Filsafat Politik
Fondasi Teoritis dan Dinamika Pemikiran Kekuasaan dan
Keadilan
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
filsafat politik sebagai salah satu cabang utama filsafat yang mengkaji secara
normatif dan kritis berbagai persoalan terkait kekuasaan, keadilan, kebebasan,
negara, dan kehidupan bersama manusia. Melalui pendekatan historis dan tematik,
artikel ini menelusuri perkembangan pemikiran politik dari masa klasik hingga
kontemporer, termasuk kontribusi pemikir-pemikir besar seperti Plato,
Aristoteles, Hobbes, Locke, Rousseau, Rawls, hingga tokoh-tokoh filsafat
politik Islam seperti Al-Farabi, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun. Disoroti pula
tema-tema sentral dalam filsafat politik seperti legitimasi kekuasaan, konsep
keadilan, hak dan kebebasan individu, kedaulatan negara, serta demokrasi. Di
era modern, filsafat politik dihadapkan pada tantangan serius seperti krisis
demokrasi, ketimpangan global, kekuasaan digital, dan krisis ekologis. Artikel
ini menegaskan pentingnya filsafat politik sebagai alat reflektif dan normatif
untuk memahami dan membentuk struktur sosial-politik yang lebih adil,
manusiawi, dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Filsafat politik; kekuasaan; keadilan; negara;
demokrasi; pemikiran Islam; keadilan sosial; kebebasan; kedaulatan; globalisasi.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Politik Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat politik
merupakan salah satu cabang filsafat yang paling tua dan paling fundamental
dalam sejarah pemikiran manusia. Ia membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang kekuasaan, keadilan, kebebasan, hak, negara, serta hubungan antara
individu dan masyarakat. Sejak zaman Yunani Kuno hingga era kontemporer,
filsafat politik telah menjadi medan dialektika antara ide dan realitas, antara
utopia dan praktik sosial-politik. Pertanyaan-pertanyaan seperti siapa
yang layak memerintah, apa bentuk pemerintahan terbaik,
dan bagaimana
keadilan dapat ditegakkan dalam kehidupan bersama, terus menjadi
pusat perhatian para filsuf dan pemikir politik sepanjang zaman.
Secara etimologis,
istilah "filsafat politik" berasal dari dua kata: filsafat
(dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti cinta
kebijaksanaan) dan politik (dari kata polis,
yang berarti negara-kota atau komunitas politik). Dengan demikian, filsafat
politik dapat dipahami sebagai refleksi rasional dan kritis terhadap fenomena
politik, dengan tujuan mencapai pengertian mendalam tentang tatanan sosial yang
ideal dan adil. Plato (427–347 SM), sebagai peletak dasar filsafat politik di
dunia Barat, menyatakan bahwa kehidupan politik yang baik hanya dapat terwujud
jika dipandu oleh pengetahuan tentang kebaikan itu sendiri, yang dalam karyanya
The
Republic, dituangkan melalui konsep "negara ideal"
yang dipimpin oleh para filsuf.1
Dalam sejarahnya,
filsafat politik tidak hanya membahas struktur dan fungsi pemerintahan, tetapi
juga nilai-nilai yang mendasari kehidupan kolektif manusia. Ia mencakup isu-isu
fundamental seperti keadilan sosial, distribusi kekuasaan, hak individu, legitimasi
kekuasaan, dan kontrak sosial. John Rawls, salah satu filsuf politik paling
berpengaruh di abad ke-20, menyatakan bahwa teori keadilan harus menjadi
landasan moral bagi institusi-institusi politik. Dalam bukunya A Theory
of Justice (1971), Rawls mengembangkan prinsip keadilan sebagai
"fairness" melalui konsep posisi semula (original
position) dan tirai ketidaktahuan (veil of ignorance) sebagai cara
untuk merumuskan prinsip keadilan yang adil bagi semua pihak.2
Kehadiran filsafat
politik menjadi sangat penting dalam dunia modern yang diwarnai oleh
kompleksitas relasi kekuasaan, konflik ideologis, serta tantangan global
seperti krisis lingkungan dan ketimpangan sosial. Di tengah arus pragmatisme
politik yang kerap mengabaikan dimensi moral dan filosofis, filsafat politik
hadir untuk mempertanyakan asumsi dasar dari praktik kekuasaan dan menawarkan
kerangka berpikir normatif yang mendalam. Sebagaimana ditegaskan oleh Leo
Strauss, filsafat politik bertugas untuk menelusuri prinsip-prinsip politik
tertinggi yang bersifat tetap dan universal, bukan sekadar mengikuti
relativisme nilai atau ideologi dominan suatu zaman.3
Melalui artikel ini,
akan dibahas secara mendalam dan sistematis mengenai dasar-dasar teoritis
filsafat politik, perkembangan pemikirannya sepanjang sejarah, serta
relevansinya dalam konteks sosial-politik kontemporer. Harapannya, pembahasan
ini dapat memberikan pemahaman yang utuh tentang bagaimana gagasan-gagasan
politik besar dibangun, diuji, dan diterapkan dalam dinamika kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473d–480a.
[2]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–22.
[3]
Leo Strauss, What is Political Philosophy? (Chicago:
University of Chicago Press, 1959), 9–10.
2.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Filsafat Politik
Filsafat politik
adalah cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan normatif dan
teoritis mengenai politik, pemerintahan, kekuasaan, kebebasan, keadilan, hak,
dan kewajiban dalam kehidupan bersama. Ia tidak hanya berupaya menjelaskan
bagaimana politik berjalan, tetapi juga mempertanyakan bagaimana
politik seharusnya dijalankan. Dengan demikian, filsafat politik
berbeda dari ilmu politik yang bersifat deskriptif dan empirik; filsafat
politik bersifat normatif, reflektif, dan konseptual.1
Menurut Will
Kymlicka, filsafat politik bertujuan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang
dapat digunakan untuk menilai dan membimbing institusi-institusi sosial dan
politik. Ia berangkat dari asumsi bahwa kehidupan politik tidak netral secara
moral dan bahwa tindakan politik harus dipertanggungjawabkan secara etis.2
Dengan kata lain, filsafat politik adalah disiplin yang mencari jawaban atas
pertanyaan: apa itu tatanan politik yang adil dan sah?
2.1.
Perbedaan antara Filsafat Politik
dan Ilmu Politik
Filsafat politik dan
ilmu politik seringkali disamakan, padahal keduanya memiliki orientasi dan
pendekatan yang berbeda. Ilmu politik lebih menekankan pada aspek empiris dan
kuantitatif, misalnya dalam mengamati perilaku pemilih, struktur pemerintahan,
atau dinamika partai politik. Sedangkan filsafat politik berfokus pada
nilai-nilai dasar seperti keadilan, kebebasan, dan legitimasi kekuasaan, serta
mencoba menyusun argumen normatif tentang bagaimana lembaga-lembaga politik
seharusnya dibentuk dan dijalankan.3
David Miller
menjelaskan bahwa filsafat politik "bukan hanya tentang apa yang terjadi dalam politik, tetapi tentang
prinsip-prinsip yang mendasari apa yang seharusnya terjadi."_4
Maka, filsafat politik tidak sekadar mempelajari realitas politik, tetapi juga
menilai dan mengkritisinya melalui lensa moral dan rasional.
2.2.
Ruang Lingkup Kajian Filsafat
Politik
Ruang lingkup
filsafat politik mencakup berbagai tema besar yang saling berkaitan:
1)
Kekuasaan dan Legitimasi:
Bagaimana kekuasaan diperoleh dan dibenarkan?
Siapa yang berhak memerintah? Ini menyangkut pertanyaan tentang otoritas
politik dan dasar legitimasi pemerintahan.
2)
Keadilan dan Distribusi:
Bagaimana sumber daya, hak, dan tanggung jawab
harus dibagi dalam masyarakat? Konsep keadilan distributif dan retributif
menjadi pusat pembahasan.
3)
Kebebasan dan Hak
Individu:
Apa batas antara kebebasan individu dan
kepentingan kolektif? Apa saja hak dasar yang tidak boleh diganggu oleh negara?
4)
Negara dan Tujuannya:
Apa tujuan negara? Apakah negara hanya alat untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, ataukah juga sarana untuk mewujudkan kebaikan
kolektif?
5)
Demokrasi dan Partisipasi:
Apakah demokrasi adalah bentuk pemerintahan
terbaik? Bagaimana warga negara seharusnya berpartisipasi dalam kehidupan
politik?
6)
Hukum dan Kewajiban Moral:
Apa hubungan antara hukum positif dan hukum
moral? Apakah warga negara selalu wajib menaati hukum?
Tema-tema tersebut
telah menjadi pokok pembahasan para filsuf dari masa ke masa, mulai dari Plato
dan Aristoteles hingga Rawls, Nozick, dan Habermas. Bahkan dalam tradisi Islam,
filsafat politik memiliki ruang tersendiri dengan pembahasan tentang siyasah,
kekhalifahan,
dan keadilan
Ilahiyah sebagaimana dibahas oleh Al-Farabi, Al-Mawardi, dan
Ibnu Khaldun.5
Filsafat politik,
pada akhirnya, membantu manusia menyusun orientasi moral dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Ia membekali kita dengan kerangka konseptual untuk
memahami, menilai, dan membentuk dunia politik secara lebih rasional dan
manusiawi.
Footnotes
[1]
Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook of Political Theory
(London: SAGE Publications, 2004), 3.
[2]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 5.
[3]
Terence Ball, Richard Dagger, dan Daniel O’Neill, Political
Ideologies and the Democratic Ideal, 10th ed. (London: Routledge, 2017),
10–11.
[4]
David Miller, Political Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 4.
[5]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 28–31.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Pemikiran Politik
Perjalanan filsafat
politik mencerminkan pergulatan intelektual umat manusia dalam memahami dan
menata kehidupan bersama. Sejak masa Yunani Kuno hingga zaman kontemporer, para
filsuf politik telah menawarkan berbagai teori, konsep, dan kerangka normatif
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kekuasaan, keadilan, dan
negara. Sejarah filsafat politik dapat dibagi ke dalam beberapa periode utama
yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
3.1.
Zaman Klasik: Fondasi Pemikiran
Politik
Filsafat politik klasik
berakar pada pemikiran para filsuf Yunani seperti Plato
dan Aristoteles,
yang membahas politik sebagai bagian dari pencarian terhadap kebaikan hidup.
Plato
dalam The
Republic memperkenalkan gagasan tentang negara ideal yang dipimpin
oleh para filsuf-penjaga. Menurutnya, keadilan hanya dapat dicapai apabila
setiap individu menjalankan fungsi sesuai dengan kodratnya dalam struktur
sosial yang hierarkis dan teratur. Ia menolak demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan yang rapuh dan penuh ketidakteraturan.1
Aristoteles,
murid Plato, menawarkan pendekatan yang lebih empiris dan realistis dalam
karyanya Politics.
Ia menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk politik)
yang secara kodrati hidup dalam komunitas. Aristoteles mengklasifikasikan
bentuk-bentuk pemerintahan—monarki, aristokrasi, dan politeia—serta
bentuk-bentuk menyimpangnya seperti tirani, oligarki, dan demokrasi massa.2
3.2.
Zaman Pertengahan: Integrasi Politik
dan Teologi
Pada era ini,
pemikiran politik sangat dipengaruhi oleh agama, baik dalam tradisi Barat
maupun Islam. Di Eropa, Agustinus dalam The City
of God memisahkan antara "kota dunia" (civitas
terrena) dan "kota Tuhan" (civitas Dei), menekankan bahwa
kekuasaan duniawi bersifat sementara dan tunduk pada kekuasaan ilahi.3
Dalam tradisi Islam,
para pemikir seperti Al-Farabi dan Al-Mawardi
memadukan antara filsafat dan syariat dalam membangun konsep politik Islam.
Al-Farabi dalam Ara Ahl al-Madina al-Fadila
(Penduduk Kota Utama) memandang pemimpin ideal sebagai al-insān
al-kāmil (manusia paripurna) yang menuntun masyarakat menuju
kebahagiaan hakiki.4 Sementara itu, Al-Mawardi dalam Al-Ahkam
al-Sultaniyyah menjelaskan tugas-tugas khalifah sebagai pelaksana
syariat dan penjaga kemaslahatan umat.5
3.3.
Zaman Modern: Rasionalisasi dan
Kontrak Sosial
Abad ke-17 dan ke-18
menandai lahirnya gagasan kontrak sosial, yang memberikan
dasar rasional bagi legitimasi kekuasaan. Thomas Hobbes, melalui Leviathan,
menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alami (state of nature) sebagai
"perang semua melawan semua". Menurut Hobbes, negara yang kuat
mutlak diperlukan untuk menghindari kekacauan dan menjamin keamanan.6
John
Locke menolak pandangan Hobbes yang pesimis. Dalam Two
Treatises of Government, ia menyatakan bahwa negara dibentuk untuk
melindungi hak-hak alami manusia: kehidupan, kebebasan, dan milik. Apabila
pemerintah melanggar hak-hak tersebut, rakyat memiliki hak untuk memberontak.7
Jean-Jacques
Rousseau dalam The Social Contract menekankan
pentingnya kehendak umum (general will) sebagai dasar
legitimasi kekuasaan. Ia percaya bahwa kebebasan sejati hanya dapat dicapai
melalui kepatuhan kepada hukum yang dibuat sendiri oleh rakyat sebagai
kolektif.8
3.4.
Zaman Kontemporer: Kritik, Keadilan,
dan Emansipasi
Memasuki abad ke-19
dan 20, filsafat politik berkembang dalam arah yang lebih kompleks dan kritis. Karl
Marx menyoroti ketimpangan ekonomi sebagai sumber penindasan
politik. Ia menafsirkan sejarah sebagai perjuangan kelas dan menyerukan
penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi demi terciptanya
masyarakat tanpa kelas.9
Sebaliknya, John
Rawls dalam A Theory of Justice (1971)
membangun pendekatan liberal yang menekankan keadilan sebagai fairness. Ia
memperkenalkan dua prinsip keadilan, salah satunya menegaskan bahwa ketimpangan
sosial hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan pihak yang paling lemah.10
Sementara itu, Robert
Nozick dalam Anarchy, State, and Utopia
mengkritik Rawls dengan pendekatan libertarian, menekankan pentingnya hak milik
individu dan menolak intervensi negara dalam distribusi kekayaan.11
Pemikiran
kontemporer juga mencakup arus feminis (misalnya Iris Marion Young), teori
kritis (Habermas), serta pemikiran postmodern (Foucault) yang mempertanyakan
narasi besar kekuasaan dan otoritas.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473d–480a.
[2]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), Book I–III.
[3]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Classics, 2003), Book XIX.
[4]
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madina al-Fadila, trans. Richard Walzer
as The Ideal State (Oxford: Clarendon Press, 1985), 229–245.
[5]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba
(Reading: Garnet Publishing, 1996), 1–20.
[6]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), ch. XIII–XVII.
[7]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Second Treatise, §§ 1–19.
[8]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I–II.
[9]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2008), 14–21.
[10]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 52–65.
[11]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 149–182.
4.
Tema-tema
Sentral dalam Filsafat Politik
Filsafat politik
membahas beragam isu mendasar yang menjadi fondasi kehidupan kolektif manusia
dalam masyarakat dan negara. Tema-tema ini tidak hanya bersifat teoretis,
melainkan juga sangat relevan dalam praktik politik sehari-hari. Di antara
tema-tema sentral yang paling menonjol dalam wacana filsafat politik adalah
kekuasaan dan legitimasi, keadilan, kebebasan dan hak, negara dan kedaulatan,
serta demokrasi dan partisipasi politik. Masing-masing tema ini membentuk
jantung dari perdebatan filosofis yang panjang dan kaya, dari masa klasik
hingga kontemporer.
4.1.
Kekuasaan dan Legitimasi
Kekuasaan adalah
inti dari politik, tetapi filsafat politik menyoroti bahwa kekuasaan tidak
boleh dipisahkan dari legitimasi. Kekuasaan yang sah bukan sekadar kemampuan
untuk memerintah, melainkan kekuasaan yang diterima secara moral dan rasional
oleh mereka yang diperintah.
Max Weber membedakan
tiga bentuk legitimasi kekuasaan: tradisional, karismatik, dan legal-rasional.
Dalam masyarakat modern, legalitas dan keabsahan hukum menjadi dasar utama
legitimasi kekuasaan.1 Namun, filsuf seperti Rousseau mengingatkan
bahwa ketaatan sejati hanya dapat muncul jika hukum mencerminkan kehendak umum
(general will).2
Foucault,
sebaliknya, mengkritik asumsi tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang hanya
dimiliki oleh negara atau elite. Baginya, kekuasaan tersebar dalam jaringan
relasi sosial dan pengetahuan, sehingga harus dianalisis melalui praktik
diskursif dan institusional yang menyusunnya.3
4.2.
Keadilan
Keadilan merupakan
tema paling klasik sekaligus paling kompleks dalam filsafat politik. Bagi
Plato, keadilan adalah keteraturan yang harmonis dalam jiwa individu dan
negara, di mana setiap elemen menjalankan fungsinya dengan tepat.4
Sedangkan Aristoteles membedakan antara keadilan distributif (pembagian menurut
kelayakan) dan keadilan retributif (pemberian balasan atas perbuatan).5
Di era modern, John
Rawls memperkenalkan konsep “keadilan sebagai fairness,” yaitu keadilan
yang dapat diterima oleh semua orang dalam posisi asli (original
position) di balik “tirai ketidaktahuan” (veil of
ignorance).6 Rawls menekankan dua prinsip utama:
kesetaraan hak dasar dan ketimpangan yang hanya dibenarkan jika menguntungkan
pihak yang paling tidak beruntung.
Sebaliknya, Robert
Nozick menolak pendekatan distributif Rawls dan mengusulkan teori keadilan
berbasis hak milik (entitlement theory), yang menekankan pada legitimasi proses
perolehan dan transfer kekayaan, bukan pada hasil akhirnya.7
4.3.
Kebebasan dan Hak Individu
Konsep kebebasan
telah menjadi pusat perdebatan filosofis sejak awal. Isaiah Berlin membedakan
antara kebebasan
negatif (bebas dari campur tangan) dan kebebasan positif (kemampuan untuk
mengatur diri sendiri).8 Perdebatan ini menjadi dasar bagi dua
tradisi besar: liberalisme klasik yang menekankan perlindungan terhadap
kebebasan individu dari negara, dan liberalisme modern atau sosial yang melihat
peran negara dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan kebebasan sejati.
Hak asasi manusia
(HAM) menjadi instrumen normatif penting dalam filsafat politik kontemporer,
didasarkan pada gagasan bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat sejak
lahir. Namun, debat terus berlanjut tentang cakupan, dasar, dan batas dari
hak-hak tersebut, terutama dalam konteks multikulturalisme, keamanan nasional,
dan tanggung jawab global.
4.4.
Negara dan Kedaulatan
Negara dalam
filsafat politik bukan hanya entitas hukum atau institusional, tetapi juga
representasi dari kehendak kolektif dan instrumen untuk mencapai kebaikan
bersama. Thomas Hobbes melihat negara sebagai "Leviathan"—otoritas
mutlak yang dibutuhkan untuk menghindari kekacauan.9 Locke melihat
negara sebagai hasil perjanjian sosial untuk melindungi hak-hak alami manusia.10
Kedaulatan, sebagai
kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah, telah menjadi konsep krusial sejak Jean
Bodin. Namun, dalam era globalisasi dan integrasi supranasional, kedaulatan
semakin mengalami tantangan baik dari dalam (hak asasi, gerakan separatis)
maupun luar (organisasi internasional, korporasi transnasional).11
4.5.
Demokrasi dan Partisipasi Politik
Demokrasi dianggap
sebagai bentuk pemerintahan yang paling legitimatif karena memberikan ruang
bagi partisipasi rakyat. Namun, para filsuf politik tetap mempertanyakan
batasan dan bentuk demokrasi.
Joseph Schumpeter
memandang demokrasi sebagai metode kompetisi elite melalui pemilu, sementara
Jurgen Habermas menekankan pentingnya diskursus publik yang rasional dan
inklusif sebagai fondasi demokrasi deliberatif.12 Kritik terhadap
demokrasi juga datang dari kalangan anarkis, populis, dan postmodern yang
menyoroti eksklusi struktural, manipulasi media, dan oligarki tersembunyi dalam
sistem demokrasi formal.
Footnotes
[1]
Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus
Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–216.
[2]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I, ch. 6–8.
[3]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
92–108.
[4]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV, 427e–434c.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1999), Book V.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–22.
[7]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 150–164.
[8]
Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty, in Four Essays on
Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.
[9]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), ch. XVII–XVIII.
[10]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Second Treatise, §§ 4–15.
[11]
Jean Bodin, Six Books of the Commonwealth, trans. M. J. Tooley
(Oxford: Blackwell, 1955), Book I.
[12]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 287–328.
5.
Filsafat
Politik dalam Tradisi Islam
Filsafat politik
dalam tradisi Islam tumbuh dalam lanskap pemikiran yang khas, di mana dimensi wahyu,
akal,
dan realitas
sosial-politik menyatu dalam membangun kerangka pemikiran
tentang kekuasaan, keadilan, dan pemerintahan. Tidak seperti filsafat politik
Barat yang bersifat sekuler dan rasionalistik, pemikiran politik Islam
memadukan unsur teologis, etis,
dan rasional
dalam satu kesatuan sistematis. Para pemikir Muslim klasik mengembangkan teori
politik yang tidak hanya berangkat dari pengalaman historis (khilafah dan
kerajaan), tetapi juga dari prinsip-prinsip normatif yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Sunnah.
5.1.
Konsep Siyasah dan Tujuan Politik
dalam Islam
Dalam Islam, istilah
"siyasah" merujuk pada pengelolaan urusan publik menurut
prinsip-prinsip syariat. Tujuan utama siyasah dalam perspektif Islam bukan
sekadar menjaga ketertiban, melainkan mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashlahah
al-‘ammah) dan menegakkan keadilan (‘adl),
sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 90, yang menekankan
pentingnya keadilan, kebajikan, dan tanggung jawab sosial.1
Siyasah tidak
terpisah dari akhlak dan agama. Oleh karena itu, pemimpin dalam tradisi politik
Islam dituntut untuk memiliki legitimasi moral dan spiritual, selain kompetensi
administratif dan kekuatan politik. Konsep ini tercermin dalam paradigma imamah
(kepemimpinan) atau khilafah, yang tidak hanya dilihat
sebagai institusi politik, tetapi juga sebagai amanah ilahiyah.
5.2.
Al-Farabi dan Negara Utama
(al-Madina al-Fadila)
Abu Nasr
Al-Farabi (w. 950 M), dikenal sebagai “Guru Kedua”
setelah Aristoteles, merupakan filsuf Muslim pertama yang secara sistematis
mengembangkan teori politik filosofis dalam Islam. Dalam karyanya Ara Ahl
al-Madina al-Fadila (Opini Penduduk Kota Utama), Al-Farabi
menyusun konsepsi negara ideal berdasarkan kebahagiaan tertinggi (al-sa‘adah
al-quswa) sebagai tujuan akhir kehidupan manusia.2
Negara utama
(madinah fadilah) menurut Al-Farabi dipimpin oleh seorang "imam-filosof"
yang menggabungkan kebijaksanaan teoritis dan keutamaan moral. Pemimpin ini
setara dengan nabi dalam kapasitasnya membimbing masyarakat menuju kebaikan
paripurna. Negara yang tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai
madinah jahilah (kota bodoh), madinah fasiqah (kota pendosa), atau madinah
dhalalah (kota sesat).3
5.3.
Al-Mawardi dan Teori Kekhilafahan
Al-Mawardi
(w. 1058 M), seorang ulama fikih dan politikus dalam kekhalifahan Abbasiyah,
menulis karya monumental Al-Ahkam al-Sultaniyyah, yang
mengulas secara mendalam tugas dan kewenangan imam atau khalifah. Menurut
Al-Mawardi, kekuasaan politik adalah kelanjutan dari kenabian dalam urusan
duniawi. Oleh karena itu, syarat seorang imam meliputi keadilan, ilmu agama,
kemampuan administratif, dan keturunan Quraisy.4
Bagi Al-Mawardi,
tujuan utama khilafah adalah menegakkan agama dan mengatur dunia
dengan hukum-hukum Islam. Ia menekankan pentingnya stabilitas politik melalui
bai‘at (sumpah setia rakyat), pembagian tugas kekuasaan (termasuk wazir dan
hakim), serta prinsip syura (musyawarah) sebagai unsur legitimasi kekuasaan.5
5.4.
Ibnu Khaldun dan Realisme Politik
Ibnu
Khaldun (w. 1406 M) menghadirkan pendekatan yang sangat
orisinal dalam Muqaddimah, karya pengantar bagi
sejarah dunia. Ia dianggap sebagai peletak dasar sosiologi politik dan teori
negara dalam Islam. Ibnu Khaldun menekankan pentingnya ‘ashabiyyah
(solidaritas sosial) sebagai faktor utama bangkit dan runtuhnya kekuasaan
politik.6
Menurutnya,
kekuasaan politik berkembang dari bentuk sederhana (suku) menjadi dinasti dan
kemudian imperium, namun selalu berujung pada kemunduran akibat kemewahan dan
hilangnya semangat kolektif. Negara, menurut Ibnu Khaldun, adalah hasil
kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, bukan institusi moral murni, meski
tetap dibimbing oleh nilai-nilai syariat.7
5.5.
Perbedaan dengan Pemikiran Politik
Barat
Pemikiran politik
Islam memiliki pendekatan yang teosentris: Tuhan adalah sumber
nilai, hukum, dan otoritas. Berbeda dengan tradisi Barat yang cenderung
berkembang ke arah antroposentrisme dan sekularisasi,
tradisi politik Islam tetap mempertahankan keterpautan erat antara agama dan
kekuasaan. Hal ini menimbulkan perbedaan fundamental, misalnya dalam konsep kedaulatan—dalam
Islam, kedaulatan milik Allah; dalam sistem modern, kedaulatan biasanya ada
pada rakyat atau negara.
Meski demikian,
banyak prinsip dalam filsafat politik Islam, seperti keadilan,
musyawarah,
dan pertanggungjawaban
kekuasaan, bersinggungan dengan gagasan universal dan memiliki
relevansi lintas zaman.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, Surah An-Nahl [16]: 90.
[2]
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madina al-Fadila, trans. Richard Walzer
as The Ideal State (Oxford: Clarendon Press, 1985), 35–40.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 159–165.
[4]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba
(Reading: Garnet Publishing, 1996), 1–18.
[5]
Antony Black, The History of Islamic Political Thought: From the
Prophet to the Present, 2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh University Press,
2011), 103–106.
[6]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), Vol. 1,
91–120.
[7]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre, 1981), 72–76.
6.
Tantangan
dan Relevansi Filsafat Politik di Era Modern
Di tengah dinamika
global abad ke-21 yang ditandai oleh kompleksitas sosial, krisis ekologi,
kemajuan teknologi, dan transformasi geopolitik, filsafat politik tetap
memiliki peran yang sangat penting. Meski sering dianggap sebagai disiplin
teoretis yang jauh dari praktik, filsafat politik justru menjadi lensa
kritis untuk memahami dan menilai kondisi kontemporer serta
menawarkan arah normatif bagi perumusan kebijakan dan tindakan politik. Namun
demikian, ia juga menghadapi sejumlah tantangan serius yang
memerlukan respons intelektual dan etis yang mendalam.
6.1.
Krisis Legitimasi dan Disfungsi
Demokrasi
Salah satu tantangan
utama dalam politik kontemporer adalah krisis legitimasi, terutama
dalam sistem demokrasi liberal. Fenomena seperti apatisme pemilih, korupsi,
populisme, dan oligarki tersembunyi menunjukkan bahwa demokrasi formal tidak
selalu menjamin keadilan substantif. Jacques Rancière bahkan mengkritik
demokrasi modern sebagai “pemerintahan oleh yang tidak berhak memerintah”
karena hanya menjadi alat kepentingan elite dengan legitimasi palsu melalui
prosedur pemilu semata.1
Filsafat politik
dibutuhkan untuk merevitalisasi diskursus tentang demokrasi,
bukan hanya sebagai mekanisme pemilihan, tetapi sebagai bentuk kehidupan
bersama yang etis dan deliberatif. Hal ini antara lain dikembangkan oleh Jürgen
Habermas melalui teori demokrasi deliberatif, yang menekankan
pentingnya ruang publik rasional untuk membangun konsensus politik yang sah.2
6.2.
Globalisasi dan Erosi Kedaulatan
Proses globalisasi
telah menantang konsep klasik tentang kedaulatan nasional. Negara
tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dominan dalam arena politik global.
Organisasi supranasional (seperti WTO, PBB, dan Uni Eropa), korporasi
multinasional, dan jaringan digital transnasional telah mereduksi kontrol
negara atas wilayah, ekonomi, dan bahkan identitas budaya.
Filsafat politik
kini dituntut untuk berpikir melampaui batas negara-bangsa dan mengembangkan
kerangka baru seperti kosmopolitanisme politik yang
digagas oleh David Held dan Thomas
Pogge, yang menekankan pentingnya keadilan global dan tanggung
jawab lintas batas terhadap kemiskinan dan pelanggaran HAM.3
6.3.
Ketimpangan Ekonomi dan Keadilan
Sosial
Ketimpangan ekonomi
yang semakin ekstrem menjadi tantangan serius bagi legitimasi politik dan
stabilitas sosial. Thomas Piketty dalam Capital
in the Twenty-First Century menunjukkan bahwa akumulasi kekayaan
secara turun-temurun mengancam prinsip meritokrasi dan kesetaraan peluang, yang
menjadi dasar moral sistem liberal modern.4
Dalam konteks ini,
filsafat politik berperan penting untuk mengkritisi sistem ekonomi-politik yang
tidak adil dan merumuskan konsep keadilan distributif yang kontekstual.
Pemikiran Rawls tentang redistribusi, serta pendekatan Amartya Sen melalui
teori kapabilitas, menawarkan alternatif penting dalam memahami keadilan di
luar angka statistik pendapatan.5
6.4.
Teknologi, Privasi, dan Kekuasaan
Baru
Perkembangan
teknologi digital, kecerdasan buatan, dan pengawasan massa telah memunculkan
bentuk kekuasaan baru yang tak kasatmata. Shoshana Zuboff menyebut
fenomena ini sebagai kapitalisme pengawasan, di mana
data pribadi menjadi komoditas ekonomi dan alat kendali sosial.6
Pertanyaan etis dan
politik mengenai privasi, otoritas
algoritmik, dan manipulasi digital semakin
mendesak. Filsafat politik perlu membingkai kembali konsep kebebasan dan
kedaulatan dalam konteks realitas virtual yang semakin dominan.
6.5.
Krisis Ekologis dan Keadilan
Intergenerasional
Perubahan iklim dan
degradasi lingkungan bukan hanya masalah ilmiah, tetapi juga masalah
etika dan politik. Keputusan-keputusan politik hari ini
berdampak pada generasi mendatang, memunculkan isu tentang keadilan
intergenerasional.
Filsuf seperti Robyn
Eckersley dan Andrew Dobson mendorong
lahirnya ekofilsafat politik, yang
mengintegrasikan prinsip keadilan ekologis dalam perumusan kebijakan publik. Di
sinilah filsafat politik diperlukan untuk memperluas cakupan keadilan ke
dimensi lingkungan dan masa depan umat manusia.7
6.6.
Relevansi Filsafat Politik: Etika
Publik dan Visi Kemanusiaan
Dalam dunia yang
dipenuhi oleh relativisme nilai, pragmatisme politik, dan fragmentasi
identitas, filsafat politik berfungsi sebagai kompas moral untuk merumuskan etika
publik yang inklusif. Ia tidak hanya berperan dalam mengkritik
tatanan yang ada, tetapi juga dalam membayangkan alternatif yang lebih adil dan
manusiawi.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Michael Sandel, filsafat
politik mengajak kita untuk tidak hanya bertanya "apa yang
menguntungkan?", tetapi juga "apa yang benar dan adil?"_8
Ia menghidupkan kembali diskusi tentang tanggung jawab moral, kebaikan
bersama, dan martabat manusia, yang sering
hilang dalam logika pasar dan strategi elektoral.
Footnotes
[1]
Jacques Rancière, Hatred of Democracy, trans. Steve Corcoran
(London: Verso, 2006), 46–55.
[2]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 287–328.
[3]
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Cambridge: Polity Press, 1995); Thomas Pogge, World
Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002).
[4]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 25–27.
[5]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books,
1999), 87–110.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 8–12.
[7]
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and
Sovereignty (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 29–53; Andrew Dobson, Green
Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 102–118.
[8]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 18–24.
7.
Penutup
Filsafat politik, sebagai cabang filsafat yang
memusatkan perhatian pada hakikat kekuasaan, keadilan, dan kehidupan kolektif
manusia, telah menempuh perjalanan panjang sejak masa klasik hingga era
kontemporer. Dari idealisme Plato dan realisme Aristoteles, hingga kontrak
sosial Hobbes, Locke, dan Rousseau, serta kritik struktural dari Marx, Rawls,
dan Foucault, seluruh spektrum pemikiran ini memperlihatkan bahwa filsafat
politik bukan hanya warisan intelektual masa lalu, melainkan juga instrumen
reflektif yang tetap relevan dalam membaca tantangan zaman modern.
Dalam tradisi Islam, filsafat politik
mengintegrasikan dimensi spiritual dan moral ke dalam kehidupan bernegara,
sebagaimana terlihat dalam karya-karya Al-Farabi, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun.
Tradisi ini menunjukkan bahwa politik tidak semata urusan kekuasaan, tetapi
juga merupakan medan untuk mewujudkan keadilan Ilahiyah dan kemaslahatan umat1.
Tantangan dunia modern—seperti krisis demokrasi,
ketimpangan ekonomi, globalisasi, dan dominasi teknologi digital—menunjukkan
bahwa persoalan politik hari ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan
pragmatis. Diperlukan pandangan mendalam yang menimbang bukan hanya efisiensi,
tetapi juga keadilan moral, tanggung jawab sosial, dan nilai-nilai
kemanusiaan. Di sinilah pentingnya filsafat politik sebagai fondasi untuk
merancang sistem sosial-politik yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga
benar secara etis.
Sebagaimana dikemukakan oleh Charles Taylor,
filsafat politik membantu kita memahami bahwa struktur sosial dan politik
dibentuk oleh asumsi nilai yang kadang tak terlihat, dan karena itu, perlu
terus-menerus dikaji, dikritik, dan diarahkan menuju kebaikan bersama2.
Filsafat politik bukan sekadar ajaran tentang kekuasaan, tetapi merupakan medan
perenungan tentang bagaimana manusia bisa hidup bersama secara adil,
bermartabat, dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, pembelajaran dan pengembangan
filsafat politik tetap merupakan kebutuhan yang mendesak bagi dunia akademik,
pembuat kebijakan, aktivis masyarakat sipil, maupun warga negara biasa. Dalam
era yang penuh ketidakpastian ini, filsafat politik memberi kita alat untuk memahami
dunia sebagaimana adanya dan sekaligus membayangkan dunia sebagaimana
seharusnya.
Footnotes
[1]
Antony Black, The History of Islamic Political
Thought: From the Prophet to the Present, 2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 2011), 145–152.
[2]
Charles Taylor, Philosophy and the Human
Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 1–17.
Daftar Pustaka
Al-Farabi. (1985). The ideal state: The
political philosophy of al-Farabi (R. Walzer, Trans.). Clarendon Press.
Al-Mawardi. (1996). Al-Ahkam al-Sultaniyyah: The
laws of Islamic governance (W. H. Wahba, Trans.). Garnet Publishing.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve,
Trans.). Hackett Publishing.
Augustine. (2003). The city of God (H.
Bettenson, Trans.). Penguin Classics.
Berlin, I. (1969). Four essays on liberty.
Oxford University Press.
Black, A. (2011). The history of Islamic
political thought: From the Prophet to the present (2nd ed.). Edinburgh
University Press.
Bodin, J. (1955). Six books of the commonwealth
(M. J. Tooley, Trans.). Blackwell.
Dobson, A. (2007). Green political thought
(4th ed.). Routledge.
Eckersley, R. (2004). The green state:
Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Gaus, G. F., & Kukathas, C. (Eds.). (2004). Handbook
of political theory. SAGE Publications.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Held, D. (1995). Democracy and the global order:
From the modern state to cosmopolitan governance. Polity Press.
Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge University Press.
Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An
introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.
Kymlicka, W. (2002). Contemporary political
philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of
Islamic political philosophy. University of Chicago Press.
Miller, D. (2003). Political philosophy: A very
short introduction. Oxford University Press.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
Basic Books.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Pogge, T. (2002). World poverty and human rights.
Polity Press.
Rancière, J. (2006). Hatred of democracy (S.
Corcoran, Trans.). Verso.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right
thing to do? Farrar, Straus and Giroux.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Anchor Books.
Taylor, C. (1985). Philosophy and the human
sciences: Philosophical papers 2. Cambridge University Press.
Weber, M. (1978). Economy and society (G.
Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.
Young, I. M. (1990). Justice and the politics of
difference. Princeton University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar