Marxisme–Leninisme
Fondasi Ideologis Revolusi, Negara Partai, dan
Internasionalisme Proletar Abad ke-20
Alihkan ke: Pemikiran Karl Marx, Pemikiran Vladimir Lenin.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif ideologi Marxisme–Leninisme
sebagai fondasi teoritis dan praktis dari revolusi sosialis, pendirian negara
satu partai, serta penyebaran internasionalisme proletar pada abad ke-20.
Sebagai sintesis antara materialisme historis Karl Marx dan strategi
revolusioner Vladimir Lenin, Marxisme–Leninisme menjadi ideologi resmi Uni
Soviet dan diadopsi oleh berbagai partai komunis di dunia melalui jaringan
Komintern. Artikel ini membahas akar filosofis dan teoretis Marxisme–Leninisme,
prinsip-prinsip ideologis utama, implementasinya dalam sistem politik-ekonomi
Soviet, serta ekspansi global melalui proyek anti-imperialis. Selain itu,
dianalisis pula kritik internal terhadap Stalinisme, upaya reformasi dari
Khrushchev hingga Gorbachev, dan warisan ideologisnya dalam politik
kontemporer. Studi ini menggunakan pendekatan historis dan analitis berbasis
referensi akademik kredibel untuk mengevaluasi warisan dialektis ideologi ini
dalam kaitannya dengan dinamika kekuasaan, resistensi sosial, dan tantangan
global saat ini.
Kata Kunci: Marxisme–Leninisme,
Revolusi Bolshevik, Uni Soviet, Komintern, Stalinisme, Sosialisme,
Anti-Imperialisme, Reformasi Sosialis, Ideologi Politik, Kritik Kapitalisme.
PEMBAHASAN
Menelaah Ideologi Politik Partai Komunis Uni Soviet dan
Komintern
1.
Pendahuluan
Ideologi Marxisme–Leninisme merupakan salah
satu fondasi pemikiran politik paling berpengaruh dalam sejarah abad ke-20. Ia
tidak hanya mengarahkan jalannya Revolusi Rusia tahun 1917 dan membentuk
karakter ideologis Uni Soviet, tetapi juga menjadi kerangka konseptual yang
menjustifikasi pembentukan negara partai tunggal, struktur ekonomi terpusat,
serta gerakan revolusioner di berbagai belahan dunia. Sebagai penggabungan
dialektika materialisme sejarah ala Karl Marx dengan teori politik revolusioner
Vladimir Lenin, Marxisme–Leninisme telah menjadi alat analisis sekaligus peta
jalan aksi politik bagi berbagai partai komunis dan gerakan kiri radikal
sepanjang abad lalu.
Kemunculan Marxisme–Leninisme tidak bisa dilepaskan
dari krisis sosial, ekonomi, dan politik yang melanda Kekaisaran Rusia pada
awal abad ke-20. Dalam konteks ini, Lenin menafsirkan dan mengadaptasi ajaran
Marx agar relevan dengan situasi konkret Rusia, yang saat itu belum mencapai
kapitalisme maju sebagaimana diprediksi Marx dalam konteks Eropa Barat. Lenin
menekankan peran avant-garde partai revolusioner sebagai penggerak
sejarah dan pendobrak sistem kapitalisme serta imperialisme global yang ia
anggap sebagai “tahap tertinggi kapitalisme.”¹
Dalam perjalanannya, Marxisme–Leninisme berkembang
menjadi sistem ideologi negara yang total, mengatur tidak hanya mekanisme
politik dan ekonomi, tetapi juga membentuk kehidupan budaya, pendidikan, dan
moral masyarakat Soviet. Penerapan ideologi ini sangat bergantung pada prinsip sentralisme
demokratis, yaitu ketaatan mutlak terhadap keputusan partai setelah
melewati tahap diskusi internal.² Hal ini menjadikan Partai Komunis sebagai
kekuatan hegemonik yang tidak dapat diganggu gugat, serta menjustifikasi
pembersihan politik terhadap lawan-lawan internal maupun eksternal.
Lebih dari sekadar doktrin lokal,
Marxisme–Leninisme juga menjadi dasar pembentukan Komintern (Komunis
Internasional), yakni jaringan internasional partai-partai komunis yang
didirikan pada 1919 untuk menyebarkan revolusi proletar global.³ Melalui Komintern,
ideologi ini disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia, termasuk Eropa, Asia,
Afrika, dan Amerika Latin. Bahkan, banyak gerakan kemerdekaan di negara Dunia
Ketiga secara eksplisit mengadopsi atau terinspirasi oleh prinsip-prinsip
Marxisme–Leninisme dalam upaya melawan kolonialisme dan kapitalisme global.
Artikel ini bertujuan menyajikan pemahaman yang
mendalam dan akademis terhadap Marxisme–Leninisme, baik dari segi asal usul
intelektualnya, doktrin pokok, praktik politiknya di Uni Soviet, hingga
pengaruh global melalui Komintern. Di samping itu, pembahasan ini juga mencakup
kritik-kritik internal maupun eksternal terhadap ideologi ini, serta warisannya
dalam dinamika politik kontemporer. Setiap bagian akan disusun berdasarkan
telaah kritis terhadap literatur ilmiah yang relevan, sehingga memberikan
fondasi yang kokoh bagi pembaca untuk memahami kompleksitas Marxisme–Leninisme
sebagai doktrin, praktik, dan warisan sejarah.
Footnotes
[1]
Vladimir I. Lenin, Imperialism, the Highest
Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 89–90.
[2]
Robert C. Tucker, The Lenin Anthology (New
York: W. W. Norton & Company, 1975), 19–22.
[3]
Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern:
A History of International Communism from Lenin to Stalin (London:
Macmillan Press, 1996), 1–10.
2.
Akar
Teoretis: Dari Marxisme ke Leninisme
Marxisme–Leninisme
sebagai suatu ideologi tidak muncul dalam ruang hampa sejarah, melainkan
merupakan hasil perkembangan dialektis dari dua pemikiran besar: Marxisme
klasik yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels,
serta reinterpretasi dan operasionalisasinya oleh Vladimir
Ilyich Lenin dalam konteks Rusia awal abad ke-20. Untuk
memahami Marxisme–Leninisme secara utuh, perlu terlebih dahulu ditelusuri
akar-akar teoretis yang menopangnya.
2.1.
Marxisme: Materialisme Historis dan Perjuangan
Kelas
Karl Marx
(1818–1883) dan Friedrich Engels (1820–1895) mengembangkan suatu pendekatan
ilmiah terhadap masyarakat dan sejarah yang dikenal sebagai materialisme
historis. Menurut Marx, sejarah umat manusia adalah sejarah
perjuangan kelas, yakni konflik antara mereka yang memiliki alat produksi
(borjuis) dan mereka yang tidak (proletar)¹. Dalam The Communist Manifesto (1848),
Marx dan Engels menegaskan bahwa kapitalisme mengandung benih kehancurannya
sendiri karena menciptakan ketimpangan ekonomi dan alienasi sosial, sehingga
akan digantikan oleh sosialisme dan, pada akhirnya, komunisme².
Dalam kerangka ini,
revolusi proletar adalah suatu keniscayaan historis. Namun, Marx tidak
menjabarkan secara rinci mekanisme konkret revolusi atau bentuk organisasi
politik yang dibutuhkan. Ia lebih menekankan pada peran kesadaran kelas dan
transformasi struktur ekonomi sebagai motor perubahan sosial³.
2.2.
Leninisme: Adaptasi Marxisme dalam Konteks
Rusia
Lenin (1870–1924),
sebagai pemimpin gerakan revolusioner Bolshevik, menghadapi realitas Rusia yang
sangat berbeda dari negara-negara kapitalis industri yang dianalisis Marx.
Rusia adalah negara agraris dengan proletariat yang relatif kecil dan kelas
tani yang sangat besar. Dalam situasi ini, Lenin menyusun adaptasi teoretis
terhadap Marxisme dengan menekankan perlunya organisasi partai revolusioner yang terpusat
dan terdisiplin—yang disebutnya sebagai “avant-garde
proletariat”—untuk memimpin revolusi⁴.
Dalam What Is
to Be Done? (1902), Lenin menyatakan bahwa kelas pekerja tidak akan
mampu mengembangkan kesadaran revolusioner secara spontan, sehingga memerlukan
pencerahan dari luar melalui partai revolusioner yang terdiri atas kaum
intelektual dan aktivis terlatih⁵. Ini merupakan titik divergensi utama dari
Marx, yang lebih percaya pada kesadaran organik yang berkembang dari dalam
kelas pekerja itu sendiri.
Selain itu, Lenin
juga menambahkan teori imperialisme sebagai ekspansi
kapitalisme global yang melanggengkan dominasi borjuis dan menciptakan
keterbelakangan di negara-negara koloni. Dalam Imperialism: The Highest Stage of Capitalism
(1916), ia menggambarkan bagaimana kapitalisme monopoli dan ekspansi ke luar negeri
justru memperkuat potensi revolusi di pinggiran dunia, termasuk di Rusia⁶.
Dalam hal ini, Lenin membalik premis Marx tentang lokasi revolusi: bukan di
pusat kapitalisme, tetapi justru di daerah semi-feodal yang mengalami
ketimpangan ekstrim akibat imperialisme.
2.3.
Dari Teori ke Ideologi Negara
Dengan menggabungkan
kerangka Marxis tentang perjuangan kelas dan determinisme sejarah dengan
strategi revolusioner dan organisasi partai modern, Lenin menciptakan basis
ideologis baru yang lebih praksis. Marxisme tidak lagi semata teori kritik
terhadap kapitalisme, melainkan menjadi ideologi negara dan panduan aksi politik.
Inilah cikal bakal dari apa yang kemudian dikenal sebagai Marxisme–Leninisme,
yakni bentuk “ortodoksi revolusioner” yang dijadikan dogma resmi oleh
Partai Komunis Uni Soviet dan berbagai partai komunis di dunia⁷.
Footnotes
[1]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. S. W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1977), 20–21.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 5–10.
[3]
David McLellan, Marxism after Marx (London: Macmillan, 2006),
19–24.
[4]
Robert C. Tucker, The Lenin Anthology (New York: W. W. Norton
& Company, 1975), 3–8.
[5]
V. I. Lenin, What Is to Be Done? (New York: International
Publishers, 1943), 31–35.
[6]
V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New
York: International Publishers, 1939), 88–94.
[7]
Neil Harding, Leninism (Durham: Duke University Press, 1996),
55–61.
3.
Prinsip-Prinsip
Pokok Marxisme–Leninisme
Sebagai hasil
sintesis antara teori Marx dan praksis revolusioner Lenin, Marxisme–Leninisme
membentuk suatu sistem ideologi yang tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga
preskriptif. Ia bukan sekadar alat untuk memahami dunia, melainkan peta jalan
untuk mengubahnya secara radikal. Beberapa prinsip pokok Marxisme–Leninisme
dapat diringkas dalam lima aspek utama: sentralisme demokratis, kediktatoran
proletariat, internasionalisme proletar dan
anti-imperialisme, ekonomi terencana, serta peran
avant-garde partai. Prinsip-prinsip ini menjadi dasar
pembentukan negara sosialis di bawah hegemoni Partai Komunis, khususnya di Uni
Soviet.
3.1.
Sentralisme Demokratis
Prinsip sentralisme
demokratis mengacu pada sistem pengambilan keputusan internal
partai, yang menggabungkan diskusi demokratis di antara kader dengan
pelaksanaan keputusan secara sentral dan disiplin. Dalam sistem ini, setelah
suatu keputusan diambil oleh mayoritas, seluruh anggota wajib tunduk tanpa
pengecualian¹. Lenin memandang bahwa prinsip ini penting untuk menjaga efektivitas
dan kesatuan aksi revolusioner, terutama dalam situasi yang
penuh represi dan ketidakpastian politik.
Dalam praktiknya,
sentralisme demokratis menjustifikasi dominasi elit partai atas basis massa,
bahkan mengarah pada struktur hierarkis yang ketat. Para pemimpin partai
menjadi sumber otoritas tertinggi dalam penafsiran ideologi dan kebijakan
negara². Meski secara teori bersifat demokratis, dalam kenyataan
historisnya—terutama di bawah Stalin—prinsip ini sering berujung pada pemusatan
kekuasaan yang otoriter.
3.2.
Kediktatoran Proletariat
Sebagaimana
dinyatakan Marx, tahap transisi dari kapitalisme ke komunisme memerlukan bentuk
pemerintahan yang disebut kediktatoran proletariat, yakni
dominasi politik oleh kelas pekerja untuk melenyapkan struktur lama dan
membangun tatanan sosial baru³. Lenin mengadopsi konsep ini secara penuh dan
menekankan bahwa kediktatoran proletariat adalah bentuk demokrasi sejati bagi
mayoritas—berlawanan dengan demokrasi borjuis yang hanya menguntungkan
minoritas kapitalis⁴.
Dalam praktik
Soviet, konsep ini diterjemahkan ke dalam penghapusan lembaga-lembaga borjuis,
nasionalisasi aset produksi, dan penggunaan kekuatan koersif untuk menumpas “musuh
kelas.” Namun, pelaksanaannya menimbulkan kritik tajam karena membuka ruang
bagi represi
politik sistematis, termasuk pembentukan aparat rahasia dan
kamp kerja paksa (Gulag)⁵.
3.3.
Internasionalisme Proletar dan
Anti-Imperialisme
Marxisme–Leninisme
menekankan bahwa revolusi proletar tidak bisa berhenti pada batas-batas
nasional. Oleh karena itu, salah satu prinsip utamanya adalah internasionalisme
proletar: solidaritas global antarburuh dalam menumbangkan
kapitalisme internasional. Lenin percaya bahwa imperialisme adalah tahap terakhir dan paling
destruktif dari kapitalisme, sehingga perjuangan melawannya
harus dilakukan secara global⁶.
Untuk mewujudkan
prinsip ini, Uni Soviet mendirikan Komintern (Komunis Internasional)
pada tahun 1919 sebagai alat koordinasi dan dukungan bagi partai-partai komunis
di berbagai negara. Komintern berfungsi untuk mengekspor revolusi dan membentuk
front
internasional anti-imperialis, terutama di negara-negara koloni
dan semi-koloni⁷.
3.4.
Ekonomi Terencana dan Kepemilikan Kolektif
Berbeda dari
liberalisme yang menjunjung mekanisme pasar bebas, Marxisme–Leninisme
mengedepankan ekonomi terencana (planned
economy) sebagai model pembangunan sosialis. Semua alat produksi—tanah, pabrik,
transportasi, dan sumber daya alam—diambil alih oleh negara dan dikelola secara
kolektif atas nama rakyat⁸.
Uni Soviet di bawah
Lenin memulai kebijakan ini melalui War Communism (1918–1921), yang
kemudian digantikan oleh New Economic Policy (NEP) dan
selanjutnya oleh rencana lima tahun di bawah
Stalin. Meski berhasil mendorong industrialisasi cepat, sistem ini sering
disertai efisiensi rendah, kekurangan
pangan, dan penindasan terhadap petani kecil⁹.
3.5.
Peran Avant-Garde Partai
Lenin memperkenalkan
konsep partai
pelopor (avant-garde) sebagai motor utama revolusi. Ia
berpendapat bahwa kelas pekerja tidak dapat secara otomatis mengembangkan
kesadaran revolusioner. Oleh karena itu, diperlukan partai yang terorganisir
dan dipimpin oleh kaum intelektual revolusioner untuk membimbing massa menuju
revolusi sosial¹⁰.
Partai ini bukan
sekadar alat politik, melainkan instrumen transformasi sosial total. Ia
mengendalikan negara, pendidikan, media, serta organisasi masyarakat sipil, dan
berfungsi sebagai agen ideologis utama dalam
membentuk “manusia baru” sosialis. Dalam praktiknya, ini berarti tidak
adanya oposisi politik dan penghapusan pluralisme gagasan dalam ruang publik.
Footnotes
[1]
V. I. Lenin, Collected Works, vol. 10 (Moscow: Progress
Publishers, 1965), 311–313.
[2]
Robert C. Tucker, Stalin as Revolutionary, 1879–1929: A Study in
History and Personality (New York: Norton, 1973), 229–234.
[3]
Karl Marx, Critique of the Gotha Program, trans. Peter H.
Nettl (New York: International Publishers, 1966), 15–17.
[4]
V. I. Lenin, The State and Revolution (New York: International
Publishers, 1932), 28–32.
[5]
Orlando Figes, A People’s Tragedy: The Russian Revolution 1891–1924
(London: Penguin Books, 1997), 776–789.
[6]
V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New
York: International Publishers, 1939), 89–92.
[7]
Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of
International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan Press,
1996), 1–25.
[8]
Alec Nove, An Economic History of the USSR, 1917–1991 (London:
Penguin Books, 1992), 25–37.
[9]
Stephen Kotkin, Magnetic Mountain: Stalinism as a Civilization
(Berkeley: University of California Press, 1995), 43–55.
[10]
V. I. Lenin, What Is to Be Done? (New York: International
Publishers, 1943), 35–39.
4.
Marxisme–Leninisme
dalam Praktik: Uni Soviet sebagai Studi Kasus
Penerapan ideologi Marxisme–Leninisme
secara nyata untuk pertama kalinya terjadi di Rusia pasca-Revolusi Oktober
1917, saat kaum Bolshevik di bawah kepemimpinan Vladimir Lenin mengambil alih
kekuasaan dan mendirikan Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia.
Dari titik ini, terbentuklah Uni Soviet (USSR) pada tahun
1922 sebagai negara pertama di dunia yang secara resmi menyatakan diri berpijak
pada prinsip-prinsip Marxisme–Leninisme. Uni Soviet menjadi laboratorium
sosial-politik tempat diujikannya ide-ide revolusioner tersebut dalam skala
nasional, bahkan internasional.
4.1.
Konsolidasi Kekuasaan dan Peran Negara-Partai
Setelah merebut
kekuasaan, Partai Bolshevik segera mengkonsolidasikan otoritas politik melalui
pembubaran lembaga-lembaga borjuis, pembentukan pemerintahan berbasis Soviet
(dewan-dewan buruh dan tentara), dan pengesahan diktatur
proletariat dalam bentuk negara satu partai¹. Lenin dan para pemimpin Bolshevik
menegaskan bahwa negara sementara diperlukan sebagai alat untuk menghancurkan
sisa-sisa tatanan lama dan membangun masyarakat sosialis baru².
Dalam praktiknya,
sistem ini berkembang menjadi negara totaliter yang terpusat
pada partai tunggal. Sentralisme demokratis
dijadikan prinsip organisasi politik, namun realisasinya sering kali
menegasikan aspek “demokratis”-nya. Oposisi internal seperti Menshevik,
Sosialis Revolusioner, dan kelompok-kelompok anarkis dibungkam, dan sensor
diberlakukan atas media, seni, serta akademik³.
4.2.
Kebijakan Ekonomi: Dari War Communism ke
Rencana Lima Tahun
Dalam bidang ekonomi,
eksperimen besar dimulai dengan kebijakan War Communism (1918–1921),
yakni nasionalisasi total industri, pelarangan perdagangan swasta, dan
penyitaan surplus hasil pertanian secara paksa dari petani. Kebijakan ini
bertujuan menopang perang saudara yang sedang berlangsung, namun menyebabkan
kelaparan parah dan keruntuhan ekonomi⁴.
Sebagai tanggapan,
Lenin meluncurkan New Economic Policy (NEP) pada
tahun 1921 yang membuka kembali ruang bagi kepemilikan swasta dalam skala kecil
dan perdagangan pasar bebas terbatas. NEP merupakan bentuk kompromi ideologis
yang dikritik oleh kaum Marxis ortodoks sebagai kemunduran dari sosialisme⁵.
Setelah kematian
Lenin pada 1924, kekuasaan beralih ke Joseph Stalin, yang menegaskan
kembali prinsip Marxisme–Leninisme dalam bentuk lebih radikal. Ia meluncurkan
program industrialisasi besar-besaran
dan kolektivisasi
pertanian melalui sistem Rencana Lima Tahun (Five-Year Plans).
Tujuannya adalah menciptakan negara industri modern yang bebas dari
ketergantungan ekonomi pada negara kapitalis⁶.
Hasilnya
mencengangkan namun kontroversial: Uni Soviet mengalami pertumbuhan industri
yang pesat, namun dengan biaya sosial sangat tinggi, termasuk kelaparan
massal di Ukraina (Holodomor), deportasi paksa jutaan orang,
serta pembantaian terhadap petani kaya (kulak) yang dianggap
kontra-revolusioner⁷.
4.3.
Represi Politik dan Kultus Pribadi
Salah satu ciri
paling mencolok dari penerapan Marxisme–Leninisme di Uni Soviet adalah
penggunaan teror negara sebagai instrumen konsolidasi
ideologi dan kekuasaan. Di bawah Stalin, partai memprakarsai pembersihan
besar-besaran (Great Purge) terhadap elit partai, militer,
intelektual, bahkan rakyat biasa yang dicurigai sebagai “musuh rakyat”⁸.
Aparat keamanan
negara seperti NKVD menjalankan peran utama
dalam penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi tanpa proses hukum. Jutaan orang
dikirim ke sistem kamp kerja paksa (Gulag), yang menjadi bagian integral dari
ekonomi dan kontrol sosial⁹. Keberadaan oposisi politik secara efektif
dihapuskan, dan konstitusi hanya menjadi simbol formal tanpa implementasi
substantif.
Selama periode ini,
muncul pula fenomena kultus individu terhadap Stalin,
yang dielu-elukan sebagai pemimpin agung dan penerus sah Lenin. Doktrin
Marxisme–Leninisme yang awalnya bersifat kolektif dan ilmiah berubah menjadi
dogma yang dikontrol secara ketat oleh birokrasi partai dan dipersonifikasikan
dalam figur tunggal¹⁰.
4.4.
Pembentukan “Manusia Sosialis” dan Rekayasa
Budaya
Proyek revolusioner
Soviet tidak hanya terbatas pada ekonomi dan politik, tetapi juga menjangkau ke
wilayah budaya dan pendidikan. Negara berusaha membentuk "manusia
baru" sosialis yang rasional, kolektif, ateistik, dan
setia pada partai. Sistem pendidikan dirombak total untuk memasukkan kurikulum
ideologi, dan lembaga-lembaga budaya seperti teater, sastra, dan sinema
dijadikan alat propaganda¹¹.
Realitas sosial
diatur melalui prinsip "realisme sosialis",
yaitu pendekatan seni yang memuliakan perjuangan kelas, produksi industri, dan
tokoh-tokoh partai. Kebebasan berekspresi ditekan demi menjaga “kemurnian
ideologis.” Dalam konteks ini, Marxisme–Leninisme diimplementasikan bukan
sekadar sebagai teori sosial, tetapi sebagai rezim total atas kesadaran kolektif.
Footnotes
[1]
Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 68–71.
[2]
V. I. Lenin, The State and Revolution (New York: International
Publishers, 1932), 35–40.
[3]
Robert C. Tucker, The Soviet Political Mind: Stalinism and
Post-Stalin Change (New York: Norton, 1971), 93–98.
[4]
Orlando Figes, A People’s Tragedy: The Russian Revolution 1891–1924
(London: Penguin Books, 1997), 768–775.
[5]
Alec Nove, An Economic History of the USSR, 1917–1991 (London:
Penguin Books, 1992), 61–73.
[6]
Stephen Kotkin, Stalin: Paradoxes of Power, 1878–1928 (New
York: Penguin Press, 2014), 661–685.
[7]
Anne Applebaum, Red Famine: Stalin’s War on Ukraine (New York:
Doubleday, 2017), 125–150.
[8]
Robert Conquest, The Great Terror: A Reassessment (New York:
Oxford University Press, 1990), 45–61.
[9]
Anne Applebaum, Gulag: A History (New York: Doubleday, 2003),
29–40.
[10]
Geoffrey Hosking, A History of the Soviet Union (London:
Fontana Press, 1985), 143–147.
[11]
Richard Stites, Revolutionary Dreams: Utopian Vision and
Experimental Life in the Russian Revolution (New York: Oxford University
Press, 1989), 173–192.
5.
Komintern
dan Penyebaran Marxisme–Leninisme Global
Setelah berhasil
menanamkan Marxisme–Leninisme sebagai ideologi negara di Uni Soviet, Partai
Komunis Bolshevik di bawah kepemimpinan Lenin kemudian mengonsolidasikan proyek
revolusi proletar pada skala internasional. Gagasan dasar Marxisme–Leninisme
menekankan bahwa revolusi sosialis tidak dapat bertahan dalam satu negara
saja—ia harus berkembang secara global untuk menghancurkan kapitalisme dan
imperialisme yang bersifat internasional¹. Untuk mewujudkan tujuan ini, Uni
Soviet mendirikan Komintern (Komunis
Internasional) atau Internasionale Ketiga pada
tahun 1919 sebagai alat politik transnasional untuk menyebarluaskan ideologi
dan strategi revolusioner.
5.1.
Pendirian dan Tujuan Komintern
Komintern didirikan
dalam Kongres Internasional Pertama di Moskwa, dan secara eksplisit menyatakan
tujuannya untuk “mempercepat keruntuhan tatanan borjuis global” dan
menggantikannya dengan republik Soviet internasional². Tidak seperti
pendahulunya, Internasionale Kedua yang bersifat federatif dan pluralistik,
Komintern di bawah Lenin dirancang sebagai organisasi terpusat
dan tersubordinasi kepada garis ideologis Partai Komunis Rusia.
Dalam Tesis
tentang Demokrasi Borjuis dan Kediktatoran Proletariat yang
diajukan Lenin pada Kongres Komintern tahun 1919, ditegaskan bahwa
partai-partai sosialis di dunia harus memutus hubungan dengan sistem
parlementer dan mengikuti model Bolshevik yang mengedepankan kekuatan
revolusioner proletariat melalui aksi langsung³. Hal ini menandai perubahan
besar dalam strategi gerakan sosialis global, dari pendekatan reformis ke
pendekatan insurrektionis.
5.2.
Struktur Organisasi dan Strategi Operasional
Komintern terdiri
atas partai-partai komunis dari berbagai negara yang mengakui supremasi garis
ideologis Uni Soviet dan bersedia menyesuaikan strategi politik domestik mereka
sesuai dengan keputusan Moskwa. Setiap partai anggota diwajibkan menerima 21
Syarat Keanggotaan Komintern (1920), yang mencakup kewajiban
membentuk sel bawah tanah, melakukan agitasi revolusioner, dan mematuhi
disiplin internasional⁴.
Melalui struktur
ini, Uni Soviet berhasil menciptakan jaringan ideologis dan operasional yang
menjangkau hampir seluruh dunia, termasuk Jerman, Prancis, Tiongkok, India,
Indonesia, dan Amerika Latin. Komintern juga berperan sebagai agen
diplomasi revolusioner, menjalin kontak dengan serikat buruh,
kelompok tani, dan gerakan pembebasan nasional. Di banyak negara, keberadaan
cabang Komintern memicu kekhawatiran rezim lokal terhadap potensi “subversi
dari luar”⁵.
5.3.
Komintern dan Gerakan Kemerdekaan Dunia Ketiga
Salah satu
kontribusi paling signifikan Komintern adalah peran aktifnya dalam mendukung
gerakan antikolonial di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin. Lenin sendiri berpendapat bahwa revolusi global harus
melibatkan aliansi antara proletariat industri dan kaum tani terjajah sebagai
kekuatan anti-imperialis⁶. Komintern kemudian menjadi forum strategis untuk
mendekatkan perjuangan buruh di negara kapitalis maju dengan perlawanan
nasionalis di negara jajahan.
Contoh konkret dapat
dilihat pada dukungan Komintern terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai
Komunis Vietnam (kemudian dipimpin Ho Chi Minh), dan Gerakan Buruh di India.
Dukungan ini mencakup pelatihan kader di Moskwa, penyediaan literatur
ideologis, serta bantuan finansial dan logistik⁷.
Namun demikian,
hubungan antara Komintern dan gerakan nasionalis lokal tidak selalu harmonis.
Ketegangan sering muncul akibat perbedaan prioritas—Komintern menekankan
perjuangan kelas global, sementara kelompok lokal lebih fokus pada pembebasan
nasional. Akibatnya, banyak gerakan kiri di Dunia Ketiga harus menyesuaikan
taktik politik mereka agar dapat menggabungkan agenda nasionalis dengan
tuntutan ideologis Marxisme–Leninisme.
5.4.
Pembubaran Komintern dan Warisan Ideologisnya
Pada tahun 1943,
Komintern secara resmi dibubarkan oleh Stalin, terutama sebagai upaya untuk
memperbaiki hubungan diplomatik Uni Soviet dengan negara-negara Sekutu selama
Perang Dunia II. Stalin menyatakan bahwa masing-masing partai komunis kini
bertanggung jawab atas strategi revolusioner di negara masing-masing tanpa
kendali langsung dari Moskwa⁸.
Meski demikian,
semangat internasionalisme proletar tidak sirna. Setelah pembubaran Komintern,
Uni Soviet menggantinya dengan Cominform (1947) dan tetap
melanjutkan dukungan terhadap partai-partai komunis di luar negeri, khususnya
selama era Perang Dingin. Banyak prinsip dan jaringan yang dibangun Komintern
tetap hidup dalam bentuk aliansi ideologis dan gerakan transnasional.
Warisan Komintern
dapat dilihat dalam penyebaran Marxisme–Leninisme
ke berbagai konteks lokal—seperti Maoisme di Tiongkok, Juche di Korea Utara,
serta gerakan-gerakan revolusioner di Amerika Latin seperti Kuba dan Nikaragua.
Meski karakter dan interpretasi ideologisnya berbeda-beda, semuanya berakar
pada doktrin yang digagas Komintern: bahwa perjuangan kelas bersifat
internasional, dan revolusi proletar harus dikembangkan sebagai proyek global
yang terkoordinasi⁹.
Footnotes
[1]
V. I. Lenin, The Proletarian Revolution and the Renegade Kautsky
(New York: International Publishers, 1939), 70–75.
[2]
Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of
International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan Press,
1996), 1–5.
[3]
V. I. Lenin, “Theses on Bourgeois Democracy and the Dictatorship of the
Proletariat,” in Lenin’s Selected Works, vol. 3 (Moscow: Progress
Publishers, 1970), 441–445.
[4]
E. H. Carr, The Bolshevik Revolution, 1917–1923, vol. 3
(London: Macmillan, 1953), 207–210.
[5]
John Riddell, Workers of the World and Oppressed Peoples, Unite!
Proceedings and Documents of the Second Congress, 1920, vol. 1 (New York:
Pathfinder, 1991), 45–61.
[6]
V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New
York: International Publishers, 1939), 100–104.
[7]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 23–39.
[8]
Robert Service, A History of Modern Russia: From Nicholas II to
Vladimir Putin (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 271–272.
[9]
Perry Anderson, Considerations on Western Marxism (London:
Verso, 1976), 78–80.
6.
Kritik
dan Perkembangan Lanjutan: Dari Stalinisme ke Reformasi Sosialis
Penerapan
Marxisme–Leninisme dalam bentuk negara-partai di Uni Soviet dan melalui
Komintern secara global tidak pernah lepas dari perdebatan internal maupun kritik
eksternal. Puncak kritik muncul pada masa Stalinisme,
di mana prinsip-prinsip Marxisme–Leninisme ditafsirkan dan diimplementasikan
secara represif dan dogmatis. Dalam fase berikutnya, sejumlah pemimpin dan
intelektual Marxis berupaya mereformasi atau bahkan merevisi ideologi tersebut
dalam upaya mengembalikannya kepada semangat revolusioner awal atau
menyesuaikannya dengan konteks baru.
6.1.
Kritik Internal: Trotskyisme, Bukharinisme, dan
Oposisi Kiri
Kritik pertama
terhadap bentuk Marxisme–Leninisme ala Stalin muncul dari kalangan Bolshevik
sendiri. Leon Trotsky, salah satu
arsitek Revolusi Oktober, menentang birokratisasi partai dan menuduh Stalin
mengkhianati semangat internasionalisme proletar. Dalam teori Revolusi
Permanen, Trotsky menolak gagasan “sosialisme dalam satu
negara” dan menyerukan percepatan revolusi internasional sebagai
satu-satunya jalan mempertahankan sosialisme¹.
Trotsky juga
mengecam teror negara, kultus individu,
dan kebijakan kolektivisasi paksa sebagai penyimpangan terhadap prinsip-prinsip
awal Marxisme. Ia akhirnya diasingkan dan dibunuh pada 1940 atas perintah
Stalin². Selain Trotsky, tokoh seperti Nikolai Bukharin mengusulkan
pendekatan ekonomi yang lebih bertahap dan memperingatkan bahaya radikalisasi
birokratisasi. Namun, Bukharin pun menjadi korban pembersihan besar-besaran
pada akhir 1930-an³.
6.2.
Destalinisasi dan Reformasi Khrushchev
Setelah kematian
Stalin pada 1953, Uni Soviet memasuki fase baru di bawah kepemimpinan Nikita
Khrushchev, yang mencoba mendistansikan negara dari warisan
represif Stalinisme melalui kebijakan destalinisasi. Dalam pidato
rahasia pada Kongres XX Partai Komunis Uni Soviet (1956), Khrushchev secara
terbuka mengecam kebrutalan Stalin, kultus individu, dan pelanggaran hukum yang
terjadi selama masa pemerintahannya⁴.
Khrushchev
memperkenalkan sejumlah reformasi sosial dan ekonomi,
termasuk pengurangan kekuasaan polisi rahasia, pembebasan tahanan politik,
pelonggaran sensor, dan desentralisasi industri. Namun, reformasi ini tetap
berlangsung dalam kerangka ideologi Marxisme–Leninisme, dengan partai tetap
memegang kendali penuh atas negara dan masyarakat⁵. Fase ini menunjukkan adanya
upaya reinterpretasi Marxisme–Leninisme agar lebih manusiawi dan sesuai dengan
prinsip “sosialisme dengan wajah manusia.”
6.3.
Eurokomunisme dan Marxisme Humanis
Di luar Uni Soviet,
kritik terhadap dogmatisme Stalinis juga berkembang dalam bentuk Eurokomunisme,
terutama di Italia, Spanyol, dan Prancis pada dekade 1970-an. Para pemikir dan
aktivis Eurokomunis seperti Enrico Berlinguer dan Santiago
Carrillo menolak subordinasi kepada Moskwa dan menegaskan bahwa
sosialisme harus demokratis, pluralistik, dan berpijak pada hak asasi manusia⁶.
Di sisi lain, aliran
Marxisme
humanis yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Erich
Fromm dan György Lukács mencoba
menghidupkan kembali aspek humanistik dalam pemikiran Marx, dengan menekankan
keterasingan (alienation), etika emansipatoris, dan kebebasan individu sebagai
inti sosialisme⁷. Mereka mengkritik interpretasi strukturalis dan deterministik
yang berkembang dalam Marxisme–Leninisme ortodoks, serta menyerukan dialog
dengan pemikiran filsafat modern.
6.4.
Reformasi Gorbachev dan Krisis Ideologi
Fase terakhir
perkembangan Marxisme–Leninisme di Uni Soviet terjadi di bawah Mikhail
Gorbachev, yang meluncurkan kebijakan glasnost
(keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi)
pada 1985 sebagai tanggapan atas stagnasi ekonomi dan ketidakpuasan sosial.
Gorbachev berupaya mereformasi sistem sosialis dari dalam dengan mengurangi sentralisme,
membuka ruang publik untuk kritik, dan meningkatkan efisiensi melalui pasar
yang terkendali⁸.
Namun, reformasi ini
justru mempercepat krisis legitimasi ideologi Marxisme–Leninisme. Masyarakat
mulai mempertanyakan otoritas partai, dan kekuatan-kekuatan nasionalis serta
liberal muncul ke permukaan. Pada tahun 1991, Uni Soviet secara resmi bubar,
dan Marxisme–Leninisme kehilangan basis negara utamanya⁹. Runtuhnya USSR
menjadi titik balik dalam sejarah ideologi ini,
yang kemudian terfragmentasi menjadi berbagai bentuk dan interpretasi lokal.
Footnotes
[1]
Leon Trotsky, The Permanent Revolution and Results and Prospects,
trans. John G. Wright (New York: Pathfinder Press, 1969), 8–15.
[2]
Isaac Deutscher, The Prophet Outcast: Trotsky 1929–1940
(Oxford: Oxford University Press, 1963), 422–433.
[3]
Stephen F. Cohen, Bukharin and the Bolshevik Revolution: A
Political Biography (New York: Oxford University Press, 1980), 343–350.
[4]
Nikita Khrushchev, “On the Cult of Personality and Its
Consequences,” speech at the 20th Party Congress, February 25, 1956, in The
Khrushchev Report (New York: Praeger, 1956), 3–24.
[5]
Archie Brown, The Rise and Fall of Communism (New York: Ecco,
2009), 212–223.
[6]
Donald Sassoon, One Hundred Years of Socialism: The West European
Left in the Twentieth Century (New York: New Press, 1996), 410–423.
[7]
Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Continuum,
1961), 23–42.
[8]
Mikhail Gorbachev, Perestroika: New Thinking for Our Country and
the World (New York: Harper & Row, 1987), 15–34.
[9]
Richard Sakwa, The Rise and Fall of the Soviet Union, 1917–1991
(London: Routledge, 1999), 454–469.
7.
Warisan
Marxisme–Leninisme dalam Politik Kontemporer
Meski Uni Soviet
sebagai pusat utama ideologi Marxisme–Leninisme telah runtuh pada tahun 1991, pengaruh
dan warisan ideologi ini tidak serta-merta lenyap dari panggung politik global.
Sebaliknya, Marxisme–Leninisme terus mengalami reinterpretasi dan adaptasi
dalam berbagai konteks nasional, serta tetap menjadi referensi ideologis
penting dalam kritik terhadap kapitalisme, globalisasi, dan ketimpangan sosial.
Di abad ke-21, Marxisme–Leninisme bertahan bukan sebagai satu kesatuan doktrin
yang seragam, melainkan sebagai spektrum gagasan yang mengalami evolusi politis
dan kultural.
7.1.
Kelangsungan Negara Komunis Marxis–Leninis
Beberapa negara
secara formal masih mengklaim ideologi Marxisme–Leninisme sebagai dasar negara.
Tiongkok,
misalnya, tetap dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dalam
konstitusinya menyatakan loyalitas pada Marxisme–Leninisme dan pemikiran Mao
Zedong¹. Namun, sejak era reformasi ekonomi di bawah Deng
Xiaoping, Tiongkok telah mengembangkan model “sosialisme
dengan karakteristik Tiongkok” yang mencampurkan kapitalisme negara dengan
kontrol politik satu partai².
Vietnam,
Laos,
Kuba,
dan Korea
Utara juga mempertahankan struktur negara Marxis–Leninis. Di
Kuba, Partai Komunis tetap menjadi satu-satunya partai politik yang sah, meski
menghadapi tantangan besar akibat sanksi ekonomi dan tekanan eksternal. Korea
Utara mengembangkan doktrin Juche, yang mengklaim sebagai
bentuk penyesuaian kreatif atas Marxisme–Leninisme dalam konteks nasional³.
Namun, dalam semua
kasus ini, penerapan ideologi telah dibentuk oleh kebutuhan
pragmatis negara, yang sering kali mengaburkan perbedaan antara
ortodoksi ideologis dan strategi bertahan kekuasaan. Karena itu, sejumlah
ilmuwan politik menilai bahwa Marxisme–Leninisme di negara-negara ini lebih
berfungsi sebagai legitimasi ideologis negara otoriter
ketimbang sebagai agenda transformasi sosial yang dinamis⁴.
7.2.
Kebangkitan Kiri Baru dan Warisan Kritis
Runtuhnya Uni Soviet
tidak mengakhiri ketertarikan terhadap Marxisme sebagai kerangka kritik sosial.
Justru pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 muncul fenomena kebangkitan
“Kiri Baru” (New Left) yang menafsir ulang warisan Marxisme,
termasuk unsur-unsur dari Marxisme–Leninisme, untuk menanggapi isu-isu baru
seperti globalisasi, neoliberalisme, dan krisis iklim.
Gerakan ini sering
kali menghindari dogmatisme ideologi negara seperti yang dikembangkan Uni
Soviet, dan lebih menekankan pada demokratisasi ekonomi, keadilan
sosial, serta perlawanan terhadap dominasi korporasi global⁵.
Pemikir seperti David Harvey, Slavoj
Žižek, dan Antonio Negri memperkenalkan
pendekatan baru dalam membaca kapitalisme global dan perjuangan kelas dari
perspektif Marxis kontemporer⁶.
Marxisme–Leninisme
juga tetap menjadi identitas ideologis penting
bagi sejumlah partai politik dan organisasi kiri radikal di Amerika Latin,
Asia, dan Eropa. Partai Komunis India (Marxis), Partai Komunis Yunani (KKE),
dan Front Rakyat Pembebasan Palestina (PFLP) masih mengutip Marxisme–Leninisme
sebagai sumber orientasi ideologis dan strategi politik⁷.
7.3.
Marxisme–Leninisme dan Gerakan
Anti-Imperialisme Modern
Salah satu warisan
paling bertahan dari Marxisme–Leninisme adalah semangat anti-imperialisme
yang terus hidup dalam wacana dan gerakan sosial kontemporer. Kritik terhadap
dominasi Amerika Serikat, NATO, dan lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF
dan Bank Dunia sering dikaitkan dengan warisan pemikiran Lenin tentang imperialisme
sebagai tahap tertinggi kapitalisme⁸.
Gerakan seperti anti-globalisasi,
Occupy
Wall Street, dan berbagai bentuk protes terhadap kapitalisme
finansial telah menghidupkan kembali bahasa perlawanan kelas, bahkan jika tidak
secara eksplisit menyatakan diri sebagai Marxis–Leninis. Dalam hal ini,
Marxisme–Leninisme memberi warisan kosakata perlawanan dan struktur teoritik
yang masih relevan dalam membaca dinamika ketimpangan global saat ini⁹.
7.4.
Kontroversi dan Dekonstruksi Historis
Meskipun tetap
menjadi sumber inspirasi bagi beberapa kalangan, Marxisme–Leninisme juga
menghadapi kritik tajam atas warisan
otoritarianismenya, kegagalan ekonomi negara-negara komunis, serta represi
sistematis terhadap hak asasi manusia. Sejumlah akademisi post-Marxis seperti Claude
Lefort dan Hannah Arendt mengidentifikasi
bahaya melekat dalam doktrin negara satu partai, pemusatan kekuasaan ideologis,
dan kultus individu sebagai produk dari deformasi Marxisme dalam praktik
Stalinisme¹⁰.
Dalam historiografi
kontemporer, banyak upaya dilakukan untuk membedakan Marxisme dari Leninisme,
dan Leninisme dari Stalinisme, sebagai bentuk kritik dan klarifikasi. Di satu
sisi, ini adalah proses dekonstruksi ideologi; di sisi
lain, ini menunjukkan bahwa Marxisme–Leninisme bukan entitas monolitik,
melainkan fenomena historis yang terus bergeser, ditantang, dan diadaptasi
sesuai kebutuhan zamannya.
Footnotes
[1]
Constitution of the Communist Party of China (2017), Article 1.
[2]
Barry Naughton, The Chinese Economy: Transitions and Growth
(Cambridge: MIT Press, 2007), 85–89.
[3]
Charles K. Armstrong, The North Korean Revolution, 1945–1950
(Ithaca: Cornell University Press, 2003), 41–56.
[4]
Stephen White, Communism and Its Collapse (London: Routledge,
2001), 113–117.
[5]
Michael Hardt and Antonio Negri, Empire (Cambridge: Harvard
University Press, 2000), xv–xviii.
[6]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 159–169; Slavoj Žižek, Living in the End Times
(London: Verso, 2010), 10–35.
[7]
John Callaghan, Cold War, Crisis and Conflict: The Communist Party
of Great Britain 1951–68 (Manchester: Manchester University Press, 2003),
192–198.
[8]
V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New
York: International Publishers, 1939), 89–104.
[9]
Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism
(New York: Picador, 2007), 11–27.
[10]
Claude Lefort, The Political Forms of Modern Society
(Cambridge: MIT Press, 1986), 279–286; Hannah Arendt, The Origins of
Totalitarianism (New York: Harcourt, 1951), 306–325.
8.
Penutup
Sebagai doktrin
ideologis dan strategi revolusioner, Marxisme–Leninisme telah
memainkan peran sentral dalam membentuk dinamika politik abad ke-20. Ia muncul
sebagai hasil sintesis antara materialisme historis Marx dengan teori dan
praksis revolusioner Lenin, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk
negara-partai sosialis, kebijakan ekonomi terencana, dan gerakan internasional
melalui Komintern. Dalam bentuk inilah Marxisme–Leninisme menjadi lebih
dari sekadar teori sosial—ia menjadi ideologi negara yang lengkap, menyatu
dengan struktur politik, budaya, dan ekonomi, serta dijadikan
dasar bagi upaya transformatif skala global.
Pengalaman Uni
Soviet memberikan gambaran konkret mengenai kekuatan sekaligus keterbatasan
dari proyek Marxisme–Leninisme. Di satu sisi, ia memungkinkan industrialisasi
cepat, mobilisasi kolektif, dan upaya menyeluruh membangun masyarakat tanpa
kelas. Namun, di sisi lain, pelaksanaannya mengarah pada otoritarianisme,
represi politik, dan penyimpangan dari prinsip demokrasi proletariat
yang semestinya diusung⁽¹⁾. Masa pemerintahan Stalin menjadi titik ekstrem dari
distorsi ideologis tersebut, sehingga memunculkan berbagai kritik internal dan
upaya reformasi seperti yang dilakukan Khrushchev dan Gorbachev⁽²⁾.
Secara global,
penyebaran Marxisme–Leninisme melalui Komintern dan dukungannya terhadap
gerakan anti-kolonial telah menanamkan pengaruh ideologis yang luas di Dunia
Ketiga. Namun, hubungan antara ideologi dan konteks lokal tidak selalu
harmonis. Ketika diterapkan di luar Eropa, Marxisme–Leninisme harus mengalami adaptasi
terhadap kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda-beda,
sehingga menghasilkan varian lokal seperti Maoisme, Juche, atau sosialisme dengan
karakteristik nasional lainnya⁽³⁾.
Pasca-runtuhnya Uni
Soviet, Marxisme–Leninisme tidak lagi menjadi kekuatan dominan dalam sistem
internasional. Namun demikian, warisannya tetap hidup dalam dua bentuk utama:
pertama, sebagai ideologi resmi sejumlah negara yang masih
mempertahankan struktur politik komunis; kedua, sebagai kerangka
teoretis kritis dalam kajian sosial-politik kontemporer,
terutama dalam menanggapi tantangan kapitalisme global, ketimpangan sosial, dan
krisis ekologis⁽⁴⁾.
Dalam wacana akademik
dan gerakan sosial masa kini, Marxisme–Leninisme kerap dikaji ulang bukan hanya
sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai sumber ide, simbol perlawanan, dan
pelajaran atas konsekuensi radikalisasi ideologi.
Banyak pemikir menekankan perlunya dekonstruksi kritis terhadap
bentuk-bentuk otoriter yang berkembang di bawah nama sosialisme, seraya tetap
mempertahankan semangat emansipatoris dan anti-eksploitasi yang menjadi inti
dari tradisi Marxis⁽⁵⁾.
Dengan demikian,
Marxisme–Leninisme tetap relevan sebagai objek refleksi historis dan intelektual,
terutama dalam memahami bagaimana ideologi dapat mengubah realitas sosial
sekaligus menciptakan kontradiksi internal yang menggugah perubahan lebih
lanjut. Evaluasi terhadap warisan ini menuntut pendekatan yang tidak
simplistis—tidak glorifikasi dogmatis, tetapi juga tidak penolakan
mentah—melainkan penilaian dialektis terhadap
relasi antara ide, struktur, dan praksis dalam lintasan sejarah dunia modern.
Footnotes
[1]
Robert C. Tucker, Stalin as Revolutionary, 1879–1929: A Study in
History and Personality (New York: Norton, 1973), 390–398.
[2]
Archie Brown, The Rise and Fall of Communism (New York: Ecco,
2009), 211–240.
[3]
Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of
International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan Press,
1996), 202–215.
[4]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 3–6.
[5]
Perry Anderson, Considerations on Western Marxism (London:
Verso, 1976), 18–31.
Daftar Pustaka
Applebaum, A. (2003). Gulag: A history. New
York, NY: Doubleday.
Applebaum, A. (2017). Red famine: Stalin’s war
on Ukraine. New York, NY: Doubleday.
Armstrong, C. K. (2003). The North Korean
revolution, 1945–1950. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Arendt, H. (1951). The origins of
totalitarianism. New York, NY: Harcourt.
Brown, A. (2009). The rise and fall of communism.
New York, NY: Ecco.
Carr, E. H. (1953). The Bolshevik revolution,
1917–1923 (Vol. 3). London, UK: Macmillan.
Cohen, S. F. (1980). Bukharin and the Bolshevik
revolution: A political biography. New York, NY: Oxford University Press.
Callaghan, J. (2003). Cold war, crisis and
conflict: The Communist Party of Great Britain 1951–68. Manchester, UK:
Manchester University Press.
Constitution of the Communist Party of China.
(2017). Constitution of the Communist Party of China. Beijing, China:
Communist Party of China Publishing House.
Deutscher, I. (1963). The prophet outcast:
Trotsky 1929–1940. Oxford, UK: Oxford University Press.
Figes, O. (1997). A people’s tragedy: The
Russian Revolution 1891–1924. London, UK: Penguin Books.
Fromm, E. (1961). Marx’s concept of man. New
York, NY: Continuum.
Gorbachev, M. (1987). Perestroika: New thinking
for our country and the world. New York, NY: Harper & Row.
Hardt, M., & Negri, A. (2000). Empire.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Harvey, D. (2005). A brief history of
neoliberalism. Oxford, UK: Oxford University Press.
Khrushchev, N. (1956). On the cult of personality
and its consequences [Speech]. In The Khrushchev report. New York, NY:
Praeger.
Kotkin, S. (1995). Magnetic mountain: Stalinism
as a civilization. Berkeley, CA: University of California Press.
Lefort, C. (1986). The political forms of modern
society. Cambridge, MA: MIT Press.
Lenin, V. I. (1932). The state and revolution.
New York, NY: International Publishers.
Lenin, V. I. (1939). Imperialism, the highest
stage of capitalism. New York, NY: International Publishers.
Lenin, V. I. (1943). What is to be done? New
York, NY: International Publishers.
Lenin, V. I. (1970). Theses on bourgeois democracy
and the dictatorship of the proletariat. In Lenin’s selected works (Vol.
3). Moscow, Russia: Progress Publishers.
Marx, K., & Engels, F. (2002). The Communist
manifesto (S. Moore, Trans.). London, UK: Penguin Classics.
(Original work published 1848)
Marx, K. (1977). A contribution to the critique
of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Moscow, Russia: Progress
Publishers.
McDermott, K., & Agnew, J. (1996). The
Comintern: A history of international communism from Lenin to Stalin.
London, UK: Macmillan Press.
McLellan, D. (2006). Marxism after Marx.
London, UK: Palgrave Macmillan.
McVey, R. (1965). The rise of Indonesian
communism. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Naughton, B. (2007). The Chinese economy:
Transitions and growth. Cambridge, MA: MIT Press.
Nove, A. (1992). An economic history of the
USSR, 1917–1991. London, UK: Penguin Books.
Riddell, J. (1991). Workers of the world and
oppressed peoples, unite! Proceedings and documents of the Second Congress,
1920 (Vol. 1). New York, NY: Pathfinder.
Sakwa, R. (1999). The rise and fall of the
Soviet Union, 1917–1991. London, UK: Routledge.
Sassoon, D. (1996). One hundred years of
socialism: The West European left in the twentieth century. New York, NY:
New Press.
Service, R. (2009). A history of modern Russia:
From Nicholas II to Vladimir Putin. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Tucker, R. C. (1971). The Soviet political mind:
Stalinism and post-Stalin change. New York, NY: Norton.
Tucker, R. C. (1973). Stalin as revolutionary,
1879–1929: A study in history and personality. New York, NY: Norton.
Trotsky, L. (1969). The permanent revolution and
results and prospects (J. G. Wright, Trans.). New York, NY: Pathfinder
Press.
White, S. (2001). Communism and its collapse.
London, UK: Routledge.
Žižek, S. (2010). Living in the end times.
London, UK: Verso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar