Sejarah
Studi Sistematis tentang Identitas dan Dinamika Masa
Lalu Manusia
Alihkan ke: Ilmu Humaniora.
Pembagian Zaman dalam Sejarah, Urutan Kelompok Demografi.
Abstrak
Artikel ini membahas peran sejarah sebagai
instrumen penting dalam memahami identitas kolektif dan dinamika peradaban
manusia dari perspektif ilmiah dan multidisipliner. Sejarah tidak hanya merekam
peristiwa masa lalu, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat terhadap
masa kini dan masa depan. Dengan menelusuri pengertian, fungsi, dan metodologi
sejarah, artikel ini menunjukkan bahwa sejarah merupakan konstruksi naratif
yang sarat makna dan tidak terlepas dari interpretasi sejarawan. Kajian ini
juga mengkaji periodisasi sejarah dan transformasi peradaban dalam konteks
global, serta bagaimana narasi sejarah berperan dalam pembentukan identitas,
diplomasi budaya, dan pendidikan karakter. Di era globalisasi dan digitalisasi,
studi sejarah menghadapi tantangan epistemologis dan politis seperti
postmodernisme, pluralisme narasi, serta penyebaran disinformasi. Artikel ini
menegaskan bahwa sejarah tetap relevan sebagai fondasi reflektif untuk
membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan berkeadaban, serta sebagai
panduan dalam merespons kompleksitas dunia kontemporer.
Kata Kunci: Sejarah, identitas kolektif, peradaban,
historiografi, globalisasi, metodologi sejarah, narasi, memori kolektif,
tantangan kontemporer.
PEMBAHASAN
Sejarah sebagai Cermin Peradaban
1.
Pendahuluan
Sejarah bukan
sekadar catatan tentang peristiwa yang telah berlalu, melainkan cermin
reflektif yang memungkinkan manusia memahami jati diri, dinamika sosial, dan
arah perkembangan peradaban. Dalam kerangka ilmu pengetahuan, sejarah menjadi
wahana untuk menggali makna dari peristiwa masa lalu dengan cara yang
sistematis, kritis, dan interpretatif. Oleh karena itu, sejarah tidak hanya
menghadirkan informasi, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif akan siapa
kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita menuju sebagai sebuah
masyarakat.
Sejak masa Yunani
Kuno, sejarah telah didefinisikan sebagai historia, yang berarti penyelidikan
atau pencarian pengetahuan. Herodotus, yang sering disebut sebagai “Bapak
Sejarah”, melihat sejarah sebagai upaya untuk menjaga agar tindakan manusia
dan pencapaian besar tidak hilang dalam pelupaan zaman.1 Namun,
pendekatan ilmiah terhadap sejarah baru menemukan bentuknya yang sistematik
pada abad ke-19 melalui karya Leopold von Ranke, yang menekankan perlunya
menghadirkan masa lalu “sebagaimana terjadinya” (wie es
eigentlich gewesen).[2] Pendekatan ini menandai
peralihan dari narasi legendaris menuju kajian berbasis sumber empiris.
Dalam konteks
kontemporer, sejarah tidak lagi dilihat sebagai pengumpulan fakta semata,
melainkan sebagai konstruksi naratif yang sarat dengan interpretasi. E.H. Carr
menegaskan bahwa sejarah merupakan dialog antara masa kini dan masa lalu, di
mana sejarawan secara aktif memilih dan menafsirkan fakta untuk membentuk
narasi yang bermakna.2 Artinya, sejarah tidak pernah benar-benar
objektif; ia selalu berinteraksi dengan kepentingan sosial, politik, dan budaya
pada zamannya. Oleh sebab itu, kesadaran akan kerangka interpretasi menjadi
penting dalam membedakan antara historiografi yang ilmiah dan yang bersifat
ideologis.
Kajian sejarah juga
memainkan peran fundamental dalam pembentukan identitas kolektif. Bangsa-bangsa
modern kerap membangun narasi historis sebagai dasar nasionalisme dan
legitimasi politik. Hal ini menjadikan sejarah sebagai arena yang tidak netral,
di mana berbagai kelompok saling bersaing untuk menafsirkan masa lalu menurut
kepentingan mereka. Pierre Nora menyebut fenomena ini sebagai lieux de
mémoire atau tempat-tempat memori, yakni ruang simbolik yang
merepresentasikan identitas melalui sejarah.3 Di Indonesia, dinamika
ini tercermin dalam cara sejarah nasional disusun untuk memperkuat semangat
kebangsaan, meski tak jarang menyingkirkan suara-suara alternatif dari kelompok
marjinal.4
Dengan demikian,
mempelajari sejarah berarti membuka ruang refleksi atas proses-proses sosial
dan kultural yang membentuk peradaban manusia. Sejarah membantu manusia untuk
tidak terputus dari akar masa lalunya, dan dalam waktu bersamaan, mempersiapkan
masyarakat untuk merespons tantangan zaman dengan pemahaman yang lebih mendalam
dan bijak. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi sejarah sebagai sarana
penting dalam memahami identitas dan dinamika peradaban, dengan pendekatan
multidisipliner dan metodologi ilmiah sebagai landasannya.
Footnotes
[1]
Herodotus, The Histories, trans. Aubrey de Sélincourt (London:
Penguin Books, 2003), 1.
[2]
E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961), 30.
[3]
Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire,” Representations
26 (1989): 7–24.
[4]
Yosef Djakababa, Sejarah dan Nasionalisme: Historiografi Indonesia
Pasca-Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2019), 62.
2. Pengertian Sejarah dalam Perspektif Ilmiah
Sejarah sebagai
disiplin akademik memiliki pengertian yang berkembang dari waktu ke waktu,
mencerminkan pendekatan intelektual dan metodologis yang digunakan oleh para
sejarawan dalam menjelaskan masa lalu. Dalam perspektif ilmiah, sejarah tidak
hanya dipahami sebagai kumpulan peristiwa yang telah terjadi, tetapi sebagai
studi sistematis dan kritis terhadap jejak-jejak masa lalu guna membangun
pemahaman yang utuh tentang dinamika kehidupan manusia. Dengan demikian,
sejarah menjadi bidang pengetahuan yang menuntut ketelitian, objektivitas
terbimbing, dan kerangka analitis yang jelas.
Secara etimologis,
kata “sejarah” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab syajaratun
yang berarti “pohon” atau “asal-usul”, yang kemudian mengalami
perluasan makna menjadi “riwayat” atau “kisah kehidupan masa lalu.”
Sementara itu, dalam bahasa Inggris, istilah history berasal dari bahasa Yunani historia,
yang berarti penyelidikan atau pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian1.
Herodotus, tokoh awal yang diakui sebagai "Bapak Sejarah",
memahami sejarah sebagai upaya mencatat dan menjelaskan peristiwa penting umat
manusia agar tidak terlupakan oleh waktu2.
Dalam
perkembangannya, para sejarawan modern mulai merumuskan sejarah sebagai ilmu
pengetahuan. Leopold von Ranke, seorang tokoh historiografi Jerman abad ke-19,
menekankan pentingnya fakta dan dokumentasi dalam pendekatan sejarah. Ia
menyatakan bahwa tugas utama sejarawan adalah merekonstruksi peristiwa “sebagaimana
terjadinya” (wie es eigentlich gewesen), melalui
studi kritis terhadap sumber-sumber primer3. Konsepsi Ranke
memengaruhi pembentukan sejarah sebagai disiplin empiris yang menekankan
keotentikan data dan netralitas ilmiah.
Namun, pendekatan
positivistik seperti ini kemudian dikritik oleh sejumlah sejarawan dan filsuf
sejarah karena dianggap mengabaikan dimensi interpretatif dalam kajian sejarah.
E.H. Carr, dalam karya terkenalnya What is History?, menolak gagasan
bahwa sejarah dapat ditulis secara objektif murni. Ia menyatakan bahwa sejarah
merupakan “dialog abadi antara masa kini dan masa lalu,” di mana
subjektivitas sejarawan dan konteks zamannya tidak dapat dihindari dalam proses
penulisan sejarah4. Pandangan ini membuka jalan bagi
pendekatan-pendekatan baru yang lebih reflektif terhadap posisi sejarawan dalam
konstruksi narasi historis.
Sejarawan Indonesia
seperti Kuntowijoyo memperluas pengertian sejarah dengan menyatakan bahwa
sejarah bukan hanya ilmu, tetapi juga kisah dan seni. Ia membedakan antara “sejarah
sebagai peristiwa” (history as event) dan “sejarah
sebagai kisah” (history as story) untuk menegaskan
bahwa fakta sejarah harus diolah menjadi narasi yang bermakna, bukan sekadar
kronologi kosong5. Sejarah, dalam pandangan ini, tidak hanya
menjelaskan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa
dan bagaimana peristiwa itu terjadi.
Dengan demikian,
dalam perspektif ilmiah, sejarah merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: peristiwa
nyata yang terjadi di masa lalu, sumber-sumber
yang merekam peristiwa tersebut, dan penafsiran
sejarawan terhadap sumber tersebut untuk membangun narasi historis.
Tiga unsur ini menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu yang bersifat empiris
sekaligus interpretatif. Ia membutuhkan data yang dapat diverifikasi, tetapi
juga memerlukan kerangka teoretis dan naratif untuk memberi makna terhadap data
tersebut6.
Footnotes
[1]
Peter Burke, History and Social Theory (Cambridge: Polity
Press, 2005), 4.
[2]
Herodotus, The Histories, trans. Aubrey de Sélincourt (London:
Penguin Books, 2003), 1.
[3]
Leopold von Ranke, The Theory and Practice of History, ed.
Georg G. Iggers and Konrad von Moltke (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1973), 57.
[4]
E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961), 30.
[5]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 1995), 18.
[6]
Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From
Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT:
Wesleyan University Press, 2005), 9.
3.
Fungsi dan Tujuan Sejarah
Studi sejarah
memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik
secara individual maupun kolektif. Sejarah tidak sekadar merekam peristiwa masa
lalu, tetapi turut membentuk cara pandang manusia terhadap masa kini dan masa
depan. Dalam konteks ilmiah dan sosial, sejarah memikul peran edukatif,
identitatif, integratif, inspiratif, serta kritis. Kesemua fungsi ini
menjadikan sejarah sebagai sarana strategis untuk memahami dinamika perubahan
sosial dan memperkuat kesadaran kebudayaan serta kebangsaan.
3.1.
Fungsi Edukatif:
Sejarah sebagai Guru Kehidupan
Fungsi edukatif dari
sejarah tercermin dalam ungkapan Latin historia magistra vitae — sejarah
adalah guru kehidupan. Artinya, sejarah memberikan pelajaran moral dan sosial
dari pengalaman umat manusia di masa lalu. Melalui kajian sejarah, generasi
kini dapat memetik hikmah dari keberhasilan maupun kegagalan terdahulu,
sehingga dapat menghindari kesalahan yang sama dan mengadopsi praktik terbaik.
E.H. Carr menekankan bahwa sejarah bukan hanya akumulasi fakta, tetapi juga
proses reflektif yang mengajarkan manusia untuk berpikir kritis terhadap proses
sebab-akibat dalam kehidupan sosial1.
3.2.
Fungsi Identitatif:
Pembentukan Jati Diri Kolektif
Sejarah juga
berperan penting dalam pembentukan identitas kolektif suatu bangsa atau
komunitas. Melalui narasi historis, masyarakat memperoleh pemahaman akan
asal-usul, perjuangan, nilai, dan cita-cita yang membentuk jati diri mereka.
Anthony D. Smith menjelaskan bahwa etno-nasionalisme modern sangat bergantung
pada konstruksi memori kolektif yang dibangun melalui historiografi nasional2.
Dalam konteks Indonesia, penulisan sejarah nasional menjadi medium untuk
membentuk solidaritas kebangsaan dan memperkuat rasa ke-Indonesiaan, meskipun
kerap disertai kontroversi terkait eksklusi terhadap narasi kelompok minoritas3.
3.3.
Fungsi Integratif
dan Inspiratif: Penyatu dan Pendorong Perubahan
Sejarah memiliki
kekuatan untuk menyatukan masyarakat melalui pengalaman kolektif yang dibagikan
dalam narasi historis. Kisah perjuangan, revolusi, atau pencapaian masa lalu
sering dijadikan sumber inspirasi bagi masyarakat kontemporer untuk membangun
masa depan yang lebih baik. Pierre Nora menyebut “tempat-tempat memori”
(lieux de
mémoire) sebagai simbol yang berfungsi mengikat identitas kolektif
melalui simbolisme historis yang dimaknai bersama4. Fungsi
inspiratif sejarah terlihat nyata dalam penggunaan peristiwa-peristiwa heroik
oleh negara atau gerakan sosial untuk membangkitkan semangat perjuangan dan
transformasi.
3.4.
Fungsi Kritis:
Membongkar Dominasi Narasi dan Ideologi
Selain fungsi-fungsi
normatif, sejarah juga memiliki fungsi kritis: membongkar narasi dominan dan
mengungkap suara-suara yang selama ini tersisih. Michel Foucault menekankan
pentingnya “genealogi sejarah” sebagai cara untuk menelusuri asal-usul
kuasa dan wacana dominan dalam masyarakat5. Dalam
kerangka ini, sejarah tidak hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, tetapi
juga menjadi sarana perlawanan intelektual untuk mendekonstruksi mitos-mitos
hegemonik. Oleh karena itu, fungsi kritis sejarah sangat penting dalam menjaga
pluralitas dan keadilan dalam wacana sejarah.
3.5.
Tujuan Historis:
Memahami dan Menjelaskan Perubahan Sosial
Secara
epistemologis, tujuan utama sejarah adalah untuk memahami dan menjelaskan
bagaimana dan mengapa perubahan sosial terjadi dalam konteks ruang dan waktu.
Sejarah bukan sekadar menceritakan apa yang terjadi, tetapi berupaya menjawab
pertanyaan tentang hubungan kausal, dinamika kekuasaan, dan pola perubahan
dalam peradaban manusia. Georg G. Iggers menekankan bahwa sejarah modern
bertujuan untuk membangun pemahaman mendalam terhadap struktur sosial dan perubahan
kultural, bukan hanya deskripsi peristiwa semata6.
Dengan demikian,
fungsi dan tujuan sejarah jauh melampaui sekadar pelestarian masa lalu. Ia
menjadi instrumen penting dalam pendidikan, pembentukan identitas, integrasi
sosial, inspirasi kolektif, dan kritik terhadap status quo. Kesadaran akan
fungsi-fungsi ini akan memperkaya peran sejarah dalam kehidupan masyarakat
modern, menjadikannya sebagai wahana refleksi dan transformasi sosial yang
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961),
45–46.
[2]
Anthony D. Smith, The Ethnic Origins of Nations (Oxford:
Blackwell, 1986), 174.
[3]
Yosef Djakababa, Sejarah dan Nasionalisme: Historiografi Indonesia
Pasca-Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2019), 83.
[4]
Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire,” Representations
26 (1989): 7–24.
[5]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
117.
[6]
Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From
Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT:
Wesleyan University Press, 2005), 72.
4.
Metodologi dalam Kajian Sejarah
Studi sejarah
sebagai disiplin ilmu tidak dapat dilepaskan dari metodologi yang khas dan
sistematis. Sebagaimana bidang keilmuan lainnya, sejarah mengandalkan metode
untuk menjamin validitas dan objektivitas data, meskipun tetap menyadari sifat
interpretatif dari setiap narasi yang dibangun. Metodologi dalam kajian sejarah
mencakup langkah-langkah ilmiah dalam menelusuri sumber, menganalisis data, dan
menarasikan peristiwa masa lalu. Pendekatan ini bertujuan untuk mengungkap
dinamika sosial secara mendalam dan kritis, bukan sekadar menyusun kronologi
kejadian.
4.1.
Langkah-langkah
Penelitian Sejarah
Penelitian sejarah
umumnya melalui empat tahap utama: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan
historiografi.
·
Heuristik
adalah tahap awal pencarian dan pengumpulan sumber sejarah, baik primer maupun
sekunder. Sumber primer meliputi dokumen, arsip, artefak, lisan, maupun
kesaksian langsung dari masa lampau, sedangkan sumber sekunder mencakup
interpretasi atau analisis dari para sejarawan sebelumnya1.
·
Verifikasi
merupakan proses pengujian keaslian dan kredibilitas sumber. Dalam tahap ini,
sejarawan menilai validitas dokumen dari segi waktu, tempat, dan penulisnya
untuk memastikan bahwa informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah2.
·
Interpretasi
menjadi tahap paling kritis, karena di sinilah sejarawan mulai menafsirkan
makna dari fakta-fakta sejarah, mencari hubungan sebab-akibat, dan membangun
pemahaman terhadap konteks sosial budaya peristiwa tersebut3.
·
Historiografi
adalah hasil akhir berupa penulisan sejarah, yaitu konstruksi naratif
berdasarkan data dan interpretasi ilmiah. Historiografi juga mencerminkan
orientasi ideologis dan teoritis penulis sejarah, sehingga menuntut refleksi
kritis terhadap perspektif yang digunakan4.
4.2.
Jenis-jenis Sumber
Sejarah
Sumber sejarah
diklasifikasikan menjadi tiga bentuk:
·
Sumber
tertulis, seperti naskah, dokumen, surat kabar, dan arsip
resmi.
·
Sumber
lisan, termasuk wawancara, tradisi tutur, dan kesaksian pelaku
sejarah.
·
Sumber
benda, seperti artefak, bangunan, lukisan, atau peninggalan
arkeologis.
Ketiga jenis sumber
ini diperlakukan secara berbeda tergantung pendekatan yang digunakan.
Penelitian arkeologi, misalnya, lebih mengandalkan bukti material, sementara
sejarah sosial kontemporer bisa memprioritaskan sumber lisan untuk
merekonstruksi pengalaman kelompok yang tersisih dari narasi dominan5.
4.3.
Pendekatan Sinkronik
dan Diakronik
Dalam analisis
sejarah, terdapat dua pendekatan utama yang sering digunakan: diakronik
dan sinkronik.
·
Pendekatan diakronik
(kronologis)
menelusuri peristiwa secara linier dalam urutan waktu, bertujuan untuk memahami
perkembangan suatu fenomena dari masa ke masa. Pendekatan ini lazim digunakan
dalam penulisan sejarah politik dan institusional.
·
Sebaliknya, pendekatan sinkronik
memfokuskan perhatian pada satu periode tertentu dengan menganalisis struktur
sosial, budaya, atau ekonomi dalam ruang waktu yang tetap. Pendekatan ini
banyak diterapkan dalam sejarah sosial dan budaya untuk menggambarkan dinamika
internal masyarakat dalam kerangka sistemik6.
4.4.
Peran Narasi dan
Subjektivitas dalam Historiografi
Salah satu aspek
metodologis yang penting dalam sejarah adalah kesadaran bahwa penulisan sejarah
bersifat naratif dan interpretatif. Hayden White berpendapat bahwa
historiografi tidak lepas dari elemen retoris dan literer karena sejarawan
selalu menggunakan struktur narasi tertentu seperti tragedi, komedi, atau
romantisme dalam menyusun fakta sejarah7. Oleh karena itu, meskipun
sejarah mengandalkan data empiris, unsur subjektivitas dalam pemilihan tema,
sudut pandang, dan bahasa tidak dapat sepenuhnya dihindari.
Pemahaman ini
mendorong sejarawan untuk lebih reflektif terhadap posisi mereka dalam produksi
pengetahuan sejarah. Dengan kata lain, sejarawan tidak hanya merekam apa yang
terjadi, tetapi juga secara aktif membentuk bagaimana peristiwa itu dipahami
dan diceritakan kembali kepada masyarakat. Inilah yang menjadikan metodologi
sejarah tidak sekadar teknis, tetapi juga filosofis dan etis.
Footnotes
[1]
Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical
Method (New York: Alfred A. Knopf, 1969), 40–45.
[2]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 1995), 85–87.
[3]
R.G. Collingwood, The Idea of History, ed. Jan van der Dussen
(Oxford: Oxford University Press, 1994), 215.
[4]
Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From
Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT:
Wesleyan University Press, 2005), 28.
[5]
Peter Burke, Eyewitnessing: The Uses of Images as Historical
Evidence (London: Reaktion Books, 2001), 12–14.
[6]
Taufik Abdullah dan Rusli Karim, eds., Metodologi Sejarah
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), 101.
[7]
Hayden White, Metahistory: The Historical Imagination in
Nineteenth-Century Europe (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
1973), xi–xiv.
5.
Periodisasi Sejarah dan Dinamika Peradaban
Periodisasi
merupakan kerangka analitis penting dalam studi sejarah. Ia berfungsi untuk
membagi rentang waktu sejarah menjadi bagian-bagian tertentu berdasarkan
peristiwa besar, perkembangan kebudayaan, atau transformasi sosial yang
signifikan. Dengan melakukan periodisasi, sejarawan dapat mengorganisasi narasi
sejarah secara sistematis dan memungkinkan analisis mendalam terhadap pola-pola
perubahan dalam kehidupan manusia dan peradaban. Namun demikian, periodisasi
bukan sekadar pembagian waktu yang bersifat teknis, melainkan juga sarat dengan
konstruksi intelektual, ideologis, dan kultural yang mencerminkan cara pandang
masyarakat terhadap masa lalu.
5.1.
Konsep Dasar
Periodisasi
Secara umum,
periodisasi dalam historiografi dibagi menjadi tiga fase utama: Prasejarah,
Sejarah
Kuno/Klasik, dan Sejarah Modern/Kontemporer.
Masing-masing periode ini memiliki karakteristik sosial, politik, dan teknologi
yang membedakan satu sama lain.
·
Prasejarah
mengacu pada masa sebelum manusia mengenal tulisan, dan sumber utama dalam
kajian ini adalah artefak dan temuan arkeologis. Periode ini sering dibagi lagi
menjadi Zaman Batu, Zaman Logam, dan era agrikultural awal.1
·
Sejarah
Kuno dan Klasik dimulai ketika manusia mulai mengenal tulisan
(sekitar 3000 SM), ditandai oleh munculnya peradaban-peradaban awal seperti
Mesopotamia, Mesir, Lembah Indus, dan Tiongkok. Di Barat, periode klasik
merujuk pada peradaban Yunani dan Romawi yang menjadi fondasi kebudayaan Eropa
modern.2
·
Sejarah
Modern dan Kontemporer mencakup periode pasca-Renaissance,
Revolusi Industri, kolonialisme, hingga globalisasi abad ke-21. Penanda utama
masa modern adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, sistem ekonomi kapitalis,
negara-bangsa, serta demokrasi sebagai bentuk politik dominan.3
Meskipun skema ini
berguna dalam kerangka pendidikan dan penulisan sejarah, banyak kritik telah
diajukan, khususnya terhadap periodisasi yang Euro-sentris. Sejarawan seperti
Dipesh Chakrabarty mendorong “provinsialisasi Eropa” dalam historiografi
untuk membuka ruang narasi alternatif dari dunia non-Barat.4
5.2.
Dinamika Peradaban:
Transformasi Sosial dan Kultural
Peradaban sebagai
entitas historis mengalami perubahan yang terus-menerus. Perubahan tersebut
dapat berupa kemajuan (progress) maupun kemunduran (decline), tergantung pada
dinamika internal dan eksternal yang memengaruhinya. Arnold J. Toynbee dalam
karya monumentalnya A Study of History menjelaskan
bahwa peradaban berkembang bukan karena determinasi geografis atau biologis,
tetapi karena respons kreatif terhadap tantangan yang dihadapi (challenge and
response).5
Sebagai contoh,
peradaban Islam pada abad ke-8 hingga 13 M menunjukkan dinamika peradaban yang
luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, perdagangan, dan seni. Kejayaan ini
lahir sebagai respons terhadap keruntuhan kekuasaan kuno dan integrasi
intelektual dari berbagai peradaban sebelumnya, seperti Yunani, Persia, dan
India.6 Namun, stagnasi dan disintegrasi internal membuat peradaban
ini melemah di bawah tekanan kolonialisme Eropa.
Demikian pula,
transformasi besar-besaran terjadi dalam Revolusi Industri di abad ke-18 dan
19, yang mengubah tatanan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri. Dinamika ini menunjukkan bagaimana inovasi teknologi dan sistem
ekonomi baru dapat membentuk struktur sosial, nilai budaya, dan orientasi hidup
manusia.7
5.3.
Globalisasi dan
Tantangan Kontemporer dalam Periodisasi
Dalam era
globalisasi dan digital, tantangan terhadap periodisasi semakin mengemuka.
Perkembangan teknologi informasi, migrasi global, dan pertukaran budaya lintas
batas negara membuat batas-batas kronologis menjadi semakin kabur. Diperkirakan
bahwa kita kini memasuki fase baru dalam sejarah umat manusia yang ditandai oleh
ketergantungan sistem global, perubahan iklim, dan krisis epistemologis terkait
kebenaran historis.8
Oleh karena itu,
sejarawan kontemporer dituntut untuk mengembangkan pendekatan transnasional dan
lintas budaya dalam membaca dinamika peradaban. Sejarah tidak lagi cukup
dijelaskan melalui kerangka bangsa-negara atau pusat-pinggiran, tetapi perlu
melihat relasi global yang kompleks dan multipolar.
Footnotes
[1]
Grahame Clark, World Prehistory in New Perspective (Cambridge:
Cambridge University Press, 1977), 9–12.
[2]
Michael Grant, The Classical Greeks (New York: Scribner,
1989), 14–16.
[3]
Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: Europe 1789–1848 (New
York: Vintage Books, 1996), 3–5.
[4]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2000), 27.
[5]
Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. I (London: Oxford
University Press, 1934), 69.
[6]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, vol. 1: The
Classical Age of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1974),
71–73.
[7]
Peter N. Stearns, The Industrial Revolution in World History
(Boulder, CO: Westview Press, 2013), 33.
[8]
Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in the Global Cultural
Economy,” Theory, Culture & Society 7, no. 2–3 (1990): 295–310.
6.
Sejarah dan Identitas Kolektif
Sejarah memainkan
peran sentral dalam pembentukan identitas kolektif suatu
masyarakat atau bangsa. Melalui proses historiografis, narasi tentang masa lalu
disusun bukan hanya untuk menjelaskan peristiwa, tetapi juga untuk
mengkonstruksi jati diri bersama, nilai-nilai, dan legitimasi kultural yang
memperkuat rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. Identitas kolektif, baik
dalam bentuk etnisitas, kewarganegaraan, maupun agama, pada dasarnya adalah
hasil konstruksi sosial yang diperkuat oleh ingatan bersama akan sejarah. Oleh
karena itu, sejarah bukanlah catatan netral semata, melainkan arena wacana di
mana memori, kuasa, dan ideologi saling berinteraksi.
6.1.
Sejarah sebagai
Memori Kolektif
Konsep memori
kolektif pertama kali dipopulerkan oleh Maurice Halbwachs, yang menjelaskan
bahwa ingatan sosial dibentuk dalam konteks kelompok dan berfungsi sebagai
landasan bagi identitas sosial1. Sejarah, dalam hal ini, berperan
sebagai instrumen untuk mengarsipkan dan menarasikan memori kolektif, sehingga
masyarakat dapat menghubungkan masa kini dengan masa lalu mereka. Pierre Nora
melanjutkan gagasan ini melalui konsep lieux de mémoire—tempat-tempat
ingatan—yang tidak hanya merujuk pada lokasi fisik, tetapi juga simbol dan
narasi yang dijadikan referensi identitas bersama2.
Proses ini terlihat
nyata dalam penggunaan simbol-simbol historis seperti teks proklamasi, monumen
perjuangan, atau pahlawan nasional dalam membangun rasa kebangsaan. Dalam
konteks ini, sejarah berfungsi sebagai alat pemersatu, menyediakan narasi
tentang asal-usul dan perjalanan kolektif yang memberi legitimasi moral bagi
keberadaan komunitas tertentu.
6.2.
Historiografi dan
Konstruksi Identitas Bangsa
Historiografi
nasional memiliki andil besar dalam pembentukan identitas kolektif bangsa.
Dalam negara-negara modern, penulisan sejarah sering dijadikan sarana untuk
memperkuat legitimasi politik dan menyatukan masyarakat di bawah narasi
kebangsaan tunggal. Anthony D. Smith menyatakan bahwa nasionalisme modern
membutuhkan mitos sejarah dan simbol-simbol etno-kultural untuk membentuk rasa
kebersamaan dan kesetiaan terhadap bangsa3.
Di Indonesia,
misalnya, narasi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah selama Orde Baru
difokuskan pada perjuangan melawan penjajah dan peran sentral tokoh-tokoh
seperti Soekarno dan Hatta. Narasi ini bertujuan membentuk identitas nasional
yang berbasis pada semangat anti-kolonial dan kesatuan NKRI,
namun sering mengabaikan keragaman narasi lokal dan peran kelompok marjinal
seperti perempuan, etnis minoritas, atau masyarakat adat4.
6.3.
Sejarah Sebagai
Arena Kontestasi Identitas
Meskipun sejarah
dapat menyatukan, ia juga menjadi arena kontestasi identitas. Dalam banyak
kasus, sejarah digunakan oleh kelompok dominan untuk memaksakan narasi mereka
atas kelompok lain. Michel-Rolph Trouillot menyebut bahwa kekuasaan dalam
sejarah tidak hanya hadir dalam peristiwa, tetapi juga dalam proses silencing
the past—yaitu penghapusan, pengabaian, atau marginalisasi
narasi-narasi alternatif5. Hal ini dapat menyebabkan munculnya “sejarah
resmi” yang dipertentangkan oleh “sejarah tandingan” dari
kelompok-kelompok yang tersingkir.
Sebagai contoh,
konflik historiografi dalam masyarakat pasca-kolonial sering kali melibatkan
perebutan wacana antara negara dan kelompok-kelompok lokal mengenai siapa yang
berhak menentukan kebenaran sejarah. Fenomena ini menekankan pentingnya
pendekatan yang pluralistik dan inklusif dalam studi sejarah, agar identitas
kolektif yang dibangun tidak menindas keragaman yang ada dalam masyarakat.
6.4.
Sejarah dan
Identitas Global di Era Kontemporer
Di era globalisasi,
identitas kolektif tidak lagi terbatas pada batas-batas nasional atau etnik.
Sejarah kini menjadi medan bagi formasi identitas transnasional, seperti
identitas diaspora, identitas Islam global, atau bahkan identitas ekologis.
Sejarah perbudakan, kolonialisme, dan migrasi, misalnya, digunakan oleh
komunitas diaspora Afrika dan Asia untuk merekonstruksi identitas mereka di
luar kerangka negara-bangsa6. Dalam konteks ini, sejarah menjadi
sarana untuk membangun solidaritas lintas batas dan memperjuangkan keadilan
historis (historical justice) terhadap warisan ketidakadilan masa lalu.
Footnotes
[1]
Maurice Halbwachs, On Collective Memory, ed. and trans. Lewis
A. Coser (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 38–40.
[2]
Pierre Nora, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire,” Representations
26 (1989): 7–24.
[3]
Anthony D. Smith, National Identity (London: Penguin Books,
1991), 58.
[4]
Yosef Djakababa, Sejarah dan Nasionalisme: Historiografi Indonesia
Pasca-Orde Baru (Jakarta: Komunitas Bambu, 2019), 84–86.
[5]
Michel-Rolph Trouillot, Silencing the Past: Power and the
Production of History (Boston: Beacon Press, 1995), 26–27.
[6]
Paul Gilroy, The Black Atlantic: Modernity and Double Consciousness
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 3–5.
7.
Tantangan Kontemporer dalam Studi Sejarah
Studi sejarah di era
kontemporer menghadapi berbagai tantangan yang bersifat metodologis,
epistemologis, hingga politis. Transformasi dunia akibat globalisasi,
perkembangan teknologi informasi, serta dinamika sosial-politik telah
mengguncang fondasi tradisional historiografi. Sejarawan tidak hanya dituntut
untuk memahami masa lalu secara faktual, tetapi juga harus kritis terhadap
bagaimana sejarah dikonstruksi, disebarluaskan, dan digunakan dalam berbagai
konteks kekuasaan dan ideologi. Oleh karena itu, tantangan utama dalam studi
sejarah saat ini mencakup isu-isu terkait postmodernisme, digitalisasi,
politisasi
sejarah, dan pluralitas narasi.
7.1.
Postmodernisme dan
Krisis Objektivitas Historis
Salah satu tantangan
paling mendasar dalam historiografi kontemporer adalah kritik postmodern
terhadap klaim objektivitas dan narasi tunggal dalam sejarah. Pemikir seperti
Hayden White dan Keith Jenkins menyatakan bahwa sejarah pada dasarnya adalah
konstruksi naratif yang tidak bebas dari ideologi, retorika, dan imajinasi
moral sang sejarawan1. White, dalam Metahistory, menekankan bahwa
sejarawan selalu menggunakan perangkat tropis dan struktur cerita
tertentu—seperti tragedi atau komedi—dalam menafsirkan fakta, sehingga tidak
ada sejarah yang benar-benar “netral” atau “murni”2.
Pandangan ini
menimbulkan dilema epistemologis: jika semua sejarah adalah interpretatif, bagaimana
kita bisa membedakan antara historiografi yang sahih dengan pseudo-history atau
bahkan disinformasi? Meskipun pendekatan postmodern membawa kesadaran kritis
terhadap proses penulisan sejarah, ia juga dapat melemahkan otoritas ilmiah
sejarawan dalam menghadapi klaim-klaim revisionis atau manipulatif terhadap
masa lalu.
7.2.
Digitalisasi Sejarah
dan Tantangan Sumber Baru
Kemajuan teknologi
digital telah mengubah cara sejarah diproduksi dan dikonsumsi. Digital
humanities memperkenalkan pendekatan baru dalam pengolahan data sejarah melalui
big data,
peta interaktif, arsip daring, hingga rekonstruksi virtual. Hal ini memperluas
akses masyarakat terhadap sumber sejarah, namun juga memunculkan tantangan
validasi sumber, otentisitas digital, dan kekritisan dalam penggunaan data
visual dan multimedia3.
Sementara itu,
penyebaran informasi sejarah melalui media sosial dan platform daring seperti
YouTube, TikTok, dan blog memperluas spektrum narasi sejarah di luar institusi
akademik. Namun, fenomena ini juga melahirkan tantangan serius berupa
penyebaran sejarah palsu (historical hoaxes), teori
konspirasi, dan glorifikasi narasi ekstremis. Sejarawan dituntut untuk
beradaptasi dengan medan digital ini tanpa kehilangan kredibilitas ilmiahnya4.
7.3.
Politisasi Sejarah
dan Pengendalian Narasi
Sejarah kerap
dijadikan alat legitimasi kekuasaan oleh rezim politik untuk mengukuhkan
ideologi atau menghapus narasi yang dianggap subversif. Fenomena politisasi
sejarah ini terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, di mana penulisan sejarah
pada era Orde Baru sangat selektif dan dikontrol ketat oleh negara demi
stabilitas politik5. Setelah reformasi, muncul tantangan baru dalam
bentuk revisi sejarah, baik untuk tujuan rekonsiliasi maupun agenda politik
tertentu.
Dalam konteks
global, narasi sejarah juga digunakan untuk menjustifikasi tindakan politik
seperti invasi, kolonialisme baru, atau marginalisasi kelompok tertentu. Oleh
karena itu, historiografi kontemporer perlu dibekali dengan kesadaran etis dan
politik yang tajam agar tidak menjadi alat penindasan simbolik terhadap
kelompok-kelompok rentan6.
7.4.
Pluralitas Narasi
dan Sejarah Alternatif
Tantangan lain dalam
studi sejarah kontemporer adalah bagaimana mengakomodasi pluralitas narasi dan
suara-suara yang selama ini tersisih dari sejarah resmi. Sejarah perempuan,
sejarah rakyat (people’s history), sejarah
lingkungan, dan sejarah minoritas menjadi arus baru yang menuntut perhatian
lebih besar dari kalangan akademik. Inisiatif ini berupaya mendemokratisasi
historiografi dengan mengangkat pengalaman kelompok yang sebelumnya
dimarginalisasi dalam narasi dominan7.
Namun pluralisasi
ini juga memunculkan tantangan metodologis: bagaimana mengintegrasikan
pengalaman subyektif, sumber lisan, dan narasi emosional ke dalam standar
ilmiah penulisan sejarah? Sejarawan dituntut untuk menemukan keseimbangan
antara inklusivitas dan akurasi, antara pengakuan terhadap keragaman pengalaman
dan kesetiaan terhadap prinsip verifikasi ilmiah.
Footnotes
[1]
Keith Jenkins, Re-thinking History (London: Routledge, 1991),
15–17.
[2]
Hayden White, Metahistory: The Historical Imagination in
Nineteenth-Century Europe (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
1973), xi–xiv.
[3]
Daniel J. Cohen and Roy Rosenzweig, Digital History: A Guide to
Gathering, Preserving, and Presenting the Past on the Web (Philadelphia:
University of Pennsylvania Press, 2006), 34–40.
[4]
Jo Guldi and David Armitage, The History Manifesto (Cambridge:
Cambridge University Press, 2014), 72–75.
[5]
Hilmar Farid, “Indonesia’s ‘1965 Genocide’: Setting the Record
Straight,” Journal of Southeast Asian Studies 42, no. 2 (2011):
223–237.
[6]
Michel-Rolph Trouillot, Silencing the Past: Power and the
Production of History (Boston: Beacon Press, 1995), 25.
[7]
Howard Zinn, A People’s History of the United States (New
York: Harper Perennial, 2005), 9–11.
8.
Relevansi Kajian Sejarah di Era Globalisasi
Di tengah arus
globalisasi yang menandai abad ke-21, studi sejarah menemukan dirinya dalam
posisi yang semakin strategis namun juga menantang. Globalisasi tidak hanya
mempercepat pertukaran barang dan informasi, tetapi juga mempertautkan
identitas, narasi, dan memori kolektif berbagai bangsa di seluruh dunia. Dalam
konteks ini, sejarah tidak lagi semata berfungsi sebagai pencatat masa lalu
dalam bingkai lokal atau nasional, melainkan berperan sebagai medium penting
dalam membentuk kesadaran global, menumbuhkan empati antarbudaya, dan
memberikan kerangka pemahaman atas dinamika kontemporer.
8.1.
Sejarah sebagai
Dasar Pemahaman Dunia Global
Globalisasi telah
mempercepat interaksi antarbangsa, memperluas pertukaran budaya, dan
mengaburkan batas-batas geografis tradisional. Untuk memahami realitas ini
secara utuh, sejarah diperlukan sebagai lensa analisis atas proses panjang
pembentukan sistem global. Menurut Bruce Mazlish dan Ralph Buultjens, sejarah
global membantu menjelaskan asal-usul fenomena dunia modern seperti
kapitalisme, kolonialisme, migrasi, dan perubahan iklim dalam dimensi
lintas-waktu dan lintas-wilayah1. Dengan demikian, sejarah
memberikan konteks bagi isu-isu global yang tidak dapat dipahami secara parsial
atau sektoral.
Sebagai contoh,
sejarah kolonialisme menjadi kunci untuk memahami ketimpangan global hari ini,
termasuk dalam isu-isu pembangunan, relasi utara-selatan, dan resistensi
budaya. Demikian pula, sejarah epidemi seperti wabah pes dan flu Spanyol
memberikan pelajaran berharga dalam merespons pandemi global modern seperti
COVID-192.
8.2.
Sejarah dan
Diplomasi Budaya
Dalam era diplomasi
lunak (soft
power), narasi sejarah memainkan peran vital dalam membangun citra
bangsa dan memperkuat relasi antarnegara. Melalui warisan budaya, peringatan
sejarah, dan kerja sama memorial, sejarah dijadikan alat untuk memperkuat
diplomasi budaya. Joseph Nye menekankan bahwa kemampuan suatu bangsa untuk
mempengaruhi pihak lain melalui nilai dan narasi sejarahnya merupakan komponen
penting dari kekuatan global saat ini3.
Contohnya adalah
bagaimana negara-negara seperti Jerman dan Jepang menggunakan rekonsiliasi
sejarah atas masa lalunya dalam Perang Dunia II sebagai strategi untuk
memperkuat posisi moral mereka dalam komunitas internasional. Sementara itu,
banyak negara berkembang juga mulai mengangkat narasi sejarah lokal sebagai
bentuk afirmasi identitas dalam menghadapi dominasi narasi Barat.
8.3.
Peran Sejarah dalam
Pendidikan Karakter Global
Pendidikan sejarah
di era globalisasi tidak hanya bertujuan menanamkan identitas nasional, tetapi
juga membentuk warga dunia yang berpikir kritis dan etis.
Sejarah menjadi sarana untuk menumbuhkan kesadaran akan keragaman budaya, nilai
toleransi, dan solidaritas kemanusiaan. UNESCO menekankan pentingnya “global
citizenship education” yang memasukkan pembelajaran sejarah lintas
perspektif sebagai komponen kunci untuk membangun pemahaman global dan resolusi
konflik4.
Pendekatan ini
mendorong kurikulum sejarah untuk tidak hanya menekankan kebanggaan nasional,
tetapi juga membuka ruang dialog antarperadaban dan keterbukaan terhadap
perspektif yang berbeda. Dengan demikian, sejarah menjadi landasan untuk
membangun masyarakat global yang inklusif dan berkeadaban.
8.4.
Sejarah untuk
Pembangunan Berkelanjutan dan Keadilan Sosial
Dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan, sejarah berfungsi sebagai pengingat atas kegagalan
masa lalu dan sebagai sumber inspirasi untuk perbaikan kebijakan di masa depan.
Sejarah lingkungan, misalnya, merekam konsekuensi ekologis dari eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan, serta menunjukkan relasi antara masyarakat
dan lingkungan selama berabad-abad5. Studi ini sangat relevan dalam
merumuskan kebijakan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim di masa kini.
Lebih dari itu,
sejarah juga menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan sosial dan rekonsiliasi,
khususnya dalam konteks trauma kolektif akibat kekerasan politik, diskriminasi,
atau penjajahan. Melalui pendekatan sejarah kritis, komunitas yang
terpinggirkan dapat mereklamasi suara mereka dalam narasi nasional maupun
global. Sejarah dalam hal ini berperan sebagai medium keadilan simbolik dan
pemulihan ingatan kolektif6.
Footnotes
[1]
Bruce Mazlish dan Ralph Buultjens, Conceptualizing Global History
(Boulder, CO: Westview Press, 1993), 2–5.
[2]
Howard Phillips, “The Recent Wave of ‘Spanish’ Flu Historiography,” Social
History of Medicine 27, no. 4 (2014): 789–808.
[3]
Joseph S. Nye, Soft Power: The Means to Success in World Politics
(New York: PublicAffairs, 2004), 5.
[4]
UNESCO, Global Citizenship Education: Topics and Learning
Objectives (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 21–23.
[5]
John R. McNeill, Something New Under the Sun: An Environmental
History of the Twentieth-Century World (New York: W. W. Norton &
Company, 2000), 19.
[6]
Paul Gready dan Simon Robins, From Transitional to Transformative
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 44.
9.
Penutup
Kajian sejarah
sebagai cermin peradaban bukanlah sekadar aktivitas retrospektif yang menoleh
ke masa lalu, tetapi merupakan praktik intelektual yang berfungsi membangun
kesadaran akan identitas, dinamika sosial, serta orientasi masa depan.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, sejarah tidak hanya
memberikan rekaman faktual tentang peristiwa yang telah terjadi, tetapi juga
membentuk narasi kolektif yang menyatukan masyarakat, menjadi alat kritik
sosial, serta memberi arah dalam menghadapi tantangan global kontemporer.
Dalam pengertian
ilmiah, sejarah berkembang sebagai disiplin yang menggabungkan pendekatan
empiris dan interpretatif. Ia dibangun melalui metodologi yang ketat, namun
tetap terbuka terhadap pluralitas perspektif. Sejarah merefleksikan bagaimana
manusia memahami dirinya dalam ruang dan waktu, sekaligus menjembatani
pemahaman antara generasi, budaya, dan bangsa. Kesadaran bahwa sejarah adalah
konstruksi naratif—sebagaimana ditegaskan oleh E.H. Carr dan Hayden White12—mendorong
pembaca dan penulis sejarah untuk bersikap kritis terhadap sumber dan tafsir
yang digunakan.
Tantangan
kontemporer dalam studi sejarah, termasuk munculnya postmodernisme,
digitalisasi, politisasi narasi, dan tuntutan pluralisme, menuntut para
sejarawan untuk lebih adaptif dan reflektif. Sejarah tidak lagi bisa berdiri
dalam menara gading akademik; ia harus hadir di ruang publik dengan komitmen
terhadap kebenaran, keadilan historis, dan keberagaman suara. Sejarah rakyat,
sejarah perempuan, sejarah lingkungan, dan sejarah minoritas menjadi contoh
bahwa sejarah harus lebih demokratis dalam representasi dan inklusif terhadap
pengalaman.
Dalam era
globalisasi yang ditandai oleh interkoneksi lintas batas, kajian sejarah juga
memperoleh fungsi baru sebagai sarana membangun empati global, pendidikan
karakter multikultural, dan instrumen diplomasi budaya. Sejarah berperan
penting dalam mendorong rekonsiliasi atas luka kolektif dan dalam merumuskan kebijakan
pembangunan yang berkeadaban dan berkelanjutan34.
Oleh karena itu,
penting bagi masyarakat akademik, pendidik, dan pengambil kebijakan untuk terus
mendorong penguatan literasi sejarah, pengembangan historiografi kritis, dan
pelestarian sumber-sumber sejarah sebagai warisan peradaban. Sejarah bukan
hanya milik masa lalu, tetapi juga investasi intelektual dan moral untuk masa
depan. Seperti ditegaskan oleh Georg G. Iggers, historiografi modern harus
mampu memadukan komitmen pada realitas faktual dengan kepekaan terhadap
kompleksitas pengalaman manusia5.
Dengan kesadaran
ini, maka sejarah dapat sungguh-sungguh menjadi cermin peradaban—bukan hanya
mencerminkan apa yang telah terjadi, tetapi juga menunjukkan arah yang layak
ditempuh oleh umat manusia dalam membangun kehidupan yang lebih adil, bijak,
dan bermakna.
Footnotes
[1]
E.H. Carr, What is History? (London: Penguin Books, 1961), 30.
[2]
Hayden White, Metahistory: The Historical Imagination in
Nineteenth-Century Europe (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
1973), xi–xiv.
[3]
Paul Gready dan Simon Robins, From Transitional to Transformative
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 44.
[4]
UNESCO, Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives
(Paris: UNESCO Publishing, 2015), 23.
[5]
Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From
Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Middletown, CT:
Wesleyan University Press, 2005), 109.
Daftar Pustaka
Appadurai, A. (1990).
Disjuncture and difference in the global cultural economy. Theory, Culture
& Society, 7(2–3), 295–310. https://doi.org/10.1177/026327690007002017
Burke, P. (2001). Eyewitnessing:
The uses of images as historical evidence. Reaktion Books.
Burke, P. (2005). History
and social theory (2nd ed.). Polity Press.
Carr, E. H. (1961). What
is history? Penguin Books.
Chakrabarty, D. (2000). Provincializing
Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton
University Press.
Clark, G. (1977). World
prehistory in new perspective (3rd ed.). Cambridge University Press.
Cohen, D. J., &
Rosenzweig, R. (2006). Digital history: A guide to gathering, preserving,
and presenting the past on the web. University of Pennsylvania Press.
Djakababa, Y. (2019). Sejarah
dan nasionalisme: Historiografi Indonesia pasca-Orde Baru. Komunitas
Bambu.
Farid, H. (2011).
Indonesia’s ‘1965 genocide’: Setting the record straight. Journal of
Southeast Asian Studies, 42(2), 223–237. https://doi.org/10.1017/S0022463411000062
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon Books.
Gilroy, P. (1993). The
Black Atlantic: Modernity and double consciousness. Harvard University
Press.
Gottschalk, L. (1969). Understanding
history: A primer of historical method. Alfred A. Knopf.
Grant, M. (1989). The
classical Greeks. Scribner.
Gready, P., & Robins,
S. (2019). From transitional to transformative justice. Cambridge
University Press. https://doi.org/10.1017/9781108673478
Guldi, J., & Armitage,
D. (2014). The history manifesto. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781139923880
Halbwachs, M. (1992). On
collective memory (L. A. Coser, Ed. & Trans.). University of Chicago
Press.
Hobsbawm, E. (1996). The
age of revolution: Europe 1789–1848. Vintage Books.
Hodgson, M. G. S. (1974). The
venture of Islam: Volume 1: The classical age of Islam. University of
Chicago Press.
Iggers, G. G. (2005). Historiography
in the twentieth century: From scientific objectivity to the postmodern
challenge (Rev. ed.). Wesleyan University Press.
Jenkins, K. (1991). Re-thinking
history. Routledge.
Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar
sejarah Indonesia baru (Vol. 1). Gramedia.
Kuntowijoyo. (1995). Pengantar
ilmu sejarah. Bentang Budaya.
Mazlish, B., &
Buultjens, R. (Eds.). (1993). Conceptualizing global history. Westview
Press.
McNeill, J. R. (2000). Something
new under the sun: An environmental history of the twentieth-century world.
W. W. Norton & Company.
Nora, P. (1989). Between
memory and history: Les lieux de mémoire. Representations, 26, 7–24. https://doi.org/10.2307/2928520
Nye, J. S. (2004). Soft
power: The means to success in world politics. PublicAffairs.
Phillips, H. (2014). The
recent wave of ‘Spanish’ flu historiography. Social History of Medicine, 27(4),
789–808. https://doi.org/10.1093/shm/hku064
Smith, A. D. (1986). The
ethnic origins of nations. Blackwell.
Smith, A. D. (1991). National
identity. Penguin Books.
Stearns, P. N. (2013). The
industrial revolution in world history (4th ed.). Westview Press.
Toynbee, A. J. (1934). A
study of history (Vol. 1). Oxford University Press.
Trouillot, M.-R. (1995). Silencing
the past: Power and the production of history. Beacon Press.
UNESCO. (2015). Global
citizenship education: Topics and learning objectives. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993
White, H. (1973). Metahistory:
The historical imagination in nineteenth-century Europe. Johns Hopkins
University Press.
Zinn, H. (2005). A
people’s history of the United States. Harper Perennial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar