Periode Modernitas dalam Filsafat
Menapaki Modernitas Filsafat
Alihkan ke: Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif terhadap
periode modernitas dalam sejarah filsafat melalui pendekatan sinkronik dan
diakronik, dengan fokus utama pada tiga poros pemikiran: rasionalisme,
empirisme, dan kritik Kantian. Pendekatan sinkronik digunakan untuk
menganalisis keberagaman struktur ide dalam kerangka waktu yang bersamaan,
khususnya pada abad ke-17 dan ke-18, di mana rasionalisme dan empirisme
berkembang sebagai dua kutub epistemologis yang dominan. Sementara itu,
pendekatan diakronik menelusuri perkembangan historis filsafat dari masa
Renaisans hingga pemikiran Immanuel Kant sebagai sintesis paradigmatik. Kant
menawarkan revolusi konseptual dalam bentuk kritik transendental yang
menggabungkan pengalaman inderawi dengan struktur apriori akal, serta
merumuskan etika otonomi berbasis imperatif kategoris. Artikel ini juga
mengeksplorasi implikasi filsafat modern dalam bidang ontologi, epistemologi,
dan etika, serta menelusuri warisan pemikiran modern dalam tradisi filsafat
kontemporer seperti idealisme Jerman, fenomenologi, filsafat analitik, teori
kritis, dan postmodernisme. Dengan demikian, pembacaan terhadap modernitas
filsafat melalui dua pendekatan ini tidak hanya memberikan pemahaman yang
historis dan struktural, tetapi juga menegaskan relevansi reflektifnya dalam
menjawab tantangan dunia kontemporer.
Kata Kunci: Filsafat modern, rasionalisme, empirisme, Immanuel
Kant, kritik transendental, etika otonomi, pendekatan sinkronik, pendekatan
diakronik, epistemologi, warisan filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Rasionalisme,
Empirisme, dan Kritik Kantian
1.
Pendahuluan
Periode modernitas
dalam sejarah filsafat menandai transformasi radikal dalam cara manusia
memandang realitas, kebenaran, dan pengetahuan. Berbeda dari era skolastik yang
berakar pada otoritas agama dan sintesis Aristotelian-Thomis, filsafat modern
muncul sebagai upaya mendasar untuk mendasarkan pengetahuan pada rasio
dan pengalaman
langsung. Proyek modernitas, sebagaimana dirumuskan oleh para
pemikir seperti René Descartes dan Francis Bacon, berpangkal pada keyakinan
bahwa subjek manusia dapat menjadi pusat dari segala pengamatan dan refleksi
filosofis, menjadikan otonomi intelektual sebagai prinsip utama zaman baru ini.1
Pendekatan sinkronik
terhadap filsafat modern memungkinkan kita untuk memetakan spektrum pemikiran
yang berkembang pada masa yang sama namun berseberangan secara
konseptual—seperti rasionalisme di satu sisi dan empirisme di sisi lain.
Rasionalisme, yang berpuncak pada pemikiran Descartes, Spinoza, dan Leibniz,
meyakini bahwa akal (reason) merupakan fondasi utama bagi seluruh pengetahuan
yang valid. Sementara itu, empirisme yang dipelopori oleh Locke, Berkeley, dan
Hume menekankan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama segala pengertian.2
Pendekatan ini membantu memahami struktur konseptual yang saling mengisi atau
bahkan bertentangan dalam satu kerangka waktu historis.
Sementara itu, pendekatan
diakronik menempatkan filsafat modern dalam jalur historis yang
dinamis—sebuah kesinambungan dan sekaligus pemutusan dari era sebelumnya.
Modernitas dalam filsafat tidak muncul dalam kekosongan; ia merupakan hasil
dari evolusi panjang mulai dari Renaisans, Reformasi, hingga revolusi ilmiah.
Perubahan ini tidak hanya menyangkut isi pemikiran, melainkan juga metode dan
tujuan filsafat itu sendiri. Dalam konteks ini, lahirlah kritik terhadap
metafisika klasik dan penataan ulang epistemologi oleh Immanuel Kant, yang
dikenal sebagai “revolusi kopernikan” dalam filsafat modern.3
Immanuel Kant
menjadi figur sentral yang tidak hanya menyintesiskan ketegangan antara
rasionalisme dan empirisme, tetapi juga mengarahkan filsafat ke arah refleksi
atas syarat-syarat kemungkinan pengetahuan itu sendiri. Dengan karya utamanya Kritik
atas Rasio Murni (1781), Kant menunjukkan bahwa pengalaman manusia
tidak dapat dilepaskan dari struktur apriori akal budi—membuka babak baru yang
disebut “filsafat kritis”.4 Pemikiran Kant bukan hanya
penting secara individual, tetapi juga sebagai simpul dalam jaringan sejarah
ide yang dapat ditelusuri secara sinkronik dalam konteks pencerahan, dan secara
diakronik sebagai jembatan menuju idealisme Jerman dan tradisi filsafat
kontemporer.
Dengan demikian,
kajian atas periode modernitas dalam filsafat melalui pendekatan sinkronik
dan diakronik tidak hanya memperkaya pemahaman kita terhadap
perbedaan dan kontinuitas pemikiran, tetapi juga mengungkap struktur historis
dari dinamika intelektual yang membentuk dasar filsafat modern dan kontemporer.
Footnotes
[1]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science
and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press,
2006), 5–9.
[2]
Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes
to Wittgenstein, 2nd ed. (London: Routledge, 2001), 32–35.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume VI – Modern
Philosophy: From Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994),
xv–xvii.
[4]
Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 21–27.
2.
Latar
Historis: Dari Renaisans ke Modernitas
Periode modern dalam
filsafat tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil akumulasi
sejarah intelektual yang panjang, yang dimulai sejak kebangkitan budaya dan
ilmu pengetahuan pada masa Renaisans. Melalui pendekatan diakronik,
kita dapat menelusuri bagaimana momentum intelektual sejak abad ke-14 membuka
jalan bagi revolusi epistemologis dan metafisik yang menjadi ciri khas filsafat
modern. Renaisans, dengan semangat ad fontes-nya, menantang hegemoni otoritas
skolastik yang selama berabad-abad mendominasi wacana intelektual di Eropa.
Penekanan pada pemikiran individual, penggalian naskah-naskah klasik
Yunani-Romawi, dan munculnya humanisme mendorong pergeseran mendasar dari
teosentrisme menuju antroposentrisme.1
Salah satu figur
penting transisi ini adalah Francis Bacon (1561–1626), yang
mengkritik metode deduktif skolastik dan menawarkan pendekatan empiris berbasis
observasi dan eksperimen. Melalui Novum Organum (1620), Bacon
menyerukan rekonstruksi total pengetahuan manusia dengan menempatkan pengalaman
sebagai titik awal filsafat dan ilmu.2 Pemikiran Bacon menandai
permulaan dari semangat modern: optimisme terhadap kemajuan, keberdayaan akal,
dan metode ilmiah.
Secara sinkronik,
masa peralihan ini juga menyaksikan munculnya berbagai aliran dan pemikir
dengan fokus yang berbeda namun saling terkait. Di satu sisi, Galileo
Galilei mengukuhkan metode observasi dan matematika sebagai
fondasi sains modern, yang mengguncang pandangan dunia geosentris yang selama
ini dianut Gereja.3 Di sisi lain, René Descartes (1596–1650)
memformulasikan pendekatan rasionalis yang revolusioner dalam Discours
de la méthode (1637) dan Meditationes de Prima Philosophia
(1641), dengan menegaskan bahwa kepastian pengetahuan harus dimulai dari subjek
yang berpikir: Cogito, ergo sum.4
Sinkronisitas antara revolusi ilmiah dan reformulasi filosofis ini mencerminkan
perubahan paradigma yang mendalam dalam cara manusia memahami diri dan dunia.
Namun, transisi
menuju modernitas juga tidak lepas dari konteks sosial-politik yang lebih luas.
Reformasi
Protestan, dengan tokoh seperti Martin Luther, turut
mengguncang otoritas institusional Gereja Katolik dan membuka jalan bagi
otonomi individu dalam menafsirkan kebenaran.5 Selain itu,
perkembangan teknologi percetakan, penemuan dunia baru, dan munculnya
negara-negara bangsa (nation-states) semakin memperkuat semangat subjektivitas
dan kedaulatan manusia dalam berpikir.
Dalam pandangan diakronik,
puncak dari fase transisi ini ditandai oleh semakin intensifnya refleksi atas
fondasi pengetahuan yang berpuncak pada debat antara rasionalisme
dan empirisme,
yang nantinya dikritik dan disintesiskan secara mendalam oleh Immanuel
Kant. Dengan demikian, fase dari Renaisans ke awal modernitas
dapat dipahami sebagai fondasi historis yang menentukan arah filsafat modern
dan memberi landasan bagi pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang menjadi
pusat perhatian filsafat Kantian.
Footnotes
[1]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and the Arts: Collected
Essays (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–25.
[2]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding, Robert
Ellis, and Douglas Heath (Oxford: Clarendon Press, 1857), I. Aphorism 1–5.
[3]
Thomas Kuhn, The Copernican Revolution: Planetary Astronomy in the
Development of Western Thought (Cambridge: Harvard University Press,
1957), 201–205.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.
[5]
Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 4th
ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 45–49.
3.
Rasionalisme
dan Empirisme: Dua Poros Awal Modernitas
Dalam konfigurasi
awal filsafat modern, dua poros utama yang mendominasi perdebatan epistemologis
dan metafisik adalah rasionalisme dan empirisme.
Keduanya, meskipun berkembang dalam konteks geografis dan tradisi yang berbeda,
mewakili ikhtiar intelektual untuk mendefinisikan ulang sumber dan validitas
pengetahuan manusia. Melalui pendekatan sinkronik, kita dapat melihat
bahwa pada abad ke-17 dan ke-18, Eropa menjadi medan pemikiran yang sangat
dinamis di mana berbagai pandangan filsafat saling berbenturan dan
berinteraksi, sementara pendekatan diakronik memungkinkan kita
menelusuri bagaimana kedua arus besar ini berkembang secara historis menuju
titik sintesis dalam pemikiran Immanuel Kant.
3.1.
Rasionalisme:
Kepastian melalui Akal
Rasionalisme muncul
sebagai respons terhadap ketidakpastian dan keraguan yang ditimbulkan oleh
krisis otoritas abad pertengahan. Filsuf-filsuf rasionalis seperti René
Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried
Wilhelm Leibniz berpendapat bahwa akal (reason) merupakan
sumber utama dan paling dapat diandalkan dalam memperoleh pengetahuan yang
benar dan pasti.
Descartes, dalam Meditationes
de Prima Philosophia (1641), merumuskan prinsip cogito,
ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) sebagai fondasi kepastian
epistemologis. Ia mengembangkan metode deduktif yang menempatkan ide-ide bawaan
(innate ideas) sebagai struktur dasar pikiran manusia.1 Bagi
Descartes, pengetahuan yang sejati harus memiliki karakter clear
and distinct, dan hal ini hanya dapat dicapai melalui refleksi
rasional yang bebas dari pengaruh empiris yang menipu.
Spinoza
mengembangkan sistem filsafat geometris yang menjelaskan realitas sebagai
ekspresi dari satu substansi ilahi, yaitu Tuhan atau Natura, yang dapat
dipahami secara rasional dan imanen.2 Sementara itu, Leibniz
menambahkan konsep monad sebagai entitas metafisik
yang mendasari kenyataan, serta prinsip sufficient reason yang menyatakan
bahwa segala sesuatu harus memiliki dasar rasional yang memadai.3
3.2.
Empirisme:
Pengetahuan dari Pengalaman
Di sisi lain, empirisme
menolak ide bawaan dan menekankan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman inderawi. Filsuf-filsuf utama aliran ini seperti John
Locke, George Berkeley, dan David
Hume mengembangkan pandangan bahwa pikiran manusia pada awalnya
adalah tabula
rasa, yang kemudian diisi oleh kesan-kesan (impressions) dari dunia
luar.
Locke dalam An Essay
Concerning Human Understanding (1690) menyatakan bahwa tidak ada
ide yang hadir dalam pikiran manusia sebelum pengalaman. Ia membedakan antara
kualitas primer (seperti bentuk dan gerak) dan kualitas sekunder (seperti warna
dan rasa), serta menekankan pentingnya observasi dalam memperoleh pengertian.4
Berkeley, lebih radikal, menyatakan bahwa “esse est percipi” (menjadi adalah
dipersepsi), menolak keberadaan materi yang tidak dipersepsi, dan menegaskan
bahwa semua eksistensi bergantung pada pikiran dan Tuhan sebagai pengamat abadi.5
Puncak dari kritik
empirisme tampak dalam pemikiran Hume, yang meragukan validitas hubungan
sebab-akibat sebagai sesuatu yang dapat dibuktikan secara rasional. Dalam An
Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume menunjukkan
bahwa kebiasaan (habit) dan bukan penalaran logis adalah dasar dari keyakinan
akan kausalitas.6 Konsekuensinya, ia menyimpulkan bahwa banyak
gagasan metafisis klasik, seperti substansi dan diri, tidak memiliki dasar yang
sah dalam pengalaman.
3.3.
Kajian Sinkronik dan
Diakronik: Ketegangan dan Persiapan Menuju Kritik Kantian
Secara sinkronik,
perdebatan antara rasionalisme dan empirisme mencerminkan dua kutub pemikiran
yang dominan di Eropa modern awal—kontinental dan Britania Raya. Rasionalis
terutama berkembang di daratan Eropa (Prancis, Belanda, Jerman), sementara
empiris berkembang di Inggris dan Irlandia. Kedua arus ini menanggapi krisis
fondasional filsafat modern dengan cara yang saling berlawanan, namun secara
bersamaan membentuk struktur wacana yang dominan pada zamannya.
Sementara itu,
pendekatan diakronik menunjukkan bahwa
ketegangan antara dua tradisi ini secara perlahan mengarah pada krisis
epistemologis yang hanya dapat diatasi melalui pendekatan baru. Immanuel Kant
membaca Hume dan mengakui bahwa keragu-raguan empirisme membangunkan dirinya
dari "tidur dogmatis". Dalam kerangka ini, Kant berupaya
menyintesiskan dua kutub tersebut dengan menyatakan bahwa meskipun semua
pengetahuan dimulai dari pengalaman, tetapi tidak semua pengetahuan berasal
dari pengalaman. Terdapat struktur apriori dalam akal budi yang membentuk
kemungkinan pengalaman itu sendiri.7
Dengan demikian, dua
poros utama filsafat awal modern ini bukan hanya menandai divergensi
metodologis, tetapi juga berperan sebagai fondasi intelektual yang membuka
jalan bagi fase kritik transendental dalam pemikiran Kant.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–23.
[2]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part I, Prop. XI–XIV.
[3]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), §1–§14.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, Chapter I.
[5]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998),
§3–§6.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), Section IV.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), B1–B3.
4.
Immanuel
Kant: Kritik sebagai Sintesis Paradigmatik
Filsafat modern
mencapai titik baliknya dalam pemikiran Immanuel Kant (1724–1804),
filsuf asal Königsberg, yang dalam karya utamanya Kritik der reinen Vernunft (Critique
of Pure Reason, 1781) merumuskan sintesis revolusioner antara dua
arus besar sebelumnya: rasionalisme dan empirisme.
Dengan pendekatan sinkronik, Kant dapat dilihat
sebagai representasi puncak dari semangat Aufklärung (Pencerahan), yang
menempatkan otonomi rasio sebagai landasan filsafat. Sementara itu, secara diakronik,
karya-karya Kant merupakan respons kritis terhadap sejarah panjang metafisika
dan epistemologi sejak masa skolastik, Renaisans, dan pertarungan ide modern
awal.
4.1.
Kritik atas Rasio
Murni: Revolusi Kopernikan Filsafat
Kant memulai
kritiknya dari kesadaran akan keterbatasan pendekatan empirisme maupun
rasionalisme. Ia menyatakan bahwa kedua aliran tersebut gagal menjelaskan syarat-syarat
kemungkinan pengetahuan. Pengalaman memang memberikan isi
pengetahuan, tetapi bentuknya berasal dari struktur apriori akal budi manusia.1
Oleh sebab itu, Kant menyatakan bahwa filsafat harus beralih dari paradigma “pengetahuan
menyesuaikan diri pada objek” ke paradigma baru di mana “objek
menyesuaikan diri pada struktur subjek”. Ia menyebut pendekatan ini sebagai
“revolusi
kopernikan” dalam filsafat.2
Kant membagi
kemampuan kognitif manusia ke dalam dua fakultas utama: sensibilitas
(indrawi) dan pengertian (verstand).
Sensibilitas menyediakan intuisi ruang dan waktu, yang bersifat apriori,
sedangkan pengertian mengorganisasi data indrawi melalui kategori-kategori
rasional, seperti kausalitas, kesatuan, dan pluralitas.3
Dengan demikian, semua pengetahuan adalah hasil sintesis antara intuisi
empiris dan struktur apriori akal, dan ini
menandai jalan tengah antara empirisme yang menekankan pengalaman dan
rasionalisme yang menekankan ide bawaan.
Kritik Kant juga
melibatkan penolakan terhadap metafisika tradisional
sebagai spekulasi kosong. Ia menunjukkan bahwa konsep-konsep seperti Tuhan,
jiwa, dan kebebasan bukanlah objek pengetahuan teoretis, karena tidak dapat
ditangkap dalam batas-batas pengalaman. Namun demikian, konsep-konsep itu tetap
memiliki fungsi regulatif dalam kerangka rasio
praktis dan moral.4
4.2.
Kritik atas Rasio
Praktis: Otonomi Moral dan Etika Deontologis
Dalam Kritik
der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason,
1788), Kant memperluas kritiknya ke dalam ranah etika. Ia berpendapat bahwa
kebebasan bukanlah objek pengetahuan, melainkan postulat moral yang dibutuhkan
agar hukum moral menjadi mungkin. Hukum moral Kant bersifat apriori,
tidak bersandar pada konsekuensi atau hasil, melainkan pada imperatif
kategoris, yaitu prinsip yang dapat dijadikan hukum universal: “Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga engkau dapat menghendaki agar maksima dari tindakanmu
menjadi hukum universal.”5
Konsepsi Kant
tentang etika sangat berbeda dari etika utilitarian maupun eudaimonistik. Ia
menolak pencarian kebahagiaan sebagai landasan moralitas, dan menempatkan kewajiban
(Pflicht) serta otonomi kehendak sebagai pusat
dari tindakan etis. Manusia, menurut Kant, harus diperlakukan sebagai tujuan
pada dirinya sendiri dan bukan semata-mata sebagai sarana.6
4.3.
Sinkroni: Kant dalam
Lanskap Intelektual Abad ke-18
Secara sinkronik,
pemikiran Kant tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual Eropa abad
ke-18. Ia berinteraksi dengan filsuf-filsuf utama Pencerahan seperti David
Hume, yang memberikan pengaruh signifikan dalam membangunkan
Kant dari apa yang ia sebut sebagai “tidur dogmatis”.7 Kant
juga berdialog dengan tradisi rasionalisme kontinental, khususnya melalui
pengaruh Leibniz dan Wolff, meskipun kemudian ia mengkritik pendekatan dogmatis
mereka. Selain itu, Kant menulis dalam konteks pertumbuhan ilmu pengetahuan
alam dan revolusi ilmiah Newtonian yang memberikan inspirasi pada struktur
sistematik filsafatnya.8
4.4.
Diakroni: Kant
sebagai Titik Balik Sejarah Filsafat
Secara diakronik,
Kant menjadi titik balik dalam sejarah
filsafat Barat. Ia tidak hanya menyintesiskan rasionalisme dan empirisme,
tetapi juga menandai peralihan dari metafisika spekulatif
menuju filsafat kritis. Pengaruhnya tidak berhenti pada
generasi zamannya, tetapi meluas ke era sesudahnya, seperti dalam filsafat
idealisme Jerman (Fichte, Schelling, dan Hegel), serta dalam
filsafat modern abad ke-20, baik dalam tradisi fenomenologi, eksistensialisme,
maupun filsafat
analitik.
Karya Kant menandai
transformasi filsafat sebagai penyelidikan atas syarat-syarat kemungkinan,
bukan lagi sebagai deskripsi ontologis realitas objektif. Dengan demikian,
pendekatan kritis Kant membuka era baru dalam filsafat, yang lebih reflektif,
struktural, dan sistematik dalam membedah relasi antara subjek dan dunia.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75.
[2]
Ibid., Bxvi–Bxvii.
[3]
Ibid., A70/B95–A83/B116.
[4]
Ibid., A591/B619–A602/B630.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423 (Akademie
pagination).
[6]
Ibid., 429–430.
[7]
Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Gary
Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), §4.
[8]
Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 37–42.
5.
Implikasi
Modernitas: Ontologi, Epistemologi, dan Etika
Periode modernitas
dalam filsafat tidak hanya merevolusi cara berpikir tentang dunia dan manusia,
tetapi juga meletakkan dasar bagi transformasi konseptual dalam tiga ranah
utama filsafat: ontologi, epistemologi,
dan etika.
Pendekatan sinkronik memungkinkan kita
memahami struktur pemikiran filosofis dalam kerangka abad ke-17 hingga ke-18
yang didominasi oleh upaya merumuskan dasar-dasar kebenaran secara sistematik.
Sedangkan pendekatan diakronik memperlihatkan
bagaimana perkembangan konseptual dalam ketiga ranah ini bergerak dari
pemikiran klasik dan skolastik menuju paradigma kritis dan otonom, yang
berpuncak pada pemikiran Kantian dan warisannya dalam filsafat kontemporer.
5.1.
Ontologi: Substansi,
Subjek, dan Struktur Realitas
Dalam kerangka
modernitas, ontologi mengalami pergeseran dari metafisika klasik yang
menekankan substansi universal ke arah
pemikiran yang berfokus pada relasi subjek-objek serta
struktur representasional realitas. Rasionalisme awal, seperti pada Descartes
dan Leibniz, masih berbicara dalam istilah substansi, baik dalam bentuk
substansi berpikir (res cogitans) maupun substansi
ekstensi (res
extensa).1 Namun, Kant mengkritik pendekatan ini karena
dianggap bersifat dogmatis, yaitu menetapkan
entitas metafisik tanpa dasar kritis.
Sebagai gantinya,
Kant menegaskan bahwa pertanyaan ontologis harus tunduk pada syarat-syarat
kemungkinan pengalaman, yakni bahwa hanya fenomena (bukan
noumena) yang dapat menjadi objek pengetahuan. Realitas tidak ditentukan oleh
apa yang ada "di luar", melainkan oleh cara subjek membentuk
pengalaman melalui ruang, waktu, dan kategori-kategori apriori.2
Dengan demikian, modernitas mengubah ontologi menjadi transendental,
yakni studi mengenai kondisi yang memungkinkan sesuatu dapat muncul sebagai
objek.
Perubahan ini
memengaruhi perkembangan ontologi modern, seperti dalam
filsafat eksistensialisme, fenomenologi, hingga strukturalisme, yang semuanya
menekankan bahwa keberadaan tidak bisa dilepaskan dari pemaknaan subjek dan
struktur historis-budaya. Secara diakronik, ini mencerminkan
evolusi dari ontologi metafisis menuju analisis eksistensial dan kultural.3
5.2.
Epistemologi: Dari
Kepastian Rasional ke Kritik Kemampuan Akal
Dalam ranah
epistemologi, modernitas menandai pergeseran dari pengetahuan
sebagai refleksi realitas eksternal menjadi pengetahuan
sebagai konstruksi aktif subjek. Rasionalisme berangkat dari
ide bahwa pengetahuan sejati bersifat a priori, diperoleh melalui akal
budi murni tanpa pengalaman, seperti yang diyakini Descartes dan Leibniz.
Sementara itu, empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman dan pengamatan inderawi, seperti dikemukakan oleh Locke dan Hume.4
Namun, Kant
menyadari keterbatasan kedua pendekatan ini dan menawarkan sintesis dalam
bentuk epistemologi
transendental: pengetahuan dimungkinkan karena struktur apriori
akal budi mengorganisasi pengalaman empiris. Oleh karena itu, Kant memisahkan
antara pengetahuan
fenomenal, yang dapat dikenali melalui sintesis intuisi dan
konsep, dan pengetahuan noumenal, yang
berada di luar jangkauan pengalaman dan tidak dapat diketahui secara teoretis.5
Implikasi penting
dari pendekatan ini adalah munculnya kesadaran akan keterbatasan epistemologis,
yang menjadi ciri utama pemikiran modern dan kontemporer. Filsafat tidak lagi
mengejar kebenaran absolut metafisik, tetapi berfokus pada validitas,
legitimasi, dan syarat-syarat historis-ideologis dari pengetahuan. Hal ini
menjadi fondasi bagi filsafat kritis, seperti Mazhab
Frankfurt, serta filsafat analitik, yang
menekankan analisis bahasa dan logika.6
5.3.
Etika: Otonomi,
Kebebasan, dan Prinsip Moralitas Universal
Modernitas juga
mengubah cara memahami etika. Jika dalam kerangka pra-modern dan skolastik,
etika sangat terkait dengan teleologi kosmis dan perintah ilahi, maka filsafat
modern—khususnya melalui Kant—menekankan otonomi subjek moral. Etika
Kantian menolak etika heteronom, yaitu moralitas yang ditentukan oleh otoritas
eksternal (Tuhan, tradisi, atau hasil), dan menggantinya dengan prinsip imperatif
kategoris yang bersifat universal dan rasional.7
Dalam pendekatan
Kant, moralitas bukanlah sekadar sarana menuju kebahagiaan, tetapi tujuan pada
dirinya sendiri. Subjek rasional bertindak secara moral ketika ia mematuhi
hukum yang ia berikan sendiri dalam bentuk prinsip universal yang dapat
dijadikan hukum umum. Dengan demikian, modernitas mengangkat kebebasan
sebagai fondasi moralitas, bukan sebagai kebebasan dari, tetapi
sebagai kebebasan untuk menetapkan hukum moral secara
otonom.8
Secara sinkronik,
etika Kantian bersaing dengan aliran utilitarianisme (seperti Jeremy Bentham
dan John Stuart Mill), yang mengukur moralitas berdasarkan konsekuensi
tindakan. Sementara secara diakronik, prinsip otonomi
moral Kant membuka jalan bagi pemikiran etis modern dalam bentuk etika
hak asasi manusia, diskursus etika (Habermas),
serta debat kontemporer mengenai tanggung jawab individual dan kolektif dalam
masyarakat plural.9
Dengan demikian,
implikasi filsafat modernitas tidak hanya terbatas pada perumusan sistem atau
teori, tetapi menyentuh struktur paling mendasar dari cara berpikir
manusia modern mengenai realitas, pengetahuan, dan kehidupan
moral. Melalui analisis sinkronik dan diakronik, kita dapat melihat bagaimana
rasionalisme, empirisme, dan kritik Kantian tidak sekadar berdiri sendiri,
tetapi berinteraksi dan membentuk trajektori filosofis yang terus berkembang
hingga hari ini.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 28–32.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), A92/B124–A95/B128.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–25.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II.
[5]
Kant, Critique of Pure Reason, A235/B294–A246/B303.
[6]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 302–304.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.
[8]
Ibid., 440–442.
[9]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and
Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 1–14.
6.
Warisan
Filsafat Modern dalam Dunia Kontemporer
Warisan filsafat
modern tidak hanya berakhir dengan Immanuel Kant, tetapi justru membuka horizon
baru dalam pemikiran filsafat kontemporer yang kompleks dan bercabang.
Pemikiran modern membentuk landasan bagi berbagai tradisi filsafat yang
berkembang di abad ke-19 dan ke-20, termasuk idealisme Jerman, fenomenologi,
eksistensialisme, filsafat analitik, hingga teori kritis dan
post-strukturalisme. Pendekatan sinkronik memungkinkan kita
melihat bagaimana berbagai aliran kontemporer merespons, memperluas, atau
mengkritik prinsip-prinsip modernitas. Sementara itu, pendekatan diakronik
menelusuri kesinambungan dan transformasi gagasan dari modernitas menuju
pemikiran mutakhir.
6.1.
Idealisme Jerman dan
Reaktualisasi Transendentalisme Kant
Setelah Kant, muncul
generasi pemikir yang memperluas konsepsi transendentalisme ke arah sistem
ontologis dan historis. Johann Gottlieb Fichte, Friedrich
Wilhelm Joseph Schelling, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel
merupakan tokoh utama idealisme Jerman yang mencoba
mengatasi dikotomi antara subjek dan objek dalam pemikiran Kant. Hegel,
khususnya, mengembangkan dialektika historis yang
menempatkan subjek dan realitas dalam dinamika negasi dan sintesis sebagai
bagian dari perkembangan Roh Absolut.1 Melalui pendekatan ini,
warisan Kant diartikulasikan ulang sebagai gerak sejarah kesadaran manusia.
6.2.
Fenomenologi dan
Eksistensialisme: Menegaskan Subjektivitas dan Pengalaman
Dalam abad ke-20,
pemikiran Kantian diteruskan oleh tradisi fenomenologi, yang dipelopori
oleh Edmund
Husserl, yang menekankan pentingnya kesadaran transendental
sebagai titik awal analisis filosofis. Husserl melanjutkan warisan Kant dengan
pendekatan yang berfokus pada epoche dan intentionalitas,
sebagai sarana memahami struktur kesadaran dalam hubungannya dengan dunia
pengalaman.2
Pemikiran ini
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Martin Heidegger, yang
menggeser fokus dari kesadaran ke keberadaan (Being), serta oleh Jean-Paul
Sartre dan Simone de Beauvoir yang
memperluasnya menjadi etika dan politik eksistensialis. Eksistensialisme modern
merupakan bentuk kritik terhadap sistematisasi rasionalitas modern, dengan
menekankan kebebasan individu, keotentikan, dan absurditas eksistensi.3
6.3.
Filsafat Analitik
dan Rasionalitas Formal
Sementara itu, di
dunia Anglo-Amerika berkembang tradisi filsafat analitik, yang secara
metodologis mewarisi semangat rasionalisme modern tetapi mengadaptasinya dalam
bentuk yang lebih formal dan logis. Tokoh-tokoh seperti Bertrand
Russell, G.E. Moore, dan Ludwig
Wittgenstein awal memfokuskan filsafat pada analisis
bahasa, simbol, dan logika formal, sebagai upaya menyingkirkan
kebingungan konseptual yang diwarisi dari metafisika tradisional.4
Meskipun tradisi ini
tampak menjauh dari metafisika Kantian, banyak filsuf analitik
kontemporer—seperti P.F. Strawson dan Wilfrid
Sellars—menghidupkan kembali elemen-elemen Kant, terutama dalam
hal struktur apriori dan syarat-syarat konseptual pemahaman dunia.5 Dengan
demikian, terdapat kesinambungan yang kuat antara proyek Kantian dan upaya
analitik kontemporer dalam memahami bahasa, makna, dan struktur logis realitas.
6.4.
Teori Kritis dan
Warisan Etika Otonomi
Dalam ranah
sosial-politik, pemikiran Kant tentang kebebasan, otonomi, dan rasionalitas praktis
menjadi inspirasi utama bagi Mazhab Frankfurt dan teori
kritis, yang dipelopori oleh Max Horkheimer, Theodor
Adorno, dan Jürgen Habermas. Habermas,
khususnya, mengembangkan teori tindakan komunikatif yang bertumpu pada
prinsip-prinsip Kantian tentang rasionalitas dan universalitas, namun diperluas
ke dalam ruang diskursus publik dan demokrasi deliberatif.6
Etika Kant juga
memiliki resonansi kuat dalam hak asasi manusia, bioetika,
dan filsafat
politik liberal kontemporer, yang menempatkan otonomi individu
dan prinsip moral universal sebagai dasar keadilan dan kebijakan publik. Dalam
pendekatan sinkronik, kita dapat menyaksikan
bagaimana prinsip-prinsip Kant berdampingan—dan kadang bertentangan—dengan
pendekatan etika utilitarian, komunitarian, dan postmodern.
6.5.
Postmodernisme:
Kritik atas Rasionalitas Modern
Sebaliknya, postmodernisme
tampil sebagai kritik tajam terhadap klaim universalisme dan objektivitas yang
merupakan warisan filsafat modern. Tokoh seperti Michel
Foucault, Jean-François Lyotard, dan Jacques
Derrida menyoroti dimensi kekuasaan, narasi besar (grand
narrative), dan instabilitas makna dalam proyek rasionalitas modern.7
Mereka menolak otonomi subjek sebagai fiksi filosofis dan menegaskan
pluralitas, kontingensi, dan dekonstruksi sebagai cara baru memahami filsafat.
Dalam pendekatan diakronik,
postmodernisme dapat dipahami bukan sebagai pemutusan total dari modernitas,
tetapi sebagai kelanjutan yang bersifat reflektif dan dekonstruktif. Bahkan,
bisa dikatakan bahwa postmodernisme adalah “anak kandung yang memberontak”
terhadap modernisme.
Dengan demikian,
warisan filsafat modern tidak bersifat tunggal, melainkan pluriform
dan berlapis, dengan berbagai respons yang saling bersilang.
Pendekatan sinkronik menunjukkan kompleksitas pemikiran kontemporer yang tetap
menggali—atau menantang—prinsip-prinsip dasar modernitas. Sedangkan pendekatan
diakronik menegaskan kesinambungan sejarah ide dari Kant dan pendahulunya,
menuju horizon filsafat yang terus berkembang dalam menjawab tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 27–29.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 51–57.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 21–24.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), Propositions 1–7.
[5]
P.F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of
Pure Reason (London: Methuen, 1966), 17–25.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 285–290.
[7]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
7.
Penutup
Kajian atas periode
modernitas dalam filsafat, khususnya melalui poros rasionalisme,
empirisme,
dan kritik
Kantian, memperlihatkan bahwa filsafat modern bukan sekadar
babak sejarah, melainkan fondasi epistemologis, etis, dan ontologis
bagi pemikiran kontemporer. Melalui pendekatan sinkronik, kita telah melihat
bagaimana berbagai aliran dalam periode ini muncul dan berkembang secara
paralel, masing-masing mengusung solusi terhadap persoalan pengetahuan,
realitas, dan moralitas dengan karakter konseptual yang khas namun saling
bersinggungan. Rasionalisme menekankan otonomi akal sebagai sumber pengetahuan,
sementara empirisme menekankan pentingnya pengalaman inderawi; keduanya
berpuncak pada sintesis kritis dalam pemikiran Immanuel Kant, yang
memformulasikan struktur transendental sebagai syarat kemungkinan pengalaman
dan pengetahuan.1
Sementara itu,
pendekatan diakronik memungkinkan
pemahaman yang lebih mendalam tentang perkembangan historis ide dalam
filsafat. Dari krisis otoritas teologis pada akhir abad pertengahan, muncul
semangat Renaisans dan Pencerahan yang memunculkan pemikiran rasional-empiris.
Kant, dalam hal ini, tidak hanya berperan sebagai perumus teori kritis terhadap
metafisika dogmatis dan skeptisisme empiris, tetapi juga sebagai penyambung
historis antara masa lalu dan masa depan filsafat.2
Filsafatnya menjadi jembatan antara metafisika klasik dan berbagai arus
kontemporer seperti idealisme Jerman, fenomenologi, filsafat analitik, teori
kritis, hingga postmodernisme.
Modernitas telah
menanamkan kesadaran kritis akan peran subjek,
struktur berpikir, dan syarat-syarat normatif dari tindakan manusia. Filsafat
tidak lagi hanya menyoal hakikat realitas, tetapi juga bagaimana manusia
sebagai subjek aktif membentuk dunia melalui pengetahuan dan tindakan moral.
Sebagaimana dicontohkan dalam Critique of Practical Reason, Kant
menempatkan kebebasan dan otonomi sebagai
dasar etika universal, suatu warisan yang terus dikembangkan dalam filsafat
moral dan politik modern hingga hari ini.3
Namun demikian,
warisan modernitas tidak lepas dari kritik. Filsafat kontemporer memperlihatkan
bahwa rasionalitas modern, dengan klaim-klaim universalitasnya, seringkali
mengabaikan pluralitas pengalaman dan konteks historis-budaya yang tak kalah
menentukan. Postmodernisme, dekonstruksi, dan hermeneutika memperingatkan akan
bahaya reduksi terhadap kompleksitas eksistensial dan kultural dalam proyek
modern.4 Kritik ini justru memperkaya pemahaman kita bahwa modernitas
adalah proyek yang belum selesai, yang menuntut refleksi
terus-menerus melalui dialog antara masa lalu dan masa kini.
Dengan demikian, pembacaan
terhadap filsafat modern melalui pendekatan sinkronik dan diakronik tidak hanya
penting untuk memahami peta intelektual masa lalu, tetapi juga menjadi alat
konseptual untuk membaca krisis dan tantangan dunia kontemporer.
Dalam ketegangan antara warisan rasionalitas dan pluralitas postmodern,
pemikiran Kant tetap menjadi poros reflektif yang relevan—baik sebagai fondasi
maupun sebagai objek kritik filosofis yang terus hidup.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75.
[2]
Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from
Kant to Fichte (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 3–5.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–31.
[4]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxiv.
Daftar Pustaka
Beiser, F. C. (1987). The fate of reason: German
philosophy from Kant to Fichte. Harvard University Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender,
community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.
Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the
principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy:
Volume VI – Modern philosophy: From Descartes to Leibniz. Image Books.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Gaukroger, S. (2006). The emergence of a
scientific culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685. Oxford
University Press.
Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (T. McCarthy, Trans.; Vol. 1). Beacon Press.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). Macmillan.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (2004). Prolegomena to any future metaphysics
(G. Hatfield, Trans.). Cambridge University Press.
Kristeller, P. O. (1990). Renaissance thought
and the arts: Collected essays. Princeton University Press.
Kuhn, T. S. (1957). The Copernican revolution:
Planetary astronomy in the development of Western thought. Harvard
University Press.
Leibniz, G. W. (1991). Monadology (N.
Rescher, Trans.). University of Pittsburgh Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
McGrath, A. E. (2012). Reformation thought: An
introduction (4th ed.). Wiley-Blackwell.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Scruton, R. (2001). A short history of modern
philosophy: From Descartes to Wittgenstein (2nd ed.). Routledge.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). Penguin Classics.
Strawson, P. F. (1966). The bounds of sense: An
essay on Kant’s Critique of pure reason. Methuen.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar