Minggu, 10 November 2024

Pemikiran Martin Heidegger: Menyingkap Hakikat Ada

Pemikiran Martin Heidegger

Menyingkap Hakikat Ada


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran Martin Heidegger, salah satu filsuf paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, yang dikenal melalui proyek ontologi fundamentalnya dalam Being and Time (1927). Heidegger berupaya membangkitkan kembali pertanyaan mendasar yang telah lama dilupakan oleh tradisi metafisika Barat, yakni pertanyaan tentang makna Ada (Sein). Melalui analisis terhadap konsep-konsep kunci seperti Dasein, keotentikan, kecemasan eksistensial, temporalisitas, serta peran bahasa dan puisi, artikel ini menunjukkan bagaimana pemikiran Heidegger berevolusi dari pendekatan eksistensial menuju meditasi kontemplatif atas sejarah metafisika dan peradaban teknologis. Selain membahas kritik terhadap Heidegger, termasuk keterlibatannya dengan rezim Nazi, artikel ini juga mengeksplorasi pengaruh luasnya terhadap hermeneutika, eksistensialisme, dekonstruksi, dan spiritualitas kontemporer. Di tengah krisis makna, alienasi, dan dominasi teknologi dalam kehidupan modern, filsafat Heidegger menawarkan refleksi yang mendalam tentang eksistensi manusia dan membuka jalan menuju pemahaman yang lebih otentik dan puitis atas keberadaan.

Kata Kunci: Martin Heidegger, Ada (Sein), Dasein, ontologi fundamental, eksistensialisme, keotentikan, bahasa, teknologi, postmodernisme, hermeneutika.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif terhadap Pemikiran Martin Heidegger


1.           Pendahuluan

Filsafat Barat modern hingga awal abad ke-20 banyak berkutat pada persoalan epistemologi dan rasionalitas, namun cenderung melupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam tradisi metafisika: "apa makna keberadaan?" atau dalam bahasa Heidegger, pertanyaan tentang Ada (Seinsfrage). Martin Heidegger (1889–1976), seorang filsuf Jerman yang karyanya sangat berpengaruh dalam bidang ontologi dan fenomenologi, memusatkan seluruh proyek filsafatnya untuk menghidupkan kembali pertanyaan mendasar ini yang menurutnya telah diabaikan sejak zaman Plato dan Aristoteles.1

Karya monumental Heidegger, Sein und Zeit (Being and Time, 1927), merupakan tonggak penting dalam pemikiran abad ke-20 karena memperkenalkan pendekatan eksistensial-ontologis terhadap pertanyaan tentang keberadaan. Dalam karya tersebut, Heidegger tidak hanya mempertanyakan “apa itu ada?” melainkan “apa artinya ‘ada’ itu sendiri?”—suatu pendekatan yang merevolusi cara pandang terhadap manusia, waktu, dan dunia.2 Ia berusaha menelusuri struktur eksistensial manusia (yang ia sebut sebagai Dasein) sebagai pintu masuk menuju pemahaman tentang makna “Ada” secara lebih fundamental.

Kebaruan pendekatan Heidegger terletak pada penolakannya terhadap dualisme subjek-objek ala Descartes dan filsafat representasional Barat. Heidegger justru menggagas suatu pemahaman bahwa manusia tidak berdiri sebagai subjek terpisah yang mengamati dunia dari luar, melainkan senantiasa “berada-di-dunia” (being-in-the-world), dan dari situlah keterbukaan terhadap makna “Ada” terjadi.3 Pendekatan ini membentuk dasar dari fenomenologi hermeneutik dan menjadi titik tolak bagi perkembangan eksistensialisme serta dekonstruksi dalam pemikiran filsafat kontemporer.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengkaji secara sistematis pokok-pokok pemikiran Heidegger yang berkaitan dengan pertanyaan tentang "Ada", serta menelusuri bagaimana konsep-konsep seperti Dasein, keotentikan, waktu, dan bahasa memainkan peran kunci dalam usahanya menjawab persoalan fundamental tersebut. Dengan pendekatan ini, artikel ini berharap dapat memberikan gambaran menyeluruh terhadap kontribusi Heidegger dalam membangun kembali ontologi fundamental dan menunjukkan relevansinya dalam menjawab problem eksistensial manusia modern.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.

[2]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 33–35.

[3]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 13–16.


2.           Biografi Singkat Martin Heidegger

Martin Heidegger lahir pada 26 September 1889 di kota kecil Messkirch, Baden, Jerman Selatan, dari keluarga Katolik yang sederhana. Ayahnya adalah seorang tukang kayu dan juru kunci gereja lokal, dan awalnya Heidegger ditujukan untuk menempuh pendidikan teologi Katolik di Freiburg dengan harapan menjadi imam.1 Namun, minatnya bergeser ke bidang filsafat dan matematika, terutama setelah membaca karya-karya Brentano dan Aristoteles yang memperkenalkannya pada pertanyaan-pertanyaan ontologis mendasar.2

Heidegger menempuh studi di Universitas Freiburg, di mana ia kemudian menjadi asisten dari Edmund Husserl, pendiri aliran fenomenologi. Relasi ini memainkan peran penting dalam perkembangan awal pemikirannya, walaupun kelak Heidegger mengembangkan pendekatan yang berbeda secara radikal dari gurunya. Husserl berupaya mengembalikan filsafat kepada “kembali ke benda itu sendiri” (zurück zu den Sachen selbst), yaitu dengan menekankan pengalaman murni subjek dalam menangkap fenomena. Heidegger menyambut prinsip tersebut, tetapi mengalihkannya dari fokus epistemologis ke ontologis, dengan menempatkan pertanyaan tentang “Ada” sebagai pusat perhatian.3

Pada tahun 1927, Heidegger menerbitkan karya utamanya, Sein und Zeit (Being and Time), yang segera menempatkannya di jajaran filsuf besar Eropa. Buku tersebut merepresentasikan puncak dari fase awal pemikirannya dan mengusulkan landasan baru bagi filsafat, yakni suatu ontologi fundamental yang berpijak pada analisis eksistensial tentang manusia sebagai Dasein.4

Secara akademik, Heidegger menjabat sebagai profesor di Universitas Marburg dan kemudian di Universitas Freiburg. Ia sempat menjadi Rektor Universitas Freiburg pada tahun 1933, bertepatan dengan naiknya rezim Nazi ke tampuk kekuasaan di Jerman. Keterlibatannya dengan Partai Nazi dan pidato rektoralnya yang mendukung ideologi nasionalisme Jerman menjadi titik kontroversial dalam biografinya, dan terus menjadi perdebatan etis dan historis di kalangan akademik hingga hari ini.5

Meskipun begitu, setelah Perang Dunia II, Heidegger menarik diri dari kehidupan publik dan lebih banyak menulis karya-karya filsafat yang mendalam tentang bahasa, puisi, teknologi, dan sejarah metafisika Barat. Fase pemikiran Heidegger pasca-1930-an ini sering disebut sebagai “Heidegger akhir” (later Heidegger), yang lebih menekankan pada ketersembunyian Ada (aletheia) dan peran bahasa sebagai tempat tinggal bagi “Ada”.6 Ia wafat pada 26 Mei 1976 di kota kelahirannya, Messkirch, dalam usia 86 tahun.

Warisan Heidegger tidak hanya terbatas pada kajian filsafat, tetapi juga menjalar ke bidang sastra, teologi, seni, dan teori politik. Baik dalam pujian maupun kritik, pemikirannya telah memberikan dampak besar terhadap arah pemikiran abad ke-20 dan seterusnya.


Footnotes

[1]                Julian Young, Heidegger, Philosophy, Nazism (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 2–4.

[2]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 5–7.

[3]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 229–232.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 1–3.

[5]                Hugo Ott, Martin Heidegger: A Political Life, trans. Allan Blunden (London: Fontana Press, 1993), 125–130.

[6]                William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 587–592.


3.           Latar Belakang Pemikiran

Pemikiran Martin Heidegger lahir dalam konteks intelektual Eropa yang tengah mengalami pergeseran besar di awal abad ke-20. Dunia filsafat pada masa itu didominasi oleh warisan rasionalisme Cartesian, idealisme Jerman (Kant, Fichte, Schelling, Hegel), serta positivisme ilmiah yang mengagungkan logika, sains, dan objektivitas sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih. Namun, aliran-aliran ini dianggap gagal menjawab persoalan eksistensial manusia dan justru menjauhkan filsafat dari pertanyaan fundamental tentang makna keberadaan itu sendiri.

Heidegger melihat bahwa sejak Plato, tradisi metafisika Barat telah mengalami apa yang ia sebut sebagai "Seinsvergessenheit" atau pelupaan terhadap “Ada” (Sein)—yakni kecenderungan untuk membahas segala sesuatu dari sudut pandang entitas atau benda-benda (Seiendes) alih-alih mempertanyakan keberadaan itu sendiri.1 Menurut Heidegger, filsafat Barat terlalu terobsesi pada kategori-kategori logis dan ontik (apa yang ada), tanpa menaruh perhatian pada pengertian eksistensial dari “bahwa sesuatu itu ada” (the beingness of being). Hal ini mendorongnya untuk merumuskan kembali suatu bentuk ontologi yang lebih mendasar, yang disebutnya sebagai “ontologi fundamental” (Fundamentalontologie).2

Salah satu pengaruh besar dalam awal pemikiran Heidegger adalah fenomenologi Edmund Husserl. Fenomenologi memberikan Heidegger perangkat metodologis untuk menggali pengalaman manusia secara langsung dan intensional. Akan tetapi, berbeda dari Husserl yang menekankan pada “kesadaran murni” dan struktur pengalaman kognitif, Heidegger menggeser fokus ke eksistensi manusia secara konkret di dunia, melalui konsep Dasein, yaitu manusia sebagai subjek yang secara sadar berada dalam dunia dan mempertanyakan makna keberadaannya sendiri.3

Selain itu, Heidegger juga banyak terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles, terutama dalam hal pemahaman tentang ousia (substansi) dan aktualitas. Dalam kuliahnya yang berjudul Phänomenologische Interpretationen zu Aristoteles (1922), Heidegger menafsirkan Aristoteles secara eksistensial, menyoroti dinamika hidup manusia bukan sebagai objek metafisika statis, tetapi sebagai proses menjadi yang terbuka terhadap makna Ada.4 Di sinilah Heidegger membangun jembatan antara filsafat klasik dan problematika modern: bagaimana menjelaskan eksistensi manusia bukan dalam istilah kategori metafisis yang abstrak, melainkan dalam keterlibatan nyatanya dalam dunia.

Heidegger juga merespons krisis spiritual dan intelektual yang melanda Eropa pasca-Perang Dunia I, yang memperlihatkan kegagalan filsafat rasionalis dan sains modern dalam memberikan arah hidup manusia. Ia memandang bahwa hanya dengan mengembalikan filsafat kepada pertanyaan asli tentang “Ada”, manusia dapat keluar dari keterasingan dan krisis makna yang mencengkeram zaman modern.5 Oleh karena itu, proyek pemikiran Heidegger bukan semata akademik atau teoritis, tetapi sebuah usaha eksistensial untuk “menyingkap” kebenaran keberadaan yang tersembunyi di balik rutinitas dan wacana intelektual yang dangkal.

Dengan demikian, latar belakang pemikiran Heidegger merupakan sintesis kritis atas tradisi metafisika Barat, pengaruh fenomenologi, serta kesadaran historis terhadap situasi manusia modern. Ia menawarkan suatu “cara baru berpikir” (Andenken), yakni berpikir yang tidak sekadar menalar secara logis, tetapi membiarkan diri tersentuh oleh panggilan Ada yang terlupakan.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.

[2]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 41–45.

[3]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 234–238.

[4]                Theodore Kisiel, The Genesis of Heidegger's Being and Time (Berkeley: University of California Press, 1993), 109–112.

[5]                William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 17–20.


4.           Pokok-Pokok Pemikiran Heidegger

Pemikiran Martin Heidegger berakar pada upayanya untuk membangkitkan kembali pertanyaan metafisis paling fundamental: apa arti Ada? Proyek ini dijabarkan secara mendalam dalam karyanya yang paling berpengaruh, Sein und Zeit (Being and Time, 1927). Dalam karya tersebut, Heidegger menawarkan pendekatan baru yang berbeda dari tradisi metafisika Barat: bukan lagi bertanya “apa itu ada?”, melainkan “apa maknaAda’ itu sendiri?” Berikut ini adalah pokok-pokok utama dari kerangka pemikiran Heidegger:

4.1.       Pertanyaan tentang Ada (Seinsfrage)

Heidegger memulai dengan sebuah kritik terhadap sejarah filsafat yang, menurutnya, telah melupakan pertanyaan tentang Sein (Ada) dan hanya fokus pada entitas atau Seiendes (hal-hal yang ada). Pertanyaan tentang Sein merupakan sesuatu yang mendahului segala bentuk pengetahuan dan menjadi dasar dari semua pemikiran.1 Dalam hal ini, Heidegger menghidupkan kembali warisan ontologi, namun dengan pendekatan eksistensial, bukan metafisika tradisional.

Heidegger menegaskan bahwa "Ada" bukanlah suatu entitas, melainkan sesuatu yang harus dipahami dalam keterbukaannya—yakni bagaimana segala sesuatu hadir dan terbuka bagi pemahaman manusia.2 Dengan kata lain, ia menyarankan bahwa Ada bukanlah objek dari pengamatan, tetapi kondisi kemungkinan bagi segala pengungkapan.

4.2.       Dasein sebagai Pusat Ontologi Fundamental

Untuk memahami makna Sein, Heidegger menganalisis keberadaan manusia sebagai titik tolaknya. Ia menyebut eksistensi manusia dengan istilah Dasein, yang secara harfiah berarti “ada-di-sana”.3 Dasein bukan sekadar subjek kognitif seperti dalam filsafat Cartesian, tetapi adalah makhluk yang memiliki hubungan eksistensial dengan dunia dan mampu mempertanyakan keberadaannya sendiri.

Heidegger menekankan bahwa Dasein selalu berada “di-dalam-dunia” (in-der-Welt-sein), yaitu suatu bentuk keberadaan yang tak dapat dipisahkan dari konteks, sejarah, dan relasi sosial. Dasein tidak berada dalam dunia seperti benda dalam ruang, tetapi secara aktif terlibat dalam makna dan pemahaman tentang dunia.4

4.3.       Keotentikan dan Ketidakauthentikan

Salah satu aspek sentral dari analisis Dasein adalah keotentikan (Eigentlichkeit)—yakni keberadaan manusia yang menyadari dan menerima tanggung jawab eksistensialnya secara penuh. Sebaliknya, hidup dalam “ketidakauthentikan” berarti mengikuti arus umum (das Man), yaitu kehidupan sehari-hari yang dangkal dan tidak sadar diri.5

Kecemasan (Angst) menjadi momen penting dalam filsafat Heidegger. Berbeda dengan ketakutan terhadap objek tertentu, kecemasan eksistensial adalah rasa keterlemparan ke dalam dunia yang absurd dan tanpa makna mutlak. Dalam kecemasan ini, Dasein menyadari keterasingannya dan terpanggil untuk hidup secara otentik.6

4.4.       Waktu sebagai Kunci Pemahaman Ada

Heidegger menyatakan bahwa keberadaan Dasein bersifat temporal. Artinya, makna Ada tidak dapat dipahami terlepas dari dimensi waktu. Ia menyebut struktur waktu eksistensial sebagai temporality (Zeitlichkeit), yang bukan sekadar urutan kronologis, melainkan keterarahan Dasein pada masa depan, masa lalu, dan masa kini secara eksistensial.7

Kematian memainkan peran penting dalam struktur ini: sebagai kemungkinan yang paling personal dan tak terhindarkan, kematian mengungkap totalitas eksistensi Dasein dan mendorongnya pada kehidupan yang otentik. Kesadaran akan kematian mengarahkan manusia untuk hidup secara utuh dan sadar.8

4.5.       Kritik terhadap Metafisika dan Rasionalisme Barat

Heidegger menilai bahwa metafisika Barat, sejak Plato hingga Nietzsche, telah gagal karena terus menyamakan "Ada" dengan keberadaan entitas tertentu, seperti ide, substansi, atau kehendak.9 Dalam karyanya yang lebih lambat (Heidegger akhir), ia menyebut hal ini sebagai Seinsgeschichte (sejarah Ada), yaitu penelusuran bagaimana pemahaman manusia tentang “Ada” mengalami distorsi dalam sejarah filsafat.

4.6.       Bahasa sebagai Rumah Ada

Dalam karya-karya terakhirnya, Heidegger menegaskan bahwa bahasa adalah rumah bagi Ada (die Sprache ist das Haus des Seins). Melalui bahasa, makna Ada bisa hadir dan diungkap. Ia menganggap puisi sebagai bentuk bahasa yang paling mampu menangkap keterbukaan Ada karena tak terkungkung oleh kategori logis atau ilmiah.10

Dengan demikian, Heidegger mengalihkan fokus filsafat dari penguasaan terhadap dunia ke penghayatan akan keterbukaan dunia sebagai sesuatu yang terus “menyingkap” dan sekaligus “menyembunyikan” dirinya.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 2–4.

[2]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 48–50.

[3]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 236–238.

[4]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 34–37.

[5]                Charles B. Guignon, Heidegger and the Problem of Knowledge (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 65–67.

[6]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 198–202.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, 375–385.

[8]                Julian Young, Heidegger’s Later Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 54–56.

[9]                William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 445–448.

[10]             Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.


5.           Perkembangan Pemikiran Heidegger: Dari Ontologi Fundamentalis ke Puisi dan Bahasa

Perjalanan intelektual Martin Heidegger mengalami transformasi signifikan sepanjang hidupnya. Umumnya, para penafsir membagi pemikirannya menjadi dua fase utama: Heidegger awal, yang dikaitkan erat dengan karya Sein und Zeit (Being and Time, 1927), dan Heidegger akhir, yang berkembang terutama setelah 1930-an dan ditandai dengan pergeseran fokus dari analisis eksistensial ke pemikiran tentang bahasa, teknologi, dan sejarah metafisika.1

5.1.       Heidegger Awal: Ontologi Fundamental dan Analisis Dasein

Dalam fase awal ini, Heidegger menempatkan Dasein sebagai pusat ontologi fundamental. Ia menegaskan bahwa hanya melalui analisis eksistensial terhadap manusia—makhluk yang mampu mempertanyakan keberadaannya sendiri—pertanyaan tentang Sein dapat dijawab secara mendasar.2 Fokus utama Heidegger adalah menggali struktur temporalitas (Zeitlichkeit) sebagai dasar pemahaman tentang Ada, yang diartikulasikannya secara sistematis dalam Being and Time. Tujuannya adalah membangun dasar ontologis bagi seluruh ilmu pengetahuan, bukan dengan metode deduktif-metafisis, tetapi dengan menggali pengalaman konkret keberadaan manusia.

Namun, proyek ini tidak pernah selesai. Heidegger merencanakan bagian kedua dari Being and Time yang akan membahas waktu dalam kaitannya dengan sejarah metafisika dan bahasa, tetapi tidak pernah menerbitkannya. Kegagalan menyelesaikan proyek awal ini menjadi isyarat awal pergeseran fokus pemikirannya ke arah yang lebih “meditatif”.3

5.2.       Heidegger Akhir: Pergeseran ke Bahasa, Puisi, dan Teknologi

Setelah dekade 1930-an, pemikiran Heidegger mengalami transisi besar. Ia mulai mengembangkan gagasan bahwa pertanyaan tentang Sein tidak bisa dijawab melalui struktur eksistensial manusia saja, tetapi harus ditelusuri melalui sejarah pemikiran Barat yang ia sebut sebagai Seinsgeschichte (sejarah pengungkapan dan penyembunyian Ada). Dalam fase ini, Heidegger menyatakan bahwa sejak Plato hingga Nietzsche, filsafat Barat telah menempuh jalan pelupaan terhadap Sein dengan menyamakan Ada dengan keberadaan entitas tertentu (misalnya, ide, substansi, kehendak kuasa, dll).4

Dalam Beiträge zur Philosophie (1936–1938), Heidegger memperkenalkan konsep kunci seperti Ereignis (peristiwa pengungkapan/penyingkapan), yaitu momen di mana Ada menyatakan dirinya kepada manusia secara historis. Di sini, Heidegger tidak lagi menyandarkan makna Sein pada subjek manusia (Dasein), tetapi pada keterbukaan kosmis antara manusia dan dunia dalam proses saling mengungkap.5

Selain itu, Heidegger mulai menempatkan bahasa sebagai media utama pengungkapan Ada. Dalam esainya yang terkenal, “Language is the House of Being”, ia menyatakan bahwa hanya melalui bahasa manusia bisa menangkap keberadaan, namun bahasa itu sendiri bukan ciptaan manusia, melainkan tempat tinggal Ada yang membimbing pemahaman manusia secara pasif dan aktif.6

Heidegger juga menunjukkan keprihatinannya terhadap perkembangan teknologi modern, yang ia anggap sebagai puncak dari pelupaan terhadap Ada. Dalam esai “The Question Concerning Technology”, ia menjelaskan bahwa cara berpikir teknologis menjadikan segala sesuatu sebagai standing-reserve (cadangan daya guna), yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari pengalaman otentik terhadap keberadaan.7 Menurutnya, hanya melalui puisi—sebagai bentuk bahasa yang paling peka terhadap keberadaan—manusia dapat kembali membuka dirinya terhadap misteri Sein.

5.3.       Kontinuitas dan Diskontinuitas: Interpretasi Kritis

Perdebatan di kalangan sarjana masih berlangsung tentang sejauh mana fase awal dan akhir pemikiran Heidegger menunjukkan kesinambungan atau diskontinuitas. Beberapa seperti William J. Richardson menekankan kontinuitas dalam bentuk perubahan fokus, dari analisis eksistensial menuju meditatif-poetik, tanpa meninggalkan pertanyaan pokok tentang Sein.8 Sementara yang lain, seperti Thomas Sheehan, menilai bahwa pergeseran ini cukup radikal dan menggambarkan perombakan besar dalam landasan ontologis Heidegger sendiri.

Yang jelas, perubahan ini memperluas cakrawala pemikiran Heidegger dan mempertemukannya dengan berbagai tradisi non-Barat, termasuk Taoisme, Zen, dan bahkan mistisisme Kristen, serta memberikan pengaruh besar terhadap hermeneutika, dekonstruksi, dan filsafat postmodern.


Footnotes

[1]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 81–85.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34–37.

[3]                Theodore Kisiel, The Genesis of Heidegger’s Being and Time (Berkeley: University of California Press, 1993), 552–558.

[4]                Julian Young, Heidegger’s Philosophy of Art (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 121–124.

[5]                Martin Heidegger, Contributions to Philosophy (From Enowning), trans. Parvis Emad and Kenneth Maly (Bloomington: Indiana University Press, 1999), 5–12.

[6]                Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.

[7]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–35.

[8]                William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 631–635.


6.           Kritik dan Pengaruh

6.1.       Kritik terhadap Pemikiran Heidegger

Seiring pengaruh luas pemikiran Martin Heidegger dalam berbagai bidang filsafat dan ilmu humaniora, tidak sedikit pula kritik yang diarahkan terhadap pendekatan dan implikasi gagasannya. Kritik tersebut datang dari berbagai kalangan, baik dari segi metodologis, etis, maupun politik.

Salah satu kritik utama datang dari tradisi analitik, terutama dari filsuf seperti Rudolf Carnap, yang menuduh Heidegger menggunakan bahasa yang kabur dan tidak dapat diverifikasi secara logis. Dalam esainya yang terkenal, The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language (1932), Carnap menyebut ungkapan Heidegger seperti "Das Nichts nichtet" ("Ketiadaan itu meng-ada-kan ketiadaan") sebagai contoh dari nonsens linguistik metafisik yang tidak memiliki makna empiris ataupun logis.1 Kritik ini mencerminkan jurang metodologis antara filsafat kontinental dan analitik.

Selain itu, beberapa pemikir eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre mengkritik Heidegger karena terlalu menekankan struktur keberadaan tanpa cukup memberi ruang pada kebebasan subjek. Meskipun Sartre mengaku banyak terinspirasi oleh Heidegger, terutama dalam konsep Dasein, ia tetap mengembangkan filsafatnya dalam kerangka humanisme ateistik, sesuatu yang kemudian justru ditolak oleh Heidegger dalam esainya Letter on Humanism (1947).2

Kritik paling tajam mungkin muncul dari sisi politik dan etika, terutama terkait keterlibatan Heidegger dengan Partai Nazi. Ia menjadi Rektor Universitas Freiburg pada 1933 dan memberikan pidato yang mendukung nasionalisme Jerman. Meskipun Heidegger kemudian menyatakan bahwa keterlibatannya itu keliru, ia tidak pernah secara terbuka meminta maaf. Hal ini memunculkan pertanyaan serius tentang hubungan antara filsafatnya dan ideologi totalitarianisme. Beberapa sarjana seperti Emmanuel Faye bahkan menuduh bahwa keseluruhan filsafat Heidegger tidak bisa dipisahkan dari Nazisme.3 Namun demikian, sejumlah penafsir lain seperti Julian Young dan Richard Polt berargumen bahwa filsafat Heidegger tetap memiliki nilai penting jika dikaji secara kritis dan terpisah dari sikap politik pribadinya.4

6.2.       Pengaruh Pemikiran Heidegger

Terlepas dari kontroversinya, pengaruh Heidegger dalam perkembangan filsafat kontemporer sangat luas dan mendalam. Ia menjadi inspirasi utama bagi eksistensialisme, hermeneutika, post-strukturalisme, dan dekonstruksi.

Dalam eksistensialisme, Heidegger memberi dasar ontologis yang kokoh bagi filsuf seperti Sartre dan Merleau-Ponty. Konsep Dasein, kecemasan eksistensial, serta keotentikan menjadi pondasi utama dalam pengembangan filsafat eksistensial tentang kebebasan, tanggung jawab, dan makna hidup manusia.5

Dalam hermeneutika filosofis, Heidegger sangat memengaruhi Hans-Georg Gadamer, murid sekaligus pengagum beratnya. Gadamer mengembangkan pemikiran Heidegger menjadi teori interpretasi dalam Truth and Method (1960), di mana pengalaman memahami (Verstehen) selalu dibentuk oleh sejarah, bahasa, dan horizon kebudayaan yang terus bergerak.6

Heidegger juga merupakan figur sentral bagi dekonstruksi ala Jacques Derrida. Gagasan Derrida tentang différance, peluruhan pusat makna, dan dekonstruksi terhadap metafisika kehadiran (metaphysics of presence) secara eksplisit berakar dari kritik Heidegger terhadap sejarah filsafat Barat dan pemikiran tentang "kehadiran" sebagai bentuk dominan dalam metafisika.7

Di luar dunia filsafat Barat, pemikiran Heidegger juga memberi pengaruh terhadap pemikir-pemikir Islam kontemporer, terutama mereka yang tertarik pada kritik modernitas dan eksplorasi ontologi. Misalnya, pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Toshihiko Izutsu menunjukkan ketertarikan terhadap ontologi mistik dan bahasa, yang dapat dikaitkan dengan pemikiran Heidegger tentang ketersembunyian Ada dan bahasa sebagai tempat tinggal keberadaan.8


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language,” in Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 60–81.

[2]                Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi (New York: Harper & Row, 1977), 3–12.

[3]                Emmanuel Faye, Heidegger: The Introduction of Nazism into Philosophy, trans. Michael B. Smith (New Haven: Yale University Press, 2009), 11–15.

[4]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 109–113; Julian Young, Heidegger, Philosophy, Nazism (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 212–220.

[5]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 233–240.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), xv–xxiv.

[7]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 10–15.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 45–48; Toshihiko Izutsu, The Structure of Ethical Terms in the Koran (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1959), xii–xv.


7.           Relevansi Pemikiran Heidegger di Era Kontemporer

Meskipun karya-karya Martin Heidegger ditulis pada paruh pertama abad ke-20, pemikirannya tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam menghadapi tantangan zaman kontemporer. Filsafat Heidegger menyentuh dimensi terdalam dari eksistensi manusia—dimensi yang tak lekang oleh waktu karena menyangkut pertanyaan paling fundamental: “apa artinya menjadi?

7.1.       Krisis Makna dalam Dunia Modern

Heidegger hidup dalam zaman transisi—dari dunia tradisional ke dunia modern yang penuh dengan fragmentasi makna, mekanisasi kehidupan, dan krisis identitas manusia. Kritik Heidegger terhadap filsafat Barat yang melupakan Ada (Sein) dan kecenderungan modernitas yang mereduksi dunia menjadi objek teknis dan fungsional terbukti masih sangat relevan. Dalam The Question Concerning Technology, Heidegger memperingatkan bahwa teknologi modern tidak sekadar alat netral, melainkan cara berpikir yang mengubah seluruh relasi manusia dengan dunia—yakni menjadikan segala sesuatu sebagai “cadangan daya guna” (Bestand) yang siap dieksploitasi.1

Pandangan ini mendapatkan perhatian khusus dalam konteks krisis lingkungan hidup global. Banyak pemikir ekofilsafat kontemporer mengutip Heidegger untuk menyoroti bagaimana cara berpikir teknologis dan eksploitasi sumber daya alam telah merusak relasi ontologis manusia dengan alam.2 Heidegger mengajak manusia untuk berhenti melihat dunia sebagai sesuatu yang bisa ditaklukkan, dan mulai menghayatinya sebagai sesuatu yang hadir dan mengungkapkan dirinya dalam kebersamaan yang penuh hormat.

7.2.       Pencarian Otentisitas di Tengah Alienasi Sosial

Konsep Dasein dan keotentikan (Eigentlichkeit) juga menjadi sangat relevan dalam era yang ditandai oleh dominasi media sosial, konsumerisme, dan standar kehidupan yang ditentukan oleh “mereka” (das Man). Heidegger menegaskan bahwa manusia cenderung terjebak dalam eksistensi yang tidak otentik—hidup menurut norma yang diatur oleh opini publik, kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri, dan melupakan kematiannya sebagai momen eksistensial paling otentik.3

Kecemasan eksistensial yang dibahas Heidegger sebagai cara membuka keotentikan kembali muncul dalam diskursus psikologi eksistensial modern, termasuk dalam terapi eksistensial yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, Rollo May, dan Irvin D. Yalom.4 Pemikiran Heidegger menyediakan dasar ontologis bagi pendekatan psikoterapi yang tidak hanya memedulikan gejala, tetapi juga makna hidup manusia yang terdalam.

7.3.       Bahasa, Sastra, dan Seni dalam Wacana Kultural

Dalam dunia budaya dan humaniora, pemikiran Heidegger tentang bahasa sebagai rumah bagi Ada menjadi inspirasi besar bagi hermeneutika, teori sastra, serta studi-studi kultural. Heidegger memandang bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan ruang di mana keberadaan dapat menampakkan diri. Hal ini memberi fondasi bagi pendekatan interpretatif dalam seni dan sastra kontemporer, termasuk dalam pendekatan post-strukturalis dan dekonstruktif yang dipelopori oleh Jacques Derrida.5

Puisi, bagi Heidegger, adalah medium istimewa yang mampu mengungkap makna yang tak bisa dijelaskan oleh logika teknis. Dalam masyarakat yang makin kehilangan kedalaman makna akibat dominasi bahasa komersial dan teknokratik, pemikiran Heidegger mendorong upaya untuk menghidupkan kembali dimensi puitik dalam kehidupan manusia.

7.4.       Dialog Lintas Tradisi dan Spiritualitas Kontemporer

Pemikiran Heidegger juga membuka ruang dialog antara filsafat Barat dan tradisi filsafat non-Barat, khususnya dalam hal ontologi dan spiritualitas. Beberapa sarjana menemukan kesamaan antara pemikiran Heidegger dan konsep-konsep dalam Taoisme, Zen, serta tradisi tasawuf Islam, terutama dalam hal ketersembunyian keberadaan, sikap diam kontemplatif, dan kesadaran akan keterbatasan bahasa.6

Dalam konteks Islam kontemporer, pemikiran Heidegger menginspirasi sebagian intelektual Muslim untuk mengkritisi modernitas Barat dan mencari kembali dimensi transendental dalam pengalaman hidup. Misalnya, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan Heideggerian untuk menafsirkan Al-Qur’an secara semantik-ontologis, sementara Syed Naquib al-Attas dan Seyyed Hossein Nasr mengkritik worldview modern melalui perspektif keberadaan yang lebih spiritual dan metafisik.7


Kesimpulan Sementara

Heidegger bukan hanya tokoh penting dalam sejarah filsafat, tetapi juga penyumbang wacana kritis terhadap arah peradaban modern. Dengan menyoroti pelupaan terhadap “Ada”, ia mendorong manusia untuk menyadari kembali dimensi terdalam eksistensinya, membuka ruang baru bagi refleksi filosofis, spiritualitas kontemplatif, dan tanggung jawab ekologis. Dalam era digital dan pascamodern yang serba cepat, pemikiran Heidegger menjadi semacam “panggilan untuk berhenti sejenak”—untuk merenung, mendengar, dan merasakan keterhubungan kita dengan dunia dan makna yang lebih besar.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–35.

[2]                Michael E. Zimmerman, Heidegger’s Confrontation with Modernity: Technology, Politics, and Art (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 214–220.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 167–174.

[4]                Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic Books, 1980), 8–15.

[5]                Jacques Derrida, Of Spirit: Heidegger and the Question, trans. Geoffrey Bennington and Rachel Bowlby (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 17–25.

[6]                Graham Parkes, Heidegger and Asian Thought (Honolulu: University of Hawaii Press, 1987), 3–10.

[7]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), xii–xv; Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 75–81.


8.           Penutup

Martin Heidegger merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dan orisinal dalam sejarah filsafat abad ke-20. Dengan mengajukan kembali pertanyaan fundamental tentang Ada (Sein), ia tidak hanya menantang fondasi metafisika Barat, tetapi juga membuka medan pemikiran baru yang melintasi batas antara filsafat, sastra, seni, teologi, bahkan sains dan ekologi. Proyek ontologi fundamental-nya dalam Being and Time (1927) menandai titik balik penting dalam cara manusia memahami keberadaannya di dunia—bukan lagi sebagai entitas rasional yang netral, melainkan sebagai makhluk yang selalu "ada-di-dalam-dunia" dan terlibat dalam relasi eksistensial yang mendalam dengan makna.1

Melalui konsep Dasein, keotentikan, kecemasan, waktu, bahasa, hingga kritik terhadap teknologi, Heidegger menawarkan filsafat yang tidak hanya teoritis, tetapi juga eksistensial dan reflektif. Fase kedua pemikirannya memperluas cakrawala ke arah yang lebih kontemplatif—mengajak manusia untuk diam, mendengar, dan membuka diri terhadap ketersembunyian Ada yang terus-menerus menyingkapkan dirinya dalam sejarah dan bahasa.2 Kesadaran akan sejarah pelupaan terhadap Ada (Seinsvergessenheit) mendorong manusia modern untuk berpikir lebih dalam tentang akar spiritual dan eksistensial dari kehidupannya yang kini terjerat dalam jaringan teknologi dan nihilisme.

Kritik terhadap Heidegger, baik dari segi gaya bahasa, ketertutupan konseptual, maupun keterlibatan politiknya dengan Nazisme, tidak dapat diabaikan. Namun, banyak sarjana sepakat bahwa nilai pemikirannya tetap penting, terutama dalam mengungkapkan krisis mendalam yang dihadapi manusia modern—krisis makna, keterasingan, dan kekosongan spiritual di tengah kemajuan teknologis dan material.3 Justru karena kompleksitas dan kedalaman pemikirannya, Heidegger menjadi sosok yang tak henti-hentinya ditafsirkan ulang, dikritisi, sekaligus dijadikan inspirasi dalam berbagai bidang.

Di era kontemporer yang ditandai oleh disrupsi teknologi, degradasi ekologis, dan pencarian spiritualitas baru, pemikiran Heidegger kembali menemukan urgensinya. Ia mengingatkan bahwa sebelum manusia berusaha menguasai dunia, ia perlu terlebih dahulu memahami apa artinya "menjadi." Dalam dunia yang terlalu cepat bergerak, filsafat Heidegger menjadi ajakan untuk berhenti sejenak, merenung dalam diam, dan mendengar panggilan Ada—sebuah panggilan yang mungkin menjadi kunci bagi pemulihan hubungan manusia dengan dirinya, sesama, dan dunia.

Dengan demikian, pemikiran Heidegger bukan sekadar warisan intelektual, melainkan juga tawaran cara hidup: untuk berpikir secara lebih otentik, hidup lebih sadar, dan menghayati keberadaan sebagai sesuatu yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh rasio dan teknologi, melainkan sesuatu yang harus disambut dengan kerendahan hati dan keterbukaan batin.4


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 56–63.

[2]                Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193–210.

[3]                Julian Young, Heidegger, Philosophy, Nazism (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 220–225; Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 113–117.

[4]                William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 635–640.


Daftar Pustaka

Barrett, W. (1990). Irrational man: A study in existential philosophy. Anchor Books.

Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 60–81). Free Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1989). Of spirit: Heidegger and the question (G. Bennington & R. Bowlby, Trans.). University of Chicago Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.

Faye, E. (2009). Heidegger: The introduction of Nazism into philosophy (M. B. Smith, Trans.). Yale University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Heidegger, M. (1971). Poetry, language, thought (A. Hofstadter, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1999). Contributions to philosophy (From enowning) (P. Emad & K. Maly, Trans.). Indiana University Press.

Heidegger, M. (1977). Letter on humanism (F. A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.

Izutsu, T. (1959). The structure of ethical terms in the Koran. Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.

Izutsu, T. (2002). Ethico-religious concepts in the Qur’an. McGill-Queen’s University Press.

Kisiel, T. (1993). The genesis of Heidegger’s Being and Time. University of California Press.

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Parkes, G. (Ed.). (1987). Heidegger and Asian thought. University of Hawaii Press.

Polt, R. (1999). Heidegger: An introduction. Cornell University Press.

Richardson, W. J. (1963). Heidegger: Through phenomenology to thought. Martinus Nijhoff.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. Basic Books.

Young, J. (1997). Heidegger, philosophy, Nazism. Cambridge University Press.

Young, J. (2001). Heidegger’s philosophy of art. Cambridge University Press.

Zimmerman, M. E. (1990). Heidegger’s confrontation with modernity: Technology, politics, and art. Indiana University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar