Senin, 12 Mei 2025

Periode Modernitas dalam Filsafat: Menapaki Modernitas Filsafat

Periode Modernitas dalam Filsafat

Menapaki Modernitas Filsafat


Alihkan ke: Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif terhadap periode modernitas dalam sejarah filsafat melalui pendekatan sinkronik dan diakronik, dengan fokus utama pada tiga poros pemikiran: rasionalisme, empirisme, dan kritik Kantian. Pendekatan sinkronik digunakan untuk menganalisis keberagaman struktur ide dalam kerangka waktu yang bersamaan, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18, di mana rasionalisme dan empirisme berkembang sebagai dua kutub epistemologis yang dominan. Sementara itu, pendekatan diakronik menelusuri perkembangan historis filsafat dari masa Renaisans hingga pemikiran Immanuel Kant sebagai sintesis paradigmatik. Kant menawarkan revolusi konseptual dalam bentuk kritik transendental yang menggabungkan pengalaman inderawi dengan struktur apriori akal, serta merumuskan etika otonomi berbasis imperatif kategoris. Artikel ini juga mengeksplorasi implikasi filsafat modern dalam bidang ontologi, epistemologi, dan etika, serta menelusuri warisan pemikiran modern dalam tradisi filsafat kontemporer seperti idealisme Jerman, fenomenologi, filsafat analitik, teori kritis, dan postmodernisme. Dengan demikian, pembacaan terhadap modernitas filsafat melalui dua pendekatan ini tidak hanya memberikan pemahaman yang historis dan struktural, tetapi juga menegaskan relevansi reflektifnya dalam menjawab tantangan dunia kontemporer.

Kata Kunci: Filsafat modern, rasionalisme, empirisme, Immanuel Kant, kritik transendental, etika otonomi, pendekatan sinkronik, pendekatan diakronik, epistemologi, warisan filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Rasionalisme, Empirisme, dan Kritik Kantian


1.           Pendahuluan

Periode modernitas dalam sejarah filsafat menandai transformasi radikal dalam cara manusia memandang realitas, kebenaran, dan pengetahuan. Berbeda dari era skolastik yang berakar pada otoritas agama dan sintesis Aristotelian-Thomis, filsafat modern muncul sebagai upaya mendasar untuk mendasarkan pengetahuan pada rasio dan pengalaman langsung. Proyek modernitas, sebagaimana dirumuskan oleh para pemikir seperti René Descartes dan Francis Bacon, berpangkal pada keyakinan bahwa subjek manusia dapat menjadi pusat dari segala pengamatan dan refleksi filosofis, menjadikan otonomi intelektual sebagai prinsip utama zaman baru ini.1

Pendekatan sinkronik terhadap filsafat modern memungkinkan kita untuk memetakan spektrum pemikiran yang berkembang pada masa yang sama namun berseberangan secara konseptual—seperti rasionalisme di satu sisi dan empirisme di sisi lain. Rasionalisme, yang berpuncak pada pemikiran Descartes, Spinoza, dan Leibniz, meyakini bahwa akal (reason) merupakan fondasi utama bagi seluruh pengetahuan yang valid. Sementara itu, empirisme yang dipelopori oleh Locke, Berkeley, dan Hume menekankan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama segala pengertian.2 Pendekatan ini membantu memahami struktur konseptual yang saling mengisi atau bahkan bertentangan dalam satu kerangka waktu historis.

Sementara itu, pendekatan diakronik menempatkan filsafat modern dalam jalur historis yang dinamis—sebuah kesinambungan dan sekaligus pemutusan dari era sebelumnya. Modernitas dalam filsafat tidak muncul dalam kekosongan; ia merupakan hasil dari evolusi panjang mulai dari Renaisans, Reformasi, hingga revolusi ilmiah. Perubahan ini tidak hanya menyangkut isi pemikiran, melainkan juga metode dan tujuan filsafat itu sendiri. Dalam konteks ini, lahirlah kritik terhadap metafisika klasik dan penataan ulang epistemologi oleh Immanuel Kant, yang dikenal sebagai “revolusi kopernikan” dalam filsafat modern.3

Immanuel Kant menjadi figur sentral yang tidak hanya menyintesiskan ketegangan antara rasionalisme dan empirisme, tetapi juga mengarahkan filsafat ke arah refleksi atas syarat-syarat kemungkinan pengetahuan itu sendiri. Dengan karya utamanya Kritik atas Rasio Murni (1781), Kant menunjukkan bahwa pengalaman manusia tidak dapat dilepaskan dari struktur apriori akal budi—membuka babak baru yang disebut “filsafat kritis”.4 Pemikiran Kant bukan hanya penting secara individual, tetapi juga sebagai simpul dalam jaringan sejarah ide yang dapat ditelusuri secara sinkronik dalam konteks pencerahan, dan secara diakronik sebagai jembatan menuju idealisme Jerman dan tradisi filsafat kontemporer.

Dengan demikian, kajian atas periode modernitas dalam filsafat melalui pendekatan sinkronik dan diakronik tidak hanya memperkaya pemahaman kita terhadap perbedaan dan kontinuitas pemikiran, tetapi juga mengungkap struktur historis dari dinamika intelektual yang membentuk dasar filsafat modern dan kontemporer.


Footnotes

[1]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 5–9.

[2]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein, 2nd ed. (London: Routledge, 2001), 32–35.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume VI – Modern Philosophy: From Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), xv–xvii.

[4]                Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 21–27.


2.           Latar Historis: Dari Renaisans ke Modernitas

Periode modern dalam filsafat tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil akumulasi sejarah intelektual yang panjang, yang dimulai sejak kebangkitan budaya dan ilmu pengetahuan pada masa Renaisans. Melalui pendekatan diakronik, kita dapat menelusuri bagaimana momentum intelektual sejak abad ke-14 membuka jalan bagi revolusi epistemologis dan metafisik yang menjadi ciri khas filsafat modern. Renaisans, dengan semangat ad fontes-nya, menantang hegemoni otoritas skolastik yang selama berabad-abad mendominasi wacana intelektual di Eropa. Penekanan pada pemikiran individual, penggalian naskah-naskah klasik Yunani-Romawi, dan munculnya humanisme mendorong pergeseran mendasar dari teosentrisme menuju antroposentrisme.1

Salah satu figur penting transisi ini adalah Francis Bacon (1561–1626), yang mengkritik metode deduktif skolastik dan menawarkan pendekatan empiris berbasis observasi dan eksperimen. Melalui Novum Organum (1620), Bacon menyerukan rekonstruksi total pengetahuan manusia dengan menempatkan pengalaman sebagai titik awal filsafat dan ilmu.2 Pemikiran Bacon menandai permulaan dari semangat modern: optimisme terhadap kemajuan, keberdayaan akal, dan metode ilmiah.

Secara sinkronik, masa peralihan ini juga menyaksikan munculnya berbagai aliran dan pemikir dengan fokus yang berbeda namun saling terkait. Di satu sisi, Galileo Galilei mengukuhkan metode observasi dan matematika sebagai fondasi sains modern, yang mengguncang pandangan dunia geosentris yang selama ini dianut Gereja.3 Di sisi lain, René Descartes (1596–1650) memformulasikan pendekatan rasionalis yang revolusioner dalam Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de Prima Philosophia (1641), dengan menegaskan bahwa kepastian pengetahuan harus dimulai dari subjek yang berpikir: Cogito, ergo sum.4 Sinkronisitas antara revolusi ilmiah dan reformulasi filosofis ini mencerminkan perubahan paradigma yang mendalam dalam cara manusia memahami diri dan dunia.

Namun, transisi menuju modernitas juga tidak lepas dari konteks sosial-politik yang lebih luas. Reformasi Protestan, dengan tokoh seperti Martin Luther, turut mengguncang otoritas institusional Gereja Katolik dan membuka jalan bagi otonomi individu dalam menafsirkan kebenaran.5 Selain itu, perkembangan teknologi percetakan, penemuan dunia baru, dan munculnya negara-negara bangsa (nation-states) semakin memperkuat semangat subjektivitas dan kedaulatan manusia dalam berpikir.

Dalam pandangan diakronik, puncak dari fase transisi ini ditandai oleh semakin intensifnya refleksi atas fondasi pengetahuan yang berpuncak pada debat antara rasionalisme dan empirisme, yang nantinya dikritik dan disintesiskan secara mendalam oleh Immanuel Kant. Dengan demikian, fase dari Renaisans ke awal modernitas dapat dipahami sebagai fondasi historis yang menentukan arah filsafat modern dan memberi landasan bagi pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang menjadi pusat perhatian filsafat Kantian.


Footnotes

[1]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and the Arts: Collected Essays (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–25.

[2]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding, Robert Ellis, and Douglas Heath (Oxford: Clarendon Press, 1857), I. Aphorism 1–5.

[3]                Thomas Kuhn, The Copernican Revolution: Planetary Astronomy in the Development of Western Thought (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 201–205.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.

[5]                Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 4th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 45–49.


3.           Rasionalisme dan Empirisme: Dua Poros Awal Modernitas

Dalam konfigurasi awal filsafat modern, dua poros utama yang mendominasi perdebatan epistemologis dan metafisik adalah rasionalisme dan empirisme. Keduanya, meskipun berkembang dalam konteks geografis dan tradisi yang berbeda, mewakili ikhtiar intelektual untuk mendefinisikan ulang sumber dan validitas pengetahuan manusia. Melalui pendekatan sinkronik, kita dapat melihat bahwa pada abad ke-17 dan ke-18, Eropa menjadi medan pemikiran yang sangat dinamis di mana berbagai pandangan filsafat saling berbenturan dan berinteraksi, sementara pendekatan diakronik memungkinkan kita menelusuri bagaimana kedua arus besar ini berkembang secara historis menuju titik sintesis dalam pemikiran Immanuel Kant.

3.1.       Rasionalisme: Kepastian melalui Akal

Rasionalisme muncul sebagai respons terhadap ketidakpastian dan keraguan yang ditimbulkan oleh krisis otoritas abad pertengahan. Filsuf-filsuf rasionalis seperti René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz berpendapat bahwa akal (reason) merupakan sumber utama dan paling dapat diandalkan dalam memperoleh pengetahuan yang benar dan pasti.

Descartes, dalam Meditationes de Prima Philosophia (1641), merumuskan prinsip cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) sebagai fondasi kepastian epistemologis. Ia mengembangkan metode deduktif yang menempatkan ide-ide bawaan (innate ideas) sebagai struktur dasar pikiran manusia.1 Bagi Descartes, pengetahuan yang sejati harus memiliki karakter clear and distinct, dan hal ini hanya dapat dicapai melalui refleksi rasional yang bebas dari pengaruh empiris yang menipu.

Spinoza mengembangkan sistem filsafat geometris yang menjelaskan realitas sebagai ekspresi dari satu substansi ilahi, yaitu Tuhan atau Natura, yang dapat dipahami secara rasional dan imanen.2 Sementara itu, Leibniz menambahkan konsep monad sebagai entitas metafisik yang mendasari kenyataan, serta prinsip sufficient reason yang menyatakan bahwa segala sesuatu harus memiliki dasar rasional yang memadai.3

3.2.       Empirisme: Pengetahuan dari Pengalaman

Di sisi lain, empirisme menolak ide bawaan dan menekankan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Filsuf-filsuf utama aliran ini seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume mengembangkan pandangan bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa, yang kemudian diisi oleh kesan-kesan (impressions) dari dunia luar.

Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding (1690) menyatakan bahwa tidak ada ide yang hadir dalam pikiran manusia sebelum pengalaman. Ia membedakan antara kualitas primer (seperti bentuk dan gerak) dan kualitas sekunder (seperti warna dan rasa), serta menekankan pentingnya observasi dalam memperoleh pengertian.4 Berkeley, lebih radikal, menyatakan bahwa “esse est percipi” (menjadi adalah dipersepsi), menolak keberadaan materi yang tidak dipersepsi, dan menegaskan bahwa semua eksistensi bergantung pada pikiran dan Tuhan sebagai pengamat abadi.5

Puncak dari kritik empirisme tampak dalam pemikiran Hume, yang meragukan validitas hubungan sebab-akibat sebagai sesuatu yang dapat dibuktikan secara rasional. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume menunjukkan bahwa kebiasaan (habit) dan bukan penalaran logis adalah dasar dari keyakinan akan kausalitas.6 Konsekuensinya, ia menyimpulkan bahwa banyak gagasan metafisis klasik, seperti substansi dan diri, tidak memiliki dasar yang sah dalam pengalaman.

3.3.       Kajian Sinkronik dan Diakronik: Ketegangan dan Persiapan Menuju Kritik Kantian

Secara sinkronik, perdebatan antara rasionalisme dan empirisme mencerminkan dua kutub pemikiran yang dominan di Eropa modern awal—kontinental dan Britania Raya. Rasionalis terutama berkembang di daratan Eropa (Prancis, Belanda, Jerman), sementara empiris berkembang di Inggris dan Irlandia. Kedua arus ini menanggapi krisis fondasional filsafat modern dengan cara yang saling berlawanan, namun secara bersamaan membentuk struktur wacana yang dominan pada zamannya.

Sementara itu, pendekatan diakronik menunjukkan bahwa ketegangan antara dua tradisi ini secara perlahan mengarah pada krisis epistemologis yang hanya dapat diatasi melalui pendekatan baru. Immanuel Kant membaca Hume dan mengakui bahwa keragu-raguan empirisme membangunkan dirinya dari "tidur dogmatis". Dalam kerangka ini, Kant berupaya menyintesiskan dua kutub tersebut dengan menyatakan bahwa meskipun semua pengetahuan dimulai dari pengalaman, tetapi tidak semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Terdapat struktur apriori dalam akal budi yang membentuk kemungkinan pengalaman itu sendiri.7

Dengan demikian, dua poros utama filsafat awal modern ini bukan hanya menandai divergensi metodologis, tetapi juga berperan sebagai fondasi intelektual yang membuka jalan bagi fase kritik transendental dalam pemikiran Kant.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–23.

[2]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Prop. XI–XIV.

[3]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), §1–§14.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, Chapter I.

[5]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3–§6.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), Section IV.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), B1–B3.


4.           Immanuel Kant: Kritik sebagai Sintesis Paradigmatik

Filsafat modern mencapai titik baliknya dalam pemikiran Immanuel Kant (1724–1804), filsuf asal Königsberg, yang dalam karya utamanya Kritik der reinen Vernunft (Critique of Pure Reason, 1781) merumuskan sintesis revolusioner antara dua arus besar sebelumnya: rasionalisme dan empirisme. Dengan pendekatan sinkronik, Kant dapat dilihat sebagai representasi puncak dari semangat Aufklärung (Pencerahan), yang menempatkan otonomi rasio sebagai landasan filsafat. Sementara itu, secara diakronik, karya-karya Kant merupakan respons kritis terhadap sejarah panjang metafisika dan epistemologi sejak masa skolastik, Renaisans, dan pertarungan ide modern awal.

4.1.       Kritik atas Rasio Murni: Revolusi Kopernikan Filsafat

Kant memulai kritiknya dari kesadaran akan keterbatasan pendekatan empirisme maupun rasionalisme. Ia menyatakan bahwa kedua aliran tersebut gagal menjelaskan syarat-syarat kemungkinan pengetahuan. Pengalaman memang memberikan isi pengetahuan, tetapi bentuknya berasal dari struktur apriori akal budi manusia.1 Oleh sebab itu, Kant menyatakan bahwa filsafat harus beralih dari paradigma “pengetahuan menyesuaikan diri pada objek” ke paradigma baru di mana “objek menyesuaikan diri pada struktur subjek”. Ia menyebut pendekatan ini sebagai “revolusi kopernikan” dalam filsafat.2

Kant membagi kemampuan kognitif manusia ke dalam dua fakultas utama: sensibilitas (indrawi) dan pengertian (verstand). Sensibilitas menyediakan intuisi ruang dan waktu, yang bersifat apriori, sedangkan pengertian mengorganisasi data indrawi melalui kategori-kategori rasional, seperti kausalitas, kesatuan, dan pluralitas.3 Dengan demikian, semua pengetahuan adalah hasil sintesis antara intuisi empiris dan struktur apriori akal, dan ini menandai jalan tengah antara empirisme yang menekankan pengalaman dan rasionalisme yang menekankan ide bawaan.

Kritik Kant juga melibatkan penolakan terhadap metafisika tradisional sebagai spekulasi kosong. Ia menunjukkan bahwa konsep-konsep seperti Tuhan, jiwa, dan kebebasan bukanlah objek pengetahuan teoretis, karena tidak dapat ditangkap dalam batas-batas pengalaman. Namun demikian, konsep-konsep itu tetap memiliki fungsi regulatif dalam kerangka rasio praktis dan moral.4

4.2.       Kritik atas Rasio Praktis: Otonomi Moral dan Etika Deontologis

Dalam Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason, 1788), Kant memperluas kritiknya ke dalam ranah etika. Ia berpendapat bahwa kebebasan bukanlah objek pengetahuan, melainkan postulat moral yang dibutuhkan agar hukum moral menjadi mungkin. Hukum moral Kant bersifat apriori, tidak bersandar pada konsekuensi atau hasil, melainkan pada imperatif kategoris, yaitu prinsip yang dapat dijadikan hukum universal: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau dapat menghendaki agar maksima dari tindakanmu menjadi hukum universal.”5

Konsepsi Kant tentang etika sangat berbeda dari etika utilitarian maupun eudaimonistik. Ia menolak pencarian kebahagiaan sebagai landasan moralitas, dan menempatkan kewajiban (Pflicht) serta otonomi kehendak sebagai pusat dari tindakan etis. Manusia, menurut Kant, harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan semata-mata sebagai sarana.6

4.3.       Sinkroni: Kant dalam Lanskap Intelektual Abad ke-18

Secara sinkronik, pemikiran Kant tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual Eropa abad ke-18. Ia berinteraksi dengan filsuf-filsuf utama Pencerahan seperti David Hume, yang memberikan pengaruh signifikan dalam membangunkan Kant dari apa yang ia sebut sebagai “tidur dogmatis”.7 Kant juga berdialog dengan tradisi rasionalisme kontinental, khususnya melalui pengaruh Leibniz dan Wolff, meskipun kemudian ia mengkritik pendekatan dogmatis mereka. Selain itu, Kant menulis dalam konteks pertumbuhan ilmu pengetahuan alam dan revolusi ilmiah Newtonian yang memberikan inspirasi pada struktur sistematik filsafatnya.8

4.4.       Diakroni: Kant sebagai Titik Balik Sejarah Filsafat

Secara diakronik, Kant menjadi titik balik dalam sejarah filsafat Barat. Ia tidak hanya menyintesiskan rasionalisme dan empirisme, tetapi juga menandai peralihan dari metafisika spekulatif menuju filsafat kritis. Pengaruhnya tidak berhenti pada generasi zamannya, tetapi meluas ke era sesudahnya, seperti dalam filsafat idealisme Jerman (Fichte, Schelling, dan Hegel), serta dalam filsafat modern abad ke-20, baik dalam tradisi fenomenologi, eksistensialisme, maupun filsafat analitik.

Karya Kant menandai transformasi filsafat sebagai penyelidikan atas syarat-syarat kemungkinan, bukan lagi sebagai deskripsi ontologis realitas objektif. Dengan demikian, pendekatan kritis Kant membuka era baru dalam filsafat, yang lebih reflektif, struktural, dan sistematik dalam membedah relasi antara subjek dan dunia.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75.

[2]                Ibid., Bxvi–Bxvii.

[3]                Ibid., A70/B95–A83/B116.

[4]                Ibid., A591/B619–A602/B630.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423 (Akademie pagination).

[6]                Ibid., 429–430.

[7]                Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Gary Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), §4.

[8]                Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 37–42.


5.           Implikasi Modernitas: Ontologi, Epistemologi, dan Etika

Periode modernitas dalam filsafat tidak hanya merevolusi cara berpikir tentang dunia dan manusia, tetapi juga meletakkan dasar bagi transformasi konseptual dalam tiga ranah utama filsafat: ontologi, epistemologi, dan etika. Pendekatan sinkronik memungkinkan kita memahami struktur pemikiran filosofis dalam kerangka abad ke-17 hingga ke-18 yang didominasi oleh upaya merumuskan dasar-dasar kebenaran secara sistematik. Sedangkan pendekatan diakronik memperlihatkan bagaimana perkembangan konseptual dalam ketiga ranah ini bergerak dari pemikiran klasik dan skolastik menuju paradigma kritis dan otonom, yang berpuncak pada pemikiran Kantian dan warisannya dalam filsafat kontemporer.

5.1.       Ontologi: Substansi, Subjek, dan Struktur Realitas

Dalam kerangka modernitas, ontologi mengalami pergeseran dari metafisika klasik yang menekankan substansi universal ke arah pemikiran yang berfokus pada relasi subjek-objek serta struktur representasional realitas. Rasionalisme awal, seperti pada Descartes dan Leibniz, masih berbicara dalam istilah substansi, baik dalam bentuk substansi berpikir (res cogitans) maupun substansi ekstensi (res extensa).1 Namun, Kant mengkritik pendekatan ini karena dianggap bersifat dogmatis, yaitu menetapkan entitas metafisik tanpa dasar kritis.

Sebagai gantinya, Kant menegaskan bahwa pertanyaan ontologis harus tunduk pada syarat-syarat kemungkinan pengalaman, yakni bahwa hanya fenomena (bukan noumena) yang dapat menjadi objek pengetahuan. Realitas tidak ditentukan oleh apa yang ada "di luar", melainkan oleh cara subjek membentuk pengalaman melalui ruang, waktu, dan kategori-kategori apriori.2 Dengan demikian, modernitas mengubah ontologi menjadi transendental, yakni studi mengenai kondisi yang memungkinkan sesuatu dapat muncul sebagai objek.

Perubahan ini memengaruhi perkembangan ontologi modern, seperti dalam filsafat eksistensialisme, fenomenologi, hingga strukturalisme, yang semuanya menekankan bahwa keberadaan tidak bisa dilepaskan dari pemaknaan subjek dan struktur historis-budaya. Secara diakronik, ini mencerminkan evolusi dari ontologi metafisis menuju analisis eksistensial dan kultural.3

5.2.       Epistemologi: Dari Kepastian Rasional ke Kritik Kemampuan Akal

Dalam ranah epistemologi, modernitas menandai pergeseran dari pengetahuan sebagai refleksi realitas eksternal menjadi pengetahuan sebagai konstruksi aktif subjek. Rasionalisme berangkat dari ide bahwa pengetahuan sejati bersifat a priori, diperoleh melalui akal budi murni tanpa pengalaman, seperti yang diyakini Descartes dan Leibniz. Sementara itu, empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman dan pengamatan inderawi, seperti dikemukakan oleh Locke dan Hume.4

Namun, Kant menyadari keterbatasan kedua pendekatan ini dan menawarkan sintesis dalam bentuk epistemologi transendental: pengetahuan dimungkinkan karena struktur apriori akal budi mengorganisasi pengalaman empiris. Oleh karena itu, Kant memisahkan antara pengetahuan fenomenal, yang dapat dikenali melalui sintesis intuisi dan konsep, dan pengetahuan noumenal, yang berada di luar jangkauan pengalaman dan tidak dapat diketahui secara teoretis.5

Implikasi penting dari pendekatan ini adalah munculnya kesadaran akan keterbatasan epistemologis, yang menjadi ciri utama pemikiran modern dan kontemporer. Filsafat tidak lagi mengejar kebenaran absolut metafisik, tetapi berfokus pada validitas, legitimasi, dan syarat-syarat historis-ideologis dari pengetahuan. Hal ini menjadi fondasi bagi filsafat kritis, seperti Mazhab Frankfurt, serta filsafat analitik, yang menekankan analisis bahasa dan logika.6

5.3.       Etika: Otonomi, Kebebasan, dan Prinsip Moralitas Universal

Modernitas juga mengubah cara memahami etika. Jika dalam kerangka pra-modern dan skolastik, etika sangat terkait dengan teleologi kosmis dan perintah ilahi, maka filsafat modern—khususnya melalui Kant—menekankan otonomi subjek moral. Etika Kantian menolak etika heteronom, yaitu moralitas yang ditentukan oleh otoritas eksternal (Tuhan, tradisi, atau hasil), dan menggantinya dengan prinsip imperatif kategoris yang bersifat universal dan rasional.7

Dalam pendekatan Kant, moralitas bukanlah sekadar sarana menuju kebahagiaan, tetapi tujuan pada dirinya sendiri. Subjek rasional bertindak secara moral ketika ia mematuhi hukum yang ia berikan sendiri dalam bentuk prinsip universal yang dapat dijadikan hukum umum. Dengan demikian, modernitas mengangkat kebebasan sebagai fondasi moralitas, bukan sebagai kebebasan dari, tetapi sebagai kebebasan untuk menetapkan hukum moral secara otonom.8

Secara sinkronik, etika Kantian bersaing dengan aliran utilitarianisme (seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill), yang mengukur moralitas berdasarkan konsekuensi tindakan. Sementara secara diakronik, prinsip otonomi moral Kant membuka jalan bagi pemikiran etis modern dalam bentuk etika hak asasi manusia, diskursus etika (Habermas), serta debat kontemporer mengenai tanggung jawab individual dan kolektif dalam masyarakat plural.9


Dengan demikian, implikasi filsafat modernitas tidak hanya terbatas pada perumusan sistem atau teori, tetapi menyentuh struktur paling mendasar dari cara berpikir manusia modern mengenai realitas, pengetahuan, dan kehidupan moral. Melalui analisis sinkronik dan diakronik, kita dapat melihat bagaimana rasionalisme, empirisme, dan kritik Kantian tidak sekadar berdiri sendiri, tetapi berinteraksi dan membentuk trajektori filosofis yang terus berkembang hingga hari ini.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 28–32.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A92/B124–A95/B128.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–25.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II.

[5]                Kant, Critique of Pure Reason, A235/B294–A246/B303.

[6]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 302–304.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.

[8]                Ibid., 440–442.

[9]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 1–14.


6.           Warisan Filsafat Modern dalam Dunia Kontemporer

Warisan filsafat modern tidak hanya berakhir dengan Immanuel Kant, tetapi justru membuka horizon baru dalam pemikiran filsafat kontemporer yang kompleks dan bercabang. Pemikiran modern membentuk landasan bagi berbagai tradisi filsafat yang berkembang di abad ke-19 dan ke-20, termasuk idealisme Jerman, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitik, hingga teori kritis dan post-strukturalisme. Pendekatan sinkronik memungkinkan kita melihat bagaimana berbagai aliran kontemporer merespons, memperluas, atau mengkritik prinsip-prinsip modernitas. Sementara itu, pendekatan diakronik menelusuri kesinambungan dan transformasi gagasan dari modernitas menuju pemikiran mutakhir.

6.1.       Idealisme Jerman dan Reaktualisasi Transendentalisme Kant

Setelah Kant, muncul generasi pemikir yang memperluas konsepsi transendentalisme ke arah sistem ontologis dan historis. Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Joseph Schelling, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel merupakan tokoh utama idealisme Jerman yang mencoba mengatasi dikotomi antara subjek dan objek dalam pemikiran Kant. Hegel, khususnya, mengembangkan dialektika historis yang menempatkan subjek dan realitas dalam dinamika negasi dan sintesis sebagai bagian dari perkembangan Roh Absolut.1 Melalui pendekatan ini, warisan Kant diartikulasikan ulang sebagai gerak sejarah kesadaran manusia.

6.2.       Fenomenologi dan Eksistensialisme: Menegaskan Subjektivitas dan Pengalaman

Dalam abad ke-20, pemikiran Kantian diteruskan oleh tradisi fenomenologi, yang dipelopori oleh Edmund Husserl, yang menekankan pentingnya kesadaran transendental sebagai titik awal analisis filosofis. Husserl melanjutkan warisan Kant dengan pendekatan yang berfokus pada epoche dan intentionalitas, sebagai sarana memahami struktur kesadaran dalam hubungannya dengan dunia pengalaman.2

Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Martin Heidegger, yang menggeser fokus dari kesadaran ke keberadaan (Being), serta oleh Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir yang memperluasnya menjadi etika dan politik eksistensialis. Eksistensialisme modern merupakan bentuk kritik terhadap sistematisasi rasionalitas modern, dengan menekankan kebebasan individu, keotentikan, dan absurditas eksistensi.3

6.3.       Filsafat Analitik dan Rasionalitas Formal

Sementara itu, di dunia Anglo-Amerika berkembang tradisi filsafat analitik, yang secara metodologis mewarisi semangat rasionalisme modern tetapi mengadaptasinya dalam bentuk yang lebih formal dan logis. Tokoh-tokoh seperti Bertrand Russell, G.E. Moore, dan Ludwig Wittgenstein awal memfokuskan filsafat pada analisis bahasa, simbol, dan logika formal, sebagai upaya menyingkirkan kebingungan konseptual yang diwarisi dari metafisika tradisional.4

Meskipun tradisi ini tampak menjauh dari metafisika Kantian, banyak filsuf analitik kontemporer—seperti P.F. Strawson dan Wilfrid Sellars—menghidupkan kembali elemen-elemen Kant, terutama dalam hal struktur apriori dan syarat-syarat konseptual pemahaman dunia.5 Dengan demikian, terdapat kesinambungan yang kuat antara proyek Kantian dan upaya analitik kontemporer dalam memahami bahasa, makna, dan struktur logis realitas.

6.4.       Teori Kritis dan Warisan Etika Otonomi

Dalam ranah sosial-politik, pemikiran Kant tentang kebebasan, otonomi, dan rasionalitas praktis menjadi inspirasi utama bagi Mazhab Frankfurt dan teori kritis, yang dipelopori oleh Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Jürgen Habermas. Habermas, khususnya, mengembangkan teori tindakan komunikatif yang bertumpu pada prinsip-prinsip Kantian tentang rasionalitas dan universalitas, namun diperluas ke dalam ruang diskursus publik dan demokrasi deliberatif.6

Etika Kant juga memiliki resonansi kuat dalam hak asasi manusia, bioetika, dan filsafat politik liberal kontemporer, yang menempatkan otonomi individu dan prinsip moral universal sebagai dasar keadilan dan kebijakan publik. Dalam pendekatan sinkronik, kita dapat menyaksikan bagaimana prinsip-prinsip Kant berdampingan—dan kadang bertentangan—dengan pendekatan etika utilitarian, komunitarian, dan postmodern.

6.5.       Postmodernisme: Kritik atas Rasionalitas Modern

Sebaliknya, postmodernisme tampil sebagai kritik tajam terhadap klaim universalisme dan objektivitas yang merupakan warisan filsafat modern. Tokoh seperti Michel Foucault, Jean-François Lyotard, dan Jacques Derrida menyoroti dimensi kekuasaan, narasi besar (grand narrative), dan instabilitas makna dalam proyek rasionalitas modern.7 Mereka menolak otonomi subjek sebagai fiksi filosofis dan menegaskan pluralitas, kontingensi, dan dekonstruksi sebagai cara baru memahami filsafat.

Dalam pendekatan diakronik, postmodernisme dapat dipahami bukan sebagai pemutusan total dari modernitas, tetapi sebagai kelanjutan yang bersifat reflektif dan dekonstruktif. Bahkan, bisa dikatakan bahwa postmodernisme adalah “anak kandung yang memberontak” terhadap modernisme.


Dengan demikian, warisan filsafat modern tidak bersifat tunggal, melainkan pluriform dan berlapis, dengan berbagai respons yang saling bersilang. Pendekatan sinkronik menunjukkan kompleksitas pemikiran kontemporer yang tetap menggali—atau menantang—prinsip-prinsip dasar modernitas. Sedangkan pendekatan diakronik menegaskan kesinambungan sejarah ide dari Kant dan pendahulunya, menuju horizon filsafat yang terus berkembang dalam menjawab tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 27–29.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 51–57.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 21–24.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), Propositions 1–7.

[5]                P.F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of Pure Reason (London: Methuen, 1966), 17–25.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 285–290.

[7]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.


7.           Penutup

Kajian atas periode modernitas dalam filsafat, khususnya melalui poros rasionalisme, empirisme, dan kritik Kantian, memperlihatkan bahwa filsafat modern bukan sekadar babak sejarah, melainkan fondasi epistemologis, etis, dan ontologis bagi pemikiran kontemporer. Melalui pendekatan sinkronik, kita telah melihat bagaimana berbagai aliran dalam periode ini muncul dan berkembang secara paralel, masing-masing mengusung solusi terhadap persoalan pengetahuan, realitas, dan moralitas dengan karakter konseptual yang khas namun saling bersinggungan. Rasionalisme menekankan otonomi akal sebagai sumber pengetahuan, sementara empirisme menekankan pentingnya pengalaman inderawi; keduanya berpuncak pada sintesis kritis dalam pemikiran Immanuel Kant, yang memformulasikan struktur transendental sebagai syarat kemungkinan pengalaman dan pengetahuan.1

Sementara itu, pendekatan diakronik memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang perkembangan historis ide dalam filsafat. Dari krisis otoritas teologis pada akhir abad pertengahan, muncul semangat Renaisans dan Pencerahan yang memunculkan pemikiran rasional-empiris. Kant, dalam hal ini, tidak hanya berperan sebagai perumus teori kritis terhadap metafisika dogmatis dan skeptisisme empiris, tetapi juga sebagai penyambung historis antara masa lalu dan masa depan filsafat.2 Filsafatnya menjadi jembatan antara metafisika klasik dan berbagai arus kontemporer seperti idealisme Jerman, fenomenologi, filsafat analitik, teori kritis, hingga postmodernisme.

Modernitas telah menanamkan kesadaran kritis akan peran subjek, struktur berpikir, dan syarat-syarat normatif dari tindakan manusia. Filsafat tidak lagi hanya menyoal hakikat realitas, tetapi juga bagaimana manusia sebagai subjek aktif membentuk dunia melalui pengetahuan dan tindakan moral. Sebagaimana dicontohkan dalam Critique of Practical Reason, Kant menempatkan kebebasan dan otonomi sebagai dasar etika universal, suatu warisan yang terus dikembangkan dalam filsafat moral dan politik modern hingga hari ini.3

Namun demikian, warisan modernitas tidak lepas dari kritik. Filsafat kontemporer memperlihatkan bahwa rasionalitas modern, dengan klaim-klaim universalitasnya, seringkali mengabaikan pluralitas pengalaman dan konteks historis-budaya yang tak kalah menentukan. Postmodernisme, dekonstruksi, dan hermeneutika memperingatkan akan bahaya reduksi terhadap kompleksitas eksistensial dan kultural dalam proyek modern.4 Kritik ini justru memperkaya pemahaman kita bahwa modernitas adalah proyek yang belum selesai, yang menuntut refleksi terus-menerus melalui dialog antara masa lalu dan masa kini.

Dengan demikian, pembacaan terhadap filsafat modern melalui pendekatan sinkronik dan diakronik tidak hanya penting untuk memahami peta intelektual masa lalu, tetapi juga menjadi alat konseptual untuk membaca krisis dan tantangan dunia kontemporer. Dalam ketegangan antara warisan rasionalitas dan pluralitas postmodern, pemikiran Kant tetap menjadi poros reflektif yang relevan—baik sebagai fondasi maupun sebagai objek kritik filosofis yang terus hidup.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A51/B75.

[2]                Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from Kant to Fichte (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 3–5.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–31.

[4]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxiv.


Daftar Pustaka

Beiser, F. C. (1987). The fate of reason: German philosophy from Kant to Fichte. Harvard University Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy: Volume VI – Modern philosophy: From Descartes to Leibniz. Image Books.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Gaukroger, S. (2006). The emergence of a scientific culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685. Oxford University Press.

Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.; Vol. 1). Beacon Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). Macmillan.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (2004). Prolegomena to any future metaphysics (G. Hatfield, Trans.). Cambridge University Press.

Kristeller, P. O. (1990). Renaissance thought and the arts: Collected essays. Princeton University Press.

Kuhn, T. S. (1957). The Copernican revolution: Planetary astronomy in the development of Western thought. Harvard University Press.

Leibniz, G. W. (1991). Monadology (N. Rescher, Trans.). University of Pittsburgh Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

McGrath, A. E. (2012). Reformation thought: An introduction (4th ed.). Wiley-Blackwell.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Scruton, R. (2001). A short history of modern philosophy: From Descartes to Wittgenstein (2nd ed.). Routledge.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics.

Strawson, P. F. (1966). The bounds of sense: An essay on Kant’s Critique of pure reason. Methuen.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge & Kegan Paul.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar