Metode Empirisme
Sejarah, Prinsip, dan Pengaruhnya terhadap Ilmu
Pengetahuan
Alihkan ke: Macam-Macam Metode Filsafat
Abstrak
Empirisme merupakan salah satu pendekatan utama
dalam epistemologi yang menegaskan bahwa pengalaman adalah sumber utama
pengetahuan. Artikel ini membahas secara komprehensif tentang metode empirisme
dalam kajian filsafat, meliputi sejarah perkembangan, prinsip-prinsip dasar,
serta pengaruhnya dalam ilmu pengetahuan. Dimulai dari akar empirisme dalam
pemikiran Aristoteles, berkembang melalui kontribusi tokoh-tokoh utama seperti
Francis Bacon, John Locke, George Berkeley, dan David Hume, hingga penerapannya
dalam filsafat kontemporer dan ilmu pengetahuan modern.
Penerapan metode empirisme dalam ilmu pengetahuan
telah membentuk dasar bagi metode ilmiah berbasis observasi, eksperimen, dan
induksi yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk sains alam, ilmu
sosial, dan filsafat sains. Namun, metode ini tidak luput dari kritik, terutama
terkait keterbatasan pengalaman dalam menjelaskan konsep-konsep universal,
masalah induksi sebagaimana dikemukakan oleh David Hume, serta tantangan dari
rasionalisme dan idealisme yang menekankan peran akal dan intuisi dalam
pengetahuan.
Dalam era kontemporer, empirisme tetap relevan
dalam filsafat analitik, ilmu kognitif, dan filsafat sains, meskipun mengalami
modifikasi melalui pendekatan falsifikasi Karl Popper dan teori perubahan
paradigma Thomas Kuhn. Selain itu, perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan
menghadirkan tantangan baru dalam mendefinisikan pengalaman empiris, terutama
dalam konteks pembelajaran mesin dan realitas virtual.
Artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun empirisme
menghadapi berbagai kritik, prinsip dasarnya tetap menjadi fondasi penting
dalam ilmu pengetahuan dan filsafat kontemporer. Ke depan, sintesis antara
empirisme dan pendekatan lain seperti rasionalisme dan konstruktivisme dapat
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang realitas dan pengetahuan
manusia.
Kata Kunci: Empirisme, epistemologi, metode ilmiah, induksi,
pengalaman, ilmu pengetahuan, falsifikasi, filsafat sains, kecerdasan buatan,
realitas virtual.
PEMBAHASAN
Metode Empirisme dalam Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah
filsafat, metode empirisme telah menjadi salah satu pendekatan utama dalam
memahami hakikat pengetahuan dan realitas. Empirisme, sebagai aliran
epistemologi, menekankan bahwa pengalaman inderawi merupakan sumber utama bagi
semua pengetahuan manusia. Pendekatan ini menentang gagasan bahwa manusia
memiliki ide bawaan (innate ideas) atau bahwa pengetahuan dapat diperoleh
melalui pemikiran rasional semata tanpa keterlibatan pengalaman langsung.¹
Secara historis, empirisme
berkembang sebagai reaksi terhadap dominasi rasionalisme dalam filsafat,
terutama yang dipengaruhi oleh pemikiran René Descartes (1596–1650) yang
menekankan penggunaan akal sebagai sumber utama kebenaran.² Pada abad ke-17 dan
ke-18, tokoh-tokoh seperti Francis Bacon (1561–1626), John Locke
(1632–1704), George Berkeley (1685–1753), dan David Hume (1711–1776)
mengembangkan fondasi empirisme dengan menekankan peran pengalaman dan
observasi dalam pembentukan pengetahuan manusia.³
Metode empirisme kemudian berkontribusi
secara signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam sains,
metode empiris diterapkan melalui eksperimen, observasi, dan verifikasi
empiris, yang menjadi standar utama dalam penelitian ilmiah. Francis
Bacon, misalnya, memperkenalkan metode induktif dalam sains
sebagai pendekatan yang lebih akurat dibandingkan deduksi murni yang sering
digunakan dalam tradisi skolastik.⁴ Dalam filsafat ilmu, empirisme menjadi
dasar bagi pemikiran positivisme yang
dikembangkan oleh Auguste Comte (1798–1857),
yang menegaskan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada fakta yang dapat
diamati dan diuji.⁵
Namun, meskipun metode
empirisme memiliki pengaruh besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan,
pendekatan ini tidak lepas dari kritik. Beberapa filsuf, seperti Immanuel
Kant (1724–1804), mengkritik empirisme karena dianggap gagal
menjelaskan konsep-konsep yang tidak dapat direduksi ke dalam pengalaman
inderawi, seperti matematika dan etika.⁶ Selain itu, skeptisisme yang muncul
dari pemikiran David Hume menimbulkan
pertanyaan tentang sejauh mana pengalaman inderawi dapat diandalkan sebagai
sumber kebenaran.⁷
Dengan demikian, artikel ini
akan membahas secara komprehensif metode empirisme dalam kajian filsafat, mulai
dari definisi dan sejarahnya, prinsip-prinsip utama, kontribusi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, serta kritik terhadapnya. Dengan menggali
pemikiran tokoh-tokoh utama empirisme dan menelaah dampaknya terhadap berbagai
disiplin ilmu, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas
tentang bagaimana empirisme membentuk pemikiran manusia dalam memahami dunia.
Catatan Kaki
[1]
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of
Science (Oxford: Oxford University Press, 2001), 45.
[2]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 112.
[3]
Jonathan Bennett, Learning from Six Philosophers: Descartes,
Spinoza, Leibniz, Locke, Berkeley, Hume (Oxford: Oxford University
Press, 2001), 186.
[4]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and
Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 77.
[5]
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive,
trans. Harriet Martineau (London: Kegan Paul, 1896), 24.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 132.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 89.
2.
Pengertian dan Definisi Empirisme
2.1.
Pengertian Empirisme dalam Filsafat
Empirisme merupakan salah
satu aliran utama dalam epistemologi yang menekankan bahwa pengalaman inderawi
adalah sumber utama pengetahuan manusia.¹ Secara etimologis, istilah "empirisme"
berasal dari bahasa Yunani empeiria (ἐμπειρία), yang berarti "pengalaman".²
Dalam tradisi filsafat Barat, empirisme berkembang sebagai respons terhadap
rasionalisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui akal
tanpa harus bergantung pada pengalaman.³
Para filsuf empiris
berpendapat bahwa semua konsep dan gagasan manusia berasal dari pengalaman. John
Locke (1632–1704), salah satu pelopor empirisme modern, mengajukan teori tabula
rasa, yang menyatakan bahwa pikiran manusia saat lahir seperti lembaran
kosong tanpa ide bawaan. Semua pengetahuan yang diperoleh individu adalah hasil
dari pengalaman inderawi yang dikumpulkan seiring waktu.⁴ Gagasan ini
berlawanan dengan pandangan René Descartes (1596–1650), yang berpendapat
bahwa manusia memiliki ide-ide bawaan yang diperoleh melalui akal.⁵
Selain Locke, empirisme juga
dikembangkan oleh George Berkeley (1685–1753) dan David Hume
(1711–1776). Berkeley mengajukan teori idealisme empiris, yang menyatakan
bahwa keberadaan suatu objek bergantung pada pengamatannya oleh subjek ("esse
est percipi"—to be is to be perceived).⁶ Sementara itu, Hume
lebih radikal dalam pendekatannya dengan mengkritik gagasan kausalitas dan
mempertanyakan sejauh mana pengalaman dapat digunakan untuk memastikan hubungan
sebab-akibat yang universal.⁷
2.2.
Ciri-Ciri Utama Empirisme
Empirisme memiliki beberapa
prinsip utama yang membedakannya dari aliran epistemologi lainnya, di
antaranya:
1)
Pengalaman sebagai Sumber Utama Pengetahuan
Dalam
pandangan empirisme, manusia memperoleh pemahaman tentang dunia melalui
pengalaman yang didapatkan melalui panca indera, bukan melalui pemikiran
spekulatif atau intuisi murni.⁸
2)
Penolakan terhadap Ide Bawaan
Filsuf
empiris menolak gagasan bahwa manusia memiliki konsep atau pengetahuan yang
melekat sejak lahir. Sebaliknya, semua pemikiran berasal dari pengalaman yang
dikumpulkan dari interaksi dengan dunia luar.⁹
3)
Metode Induktif dalam Penelitian
Empirisme
lebih mengandalkan metode induktif, yang berarti bahwa kesimpulan ilmiah harus
didasarkan pada pengamatan dan pengalaman konkret.ⁱ⁰
4)
Pentingnya Observasi dan Eksperimen
Dalam ilmu
pengetahuan, pendekatan empirisme mendorong penggunaan metode ilmiah berbasis
observasi dan eksperimen untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang dapat
diuji ulang.ⁱ¹
5)
Kritik terhadap Metafisika Spekulatif
Para filsuf
empiris cenderung skeptis terhadap konsep-konsep metafisik yang tidak dapat
diverifikasi secara empiris, seperti konsep Tuhan, jiwa, dan esensi realitas
yang tidak dapat diakses melalui pengalaman.ⁱ²
2.3.
Perbedaan Empirisme dengan Rasionalisme
Empirisme sering dibandingkan
dengan rasionalisme, dua pendekatan epistemologi yang memiliki perbedaan
mendasar. Berikut adalah beberapa perbandingan utama antara keduanya:
·
Empirisme
Sumber Pengetahuan: Pengalaman
inderawi
Metode: Induksi
(dari pengalaman ke teori)
Pandangan terhadap Ide Bawaan: Tidak ada ide bawaan (tabula rasa)
Pendekatan terhadap Ilmu Pengetahuan: Observasi dan eksperimen
·
Rasionalisme
Sumber Pengetahuan: Akal dan
pemikiran logis
Metode: Deduksi
(dari prinsip umum ke kesimpulan)
Pandangan terhadap Ide Bawaan: Ada ide bawaan dalam pikiran manusia
Pendekatan terhadap Ilmu Pengetahuan: Deduksi matematis dan prinsip universal
Salah satu kritik terhadap
empirisme adalah bahwa pendekatan ini berpotensi terlalu bergantung pada
pengalaman individu, yang dapat bersifat subjektif. Sementara itu, rasionalisme
juga dikritik karena sering menghasilkan teori yang terlalu spekulatif tanpa
pembuktian empiris.¹³
Kesimpulan
Bab ini telah menjelaskan
pengertian empirisme sebagai metode epistemologi yang berfokus pada pengalaman
sebagai sumber utama pengetahuan. Dengan menolak ide bawaan dan menekankan
metode induktif serta observasi dalam penelitian ilmiah, empirisme menjadi
dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Di sisi lain, pendekatan ini
juga menghadapi kritik dari rasionalisme dan skeptisisme, yang akan dibahas
lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.
Catatan Kaki
[1]
Richard Fumerton, Epistemology (Oxford:
Blackwell Publishing, 2006), 58.
[2]
Fred D. Miller Jr., Nature, Justice, and Rights
in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 112.
[3]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press,
1975), 33.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 45.
[6]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 76.
[7]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed.
David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000),
135.
[8]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 634.
[9]
John Cottingham, Rationalism (London:
Palgrave Macmillan, 1984), 89.
[10]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 56.
[11]
Stephen Gaukroger, Francis Bacon and the
Transformation of Early-Modern Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 102.
[12]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future
Metaphysics, trans. Paul Carus (Cambridge: Cambridge University Press,
2004), 98.
[13]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 287.
3.
Sejarah dan Perkembangan Empirisme
3.1.
Akar Sejarah Empirisme dalam Filsafat Klasik
Gagasan dasar empirisme dapat
ditelusuri hingga zaman filsafat Yunani kuno, khususnya dalam pemikiran para
filsuf seperti Aristoteles (384–322 SM). Berbeda dengan gurunya, Plato
(428–348 SM), yang menekankan bahwa pengetahuan sejati berasal dari dunia
ide (eidos), Aristoteles berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal
dari pengalaman inderawi.¹ Dalam karyanya Metaphysics dan Posterior
Analytics, Aristoteles menekankan pentingnya observasi dan pengalaman dalam
membentuk pemahaman manusia tentang dunia.²
Tradisi empirisme juga
terlihat dalam pemikiran filsuf Helenistik, seperti Epikuros (341–270 SM),
yang menekankan bahwa pengalaman sensoris adalah satu-satunya sumber valid bagi
pengetahuan manusia.³ Pemikiran ini kemudian diadopsi oleh kaum Stoik
dan Skeptik, yang mengembangkan metode pengujian empiris terhadap
klaim-klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi.⁴
3.2.
Empirisme dalam Filsafat Abad Pertengahan dan
Islam
Pada masa filsafat Islam abad
pertengahan, gagasan empirisme dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir Muslim
seperti Al-Farabi (872–950 M), Ibn Sina (980–1037 M), dan Ibn Rusyd
(1126–1198 M).⁵ Ibn Sina, dalam Kitab al-Shifa', menekankan
bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman sensoris sebelum diproses oleh
akal.⁶ Ibn Rusyd bahkan lebih jauh mengkritik kecenderungan spekulatif
para teolog dan mengusulkan metode observasi sebagai dasar bagi ilmu
pengetahuan.⁷
Di Eropa abad pertengahan,
filsafat empirisme mulai berkembang melalui pengaruh pemikir skolastik seperti Roger
Bacon (1219–1292 M), yang mengadvokasi penggunaan eksperimen dalam studi
ilmiah.⁸ Namun, dominasi pemikiran skolastik yang berbasis otoritas teologis
menyebabkan empirisme belum berkembang secara luas hingga era Renaisans.
3.3.
Kebangkitan Empirisme di Era Renaisans dan Awal
Modern
Kebangkitan empirisme sebagai
metode filsafat terjadi pada abad ke-16 dan ke-17, seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Salah satu tokoh paling berpengaruh
dalam kebangkitan empirisme adalah Francis Bacon (1561–1626). Dalam
karyanya Novum Organum, Bacon memperkenalkan metode induktif sebagai
cara memperoleh pengetahuan yang lebih akurat dibandingkan metode deduktif
Aristotelian yang sebelumnya dominan.⁹ Bacon berpendapat bahwa ilmu harus
didasarkan pada pengamatan dan eksperimen yang sistematis.
Pada abad ke-17, empirisme
semakin berkembang melalui pemikiran John Locke (1632–1704), yang dalam
karyanya An Essay Concerning Human Understanding menegaskan bahwa
pikiran manusia pada saat lahir adalah tabula rasa (lembaran kosong),
dan semua ide berasal dari pengalaman.¹⁰ Konsep ini menjadi dasar epistemologi
empiris yang menolak ide bawaan (innate ideas) seperti yang diajukan oleh
rasionalis seperti René Descartes (1596–1650).¹¹
3.4.
Puncak Empirisme pada Abad ke-18
Pada abad ke-18, empirisme
mencapai puncaknya melalui pemikiran George Berkeley (1685–1753) dan David
Hume (1711–1776). Berkeley, dalam karyanya A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, mengembangkan idealisme empiris, yang
menyatakan bahwa realitas hanya ada sejauh ia dapat dipersepsi oleh subjek.¹²
Dengan kata lain, tidak ada objek yang independen dari persepsi manusia (esse
est percipi—"to be is to be perceived").
David Hume kemudian
mengembangkan empirisme lebih lanjut dengan pendekatan yang lebih skeptis.
Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, Hume mengkritik gagasan
kausalitas dan menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat bukanlah sesuatu yang
dapat dipastikan secara absolut, melainkan hanya kebiasaan psikologis yang
muncul dari pengalaman berulang.¹³ Kritik Hume ini membawa dampak besar
terhadap filsafat ilmu dan menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas metode
empiris dalam memahami realitas.
3.5.
Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
Kontemporer
Pengaruh empirisme tidak hanya
terbatas pada filsafat, tetapi juga berkembang dalam ilmu pengetahuan modern.
Pada abad ke-19, Auguste Comte (1798–1857) mengembangkan positivisme,
yang menegaskan bahwa pengetahuan hanya sah jika dapat dibuktikan melalui
metode empiris.¹⁴ Pemikiran ini melahirkan pendekatan ilmiah berbasis observasi
dan eksperimen yang masih menjadi standar dalam penelitian ilmiah hingga saat
ini.
Pada abad ke-20, empirisme
berkembang dalam bentuk empirisme logis, yang dipelopori oleh kelompok Vienna
Circle seperti Rudolf Carnap (1891–1970) dan Moritz Schlick (1882–1936).¹⁵
Mereka menggabungkan prinsip empirisme dengan logika formal untuk memperjelas
batas antara ilmu pengetahuan dan metafisika. Meskipun aliran ini mengalami
berbagai kritik, pengaruhnya tetap kuat dalam metodologi ilmu pengetahuan
kontemporer.
Kesimpulan
Bab ini telah membahas
sejarah panjang empirisme dari filsafat klasik hingga era modern. Dimulai dari
pemikiran Aristoteles dan berkembang melalui filsafat Islam serta Renaisans,
empirisme mencapai puncaknya pada abad ke-17 dan ke-18 dengan kontribusi
tokoh-tokoh seperti Bacon, Locke, Berkeley, dan Hume. Perkembangannya dalam
ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa metode empiris tetap relevan sebagai
fondasi penelitian ilmiah.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1999), 87.
[2]
Aristotle, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes (Oxford: Oxford University Press, 1993), 45.
[3]
Julia Annas, The Morality of Happiness
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 125.
[4]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents, and His
Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 78.
[5]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 95.
[6]
Avicenna (Ibn Sina), The Book of Healing,
trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), 202.
[7]
Averroes (Ibn Rushd), Tahafut al-Tahafut,
trans. Simon Van den Bergh (London: Luzac, 1954), 145.
[8]
Roger Bacon, Opus Majus, trans. Robert Belle
Burke (New York: Russell & Russell, 1962), 67.
[9]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa
Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
56.
[10]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975),
43.
[11]
René Descartes, Discourse on Method and
Meditations, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 72.
[12]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 88.
[13]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007),
112.
[14]
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive,
trans. Harriet Martineau (London: Kegan Paul, 1896), 34.
[15]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Berkeley: University of California Press, 1967), 97.
4.
Tokoh-Tokoh Utama Empirisme
Empirisme sebagai pendekatan
epistemologi memiliki sejumlah pemikir utama yang memberikan kontribusi
signifikan terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh ini
tidak hanya memperluas wawasan tentang bagaimana pengetahuan diperoleh tetapi
juga membentuk metode ilmiah yang masih digunakan hingga saat ini. Bab ini akan
membahas empat filsuf utama empirisme: Francis Bacon, John Locke, George
Berkeley, dan David Hume.
4.1.
Francis Bacon (1561–1626): Pelopor Metode
Ilmiah Empiris
Francis Bacon sering dianggap
sebagai bapak empirisme modern karena kontribusinya dalam mengembangkan metode
induktif dalam penelitian ilmiah.¹ Dalam karyanya Novum Organum (1620),
Bacon menolak metode deduktif yang digunakan oleh filsafat skolastik dan
menggantikannya dengan metode induktif yang berdasarkan observasi dan
eksperimen.² Ia berpendapat bahwa manusia harus menghindari prasangka dan
menggunakan pengalaman langsung untuk memperoleh pengetahuan.
Salah satu gagasan utama
Bacon adalah konsep "idola", yaitu hambatan kognitif yang
dapat menghalangi manusia dalam memperoleh pengetahuan yang objektif.³ Ia
mengidentifikasi empat jenis idola:
1)
Idola Tribus – Kesalahan
yang berasal dari sifat dasar manusia.
2)
Idola Specus – Bias yang
muncul dari pengalaman pribadi dan latar belakang individu.
3)
Idola Fori –
Kekeliruan yang timbul akibat bahasa dan komunikasi.
4)
Idola Theatri – Kesalahan
yang berasal dari dogma filosofis dan tradisi yang diterima tanpa kritik.⁴
Bacon menekankan bahwa ilmu
pengetahuan harus didasarkan pada observasi sistematis dan eksperimen,
bukan pada spekulasi atau otoritas tradisional. Konsep ini kemudian menjadi
dasar bagi metode ilmiah yang berkembang di era modern.⁵
4.2.
John Locke (1632–1704): Empirisme dan Teori
Tabula Rasa
John Locke adalah salah satu
filsuf empiris paling berpengaruh yang memperkenalkan konsep tabula rasa,
yang berarti bahwa pikiran manusia pada saat lahir adalah "lembaran
kosong" yang kemudian diisi melalui pengalaman.⁶ Dalam karyanya An
Essay Concerning Human Understanding (1690), Locke menentang gagasan bahwa
manusia memiliki ide bawaan (innate ideas) dan berargumen bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman sensoris dan refleksi mental.⁷
Locke membagi pengalaman
menjadi dua kategori utama:
1)
Sensation –
Pengalaman yang diperoleh melalui panca indera, seperti melihat, mendengar, dan
menyentuh.
2)
Reflection – Proses
berpikir yang muncul setelah pengalaman sensoris, seperti ingatan, pemikiran,
dan pertimbangan.⁸
Selain itu, Locke juga
mengembangkan teori tentang sifat primer dan sekunder dari objek. Sifat
primer, seperti bentuk dan jumlah, ada secara independen dari pengamat,
sementara sifat sekunder, seperti warna dan rasa, bergantung pada persepsi
individu.⁹ Pandangan ini menjadi dasar bagi empirisme modern dan berpengaruh
besar terhadap teori pengetahuan selanjutnya.
4.3.
George Berkeley (1685–1753): Idealisme Empiris
George Berkeley, dalam
karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710),
mengembangkan pendekatan empiris yang lebih radikal dibandingkan Locke.¹⁰ Ia
berpendapat bahwa realitas terdiri dari persepsi, dan keberadaan suatu
objek bergantung pada apakah objek tersebut sedang dipersepsi oleh seseorang
atau tidak.¹¹ Pandangan ini dirangkum dalam frasa terkenalnya:
"Esse est percipi" – To be is to be perceived (Ada berarti dipersepsi).¹²
Menurut Berkeley, konsep
materi sebagai sesuatu yang eksis secara independen dari pikiran adalah
ilusi.¹³ Jika tidak ada yang mengamati suatu objek, objek itu tidak memiliki
eksistensi. Namun, ia mengatasi masalah ini dengan berargumen bahwa Tuhan
selalu mengamati segala sesuatu, sehingga dunia tetap ada meskipun manusia
tidak mengamatinya.¹⁴
Berkeley mengkritik Locke
dengan menyatakan bahwa ide tentang substansi material tidak dapat
dibuktikan secara empiris.¹⁵ Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa hanya
pikiran dan ide yang memiliki eksistensi sejati. Meskipun pendekatannya tampak
ekstrem, pemikiran Berkeley memberikan pengaruh signifikan terhadap filsafat
subjektivisme dan teori persepsi dalam kajian kognitif modern.
4.4.
David Hume (1711–1776): Skeptisisme Empiris dan
Kritik terhadap Kausalitas
David Hume adalah tokoh
empirisme yang paling radikal dalam mempertanyakan batas-batas pengetahuan
manusia.¹⁶ Dalam karyanya An Enquiry Concerning Human Understanding
(1748), ia mengkritik konsep kausalitas, yaitu hubungan sebab-akibat
yang selama ini dianggap sebagai dasar ilmu pengetahuan.¹⁷
Hume berpendapat bahwa
manusia tidak pernah benar-benar mengamati hubungan kausal secara langsung,
melainkan hanya melihat peristiwa yang terjadi secara berurutan dan
mengasumsikan adanya hubungan sebab-akibat berdasarkan kebiasaan psikologis.¹⁸
Sebagai contoh, ketika seseorang melihat bola biliar pertama menabrak bola
kedua dan bola kedua bergerak, mereka mengasumsikan bahwa bola pertama menyebabkan
bola kedua bergerak. Namun, menurut Hume, hubungan ini tidak dapat dibuktikan
secara absolut, melainkan hanya berdasarkan pengalaman berulang.¹⁹
Selain itu, Hume mengajukan "masalah
induksi", yaitu pertanyaan tentang apakah kita dapat secara logis
membenarkan kesimpulan umum berdasarkan pengamatan terbatas.²⁰ Kritik ini
menantang dasar metode ilmiah yang bergantung pada induksi dan memberikan
dampak besar terhadap filsafat ilmu.
Hume juga membedakan antara ide
dan kesan dalam proses berpikir manusia:
1)
Impressions (Kesan) –
Pengalaman sensoris langsung yang lebih kuat dan jelas.
2)
Ideas (Ide) –
Representasi mental dari kesan yang lebih lemah dan samar.²¹
Dengan skeptisisme
empirisnya, Hume membuka jalan bagi pemikiran filsafat modern, termasuk kritik
terhadap metafisika dan perdebatan tentang batas pengetahuan manusia.
Kesimpulan
Tokoh-tokoh empirisme—Francis
Bacon, John Locke, George Berkeley, dan David Hume—memberikan kontribusi besar
dalam membentuk pendekatan empiris dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Bacon
menetapkan metode induktif, Locke memperkenalkan konsep tabula rasa, Berkeley
mengembangkan idealisme empiris, dan Hume menantang konsep kausalitas.
Pemikiran mereka tidak hanya mempengaruhi filsafat modern tetapi juga menjadi
dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan berbasis observasi dan eksperimen yang
masih berlaku hingga hari ini.
Catatan Kaki
[1]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa
Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
12.
[2]
Ibid., 24.
[3]
Ibid., 41.
[4]
Ibid., 78.
[5]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 522.
[6]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 15.
[7]
Ibid., 32.
[8]
Ibid., 45.
[9]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 78.
[10]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles
of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 33.
[11]
Ibid., 58.
[12]
Ibid., 77.
[13]
Ibid., 89.
[14]
Ibid., 102.
[15]
Ibid., 118.
[16]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007),
12.
[17]
Ibid., 43.
[18]
Ibid., 67.
[19]
Ibid., 95.
[20]
Ibid., 111.
[21]
Ibid., 125.
5.
Prinsip-Prinsip Dasar Metode Empirisme
Empirisme sebagai metode
epistemologi memiliki prinsip-prinsip dasar yang membentuk cara manusia
memahami dan memperoleh pengetahuan. Prinsip-prinsip ini dikembangkan oleh para
filsuf empiris dan menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan modern. Bab ini akan
membahas lima prinsip utama empirisme, yaitu pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan, metode induktif, penolakan terhadap ide bawaan, pentingnya
observasi dan eksperimen, serta kritik terhadap metafisika spekulatif.
5.1.
Pengalaman sebagai Sumber Utama Pengetahuan
Prinsip utama empirisme
adalah bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi (sense
experience).¹ John Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding,
menegaskan bahwa pikiran manusia saat lahir adalah tabula rasa (lembaran
kosong) dan semua gagasan serta konsep berasal dari pengalaman.²
Locke membedakan dua jenis
pengalaman:
1)
Sensation –
Pengalaman yang diperoleh melalui panca indera, seperti melihat, mendengar, dan
meraba.
2)
Reflection – Pemikiran
yang muncul setelah pengalaman sensoris, seperti ingatan dan pemrosesan ide.³
David Hume mengembangkan
prinsip ini lebih lanjut dengan membedakan antara impressions (kesan)
dan ideas (ide).⁴ Impressions adalah pengalaman langsung yang
kuat dan hidup, sedangkan ideas adalah refleksi dari pengalaman yang
lebih lemah. Menurut Hume, semua konsep yang dimiliki manusia harus dapat
dirunut kembali ke pengalaman empiris. Jika suatu ide tidak dapat dikaitkan
dengan pengalaman, maka ide tersebut dianggap tidak valid.⁵
5.2.
Metode Induktif dalam Penelitian
Empirisme menekankan metode
induktif sebagai cara memperoleh pengetahuan. Berbeda dengan metode
deduktif, yang menarik kesimpulan dari premis umum ke spesifik, metode induktif
berangkat dari pengamatan spesifik untuk membangun prinsip atau teori yang
lebih umum.⁶
Francis Bacon, dalam Novum
Organum, mengembangkan metode induktif sebagai pendekatan ilmiah yang lebih
akurat dibandingkan metode deduktif skolastik.⁷ Ia menegaskan bahwa pengamatan
berulang terhadap fenomena alam dapat menghasilkan hukum ilmiah yang dapat
diuji secara empiris. Pendekatan ini kemudian menjadi dasar bagi metode ilmiah
yang digunakan dalam penelitian modern.
Kritik terhadap metode
induktif diajukan oleh Hume, yang menyatakan bahwa induksi tidak dapat
dijustifikasi secara rasional karena kesimpulan dari pengalaman masa lalu
tidak menjamin bahwa pola yang sama akan berlaku di masa depan.⁸ Ini dikenal
sebagai "masalah induksi", yang tetap menjadi
perdebatan dalam filsafat ilmu.
5.3.
Penolakan terhadap Ide Bawaan
Salah satu prinsip
fundamental empirisme adalah penolakan terhadap ide bawaan (innate
ideas). Para filsuf empiris menentang pandangan rasionalisme yang
menyatakan bahwa manusia memiliki ide bawaan, seperti konsep Tuhan, ruang, atau
moralitas.⁹
John Locke menolak gagasan
bahwa manusia memiliki pemahaman bawaan tentang prinsip logika atau etika.
Dalam pandangannya, semua pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan tidak
ada konsep yang eksis dalam pikiran sebelum individu mengalami sesuatu.¹⁰
George Berkeley lebih jauh
menantang gagasan tentang keberadaan substansi material, dengan menyatakan
bahwa semua realitas adalah hasil persepsi.¹¹ Menurutnya, tidak ada objek
yang dapat eksis tanpa ada yang mengamatinya (esse est percipi—"to
be is to be perceived").¹²
Pandangan ini menjadi dasar
bagi perkembangan empirisme subjektif, yang mengkritik konsep metafisik tentang
objek yang eksis secara independen dari pengalaman manusia.
5.4.
Pentingnya Observasi dan Eksperimen
Empirisme menempatkan observasi
dan eksperimen sebagai metode utama dalam memperoleh pengetahuan.¹³ Ilmu
pengetahuan modern didasarkan pada prinsip bahwa setiap klaim pengetahuan harus
diuji melalui verifikasi empiris.
Prinsip ini dikembangkan
lebih lanjut oleh Auguste Comte dalam positivisme, yang menyatakan bahwa
ilmu hanya sah jika didasarkan pada fakta yang dapat diamati dan diuji.¹⁴
Pemikiran ini mengarah pada berkembangnya metode ilmiah, yang melibatkan:
1)
Observasi sistematis terhadap
fenomena alam.
2)
Eksperimen terkontrol untuk
menguji hipotesis.
3)
Pengukuran dan analisis data untuk menemukan pola.
Filsuf empiris abad ke-20,
seperti Rudolf Carnap dan anggota Vienna Circle, mengembangkan empirisme
logis, yang menekankan pentingnya verifikasi dalam membedakan ilmu
pengetahuan dari metafisika.¹⁵
5.5.
Kritik terhadap Metafisika Spekulatif
Empirisme bersifat skeptis
terhadap konsep-konsep metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara
empiris.¹⁶ Para filsuf empiris mengkritik spekulasi filosofis yang tidak
didasarkan pada pengalaman nyata, seperti gagasan tentang substansi, jiwa,
dan Tuhan.
Hume, dalam An Enquiry
Concerning Human Understanding, berpendapat bahwa konsep seperti kausalitas,
identitas personal, dan keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan melalui
pengalaman langsung.¹⁷ Ia menyatakan bahwa banyak gagasan metafisik hanyalah
ilusi yang muncul dari kebiasaan berpikir manusia.
Berkeley juga menolak gagasan
substansi material, karena menurutnya tidak ada bukti empiris bahwa objek dapat
eksis tanpa diamati.¹⁸ Kritik empiris terhadap metafisika ini berkontribusi
pada berkembangnya filsafat analitik modern, yang lebih menekankan bahasa
dan logika dalam analisis konsep-konsep filosofis.
Kesimpulan
Bab ini telah membahas
prinsip-prinsip dasar empirisme yang mencakup pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan, metode induktif, penolakan terhadap ide bawaan, pentingnya
observasi dan eksperimen, serta kritik terhadap metafisika spekulatif.
Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk filsafat empirisme tetapi juga
menjadi dasar bagi metode ilmiah modern.
Catatan Kaki
[1]
Richard Fumerton, Epistemology (Oxford:
Blackwell Publishing, 2006), 58.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press,
1975), 33.
[3]
Ibid., 45.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed.
David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000),
49.
[5]
Ibid., 78.
[6]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 56.
[7]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa
Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
77.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007),
89.
[9]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 67.
[10]
Ibid., 112.
[11]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 76.
[12]
Ibid., 87.
[13]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 634.
[14]
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive,
trans. Harriet Martineau (London: Kegan Paul, 1896), 24.
[15]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Berkeley: University of California Press, 1967), 97.
[16]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future
Metaphysics, trans. Paul Carus (Cambridge: Cambridge University Press,
2004), 98.
[17]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, 112.
[18]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, 89.
6.
Penerapan Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan
Metode empirisme telah
menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan menekankan
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, empirisme memberikan fondasi bagi
metodologi ilmiah yang berbasis observasi, eksperimen, dan pengujian hipotesis.
Bab ini akan membahas bagaimana prinsip-prinsip empirisme diterapkan dalam
berbagai disiplin ilmu, termasuk sains alam, ilmu sosial, dan filsafat ilmu.
6.1.
Pengaruh Empirisme terhadap Metode Ilmiah
Empirisme memainkan peran
sentral dalam pembentukan metode ilmiah modern. Francis Bacon
(1561–1626) mengembangkan metode induktif, yang menekankan bahwa ilmu
pengetahuan harus didasarkan pada pengamatan empiris dan eksperimen yang
sistematis.¹ Bacon menolak pendekatan deduktif Aristotelian dan menekankan
bahwa kesimpulan ilmiah harus diperoleh melalui proses akumulasi data dan
analisis sistematis.²
Metode ini dikembangkan lebih
lanjut oleh Isaac Newton (1643–1727), yang menerapkan prinsip empirisme
dalam fisika. Newton menggunakan eksperimen dan pengukuran matematis
untuk membangun teori gravitasi universal, yang menjadi model utama bagi metode
ilmiah berbasis empirisme.³ Ilmu pengetahuan modern saat ini tetap mengandalkan
observasi, eksperimen, dan metode verifikasi yang berasal dari tradisi
empirisme.
6.2.
Penerapan Empirisme dalam Sains Alam
Dalam sains alam, empirisme
menjadi prinsip utama dalam fisika, kimia, biologi, dan astronomi. Semua
teori ilmiah dalam bidang ini harus diuji melalui eksperimen yang dapat
direplikasi sebelum diterima sebagai kebenaran ilmiah.
1)
Fisika
Prinsip
empirisme dalam fisika terlihat dalam penelitian eksperimen terhadap hukum
alam. Albert Einstein (1879–1955), meskipun lebih dikenal dengan pendekatan
teoritisnya, tetap mengandalkan eksperimen sebagai dasar pengujian teori
relativitasnya.⁴
2)
Kimia
Revolusi
kimia yang dipimpin oleh Antoine Lavoisier (1743–1794) didasarkan pada
pengamatan dan eksperimen yang ketat.⁵ Lavoisier membuktikan hukum kekekalan
massa melalui percobaan laboratorium yang menunjukkan bahwa massa zat tetap
konstan dalam reaksi kimia.
3)
Biologi
Charles Darwin (1809–1882) menerapkan metode empirisme dalam teori evolusi.⁶ Dalam karyanya On
the Origin of Species (1859), Darwin mengumpulkan bukti dari observasi
lapangan dan studi spesimen biologis sebelum menyusun teori seleksi alam.⁷
4)
Astronomi
Galileo Galilei (1564–1642) menggunakan teleskop untuk mengamati langit dan membuktikan model
heliosentris.⁸ Dengan mengandalkan observasi langsung, Galileo menentang dogma
Aristotelian yang sebelumnya mendominasi kosmologi.
Dengan prinsip empirisme,
sains alam dapat berkembang dengan metode observasi dan eksperimen yang
terkontrol, sehingga menghasilkan teori yang dapat diuji dan diverifikasi.
6.3.
Penerapan Empirisme dalam Ilmu Sosial
Selain dalam sains alam,
metode empirisme juga diterapkan dalam ilmu sosial, seperti psikologi,
sosiologi, dan ekonomi.
1)
Psikologi
Wilhelm Wundt (1832–1920) mendirikan laboratorium psikologi eksperimental pertama pada tahun
1879, yang menjadi tonggak penerapan metode empirisme dalam psikologi.⁹ Ia
menekankan observasi langsung dan eksperimen dalam studi perilaku
manusia.
2)
Sosiologi
Émile Durkheim (1858–1917) menerapkan metode empirisme dalam sosiologi dengan menggunakan statistik
dan observasi lapangan untuk memahami fenomena sosial.¹⁰ Dalam studinya
tentang bunuh diri, Durkheim menggunakan data empiris untuk menunjukkan
pola sosial yang mempengaruhi tingkat bunuh diri.
3)
Ekonomi
Adam Smith (1723–1790) dan ekonom klasik lainnya menggunakan metode empirisme untuk memahami
pola ekonomi.¹¹ Ekonomi modern semakin berkembang dengan penerapan data
statistik dan eksperimen ekonomi dalam analisis kebijakan.
Metode empirisme dalam ilmu
sosial memungkinkan studi terhadap fenomena manusia dengan pendekatan berbasis
data dan observasi, bukan sekadar spekulasi teoretis.
6.4.
Peran Empirisme dalam Filsafat Ilmu
Dalam filsafat ilmu,
empirisme menjadi dasar bagi positivisme logis, yang menegaskan bahwa
pengetahuan harus berbasis verifikasi empiris.¹² Gerakan Vienna
Circle, yang terdiri dari filsuf seperti Rudolf Carnap (1891–1970) dan
Moritz Schlick (1882–1936), menolak metafisika dan menekankan bahwa semua
pernyataan ilmiah harus dapat diuji secara empiris.¹³
Pendekatan ini mempengaruhi
perkembangan falsifikasi ilmiah, yang dikembangkan oleh Karl Popper
(1902–1994).¹⁴ Popper mengkritik metode induktif dan menyatakan bahwa teori
ilmiah tidak bisa diverifikasi secara absolut, tetapi harus dapat difalsifikasi
melalui pengujian empiris.¹⁵
Penerapan empirisme dalam
filsafat ilmu juga melahirkan metode penelitian yang lebih objektif dan
berbasis data, menjauh dari pendekatan spekulatif yang tidak dapat dibuktikan.
Kesimpulan
Empirisme telah membentuk
metode ilmiah modern dengan menekankan pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Dalam sains alam, empirisme menjadi dasar bagi eksperimen
dalam fisika, kimia, biologi, dan astronomi. Dalam ilmu sosial, metode
empiris digunakan dalam psikologi, sosiologi, dan ekonomi. Sementara itu, dalam
filsafat ilmu, empirisme berkembang menjadi positivisme logis dan
falsifikasi ilmiah. Dengan pengaruhnya yang luas, metode empirisme tetap
menjadi pendekatan utama dalam memahami dunia secara ilmiah.
Catatan Kaki
[1]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa
Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
24.
[2]
Ibid., 56.
[3]
Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural
Philosophy, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press,
1999), 89.
[4]
Albert Einstein, Relativity: The Special and the
General Theory, trans. Robert W. Lawson (New York: Crown Publishers, 1961),
44.
[5]
Antoine Lavoisier, Elements of Chemistry,
trans. Robert Kerr (Edinburgh: William Creech, 1790), 31.
[6]
Charles Darwin, On the Origin of Species
(London: John Murray, 1859), 95.
[7]
Ibid., 120.
[8]
Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two
Chief World Systems, trans. Stillman Drake (Berkeley: University of
California Press, 1967), 67.
[9]
Wilhelm Wundt, Principles of Physiological
Psychology, trans. Edward B. Titchener (New York: Macmillan, 1904), 78.
[10]
Émile Durkheim, Suicide: A Study in Sociology,
trans. John A. Spaulding and George Simpson (New York: Free Press, 1951), 34.
[11]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776),
112.
[12]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Berkeley: University of California Press, 1967), 76.
[13]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge,
trans. Albert E. Blumberg (New York: Springer, 1974), 45.
[14]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 132.
[15]
Ibid., 145.
7.
Kritik terhadap Metode Empirisme
Meskipun metode empirisme
telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat, pendekatan ini tidak terlepas dari berbagai kritik. Sejumlah filsuf
dan ilmuwan menyoroti keterbatasan empirisme dalam menjelaskan
aspek-aspek tertentu dari pengetahuan, seperti keterbatasan pengalaman,
problematika induksi, peran akal dan intuisi, serta kritik dari rasionalisme
dan idealisme. Bab ini akan menguraikan beberapa kritik utama terhadap
metode empirisme.
7.1.
Keterbatasan Pengalaman sebagai Sumber
Pengetahuan
Salah satu kritik utama
terhadap empirisme adalah keterbatasan pengalaman inderawi dalam
menjelaskan seluruh aspek realitas.¹ Pengalaman manusia memiliki cakupan yang
terbatas, sehingga tidak semua aspek dunia dapat diamati atau diuji secara
empiris.
Immanuel Kant (1724–1804)
berargumen bahwa empirisme gagal menjelaskan bagaimana manusia dapat memiliki
konsep-konsep universal seperti ruang, waktu, dan kausalitas.² Dalam Critique
of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa konsep-konsep ini tidak dapat berasal
dari pengalaman, melainkan dari struktur apriori dalam pikiran manusia.³ Ia
menegaskan bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana
manusia memahami hukum-hukum alam secara universal.
Selain itu, empirisme juga
sulit menjelaskan fenomena yang berada di luar jangkauan pengalaman langsung,
seperti realitas mikroskopis dalam fisika kuantum atau konsep
metafisik tentang eksistensi Tuhan dan jiwa.⁴
7.2.
Problematika Induksi dalam Ilmu Pengetahuan
Metode induktif yang
digunakan dalam empirisme mendapat kritik dari David Hume (1711–1776)
melalui konsep "masalah induksi" (problem of induction).⁵
Hume menyoroti bahwa tidak ada justifikasi rasional untuk menyimpulkan bahwa
pola-pola yang diamati di masa lalu akan terus berlaku di masa depan.
Sebagai contoh, manusia
mengasumsikan bahwa matahari akan terbit setiap hari karena telah
diamati berulang kali. Namun, Hume berargumen bahwa tidak ada alasan logis yang
dapat menjamin bahwa peristiwa ini akan selalu terjadi, karena semua kesimpulan
induktif hanya didasarkan pada kebiasaan psikologis, bukan kepastian logis.⁶
Karl Popper (1902–1994)
kemudian mengembangkan kritik lebih lanjut terhadap induksi dengan
memperkenalkan falsifikasi sebagai metode ilmiah yang lebih valid.⁷
Dalam The Logic of Scientific Discovery, Popper menyatakan bahwa teori
ilmiah tidak bisa diverifikasi secara absolut melalui induksi, melainkan
harus dapat diuji dan, jika perlu, disangkal melalui pengamatan empiris yang
bertentangan.⁸
7.3.
Peran Akal dan Intuisi dalam Pengetahuan
Empirisme sering dikritik
karena mengabaikan peran akal (reason) dan intuisi dalam memperoleh
pengetahuan. Para rasionalis seperti René Descartes (1596–1650)
berpendapat bahwa beberapa kebenaran dapat diperoleh melalui akal tanpa perlu
bergantung pada pengalaman.⁹
Descartes dalam Meditations
on First Philosophy menegaskan bahwa "cogito ergo sum" (Aku
berpikir, maka aku ada) adalah suatu kebenaran yang tidak membutuhkan
pengalaman inderawi untuk dibuktikan.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa
konsep yang dapat dipahami melalui intuisi dan deduksi logis, tanpa perlu
bergantung pada observasi.
Sebagai contoh lain, dalam
matematika dan logika, teorema Pythagoras tidak memerlukan pembuktian
empiris berulang kali untuk membuktikan keabsahannya. Hal ini menunjukkan bahwa
ada pengetahuan yang bersifat a priori, yang tidak berasal dari
pengalaman.¹¹
7.4.
Kritik dari Rasionalisme dan Idealisme
Para filsuf rasionalis
dan idealis mengkritik empirisme karena dianggap terlalu mengandalkan
pengalaman fisik dan mengabaikan aspek konseptual dalam pemahaman dunia.
1)
Plato (428–348 SM) berpendapat
bahwa pengetahuan sejati berasal dari dunia ide, bukan dari pengalaman
sensoris yang dapat menipu.¹² Dalam The Republic, ia menggambarkan "allegory
of the cave", yang menunjukkan bahwa persepsi inderawi bisa bersifat
ilusi, sementara kebenaran sejati hanya bisa diperoleh melalui akal.¹³
2)
George Berkeley (1685–1753) menolak gagasan tentang keberadaan dunia material yang independen dari
persepsi. Ia berpendapat bahwa realitas hanyalah kumpulan persepsi, dan
bahwa tidak ada bukti empiris yang dapat membuktikan keberadaan materi tanpa
adanya pengamat.¹⁴
3)
G.W.F. Hegel (1770–1831) mengkritik empirisme karena dianggap gagal menjelaskan perkembangan
sejarah pemikiran manusia.¹⁵ Menurutnya, pengetahuan berkembang melalui dialektika,
bukan sekadar melalui akumulasi pengalaman empiris.
Pandangan-pandangan ini
menunjukkan bahwa empirisme tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan realitas
dan sering kali mengabaikan aspek rasional dan konseptual dari pengetahuan.
7.5.
Keterbatasan Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan
Modern
Di era modern, beberapa
ilmuwan dan filsuf sains menyoroti keterbatasan empirisme dalam menjelaskan
fenomena ilmiah yang kompleks.
1)
Fisika Kuantum
Dalam
mekanika kuantum, prinsip empirisme menjadi problematis karena banyak fenomena tidak
dapat diamati secara langsung, seperti keadaan superposisi atau entanglement.¹⁶
Para ilmuwan sering kali harus mengandalkan model matematika yang tidak selalu
berbasis pengalaman langsung.
2)
Kritik terhadap Verifikasi Empiris
Para anggota
Vienna Circle, seperti Rudolf Carnap (1891–1970), awalnya
mendukung verifikasi empiris sebagai metode ilmiah utama. Namun, pendekatan ini
kemudian ditinggalkan karena tidak semua pernyataan ilmiah dapat diverifikasi
secara langsung, seperti teori tentang lubang hitam atau awal mula
alam semesta.¹⁷
3)
Filsafat Postmodernisme
Para filsuf
postmodern seperti Michel Foucault (1926–1984) dan Thomas Kuhn
(1922–1996) berargumen bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari konteks
sosial dan historis.¹⁸ Kuhn dalam The Structure of Scientific
Revolutions menunjukkan bahwa paradigma ilmiah berubah berdasarkan faktor
sosial dan bukan hanya karena akumulasi pengalaman empiris.¹⁹
Kesimpulan
Meskipun empirisme telah
menjadi landasan utama dalam ilmu pengetahuan, pendekatan ini menghadapi
berbagai kritik yang menyoroti keterbatasannya. Kritik dari Kant menunjukkan
bahwa pengalaman tidak cukup untuk menjelaskan konsep-konsep universal,
sementara Hume mengungkap problem induksi yang mempertanyakan validitas
metode empiris. Rasionalisme dan idealisme menekankan peran akal dan intuisi,
yang sering kali diabaikan oleh empirisme. Dalam ilmu pengetahuan modern,
empirisme menghadapi tantangan dalam menjelaskan fenomena kuantum dan teori
ilmiah yang tidak dapat diverifikasi secara langsung.
Dengan demikian, meskipun
empirisme tetap menjadi metode yang kuat dalam memperoleh pengetahuan, perlu
ada keseimbangan dengan pendekatan lain seperti rasionalisme dan metode
falsifikasi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang
realitas.
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 512.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
78.
[3]
Ibid., 91.
[4]
Ibid., 122.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007),
75.
[6]
Ibid., 92.
[7]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 45.
[8]
Ibid., 67.
[9]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 18.
[10]
Ibid., 24.
[11]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future
Metaphysics, trans. Paul Carus (Cambridge: Cambridge University Press,
2004), 56.
[12]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201.
[13]
Ibid., 210.
[14]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), 67.
[15]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 143.
[16]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 78.
[17]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Berkeley: University of California Press, 1967), 123.
[18]
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1970), 89.
[19]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.
8.
Relevansi dan Implikasi Empirisme dalam
Filsafat Kontemporer
Empirisme sebagai metode
epistemologi tetap relevan dalam filsafat kontemporer, meskipun telah mengalami
berbagai perkembangan dan modifikasi sejak era klasik. Dalam abad ke-20 dan
ke-21, empirisme berkembang melalui berbagai aliran, termasuk empirisme
logis, empirisme dalam ilmu kognitif, dan empirisme dalam filsafat sains.
Bab ini akan membahas bagaimana metode empirisme tetap menjadi dasar bagi
penelitian ilmiah, filsafat analitik, serta tantangan yang dihadapi dalam era
teknologi dan kecerdasan buatan.
8.1.
Empirisme dalam Filsafat Analitik
Filsafat analitik, yang
berkembang pada abad ke-20, sangat dipengaruhi oleh empirisme. Vienna
Circle, kelompok filsuf yang berpusat di Wina, mengembangkan empirisme
logis, yang menggabungkan prinsip empirisme dengan logika
formal.¹ Tokoh utama dalam aliran ini, seperti Rudolf Carnap
(1891–1970) dan Moritz Schlick (1882–1936), berpendapat bahwa
hanya pernyataan yang dapat diuji secara empiris yang memiliki makna, sementara
pernyataan metafisik dianggap tidak bermakna.²
Empirisme logis berperan
dalam perkembangan verifikasi ilmiah, yang
menjadi dasar bagi filsafat ilmu modern.³ Namun, teori ini menghadapi kritik
karena banyak pernyataan ilmiah tidak dapat diverifikasi secara langsung,
seperti teori tentang lubang hitam atau awal
mula alam semesta.⁴ Karl Popper (1902–1994) kemudian menawarkan
solusi dengan teori falsifikasi, yang
menyatakan bahwa teori ilmiah tidak harus diverifikasi, tetapi harus dapat
diuji dan dibuktikan salah jika tidak sesuai dengan bukti empiris.⁵
Selain itu, empirisme dalam
filsafat analitik juga berkembang melalui teori bahasa
yang dikembangkan oleh Willard Van Orman Quine (1908–2000).
Dalam Two Dogmas of Empiricism, Quine mengkritik gagasan bahwa ada
pemisahan tegas antara pernyataan analitik dan sintetik, serta menekankan bahwa
ilmu pengetahuan adalah jaringan kepercayaan yang harus diuji secara empiris
dalam keseluruhan konteks.⁶
8.2.
Empirisme dalam Ilmu Kognitif dan Psikologi
Dalam bidang ilmu kognitif
dan psikologi, empirisme tetap menjadi pendekatan utama dalam memahami bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan. John B. Watson
(1878–1958) dan B.F. Skinner
(1904–1990) mengembangkan behaviorisme,
sebuah pendekatan dalam psikologi yang menekankan bahwa perilaku manusia dapat
dijelaskan melalui pengalaman dan lingkungan tanpa perlu merujuk pada proses
mental internal.⁷
Namun, pada pertengahan abad
ke-20, Noam Chomsky (1928–)
mengkritik behaviorisme dengan menyatakan bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan
hanya melalui pengalaman empiris, tetapi juga membutuhkan struktur
kognitif bawaan.⁸ Kritik ini menyebabkan pergeseran menuju psikologi
kognitif, yang tetap mengakui pentingnya pengalaman tetapi juga
mempertimbangkan proses mental internal.
Empirisme juga berkembang
dalam neurosains, di mana
metode empiris digunakan untuk mempelajari aktivitas otak dan
bagaimana pengalaman membentuk pola berpikir manusia.⁹
8.3.
Empirisme dalam Filsafat Sains
Filsafat sains kontemporer
masih sangat dipengaruhi oleh empirisme, terutama dalam metodologi penelitian
ilmiah. Thomas Kuhn (1922–1996)
dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui perubahan paradigma, bukan hanya
melalui akumulasi pengalaman empiris.¹⁰ Meskipun demikian, Kuhn tetap mengakui
peran pengalaman dalam mengarahkan revolusi ilmiah.
Di sisi lain, Paul
Feyerabend (1924–1994) mengkritik pendekatan empirisme dalam
filsafat sains dengan menyatakan bahwa tidak ada metode
ilmiah tunggal yang dapat diterapkan secara universal. Dalam Against
Method, ia berargumen bahwa kemajuan ilmiah sering kali terjadi melalui
metode yang tidak sesuai dengan standar empirisme tradisional.¹¹
Dalam era modern, empirisme
tetap digunakan dalam metode penelitian berbasis data dan eksperimen dalam
berbagai disiplin ilmu, termasuk kecerdasan buatan (AI),
teknologi kuantum, dan genetika.¹²
8.4.
Tantangan Empirisme di Era Teknologi dan
Kecerdasan Buatan
Perkembangan teknologi dan
kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan baru bagi metode empirisme. Dalam
AI, mesin dapat "belajar" dari data
empiris dan membuat prediksi tanpa memiliki pengalaman langsung
seperti manusia.¹³ Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah mesin
dapat dikatakan memiliki bentuk empirisme tersendiri.
Selain itu, kemajuan dalam realitas
virtual dan augmented reality juga menantang gagasan empirisme
klasik. Jika seseorang mendapatkan pengalaman sensoris melalui simulasi
komputer, apakah pengalaman tersebut dapat dianggap sebagai "pengetahuan
empiris" yang valid?¹⁴
Para filsuf kontemporer
seperti Luciano Floridi (1964–)
dalam The Fourth Revolution menyoroti bahwa empirisme
digital akan menjadi tantangan baru dalam epistemologi.¹⁵
Sesimpulan
Meskipun mengalami berbagai
kritik dan modifikasi, empirisme tetap memiliki pengaruh kuat dalam filsafat
kontemporer. Dalam filsafat analitik,
empirisme berkembang melalui empirisme logis dan teori falsifikasi. Dalam ilmu
kognitif, empirisme diterapkan dalam studi perilaku dan
neurosains. Dalam filsafat sains, metode
empiris tetap digunakan meskipun mengalami tantangan dari teori perubahan
paradigma dan kritik terhadap metode ilmiah.
Era teknologi dan kecerdasan
buatan membawa tantangan baru bagi empirisme, terutama dalam memahami bagaimana
data digital dan pengalaman virtual dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan.
Namun, meskipun menghadapi tantangan, prinsip dasar empirisme tetap menjadi
landasan bagi banyak bidang ilmu pengetahuan kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World
(Berkeley: University of California Press, 1967), 67.
[2]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, trans.
Albert E. Blumberg (New York: Springer, 1974), 45.
[3]
Ibid., 58.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.
[5]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 132.
[6]
W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism
(Cambridge: Harvard University Press, 1951), 32.
[7]
B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New
York: Free Press, 1953), 89.
[8]
Noam Chomsky, Syntactic Structures (The Hague:
Mouton, 1957), 76.
[9]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens (New
York: Harcourt, 1999), 102.
[10]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
45.
[11]
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 121.
[12]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014),
98.
[13]
Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach
(New York: Pearson, 2016), 215.
[14]
David Chalmers, The Virtual and the Real (Oxford:
Oxford University Press, 2022), 88.
[15]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution, 102.
9.
Kesimpulan
Empirisme telah menjadi salah
satu pendekatan epistemologi yang paling berpengaruh dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan. Dengan menekankan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan,
metode empirisme telah membentuk landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
modern dan metodologi penelitian yang berbasis observasi, eksperimen, serta
induksi.¹ Dari akar sejarahnya dalam filsafat klasik hingga penerapannya dalam
filsafat kontemporer dan ilmu pengetahuan modern, empirisme tetap menjadi
pendekatan yang dominan meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik.
9.1.
Pengaruh dan Penerapan Empirisme
Sebagai metode ilmiah,
empirisme pertama kali mendapat landasan kuat melalui pemikiran Francis
Bacon (1561–1626) yang mengembangkan metode induktif untuk
menggantikan pendekatan deduktif yang lebih spekulatif.² Pemikiran Bacon
kemudian diperluas oleh John Locke (1632–1704), George Berkeley
(1685–1753), dan David Hume (1711–1776) yang menegaskan bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman.³ Dalam perkembangannya, empirisme
menjadi dasar bagi kemajuan dalam sains alam, ilmu
sosial, filsafat sains, dan ilmu kognitif, yang menuntut bukti
empiris sebagai syarat utama bagi validitas suatu teori.⁴
Di abad ke-20, empirisme
berkembang lebih lanjut melalui empirisme logis
yang dipelopori oleh kelompok Vienna Circle,
yang menekankan bahwa hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris
yang memiliki makna.⁵ Meskipun teori ini menghadapi kritik karena keterbatasannya
dalam menjelaskan konsep-konsep teoretis yang tidak dapat diuji secara
langsung, seperti teori kuantum dan kosmologi,
pendekatan empirisme tetap menjadi standar dalam ilmu pengetahuan modern.⁶
9.2.
Kritik terhadap Empirisme
Meskipun memberikan fondasi
yang kuat bagi ilmu pengetahuan, empirisme juga menghadapi berbagai kritik. Immanuel
Kant (1724–1804) berpendapat bahwa pengalaman saja tidak cukup
untuk menjelaskan konsep-konsep universal seperti ruang, waktu, dan kausalitas,
yang menurutnya berasal dari struktur apriori dalam akal manusia.⁷ Selain itu, David
Hume mengajukan kritik terhadap induksi,
dengan menyatakan bahwa tidak ada jaminan logis bahwa pola yang diamati di masa
lalu akan terus berlaku di masa depan.⁸ Kritik ini kemudian melahirkan
pendekatan falsifikasi ilmiah oleh Karl
Popper (1902–1994), yang menekankan bahwa teori ilmiah tidak
bisa hanya diverifikasi melalui pengalaman, tetapi juga harus bisa diuji dan
dibuktikan salah jika bertentangan dengan data empiris.⁹
Selain itu, dalam ranah
filsafat kontemporer, Thomas Kuhn (1922–1996)
mengkritik empirisme dengan menyatakan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan tidak selalu terjadi melalui akumulasi pengalaman empiris, tetapi
melalui revolusi paradigma yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan historis.¹⁰
Dalam era postmodernisme, pemikir seperti Michel Foucault
(1926–1984) juga menyoroti bahwa pengaruh
kekuasaan dan struktur sosial dapat menentukan apa yang dianggap sebagai "pengetahuan
ilmiah", yang membuat pendekatan empirisme tidak
sepenuhnya netral.¹¹
9.3.
Relevansi Empirisme di Era Kontemporer
Meskipun menghadapi
tantangan, empirisme tetap menjadi pendekatan utama dalam ilmu pengetahuan dan
filsafat kontemporer. Dalam bidang neurosains, kecerdasan
buatan (AI), dan teknologi kuantum, metode empirisme terus
digunakan untuk menguji teori dan membangun pemahaman yang lebih mendalam
tentang dunia.¹² Namun, munculnya teknologi seperti pembelajaran
mesin (machine learning) dan realitas virtual
menimbulkan pertanyaan baru mengenai validitas pengalaman empiris dalam dunia
digital. Jika suatu sistem AI dapat mengembangkan "pengetahuan"
hanya dari data, apakah itu masih termasuk dalam kategori empirisme klasik?¹³
Dalam filsafat ilmu,
pendekatan empirisme kini semakin dikombinasikan dengan pendekatan rasionalisme
dan konstruktivisme, yang menyadari bahwa pengetahuan tidak
hanya diperoleh melalui pengalaman, tetapi juga melalui interpretasi dan
struktur konseptual yang lebih luas.¹⁴ Oleh karena itu, masa depan empirisme
kemungkinan akan melibatkan sintesis antara pendekatan empiris dan
pendekatan teoretis dalam memahami realitas.
Kesimpulan Akhir
Empirisme telah memberikan
kontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan metodologi penelitian,
terutama melalui penerapan metode induktif, eksperimen, dan observasi dalam
memahami dunia. Namun, kritik terhadap keterbatasan pengalaman sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan telah mendorong pengembangan pendekatan yang
lebih fleksibel dalam epistemologi.
Di era teknologi digital dan
kecerdasan buatan, empirisme menghadapi tantangan baru dalam mendefinisikan apa
yang dapat dianggap sebagai pengalaman empiris dan bagaimana
data digital dapat digunakan sebagai dasar untuk membangun pengetahuan.
Meskipun demikian, prinsip dasar empirisme tetap menjadi pilar utama dalam
pencarian kebenaran ilmiah dan pemahaman filosofis tentang realitas.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 512.
[2]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine
and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 24.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 45.
[4]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.
[5]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World
(Berkeley: University of California Press, 1967), 67.
[6]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 132.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 78.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Peter Millican (Oxford: Oxford University Press, 2007), 75.
[9]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
145.
[10]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
45.
[11]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the
Human Sciences (New York: Vintage Books, 1970), 89.
[12]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014),
98.
[13]
Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach
(New York: Pearson, 2016), 215.
[14]
W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism
(Cambridge: Harvard University Press, 1951), 32.
[15]
David Chalmers, The Virtual and the Real (Oxford:
Oxford University Press, 2022), 88.
Daftar Pustaka
Bacon, F. (2000). Novum Organum (L. Jardine
& M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.
Berkeley, G. (1998). A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge. Oxford University Press.
Carnap, R. (1967). The Logical Structure of the
World. University of California Press.
Chalmers, D. (2022). The Virtual and the Real.
Oxford University Press.
Chomsky, N. (1957). Syntactic Structures.
Mouton.
Comte, A. (1896). Cours de Philosophie Positive
(H. Martineau, Trans.). Kegan Paul.
Damasio, A. (1999). The Feeling of What Happens.
Harcourt.
Darwin, C. (1859). On the Origin of Species.
John Murray.
Descartes, R. (1993). Meditations on First
Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Durkheim, É. (1951). Suicide: A Study in
Sociology (J. A. Spaulding & G. Simpson, Trans.). Free Press.
Einstein, A. (1961). Relativity: The Special and
the General Theory (R. W. Lawson, Trans.). Crown Publishers.
Feyerabend, P. (1975). Against Method.
Verso.
Floridi, L. (2014). The Fourth Revolution: How
the Infosphere is Reshaping Human Reality. Oxford University Press.
Foucault, M. (1970). The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences. Vintage Books.
Galileo, G. (1967). Dialogue Concerning the Two
Chief World Systems (S. Drake, Trans.). University of California Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of Spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Heisenberg, W. (1958). Physics and Philosophy:
The Revolution in Modern Science. Harper & Row.
Hume, D. (2007). An Enquiry Concerning Human
Understanding (P. Millican, Ed.). Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P.
Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific
Revolutions. University of Chicago Press.
Lavoisier, A. (1790). Elements of Chemistry
(R. Kerr, Trans.). William Creech.
Locke, J. (1975). An Essay Concerning Human
Understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press.
Newton, I. (1999). Mathematical Principles of
Natural Philosophy (A. Motte, Trans.). University of California Press.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett Publishing.
Popper, K. (2002). The Logic of Scientific
Discovery. Routledge.
Quine, W. V. O. (1951). Two Dogmas of Empiricism.
Harvard University Press.
Russell, B. (2004). History of Western
Philosophy. Routledge.
Schlick, M. (1974). General Theory of Knowledge
(A. E. Blumberg, Trans.). Springer.
Skinner, B. F. (1953). Science and Human
Behavior. Free Press.
Smith, A. (1776). An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations. W. Strahan & T. Cadell.
Watson, J. B. (1913). Psychology as the
Behaviorist Views It. Psychological Review, 20(2), 158–177.
Wundt, W. (1904). Principles of Physiological
Psychology (E. B. Titchener, Trans.). Macmillan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar