Dinamika Morale
Semangat Kerja dalam Konteks Psikologi, Organisasi, dan
Kepemimpinan
Alihkan ke: Etika Profesi, Psikologi,
Kepemimpinan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep morale
(semangat kerja) dalam konteks psikologi, organisasi, dan kepemimpinan. Morale
dipahami sebagai keadaan mental dan emosional individu atau kelompok yang
memengaruhi motivasi, kepuasan kerja, serta keterikatan terhadap lingkungan
kerja. Melalui kajian teoritis yang mencakup perspektif Abraham Maslow,
Frederick Herzberg, Edward Deci dan Richard Ryan, serta Amy Edmondson, artikel
ini menjelaskan bahwa morale dibentuk oleh interaksi antara faktor
internal (nilai pribadi, persepsi, motivasi intrinsik) dan faktor eksternal
(kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, dan iklim kerja). Analisis
mendalam juga diberikan mengenai dampak morale terhadap produktivitas
dan kinerja organisasi, serta bagaimana morale menjadi aset strategis
dalam menghadapi krisis dan perubahan. Artikel ini menyoroti pentingnya
kepemimpinan resilien, komunikasi empatik, dan penciptaan psychological
safety sebagai strategi peningkatan dan pemulihan morale. Dengan
landasan teoritis dan referensi empiris yang kuat, artikel ini memberikan kontribusi
penting bagi pengembangan kebijakan sumber daya manusia dan kepemimpinan
berkelanjutan dalam organisasi modern.
Kata Kunci: morale,
semangat kerja, kepemimpinan, motivasi intrinsik, budaya organisasi,
psychological safety, produktivitas, krisis organisasi, self-determination
theory, employee engagement.
PEMBAHASAN
Memahami Semangat Kerja dalam Konteks Psikologi,
Organisasi, dan Kepemimpinan
1.
Pendahuluan
Dalam setiap organisasi, baik di sektor publik
maupun swasta, terdapat satu unsur tak kasat mata yang sangat memengaruhi
keberhasilan kerja kolektif: morale, atau semangat kerja. Morale
mencerminkan keadaan emosional dan mental seseorang atau sekelompok orang yang
berhubungan dengan rasa puas, antusiasme, dan kesetiaan terhadap pekerjaan,
rekan kerja, serta institusi tempat mereka berada. Dalam konteks manajemen
modern, morale dianggap sebagai indikator penting terhadap
produktivitas, efisiensi kerja, dan stabilitas internal suatu organisasi.
Ketika morale tinggi, individu akan menunjukkan dedikasi, rasa memiliki, dan
motivasi yang kuat untuk berkontribusi secara maksimal. Sebaliknya, morale yang
rendah sering kali diikuti dengan meningkatnya tingkat absensi, konflik
internal, dan menurunnya kinerja secara keseluruhan¹.
Secara historis, konsep morale telah dikaji dalam
berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan ilmu organisasi. Dalam
psikologi, morale berkaitan erat dengan motivasi intrinsik, persepsi diri,
dan kesejahteraan emosional. Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, kebutuhan
akan rasa memiliki dan penghargaan merupakan fondasi penting dalam pembentukan morale
yang sehat². Sementara itu, dalam studi perilaku organisasi, morale sering
dipandang sebagai hasil dari interaksi antara struktur organisasi, gaya
kepemimpinan, dan iklim kerja. Stephen P. Robbins menjelaskan bahwa morale
adalah “perasaan umum dari kepuasan dan antusiasme yang dimiliki karyawan
terhadap organisasi dan tugas yang mereka jalani”³.
Perkembangan terbaru dalam dunia kerja, terutama
pasca pandemi COVID-19, semakin memperkuat pentingnya morale sebagai faktor
krusial dalam ketahanan dan kelangsungan organisasi. Ketika tuntutan pekerjaan
meningkat dan lingkungan kerja menjadi lebih tidak pasti, maka pengelolaan
morale menjadi tugas strategis bagi pemimpin organisasi. Oleh karena itu,
memahami morale tidak hanya berarti mengenali gejala-gejala psikologis
yang muncul, tetapi juga menelaah secara kritis dinamika sosial, struktural,
dan kepemimpinan yang membentuknya.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
komprehensif tentang morale dengan meninjau dimensi psikologis,
organisatoris, dan kepemimpinan yang mempengaruhinya. Dengan mengacu pada
teori-teori akademik yang mapan dan hasil-hasil studi empiris, artikel ini juga
berupaya menyajikan wawasan praktis tentang bagaimana membangun, mempertahankan,
dan meningkatkan morale dalam berbagai konteks organisasi modern.
Footnotes
[1]
John W. Newstrom dan Keith Davis, Organizational
Behavior: Human Behavior at Work, 11th ed. (New York: McGraw-Hill, 2002),
109.
[2]
Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological
Review 50, no. 4 (1943): 370–396.
[3]
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Organizational
Behavior, 18th ed. (Boston: Pearson, 2019), 95.
2.
Morale
dalam Perspektif Teoretis
Pemahaman tentang morale tidak dapat
dilepaskan dari berbagai kerangka teoretis yang berkembang dalam ilmu psikologi
dan perilaku organisasi. Secara umum, morale diposisikan sebagai produk
dari interaksi antara kebutuhan pribadi, persepsi terhadap lingkungan kerja,
dan hubungan antarindividu di dalam organisasi. Dalam sejarah teori manajemen
modern, morale sering kali dikaitkan dengan kepuasan kerja (job
satisfaction), motivasi (motivation), dan keterikatan kerja (employee
engagement)—meskipun ketiganya memiliki dimensi yang berbeda namun saling
berkaitan.
Salah satu pendekatan awal terhadap pemahaman
morale dapat ditelusuri ke Human Relations Movement yang dipelopori oleh
Elton Mayo melalui studi terkenal Hawthorne Studies di tahun 1920-an dan
1930-an. Mayo menemukan bahwa perhatian terhadap kebutuhan sosial karyawan dan
lingkungan kerja yang mendukung memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan
semangat kerja dan produktivitas⁽¹⁾. Temuan ini membuka jalan bagi pendekatan
yang lebih manusiawi dalam teori manajemen dan mendorong fokus baru terhadap
pentingnya faktor-faktor psikososial dalam lingkungan kerja.
Dalam teori kebutuhan Maslow, morale
dihubungkan dengan tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi, khususnya kebutuhan
akan penghargaan (esteem) dan aktualisasi diri (self-actualization)⁽²⁾.
Ketika kebutuhan dasar karyawan telah terpenuhi, mereka akan terdorong oleh
pencapaian yang bermakna, pengakuan dari rekan kerja dan pimpinan, serta
kesempatan untuk berkembang. Dalam konteks ini, morale menjadi cerminan
dari terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara psikologis dan sosial.
Teori motivasi dua faktor (Two-Factor Theory) yang
dikembangkan oleh Frederick Herzberg memberikan pemisahan penting antara
faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan (motivator) dan yang menyebabkan
ketidakpuasan (hygiene factors). Menurut Herzberg, morale yang tinggi
biasanya lahir dari adanya motivator seperti pencapaian, pengakuan, dan
tanggung jawab, bukan semata dari faktor eksternal seperti gaji atau kondisi
kerja⁽³⁾. Dengan kata lain, morale bukan hanya hasil dari penghapusan
ketidakpuasan, tetapi muncul ketika individu merasa bahwa pekerjaannya bermakna
dan dihargai.
Selain itu, pendekatan teori X dan teori Y dari
Douglas McGregor juga menyumbangkan pemahaman penting tentang morale.
Dalam Teori X, karyawan diasumsikan secara alami malas dan harus diawasi ketat.
Sebaliknya, Teori Y memandang bahwa individu akan menunjukkan antusiasme dan
inisiatif jika diberi kesempatan untuk berpartisipasi dan diberi kepercayaan.
Lingkungan yang dibentuk oleh Teori Y secara langsung mendukung peningkatan morale
melalui otonomi dan partisipasi⁽⁴⁾.
Dalam teori kontemporer, employee engagement
seperti dikembangkan oleh William Kahn menunjukkan bahwa keterlibatan emosional
dan kognitif individu dalam pekerjaan sangat berhubungan erat dengan morale.
Engagement tinggi mengindikasikan kehadiran aspek-aspek seperti semangat, rasa
memiliki, dan koneksi terhadap tujuan organisasi, yang semuanya merupakan
indikator utama dari morale yang sehat⁽⁵⁾.
Secara teoretis, morale dapat disimpulkan
sebagai kondisi psikologis dan sosiologis yang kompleks, dipengaruhi oleh
berbagai variabel intrapersonal dan organisasi. Kerangka teori yang beragam ini
memungkinkan pemimpin dan pengelola sumber daya manusia untuk memahami bahwa morale
bukan hanya sekadar perasaan senang dalam bekerja, melainkan refleksi dari
kedalaman relasi antara individu dan lingkungan kerjanya.
Footnotes
[1]
Elton Mayo, The Human Problems of an Industrial
Civilization (New York: Macmillan, 1933), 66–70.
[2]
Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological
Review 50, no. 4 (1943): 370–396.
[3]
Frederick Herzberg, Work and the Nature of Man
(Cleveland: World Publishing, 1966), 113–120.
[4]
Douglas McGregor, The Human Side of Enterprise
(New York: McGraw-Hill, 1960), 47–48.
[5]
William A. Kahn, “Psychological Conditions of
Personal Engagement and Disengagement at Work,” Academy of Management
Journal 33, no. 4 (1990): 692–724.
3.
Dimensi
Psikologis Morale
Dalam kerangka
psikologi kerja, morale tidak sekadar dipahami
sebagai respons afektif terhadap pekerjaan, melainkan sebagai suatu kondisi
psikologis kompleks yang mencakup aspek kognitif, emosional, dan motivasional.
Dimensi psikologis ini berakar pada interaksi antara persepsi individu terhadap
nilai pekerjaannya, rasa efikasi diri, serta keterhubungan sosial dengan
lingkungan kerja. Oleh karena itu, memahami morale dari sisi psikologi berarti
menelaah proses-proses mental dan emosional yang menopang semangat kerja
individu maupun kolektif dalam organisasi.
3.1. Aspek Kognitif dan Emosional
Secara kognitif, morale
melibatkan penilaian individu terhadap makna dan signifikansi pekerjaannya.
Ketika seseorang memandang bahwa tugas yang ia jalani bermakna dan sesuai
dengan nilai-nilai pribadinya, maka akan terbentuk rasa bangga dan komitmen
terhadap peran yang dijalankan. Teori meaningful work menekankan bahwa
persepsi atas kebermaknaan tugas berperan penting dalam membentuk kepuasan dan
loyalitas kerja⁽¹⁾. Sementara dari sisi emosional, morale berkaitan erat dengan afek
positif seperti semangat, antusiasme, dan harapan, yang menjadi indikator
kesejahteraan psikologis di tempat kerja.
Daniel Goleman,
dalam kerangka emotional intelligence, menekankan
pentingnya kesadaran diri (self-awareness) dan pengelolaan
emosi (self-regulation)
dalam menciptakan morale yang stabil. Individu dengan
kecerdasan emosional tinggi lebih mampu menavigasi tekanan dan membangun
hubungan interpersonal yang harmonis, yang merupakan landasan utama bagi
terciptanya semangat kerja kolektif yang sehat⁽²⁾.
3.2. Peran Self-Efficacy dan Self-Determination
Konsep self-efficacy
dari Albert Bandura menegaskan bahwa keyakinan seseorang terhadap kemampuannya
untuk menyelesaikan tugas secara efektif merupakan motor psikologis yang sangat
berpengaruh terhadap morale. Individu dengan tingkat self-efficacy
tinggi cenderung lebih gigih, tangguh dalam menghadapi tantangan, serta
memiliki semangat juang yang tinggi⁽³⁾. Keyakinan inilah yang memberikan
kekuatan psikologis bagi seseorang untuk terlibat secara aktif dan penuh
dedikasi dalam pekerjaannya.
Sementara itu, teori
Self-Determination
yang dikembangkan oleh Edward Deci dan Richard Ryan menyoroti pentingnya tiga
kebutuhan psikologis dasar dalam membangun morale: kebutuhan akan kompetensi,
otonomi, dan keterhubungan sosial. Ketika individu merasa kompeten, diberi kepercayaan
untuk mengambil keputusan, dan memiliki relasi interpersonal yang mendukung,
maka morale
akan berkembang secara optimal⁽⁴⁾.
3.3. Dampak Stres, Burnout, dan Coping Mechanisms
Di sisi lain,
tekanan kerja yang terus-menerus tanpa dukungan psikologis dapat meruntuhkan morale.
Stres kronis, apalagi yang disertai dengan gejala burnout seperti kelelahan
emosional, depersonalisasi, dan penurunan rasa pencapaian, merupakan musuh
utama semangat kerja. Christina Maslach mencatat bahwa burnout tidak hanya
menurunkan produktivitas, tetapi juga merusak keterikatan emosional terhadap
pekerjaan dan rekan kerja⁽⁵⁾.
Strategi coping,
baik yang bersifat problem-focused maupun emotion-focused, memegang peran
penting dalam menjaga stabilitas psikologis. Individu yang mampu mengelola
tekanan dengan cara yang adaptif akan lebih mampu mempertahankan morale,
bahkan dalam situasi sulit. Oleh karena itu, organisasi yang menyediakan
dukungan psikologis seperti konseling, fleksibilitas kerja, atau pengakuan atas
usaha individu cenderung memiliki tingkat morale yang lebih tinggi secara
kolektif.
Footnotes
[1]
Michael F. Steger, “Meaning in Life and Work: A Developmental
Perspective,” in Purpose and Meaning in the Workplace, ed. Bryan J.
Dik, Zinta S. Byrne, and Michael F. Steger (Washington, DC: American
Psychological Association, 2013), 59–81.
[2]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence (New York: Bantam
Books, 1995), 87–112.
[3]
Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New
York: W.H. Freeman, 1997), 36–42.
[4]
Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and
Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum, 1985), 31–47.
[5]
Christina Maslach and Michael P. Leiter, The Truth About Burnout:
How Organizations Cause Personal Stress and What to Do About It (San
Francisco: Jossey-Bass, 1997), 15–29.
4.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Morale
Tingkat morale
dalam suatu organisasi tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk
melalui interaksi kompleks antara berbagai faktor internal dan eksternal yang
memengaruhi kondisi psikologis serta sosial para anggotanya. Pemahaman tentang
faktor-faktor yang memengaruhi morale penting bagi para pemimpin
dan manajer agar dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, produktif,
dan berkelanjutan.
4.1. Faktor Internal: Nilai Pribadi, Persepsi, dan Motivasi
Intrinsik
Faktor internal
berkaitan dengan aspek individual yang melekat pada diri setiap karyawan,
seperti sistem nilai, kepribadian, dan motivasi. Karyawan yang memiliki
nilai-nilai personal yang selaras dengan visi organisasi cenderung memiliki morale
yang tinggi karena merasa bahwa pekerjaan mereka bermakna dan sesuai dengan
tujuan hidup mereka⁽¹⁾. Selain itu, persepsi individu terhadap keadilan,
transparansi, dan penghargaan memainkan peran penting dalam menumbuhkan rasa
percaya dan kepuasan batin terhadap lingkungan kerja.
Motivasi
intrinsik—dorongan yang berasal dari dalam diri individu seperti kebutuhan akan
pencapaian atau perkembangan diri—juga terbukti meningkatkan morale.
Deci dan Ryan menekankan bahwa ketika individu merasa memiliki kendali atas
tugas yang mereka lakukan dan diberi ruang untuk berkembang secara otonom, maka
semangat kerja mereka meningkat secara signifikan⁽²⁾.
4.2. Faktor Eksternal: Kepemimpinan, Budaya Organisasi,
dan Iklim Kerja
Di sisi eksternal,
gaya kepemimpinan memiliki pengaruh krusial terhadap pembentukan morale.
Pemimpin yang menerapkan gaya transformasional, yang mendorong partisipasi,
memberi inspirasi, dan memfasilitasi pengembangan individu, cenderung
meningkatkan semangat kolektif dan loyalitas kerja⁽³⁾. Sebaliknya, kepemimpinan
otoriter atau birokratis yang minim partisipasi dan komunikasi dapat menurunkan
morale
secara drastis.
Budaya organisasi
yang menekankan pada nilai-nilai kolaboratif, penghargaan terhadap kontribusi
individu, serta keterbukaan dalam komunikasi juga berdampak besar terhadap morale.
Schein menjelaskan bahwa budaya organisasi yang sehat dapat memperkuat
identitas kolektif, memberikan makna terhadap pekerjaan, dan menumbuhkan
semangat untuk berkontribusi bersama⁽⁴⁾.
Iklim kerja—yakni
persepsi karyawan terhadap lingkungan sosial dan struktural
organisasi—merupakan dimensi lain yang memengaruhi morale. Iklim yang suportif, tidak
penuh tekanan, serta memungkinkan relasi sosial yang positif antara rekan kerja
akan meningkatkan rasa nyaman dan keterikatan emosional terhadap pekerjaan.
Studi Robbins dan Judge menunjukkan bahwa kondisi kerja yang baik, termasuk
kenyamanan fisik, fleksibilitas waktu, dan komunikasi interpersonal yang sehat,
merupakan prediktor utama terhadap tingkat morale karyawan⁽⁵⁾.
4.3. Studi Kasus dan Konteks Institusional
Dalam konteks
lembaga pendidikan, misalnya, morale guru terbukti sangat dipengaruhi oleh
dukungan kepemimpinan kepala sekolah, kesempatan pengembangan profesional, dan
partisipasi dalam pengambilan keputusan. Penelitian oleh Dinham dan Scott
menunjukkan bahwa guru dengan morale tinggi tidak hanya lebih
produktif, tetapi juga lebih mampu membangun hubungan positif dengan siswa⁽⁶⁾.
Demikian pula dalam
organisasi militer, semangat juang prajurit sangat dipengaruhi oleh kohesi
kelompok, kepemimpinan lapangan, serta makna simbolis dari tugas yang
dijalankan. Tingginya unit cohesion dalam unit militer
telah terbukti menjadi penentu utama combat morale yang bertahan bahkan
dalam kondisi ekstrem⁽⁷⁾.
Dengan demikian,
pengelolaan morale memerlukan pendekatan
holistik yang tidak hanya memperhatikan insentif material, tetapi juga
aspek-aspek relasional, kultural, dan psikologis yang membentuk pengalaman
kerja sehari-hari.
Footnotes
[1]
Rokeach, Milton. The Nature of Human Values (New York: Free
Press, 1973), 58–61.
[2]
Deci, Edward L., dan Richard M. Ryan. Intrinsic Motivation and
Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum, 1985), 45–63.
[3]
Bass, Bernard M., dan Ronald E. Riggio. Transformational Leadership,
2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 2006), 35–44.
[4]
Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadership, 5th
ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2017), 160–176.
[5]
Robbins, Stephen P., dan Timothy A. Judge. Organizational Behavior,
18th ed. (Boston: Pearson, 2019), 105–120.
[6]
Dinham, Stephen, dan Catherine Scott. “Teacher Satisfaction, Motivation
and Health: Phase One of the Teacher 2000 Project,” Educational Research
and Perspectives 26, no. 1 (1999): 45–65.
[7]
Shils, Edward A., dan Morris Janowitz. “Cohesion and Disintegration in
the Wehrmacht in World War II,” Public Opinion Quarterly 12, no. 2
(1948): 280–315.
5.
Morale
dan Kepemimpinan
Kepemimpinan
memainkan peran sentral dalam membentuk, mempertahankan, dan meningkatkan morale
di dalam suatu organisasi. Pemimpin tidak hanya bertindak sebagai pengarah
tujuan, tetapi juga sebagai pengelola emosi kolektif dan pencipta makna kerja
bagi anggota tim. Dalam banyak kajian psikologi organisasi, ditemukan bahwa
gaya dan kualitas kepemimpinan memiliki korelasi langsung dengan tingkat
semangat kerja individu maupun kelompok. Morale yang tinggi sering kali
merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif, visioner, dan empatik;
sementara morale
yang rendah mencerminkan kegagalan dalam menciptakan kepercayaan, penghargaan,
dan rasa keterlibatan.
5.1. Gaya Kepemimpinan dan Dampaknya terhadap Morale
Gaya kepemimpinan
yang berbeda menghasilkan pengaruh yang berbeda pula terhadap morale.
Pemimpin dengan pendekatan transformasional mampu
membangun semangat kerja yang tinggi dengan cara menginspirasi visi bersama,
memotivasi secara intrinsik, dan memberi perhatian individual kepada anggota
tim. Bernard M. Bass menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional beroperasi
melalui empat komponen utama: pengaruh idealis (idealized influence), motivasi inspiratif,
stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual, yang semuanya berkaitan
erat dengan pembentukan semangat kerja yang kuat dan loyalitas yang
mendalam⁽¹⁾.
Sebaliknya, gaya transaksional
yang lebih menekankan pada hubungan imbal-balik berdasarkan penghargaan dan
hukuman, cenderung menciptakan morale yang bersifat kondisional
dan dangkal. Meskipun efektif dalam jangka pendek untuk mengatur kepatuhan dan
struktur, kepemimpinan transaksional kurang mampu membangun keterlibatan
emosional dan jangka panjang⁽²⁾.
Dalam praktiknya, kepemimpinan
otentik juga menunjukkan dampak positif terhadap morale.
Pemimpin otentik—yakni mereka yang bertindak secara konsisten dengan
nilai-nilai pribadi, menunjukkan integritas, dan terbuka terhadap masukan—mampu
menciptakan iklim kepercayaan dan psikologis yang aman, yang mendorong semangat
kerja secara natural⁽³⁾.
5.2. Kepemimpinan Situasional dalam Meningkatkan Morale
Efektivitas
kepemimpinan dalam mengelola morale juga sangat bergantung pada
konteks. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard mengembangkan teori
kepemimpinan situasional yang menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan harus disesuaikan dengan tingkat kesiapan dan kompetensi anggota
tim⁽⁴⁾. Dalam situasi krisis, misalnya, gaya direktif dan pengambilan keputusan
cepat mungkin dibutuhkan; sementara dalam kondisi stabil, gaya partisipatif
akan lebih efektif dalam membangun keterlibatan dan semangat tim.
Studi dalam
organisasi militer dan lembaga tanggap bencana menunjukkan bahwa kepemimpinan
yang adaptif dan responsif terhadap dinamika situasi mampu mempertahankan morale
meskipun berada dalam kondisi penuh tekanan dan ketidakpastian⁽⁵⁾.
5.3. Kualitas Relasional antara Pemimpin dan Anggota
Kualitas hubungan
antara pemimpin dan bawahan menjadi penentu utama morale. Leader-Member
Exchange (LMX) Theory menyoroti bahwa hubungan yang bersifat
saling percaya, terbuka, dan suportif menciptakan suasana kerja yang penuh
antusiasme dan loyalitas. Dalam relasi LMX yang tinggi, karyawan merasa lebih
dihargai dan lebih cenderung menunjukkan perilaku proaktif, yang memperkuat
semangat kolektif organisasi⁽⁶⁾.
Selain itu,
komunikasi efektif dari pemimpin, baik verbal maupun non-verbal, juga berperan
vital dalam menjaga morale. Pesan-pesan motivasional
yang disampaikan secara empatik, apresiasi terhadap kontribusi individu, serta
penyediaan umpan balik yang konstruktif menjadi sumber utama penguatan
psikologis bagi karyawan⁽⁷⁾.
5.4. Kepemimpinan Moral dan Etika dalam Menumbuhkan Morale
Aspek moralitas
dalam kepemimpinan tidak dapat diabaikan dalam pembentukan morale.
Pemimpin yang berpegang pada prinsip etis, bersikap adil, dan mempromosikan
integritas, akan menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman di antara anggota
organisasi. Studi yang dilakukan oleh Brown dan Treviño menunjukkan bahwa ethical
leadership berkorelasi positif dengan tingkat job
satisfaction, keterlibatan kerja, dan morale secara umum⁽⁸⁾.
Dengan demikian,
kepemimpinan yang efektif dalam membangun morale adalah kepemimpinan yang
tidak hanya strategis secara manajerial, tetapi juga sensitif secara emosional,
fleksibel dalam konteks, relasional secara personal, dan berakar pada
nilai-nilai moral yang kokoh.
Footnotes
[1]
Bernard M. Bass dan Ronald E. Riggio, Transformational Leadership,
2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 5–12.
[2]
Gary Yukl, Leadership in Organizations, 8th ed. (Boston:
Pearson, 2013), 313–317.
[3]
Bruce J. Avolio dan William L. Gardner, “Authentic Leadership
Development: Getting to the Root of Positive Forms of Leadership,” The
Leadership Quarterly 16, no. 3 (2005): 315–338.
[4]
Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard, dan Dewey E. Johnson, Management
of Organizational Behavior: Leading Human Resources, 10th ed. (Upper
Saddle River, NJ: Pearson Education, 2013), 129–135.
[5]
David R. Hogg, “Leadership and Morale in Crisis Situations,” Armed
Forces & Society 31, no. 4 (2005): 569–588.
[6]
George B. Graen dan Mary Uhl-Bien, “Relationship-Based Approach to
Leadership: Development of Leader–Member Exchange (LMX) Theory of Leadership
over 25 Years,” The Leadership Quarterly 6, no. 2 (1995): 219–247.
[7]
Michael Z. Hackman dan Craig E. Johnson, Leadership: A
Communication Perspective, 7th ed. (Long Grove, IL: Waveland Press, 2013),
145–152.
[8]
Michael E. Brown dan Linda K. Treviño, “Ethical Leadership: A Review
and Future Directions,” The Leadership Quarterly 17, no. 6 (2006):
595–616.
6.
Dampak
Morale terhadap Produktivitas dan Kinerja
Moral
yang tinggi dalam lingkungan kerja bukan hanya berdampak pada kondisi
psikologis individu, tetapi juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
produktivitas, efektivitas, dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Sejumlah
penelitian lintas disiplin telah membuktikan bahwa semangat kerja yang baik
mendorong peningkatan partisipasi, pengurangan konflik internal, serta
peningkatan kualitas output kerja. Sebaliknya, morale yang rendah berkorelasi
dengan berbagai bentuk disfungsi organisasi seperti absensi tinggi, turnover,
resistensi terhadap perubahan, dan penurunan loyalitas.
6.1. Hubungan antara Morale dan Kinerja Individu
Secara individual, morale
memengaruhi bagaimana seseorang memandang tugasnya, bagaimana ia merespons
tantangan, serta seberapa jauh ia bersedia berkontribusi melebihi tuntutan
formal. Studi yang dilakukan oleh Locke menyatakan bahwa karyawan dengan
tingkat job
satisfaction dan morale yang tinggi cenderung
menunjukkan organizational citizenship behavior
(OCB)—yakni perilaku sukarela yang meningkatkan fungsi organisasi meskipun
tidak tercantum dalam uraian tugas⁽¹⁾. Ini mencakup inisiatif pribadi,
kesediaan membantu rekan kerja, serta kepatuhan terhadap kebijakan organisasi
dengan semangat kolaboratif.
Lebih lanjut, hasil
studi oleh Bandura menunjukkan bahwa self-efficacy, yang menjadi salah
satu komponen pembentuk morale, berkaitan erat dengan
peningkatan persistensi, kreativitas, dan performa kerja dalam situasi penuh
tantangan⁽²⁾. Karyawan yang memiliki semangat juang tinggi juga lebih cenderung
mencari solusi daripada menyalahkan keadaan, menunjukkan bahwa morale
menjadi penggerak utama problem-focused behavior dalam
dunia kerja.
6.2. Dampak Kolektif terhadap Produktivitas Organisasi
Dalam skala kelompok
atau organisasi, morale yang tinggi menciptakan team
cohesion, komunikasi yang terbuka, serta sinergi yang kuat antarbagian.
Studi Harter, Schmidt, dan Hayes yang menganalisis lebih dari 7.900 unit bisnis
dari berbagai industri menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat
antara tingkat kepuasan karyawan (indikator morale) dan indikator-indikator
produktivitas seperti profitabilitas, kepuasan pelanggan, dan retensi
pegawai⁽³⁾. Unit-unit kerja dengan employee morale tinggi juga
menunjukkan tingkat keselamatan kerja yang lebih baik dan jumlah kecelakaan
kerja yang lebih rendah.
Produktivitas tidak
hanya mencerminkan output kuantitatif, tetapi juga kualitas pelayanan,
efisiensi proses kerja, serta inovasi yang dihasilkan. Ketika individu merasa
dihargai dan terlibat secara emosional, mereka lebih terdorong untuk
mengembangkan ide-ide baru dan menyelesaikan masalah dengan pendekatan
kolaboratif. Google, dalam internal study-nya (Project Aristotle), menemukan
bahwa faktor yang paling menentukan dalam tim-tim berkinerja tinggi adalah psychological
safety, yaitu suasana kerja yang memungkinkan anggota untuk
mengambil risiko interpersonal tanpa rasa takut, yang berakar dari tingginya morale
dalam tim⁽⁴⁾.
6.3. Konsekuensi dari Low Morale
Sebaliknya, low
morale menjadi indikator awal dari berbagai gejala disfungsi
organisasi. Absensi kerja meningkat secara signifikan ketika karyawan
kehilangan semangat dan keterikatan terhadap pekerjaan. Hal ini diperparah oleh
penurunan produktivitas akibat kelelahan emosional dan disengagement.
Penelitian Maslach dan Jackson menunjukkan bahwa burnout yang berkelanjutan
sebagai akibat dari low morale berdampak langsung pada
turunnya kualitas kerja, menurunnya empati antarpegawai, dan meningkatnya
konflik horizontal⁽⁵⁾.
Dalam jangka
panjang, organisasi dengan tingkat morale rendah mengalami tingkat
turnover tinggi yang mengakibatkan kerugian finansial akibat biaya rekrutmen
dan pelatihan ulang, serta hilangnya pengetahuan institusional. Sebuah studi
oleh Gallup menemukan bahwa karyawan yang tidak terlibat secara emosional dalam
pekerjaannya menyebabkan kerugian produktivitas global hingga miliaran dolar
per tahun⁽⁶⁾.
6.4. Studi Kasus Empiris
Sebagai contoh
nyata, Southwest Airlines secara konsisten menunjukkan kinerja tinggi dalam
industri penerbangan berkat fokus strategis pada employee morale dan budaya kerja
yang positif. Dengan memprioritaskan keterlibatan dan penghargaan terhadap
karyawan, Southwest berhasil menekan tingkat turnover dan menciptakan pelayanan
pelanggan yang konsisten dan ramah, sehingga mendongkrak loyalitas konsumen dan
reputasi merek⁽⁷⁾.
Dengan demikian, morale
bukanlah sekadar fenomena psikologis, tetapi menjadi strategic
asset yang menentukan daya saing dan keberlanjutan organisasi.
Investasi dalam pembangunan morale harus dilihat sebagai bagian
integral dari manajemen kinerja dan pengembangan sumber daya manusia.
Footnotes
[1]
Edwin A. Locke, “The Nature and Causes of Job Satisfaction,” dalam Handbook
of Industrial and Organizational Psychology, ed. Marvin D. Dunnette
(Chicago: Rand McNally, 1976), 1290–1343.
[2]
Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New
York: W.H. Freeman, 1997), 66–70.
[3]
James K. Harter, Frank L. Schmidt, dan Theodore L. Hayes,
“Business-Unit-Level Relationship Between Employee Satisfaction, Employee
Engagement, and Business Outcomes: A Meta-Analysis,” Journal of Applied
Psychology 87, no. 2 (2002): 268–279.
[4]
Julia Rozovsky, “The Five Keys to a Successful Google Team,” re:Work
(2015), https://rework.withgoogle.com/blog/five-keys-to-a-successful-google-team/.
[5]
Christina Maslach dan Susan E. Jackson, “The Measurement of Experienced
Burnout,” Journal of Occupational Behavior 2, no. 2 (1981): 99–113.
[6]
Gallup, State of the Global Workplace: 2021 Report
(Washington, DC: Gallup Press, 2021), 17–23.
[7]
Kevin Freiberg dan Jackie Freiberg, Nuts!: Southwest Airlines'
Crazy Recipe for Business and Personal Success (Austin, TX: Bard Press,
1996), 88–104.
7.
Strategi
Meningkatkan Morale
Meningkatkan
morale dalam lingkungan kerja merupakan tantangan sekaligus
kebutuhan strategis bagi setiap organisasi yang ingin mempertahankan kinerja
tinggi dan kohesi tim. Strategi yang efektif tidak hanya menyasar peningkatan
kesejahteraan fisik atau kompensasi material, tetapi juga harus mencakup
dimensi psikologis, sosial, dan nilai-nilai budaya organisasi. Pendekatan yang
bersifat holistik dan berkelanjutan terbukti lebih efektif dalam membangun
semangat kerja yang tinggi dan tahan uji terhadap dinamika perubahan.
7.1. Pengakuan dan Penghargaan yang Otentik
Salah satu strategi
paling dasar dan terbukti efektif dalam meningkatkan morale
adalah memberikan penghargaan atas pencapaian dan kontribusi individu maupun
tim. Herzberg menekankan bahwa pengakuan (recognition) merupakan salah satu
faktor motivator intrinsik yang dapat meningkatkan semangat kerja secara
signifikan⁽¹⁾. Bentuk penghargaan ini tidak selalu harus bersifat material,
tetapi bisa berupa ucapan terima kasih, publikasi pencapaian, atau penugasan
tanggung jawab baru yang menunjukkan kepercayaan pimpinan.
Penghargaan yang
otentik dan diberikan tepat waktu memperkuat rasa harga diri dan mempertegas
posisi individu sebagai bagian berharga dari organisasi. Penelitian oleh Nelson
dan Spitzer menegaskan bahwa “people work for money but go the extra mile for
recognition”⁽²⁾.
7.2. Komunikasi Terbuka dan Kepemimpinan Partisipatif
Morale
meningkat dalam organisasi yang mendorong komunikasi terbuka dan partisipatif.
Kepemimpinan yang bersifat transparan dan terbuka terhadap umpan balik mampu
menciptakan iklim psikologis yang aman dan membangun kepercayaan horizontal dan
vertikal. Hackman dan Johnson menyebutkan bahwa komunikasi yang efektif antara
pemimpin dan anggota organisasi merupakan salah satu determinan utama dari
semangat kerja dan keterlibatan emosional⁽³⁾.
Mekanisme komunikasi
dua arah seperti forum diskusi, town hall meeting, atau feedback
loop rutin memberi ruang bagi karyawan untuk mengekspresikan
gagasan dan perasaan, sehingga mereka merasa dihargai dan didengarkan.
7.3. Pengembangan Profesional dan Kesempatan Belajar
Strategi peningkatan
morale
yang berkelanjutan memerlukan investasi dalam capacity building individu.
Karyawan yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pelatihan,
seminar, atau jenjang karier yang jelas, akan merasa bahwa organisasi
memperhatikan masa depan mereka. Deci dan Ryan menyatakan bahwa morale
dipengaruhi secara kuat oleh pemenuhan kebutuhan akan kompetensi dan
pertumbuhan pribadi⁽⁴⁾.
Dalam praktiknya,
banyak perusahaan progresif seperti Google dan Microsoft menerapkan kebijakan learning
culture dengan menyediakan akses luas terhadap platform belajar
daring, pelatihan internal, dan program mentoring.
7.4. Membangun Lingkungan Kerja yang Sehat dan Inklusif
Lingkungan kerja
yang nyaman secara fisik dan psikologis juga merupakan pilar penting dalam
strategi peningkatan morale. Hal ini mencakup kebijakan
fleksibilitas kerja (work-life balance), penataan ruang
kerja yang ergonomis, serta kebijakan non-diskriminatif dan inklusif.
Organisasi yang menunjukkan komitmen terhadap kesejahteraan karyawan di luar
aspek profesional, seperti dukungan kesehatan mental, tunjangan keluarga, atau
program rekreasi, cenderung memiliki tingkat employee morale yang lebih
tinggi⁽⁵⁾.
Program well-being
yang terintegrasi dalam budaya organisasi bukan hanya meningkatkan semangat
kerja, tetapi juga menurunkan tingkat stres dan burnout yang berpotensi merusak
produktivitas jangka panjang.
7.5. Membangun Visi Bersama dan Makna Pekerjaan
Akhirnya, morale
yang tinggi sangat dipengaruhi oleh makna dan arah yang dirasakan oleh karyawan
dalam pekerjaannya. Ketika individu memahami kontribusi pekerjaannya terhadap
visi yang lebih besar dan merasa bahwa tugasnya memiliki dampak sosial atau
moral, maka intrinsic morale akan tumbuh kuat.
Steger dalam kajiannya menunjukkan bahwa meaningful work adalah prediktor
utama kepuasan kerja dan semangat dalam bekerja⁽⁶⁾.
Pemimpin organisasi
harus secara aktif mengomunikasikan visi dan nilai organisasi secara inspiratif
dan relevan dengan pengalaman sehari-hari karyawan.
Footnotes
[1]
Frederick Herzberg, Work and the Nature of Man (Cleveland:
World Publishing, 1966), 76–82.
[2]
Bob Nelson dan Dean Spitzer, The 1001 Rewards & Recognition
Fieldbook (New York: Workman Publishing, 2003), 22.
[3]
Michael Z. Hackman dan Craig E. Johnson, Leadership: A
Communication Perspective, 7th ed. (Long Grove, IL: Waveland Press, 2013),
112–115.
[4]
Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Self-Determination Theory:
Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New
York: Guilford Press, 2017), 89–97.
[5]
Gallup, State of the Global Workplace: 2021 Report
(Washington, DC: Gallup Press, 2021), 31–36.
[6]
Michael F. Steger, Purpose and Meaning in the Workplace
(Washington, DC: American Psychological Association, 2013), 59–81.
8.
Morale
dalam Konteks Krisis dan Perubahan
Krisis dan perubahan
adalah bagian tak terhindarkan dalam dinamika organisasi modern. Baik itu
berupa restrukturisasi, disrupsi teknologi, pandemi global, maupun konflik
internal, setiap bentuk krisis membawa potensi signifikan untuk mengguncang morale
karyawan. Dalam kondisi semacam ini, semangat kerja yang semula stabil dapat
dengan cepat menurun akibat ketidakpastian, tekanan emosional, dan berkurangnya
rasa aman dalam bekerja. Oleh karena itu, memahami dinamika morale
dalam konteks krisis menjadi kunci bagi organisasi untuk mempertahankan
keberlanjutan dan kohesi.
8.1. Efek Krisis terhadap Psikologis Individu dan
Organisasi
Secara psikologis,
krisis memicu respons emosional yang intens seperti kecemasan, kebingungan,
bahkan ketakutan kehilangan pekerjaan atau identitas profesional. Lazarus dan
Folkman dalam teori stres transaksionalnya menekankan bahwa persepsi terhadap
ancaman yang tidak dapat dikendalikan secara langsung berpengaruh terhadap
motivasi dan morale⁽¹⁾. Dalam organisasi, krisis
sering kali menimbulkan ketegangan antarunit, meningkatnya beban kerja, dan
komunikasi yang terganggu—semua faktor yang memperburuk semangat kerja.
Sebuah studi oleh
McKinsey & Company menunjukkan bahwa selama krisis COVID-19, organisasi
yang gagal membangun komunikasi yang empatik dan transparan mengalami penurunan
keterlibatan karyawan (employee engagement) hingga lebih
dari 25%, yang menjadi indikasi rendahnya morale secara kolektif⁽²⁾.
8.2. Kepemimpinan Resilien dan Morale Stabilization
Dalam konteks
krisis, kualitas kepemimpinan menjadi penentu utama dalam menjaga dan
memulihkan morale.
Pemimpin yang menunjukkan resilience, kemampuan
beradaptasi, dan keberanian mengambil keputusan strategis di tengah
ketidakpastian cenderung berhasil menjaga kepercayaan dan semangat tim. Coutu
menggarisbawahi bahwa kepemimpinan resilien ditandai oleh tiga hal: penerimaan
realitas, kemampuan memberi makna terhadap peristiwa krisis, dan ketangkasan
improvisasi⁽³⁾.
Kepemimpinan yang
memberikan arah moral, menjaga keterbukaan informasi, dan tetap menunjukkan
empati terhadap kondisi individu karyawan akan mendorong terbentuknya rasa
kebersamaan dan tujuan bersama. Dalam banyak kasus, krisis justru dapat menjadi
momen peningkatan morale apabila dipimpin dengan visi
dan empati yang kuat.
8.3. Komunikasi Kritis dan Psychological Safety
Selama masa krisis,
salah satu aspek paling krusial untuk menjaga morale adalah komunikasi yang
jujur, konsisten, dan manusiawi. Edmondson memperkenalkan konsep psychological
safety sebagai kondisi di mana individu merasa aman untuk
mengekspresikan pendapat, mengakui kesalahan, dan bertanya tanpa takut
disalahkan⁽⁴⁾. Ketika organisasi mampu menjaga psychological safety di tengah
krisis, morale
akan cenderung bertahan atau pulih lebih cepat karena individu merasa tetap
dihargai dan dilibatkan.
Sementara itu,
pendekatan komunikasi berbasis empati yang dilakukan secara rutin oleh pimpinan
terbukti efektif menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kepercayaan dalam
organisasi. Hal ini telah dibuktikan dalam studi yang dilakukan oleh Harvard
Business Review yang mencatat bahwa komunikasi yang berfokus pada makna,
penghargaan, dan arah masa depan memberikan dampak langsung pada peningkatan morale
selama periode transisi sulit⁽⁵⁾.
8.4. Strategi Adaptif: Keterlibatan dan Kolaborasi
Krisis juga menjadi
momentum strategis untuk melibatkan karyawan secara lebih aktif dalam
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Ketika individu diberi ruang untuk
menyumbangkan ide, mereka merasa memiliki kendali atas situasi yang tidak
pasti, yang secara langsung memperkuat morale. Pendekatan kolaboratif dan shared
leadership—di mana tanggung jawab dibagi dalam tim—telah terbukti
menciptakan rasa tanggung jawab kolektif yang memperkuat ketahanan emosional
kelompok⁽⁶⁾.
Model ini terbukti
efektif dalam sektor pelayanan publik, rumah sakit, dan organisasi kemanusiaan
selama krisis kemanusiaan atau bencana alam. Di mana pun pemimpin
mengintegrasikan suara karyawan dalam proses perubahan, morale
justru meningkat melalui munculnya rasa solidaritas dan makna kolektif.
8.5. Studi Kasus: Morale Pasca Krisis dan Perubahan
Struktural
Studi kasus dari
perusahaan teknologi Nokia saat mengalami transformasi besar pada awal 2010-an
menunjukkan bahwa perubahan yang tidak diiringi dengan pengelolaan morale
yang baik—terutama komunikasi dan keterlibatan—berujung pada krisis identitas
dan eksodus karyawan⁽⁷⁾. Sebaliknya, IBM saat melakukan reorientasi digital
berhasil mempertahankan employee morale melalui pelatihan
masif, pemberian ruang partisipasi, dan komunikasi strategis yang konsisten
selama transisi.
Dengan demikian, morale
dalam konteks krisis dan perubahan bukanlah sesuatu yang tak terkendali,
melainkan dapat dikelola melalui strategi yang tepat: kepemimpinan resilien,
komunikasi empatik, keterlibatan partisipatif, dan pemeliharaan psychological
safety.
Footnotes
[1]
Richard S. Lazarus dan Susan Folkman, Stress, Appraisal, and Coping
(New York: Springer, 1984), 141–145.
[2]
McKinsey & Company, “COVID-19 and the Employee Experience: How
Leaders Can Seize the Moment,” McKinsey Insights, July 2020, https://www.mckinsey.com.
[3]
Diane L. Coutu, “How Resilience Works,” Harvard Business Review
81, no. 5 (2002): 46–55.
[4]
Amy C. Edmondson, The Fearless Organization: Creating Psychological
Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth (Hoboken, NJ:
Wiley, 2019), 23–40.
[5]
Kevin Oakes, “The Most Successful Companies Emphasize Meaningful
Communication in a Crisis,” Harvard Business Review, April 2020.
[6]
David M. Messick dan Roderick M. Kramer, The Psychology of
Leadership: New Perspectives and Research (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, 2004), 209–223.
[7]
Yves Doz dan Keeley Wilson, Ringtone: Exploring the Rise and Fall
of Nokia in Mobile Phones (Oxford: Oxford University Press, 2017),
188–203.
9.
Penutup
Pembahasan mengenai morale dalam artikel ini
menegaskan bahwa semangat kerja bukanlah fenomena psikologis yang bersifat
statis atau sekadar efek samping dari kepuasan kerja, tetapi merupakan elemen
strategis yang memengaruhi dinamika individu dan organisasi secara menyeluruh. Morale
mencerminkan kondisi mental dan emosional yang muncul dari interaksi antara
motivasi intrinsik, lingkungan sosial, gaya kepemimpinan, serta budaya
organisasi. Oleh karena itu, pengelolaannya tidak dapat dilakukan secara
parsial atau reaktif, melainkan harus menjadi bagian integral dari strategi
manajerial dan pengembangan sumber daya manusia.
Dalam perspektif teoretis, berbagai pendekatan
seperti teori kebutuhan Maslow, teori dua faktor Herzberg, teori self-determination,
dan konsep psychological safety dari Edmondson telah memberikan
pemahaman komprehensif tentang faktor-faktor pembentuk morale. Faktor
internal seperti nilai pribadi, persepsi terhadap pekerjaan, serta efikasi
diri, bekerja secara sinergis dengan faktor eksternal seperti kepemimpinan, iklim
organisasi, dan struktur kerja dalam memengaruhi kualitas semangat kerja
karyawan⁽¹⁾.
Artikel ini juga menunjukkan bahwa morale
yang tinggi berdampak langsung pada peningkatan produktivitas, efisiensi,
inovasi, serta loyalitas kerja. Sebaliknya, low morale dapat menimbulkan
disfungsi organisasi seperti absensi, burnout, turnover, hingga penurunan
reputasi institusi. Oleh sebab itu, upaya peningkatan morale perlu
dirancang secara menyeluruh dengan melibatkan strategi pengakuan, komunikasi
terbuka, pengembangan kompetensi, penciptaan lingkungan kerja yang sehat, serta
kepemimpinan yang otentik dan resilien⁽²⁾.
Terutama dalam situasi krisis dan perubahan, peran morale
menjadi lebih vital sebagai indikator ketahanan organisasi. Pemimpin yang mampu
menjaga psychological safety dan mendorong partisipasi aktif anggota tim
dalam menghadapi ketidakpastian terbukti lebih berhasil dalam mempertahankan
stabilitas emosional dan motivasi kolektif. Hal ini memperkuat argumen bahwa morale
bukan hanya aspek psikologis, tetapi juga aset institusional yang mendukung
ketahanan dan keberlanjutan organisasi jangka panjang⁽³⁾.
Ke depan, tantangan organisasi modern dalam era
digital, globalisasi, dan ketidakpastian yang terus meningkat menuntut
pendekatan baru yang lebih adaptif dan manusiawi dalam mengelola morale.
Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin, akademisi, dan praktisi sumber
daya manusia untuk terus meneliti dan mengembangkan kebijakan yang responsif
terhadap dinamika morale, agar organisasi tidak hanya unggul dalam aspek
teknis, tetapi juga tangguh dalam aspek kemanusiaan dan psikologis.
Footnotes
[1]
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Organizational
Behavior, 18th ed. (Boston: Pearson, 2019), 97–102.
[2]
Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Self-Determination
Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness
(New York: Guilford Press, 2017), 145–152.
[3]
Amy C. Edmondson, The Fearless Organization:
Creating Psychological Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and
Growth (Hoboken, NJ: Wiley, 2019), 23–40.
Daftar Pustaka
Avolio, B. J., & Gardner, W. L. (2005).
Authentic leadership development: Getting to the root of positive forms of
leadership. The Leadership Quarterly, 16(3), 315–338. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2005.03.001
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise
of control. W.H. Freeman.
Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational
leadership (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates.
Brown, M. E., & Treviño, L. K. (2006). Ethical
leadership: A review and future directions. The Leadership Quarterly, 17(6),
595–616. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2006.10.004
Coutu, D. L. (2002). How resilience works. Harvard
Business Review, 80(5), 46–55.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic
motivation and self-determination in human behavior. Plenum.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2017). Self-determination
theory: Basic psychological needs in motivation, development, and wellness.
Guilford Press.
Dinham, S., & Scott, C. (1999). Teacher
satisfaction, motivation and health: Phase one of the Teacher 2000 Project. Educational
Research and Perspectives, 26(1), 45–65.
Doz, Y., & Wilson, K. (2017). Ringtone:
Exploring the rise and fall of Nokia in mobile phones. Oxford University
Press.
Edmondson, A. C. (2019). The fearless
organization: Creating psychological safety in the workplace for learning,
innovation, and growth. Wiley.
Freiberg, K., & Freiberg, J. (1996). Nuts!:
Southwest Airlines' crazy recipe for business and personal success. Bard
Press.
Gallup. (2021). State of the global workplace:
2021 report. Gallup Press. https://www.gallup.com
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why
it can matter more than IQ. Bantam Books.
Graen, G. B., & Uhl-Bien, M. (1995).
Relationship-based approach to leadership: Development of leader–member
exchange (LMX) theory of leadership over 25 years. The Leadership Quarterly,
6(2), 219–247. https://doi.org/10.1016/1048-9843(95)90036-5
Hackman, M. Z., & Johnson, C. E. (2013). Leadership:
A communication perspective (7th ed.). Waveland Press.
Harter, J. K., Schmidt, F. L., & Hayes, T. L.
(2002). Business-unit-level relationship between employee satisfaction,
employee engagement, and business outcomes: A meta-analysis. Journal of
Applied Psychology, 87(2), 268–279. https://doi.org/10.1037/0021-9010.87.2.268
Herzberg, F. (1966). Work and the nature of man.
World Publishing.
Hersey, P., Blanchard, K. H., & Johnson, D. E.
(2013). Management of organizational behavior: Leading human resources
(10th ed.). Pearson Education.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress,
appraisal, and coping. Springer.
Locke, E. A. (1976). The nature and causes of job
satisfaction. In M. D. Dunnette (Ed.), Handbook of industrial and
organizational psychology (pp. 1290–1343). Rand McNally.
Maslach, C., & Jackson, S. E. (1981). The
measurement of experienced burnout. Journal of Occupational Behavior, 2(2),
99–113. https://doi.org/10.1002/job.4030020205
Maslach, C., & Leiter, M. P. (1997). The
truth about burnout: How organizations cause personal stress and what to do
about it. Jossey-Bass.
McGregor, D. (1960). The human side of
enterprise. McGraw-Hill.
Messick, D. M., & Kramer, R. M. (2004). The
psychology of leadership: New perspectives and research. Lawrence Erlbaum
Associates.
Mayo, E. (1933). The human problems of an
industrial civilization. Macmillan.
Nelson, B., & Spitzer, D. (2003). The 1001
rewards & recognition fieldbook: The complete guide. Workman
Publishing.
Oakes, K. (2020, April). The most successful
companies emphasize meaningful communication in a crisis. Harvard Business
Review. https://hbr.org
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2019). Organizational
behavior (18th ed.). Pearson.
Rozovsky, J. (2015). The five keys to a successful
Google team. re:Work by Google. https://rework.withgoogle.com/blog/five-keys-to-a-successful-google-team/
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000).
Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social
development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68
Schein, E. H. (2017). Organizational culture and
leadership (5th ed.). Wiley.
Steger, M. F. (2013). Meaning in life and work: A
developmental perspective. In B. J. Dik, Z. S. Byrne, & M. F. Steger
(Eds.), Purpose and meaning in the workplace (pp. 59–81). American
Psychological Association. https://doi.org/10.1037/14183-004
Shils, E. A., & Janowitz, M. (1948). Cohesion
and disintegration in the Wehrmacht in World War II. Public Opinion
Quarterly, 12(2), 280–315.
Yukl, G. (2013). Leadership in organizations
(8th ed.). Pearson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar