Pemikiran Michel Foucault
Kekuasaan, Pengetahuan, dan Subjektivitas
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
filsuf Prancis kontemporer Michel Foucault dengan menyoroti tiga pilar utama
dalam kerangka teoretisnya: kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas. Dengan
menggunakan pendekatan historis dan genealogis, Foucault menolak pandangan
tradisional mengenai kekuasaan sebagai otoritas represif yang terpusat, serta
menantang asumsi modernitas tentang pengetahuan yang netral dan subjek yang
otonom. Pengetahuan, dalam pandangan Foucault, adalah produk dari relasi kuasa
yang terstruktur melalui institusi dan wacana sosial, sedangkan subjektivitas
terbentuk melalui proses historis yang disebut sebagai subjektivasi.
Melalui analisis arkeologis dan genealogis atas institusi seperti penjara,
rumah sakit, dan sekolah, serta melalui konsep-konsep seperti panoptikon,
biopolitik, dan technologies of the self, Foucault menunjukkan
bagaimana kekuasaan bekerja secara produktif dalam membentuk cara manusia
berpikir, bertindak, dan mengenali dirinya. Artikel ini juga menyoroti berbagai
kritik yang diarahkan kepada Foucault—terutama berkaitan dengan tuduhan
relativisme epistemologis dan ketakberdayaan subjek—sekaligus menunjukkan
relevansi pemikirannya dalam berbagai ranah kontemporer seperti studi gender,
postkolonialisme, pengawasan digital, dan rasionalitas neoliberal.
Kesimpulannya, pemikiran Foucault tetap menjadi landasan penting bagi analisis
kritis atas dinamika kuasa dan pembentukan identitas dalam masyarakat modern.
Kata Kunci: Michel Foucault; kekuasaan; pengetahuan; subjektivitas;
arkeologi; genealogi; panoptikon; biopolitik; pemerintahan diri; teknologi
diri; wacana; modernitas; kritik sosial.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Michel Foucault
1.
Pendahuluan
Pemikiran Michel
Foucault telah menjadi salah satu pilar penting dalam perkembangan filsafat
kontemporer, khususnya dalam ranah teori kritis, ilmu sosial, dan humaniora. Ia
dikenal sebagai filsuf yang menggugat cara-cara tradisional dalam memahami
relasi antara kekuasaan, pengetahuan, dan subjek manusia. Foucault menolak
pemahaman modern yang melihat subjek sebagai pusat kesadaran yang otonom dan
rasional, serta menantang asumsi bahwa pengetahuan ilmiah bersifat netral dan
bebas dari pengaruh kekuasaan. Sebaliknya, ia mengembangkan pendekatan analitis
yang menelusuri bagaimana struktur wacana dan institusi sosial membentuk cara
berpikir, bertindak, dan menjadi subjek bagi individu dalam masyarakat modern.¹
Dalam konteks
tersebut, Foucault tidak saja memberikan kritik terhadap epistemologi Barat
modern, melainkan juga memperkenalkan metode-metode analisis baru, seperti
arkeologi dan genealogi. Kedua pendekatan ini berfungsi untuk mengurai relasi
tersembunyi antara kekuasaan dan pengetahuan, serta bagaimana subjek manusia
dikonstruksi secara historis melalui praktik-praktik diskursif.² Dengan cara
ini, Foucault menggiring pembaca untuk memahami bahwa sejarah bukan hanya
sekadar kronologi peristiwa, melainkan medan perjuangan wacana yang
mereproduksi kekuasaan dan mendefinisikan batas-batas kemungkinan pengetahuan
serta pengalaman manusia.³
Signifikansi
pemikiran Foucault terletak pada kemampuannya untuk menyeberangi batas-batas
disiplin keilmuan. Ia tidak terbatas dalam wilayah filsafat saja, tetapi juga
memberi kontribusi besar dalam antropologi, sosiologi, kriminologi, studi
gender, dan bahkan politik kontemporer.⁴ Karya-karyanya seperti Discipline
and Punish dan The History of Sexuality telah
mengubah cara akademisi memahami peran institusi sosial, teknik pengawasan, dan
produksi subjektivitas dalam tatanan masyarakat modern.⁵ Oleh karena itu,
kajian terhadap pemikiran Foucault menjadi penting bukan hanya sebagai bagian
dari kajian sejarah filsafat, tetapi juga sebagai pisau analisis kritis dalam
memahami mekanisme kekuasaan yang bekerja dalam kehidupan kontemporer, baik
dalam ranah politik, pendidikan, kesehatan, maupun kehidupan sehari-hari.
Artikel ini
bertujuan untuk menyajikan telaah kritis terhadap pemikiran Michel Foucault
dengan menyoroti tiga aspek utama: relasi antara kekuasaan dan pengetahuan,
konsep subjektivitas dalam konteks modernitas, serta relevansi kritis pemikiran
Foucault dalam lanskap keilmuan dan kehidupan sosial kontemporer. Dengan
menggunakan pendekatan historis-filosofis dan berbasis pada sumber-sumber
primer serta kajian sekunder yang kredibel, tulisan ini akan menggali secara
sistematis bagaimana Foucault membentuk paradigma baru dalam memahami realitas
sosial, serta implikasinya terhadap cara manusia memahami dirinya dan dunia
sekitarnya.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–132.
[2]
Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 30–35.
[3]
Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Foucault and Political Reason:
Liberalism, Neo-Liberalism and Rationalities of Government,” Economy and
Society 22, no. 3 (1993): 218–219.
[4]
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond
Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press,
1983), xxiii.
[5]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–27; Michel Foucault, The
History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New
York: Vintage, 1990), 81–82.
2.
Biografi Singkat Michel Foucault
Michel Foucault
lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Poitiers, Prancis, dalam keluarga borjuis
yang memiliki latar belakang medis. Ayahnya, Paul Foucault, adalah seorang ahli
bedah terkemuka, dan berharap Michel mengikuti jejaknya dalam dunia kedokteran.
Namun, minat Foucault justru tertuju pada filsafat dan sejarah ide. Ia dikenal
sebagai sosok yang brilian sejak usia muda, meskipun juga mengalami masa-masa
kesulitan emosional yang mendalam.¹
Foucault mengenyam
pendidikan tinggi di École Normale Supérieure (ENS), salah satu institusi
paling bergengsi di Prancis, tempat ia mempelajari filsafat, psikologi, dan
sejarah. Di sana, ia berguru pada sejumlah tokoh penting, termasuk Jean
Hyppolite, seorang ahli Hegelianisme yang memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan pemikiran Foucault, khususnya dalam hal relasi antara sejarah dan
struktur pemikiran.² Di bawah bimbingan Hyppolite, Foucault mengembangkan
ketertarikan pada filsafat Nietzsche, Freud, dan Marx, yang kemudian menjadi pilar
dalam pendekatan genealogi yang ia kembangkan di masa-masa selanjutnya.³
Karier profesional
Foucault diawali dengan berbagai posisi akademik di luar negeri, termasuk di
Swedia, Polandia, dan Jerman, di mana ia memperluas wawasan tentang psikiatri
dan sejarah ide-ide medis. Pengalaman ini menjadi fondasi bagi karya pertamanya
yang penting, Madness and Civilization (1961),
yang mengeksplorasi sejarah konstruksi kegilaan dalam institusi medis Eropa.⁴
Foucault mulai
memperoleh reputasi internasional ketika diangkat menjadi profesor di Collège
de France pada tahun 1970, dengan gelar kursi akademik "History of Systems of Thought". Di
posisi ini, ia banyak memproduksi karya-karya besar yang menjadi tonggak dalam
perkembangan teori kritis, termasuk The Archaeology of Knowledge, Discipline
and Punish, serta seri The History of Sexuality.⁵
Karya-karya ini menunjukkan pergeseran pendekatan Foucault dari apa yang ia
sebut “arkeologi pengetahuan” menuju analisis genealogis yang lebih
fokus pada kekuasaan, praktik diskursif, dan produksi subjektivitas.⁶
Secara personal,
Foucault dikenal sebagai sosok yang enggan mengaitkan karya intelektualnya
dengan identitas pribadinya. Meskipun ia merupakan bagian dari komunitas LGBTQ
dan hidup pada masa gejolak politik 1960–1970-an, Foucault lebih memilih
membiarkan karya-karyanya “berbicara sendiri” ketimbang memberikan
tafsir personal.⁷ Ia juga memiliki ketertarikan pada aktivisme, termasuk
keterlibatannya dalam isu-isu tentang sistem penjara dan hak-hak kaum
minoritas.⁸
Michel Foucault
meninggal dunia pada 25 Juni 1984 di Paris akibat komplikasi yang berkaitan
dengan AIDS. Meskipun wafat pada usia yang relatif muda, warisan intelektual
Foucault tetap hidup dan terus memberi pengaruh mendalam dalam wacana filsafat,
teori sosial, studi gender, dan ilmu politik.⁹
Footnotes
[1]
Didier Eribon, Michel Foucault, trans. Betsy Wing (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1991), 7–10.
[2]
Paul Veyne, Foucault: His Thought, His Character, trans. Janet
Lloyd (Cambridge: Polity Press, 2010), 23–25.
[3]
Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 12–14.
[4]
Michel Foucault, Madness and Civilization: A History of Insanity in
the Age of Reason, trans. Richard Howard (New York: Vintage Books, 1988),
ix–xii.
[5]
David Macey, The Lives of Michel Foucault (New York: Vintage,
1995), 287–290.
[6]
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond
Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press,
1983), 105–110.
[7]
James Miller, The Passion of Michel Foucault (New York: Simon
& Schuster, 1993), 16–17.
[8]
Colin Gordon, ed., Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon Books, 1980), 51–52.
[9]
Eribon, Michel Foucault, 322–324.
3.
Konteks Historis dan Intelektual
Untuk memahami
pemikiran Michel Foucault secara utuh, penting untuk menempatkannya dalam
konteks historis dan intelektual Prancis pasca-Perang Dunia II. Foucault muncul
dalam lanskap intelektual yang sangat dinamis, di mana diskursus filsafat mengalami
transformasi dari eksistensialisme ke strukturalisme, dan kemudian menuju
post-strukturalisme. Lingkungan ini tidak hanya mempengaruhi arah pemikirannya,
tetapi juga mendorongnya untuk mengembangkan kritik tajam terhadap
fondasi-fondasi rasionalitas modern, subyektivitas, dan narasi sejarah besar
(grand narratives).¹
Secara genealogis,
Foucault banyak dipengaruhi oleh tiga pemikir besar yang sering ia sebut
sebagai “tiga pencetus kecurigaan” (masters of suspicion): Karl Marx,
Friedrich Nietzsche, dan Sigmund Freud.² Dari Marx, ia menyerap pemahaman
tentang bagaimana kekuasaan dan struktur ekonomi memengaruhi kehidupan sosial;
dari Freud, ia mengadopsi perspektif mengenai subjektivitas dan represi; dan
dari Nietzsche, ia memperoleh inspirasi metodologis dalam bentuk
genealogis—yakni pendekatan terhadap sejarah sebagai rangkaian kontingensi dan
pertarungan nilai, bukan progres linier menuju kebenaran.³
Dalam dunia filsafat
Prancis saat itu, dominasi eksistensialisme yang diusung oleh Jean-Paul Sartre
mulai digantikan oleh semangat strukturalisme yang dibawa oleh tokoh-tokoh
seperti Claude Lévi-Strauss di bidang antropologi, Roland Barthes di bidang
semiotika, dan Jacques Lacan di bidang psikoanalisis. Foucault sendiri awalnya
dikategorikan sebagai strukturalis, terutama karena pendekatannya yang
menekankan struktur
dalam arkeologi pengetahuan. Namun, ia kemudian menolak label tersebut, karena
pemikirannya lebih bersifat historis-kritis daripada deduktif-struktural.⁴
Konsep-konsep
Foucault juga berkembang dalam dialog dan perbedaan dengan pemikir sezamannya,
seperti Louis Althusser, yang memperkenalkan teori ideologi dan struktur negara
dalam kerangka Marxisme struktural.⁵ Walaupun Althusser sangat menekankan
struktur dalam penjelasan ideologi, Foucault lebih tertarik pada
praktik-praktik konkret dan mikro-kekuasaan yang bekerja melalui institusi
sosial dan wacana.⁶ Perbedaan ini mengantar Foucault pada jalan teoritis yang
khas, yaitu penggabungan analisis historis, epistemologis, dan politik dalam
kerangka non-totalistik.
Di sisi lain,
pemikiran Foucault juga merefleksikan krisis modernitas yang lebih luas, di
mana proyek Pencerahan mulai dipertanyakan. Gagasan tentang rasionalitas,
kemajuan, dan subjek otonom dipandang telah gagal mencegah bencana-bencana modern
seperti kolonialisme, perang dunia, dan totalitarianisme. Dalam konteks inilah,
Foucault membongkar bagaimana institusi-institusi modern—penjara, rumah sakit
jiwa, sekolah, dan sebagainya—tidak sekadar menjalankan fungsi sosial, tetapi
juga mereproduksi rezim kebenaran dan kekuasaan tertentu yang membentuk
subjek.⁷
Dengan demikian,
Foucault mewakili pergeseran epistemologis dari filsafat normatif ke pendekatan
kritis yang membongkar fondasi wacana, kebenaran, dan subjektivitas.
Pemikirannya tidak hadir dalam ruang hampa, tetapi merupakan respons terhadap
krisis-krisis intelektual dan sosial yang menyertai perkembangan modernitas
Eropa. Melalui karya-karyanya, Foucault menggugat ilusi netralitas ilmu
pengetahuan, membongkar kerja tersembunyi kekuasaan, serta menyingkap bagaimana
manusia dibentuk sebagai “subjek” dalam jaringan sejarah dan institusi.
Footnotes
[1]
Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 7–10.
[2]
Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Introduction,” in The Essential
Foucault: Selections from the Essential Works of Foucault, 1954–1984, ed.
Paul Rabinow and Nikolas Rose (New York: New Press, 2003), xvi.
[3]
Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy, History, in Language,
Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1977), 139–164.
[4]
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond
Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press,
1983), 104–106.
[5]
Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans.
Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 85–86.
[6]
Thomas Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 133–135.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–27.
4.
Epistemologi dan Arkeologi Pengetahuan
Dalam pemikiran
Michel Foucault, persoalan epistemologi tidak dipahami dalam kerangka
tradisional yang berfokus pada asal-usul, validitas, dan justifikasi
pengetahuan secara normatif. Sebaliknya, Foucault memposisikan pengetahuan
sebagai hasil dari konstruksi historis yang terbentuk melalui praktik wacana
dan relasi kekuasaan. Hal ini tercermin secara paling eksplisit dalam fase awal
pemikirannya yang dikenal sebagai “arkeologi pengetahuan,” yakni sebuah
metode untuk menelusuri formasi diskursif yang mendasari
produksi pengetahuan dalam periode sejarah tertentu.¹
Karya utama yang
merepresentasikan pendekatan ini adalah The Archaeology of Knowledge
(1969), di mana Foucault menjelaskan bahwa pengetahuan tidak bersandar pada
subjek rasional yang bersifat universal, melainkan pada aturan-aturan
tersembunyi yang mengatur kemungkinan munculnya pernyataan-pernyataan ilmiah (énoncés)
dalam tatanan diskursif tertentu.² Dengan kata lain, pengetahuan lahir bukan
karena representasi obyektif terhadap realitas, melainkan karena keberlakuan
rezim diskursif yang menentukan mana yang bisa dikatakan, siapa yang bisa
mengatakannya, dan dalam konteks apa pernyataan tersebut diakui sebagai “benar.”_³
Pendekatan arkeologi
Foucault menolak pandangan sejarah pengetahuan yang linier dan kumulatif. Ia
tidak mencari asal mula ide, tetapi memetakan kondisi kemungkinan dari
kemunculan berbagai bentuk pengetahuan dalam ruang historis tertentu. Dalam hal
ini, Foucault memperkenalkan konsep episteme, yaitu struktur
pengetahuan dasar yang tidak selalu disadari, tetapi mengatur cara berpikir dan
berbicara dalam suatu periode sejarah.⁴ Sebagai contoh, dalam The
Order of Things (1966), Foucault membandingkan struktur
epistemologis dari tiga periode utama: Renaisans, Klasik, dan Modern. Ia
menunjukkan bahwa setiap episteme memiliki logika
representasi dan pembentukan objek yang berbeda, sehingga “manusia” sebagai
subjek pengetahuan baru muncul pada konfigurasi episteme modern.⁵
Arkeologi
pengetahuan, dengan demikian, bukan sekadar analisis isi wacana, melainkan
studi terhadap aturan-aturan pembentukan wacana itu sendiri. Ini termasuk
kategori, institusi, objek, dan subjek yang dimungkinkan oleh jaringan
diskursif dalam konteks historis tertentu.⁶ Hal ini menempatkan Foucault dalam
posisi yang berbeda dari tradisi filsafat analitik maupun hermeneutika, karena
ia tidak menitikberatkan pada makna atau intensi subjek, tetapi pada sistem
formal dan institusional yang memungkinkan keberadaan pengetahuan itu sendiri.⁷
Namun, Foucault
sendiri kemudian mengakui keterbatasan pendekatan arkeologi yang terlalu fokus
pada tataran diskursif. Dalam fase-fase berikutnya, ia memperluas analisanya
dengan pendekatan genealogis yang lebih menekankan relasi antara wacana,
praktik sosial, dan kekuasaan.⁸ Meskipun demikian, kontribusi arkeologi
pengetahuan tetap menjadi landasan penting dalam pemikiran Foucault, terutama
dalam merumuskan bahwa pengetahuan tidak pernah netral, melainkan selalu
terikat dengan kondisi historis dan struktur kekuasaan yang melingkupinya.
Footnotes
[1]
Gary Gutting, Michel Foucault’s Archaeology of Scientific Reason
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 1–5.
[2]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 21–30.
[3]
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond
Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press,
1983), 46–48.
[4]
Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences
(New York: Vintage Books, 1994), xxi–xxiii.
[5]
Ibid., 304–307.
[6]
Paul Rabinow, ed., The Foucault Reader (New York: Pantheon
Books, 1984), 114–118.
[7]
Todd May, The Philosophy of Foucault (Montreal: McGill-Queen’s
University Press, 2006), 34–36.
[8]
Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 22–23.
5.
Genealogi Kekuasaan
Setelah fase “arkeologi
pengetahuan” yang menekankan struktur diskursif, Michel Foucault beralih ke
pendekatan genealogis, yakni sebuah metode
historis-kritis yang menelusuri asal-usul wacana, praktik, dan institusi bukan
untuk menemukan asal mula yang esensial, melainkan untuk membongkar
kontingensi, konflik, dan mekanisme kekuasaan yang melatarbelakangi
kemunculannya.¹ Pendekatan ini ia warisi dari Friedrich Nietzsche, khususnya
dalam karya On the Genealogy of Morals, dan
diadaptasi untuk mengkaji bagaimana kekuasaan bekerja melalui praktik sosial
yang konkret, bukan hanya melalui struktur ide.²
Genealogi Foucault
menolak model kekuasaan yang bersifat represif, sebagaimana lazim dalam
paradigma hukum dan teori politik klasik. Bagi Foucault, kekuasaan bukan
sekadar alat negara untuk menindas atau melarang, melainkan sesuatu yang
bersifat produktif, yaitu kekuasaan yang
menghasilkan
subjek, membentuk tubuh, memproduksi pengetahuan, dan mengatur
kehidupan.³ Dalam kerangka ini, kekuasaan bersifat tersebar, tidak terpusat, dan
bekerja melalui jaringan yang halus dalam praktik sehari-hari, bukan hanya
melalui aparatus negara.
Salah satu karya
utama yang mencerminkan pendekatan ini adalah Discipline and Punish: The Birth of the Prison
(1975), di mana Foucault menganalisis transformasi cara masyarakat Barat
memperlakukan kejahatan dan pelanggaran hukum. Ia menunjukkan bahwa sejak abad
ke-18, sistem hukuman berubah dari penyiksaan publik menjadi disiplin internal
yang bekerja melalui pengawasan, normalisasi, dan pelatihan tubuh.⁴
Dalam masyarakat modern, kekuasaan tidak lagi mengandalkan kekerasan fisik
secara langsung, melainkan menggunakan mekanisme disipliner seperti sekolah,
rumah sakit, militer, dan penjara untuk mencetak individu “normal” dan “taat”.⁵
Salah satu konsep
penting dalam karya tersebut adalah panoptikon, metafora yang
diambil dari rancangan penjara Jeremy Bentham. Panoptikon menggambarkan bentuk
kekuasaan modern yang bekerja melalui pengawasan yang bersifat internalisasi—di
mana individu merasa diawasi setiap saat, sehingga mereka mengatur perilaku
sendiri sesuai norma tanpa perlu kekerasan langsung.⁶ Di sini terlihat bahwa
kekuasaan telah menjadi bagian dari subjek itu sendiri, bukan sesuatu yang
hanya datang dari luar.
Dalam karya
selanjutnya, The History of Sexuality, Vol. 1
(1976), Foucault memperluas konsep kekuasaan ini ke ranah kehidupan privat. Ia
menolak klaim bahwa seksualitas ditekan oleh moralitas abad ke-19; sebaliknya,
Foucault menyatakan bahwa seksualitas diproduksi dan diatur secara intensif oleh berbagai
wacana medis, hukum, dan pendidikan.⁷ Konsep yang dikembangkan
di sini adalah biopower, yaitu bentuk
kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia tidak hanya melalui tubuh individu (anatomo-politics)
tetapi juga populasi secara keseluruhan (biopolitics), seperti dalam
kebijakan kesehatan, demografi, dan eugenika.⁸
Dengan pendekatan
genealogi, Foucault mengajak kita untuk tidak menerima institusi sosial dan
kebenaran ilmiah begitu saja, melainkan menanyakan: bagaimana sesuatu menjadi tampak benar, normal,
atau wajar? Siapa yang diuntungkan oleh struktur tersebut? Dan bagaimana subjek
dibentuk dalam proses itu? Genealogi, dalam hal ini, adalah proyek
kritis untuk membongkar sejarah kekuasaan yang bekerja di balik normalitas
sosial.
Foucault tidak
menolak kebenaran, tetapi menekankan bahwa setiap rezim kebenaran selalu
berkaitan dengan relasi kuasa tertentu.⁹ Dalam
pandangannya, pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan; mereka
membentuk satu jaringan hubungan yang disebutnya dengan istilah power/ knowledge.
Kekuasaan menciptakan medan bagi lahirnya pengetahuan, dan pengetahuan
memperkuat mekanisme kekuasaan.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy, History, in Language,
Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1977), 139–140.
[2]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 23–24.
[3]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings,
1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 119–120.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 3–7.
[5]
David Garland, “What Is a ‘History of the Present’? On Foucault’s
Genealogies and Their Critical Preconditions,” Punishment & Society
16, no. 4 (2014): 372–373.
[6]
Foucault, Discipline and Punish, 200–209.
[7]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 18–20.
[8]
Thomas Lemke, “Foucault’s Hypothesis: From the Critique of the
Juridico-Discursive Concept of Power to an Analytics of Government,” Parrhesia
9 (2010): 2–3.
[9]
Foucault, Power/Knowledge, 27–28.
6.
Pengetahuan, Kekuasaan, dan Subjektivitas
Salah satu
kontribusi paling fundamental dalam pemikiran Michel Foucault adalah gagasannya
mengenai keterkaitan erat antara pengetahuan, kekuasaan, dan subjektivitas.
Foucault menolak pandangan klasik yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu
yang netral dan bebas nilai, serta kekuasaan sebagai entitas yang hanya bekerja
secara represif dari atas ke bawah. Sebaliknya, ia mengembangkan suatu analisis
yang menunjukkan bahwa pengetahuan selalu terkait erat dengan struktur
kekuasaan, dan bahwa subjektivitas manusia terbentuk dalam medan
relasi tersebut, bukan terlepas darinya.¹
6.1.
Pengetahuan sebagai
Produk Kekuasaan
Dalam
karya-karyanya, Foucault menekankan bahwa tidak ada pengetahuan yang berdiri di luar
kekuasaan, dan sebaliknya, tidak ada kekuasaan yang tidak memproduksi
pengetahuan.² Relasi ini ia sebut dengan istilah power/knowledge,
yakni suatu kesatuan dinamis antara proses produksi pengetahuan dan struktur
kekuasaan yang menyertainya. Pengetahuan bukan hanya instrumen kekuasaan,
tetapi juga efek dari kekuasaan—ia
terbentuk, dibatasi, dan disebarkan melalui rezim kebenaran yang ditentukan
oleh struktur sosial dan institusional.³
Konsep ini mengubah
paradigma pemahaman epistemologi secara radikal. Misalnya, dalam Discipline
and Punish, Foucault menunjukkan bagaimana institusi seperti
penjara, sekolah, dan rumah sakit tidak hanya menerapkan kekuasaan, tetapi juga
menjadi pusat produksi pengetahuan ilmiah mengenai “individu”—baik dalam
bentuk psikiatri, kriminologi, pedagogi, maupun statistik populasi.⁴
Pengetahuan yang dihasilkan institusi ini kemudian digunakan untuk
mendefinisikan, mengklasifikasi, dan mengatur individu berdasarkan
kategori-kategori tertentu (seperti “normal” dan “abnormal”),
sehingga memperkuat mekanisme pengendalian sosial.
6.2.
Subjektivitas sebagai
Produk Diskursif
Selanjutnya,
Foucault menggeser fokus dari “subjek yang mengetahui” (dalam
epistemologi klasik) menjadi subjek yang dikonstruksi.⁵ Bagi
Foucault, subjek manusia tidak hadir secara alamiah sebagai entitas yang otonom,
melainkan dibentuk secara historis melalui wacana,
praktik sosial, dan institusi. Proses ini ia sebut sebagai “subjektivasi”
(subjectivation),
yaitu bagaimana individu menjadi subjek melalui internalisasi norma,
pengawasan, dan kategorisasi.⁶
Konsepsi ini
membongkar asumsi dasar humanisme modern yang menempatkan manusia sebagai pusat
rasionalitas dan kebebasan. Sebaliknya, Foucault memperlihatkan bahwa “manusia”
sebagai kategori epistemologis baru muncul pada periode modern dalam
konfigurasi diskursif tertentu, dan bukanlah entitas universal yang berlaku
sepanjang sejarah.⁷ Dalam hal ini, subjektivitas bukan fondasi, tetapi efek
dari kekuasaan dan wacana.
Contoh yang sangat
jelas dapat ditemukan dalam The History of Sexuality, Vol. 1,
di mana Foucault menunjukkan bagaimana berbagai diskursus medis, agama, dan
hukum membentuk individu sebagai subjek seksual.⁸ Seksualitas bukan sekadar
dorongan biologis, tetapi merupakan konstruksi sosial yang diatur,
diadministrasikan, dan diproduksi oleh berbagai institusi dalam masyarakat
modern.
6.3.
Interaksi Kekuasaan
dan Diri
Pada periode akhir
pemikirannya, Foucault mulai mengeksplorasi aspek etika
diri dan teknologi subjektivitas,
khususnya dalam konteks Yunani dan Romawi kuno. Ia menyebutnya sebagai technologies
of the self, yaitu teknik atau praktik yang digunakan individu
untuk membentuk dirinya sendiri sebagai subjek moral tertentu.⁹ Ini menunjukkan
bahwa meskipun kekuasaan membentuk subjek, tetap ada ruang untuk resistensi dan
pembentukan diri melalui refleksi, askesis, dan pengelolaan diri.
Namun demikian,
resistensi dalam pemikiran Foucault bukanlah bentuk pembebasan yang mutlak,
melainkan upaya untuk mempertanyakan batas-batas wacana yang
membentuk kita, serta membuka kemungkinan bentuk-bentuk subjektivitas
yang lain.¹⁰ Dengan demikian, Foucault tidak membatalkan peran subjek
sepenuhnya, tetapi menempatkannya dalam medan kekuasaan dan wacana yang
historis.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings,
1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 51–52.
[2]
Ibid., 98–99.
[3]
Thomas Dumm, Michel Foucault and the Politics of Freedom
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1996), 27–28.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 170–172.
[5]
Paul Rabinow, ed., The Foucault Reader (New York: Pantheon
Books, 1984), 10–12.
[6]
Nikolas Rose, Governing the Soul: The Shaping of the Private Self
(London: Free Association Books, 1990), 9–11.
[7]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage Books, 1994), 322–325.
[8]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 42–44.
[9]
Michel Foucault, The Use of Pleasure: The History of Sexuality,
Vol. 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 10–12.
[10]
Amy Allen, “Foucault and the Politics of Our Selves,” History of
the Human Sciences 24, no. 4 (2011): 44–46.
7.
Etika dan Pemerintahan Diri
Pada periode akhir
kehidupannya, Michel Foucault mengarahkan perhatiannya pada isu etika,
khususnya bagaimana individu membentuk diri sebagai subjek etis dalam kaitannya
dengan kekuasaan dan kebenaran. Fokus ini menandai perkembangan penting dalam
pemikiran Foucault, yang sebelumnya lebih menekankan analisis struktural atas
kekuasaan dan wacana. Dalam karya-karya seperti The Use of Pleasure dan The Care
of the Self, Foucault mengeksplorasi praktik-praktik kuno
pembentukan diri yang disebutnya sebagai teknologi diri (technologies
of the self), yaitu cara-cara di mana individu secara aktif
membentuk dirinya sebagai subjek moral melalui refleksi, disiplin, dan praktik
hidup tertentu.¹
Foucault
mendefinisikan technologies of the self sebagai
"berbagai teknik yang memungkinkan individu untuk melakukan serangkaian
operasi terhadap tubuh dan jiwa mereka, pikiran, perilaku, atau cara mereka
hidup, sehingga mereka dapat mengubah diri mereka sendiri untuk mencapai suatu
kondisi tertentu, seperti kebahagiaan, kemurnian, kebijaksanaan, atau keabadian."_²
Dengan demikian, pembentukan subjektivitas bukan hanya hasil dari dominasi
kekuasaan eksternal, tetapi juga merupakan hasil dari kerja etis individu
terhadap dirinya sendiri.
Dalam telaah
historisnya, Foucault menunjukkan bahwa dalam masyarakat Yunani dan Romawi
kuno, praktik etika tidak didasarkan pada sistem moral universal, melainkan
pada relasi
praktis dan reflektif terhadap diri sendiri.³ Misalnya, dalam
konteks seksualitas, individu tidak dikendalikan oleh hukum moral universal
seperti dalam tradisi Kristen, tetapi oleh prinsip-prinsip asketis dan estetika
yang berfungsi sebagai panduan untuk menjalani hidup yang baik (bios
kalos). Dalam hal ini, etika adalah praxis, bukan sekadar kepatuhan
terhadap norma.
Konsep ini menantang
pemahaman konvensional tentang etika sebagai sistem nilai yang bersifat tetap
dan transenden. Foucault justru menunjukkan bahwa etika
bersifat historis, kontekstual, dan berakar pada hubungan antara kekuasaan,
pengetahuan, dan diri.⁴ Dalam kerangka ini, "pemerintahan
diri" (government of the self) tidak dapat
dipisahkan dari "pemerintahan orang lain" (government
of others), karena keduanya saling berinteraksi dalam proses
produksi subjektivitas. Pemerintahan dalam pengertian Foucault tidak terbatas
pada otoritas politik, tetapi mencakup semua praktik yang mengatur perilaku individu,
baik oleh diri sendiri maupun institusi sosial.⁵
Dalam kuliah-kuliah
terakhirnya di Collège de France, seperti yang terkumpul dalam The Government
of Self and Others, Foucault memperkenalkan konsep “governmentality”
sebagai bentuk kekuasaan yang menggabungkan teknik administrasi negara dan
praktik pengelolaan diri.⁶ Ini menjadi dasar bagi teori neoliberalisme
sebagai bentuk rasionalitas pemerintahan, di mana individu
diharapkan menjadi pengelola diri yang rasional, efisien, dan bertanggung
jawab.⁷ Dalam konteks ini, kebebasan tidak lagi berarti ketiadaan intervensi,
tetapi justru menjadi mekanisme internal dari
pemerintahan itu sendiri.
Peralihan ini tidak
berarti Foucault meninggalkan kritiknya terhadap kekuasaan; sebaliknya, ia
memperdalam analisisnya dengan memperkenalkan dimensi agensi
dan resistensi. Dengan menggali cara-cara bagaimana subjek
membentuk diri mereka sendiri dalam dan terhadap kekuasaan, Foucault membuka
ruang bagi pembacaan kritis yang lebih kompleks terhadap hubungan antara
struktur sosial dan kebebasan individu.⁸
Melalui eksplorasi
terhadap etika dan pemerintahan diri, Foucault menyuguhkan pendekatan baru
terhadap subjek sebagai agen etis, bukan hanya sebagai efek dari kekuasaan. Ia
menggeser perhatian dari pertanyaan “siapa kita?” menjadi “bagaimana
kita menjadi seperti ini?”, dan lebih jauh: “bagaimana kita bisa menjadi
lain?”_⁹ Dengan demikian, proyek filsafat Foucault menjadi bukan hanya
proyek kritis atas modernitas, tetapi juga proyek eksperimen
etis untuk membuka kemungkinan subjektivitas yang berbeda dan
lebih emansipatoris.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, The Use of Pleasure: The History of Sexuality,
Vol. 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 4–6.
[2]
Michel Foucault, “Technologies of the Self,” in Technologies of the
Self: A Seminar with Michel Foucault, ed. Luther H. Martin, Huck Gutman,
and Patrick H. Hutton (Amherst: University of Massachusetts Press, 1988), 18.
[3]
Foucault, The Care of the Self: The History of Sexuality, Vol. 3,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1988), 23–25.
[4]
Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Biopower Today,” BioSocieties
1, no. 2 (2006): 197–198.
[5]
Thomas Lemke, “Foucault, Governmentality, and Critique,” Rethinking
Marxism 14, no. 3 (2002): 50–52.
[6]
Michel Foucault, The Government of Self and Others: Lectures at the
Collège de France, 1982–1983, trans. Graham Burchell (New York: Palgrave
Macmillan, 2010), 1–4.
[7]
Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution
(New York: Zone Books, 2015), 78–81.
[8]
Amy Allen, The Politics of Our Selves: Power, Autonomy, and Gender
in Contemporary Critical Theory (New York: Columbia University Press,
2008), 41–42.
[9]
Foucault, Technologies of the Self, 25–26.
8.
Kritik dan Relevansi Kontemporer
Pemikiran Michel
Foucault, meskipun sangat berpengaruh dalam berbagai disiplin ilmu, tidak luput
dari kritik. Sejumlah pemikir kontemporer, baik yang bersimpati maupun yang
berseberangan secara teoretis, memberikan tanggapan kritis terhadap pendekatan
Foucault terhadap kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas. Kritik-kritik ini
justru memperkaya dan memperluas cakupan diskursus Foucauldian, sekaligus
mendorong reinterpretasi dan pembaruan konsep-konsep yang ia wariskan.
8.1.
Kritik terhadap
Relativisme dan Ketakberdayaan Subjek
Salah satu kritik
utama terhadap Foucault datang dari filsuf seperti Jürgen
Habermas, yang menuduh Foucault gagal menyediakan dasar
normatif bagi kritik sosial. Menurut Habermas, dengan menolak universalitas
rasionalitas dan menggambarkan kebenaran sebagai hasil relasi kekuasaan,
Foucault terjebak dalam relativisme epistemologis yang berbahaya bagi proyek
emansipatoris.¹ Dalam perspektif Habermas, kritik sosial harus bertumpu pada
klaim rasional yang dapat diuji secara intersubjektif, bukan pada genealogi
yang merelatifkan semua bentuk pengetahuan.
Demikian pula,
beberapa feminis awal seperti Nancy Fraser menyatakan bahwa pendekatan Foucault
melemahkan potensi agensi karena terlalu menekankan pembentukan subjek oleh
kekuasaan.² Kritik ini menyasar pada kesan bahwa individu dalam pemikiran
Foucault seolah tidak memiliki ruang untuk resistensi atau pembentukan diri
secara bebas. Namun, perkembangan pemikiran Foucault pada periode akhir,
khususnya terkait technologies of the self, telah
mengakomodasi sebagian kritik ini dengan menekankan praktik pembentukan diri
sebagai arena resistensi etis.
8.2.
Relevansi dalam Kajian
Gender, Seksualitas, dan Postkolonialisme
Meski menuai kritik,
banyak pemikir justru memperluas dan menerapkan gagasan-gagasan Foucault dalam
konteks baru. Tokoh seperti Judith Butler mengembangkan
teori performativitas
gender dengan merujuk pada pemikiran Foucault tentang seksualitas
dan konstruksi diskursif subjektivitas.³ Butler menunjukkan bahwa identitas
gender tidak bersifat esensial, melainkan dihasilkan secara performatif melalui
pengulangan norma-norma sosial, sejalan dengan gagasan Foucault bahwa subjek
adalah produk dari wacana dan kekuasaan.
Dalam ranah studi
postkolonial, pemikiran Foucault tentang kekuasaan dan wacana
juga diadopsi oleh tokoh seperti Edward Said, khususnya dalam Orientalism,
yang mengkaji bagaimana wacana kolonial membentuk representasi Timur dalam kerangka
kekuasaan Barat.⁴ Pendekatan Foucauldian ini memungkinkan analisis yang lebih
tajam terhadap dominasi simbolik dan produksi pengetahuan kolonial yang
melegitimasi penindasan.
Demikian pula,
konsep biopower
dan governmentality
sangat berpengaruh dalam kajian kontemporer mengenai neoliberalisme,
pengawasan
digital, dan kesehatan masyarakat. Dalam era
globalisasi dan kapitalisme informasi, Foucault membantu menjelaskan bagaimana
individu didisiplinkan melalui statistik, teknologi kesehatan, dan narasi keamanan.⁵
Sebagai contoh, dalam konteks pandemi COVID-19, analisis terhadap kebijakan
pelacakan, karantina, dan pembatasan mobilitas banyak dipengaruhi oleh kerangka
Foucauldian tentang pengaturan populasi dan regulasi tubuh.⁶
8.3.
Pembaruan dan
Transformasi Pemikiran Foucauldian
Kritik yang bersifat
konstruktif telah mendorong munculnya neo-Foucauldian studies, yakni
pendekatan-pendekatan baru yang menggabungkan pemikiran Foucault dengan teori
kritis, Marxisme baru, dan feminisme interseksional. Salah satu contoh penting
adalah karya Nikolas Rose tentang neurogovernmentality, yang
menunjukkan bagaimana kekuasaan kini bekerja melalui konsep-konsep biomedis dan
psikologi neurobehavioral untuk membentuk “subjek kesehatan”.⁷
Selain itu,
Foucauldian scholars juga semakin tertarik pada implikasi politik pemikiran Foucault,
termasuk dalam aktivisme kontemporer. Pemikiran Foucault tentang kekuasaan
difusi dan resistensi mikro telah menginspirasi gerakan seperti queer politics,
prisoner rights, dan dekolonisasi kurikulum.⁸ Di sini, Foucault bukan hanya
dilihat sebagai pemikir kritis, tetapi juga sebagai katalis bagi praktik
emansipatoris yang menolak struktur kekuasaan dominan melalui cara-cara tak
konvensional.
Kesimpulan
Sementara
Meskipun pemikiran
Michel Foucault tidak tanpa kontroversi, relevansi ide-idenya dalam dunia
kontemporer tetap luar biasa besar. Konsepsi kekuasaan sebagai sesuatu yang
tersebar dan produktif, serta analisis kritis terhadap pembentukan subjek dan
kebenaran, membuka ruang baru bagi kritik sosial, politik, dan budaya. Kritik
terhadap relativisme epistemik atau ketakberdayaan subjek tidak mereduksi
signifikansi intelektual Foucault, tetapi justru memperlihatkan dinamika dan
daya hidup pemikirannya yang terus bertransformasi seiring perkembangan zaman.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve
Lectures, trans. Frederick G. Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987),
238–239.
[2]
Nancy Fraser, “Foucault on Modern Power: Empirical Insights and
Normative Confusions,” Praxis International 3, no. 3 (1984): 273–278.
[3]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 33–34.
[4]
Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 2–5.
[5]
Thomas Lemke, Biopolitics: An Advanced Introduction (New York:
New York University Press, 2011), 42–45.
[6]
Stuart Elden, “Foucault and the Possibility of Pandemic Politics,” Environment
and Planning D: Society and Space 39, no. 6 (2021): 1034–1037.
[7]
Nikolas Rose and Joelle Abi-Rached, Neuro: The New Brain Sciences
and the Management of the Mind (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2013), 11–13.
[8]
Kevin B. Anderson and Janet Afary, “Foucault and the Iranian
Revolution,” Social Text 22, no. 3 (2004): 33–37.
9.
Kesimpulan
Michel Foucault
menghadirkan kontribusi revolusioner dalam cara kita memahami kekuasaan,
pengetahuan, dan subjektivitas dalam masyarakat modern. Berbeda dari
pendekatan-pendekatan tradisional yang melihat kekuasaan sebagai alat represif
yang dimonopoli oleh negara, Foucault memperluas konsep kekuasaan sebagai
sesuatu yang tersebar, produktif, dan beroperasi melalui
praktik-praktik sehari-hari, institusi, dan wacana sosial.¹
Kekuasaan bukan hanya menindas, tetapi juga menciptakan: ia membentuk
identitas, norma, bahkan kebenaran itu sendiri.
Salah satu
sumbangsih terpenting Foucault adalah penggabungan antara analisis
historis dan genealogis untuk menunjukkan bahwa pengetahuan dan
kebenaran tidak bersifat objektif dan netral, melainkan diproduksi
melalui konfigurasi diskursif dan mekanisme kekuasaan tertentu.²
Dengan demikian, pengetahuan bukan hanya sesuatu yang "dimiliki"
oleh subjek, melainkan sesuatu yang membentuk subjek.³ Konsep power/knowledge
yang ia perkenalkan menunjukkan keterikatan fundamental antara epistemologi dan
politik.
Foucault juga
memberikan sumbangan besar dalam pemahaman tentang subjektivitas,
dengan menekankan bahwa subjek tidak hadir secara alamiah atau universal,
tetapi terbentuk melalui proses historis dan relasi kuasa.⁴ Proyek filosofis
Foucault secara konsisten mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dalam modernitas:
tentang rasionalitas, kebebasan, identitas, dan kebenaran. Bahkan dalam fase
akhir kehidupannya, Foucault tetap konsisten dalam pendekatan kritis, dengan
mengalihkan perhatian pada etika pemerintahan diri dan
kemungkinan resistensi melalui technologies of the self.⁵
Namun, pemikiran
Foucault tidak hadir tanpa kontroversi. Tuduhan relativisme, nihilisme, dan
kekaburan normatif sering ditujukan kepadanya. Meski demikian, para pemikir
kontemporer baik yang kritis maupun simpatik telah menunjukkan bahwa pemikiran
Foucault tetap sangat relevan dalam menghadapi
tantangan dunia kontemporer: mulai dari kajian tentang gender, ras, dan
kolonialisme, hingga persoalan pengawasan digital, biopolitik, dan rasionalitas
neoliberal.⁶ Foucault telah menjadi fondasi bagi berbagai disiplin kritis yang
membongkar relasi kuasa dalam berbagai konteks sosial.
Secara keseluruhan,
telaah atas pemikiran Michel Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan,
pengetahuan, dan subjektivitas bukanlah entitas yang dapat
dipahami secara terpisah, melainkan saling terkait dalam jaringan diskursif dan
historis yang kompleks. Kekuatan utama Foucault terletak pada kemampuannya
untuk membongkar “kebenaran” yang mapan dan membuka ruang bagi cara
berpikir baru yang lebih reflektif, kritis, dan kontekstual.⁷ Dalam dunia yang
terus berubah dan dipenuhi berbagai bentuk kekuasaan yang semakin subtil,
pendekatan Foucault tetap menjadi alat yang ampuh untuk menganalisis dan
menginterogasi kondisi keberadaan manusia modern.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
98–99.
[2]
Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 49–50.
[3]
Thomas Dumm, Michel Foucault and the Politics of Freedom
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1996), 41.
[4]
Paul Rabinow and Nikolas Rose, “Biopower Today,” BioSocieties
1, no. 2 (2006): 197.
[5]
Michel Foucault, The Use of Pleasure: The History of Sexuality,
Vol. 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 10–12.
[6]
Nikolas Rose, Powers of Freedom: Reframing Political Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 1–4.
[7]
Amy Allen, The Politics of Our Selves: Power, Autonomy, and Gender
in Contemporary Critical Theory (New York: Columbia University Press,
2008), 49–50.
Daftar Pustaka
Allen, A. (2008). The
politics of our selves: Power, autonomy, and gender in contemporary critical
theory. Columbia University Press.
Anderson, K. B., &
Afary, J. (2004). Foucault and the Iranian revolution. Social Text,
22(3), 33–37.
Brown, W. (2015). Undoing
the demos: Neoliberalism’s stealth revolution. Zone Books.
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Dreyfus, H. L., &
Rabinow, P. (1983). Michel Foucault: Beyond structuralism and hermeneutics.
University of Chicago Press.
Dumm, T. (1996). Michel
Foucault and the politics of freedom. Sage Publications.
Elden, S. (2021). Foucault
and the possibility of pandemic politics. Environment and Planning D:
Society and Space, 39(6), 1034–1037. https://doi.org/10.1177/02637758211043856
Eribon, D. (1991). Michel
Foucault (B. Wing, Trans.). Harvard University Press.
Foucault, M. (1977). Nietzsche,
genealogy, history. In D. F. Bouchard (Ed.), Language, counter-memory,
practice (pp. 139–164). Cornell University Press.
Foucault, M. (1979). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1975)
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon Books.
Foucault, M. (1984). The
Foucault reader (P. Rabinow, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1988). Technologies
of the self. In L. H. Martin, H. Gutman, & P. H. Hutton (Eds.), Technologies
of the self: A seminar with Michel Foucault (pp. 16–49). University of
Massachusetts Press.
Foucault, M. (1988). The
care of the self: The history of sexuality, Vol. 3 (R. Hurley, Trans.).
Vintage Books.
Foucault, M. (1990a). The
history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage
Books. (Original work published 1976)
Foucault, M. (1990b). The
use of pleasure: The history of sexuality, Vol. 2 (R. Hurley, Trans.).
Vintage Books.
Foucault, M. (1994). The
order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage Books.
(Original work published 1966)
Foucault, M. (2010). The
government of self and others: Lectures at the Collège de France, 1982–1983
(G. Burchell, Trans.). Palgrave Macmillan.
Fraser, N. (1984). Foucault
on modern power: Empirical insights and normative confusions. Praxis
International, 3(3), 273–287.
Garland, D. (2014). What is
a “history of the present”? On Foucault’s genealogies and their critical
preconditions. Punishment & Society, 16(4), 365–384. https://doi.org/10.1177/1462474514541711
Gutting, G. (1989). Michel
Foucault’s archaeology of scientific reason. Cambridge University Press.
Gutting, G. (2005). Foucault:
A very short introduction. Oxford University Press.
Habermas, J. (1987). The
philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. G. Lawrence,
Trans.). MIT Press.
Lemke, T. (2002). Foucault,
governmentality, and critique. Rethinking Marxism, 14(3), 49–64. https://doi.org/10.1080/089356902101242288
Lemke, T. (2010).
Foucault’s hypothesis: From the critique of the juridico-discursive concept of
power to an analytics of government. Parrhesia, 9, 2–13.
Lemke, T. (2011). Biopolitics:
An advanced introduction (E. F. Trump, Trans.). New York University Press.
May, T. (2006). The
philosophy of Foucault. McGill-Queen’s University Press.
Macey, D. (1995). The
lives of Michel Foucault. Vintage Books.
Nietzsche, F. (1989). On
the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.).
Vintage Books. (Original work published 1887)
Rabinow, P., & Rose, N.
(2003). Introduction. In P. Rabinow & N. Rose (Eds.), The essential
Foucault: Selections from the essential works of Foucault, 1954–1984 (pp.
vii–xxxv). The New Press.
Rabinow, P., & Rose, N.
(2006). Biopower today. BioSocieties, 1(2), 195–217. https://doi.org/10.1017/S1745855206040014
Rose, N. (1990). Governing
the soul: The shaping of the private self. Free Association Books.
Rose, N. (1999). Powers
of freedom: Reframing political thought. Cambridge University Press.
Rose, N., & Abi-Rached,
J. (2013). Neuro: The new brain sciences and the management of the mind.
Princeton University Press.
Said, E. W. (1979). Orientalism.
Vintage Books.
Veyne, P. (2010). Foucault:
His thought, his character (J. Lloyd, Trans.). Polity Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar