Minggu, 11 Mei 2025

Dinamika Morale: Semangat Kerja dalam Konteks Psikologi, Organisasi, dan Kepemimpinan

Dinamika Morale

Semangat Kerja dalam Konteks Psikologi, Organisasi, dan Kepemimpinan


Alihkan ke: Etika Profesi, Psikologi, Kepemimpinan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep morale (semangat kerja) dalam konteks psikologi, organisasi, dan kepemimpinan. Morale dipahami sebagai keadaan mental dan emosional individu atau kelompok yang memengaruhi motivasi, kepuasan kerja, serta keterikatan terhadap lingkungan kerja. Melalui kajian teoritis yang mencakup perspektif Abraham Maslow, Frederick Herzberg, Edward Deci dan Richard Ryan, serta Amy Edmondson, artikel ini menjelaskan bahwa morale dibentuk oleh interaksi antara faktor internal (nilai pribadi, persepsi, motivasi intrinsik) dan faktor eksternal (kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, dan iklim kerja). Analisis mendalam juga diberikan mengenai dampak morale terhadap produktivitas dan kinerja organisasi, serta bagaimana morale menjadi aset strategis dalam menghadapi krisis dan perubahan. Artikel ini menyoroti pentingnya kepemimpinan resilien, komunikasi empatik, dan penciptaan psychological safety sebagai strategi peningkatan dan pemulihan morale. Dengan landasan teoritis dan referensi empiris yang kuat, artikel ini memberikan kontribusi penting bagi pengembangan kebijakan sumber daya manusia dan kepemimpinan berkelanjutan dalam organisasi modern.

Kata Kunci: morale, semangat kerja, kepemimpinan, motivasi intrinsik, budaya organisasi, psychological safety, produktivitas, krisis organisasi, self-determination theory, employee engagement.


PEMBAHASAN

Memahami Semangat Kerja dalam Konteks Psikologi, Organisasi, dan Kepemimpinan


1.           Pendahuluan

Dalam setiap organisasi, baik di sektor publik maupun swasta, terdapat satu unsur tak kasat mata yang sangat memengaruhi keberhasilan kerja kolektif: morale, atau semangat kerja. Morale mencerminkan keadaan emosional dan mental seseorang atau sekelompok orang yang berhubungan dengan rasa puas, antusiasme, dan kesetiaan terhadap pekerjaan, rekan kerja, serta institusi tempat mereka berada. Dalam konteks manajemen modern, morale dianggap sebagai indikator penting terhadap produktivitas, efisiensi kerja, dan stabilitas internal suatu organisasi. Ketika morale tinggi, individu akan menunjukkan dedikasi, rasa memiliki, dan motivasi yang kuat untuk berkontribusi secara maksimal. Sebaliknya, morale yang rendah sering kali diikuti dengan meningkatnya tingkat absensi, konflik internal, dan menurunnya kinerja secara keseluruhan¹.

Secara historis, konsep morale telah dikaji dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan ilmu organisasi. Dalam psikologi, morale berkaitan erat dengan motivasi intrinsik, persepsi diri, dan kesejahteraan emosional. Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, kebutuhan akan rasa memiliki dan penghargaan merupakan fondasi penting dalam pembentukan morale yang sehat². Sementara itu, dalam studi perilaku organisasi, morale sering dipandang sebagai hasil dari interaksi antara struktur organisasi, gaya kepemimpinan, dan iklim kerja. Stephen P. Robbins menjelaskan bahwa morale adalah “perasaan umum dari kepuasan dan antusiasme yang dimiliki karyawan terhadap organisasi dan tugas yang mereka jalani”³.

Perkembangan terbaru dalam dunia kerja, terutama pasca pandemi COVID-19, semakin memperkuat pentingnya morale sebagai faktor krusial dalam ketahanan dan kelangsungan organisasi. Ketika tuntutan pekerjaan meningkat dan lingkungan kerja menjadi lebih tidak pasti, maka pengelolaan morale menjadi tugas strategis bagi pemimpin organisasi. Oleh karena itu, memahami morale tidak hanya berarti mengenali gejala-gejala psikologis yang muncul, tetapi juga menelaah secara kritis dinamika sosial, struktural, dan kepemimpinan yang membentuknya.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang morale dengan meninjau dimensi psikologis, organisatoris, dan kepemimpinan yang mempengaruhinya. Dengan mengacu pada teori-teori akademik yang mapan dan hasil-hasil studi empiris, artikel ini juga berupaya menyajikan wawasan praktis tentang bagaimana membangun, mempertahankan, dan meningkatkan morale dalam berbagai konteks organisasi modern.


Footnotes

[1]                John W. Newstrom dan Keith Davis, Organizational Behavior: Human Behavior at Work, 11th ed. (New York: McGraw-Hill, 2002), 109.

[2]                Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological Review 50, no. 4 (1943): 370–396.

[3]                Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Organizational Behavior, 18th ed. (Boston: Pearson, 2019), 95.


2.           Morale dalam Perspektif Teoretis

Pemahaman tentang morale tidak dapat dilepaskan dari berbagai kerangka teoretis yang berkembang dalam ilmu psikologi dan perilaku organisasi. Secara umum, morale diposisikan sebagai produk dari interaksi antara kebutuhan pribadi, persepsi terhadap lingkungan kerja, dan hubungan antarindividu di dalam organisasi. Dalam sejarah teori manajemen modern, morale sering kali dikaitkan dengan kepuasan kerja (job satisfaction), motivasi (motivation), dan keterikatan kerja (employee engagement)—meskipun ketiganya memiliki dimensi yang berbeda namun saling berkaitan.

Salah satu pendekatan awal terhadap pemahaman morale dapat ditelusuri ke Human Relations Movement yang dipelopori oleh Elton Mayo melalui studi terkenal Hawthorne Studies di tahun 1920-an dan 1930-an. Mayo menemukan bahwa perhatian terhadap kebutuhan sosial karyawan dan lingkungan kerja yang mendukung memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan semangat kerja dan produktivitas⁽¹⁾. Temuan ini membuka jalan bagi pendekatan yang lebih manusiawi dalam teori manajemen dan mendorong fokus baru terhadap pentingnya faktor-faktor psikososial dalam lingkungan kerja.

Dalam teori kebutuhan Maslow, morale dihubungkan dengan tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi, khususnya kebutuhan akan penghargaan (esteem) dan aktualisasi diri (self-actualization)⁽²⁾. Ketika kebutuhan dasar karyawan telah terpenuhi, mereka akan terdorong oleh pencapaian yang bermakna, pengakuan dari rekan kerja dan pimpinan, serta kesempatan untuk berkembang. Dalam konteks ini, morale menjadi cerminan dari terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara psikologis dan sosial.

Teori motivasi dua faktor (Two-Factor Theory) yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg memberikan pemisahan penting antara faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan (motivator) dan yang menyebabkan ketidakpuasan (hygiene factors). Menurut Herzberg, morale yang tinggi biasanya lahir dari adanya motivator seperti pencapaian, pengakuan, dan tanggung jawab, bukan semata dari faktor eksternal seperti gaji atau kondisi kerja⁽³⁾. Dengan kata lain, morale bukan hanya hasil dari penghapusan ketidakpuasan, tetapi muncul ketika individu merasa bahwa pekerjaannya bermakna dan dihargai.

Selain itu, pendekatan teori X dan teori Y dari Douglas McGregor juga menyumbangkan pemahaman penting tentang morale. Dalam Teori X, karyawan diasumsikan secara alami malas dan harus diawasi ketat. Sebaliknya, Teori Y memandang bahwa individu akan menunjukkan antusiasme dan inisiatif jika diberi kesempatan untuk berpartisipasi dan diberi kepercayaan. Lingkungan yang dibentuk oleh Teori Y secara langsung mendukung peningkatan morale melalui otonomi dan partisipasi⁽⁴⁾.

Dalam teori kontemporer, employee engagement seperti dikembangkan oleh William Kahn menunjukkan bahwa keterlibatan emosional dan kognitif individu dalam pekerjaan sangat berhubungan erat dengan morale. Engagement tinggi mengindikasikan kehadiran aspek-aspek seperti semangat, rasa memiliki, dan koneksi terhadap tujuan organisasi, yang semuanya merupakan indikator utama dari morale yang sehat⁽⁵⁾.

Secara teoretis, morale dapat disimpulkan sebagai kondisi psikologis dan sosiologis yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai variabel intrapersonal dan organisasi. Kerangka teori yang beragam ini memungkinkan pemimpin dan pengelola sumber daya manusia untuk memahami bahwa morale bukan hanya sekadar perasaan senang dalam bekerja, melainkan refleksi dari kedalaman relasi antara individu dan lingkungan kerjanya.


Footnotes

[1]                Elton Mayo, The Human Problems of an Industrial Civilization (New York: Macmillan, 1933), 66–70.

[2]                Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological Review 50, no. 4 (1943): 370–396.

[3]                Frederick Herzberg, Work and the Nature of Man (Cleveland: World Publishing, 1966), 113–120.

[4]                Douglas McGregor, The Human Side of Enterprise (New York: McGraw-Hill, 1960), 47–48.

[5]                William A. Kahn, “Psychological Conditions of Personal Engagement and Disengagement at Work,” Academy of Management Journal 33, no. 4 (1990): 692–724.


3.           Dimensi Psikologis Morale

Dalam kerangka psikologi kerja, morale tidak sekadar dipahami sebagai respons afektif terhadap pekerjaan, melainkan sebagai suatu kondisi psikologis kompleks yang mencakup aspek kognitif, emosional, dan motivasional. Dimensi psikologis ini berakar pada interaksi antara persepsi individu terhadap nilai pekerjaannya, rasa efikasi diri, serta keterhubungan sosial dengan lingkungan kerja. Oleh karena itu, memahami morale dari sisi psikologi berarti menelaah proses-proses mental dan emosional yang menopang semangat kerja individu maupun kolektif dalam organisasi.

3.1.       Aspek Kognitif dan Emosional

Secara kognitif, morale melibatkan penilaian individu terhadap makna dan signifikansi pekerjaannya. Ketika seseorang memandang bahwa tugas yang ia jalani bermakna dan sesuai dengan nilai-nilai pribadinya, maka akan terbentuk rasa bangga dan komitmen terhadap peran yang dijalankan. Teori meaningful work menekankan bahwa persepsi atas kebermaknaan tugas berperan penting dalam membentuk kepuasan dan loyalitas kerja⁽¹⁾. Sementara dari sisi emosional, morale berkaitan erat dengan afek positif seperti semangat, antusiasme, dan harapan, yang menjadi indikator kesejahteraan psikologis di tempat kerja.

Daniel Goleman, dalam kerangka emotional intelligence, menekankan pentingnya kesadaran diri (self-awareness) dan pengelolaan emosi (self-regulation) dalam menciptakan morale yang stabil. Individu dengan kecerdasan emosional tinggi lebih mampu menavigasi tekanan dan membangun hubungan interpersonal yang harmonis, yang merupakan landasan utama bagi terciptanya semangat kerja kolektif yang sehat⁽²⁾.

3.2.       Peran Self-Efficacy dan Self-Determination

Konsep self-efficacy dari Albert Bandura menegaskan bahwa keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas secara efektif merupakan motor psikologis yang sangat berpengaruh terhadap morale. Individu dengan tingkat self-efficacy tinggi cenderung lebih gigih, tangguh dalam menghadapi tantangan, serta memiliki semangat juang yang tinggi⁽³⁾. Keyakinan inilah yang memberikan kekuatan psikologis bagi seseorang untuk terlibat secara aktif dan penuh dedikasi dalam pekerjaannya.

Sementara itu, teori Self-Determination yang dikembangkan oleh Edward Deci dan Richard Ryan menyoroti pentingnya tiga kebutuhan psikologis dasar dalam membangun morale: kebutuhan akan kompetensi, otonomi, dan keterhubungan sosial. Ketika individu merasa kompeten, diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan, dan memiliki relasi interpersonal yang mendukung, maka morale akan berkembang secara optimal⁽⁴⁾.

3.3.       Dampak Stres, Burnout, dan Coping Mechanisms

Di sisi lain, tekanan kerja yang terus-menerus tanpa dukungan psikologis dapat meruntuhkan morale. Stres kronis, apalagi yang disertai dengan gejala burnout seperti kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan rasa pencapaian, merupakan musuh utama semangat kerja. Christina Maslach mencatat bahwa burnout tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga merusak keterikatan emosional terhadap pekerjaan dan rekan kerja⁽⁵⁾.

Strategi coping, baik yang bersifat problem-focused maupun emotion-focused, memegang peran penting dalam menjaga stabilitas psikologis. Individu yang mampu mengelola tekanan dengan cara yang adaptif akan lebih mampu mempertahankan morale, bahkan dalam situasi sulit. Oleh karena itu, organisasi yang menyediakan dukungan psikologis seperti konseling, fleksibilitas kerja, atau pengakuan atas usaha individu cenderung memiliki tingkat morale yang lebih tinggi secara kolektif.


Footnotes

[1]                Michael F. Steger, “Meaning in Life and Work: A Developmental Perspective,” in Purpose and Meaning in the Workplace, ed. Bryan J. Dik, Zinta S. Byrne, and Michael F. Steger (Washington, DC: American Psychological Association, 2013), 59–81.

[2]                Daniel Goleman, Emotional Intelligence (New York: Bantam Books, 1995), 87–112.

[3]                Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New York: W.H. Freeman, 1997), 36–42.

[4]                Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum, 1985), 31–47.

[5]                Christina Maslach and Michael P. Leiter, The Truth About Burnout: How Organizations Cause Personal Stress and What to Do About It (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 15–29.


4.           Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Morale

Tingkat morale dalam suatu organisasi tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk melalui interaksi kompleks antara berbagai faktor internal dan eksternal yang memengaruhi kondisi psikologis serta sosial para anggotanya. Pemahaman tentang faktor-faktor yang memengaruhi morale penting bagi para pemimpin dan manajer agar dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, produktif, dan berkelanjutan.

4.1.       Faktor Internal: Nilai Pribadi, Persepsi, dan Motivasi Intrinsik

Faktor internal berkaitan dengan aspek individual yang melekat pada diri setiap karyawan, seperti sistem nilai, kepribadian, dan motivasi. Karyawan yang memiliki nilai-nilai personal yang selaras dengan visi organisasi cenderung memiliki morale yang tinggi karena merasa bahwa pekerjaan mereka bermakna dan sesuai dengan tujuan hidup mereka⁽¹⁾. Selain itu, persepsi individu terhadap keadilan, transparansi, dan penghargaan memainkan peran penting dalam menumbuhkan rasa percaya dan kepuasan batin terhadap lingkungan kerja.

Motivasi intrinsik—dorongan yang berasal dari dalam diri individu seperti kebutuhan akan pencapaian atau perkembangan diri—juga terbukti meningkatkan morale. Deci dan Ryan menekankan bahwa ketika individu merasa memiliki kendali atas tugas yang mereka lakukan dan diberi ruang untuk berkembang secara otonom, maka semangat kerja mereka meningkat secara signifikan⁽²⁾.

4.2.       Faktor Eksternal: Kepemimpinan, Budaya Organisasi, dan Iklim Kerja

Di sisi eksternal, gaya kepemimpinan memiliki pengaruh krusial terhadap pembentukan morale. Pemimpin yang menerapkan gaya transformasional, yang mendorong partisipasi, memberi inspirasi, dan memfasilitasi pengembangan individu, cenderung meningkatkan semangat kolektif dan loyalitas kerja⁽³⁾. Sebaliknya, kepemimpinan otoriter atau birokratis yang minim partisipasi dan komunikasi dapat menurunkan morale secara drastis.

Budaya organisasi yang menekankan pada nilai-nilai kolaboratif, penghargaan terhadap kontribusi individu, serta keterbukaan dalam komunikasi juga berdampak besar terhadap morale. Schein menjelaskan bahwa budaya organisasi yang sehat dapat memperkuat identitas kolektif, memberikan makna terhadap pekerjaan, dan menumbuhkan semangat untuk berkontribusi bersama⁽⁴⁾.

Iklim kerja—yakni persepsi karyawan terhadap lingkungan sosial dan struktural organisasi—merupakan dimensi lain yang memengaruhi morale. Iklim yang suportif, tidak penuh tekanan, serta memungkinkan relasi sosial yang positif antara rekan kerja akan meningkatkan rasa nyaman dan keterikatan emosional terhadap pekerjaan. Studi Robbins dan Judge menunjukkan bahwa kondisi kerja yang baik, termasuk kenyamanan fisik, fleksibilitas waktu, dan komunikasi interpersonal yang sehat, merupakan prediktor utama terhadap tingkat morale karyawan⁽⁵⁾.

4.3.       Studi Kasus dan Konteks Institusional

Dalam konteks lembaga pendidikan, misalnya, morale guru terbukti sangat dipengaruhi oleh dukungan kepemimpinan kepala sekolah, kesempatan pengembangan profesional, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Penelitian oleh Dinham dan Scott menunjukkan bahwa guru dengan morale tinggi tidak hanya lebih produktif, tetapi juga lebih mampu membangun hubungan positif dengan siswa⁽⁶⁾.

Demikian pula dalam organisasi militer, semangat juang prajurit sangat dipengaruhi oleh kohesi kelompok, kepemimpinan lapangan, serta makna simbolis dari tugas yang dijalankan. Tingginya unit cohesion dalam unit militer telah terbukti menjadi penentu utama combat morale yang bertahan bahkan dalam kondisi ekstrem⁽⁷⁾.

Dengan demikian, pengelolaan morale memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya memperhatikan insentif material, tetapi juga aspek-aspek relasional, kultural, dan psikologis yang membentuk pengalaman kerja sehari-hari.


Footnotes

[1]                Rokeach, Milton. The Nature of Human Values (New York: Free Press, 1973), 58–61.

[2]                Deci, Edward L., dan Richard M. Ryan. Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum, 1985), 45–63.

[3]                Bass, Bernard M., dan Ronald E. Riggio. Transformational Leadership, 2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 2006), 35–44.

[4]                Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadership, 5th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2017), 160–176.

[5]                Robbins, Stephen P., dan Timothy A. Judge. Organizational Behavior, 18th ed. (Boston: Pearson, 2019), 105–120.

[6]                Dinham, Stephen, dan Catherine Scott. “Teacher Satisfaction, Motivation and Health: Phase One of the Teacher 2000 Project,” Educational Research and Perspectives 26, no. 1 (1999): 45–65.

[7]                Shils, Edward A., dan Morris Janowitz. “Cohesion and Disintegration in the Wehrmacht in World War II,” Public Opinion Quarterly 12, no. 2 (1948): 280–315.


5.           Morale dan Kepemimpinan

Kepemimpinan memainkan peran sentral dalam membentuk, mempertahankan, dan meningkatkan morale di dalam suatu organisasi. Pemimpin tidak hanya bertindak sebagai pengarah tujuan, tetapi juga sebagai pengelola emosi kolektif dan pencipta makna kerja bagi anggota tim. Dalam banyak kajian psikologi organisasi, ditemukan bahwa gaya dan kualitas kepemimpinan memiliki korelasi langsung dengan tingkat semangat kerja individu maupun kelompok. Morale yang tinggi sering kali merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif, visioner, dan empatik; sementara morale yang rendah mencerminkan kegagalan dalam menciptakan kepercayaan, penghargaan, dan rasa keterlibatan.

5.1.       Gaya Kepemimpinan dan Dampaknya terhadap Morale

Gaya kepemimpinan yang berbeda menghasilkan pengaruh yang berbeda pula terhadap morale. Pemimpin dengan pendekatan transformasional mampu membangun semangat kerja yang tinggi dengan cara menginspirasi visi bersama, memotivasi secara intrinsik, dan memberi perhatian individual kepada anggota tim. Bernard M. Bass menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional beroperasi melalui empat komponen utama: pengaruh idealis (idealized influence), motivasi inspiratif, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual, yang semuanya berkaitan erat dengan pembentukan semangat kerja yang kuat dan loyalitas yang mendalam⁽¹⁾.

Sebaliknya, gaya transaksional yang lebih menekankan pada hubungan imbal-balik berdasarkan penghargaan dan hukuman, cenderung menciptakan morale yang bersifat kondisional dan dangkal. Meskipun efektif dalam jangka pendek untuk mengatur kepatuhan dan struktur, kepemimpinan transaksional kurang mampu membangun keterlibatan emosional dan jangka panjang⁽²⁾.

Dalam praktiknya, kepemimpinan otentik juga menunjukkan dampak positif terhadap morale. Pemimpin otentik—yakni mereka yang bertindak secara konsisten dengan nilai-nilai pribadi, menunjukkan integritas, dan terbuka terhadap masukan—mampu menciptakan iklim kepercayaan dan psikologis yang aman, yang mendorong semangat kerja secara natural⁽³⁾.

5.2.       Kepemimpinan Situasional dalam Meningkatkan Morale

Efektivitas kepemimpinan dalam mengelola morale juga sangat bergantung pada konteks. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard mengembangkan teori kepemimpinan situasional yang menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan harus disesuaikan dengan tingkat kesiapan dan kompetensi anggota tim⁽⁴⁾. Dalam situasi krisis, misalnya, gaya direktif dan pengambilan keputusan cepat mungkin dibutuhkan; sementara dalam kondisi stabil, gaya partisipatif akan lebih efektif dalam membangun keterlibatan dan semangat tim.

Studi dalam organisasi militer dan lembaga tanggap bencana menunjukkan bahwa kepemimpinan yang adaptif dan responsif terhadap dinamika situasi mampu mempertahankan morale meskipun berada dalam kondisi penuh tekanan dan ketidakpastian⁽⁵⁾.

5.3.       Kualitas Relasional antara Pemimpin dan Anggota

Kualitas hubungan antara pemimpin dan bawahan menjadi penentu utama morale. Leader-Member Exchange (LMX) Theory menyoroti bahwa hubungan yang bersifat saling percaya, terbuka, dan suportif menciptakan suasana kerja yang penuh antusiasme dan loyalitas. Dalam relasi LMX yang tinggi, karyawan merasa lebih dihargai dan lebih cenderung menunjukkan perilaku proaktif, yang memperkuat semangat kolektif organisasi⁽⁶⁾.

Selain itu, komunikasi efektif dari pemimpin, baik verbal maupun non-verbal, juga berperan vital dalam menjaga morale. Pesan-pesan motivasional yang disampaikan secara empatik, apresiasi terhadap kontribusi individu, serta penyediaan umpan balik yang konstruktif menjadi sumber utama penguatan psikologis bagi karyawan⁽⁷⁾.

5.4.       Kepemimpinan Moral dan Etika dalam Menumbuhkan Morale

Aspek moralitas dalam kepemimpinan tidak dapat diabaikan dalam pembentukan morale. Pemimpin yang berpegang pada prinsip etis, bersikap adil, dan mempromosikan integritas, akan menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman di antara anggota organisasi. Studi yang dilakukan oleh Brown dan Treviño menunjukkan bahwa ethical leadership berkorelasi positif dengan tingkat job satisfaction, keterlibatan kerja, dan morale secara umum⁽⁸⁾.

Dengan demikian, kepemimpinan yang efektif dalam membangun morale adalah kepemimpinan yang tidak hanya strategis secara manajerial, tetapi juga sensitif secara emosional, fleksibel dalam konteks, relasional secara personal, dan berakar pada nilai-nilai moral yang kokoh.


Footnotes

[1]                Bernard M. Bass dan Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 5–12.

[2]                Gary Yukl, Leadership in Organizations, 8th ed. (Boston: Pearson, 2013), 313–317.

[3]                Bruce J. Avolio dan William L. Gardner, “Authentic Leadership Development: Getting to the Root of Positive Forms of Leadership,” The Leadership Quarterly 16, no. 3 (2005): 315–338.

[4]                Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard, dan Dewey E. Johnson, Management of Organizational Behavior: Leading Human Resources, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2013), 129–135.

[5]                David R. Hogg, “Leadership and Morale in Crisis Situations,” Armed Forces & Society 31, no. 4 (2005): 569–588.

[6]                George B. Graen dan Mary Uhl-Bien, “Relationship-Based Approach to Leadership: Development of Leader–Member Exchange (LMX) Theory of Leadership over 25 Years,” The Leadership Quarterly 6, no. 2 (1995): 219–247.

[7]                Michael Z. Hackman dan Craig E. Johnson, Leadership: A Communication Perspective, 7th ed. (Long Grove, IL: Waveland Press, 2013), 145–152.

[8]                Michael E. Brown dan Linda K. Treviño, “Ethical Leadership: A Review and Future Directions,” The Leadership Quarterly 17, no. 6 (2006): 595–616.


6.           Dampak Morale terhadap Produktivitas dan Kinerja

Moral yang tinggi dalam lingkungan kerja bukan hanya berdampak pada kondisi psikologis individu, tetapi juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas, efektivitas, dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Sejumlah penelitian lintas disiplin telah membuktikan bahwa semangat kerja yang baik mendorong peningkatan partisipasi, pengurangan konflik internal, serta peningkatan kualitas output kerja. Sebaliknya, morale yang rendah berkorelasi dengan berbagai bentuk disfungsi organisasi seperti absensi tinggi, turnover, resistensi terhadap perubahan, dan penurunan loyalitas.

6.1.       Hubungan antara Morale dan Kinerja Individu

Secara individual, morale memengaruhi bagaimana seseorang memandang tugasnya, bagaimana ia merespons tantangan, serta seberapa jauh ia bersedia berkontribusi melebihi tuntutan formal. Studi yang dilakukan oleh Locke menyatakan bahwa karyawan dengan tingkat job satisfaction dan morale yang tinggi cenderung menunjukkan organizational citizenship behavior (OCB)—yakni perilaku sukarela yang meningkatkan fungsi organisasi meskipun tidak tercantum dalam uraian tugas⁽¹⁾. Ini mencakup inisiatif pribadi, kesediaan membantu rekan kerja, serta kepatuhan terhadap kebijakan organisasi dengan semangat kolaboratif.

Lebih lanjut, hasil studi oleh Bandura menunjukkan bahwa self-efficacy, yang menjadi salah satu komponen pembentuk morale, berkaitan erat dengan peningkatan persistensi, kreativitas, dan performa kerja dalam situasi penuh tantangan⁽²⁾. Karyawan yang memiliki semangat juang tinggi juga lebih cenderung mencari solusi daripada menyalahkan keadaan, menunjukkan bahwa morale menjadi penggerak utama problem-focused behavior dalam dunia kerja.

6.2.       Dampak Kolektif terhadap Produktivitas Organisasi

Dalam skala kelompok atau organisasi, morale yang tinggi menciptakan team cohesion, komunikasi yang terbuka, serta sinergi yang kuat antarbagian. Studi Harter, Schmidt, dan Hayes yang menganalisis lebih dari 7.900 unit bisnis dari berbagai industri menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara tingkat kepuasan karyawan (indikator morale) dan indikator-indikator produktivitas seperti profitabilitas, kepuasan pelanggan, dan retensi pegawai⁽³⁾. Unit-unit kerja dengan employee morale tinggi juga menunjukkan tingkat keselamatan kerja yang lebih baik dan jumlah kecelakaan kerja yang lebih rendah.

Produktivitas tidak hanya mencerminkan output kuantitatif, tetapi juga kualitas pelayanan, efisiensi proses kerja, serta inovasi yang dihasilkan. Ketika individu merasa dihargai dan terlibat secara emosional, mereka lebih terdorong untuk mengembangkan ide-ide baru dan menyelesaikan masalah dengan pendekatan kolaboratif. Google, dalam internal study-nya (Project Aristotle), menemukan bahwa faktor yang paling menentukan dalam tim-tim berkinerja tinggi adalah psychological safety, yaitu suasana kerja yang memungkinkan anggota untuk mengambil risiko interpersonal tanpa rasa takut, yang berakar dari tingginya morale dalam tim⁽⁴⁾.

6.3.       Konsekuensi dari Low Morale

Sebaliknya, low morale menjadi indikator awal dari berbagai gejala disfungsi organisasi. Absensi kerja meningkat secara signifikan ketika karyawan kehilangan semangat dan keterikatan terhadap pekerjaan. Hal ini diperparah oleh penurunan produktivitas akibat kelelahan emosional dan disengagement. Penelitian Maslach dan Jackson menunjukkan bahwa burnout yang berkelanjutan sebagai akibat dari low morale berdampak langsung pada turunnya kualitas kerja, menurunnya empati antarpegawai, dan meningkatnya konflik horizontal⁽⁵⁾.

Dalam jangka panjang, organisasi dengan tingkat morale rendah mengalami tingkat turnover tinggi yang mengakibatkan kerugian finansial akibat biaya rekrutmen dan pelatihan ulang, serta hilangnya pengetahuan institusional. Sebuah studi oleh Gallup menemukan bahwa karyawan yang tidak terlibat secara emosional dalam pekerjaannya menyebabkan kerugian produktivitas global hingga miliaran dolar per tahun⁽⁶⁾.

6.4.       Studi Kasus Empiris

Sebagai contoh nyata, Southwest Airlines secara konsisten menunjukkan kinerja tinggi dalam industri penerbangan berkat fokus strategis pada employee morale dan budaya kerja yang positif. Dengan memprioritaskan keterlibatan dan penghargaan terhadap karyawan, Southwest berhasil menekan tingkat turnover dan menciptakan pelayanan pelanggan yang konsisten dan ramah, sehingga mendongkrak loyalitas konsumen dan reputasi merek⁽⁷⁾.

Dengan demikian, morale bukanlah sekadar fenomena psikologis, tetapi menjadi strategic asset yang menentukan daya saing dan keberlanjutan organisasi. Investasi dalam pembangunan morale harus dilihat sebagai bagian integral dari manajemen kinerja dan pengembangan sumber daya manusia.


Footnotes

[1]                Edwin A. Locke, “The Nature and Causes of Job Satisfaction,” dalam Handbook of Industrial and Organizational Psychology, ed. Marvin D. Dunnette (Chicago: Rand McNally, 1976), 1290–1343.

[2]                Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New York: W.H. Freeman, 1997), 66–70.

[3]                James K. Harter, Frank L. Schmidt, dan Theodore L. Hayes, “Business-Unit-Level Relationship Between Employee Satisfaction, Employee Engagement, and Business Outcomes: A Meta-Analysis,” Journal of Applied Psychology 87, no. 2 (2002): 268–279.

[4]                Julia Rozovsky, “The Five Keys to a Successful Google Team,” re:Work (2015), https://rework.withgoogle.com/blog/five-keys-to-a-successful-google-team/.

[5]                Christina Maslach dan Susan E. Jackson, “The Measurement of Experienced Burnout,” Journal of Occupational Behavior 2, no. 2 (1981): 99–113.

[6]                Gallup, State of the Global Workplace: 2021 Report (Washington, DC: Gallup Press, 2021), 17–23.

[7]                Kevin Freiberg dan Jackie Freiberg, Nuts!: Southwest Airlines' Crazy Recipe for Business and Personal Success (Austin, TX: Bard Press, 1996), 88–104.


7.           Strategi Meningkatkan Morale

Meningkatkan morale dalam lingkungan kerja merupakan tantangan sekaligus kebutuhan strategis bagi setiap organisasi yang ingin mempertahankan kinerja tinggi dan kohesi tim. Strategi yang efektif tidak hanya menyasar peningkatan kesejahteraan fisik atau kompensasi material, tetapi juga harus mencakup dimensi psikologis, sosial, dan nilai-nilai budaya organisasi. Pendekatan yang bersifat holistik dan berkelanjutan terbukti lebih efektif dalam membangun semangat kerja yang tinggi dan tahan uji terhadap dinamika perubahan.

7.1.       Pengakuan dan Penghargaan yang Otentik

Salah satu strategi paling dasar dan terbukti efektif dalam meningkatkan morale adalah memberikan penghargaan atas pencapaian dan kontribusi individu maupun tim. Herzberg menekankan bahwa pengakuan (recognition) merupakan salah satu faktor motivator intrinsik yang dapat meningkatkan semangat kerja secara signifikan⁽¹⁾. Bentuk penghargaan ini tidak selalu harus bersifat material, tetapi bisa berupa ucapan terima kasih, publikasi pencapaian, atau penugasan tanggung jawab baru yang menunjukkan kepercayaan pimpinan.

Penghargaan yang otentik dan diberikan tepat waktu memperkuat rasa harga diri dan mempertegas posisi individu sebagai bagian berharga dari organisasi. Penelitian oleh Nelson dan Spitzer menegaskan bahwa “people work for money but go the extra mile for recognition”⁽²⁾.

7.2.       Komunikasi Terbuka dan Kepemimpinan Partisipatif

Morale meningkat dalam organisasi yang mendorong komunikasi terbuka dan partisipatif. Kepemimpinan yang bersifat transparan dan terbuka terhadap umpan balik mampu menciptakan iklim psikologis yang aman dan membangun kepercayaan horizontal dan vertikal. Hackman dan Johnson menyebutkan bahwa komunikasi yang efektif antara pemimpin dan anggota organisasi merupakan salah satu determinan utama dari semangat kerja dan keterlibatan emosional⁽³⁾.

Mekanisme komunikasi dua arah seperti forum diskusi, town hall meeting, atau feedback loop rutin memberi ruang bagi karyawan untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan, sehingga mereka merasa dihargai dan didengarkan.

7.3.       Pengembangan Profesional dan Kesempatan Belajar

Strategi peningkatan morale yang berkelanjutan memerlukan investasi dalam capacity building individu. Karyawan yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pelatihan, seminar, atau jenjang karier yang jelas, akan merasa bahwa organisasi memperhatikan masa depan mereka. Deci dan Ryan menyatakan bahwa morale dipengaruhi secara kuat oleh pemenuhan kebutuhan akan kompetensi dan pertumbuhan pribadi⁽⁴⁾.

Dalam praktiknya, banyak perusahaan progresif seperti Google dan Microsoft menerapkan kebijakan learning culture dengan menyediakan akses luas terhadap platform belajar daring, pelatihan internal, dan program mentoring.

7.4.       Membangun Lingkungan Kerja yang Sehat dan Inklusif

Lingkungan kerja yang nyaman secara fisik dan psikologis juga merupakan pilar penting dalam strategi peningkatan morale. Hal ini mencakup kebijakan fleksibilitas kerja (work-life balance), penataan ruang kerja yang ergonomis, serta kebijakan non-diskriminatif dan inklusif. Organisasi yang menunjukkan komitmen terhadap kesejahteraan karyawan di luar aspek profesional, seperti dukungan kesehatan mental, tunjangan keluarga, atau program rekreasi, cenderung memiliki tingkat employee morale yang lebih tinggi⁽⁵⁾.

Program well-being yang terintegrasi dalam budaya organisasi bukan hanya meningkatkan semangat kerja, tetapi juga menurunkan tingkat stres dan burnout yang berpotensi merusak produktivitas jangka panjang.

7.5.       Membangun Visi Bersama dan Makna Pekerjaan

Akhirnya, morale yang tinggi sangat dipengaruhi oleh makna dan arah yang dirasakan oleh karyawan dalam pekerjaannya. Ketika individu memahami kontribusi pekerjaannya terhadap visi yang lebih besar dan merasa bahwa tugasnya memiliki dampak sosial atau moral, maka intrinsic morale akan tumbuh kuat. Steger dalam kajiannya menunjukkan bahwa meaningful work adalah prediktor utama kepuasan kerja dan semangat dalam bekerja⁽⁶⁾.

Pemimpin organisasi harus secara aktif mengomunikasikan visi dan nilai organisasi secara inspiratif dan relevan dengan pengalaman sehari-hari karyawan.


Footnotes

[1]                Frederick Herzberg, Work and the Nature of Man (Cleveland: World Publishing, 1966), 76–82.

[2]                Bob Nelson dan Dean Spitzer, The 1001 Rewards & Recognition Fieldbook (New York: Workman Publishing, 2003), 22.

[3]                Michael Z. Hackman dan Craig E. Johnson, Leadership: A Communication Perspective, 7th ed. (Long Grove, IL: Waveland Press, 2013), 112–115.

[4]                Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New York: Guilford Press, 2017), 89–97.

[5]                Gallup, State of the Global Workplace: 2021 Report (Washington, DC: Gallup Press, 2021), 31–36.

[6]                Michael F. Steger, Purpose and Meaning in the Workplace (Washington, DC: American Psychological Association, 2013), 59–81.


8.           Morale dalam Konteks Krisis dan Perubahan

Krisis dan perubahan adalah bagian tak terhindarkan dalam dinamika organisasi modern. Baik itu berupa restrukturisasi, disrupsi teknologi, pandemi global, maupun konflik internal, setiap bentuk krisis membawa potensi signifikan untuk mengguncang morale karyawan. Dalam kondisi semacam ini, semangat kerja yang semula stabil dapat dengan cepat menurun akibat ketidakpastian, tekanan emosional, dan berkurangnya rasa aman dalam bekerja. Oleh karena itu, memahami dinamika morale dalam konteks krisis menjadi kunci bagi organisasi untuk mempertahankan keberlanjutan dan kohesi.

8.1.       Efek Krisis terhadap Psikologis Individu dan Organisasi

Secara psikologis, krisis memicu respons emosional yang intens seperti kecemasan, kebingungan, bahkan ketakutan kehilangan pekerjaan atau identitas profesional. Lazarus dan Folkman dalam teori stres transaksionalnya menekankan bahwa persepsi terhadap ancaman yang tidak dapat dikendalikan secara langsung berpengaruh terhadap motivasi dan morale⁽¹⁾. Dalam organisasi, krisis sering kali menimbulkan ketegangan antarunit, meningkatnya beban kerja, dan komunikasi yang terganggu—semua faktor yang memperburuk semangat kerja.

Sebuah studi oleh McKinsey & Company menunjukkan bahwa selama krisis COVID-19, organisasi yang gagal membangun komunikasi yang empatik dan transparan mengalami penurunan keterlibatan karyawan (employee engagement) hingga lebih dari 25%, yang menjadi indikasi rendahnya morale secara kolektif⁽²⁾.

8.2.       Kepemimpinan Resilien dan Morale Stabilization

Dalam konteks krisis, kualitas kepemimpinan menjadi penentu utama dalam menjaga dan memulihkan morale. Pemimpin yang menunjukkan resilience, kemampuan beradaptasi, dan keberanian mengambil keputusan strategis di tengah ketidakpastian cenderung berhasil menjaga kepercayaan dan semangat tim. Coutu menggarisbawahi bahwa kepemimpinan resilien ditandai oleh tiga hal: penerimaan realitas, kemampuan memberi makna terhadap peristiwa krisis, dan ketangkasan improvisasi⁽³⁾.

Kepemimpinan yang memberikan arah moral, menjaga keterbukaan informasi, dan tetap menunjukkan empati terhadap kondisi individu karyawan akan mendorong terbentuknya rasa kebersamaan dan tujuan bersama. Dalam banyak kasus, krisis justru dapat menjadi momen peningkatan morale apabila dipimpin dengan visi dan empati yang kuat.

8.3.       Komunikasi Kritis dan Psychological Safety

Selama masa krisis, salah satu aspek paling krusial untuk menjaga morale adalah komunikasi yang jujur, konsisten, dan manusiawi. Edmondson memperkenalkan konsep psychological safety sebagai kondisi di mana individu merasa aman untuk mengekspresikan pendapat, mengakui kesalahan, dan bertanya tanpa takut disalahkan⁽⁴⁾. Ketika organisasi mampu menjaga psychological safety di tengah krisis, morale akan cenderung bertahan atau pulih lebih cepat karena individu merasa tetap dihargai dan dilibatkan.

Sementara itu, pendekatan komunikasi berbasis empati yang dilakukan secara rutin oleh pimpinan terbukti efektif menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kepercayaan dalam organisasi. Hal ini telah dibuktikan dalam studi yang dilakukan oleh Harvard Business Review yang mencatat bahwa komunikasi yang berfokus pada makna, penghargaan, dan arah masa depan memberikan dampak langsung pada peningkatan morale selama periode transisi sulit⁽⁵⁾.

8.4.       Strategi Adaptif: Keterlibatan dan Kolaborasi

Krisis juga menjadi momentum strategis untuk melibatkan karyawan secara lebih aktif dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Ketika individu diberi ruang untuk menyumbangkan ide, mereka merasa memiliki kendali atas situasi yang tidak pasti, yang secara langsung memperkuat morale. Pendekatan kolaboratif dan shared leadership—di mana tanggung jawab dibagi dalam tim—telah terbukti menciptakan rasa tanggung jawab kolektif yang memperkuat ketahanan emosional kelompok⁽⁶⁾.

Model ini terbukti efektif dalam sektor pelayanan publik, rumah sakit, dan organisasi kemanusiaan selama krisis kemanusiaan atau bencana alam. Di mana pun pemimpin mengintegrasikan suara karyawan dalam proses perubahan, morale justru meningkat melalui munculnya rasa solidaritas dan makna kolektif.

8.5.       Studi Kasus: Morale Pasca Krisis dan Perubahan Struktural

Studi kasus dari perusahaan teknologi Nokia saat mengalami transformasi besar pada awal 2010-an menunjukkan bahwa perubahan yang tidak diiringi dengan pengelolaan morale yang baik—terutama komunikasi dan keterlibatan—berujung pada krisis identitas dan eksodus karyawan⁽⁷⁾. Sebaliknya, IBM saat melakukan reorientasi digital berhasil mempertahankan employee morale melalui pelatihan masif, pemberian ruang partisipasi, dan komunikasi strategis yang konsisten selama transisi.

Dengan demikian, morale dalam konteks krisis dan perubahan bukanlah sesuatu yang tak terkendali, melainkan dapat dikelola melalui strategi yang tepat: kepemimpinan resilien, komunikasi empatik, keterlibatan partisipatif, dan pemeliharaan psychological safety.


Footnotes

[1]                Richard S. Lazarus dan Susan Folkman, Stress, Appraisal, and Coping (New York: Springer, 1984), 141–145.

[2]                McKinsey & Company, “COVID-19 and the Employee Experience: How Leaders Can Seize the Moment,” McKinsey Insights, July 2020, https://www.mckinsey.com.

[3]                Diane L. Coutu, “How Resilience Works,” Harvard Business Review 81, no. 5 (2002): 46–55.

[4]                Amy C. Edmondson, The Fearless Organization: Creating Psychological Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth (Hoboken, NJ: Wiley, 2019), 23–40.

[5]                Kevin Oakes, “The Most Successful Companies Emphasize Meaningful Communication in a Crisis,” Harvard Business Review, April 2020.

[6]                David M. Messick dan Roderick M. Kramer, The Psychology of Leadership: New Perspectives and Research (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 209–223.

[7]                Yves Doz dan Keeley Wilson, Ringtone: Exploring the Rise and Fall of Nokia in Mobile Phones (Oxford: Oxford University Press, 2017), 188–203.


9.           Penutup

Pembahasan mengenai morale dalam artikel ini menegaskan bahwa semangat kerja bukanlah fenomena psikologis yang bersifat statis atau sekadar efek samping dari kepuasan kerja, tetapi merupakan elemen strategis yang memengaruhi dinamika individu dan organisasi secara menyeluruh. Morale mencerminkan kondisi mental dan emosional yang muncul dari interaksi antara motivasi intrinsik, lingkungan sosial, gaya kepemimpinan, serta budaya organisasi. Oleh karena itu, pengelolaannya tidak dapat dilakukan secara parsial atau reaktif, melainkan harus menjadi bagian integral dari strategi manajerial dan pengembangan sumber daya manusia.

Dalam perspektif teoretis, berbagai pendekatan seperti teori kebutuhan Maslow, teori dua faktor Herzberg, teori self-determination, dan konsep psychological safety dari Edmondson telah memberikan pemahaman komprehensif tentang faktor-faktor pembentuk morale. Faktor internal seperti nilai pribadi, persepsi terhadap pekerjaan, serta efikasi diri, bekerja secara sinergis dengan faktor eksternal seperti kepemimpinan, iklim organisasi, dan struktur kerja dalam memengaruhi kualitas semangat kerja karyawan⁽¹⁾.

Artikel ini juga menunjukkan bahwa morale yang tinggi berdampak langsung pada peningkatan produktivitas, efisiensi, inovasi, serta loyalitas kerja. Sebaliknya, low morale dapat menimbulkan disfungsi organisasi seperti absensi, burnout, turnover, hingga penurunan reputasi institusi. Oleh sebab itu, upaya peningkatan morale perlu dirancang secara menyeluruh dengan melibatkan strategi pengakuan, komunikasi terbuka, pengembangan kompetensi, penciptaan lingkungan kerja yang sehat, serta kepemimpinan yang otentik dan resilien⁽²⁾.

Terutama dalam situasi krisis dan perubahan, peran morale menjadi lebih vital sebagai indikator ketahanan organisasi. Pemimpin yang mampu menjaga psychological safety dan mendorong partisipasi aktif anggota tim dalam menghadapi ketidakpastian terbukti lebih berhasil dalam mempertahankan stabilitas emosional dan motivasi kolektif. Hal ini memperkuat argumen bahwa morale bukan hanya aspek psikologis, tetapi juga aset institusional yang mendukung ketahanan dan keberlanjutan organisasi jangka panjang⁽³⁾.

Ke depan, tantangan organisasi modern dalam era digital, globalisasi, dan ketidakpastian yang terus meningkat menuntut pendekatan baru yang lebih adaptif dan manusiawi dalam mengelola morale. Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin, akademisi, dan praktisi sumber daya manusia untuk terus meneliti dan mengembangkan kebijakan yang responsif terhadap dinamika morale, agar organisasi tidak hanya unggul dalam aspek teknis, tetapi juga tangguh dalam aspek kemanusiaan dan psikologis.


Footnotes

[1]                Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Organizational Behavior, 18th ed. (Boston: Pearson, 2019), 97–102.

[2]                Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New York: Guilford Press, 2017), 145–152.

[3]                Amy C. Edmondson, The Fearless Organization: Creating Psychological Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth (Hoboken, NJ: Wiley, 2019), 23–40.


Daftar Pustaka

Avolio, B. J., & Gardner, W. L. (2005). Authentic leadership development: Getting to the root of positive forms of leadership. The Leadership Quarterly, 16(3), 315–338. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2005.03.001

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. W.H. Freeman.

Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational leadership (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates.

Brown, M. E., & Treviño, L. K. (2006). Ethical leadership: A review and future directions. The Leadership Quarterly, 17(6), 595–616. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2006.10.004

Coutu, D. L. (2002). How resilience works. Harvard Business Review, 80(5), 46–55.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Plenum.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2017). Self-determination theory: Basic psychological needs in motivation, development, and wellness. Guilford Press.

Dinham, S., & Scott, C. (1999). Teacher satisfaction, motivation and health: Phase one of the Teacher 2000 Project. Educational Research and Perspectives, 26(1), 45–65.

Doz, Y., & Wilson, K. (2017). Ringtone: Exploring the rise and fall of Nokia in mobile phones. Oxford University Press.

Edmondson, A. C. (2019). The fearless organization: Creating psychological safety in the workplace for learning, innovation, and growth. Wiley.

Freiberg, K., & Freiberg, J. (1996). Nuts!: Southwest Airlines' crazy recipe for business and personal success. Bard Press.

Gallup. (2021). State of the global workplace: 2021 report. Gallup Press. https://www.gallup.com

Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. Bantam Books.

Graen, G. B., & Uhl-Bien, M. (1995). Relationship-based approach to leadership: Development of leader–member exchange (LMX) theory of leadership over 25 years. The Leadership Quarterly, 6(2), 219–247. https://doi.org/10.1016/1048-9843(95)90036-5

Hackman, M. Z., & Johnson, C. E. (2013). Leadership: A communication perspective (7th ed.). Waveland Press.

Harter, J. K., Schmidt, F. L., & Hayes, T. L. (2002). Business-unit-level relationship between employee satisfaction, employee engagement, and business outcomes: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 87(2), 268–279. https://doi.org/10.1037/0021-9010.87.2.268

Herzberg, F. (1966). Work and the nature of man. World Publishing.

Hersey, P., Blanchard, K. H., & Johnson, D. E. (2013). Management of organizational behavior: Leading human resources (10th ed.). Pearson Education.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer.

Locke, E. A. (1976). The nature and causes of job satisfaction. In M. D. Dunnette (Ed.), Handbook of industrial and organizational psychology (pp. 1290–1343). Rand McNally.

Maslach, C., & Jackson, S. E. (1981). The measurement of experienced burnout. Journal of Occupational Behavior, 2(2), 99–113. https://doi.org/10.1002/job.4030020205

Maslach, C., & Leiter, M. P. (1997). The truth about burnout: How organizations cause personal stress and what to do about it. Jossey-Bass.

McGregor, D. (1960). The human side of enterprise. McGraw-Hill.

Messick, D. M., & Kramer, R. M. (2004). The psychology of leadership: New perspectives and research. Lawrence Erlbaum Associates.

Mayo, E. (1933). The human problems of an industrial civilization. Macmillan.

Nelson, B., & Spitzer, D. (2003). The 1001 rewards & recognition fieldbook: The complete guide. Workman Publishing.

Oakes, K. (2020, April). The most successful companies emphasize meaningful communication in a crisis. Harvard Business Review. https://hbr.org

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2019). Organizational behavior (18th ed.). Pearson.

Rozovsky, J. (2015). The five keys to a successful Google team. re:Work by Google. https://rework.withgoogle.com/blog/five-keys-to-a-successful-google-team/

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68

Schein, E. H. (2017). Organizational culture and leadership (5th ed.). Wiley.

Steger, M. F. (2013). Meaning in life and work: A developmental perspective. In B. J. Dik, Z. S. Byrne, & M. F. Steger (Eds.), Purpose and meaning in the workplace (pp. 59–81). American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/14183-004

Shils, E. A., & Janowitz, M. (1948). Cohesion and disintegration in the Wehrmacht in World War II. Public Opinion Quarterly, 12(2), 280–315.

Yukl, G. (2013). Leadership in organizations (8th ed.). Pearson.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar