Jumat, 08 November 2024

Filsafat Politik: Fondasi Teoritis dan Dinamika Pemikiran Kekuasaan dan Keadilan

Filsafat Politik

Fondasi Teoritis dan Dinamika Pemikiran Kekuasaan dan Keadilan


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai filsafat politik sebagai salah satu cabang utama filsafat yang mengkaji secara normatif dan kritis berbagai persoalan terkait kekuasaan, keadilan, kebebasan, negara, dan kehidupan bersama manusia. Melalui pendekatan historis dan tematik, artikel ini menelusuri perkembangan pemikiran politik dari masa klasik hingga kontemporer, termasuk kontribusi pemikir-pemikir besar seperti Plato, Aristoteles, Hobbes, Locke, Rousseau, Rawls, hingga tokoh-tokoh filsafat politik Islam seperti Al-Farabi, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun. Disoroti pula tema-tema sentral dalam filsafat politik seperti legitimasi kekuasaan, konsep keadilan, hak dan kebebasan individu, kedaulatan negara, serta demokrasi. Di era modern, filsafat politik dihadapkan pada tantangan serius seperti krisis demokrasi, ketimpangan global, kekuasaan digital, dan krisis ekologis. Artikel ini menegaskan pentingnya filsafat politik sebagai alat reflektif dan normatif untuk memahami dan membentuk struktur sosial-politik yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Filsafat politik; kekuasaan; keadilan; negara; demokrasi; pemikiran Islam; keadilan sosial; kebebasan; kedaulatan; globalisasi.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Politik Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat politik merupakan salah satu cabang filsafat yang paling tua dan paling fundamental dalam sejarah pemikiran manusia. Ia membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kekuasaan, keadilan, kebebasan, hak, negara, serta hubungan antara individu dan masyarakat. Sejak zaman Yunani Kuno hingga era kontemporer, filsafat politik telah menjadi medan dialektika antara ide dan realitas, antara utopia dan praktik sosial-politik. Pertanyaan-pertanyaan seperti siapa yang layak memerintah, apa bentuk pemerintahan terbaik, dan bagaimana keadilan dapat ditegakkan dalam kehidupan bersama, terus menjadi pusat perhatian para filsuf dan pemikir politik sepanjang zaman.

Secara etimologis, istilah "filsafat politik" berasal dari dua kata: filsafat (dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti cinta kebijaksanaan) dan politik (dari kata polis, yang berarti negara-kota atau komunitas politik). Dengan demikian, filsafat politik dapat dipahami sebagai refleksi rasional dan kritis terhadap fenomena politik, dengan tujuan mencapai pengertian mendalam tentang tatanan sosial yang ideal dan adil. Plato (427–347 SM), sebagai peletak dasar filsafat politik di dunia Barat, menyatakan bahwa kehidupan politik yang baik hanya dapat terwujud jika dipandu oleh pengetahuan tentang kebaikan itu sendiri, yang dalam karyanya The Republic, dituangkan melalui konsep "negara ideal" yang dipimpin oleh para filsuf.1

Dalam sejarahnya, filsafat politik tidak hanya membahas struktur dan fungsi pemerintahan, tetapi juga nilai-nilai yang mendasari kehidupan kolektif manusia. Ia mencakup isu-isu fundamental seperti keadilan sosial, distribusi kekuasaan, hak individu, legitimasi kekuasaan, dan kontrak sosial. John Rawls, salah satu filsuf politik paling berpengaruh di abad ke-20, menyatakan bahwa teori keadilan harus menjadi landasan moral bagi institusi-institusi politik. Dalam bukunya A Theory of Justice (1971), Rawls mengembangkan prinsip keadilan sebagai "fairness" melalui konsep posisi semula (original position) dan tirai ketidaktahuan (veil of ignorance) sebagai cara untuk merumuskan prinsip keadilan yang adil bagi semua pihak.2

Kehadiran filsafat politik menjadi sangat penting dalam dunia modern yang diwarnai oleh kompleksitas relasi kekuasaan, konflik ideologis, serta tantangan global seperti krisis lingkungan dan ketimpangan sosial. Di tengah arus pragmatisme politik yang kerap mengabaikan dimensi moral dan filosofis, filsafat politik hadir untuk mempertanyakan asumsi dasar dari praktik kekuasaan dan menawarkan kerangka berpikir normatif yang mendalam. Sebagaimana ditegaskan oleh Leo Strauss, filsafat politik bertugas untuk menelusuri prinsip-prinsip politik tertinggi yang bersifat tetap dan universal, bukan sekadar mengikuti relativisme nilai atau ideologi dominan suatu zaman.3

Melalui artikel ini, akan dibahas secara mendalam dan sistematis mengenai dasar-dasar teoritis filsafat politik, perkembangan pemikirannya sepanjang sejarah, serta relevansinya dalam konteks sosial-politik kontemporer. Harapannya, pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang utuh tentang bagaimana gagasan-gagasan politik besar dibangun, diuji, dan diterapkan dalam dinamika kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473d–480a.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–22.

[3]                Leo Strauss, What is Political Philosophy? (Chicago: University of Chicago Press, 1959), 9–10.


2.           Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Politik

Filsafat politik adalah cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan normatif dan teoritis mengenai politik, pemerintahan, kekuasaan, kebebasan, keadilan, hak, dan kewajiban dalam kehidupan bersama. Ia tidak hanya berupaya menjelaskan bagaimana politik berjalan, tetapi juga mempertanyakan bagaimana politik seharusnya dijalankan. Dengan demikian, filsafat politik berbeda dari ilmu politik yang bersifat deskriptif dan empirik; filsafat politik bersifat normatif, reflektif, dan konseptual.1

Menurut Will Kymlicka, filsafat politik bertujuan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menilai dan membimbing institusi-institusi sosial dan politik. Ia berangkat dari asumsi bahwa kehidupan politik tidak netral secara moral dan bahwa tindakan politik harus dipertanggungjawabkan secara etis.2 Dengan kata lain, filsafat politik adalah disiplin yang mencari jawaban atas pertanyaan: apa itu tatanan politik yang adil dan sah?

2.1.       Perbedaan antara Filsafat Politik dan Ilmu Politik

Filsafat politik dan ilmu politik seringkali disamakan, padahal keduanya memiliki orientasi dan pendekatan yang berbeda. Ilmu politik lebih menekankan pada aspek empiris dan kuantitatif, misalnya dalam mengamati perilaku pemilih, struktur pemerintahan, atau dinamika partai politik. Sedangkan filsafat politik berfokus pada nilai-nilai dasar seperti keadilan, kebebasan, dan legitimasi kekuasaan, serta mencoba menyusun argumen normatif tentang bagaimana lembaga-lembaga politik seharusnya dibentuk dan dijalankan.3

David Miller menjelaskan bahwa filsafat politik "bukan hanya tentang apa yang terjadi dalam politik, tetapi tentang prinsip-prinsip yang mendasari apa yang seharusnya terjadi."_4 Maka, filsafat politik tidak sekadar mempelajari realitas politik, tetapi juga menilai dan mengkritisinya melalui lensa moral dan rasional.

2.2.       Ruang Lingkup Kajian Filsafat Politik

Ruang lingkup filsafat politik mencakup berbagai tema besar yang saling berkaitan:

1)                  Kekuasaan dan Legitimasi:

Bagaimana kekuasaan diperoleh dan dibenarkan? Siapa yang berhak memerintah? Ini menyangkut pertanyaan tentang otoritas politik dan dasar legitimasi pemerintahan.

2)                  Keadilan dan Distribusi:

Bagaimana sumber daya, hak, dan tanggung jawab harus dibagi dalam masyarakat? Konsep keadilan distributif dan retributif menjadi pusat pembahasan.

3)                  Kebebasan dan Hak Individu:

Apa batas antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif? Apa saja hak dasar yang tidak boleh diganggu oleh negara?

4)                  Negara dan Tujuannya:

Apa tujuan negara? Apakah negara hanya alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban, ataukah juga sarana untuk mewujudkan kebaikan kolektif?

5)                  Demokrasi dan Partisipasi:

Apakah demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik? Bagaimana warga negara seharusnya berpartisipasi dalam kehidupan politik?

6)                  Hukum dan Kewajiban Moral:

Apa hubungan antara hukum positif dan hukum moral? Apakah warga negara selalu wajib menaati hukum?

Tema-tema tersebut telah menjadi pokok pembahasan para filsuf dari masa ke masa, mulai dari Plato dan Aristoteles hingga Rawls, Nozick, dan Habermas. Bahkan dalam tradisi Islam, filsafat politik memiliki ruang tersendiri dengan pembahasan tentang siyasah, kekhalifahan, dan keadilan Ilahiyah sebagaimana dibahas oleh Al-Farabi, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun.5

Filsafat politik, pada akhirnya, membantu manusia menyusun orientasi moral dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ia membekali kita dengan kerangka konseptual untuk memahami, menilai, dan membentuk dunia politik secara lebih rasional dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook of Political Theory (London: SAGE Publications, 2004), 3.

[2]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 5.

[3]                Terence Ball, Richard Dagger, dan Daniel O’Neill, Political Ideologies and the Democratic Ideal, 10th ed. (London: Routledge, 2017), 10–11.

[4]                David Miller, Political Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 4.

[5]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 28–31.


3.           Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Politik

Perjalanan filsafat politik mencerminkan pergulatan intelektual umat manusia dalam memahami dan menata kehidupan bersama. Sejak masa Yunani Kuno hingga zaman kontemporer, para filsuf politik telah menawarkan berbagai teori, konsep, dan kerangka normatif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kekuasaan, keadilan, dan negara. Sejarah filsafat politik dapat dibagi ke dalam beberapa periode utama yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

3.1.       Zaman Klasik: Fondasi Pemikiran Politik

Filsafat politik klasik berakar pada pemikiran para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles, yang membahas politik sebagai bagian dari pencarian terhadap kebaikan hidup.

Plato dalam The Republic memperkenalkan gagasan tentang negara ideal yang dipimpin oleh para filsuf-penjaga. Menurutnya, keadilan hanya dapat dicapai apabila setiap individu menjalankan fungsi sesuai dengan kodratnya dalam struktur sosial yang hierarkis dan teratur. Ia menolak demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang rapuh dan penuh ketidakteraturan.1

Aristoteles, murid Plato, menawarkan pendekatan yang lebih empiris dan realistis dalam karyanya Politics. Ia menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk politik) yang secara kodrati hidup dalam komunitas. Aristoteles mengklasifikasikan bentuk-bentuk pemerintahan—monarki, aristokrasi, dan politeia—serta bentuk-bentuk menyimpangnya seperti tirani, oligarki, dan demokrasi massa.2

3.2.       Zaman Pertengahan: Integrasi Politik dan Teologi

Pada era ini, pemikiran politik sangat dipengaruhi oleh agama, baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Di Eropa, Agustinus dalam The City of God memisahkan antara "kota dunia" (civitas terrena) dan "kota Tuhan" (civitas Dei), menekankan bahwa kekuasaan duniawi bersifat sementara dan tunduk pada kekuasaan ilahi.3

Dalam tradisi Islam, para pemikir seperti Al-Farabi dan Al-Mawardi memadukan antara filsafat dan syariat dalam membangun konsep politik Islam. Al-Farabi dalam Ara Ahl al-Madina al-Fadila (Penduduk Kota Utama) memandang pemimpin ideal sebagai al-insān al-kāmil (manusia paripurna) yang menuntun masyarakat menuju kebahagiaan hakiki.4 Sementara itu, Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menjelaskan tugas-tugas khalifah sebagai pelaksana syariat dan penjaga kemaslahatan umat.5

3.3.       Zaman Modern: Rasionalisasi dan Kontrak Sosial

Abad ke-17 dan ke-18 menandai lahirnya gagasan kontrak sosial, yang memberikan dasar rasional bagi legitimasi kekuasaan. Thomas Hobbes, melalui Leviathan, menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alami (state of nature) sebagai "perang semua melawan semua". Menurut Hobbes, negara yang kuat mutlak diperlukan untuk menghindari kekacauan dan menjamin keamanan.6

John Locke menolak pandangan Hobbes yang pesimis. Dalam Two Treatises of Government, ia menyatakan bahwa negara dibentuk untuk melindungi hak-hak alami manusia: kehidupan, kebebasan, dan milik. Apabila pemerintah melanggar hak-hak tersebut, rakyat memiliki hak untuk memberontak.7

Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menekankan pentingnya kehendak umum (general will) sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Ia percaya bahwa kebebasan sejati hanya dapat dicapai melalui kepatuhan kepada hukum yang dibuat sendiri oleh rakyat sebagai kolektif.8

3.4.       Zaman Kontemporer: Kritik, Keadilan, dan Emansipasi

Memasuki abad ke-19 dan 20, filsafat politik berkembang dalam arah yang lebih kompleks dan kritis. Karl Marx menyoroti ketimpangan ekonomi sebagai sumber penindasan politik. Ia menafsirkan sejarah sebagai perjuangan kelas dan menyerukan penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi demi terciptanya masyarakat tanpa kelas.9

Sebaliknya, John Rawls dalam A Theory of Justice (1971) membangun pendekatan liberal yang menekankan keadilan sebagai fairness. Ia memperkenalkan dua prinsip keadilan, salah satunya menegaskan bahwa ketimpangan sosial hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan pihak yang paling lemah.10

Sementara itu, Robert Nozick dalam Anarchy, State, and Utopia mengkritik Rawls dengan pendekatan libertarian, menekankan pentingnya hak milik individu dan menolak intervensi negara dalam distribusi kekayaan.11

Pemikiran kontemporer juga mencakup arus feminis (misalnya Iris Marion Young), teori kritis (Habermas), serta pemikiran postmodern (Foucault) yang mempertanyakan narasi besar kekuasaan dan otoritas.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473d–480a.

[2]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), Book I–III.

[3]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics, 2003), Book XIX.

[4]                Al-Farabi, Ara Ahl al-Madina al-Fadila, trans. Richard Walzer as The Ideal State (Oxford: Clarendon Press, 1985), 229–245.

[5]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba (Reading: Garnet Publishing, 1996), 1–20.

[6]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), ch. XIII–XVII.

[7]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Second Treatise, §§ 1–19.

[8]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I–II.

[9]                Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2008), 14–21.

[10]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 52–65.

[11]             Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 149–182.


4.           Tema-tema Sentral dalam Filsafat Politik

Filsafat politik membahas beragam isu mendasar yang menjadi fondasi kehidupan kolektif manusia dalam masyarakat dan negara. Tema-tema ini tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga sangat relevan dalam praktik politik sehari-hari. Di antara tema-tema sentral yang paling menonjol dalam wacana filsafat politik adalah kekuasaan dan legitimasi, keadilan, kebebasan dan hak, negara dan kedaulatan, serta demokrasi dan partisipasi politik. Masing-masing tema ini membentuk jantung dari perdebatan filosofis yang panjang dan kaya, dari masa klasik hingga kontemporer.

4.1.       Kekuasaan dan Legitimasi

Kekuasaan adalah inti dari politik, tetapi filsafat politik menyoroti bahwa kekuasaan tidak boleh dipisahkan dari legitimasi. Kekuasaan yang sah bukan sekadar kemampuan untuk memerintah, melainkan kekuasaan yang diterima secara moral dan rasional oleh mereka yang diperintah.

Max Weber membedakan tiga bentuk legitimasi kekuasaan: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Dalam masyarakat modern, legalitas dan keabsahan hukum menjadi dasar utama legitimasi kekuasaan.1 Namun, filsuf seperti Rousseau mengingatkan bahwa ketaatan sejati hanya dapat muncul jika hukum mencerminkan kehendak umum (general will).2

Foucault, sebaliknya, mengkritik asumsi tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang hanya dimiliki oleh negara atau elite. Baginya, kekuasaan tersebar dalam jaringan relasi sosial dan pengetahuan, sehingga harus dianalisis melalui praktik diskursif dan institusional yang menyusunnya.3


4.2.       Keadilan

Keadilan merupakan tema paling klasik sekaligus paling kompleks dalam filsafat politik. Bagi Plato, keadilan adalah keteraturan yang harmonis dalam jiwa individu dan negara, di mana setiap elemen menjalankan fungsinya dengan tepat.4 Sedangkan Aristoteles membedakan antara keadilan distributif (pembagian menurut kelayakan) dan keadilan retributif (pemberian balasan atas perbuatan).5

Di era modern, John Rawls memperkenalkan konsep “keadilan sebagai fairness,” yaitu keadilan yang dapat diterima oleh semua orang dalam posisi asli (original position) di balik “tirai ketidaktahuan” (veil of ignorance).6 Rawls menekankan dua prinsip utama: kesetaraan hak dasar dan ketimpangan yang hanya dibenarkan jika menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung.

Sebaliknya, Robert Nozick menolak pendekatan distributif Rawls dan mengusulkan teori keadilan berbasis hak milik (entitlement theory), yang menekankan pada legitimasi proses perolehan dan transfer kekayaan, bukan pada hasil akhirnya.7

4.3.       Kebebasan dan Hak Individu

Konsep kebebasan telah menjadi pusat perdebatan filosofis sejak awal. Isaiah Berlin membedakan antara kebebasan negatif (bebas dari campur tangan) dan kebebasan positif (kemampuan untuk mengatur diri sendiri).8 Perdebatan ini menjadi dasar bagi dua tradisi besar: liberalisme klasik yang menekankan perlindungan terhadap kebebasan individu dari negara, dan liberalisme modern atau sosial yang melihat peran negara dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan kebebasan sejati.

Hak asasi manusia (HAM) menjadi instrumen normatif penting dalam filsafat politik kontemporer, didasarkan pada gagasan bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat sejak lahir. Namun, debat terus berlanjut tentang cakupan, dasar, dan batas dari hak-hak tersebut, terutama dalam konteks multikulturalisme, keamanan nasional, dan tanggung jawab global.

4.4.       Negara dan Kedaulatan

Negara dalam filsafat politik bukan hanya entitas hukum atau institusional, tetapi juga representasi dari kehendak kolektif dan instrumen untuk mencapai kebaikan bersama. Thomas Hobbes melihat negara sebagai "Leviathan"—otoritas mutlak yang dibutuhkan untuk menghindari kekacauan.9 Locke melihat negara sebagai hasil perjanjian sosial untuk melindungi hak-hak alami manusia.10

Kedaulatan, sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah, telah menjadi konsep krusial sejak Jean Bodin. Namun, dalam era globalisasi dan integrasi supranasional, kedaulatan semakin mengalami tantangan baik dari dalam (hak asasi, gerakan separatis) maupun luar (organisasi internasional, korporasi transnasional).11

4.5.       Demokrasi dan Partisipasi Politik

Demokrasi dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling legitimatif karena memberikan ruang bagi partisipasi rakyat. Namun, para filsuf politik tetap mempertanyakan batasan dan bentuk demokrasi.

Joseph Schumpeter memandang demokrasi sebagai metode kompetisi elite melalui pemilu, sementara Jurgen Habermas menekankan pentingnya diskursus publik yang rasional dan inklusif sebagai fondasi demokrasi deliberatif.12 Kritik terhadap demokrasi juga datang dari kalangan anarkis, populis, dan postmodern yang menyoroti eksklusi struktural, manipulasi media, dan oligarki tersembunyi dalam sistem demokrasi formal.


Footnotes

[1]                Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–216.

[2]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I, ch. 6–8.

[3]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 92–108.

[4]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV, 427e–434c.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–22.

[7]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–164.

[8]                Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty, in Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.

[9]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), ch. XVII–XVIII.

[10]             John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Second Treatise, §§ 4–15.

[11]             Jean Bodin, Six Books of the Commonwealth, trans. M. J. Tooley (Oxford: Blackwell, 1955), Book I.

[12]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 287–328.


5.           Filsafat Politik dalam Tradisi Islam

Filsafat politik dalam tradisi Islam tumbuh dalam lanskap pemikiran yang khas, di mana dimensi wahyu, akal, dan realitas sosial-politik menyatu dalam membangun kerangka pemikiran tentang kekuasaan, keadilan, dan pemerintahan. Tidak seperti filsafat politik Barat yang bersifat sekuler dan rasionalistik, pemikiran politik Islam memadukan unsur teologis, etis, dan rasional dalam satu kesatuan sistematis. Para pemikir Muslim klasik mengembangkan teori politik yang tidak hanya berangkat dari pengalaman historis (khilafah dan kerajaan), tetapi juga dari prinsip-prinsip normatif yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

5.1.       Konsep Siyasah dan Tujuan Politik dalam Islam

Dalam Islam, istilah "siyasah" merujuk pada pengelolaan urusan publik menurut prinsip-prinsip syariat. Tujuan utama siyasah dalam perspektif Islam bukan sekadar menjaga ketertiban, melainkan mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) dan menegakkan keadilan (‘adl), sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 90, yang menekankan pentingnya keadilan, kebajikan, dan tanggung jawab sosial.1

Siyasah tidak terpisah dari akhlak dan agama. Oleh karena itu, pemimpin dalam tradisi politik Islam dituntut untuk memiliki legitimasi moral dan spiritual, selain kompetensi administratif dan kekuatan politik. Konsep ini tercermin dalam paradigma imamah (kepemimpinan) atau khilafah, yang tidak hanya dilihat sebagai institusi politik, tetapi juga sebagai amanah ilahiyah.

5.2.       Al-Farabi dan Negara Utama (al-Madina al-Fadila)

Abu Nasr Al-Farabi (w. 950 M), dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles, merupakan filsuf Muslim pertama yang secara sistematis mengembangkan teori politik filosofis dalam Islam. Dalam karyanya Ara Ahl al-Madina al-Fadila (Opini Penduduk Kota Utama), Al-Farabi menyusun konsepsi negara ideal berdasarkan kebahagiaan tertinggi (al-sa‘adah al-quswa) sebagai tujuan akhir kehidupan manusia.2

Negara utama (madinah fadilah) menurut Al-Farabi dipimpin oleh seorang "imam-filosof" yang menggabungkan kebijaksanaan teoritis dan keutamaan moral. Pemimpin ini setara dengan nabi dalam kapasitasnya membimbing masyarakat menuju kebaikan paripurna. Negara yang tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai madinah jahilah (kota bodoh), madinah fasiqah (kota pendosa), atau madinah dhalalah (kota sesat).3

5.3.       Al-Mawardi dan Teori Kekhilafahan

Al-Mawardi (w. 1058 M), seorang ulama fikih dan politikus dalam kekhalifahan Abbasiyah, menulis karya monumental Al-Ahkam al-Sultaniyyah, yang mengulas secara mendalam tugas dan kewenangan imam atau khalifah. Menurut Al-Mawardi, kekuasaan politik adalah kelanjutan dari kenabian dalam urusan duniawi. Oleh karena itu, syarat seorang imam meliputi keadilan, ilmu agama, kemampuan administratif, dan keturunan Quraisy.4

Bagi Al-Mawardi, tujuan utama khilafah adalah menegakkan agama dan mengatur dunia dengan hukum-hukum Islam. Ia menekankan pentingnya stabilitas politik melalui bai‘at (sumpah setia rakyat), pembagian tugas kekuasaan (termasuk wazir dan hakim), serta prinsip syura (musyawarah) sebagai unsur legitimasi kekuasaan.5

5.4.       Ibnu Khaldun dan Realisme Politik

Ibnu Khaldun (w. 1406 M) menghadirkan pendekatan yang sangat orisinal dalam Muqaddimah, karya pengantar bagi sejarah dunia. Ia dianggap sebagai peletak dasar sosiologi politik dan teori negara dalam Islam. Ibnu Khaldun menekankan pentingnya ‘ashabiyyah (solidaritas sosial) sebagai faktor utama bangkit dan runtuhnya kekuasaan politik.6

Menurutnya, kekuasaan politik berkembang dari bentuk sederhana (suku) menjadi dinasti dan kemudian imperium, namun selalu berujung pada kemunduran akibat kemewahan dan hilangnya semangat kolektif. Negara, menurut Ibnu Khaldun, adalah hasil kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, bukan institusi moral murni, meski tetap dibimbing oleh nilai-nilai syariat.7

5.5.       Perbedaan dengan Pemikiran Politik Barat

Pemikiran politik Islam memiliki pendekatan yang teosentris: Tuhan adalah sumber nilai, hukum, dan otoritas. Berbeda dengan tradisi Barat yang cenderung berkembang ke arah antroposentrisme dan sekularisasi, tradisi politik Islam tetap mempertahankan keterpautan erat antara agama dan kekuasaan. Hal ini menimbulkan perbedaan fundamental, misalnya dalam konsep kedaulatan—dalam Islam, kedaulatan milik Allah; dalam sistem modern, kedaulatan biasanya ada pada rakyat atau negara.

Meski demikian, banyak prinsip dalam filsafat politik Islam, seperti keadilan, musyawarah, dan pertanggungjawaban kekuasaan, bersinggungan dengan gagasan universal dan memiliki relevansi lintas zaman.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah An-Nahl [16]: 90.

[2]                Al-Farabi, Ara Ahl al-Madina al-Fadila, trans. Richard Walzer as The Ideal State (Oxford: Clarendon Press, 1985), 35–40.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 159–165.

[4]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba (Reading: Garnet Publishing, 1996), 1–18.

[5]                Antony Black, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, 2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2011), 103–106.

[6]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), Vol. 1, 91–120.

[7]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre, 1981), 72–76.


6.           Tantangan dan Relevansi Filsafat Politik di Era Modern

Di tengah dinamika global abad ke-21 yang ditandai oleh kompleksitas sosial, krisis ekologi, kemajuan teknologi, dan transformasi geopolitik, filsafat politik tetap memiliki peran yang sangat penting. Meski sering dianggap sebagai disiplin teoretis yang jauh dari praktik, filsafat politik justru menjadi lensa kritis untuk memahami dan menilai kondisi kontemporer serta menawarkan arah normatif bagi perumusan kebijakan dan tindakan politik. Namun demikian, ia juga menghadapi sejumlah tantangan serius yang memerlukan respons intelektual dan etis yang mendalam.

6.1.       Krisis Legitimasi dan Disfungsi Demokrasi

Salah satu tantangan utama dalam politik kontemporer adalah krisis legitimasi, terutama dalam sistem demokrasi liberal. Fenomena seperti apatisme pemilih, korupsi, populisme, dan oligarki tersembunyi menunjukkan bahwa demokrasi formal tidak selalu menjamin keadilan substantif. Jacques Rancière bahkan mengkritik demokrasi modern sebagai “pemerintahan oleh yang tidak berhak memerintah” karena hanya menjadi alat kepentingan elite dengan legitimasi palsu melalui prosedur pemilu semata.1

Filsafat politik dibutuhkan untuk merevitalisasi diskursus tentang demokrasi, bukan hanya sebagai mekanisme pemilihan, tetapi sebagai bentuk kehidupan bersama yang etis dan deliberatif. Hal ini antara lain dikembangkan oleh Jürgen Habermas melalui teori demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya ruang publik rasional untuk membangun konsensus politik yang sah.2

6.2.       Globalisasi dan Erosi Kedaulatan

Proses globalisasi telah menantang konsep klasik tentang kedaulatan nasional. Negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dominan dalam arena politik global. Organisasi supranasional (seperti WTO, PBB, dan Uni Eropa), korporasi multinasional, dan jaringan digital transnasional telah mereduksi kontrol negara atas wilayah, ekonomi, dan bahkan identitas budaya.

Filsafat politik kini dituntut untuk berpikir melampaui batas negara-bangsa dan mengembangkan kerangka baru seperti kosmopolitanisme politik yang digagas oleh David Held dan Thomas Pogge, yang menekankan pentingnya keadilan global dan tanggung jawab lintas batas terhadap kemiskinan dan pelanggaran HAM.3

6.3.       Ketimpangan Ekonomi dan Keadilan Sosial

Ketimpangan ekonomi yang semakin ekstrem menjadi tantangan serius bagi legitimasi politik dan stabilitas sosial. Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century menunjukkan bahwa akumulasi kekayaan secara turun-temurun mengancam prinsip meritokrasi dan kesetaraan peluang, yang menjadi dasar moral sistem liberal modern.4

Dalam konteks ini, filsafat politik berperan penting untuk mengkritisi sistem ekonomi-politik yang tidak adil dan merumuskan konsep keadilan distributif yang kontekstual. Pemikiran Rawls tentang redistribusi, serta pendekatan Amartya Sen melalui teori kapabilitas, menawarkan alternatif penting dalam memahami keadilan di luar angka statistik pendapatan.5

6.4.       Teknologi, Privasi, dan Kekuasaan Baru

Perkembangan teknologi digital, kecerdasan buatan, dan pengawasan massa telah memunculkan bentuk kekuasaan baru yang tak kasatmata. Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai kapitalisme pengawasan, di mana data pribadi menjadi komoditas ekonomi dan alat kendali sosial.6

Pertanyaan etis dan politik mengenai privasi, otoritas algoritmik, dan manipulasi digital semakin mendesak. Filsafat politik perlu membingkai kembali konsep kebebasan dan kedaulatan dalam konteks realitas virtual yang semakin dominan.

6.5.       Krisis Ekologis dan Keadilan Intergenerasional

Perubahan iklim dan degradasi lingkungan bukan hanya masalah ilmiah, tetapi juga masalah etika dan politik. Keputusan-keputusan politik hari ini berdampak pada generasi mendatang, memunculkan isu tentang keadilan intergenerasional.

Filsuf seperti Robyn Eckersley dan Andrew Dobson mendorong lahirnya ekofilsafat politik, yang mengintegrasikan prinsip keadilan ekologis dalam perumusan kebijakan publik. Di sinilah filsafat politik diperlukan untuk memperluas cakupan keadilan ke dimensi lingkungan dan masa depan umat manusia.7

6.6.       Relevansi Filsafat Politik: Etika Publik dan Visi Kemanusiaan

Dalam dunia yang dipenuhi oleh relativisme nilai, pragmatisme politik, dan fragmentasi identitas, filsafat politik berfungsi sebagai kompas moral untuk merumuskan etika publik yang inklusif. Ia tidak hanya berperan dalam mengkritik tatanan yang ada, tetapi juga dalam membayangkan alternatif yang lebih adil dan manusiawi.

Sebagaimana ditegaskan oleh Michael Sandel, filsafat politik mengajak kita untuk tidak hanya bertanya "apa yang menguntungkan?", tetapi juga "apa yang benar dan adil?"_8 Ia menghidupkan kembali diskusi tentang tanggung jawab moral, kebaikan bersama, dan martabat manusia, yang sering hilang dalam logika pasar dan strategi elektoral.


Footnotes

[1]                Jacques Rancière, Hatred of Democracy, trans. Steve Corcoran (London: Verso, 2006), 46–55.

[2]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 287–328.

[3]                David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Cambridge: Polity Press, 1995); Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002).

[4]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 25–27.

[5]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 87–110.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–12.

[7]                Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 29–53; Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 102–118.

[8]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 18–24.


7.           Penutup

Filsafat politik, sebagai cabang filsafat yang memusatkan perhatian pada hakikat kekuasaan, keadilan, dan kehidupan kolektif manusia, telah menempuh perjalanan panjang sejak masa klasik hingga era kontemporer. Dari idealisme Plato dan realisme Aristoteles, hingga kontrak sosial Hobbes, Locke, dan Rousseau, serta kritik struktural dari Marx, Rawls, dan Foucault, seluruh spektrum pemikiran ini memperlihatkan bahwa filsafat politik bukan hanya warisan intelektual masa lalu, melainkan juga instrumen reflektif yang tetap relevan dalam membaca tantangan zaman modern.

Dalam tradisi Islam, filsafat politik mengintegrasikan dimensi spiritual dan moral ke dalam kehidupan bernegara, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Al-Farabi, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun. Tradisi ini menunjukkan bahwa politik tidak semata urusan kekuasaan, tetapi juga merupakan medan untuk mewujudkan keadilan Ilahiyah dan kemaslahatan umat1.

Tantangan dunia modern—seperti krisis demokrasi, ketimpangan ekonomi, globalisasi, dan dominasi teknologi digital—menunjukkan bahwa persoalan politik hari ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan pragmatis. Diperlukan pandangan mendalam yang menimbang bukan hanya efisiensi, tetapi juga keadilan moral, tanggung jawab sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah pentingnya filsafat politik sebagai fondasi untuk merancang sistem sosial-politik yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga benar secara etis.

Sebagaimana dikemukakan oleh Charles Taylor, filsafat politik membantu kita memahami bahwa struktur sosial dan politik dibentuk oleh asumsi nilai yang kadang tak terlihat, dan karena itu, perlu terus-menerus dikaji, dikritik, dan diarahkan menuju kebaikan bersama2. Filsafat politik bukan sekadar ajaran tentang kekuasaan, tetapi merupakan medan perenungan tentang bagaimana manusia bisa hidup bersama secara adil, bermartabat, dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, pembelajaran dan pengembangan filsafat politik tetap merupakan kebutuhan yang mendesak bagi dunia akademik, pembuat kebijakan, aktivis masyarakat sipil, maupun warga negara biasa. Dalam era yang penuh ketidakpastian ini, filsafat politik memberi kita alat untuk memahami dunia sebagaimana adanya dan sekaligus membayangkan dunia sebagaimana seharusnya.


Footnotes

[1]                Antony Black, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, 2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2011), 145–152.

[2]                Charles Taylor, Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 1–17.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1985). The ideal state: The political philosophy of al-Farabi (R. Walzer, Trans.). Clarendon Press.

Al-Mawardi. (1996). Al-Ahkam al-Sultaniyyah: The laws of Islamic governance (W. H. Wahba, Trans.). Garnet Publishing.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Classics.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Black, A. (2011). The history of Islamic political thought: From the Prophet to the present (2nd ed.). Edinburgh University Press.

Bodin, J. (1955). Six books of the commonwealth (M. J. Tooley, Trans.). Blackwell.

Dobson, A. (2007). Green political thought (4th ed.). Routledge.

Eckersley, R. (2004). The green state: Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Gaus, G. F., & Kukathas, C. (Eds.). (2004). Handbook of political theory. SAGE Publications.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Held, D. (1995). Democracy and the global order: From the modern state to cosmopolitan governance. Polity Press.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.

Kymlicka, W. (2002). Contemporary political philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of Islamic political philosophy. University of Chicago Press.

Miller, D. (2003). Political philosophy: A very short introduction. Oxford University Press.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.

Rancière, J. (2006). Hatred of democracy (S. Corcoran, Trans.). Verso.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right thing to do? Farrar, Straus and Giroux.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Anchor Books.

Taylor, C. (1985). Philosophy and the human sciences: Philosophical papers 2. Cambridge University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar