Friedrich Nietzsche
Kritik Moralitas, Nihilisme, dan Gagasan Kehendak untuk
Berkuasa dalam Filsafat Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filosofis Friedrich Nietzsche yang dianggap sebagai salah satu titik balik
dalam sejarah filsafat modern. Nietzsche mengajukan kritik radikal terhadap
moralitas tradisional, terutama moralitas Kristen yang menurutnya melemahkan
vitalitas dan potensi kreatif manusia. Ia juga dikenal sebagai diagnostikus
nihilisme, yakni kondisi historis ketika nilai-nilai transenden kehilangan
kekuatan normatifnya setelah "kematian Tuhan". Sebagai respons
terhadap nihilisme, Nietzsche menawarkan konsep-konsep sentral seperti Übermensch
(manusia unggul), kehendak untuk berkuasa, dan pengulangan abadi
sebagai kerangka afirmatif untuk pembentukan makna hidup secara mandiri dan
otentik. Melalui pendekatan historis dan filosofis, artikel ini menelusuri
latar belakang intelektual Nietzsche, analisis atas gagasan-gagasan utamanya,
pengaruhnya terhadap filsafat kontemporer, serta berbagai kritik terhadap
warisan pemikirannya. Di tengah krisis nilai dan identitas yang menandai era global
kontemporer, pemikiran Nietzsche tetap relevan sebagai inspirasi dalam
membentuk keberanian eksistensial, pembebasan dari dogma, dan penciptaan
nilai-nilai baru secara reflektif dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Nietzsche, moralitas, nihilisme, kehendak untuk
berkuasa, Übermensch, filsafat modern, transvaluasi nilai, eksistensialisme.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Friedrich Nietzsche
1.
Pendahuluan
Friedrich Nietzsche
(1844–1900) merupakan salah satu pemikir paling provokatif dalam sejarah
filsafat Barat modern. Pemikirannya menandai titik balik radikal dalam
pendekatan terhadap moralitas, agama, eksistensi manusia, serta perumusan
nilai-nilai dalam kehidupan modern. Melalui karya-karyanya yang menantang
struktur moral tradisional dan metafisika Barat, Nietzsche menyuarakan kritik
tajam terhadap fondasi kebudayaan Eropa yang telah lama dilandasi oleh ajaran
Kristen, filsafat Plato, dan warisan rasionalisme Pencerahan.1 Ia
menjadi simbol pergeseran paradigma dari penekanan pada objektivitas dan
kebenaran absolut menuju pemikiran yang lebih subjektif, interpretatif, dan
eksistensialis.
Dalam pemikiran
Nietzsche, tiga konsep utama sering muncul dan saling berkaitan: kritik
terhadap moralitas konvensional, nihilisme
sebagai gejala krisis nilai, serta gagasan
“kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht) sebagai prinsip
dasar kehidupan. Nietzsche tidak hanya mengkritik agama dan moralitas Kristen
karena dianggap membatasi potensi kreatif manusia, melainkan juga mengusulkan
pembentukan nilai-nilai baru yang lebih otentik dan afirmatif terhadap
kehidupan.2 Melalui figur metaforis Übermensch (manusia unggul), ia
menawarkan model manusia ideal yang sanggup menciptakan nilai-nilainya sendiri
di tengah dunia yang telah kehilangan pegangan terhadap makna transenden.3
Pemikiran Nietzsche
sangat relevan dalam konteks filsafat kontemporer karena ia menghadirkan
tantangan terhadap universalisme moral, membuka diskusi kritis tentang makna
eksistensi, dan mendorong pergeseran dari sistem nilai absolut ke arah
perspektivisme dan interpretasi subjektif. Gagasan-gagasannya memengaruhi
berbagai aliran filsafat abad ke-20, termasuk eksistensialisme, psikoanalisis,
post-strukturalisme,
dan filsafat budaya.4 Nietzsche tidak memberikan sistem filsafat
yang tertutup dan final, melainkan membuka medan wacana yang dinamis, menantang
pembaca untuk berkonfrontasi langsung dengan realitas nilai dan eksistensi.
Artikel ini
bertujuan untuk membahas secara mendalam pemikiran utama Nietzsche, khususnya
terkait dengan kritik moralitas tradisional, fenomena
nihilisme, serta konsep kehendak untuk berkuasa,
sambil menelusuri konteks historis dan pengaruh filosofis yang membentuk serta
melanjutkan pemikirannya. Kajian ini juga akan menyoroti kontribusi Nietzsche
terhadap arah baru dalam perkembangan filsafat kontemporer serta relevansinya
dalam merespons tantangan zaman modern yang penuh dengan ketidakpastian nilai
dan krisis makna.
Footnotes
[1]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 85.
[2]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 20–25.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 41–47.
[4]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography,
trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 354–359.
2.
Biografi Singkat Friedrich Nietzsche
Friedrich Wilhelm
Nietzsche lahir pada 15 Oktober 1844 di Röcken, sebuah kota kecil di wilayah
Sachsen, Prusia (sekarang Jerman). Ia merupakan anak dari Carl Ludwig
Nietzsche, seorang pendeta Lutheran, dan Franziska Oehler. Kematian ayahnya
pada tahun 1849 ketika Nietzsche masih berusia lima tahun memberikan dampak
psikologis mendalam dalam kehidupan awalnya, yang turut membentuk arah
spiritual dan intelektual pemikirannya di kemudian hari1.
Nietzsche dikenal
sebagai anak yang sangat cerdas dan menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang
bahasa dan musik sejak usia dini. Pada usia 14 tahun, ia diterima di Schulpforta,
sebuah sekolah bergengsi yang terkenal dengan kedisiplinan akademiknya. Di
sanalah Nietzsche mulai mendalami teks-teks klasik Yunani dan Romawi, dan
minatnya terhadap filsafat mulai tumbuh, terutama melalui pembacaan karya-karya
Arthur Schopenhauer dan puisi-puisi Goethe2.
Pada tahun 1869,
pada usia 24 tahun, Nietzsche diangkat sebagai profesor filologi klasik di
Universitas Basel, menjadikannya salah satu profesor termuda dalam sejarah
akademik Jerman. Meskipun latar belakang pendidikannya adalah filologi,
Nietzsche perlahan mulai meninggalkan pendekatan filologis yang ketat dan
beralih pada pemikiran filosofis yang lebih spekulatif dan eksistensial3.
Selama masa tinggalnya di Basel, Nietzsche menjalin hubungan intelektual yang
penting dengan komposer Richard Wagner, meskipun hubungan tersebut kemudian
memburuk akibat perbedaan pandangan estetika dan moral.
Kesehatan Nietzsche
memburuk secara progresif pada akhir 1870-an, terutama karena migrain kronis,
gangguan penglihatan, dan berbagai keluhan fisik lain yang membuatnya
mengundurkan diri dari jabatan akademik pada tahun 1879. Sejak saat itu, ia
hidup sebagai penulis independen dan berpindah-pindah dari satu kota ke kota
lain di Swiss, Italia, dan Prancis untuk mencari iklim yang mendukung
kesehatannya. Dalam periode inilah ia menulis karya-karya filosofis
terpentingnya, seperti Thus Spoke Zarathustra, Beyond
Good and Evil, dan The Genealogy of Morals4.
Pada Januari 1889,
Nietzsche mengalami keruntuhan mental saat berada di Turin, Italia. Ia
ditemukan dalam kondisi tidak sadar setelah menyaksikan kuda yang disiksa oleh
pemiliknya, sebuah insiden yang kemudian menjadi simbolis dalam narasi
hidupnya. Setelah itu, ia tidak pernah pulih secara mental dan hidup dalam
keadaan gangguan jiwa permanen di bawah perawatan ibunya dan kemudian saudara
perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche, hingga wafatnya pada 25 Agustus 19005.
Meskipun Nietzsche
tidak menikmati popularitas yang luas selama hidupnya, warisan intelektualnya
mengalami kebangkitan besar pada abad ke-20, memengaruhi berbagai cabang
pemikiran seperti eksistensialisme, psikoanalisis, kritik sastra, teori budaya,
dan post-strukturalisme. Keberaniannya dalam menggugat nilai-nilai tradisional
dan menawarkan alternatif radikal menjadikan dirinya sebagai salah satu tokoh
sentral dalam sejarah filsafat modern6.
Footnotes
[1]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography,
trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 9–13.
[2]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 25–30.
[3]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 56–60.
[4]
Leslie Paul Thiele, “Postmodernity and the Routinization of Novelty:
Heidegger on Boredom and Technology,” Polity 29, no. 4 (1997):
499–517.
[5]
Ronald Hayman, Nietzsche: A Critical Life (New York: Penguin
Books, 1980), 345–350.
[6]
Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington:
Indiana University Press, 1978), 10–15.
3.
Konteks Historis dan Intelektual
Pemikiran Friedrich
Nietzsche tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual dan historis Eropa
abad ke-19 yang menjadi latar kemunculannya. Pada masa ini, masyarakat Eropa
mengalami transformasi besar di berbagai bidang: dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, pergeseran nilai-nilai religius menuju sekularisme, hingga
perkembangan filsafat modern yang semakin kritis terhadap otoritas tradisional.
Dalam konteks seperti inilah Nietzsche tampil dengan kritiknya yang radikal
terhadap moralitas, agama, dan metafisika Barat.
Salah satu ciri
utama zaman Nietzsche adalah kebangkitan ilmu pengetahuan dan rasionalitas
Pencerahan (Enlightenment), yang menjanjikan pembebasan manusia
melalui akal dan kemajuan teknologi. Namun, bagi Nietzsche, optimisme
rasionalis ini justru menciptakan krisis spiritual karena menghancurkan fondasi
kepercayaan religius tanpa menyediakan nilai-nilai baru yang bermakna. Di
sinilah muncul diagnosis Nietzsche tentang nihilisme, yakni kondisi
ketiadaan makna dan nilai setelah “kematian Tuhan”1. Kematian Tuhan,
dalam kerangka Nietzsche, bukanlah peristiwa teologis, melainkan simbol
historis atas runtuhnya sistem nilai absolut yang telah menopang kehidupan
Barat selama berabad-abad2.
Selain itu,
pemikiran Nietzsche juga dipengaruhi oleh pergeseran paradigma filsafat Jerman
pasca-Kantian. Ia sangat mengapresiasi karya Arthur
Schopenhauer, yang mengemukakan bahwa realitas pada dasarnya
digerakkan oleh “kehendak buta”, bukan oleh rasionalitas. Nietzsche mengadopsi
semangat pesimistis Schopenhauer, tetapi kemudian melampauinya dengan
mengusulkan konsep “kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht)
sebagai prinsip afirmatif dan kreatif dari kehidupan3. Pandangan ini
merupakan bentuk penolakan terhadap metafisika yang statis dan dualistik,
sekaligus seruan untuk menciptakan nilai-nilai baru yang berakar pada
keberanian untuk hidup secara otentik.
Nietzsche juga
sangat terpengaruh oleh dinamika budaya dan estetika Eropa abad ke-19, terutama
melalui hubungannya dengan Richard Wagner, komposer Jerman
yang semula ia kagumi. Namun, setelah kecewa dengan nasionalisme dan
anti-Semitisme dalam karya-karya Wagner, Nietzsche menolak pandangan romantik
dan menggantikannya dengan pendekatan yang lebih tragis dan heroik terhadap
eksistensi manusia. Karya The Birth of Tragedy (1872)
merefleksikan pemikirannya tentang ketegangan antara dua kekuatan arketipal
dalam kebudayaan Yunani kuno: Apollonian (tatanan, harmoni)
dan Dionysian
(kekacauan, ekstasi). Ketegangan ini bagi Nietzsche adalah ekspresi terdalam
dari kehidupan manusia yang autentik4.
Lebih jauh lagi,
Nietzsche mengkritik keras metafisika Platonik dan moralitas Kristen,
yang ia anggap telah melemahkan kehendak manusia untuk hidup secara penuh.
Dalam pengaruh tradisi Plato dan Kekristenan, dunia yang nyata direduksi
menjadi sekadar “bayangan”
dari dunia ideal atau surgawi, dan nilai-nilai kehidupan ditundukkan pada
harapan akan kehidupan setelah mati. Nietzsche menolak dualisme ini dan
mengadvokasi sikap afirmatif terhadap kehidupan duniawi melalui konsep “eternal
recurrence” (pengulangan abadi) sebagai bentuk radikal
penerimaan terhadap realitas yang senantiasa kembali5.
Di tengah semua ini,
Nietzsche berdiri sebagai filsuf yang mengkritik modernitas dari dalam,
menolak dogma agama, menyangsikan objektivitas ilmu pengetahuan, dan menggugat
otoritas moral universal. Alih-alih mencari kebenaran objektif atau sistem
filsafat tertutup, Nietzsche menghadirkan gaya penulisan yang aforistik dan
performatif—lebih menyerupai proklamasi eksistensial daripada argumen
sistematis—sebagai cara untuk menegaskan pentingnya perspektivisme dan
pengalaman personal dalam memahami kehidupan6.
Dengan demikian,
pemikiran Nietzsche merupakan reaksi atas krisis nilai yang melanda dunia
modern, sekaligus menjadi penanda transisi menuju filsafat kontemporer yang
lebih terbuka terhadap pluralitas makna, subjektivitas, dan pencarian nilai
baru yang lahir dari kehendak manusia sendiri.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[2]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography,
trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 200–205.
[3]
Arthur C. Danto, Nietzsche as Philosopher (New York: Columbia
University Press, 2005), 88–91.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Douglas
Smith (Oxford: Oxford University Press, 2008), 14–25.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 273–277.
[6]
Bernd Magnus, Nietzsche's Existential Imperative (Bloomington:
Indiana University Press, 1978), 45–50.
4.
Gagasan Utama Friedrich Nietzsche
Pemikiran Friedrich
Nietzsche menandai pergeseran radikal dalam sejarah filsafat Barat. Ia tidak
hanya menolak sistem filsafat metafisis dan moralitas tradisional, tetapi juga
mengusulkan kerangka baru untuk memahami eksistensi manusia. Dalam bagian ini,
akan diuraikan lima gagasan sentral Nietzsche yang menjadi inti dari
kontribusinya dalam filsafat kontemporer: kritik terhadap moralitas, nihilisme,
Übermensch,
kehendak
untuk berkuasa, dan eternal recurrence.
4.1.
Kritik terhadap
Moralitas Tradisional
Nietzsche mengajukan
kritik tajam terhadap moralitas konvensional,
khususnya yang bersumber dari ajaran Kristen dan filsafat Plato. Menurutnya,
moralitas Kristen merupakan bentuk “moralitas budak” (Sklavenmoral),
yang tumbuh dari kebencian (ressentiment) terhadap kekuatan, kemuliaan, dan
kehidupan itu sendiri. Moralitas ini memuliakan kelemahan, kerendahan hati, dan
penderitaan sebagai kebajikan, sedangkan moralitas kaum bangsawan (Herrenmoral)
menilai kebaikan berdasarkan kekuatan, vitalitas, dan afirmasi terhadap
kehidupan1.
Dalam On the
Genealogy of Morality, Nietzsche menjelaskan bahwa moralitas budak
muncul sebagai reaksi kaum tertindas yang tidak mampu mengekspresikan
kekuatannya secara langsung, sehingga mereka membalik nilai-nilai aristokratik
dan menganggap kelemahan sebagai kebaikan moral. Moralitas ini, menurut
Nietzsche, bersifat dekaden dan menekan potensi kreatif manusia2.
4.2.
Nihilisme
Nietzsche dikenal
sebagai diagnostikus tajam atas nihilisme, yakni keadaan ketika
nilai-nilai tradisional kehilangan kekuatan normatifnya. Ia mengumumkan “kematian
Tuhan” dalam The Gay Science sebagai simbol
berakhirnya dominasi nilai-nilai absolut dan transenden dalam kehidupan Barat
modern3. Tanpa Tuhan, fondasi moral, metafisika, dan makna hidup
menjadi rapuh dan terancam runtuh.
Namun, Nietzsche
tidak sekadar mengeluhkan nihilisme; ia menganggapnya sebagai momen
sejarah yang tak terelakkan dan bahkan produktif, asalkan
manusia berani menciptakan nilai-nilai baru. Nihilisme pasif—yang ditandai
dengan keputusasaan dan keinginan untuk kembali pada nilai lama—harus diatasi
dengan nihilisme aktif, yaitu kehendak untuk melampaui ketiadaan makna melalui
penciptaan diri secara otentik4.
4.3.
Übermensch (Manusia Unggul)
Sebagai alternatif
terhadap manusia pascametafisik yang terjebak dalam kekosongan nilai, Nietzsche
memperkenalkan konsep Übermensch, yakni sosok manusia
yang mampu menciptakan nilai-nilainya sendiri tanpa bergantung pada otoritas
eksternal. Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche
menggambarkan Übermensch sebagai ideal eksistensial yang mengatasi keterbatasan
moralitas tradisional dan memikul tanggung jawab penuh atas eksistensinya5.
Übermensch bukanlah
manusia yang berkuasa atas orang lain, melainkan manusia yang mengatasi dirinya
sendiri (Selbstüberwindung) dan hidup secara afirmatif terhadap kehidupan,
termasuk penderitaan dan absurditasnya. Ia menolak dualisme antara dunia ini
dan dunia transenden, serta menghayati keberadaan dengan keberanian dan
kreativitas tertinggi6.
4.4.
Kehendak untuk
Berkuasa (Der Wille zur Macht)
Salah satu konsep
terpenting dalam pemikiran Nietzsche adalah “kehendak untuk berkuasa”, yang
ia anggap sebagai prinsip fundamental dari kehidupan. Tidak seperti kehendak
untuk hidup (Schopenhauer) yang bersifat pasif dan pesimistis, kehendak untuk
berkuasa adalah dorongan aktif dan kreatif yang
mendorong makhluk hidup untuk menegaskan eksistensinya dan menciptakan bentuk
kehidupan yang lebih tinggi7.
Nietzsche tidak
memahami kekuasaan secara politis atau dominatif belaka, melainkan sebagai
kekuatan ontologis yang melekat pada seluruh realitas. Bagi Nietzsche, tindakan
manusia yang sejati bukanlah mempertahankan diri atau mencapai kebahagiaan,
tetapi mengekspresikan
kekuatan melalui penciptaan nilai, bentuk, dan makna hidup.
Dengan demikian, kehendak untuk berkuasa adalah daya vital yang menjelaskan
dinamika budaya, moralitas, dan perkembangan sejarah8.
4.5.
Eternal Recurrence
(Pengulangan Abadi)
Konsep eternal
recurrence adalah salah satu ide paling enigmatis Nietzsche,
yang menyatakan bahwa segala sesuatu akan kembali terjadi dengan cara yang
persis sama, tanpa akhir. Dalam The Gay Science dan Thus
Spoke Zarathustra, Nietzsche menyajikan ide ini sebagai ujian
eksistensial: sanggupkah seseorang mengafirmasi hidupnya sedemikian rupa hingga
ia rela mengulanginya tanpa henti?9
Bagi Nietzsche,
eternal recurrence bukanlah teori kosmologis, melainkan tantangan
etis dan eksistensial untuk mencintai kehidupan secara total (amor
fati). Manusia unggul bukan hanya menerima hidup sebagaimana
adanya, tetapi juga menginginkannya kembali terjadi dalam bentuk yang sama. Di
sinilah terletak puncak afirmasi eksistensial yang melampaui pesimisme dan
fatalisme10.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 26–27.
[2]
Ibid., 32–35.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[4]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography,
trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 212–218.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 41–47.
[6]
Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington:
Indiana University Press, 1978), 61–65.
[7]
Arthur C. Danto, Nietzsche as Philosopher (New York: Columbia University
Press, 2005), 94–99.
[8]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 49–55.
[9]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, §341.
[10]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 322–325.
5.
Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran
Nietzsche
Pemikiran Friedrich
Nietzsche memberikan dampak yang luas dan multidimensional terhadap
perkembangan filsafat, sastra, psikologi, teologi, hingga teori budaya pada
abad ke-20 dan 21. Meski semasa hidupnya Nietzsche belum sepenuhnya diakui oleh
komunitas akademik, warisan intelektualnya justru mengalami lonjakan besar
setelah kematiannya. Gagasan-gagasannya memicu diskusi lintas disiplin dan
menjadi fondasi bagi berbagai aliran pemikiran modern, sekaligus menuai kritik
tajam dari sejumlah pemikir besar.
5.1.
Pengaruh terhadap
Filsafat Modern dan Kontemporer
Salah satu pengaruh
utama Nietzsche terlihat dalam perkembangan eksistensialisme. Pemikir
seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus
mengambil inspirasi dari Nietzsche, terutama dalam hal penolakan terhadap
nilai-nilai absolut dan penekanan pada kebebasan eksistensial serta penciptaan
makna secara individual1. Nietzsche juga menjadi tokoh sentral dalam
pemikiran Martin Heidegger, yang
menafsirkan Nietzsche sebagai filsuf terakhir metafisika Barat sekaligus
pelampau metafisika melalui kritik terhadap "ontoteologi" dan
penekanan pada kehendak sebagai struktur keberadaan2.
Di sisi lain,
pemikir postmodern seperti Michel Foucault dan Jacques
Derrida menafsirkan Nietzsche sebagai tokoh yang meruntuhkan
fondasi epistemologis modern. Foucault, misalnya, mengembangkan konsep “genealogi”
berdasarkan pendekatan Nietzschean terhadap sejarah moralitas, di mana struktur
kekuasaan dan pengetahuan dilihat sebagai hasil konstruksi historis dan bukan
esensi universal3. Derrida, dalam kerangka dekonstruksi, menemukan
dalam Nietzsche model pemikiran non-linear yang membongkar oposisi biner dalam
bahasa dan filsafat Barat4.
Dalam bidang psikoanalisis,
Carl
Gustav Jung menganggap Nietzsche sebagai pionir dalam
eksplorasi kedalaman jiwa manusia, terutama melalui simbolisme Zarathustra
dan konsep Übermensch
yang berkaitan erat dengan proses individuasi5. Bahkan Sigmund
Freud, meskipun tidak secara langsung mengutip Nietzsche secara
ekstensif, mengakui bahwa pemikirannya sering kali telah “mendahului”
teori-teori psikoanalitik dalam bentuk yang intuitif6.
5.2.
Kritik terhadap
Nietzsche
Meskipun pengaruh
Nietzsche meluas, pemikirannya juga menuai kritik keras dari berbagai kalangan.
Salah satu tuduhan paling kontroversial adalah keterkaitan Nietzsche dengan ideologi
fasis dan Nazisme. Tuduhan ini sebagian besar dipicu oleh
penyuntingan dan manipulasi atas karya-karyanya oleh saudara perempuannya, Elisabeth
Förster-Nietzsche, yang memiliki afiliasi kuat dengan ideologi
nasionalis Jerman dan menyusun Will to Power dalam bentuk yang
seolah-olah mendukung supremasi rasial dan otoritarianisme7. Namun,
studi-studi modern seperti karya Walter Kaufmann dan Rüdiger
Safranski berhasil menunjukkan bahwa Nietzsche sendiri secara
eksplisit menentang antisemitisme, nasionalisme, dan kolektivisme yang kaku8.
Di sisi teologis,
Nietzsche dikritik oleh para pemikir Kristen seperti G. K.
Chesterton dan Paul Tillich, yang melihat
penolakan Nietzsche terhadap Tuhan sebagai bentuk reduksionisme spiritual.
Kritik mereka menggarisbawahi bahwa “kematian Tuhan” bukan solusi,
melainkan justru membuka ruang kekacauan moral yang destruktif bagi masyarakat9.
Sementara itu, pemikir seperti Alasdair MacIntyre menganggap
Nietzsche sebagai contoh dari kegagalan modernitas untuk menyediakan fondasi
moral yang koheren. Dalam bukunya After Virtue, MacIntyre menyatakan
bahwa Nietzsche menunjukkan kehancuran proyek Pencerahan, tetapi gagal
membangun alternatif etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara normatif10.
Kritik lainnya
datang dari kalangan feminis. Pemikir seperti Luce Irigaray dan Judith
Butler mengkritik simbolisme Nietzsche yang dianggap terlalu
maskulin, hierarkis, dan eksklusif terhadap pengalaman perempuan. Meskipun
beberapa pemikir feminis seperti Hélène Cixous mencoba
merekonstruksi Nietzsche sebagai tokoh yang membuka ruang bagi penulisan
perempuan (écriture
féminine), perdebatan ini tetap menjadi bagian dari warisan
ambivalen Nietzsche dalam teori gender dan representasi tubuh11.
5.3.
Ambivalensi dan
Relevansi Kontemporer
Pengaruh dan kritik
terhadap Nietzsche mencerminkan kompleksitas warisan pemikirannya. Nietzsche
bukanlah filsuf dengan sistem tertutup, melainkan provokator intelektual yang menantang
pembaca untuk mempertanyakan asumsi terdalam tentang kebenaran, moralitas, dan
identitas. Keberaniannya dalam menghadapi nihilisme dan merumuskan proyek
afirmasi kehidupan menjadikannya relevan dalam era kontemporer yang ditandai
oleh krisis makna, relativisme nilai, dan pencarian spiritualitas alternatif di
luar dogma institusional.
Nietzsche tetap
menjadi figur sentral dalam kajian filsafat, teori budaya, dan kritik sastra,
bukan karena ia menawarkan jawaban final, melainkan karena ia menggugah
pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar dan eksistensial
dalam kehidupan manusia modern.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–30.
[2]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. I–IV, trans. David Farrell
Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), I: 11–14.
[3]
Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” dalam Language,
Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca: Cornell
University Press, 1977), 139–164.
[4]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[5]
C. G. Jung, Nietzsche’s Zarathustra: Notes of the Seminar Given in
1934–1939, vol. I–II (Princeton: Princeton University Press, 1988), I:
45–50.
[6]
Paul-Laurent Assoun, Freud and Nietzsche, trans. Richard L.
Collier (London: Continuum, 2000), 36–41.
[7]
Robert C. Holub, Nietzsche’s Jewish Problem: Between Anti-Semitism
and Anti-Judaism (Princeton: Princeton University Press, 2015), 122–128.
[8]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 99–105; Safranski, Nietzsche,
276–285.
[9]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 57–60.
[10]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 2007), 109–120.
[11]
Luce Irigaray, This Sex Which Is Not One, trans. Catherine
Porter (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 82–85; Judith Butler, Gender
Trouble (New York: Routledge, 1990), 26–29.
6.
Relevansi Pemikiran Nietzsche di Era
Kontemporer
Pemikiran Friedrich
Nietzsche tidak hanya berakar pada pergolakan nilai di Eropa abad ke-19, tetapi
juga memiliki signifikansi mendalam dalam merespons krisis
makna dan moralitas yang terus berlangsung di era kontemporer.
Di tengah kebangkitan sekularisme, relativisme nilai, dan globalisasi budaya,
Nietzsche tampil sebagai figur filosofis yang menginspirasi pembacaan ulang
terhadap dasar-dasar kehidupan modern: eksistensi, moralitas, kekuasaan, dan
identitas.
6.1.
Krisis Nilai dan
Nihilisme Modern
Dalam konteks
kontemporer, konsep nihilisme Nietzsche sangat
relevan untuk memahami fenomena krisis nilai yang dialami oleh masyarakat
modern dan pascamodern. Kepercayaan terhadap sistem moral universal, fondasi
metafisika tradisional, dan kebenaran absolut semakin goyah di tengah gelombang
pluralisme, relativisme budaya, dan fragmentasi identitas. Nietzsche telah
meramalkan bahwa hilangnya Tuhan bukan sekadar
perubahan kepercayaan religius, tetapi keruntuhan struktur makna yang
mengatur kehidupan manusia1.
Para filsuf
kontemporer seperti Gianni Vattimo dan Richard
Rorty menafsirkan nihilisme Nietzsche bukan sebagai kehancuran
yang merusak, tetapi sebagai kesempatan untuk membebaskan diri dari tirani
makna tunggal, dan membuka ruang bagi kehidupan yang
pluralistik dan dialogis2. Dalam pandangan ini, Nietzsche memberi
perangkat untuk merespons krisis eksistensial modern secara kreatif, bukan
regresif.
6.2.
Kehendak untuk
Berkuasa dan Etika Kemandirian
Gagasan kehendak
untuk berkuasa (Wille zur Macht) tetap relevan dalam memahami
dinamika identitas, agensi, dan resistensi
dalam masyarakat kontemporer. Nietzsche mengajarkan bahwa manusia tidak
semestinya tunduk pada nilai yang diwariskan secara dogmatis, melainkan perlu menjadi
pencipta nilai melalui kehendak dan keberanian eksistensial.
Ini sangat kontekstual dalam budaya yang semakin menuntut otentisitas, inovasi,
dan tanggung jawab personal terhadap pilihan hidup3.
Dalam kerangka ini,
Nietzsche menjadi inspirasi dalam teori self-fashioning, yaitu
pembentukan diri secara sadar dan aktif, sebagaimana dikembangkan oleh Michel
Foucault dalam analisisnya terhadap etika kuno dan praktik diri4.
Individu di era digital dan global dituntut untuk bernegosiasi dengan
identitasnya secara fleksibel, namun tetap berakar pada kehendak untuk mengukir
makna pribadi dalam dunia yang terus berubah.
6.3.
Übermensch dan
Tantangan Etika Global
Konsep Übermensch (manusia unggul) juga
mendapat interpretasi ulang dalam etika kontemporer, bukan sebagai proyek
superioritas biologis, melainkan sebagai metafora pembebasan eksistensial.
Dalam dunia yang dikuasai oleh sistem, pasar, dan ideologi massa, keberanian
untuk menjadi otentik, menghadapi absurditas, dan menciptakan nilai secara
mandiri merupakan wujud aktual dari semangat Übermensch.
Nietzsche
mengajarkan bahwa etika sejati bukanlah kepatuhan pada perintah eksternal,
melainkan afirmasi terhadap kehidupan yang konkret,
termasuk penderitaan dan ketidakpastian. Gagasan ini menjadi penting dalam
wacana etika
lingkungan, bioetika, dan keadilan
global, di mana pertanyaan tentang nilai tidak bisa dijawab
dengan moralitas universal belaka, tetapi melalui keberanian manusia untuk
merumuskan nilai baru di tengah kompleksitas zaman5.
6.4.
Kritis terhadap
Ideologi dan Kekuasaan
Pemikiran Nietzsche
juga menjadi alat kritis terhadap ideologi-ideologi dominan, baik
dalam bentuk agama institusional, nasionalisme eksklusif, maupun kapitalisme
neoliberal. Kritiknya terhadap moralitas budak dan dogma kebenaran tunggal
mengilhami pendekatan hermeneutika kecurigaan, yakni
sikap kritis terhadap narasi besar yang mengklaim otoritas moral atau kebenaran
tunggal.
Dalam hal ini,
Nietzsche memperluas diskursus tentang kekuasaan dan bahasa, yang
menjadi fondasi bagi teori diskursus Foucault, serta kritik budaya dari
tokoh-tokoh mazhab Frankfurt seperti Adorno
dan Horkheimer. Mereka melihat bagaimana kekuasaan dapat menyusup ke dalam
struktur moral, pendidikan, dan kebudayaan secara hegemonik6.
6.5.
Spiritualitas Baru
dan Transvaluasi Nilai
Di luar kritik dan
dekonstruksi, Nietzsche juga membuka kemungkinan bagi spiritualitas
non-dogmatik, yakni bentuk religiositas yang tidak tunduk pada
institusi, tetapi berakar pada pengalaman eksistensial manusia itu sendiri.
Gagasannya tentang “transvaluasi nilai” (Umwertung aller Werte)
menginspirasi pencarian spiritualitas alternatif yang tidak dibatasi oleh
metafisika tradisional, tetapi tetap berupaya menjawab kerinduan manusia akan
makna7.
Dalam dunia yang
kehilangan pegangan nilai mutlak, Nietzsche tidak hanya meruntuhkan tatanan
lama, tetapi juga menawarkan jalan menuju pembentukan nilai yang
berani, reflektif, dan afirmatif terhadap kehidupan.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[2]
Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in
Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1991), 22–30; Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 27–40.
[3]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 85–90.
[4]
Michel Foucault, The Use of Pleasure, trans. Robert Hurley (New
York: Vintage Books, 1990), 10–15.
[5]
Babette Babich, “Nietzsche’s Yes and Ecological Thinking,” Environmental
Ethics 15, no. 3 (1993): 265–280.
[6]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 91–108.
[7]
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan
Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 45–50.
7.
Kesimpulan
Friedrich Nietzsche
merupakan salah satu pemikir paling radikal dan berpengaruh dalam sejarah
filsafat modern. Gagasan-gagasannya tidak hanya mengguncang fondasi-fondasi
metafisika dan moralitas Barat yang telah mengakar selama berabad-abad, tetapi
juga menawarkan
arah baru bagi refleksi filosofis tentang eksistensi, nilai, dan kekuasaan.
Melalui kritik tajam terhadap moralitas Kristen, konsep nihilisme, dan tawaran
afirmatif melalui kehendak untuk berkuasa serta Übermensch, Nietzsche berupaya menyalakan
kembali semangat manusia untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri dalam dunia
yang kehilangan makna absolut1.
Nietzsche membaca
gejala keruntuhan
sistem nilai tradisional—yang ia simbolkan dengan “kematian
Tuhan”—sebagai titik balik historis yang mengharuskan manusia untuk
menghadapi kenyataan tanpa sandaran metafisika yang mapan. Dalam kerangka ini,
nihilisme bukanlah akhir, melainkan awal dari pembentukan nilai baru secara kreatif
dan reflektif2. Ia tidak memposisikan diri sebagai
perusak total, tetapi sebagai “dokter kebudayaan” yang mengidentifikasi
gejala dekadensi dan menawarkan terapi eksistensial melalui transvaluasi
nilai-nilai.
Di tengah tantangan
modernitas—fragmentasi identitas, krisis moral, dan banalitas budaya
massa—pemikiran Nietzsche terus berbicara kepada zaman. Konsep
kehendak untuk berkuasa tidak harus dimaknai sebagai dominasi
atas orang lain, tetapi sebagai dorongan batin manusia untuk mengaktualkan
diri, menafsirkan dunia, dan bertanggung jawab atas makna yang diciptakannya
sendiri3. Nietzsche mendorong manusia untuk mengafirmasi
kehidupan, tidak dengan kepasrahan fatalistik, tetapi melalui
keberanian menghadapi kenyataan secara total—sebagaimana diwujudkan dalam
gagasan eternal
recurrence4.
Relevansi Nietzsche
di era kontemporer juga tercermin dalam pemikirannya yang menginspirasi
pembebasan dari dogma, keberanian berpikir bebas, dan pembentukan diri secara
otentik. Ia mendorong manusia untuk menjadi individu sejati
yang tak terbelenggu oleh moralitas massa, ideologi negara, maupun sistem nilai
yang menindas kehendak kreatif. Dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian
dan perubahan cepat, Nietzsche mengajarkan pentingnya mengambil
alih kepemilikan atas eksistensi dan bertindak
sebagai subjek yang aktif dalam menentukan nilai dan arah hidupnya5.
Dengan demikian,
Nietzsche bukan sekadar filsuf pembongkar, tetapi juga perancang kemungkinan
baru bagi filsafat, etika, dan kebudayaan. Ia bukan sistematisator, melainkan
provokator ide yang membuka ruang bagi refleksi kritis, keberanian
eksistensial, dan penciptaan nilai yang bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press,
2007), 12–16.
[2]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography,
trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 215–218.
[3]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 91–95.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §341.
[5]
Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington:
Indiana University Press, 1978), 70–73.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., &
Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1944)
Assoun, P.-L. (2000). Freud
and Nietzsche (R. L. Collier, Trans.). Continuum.
Babich, B. (1993).
Nietzsche’s yes and ecological thinking. Environmental Ethics, 15(3),
265–280. https://doi.org/10.5840/enviroethics199315316
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Cixous, H. (1976). The
laugh of the medusa. Signs: Journal of Women in Culture and Society, 1(4),
875–893. https://doi.org/10.1086/493306
Danto, A. C. (2005). Nietzsche
as philosopher. Columbia University Press.
Deleuze, G. (2006). Nietzsche
and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Foucault, M. (1977).
Nietzsche, genealogy, history. In D. F. Bouchard (Ed.), Language,
counter-memory, practice (pp. 139–164). Cornell University Press.
Foucault, M. (1990). The
use of pleasure: The history of sexuality, vol. 2 (R. Hurley, Trans.).
Vintage Books.
Hayman, R. (1980). Nietzsche:
A critical life. Penguin Books.
Heidegger, M. (1979). Nietzsche
(Vol. 1–4, D. F. Krell, Trans.). Harper & Row.
Holub, R. C. (2015). Nietzsche’s
Jewish problem: Between anti-Semitism and anti-Judaism. Princeton
University Press.
Irigaray, L. (1985). This
sex which is not one (C. Porter, Trans.). Cornell University Press.
Jung, C. G. (1988). Nietzsche’s
Zarathustra: Notes of the seminar given in 1934–1939 (Vol. 1–2). Princeton
University Press.
Kaufmann, W. (1974). Nietzsche:
Philosopher, psychologist, antichrist. Princeton University Press.
MacIntyre, A. (2007). After
virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Magnus, B. (1978). Nietzsche’s
existential imperative. Indiana University Press.
Nietzsche, F. (1961). Thus
spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
Nietzsche, F. (1974). The
gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1998). Twilight
of the idols (D. Large, Trans.). Oxford University Press.
Nietzsche, F. (2007). On
the genealogy of morality (C. Diethe, Trans.; K. Ansell-Pearson, Ed.).
Cambridge University Press.
Nietzsche, F. (2008). The
birth of tragedy (D. Smith, Trans.). Oxford University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency,
irony, and solidarity. Cambridge University Press.
Safranski, R. (2002). Nietzsche:
A philosophical biography (S. Frisch, Trans.). W. W. Norton & Company.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Tillich, P. (1952). The
courage to be. Yale University Press.
Vattimo, G. (1991). The
end of modernity: Nihilism and hermeneutics in postmodern culture (J. R.
Snyder, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Young, J. (2010). Friedrich
Nietzsche: A philosophical biography. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar