Pengulangan Abadi
Antara Metafisika, Etika, dan Eksistensialisme
Alihkan ke: Pemikiran Friedrich Nietzsche.
Abstrak
Konsep pengulangan abadi (eternal
recurrence) dalam pemikiran Friedrich Nietzsche merupakan salah satu
gagasan paling enigmatik dan penuh kontroversi dalam sejarah filsafat modern.
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif terhadap ide tersebut dari
perspektif historis, metafisik, etis, dan eksistensial. Dimulai dengan latar
belakang intelektual Nietzsche dan konteks krisis nilai di Eropa abad ke-19,
pembahasan berlanjut pada formulasi konseptual pengulangan abadi sebagai
eksperimen pikiran yang menantang manusia untuk mengafirmasi hidupnya secara
total. Melalui pembacaan kritis terhadap karya-karya utama Nietzsche, serta
interpretasi para filsuf seperti Heidegger, Deleuze, dan Löwith, artikel ini
menunjukkan bahwa eternal recurrence tidak hanya memiliki dimensi
filosofis yang mendalam, tetapi juga relevansi kontemporer dalam etika tanggung
jawab, psikologi eksistensial, seni, dan refleksi ekologis. Di sisi lain,
artikel ini juga mengulas kritik-kritik fundamental terhadap validitas logis
dan etis konsep tersebut, termasuk keterbatasannya sebagai prinsip moral
universal. Kesimpulannya, pengulangan abadi tetap menjadi provokasi
filosofis yang produktif untuk menantang manusia modern agar hidup secara
sadar, kreatif, dan bertanggung jawab di tengah dunia yang kehilangan pusat
nilai transenden.
Kata Kunci: Friedrich Nietzsche; pengulangan abadi; etika
eksistensial; amor fati; nihilisme; afirmasi kehidupan; Heidegger; Deleuze;
filsafat modern.
PEMBAHASAN
Pengulangan Abadi dalam Pemikiran Friedrich Nietzsche
1.
Pendahuluan
Pemikiran Friedrich
Nietzsche (1844–1900) telah menjadi salah satu fondasi paling radikal dalam sejarah
filsafat modern. Ia dikenal sebagai filsuf yang menggugat fondasi metafisika
tradisional, agama institusional, dan moralitas konvensional. Salah satu konsep
paling enigmatik dan kontroversial dalam karyanya adalah pengulangan
abadi (Ewige Wiederkunft atau eternal
recurrence), yakni gagasan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini
akan terulang kembali secara persis dan tanpa perubahan dalam siklus waktu yang
abadi. Konsep ini, meskipun tampaknya bersifat kosmologis, memiliki dimensi
etis dan eksistensial yang mendalam, dan bahkan oleh sebagian interpretator
dianggap sebagai pusat sistem filsafat Nietzsche.¹
Dalam karya Also
sprach Zarathustra, Nietzsche menyajikan konsep ini tidak sebagai
postulat ilmiah, melainkan sebagai panggilan reflektif terhadap makna dan nilai
kehidupan manusia. Ia mengajukan sebuah pertanyaan eksistensial
yang mendasar: “Bagaimana jika suatu hari atau malam, setan membisikkan
padamu bahwa hidup ini harus kau jalani sekali lagi dan sekali lagi tanpa
henti...?”². Gagasan ini bukan sekadar spekulasi kosmologis, melainkan
tantangan radikal terhadap manusia untuk mengafirmasi kehidupannya secara total,
tanpa syarat dan tanpa penyesalan.
Latar belakang
historis dari munculnya konsep ini tidak dapat dilepaskan dari pergeseran
paradigma filsafat pada abad ke-19. Nietzsche hidup di tengah keruntuhan
otoritas religius tradisional dan berkembangnya positivisme ilmiah. Ia menolak
kedua ekstrem tersebut: nihilisme religius yang meniadakan dunia ini demi dunia
lain, dan materialisme mekanistik yang menghapus nilai dan makna hidup manusia.
Dalam konteks inilah eternal recurrence tampil sebagai
simbol dari krisis dan perlawanan terhadap nihilisme—yakni sebagai bentuk
afirmasi kehidupan yang tertinggi.³
Studi tentang pengulangan
abadi dalam pemikiran Nietzsche telah berkembang dalam berbagai
arah, dari pembacaan ontologis (Heidegger), dekonstruktif (Deleuze), hingga
psikoeksistensial (Frankl). Namun demikian, banyak perdebatan yang masih belum
terjawab secara tuntas: Apakah Nietzsche mengajukan konsep ini sebagai
kebenaran kosmologis? Atau sebagai eksperimen pikiran untuk menguji keteguhan
etis seseorang terhadap kehidupan?⁴. Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi
fokus dalam kajian ini.
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara menyeluruh konsep pengulangan abadi dalam filsafat
Nietzsche dengan pendekatan multi-dimensi: pertama,
mengeksplorasi akar dan formasinya dalam konteks filsafat Barat; kedua,
memahami implikasi etis dan eksistensial dari konsep tersebut; dan ketiga,
mengidentifikasi relevansinya bagi kondisi manusia kontemporer yang tengah
bergulat dengan pencarian makna hidup. Dengan mendasarkan pembahasan pada
karya-karya primer Nietzsche dan telaah kritis para pemikir besar setelahnya,
kajian ini berupaya menjernihkan posisi ontologis dan etis dari salah satu
konsep paling paradoksal dalam sejarah pemikiran modern.
Footnotes
[1]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 327–328.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §341.
[3]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 355–358.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 3–7; Martin Heidegger, Nietzsche,
Vol. II, trans. David Farrell Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 162–179.
2.
Konteks Historis dan Filosofis Pemikiran
Nietzsche
Untuk memahami
konsep pengulangan
abadi dalam pemikiran Friedrich Nietzsche, penting terlebih dahulu
menempatkannya dalam konteks historis dan intelektual yang membentuk horizon
filosofisnya. Nietzsche bukanlah pemikir yang bekerja dalam ruang hampa; ia
adalah produk dari gejolak filsafat modern pasca-pencerahan, krisis
religiusitas di Eropa, dan kritik mendalam terhadap rasionalisme serta sistem
metafisika Barat yang telah dominan sejak Plato dan Descartes.¹
2.1.
Biografi Intelektual Singkat
Friedrich Nietzsche
dilahirkan pada tahun 1844 di Röcken, Prusia, dalam lingkungan keluarga
Lutheran yang taat. Pada usia yang relatif muda, ia telah menunjukkan
kecemerlangan intelektual yang membawanya menjadi profesor filologi klasik di
Universitas Basel pada usia 24 tahun. Namun, ketidakpuasan terhadap batasan
kajian filologi serta pergumulannya dengan berbagai persoalan filosofis
mendorongnya keluar dari dunia akademik formal dan mengarahkan dirinya ke medan
filsafat yang lebih spekulatif dan eksistensial.²
Karya-karya awal
Nietzsche seperti The Birth of Tragedy (1872) mencerminkan
ketertarikannya terhadap filsafat seni dan kebudayaan Yunani kuno. Namun,
pemikirannya mengalami transisi radikal pasca-pertengahan 1870-an, yang
ditandai oleh kritik tajam terhadap agama Kristen, idealisme moral, serta
seluruh bangunan metafisika Barat.³ Dari sinilah muncul gagasan-gagasan
revolusioner seperti kematian Tuhan (der Tod Gottes), kehendak
untuk berkuasa (der Wille zur Macht), dan akhirnya pengulangan
abadi (die Ewige Wiederkunft).
2.2.
Kritik terhadap Metafisika Tradisional dan
Moralitas
Nietzsche memandang
filsafat Barat tradisional sebagai proyek besar penyangkalan terhadap
kehidupan. Sejak Plato, menurutnya, filsafat telah terjebak dalam dikotomi
antara dunia nyata dan dunia ideal, yang melahirkan metafisika dualistik dan
menolak nilai-nilai dunia empiris. Dalam Beyond Good and Evil, ia menyatakan
bahwa kebenaran metafisik yang selama ini diidealkan hanyalah bentuk kehendak
untuk berkuasa yang menyamar sebagai objektivitas.⁴
Hal yang sama
berlaku pada agama Kristen. Bagi Nietzsche, moralitas Kristen adalah bentuk
nihilisme aktif yang melemahkan semangat hidup manusia. Dogma tentang dosa,
pengorbanan, dan kehidupan akhirat justru mencabut manusia dari realitas
konkret dan menggantinya dengan harapan palsu. Dalam kerangka inilah Nietzsche
menyatakan "Tuhan telah mati", bukan sebagai pernyataan
ateistik semata, tetapi sebagai diagnosis terhadap krisis nilai dan makna dalam
peradaban modern.⁵
2.3.
Transisi Menuju Filsafat Afirmatif
Setelah
menghancurkan fondasi lama berupa moralitas konvensional dan metafisika
teistik, Nietzsche berupaya membangun filsafat baru yang bersifat afirmatif
terhadap kehidupan. Ia mengusulkan revaluasi terhadap semua nilai
(Umwertung
aller Werte), suatu usaha untuk menilai ulang fondasi etika dan
makna secara radikal. Dalam proses inilah muncul konsep Übermensch
(manusia unggul), yakni sosok ideal yang mampu menciptakan nilai-nilai baru
secara otonom, dan di sinilah pula muncul gagasan pengulangan abadi sebagai ujian
paling ekstrem terhadap afirmasi hidup.⁶
Konsep-konsep seperti
kehendak
untuk berkuasa dan pengulangan abadi tidak dapat
dipahami secara terpisah, karena keduanya saling melengkapi dalam sistem
pemikiran Nietzsche. Kehendak untuk berkuasa mewakili energi kreatif dan
instingtif dalam diri manusia, sedangkan eternal recurrence adalah tantangan
eksistensial yang menguji seberapa besar seseorang mampu mengatakan “ya”
terhadap seluruh hidupnya, dalam segala penderitaan dan kenikmatannya, dan
menginginkannya terulang kembali tanpa akhir.⁷
2.4.
Pengaruh dan Originalitas
Nietzsche menyerap
banyak pengaruh dari pemikir-pemikir sebelumnya seperti Herakleitos, Arthur
Schopenhauer, dan Immanuel Kant. Dari Schopenhauer, ia meminjam ide tentang
dunia sebagai kehendak; dari Herakleitos, ia mengadopsi pandangan tentang
perubahan dan siklus. Namun, Nietzsche menolak pesimisme metafisik Schopenhauer
dan justru menawarkan perspektif yang mengafirmasi dunia ini dalam
totalitasnya.⁸
Apa yang membuat
Nietzsche orisinal adalah keberaniannya meradikalisasi kritik terhadap nilai
dan membangun sebuah model etika dan eksistensialisme yang tidak bersandar pada
metafisika atau agama. Ia tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga visi
radikal tentang bagaimana manusia seharusnya hidup di dunia yang nihilistik:
dengan kekuatan untuk menginginkan agar segalanya terjadi kembali secara abadi.
Footnotes
[1]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 45–47.
[2]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography,
trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton, 2003), 26–30.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1967), xv–xx.
[4]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §9–13.
[5]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[6]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin, 1978), "Prologue," §3–5.
[7]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 2–6.
[8]
Richard Schacht, Nietzsche, (London: Routledge, 1983),
108–112.
3.
Formulasi Konsep Pengulangan Abadi
Konsep pengulangan
abadi (die Ewige Wiederkunft) merupakan
salah satu gagasan paling provokatif dan kompleks dalam keseluruhan sistem
filsafat Friedrich Nietzsche. Gagasan ini pertama kali muncul secara eksplisit
dalam karya Die fröhliche Wissenschaft (The Gay
Science, 1882) dan kemudian mendapatkan tempat sentral dalam karya
monumental Also
sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra, 1883–1885).
Namun, seperti banyak ide Nietzsche lainnya, pengulangan abadi tidak dipaparkan
dalam bentuk sistematik, melainkan melalui aforisme, alegori, dan narasi
filosofis, sehingga membuka ruang luas bagi berbagai penafsiran.
3.1.
Narasi Awal dalam The Gay Science
Formulasi pertama
tentang pengulangan
abadi muncul dalam aforisme 341 dari The Gay Science, berjudul “The Greatest Weight” (Das
größte Schwergewicht). Di sana Nietzsche menghadirkan sebuah
skenario hipotetik: bayangkan jika suatu makhluk supranatural menghampiri
seseorang dan berkata bahwa hidupnya — dalam segala suka, duka, penderitaan,
dan kenikmatannya — akan diulang secara identik, tak terhitung kali, selamanya.
Nietzsche mengajukan pertanyaan: apakah engkau akan menggigit jari karena
ketakutan, ataukah engkau akan menyambutnya sebagai bentuk tertinggi dari
afirmasi terhadap hidup?¹
Aforisme ini tidak
menyatakan secara eksplisit bahwa pengulangan abadi adalah realitas
metafisika. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai ujian etis-eksistensial
terhadap sikap seseorang terhadap hidup: apakah ia dapat menerima hidup
sepenuhnya, tanpa syarat, dan menginginkannya terjadi lagi dan lagi dalam
keabadian. Dengan demikian, gagasan ini bukan sekadar kosmologi, tetapi lebih
sebagai imperatif eksistensial.
“This life as you now live it and have lived
it, you will have to live once more and innumerable times more…”²
3.2.
Elaborasi Alegoris dalam Thus Spoke
Zarathustra
Pengembangan penuh
dari ide ini ditemukan dalam Thus Spoke Zarathustra, khususnya
dalam bagian “The Convalescent” dan “Of the Vision and the Riddle”.
Dalam narasi tersebut, Nietzsche menempatkan konsep ini sebagai “ajaran
paling berat” (die schwerste Lehre), yaitu ajaran
yang hanya bisa diterima oleh manusia unggul (Übermensch) — sosok yang mampu
mengafirmasi kehidupan dalam segala aspeknya, termasuk penderitaan dan
absurditasnya.³
Zarathustra, tokoh
semi-prophetik dalam karya tersebut, menyampaikan bahwa segala sesuatu dalam
alam semesta ini — dari peristiwa besar hingga paling remeh — akan kembali
dalam bentuk yang sama, berulang kali tanpa akhir. Namun, yang ditekankan
bukanlah fakta kosmologis, melainkan kesiapan
moral dan keberanian eksistensial untuk
menginginkan dan mencintai segala sesuatu dalam kehidupan — inilah yang
kemudian dikenal sebagai amor fati (cinta terhadap takdir).⁴
Nietzsche menulis:
“Behold, I teach you the Overman: he is this
lightning, he is this madness!”⁵
3.3.
Asal-Usul Kosmologis dan Pembacaan Sains Modern
Nietzsche sendiri
pernah mengisyaratkan kemungkinan dasar fisik dari pengulangan abadi. Dalam
catatan-catatan pascahumus yang kemudian diterbitkan sebagai bagian dari The Will
to Power, ia menyebut ide bahwa bila jumlah energi di alam semesta
bersifat terbatas dan waktu bersifat tak terbatas, maka kombinasi segala
peristiwa harus berulang dalam susunan yang identik.⁶ Meskipun demikian,
Nietzsche tidak pernah secara definitif menjabarkan model ilmiah dari
gagasannya. Banyak penafsir, termasuk Walter Kaufmann, menegaskan bahwa
Nietzsche bukan sedang mengusulkan teori fisika, melainkan menggunakan metafora
kosmologis sebagai cara untuk menguji kedalaman etika seseorang terhadap
kehidupan.⁷
Penafsiran saintifik
terhadap eternal
recurrence sering dikritik karena mengaburkan tujuan sebenarnya
dari konsep tersebut. Sebagian penafsir menyarankan bahwa ia hanya bermaksud
sebagai “mythos eksistensial” — suatu gambaran dramatis yang menyulut
kesadaran moral dan tanggung jawab personal atas hidup yang dijalani.⁸
3.4.
Fungsi Filosofis: Afirmasi Kehidupan dan
Penanggulangan Nihilisme
Konsep pengulangan
abadi tidak dapat dipisahkan dari proyek besar Nietzsche untuk
menanggulangi nihilisme. Setelah “kematian Tuhan” dan keruntuhan nilai-nilai
absolut, manusia modern dihadapkan pada kehampaan dan absurditas. Eternal
recurrence menawarkan bentuk afirmasi ekstrem terhadap hidup, bukan
melalui pengharapan akan keselamatan di akhirat atau penebusan transenden,
melainkan melalui keberanian untuk mengatakan “ya” terhadap seluruh
eksistensi.⁹
Dalam terang ini, pengulangan
abadi menjadi alat penilaian terhadap nilai-nilai: hanya nilai yang
layak diinginkan untuk diulang tanpa akhir yang sah untuk dijalani. Nietzsche
menggunakan gagasan ini sebagai tolok ukur eksistensial yang mendalam: apakah
engkau menginginkan hidup yang sedang kau jalani ini untuk terulang dalam
keabadian? Jika tidak, maka engkau belum benar-benar hidup secara
otentik.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §341.
[2]
Ibid.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), Part III, “The Convalescent”.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 3–7.
[5]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, Prologue, §5.
[6]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann
and R. J. Hollingdale, ed. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968),
§1066.
[7]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 327–329.
[8]
Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the Eternal Recurrence of
the Same, trans. J. Harvey Lomax (San Francisco: Harper & Row, 1997),
20–25.
[9]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. II, trans. David Farrell
Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 164–170.
4.
Pengulangan Abadi sebagai Ujian Etis dan
Eksistensial
Jika dalam sejarah
filsafat Barat konsep pengulangan biasanya terkait dengan siklus kosmis
(seperti dalam Stoikisme atau filsafat India), maka dalam filsafat Nietzsche
konsep pengulangan
abadi (eternal recurrence) menempati
kedudukan yang unik: bukan sebagai teori metafisika, tetapi sebagai ujian
etis dan eksistensial tertinggi. Nietzsche menggunakan gagasan
ini bukan untuk menjelaskan struktur realitas, tetapi untuk menguji sikap dan
nilai manusia terhadap kehidupannya sendiri. Dengan demikian, pengulangan
abadi harus dipahami sebagai eksperimen pikiran yang bersifat
transformasional, yang dimaksudkan untuk mengubah cara manusia
menilai, memilih, dan menjalani hidupnya.
4.1.
Imperatif Eksistensial: Apakah Engkau
Menginginkan Ini Lagi dan Lagi?
Formulasi Nietzsche
dalam aforisme 341 The Gay Science menekankan dimensi
evaluatif dari pengalaman hidup. Ia bertanya secara retoris: "Apakah
engkau akan meratap dan menggertakkan gigi, ataukah engkau akan berkata: Engkau
adalah dewa dan tak pernah kudengar sesuatu yang lebih ilahi?"¹. Di
sinilah letak ujiannya: seseorang dihadapkan pada kemungkinan bahwa seluruh
hidupnya — termasuk penderitaan, kegagalan, dan absurditasnya — akan terulang
tanpa perubahan dalam keabadian. Sikap terhadap gagasan ini mencerminkan apakah
seseorang hidup dengan afirmasi atau penolakan terhadap eksistensinya sendiri.
Dengan menghadirkan
gagasan ini, Nietzsche memaksa pembacanya untuk menilai kembali seluruh
keputusan, keinginan, dan cara hidupnya. Hanya jika seseorang mampu
menginginkan agar hidupnya terulang identik dalam keabadian, ia dapat dikatakan
benar-benar mencintai kehidupannya — suatu kondisi yang Nietzsche istilahkan
sebagai amor
fati (cinta terhadap takdir).²
4.2.
Amor Fati: Afirmasi Tanpa Syarat terhadap
Kehidupan
Konsep amor
fati adalah pusat dari etika afirmatif Nietzsche. Ia menulis: “Amor
fati: itulah intisari filosofi saya... seseorang tidak ingin sesuatu menjadi
berbeda — tidak ke depan, tidak ke belakang, tidak dalam keabadian.”³.
Dalam kerangka ini, pengulangan abadi bukan sekadar
beban, tetapi batu uji yang menunjukkan apakah seseorang
benar-benar mencintai hidupnya dengan segala aspeknya — bukan
hanya yang menyenangkan, tetapi juga yang menyakitkan dan tak terhindarkan.
Afirmasi ini bukan
bentuk fatalisme pasif, melainkan keberanian untuk menginginkan kembali bahkan
apa yang paling pahit dan sulit. Nietzsche menghendaki transformasi total
terhadap cara manusia memahami nilai: bukan dari moralitas “baik dan jahat”
yang berasal dari luar, tetapi dari kekuatan batin untuk menciptakan nilai
melalui afirmasi terhadap eksistensi.⁴
4.3.
Melampaui Nihilisme: Pengulangan Abadi sebagai
Penawar Kekosongan
Nietzsche sangat
menyadari bahaya nihilisme yang timbul setelah "kematian Tuhan",
yakni kehilangan fondasi moral dan spiritual yang sebelumnya menopang makna
hidup. Eternal
recurrence hadir sebagai solusi atas nihilisme ini, tetapi bukan
melalui substitusi metafisik baru, melainkan melalui tindakan
pengukuhan nilai dari dalam diri manusia itu sendiri.⁵
Dengan mengajukan
tantangan: “Apakah engkau sanggup menginginkan hidupmu seperti ini — persis
seperti ini — untuk selama-lamanya?” Nietzsche memaksa individu untuk
mengambil tanggung jawab penuh atas keberadaannya. Ia tidak memberikan
pelarian, tidak menawarkan keselamatan di luar dunia ini, tetapi menuntut
kehadiran yang utuh dalam dunia ini. Dalam hal ini, pengulangan abadi menjadi sejenis cermin
ontologis, tempat individu harus menilai: apakah hidupku pantas
untuk dihidupi kembali tanpa akhir?
4.4.
Perbandingan dengan Pemikiran Eksistensialis
Modern
Pemikir-pemikir
eksistensialis abad ke-20 seperti Jean-Paul Sartre dan Albert
Camus mengembangkan lebih lanjut tema yang telah dibuka oleh
Nietzsche. Bagi Sartre, kebebasan adalah kutukan yang membebani manusia untuk
memilih tanpa jaminan moral transenden. Camus, dalam The Myth
of Sisyphus, menunjukkan bahwa absurditas hidup harus dihadapi
dengan pemberontakan dan penciptaan makna secara sadar.⁶ Dalam konteks ini,
Nietzsche dapat dianggap sebagai pionir etika eksistensial yang
menuntut manusia menjadi pencipta nilai melalui afirmasi radikal terhadap
keberadaannya.
Konsep eternal
recurrence sejalan dengan pencarian makna otentik dalam dunia yang
nihilistik. Jika kehidupan tidak memiliki makna apriori, maka manusia
sendirilah yang harus menjadikannya bermakna — bahkan bila ia harus menjalani
hidup itu terus-menerus dalam keabadian.⁷
4.5.
Daya Transformasional: Manusia sebagai Proyek
Etis
Nietzsche bukan hanya
filsuf yang menawarkan ide-ide teoritis. Ia menginginkan transformasi
eksistensial dari manusia modern. Dengan menghadirkan pengulangan
abadi sebagai ujian, ia mendorong individu untuk menghidupi
kehidupannya sedemikian rupa, sehingga ia menginginkan kehidupan itu diulang
selamanya.⁸ Dengan kata lain, gagasan ini memaksa seseorang
untuk hidup secara autentik, sadar, dan bertanggung jawab, karena setiap
pilihan akan terulang tanpa perubahan.
Dalam hal ini, eternal
recurrence berfungsi seperti imperatif Kantian, tetapi bukan
sebagai kewajiban moral universal, melainkan sebagai tolok ukur internal dan
personal: apakah
engkau hidup sebagai pencipta nilai atau sebagai budak dari nilai-nilai yang
diwariskan?
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §341.
[2]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New
York: Vintage Books, 1967), “Why I Am So Clever,” §10.
[3]
Ibid.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 68–74.
[5]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. II, trans. David Farrell
Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 164–175.
[6]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 119–123.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 34–41.
[8]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 330–332.
5.
Tafsir dan Kontroversi dalam Pemikiran
Nietzsche
Konsep pengulangan
abadi (eternal recurrence) dalam filsafat
Nietzsche merupakan salah satu gagasan yang paling sulit ditafsirkan, karena
tidak dikembangkan secara sistematis, melainkan disampaikan dalam bentuk
aforisme, mitos, dan alegori. Akibatnya, para pemikir dari berbagai tradisi
filsafat memberikan tafsir yang sangat beragam, bahkan bertentangan satu sama
lain. Beberapa melihatnya sebagai gagasan kosmologis, sementara yang lain
menganggapnya sebagai simbol etis atau mitos eksistensial. Bagian ini mengulas
secara kritis sejumlah tafsir penting dan kontroversi utama yang menyertai
pembacaan atas konsep tersebut.
5.1.
Tafsir Ontologis: Martin Heidegger
Martin Heidegger
adalah salah satu penafsir paling berpengaruh terhadap pemikiran Nietzsche.
Dalam dua jilid karyanya berjudul Nietzsche, Heidegger menolak
pemahaman kosmologis atas eternal recurrence dan menekankan
dimensi ontologis dari gagasan tersebut. Menurutnya, pengulangan
abadi bukan tentang pengulangan fakta-fakta dalam waktu, melainkan
tentang pemahaman baru terhadap hakikat waktu dan keberadaan.¹
Heidegger memandang
bahwa eternal
recurrence berhubungan erat dengan kehendak untuk berkuasa (der
Wille zur Macht), dan keduanya merepresentasikan pergumulan
Nietzsche dengan “metafisika akhir”. Ia menilai bahwa dengan eternal
recurrence, Nietzsche berupaya menegaskan kembali kehadiran dunia
sebagai sesuatu yang harus dihadapi tanpa ilusi transendensi, tetapi juga tanpa
reduksi saintifik.² Dengan demikian, konsep ini menjadi bentuk radikal dari
penegasan immanence
dan kehendak atas kehadiran.
5.2.
Tafsir Dekonstruktif dan Diferensial: Gilles
Deleuze
Berbeda dengan
Heidegger, Gilles Deleuze dalam Nietzsche
and Philosophy melihat pengulangan abadi bukan sebagai pengulangan
identitas, melainkan sebagai pengulangan perbedaan.³ Ia
menolak pandangan bahwa Nietzsche mengajukan siklus kosmologis tertutup.
Sebaliknya, Deleuze memahami gagasan tersebut sebagai “seleksi ontologis”:
hanya hal-hal yang mampu ditegaskan, diciptakan, dan dikukuhkan secara aktif
yang dapat “kembali” dalam pengertian nilai.⁴
Bagi Deleuze, eternal
recurrence adalah prinsip yang memisahkan antara cara hidup yang
reaktif dan afirmatif. Nilai-nilai reaktif (yang lahir dari penolakan terhadap
kehidupan, seperti moralitas Kristen) tidak dapat “bertahan” dalam
pengulangan, sementara nilai-nilai afirmatif (seperti penciptaan, kekuatan, dan
kreativitas) akan terus-menerus dikukuhkan.⁵ Ini memberikan tafsir baru bahwa pengulangan
abadi adalah proses etiko-ontologis untuk memilih kehidupan yang
layak dikembalikan.
5.3.
Kontroversi Kosmologis: Filsafat atau Fisika?
Salah satu
kontroversi utama dalam membaca eternal recurrence adalah apakah
Nietzsche mengajukan gagasan ini sebagai hipotesis kosmologis yang
literal atau sekadar mitos etis. Dalam
catatan-catatan pascahumus, terutama dalam The Will to Power, Nietzsche
mengembangkan argumen yang mengisyaratkan dasar fisika bagi pengulangan abadi:
jika energi dalam alam semesta bersifat terbatas dan waktu tidak terbatas, maka
semua kemungkinan konfigurasi akan terulang kembali.⁶
Namun, banyak
penafsir, seperti Walter Kaufmann dan Karl Löwith, menilai bahwa Nietzsche
tidak pernah serius mengusulkan ini sebagai teori ilmiah. Kaufmann menyatakan
bahwa pengulangan
abadi adalah “ujian keberanian etis tertinggi”, bukan
doktrin saintifik.⁷ Sementara itu, Löwith memandang bahwa kekaburan Nietzsche
mengenai status epistemologis gagasan ini mencerminkan tensi dalam proyeknya
sendiri — antara keinginan akan sistem dan keengganan untuk menetapkan sistem
apa pun.⁸
5.4.
Nilai Metaforis dan Mitos Etis
Beberapa pembaca
mengusulkan bahwa cara terbaik memahami eternal recurrence adalah sebagai mitos
etis, yaitu suatu gambaran simbolik yang bertujuan menggugah
refleksi moral dan eksistensial. Dalam tafsir ini, gagasan tentang kehidupan
yang terulang tidak diambil secara literal, melainkan sebagai cermin bagi
evaluasi eksistensi: apakah hidup saya pantas diulang? Apakah
keputusan-keputusan saya cukup bernilai untuk dikukuhkan dalam keabadian?⁹
Tafsir ini memberi
kekuatan praktis pada gagasan Nietzsche, karena menjadikannya sebagai alat
evaluasi diri dan tanggung jawab eksistensial, tanpa harus terlibat dalam
spekulasi metafisika atau kosmologi.
5.5.
Ambiguitas Nietzsche: Kekuatan atau Kelemahan?
Akhirnya, perlu
dicatat bahwa ambiguitas Nietzsche dalam memformulasikan eternal
recurrence — antara mitos, sains, etika, dan kosmologi — telah
menimbulkan kekaguman sekaligus kritik. Sebagian melihatnya sebagai kejeniusan
puitik dan filsafat terbuka, sementara yang lain menganggapnya
sebagai kekaburan konseptual yang melemahkan kekuatan
filosofisnya. Namun, justru dari ketegangan ini muncul kekayaan
penafsiran yang terus memperkaya diskursus kontemporer, baik dalam filsafat,
teologi, psikologi, maupun seni.¹⁰
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. II, trans. David Farrell
Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 164–179.
[2]
Ibid., 176–177.
[3]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 45–52.
[4]
Ibid., 70–74.
[5]
Ibid., 89–92.
[6]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann
and R. J. Hollingdale, ed. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968),
§1066.
[7]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 327–330.
[8]
Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the Eternal Recurrence of
the Same, trans. J. Harvey Lomax (San Francisco: Harper & Row, 1997),
20–25.
[9]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 114–118.
[10]
Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington:
Indiana University Press, 1978), 91–94.
6.
Relevansi Konsep Pengulangan Abadi dalam
Konteks Kontemporer
Gagasan pengulangan
abadi (eternal recurrence) yang
dikemukakan Friedrich Nietzsche bukan sekadar warisan spekulatif dari abad
ke-19, tetapi terus menunjukkan relevansi filosofis, etis, dan kultural dalam
menghadapi tantangan eksistensial zaman modern dan postmodern. Dalam dunia yang
ditandai oleh krisis makna, percepatan teknologi, dan kecenderungan nihilistik
yang semakin merajalela, ide Nietzsche tentang afirmasi terhadap kehidupan
dalam bentuk yang paling ekstrem menjadi semakin aktual.
6.1.
Afirmasi Eksistensial dalam Era Krisis Makna
Era kontemporer
menyaksikan apa yang disebut krisis eksistensial global —
ditandai oleh alienasi, keterasingan, dan kekosongan nilai di tengah dunia yang
semakin rasional tetapi kehilangan arah spiritual. Dalam konteks ini, pengulangan
abadi menjadi semacam “alat uji filosofis” yang memaksa
manusia modern untuk bertanya: Apakah hidup yang saya jalani ini layak untuk
diulang tanpa akhir?
Nietzsche menantang
manusia untuk tidak menunggu makna dari luar (agama, sistem ideologis, atau
dogma moral), tetapi menciptakan makna secara aktif
dalam dunia ini, sebagaimana ditunjukkan oleh gagasan amor
fati.¹ Dalam hal ini, Nietzsche memberikan kerangka untuk
menanggulangi nihilisme bukan dengan pengganti metafisik baru, tetapi dengan keberanian
untuk hidup sepenuhnya di dunia ini, tanpa ilusi.
6.2.
Etika Tindakan dan Tanggung Jawab Radikal
Dalam filsafat moral
kontemporer, terdapat penekanan baru pada etika tanggung jawab
(responsibility ethics), sebagaimana dikembangkan dalam pemikiran Emmanuel
Levinas, Hans Jonas, dan bahkan dalam bioetika modern. Dalam garis ini, pengulangan
abadi Nietzsche dapat dipahami sebagai simulasi
eksistensial untuk mengukur bobot moral dari setiap tindakan:
hanya tindakan yang layak diulang tanpa akhir yang patut dipertahankan.
Nietzsche tidak
memberikan kode etik, tetapi menawarkan kerangka evaluatif radikal:
jika seluruh hidup Anda harus diulang, apakah Anda akan menjalaninya sama
persis?² Pertanyaan ini, meskipun bersifat metaforis, memaksa seseorang untuk
mengevaluasi integritas, otonomi, dan keberanian dalam setiap pilihan yang
dibuat — sebuah prinsip yang sangat berguna dalam etika personal dan
profesional saat ini, terutama dalam dunia yang serba instan dan dangkal.
6.3.
Resonansi dalam Psikologi Eksistensial dan
Logoterapi
Relevansi konsep ini
juga terlihat jelas dalam psikologi eksistensial,
terutama dalam pendekatan logoterapi yang dikembangkan
oleh Viktor
E. Frankl. Dalam Man's Search for Meaning, Frankl
mengemukakan bahwa penderitaan manusia hanya dapat ditaklukkan jika seseorang
mampu menemukan makna dalam penderitaan itu sendiri.³ Ini paralel dengan pandangan
Nietzsche bahwa seseorang dapat mengatasi penderitaan apabila ia “mengafirmasi”
kehidupan secara total — termasuk penderitaan itu — dan sanggup menginginkan
agar hal itu terjadi kembali.
Frankl bahkan
mengutip Nietzsche secara eksplisit: “He who has a why to live for can bear
almost any how.”⁴ Dengan demikian, eternal recurrence tidak sekadar
menjadi konsep filsafat spekulatif, tetapi juga alat psikologis untuk memperkuat daya tahan
manusia dalam menghadapi penderitaan, melalui penciptaan makna
yang sadar dan bertanggung jawab.
6.4.
Inspirasi Estetis dalam Seni dan Budaya Populer
Pengulangan
abadi juga telah menjadi sumber inspirasi estetika dalam
film, sastra, dan seni kontemporer. Dalam film Groundhog Day (1993), misalnya,
tokoh utama dipaksa mengulangi hari yang sama berulang kali, dan hanya setelah
ia belajar untuk hidup dengan baik dan bertanggung jawab, siklus itu berakhir.
Meskipun bersifat komikal, film ini menjadi alegori yang kuat tentang
pentingnya menghidupi setiap momen secara autentik,
yang sejalan dengan semangat Nietzschean.
Begitu pula dalam
novel-novel postmodern seperti The Unbearable Lightness of Being
karya Milan Kundera, eternal recurrence digunakan
sebagai motif reflektif untuk menyoroti dilema antara “berat” dan “ringan”-nya
eksistensi.⁵ Konsep ini juga muncul dalam karya visual, instalasi seni, dan
bahkan dalam desain video game yang mengajak pemain mengulang skenario hingga
mencapai versi hidup yang lebih baik.
6.5.
Relevansi Politik dan Ekologis
Dalam konteks
sosial-politik dan ekologis, eternal recurrence dapat dibaca
sebagai panggilan untuk bertanggung jawab terhadap
konsekuensi jangka panjang dari tindakan manusia. Dalam era
perubahan iklim dan kerusakan ekologis yang mengancam keberlangsungan
kehidupan, Nietzsche mengajak kita untuk berpikir: Jika semua tindakan kita
hari ini akan terulang selamanya, apakah kita rela hidup dalam dunia yang kita
ciptakan ini?⁶
Gagasan ini dapat
menjadi pendorong untuk mengembangkan etika keberlanjutan —
mengingatkan umat manusia untuk tidak bersikap eksploitatif dan reaktif, tetapi
menciptakan nilai dan struktur sosial yang dapat kita afirmasi dalam jangka
panjang, bahkan jika harus dihidupi ulang tanpa akhir.
Kesimpulan Sementara
Dalam dunia
kontemporer yang diwarnai oleh krisis nilai, ketidakpastian moral, dan
ketakutan akan kehampaan, gagasan pengulangan abadi Nietzsche menjadi
lebih dari sekadar teka-teki metafisik. Ia menjadi simbol
eksistensial dan etis yang mengundang individu untuk hidup secara sadar,
bertanggung jawab, dan afirmatif. Meskipun lahir dari abad
ke-19, ide ini terus hidup dan berevolusi sebagai refleksi mendalam terhadap
pertanyaan abadi: Apakah hidup saya ini layak untuk diulang?
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New
York: Vintage Books, 1967), “Why I Am So Clever,” §10.
[2]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 330–332.
[3]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 111–114.
[4]
Ibid., 104.
[5]
Milan Kundera, The Unbearable Lightness of Being, trans.
Michael Henry Heim (New York: Harper Perennial, 2004), 3–8.
[6]
Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington:
Indiana University Press, 1978), 97–100.
7.
Kritik dan Keterbatasan Konsep
Meskipun konsep pengulangan
abadi (eternal recurrence) dalam pemikiran
Friedrich Nietzsche telah menginspirasi berbagai diskursus filosofis dan
eksistensial, konsep ini tidak lepas dari kritik tajam dan perdebatan panjang.
Kritik-kritik tersebut mencakup aspek ontologis, logis,
etis,
maupun praktis,
yang pada akhirnya membuka pertanyaan mengenai kejelasan status epistemologis
dari konsep ini: apakah ia merupakan teori kosmologis, imperatif moral, alegori
estetis, atau semata mitos eksistensial?
7.1.
Kritik dari Perspektif Logika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Salah satu kritik
yang paling mendasar berasal dari filsuf dan ilmuwan yang mempersoalkan keterandalan
logis dan ilmiah dari gagasan eternal recurrence. Nietzsche
sendiri pernah merujuk pada kemungkinan dasar fisika bagi konsep ini, yakni
jika alam semesta terdiri dari energi yang terbatas dalam waktu yang tak
terbatas, maka semua kombinasi partikular akan kembali dalam siklus identik.¹
Namun, asumsi ini dipandang problematik dalam kerangka ilmu pengetahuan modern.
Secara fisika,
gagasan ini tidak memiliki dukungan empiris yang kuat. Konsep eternal
recurrence bertentangan dengan hukum termodinamika kedua (second
law of thermodynamics), yang menyatakan bahwa entropi cenderung meningkat
seiring waktu, menjauh dari keadaan awal yang identik.² Dengan demikian,
kemungkinan terulangnya keadaan alam semesta secara identik dipandang nyaris
mustahil secara statistik. Hal ini mendorong banyak pemikir, seperti Walter
Kaufmann dan Brian Leiter, untuk menyimpulkan bahwa gagasan tersebut bukan
ditujukan sebagai model ilmiah, melainkan sebagai mitos moral
atau uji etis.³
7.2.
Ambiguitas Tujuan: Kosmologi atau Etika?
Nietzsche tidak
secara tegas menyatakan apakah pengulangan abadi adalah kenyataan
kosmologis yang ia percayai atau sekadar eksperimen pikiran. Ambiguitas ini
menimbulkan kebingungan interpretatif yang terus diperdebatkan. Di satu sisi,
Nietzsche tampak serius dalam catatan-catatan pascahumusnya ketika mencoba
merumuskan dasar saintifik bagi konsep ini.⁴ Di sisi lain, dalam karya utama
seperti The Gay
Science dan Thus Spoke Zarathustra, ia
menyajikan gagasan tersebut dalam bentuk alegori dan narasi puitis, bukan
proposisi rasional.
Karl Löwith
mengkritik Nietzsche karena ketidakkonsistenan epistemologisnya.
Menurut Löwith, Nietzsche terjebak dalam paradoks: ia ingin menghindari sistem
metafisika, tetapi sekaligus mengusulkan prinsip universal tentang waktu dan
eksistensi.⁵ Hal ini memperlihatkan adanya tegangan internal antara proyek
dekonstruktif Nietzsche terhadap nilai-nilai lama dan hasratnya untuk
menetapkan bentuk afirmasi total melalui mitos baru.
7.3.
Kelemahan Praktis dalam Aplikasi Etis
Sebagai prinsip
etis, eternal
recurrence juga menuai kritik karena dianggap terlalu ekstrem
dan tidak aplikatif dalam kehidupan nyata. Tantangan etis yang
diajukan Nietzsche — bahwa seseorang harus mampu menginginkan hidupnya diulang
persis tanpa perubahan — dinilai oleh sebagian kritikus sebagai standar yang tidak
realistis dan bahkan bersifat elitis.⁶
Tidak semua orang
memiliki kendali atas penderitaan dan struktur sosial yang membentuk hidup
mereka. Dalam masyarakat yang dipenuhi oleh ketimpangan, ketidakadilan, dan
penderitaan sistemik, mengharuskan seseorang untuk “menginginkan hidupnya
kembali” bisa menjadi bentuk kekejaman moral. Filsuf feminis seperti Judith
Butler dan kritikus etika kontemporer lainnya telah mempertanyakan apakah
gagasan semacam ini memadai untuk merespons realitas penderitaan kolektif.⁷
7.4.
Problem Nilai dan Relativisme Ekstrem
Kritik lain datang
dari kalangan etika normatif yang mempertanyakan kriteria
evaluatif dari nilai-nilai dalam pengulangan abadi. Nietzsche
mendorong penciptaan nilai baru dan afirmasi terhadap hidup, namun tidak
memberikan parameter objektif tentang apa yang “layak untuk diulang”.
Dalam hal ini, konsep ini rentan mengarah pada relativisme ekstrem atau bahkan
nihilisme
aktif, di mana apa pun dapat ditegaskan asal dikehendaki dengan
cukup kuat.
Akibatnya, eternal
recurrence dapat disalahgunakan sebagai justifikasi untuk segala
tindakan, termasuk tindakan destruktif, selama pelakunya bersedia menginginkan
agar peristiwa itu terulang tanpa akhir.⁸ Dengan demikian, konsep ini
memerlukan koreksi atau pelengkap etis untuk menghindari reduksi terhadap
kehendak kekuasaan belaka tanpa konsiderasi moral yang rasional.
7.5.
Penilaian Keseluruhan: Antara Kejernihan Konsep
dan Kekuatan Simbolik
Terlepas dari
kelemahan-kelemahan di atas, sebagian pemikir memandang bahwa kekuatan konsep pengulangan
abadi justru terletak pada ambiguitas dan daya simboliknya.
Gilles Deleuze, misalnya, menganggap bahwa pengulangan dalam pemikiran
Nietzsche bukanlah pengulangan identitas, melainkan afirmasi terhadap
diferensiasi, menjadi, dan kekuatan kreatif.⁹ Demikian pula, Richard Schacht
menyatakan bahwa konsep ini harus dibaca sebagai philosophical provocation — semacam
tantangan reflektif yang dimaksudkan untuk mengguncang kesadaran moral kita
secara radikal.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap pengulangan
abadi tidak menghapus pentingnya konsep ini dalam arsitektur
filsafat Nietzsche. Sebaliknya, ia memperkaya pemahaman kita tentang
keterbatasan proyek filosofis Nietzsche dan membuka ruang untuk pembacaan
kritis yang lebih matang. Meskipun secara ilmiah atau etis konsep ini mungkin
problematik, kekuatan metaforis dan potensinya untuk menggugah kesadaran
eksistensial tetap menjadikannya sebagai bagian integral dari khazanah
pemikiran modern.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann
and R. J. Hollingdale, ed. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968),
§1066.
[2]
Sean Carroll, From Eternity to Here: The Quest for the Ultimate
Theory of Time (New York: Dutton, 2010), 89–92.
[3]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 329–331.
[4]
Nietzsche, The Will to Power, §1067–1070.
[5]
Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the Eternal Recurrence of
the Same, trans. J. Harvey Lomax (San Francisco: Harper & Row, 1997),
34–38.
[6]
Bernd Magnus, Nietzsche’s Existential Imperative (Bloomington:
Indiana University Press, 1978), 101–105.
[7]
Judith Butler, Giving an Account of Oneself (New York: Fordham
University Press, 2005), 18–22.
[8]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality (London: Routledge, 2002),
142–145.
[9]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 2006), 90–92.
[10]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 115–118.
8.
Kesimpulan
Konsep pengulangan
abadi (eternal recurrence) menempati
posisi sentral sekaligus paradoksal dalam filsafat Friedrich Nietzsche. Sebagai
gagasan yang menolak kepastian metafisika tradisional, konsep ini justru
mengusulkan bentuk afirmasi kehidupan yang paling radikal dan total. Dari sisi
formulasi, pengulangan
abadi merupakan pergeseran dari filsafat yang menjanjikan
keselamatan transenden menuju filsafat yang menuntut keberanian untuk
menghidupi dunia ini secara utuh — dalam suka dan duka, keagungan dan
kehancurannya.
Sebagaimana telah
diuraikan, Nietzsche mengemukakan konsep ini bukan semata sebagai teori
kosmologis, melainkan terutama sebagai tantangan etis dan eksistensial.
Ia tidak memaksakan pembenaran ilmiah atas gagasannya, melainkan menawarkan
suatu experimentum
mentis — ujian reflektif terhadap keteguhan dan afirmasi manusia
terhadap hidupnya sendiri.¹ Dalam hal ini, eternal recurrence berfungsi bukan
sebagai postulat ilmiah, tetapi sebagai imperatif etis yang menuntut
penciptaan nilai secara otonom dan keberanian untuk mengatakan “ya”
terhadap seluruh rangkaian kehidupan, seakan-akan semuanya akan terulang tanpa
akhir.²
Penafsiran-penafsiran
dari tokoh-tokoh seperti Heidegger, Deleuze,
dan Löwith
menunjukkan bahwa kekayaan konsep ini justru terletak pada ambiguitas
dan ketidakfinalannya. Heidegger melihatnya sebagai struktur
ontologis tentang waktu dan keberadaan; Deleuze sebagai afirmasi terhadap
diferensiasi dan kreativitas; sementara Löwith menggarisbawahi ketegangan
antara kehendak sistematis dan kekuatan simbolik dari mitos.³ Kontroversi ini
menunjukkan bahwa pengulangan abadi lebih tepat
dipahami sebagai gagasan multivalen — terbuka
terhadap berbagai tingkat penafsiran dan penerapan.
Dalam konteks
kontemporer, eternal recurrence menunjukkan relevansi
lintas-disipliner yang kuat: sebagai prinsip evaluatif dalam
etika personal, sebagai fondasi terapi makna dalam psikologi eksistensial,
sebagai kritik terhadap nihilisme budaya, dan bahkan sebagai inspirasi dalam
seni, sastra, serta refleksi ekologis.⁴ Pertanyaan mendasarnya tetap menggema: Jika
Anda harus mengulang hidup Anda seperti sekarang untuk selamanya, apakah Anda
akan menginginkannya?
Namun, konsep ini
bukan tanpa keterbatasan. Kritik dari aspek ilmiah, etis, dan logis telah
menunjukkan bahwa klaim tentang pengulangan identik seluruh sejarah hidup dalam
siklus waktu tak berujung sulit untuk dipertahankan secara empiris.⁵ Selain
itu, sebagai imperatif etis, eternal recurrence menimbulkan
persoalan serius tentang kesetaraan akses manusia terhadap kondisi hidup yang
memungkinkan afirmasi semacam itu — sebuah pertanyaan yang penting dalam wacana
keadilan sosial dan etika global.
Meski demikian, daya
transformasional konsep ini tetap signifikan. Nietzsche tidak menghendaki
ketaatan terhadap sistem baru, melainkan penggugatan terhadap kepasrahan hidup yang
tanpa kesadaran nilai. Ia mengajak manusia untuk hidup dengan
semangat penciptaan, bukan penyesalan; dengan keberanian untuk mengukuhkan
seluruh hidupnya, bukan menunggu pembenaran dari dunia lain.
Akhirnya, pengulangan
abadi dalam filsafat Nietzsche adalah panggilan untuk menjadi
penggubah kehidupan sendiri, bukan hanya sebagai penerima,
tetapi sebagai pencipta nilai yang mampu menginginkan kembali seluruh
eksistensinya dalam keabadian. Seperti yang ditulis Nietzsche melalui
Zarathustra: “Lalu aku mencinta kembali diriku... dan segala
penderitaanku... dan dunia ini yang asing seperti surga yang dijanjikan.”⁶
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §341.
[2]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New
York: Vintage Books, 1967), “Why I Am So Clever,” §10.
[3]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. II, trans. David Farrell
Krell (San Francisco: HarperOne, 1991), 164–179; Gilles Deleuze, Nietzsche
and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University
Press, 2006), 70–74; Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the Eternal
Recurrence of the Same, trans. J. Harvey Lomax (San Francisco: Harper
& Row, 1997), 34–38.
[4]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–114; Milan Kundera, The Unbearable
Lightness of Being, trans. Michael Henry Heim (New York: Harper Perennial,
2004), 3–8.
[5]
Sean Carroll, From Eternity to Here: The Quest for the Ultimate
Theory of Time (New York: Dutton, 2010), 89–92.
[6]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), Part III, “The Convalescent”.
Daftar Pustaka
Butler, J. (2005). Giving an account of oneself.
Fordham University Press.
Carroll, S. (2010). From eternity to here: The
quest for the ultimate theory of time. Dutton.
Deleuze, G. (2006). Nietzsche and philosophy
(H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press. (Original work published
1962)
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1946)
Heidegger, M. (1991). Nietzsche: Vol. II (D.
F. Krell, Trans.). HarperOne.
Kaufmann, W. (1974). Nietzsche: Philosopher,
psychologist, antichrist (4th ed.). Princeton University Press.
Kundera, M. (2004). The unbearable lightness of
being (M. H. Heim, Trans.). Harper Perennial. (Original work published
1984)
Leiter, B. (2002). Nietzsche on morality.
Routledge.
Löwith, K. (1997). Nietzsche’s philosophy of the
eternal recurrence of the same (J. H. Lomax, Trans.). Harper & Row.
(Original work published 1935)
Magnus, B. (1978). Nietzsche’s existential
imperative. Indiana University Press.
Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1886)
Nietzsche, F. (1967). Ecce homo (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1908)
Nietzsche, F. (1968). The will to power (W.
Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.; W. Kaufmann, Ed.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1882)
Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1883–1885)
Nietzsche, F. (2007). On the genealogy of
morality (C. Diethe, Trans.; K. Ansell-Pearson, Ed.). Cambridge University
Press. (Original work published 1887)
Safranski, R. (2003). Nietzsche: A philosophical
biography (S. Frisch, Trans.). W. W. Norton & Company.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
delivered 1945)
Schacht, R. (1983). Nietzsche. Routledge.
Young, J. (2010). Friedrich Nietzsche: A
philosophical biography. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar