanya pikiran dan ide yang memiliki eksistensi sejati. Meskipun pendekatannya tampak ekstrem, pemikiran Berkeley memberikan pengaruh signifikan terhadap filsafat subjektivisme dan teori persepsi dalam kajian kognitif modern.

4.4.       David Hume (1711–1776): Skeptisisme Empiris dan Kritik terhadap Kausalitas

David Hume adalah tokoh empirisme yang paling radikal dalam mempertanyakan batas-batas pengetahuan manusia.¹⁶ Dalam karyanya An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), ia mengkritik konsep kausalitas, yaitu hubungan sebab-akibat yang selama ini dianggap sebagai dasar ilmu pengetahuan.¹⁷

Hume berpendapat bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengamati hubungan kausal secara langsung, melainkan hanya melihat peristiwa yang terjadi secara berurutan dan mengasumsikan adanya hubungan sebab-akibat berdasarkan kebiasaan psikologis.¹⁸ Sebagai contoh, ketika seseorang melihat bola biliar pertama menabrak bola kedua dan bola kedua bergerak, mereka mengasumsikan bahwa bola pertama menyebabkan bola kedua bergerak. Namun, menurut Hume, hubungan ini tidak dapat dibuktikan secara absolut, melainkan hanya berdasarkan pengalaman berulang.¹⁹

Selain itu, Hume mengajukan "masalah induksi", yaitu pertanyaan tentang apakah kita dapat secara logis membenarkan kesimpulan umum berdasarkan pengamatan terbatas.²⁰ Kritik ini menantang dasar metode ilmiah yang bergantung pada induksi dan memberikan dampak besar terhadap filsafat ilmu.

Hume juga membedakan antara ide dan kesan dalam proses berpikir manusia:

1)                  Impressions (Kesan) – Pengalaman sensoris langsung yang lebih kuat dan jelas.

2)                  Ideas (Ide) – Representasi mental dari kesan yang lebih lemah dan samar.²¹

Dengan skeptisisme empirisnya, Hume membuka jalan bagi pemikiran filsafat modern, termasuk kritik terhadap metafisika dan perdebatan tentang batas pengetahuan manusia.


Kesimpulan

Tokoh-tokoh empirisme—Francis Bacon, John Locke, George Berkeley, dan David Hume—memberikan kontribusi besar dalam membentuk pendekatan empiris dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Bacon menetapkan metode induktif, Locke memperkenalkan konsep tabula rasa, Berkeley mengembangkan idealisme empiris, dan Hume menantang konsep kausalitas. Pemikiran mereka tidak hanya mempengaruhi filsafat modern tetapi juga menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan berbasis observasi dan eksperimen yang masih berlaku hingga hari ini.


Catatan Kaki

[1]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 12.

[2]                Ibid., 24.

[3]                Ibid., 41.

[4]                Ibid., 78.

[5]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 522.

[6]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 15.

[7]                Ibid., 32.

[8]                Ibid., 45.

[9]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 78.

[10]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 33.

[11]             Ibid., 58.

[12]             Ibid., 77.

[13]             Ibid., 89.

[14]             Ibid., 102.

[15]             Ibid., 118.

[16]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 12.

[17]             Ibid., 43.

[18]             Ibid., 67.

[19]             Ibid., 95.

[20]             Ibid., 111.

[21]             Ibid., 125.


5.           Prinsip-Prinsip Dasar Metode Empirisme

Empirisme sebagai metode epistemologi memiliki prinsip-prinsip dasar yang membentuk cara manusia memahami dan memperoleh pengetahuan. Prinsip-prinsip ini dikembangkan oleh para filsuf empiris dan menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan modern. Bab ini akan membahas lima prinsip utama empirisme, yaitu pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, metode induktif, penolakan terhadap ide bawaan, pentingnya observasi dan eksperimen, serta kritik terhadap metafisika spekulatif.

5.1.       Pengalaman sebagai Sumber Utama Pengetahuan

Prinsip utama empirisme adalah bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi (sense experience).¹ John Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding, menegaskan bahwa pikiran manusia saat lahir adalah tabula rasa (lembaran kosong) dan semua gagasan serta konsep berasal dari pengalaman.²

Locke membedakan dua jenis pengalaman:

1)                  Sensation – Pengalaman yang diperoleh melalui panca indera, seperti melihat, mendengar, dan meraba.

2)                  Reflection – Pemikiran yang muncul setelah pengalaman sensoris, seperti ingatan dan pemrosesan ide.³

David Hume mengembangkan prinsip ini lebih lanjut dengan membedakan antara impressions (kesan) dan ideas (ide).⁴ Impressions adalah pengalaman langsung yang kuat dan hidup, sedangkan ideas adalah refleksi dari pengalaman yang lebih lemah. Menurut Hume, semua konsep yang dimiliki manusia harus dapat dirunut kembali ke pengalaman empiris. Jika suatu ide tidak dapat dikaitkan dengan pengalaman, maka ide tersebut dianggap tidak valid.⁵

5.2.       Metode Induktif dalam Penelitian

Empirisme menekankan metode induktif sebagai cara memperoleh pengetahuan. Berbeda dengan metode deduktif, yang menarik kesimpulan dari premis umum ke spesifik, metode induktif berangkat dari pengamatan spesifik untuk membangun prinsip atau teori yang lebih umum.⁶

Francis Bacon, dalam Novum Organum, mengembangkan metode induktif sebagai pendekatan ilmiah yang lebih akurat dibandingkan metode deduktif skolastik.⁷ Ia menegaskan bahwa pengamatan berulang terhadap fenomena alam dapat menghasilkan hukum ilmiah yang dapat diuji secara empiris. Pendekatan ini kemudian menjadi dasar bagi metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian modern.

Kritik terhadap metode induktif diajukan oleh Hume, yang menyatakan bahwa induksi tidak dapat dijustifikasi secara rasional karena kesimpulan dari pengalaman masa lalu tidak menjamin bahwa pola yang sama akan berlaku di masa depan.⁸ Ini dikenal sebagai "masalah induksi", yang tetap menjadi perdebatan dalam filsafat ilmu.

5.3.       Penolakan terhadap Ide Bawaan

Salah satu prinsip fundamental empirisme adalah penolakan terhadap ide bawaan (innate ideas). Para filsuf empiris menentang pandangan rasionalisme yang menyatakan bahwa manusia memiliki ide bawaan, seperti konsep Tuhan, ruang, atau moralitas.⁹

John Locke menolak gagasan bahwa manusia memiliki pemahaman bawaan tentang prinsip logika atau etika. Dalam pandangannya, semua pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan tidak ada konsep yang eksis dalam pikiran sebelum individu mengalami sesuatu.¹⁰

George Berkeley lebih jauh menantang gagasan tentang keberadaan substansi material, dengan menyatakan bahwa semua realitas adalah hasil persepsi.¹¹ Menurutnya, tidak ada objek yang dapat eksis tanpa ada yang mengamatinya (esse est percipi"to be is to be perceived").¹²

Pandangan ini menjadi dasar bagi perkembangan empirisme subjektif, yang mengkritik konsep metafisik tentang objek yang eksis secara independen dari pengalaman manusia.

5.4.       Pentingnya Observasi dan Eksperimen

Empirisme menempatkan observasi dan eksperimen sebagai metode utama dalam memperoleh pengetahuan.¹³ Ilmu pengetahuan modern didasarkan pada prinsip bahwa setiap klaim pengetahuan harus diuji melalui verifikasi empiris.

Prinsip ini dikembangkan lebih lanjut oleh Auguste Comte dalam positivisme, yang menyatakan bahwa ilmu hanya sah jika didasarkan pada fakta yang dapat diamati dan diuji.¹⁴ Pemikiran ini mengarah pada berkembangnya metode ilmiah, yang melibatkan:

1)                  Observasi sistematis terhadap fenomena alam.

2)                  Eksperimen terkontrol untuk menguji hipotesis.

3)                  Pengukuran dan analisis data untuk menemukan pola.

Filsuf empiris abad ke-20, seperti Rudolf Carnap dan anggota Vienna Circle, mengembangkan empirisme logis, yang menekankan pentingnya verifikasi dalam membedakan ilmu pengetahuan dari metafisika.¹⁵

5.5.       Kritik terhadap Metafisika Spekulatif

Empirisme bersifat skeptis terhadap konsep-konsep metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁶ Para filsuf empiris mengkritik spekulasi filosofis yang tidak didasarkan pada pengalaman nyata, seperti gagasan tentang substansi, jiwa, dan Tuhan.

Hume, dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, berpendapat bahwa konsep seperti kausalitas, identitas personal, dan keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman langsung.¹⁷ Ia menyatakan bahwa banyak gagasan metafisik hanyalah ilusi yang muncul dari kebiasaan berpikir manusia.

Berkeley juga menolak gagasan substansi material, karena menurutnya tidak ada bukti empiris bahwa objek dapat eksis tanpa diamati.¹⁸ Kritik empiris terhadap metafisika ini berkontribusi pada berkembangnya filsafat analitik modern, yang lebih menekankan bahasa dan logika dalam analisis konsep-konsep filosofis.


Kesimpulan

Bab ini telah membahas prinsip-prinsip dasar empirisme yang mencakup pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, metode induktif, penolakan terhadap ide bawaan, pentingnya observasi dan eksperimen, serta kritik terhadap metafisika spekulatif. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk filsafat empirisme tetapi juga menjadi dasar bagi metode ilmiah modern.


Catatan Kaki

[1]                Richard Fumerton, Epistemology (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 58.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 33.

[3]                Ibid., 45.

[4]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000), 49.

[5]                Ibid., 78.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 56.

[7]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 77.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 89.

[9]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 67.

[10]             Ibid., 112.

[11]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 76.

[12]             Ibid., 87.

[13]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 634.

[14]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, trans. Harriet Martineau (London: Kegan Paul, 1896), 24.

[15]             Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 97.

[16]             Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 98.

[17]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, 112.

[18]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 89.


6.           Penerapan Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan

Metode empirisme telah menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan menekankan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, empirisme memberikan fondasi bagi metodologi ilmiah yang berbasis observasi, eksperimen, dan pengujian hipotesis. Bab ini akan membahas bagaimana prinsip-prinsip empirisme diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk sains alam, ilmu sosial, dan filsafat ilmu.

6.1.       Pengaruh Empirisme terhadap Metode Ilmiah

Empirisme memainkan peran sentral dalam pembentukan metode ilmiah modern. Francis Bacon (1561–1626) mengembangkan metode induktif, yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan pada pengamatan empiris dan eksperimen yang sistematis.¹ Bacon menolak pendekatan deduktif Aristotelian dan menekankan bahwa kesimpulan ilmiah harus diperoleh melalui proses akumulasi data dan analisis sistematis

Metode ini dikembangkan lebih lanjut oleh Isaac Newton (1643–1727), yang menerapkan prinsip empirisme dalam fisika. Newton menggunakan eksperimen dan pengukuran matematis untuk membangun teori gravitasi universal, yang menjadi model utama bagi metode ilmiah berbasis empirisme.³ Ilmu pengetahuan modern saat ini tetap mengandalkan observasi, eksperimen, dan metode verifikasi yang berasal dari tradisi empirisme.

6.2.       Penerapan Empirisme dalam Sains Alam

Dalam sains alam, empirisme menjadi prinsip utama dalam fisika, kimia, biologi, dan astronomi. Semua teori ilmiah dalam bidang ini harus diuji melalui eksperimen yang dapat direplikasi sebelum diterima sebagai kebenaran ilmiah.

1)                  Fisika

Prinsip empirisme dalam fisika terlihat dalam penelitian eksperimen terhadap hukum alam. Albert Einstein (1879–1955), meskipun lebih dikenal dengan pendekatan teoritisnya, tetap mengandalkan eksperimen sebagai dasar pengujian teori relativitasnya.⁴

2)                  Kimia

Revolusi kimia yang dipimpin oleh Antoine Lavoisier (1743–1794) didasarkan pada pengamatan dan eksperimen yang ketat.⁵ Lavoisier membuktikan hukum kekekalan massa melalui percobaan laboratorium yang menunjukkan bahwa massa zat tetap konstan dalam reaksi kimia.

3)                  Biologi

Charles Darwin (1809–1882) menerapkan metode empirisme dalam teori evolusi.⁶ Dalam karyanya On the Origin of Species (1859), Darwin mengumpulkan bukti dari observasi lapangan dan studi spesimen biologis sebelum menyusun teori seleksi alam.⁷

4)                  Astronomi

Galileo Galilei (1564–1642) menggunakan teleskop untuk mengamati langit dan membuktikan model heliosentris.⁸ Dengan mengandalkan observasi langsung, Galileo menentang dogma Aristotelian yang sebelumnya mendominasi kosmologi.

Dengan prinsip empirisme, sains alam dapat berkembang dengan metode observasi dan eksperimen yang terkontrol, sehingga menghasilkan teori yang dapat diuji dan diverifikasi.

6.3.       Penerapan Empirisme dalam Ilmu Sosial

Selain dalam sains alam, metode empirisme juga diterapkan dalam ilmu sosial, seperti psikologi, sosiologi, dan ekonomi.

1)                  Psikologi

Wilhelm Wundt (1832–1920) mendirikan laboratorium psikologi eksperimental pertama pada tahun 1879, yang menjadi tonggak penerapan metode empirisme dalam psikologi.⁹ Ia menekankan observasi langsung dan eksperimen dalam studi perilaku manusia.

2)                  Sosiologi

Émile Durkheim (1858–1917) menerapkan metode empirisme dalam sosiologi dengan menggunakan statistik dan observasi lapangan untuk memahami fenomena sosial.¹⁰ Dalam studinya tentang bunuh diri, Durkheim menggunakan data empiris untuk menunjukkan pola sosial yang mempengaruhi tingkat bunuh diri.

3)                  Ekonomi

Adam Smith (1723–1790) dan ekonom klasik lainnya menggunakan metode empirisme untuk memahami pola ekonomi.¹¹ Ekonomi modern semakin berkembang dengan penerapan data statistik dan eksperimen ekonomi dalam analisis kebijakan.

Metode empirisme dalam ilmu sosial memungkinkan studi terhadap fenomena manusia dengan pendekatan berbasis data dan observasi, bukan sekadar spekulasi teoretis.

6.4.       Peran Empirisme dalam Filsafat Ilmu

Dalam filsafat ilmu, empirisme menjadi dasar bagi positivisme logis, yang menegaskan bahwa pengetahuan harus berbasis verifikasi empiris.¹² Gerakan Vienna Circle, yang terdiri dari filsuf seperti Rudolf Carnap (1891–1970) dan Moritz Schlick (1882–1936), menolak metafisika dan menekankan bahwa semua pernyataan ilmiah harus dapat diuji secara empiris.¹³

Pendekatan ini mempengaruhi perkembangan falsifikasi ilmiah, yang dikembangkan oleh Karl Popper (1902–1994).¹⁴ Popper mengkritik metode induktif dan menyatakan bahwa teori ilmiah tidak bisa diverifikasi secara absolut, tetapi harus dapat difalsifikasi melalui pengujian empiris.¹⁵

Penerapan empirisme dalam filsafat ilmu juga melahirkan metode penelitian yang lebih objektif dan berbasis data, menjauh dari pendekatan spekulatif yang tidak dapat dibuktikan.


Kesimpulan

Empirisme telah membentuk metode ilmiah modern dengan menekankan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Dalam sains alam, empirisme menjadi dasar bagi eksperimen dalam fisika, kimia, biologi, dan astronomi. Dalam ilmu sosial, metode empiris digunakan dalam psikologi, sosiologi, dan ekonomi. Sementara itu, dalam filsafat ilmu, empirisme berkembang menjadi positivisme logis dan falsifikasi ilmiah. Dengan pengaruhnya yang luas, metode empirisme tetap menjadi pendekatan utama dalam memahami dunia secara ilmiah.


Catatan Kaki

[1]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 24.

[2]                Ibid., 56.

[3]                Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1999), 89.

[4]                Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory, trans. Robert W. Lawson (New York: Crown Publishers, 1961), 44.

[5]                Antoine Lavoisier, Elements of Chemistry, trans. Robert Kerr (Edinburgh: William Creech, 1790), 31.

[6]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 95.

[7]                Ibid., 120.

[8]                Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1967), 67.

[9]                Wilhelm Wundt, Principles of Physiological Psychology, trans. Edward B. Titchener (New York: Macmillan, 1904), 78.

[10]             Émile Durkheim, Suicide: A Study in Sociology, trans. John A. Spaulding and George Simpson (New York: Free Press, 1951), 34.

[11]             Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 112.

[12]             Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 76.

[13]             Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, trans. Albert E. Blumberg (New York: Springer, 1974), 45.

[14]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 132.

[15]             Ibid., 145.


7.           Kritik terhadap Metode Empirisme

Meskipun metode empirisme telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, pendekatan ini tidak terlepas dari berbagai kritik. Sejumlah filsuf dan ilmuwan menyoroti keterbatasan empirisme dalam menjelaskan aspek-aspek tertentu dari pengetahuan, seperti keterbatasan pengalaman, problematika induksi, peran akal dan intuisi, serta kritik dari rasionalisme dan idealisme. Bab ini akan menguraikan beberapa kritik utama terhadap metode empirisme.

7.1.       Keterbatasan Pengalaman sebagai Sumber Pengetahuan

Salah satu kritik utama terhadap empirisme adalah keterbatasan pengalaman inderawi dalam menjelaskan seluruh aspek realitas.¹ Pengalaman manusia memiliki cakupan yang terbatas, sehingga tidak semua aspek dunia dapat diamati atau diuji secara empiris.

Immanuel Kant (1724–1804) berargumen bahwa empirisme gagal menjelaskan bagaimana manusia dapat memiliki konsep-konsep universal seperti ruang, waktu, dan kausalitas.² Dalam Critique of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa konsep-konsep ini tidak dapat berasal dari pengalaman, melainkan dari struktur apriori dalam pikiran manusia.³ Ia menegaskan bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana manusia memahami hukum-hukum alam secara universal.

Selain itu, empirisme juga sulit menjelaskan fenomena yang berada di luar jangkauan pengalaman langsung, seperti realitas mikroskopis dalam fisika kuantum atau konsep metafisik tentang eksistensi Tuhan dan jiwa.⁴

7.2.       Problematika Induksi dalam Ilmu Pengetahuan

Metode induktif yang digunakan dalam empirisme mendapat kritik dari David Hume (1711–1776) melalui konsep "masalah induksi" (problem of induction).⁵ Hume menyoroti bahwa tidak ada justifikasi rasional untuk menyimpulkan bahwa pola-pola yang diamati di masa lalu akan terus berlaku di masa depan.

Sebagai contoh, manusia mengasumsikan bahwa matahari akan terbit setiap hari karena telah diamati berulang kali. Namun, Hume berargumen bahwa tidak ada alasan logis yang dapat menjamin bahwa peristiwa ini akan selalu terjadi, karena semua kesimpulan induktif hanya didasarkan pada kebiasaan psikologis, bukan kepastian logis.⁶

Karl Popper (1902–1994) kemudian mengembangkan kritik lebih lanjut terhadap induksi dengan memperkenalkan falsifikasi sebagai metode ilmiah yang lebih valid.⁷ Dalam The Logic of Scientific Discovery, Popper menyatakan bahwa teori ilmiah tidak bisa diverifikasi secara absolut melalui induksi, melainkan harus dapat diuji dan, jika perlu, disangkal melalui pengamatan empiris yang bertentangan.⁸

7.3.       Peran Akal dan Intuisi dalam Pengetahuan

Empirisme sering dikritik karena mengabaikan peran akal (reason) dan intuisi dalam memperoleh pengetahuan. Para rasionalis seperti René Descartes (1596–1650) berpendapat bahwa beberapa kebenaran dapat diperoleh melalui akal tanpa perlu bergantung pada pengalaman.⁹

Descartes dalam Meditations on First Philosophy menegaskan bahwa "cogito ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada) adalah suatu kebenaran yang tidak membutuhkan pengalaman inderawi untuk dibuktikan.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa konsep yang dapat dipahami melalui intuisi dan deduksi logis, tanpa perlu bergantung pada observasi.

Sebagai contoh lain, dalam matematika dan logika, teorema Pythagoras tidak memerlukan pembuktian empiris berulang kali untuk membuktikan keabsahannya. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengetahuan yang bersifat a priori, yang tidak berasal dari pengalaman.¹¹

7.4.       Kritik dari Rasionalisme dan Idealisme

Para filsuf rasionalis dan idealis mengkritik empirisme karena dianggap terlalu mengandalkan pengalaman fisik dan mengabaikan aspek konseptual dalam pemahaman dunia.

1)                  Plato (428–348 SM) berpendapat bahwa pengetahuan sejati berasal dari dunia ide, bukan dari pengalaman sensoris yang dapat menipu.¹² Dalam The Republic, ia menggambarkan "allegory of the cave", yang menunjukkan bahwa persepsi inderawi bisa bersifat ilusi, sementara kebenaran sejati hanya bisa diperoleh melalui akal.¹³

2)                  George Berkeley (1685–1753) menolak gagasan tentang keberadaan dunia material yang independen dari persepsi. Ia berpendapat bahwa realitas hanyalah kumpulan persepsi, dan bahwa tidak ada bukti empiris yang dapat membuktikan keberadaan materi tanpa adanya pengamat.¹⁴

3)                  G.W.F. Hegel (1770–1831) mengkritik empirisme karena dianggap gagal menjelaskan perkembangan sejarah pemikiran manusia.¹⁵ Menurutnya, pengetahuan berkembang melalui dialektika, bukan sekadar melalui akumulasi pengalaman empiris.

Pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa empirisme tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan realitas dan sering kali mengabaikan aspek rasional dan konseptual dari pengetahuan.

7.5.       Keterbatasan Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan Modern

Di era modern, beberapa ilmuwan dan filsuf sains menyoroti keterbatasan empirisme dalam menjelaskan fenomena ilmiah yang kompleks.

1)                  Fisika Kuantum

Dalam mekanika kuantum, prinsip empirisme menjadi problematis karena banyak fenomena tidak dapat diamati secara langsung, seperti keadaan superposisi atau entanglement.¹⁶ Para ilmuwan sering kali harus mengandalkan model matematika yang tidak selalu berbasis pengalaman langsung.

2)                  Kritik terhadap Verifikasi Empiris

Para anggota Vienna Circle, seperti Rudolf Carnap (1891–1970), awalnya mendukung verifikasi empiris sebagai metode ilmiah utama. Namun, pendekatan ini kemudian ditinggalkan karena tidak semua pernyataan ilmiah dapat diverifikasi secara langsung, seperti teori tentang lubang hitam atau awal mula alam semesta.¹⁷

3)                  Filsafat Postmodernisme

Para filsuf postmodern seperti Michel Foucault (1926–1984) dan Thomas Kuhn (1922–1996) berargumen bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan historis.¹⁸ Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions menunjukkan bahwa paradigma ilmiah berubah berdasarkan faktor sosial dan bukan hanya karena akumulasi pengalaman empiris.¹⁹


Kesimpulan

Meskipun empirisme telah menjadi landasan utama dalam ilmu pengetahuan, pendekatan ini menghadapi berbagai kritik yang menyoroti keterbatasannya. Kritik dari Kant menunjukkan bahwa pengalaman tidak cukup untuk menjelaskan konsep-konsep universal, sementara Hume mengungkap problem induksi yang mempertanyakan validitas metode empiris. Rasionalisme dan idealisme menekankan peran akal dan intuisi, yang sering kali diabaikan oleh empirisme. Dalam ilmu pengetahuan modern, empirisme menghadapi tantangan dalam menjelaskan fenomena kuantum dan teori ilmiah yang tidak dapat diverifikasi secara langsung.

Dengan demikian, meskipun empirisme tetap menjadi metode yang kuat dalam memperoleh pengetahuan, perlu ada keseimbangan dengan pendekatan lain seperti rasionalisme dan metode falsifikasi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang realitas.


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 512.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 78.

[3]                Ibid., 91.

[4]                Ibid., 122.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 75.

[6]                Ibid., 92.

[7]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 45.

[8]                Ibid., 67.

[9]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 18.

[10]             Ibid., 24.

[11]             Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 56.

[12]             Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201.

[13]             Ibid., 210.

[14]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 67.

[15]             G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 143.

[16]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 78.

[17]             Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 123.

[18]             Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1970), 89.

[19]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.


8.           Relevansi dan Implikasi Empirisme dalam Filsafat Kontemporer

Empirisme sebagai metode epistemologi tetap relevan dalam filsafat kontemporer, meskipun telah mengalami berbagai perkembangan dan modifikasi sejak era klasik. Dalam abad ke-20 dan ke-21, empirisme berkembang melalui berbagai aliran, termasuk empirisme logis, empirisme dalam ilmu kognitif, dan empirisme dalam filsafat sains. Bab ini akan membahas bagaimana metode empirisme tetap menjadi dasar bagi penelitian ilmiah, filsafat analitik, serta tantangan yang dihadapi dalam era teknologi dan kecerdasan buatan.

8.1.       Empirisme dalam Filsafat Analitik

Filsafat analitik, yang berkembang pada abad ke-20, sangat dipengaruhi oleh empirisme. Vienna Circle, kelompok filsuf yang berpusat di Wina, mengembangkan empirisme logis, yang menggabungkan prinsip empirisme dengan logika formal.¹ Tokoh utama dalam aliran ini, seperti Rudolf Carnap (1891–1970) dan Moritz Schlick (1882–1936), berpendapat bahwa hanya pernyataan yang dapat diuji secara empiris yang memiliki makna, sementara pernyataan metafisik dianggap tidak bermakna.²

Empirisme logis berperan dalam perkembangan verifikasi ilmiah, yang menjadi dasar bagi filsafat ilmu modern.³ Namun, teori ini menghadapi kritik karena banyak pernyataan ilmiah tidak dapat diverifikasi secara langsung, seperti teori tentang lubang hitam atau awal mula alam semesta.⁴ Karl Popper (1902–1994) kemudian menawarkan solusi dengan teori falsifikasi, yang menyatakan bahwa teori ilmiah tidak harus diverifikasi, tetapi harus dapat diuji dan dibuktikan salah jika tidak sesuai dengan bukti empiris.⁵

Selain itu, empirisme dalam filsafat analitik juga berkembang melalui teori bahasa yang dikembangkan oleh Willard Van Orman Quine (1908–2000). Dalam Two Dogmas of Empiricism, Quine mengkritik gagasan bahwa ada pemisahan tegas antara pernyataan analitik dan sintetik, serta menekankan bahwa ilmu pengetahuan adalah jaringan kepercayaan yang harus diuji secara empiris dalam keseluruhan konteks.⁶

8.2.       Empirisme dalam Ilmu Kognitif dan Psikologi

Dalam bidang ilmu kognitif dan psikologi, empirisme tetap menjadi pendekatan utama dalam memahami bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. John B. Watson (1878–1958) dan B.F. Skinner (1904–1990) mengembangkan behaviorisme, sebuah pendekatan dalam psikologi yang menekankan bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan melalui pengalaman dan lingkungan tanpa perlu merujuk pada proses mental internal.⁷

Namun, pada pertengahan abad ke-20, Noam Chomsky (1928–) mengkritik behaviorisme dengan menyatakan bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan hanya melalui pengalaman empiris, tetapi juga membutuhkan struktur kognitif bawaan.⁸ Kritik ini menyebabkan pergeseran menuju psikologi kognitif, yang tetap mengakui pentingnya pengalaman tetapi juga mempertimbangkan proses mental internal.

Empirisme juga berkembang dalam neurosains, di mana metode empiris digunakan untuk mempelajari aktivitas otak dan bagaimana pengalaman membentuk pola berpikir manusia.⁹

8.3.       Empirisme dalam Filsafat Sains

Filsafat sains kontemporer masih sangat dipengaruhi oleh empirisme, terutama dalam metodologi penelitian ilmiah. Thomas Kuhn (1922–1996) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui perubahan paradigma, bukan hanya melalui akumulasi pengalaman empiris.¹⁰ Meskipun demikian, Kuhn tetap mengakui peran pengalaman dalam mengarahkan revolusi ilmiah.

Di sisi lain, Paul Feyerabend (1924–1994) mengkritik pendekatan empirisme dalam filsafat sains dengan menyatakan bahwa tidak ada metode ilmiah tunggal yang dapat diterapkan secara universal. Dalam Against Method, ia berargumen bahwa kemajuan ilmiah sering kali terjadi melalui metode yang tidak sesuai dengan standar empirisme tradisional.¹¹

Dalam era modern, empirisme tetap digunakan dalam metode penelitian berbasis data dan eksperimen dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kecerdasan buatan (AI), teknologi kuantum, dan genetika.¹²

8.4.       Tantangan Empirisme di Era Teknologi dan Kecerdasan Buatan

Perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan baru bagi metode empirisme. Dalam AI, mesin dapat "belajar" dari data empiris dan membuat prediksi tanpa memiliki pengalaman langsung seperti manusia.¹³ Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah mesin dapat dikatakan memiliki bentuk empirisme tersendiri.

Selain itu, kemajuan dalam realitas virtual dan augmented reality juga menantang gagasan empirisme klasik. Jika seseorang mendapatkan pengalaman sensoris melalui simulasi komputer, apakah pengalaman tersebut dapat dianggap sebagai "pengetahuan empiris" yang valid?¹⁴

Para filsuf kontemporer seperti Luciano Floridi (1964–) dalam The Fourth Revolution menyoroti bahwa empirisme digital akan menjadi tantangan baru dalam epistemologi.¹⁵


Sesimpulan

Meskipun mengalami berbagai kritik dan modifikasi, empirisme tetap memiliki pengaruh kuat dalam filsafat kontemporer. Dalam filsafat analitik, empirisme berkembang melalui empirisme logis dan teori falsifikasi. Dalam ilmu kognitif, empirisme diterapkan dalam studi perilaku dan neurosains. Dalam filsafat sains, metode empiris tetap digunakan meskipun mengalami tantangan dari teori perubahan paradigma dan kritik terhadap metode ilmiah.

Era teknologi dan kecerdasan buatan membawa tantangan baru bagi empirisme, terutama dalam memahami bagaimana data digital dan pengalaman virtual dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Namun, meskipun menghadapi tantangan, prinsip dasar empirisme tetap menjadi landasan bagi banyak bidang ilmu pengetahuan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 67.

[2]                Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, trans. Albert E. Blumberg (New York: Springer, 1974), 45.

[3]                Ibid., 58.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 132.

[6]                W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism (Cambridge: Harvard University Press, 1951), 32.

[7]                B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Free Press, 1953), 89.

[8]                Noam Chomsky, Syntactic Structures (The Hague: Mouton, 1957), 76.

[9]                Antonio Damasio, The Feeling of What Happens (New York: Harcourt, 1999), 102.

[10]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 45.

[11]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 121.

[12]             Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 98.

[13]             Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (New York: Pearson, 2016), 215.

[14]             David Chalmers, The Virtual and the Real (Oxford: Oxford University Press, 2022), 88.

[15]             Luciano Floridi, The Fourth Revolution, 102.


9.           Kesimpulan

Empirisme telah menjadi salah satu pendekatan epistemologi yang paling berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan menekankan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, metode empirisme telah membentuk landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern dan metodologi penelitian yang berbasis observasi, eksperimen, serta induksi.¹ Dari akar sejarahnya dalam filsafat klasik hingga penerapannya dalam filsafat kontemporer dan ilmu pengetahuan modern, empirisme tetap menjadi pendekatan yang dominan meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik.

9.1.       Pengaruh dan Penerapan Empirisme

Sebagai metode ilmiah, empirisme pertama kali mendapat landasan kuat melalui pemikiran Francis Bacon (1561–1626) yang mengembangkan metode induktif untuk menggantikan pendekatan deduktif yang lebih spekulatif.² Pemikiran Bacon kemudian diperluas oleh John Locke (1632–1704), George Berkeley (1685–1753), dan David Hume (1711–1776) yang menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman.³ Dalam perkembangannya, empirisme menjadi dasar bagi kemajuan dalam sains alam, ilmu sosial, filsafat sains, dan ilmu kognitif, yang menuntut bukti empiris sebagai syarat utama bagi validitas suatu teori.⁴

Di abad ke-20, empirisme berkembang lebih lanjut melalui empirisme logis yang dipelopori oleh kelompok Vienna Circle, yang menekankan bahwa hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris yang memiliki makna.⁵ Meskipun teori ini menghadapi kritik karena keterbatasannya dalam menjelaskan konsep-konsep teoretis yang tidak dapat diuji secara langsung, seperti teori kuantum dan kosmologi, pendekatan empirisme tetap menjadi standar dalam ilmu pengetahuan modern.⁶

9.2.       Kritik terhadap Empirisme

Meskipun memberikan fondasi yang kuat bagi ilmu pengetahuan, empirisme juga menghadapi berbagai kritik. Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk menjelaskan konsep-konsep universal seperti ruang, waktu, dan kausalitas, yang menurutnya berasal dari struktur apriori dalam akal manusia.⁷ Selain itu, David Hume mengajukan kritik terhadap induksi, dengan menyatakan bahwa tidak ada jaminan logis bahwa pola yang diamati di masa lalu akan terus berlaku di masa depan.⁸ Kritik ini kemudian melahirkan pendekatan falsifikasi ilmiah oleh Karl Popper (1902–1994), yang menekankan bahwa teori ilmiah tidak bisa hanya diverifikasi melalui pengalaman, tetapi juga harus bisa diuji dan dibuktikan salah jika bertentangan dengan data empiris.⁹

Selain itu, dalam ranah filsafat kontemporer, Thomas Kuhn (1922–1996) mengkritik empirisme dengan menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak selalu terjadi melalui akumulasi pengalaman empiris, tetapi melalui revolusi paradigma yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan historis.¹⁰ Dalam era postmodernisme, pemikir seperti Michel Foucault (1926–1984) juga menyoroti bahwa pengaruh kekuasaan dan struktur sosial dapat menentukan apa yang dianggap sebagai "pengetahuan ilmiah", yang membuat pendekatan empirisme tidak sepenuhnya netral.¹¹

9.3.       Relevansi Empirisme di Era Kontemporer

Meskipun menghadapi tantangan, empirisme tetap menjadi pendekatan utama dalam ilmu pengetahuan dan filsafat kontemporer. Dalam bidang neurosains, kecerdasan buatan (AI), dan teknologi kuantum, metode empirisme terus digunakan untuk menguji teori dan membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia.¹² Namun, munculnya teknologi seperti pembelajaran mesin (machine learning) dan realitas virtual menimbulkan pertanyaan baru mengenai validitas pengalaman empiris dalam dunia digital. Jika suatu sistem AI dapat mengembangkan "pengetahuan" hanya dari data, apakah itu masih termasuk dalam kategori empirisme klasik?¹³

Dalam filsafat ilmu, pendekatan empirisme kini semakin dikombinasikan dengan pendekatan rasionalisme dan konstruktivisme, yang menyadari bahwa pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui pengalaman, tetapi juga melalui interpretasi dan struktur konseptual yang lebih luas.¹⁴ Oleh karena itu, masa depan empirisme kemungkinan akan melibatkan sintesis antara pendekatan empiris dan pendekatan teoretis dalam memahami realitas.


Kesimpulan Akhir

Empirisme telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan metodologi penelitian, terutama melalui penerapan metode induktif, eksperimen, dan observasi dalam memahami dunia. Namun, kritik terhadap keterbatasan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan telah mendorong pengembangan pendekatan yang lebih fleksibel dalam epistemologi.

Di era teknologi digital dan kecerdasan buatan, empirisme menghadapi tantangan baru dalam mendefinisikan apa yang dapat dianggap sebagai pengalaman empiris dan bagaimana data digital dapat digunakan sebagai dasar untuk membangun pengetahuan. Meskipun demikian, prinsip dasar empirisme tetap menjadi pilar utama dalam pencarian kebenaran ilmiah dan pemahaman filosofis tentang realitas.¹⁵


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 512.

[2]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 24.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 45.

[4]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.

[5]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 67.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 132.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 78.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 75.

[9]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, 145.

[10]             Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 45.

[11]             Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1970), 89.

[12]             Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 98.

[13]             Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (New York: Pearson, 2016), 215.

[14]             W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism (Cambridge: Harvard University Press, 1951), 32.

[15]             David Chalmers, The Virtual and the Real (Oxford: Oxford University Press, 2022), 88.


Daftar Pustaka

Bacon, F. (2000). Novum Organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.

Berkeley, G. (1998). A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge. Oxford University Press.

Carnap, R. (1967). The Logical Structure of the World. University of California Press.

Chalmers, D. (2022). The Virtual and the Real. Oxford University Press.

Chomsky, N. (1957). Syntactic Structures. Mouton.

Comte, A. (1896). Cours de Philosophie Positive (H. Martineau, Trans.). Kegan Paul.

Damasio, A. (1999). The Feeling of What Happens. Harcourt.

Darwin, C. (1859). On the Origin of Species. John Murray.

Descartes, R. (1993). Meditations on First Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Durkheim, É. (1951). Suicide: A Study in Sociology (J. A. Spaulding & G. Simpson, Trans.). Free Press.

Einstein, A. (1961). Relativity: The Special and the General Theory (R. W. Lawson, Trans.). Crown Publishers.

Feyerabend, P. (1975). Against Method. Verso.

Floridi, L. (2014). The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality. Oxford University Press.

Foucault, M. (1970). The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences. Vintage Books.

Galileo, G. (1967). Dialogue Concerning the Two Chief World Systems (S. Drake, Trans.). University of California Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of Spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Heisenberg, W. (1958). Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science. Harper & Row.

Hume, D. (2007). An Enquiry Concerning Human Understanding (P. Millican, Ed.). Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.

Lavoisier, A. (1790). Elements of Chemistry (R. Kerr, Trans.). William Creech.

Locke, J. (1975). An Essay Concerning Human Understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press.

Newton, I. (1999). Mathematical Principles of Natural Philosophy (A. Motte, Trans.). University of California Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Popper, K. (2002). The Logic of Scientific Discovery. Routledge.

Quine, W. V. O. (1951). Two Dogmas of Empiricism. Harvard University Press.

Russell, B. (2004). History of Western Philosophy. Routledge.

Schlick, M. (1974). General Theory of Knowledge (A. E. Blumberg, Trans.). Springer.

Skinner, B. F. (1953). Science and Human Behavior. Free Press.

Smith, A. (1776). An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. W. Strahan & T. Cadell.

Watson, J. B. (1913). Psychology as the Behaviorist Views It. Psychological Review, 20(2), 158–177.

Wundt, W. (1904). Principles of Physiological Psychology (E. B. Titchener, Trans.). Macmillan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar