Minggu, 13 April 2025

Pemikiran Michel Foucault: Kekuasaan, Pengetahuan, dan Subjektivitas

Pemikiran Michel Foucault

Kekuasaan, Pengetahuan, dan Subjektivitas


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran filsuf Prancis kontemporer Michel Foucault dengan menyoroti tiga pilar utama dalam kerangka teoretisnya: kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas. Dengan menggunakan pendekatan historis dan genealogis, Foucault menolak pandangan tradisional mengenai kekuasaan sebagai otoritas represif yang terpusat, serta menantang asumsi modernitas tentang pengetahuan yang netral dan subjek yang otonom. Pengetahuan, dalam pandangan Foucault, adalah produk dari relasi kuasa yang terstruktur melalui institusi dan wacana sosial, sedangkan subjektivitas terbentuk melalui proses historis yang disebut sebagai subjektivasi. Melalui analisis arkeologis dan genealogis atas institusi seperti penjara, rumah sakit, dan sekolah, serta melalui konsep-konsep seperti panoptikon, biopolitik, dan technologies of the self, Foucault menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja secara produktif dalam membentuk cara manusia berpikir, bertindak, dan mengenali dirinya. Artikel ini juga menyoroti berbagai kritik yang diarahkan kepada Foucault—terutama berkaitan dengan tuduhan relativisme epistemologis dan ketakberdayaan subjek—sekaligus menunjukkan relevansi pemikirannya dalam berbagai ranah kontemporer seperti studi gender, postkolonialisme, pengawasan digital, dan rasionalitas neoliberal. Kesimpulannya, pemikiran Foucault tetap menjadi landasan penting bagi analisis kritis atas dinamika kuasa dan pembentukan identitas dalam masyarakat modern.

Kata Kunci: Michel Foucault; kekuasaan; pengetahuan; subjektivitas; arkeologi; genealogi; panoptikon; biopolitik; pemerintahan diri; teknologi diri; wacana; modernitas; kritik sosial.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Michel Foucault


1.           Pendahuluan

Pemikiran Michel Foucault telah menjadi salah satu pilar penting dalam perkembangan filsafat kontemporer, khususnya dalam ranah teori kritis, ilmu sosial, dan humaniora. Ia dikenal sebagai filsuf yang menggugat cara-cara tradisional dalam memahami relasi antara kekuasaan, pengetahuan, dan subjek manusia. Foucault menolak pemahaman modern yang melihat subjek sebagai pusat kesadaran yang otonom dan rasional, serta menantang asumsi bahwa pengetahuan ilmiah bersifat netral dan bebas dari pengaruh kekuasaan. Sebaliknya, ia mengembangkan pendekatan analitis yang menelusuri bagaimana struktur wacana dan institusi sosial membentuk cara berpikir, bertindak, dan menjadi subjek bagi individu dalam masyarakat modern.¹

Dalam konteks tersebut, Foucault tidak saja memberikan kritik terhadap epistemologi Barat modern, melainkan juga memperkenalkan metode-metode analisis baru, seperti arkeologi dan genealogi. Kedua pendekatan ini berfungsi untuk mengurai relasi tersembunyi antara kekuasaan dan pengetahuan, serta bagaimana subjek manusia dikonstruksi secara historis melalui praktik-praktik diskursif.² Dengan cara ini, Foucault menggiring pembaca untuk memahami bahwa sejarah bukan hanya sekadar kronologi peristiwa, melainkan medan perjuangan wacana yang mereproduksi kekuasaan dan mendefinisikan batas-batas kemungkinan pengetahuan serta pengalaman manusia.³

Signifikansi pemikiran Foucault terletak pada kemampuannya untuk menyeberangi batas-batas disiplin keilmuan. Ia tidak terbatas dalam wilayah filsafat saja, tetapi juga memberi kontribusi besar dalam antropologi, sosiologi, kriminologi, studi gender, dan bahkan politik kontemporer.⁴ Karya-karyanya seperti Discipline and Punish dan The History of Sexuality telah mengubah cara akademisi memahami peran institusi sosial, teknik pengawasan, dan produksi subjektivitas dalam tatanan masyarakat modern.⁵ Oleh karena itu, kajian terhadap pemikiran Foucault menjadi penting bukan hanya sebagai bagian dari kajian sejarah filsafat, tetapi juga sebagai pisau analisis kritis dalam memahami mekanisme kekuasaan yang bekerja dalam kehidupan kontemporer, baik dalam ranah politik, pendidikan, kesehatan, maupun kehidupan sehari-hari.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan telaah kritis terhadap pemikiran Michel Foucault dengan menyoroti tiga aspek utama: relasi antara kekuasaan dan pengetahuan, konsep subjektivitas dalam konteks modernitas, serta relevansi kritis pemikiran Foucault dalam lanskap keilmuan dan kehidupan sosial kontemporer. Dengan menggunakan pendekatan historis-filosofis dan berbasis pada sumber-sumber primer serta kajian sekunder yang kredibel, tulisan ini akan menggali secara sistematis bagaimana Foucault membentuk paradigma baru dalam memahami realitas sosial, serta implikasinya terhadap cara manusia memahami dirinya dan dunia sekitarnya.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–132.

[2]                Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 30–35.

[3]                Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Foucault and Political Reason: Liberalism, Neo-Liberalism and Rationalities of Government,” Economy and Society 22, no. 3 (1993): 218–219.

[4]                Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1983), xxiii.

[5]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–27; Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage, 1990), 81–82.


2.           Biografi Singkat Michel Foucault

Michel Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Poitiers, Prancis, dalam keluarga borjuis yang memiliki latar belakang medis. Ayahnya, Paul Foucault, adalah seorang ahli bedah terkemuka, dan berharap Michel mengikuti jejaknya dalam dunia kedokteran. Namun, minat Foucault justru tertuju pada filsafat dan sejarah ide. Ia dikenal sebagai sosok yang brilian sejak usia muda, meskipun juga mengalami masa-masa kesulitan emosional yang mendalam.¹

Foucault mengenyam pendidikan tinggi di École Normale Supérieure (ENS), salah satu institusi paling bergengsi di Prancis, tempat ia mempelajari filsafat, psikologi, dan sejarah. Di sana, ia berguru pada sejumlah tokoh penting, termasuk Jean Hyppolite, seorang ahli Hegelianisme yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Foucault, khususnya dalam hal relasi antara sejarah dan struktur pemikiran.² Di bawah bimbingan Hyppolite, Foucault mengembangkan ketertarikan pada filsafat Nietzsche, Freud, dan Marx, yang kemudian menjadi pilar dalam pendekatan genealogi yang ia kembangkan di masa-masa selanjutnya.³

Karier profesional Foucault diawali dengan berbagai posisi akademik di luar negeri, termasuk di Swedia, Polandia, dan Jerman, di mana ia memperluas wawasan tentang psikiatri dan sejarah ide-ide medis. Pengalaman ini menjadi fondasi bagi karya pertamanya yang penting, Madness and Civilization (1961), yang mengeksplorasi sejarah konstruksi kegilaan dalam institusi medis Eropa.⁴

Foucault mulai memperoleh reputasi internasional ketika diangkat menjadi profesor di Collège de France pada tahun 1970, dengan gelar kursi akademik "History of Systems of Thought". Di posisi ini, ia banyak memproduksi karya-karya besar yang menjadi tonggak dalam perkembangan teori kritis, termasuk The Archaeology of Knowledge, Discipline and Punish, serta seri The History of Sexuality.⁵ Karya-karya ini menunjukkan pergeseran pendekatan Foucault dari apa yang ia sebut “arkeologi pengetahuan” menuju analisis genealogis yang lebih fokus pada kekuasaan, praktik diskursif, dan produksi subjektivitas.⁶

Secara personal, Foucault dikenal sebagai sosok yang enggan mengaitkan karya intelektualnya dengan identitas pribadinya. Meskipun ia merupakan bagian dari komunitas LGBTQ dan hidup pada masa gejolak politik 1960–1970-an, Foucault lebih memilih membiarkan karya-karyanya “berbicara sendiri” ketimbang memberikan tafsir personal.⁷ Ia juga memiliki ketertarikan pada aktivisme, termasuk keterlibatannya dalam isu-isu tentang sistem penjara dan hak-hak kaum minoritas.⁸

Michel Foucault meninggal dunia pada 25 Juni 1984 di Paris akibat komplikasi yang berkaitan dengan AIDS. Meskipun wafat pada usia yang relatif muda, warisan intelektual Foucault tetap hidup dan terus memberi pengaruh mendalam dalam wacana filsafat, teori sosial, studi gender, dan ilmu politik.⁹


Footnotes

[1]                Didier Eribon, Michel Foucault, trans. Betsy Wing (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 7–10.

[2]                Paul Veyne, Foucault: His Thought, His Character, trans. Janet Lloyd (Cambridge: Polity Press, 2010), 23–25.

[3]                Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 12–14.

[4]                Michel Foucault, Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, trans. Richard Howard (New York: Vintage Books, 1988), ix–xii.

[5]                David Macey, The Lives of Michel Foucault (New York: Vintage, 1995), 287–290.

[6]                Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1983), 105–110.

[7]                James Miller, The Passion of Michel Foucault (New York: Simon & Schuster, 1993), 16–17.

[8]                Colin Gordon, ed., Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon Books, 1980), 51–52.

[9]                Eribon, Michel Foucault, 322–324.


3.           Konteks Historis dan Intelektual

Untuk memahami pemikiran Michel Foucault secara utuh, penting untuk menempatkannya dalam konteks historis dan intelektual Prancis pasca-Perang Dunia II. Foucault muncul dalam lanskap intelektual yang sangat dinamis, di mana diskursus filsafat mengalami transformasi dari eksistensialisme ke strukturalisme, dan kemudian menuju post-strukturalisme. Lingkungan ini tidak hanya mempengaruhi arah pemikirannya, tetapi juga mendorongnya untuk mengembangkan kritik tajam terhadap fondasi-fondasi rasionalitas modern, subyektivitas, dan narasi sejarah besar (grand narratives).¹

Secara genealogis, Foucault banyak dipengaruhi oleh tiga pemikir besar yang sering ia sebut sebagai “tiga pencetus kecurigaan” (masters of suspicion): Karl Marx, Friedrich Nietzsche, dan Sigmund Freud.² Dari Marx, ia menyerap pemahaman tentang bagaimana kekuasaan dan struktur ekonomi memengaruhi kehidupan sosial; dari Freud, ia mengadopsi perspektif mengenai subjektivitas dan represi; dan dari Nietzsche, ia memperoleh inspirasi metodologis dalam bentuk genealogis—yakni pendekatan terhadap sejarah sebagai rangkaian kontingensi dan pertarungan nilai, bukan progres linier menuju kebenaran.³

Dalam dunia filsafat Prancis saat itu, dominasi eksistensialisme yang diusung oleh Jean-Paul Sartre mulai digantikan oleh semangat strukturalisme yang dibawa oleh tokoh-tokoh seperti Claude Lévi-Strauss di bidang antropologi, Roland Barthes di bidang semiotika, dan Jacques Lacan di bidang psikoanalisis. Foucault sendiri awalnya dikategorikan sebagai strukturalis, terutama karena pendekatannya yang menekankan struktur dalam arkeologi pengetahuan. Namun, ia kemudian menolak label tersebut, karena pemikirannya lebih bersifat historis-kritis daripada deduktif-struktural.⁴

Konsep-konsep Foucault juga berkembang dalam dialog dan perbedaan dengan pemikir sezamannya, seperti Louis Althusser, yang memperkenalkan teori ideologi dan struktur negara dalam kerangka Marxisme struktural.⁵ Walaupun Althusser sangat menekankan struktur dalam penjelasan ideologi, Foucault lebih tertarik pada praktik-praktik konkret dan mikro-kekuasaan yang bekerja melalui institusi sosial dan wacana.⁶ Perbedaan ini mengantar Foucault pada jalan teoritis yang khas, yaitu penggabungan analisis historis, epistemologis, dan politik dalam kerangka non-totalistik.

Di sisi lain, pemikiran Foucault juga merefleksikan krisis modernitas yang lebih luas, di mana proyek Pencerahan mulai dipertanyakan. Gagasan tentang rasionalitas, kemajuan, dan subjek otonom dipandang telah gagal mencegah bencana-bencana modern seperti kolonialisme, perang dunia, dan totalitarianisme. Dalam konteks inilah, Foucault membongkar bagaimana institusi-institusi modern—penjara, rumah sakit jiwa, sekolah, dan sebagainya—tidak sekadar menjalankan fungsi sosial, tetapi juga mereproduksi rezim kebenaran dan kekuasaan tertentu yang membentuk subjek.⁷

Dengan demikian, Foucault mewakili pergeseran epistemologis dari filsafat normatif ke pendekatan kritis yang membongkar fondasi wacana, kebenaran, dan subjektivitas. Pemikirannya tidak hadir dalam ruang hampa, tetapi merupakan respons terhadap krisis-krisis intelektual dan sosial yang menyertai perkembangan modernitas Eropa. Melalui karya-karyanya, Foucault menggugat ilusi netralitas ilmu pengetahuan, membongkar kerja tersembunyi kekuasaan, serta menyingkap bagaimana manusia dibentuk sebagai “subjek” dalam jaringan sejarah dan institusi.


Footnotes

[1]                Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 7–10.

[2]                Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Introduction,” in The Essential Foucault: Selections from the Essential Works of Foucault, 1954–1984, ed. Paul Rabinow and Nikolas Rose (New York: New Press, 2003), xvi.

[3]                Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy, History, in Language, Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1977), 139–164.

[4]                Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1983), 104–106.

[5]                Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 85–86.

[6]                Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 133–135.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–27.


4.           Epistemologi dan Arkeologi Pengetahuan

Dalam pemikiran Michel Foucault, persoalan epistemologi tidak dipahami dalam kerangka tradisional yang berfokus pada asal-usul, validitas, dan justifikasi pengetahuan secara normatif. Sebaliknya, Foucault memposisikan pengetahuan sebagai hasil dari konstruksi historis yang terbentuk melalui praktik wacana dan relasi kekuasaan. Hal ini tercermin secara paling eksplisit dalam fase awal pemikirannya yang dikenal sebagai “arkeologi pengetahuan,” yakni sebuah metode untuk menelusuri formasi diskursif yang mendasari produksi pengetahuan dalam periode sejarah tertentu.¹

Karya utama yang merepresentasikan pendekatan ini adalah The Archaeology of Knowledge (1969), di mana Foucault menjelaskan bahwa pengetahuan tidak bersandar pada subjek rasional yang bersifat universal, melainkan pada aturan-aturan tersembunyi yang mengatur kemungkinan munculnya pernyataan-pernyataan ilmiah (énoncés) dalam tatanan diskursif tertentu.² Dengan kata lain, pengetahuan lahir bukan karena representasi obyektif terhadap realitas, melainkan karena keberlakuan rezim diskursif yang menentukan mana yang bisa dikatakan, siapa yang bisa mengatakannya, dan dalam konteks apa pernyataan tersebut diakui sebagai “benar.”_³

Pendekatan arkeologi Foucault menolak pandangan sejarah pengetahuan yang linier dan kumulatif. Ia tidak mencari asal mula ide, tetapi memetakan kondisi kemungkinan dari kemunculan berbagai bentuk pengetahuan dalam ruang historis tertentu. Dalam hal ini, Foucault memperkenalkan konsep episteme, yaitu struktur pengetahuan dasar yang tidak selalu disadari, tetapi mengatur cara berpikir dan berbicara dalam suatu periode sejarah.⁴ Sebagai contoh, dalam The Order of Things (1966), Foucault membandingkan struktur epistemologis dari tiga periode utama: Renaisans, Klasik, dan Modern. Ia menunjukkan bahwa setiap episteme memiliki logika representasi dan pembentukan objek yang berbeda, sehingga “manusia” sebagai subjek pengetahuan baru muncul pada konfigurasi episteme modern.⁵

Arkeologi pengetahuan, dengan demikian, bukan sekadar analisis isi wacana, melainkan studi terhadap aturan-aturan pembentukan wacana itu sendiri. Ini termasuk kategori, institusi, objek, dan subjek yang dimungkinkan oleh jaringan diskursif dalam konteks historis tertentu.⁶ Hal ini menempatkan Foucault dalam posisi yang berbeda dari tradisi filsafat analitik maupun hermeneutika, karena ia tidak menitikberatkan pada makna atau intensi subjek, tetapi pada sistem formal dan institusional yang memungkinkan keberadaan pengetahuan itu sendiri.⁷

Namun, Foucault sendiri kemudian mengakui keterbatasan pendekatan arkeologi yang terlalu fokus pada tataran diskursif. Dalam fase-fase berikutnya, ia memperluas analisanya dengan pendekatan genealogis yang lebih menekankan relasi antara wacana, praktik sosial, dan kekuasaan.⁸ Meskipun demikian, kontribusi arkeologi pengetahuan tetap menjadi landasan penting dalam pemikiran Foucault, terutama dalam merumuskan bahwa pengetahuan tidak pernah netral, melainkan selalu terikat dengan kondisi historis dan struktur kekuasaan yang melingkupinya.


Footnotes

[1]                Gary Gutting, Michel Foucault’s Archaeology of Scientific Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 1–5.

[2]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 21–30.

[3]                Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1983), 46–48.

[4]                Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1994), xxi–xxiii.

[5]                Ibid., 304–307.

[6]                Paul Rabinow, ed., The Foucault Reader (New York: Pantheon Books, 1984), 114–118.

[7]                Todd May, The Philosophy of Foucault (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2006), 34–36.

[8]                Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 22–23.


5.           Genealogi Kekuasaan

Setelah fase “arkeologi pengetahuan” yang menekankan struktur diskursif, Michel Foucault beralih ke pendekatan genealogis, yakni sebuah metode historis-kritis yang menelusuri asal-usul wacana, praktik, dan institusi bukan untuk menemukan asal mula yang esensial, melainkan untuk membongkar kontingensi, konflik, dan mekanisme kekuasaan yang melatarbelakangi kemunculannya.¹ Pendekatan ini ia warisi dari Friedrich Nietzsche, khususnya dalam karya On the Genealogy of Morals, dan diadaptasi untuk mengkaji bagaimana kekuasaan bekerja melalui praktik sosial yang konkret, bukan hanya melalui struktur ide.²

Genealogi Foucault menolak model kekuasaan yang bersifat represif, sebagaimana lazim dalam paradigma hukum dan teori politik klasik. Bagi Foucault, kekuasaan bukan sekadar alat negara untuk menindas atau melarang, melainkan sesuatu yang bersifat produktif, yaitu kekuasaan yang menghasilkan subjek, membentuk tubuh, memproduksi pengetahuan, dan mengatur kehidupan.³ Dalam kerangka ini, kekuasaan bersifat tersebar, tidak terpusat, dan bekerja melalui jaringan yang halus dalam praktik sehari-hari, bukan hanya melalui aparatus negara.

Salah satu karya utama yang mencerminkan pendekatan ini adalah Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975), di mana Foucault menganalisis transformasi cara masyarakat Barat memperlakukan kejahatan dan pelanggaran hukum. Ia menunjukkan bahwa sejak abad ke-18, sistem hukuman berubah dari penyiksaan publik menjadi disiplin internal yang bekerja melalui pengawasan, normalisasi, dan pelatihan tubuh.⁴ Dalam masyarakat modern, kekuasaan tidak lagi mengandalkan kekerasan fisik secara langsung, melainkan menggunakan mekanisme disipliner seperti sekolah, rumah sakit, militer, dan penjara untuk mencetak individu “normal” dan “taat”.⁵

Salah satu konsep penting dalam karya tersebut adalah panoptikon, metafora yang diambil dari rancangan penjara Jeremy Bentham. Panoptikon menggambarkan bentuk kekuasaan modern yang bekerja melalui pengawasan yang bersifat internalisasi—di mana individu merasa diawasi setiap saat, sehingga mereka mengatur perilaku sendiri sesuai norma tanpa perlu kekerasan langsung.⁶ Di sini terlihat bahwa kekuasaan telah menjadi bagian dari subjek itu sendiri, bukan sesuatu yang hanya datang dari luar.

Dalam karya selanjutnya, The History of Sexuality, Vol. 1 (1976), Foucault memperluas konsep kekuasaan ini ke ranah kehidupan privat. Ia menolak klaim bahwa seksualitas ditekan oleh moralitas abad ke-19; sebaliknya, Foucault menyatakan bahwa seksualitas diproduksi dan diatur secara intensif oleh berbagai wacana medis, hukum, dan pendidikan.⁷ Konsep yang dikembangkan di sini adalah biopower, yaitu bentuk kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia tidak hanya melalui tubuh individu (anatomo-politics) tetapi juga populasi secara keseluruhan (biopolitics), seperti dalam kebijakan kesehatan, demografi, dan eugenika.⁸

Dengan pendekatan genealogi, Foucault mengajak kita untuk tidak menerima institusi sosial dan kebenaran ilmiah begitu saja, melainkan menanyakan: bagaimana sesuatu menjadi tampak benar, normal, atau wajar? Siapa yang diuntungkan oleh struktur tersebut? Dan bagaimana subjek dibentuk dalam proses itu? Genealogi, dalam hal ini, adalah proyek kritis untuk membongkar sejarah kekuasaan yang bekerja di balik normalitas sosial.

Foucault tidak menolak kebenaran, tetapi menekankan bahwa setiap rezim kebenaran selalu berkaitan dengan relasi kuasa tertentu.⁹ Dalam pandangannya, pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan; mereka membentuk satu jaringan hubungan yang disebutnya dengan istilah power/ knowledge. Kekuasaan menciptakan medan bagi lahirnya pengetahuan, dan pengetahuan memperkuat mekanisme kekuasaan.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy, History, in Language, Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1977), 139–140.

[2]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 23–24.

[3]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 119–120.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 3–7.

[5]                David Garland, “What Is a ‘History of the Present’? On Foucault’s Genealogies and Their Critical Preconditions,” Punishment & Society 16, no. 4 (2014): 372–373.

[6]                Foucault, Discipline and Punish, 200–209.

[7]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 18–20.

[8]                Thomas Lemke, “Foucault’s Hypothesis: From the Critique of the Juridico-Discursive Concept of Power to an Analytics of Government,” Parrhesia 9 (2010): 2–3.

[9]                Foucault, Power/Knowledge, 27–28.


6.           Pengetahuan, Kekuasaan, dan Subjektivitas

Salah satu kontribusi paling fundamental dalam pemikiran Michel Foucault adalah gagasannya mengenai keterkaitan erat antara pengetahuan, kekuasaan, dan subjektivitas. Foucault menolak pandangan klasik yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai, serta kekuasaan sebagai entitas yang hanya bekerja secara represif dari atas ke bawah. Sebaliknya, ia mengembangkan suatu analisis yang menunjukkan bahwa pengetahuan selalu terkait erat dengan struktur kekuasaan, dan bahwa subjektivitas manusia terbentuk dalam medan relasi tersebut, bukan terlepas darinya.¹

6.1.       Pengetahuan sebagai Produk Kekuasaan

Dalam karya-karyanya, Foucault menekankan bahwa tidak ada pengetahuan yang berdiri di luar kekuasaan, dan sebaliknya, tidak ada kekuasaan yang tidak memproduksi pengetahuan.² Relasi ini ia sebut dengan istilah power/knowledge, yakni suatu kesatuan dinamis antara proses produksi pengetahuan dan struktur kekuasaan yang menyertainya. Pengetahuan bukan hanya instrumen kekuasaan, tetapi juga efek dari kekuasaan—ia terbentuk, dibatasi, dan disebarkan melalui rezim kebenaran yang ditentukan oleh struktur sosial dan institusional.³

Konsep ini mengubah paradigma pemahaman epistemologi secara radikal. Misalnya, dalam Discipline and Punish, Foucault menunjukkan bagaimana institusi seperti penjara, sekolah, dan rumah sakit tidak hanya menerapkan kekuasaan, tetapi juga menjadi pusat produksi pengetahuan ilmiah mengenai “individu”—baik dalam bentuk psikiatri, kriminologi, pedagogi, maupun statistik populasi.⁴ Pengetahuan yang dihasilkan institusi ini kemudian digunakan untuk mendefinisikan, mengklasifikasi, dan mengatur individu berdasarkan kategori-kategori tertentu (seperti “normal” dan “abnormal”), sehingga memperkuat mekanisme pengendalian sosial.

6.2.       Subjektivitas sebagai Produk Diskursif

Selanjutnya, Foucault menggeser fokus dari “subjek yang mengetahui” (dalam epistemologi klasik) menjadi subjek yang dikonstruksi.⁵ Bagi Foucault, subjek manusia tidak hadir secara alamiah sebagai entitas yang otonom, melainkan dibentuk secara historis melalui wacana, praktik sosial, dan institusi. Proses ini ia sebut sebagai “subjektivasi” (subjectivation), yaitu bagaimana individu menjadi subjek melalui internalisasi norma, pengawasan, dan kategorisasi.⁶

Konsepsi ini membongkar asumsi dasar humanisme modern yang menempatkan manusia sebagai pusat rasionalitas dan kebebasan. Sebaliknya, Foucault memperlihatkan bahwa “manusia” sebagai kategori epistemologis baru muncul pada periode modern dalam konfigurasi diskursif tertentu, dan bukanlah entitas universal yang berlaku sepanjang sejarah.⁷ Dalam hal ini, subjektivitas bukan fondasi, tetapi efek dari kekuasaan dan wacana.

Contoh yang sangat jelas dapat ditemukan dalam The History of Sexuality, Vol. 1, di mana Foucault menunjukkan bagaimana berbagai diskursus medis, agama, dan hukum membentuk individu sebagai subjek seksual.⁸ Seksualitas bukan sekadar dorongan biologis, tetapi merupakan konstruksi sosial yang diatur, diadministrasikan, dan diproduksi oleh berbagai institusi dalam masyarakat modern.

6.3.       Interaksi Kekuasaan dan Diri

Pada periode akhir pemikirannya, Foucault mulai mengeksplorasi aspek etika diri dan teknologi subjektivitas, khususnya dalam konteks Yunani dan Romawi kuno. Ia menyebutnya sebagai technologies of the self, yaitu teknik atau praktik yang digunakan individu untuk membentuk dirinya sendiri sebagai subjek moral tertentu.⁹ Ini menunjukkan bahwa meskipun kekuasaan membentuk subjek, tetap ada ruang untuk resistensi dan pembentukan diri melalui refleksi, askesis, dan pengelolaan diri.

Namun demikian, resistensi dalam pemikiran Foucault bukanlah bentuk pembebasan yang mutlak, melainkan upaya untuk mempertanyakan batas-batas wacana yang membentuk kita, serta membuka kemungkinan bentuk-bentuk subjektivitas yang lain.¹⁰ Dengan demikian, Foucault tidak membatalkan peran subjek sepenuhnya, tetapi menempatkannya dalam medan kekuasaan dan wacana yang historis.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 51–52.

[2]                Ibid., 98–99.

[3]                Thomas Dumm, Michel Foucault and the Politics of Freedom (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1996), 27–28.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 170–172.

[5]                Paul Rabinow, ed., The Foucault Reader (New York: Pantheon Books, 1984), 10–12.

[6]                Nikolas Rose, Governing the Soul: The Shaping of the Private Self (London: Free Association Books, 1990), 9–11.

[7]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1994), 322–325.

[8]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 42–44.

[9]                Michel Foucault, The Use of Pleasure: The History of Sexuality, Vol. 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 10–12.

[10]             Amy Allen, “Foucault and the Politics of Our Selves,” History of the Human Sciences 24, no. 4 (2011): 44–46.


7.           Etika dan Pemerintahan Diri

Pada periode akhir kehidupannya, Michel Foucault mengarahkan perhatiannya pada isu etika, khususnya bagaimana individu membentuk diri sebagai subjek etis dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kebenaran. Fokus ini menandai perkembangan penting dalam pemikiran Foucault, yang sebelumnya lebih menekankan analisis struktural atas kekuasaan dan wacana. Dalam karya-karya seperti The Use of Pleasure dan The Care of the Self, Foucault mengeksplorasi praktik-praktik kuno pembentukan diri yang disebutnya sebagai teknologi diri (technologies of the self), yaitu cara-cara di mana individu secara aktif membentuk dirinya sebagai subjek moral melalui refleksi, disiplin, dan praktik hidup tertentu.¹

Foucault mendefinisikan technologies of the self sebagai "berbagai teknik yang memungkinkan individu untuk melakukan serangkaian operasi terhadap tubuh dan jiwa mereka, pikiran, perilaku, atau cara mereka hidup, sehingga mereka dapat mengubah diri mereka sendiri untuk mencapai suatu kondisi tertentu, seperti kebahagiaan, kemurnian, kebijaksanaan, atau keabadian."_² Dengan demikian, pembentukan subjektivitas bukan hanya hasil dari dominasi kekuasaan eksternal, tetapi juga merupakan hasil dari kerja etis individu terhadap dirinya sendiri.

Dalam telaah historisnya, Foucault menunjukkan bahwa dalam masyarakat Yunani dan Romawi kuno, praktik etika tidak didasarkan pada sistem moral universal, melainkan pada relasi praktis dan reflektif terhadap diri sendiri.³ Misalnya, dalam konteks seksualitas, individu tidak dikendalikan oleh hukum moral universal seperti dalam tradisi Kristen, tetapi oleh prinsip-prinsip asketis dan estetika yang berfungsi sebagai panduan untuk menjalani hidup yang baik (bios kalos). Dalam hal ini, etika adalah praxis, bukan sekadar kepatuhan terhadap norma.

Konsep ini menantang pemahaman konvensional tentang etika sebagai sistem nilai yang bersifat tetap dan transenden. Foucault justru menunjukkan bahwa etika bersifat historis, kontekstual, dan berakar pada hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan diri.⁴ Dalam kerangka ini, "pemerintahan diri" (government of the self) tidak dapat dipisahkan dari "pemerintahan orang lain" (government of others), karena keduanya saling berinteraksi dalam proses produksi subjektivitas. Pemerintahan dalam pengertian Foucault tidak terbatas pada otoritas politik, tetapi mencakup semua praktik yang mengatur perilaku individu, baik oleh diri sendiri maupun institusi sosial.⁵

Dalam kuliah-kuliah terakhirnya di Collège de France, seperti yang terkumpul dalam The Government of Self and Others, Foucault memperkenalkan konsep “governmentality” sebagai bentuk kekuasaan yang menggabungkan teknik administrasi negara dan praktik pengelolaan diri.⁶ Ini menjadi dasar bagi teori neoliberalisme sebagai bentuk rasionalitas pemerintahan, di mana individu diharapkan menjadi pengelola diri yang rasional, efisien, dan bertanggung jawab.⁷ Dalam konteks ini, kebebasan tidak lagi berarti ketiadaan intervensi, tetapi justru menjadi mekanisme internal dari pemerintahan itu sendiri.

Peralihan ini tidak berarti Foucault meninggalkan kritiknya terhadap kekuasaan; sebaliknya, ia memperdalam analisisnya dengan memperkenalkan dimensi agensi dan resistensi. Dengan menggali cara-cara bagaimana subjek membentuk diri mereka sendiri dalam dan terhadap kekuasaan, Foucault membuka ruang bagi pembacaan kritis yang lebih kompleks terhadap hubungan antara struktur sosial dan kebebasan individu.⁸

Melalui eksplorasi terhadap etika dan pemerintahan diri, Foucault menyuguhkan pendekatan baru terhadap subjek sebagai agen etis, bukan hanya sebagai efek dari kekuasaan. Ia menggeser perhatian dari pertanyaan “siapa kita?” menjadi “bagaimana kita menjadi seperti ini?”, dan lebih jauh: “bagaimana kita bisa menjadi lain?”_⁹ Dengan demikian, proyek filsafat Foucault menjadi bukan hanya proyek kritis atas modernitas, tetapi juga proyek eksperimen etis untuk membuka kemungkinan subjektivitas yang berbeda dan lebih emansipatoris.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, The Use of Pleasure: The History of Sexuality, Vol. 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 4–6.

[2]                Michel Foucault, “Technologies of the Self,” in Technologies of the Self: A Seminar with Michel Foucault, ed. Luther H. Martin, Huck Gutman, and Patrick H. Hutton (Amherst: University of Massachusetts Press, 1988), 18.

[3]                Foucault, The Care of the Self: The History of Sexuality, Vol. 3, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1988), 23–25.

[4]                Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Biopower Today,” BioSocieties 1, no. 2 (2006): 197–198.

[5]                Thomas Lemke, “Foucault, Governmentality, and Critique,” Rethinking Marxism 14, no. 3 (2002): 50–52.

[6]                Michel Foucault, The Government of Self and Others: Lectures at the Collège de France, 1982–1983, trans. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 1–4.

[7]                Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (New York: Zone Books, 2015), 78–81.

[8]                Amy Allen, The Politics of Our Selves: Power, Autonomy, and Gender in Contemporary Critical Theory (New York: Columbia University Press, 2008), 41–42.

[9]                Foucault, Technologies of the Self, 25–26.


8.           Kritik dan Relevansi Kontemporer

Pemikiran Michel Foucault, meskipun sangat berpengaruh dalam berbagai disiplin ilmu, tidak luput dari kritik. Sejumlah pemikir kontemporer, baik yang bersimpati maupun yang berseberangan secara teoretis, memberikan tanggapan kritis terhadap pendekatan Foucault terhadap kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas. Kritik-kritik ini justru memperkaya dan memperluas cakupan diskursus Foucauldian, sekaligus mendorong reinterpretasi dan pembaruan konsep-konsep yang ia wariskan.

8.1.       Kritik terhadap Relativisme dan Ketakberdayaan Subjek

Salah satu kritik utama terhadap Foucault datang dari filsuf seperti Jürgen Habermas, yang menuduh Foucault gagal menyediakan dasar normatif bagi kritik sosial. Menurut Habermas, dengan menolak universalitas rasionalitas dan menggambarkan kebenaran sebagai hasil relasi kekuasaan, Foucault terjebak dalam relativisme epistemologis yang berbahaya bagi proyek emansipatoris.¹ Dalam perspektif Habermas, kritik sosial harus bertumpu pada klaim rasional yang dapat diuji secara intersubjektif, bukan pada genealogi yang merelatifkan semua bentuk pengetahuan.

Demikian pula, beberapa feminis awal seperti Nancy Fraser menyatakan bahwa pendekatan Foucault melemahkan potensi agensi karena terlalu menekankan pembentukan subjek oleh kekuasaan.² Kritik ini menyasar pada kesan bahwa individu dalam pemikiran Foucault seolah tidak memiliki ruang untuk resistensi atau pembentukan diri secara bebas. Namun, perkembangan pemikiran Foucault pada periode akhir, khususnya terkait technologies of the self, telah mengakomodasi sebagian kritik ini dengan menekankan praktik pembentukan diri sebagai arena resistensi etis.

8.2.       Relevansi dalam Kajian Gender, Seksualitas, dan Postkolonialisme

Meski menuai kritik, banyak pemikir justru memperluas dan menerapkan gagasan-gagasan Foucault dalam konteks baru. Tokoh seperti Judith Butler mengembangkan teori performativitas gender dengan merujuk pada pemikiran Foucault tentang seksualitas dan konstruksi diskursif subjektivitas.³ Butler menunjukkan bahwa identitas gender tidak bersifat esensial, melainkan dihasilkan secara performatif melalui pengulangan norma-norma sosial, sejalan dengan gagasan Foucault bahwa subjek adalah produk dari wacana dan kekuasaan.

Dalam ranah studi postkolonial, pemikiran Foucault tentang kekuasaan dan wacana juga diadopsi oleh tokoh seperti Edward Said, khususnya dalam Orientalism, yang mengkaji bagaimana wacana kolonial membentuk representasi Timur dalam kerangka kekuasaan Barat.⁴ Pendekatan Foucauldian ini memungkinkan analisis yang lebih tajam terhadap dominasi simbolik dan produksi pengetahuan kolonial yang melegitimasi penindasan.

Demikian pula, konsep biopower dan governmentality sangat berpengaruh dalam kajian kontemporer mengenai neoliberalisme, pengawasan digital, dan kesehatan masyarakat. Dalam era globalisasi dan kapitalisme informasi, Foucault membantu menjelaskan bagaimana individu didisiplinkan melalui statistik, teknologi kesehatan, dan narasi keamanan.⁵ Sebagai contoh, dalam konteks pandemi COVID-19, analisis terhadap kebijakan pelacakan, karantina, dan pembatasan mobilitas banyak dipengaruhi oleh kerangka Foucauldian tentang pengaturan populasi dan regulasi tubuh.⁶

8.3.       Pembaruan dan Transformasi Pemikiran Foucauldian

Kritik yang bersifat konstruktif telah mendorong munculnya neo-Foucauldian studies, yakni pendekatan-pendekatan baru yang menggabungkan pemikiran Foucault dengan teori kritis, Marxisme baru, dan feminisme interseksional. Salah satu contoh penting adalah karya Nikolas Rose tentang neurogovernmentality, yang menunjukkan bagaimana kekuasaan kini bekerja melalui konsep-konsep biomedis dan psikologi neurobehavioral untuk membentuk “subjek kesehatan”.⁷

Selain itu, Foucauldian scholars juga semakin tertarik pada implikasi politik pemikiran Foucault, termasuk dalam aktivisme kontemporer. Pemikiran Foucault tentang kekuasaan difusi dan resistensi mikro telah menginspirasi gerakan seperti queer politics, prisoner rights, dan dekolonisasi kurikulum.⁸ Di sini, Foucault bukan hanya dilihat sebagai pemikir kritis, tetapi juga sebagai katalis bagi praktik emansipatoris yang menolak struktur kekuasaan dominan melalui cara-cara tak konvensional.


Kesimpulan Sementara

Meskipun pemikiran Michel Foucault tidak tanpa kontroversi, relevansi ide-idenya dalam dunia kontemporer tetap luar biasa besar. Konsepsi kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar dan produktif, serta analisis kritis terhadap pembentukan subjek dan kebenaran, membuka ruang baru bagi kritik sosial, politik, dan budaya. Kritik terhadap relativisme epistemik atau ketakberdayaan subjek tidak mereduksi signifikansi intelektual Foucault, tetapi justru memperlihatkan dinamika dan daya hidup pemikirannya yang terus bertransformasi seiring perkembangan zaman.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, trans. Frederick G. Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 238–239.

[2]                Nancy Fraser, “Foucault on Modern Power: Empirical Insights and Normative Confusions,” Praxis International 3, no. 3 (1984): 273–278.

[3]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 33–34.

[4]                Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 2–5.

[5]                Thomas Lemke, Biopolitics: An Advanced Introduction (New York: New York University Press, 2011), 42–45.

[6]                Stuart Elden, “Foucault and the Possibility of Pandemic Politics,” Environment and Planning D: Society and Space 39, no. 6 (2021): 1034–1037.

[7]                Nikolas Rose and Joelle Abi-Rached, Neuro: The New Brain Sciences and the Management of the Mind (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2013), 11–13.

[8]                Kevin B. Anderson and Janet Afary, “Foucault and the Iranian Revolution,” Social Text 22, no. 3 (2004): 33–37.


9.           Kesimpulan

Michel Foucault menghadirkan kontribusi revolusioner dalam cara kita memahami kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas dalam masyarakat modern. Berbeda dari pendekatan-pendekatan tradisional yang melihat kekuasaan sebagai alat represif yang dimonopoli oleh negara, Foucault memperluas konsep kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar, produktif, dan beroperasi melalui praktik-praktik sehari-hari, institusi, dan wacana sosial.¹ Kekuasaan bukan hanya menindas, tetapi juga menciptakan: ia membentuk identitas, norma, bahkan kebenaran itu sendiri.

Salah satu sumbangsih terpenting Foucault adalah penggabungan antara analisis historis dan genealogis untuk menunjukkan bahwa pengetahuan dan kebenaran tidak bersifat objektif dan netral, melainkan diproduksi melalui konfigurasi diskursif dan mekanisme kekuasaan tertentu.² Dengan demikian, pengetahuan bukan hanya sesuatu yang "dimiliki" oleh subjek, melainkan sesuatu yang membentuk subjek.³ Konsep power/knowledge yang ia perkenalkan menunjukkan keterikatan fundamental antara epistemologi dan politik.

Foucault juga memberikan sumbangan besar dalam pemahaman tentang subjektivitas, dengan menekankan bahwa subjek tidak hadir secara alamiah atau universal, tetapi terbentuk melalui proses historis dan relasi kuasa.⁴ Proyek filosofis Foucault secara konsisten mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dalam modernitas: tentang rasionalitas, kebebasan, identitas, dan kebenaran. Bahkan dalam fase akhir kehidupannya, Foucault tetap konsisten dalam pendekatan kritis, dengan mengalihkan perhatian pada etika pemerintahan diri dan kemungkinan resistensi melalui technologies of the self.⁵

Namun, pemikiran Foucault tidak hadir tanpa kontroversi. Tuduhan relativisme, nihilisme, dan kekaburan normatif sering ditujukan kepadanya. Meski demikian, para pemikir kontemporer baik yang kritis maupun simpatik telah menunjukkan bahwa pemikiran Foucault tetap sangat relevan dalam menghadapi tantangan dunia kontemporer: mulai dari kajian tentang gender, ras, dan kolonialisme, hingga persoalan pengawasan digital, biopolitik, dan rasionalitas neoliberal.⁶ Foucault telah menjadi fondasi bagi berbagai disiplin kritis yang membongkar relasi kuasa dalam berbagai konteks sosial.

Secara keseluruhan, telaah atas pemikiran Michel Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas bukanlah entitas yang dapat dipahami secara terpisah, melainkan saling terkait dalam jaringan diskursif dan historis yang kompleks. Kekuatan utama Foucault terletak pada kemampuannya untuk membongkar “kebenaran” yang mapan dan membuka ruang bagi cara berpikir baru yang lebih reflektif, kritis, dan kontekstual.⁷ Dalam dunia yang terus berubah dan dipenuhi berbagai bentuk kekuasaan yang semakin subtil, pendekatan Foucault tetap menjadi alat yang ampuh untuk menganalisis dan menginterogasi kondisi keberadaan manusia modern.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 98–99.

[2]                Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 49–50.

[3]                Thomas Dumm, Michel Foucault and the Politics of Freedom (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1996), 41.

[4]                Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Biopower Today,” BioSocieties 1, no. 2 (2006): 197.

[5]                Michel Foucault, The Use of Pleasure: The History of Sexuality, Vol. 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 10–12.

[6]                Nikolas Rose, Powers of Freedom: Reframing Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 1–4.

[7]                Amy Allen, The Politics of Our Selves: Power, Autonomy, and Gender in Contemporary Critical Theory (New York: Columbia University Press, 2008), 49–50.


Daftar Pustaka

Allen, A. (2008). The politics of our selves: Power, autonomy, and gender in contemporary critical theory. Columbia University Press.

Anderson, K. B., & Afary, J. (2004). Foucault and the Iranian revolution. Social Text, 22(3), 33–37.

Brown, W. (2015). Undoing the demos: Neoliberalism’s stealth revolution. Zone Books.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Dreyfus, H. L., & Rabinow, P. (1983). Michel Foucault: Beyond structuralism and hermeneutics. University of Chicago Press.

Dumm, T. (1996). Michel Foucault and the politics of freedom. Sage Publications.

Elden, S. (2021). Foucault and the possibility of pandemic politics. Environment and Planning D: Society and Space, 39(6), 1034–1037. https://doi.org/10.1177/02637758211043856

Eribon, D. (1991). Michel Foucault (B. Wing, Trans.). Harvard University Press.

Foucault, M. (1977). Nietzsche, genealogy, history. In D. F. Bouchard (Ed.), Language, counter-memory, practice (pp. 139–164). Cornell University Press.

Foucault, M. (1979). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1984). The Foucault reader (P. Rabinow, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1988). Technologies of the self. In L. H. Martin, H. Gutman, & P. H. Hutton (Eds.), Technologies of the self: A seminar with Michel Foucault (pp. 16–49). University of Massachusetts Press.

Foucault, M. (1988). The care of the self: The history of sexuality, Vol. 3 (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1990a). The history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1976)

Foucault, M. (1990b). The use of pleasure: The history of sexuality, Vol. 2 (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage Books. (Original work published 1966)

Foucault, M. (2010). The government of self and others: Lectures at the Collège de France, 1982–1983 (G. Burchell, Trans.). Palgrave Macmillan.

Fraser, N. (1984). Foucault on modern power: Empirical insights and normative confusions. Praxis International, 3(3), 273–287.

Garland, D. (2014). What is a “history of the present”? On Foucault’s genealogies and their critical preconditions. Punishment & Society, 16(4), 365–384. https://doi.org/10.1177/1462474514541711

Gutting, G. (1989). Michel Foucault’s archaeology of scientific reason. Cambridge University Press.

Gutting, G. (2005). Foucault: A very short introduction. Oxford University Press.

Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. G. Lawrence, Trans.). MIT Press.

Lemke, T. (2002). Foucault, governmentality, and critique. Rethinking Marxism, 14(3), 49–64. https://doi.org/10.1080/089356902101242288

Lemke, T. (2010). Foucault’s hypothesis: From the critique of the juridico-discursive concept of power to an analytics of government. Parrhesia, 9, 2–13.

Lemke, T. (2011). Biopolitics: An advanced introduction (E. F. Trump, Trans.). New York University Press.

May, T. (2006). The philosophy of Foucault. McGill-Queen’s University Press.

Macey, D. (1995). The lives of Michel Foucault. Vintage Books.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1887)

Rabinow, P., & Rose, N. (2003). Introduction. In P. Rabinow & N. Rose (Eds.), The essential Foucault: Selections from the essential works of Foucault, 1954–1984 (pp. vii–xxxv). The New Press.

Rabinow, P., & Rose, N. (2006). Biopower today. BioSocieties, 1(2), 195–217. https://doi.org/10.1017/S1745855206040014

Rose, N. (1990). Governing the soul: The shaping of the private self. Free Association Books.

Rose, N. (1999). Powers of freedom: Reframing political thought. Cambridge University Press.

Rose, N., & Abi-Rached, J. (2013). Neuro: The new brain sciences and the management of the mind. Princeton University Press.

Said, E. W. (1979). Orientalism. Vintage Books.

Veyne, P. (2010). Foucault: His thought, his character (J. Lloyd, Trans.). Polity Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar