Sabtu, 24 Mei 2025

Marxisme–Leninisme: Fondasi Ideologis Revolusi, Negara Partai, dan Internasionalisme Proletar Abad ke-20

Marxisme–Leninisme

Fondasi Ideologis Revolusi, Negara Partai, dan Internasionalisme Proletar Abad ke-20


Alihkan ke: Pemikiran Karl Marx, Pemikiran Vladimir Lenin.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif ideologi Marxisme–Leninisme sebagai fondasi teoritis dan praktis dari revolusi sosialis, pendirian negara satu partai, serta penyebaran internasionalisme proletar pada abad ke-20. Sebagai sintesis antara materialisme historis Karl Marx dan strategi revolusioner Vladimir Lenin, Marxisme–Leninisme menjadi ideologi resmi Uni Soviet dan diadopsi oleh berbagai partai komunis di dunia melalui jaringan Komintern. Artikel ini membahas akar filosofis dan teoretis Marxisme–Leninisme, prinsip-prinsip ideologis utama, implementasinya dalam sistem politik-ekonomi Soviet, serta ekspansi global melalui proyek anti-imperialis. Selain itu, dianalisis pula kritik internal terhadap Stalinisme, upaya reformasi dari Khrushchev hingga Gorbachev, dan warisan ideologisnya dalam politik kontemporer. Studi ini menggunakan pendekatan historis dan analitis berbasis referensi akademik kredibel untuk mengevaluasi warisan dialektis ideologi ini dalam kaitannya dengan dinamika kekuasaan, resistensi sosial, dan tantangan global saat ini.

Kata Kunci: Marxisme–Leninisme, Revolusi Bolshevik, Uni Soviet, Komintern, Stalinisme, Sosialisme, Anti-Imperialisme, Reformasi Sosialis, Ideologi Politik, Kritik Kapitalisme.


PEMBAHASAN

Menelaah Ideologi Politik Partai Komunis Uni Soviet dan Komintern


1.           Pendahuluan

Ideologi Marxisme–Leninisme merupakan salah satu fondasi pemikiran politik paling berpengaruh dalam sejarah abad ke-20. Ia tidak hanya mengarahkan jalannya Revolusi Rusia tahun 1917 dan membentuk karakter ideologis Uni Soviet, tetapi juga menjadi kerangka konseptual yang menjustifikasi pembentukan negara partai tunggal, struktur ekonomi terpusat, serta gerakan revolusioner di berbagai belahan dunia. Sebagai penggabungan dialektika materialisme sejarah ala Karl Marx dengan teori politik revolusioner Vladimir Lenin, Marxisme–Leninisme telah menjadi alat analisis sekaligus peta jalan aksi politik bagi berbagai partai komunis dan gerakan kiri radikal sepanjang abad lalu.

Kemunculan Marxisme–Leninisme tidak bisa dilepaskan dari krisis sosial, ekonomi, dan politik yang melanda Kekaisaran Rusia pada awal abad ke-20. Dalam konteks ini, Lenin menafsirkan dan mengadaptasi ajaran Marx agar relevan dengan situasi konkret Rusia, yang saat itu belum mencapai kapitalisme maju sebagaimana diprediksi Marx dalam konteks Eropa Barat. Lenin menekankan peran avant-garde partai revolusioner sebagai penggerak sejarah dan pendobrak sistem kapitalisme serta imperialisme global yang ia anggap sebagai “tahap tertinggi kapitalisme.”¹

Dalam perjalanannya, Marxisme–Leninisme berkembang menjadi sistem ideologi negara yang total, mengatur tidak hanya mekanisme politik dan ekonomi, tetapi juga membentuk kehidupan budaya, pendidikan, dan moral masyarakat Soviet. Penerapan ideologi ini sangat bergantung pada prinsip sentralisme demokratis, yaitu ketaatan mutlak terhadap keputusan partai setelah melewati tahap diskusi internal.² Hal ini menjadikan Partai Komunis sebagai kekuatan hegemonik yang tidak dapat diganggu gugat, serta menjustifikasi pembersihan politik terhadap lawan-lawan internal maupun eksternal.

Lebih dari sekadar doktrin lokal, Marxisme–Leninisme juga menjadi dasar pembentukan Komintern (Komunis Internasional), yakni jaringan internasional partai-partai komunis yang didirikan pada 1919 untuk menyebarkan revolusi proletar global.³ Melalui Komintern, ideologi ini disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia, termasuk Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bahkan, banyak gerakan kemerdekaan di negara Dunia Ketiga secara eksplisit mengadopsi atau terinspirasi oleh prinsip-prinsip Marxisme–Leninisme dalam upaya melawan kolonialisme dan kapitalisme global.

Artikel ini bertujuan menyajikan pemahaman yang mendalam dan akademis terhadap Marxisme–Leninisme, baik dari segi asal usul intelektualnya, doktrin pokok, praktik politiknya di Uni Soviet, hingga pengaruh global melalui Komintern. Di samping itu, pembahasan ini juga mencakup kritik-kritik internal maupun eksternal terhadap ideologi ini, serta warisannya dalam dinamika politik kontemporer. Setiap bagian akan disusun berdasarkan telaah kritis terhadap literatur ilmiah yang relevan, sehingga memberikan fondasi yang kokoh bagi pembaca untuk memahami kompleksitas Marxisme–Leninisme sebagai doktrin, praktik, dan warisan sejarah.


Footnotes

[1]                Vladimir I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 89–90.

[2]                Robert C. Tucker, The Lenin Anthology (New York: W. W. Norton & Company, 1975), 19–22.

[3]                Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan Press, 1996), 1–10.


2.           Akar Teoretis: Dari Marxisme ke Leninisme

Marxisme–Leninisme sebagai suatu ideologi tidak muncul dalam ruang hampa sejarah, melainkan merupakan hasil perkembangan dialektis dari dua pemikiran besar: Marxisme klasik yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, serta reinterpretasi dan operasionalisasinya oleh Vladimir Ilyich Lenin dalam konteks Rusia awal abad ke-20. Untuk memahami Marxisme–Leninisme secara utuh, perlu terlebih dahulu ditelusuri akar-akar teoretis yang menopangnya.

2.1.       Marxisme: Materialisme Historis dan Perjuangan Kelas

Karl Marx (1818–1883) dan Friedrich Engels (1820–1895) mengembangkan suatu pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dan sejarah yang dikenal sebagai materialisme historis. Menurut Marx, sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, yakni konflik antara mereka yang memiliki alat produksi (borjuis) dan mereka yang tidak (proletar)¹. Dalam The Communist Manifesto (1848), Marx dan Engels menegaskan bahwa kapitalisme mengandung benih kehancurannya sendiri karena menciptakan ketimpangan ekonomi dan alienasi sosial, sehingga akan digantikan oleh sosialisme dan, pada akhirnya, komunisme².

Dalam kerangka ini, revolusi proletar adalah suatu keniscayaan historis. Namun, Marx tidak menjabarkan secara rinci mekanisme konkret revolusi atau bentuk organisasi politik yang dibutuhkan. Ia lebih menekankan pada peran kesadaran kelas dan transformasi struktur ekonomi sebagai motor perubahan sosial³.

2.2.       Leninisme: Adaptasi Marxisme dalam Konteks Rusia

Lenin (1870–1924), sebagai pemimpin gerakan revolusioner Bolshevik, menghadapi realitas Rusia yang sangat berbeda dari negara-negara kapitalis industri yang dianalisis Marx. Rusia adalah negara agraris dengan proletariat yang relatif kecil dan kelas tani yang sangat besar. Dalam situasi ini, Lenin menyusun adaptasi teoretis terhadap Marxisme dengan menekankan perlunya organisasi partai revolusioner yang terpusat dan terdisiplin—yang disebutnya sebagai “avant-garde proletariat”—untuk memimpin revolusi⁴.

Dalam What Is to Be Done? (1902), Lenin menyatakan bahwa kelas pekerja tidak akan mampu mengembangkan kesadaran revolusioner secara spontan, sehingga memerlukan pencerahan dari luar melalui partai revolusioner yang terdiri atas kaum intelektual dan aktivis terlatih⁵. Ini merupakan titik divergensi utama dari Marx, yang lebih percaya pada kesadaran organik yang berkembang dari dalam kelas pekerja itu sendiri.

Selain itu, Lenin juga menambahkan teori imperialisme sebagai ekspansi kapitalisme global yang melanggengkan dominasi borjuis dan menciptakan keterbelakangan di negara-negara koloni. Dalam Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1916), ia menggambarkan bagaimana kapitalisme monopoli dan ekspansi ke luar negeri justru memperkuat potensi revolusi di pinggiran dunia, termasuk di Rusia⁶. Dalam hal ini, Lenin membalik premis Marx tentang lokasi revolusi: bukan di pusat kapitalisme, tetapi justru di daerah semi-feodal yang mengalami ketimpangan ekstrim akibat imperialisme.

2.3.       Dari Teori ke Ideologi Negara

Dengan menggabungkan kerangka Marxis tentang perjuangan kelas dan determinisme sejarah dengan strategi revolusioner dan organisasi partai modern, Lenin menciptakan basis ideologis baru yang lebih praksis. Marxisme tidak lagi semata teori kritik terhadap kapitalisme, melainkan menjadi ideologi negara dan panduan aksi politik. Inilah cikal bakal dari apa yang kemudian dikenal sebagai Marxisme–Leninisme, yakni bentuk “ortodoksi revolusioner” yang dijadikan dogma resmi oleh Partai Komunis Uni Soviet dan berbagai partai komunis di dunia⁷.


Footnotes

[1]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. S. W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1977), 20–21.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 5–10.

[3]                David McLellan, Marxism after Marx (London: Macmillan, 2006), 19–24.

[4]                Robert C. Tucker, The Lenin Anthology (New York: W. W. Norton & Company, 1975), 3–8.

[5]                V. I. Lenin, What Is to Be Done? (New York: International Publishers, 1943), 31–35.

[6]                V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 88–94.

[7]                Neil Harding, Leninism (Durham: Duke University Press, 1996), 55–61.


3.           Prinsip-Prinsip Pokok Marxisme–Leninisme

Sebagai hasil sintesis antara teori Marx dan praksis revolusioner Lenin, Marxisme–Leninisme membentuk suatu sistem ideologi yang tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga preskriptif. Ia bukan sekadar alat untuk memahami dunia, melainkan peta jalan untuk mengubahnya secara radikal. Beberapa prinsip pokok Marxisme–Leninisme dapat diringkas dalam lima aspek utama: sentralisme demokratis, kediktatoran proletariat, internasionalisme proletar dan anti-imperialisme, ekonomi terencana, serta peran avant-garde partai. Prinsip-prinsip ini menjadi dasar pembentukan negara sosialis di bawah hegemoni Partai Komunis, khususnya di Uni Soviet.

3.1.       Sentralisme Demokratis

Prinsip sentralisme demokratis mengacu pada sistem pengambilan keputusan internal partai, yang menggabungkan diskusi demokratis di antara kader dengan pelaksanaan keputusan secara sentral dan disiplin. Dalam sistem ini, setelah suatu keputusan diambil oleh mayoritas, seluruh anggota wajib tunduk tanpa pengecualian¹. Lenin memandang bahwa prinsip ini penting untuk menjaga efektivitas dan kesatuan aksi revolusioner, terutama dalam situasi yang penuh represi dan ketidakpastian politik.

Dalam praktiknya, sentralisme demokratis menjustifikasi dominasi elit partai atas basis massa, bahkan mengarah pada struktur hierarkis yang ketat. Para pemimpin partai menjadi sumber otoritas tertinggi dalam penafsiran ideologi dan kebijakan negara². Meski secara teori bersifat demokratis, dalam kenyataan historisnya—terutama di bawah Stalin—prinsip ini sering berujung pada pemusatan kekuasaan yang otoriter.

3.2.       Kediktatoran Proletariat

Sebagaimana dinyatakan Marx, tahap transisi dari kapitalisme ke komunisme memerlukan bentuk pemerintahan yang disebut kediktatoran proletariat, yakni dominasi politik oleh kelas pekerja untuk melenyapkan struktur lama dan membangun tatanan sosial baru³. Lenin mengadopsi konsep ini secara penuh dan menekankan bahwa kediktatoran proletariat adalah bentuk demokrasi sejati bagi mayoritas—berlawanan dengan demokrasi borjuis yang hanya menguntungkan minoritas kapitalis⁴.

Dalam praktik Soviet, konsep ini diterjemahkan ke dalam penghapusan lembaga-lembaga borjuis, nasionalisasi aset produksi, dan penggunaan kekuatan koersif untuk menumpas “musuh kelas.” Namun, pelaksanaannya menimbulkan kritik tajam karena membuka ruang bagi represi politik sistematis, termasuk pembentukan aparat rahasia dan kamp kerja paksa (Gulag)⁵.

3.3.       Internasionalisme Proletar dan Anti-Imperialisme

Marxisme–Leninisme menekankan bahwa revolusi proletar tidak bisa berhenti pada batas-batas nasional. Oleh karena itu, salah satu prinsip utamanya adalah internasionalisme proletar: solidaritas global antarburuh dalam menumbangkan kapitalisme internasional. Lenin percaya bahwa imperialisme adalah tahap terakhir dan paling destruktif dari kapitalisme, sehingga perjuangan melawannya harus dilakukan secara global⁶.

Untuk mewujudkan prinsip ini, Uni Soviet mendirikan Komintern (Komunis Internasional) pada tahun 1919 sebagai alat koordinasi dan dukungan bagi partai-partai komunis di berbagai negara. Komintern berfungsi untuk mengekspor revolusi dan membentuk front internasional anti-imperialis, terutama di negara-negara koloni dan semi-koloni⁷.

3.4.       Ekonomi Terencana dan Kepemilikan Kolektif

Berbeda dari liberalisme yang menjunjung mekanisme pasar bebas, Marxisme–Leninisme mengedepankan ekonomi terencana (planned economy) sebagai model pembangunan sosialis. Semua alat produksi—tanah, pabrik, transportasi, dan sumber daya alam—diambil alih oleh negara dan dikelola secara kolektif atas nama rakyat⁸.

Uni Soviet di bawah Lenin memulai kebijakan ini melalui War Communism (1918–1921), yang kemudian digantikan oleh New Economic Policy (NEP) dan selanjutnya oleh rencana lima tahun di bawah Stalin. Meski berhasil mendorong industrialisasi cepat, sistem ini sering disertai efisiensi rendah, kekurangan pangan, dan penindasan terhadap petani kecil⁹.

3.5.       Peran Avant-Garde Partai

Lenin memperkenalkan konsep partai pelopor (avant-garde) sebagai motor utama revolusi. Ia berpendapat bahwa kelas pekerja tidak dapat secara otomatis mengembangkan kesadaran revolusioner. Oleh karena itu, diperlukan partai yang terorganisir dan dipimpin oleh kaum intelektual revolusioner untuk membimbing massa menuju revolusi sosial¹⁰.

Partai ini bukan sekadar alat politik, melainkan instrumen transformasi sosial total. Ia mengendalikan negara, pendidikan, media, serta organisasi masyarakat sipil, dan berfungsi sebagai agen ideologis utama dalam membentuk “manusia baru” sosialis. Dalam praktiknya, ini berarti tidak adanya oposisi politik dan penghapusan pluralisme gagasan dalam ruang publik.


Footnotes

[1]                V. I. Lenin, Collected Works, vol. 10 (Moscow: Progress Publishers, 1965), 311–313.

[2]                Robert C. Tucker, Stalin as Revolutionary, 1879–1929: A Study in History and Personality (New York: Norton, 1973), 229–234.

[3]                Karl Marx, Critique of the Gotha Program, trans. Peter H. Nettl (New York: International Publishers, 1966), 15–17.

[4]                V. I. Lenin, The State and Revolution (New York: International Publishers, 1932), 28–32.

[5]                Orlando Figes, A People’s Tragedy: The Russian Revolution 1891–1924 (London: Penguin Books, 1997), 776–789.

[6]                V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 89–92.

[7]                Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan Press, 1996), 1–25.

[8]                Alec Nove, An Economic History of the USSR, 1917–1991 (London: Penguin Books, 1992), 25–37.

[9]                Stephen Kotkin, Magnetic Mountain: Stalinism as a Civilization (Berkeley: University of California Press, 1995), 43–55.

[10]             V. I. Lenin, What Is to Be Done? (New York: International Publishers, 1943), 35–39.


4.           Marxisme–Leninisme dalam Praktik: Uni Soviet sebagai Studi Kasus

Penerapan ideologi Marxisme–Leninisme secara nyata untuk pertama kalinya terjadi di Rusia pasca-Revolusi Oktober 1917, saat kaum Bolshevik di bawah kepemimpinan Vladimir Lenin mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia. Dari titik ini, terbentuklah Uni Soviet (USSR) pada tahun 1922 sebagai negara pertama di dunia yang secara resmi menyatakan diri berpijak pada prinsip-prinsip Marxisme–Leninisme. Uni Soviet menjadi laboratorium sosial-politik tempat diujikannya ide-ide revolusioner tersebut dalam skala nasional, bahkan internasional.

4.1.       Konsolidasi Kekuasaan dan Peran Negara-Partai

Setelah merebut kekuasaan, Partai Bolshevik segera mengkonsolidasikan otoritas politik melalui pembubaran lembaga-lembaga borjuis, pembentukan pemerintahan berbasis Soviet (dewan-dewan buruh dan tentara), dan pengesahan diktatur proletariat dalam bentuk negara satu partai¹. Lenin dan para pemimpin Bolshevik menegaskan bahwa negara sementara diperlukan sebagai alat untuk menghancurkan sisa-sisa tatanan lama dan membangun masyarakat sosialis baru².

Dalam praktiknya, sistem ini berkembang menjadi negara totaliter yang terpusat pada partai tunggal. Sentralisme demokratis dijadikan prinsip organisasi politik, namun realisasinya sering kali menegasikan aspek “demokratis”-nya. Oposisi internal seperti Menshevik, Sosialis Revolusioner, dan kelompok-kelompok anarkis dibungkam, dan sensor diberlakukan atas media, seni, serta akademik³.

4.2.       Kebijakan Ekonomi: Dari War Communism ke Rencana Lima Tahun

Dalam bidang ekonomi, eksperimen besar dimulai dengan kebijakan War Communism (1918–1921), yakni nasionalisasi total industri, pelarangan perdagangan swasta, dan penyitaan surplus hasil pertanian secara paksa dari petani. Kebijakan ini bertujuan menopang perang saudara yang sedang berlangsung, namun menyebabkan kelaparan parah dan keruntuhan ekonomi⁴.

Sebagai tanggapan, Lenin meluncurkan New Economic Policy (NEP) pada tahun 1921 yang membuka kembali ruang bagi kepemilikan swasta dalam skala kecil dan perdagangan pasar bebas terbatas. NEP merupakan bentuk kompromi ideologis yang dikritik oleh kaum Marxis ortodoks sebagai kemunduran dari sosialisme⁵.

Setelah kematian Lenin pada 1924, kekuasaan beralih ke Joseph Stalin, yang menegaskan kembali prinsip Marxisme–Leninisme dalam bentuk lebih radikal. Ia meluncurkan program industrialisasi besar-besaran dan kolektivisasi pertanian melalui sistem Rencana Lima Tahun (Five-Year Plans). Tujuannya adalah menciptakan negara industri modern yang bebas dari ketergantungan ekonomi pada negara kapitalis⁶.

Hasilnya mencengangkan namun kontroversial: Uni Soviet mengalami pertumbuhan industri yang pesat, namun dengan biaya sosial sangat tinggi, termasuk kelaparan massal di Ukraina (Holodomor), deportasi paksa jutaan orang, serta pembantaian terhadap petani kaya (kulak) yang dianggap kontra-revolusioner⁷.

4.3.       Represi Politik dan Kultus Pribadi

Salah satu ciri paling mencolok dari penerapan Marxisme–Leninisme di Uni Soviet adalah penggunaan teror negara sebagai instrumen konsolidasi ideologi dan kekuasaan. Di bawah Stalin, partai memprakarsai pembersihan besar-besaran (Great Purge) terhadap elit partai, militer, intelektual, bahkan rakyat biasa yang dicurigai sebagai “musuh rakyat”⁸.

Aparat keamanan negara seperti NKVD menjalankan peran utama dalam penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi tanpa proses hukum. Jutaan orang dikirim ke sistem kamp kerja paksa (Gulag), yang menjadi bagian integral dari ekonomi dan kontrol sosial⁹. Keberadaan oposisi politik secara efektif dihapuskan, dan konstitusi hanya menjadi simbol formal tanpa implementasi substantif.

Selama periode ini, muncul pula fenomena kultus individu terhadap Stalin, yang dielu-elukan sebagai pemimpin agung dan penerus sah Lenin. Doktrin Marxisme–Leninisme yang awalnya bersifat kolektif dan ilmiah berubah menjadi dogma yang dikontrol secara ketat oleh birokrasi partai dan dipersonifikasikan dalam figur tunggal¹⁰.

4.4.       Pembentukan “Manusia Sosialis” dan Rekayasa Budaya

Proyek revolusioner Soviet tidak hanya terbatas pada ekonomi dan politik, tetapi juga menjangkau ke wilayah budaya dan pendidikan. Negara berusaha membentuk "manusia baru" sosialis yang rasional, kolektif, ateistik, dan setia pada partai. Sistem pendidikan dirombak total untuk memasukkan kurikulum ideologi, dan lembaga-lembaga budaya seperti teater, sastra, dan sinema dijadikan alat propaganda¹¹.

Realitas sosial diatur melalui prinsip "realisme sosialis", yaitu pendekatan seni yang memuliakan perjuangan kelas, produksi industri, dan tokoh-tokoh partai. Kebebasan berekspresi ditekan demi menjaga “kemurnian ideologis.” Dalam konteks ini, Marxisme–Leninisme diimplementasikan bukan sekadar sebagai teori sosial, tetapi sebagai rezim total atas kesadaran kolektif.


Footnotes

[1]                Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford University Press, 2008), 68–71.

[2]                V. I. Lenin, The State and Revolution (New York: International Publishers, 1932), 35–40.

[3]                Robert C. Tucker, The Soviet Political Mind: Stalinism and Post-Stalin Change (New York: Norton, 1971), 93–98.

[4]                Orlando Figes, A People’s Tragedy: The Russian Revolution 1891–1924 (London: Penguin Books, 1997), 768–775.

[5]                Alec Nove, An Economic History of the USSR, 1917–1991 (London: Penguin Books, 1992), 61–73.

[6]                Stephen Kotkin, Stalin: Paradoxes of Power, 1878–1928 (New York: Penguin Press, 2014), 661–685.

[7]                Anne Applebaum, Red Famine: Stalin’s War on Ukraine (New York: Doubleday, 2017), 125–150.

[8]                Robert Conquest, The Great Terror: A Reassessment (New York: Oxford University Press, 1990), 45–61.

[9]                Anne Applebaum, Gulag: A History (New York: Doubleday, 2003), 29–40.

[10]             Geoffrey Hosking, A History of the Soviet Union (London: Fontana Press, 1985), 143–147.

[11]             Richard Stites, Revolutionary Dreams: Utopian Vision and Experimental Life in the Russian Revolution (New York: Oxford University Press, 1989), 173–192.


5.           Komintern dan Penyebaran Marxisme–Leninisme Global

Setelah berhasil menanamkan Marxisme–Leninisme sebagai ideologi negara di Uni Soviet, Partai Komunis Bolshevik di bawah kepemimpinan Lenin kemudian mengonsolidasikan proyek revolusi proletar pada skala internasional. Gagasan dasar Marxisme–Leninisme menekankan bahwa revolusi sosialis tidak dapat bertahan dalam satu negara saja—ia harus berkembang secara global untuk menghancurkan kapitalisme dan imperialisme yang bersifat internasional¹. Untuk mewujudkan tujuan ini, Uni Soviet mendirikan Komintern (Komunis Internasional) atau Internasionale Ketiga pada tahun 1919 sebagai alat politik transnasional untuk menyebarluaskan ideologi dan strategi revolusioner.

5.1.       Pendirian dan Tujuan Komintern

Komintern didirikan dalam Kongres Internasional Pertama di Moskwa, dan secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk “mempercepat keruntuhan tatanan borjuis global” dan menggantikannya dengan republik Soviet internasional². Tidak seperti pendahulunya, Internasionale Kedua yang bersifat federatif dan pluralistik, Komintern di bawah Lenin dirancang sebagai organisasi terpusat dan tersubordinasi kepada garis ideologis Partai Komunis Rusia.

Dalam Tesis tentang Demokrasi Borjuis dan Kediktatoran Proletariat yang diajukan Lenin pada Kongres Komintern tahun 1919, ditegaskan bahwa partai-partai sosialis di dunia harus memutus hubungan dengan sistem parlementer dan mengikuti model Bolshevik yang mengedepankan kekuatan revolusioner proletariat melalui aksi langsung³. Hal ini menandai perubahan besar dalam strategi gerakan sosialis global, dari pendekatan reformis ke pendekatan insurrektionis.

5.2.       Struktur Organisasi dan Strategi Operasional

Komintern terdiri atas partai-partai komunis dari berbagai negara yang mengakui supremasi garis ideologis Uni Soviet dan bersedia menyesuaikan strategi politik domestik mereka sesuai dengan keputusan Moskwa. Setiap partai anggota diwajibkan menerima 21 Syarat Keanggotaan Komintern (1920), yang mencakup kewajiban membentuk sel bawah tanah, melakukan agitasi revolusioner, dan mematuhi disiplin internasional⁴.

Melalui struktur ini, Uni Soviet berhasil menciptakan jaringan ideologis dan operasional yang menjangkau hampir seluruh dunia, termasuk Jerman, Prancis, Tiongkok, India, Indonesia, dan Amerika Latin. Komintern juga berperan sebagai agen diplomasi revolusioner, menjalin kontak dengan serikat buruh, kelompok tani, dan gerakan pembebasan nasional. Di banyak negara, keberadaan cabang Komintern memicu kekhawatiran rezim lokal terhadap potensi “subversi dari luar”⁵.

5.3.       Komintern dan Gerakan Kemerdekaan Dunia Ketiga

Salah satu kontribusi paling signifikan Komintern adalah peran aktifnya dalam mendukung gerakan antikolonial di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Lenin sendiri berpendapat bahwa revolusi global harus melibatkan aliansi antara proletariat industri dan kaum tani terjajah sebagai kekuatan anti-imperialis⁶. Komintern kemudian menjadi forum strategis untuk mendekatkan perjuangan buruh di negara kapitalis maju dengan perlawanan nasionalis di negara jajahan.

Contoh konkret dapat dilihat pada dukungan Komintern terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Komunis Vietnam (kemudian dipimpin Ho Chi Minh), dan Gerakan Buruh di India. Dukungan ini mencakup pelatihan kader di Moskwa, penyediaan literatur ideologis, serta bantuan finansial dan logistik⁷.

Namun demikian, hubungan antara Komintern dan gerakan nasionalis lokal tidak selalu harmonis. Ketegangan sering muncul akibat perbedaan prioritas—Komintern menekankan perjuangan kelas global, sementara kelompok lokal lebih fokus pada pembebasan nasional. Akibatnya, banyak gerakan kiri di Dunia Ketiga harus menyesuaikan taktik politik mereka agar dapat menggabungkan agenda nasionalis dengan tuntutan ideologis Marxisme–Leninisme.

5.4.       Pembubaran Komintern dan Warisan Ideologisnya

Pada tahun 1943, Komintern secara resmi dibubarkan oleh Stalin, terutama sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan diplomatik Uni Soviet dengan negara-negara Sekutu selama Perang Dunia II. Stalin menyatakan bahwa masing-masing partai komunis kini bertanggung jawab atas strategi revolusioner di negara masing-masing tanpa kendali langsung dari Moskwa⁸.

Meski demikian, semangat internasionalisme proletar tidak sirna. Setelah pembubaran Komintern, Uni Soviet menggantinya dengan Cominform (1947) dan tetap melanjutkan dukungan terhadap partai-partai komunis di luar negeri, khususnya selama era Perang Dingin. Banyak prinsip dan jaringan yang dibangun Komintern tetap hidup dalam bentuk aliansi ideologis dan gerakan transnasional.

Warisan Komintern dapat dilihat dalam penyebaran Marxisme–Leninisme ke berbagai konteks lokal—seperti Maoisme di Tiongkok, Juche di Korea Utara, serta gerakan-gerakan revolusioner di Amerika Latin seperti Kuba dan Nikaragua. Meski karakter dan interpretasi ideologisnya berbeda-beda, semuanya berakar pada doktrin yang digagas Komintern: bahwa perjuangan kelas bersifat internasional, dan revolusi proletar harus dikembangkan sebagai proyek global yang terkoordinasi⁹.


Footnotes

[1]                V. I. Lenin, The Proletarian Revolution and the Renegade Kautsky (New York: International Publishers, 1939), 70–75.

[2]                Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan Press, 1996), 1–5.

[3]                V. I. Lenin, “Theses on Bourgeois Democracy and the Dictatorship of the Proletariat,” in Lenin’s Selected Works, vol. 3 (Moscow: Progress Publishers, 1970), 441–445.

[4]                E. H. Carr, The Bolshevik Revolution, 1917–1923, vol. 3 (London: Macmillan, 1953), 207–210.

[5]                John Riddell, Workers of the World and Oppressed Peoples, Unite! Proceedings and Documents of the Second Congress, 1920, vol. 1 (New York: Pathfinder, 1991), 45–61.

[6]                V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 100–104.

[7]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 23–39.

[8]                Robert Service, A History of Modern Russia: From Nicholas II to Vladimir Putin (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 271–272.

[9]                Perry Anderson, Considerations on Western Marxism (London: Verso, 1976), 78–80.


6.           Kritik dan Perkembangan Lanjutan: Dari Stalinisme ke Reformasi Sosialis

Penerapan Marxisme–Leninisme dalam bentuk negara-partai di Uni Soviet dan melalui Komintern secara global tidak pernah lepas dari perdebatan internal maupun kritik eksternal. Puncak kritik muncul pada masa Stalinisme, di mana prinsip-prinsip Marxisme–Leninisme ditafsirkan dan diimplementasikan secara represif dan dogmatis. Dalam fase berikutnya, sejumlah pemimpin dan intelektual Marxis berupaya mereformasi atau bahkan merevisi ideologi tersebut dalam upaya mengembalikannya kepada semangat revolusioner awal atau menyesuaikannya dengan konteks baru.

6.1.       Kritik Internal: Trotskyisme, Bukharinisme, dan Oposisi Kiri

Kritik pertama terhadap bentuk Marxisme–Leninisme ala Stalin muncul dari kalangan Bolshevik sendiri. Leon Trotsky, salah satu arsitek Revolusi Oktober, menentang birokratisasi partai dan menuduh Stalin mengkhianati semangat internasionalisme proletar. Dalam teori Revolusi Permanen, Trotsky menolak gagasan “sosialisme dalam satu negara” dan menyerukan percepatan revolusi internasional sebagai satu-satunya jalan mempertahankan sosialisme¹.

Trotsky juga mengecam teror negara, kultus individu, dan kebijakan kolektivisasi paksa sebagai penyimpangan terhadap prinsip-prinsip awal Marxisme. Ia akhirnya diasingkan dan dibunuh pada 1940 atas perintah Stalin². Selain Trotsky, tokoh seperti Nikolai Bukharin mengusulkan pendekatan ekonomi yang lebih bertahap dan memperingatkan bahaya radikalisasi birokratisasi. Namun, Bukharin pun menjadi korban pembersihan besar-besaran pada akhir 1930-an³.

6.2.       Destalinisasi dan Reformasi Khrushchev

Setelah kematian Stalin pada 1953, Uni Soviet memasuki fase baru di bawah kepemimpinan Nikita Khrushchev, yang mencoba mendistansikan negara dari warisan represif Stalinisme melalui kebijakan destalinisasi. Dalam pidato rahasia pada Kongres XX Partai Komunis Uni Soviet (1956), Khrushchev secara terbuka mengecam kebrutalan Stalin, kultus individu, dan pelanggaran hukum yang terjadi selama masa pemerintahannya⁴.

Khrushchev memperkenalkan sejumlah reformasi sosial dan ekonomi, termasuk pengurangan kekuasaan polisi rahasia, pembebasan tahanan politik, pelonggaran sensor, dan desentralisasi industri. Namun, reformasi ini tetap berlangsung dalam kerangka ideologi Marxisme–Leninisme, dengan partai tetap memegang kendali penuh atas negara dan masyarakat⁵. Fase ini menunjukkan adanya upaya reinterpretasi Marxisme–Leninisme agar lebih manusiawi dan sesuai dengan prinsip “sosialisme dengan wajah manusia.”

6.3.       Eurokomunisme dan Marxisme Humanis

Di luar Uni Soviet, kritik terhadap dogmatisme Stalinis juga berkembang dalam bentuk Eurokomunisme, terutama di Italia, Spanyol, dan Prancis pada dekade 1970-an. Para pemikir dan aktivis Eurokomunis seperti Enrico Berlinguer dan Santiago Carrillo menolak subordinasi kepada Moskwa dan menegaskan bahwa sosialisme harus demokratis, pluralistik, dan berpijak pada hak asasi manusia⁶.

Di sisi lain, aliran Marxisme humanis yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Erich Fromm dan György Lukács mencoba menghidupkan kembali aspek humanistik dalam pemikiran Marx, dengan menekankan keterasingan (alienation), etika emansipatoris, dan kebebasan individu sebagai inti sosialisme⁷. Mereka mengkritik interpretasi strukturalis dan deterministik yang berkembang dalam Marxisme–Leninisme ortodoks, serta menyerukan dialog dengan pemikiran filsafat modern.

6.4.       Reformasi Gorbachev dan Krisis Ideologi

Fase terakhir perkembangan Marxisme–Leninisme di Uni Soviet terjadi di bawah Mikhail Gorbachev, yang meluncurkan kebijakan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) pada 1985 sebagai tanggapan atas stagnasi ekonomi dan ketidakpuasan sosial. Gorbachev berupaya mereformasi sistem sosialis dari dalam dengan mengurangi sentralisme, membuka ruang publik untuk kritik, dan meningkatkan efisiensi melalui pasar yang terkendali⁸.

Namun, reformasi ini justru mempercepat krisis legitimasi ideologi Marxisme–Leninisme. Masyarakat mulai mempertanyakan otoritas partai, dan kekuatan-kekuatan nasionalis serta liberal muncul ke permukaan. Pada tahun 1991, Uni Soviet secara resmi bubar, dan Marxisme–Leninisme kehilangan basis negara utamanya⁹. Runtuhnya USSR menjadi titik balik dalam sejarah ideologi ini, yang kemudian terfragmentasi menjadi berbagai bentuk dan interpretasi lokal.


Footnotes

[1]                Leon Trotsky, The Permanent Revolution and Results and Prospects, trans. John G. Wright (New York: Pathfinder Press, 1969), 8–15.

[2]                Isaac Deutscher, The Prophet Outcast: Trotsky 1929–1940 (Oxford: Oxford University Press, 1963), 422–433.

[3]                Stephen F. Cohen, Bukharin and the Bolshevik Revolution: A Political Biography (New York: Oxford University Press, 1980), 343–350.

[4]                Nikita Khrushchev, “On the Cult of Personality and Its Consequences,” speech at the 20th Party Congress, February 25, 1956, in The Khrushchev Report (New York: Praeger, 1956), 3–24.

[5]                Archie Brown, The Rise and Fall of Communism (New York: Ecco, 2009), 212–223.

[6]                Donald Sassoon, One Hundred Years of Socialism: The West European Left in the Twentieth Century (New York: New Press, 1996), 410–423.

[7]                Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Continuum, 1961), 23–42.

[8]                Mikhail Gorbachev, Perestroika: New Thinking for Our Country and the World (New York: Harper & Row, 1987), 15–34.

[9]                Richard Sakwa, The Rise and Fall of the Soviet Union, 1917–1991 (London: Routledge, 1999), 454–469.


7.           Warisan Marxisme–Leninisme dalam Politik Kontemporer

Meski Uni Soviet sebagai pusat utama ideologi Marxisme–Leninisme telah runtuh pada tahun 1991, pengaruh dan warisan ideologi ini tidak serta-merta lenyap dari panggung politik global. Sebaliknya, Marxisme–Leninisme terus mengalami reinterpretasi dan adaptasi dalam berbagai konteks nasional, serta tetap menjadi referensi ideologis penting dalam kritik terhadap kapitalisme, globalisasi, dan ketimpangan sosial. Di abad ke-21, Marxisme–Leninisme bertahan bukan sebagai satu kesatuan doktrin yang seragam, melainkan sebagai spektrum gagasan yang mengalami evolusi politis dan kultural.

7.1.       Kelangsungan Negara Komunis Marxis–Leninis

Beberapa negara secara formal masih mengklaim ideologi Marxisme–Leninisme sebagai dasar negara. Tiongkok, misalnya, tetap dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dalam konstitusinya menyatakan loyalitas pada Marxisme–Leninisme dan pemikiran Mao Zedong¹. Namun, sejak era reformasi ekonomi di bawah Deng Xiaoping, Tiongkok telah mengembangkan model “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok” yang mencampurkan kapitalisme negara dengan kontrol politik satu partai².

Vietnam, Laos, Kuba, dan Korea Utara juga mempertahankan struktur negara Marxis–Leninis. Di Kuba, Partai Komunis tetap menjadi satu-satunya partai politik yang sah, meski menghadapi tantangan besar akibat sanksi ekonomi dan tekanan eksternal. Korea Utara mengembangkan doktrin Juche, yang mengklaim sebagai bentuk penyesuaian kreatif atas Marxisme–Leninisme dalam konteks nasional³.

Namun, dalam semua kasus ini, penerapan ideologi telah dibentuk oleh kebutuhan pragmatis negara, yang sering kali mengaburkan perbedaan antara ortodoksi ideologis dan strategi bertahan kekuasaan. Karena itu, sejumlah ilmuwan politik menilai bahwa Marxisme–Leninisme di negara-negara ini lebih berfungsi sebagai legitimasi ideologis negara otoriter ketimbang sebagai agenda transformasi sosial yang dinamis⁴.

7.2.       Kebangkitan Kiri Baru dan Warisan Kritis

Runtuhnya Uni Soviet tidak mengakhiri ketertarikan terhadap Marxisme sebagai kerangka kritik sosial. Justru pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 muncul fenomena kebangkitan “Kiri Baru” (New Left) yang menafsir ulang warisan Marxisme, termasuk unsur-unsur dari Marxisme–Leninisme, untuk menanggapi isu-isu baru seperti globalisasi, neoliberalisme, dan krisis iklim.

Gerakan ini sering kali menghindari dogmatisme ideologi negara seperti yang dikembangkan Uni Soviet, dan lebih menekankan pada demokratisasi ekonomi, keadilan sosial, serta perlawanan terhadap dominasi korporasi global⁵. Pemikir seperti David Harvey, Slavoj Žižek, dan Antonio Negri memperkenalkan pendekatan baru dalam membaca kapitalisme global dan perjuangan kelas dari perspektif Marxis kontemporer⁶.

Marxisme–Leninisme juga tetap menjadi identitas ideologis penting bagi sejumlah partai politik dan organisasi kiri radikal di Amerika Latin, Asia, dan Eropa. Partai Komunis India (Marxis), Partai Komunis Yunani (KKE), dan Front Rakyat Pembebasan Palestina (PFLP) masih mengutip Marxisme–Leninisme sebagai sumber orientasi ideologis dan strategi politik⁷.

7.3.       Marxisme–Leninisme dan Gerakan Anti-Imperialisme Modern

Salah satu warisan paling bertahan dari Marxisme–Leninisme adalah semangat anti-imperialisme yang terus hidup dalam wacana dan gerakan sosial kontemporer. Kritik terhadap dominasi Amerika Serikat, NATO, dan lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia sering dikaitkan dengan warisan pemikiran Lenin tentang imperialisme sebagai tahap tertinggi kapitalisme⁸.

Gerakan seperti anti-globalisasi, Occupy Wall Street, dan berbagai bentuk protes terhadap kapitalisme finansial telah menghidupkan kembali bahasa perlawanan kelas, bahkan jika tidak secara eksplisit menyatakan diri sebagai Marxis–Leninis. Dalam hal ini, Marxisme–Leninisme memberi warisan kosakata perlawanan dan struktur teoritik yang masih relevan dalam membaca dinamika ketimpangan global saat ini⁹.

7.4.       Kontroversi dan Dekonstruksi Historis

Meskipun tetap menjadi sumber inspirasi bagi beberapa kalangan, Marxisme–Leninisme juga menghadapi kritik tajam atas warisan otoritarianismenya, kegagalan ekonomi negara-negara komunis, serta represi sistematis terhadap hak asasi manusia. Sejumlah akademisi post-Marxis seperti Claude Lefort dan Hannah Arendt mengidentifikasi bahaya melekat dalam doktrin negara satu partai, pemusatan kekuasaan ideologis, dan kultus individu sebagai produk dari deformasi Marxisme dalam praktik Stalinisme¹⁰.

Dalam historiografi kontemporer, banyak upaya dilakukan untuk membedakan Marxisme dari Leninisme, dan Leninisme dari Stalinisme, sebagai bentuk kritik dan klarifikasi. Di satu sisi, ini adalah proses dekonstruksi ideologi; di sisi lain, ini menunjukkan bahwa Marxisme–Leninisme bukan entitas monolitik, melainkan fenomena historis yang terus bergeser, ditantang, dan diadaptasi sesuai kebutuhan zamannya.


Footnotes

[1]                Constitution of the Communist Party of China (2017), Article 1.

[2]                Barry Naughton, The Chinese Economy: Transitions and Growth (Cambridge: MIT Press, 2007), 85–89.

[3]                Charles K. Armstrong, The North Korean Revolution, 1945–1950 (Ithaca: Cornell University Press, 2003), 41–56.

[4]                Stephen White, Communism and Its Collapse (London: Routledge, 2001), 113–117.

[5]                Michael Hardt and Antonio Negri, Empire (Cambridge: Harvard University Press, 2000), xv–xviii.

[6]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 159–169; Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010), 10–35.

[7]                John Callaghan, Cold War, Crisis and Conflict: The Communist Party of Great Britain 1951–68 (Manchester: Manchester University Press, 2003), 192–198.

[8]                V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 89–104.

[9]                Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (New York: Picador, 2007), 11–27.

[10]             Claude Lefort, The Political Forms of Modern Society (Cambridge: MIT Press, 1986), 279–286; Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, 1951), 306–325.


8.           Penutup

Sebagai doktrin ideologis dan strategi revolusioner, Marxisme–Leninisme telah memainkan peran sentral dalam membentuk dinamika politik abad ke-20. Ia muncul sebagai hasil sintesis antara materialisme historis Marx dengan teori dan praksis revolusioner Lenin, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk negara-partai sosialis, kebijakan ekonomi terencana, dan gerakan internasional melalui Komintern. Dalam bentuk inilah Marxisme–Leninisme menjadi lebih dari sekadar teori sosial—ia menjadi ideologi negara yang lengkap, menyatu dengan struktur politik, budaya, dan ekonomi, serta dijadikan dasar bagi upaya transformatif skala global.

Pengalaman Uni Soviet memberikan gambaran konkret mengenai kekuatan sekaligus keterbatasan dari proyek Marxisme–Leninisme. Di satu sisi, ia memungkinkan industrialisasi cepat, mobilisasi kolektif, dan upaya menyeluruh membangun masyarakat tanpa kelas. Namun, di sisi lain, pelaksanaannya mengarah pada otoritarianisme, represi politik, dan penyimpangan dari prinsip demokrasi proletariat yang semestinya diusung⁽¹⁾. Masa pemerintahan Stalin menjadi titik ekstrem dari distorsi ideologis tersebut, sehingga memunculkan berbagai kritik internal dan upaya reformasi seperti yang dilakukan Khrushchev dan Gorbachev⁽²⁾.

Secara global, penyebaran Marxisme–Leninisme melalui Komintern dan dukungannya terhadap gerakan anti-kolonial telah menanamkan pengaruh ideologis yang luas di Dunia Ketiga. Namun, hubungan antara ideologi dan konteks lokal tidak selalu harmonis. Ketika diterapkan di luar Eropa, Marxisme–Leninisme harus mengalami adaptasi terhadap kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan varian lokal seperti Maoisme, Juche, atau sosialisme dengan karakteristik nasional lainnya⁽³⁾.

Pasca-runtuhnya Uni Soviet, Marxisme–Leninisme tidak lagi menjadi kekuatan dominan dalam sistem internasional. Namun demikian, warisannya tetap hidup dalam dua bentuk utama: pertama, sebagai ideologi resmi sejumlah negara yang masih mempertahankan struktur politik komunis; kedua, sebagai kerangka teoretis kritis dalam kajian sosial-politik kontemporer, terutama dalam menanggapi tantangan kapitalisme global, ketimpangan sosial, dan krisis ekologis⁽⁴⁾.

Dalam wacana akademik dan gerakan sosial masa kini, Marxisme–Leninisme kerap dikaji ulang bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai sumber ide, simbol perlawanan, dan pelajaran atas konsekuensi radikalisasi ideologi. Banyak pemikir menekankan perlunya dekonstruksi kritis terhadap bentuk-bentuk otoriter yang berkembang di bawah nama sosialisme, seraya tetap mempertahankan semangat emansipatoris dan anti-eksploitasi yang menjadi inti dari tradisi Marxis⁽⁵⁾.

Dengan demikian, Marxisme–Leninisme tetap relevan sebagai objek refleksi historis dan intelektual, terutama dalam memahami bagaimana ideologi dapat mengubah realitas sosial sekaligus menciptakan kontradiksi internal yang menggugah perubahan lebih lanjut. Evaluasi terhadap warisan ini menuntut pendekatan yang tidak simplistis—tidak glorifikasi dogmatis, tetapi juga tidak penolakan mentah—melainkan penilaian dialektis terhadap relasi antara ide, struktur, dan praksis dalam lintasan sejarah dunia modern.


Footnotes

[1]                Robert C. Tucker, Stalin as Revolutionary, 1879–1929: A Study in History and Personality (New York: Norton, 1973), 390–398.

[2]                Archie Brown, The Rise and Fall of Communism (New York: Ecco, 2009), 211–240.

[3]                Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan Press, 1996), 202–215.

[4]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–6.

[5]                Perry Anderson, Considerations on Western Marxism (London: Verso, 1976), 18–31.


Daftar Pustaka

Applebaum, A. (2003). Gulag: A history. New York, NY: Doubleday.

Applebaum, A. (2017). Red famine: Stalin’s war on Ukraine. New York, NY: Doubleday.

Armstrong, C. K. (2003). The North Korean revolution, 1945–1950. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. New York, NY: Harcourt.

Brown, A. (2009). The rise and fall of communism. New York, NY: Ecco.

Carr, E. H. (1953). The Bolshevik revolution, 1917–1923 (Vol. 3). London, UK: Macmillan.

Cohen, S. F. (1980). Bukharin and the Bolshevik revolution: A political biography. New York, NY: Oxford University Press.

Callaghan, J. (2003). Cold war, crisis and conflict: The Communist Party of Great Britain 1951–68. Manchester, UK: Manchester University Press.

Constitution of the Communist Party of China. (2017). Constitution of the Communist Party of China. Beijing, China: Communist Party of China Publishing House.

Deutscher, I. (1963). The prophet outcast: Trotsky 1929–1940. Oxford, UK: Oxford University Press.

Figes, O. (1997). A people’s tragedy: The Russian Revolution 1891–1924. London, UK: Penguin Books.

Fromm, E. (1961). Marx’s concept of man. New York, NY: Continuum.

Gorbachev, M. (1987). Perestroika: New thinking for our country and the world. New York, NY: Harper & Row.

Hardt, M., & Negri, A. (2000). Empire. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford, UK: Oxford University Press.

Khrushchev, N. (1956). On the cult of personality and its consequences [Speech]. In The Khrushchev report. New York, NY: Praeger.

Kotkin, S. (1995). Magnetic mountain: Stalinism as a civilization. Berkeley, CA: University of California Press.

Lefort, C. (1986). The political forms of modern society. Cambridge, MA: MIT Press.

Lenin, V. I. (1932). The state and revolution. New York, NY: International Publishers.

Lenin, V. I. (1939). Imperialism, the highest stage of capitalism. New York, NY: International Publishers.

Lenin, V. I. (1943). What is to be done? New York, NY: International Publishers.

Lenin, V. I. (1970). Theses on bourgeois democracy and the dictatorship of the proletariat. In Lenin’s selected works (Vol. 3). Moscow, Russia: Progress Publishers.

Marx, K., & Engels, F. (2002). The Communist manifesto (S. Moore, Trans.). London, UK: Penguin Classics.

(Original work published 1848)

Marx, K. (1977). A contribution to the critique of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Moscow, Russia: Progress Publishers.

McDermott, K., & Agnew, J. (1996). The Comintern: A history of international communism from Lenin to Stalin. London, UK: Macmillan Press.

McLellan, D. (2006). Marxism after Marx. London, UK: Palgrave Macmillan.

McVey, R. (1965). The rise of Indonesian communism. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Naughton, B. (2007). The Chinese economy: Transitions and growth. Cambridge, MA: MIT Press.

Nove, A. (1992). An economic history of the USSR, 1917–1991. London, UK: Penguin Books.

Riddell, J. (1991). Workers of the world and oppressed peoples, unite! Proceedings and documents of the Second Congress, 1920 (Vol. 1). New York, NY: Pathfinder.

Sakwa, R. (1999). The rise and fall of the Soviet Union, 1917–1991. London, UK: Routledge.

Sassoon, D. (1996). One hundred years of socialism: The West European left in the twentieth century. New York, NY: New Press.

Service, R. (2009). A history of modern Russia: From Nicholas II to Vladimir Putin. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tucker, R. C. (1971). The Soviet political mind: Stalinism and post-Stalin change. New York, NY: Norton.

Tucker, R. C. (1973). Stalin as revolutionary, 1879–1929: A study in history and personality. New York, NY: Norton.

Trotsky, L. (1969). The permanent revolution and results and prospects (J. G. Wright, Trans.). New York, NY: Pathfinder Press.

White, S. (2001). Communism and its collapse. London, UK: Routledge.

Žižek, S. (2010). Living in the end times. London, UK: Verso.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar