Minggu, 13 April 2025

Pemikiran Friedrich Nietzsche: Kritik Moralitas, Nihilisme, dan Gagasan Kehendak untuk Berkuasa dalam Filsafat Modern

Friedrich Nietzsche

Kritik Moralitas, Nihilisme, dan Gagasan Kehendak untuk Berkuasa dalam Filsafat Modern


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran filosofis Friedrich Nietzsche yang dianggap sebagai salah satu titik balik dalam sejarah filsafat modern. Nietzsche mengajukan kritik radikal terhadap moralitas tradisional, terutama moralitas Kristen yang menurutnya melemahkan vitalitas dan potensi kreatif manusia. Ia juga dikenal sebagai diagnostikus nihilisme, yakni kondisi historis ketika nilai-nilai transenden kehilangan kekuatan normatifnya setelah "kematian Tuhan". Sebagai respons terhadap nihilisme, Nietzsche menawarkan konsep-konsep sentral seperti Übermensch (manusia unggul), kehendak untuk berkuasa, dan pengulangan abadi sebagai kerangka afirmatif untuk pembentukan makna hidup secara mandiri dan otentik. Melalui pendekatan historis dan filosofis, artikel ini menelusuri latar belakang intelektual Nietzsche, analisis atas gagasan-gagasan utamanya, pengaruhnya terhadap filsafat kontemporer, serta berbagai kritik terhadap warisan pemikirannya. Di tengah krisis nilai dan identitas yang menandai era global kontemporer, pemikiran Nietzsche tetap relevan sebagai inspirasi dalam membentuk keberanian eksistensial, pembebasan dari dogma, dan penciptaan nilai-nilai baru secara reflektif dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Nietzsche, moralitas, nihilisme, kehendak untuk berkuasa, Übermensch, filsafat modern, transvaluasi nilai, eksistensialisme.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Friedrich Nietzsche


1.           Pendahuluan

Friedrich Nietzsche (1844–1900) merupakan salah satu pemikir paling provokatif dalam sejarah filsafat Barat modern. Pemikirannya menandai titik balik radikal dalam pendekatan terhadap moralitas, agama, eksistensi manusia, serta perumusan nilai-nilai dalam kehidupan modern. Melalui karya-karyanya yang menantang struktur moral tradisional dan metafisika Barat, Nietzsche menyuarakan kritik tajam terhadap fondasi kebudayaan Eropa yang telah lama dilandasi oleh ajaran Kristen, filsafat Plato, dan warisan rasionalisme Pencerahan.1 Ia menjadi simbol pergeseran paradigma dari penekanan pada objektivitas dan kebenaran absolut menuju pemikiran yang lebih subjektif, interpretatif, dan eksistensialis.

Dalam pemikiran Nietzsche, tiga konsep utama sering muncul dan saling berkaitan: kritik terhadap moralitas konvensional, nihilisme sebagai gejala krisis nilai, serta gagasan “kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht) sebagai prinsip dasar kehidupan. Nietzsche tidak hanya mengkritik agama dan moralitas Kristen karena dianggap membatasi potensi kreatif manusia, melainkan juga mengusulkan pembentukan nilai-nilai baru yang lebih otentik dan afirmatif terhadap kehidupan.2 Melalui figur metaforis Übermensch (manusia unggul), ia menawarkan model manusia ideal yang sanggup menciptakan nilai-nilainya sendiri di tengah dunia yang telah kehilangan pegangan terhadap makna transenden.3

Pemikiran Nietzsche sangat relevan dalam konteks filsafat kontemporer karena ia menghadirkan tantangan terhadap universalisme moral, membuka diskusi kritis tentang makna eksistensi, dan mendorong pergeseran dari sistem nilai absolut ke arah perspektivisme dan interpretasi subjektif. Gagasan-gagasannya memengaruhi berbagai aliran filsafat abad ke-20, termasuk eksistensialisme, psikoanalisis, post-strukturalisme, dan filsafat budaya.4 Nietzsche tidak memberikan sistem filsafat yang tertutup dan final, melainkan membuka medan wacana yang dinamis, menantang pembaca untuk berkonfrontasi langsung dengan realitas nilai dan eksistensi.

Artikel ini bertujuan untuk membahas secara mendalam pemikiran utama Nietzsche, khususnya terkait dengan kritik moralitas tradisional, fenomena nihilisme, serta konsep kehendak untuk berkuasa, sambil menelusuri konteks historis dan pengaruh filosofis yang membentuk serta melanjutkan pemikirannya. Kajian ini juga akan menyoroti kontribusi Nietzsche terhadap arah baru dalam perkembangan filsafat kontemporer serta relevansinya dalam merespons tantangan zaman modern yang penuh dengan ketidakpastian nilai dan krisis makna.


Footnotes

[1]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 85.

[2]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 20–25.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 41–47.

[4]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 354–359.


2.           Biografi Singkat Friedrich Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada 15 Oktober 1844 di Röcken, sebuah kota kecil di wilayah Sachsen, Prusia (sekarang Jerman). Ia merupakan anak dari Carl Ludwig Nietzsche, seorang pendeta Lutheran, dan Franziska Oehler. Kematian ayahnya pada tahun 1849 ketika Nietzsche masih berusia lima tahun memberikan dampak psikologis mendalam dalam kehidupan awalnya, yang turut membentuk arah spiritual dan intelektual pemikirannya di kemudian hari1.

Nietzsche dikenal sebagai anak yang sangat cerdas dan menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang bahasa dan musik sejak usia dini. Pada usia 14 tahun, ia diterima di Schulpforta, sebuah sekolah bergengsi yang terkenal dengan kedisiplinan akademiknya. Di sanalah Nietzsche mulai mendalami teks-teks klasik Yunani dan Romawi, dan minatnya terhadap filsafat mulai tumbuh, terutama melalui pembacaan karya-karya Arthur Schopenhauer dan puisi-puisi Goethe2.

Pada tahun 1869, pada usia 24 tahun, Nietzsche diangkat sebagai profesor filologi klasik di Universitas Basel, menjadikannya salah satu profesor termuda dalam sejarah akademik Jerman. Meskipun latar belakang pendidikannya adalah filologi, Nietzsche perlahan mulai meninggalkan pendekatan filologis yang ketat dan beralih pada pemikiran filosofis yang lebih spekulatif dan eksistensial3. Selama masa tinggalnya di Basel, Nietzsche menjalin hubungan intelektual yang penting dengan komposer Richard Wagner, meskipun hubungan tersebut kemudian memburuk akibat perbedaan pandangan estetika dan moral.

Kesehatan Nietzsche memburuk secara progresif pada akhir 1870-an, terutama karena migrain kronis, gangguan penglihatan, dan berbagai keluhan fisik lain yang membuatnya mengundurkan diri dari jabatan akademik pada tahun 1879. Sejak saat itu, ia hidup sebagai penulis independen dan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Swiss, Italia, dan Prancis untuk mencari iklim yang mendukung kesehatannya. Dalam periode inilah ia menulis karya-karya filosofis terpentingnya, seperti Thus Spoke Zarathustra, Beyond Good and Evil, dan The Genealogy of Morals4.

Pada Januari 1889, Nietzsche mengalami keruntuhan mental saat berada di Turin, Italia. Ia ditemukan dalam kondisi tidak sadar setelah menyaksikan kuda yang disiksa oleh pemiliknya, sebuah insiden yang kemudian menjadi simbolis dalam narasi hidupnya. Setelah itu, ia tidak pernah pulih secara mental dan hidup dalam keadaan gangguan jiwa permanen di bawah perawatan ibunya dan kemudian saudara perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche, hingga wafatnya pada 25 Agustus 19005.

Meskipun Nietzsche tidak menikmati popularitas yang luas selama hidupnya, warisan intelektualnya mengalami kebangkitan besar pada abad ke-20, memengaruhi berbagai cabang pemikiran seperti eksistensialisme, psikoanalisis, kritik sastra, teori budaya, dan post-strukturalisme. Keberaniannya dalam menggugat nilai-nilai tradisional dan menawarkan alternatif radikal menjadikan dirinya sebagai salah satu tokoh sentral dalam sejarah filsafat modern6.


Footnotes

[1]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 9–13.

[2]                Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 25–30.

[3]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 56–60.

[4]                Leslie Paul Thiele, “Postmodernity and the Routinization of Novelty: Heidegger on Boredom and Technology,” Polity 29, no. 4 (1997): 499–517.

[5]                Ronald Hayman, Nietzsche: A Critical Life (New York: Penguin Books, 1980), 345–350.

[6]                Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington: Indiana University Press, 1978), 10–15.


3.           Konteks Historis dan Intelektual

Pemikiran Friedrich Nietzsche tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual dan historis Eropa abad ke-19 yang menjadi latar kemunculannya. Pada masa ini, masyarakat Eropa mengalami transformasi besar di berbagai bidang: dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pergeseran nilai-nilai religius menuju sekularisme, hingga perkembangan filsafat modern yang semakin kritis terhadap otoritas tradisional. Dalam konteks seperti inilah Nietzsche tampil dengan kritiknya yang radikal terhadap moralitas, agama, dan metafisika Barat.

Salah satu ciri utama zaman Nietzsche adalah kebangkitan ilmu pengetahuan dan rasionalitas Pencerahan (Enlightenment), yang menjanjikan pembebasan manusia melalui akal dan kemajuan teknologi. Namun, bagi Nietzsche, optimisme rasionalis ini justru menciptakan krisis spiritual karena menghancurkan fondasi kepercayaan religius tanpa menyediakan nilai-nilai baru yang bermakna. Di sinilah muncul diagnosis Nietzsche tentang nihilisme, yakni kondisi ketiadaan makna dan nilai setelah “kematian Tuhan”1. Kematian Tuhan, dalam kerangka Nietzsche, bukanlah peristiwa teologis, melainkan simbol historis atas runtuhnya sistem nilai absolut yang telah menopang kehidupan Barat selama berabad-abad2.

Selain itu, pemikiran Nietzsche juga dipengaruhi oleh pergeseran paradigma filsafat Jerman pasca-Kantian. Ia sangat mengapresiasi karya Arthur Schopenhauer, yang mengemukakan bahwa realitas pada dasarnya digerakkan oleh “kehendak buta”, bukan oleh rasionalitas. Nietzsche mengadopsi semangat pesimistis Schopenhauer, tetapi kemudian melampauinya dengan mengusulkan konsep “kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht) sebagai prinsip afirmatif dan kreatif dari kehidupan3. Pandangan ini merupakan bentuk penolakan terhadap metafisika yang statis dan dualistik, sekaligus seruan untuk menciptakan nilai-nilai baru yang berakar pada keberanian untuk hidup secara otentik.

Nietzsche juga sangat terpengaruh oleh dinamika budaya dan estetika Eropa abad ke-19, terutama melalui hubungannya dengan Richard Wagner, komposer Jerman yang semula ia kagumi. Namun, setelah kecewa dengan nasionalisme dan anti-Semitisme dalam karya-karya Wagner, Nietzsche menolak pandangan romantik dan menggantikannya dengan pendekatan yang lebih tragis dan heroik terhadap eksistensi manusia. Karya The Birth of Tragedy (1872) merefleksikan pemikirannya tentang ketegangan antara dua kekuatan arketipal dalam kebudayaan Yunani kuno: Apollonian (tatanan, harmoni) dan Dionysian (kekacauan, ekstasi). Ketegangan ini bagi Nietzsche adalah ekspresi terdalam dari kehidupan manusia yang autentik4.

Lebih jauh lagi, Nietzsche mengkritik keras metafisika Platonik dan moralitas Kristen, yang ia anggap telah melemahkan kehendak manusia untuk hidup secara penuh. Dalam pengaruh tradisi Plato dan Kekristenan, dunia yang nyata direduksi menjadi sekadar “bayangan” dari dunia ideal atau surgawi, dan nilai-nilai kehidupan ditundukkan pada harapan akan kehidupan setelah mati. Nietzsche menolak dualisme ini dan mengadvokasi sikap afirmatif terhadap kehidupan duniawi melalui konsep “eternal recurrence” (pengulangan abadi) sebagai bentuk radikal penerimaan terhadap realitas yang senantiasa kembali5.

Di tengah semua ini, Nietzsche berdiri sebagai filsuf yang mengkritik modernitas dari dalam, menolak dogma agama, menyangsikan objektivitas ilmu pengetahuan, dan menggugat otoritas moral universal. Alih-alih mencari kebenaran objektif atau sistem filsafat tertutup, Nietzsche menghadirkan gaya penulisan yang aforistik dan performatif—lebih menyerupai proklamasi eksistensial daripada argumen sistematis—sebagai cara untuk menegaskan pentingnya perspektivisme dan pengalaman personal dalam memahami kehidupan6.

Dengan demikian, pemikiran Nietzsche merupakan reaksi atas krisis nilai yang melanda dunia modern, sekaligus menjadi penanda transisi menuju filsafat kontemporer yang lebih terbuka terhadap pluralitas makna, subjektivitas, dan pencarian nilai baru yang lahir dari kehendak manusia sendiri.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[2]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 200–205.

[3]                Arthur C. Danto, Nietzsche as Philosopher (New York: Columbia University Press, 2005), 88–91.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Douglas Smith (Oxford: Oxford University Press, 2008), 14–25.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 273–277.

[6]                Bernd Magnus, Nietzsche's Existential Imperative (Bloomington: Indiana University Press, 1978), 45–50.


4.           Gagasan Utama Friedrich Nietzsche

Pemikiran Friedrich Nietzsche menandai pergeseran radikal dalam sejarah filsafat Barat. Ia tidak hanya menolak sistem filsafat metafisis dan moralitas tradisional, tetapi juga mengusulkan kerangka baru untuk memahami eksistensi manusia. Dalam bagian ini, akan diuraikan lima gagasan sentral Nietzsche yang menjadi inti dari kontribusinya dalam filsafat kontemporer: kritik terhadap moralitas, nihilisme, Übermensch, kehendak untuk berkuasa, dan eternal recurrence.

4.1.       Kritik terhadap Moralitas Tradisional

Nietzsche mengajukan kritik tajam terhadap moralitas konvensional, khususnya yang bersumber dari ajaran Kristen dan filsafat Plato. Menurutnya, moralitas Kristen merupakan bentuk “moralitas budak” (Sklavenmoral), yang tumbuh dari kebencian (ressentiment) terhadap kekuatan, kemuliaan, dan kehidupan itu sendiri. Moralitas ini memuliakan kelemahan, kerendahan hati, dan penderitaan sebagai kebajikan, sedangkan moralitas kaum bangsawan (Herrenmoral) menilai kebaikan berdasarkan kekuatan, vitalitas, dan afirmasi terhadap kehidupan1.

Dalam On the Genealogy of Morality, Nietzsche menjelaskan bahwa moralitas budak muncul sebagai reaksi kaum tertindas yang tidak mampu mengekspresikan kekuatannya secara langsung, sehingga mereka membalik nilai-nilai aristokratik dan menganggap kelemahan sebagai kebaikan moral. Moralitas ini, menurut Nietzsche, bersifat dekaden dan menekan potensi kreatif manusia2.

4.2.       Nihilisme

Nietzsche dikenal sebagai diagnostikus tajam atas nihilisme, yakni keadaan ketika nilai-nilai tradisional kehilangan kekuatan normatifnya. Ia mengumumkan “kematian Tuhan” dalam The Gay Science sebagai simbol berakhirnya dominasi nilai-nilai absolut dan transenden dalam kehidupan Barat modern3. Tanpa Tuhan, fondasi moral, metafisika, dan makna hidup menjadi rapuh dan terancam runtuh.

Namun, Nietzsche tidak sekadar mengeluhkan nihilisme; ia menganggapnya sebagai momen sejarah yang tak terelakkan dan bahkan produktif, asalkan manusia berani menciptakan nilai-nilai baru. Nihilisme pasif—yang ditandai dengan keputusasaan dan keinginan untuk kembali pada nilai lama—harus diatasi dengan nihilisme aktif, yaitu kehendak untuk melampaui ketiadaan makna melalui penciptaan diri secara otentik4.

4.3.       Übermensch (Manusia Unggul)

Sebagai alternatif terhadap manusia pascametafisik yang terjebak dalam kekosongan nilai, Nietzsche memperkenalkan konsep Übermensch, yakni sosok manusia yang mampu menciptakan nilai-nilainya sendiri tanpa bergantung pada otoritas eksternal. Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menggambarkan Übermensch sebagai ideal eksistensial yang mengatasi keterbatasan moralitas tradisional dan memikul tanggung jawab penuh atas eksistensinya5.

Übermensch bukanlah manusia yang berkuasa atas orang lain, melainkan manusia yang mengatasi dirinya sendiri (Selbstüberwindung) dan hidup secara afirmatif terhadap kehidupan, termasuk penderitaan dan absurditasnya. Ia menolak dualisme antara dunia ini dan dunia transenden, serta menghayati keberadaan dengan keberanian dan kreativitas tertinggi6.

4.4.       Kehendak untuk Berkuasa (Der Wille zur Macht)

Salah satu konsep terpenting dalam pemikiran Nietzsche adalah “kehendak untuk berkuasa”, yang ia anggap sebagai prinsip fundamental dari kehidupan. Tidak seperti kehendak untuk hidup (Schopenhauer) yang bersifat pasif dan pesimistis, kehendak untuk berkuasa adalah dorongan aktif dan kreatif yang mendorong makhluk hidup untuk menegaskan eksistensinya dan menciptakan bentuk kehidupan yang lebih tinggi7.

Nietzsche tidak memahami kekuasaan secara politis atau dominatif belaka, melainkan sebagai kekuatan ontologis yang melekat pada seluruh realitas. Bagi Nietzsche, tindakan manusia yang sejati bukanlah mempertahankan diri atau mencapai kebahagiaan, tetapi mengekspresikan kekuatan melalui penciptaan nilai, bentuk, dan makna hidup. Dengan demikian, kehendak untuk berkuasa adalah daya vital yang menjelaskan dinamika budaya, moralitas, dan perkembangan sejarah8.

4.5.       Eternal Recurrence (Pengulangan Abadi)

Konsep eternal recurrence adalah salah satu ide paling enigmatis Nietzsche, yang menyatakan bahwa segala sesuatu akan kembali terjadi dengan cara yang persis sama, tanpa akhir. Dalam The Gay Science dan Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menyajikan ide ini sebagai ujian eksistensial: sanggupkah seseorang mengafirmasi hidupnya sedemikian rupa hingga ia rela mengulanginya tanpa henti?9

Bagi Nietzsche, eternal recurrence bukanlah teori kosmologis, melainkan tantangan etis dan eksistensial untuk mencintai kehidupan secara total (amor fati). Manusia unggul bukan hanya menerima hidup sebagaimana adanya, tetapi juga menginginkannya kembali terjadi dalam bentuk yang sama. Di sinilah terletak puncak afirmasi eksistensial yang melampaui pesimisme dan fatalisme10.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 26–27.

[2]                Ibid., 32–35.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[4]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 212–218.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 41–47.

[6]                Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington: Indiana University Press, 1978), 61–65.

[7]                Arthur C. Danto, Nietzsche as Philosopher (New York: Columbia University Press, 2005), 94–99.

[8]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 49–55.

[9]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, §341.

[10]             Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 322–325.


5.           Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran Nietzsche

Pemikiran Friedrich Nietzsche memberikan dampak yang luas dan multidimensional terhadap perkembangan filsafat, sastra, psikologi, teologi, hingga teori budaya pada abad ke-20 dan 21. Meski semasa hidupnya Nietzsche belum sepenuhnya diakui oleh komunitas akademik, warisan intelektualnya justru mengalami lonjakan besar setelah kematiannya. Gagasan-gagasannya memicu diskusi lintas disiplin dan menjadi fondasi bagi berbagai aliran pemikiran modern, sekaligus menuai kritik tajam dari sejumlah pemikir besar.

5.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Modern dan Kontemporer

Salah satu pengaruh utama Nietzsche terlihat dalam perkembangan eksistensialisme. Pemikir seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus mengambil inspirasi dari Nietzsche, terutama dalam hal penolakan terhadap nilai-nilai absolut dan penekanan pada kebebasan eksistensial serta penciptaan makna secara individual1. Nietzsche juga menjadi tokoh sentral dalam pemikiran Martin Heidegger, yang menafsirkan Nietzsche sebagai filsuf terakhir metafisika Barat sekaligus pelampau metafisika melalui kritik terhadap "ontoteologi" dan penekanan pada kehendak sebagai struktur keberadaan2.

Di sisi lain, pemikir postmodern seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida menafsirkan Nietzsche sebagai tokoh yang meruntuhkan fondasi epistemologis modern. Foucault, misalnya, mengembangkan konsep “genealogi” berdasarkan pendekatan Nietzschean terhadap sejarah moralitas, di mana struktur kekuasaan dan pengetahuan dilihat sebagai hasil konstruksi historis dan bukan esensi universal3. Derrida, dalam kerangka dekonstruksi, menemukan dalam Nietzsche model pemikiran non-linear yang membongkar oposisi biner dalam bahasa dan filsafat Barat4.

Dalam bidang psikoanalisis, Carl Gustav Jung menganggap Nietzsche sebagai pionir dalam eksplorasi kedalaman jiwa manusia, terutama melalui simbolisme Zarathustra dan konsep Übermensch yang berkaitan erat dengan proses individuasi5. Bahkan Sigmund Freud, meskipun tidak secara langsung mengutip Nietzsche secara ekstensif, mengakui bahwa pemikirannya sering kali telah “mendahului” teori-teori psikoanalitik dalam bentuk yang intuitif6.

5.2.       Kritik terhadap Nietzsche

Meskipun pengaruh Nietzsche meluas, pemikirannya juga menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Salah satu tuduhan paling kontroversial adalah keterkaitan Nietzsche dengan ideologi fasis dan Nazisme. Tuduhan ini sebagian besar dipicu oleh penyuntingan dan manipulasi atas karya-karyanya oleh saudara perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche, yang memiliki afiliasi kuat dengan ideologi nasionalis Jerman dan menyusun Will to Power dalam bentuk yang seolah-olah mendukung supremasi rasial dan otoritarianisme7. Namun, studi-studi modern seperti karya Walter Kaufmann dan Rüdiger Safranski berhasil menunjukkan bahwa Nietzsche sendiri secara eksplisit menentang antisemitisme, nasionalisme, dan kolektivisme yang kaku8.

Di sisi teologis, Nietzsche dikritik oleh para pemikir Kristen seperti G. K. Chesterton dan Paul Tillich, yang melihat penolakan Nietzsche terhadap Tuhan sebagai bentuk reduksionisme spiritual. Kritik mereka menggarisbawahi bahwa “kematian Tuhan” bukan solusi, melainkan justru membuka ruang kekacauan moral yang destruktif bagi masyarakat9. Sementara itu, pemikir seperti Alasdair MacIntyre menganggap Nietzsche sebagai contoh dari kegagalan modernitas untuk menyediakan fondasi moral yang koheren. Dalam bukunya After Virtue, MacIntyre menyatakan bahwa Nietzsche menunjukkan kehancuran proyek Pencerahan, tetapi gagal membangun alternatif etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara normatif10.

Kritik lainnya datang dari kalangan feminis. Pemikir seperti Luce Irigaray dan Judith Butler mengkritik simbolisme Nietzsche yang dianggap terlalu maskulin, hierarkis, dan eksklusif terhadap pengalaman perempuan. Meskipun beberapa pemikir feminis seperti Hélène Cixous mencoba merekonstruksi Nietzsche sebagai tokoh yang membuka ruang bagi penulisan perempuan (écriture féminine), perdebatan ini tetap menjadi bagian dari warisan ambivalen Nietzsche dalam teori gender dan representasi tubuh11.

5.3.       Ambivalensi dan Relevansi Kontemporer

Pengaruh dan kritik terhadap Nietzsche mencerminkan kompleksitas warisan pemikirannya. Nietzsche bukanlah filsuf dengan sistem tertutup, melainkan provokator intelektual yang menantang pembaca untuk mempertanyakan asumsi terdalam tentang kebenaran, moralitas, dan identitas. Keberaniannya dalam menghadapi nihilisme dan merumuskan proyek afirmasi kehidupan menjadikannya relevan dalam era kontemporer yang ditandai oleh krisis makna, relativisme nilai, dan pencarian spiritualitas alternatif di luar dogma institusional.

Nietzsche tetap menjadi figur sentral dalam kajian filsafat, teori budaya, dan kritik sastra, bukan karena ia menawarkan jawaban final, melainkan karena ia menggugah pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar dan eksistensial dalam kehidupan manusia modern.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–30.

[2]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. I–IV, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), I: 11–14.

[3]                Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” dalam Language, Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.

[4]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.

[5]                C. G. Jung, Nietzsche’s Zarathustra: Notes of the Seminar Given in 1934–1939, vol. I–II (Princeton: Princeton University Press, 1988), I: 45–50.

[6]                Paul-Laurent Assoun, Freud and Nietzsche, trans. Richard L. Collier (London: Continuum, 2000), 36–41.

[7]                Robert C. Holub, Nietzsche’s Jewish Problem: Between Anti-Semitism and Anti-Judaism (Princeton: Princeton University Press, 2015), 122–128.

[8]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 99–105; Safranski, Nietzsche, 276–285.

[9]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 57–60.

[10]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 109–120.

[11]             Luce Irigaray, This Sex Which Is Not One, trans. Catherine Porter (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 82–85; Judith Butler, Gender Trouble (New York: Routledge, 1990), 26–29.


6.           Relevansi Pemikiran Nietzsche di Era Kontemporer

Pemikiran Friedrich Nietzsche tidak hanya berakar pada pergolakan nilai di Eropa abad ke-19, tetapi juga memiliki signifikansi mendalam dalam merespons krisis makna dan moralitas yang terus berlangsung di era kontemporer. Di tengah kebangkitan sekularisme, relativisme nilai, dan globalisasi budaya, Nietzsche tampil sebagai figur filosofis yang menginspirasi pembacaan ulang terhadap dasar-dasar kehidupan modern: eksistensi, moralitas, kekuasaan, dan identitas.

6.1.       Krisis Nilai dan Nihilisme Modern

Dalam konteks kontemporer, konsep nihilisme Nietzsche sangat relevan untuk memahami fenomena krisis nilai yang dialami oleh masyarakat modern dan pascamodern. Kepercayaan terhadap sistem moral universal, fondasi metafisika tradisional, dan kebenaran absolut semakin goyah di tengah gelombang pluralisme, relativisme budaya, dan fragmentasi identitas. Nietzsche telah meramalkan bahwa hilangnya Tuhan bukan sekadar perubahan kepercayaan religius, tetapi keruntuhan struktur makna yang mengatur kehidupan manusia1.

Para filsuf kontemporer seperti Gianni Vattimo dan Richard Rorty menafsirkan nihilisme Nietzsche bukan sebagai kehancuran yang merusak, tetapi sebagai kesempatan untuk membebaskan diri dari tirani makna tunggal, dan membuka ruang bagi kehidupan yang pluralistik dan dialogis2. Dalam pandangan ini, Nietzsche memberi perangkat untuk merespons krisis eksistensial modern secara kreatif, bukan regresif.

6.2.       Kehendak untuk Berkuasa dan Etika Kemandirian

Gagasan kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht) tetap relevan dalam memahami dinamika identitas, agensi, dan resistensi dalam masyarakat kontemporer. Nietzsche mengajarkan bahwa manusia tidak semestinya tunduk pada nilai yang diwariskan secara dogmatis, melainkan perlu menjadi pencipta nilai melalui kehendak dan keberanian eksistensial. Ini sangat kontekstual dalam budaya yang semakin menuntut otentisitas, inovasi, dan tanggung jawab personal terhadap pilihan hidup3.

Dalam kerangka ini, Nietzsche menjadi inspirasi dalam teori self-fashioning, yaitu pembentukan diri secara sadar dan aktif, sebagaimana dikembangkan oleh Michel Foucault dalam analisisnya terhadap etika kuno dan praktik diri4. Individu di era digital dan global dituntut untuk bernegosiasi dengan identitasnya secara fleksibel, namun tetap berakar pada kehendak untuk mengukir makna pribadi dalam dunia yang terus berubah.

6.3.       Übermensch dan Tantangan Etika Global

Konsep Übermensch (manusia unggul) juga mendapat interpretasi ulang dalam etika kontemporer, bukan sebagai proyek superioritas biologis, melainkan sebagai metafora pembebasan eksistensial. Dalam dunia yang dikuasai oleh sistem, pasar, dan ideologi massa, keberanian untuk menjadi otentik, menghadapi absurditas, dan menciptakan nilai secara mandiri merupakan wujud aktual dari semangat Übermensch.

Nietzsche mengajarkan bahwa etika sejati bukanlah kepatuhan pada perintah eksternal, melainkan afirmasi terhadap kehidupan yang konkret, termasuk penderitaan dan ketidakpastian. Gagasan ini menjadi penting dalam wacana etika lingkungan, bioetika, dan keadilan global, di mana pertanyaan tentang nilai tidak bisa dijawab dengan moralitas universal belaka, tetapi melalui keberanian manusia untuk merumuskan nilai baru di tengah kompleksitas zaman5.

6.4.       Kritis terhadap Ideologi dan Kekuasaan

Pemikiran Nietzsche juga menjadi alat kritis terhadap ideologi-ideologi dominan, baik dalam bentuk agama institusional, nasionalisme eksklusif, maupun kapitalisme neoliberal. Kritiknya terhadap moralitas budak dan dogma kebenaran tunggal mengilhami pendekatan hermeneutika kecurigaan, yakni sikap kritis terhadap narasi besar yang mengklaim otoritas moral atau kebenaran tunggal.

Dalam hal ini, Nietzsche memperluas diskursus tentang kekuasaan dan bahasa, yang menjadi fondasi bagi teori diskursus Foucault, serta kritik budaya dari tokoh-tokoh mazhab Frankfurt seperti Adorno dan Horkheimer. Mereka melihat bagaimana kekuasaan dapat menyusup ke dalam struktur moral, pendidikan, dan kebudayaan secara hegemonik6.

6.5.       Spiritualitas Baru dan Transvaluasi Nilai

Di luar kritik dan dekonstruksi, Nietzsche juga membuka kemungkinan bagi spiritualitas non-dogmatik, yakni bentuk religiositas yang tidak tunduk pada institusi, tetapi berakar pada pengalaman eksistensial manusia itu sendiri. Gagasannya tentang “transvaluasi nilai” (Umwertung aller Werte) menginspirasi pencarian spiritualitas alternatif yang tidak dibatasi oleh metafisika tradisional, tetapi tetap berupaya menjawab kerinduan manusia akan makna7.

Dalam dunia yang kehilangan pegangan nilai mutlak, Nietzsche tidak hanya meruntuhkan tatanan lama, tetapi juga menawarkan jalan menuju pembentukan nilai yang berani, reflektif, dan afirmatif terhadap kehidupan.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[2]                Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1991), 22–30; Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 27–40.

[3]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 85–90.

[4]                Michel Foucault, The Use of Pleasure, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 10–15.

[5]                Babette Babich, “Nietzsche’s Yes and Ecological Thinking,” Environmental Ethics 15, no. 3 (1993): 265–280.

[6]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 91–108.

[7]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 45–50.


7.           Kesimpulan

Friedrich Nietzsche merupakan salah satu pemikir paling radikal dan berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Gagasan-gagasannya tidak hanya mengguncang fondasi-fondasi metafisika dan moralitas Barat yang telah mengakar selama berabad-abad, tetapi juga menawarkan arah baru bagi refleksi filosofis tentang eksistensi, nilai, dan kekuasaan. Melalui kritik tajam terhadap moralitas Kristen, konsep nihilisme, dan tawaran afirmatif melalui kehendak untuk berkuasa serta Übermensch, Nietzsche berupaya menyalakan kembali semangat manusia untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri dalam dunia yang kehilangan makna absolut1.

Nietzsche membaca gejala keruntuhan sistem nilai tradisional—yang ia simbolkan dengan “kematian Tuhan”—sebagai titik balik historis yang mengharuskan manusia untuk menghadapi kenyataan tanpa sandaran metafisika yang mapan. Dalam kerangka ini, nihilisme bukanlah akhir, melainkan awal dari pembentukan nilai baru secara kreatif dan reflektif2. Ia tidak memposisikan diri sebagai perusak total, tetapi sebagai “dokter kebudayaan” yang mengidentifikasi gejala dekadensi dan menawarkan terapi eksistensial melalui transvaluasi nilai-nilai.

Di tengah tantangan modernitas—fragmentasi identitas, krisis moral, dan banalitas budaya massa—pemikiran Nietzsche terus berbicara kepada zaman. Konsep kehendak untuk berkuasa tidak harus dimaknai sebagai dominasi atas orang lain, tetapi sebagai dorongan batin manusia untuk mengaktualkan diri, menafsirkan dunia, dan bertanggung jawab atas makna yang diciptakannya sendiri3. Nietzsche mendorong manusia untuk mengafirmasi kehidupan, tidak dengan kepasrahan fatalistik, tetapi melalui keberanian menghadapi kenyataan secara total—sebagaimana diwujudkan dalam gagasan eternal recurrence4.

Relevansi Nietzsche di era kontemporer juga tercermin dalam pemikirannya yang menginspirasi pembebasan dari dogma, keberanian berpikir bebas, dan pembentukan diri secara otentik. Ia mendorong manusia untuk menjadi individu sejati yang tak terbelenggu oleh moralitas massa, ideologi negara, maupun sistem nilai yang menindas kehendak kreatif. Dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian dan perubahan cepat, Nietzsche mengajarkan pentingnya mengambil alih kepemilikan atas eksistensi dan bertindak sebagai subjek yang aktif dalam menentukan nilai dan arah hidupnya5.

Dengan demikian, Nietzsche bukan sekadar filsuf pembongkar, tetapi juga perancang kemungkinan baru bagi filsafat, etika, dan kebudayaan. Ia bukan sistematisator, melainkan provokator ide yang membuka ruang bagi refleksi kritis, keberanian eksistensial, dan penciptaan nilai yang bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe, ed. Keith Ansell-Pearson (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 12–16.

[2]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 215–218.

[3]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 91–95.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §341.

[5]                Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington: Indiana University Press, 1978), 70–73.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1944)

Assoun, P.-L. (2000). Freud and Nietzsche (R. L. Collier, Trans.). Continuum.

Babich, B. (1993). Nietzsche’s yes and ecological thinking. Environmental Ethics, 15(3), 265–280. https://doi.org/10.5840/enviroethics199315316

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Cixous, H. (1976). The laugh of the medusa. Signs: Journal of Women in Culture and Society, 1(4), 875–893. https://doi.org/10.1086/493306

Danto, A. C. (2005). Nietzsche as philosopher. Columbia University Press.

Deleuze, G. (2006). Nietzsche and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Foucault, M. (1977). Nietzsche, genealogy, history. In D. F. Bouchard (Ed.), Language, counter-memory, practice (pp. 139–164). Cornell University Press.

Foucault, M. (1990). The use of pleasure: The history of sexuality, vol. 2 (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Hayman, R. (1980). Nietzsche: A critical life. Penguin Books.

Heidegger, M. (1979). Nietzsche (Vol. 1–4, D. F. Krell, Trans.). Harper & Row.

Holub, R. C. (2015). Nietzsche’s Jewish problem: Between anti-Semitism and anti-Judaism. Princeton University Press.

Irigaray, L. (1985). This sex which is not one (C. Porter, Trans.). Cornell University Press.

Jung, C. G. (1988). Nietzsche’s Zarathustra: Notes of the seminar given in 1934–1939 (Vol. 1–2). Princeton University Press.

Kaufmann, W. (1974). Nietzsche: Philosopher, psychologist, antichrist. Princeton University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Magnus, B. (1978). Nietzsche’s existential imperative. Indiana University Press.

Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (1998). Twilight of the idols (D. Large, Trans.). Oxford University Press.

Nietzsche, F. (2007). On the genealogy of morality (C. Diethe, Trans.; K. Ansell-Pearson, Ed.). Cambridge University Press.

Nietzsche, F. (2008). The birth of tragedy (D. Smith, Trans.). Oxford University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Safranski, R. (2002). Nietzsche: A philosophical biography (S. Frisch, Trans.). W. W. Norton & Company.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Vattimo, G. (1991). The end of modernity: Nihilism and hermeneutics in postmodern culture (J. R. Snyder, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Young, J. (2010). Friedrich Nietzsche: A philosophical biography. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar