Selasa, 29 April 2025

Sejarah: Studi Sistematis tentang Identitas dan Dinamika Masa Lalu Manusia

Sejarah

Studi Sistematis tentang Identitas dan Dinamika Masa Lalu Manusia


Alihkan ke: Ilmu Humaniora.

Pembagian Zaman dalam Sejarah, Urutan Kelompok Demografi.


Abstrak

Artikel ini membahas peran sejarah sebagai instrumen penting dalam memahami identitas kolektif dan dinamika peradaban manusia dari perspektif ilmiah dan multidisipliner. Sejarah tidak hanya merekam peristiwa masa lalu, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat terhadap masa kini dan masa depan. Dengan menelusuri pengertian, fungsi, dan metodologi sejarah, artikel ini menunjukkan bahwa sejarah merupakan konstruksi naratif yang sarat makna dan tidak terlepas dari interpretasi sejarawan. Kajian ini juga mengkaji periodisasi sejarah dan transformasi peradaban dalam konteks global, serta bagaimana narasi sejarah berperan dalam pembentukan identitas, diplomasi budaya, dan pendidikan karakter. Di era globalisasi dan digitalisasi, studi sejarah menghadapi tantangan epistemologis dan politis seperti postmodernisme, pluralisme narasi, serta penyebaran disinformasi. Artikel ini menegaskan bahwa sejarah tetap relevan sebagai fondasi reflektif untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan berkeadaban, serta sebagai panduan dalam merespons kompleksitas dunia kontemporer.

Kata Kunci: Sejarah, identitas kolektif, peradaban, historiografi, globalisasi, metodologi sejarah, narasi, memori kolektif, tantangan kontemporer.


PEMBAHASAN

Sejarah sebagai Cermin Peradaban


1.           Pendahuluan

Sejarah bukan sekadar catatan tentang peristiwa yang telah berlalu, melainkan cermin reflektif yang memungkinkan manusia memahami jati diri, dinamika sosial, dan arah perkembangan peradaban. Dalam kerangka ilmu pengetahuan, sejarah menjadi wahana untuk menggali makna dari peristiwa masa lalu dengan cara yang sistematis, kritis, dan interpretatif. Oleh karena itu, sejarah tidak hanya menghadirkan informasi, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif akan siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita menuju sebagai sebuah masyarakat.

Sejak masa Yunani Kuno, sejarah telah didefinisikan sebagai historia, yang berarti penyelidikan atau pencarian pengetahuan. Herodotus, yang sering disebut sebagai “Bapak Sejarah”, melihat sejarah sebagai upaya untuk menjaga agar tindakan manusia dan pencapaian besar tidak hilang dalam pelupaan zaman.1 Namun, pendekatan ilmiah terhadap sejarah baru menemukan bentuknya yang sistematik pada abad ke-19 melalui karya Leopold von Ranke, yang menekankan perlunya menghadirkan masa lalu “sebagaimana terjadinya” (wie es eigentlich gewesen).[2] Pendekatan ini menandai peralihan dari narasi legendaris menuju kajian berbasis sumber empiris.

Dalam konteks kontemporer, sejarah tidak lagi dilihat sebagai pengumpulan fakta semata, melainkan sebagai konstruksi naratif yang sarat dengan interpretasi. E.H. Carr menegaskan bahwa sejarah merupakan dialog antara masa kini dan masa lalu, di mana sejarawan secara aktif memilih dan menafsirkan fakta untuk membentuk narasi yang bermakna.2 Artinya, sejarah tidak pernah benar-benar objektif; ia selalu berinteraksi dengan kepentingan sosial, politik, dan budaya pada zamannya. Oleh sebab itu, kesadaran akan kerangka interpretasi menjadi penting dalam membedakan antara historiografi yang ilmiah dan yang bersifat ideologis.

Kajian sejarah juga memainkan peran fundamental dalam pembentukan identitas kolektif. Bangsa-bangsa modern kerap membangun narasi historis sebagai dasar nasionalisme dan legitimasi politik. Hal ini menjadikan sejarah sebagai arena yang tidak netral, di mana berbagai kelompok saling bersaing untuk menafsirkan masa lalu menurut kepentingan mereka. Pierre Nora menyebut fenomena ini sebagai lieux de mémoire atau tempat-tempat memori, yakni ruang simbolik yang merepresentasikan identitas melalui sejarah.3 Di Indonesia, dinamika ini tercermin dalam cara sejarah nasional disusun untuk memperkuat semangat kebangsaan, meski tak jarang menyingkirkan suara-suara alternatif dari kelompok marjinal.4

Dengan demikian, mempelajari sejarah berarti membuka ruang refleksi atas proses-proses sosial dan kultural yang membentuk peradaban manusia. Sejarah membantu manusia untuk tidak terputus dari akar masa lalunya, dan dalam waktu bersamaan, mempersiapkan masyarakat untuk merespons tantangan zaman dengan pemahaman yang lebih mendalam dan bijak. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi sejarah sebagai sarana penting dalam memahami identitas dan dinamika peradaban, dengan pendekatan multidisipliner dan metodologi ilmiah sebagai landasannya.


Footnotes

[1]                Herodotus, The Histories, trans. Aubrey de Sélincourt (London: Penguin Books, 2003), 1.

[2]                E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961), 30.

[3]                Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire,” Representations 26 (1989): 7–24.

[4]                Yosef Djakababa, Sejarah dan Nasionalisme: Historiografi Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2019), 62.


2.           Pengertian Sejarah dalam Perspektif Ilmiah

Sejarah sebagai disiplin akademik memiliki pengertian yang berkembang dari waktu ke waktu, mencerminkan pendekatan intelektual dan metodologis yang digunakan oleh para sejarawan dalam menjelaskan masa lalu. Dalam perspektif ilmiah, sejarah tidak hanya dipahami sebagai kumpulan peristiwa yang telah terjadi, tetapi sebagai studi sistematis dan kritis terhadap jejak-jejak masa lalu guna membangun pemahaman yang utuh tentang dinamika kehidupan manusia. Dengan demikian, sejarah menjadi bidang pengetahuan yang menuntut ketelitian, objektivitas terbimbing, dan kerangka analitis yang jelas.

Secara etimologis, kata “sejarah” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab syajaratun yang berarti “pohon” atau “asal-usul”, yang kemudian mengalami perluasan makna menjadi “riwayat” atau “kisah kehidupan masa lalu.” Sementara itu, dalam bahasa Inggris, istilah history berasal dari bahasa Yunani historia, yang berarti penyelidikan atau pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian1. Herodotus, tokoh awal yang diakui sebagai "Bapak Sejarah", memahami sejarah sebagai upaya mencatat dan menjelaskan peristiwa penting umat manusia agar tidak terlupakan oleh waktu2.

Dalam perkembangannya, para sejarawan modern mulai merumuskan sejarah sebagai ilmu pengetahuan. Leopold von Ranke, seorang tokoh historiografi Jerman abad ke-19, menekankan pentingnya fakta dan dokumentasi dalam pendekatan sejarah. Ia menyatakan bahwa tugas utama sejarawan adalah merekonstruksi peristiwa “sebagaimana terjadinya” (wie es eigentlich gewesen), melalui studi kritis terhadap sumber-sumber primer3. Konsepsi Ranke memengaruhi pembentukan sejarah sebagai disiplin empiris yang menekankan keotentikan data dan netralitas ilmiah.

Namun, pendekatan positivistik seperti ini kemudian dikritik oleh sejumlah sejarawan dan filsuf sejarah karena dianggap mengabaikan dimensi interpretatif dalam kajian sejarah. E.H. Carr, dalam karya terkenalnya What is History?, menolak gagasan bahwa sejarah dapat ditulis secara objektif murni. Ia menyatakan bahwa sejarah merupakan “dialog abadi antara masa kini dan masa lalu,” di mana subjektivitas sejarawan dan konteks zamannya tidak dapat dihindari dalam proses penulisan sejarah4. Pandangan ini membuka jalan bagi pendekatan-pendekatan baru yang lebih reflektif terhadap posisi sejarawan dalam konstruksi narasi historis.

Sejarawan Indonesia seperti Kuntowijoyo memperluas pengertian sejarah dengan menyatakan bahwa sejarah bukan hanya ilmu, tetapi juga kisah dan seni. Ia membedakan antara “sejarah sebagai peristiwa” (history as event) dan “sejarah sebagai kisah” (history as story) untuk menegaskan bahwa fakta sejarah harus diolah menjadi narasi yang bermakna, bukan sekadar kronologi kosong5. Sejarah, dalam pandangan ini, tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi.

Dengan demikian, dalam perspektif ilmiah, sejarah merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: peristiwa nyata yang terjadi di masa lalu, sumber-sumber yang merekam peristiwa tersebut, dan penafsiran sejarawan terhadap sumber tersebut untuk membangun narasi historis. Tiga unsur ini menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu yang bersifat empiris sekaligus interpretatif. Ia membutuhkan data yang dapat diverifikasi, tetapi juga memerlukan kerangka teoretis dan naratif untuk memberi makna terhadap data tersebut6.


Footnotes

[1]                Peter Burke, History and Social Theory (Cambridge: Polity Press, 2005), 4.

[2]                Herodotus, The Histories, trans. Aubrey de Sélincourt (London: Penguin Books, 2003), 1.

[3]                Leopold von Ranke, The Theory and Practice of History, ed. Georg G. Iggers and Konrad von Moltke (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1973), 57.

[4]                E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961), 30.

[5]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), 18.

[6]                Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2005), 9.


3.           Fungsi dan Tujuan Sejarah

Studi sejarah memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun kolektif. Sejarah tidak sekadar merekam peristiwa masa lalu, tetapi turut membentuk cara pandang manusia terhadap masa kini dan masa depan. Dalam konteks ilmiah dan sosial, sejarah memikul peran edukatif, identitatif, integratif, inspiratif, serta kritis. Kesemua fungsi ini menjadikan sejarah sebagai sarana strategis untuk memahami dinamika perubahan sosial dan memperkuat kesadaran kebudayaan serta kebangsaan.

3.1.       Fungsi Edukatif: Sejarah sebagai Guru Kehidupan

Fungsi edukatif dari sejarah tercermin dalam ungkapan Latin historia magistra vitae — sejarah adalah guru kehidupan. Artinya, sejarah memberikan pelajaran moral dan sosial dari pengalaman umat manusia di masa lalu. Melalui kajian sejarah, generasi kini dapat memetik hikmah dari keberhasilan maupun kegagalan terdahulu, sehingga dapat menghindari kesalahan yang sama dan mengadopsi praktik terbaik. E.H. Carr menekankan bahwa sejarah bukan hanya akumulasi fakta, tetapi juga proses reflektif yang mengajarkan manusia untuk berpikir kritis terhadap proses sebab-akibat dalam kehidupan sosial1.

3.2.       Fungsi Identitatif: Pembentukan Jati Diri Kolektif

Sejarah juga berperan penting dalam pembentukan identitas kolektif suatu bangsa atau komunitas. Melalui narasi historis, masyarakat memperoleh pemahaman akan asal-usul, perjuangan, nilai, dan cita-cita yang membentuk jati diri mereka. Anthony D. Smith menjelaskan bahwa etno-nasionalisme modern sangat bergantung pada konstruksi memori kolektif yang dibangun melalui historiografi nasional2. Dalam konteks Indonesia, penulisan sejarah nasional menjadi medium untuk membentuk solidaritas kebangsaan dan memperkuat rasa ke-Indonesiaan, meskipun kerap disertai kontroversi terkait eksklusi terhadap narasi kelompok minoritas3.

3.3.       Fungsi Integratif dan Inspiratif: Penyatu dan Pendorong Perubahan

Sejarah memiliki kekuatan untuk menyatukan masyarakat melalui pengalaman kolektif yang dibagikan dalam narasi historis. Kisah perjuangan, revolusi, atau pencapaian masa lalu sering dijadikan sumber inspirasi bagi masyarakat kontemporer untuk membangun masa depan yang lebih baik. Pierre Nora menyebut “tempat-tempat memori” (lieux de mémoire) sebagai simbol yang berfungsi mengikat identitas kolektif melalui simbolisme historis yang dimaknai bersama4. Fungsi inspiratif sejarah terlihat nyata dalam penggunaan peristiwa-peristiwa heroik oleh negara atau gerakan sosial untuk membangkitkan semangat perjuangan dan transformasi.

3.4.       Fungsi Kritis: Membongkar Dominasi Narasi dan Ideologi

Selain fungsi-fungsi normatif, sejarah juga memiliki fungsi kritis: membongkar narasi dominan dan mengungkap suara-suara yang selama ini tersisih. Michel Foucault menekankan pentingnya “genealogi sejarah” sebagai cara untuk menelusuri asal-usul kuasa dan wacana dominan dalam masyarakat5. Dalam kerangka ini, sejarah tidak hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, tetapi juga menjadi sarana perlawanan intelektual untuk mendekonstruksi mitos-mitos hegemonik. Oleh karena itu, fungsi kritis sejarah sangat penting dalam menjaga pluralitas dan keadilan dalam wacana sejarah.

3.5.       Tujuan Historis: Memahami dan Menjelaskan Perubahan Sosial

Secara epistemologis, tujuan utama sejarah adalah untuk memahami dan menjelaskan bagaimana dan mengapa perubahan sosial terjadi dalam konteks ruang dan waktu. Sejarah bukan sekadar menceritakan apa yang terjadi, tetapi berupaya menjawab pertanyaan tentang hubungan kausal, dinamika kekuasaan, dan pola perubahan dalam peradaban manusia. Georg G. Iggers menekankan bahwa sejarah modern bertujuan untuk membangun pemahaman mendalam terhadap struktur sosial dan perubahan kultural, bukan hanya deskripsi peristiwa semata6.

Dengan demikian, fungsi dan tujuan sejarah jauh melampaui sekadar pelestarian masa lalu. Ia menjadi instrumen penting dalam pendidikan, pembentukan identitas, integrasi sosial, inspirasi kolektif, dan kritik terhadap status quo. Kesadaran akan fungsi-fungsi ini akan memperkaya peran sejarah dalam kehidupan masyarakat modern, menjadikannya sebagai wahana refleksi dan transformasi sosial yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961), 45–46.

[2]                Anthony D. Smith, The Ethnic Origins of Nations (Oxford: Blackwell, 1986), 174.

[3]                Yosef Djakababa, Sejarah dan Nasionalisme: Historiografi Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2019), 83.

[4]                Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire,” Representations 26 (1989): 7–24.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 117.

[6]                Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2005), 72.


4.           Metodologi dalam Kajian Sejarah

Studi sejarah sebagai disiplin ilmu tidak dapat dilepaskan dari metodologi yang khas dan sistematis. Sebagaimana bidang keilmuan lainnya, sejarah mengandalkan metode untuk menjamin validitas dan objektivitas data, meskipun tetap menyadari sifat interpretatif dari setiap narasi yang dibangun. Metodologi dalam kajian sejarah mencakup langkah-langkah ilmiah dalam menelusuri sumber, menganalisis data, dan menarasikan peristiwa masa lalu. Pendekatan ini bertujuan untuk mengungkap dinamika sosial secara mendalam dan kritis, bukan sekadar menyusun kronologi kejadian.

4.1.       Langkah-langkah Penelitian Sejarah

Penelitian sejarah umumnya melalui empat tahap utama: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.

·                     Heuristik adalah tahap awal pencarian dan pengumpulan sumber sejarah, baik primer maupun sekunder. Sumber primer meliputi dokumen, arsip, artefak, lisan, maupun kesaksian langsung dari masa lampau, sedangkan sumber sekunder mencakup interpretasi atau analisis dari para sejarawan sebelumnya1.

·                     Verifikasi merupakan proses pengujian keaslian dan kredibilitas sumber. Dalam tahap ini, sejarawan menilai validitas dokumen dari segi waktu, tempat, dan penulisnya untuk memastikan bahwa informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah2.

·                     Interpretasi menjadi tahap paling kritis, karena di sinilah sejarawan mulai menafsirkan makna dari fakta-fakta sejarah, mencari hubungan sebab-akibat, dan membangun pemahaman terhadap konteks sosial budaya peristiwa tersebut3.

·                     Historiografi adalah hasil akhir berupa penulisan sejarah, yaitu konstruksi naratif berdasarkan data dan interpretasi ilmiah. Historiografi juga mencerminkan orientasi ideologis dan teoritis penulis sejarah, sehingga menuntut refleksi kritis terhadap perspektif yang digunakan4.

4.2.       Jenis-jenis Sumber Sejarah

Sumber sejarah diklasifikasikan menjadi tiga bentuk:

·                     Sumber tertulis, seperti naskah, dokumen, surat kabar, dan arsip resmi.

·                     Sumber lisan, termasuk wawancara, tradisi tutur, dan kesaksian pelaku sejarah.

·                     Sumber benda, seperti artefak, bangunan, lukisan, atau peninggalan arkeologis.

Ketiga jenis sumber ini diperlakukan secara berbeda tergantung pendekatan yang digunakan. Penelitian arkeologi, misalnya, lebih mengandalkan bukti material, sementara sejarah sosial kontemporer bisa memprioritaskan sumber lisan untuk merekonstruksi pengalaman kelompok yang tersisih dari narasi dominan5.

4.3.       Pendekatan Sinkronik dan Diakronik

Dalam analisis sejarah, terdapat dua pendekatan utama yang sering digunakan: diakronik dan sinkronik.

·                     Pendekatan diakronik (kronologis) menelusuri peristiwa secara linier dalam urutan waktu, bertujuan untuk memahami perkembangan suatu fenomena dari masa ke masa. Pendekatan ini lazim digunakan dalam penulisan sejarah politik dan institusional.

·                     Sebaliknya, pendekatan sinkronik memfokuskan perhatian pada satu periode tertentu dengan menganalisis struktur sosial, budaya, atau ekonomi dalam ruang waktu yang tetap. Pendekatan ini banyak diterapkan dalam sejarah sosial dan budaya untuk menggambarkan dinamika internal masyarakat dalam kerangka sistemik6.

4.4.       Peran Narasi dan Subjektivitas dalam Historiografi

Salah satu aspek metodologis yang penting dalam sejarah adalah kesadaran bahwa penulisan sejarah bersifat naratif dan interpretatif. Hayden White berpendapat bahwa historiografi tidak lepas dari elemen retoris dan literer karena sejarawan selalu menggunakan struktur narasi tertentu seperti tragedi, komedi, atau romantisme dalam menyusun fakta sejarah7. Oleh karena itu, meskipun sejarah mengandalkan data empiris, unsur subjektivitas dalam pemilihan tema, sudut pandang, dan bahasa tidak dapat sepenuhnya dihindari.

Pemahaman ini mendorong sejarawan untuk lebih reflektif terhadap posisi mereka dalam produksi pengetahuan sejarah. Dengan kata lain, sejarawan tidak hanya merekam apa yang terjadi, tetapi juga secara aktif membentuk bagaimana peristiwa itu dipahami dan diceritakan kembali kepada masyarakat. Inilah yang menjadikan metodologi sejarah tidak sekadar teknis, tetapi juga filosofis dan etis.


Footnotes

[1]                Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method (New York: Alfred A. Knopf, 1969), 40–45.

[2]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), 85–87.

[3]                R.G. Collingwood, The Idea of History, ed. Jan van der Dussen (Oxford: Oxford University Press, 1994), 215.

[4]                Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2005), 28.

[5]                Peter Burke, Eyewitnessing: The Uses of Images as Historical Evidence (London: Reaktion Books, 2001), 12–14.

[6]                Taufik Abdullah dan Rusli Karim, eds., Metodologi Sejarah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), 101.

[7]                Hayden White, Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1973), xi–xiv.


5.           Periodisasi Sejarah dan Dinamika Peradaban

Periodisasi merupakan kerangka analitis penting dalam studi sejarah. Ia berfungsi untuk membagi rentang waktu sejarah menjadi bagian-bagian tertentu berdasarkan peristiwa besar, perkembangan kebudayaan, atau transformasi sosial yang signifikan. Dengan melakukan periodisasi, sejarawan dapat mengorganisasi narasi sejarah secara sistematis dan memungkinkan analisis mendalam terhadap pola-pola perubahan dalam kehidupan manusia dan peradaban. Namun demikian, periodisasi bukan sekadar pembagian waktu yang bersifat teknis, melainkan juga sarat dengan konstruksi intelektual, ideologis, dan kultural yang mencerminkan cara pandang masyarakat terhadap masa lalu.

5.1.       Konsep Dasar Periodisasi

Secara umum, periodisasi dalam historiografi dibagi menjadi tiga fase utama: Prasejarah, Sejarah Kuno/Klasik, dan Sejarah Modern/Kontemporer. Masing-masing periode ini memiliki karakteristik sosial, politik, dan teknologi yang membedakan satu sama lain.

·                     Prasejarah mengacu pada masa sebelum manusia mengenal tulisan, dan sumber utama dalam kajian ini adalah artefak dan temuan arkeologis. Periode ini sering dibagi lagi menjadi Zaman Batu, Zaman Logam, dan era agrikultural awal.1

·                     Sejarah Kuno dan Klasik dimulai ketika manusia mulai mengenal tulisan (sekitar 3000 SM), ditandai oleh munculnya peradaban-peradaban awal seperti Mesopotamia, Mesir, Lembah Indus, dan Tiongkok. Di Barat, periode klasik merujuk pada peradaban Yunani dan Romawi yang menjadi fondasi kebudayaan Eropa modern.2

·                     Sejarah Modern dan Kontemporer mencakup periode pasca-Renaissance, Revolusi Industri, kolonialisme, hingga globalisasi abad ke-21. Penanda utama masa modern adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, sistem ekonomi kapitalis, negara-bangsa, serta demokrasi sebagai bentuk politik dominan.3

Meskipun skema ini berguna dalam kerangka pendidikan dan penulisan sejarah, banyak kritik telah diajukan, khususnya terhadap periodisasi yang Euro-sentris. Sejarawan seperti Dipesh Chakrabarty mendorong “provinsialisasi Eropa” dalam historiografi untuk membuka ruang narasi alternatif dari dunia non-Barat.4

5.2.       Dinamika Peradaban: Transformasi Sosial dan Kultural

Peradaban sebagai entitas historis mengalami perubahan yang terus-menerus. Perubahan tersebut dapat berupa kemajuan (progress) maupun kemunduran (decline), tergantung pada dinamika internal dan eksternal yang memengaruhinya. Arnold J. Toynbee dalam karya monumentalnya A Study of History menjelaskan bahwa peradaban berkembang bukan karena determinasi geografis atau biologis, tetapi karena respons kreatif terhadap tantangan yang dihadapi (challenge and response).5

Sebagai contoh, peradaban Islam pada abad ke-8 hingga 13 M menunjukkan dinamika peradaban yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, perdagangan, dan seni. Kejayaan ini lahir sebagai respons terhadap keruntuhan kekuasaan kuno dan integrasi intelektual dari berbagai peradaban sebelumnya, seperti Yunani, Persia, dan India.6 Namun, stagnasi dan disintegrasi internal membuat peradaban ini melemah di bawah tekanan kolonialisme Eropa.

Demikian pula, transformasi besar-besaran terjadi dalam Revolusi Industri di abad ke-18 dan 19, yang mengubah tatanan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Dinamika ini menunjukkan bagaimana inovasi teknologi dan sistem ekonomi baru dapat membentuk struktur sosial, nilai budaya, dan orientasi hidup manusia.7

5.3.       Globalisasi dan Tantangan Kontemporer dalam Periodisasi

Dalam era globalisasi dan digital, tantangan terhadap periodisasi semakin mengemuka. Perkembangan teknologi informasi, migrasi global, dan pertukaran budaya lintas batas negara membuat batas-batas kronologis menjadi semakin kabur. Diperkirakan bahwa kita kini memasuki fase baru dalam sejarah umat manusia yang ditandai oleh ketergantungan sistem global, perubahan iklim, dan krisis epistemologis terkait kebenaran historis.8

Oleh karena itu, sejarawan kontemporer dituntut untuk mengembangkan pendekatan transnasional dan lintas budaya dalam membaca dinamika peradaban. Sejarah tidak lagi cukup dijelaskan melalui kerangka bangsa-negara atau pusat-pinggiran, tetapi perlu melihat relasi global yang kompleks dan multipolar.


Footnotes

[1]                Grahame Clark, World Prehistory in New Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 9–12.

[2]                Michael Grant, The Classical Greeks (New York: Scribner, 1989), 14–16.

[3]                Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: Europe 1789–1848 (New York: Vintage Books, 1996), 3–5.

[4]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2000), 27.

[5]                Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. I (London: Oxford University Press, 1934), 69.

[6]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, vol. 1: The Classical Age of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 71–73.

[7]                Peter N. Stearns, The Industrial Revolution in World History (Boulder, CO: Westview Press, 2013), 33.

[8]                Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy,” Theory, Culture & Society 7, no. 2–3 (1990): 295–310.


6.           Sejarah dan Identitas Kolektif

Sejarah memainkan peran sentral dalam pembentukan identitas kolektif suatu masyarakat atau bangsa. Melalui proses historiografis, narasi tentang masa lalu disusun bukan hanya untuk menjelaskan peristiwa, tetapi juga untuk mengkonstruksi jati diri bersama, nilai-nilai, dan legitimasi kultural yang memperkuat rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. Identitas kolektif, baik dalam bentuk etnisitas, kewarganegaraan, maupun agama, pada dasarnya adalah hasil konstruksi sosial yang diperkuat oleh ingatan bersama akan sejarah. Oleh karena itu, sejarah bukanlah catatan netral semata, melainkan arena wacana di mana memori, kuasa, dan ideologi saling berinteraksi.

6.1.       Sejarah sebagai Memori Kolektif

Konsep memori kolektif pertama kali dipopulerkan oleh Maurice Halbwachs, yang menjelaskan bahwa ingatan sosial dibentuk dalam konteks kelompok dan berfungsi sebagai landasan bagi identitas sosial1. Sejarah, dalam hal ini, berperan sebagai instrumen untuk mengarsipkan dan menarasikan memori kolektif, sehingga masyarakat dapat menghubungkan masa kini dengan masa lalu mereka. Pierre Nora melanjutkan gagasan ini melalui konsep lieux de mémoire—tempat-tempat ingatan—yang tidak hanya merujuk pada lokasi fisik, tetapi juga simbol dan narasi yang dijadikan referensi identitas bersama2.

Proses ini terlihat nyata dalam penggunaan simbol-simbol historis seperti teks proklamasi, monumen perjuangan, atau pahlawan nasional dalam membangun rasa kebangsaan. Dalam konteks ini, sejarah berfungsi sebagai alat pemersatu, menyediakan narasi tentang asal-usul dan perjalanan kolektif yang memberi legitimasi moral bagi keberadaan komunitas tertentu.

6.2.       Historiografi dan Konstruksi Identitas Bangsa

Historiografi nasional memiliki andil besar dalam pembentukan identitas kolektif bangsa. Dalam negara-negara modern, penulisan sejarah sering dijadikan sarana untuk memperkuat legitimasi politik dan menyatukan masyarakat di bawah narasi kebangsaan tunggal. Anthony D. Smith menyatakan bahwa nasionalisme modern membutuhkan mitos sejarah dan simbol-simbol etno-kultural untuk membentuk rasa kebersamaan dan kesetiaan terhadap bangsa3.

Di Indonesia, misalnya, narasi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah selama Orde Baru difokuskan pada perjuangan melawan penjajah dan peran sentral tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Hatta. Narasi ini bertujuan membentuk identitas nasional yang berbasis pada semangat anti-kolonial dan kesatuan NKRI, namun sering mengabaikan keragaman narasi lokal dan peran kelompok marjinal seperti perempuan, etnis minoritas, atau masyarakat adat4.

6.3.       Sejarah Sebagai Arena Kontestasi Identitas

Meskipun sejarah dapat menyatukan, ia juga menjadi arena kontestasi identitas. Dalam banyak kasus, sejarah digunakan oleh kelompok dominan untuk memaksakan narasi mereka atas kelompok lain. Michel-Rolph Trouillot menyebut bahwa kekuasaan dalam sejarah tidak hanya hadir dalam peristiwa, tetapi juga dalam proses silencing the past—yaitu penghapusan, pengabaian, atau marginalisasi narasi-narasi alternatif5. Hal ini dapat menyebabkan munculnya “sejarah resmi” yang dipertentangkan oleh “sejarah tandingan” dari kelompok-kelompok yang tersingkir.

Sebagai contoh, konflik historiografi dalam masyarakat pasca-kolonial sering kali melibatkan perebutan wacana antara negara dan kelompok-kelompok lokal mengenai siapa yang berhak menentukan kebenaran sejarah. Fenomena ini menekankan pentingnya pendekatan yang pluralistik dan inklusif dalam studi sejarah, agar identitas kolektif yang dibangun tidak menindas keragaman yang ada dalam masyarakat.

6.4.       Sejarah dan Identitas Global di Era Kontemporer

Di era globalisasi, identitas kolektif tidak lagi terbatas pada batas-batas nasional atau etnik. Sejarah kini menjadi medan bagi formasi identitas transnasional, seperti identitas diaspora, identitas Islam global, atau bahkan identitas ekologis. Sejarah perbudakan, kolonialisme, dan migrasi, misalnya, digunakan oleh komunitas diaspora Afrika dan Asia untuk merekonstruksi identitas mereka di luar kerangka negara-bangsa6. Dalam konteks ini, sejarah menjadi sarana untuk membangun solidaritas lintas batas dan memperjuangkan keadilan historis (historical justice) terhadap warisan ketidakadilan masa lalu.


Footnotes

[1]                Maurice Halbwachs, On Collective Memory, ed. and trans. Lewis A. Coser (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 38–40.

[2]                Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire,” Representations 26 (1989): 7–24.

[3]                Anthony D. Smith, National Identity (London: Penguin Books, 1991), 58.

[4]                Yosef Djakababa, Sejarah dan Nasionalisme: Historiografi Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2019), 84–86.

[5]                Michel-Rolph Trouillot, Silencing the Past: Power and the Production of History (Boston: Beacon Press, 1995), 26–27.

[6]                Paul Gilroy, The Black Atlantic: Modernity and Double Consciousness (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 3–5.


7.           Tantangan Kontemporer dalam Studi Sejarah

Studi sejarah di era kontemporer menghadapi berbagai tantangan yang bersifat metodologis, epistemologis, hingga politis. Transformasi dunia akibat globalisasi, perkembangan teknologi informasi, serta dinamika sosial-politik telah mengguncang fondasi tradisional historiografi. Sejarawan tidak hanya dituntut untuk memahami masa lalu secara faktual, tetapi juga harus kritis terhadap bagaimana sejarah dikonstruksi, disebarluaskan, dan digunakan dalam berbagai konteks kekuasaan dan ideologi. Oleh karena itu, tantangan utama dalam studi sejarah saat ini mencakup isu-isu terkait postmodernisme, digitalisasi, politisasi sejarah, dan pluralitas narasi.

7.1.       Postmodernisme dan Krisis Objektivitas Historis

Salah satu tantangan paling mendasar dalam historiografi kontemporer adalah kritik postmodern terhadap klaim objektivitas dan narasi tunggal dalam sejarah. Pemikir seperti Hayden White dan Keith Jenkins menyatakan bahwa sejarah pada dasarnya adalah konstruksi naratif yang tidak bebas dari ideologi, retorika, dan imajinasi moral sang sejarawan1. White, dalam Metahistory, menekankan bahwa sejarawan selalu menggunakan perangkat tropis dan struktur cerita tertentu—seperti tragedi atau komedi—dalam menafsirkan fakta, sehingga tidak ada sejarah yang benar-benar “netral” atau “murni2.

Pandangan ini menimbulkan dilema epistemologis: jika semua sejarah adalah interpretatif, bagaimana kita bisa membedakan antara historiografi yang sahih dengan pseudo-history atau bahkan disinformasi? Meskipun pendekatan postmodern membawa kesadaran kritis terhadap proses penulisan sejarah, ia juga dapat melemahkan otoritas ilmiah sejarawan dalam menghadapi klaim-klaim revisionis atau manipulatif terhadap masa lalu.

7.2.       Digitalisasi Sejarah dan Tantangan Sumber Baru

Kemajuan teknologi digital telah mengubah cara sejarah diproduksi dan dikonsumsi. Digital humanities memperkenalkan pendekatan baru dalam pengolahan data sejarah melalui big data, peta interaktif, arsip daring, hingga rekonstruksi virtual. Hal ini memperluas akses masyarakat terhadap sumber sejarah, namun juga memunculkan tantangan validasi sumber, otentisitas digital, dan kekritisan dalam penggunaan data visual dan multimedia3.

Sementara itu, penyebaran informasi sejarah melalui media sosial dan platform daring seperti YouTube, TikTok, dan blog memperluas spektrum narasi sejarah di luar institusi akademik. Namun, fenomena ini juga melahirkan tantangan serius berupa penyebaran sejarah palsu (historical hoaxes), teori konspirasi, dan glorifikasi narasi ekstremis. Sejarawan dituntut untuk beradaptasi dengan medan digital ini tanpa kehilangan kredibilitas ilmiahnya4.

7.3.       Politisasi Sejarah dan Pengendalian Narasi

Sejarah kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan oleh rezim politik untuk mengukuhkan ideologi atau menghapus narasi yang dianggap subversif. Fenomena politisasi sejarah ini terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, di mana penulisan sejarah pada era Orde Baru sangat selektif dan dikontrol ketat oleh negara demi stabilitas politik5. Setelah reformasi, muncul tantangan baru dalam bentuk revisi sejarah, baik untuk tujuan rekonsiliasi maupun agenda politik tertentu.

Dalam konteks global, narasi sejarah juga digunakan untuk menjustifikasi tindakan politik seperti invasi, kolonialisme baru, atau marginalisasi kelompok tertentu. Oleh karena itu, historiografi kontemporer perlu dibekali dengan kesadaran etis dan politik yang tajam agar tidak menjadi alat penindasan simbolik terhadap kelompok-kelompok rentan6.

7.4.       Pluralitas Narasi dan Sejarah Alternatif

Tantangan lain dalam studi sejarah kontemporer adalah bagaimana mengakomodasi pluralitas narasi dan suara-suara yang selama ini tersisih dari sejarah resmi. Sejarah perempuan, sejarah rakyat (people’s history), sejarah lingkungan, dan sejarah minoritas menjadi arus baru yang menuntut perhatian lebih besar dari kalangan akademik. Inisiatif ini berupaya mendemokratisasi historiografi dengan mengangkat pengalaman kelompok yang sebelumnya dimarginalisasi dalam narasi dominan7.

Namun pluralisasi ini juga memunculkan tantangan metodologis: bagaimana mengintegrasikan pengalaman subyektif, sumber lisan, dan narasi emosional ke dalam standar ilmiah penulisan sejarah? Sejarawan dituntut untuk menemukan keseimbangan antara inklusivitas dan akurasi, antara pengakuan terhadap keragaman pengalaman dan kesetiaan terhadap prinsip verifikasi ilmiah.


Footnotes

[1]                Keith Jenkins, Re-thinking History (London: Routledge, 1991), 15–17.

[2]                Hayden White, Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1973), xi–xiv.

[3]                Daniel J. Cohen and Roy Rosenzweig, Digital History: A Guide to Gathering, Preserving, and Presenting the Past on the Web (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2006), 34–40.

[4]                Jo Guldi and David Armitage, The History Manifesto (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 72–75.

[5]                Hilmar Farid, “Indonesia’s ‘1965 Genocide’: Setting the Record Straight,” Journal of Southeast Asian Studies 42, no. 2 (2011): 223–237.

[6]                Michel-Rolph Trouillot, Silencing the Past: Power and the Production of History (Boston: Beacon Press, 1995), 25.

[7]                Howard Zinn, A People’s History of the United States (New York: Harper Perennial, 2005), 9–11.


8.           Relevansi Kajian Sejarah di Era Globalisasi

Di tengah arus globalisasi yang menandai abad ke-21, studi sejarah menemukan dirinya dalam posisi yang semakin strategis namun juga menantang. Globalisasi tidak hanya mempercepat pertukaran barang dan informasi, tetapi juga mempertautkan identitas, narasi, dan memori kolektif berbagai bangsa di seluruh dunia. Dalam konteks ini, sejarah tidak lagi semata berfungsi sebagai pencatat masa lalu dalam bingkai lokal atau nasional, melainkan berperan sebagai medium penting dalam membentuk kesadaran global, menumbuhkan empati antarbudaya, dan memberikan kerangka pemahaman atas dinamika kontemporer.

8.1.       Sejarah sebagai Dasar Pemahaman Dunia Global

Globalisasi telah mempercepat interaksi antarbangsa, memperluas pertukaran budaya, dan mengaburkan batas-batas geografis tradisional. Untuk memahami realitas ini secara utuh, sejarah diperlukan sebagai lensa analisis atas proses panjang pembentukan sistem global. Menurut Bruce Mazlish dan Ralph Buultjens, sejarah global membantu menjelaskan asal-usul fenomena dunia modern seperti kapitalisme, kolonialisme, migrasi, dan perubahan iklim dalam dimensi lintas-waktu dan lintas-wilayah1. Dengan demikian, sejarah memberikan konteks bagi isu-isu global yang tidak dapat dipahami secara parsial atau sektoral.

Sebagai contoh, sejarah kolonialisme menjadi kunci untuk memahami ketimpangan global hari ini, termasuk dalam isu-isu pembangunan, relasi utara-selatan, dan resistensi budaya. Demikian pula, sejarah epidemi seperti wabah pes dan flu Spanyol memberikan pelajaran berharga dalam merespons pandemi global modern seperti COVID-192.

8.2.       Sejarah dan Diplomasi Budaya

Dalam era diplomasi lunak (soft power), narasi sejarah memainkan peran vital dalam membangun citra bangsa dan memperkuat relasi antarnegara. Melalui warisan budaya, peringatan sejarah, dan kerja sama memorial, sejarah dijadikan alat untuk memperkuat diplomasi budaya. Joseph Nye menekankan bahwa kemampuan suatu bangsa untuk mempengaruhi pihak lain melalui nilai dan narasi sejarahnya merupakan komponen penting dari kekuatan global saat ini3.

Contohnya adalah bagaimana negara-negara seperti Jerman dan Jepang menggunakan rekonsiliasi sejarah atas masa lalunya dalam Perang Dunia II sebagai strategi untuk memperkuat posisi moral mereka dalam komunitas internasional. Sementara itu, banyak negara berkembang juga mulai mengangkat narasi sejarah lokal sebagai bentuk afirmasi identitas dalam menghadapi dominasi narasi Barat.

8.3.       Peran Sejarah dalam Pendidikan Karakter Global

Pendidikan sejarah di era globalisasi tidak hanya bertujuan menanamkan identitas nasional, tetapi juga membentuk warga dunia yang berpikir kritis dan etis. Sejarah menjadi sarana untuk menumbuhkan kesadaran akan keragaman budaya, nilai toleransi, dan solidaritas kemanusiaan. UNESCO menekankan pentingnya “global citizenship education” yang memasukkan pembelajaran sejarah lintas perspektif sebagai komponen kunci untuk membangun pemahaman global dan resolusi konflik4.

Pendekatan ini mendorong kurikulum sejarah untuk tidak hanya menekankan kebanggaan nasional, tetapi juga membuka ruang dialog antarperadaban dan keterbukaan terhadap perspektif yang berbeda. Dengan demikian, sejarah menjadi landasan untuk membangun masyarakat global yang inklusif dan berkeadaban.

8.4.       Sejarah untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Keadilan Sosial

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, sejarah berfungsi sebagai pengingat atas kegagalan masa lalu dan sebagai sumber inspirasi untuk perbaikan kebijakan di masa depan. Sejarah lingkungan, misalnya, merekam konsekuensi ekologis dari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, serta menunjukkan relasi antara masyarakat dan lingkungan selama berabad-abad5. Studi ini sangat relevan dalam merumuskan kebijakan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim di masa kini.

Lebih dari itu, sejarah juga menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan sosial dan rekonsiliasi, khususnya dalam konteks trauma kolektif akibat kekerasan politik, diskriminasi, atau penjajahan. Melalui pendekatan sejarah kritis, komunitas yang terpinggirkan dapat mereklamasi suara mereka dalam narasi nasional maupun global. Sejarah dalam hal ini berperan sebagai medium keadilan simbolik dan pemulihan ingatan kolektif6.


Footnotes

[1]                Bruce Mazlish dan Ralph Buultjens, Conceptualizing Global History (Boulder, CO: Westview Press, 1993), 2–5.

[2]                Howard Phillips, “The Recent Wave of ‘Spanish’ Flu Historiography,” Social History of Medicine 27, no. 4 (2014): 789–808.

[3]                Joseph S. Nye, Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: PublicAffairs, 2004), 5.

[4]                UNESCO, Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 21–23.

[5]                John R. McNeill, Something New Under the Sun: An Environmental History of the Twentieth-Century World (New York: W. W. Norton & Company, 2000), 19.

[6]                Paul Gready dan Simon Robins, From Transitional to Transformative Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 44.


9.           Penutup

Kajian sejarah sebagai cermin peradaban bukanlah sekadar aktivitas retrospektif yang menoleh ke masa lalu, tetapi merupakan praktik intelektual yang berfungsi membangun kesadaran akan identitas, dinamika sosial, serta orientasi masa depan. Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, sejarah tidak hanya memberikan rekaman faktual tentang peristiwa yang telah terjadi, tetapi juga membentuk narasi kolektif yang menyatukan masyarakat, menjadi alat kritik sosial, serta memberi arah dalam menghadapi tantangan global kontemporer.

Dalam pengertian ilmiah, sejarah berkembang sebagai disiplin yang menggabungkan pendekatan empiris dan interpretatif. Ia dibangun melalui metodologi yang ketat, namun tetap terbuka terhadap pluralitas perspektif. Sejarah merefleksikan bagaimana manusia memahami dirinya dalam ruang dan waktu, sekaligus menjembatani pemahaman antara generasi, budaya, dan bangsa. Kesadaran bahwa sejarah adalah konstruksi naratif—sebagaimana ditegaskan oleh E.H. Carr dan Hayden White12—mendorong pembaca dan penulis sejarah untuk bersikap kritis terhadap sumber dan tafsir yang digunakan.

Tantangan kontemporer dalam studi sejarah, termasuk munculnya postmodernisme, digitalisasi, politisasi narasi, dan tuntutan pluralisme, menuntut para sejarawan untuk lebih adaptif dan reflektif. Sejarah tidak lagi bisa berdiri dalam menara gading akademik; ia harus hadir di ruang publik dengan komitmen terhadap kebenaran, keadilan historis, dan keberagaman suara. Sejarah rakyat, sejarah perempuan, sejarah lingkungan, dan sejarah minoritas menjadi contoh bahwa sejarah harus lebih demokratis dalam representasi dan inklusif terhadap pengalaman.

Dalam era globalisasi yang ditandai oleh interkoneksi lintas batas, kajian sejarah juga memperoleh fungsi baru sebagai sarana membangun empati global, pendidikan karakter multikultural, dan instrumen diplomasi budaya. Sejarah berperan penting dalam mendorong rekonsiliasi atas luka kolektif dan dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang berkeadaban dan berkelanjutan34.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat akademik, pendidik, dan pengambil kebijakan untuk terus mendorong penguatan literasi sejarah, pengembangan historiografi kritis, dan pelestarian sumber-sumber sejarah sebagai warisan peradaban. Sejarah bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga investasi intelektual dan moral untuk masa depan. Seperti ditegaskan oleh Georg G. Iggers, historiografi modern harus mampu memadukan komitmen pada realitas faktual dengan kepekaan terhadap kompleksitas pengalaman manusia5.

Dengan kesadaran ini, maka sejarah dapat sungguh-sungguh menjadi cermin peradaban—bukan hanya mencerminkan apa yang telah terjadi, tetapi juga menunjukkan arah yang layak ditempuh oleh umat manusia dalam membangun kehidupan yang lebih adil, bijak, dan bermakna.


Footnotes

[1]                E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961), 30.

[2]                Hayden White, Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1973), xi–xiv.

[3]                Paul Gready dan Simon Robins, From Transitional to Transformative Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 44.

[4]                UNESCO, Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 23.

[5]                Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2005), 109.


Daftar Pustaka

Appadurai, A. (1990). Disjuncture and difference in the global cultural economy. Theory, Culture & Society, 7(2–3), 295–310. https://doi.org/10.1177/026327690007002017

Burke, P. (2001). Eyewitnessing: The uses of images as historical evidence. Reaktion Books.

Burke, P. (2005). History and social theory (2nd ed.). Polity Press.

Carr, E. H. (1961). What is history? Penguin Books.

Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton University Press.

Clark, G. (1977). World prehistory in new perspective (3rd ed.). Cambridge University Press.

Cohen, D. J., & Rosenzweig, R. (2006). Digital history: A guide to gathering, preserving, and presenting the past on the web. University of Pennsylvania Press.

Djakababa, Y. (2019). Sejarah dan nasionalisme: Historiografi Indonesia pasca-Orde Baru. Komunitas Bambu.

Farid, H. (2011). Indonesia’s ‘1965 genocide’: Setting the record straight. Journal of Southeast Asian Studies, 42(2), 223–237. https://doi.org/10.1017/S0022463411000062

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Gilroy, P. (1993). The Black Atlantic: Modernity and double consciousness. Harvard University Press.

Gottschalk, L. (1969). Understanding history: A primer of historical method. Alfred A. Knopf.

Grant, M. (1989). The classical Greeks. Scribner.

Gready, P., & Robins, S. (2019). From transitional to transformative justice. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781108673478

Guldi, J., & Armitage, D. (2014). The history manifesto. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781139923880

Halbwachs, M. (1992). On collective memory (L. A. Coser, Ed. & Trans.). University of Chicago Press.

Hobsbawm, E. (1996). The age of revolution: Europe 1789–1848. Vintage Books.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam: Volume 1: The classical age of Islam. University of Chicago Press.

Iggers, G. G. (2005). Historiography in the twentieth century: From scientific objectivity to the postmodern challenge (Rev. ed.). Wesleyan University Press.

Jenkins, K. (1991). Re-thinking history. Routledge.

Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru (Vol. 1). Gramedia.

Kuntowijoyo. (1995). Pengantar ilmu sejarah. Bentang Budaya.

Mazlish, B., & Buultjens, R. (Eds.). (1993). Conceptualizing global history. Westview Press.

McNeill, J. R. (2000). Something new under the sun: An environmental history of the twentieth-century world. W. W. Norton & Company.

Nora, P. (1989). Between memory and history: Les lieux de mémoire. Representations, 26, 7–24. https://doi.org/10.2307/2928520

Nye, J. S. (2004). Soft power: The means to success in world politics. PublicAffairs.

Phillips, H. (2014). The recent wave of ‘Spanish’ flu historiography. Social History of Medicine, 27(4), 789–808. https://doi.org/10.1093/shm/hku064

Smith, A. D. (1986). The ethnic origins of nations. Blackwell.

Smith, A. D. (1991). National identity. Penguin Books.

Stearns, P. N. (2013). The industrial revolution in world history (4th ed.). Westview Press.

Toynbee, A. J. (1934). A study of history (Vol. 1). Oxford University Press.

Trouillot, M.-R. (1995). Silencing the past: Power and the production of history. Beacon Press.

UNESCO. (2015). Global citizenship education: Topics and learning objectives. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993

White, H. (1973). Metahistory: The historical imagination in nineteenth-century Europe. Johns Hopkins University Press.

Zinn, H. (2005). A people’s history of the United States. Harper Perennial.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar