Pemikiran Martin Heidegger
Menyingkap Hakikat Ada
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh
Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran
Martin Heidegger, salah satu filsuf paling berpengaruh dalam filsafat abad
ke-20, yang dikenal melalui proyek ontologi fundamentalnya dalam Being and
Time (1927). Heidegger berupaya membangkitkan kembali pertanyaan mendasar
yang telah lama dilupakan oleh tradisi metafisika Barat, yakni pertanyaan
tentang makna Ada (Sein). Melalui analisis terhadap konsep-konsep
kunci seperti Dasein, keotentikan, kecemasan eksistensial,
temporalisitas, serta peran bahasa dan puisi, artikel ini menunjukkan bagaimana
pemikiran Heidegger berevolusi dari pendekatan eksistensial menuju meditasi
kontemplatif atas sejarah metafisika dan peradaban teknologis. Selain membahas
kritik terhadap Heidegger, termasuk keterlibatannya dengan rezim Nazi, artikel
ini juga mengeksplorasi pengaruh luasnya terhadap hermeneutika,
eksistensialisme, dekonstruksi, dan spiritualitas kontemporer. Di tengah krisis
makna, alienasi, dan dominasi teknologi dalam kehidupan modern, filsafat
Heidegger menawarkan refleksi yang mendalam tentang eksistensi manusia dan
membuka jalan menuju pemahaman yang lebih otentik dan puitis atas keberadaan.
Kata Kunci: Martin Heidegger, Ada (Sein), Dasein, ontologi
fundamental, eksistensialisme, keotentikan, bahasa, teknologi, postmodernisme,
hermeneutika.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif terhadap Pemikiran Martin Heidegger
1.
Pendahuluan
Filsafat Barat
modern hingga awal abad ke-20 banyak berkutat pada persoalan epistemologi dan
rasionalitas, namun cenderung melupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam
tradisi metafisika: "apa makna keberadaan?" atau dalam bahasa
Heidegger, pertanyaan tentang Ada (Seinsfrage).
Martin Heidegger (1889–1976), seorang filsuf Jerman yang karyanya sangat
berpengaruh dalam bidang ontologi dan fenomenologi, memusatkan seluruh proyek
filsafatnya untuk menghidupkan kembali pertanyaan mendasar ini yang menurutnya
telah diabaikan sejak zaman Plato dan Aristoteles.1
Karya monumental
Heidegger, Sein und
Zeit (Being and Time, 1927), merupakan
tonggak penting dalam pemikiran abad ke-20 karena memperkenalkan pendekatan
eksistensial-ontologis terhadap pertanyaan tentang keberadaan. Dalam karya
tersebut, Heidegger tidak hanya mempertanyakan “apa itu ada?” melainkan
“apa artinya ‘ada’ itu sendiri?”—suatu pendekatan yang merevolusi cara
pandang terhadap manusia, waktu, dan dunia.2 Ia berusaha menelusuri
struktur eksistensial manusia (yang ia sebut sebagai Dasein)
sebagai pintu masuk menuju pemahaman tentang makna “Ada” secara lebih
fundamental.
Kebaruan pendekatan
Heidegger terletak pada penolakannya terhadap dualisme subjek-objek ala
Descartes dan filsafat representasional Barat. Heidegger justru menggagas suatu
pemahaman bahwa manusia tidak berdiri sebagai subjek terpisah yang mengamati
dunia dari luar, melainkan senantiasa “berada-di-dunia” (being-in-the-world),
dan dari situlah keterbukaan terhadap makna “Ada” terjadi.3
Pendekatan ini membentuk dasar dari fenomenologi hermeneutik dan menjadi titik
tolak bagi perkembangan eksistensialisme serta dekonstruksi dalam pemikiran
filsafat kontemporer.
Tujuan dari tulisan
ini adalah untuk mengkaji secara sistematis pokok-pokok pemikiran Heidegger
yang berkaitan dengan pertanyaan tentang "Ada", serta
menelusuri bagaimana konsep-konsep seperti Dasein, keotentikan, waktu, dan
bahasa memainkan peran kunci dalam usahanya menjawab persoalan fundamental
tersebut. Dengan pendekatan ini, artikel ini berharap dapat memberikan gambaran
menyeluruh terhadap kontribusi Heidegger dalam membangun kembali ontologi
fundamental dan menunjukkan relevansinya dalam menjawab problem eksistensial
manusia modern.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.
[2]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell
University Press, 1999), 33–35.
[3]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 13–16.
2.
Biografi
Singkat Martin Heidegger
Martin Heidegger
lahir pada 26 September 1889 di kota kecil Messkirch, Baden, Jerman Selatan,
dari keluarga Katolik yang sederhana. Ayahnya adalah seorang tukang kayu dan
juru kunci gereja lokal, dan awalnya Heidegger ditujukan untuk menempuh
pendidikan teologi Katolik di Freiburg dengan harapan menjadi imam.1
Namun, minatnya bergeser ke bidang filsafat dan matematika, terutama setelah
membaca karya-karya Brentano dan Aristoteles yang memperkenalkannya pada
pertanyaan-pertanyaan ontologis mendasar.2
Heidegger menempuh
studi di Universitas Freiburg, di mana ia kemudian menjadi asisten dari Edmund
Husserl, pendiri aliran fenomenologi. Relasi ini memainkan peran penting dalam
perkembangan awal pemikirannya, walaupun kelak Heidegger mengembangkan
pendekatan yang berbeda secara radikal dari gurunya. Husserl berupaya
mengembalikan filsafat kepada “kembali ke benda itu sendiri” (zurück
zu den Sachen selbst), yaitu dengan menekankan pengalaman murni
subjek dalam menangkap fenomena. Heidegger menyambut prinsip tersebut, tetapi
mengalihkannya dari fokus epistemologis ke ontologis, dengan menempatkan
pertanyaan tentang “Ada” sebagai pusat perhatian.3
Pada tahun 1927,
Heidegger menerbitkan karya utamanya, Sein und Zeit (Being
and Time), yang segera menempatkannya di jajaran filsuf besar
Eropa. Buku tersebut merepresentasikan puncak dari fase awal pemikirannya dan
mengusulkan landasan baru bagi filsafat, yakni suatu ontologi fundamental yang
berpijak pada analisis eksistensial tentang manusia sebagai Dasein.4
Secara akademik,
Heidegger menjabat sebagai profesor di Universitas Marburg dan kemudian di
Universitas Freiburg. Ia sempat menjadi Rektor Universitas Freiburg pada tahun
1933, bertepatan dengan naiknya rezim Nazi ke tampuk kekuasaan di Jerman.
Keterlibatannya dengan Partai Nazi dan pidato rektoralnya yang mendukung
ideologi nasionalisme Jerman menjadi titik kontroversial dalam biografinya, dan
terus menjadi perdebatan etis dan historis di kalangan akademik hingga hari
ini.5
Meskipun begitu,
setelah Perang Dunia II, Heidegger menarik diri dari kehidupan publik dan lebih
banyak menulis karya-karya filsafat yang mendalam tentang bahasa, puisi,
teknologi, dan sejarah metafisika Barat. Fase pemikiran Heidegger pasca-1930-an
ini sering disebut sebagai “Heidegger akhir” (later Heidegger), yang lebih
menekankan pada ketersembunyian Ada (aletheia) dan peran bahasa sebagai
tempat tinggal bagi “Ada”.6 Ia wafat pada 26 Mei 1976 di kota
kelahirannya, Messkirch, dalam usia 86 tahun.
Warisan Heidegger
tidak hanya terbatas pada kajian filsafat, tetapi juga menjalar ke bidang
sastra, teologi, seni, dan teori politik. Baik dalam pujian maupun kritik,
pemikirannya telah memberikan dampak besar terhadap arah pemikiran abad ke-20
dan seterusnya.
Footnotes
[1]
Julian Young, Heidegger, Philosophy, Nazism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 2–4.
[2]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell
University Press, 1999), 5–7.
[3]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 229–232.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 1–3.
[5]
Hugo Ott, Martin Heidegger: A Political Life, trans. Allan
Blunden (London: Fontana Press, 1993), 125–130.
[6]
William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 587–592.
3.
Latar
Belakang Pemikiran
Pemikiran Martin
Heidegger lahir dalam konteks intelektual Eropa yang tengah mengalami
pergeseran besar di awal abad ke-20. Dunia filsafat pada masa itu didominasi
oleh warisan rasionalisme Cartesian, idealisme Jerman (Kant, Fichte, Schelling,
Hegel), serta positivisme ilmiah yang mengagungkan logika, sains, dan
objektivitas sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih. Namun,
aliran-aliran ini dianggap gagal menjawab persoalan eksistensial manusia dan
justru menjauhkan filsafat dari pertanyaan fundamental tentang makna keberadaan
itu sendiri.
Heidegger melihat
bahwa sejak Plato, tradisi metafisika Barat telah mengalami apa yang ia sebut
sebagai "Seinsvergessenheit" atau
pelupaan terhadap “Ada” (Sein)—yakni kecenderungan untuk
membahas segala sesuatu dari sudut pandang entitas atau benda-benda (Seiendes)
alih-alih mempertanyakan keberadaan itu sendiri.1 Menurut Heidegger,
filsafat Barat terlalu terobsesi pada kategori-kategori logis dan ontik (apa
yang ada), tanpa menaruh perhatian pada pengertian eksistensial dari “bahwa
sesuatu itu ada” (the beingness of being). Hal ini
mendorongnya untuk merumuskan kembali suatu bentuk ontologi yang lebih
mendasar, yang disebutnya sebagai “ontologi
fundamental” (Fundamentalontologie).2
Salah satu pengaruh
besar dalam awal pemikiran Heidegger adalah fenomenologi Edmund Husserl.
Fenomenologi memberikan Heidegger perangkat metodologis untuk menggali
pengalaman manusia secara langsung dan intensional. Akan tetapi, berbeda dari
Husserl yang menekankan pada “kesadaran murni” dan struktur pengalaman
kognitif, Heidegger menggeser fokus ke eksistensi manusia secara konkret di
dunia, melalui konsep Dasein, yaitu manusia sebagai
subjek yang secara sadar berada dalam dunia dan mempertanyakan makna
keberadaannya sendiri.3
Selain itu, Heidegger
juga banyak terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles, terutama dalam hal
pemahaman tentang ousia (substansi) dan aktualitas.
Dalam kuliahnya yang berjudul Phänomenologische Interpretationen zu
Aristoteles (1922), Heidegger menafsirkan Aristoteles secara
eksistensial, menyoroti dinamika hidup manusia bukan sebagai objek metafisika
statis, tetapi sebagai proses menjadi yang terbuka terhadap makna Ada.4
Di sinilah Heidegger membangun jembatan antara filsafat klasik dan problematika
modern: bagaimana menjelaskan eksistensi manusia bukan dalam istilah kategori
metafisis yang abstrak, melainkan dalam keterlibatan nyatanya dalam dunia.
Heidegger juga
merespons krisis spiritual dan intelektual yang melanda Eropa pasca-Perang
Dunia I, yang memperlihatkan kegagalan filsafat rasionalis dan sains modern
dalam memberikan arah hidup manusia. Ia memandang bahwa hanya dengan
mengembalikan filsafat kepada pertanyaan asli tentang “Ada”, manusia
dapat keluar dari keterasingan dan krisis makna yang mencengkeram zaman modern.5
Oleh karena itu, proyek pemikiran Heidegger bukan semata akademik atau
teoritis, tetapi sebuah usaha eksistensial untuk “menyingkap” kebenaran
keberadaan yang tersembunyi di balik rutinitas dan wacana intelektual yang
dangkal.
Dengan demikian,
latar belakang pemikiran Heidegger merupakan sintesis kritis atas tradisi
metafisika Barat, pengaruh fenomenologi, serta kesadaran historis terhadap
situasi manusia modern. Ia menawarkan suatu “cara baru berpikir” (Andenken),
yakni berpikir yang tidak sekadar menalar secara logis, tetapi membiarkan diri
tersentuh oleh panggilan Ada yang terlupakan.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.
[2]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell
University Press, 1999), 41–45.
[3]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 234–238.
[4]
Theodore Kisiel, The Genesis of Heidegger's Being and Time
(Berkeley: University of California Press, 1993), 109–112.
[5]
William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 17–20.
4.
Pokok-Pokok
Pemikiran Heidegger
Pemikiran Martin
Heidegger berakar pada upayanya untuk membangkitkan kembali pertanyaan metafisis
paling fundamental: apa arti Ada? Proyek ini dijabarkan
secara mendalam dalam karyanya yang paling berpengaruh, Sein und
Zeit (Being and Time, 1927). Dalam karya
tersebut, Heidegger menawarkan pendekatan baru yang berbeda dari tradisi
metafisika Barat: bukan lagi bertanya “apa itu ada?”, melainkan “apa
makna ‘Ada’ itu sendiri?” Berikut ini adalah pokok-pokok
utama dari kerangka pemikiran Heidegger:
4.1.
Pertanyaan tentang
Ada (Seinsfrage)
Heidegger memulai
dengan sebuah kritik terhadap sejarah filsafat yang, menurutnya, telah
melupakan pertanyaan tentang Sein (Ada) dan hanya fokus pada
entitas atau Seiendes (hal-hal yang ada).
Pertanyaan tentang Sein merupakan sesuatu yang
mendahului segala bentuk pengetahuan dan menjadi dasar dari semua pemikiran.1
Dalam hal ini, Heidegger menghidupkan kembali warisan ontologi, namun dengan
pendekatan eksistensial, bukan metafisika tradisional.
Heidegger menegaskan
bahwa "Ada" bukanlah suatu entitas, melainkan sesuatu yang
harus dipahami dalam keterbukaannya—yakni bagaimana segala sesuatu hadir dan
terbuka bagi pemahaman manusia.2 Dengan kata lain, ia
menyarankan bahwa Ada bukanlah objek dari pengamatan,
tetapi kondisi kemungkinan bagi segala pengungkapan.
4.2.
Dasein sebagai Pusat
Ontologi Fundamental
Untuk memahami makna
Sein,
Heidegger menganalisis keberadaan manusia sebagai titik tolaknya. Ia menyebut
eksistensi manusia dengan istilah Dasein, yang secara harfiah
berarti “ada-di-sana”.3 Dasein bukan sekadar
subjek kognitif seperti dalam filsafat Cartesian, tetapi adalah makhluk yang
memiliki hubungan eksistensial dengan dunia dan mampu mempertanyakan
keberadaannya sendiri.
Heidegger menekankan bahwa Dasein selalu berada “di-dalam-dunia” (in-der-Welt-sein),
yaitu suatu bentuk keberadaan yang tak dapat dipisahkan dari konteks, sejarah,
dan relasi sosial. Dasein tidak berada dalam dunia seperti benda dalam ruang,
tetapi secara aktif terlibat dalam makna dan pemahaman tentang dunia.4
4.3.
Keotentikan dan
Ketidakauthentikan
Salah satu aspek
sentral dari analisis Dasein adalah keotentikan (Eigentlichkeit)—yakni
keberadaan manusia yang menyadari dan menerima tanggung jawab eksistensialnya
secara penuh. Sebaliknya, hidup dalam “ketidakauthentikan” berarti
mengikuti arus umum (das Man), yaitu kehidupan
sehari-hari yang dangkal dan tidak sadar diri.5
Kecemasan (Angst)
menjadi momen penting dalam filsafat Heidegger. Berbeda dengan ketakutan
terhadap objek tertentu, kecemasan eksistensial adalah rasa keterlemparan ke
dalam dunia yang absurd dan tanpa makna mutlak. Dalam kecemasan ini, Dasein
menyadari keterasingannya dan terpanggil untuk hidup secara otentik.6
4.4.
Waktu sebagai Kunci
Pemahaman Ada
Heidegger menyatakan
bahwa keberadaan Dasein bersifat temporal. Artinya, makna Ada
tidak dapat dipahami terlepas dari dimensi waktu. Ia menyebut struktur waktu
eksistensial sebagai temporality (Zeitlichkeit),
yang bukan sekadar urutan kronologis, melainkan keterarahan Dasein pada masa
depan, masa lalu, dan masa kini secara eksistensial.7
Kematian memainkan
peran penting dalam struktur ini: sebagai kemungkinan yang paling personal dan
tak terhindarkan, kematian mengungkap totalitas eksistensi Dasein dan
mendorongnya pada kehidupan yang otentik. Kesadaran akan kematian mengarahkan
manusia untuk hidup secara utuh dan sadar.8
4.5.
Kritik terhadap
Metafisika dan Rasionalisme Barat
Heidegger menilai
bahwa metafisika Barat, sejak Plato hingga Nietzsche, telah gagal karena terus
menyamakan "Ada" dengan keberadaan entitas tertentu, seperti
ide, substansi, atau kehendak.9 Dalam karyanya yang lebih
lambat (Heidegger
akhir), ia menyebut hal ini sebagai Seinsgeschichte (sejarah Ada),
yaitu penelusuran bagaimana pemahaman manusia tentang “Ada” mengalami
distorsi dalam sejarah filsafat.
4.6.
Bahasa sebagai Rumah
Ada
Dalam karya-karya
terakhirnya, Heidegger menegaskan bahwa bahasa adalah rumah bagi Ada (die
Sprache ist das Haus des Seins). Melalui bahasa, makna Ada bisa
hadir dan diungkap. Ia menganggap puisi sebagai bentuk bahasa yang paling mampu
menangkap keterbukaan Ada karena tak terkungkung oleh kategori logis atau
ilmiah.10
Dengan demikian,
Heidegger mengalihkan fokus filsafat dari penguasaan terhadap dunia ke
penghayatan akan keterbukaan dunia sebagai sesuatu yang terus “menyingkap”
dan sekaligus “menyembunyikan” dirinya.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 2–4.
[2]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell
University Press, 1999), 48–50.
[3]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge,
2000), 236–238.
[4]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 34–37.
[5]
Charles B. Guignon, Heidegger and the Problem of Knowledge
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 65–67.
[6]
William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy
(New York: Anchor Books, 1990), 198–202.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, 375–385.
[8]
Julian Young, Heidegger’s Later Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 54–56.
[9]
William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 445–448.
[10]
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert
Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.
5.
Perkembangan
Pemikiran Heidegger: Dari Ontologi Fundamentalis ke Puisi dan Bahasa
Perjalanan
intelektual Martin Heidegger mengalami transformasi signifikan sepanjang
hidupnya. Umumnya, para penafsir membagi pemikirannya menjadi dua fase utama: Heidegger
awal, yang dikaitkan erat dengan karya Sein und
Zeit (Being and Time, 1927), dan Heidegger
akhir, yang berkembang terutama setelah 1930-an dan ditandai
dengan pergeseran fokus dari analisis eksistensial ke pemikiran tentang bahasa,
teknologi, dan sejarah metafisika.1
5.1.
Heidegger Awal:
Ontologi Fundamental dan Analisis Dasein
Dalam fase awal ini,
Heidegger menempatkan Dasein sebagai pusat ontologi
fundamental. Ia menegaskan bahwa hanya melalui analisis eksistensial terhadap
manusia—makhluk yang mampu mempertanyakan keberadaannya sendiri—pertanyaan
tentang Sein
dapat dijawab secara mendasar.2 Fokus utama Heidegger adalah
menggali struktur temporalitas (Zeitlichkeit) sebagai dasar
pemahaman tentang Ada, yang diartikulasikannya secara
sistematis dalam Being and Time. Tujuannya adalah
membangun dasar ontologis bagi seluruh ilmu pengetahuan, bukan dengan metode
deduktif-metafisis, tetapi dengan menggali pengalaman konkret keberadaan
manusia.
Namun, proyek ini
tidak pernah selesai. Heidegger merencanakan bagian kedua dari Being
and Time yang akan membahas waktu dalam kaitannya dengan sejarah
metafisika dan bahasa, tetapi tidak pernah menerbitkannya. Kegagalan
menyelesaikan proyek awal ini menjadi isyarat awal pergeseran fokus
pemikirannya ke arah yang lebih “meditatif”.3
5.2.
Heidegger Akhir:
Pergeseran ke Bahasa, Puisi, dan Teknologi
Setelah dekade
1930-an, pemikiran Heidegger mengalami transisi besar. Ia mulai mengembangkan
gagasan bahwa pertanyaan tentang Sein tidak bisa dijawab melalui
struktur eksistensial manusia saja, tetapi harus ditelusuri melalui sejarah
pemikiran Barat yang ia sebut sebagai Seinsgeschichte
(sejarah pengungkapan dan penyembunyian Ada). Dalam fase ini, Heidegger
menyatakan bahwa sejak Plato hingga Nietzsche, filsafat Barat telah menempuh
jalan pelupaan terhadap Sein dengan menyamakan Ada dengan
keberadaan entitas tertentu (misalnya, ide, substansi, kehendak kuasa, dll).4
Dalam Beiträge
zur Philosophie (1936–1938), Heidegger memperkenalkan konsep kunci
seperti Ereignis (peristiwa
pengungkapan/penyingkapan), yaitu momen di mana Ada menyatakan dirinya kepada
manusia secara historis. Di sini, Heidegger tidak lagi menyandarkan makna Sein
pada subjek manusia (Dasein), tetapi pada keterbukaan kosmis antara manusia dan
dunia dalam proses saling mengungkap.5
Selain itu,
Heidegger mulai menempatkan bahasa sebagai media utama
pengungkapan Ada. Dalam esainya yang terkenal, “Language is the House of Being”,
ia menyatakan bahwa hanya melalui bahasa manusia bisa menangkap keberadaan,
namun bahasa itu sendiri bukan ciptaan manusia, melainkan tempat tinggal Ada
yang membimbing pemahaman manusia secara pasif dan aktif.6
Heidegger juga
menunjukkan keprihatinannya terhadap perkembangan teknologi
modern, yang ia anggap sebagai puncak dari pelupaan terhadap
Ada. Dalam esai “The Question Concerning Technology”,
ia menjelaskan bahwa cara berpikir teknologis menjadikan segala sesuatu sebagai
standing-reserve
(cadangan daya guna), yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari pengalaman otentik
terhadap keberadaan.7 Menurutnya, hanya melalui puisi—sebagai bentuk
bahasa yang paling peka terhadap keberadaan—manusia dapat kembali membuka
dirinya terhadap misteri Sein.
5.3.
Kontinuitas dan
Diskontinuitas: Interpretasi Kritis
Perdebatan di kalangan
sarjana masih berlangsung tentang sejauh mana fase awal dan akhir pemikiran
Heidegger menunjukkan kesinambungan atau diskontinuitas. Beberapa seperti
William J. Richardson menekankan kontinuitas dalam bentuk perubahan fokus, dari
analisis eksistensial menuju meditatif-poetik, tanpa meninggalkan pertanyaan
pokok tentang Sein.8 Sementara yang
lain, seperti Thomas Sheehan, menilai bahwa pergeseran ini cukup radikal dan
menggambarkan perombakan besar dalam landasan ontologis Heidegger sendiri.
Yang jelas, perubahan
ini memperluas cakrawala pemikiran Heidegger dan mempertemukannya dengan
berbagai tradisi non-Barat, termasuk Taoisme, Zen, dan bahkan mistisisme
Kristen, serta memberikan pengaruh besar terhadap hermeneutika, dekonstruksi,
dan filsafat postmodern.
Footnotes
[1]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell
University Press, 1999), 81–85.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34–37.
[3]
Theodore Kisiel, The Genesis of Heidegger’s Being and Time
(Berkeley: University of California Press, 1993), 552–558.
[4]
Julian Young, Heidegger’s Philosophy of Art (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 121–124.
[5]
Martin Heidegger, Contributions to Philosophy (From Enowning),
trans. Parvis Emad and Kenneth Maly (Bloomington: Indiana University Press,
1999), 5–12.
[6]
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert
Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.
[7]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–35.
[8]
William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 631–635.
6.
Kritik
dan Pengaruh
6.1.
Kritik terhadap
Pemikiran Heidegger
Seiring pengaruh
luas pemikiran Martin Heidegger dalam berbagai bidang filsafat dan ilmu
humaniora, tidak sedikit pula kritik yang diarahkan terhadap pendekatan dan implikasi
gagasannya. Kritik tersebut datang dari berbagai kalangan, baik dari segi
metodologis, etis, maupun politik.
Salah satu kritik
utama datang dari tradisi analitik, terutama dari
filsuf seperti Rudolf Carnap, yang menuduh Heidegger menggunakan bahasa yang
kabur dan tidak dapat diverifikasi secara logis. Dalam esainya yang terkenal, The
Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language
(1932), Carnap menyebut ungkapan Heidegger seperti "Das Nichts nichtet"
("Ketiadaan itu meng-ada-kan ketiadaan") sebagai contoh dari
nonsens linguistik metafisik yang tidak memiliki makna empiris ataupun logis.1
Kritik ini mencerminkan jurang metodologis antara filsafat kontinental dan
analitik.
Selain itu, beberapa
pemikir eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre mengkritik Heidegger karena
terlalu menekankan struktur keberadaan tanpa cukup memberi ruang pada kebebasan
subjek. Meskipun Sartre mengaku banyak terinspirasi oleh Heidegger, terutama
dalam konsep Dasein, ia tetap mengembangkan
filsafatnya dalam kerangka humanisme ateistik, sesuatu yang kemudian justru
ditolak oleh Heidegger dalam esainya Letter on Humanism (1947).2
Kritik paling tajam
mungkin muncul dari sisi politik dan etika, terutama
terkait keterlibatan Heidegger dengan Partai Nazi. Ia menjadi Rektor
Universitas Freiburg pada 1933 dan memberikan pidato yang mendukung
nasionalisme Jerman. Meskipun Heidegger kemudian menyatakan bahwa
keterlibatannya itu keliru, ia tidak pernah secara terbuka meminta maaf. Hal
ini memunculkan pertanyaan serius tentang hubungan antara filsafatnya dan
ideologi totalitarianisme. Beberapa sarjana seperti Emmanuel Faye bahkan
menuduh bahwa keseluruhan filsafat Heidegger tidak bisa dipisahkan dari
Nazisme.3 Namun demikian, sejumlah penafsir lain seperti
Julian Young dan Richard Polt berargumen bahwa filsafat Heidegger tetap
memiliki nilai penting jika dikaji secara kritis dan terpisah dari sikap
politik pribadinya.4
6.2.
Pengaruh Pemikiran
Heidegger
Terlepas dari
kontroversinya, pengaruh Heidegger dalam perkembangan filsafat kontemporer
sangat luas dan mendalam. Ia menjadi inspirasi utama bagi eksistensialisme,
hermeneutika,
post-strukturalisme,
dan dekonstruksi.
Dalam eksistensialisme,
Heidegger memberi dasar ontologis yang kokoh bagi filsuf seperti Sartre dan
Merleau-Ponty. Konsep Dasein, kecemasan eksistensial,
serta keotentikan menjadi pondasi utama dalam pengembangan filsafat
eksistensial tentang kebebasan, tanggung jawab, dan makna hidup manusia.5
Dalam hermeneutika
filosofis, Heidegger sangat memengaruhi Hans-Georg Gadamer,
murid sekaligus pengagum beratnya. Gadamer mengembangkan pemikiran Heidegger
menjadi teori interpretasi dalam Truth and Method (1960), di mana
pengalaman memahami (Verstehen) selalu dibentuk oleh
sejarah, bahasa, dan horizon kebudayaan yang terus bergerak.6
Heidegger juga
merupakan figur sentral bagi dekonstruksi ala Jacques
Derrida. Gagasan Derrida tentang différance, peluruhan pusat makna,
dan dekonstruksi terhadap metafisika kehadiran (metaphysics of presence) secara
eksplisit berakar dari kritik Heidegger terhadap sejarah filsafat Barat dan
pemikiran tentang "kehadiran" sebagai bentuk dominan dalam
metafisika.7
Di luar dunia
filsafat Barat, pemikiran Heidegger juga memberi pengaruh terhadap
pemikir-pemikir Islam kontemporer, terutama
mereka yang tertarik pada kritik modernitas dan eksplorasi ontologi. Misalnya,
pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Toshihiko Izutsu menunjukkan ketertarikan
terhadap ontologi mistik dan bahasa, yang dapat dikaitkan dengan pemikiran
Heidegger tentang ketersembunyian Ada dan bahasa sebagai tempat tinggal
keberadaan.8
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis
of Language,” in Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (New York: Free
Press, 1959), 60–81.
[2]
Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi
(New York: Harper & Row, 1977), 3–12.
[3]
Emmanuel Faye, Heidegger: The Introduction of Nazism into
Philosophy, trans. Michael B. Smith (New Haven: Yale University Press,
2009), 11–15.
[4]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell
University Press, 1999), 109–113; Julian Young, Heidegger, Philosophy,
Nazism (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 212–220.
[5]
William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy
(New York: Anchor Books, 1990), 233–240.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), xv–xxiv.
[7]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 10–15.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 45–48; Toshihiko Izutsu, The Structure of Ethical Terms in
the Koran (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies,
1959), xii–xv.
7.
Relevansi
Pemikiran Heidegger di Era Kontemporer
Meskipun karya-karya
Martin Heidegger ditulis pada paruh pertama abad ke-20, pemikirannya tetap
memiliki relevansi yang signifikan dalam menghadapi tantangan zaman
kontemporer. Filsafat Heidegger menyentuh dimensi terdalam dari eksistensi
manusia—dimensi yang tak lekang oleh waktu karena menyangkut pertanyaan paling
fundamental: “apa artinya menjadi?”
7.1.
Krisis Makna dalam
Dunia Modern
Heidegger hidup
dalam zaman transisi—dari dunia tradisional ke dunia modern yang penuh dengan
fragmentasi makna, mekanisasi kehidupan, dan krisis identitas manusia. Kritik
Heidegger terhadap filsafat Barat yang melupakan Ada (Sein) dan kecenderungan
modernitas yang mereduksi dunia menjadi objek teknis dan fungsional terbukti
masih sangat relevan. Dalam The Question Concerning Technology,
Heidegger memperingatkan bahwa teknologi modern tidak sekadar alat netral,
melainkan cara berpikir yang mengubah seluruh relasi manusia dengan dunia—yakni
menjadikan segala sesuatu sebagai “cadangan daya guna” (Bestand)
yang siap dieksploitasi.1
Pandangan ini
mendapatkan perhatian khusus dalam konteks krisis lingkungan hidup global.
Banyak pemikir ekofilsafat kontemporer mengutip Heidegger untuk menyoroti
bagaimana cara berpikir teknologis dan eksploitasi sumber daya alam telah
merusak relasi ontologis manusia dengan alam.2
Heidegger mengajak manusia untuk berhenti melihat dunia sebagai sesuatu yang
bisa ditaklukkan, dan mulai menghayatinya sebagai sesuatu yang hadir dan
mengungkapkan dirinya dalam kebersamaan yang penuh hormat.
7.2.
Pencarian
Otentisitas di Tengah Alienasi Sosial
Konsep Dasein
dan keotentikan (Eigentlichkeit) juga menjadi sangat
relevan dalam era yang ditandai oleh dominasi media sosial, konsumerisme, dan
standar kehidupan yang ditentukan oleh “mereka” (das Man).
Heidegger menegaskan bahwa manusia cenderung terjebak dalam eksistensi yang
tidak otentik—hidup menurut norma yang diatur oleh opini publik, kehilangan
kendali terhadap dirinya sendiri, dan melupakan kematiannya sebagai momen
eksistensial paling otentik.3
Kecemasan
eksistensial yang dibahas Heidegger sebagai cara membuka keotentikan kembali
muncul dalam diskursus psikologi eksistensial modern, termasuk dalam terapi
eksistensial yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, Rollo May, dan Irvin D.
Yalom.4 Pemikiran Heidegger menyediakan dasar ontologis
bagi pendekatan psikoterapi yang tidak hanya memedulikan gejala, tetapi juga
makna hidup manusia yang terdalam.
7.3.
Bahasa, Sastra, dan
Seni dalam Wacana Kultural
Dalam dunia budaya
dan humaniora, pemikiran Heidegger tentang bahasa sebagai rumah bagi Ada
menjadi inspirasi besar bagi hermeneutika, teori sastra, serta studi-studi
kultural. Heidegger memandang bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi,
melainkan ruang di mana keberadaan dapat menampakkan diri. Hal ini memberi
fondasi bagi pendekatan interpretatif dalam seni dan sastra kontemporer,
termasuk dalam pendekatan post-strukturalis dan dekonstruktif yang dipelopori
oleh Jacques Derrida.5
Puisi, bagi
Heidegger, adalah medium istimewa yang mampu mengungkap makna yang tak bisa
dijelaskan oleh logika teknis. Dalam masyarakat yang makin kehilangan kedalaman
makna akibat dominasi bahasa komersial dan teknokratik, pemikiran Heidegger
mendorong upaya untuk menghidupkan kembali dimensi puitik dalam kehidupan
manusia.
7.4.
Dialog Lintas
Tradisi dan Spiritualitas Kontemporer
Pemikiran Heidegger
juga membuka ruang dialog antara filsafat Barat dan tradisi filsafat non-Barat,
khususnya dalam hal ontologi dan spiritualitas. Beberapa sarjana menemukan
kesamaan antara pemikiran Heidegger dan konsep-konsep dalam Taoisme,
Zen,
serta tradisi tasawuf Islam, terutama dalam
hal ketersembunyian keberadaan, sikap diam kontemplatif, dan kesadaran akan
keterbatasan bahasa.6
Dalam konteks Islam
kontemporer, pemikiran Heidegger menginspirasi sebagian intelektual Muslim
untuk mengkritisi modernitas Barat dan mencari kembali dimensi transendental
dalam pengalaman hidup. Misalnya, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan
Heideggerian untuk menafsirkan Al-Qur’an secara semantik-ontologis, sementara
Syed Naquib al-Attas dan Seyyed Hossein Nasr mengkritik worldview modern
melalui perspektif keberadaan yang lebih spiritual dan metafisik.7
Kesimpulan Sementara
Heidegger bukan
hanya tokoh penting dalam sejarah filsafat, tetapi juga penyumbang wacana
kritis terhadap arah peradaban modern. Dengan menyoroti pelupaan terhadap “Ada”,
ia mendorong manusia untuk menyadari kembali dimensi terdalam eksistensinya,
membuka ruang baru bagi refleksi filosofis, spiritualitas kontemplatif, dan
tanggung jawab ekologis. Dalam era digital dan pascamodern yang serba cepat,
pemikiran Heidegger menjadi semacam “panggilan untuk berhenti sejenak”—untuk
merenung, mendengar, dan merasakan keterhubungan kita dengan dunia dan makna
yang lebih besar.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–35.
[2]
Michael E. Zimmerman, Heidegger’s Confrontation with Modernity:
Technology, Politics, and Art (Bloomington: Indiana University Press,
1990), 214–220.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 167–174.
[4]
Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic
Books, 1980), 8–15.
[5]
Jacques Derrida, Of Spirit: Heidegger and the Question, trans.
Geoffrey Bennington and Rachel Bowlby (Chicago: University of Chicago Press,
1989), 17–25.
[6]
Graham Parkes, Heidegger and Asian Thought (Honolulu:
University of Hawaii Press, 1987), 3–10.
[7]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an
(Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), xii–xv; Seyyed Hossein Nasr,
Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 75–81.
8.
Penutup
Martin Heidegger
merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dan orisinal dalam sejarah
filsafat abad ke-20. Dengan mengajukan kembali pertanyaan fundamental tentang Ada
(Sein),
ia tidak hanya menantang fondasi metafisika Barat, tetapi juga membuka medan
pemikiran baru yang melintasi batas antara filsafat, sastra, seni, teologi,
bahkan sains dan ekologi. Proyek ontologi fundamental-nya dalam Being
and Time (1927) menandai titik balik penting dalam cara manusia
memahami keberadaannya di dunia—bukan lagi sebagai entitas rasional yang
netral, melainkan sebagai makhluk yang selalu "ada-di-dalam-dunia"
dan terlibat dalam relasi eksistensial yang mendalam dengan makna.1
Melalui konsep Dasein,
keotentikan, kecemasan, waktu, bahasa, hingga kritik terhadap teknologi,
Heidegger menawarkan filsafat yang tidak hanya teoritis, tetapi juga
eksistensial dan reflektif. Fase kedua pemikirannya memperluas cakrawala ke
arah yang lebih kontemplatif—mengajak manusia untuk diam, mendengar, dan membuka
diri terhadap ketersembunyian Ada yang terus-menerus
menyingkapkan dirinya dalam sejarah dan bahasa.2 Kesadaran akan
sejarah pelupaan terhadap Ada (Seinsvergessenheit) mendorong
manusia modern untuk berpikir lebih dalam tentang akar spiritual dan eksistensial
dari kehidupannya yang kini terjerat dalam jaringan teknologi dan nihilisme.
Kritik terhadap
Heidegger, baik dari segi gaya bahasa, ketertutupan konseptual, maupun
keterlibatan politiknya dengan Nazisme, tidak dapat diabaikan. Namun, banyak
sarjana sepakat bahwa nilai pemikirannya tetap penting, terutama dalam
mengungkapkan krisis mendalam yang dihadapi manusia modern—krisis makna,
keterasingan, dan kekosongan spiritual di tengah kemajuan teknologis dan
material.3 Justru karena kompleksitas dan kedalaman pemikirannya,
Heidegger menjadi sosok yang tak henti-hentinya ditafsirkan ulang, dikritisi,
sekaligus dijadikan inspirasi dalam berbagai bidang.
Di era kontemporer
yang ditandai oleh disrupsi teknologi, degradasi ekologis, dan pencarian
spiritualitas baru, pemikiran Heidegger kembali menemukan urgensinya. Ia
mengingatkan bahwa sebelum manusia berusaha menguasai dunia, ia perlu terlebih
dahulu memahami apa artinya "menjadi." Dalam dunia yang
terlalu cepat bergerak, filsafat Heidegger menjadi ajakan untuk berhenti
sejenak, merenung dalam diam, dan mendengar panggilan Ada—sebuah
panggilan yang mungkin menjadi kunci bagi pemulihan hubungan manusia dengan
dirinya, sesama, dan dunia.
Dengan demikian,
pemikiran Heidegger bukan sekadar warisan intelektual, melainkan juga tawaran
cara hidup: untuk berpikir secara lebih otentik, hidup lebih sadar, dan
menghayati keberadaan sebagai sesuatu yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya
oleh rasio dan teknologi, melainkan sesuatu yang harus disambut dengan
kerendahan hati dan keterbukaan batin.4
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 56–63.
[2]
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert
Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193–210.
[3]
Julian Young, Heidegger, Philosophy, Nazism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 220–225; Richard Polt, Heidegger: An
Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 113–117.
[4]
William J. Richardson, Heidegger: Through Phenomenology to Thought
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), 635–640.
Daftar Pustaka
Barrett, W. (1990). Irrational man: A study in
existential philosophy. Anchor Books.
Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics
through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical
positivism (pp. 60–81). Free Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1989). Of spirit: Heidegger and the
question (G. Bennington & R. Bowlby, Trans.). University of Chicago
Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.
Faye, E. (2009). Heidegger: The introduction of
Nazism into philosophy (M. B. Smith, Trans.). Yale University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Heidegger, M. (1971). Poetry, language, thought
(A. Hofstadter, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1999). Contributions to
philosophy (From enowning) (P. Emad & K. Maly, Trans.). Indiana
University Press.
Heidegger, M. (1977). Letter on humanism (F.
A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.
Izutsu, T. (1959). The structure of ethical
terms in the Koran. Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.
Izutsu, T. (2002). Ethico-religious concepts in
the Qur’an. McGill-Queen’s University Press.
Kisiel, T. (1993). The genesis of Heidegger’s
Being and Time. University of California Press.
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
Routledge.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Parkes, G. (Ed.). (1987). Heidegger and Asian
thought. University of Hawaii Press.
Polt, R. (1999). Heidegger: An introduction.
Cornell University Press.
Richardson, W. J. (1963). Heidegger: Through
phenomenology to thought. Martinus Nijhoff.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
published 1946)
Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy.
Basic Books.
Young, J. (1997). Heidegger, philosophy, Nazism.
Cambridge University Press.
Young, J. (2001). Heidegger’s philosophy of art.
Cambridge University Press.
Zimmerman, M. E. (1990). Heidegger’s
confrontation with modernity: Technology, politics, and art. Indiana
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar