Pemikiran Jeremy Bentham
Telaah Kritis atas Prinsip Kegunaan dalam Etika dan
Hukum
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pemikiran Jeremy Bentham
sebagai pelopor utama utilitarianisme klasik, dengan fokus pada prinsip kegunaan
(principle of utility) sebagai landasan filsafat moral dan hukum.
Bentham menolak moralitas berbasis intuisi, tradisi, maupun wahyu, dan
menggantikannya dengan pendekatan empiris dan rasional yang mengutamakan
kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak sebagai kriteria utama
penilaian etis dan legal. Dalam kerangka aksiologis, Bentham mendefinisikan
nilai moral berdasarkan dampak tindakan terhadap kebahagiaan kolektif,
sementara secara epistemologis, ia memandang moralitas sebagai pengetahuan yang
dapat diuji melalui observasi dan kalkulasi manfaat.
Artikel ini juga menyoroti kontribusi Bentham dalam
reformasi hukum, terutama melalui kritik terhadap common law, advokasi
kodifikasi hukum, dan gagasan Panopticon sebagai metafora pengawasan
sosial. Kritik-kritik utama terhadap pemikirannya berasal dari John Stuart Mill
yang menekankan kualitas kebahagiaan, serta dari tradisi deontologi dan etika
kebajikan yang menyoroti kelemahan reduksionisme moral dalam utilitarianisme.
Meskipun demikian, warisan Bentham tetap signifikan dalam etika terapan,
analisis kebijakan publik, dan teori hukum modern. Artikel ini menyimpulkan
bahwa pemikiran Bentham, meskipun tidak bebas dari kelemahan, tetap relevan
untuk memahami dan membentuk kerangka etika dan hukum yang rasional, pragmatis,
dan berbasis kesejahteraan publik.
Kata Kunci: Jeremy Bentham, utilitarianisme, prinsip kegunaan,
filsafat hukum, kalkulus kebahagiaan, reformasi hukum, etika empiris,
positivisme hukum.
PEMBAHASAN
Jeremy Bentham dan Filsafat Utilitarianisme
1.
Pendahuluan
Filsafat moral
modern mengalami pergeseran besar sejak abad ke-18 ketika Jeremy Bentham
(1748–1832) mengajukan prinsip kegunaan sebagai fondasi etika dan hukum. Dalam
konteks ini, muncul sebuah gagasan revolusioner bahwa nilai moral suatu
tindakan terletak pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan “kebahagiaan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak.”¹ Bentham tidak hanya meletakkan
dasar bagi utilitarianisme
klasik, tetapi juga menggagas pendekatan normatif berbasis kalkulasi
rasional dan empiris yang menghubungkan antara etika, hukum, dan kebijakan
sosial.
Kontribusi Bentham
tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial-politik Inggris pada akhir abad
ke-18, yang ditandai oleh ketimpangan sosial, sistem hukum yang tidak terkodifikasi,
dan dorongan kuat terhadap reformasi.² Dalam karya monumentalnya, An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789),
Bentham merumuskan prinsip utilitas sebagai “the property in any object,
whereby it tends to produce benefit, advantage, pleasure, good, or happiness.”³
Konsep ini tidak hanya menantang otoritas etika deontologis dan teologis pada
zamannya, tetapi juga memberikan landasan sistematik bagi reformasi hukum,
sistem pemasyarakatan, dan tata kelola pemerintahan yang lebih efisien dan
manusiawi.
Sebagai pemikir yang
menolak abstraksi metafisik dan norma moral berbasis wahyu, Bentham menegaskan
bahwa landasan moral dan legal harus dapat diverifikasi secara empiris dan
terukur.⁴ Oleh karena itu, ia mengembangkan metode felicific calculus (kalkulus
kebahagiaan), yakni instrumen logis untuk menilai konsekuensi tindakan
berdasarkan intensitas, durasi, kepastian, dan keluasan kebahagiaan yang
ditimbulkan.⁵ Meskipun pendekatan ini dianggap reduksionis oleh sebagian filsuf
moral kontemporer, pemikiran Bentham tetap menjadi tonggak penting dalam
diskursus etika terapan, filsafat hukum, dan kebijakan publik.
Artikel ini
bertujuan untuk menguraikan dan mengkritisi pemikiran Jeremy Bentham secara
sistematis, dengan fokus pada prinsip kegunaan sebagai landasan etika dan
hukum. Pembahasan mencakup latar belakang filsafat utilitarianisme, pokok-pokok
pikiran Bentham, dampaknya terhadap reformasi hukum, serta kritik-kritik yang
muncul terhadap pandangannya, baik dari sesama utilitarian seperti John Stuart
Mill, maupun dari tradisi etika alternatif seperti deontologi Kantian dan etika
kebajikan Aristotelian. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini bersifat
konseptual-analitik dengan telaah pustaka dari karya-karya primer dan sekunder
yang relevan, termasuk buku, jurnal ilmiah, dan komentar filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1.
[2]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 45–47.
[3]
Bentham, Introduction to the Principles, 2.
[4]
H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 20–23.
[5]
Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot:
Ashgate, 2009), 38–40.
2.
Biografi Intelektual Jeremy Bentham
Jeremy Bentham lahir
pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris, dalam keluarga kelas menengah
atas yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan hukum. Ia dikenal sebagai anak
yang luar biasa cerdas. Pada usia tiga tahun, Bentham sudah membaca karya-karya
filsafat dan bermain biola. Ia mulai belajar di Queen’s College, Oxford pada
usia dua belas tahun dan memperoleh gelar B.A. pada usia lima belas.¹ Meskipun
dilatih sebagai pengacara, ia segera kecewa terhadap sistem hukum Inggris yang
dianggapnya tidak rasional, arbitrer, dan penuh dengan kepalsuan teknis.²
Kekecewaan inilah yang menjadi titik tolak awal keterlibatannya dalam proyek
besar reformasi hukum dan sosial.
Secara intelektual,
Bentham banyak dipengaruhi oleh filsuf empiris seperti John Locke dan David
Hume. Namun, ia mengembangkan gagasan moral dan politik yang sangat khas
melalui prinsip utilitas atau “prinsip kegunaan” (principle
of utility), yang menjadi inti dari seluruh bangunan pemikirannya.³
Baginya, kebahagiaan dapat diukur secara objektif berdasarkan konsekuensi nyata
dari suatu tindakan, sebuah pendekatan yang kontras dengan etika normatif
berbasis tugas (deontologi) atau nilai intrinsik (virtue ethics).⁴
Selain aktif menulis
dalam bidang etika dan hukum, Bentham juga merupakan seorang reformis sosial
yang vokal. Ia menyuarakan perlunya kodifikasi hukum, penghapusan hukuman mati,
hak-hak perempuan, pengurangan kekuasaan gereja dalam negara, dan prinsip
transparansi dalam pemerintahan.⁵ Salah satu gagasannya yang paling terkenal
adalah konsep Panopticon, sebuah rancangan
arsitektur penjara yang memungkinkan pengawasan total terhadap tahanan sebagai
metafora ideal pengendalian sosial yang efisien.⁶ Meskipun rancangan ini menuai
kritik karena berpotensi represif, konsep tersebut mencerminkan konsistensinya
dalam mengedepankan efektivitas dan rasionalitas dalam kehidupan sosial.
Sebagai pemikir yang
tidak pernah menikah dan menjalani hidup dalam disiplin intelektual yang ketat,
Bentham mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk menulis dan mengembangkan
sistem filsafat moral dan hukum yang utuh. Ia meninggal dunia pada 6 Juni 1832.
Namun warisan pemikirannya tetap hidup, tidak hanya melalui para pengikut
seperti John Stuart Mill, tetapi juga dalam pengaruh jangka panjangnya terhadap
pembentukan negara kesejahteraan, sistem hukum kodifikasi, dan teori kebijakan
publik kontemporer.⁷
Footnotes
[1]
F. Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot: Ashgate,
2009), 11–13.
[2]
H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 24.
[3]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1–3.
[4]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 60–61.
[5]
Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of
Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 83–87.
[6]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 200–203.
[7]
John Dinwiddy, “Bentham’s Transition to Political Radicalism, 1809–10,”
Journal of the History of Ideas 36, no. 4 (1975): 683–700.
3.
Prinsip Utilitarianisme: Hakikat dan Asas
Filsafat Moral
3.1.
Definisi
Utilitarianisme dan Akar Epistemologisnya
Utilitarianisme
merupakan sebuah teori etika normatif yang menetapkan bahwa tindakan yang benar
secara moral adalah tindakan yang memaksimalkan kebahagiaan atau kesejahteraan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹ Jeremy Bentham adalah tokoh sentral
dalam formalisasi doktrin ini, yang ia sebut sebagai principle
of utility atau prinsip kegunaan. Menurut Bentham, prinsip ini
adalah “that principle which approves or disapproves of every action
whatsoever, according to the tendency which it appears to have to augment or
diminish the happiness of the party whose interest is in question.”²
Secara
epistemologis, Bentham mendasarkan moralitas pada empirisme: pengalaman
kebahagiaan dan penderitaan adalah dasar tunggal dari penilaian moral. Dengan
menolak sumber moralitas yang metafisik, intuitif, atau ilahiah, Bentham
menekankan bahwa nilai tindakan dapat dievaluasi secara objektif berdasarkan
hasil yang nyata dan terukur.³ Hal ini menunjukkan pendekatan naturalistik
terhadap etika, dengan pengandaian bahwa fakta-fakta tentang kebahagiaan
manusia dapat diamati dan dikalkulasi.
3.2.
Konsep Kebahagiaan dan
Kalkulus Hedonis
Bagi Bentham,
kebahagiaan (pleasure) dan penderitaan (pain)
adalah dua kutub utama dalam pengalaman manusia, yang tidak hanya menjadi
motivator tindakan, tetapi juga standar penilaian moral. Ia menyatakan bahwa “Nature
has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and
pleasure.”⁴ Untuk itu, ia mengembangkan suatu metode penilaian moral
bernama felicific
calculus (kalkulus kebahagiaan), yang mencakup tujuh kriteria:
intensitas, durasi, kepastian, kedekatan waktu, kesuburan (kemungkinan
menghasilkan lebih banyak kebahagiaan), kemurnian (bebas dari penderitaan), dan
keluasan (jumlah orang yang terpengaruh).⁵
Melalui pendekatan
ini, moralitas tidak lagi bersifat abstrak atau intuitif, tetapi menjadi sesuatu
yang dapat dihitung secara rasional. Prinsip ini membawa utilitarianisme
menjadi sistem etika yang fungsional dan operasional, yang dapat diterapkan
dalam pengambilan keputusan hukum, politik, dan sosial.
3.3.
Universalitas dan
Impartialitas dalam Etika Utilitarian
Prinsip kegunaan
mengandung implikasi moral yang bersifat universal dan tidak memihak
(impartial). Dalam evaluasi moral, kepentingan setiap individu harus
diperhitungkan secara setara, tanpa memberikan hak istimewa kepada satu orang
atau kelompok atas yang lain.⁶ Dalam konteks ini, Bentham menolak moralitas
aristokratik yang dominan di zamannya dan menyerukan pendekatan egaliter
terhadap kesejahteraan bersama. Etika Bentham tidak membeda-bedakan antara
kebahagiaan raja dan kebahagiaan petani; yang penting adalah jumlah dan
intensitas kebahagiaan yang tercipta.
Dengan menekankan
aspek universalitas, Bentham memperkenalkan dimensi moral yang mendalam
terhadap kebijakan publik: undang-undang yang baik adalah yang menghasilkan “kesejahteraan
terbesar bagi jumlah terbesar” (the greatest happiness for the greatest number),
sebuah slogan yang kemudian dipopulerkan oleh para penerusnya, meskipun bukan
frasa literal dari Bentham sendiri.⁷
3.4.
Kritik Terhadap
Reduksionisme Moral
Meskipun pendekatan
Bentham dianggap revolusioner, berbagai kritik juga diarahkan kepadanya. Salah
satu kritik utama adalah bahwa utilitarianisme Bentham terlalu reduksionis
karena mengabaikan kualitas kebahagiaan dan hanya menekankan kuantitas. John
Stuart Mill, murid intelektual Bentham, menyatakan bahwa “it is better to be
a human being dissatisfied than a pig satisfied,” sebuah kritik terhadap
pemahaman hedonistik Bentham yang dianggap terlalu dangkal.⁸ Selain itu,
pendekatan kalkulatif Bentham dinilai terlalu mekanistik dan mengabaikan aspek
moral seperti keadilan, hak individu, dan niat dalam bertindak.
Meskipun demikian,
fondasi moral yang ia bangun tetap memberikan kontribusi besar dalam ranah
etika terapan, khususnya dalam bidang bioetika, kebijakan publik, dan analisis
biaya-manfaat (cost-benefit analysis), menjadikan utilitarianisme sebagai salah
satu teori moral yang paling berpengaruh dalam diskursus modern.
Footnotes
[1]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 4.
[2]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 2.
[3]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 71–72.
[4]
Bentham, Introduction, 1.
[5]
H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 28–29.
[6]
Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot:
Ashgate, 2009), 40–41.
[7]
Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of
Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 96.
[8]
Mill, Utilitarianism, 56.
4.
Bentham dan Reformasi Hukum: Filsafat Hukum
Positivistik
4.1.
Kritik terhadap Common
Law dan Advokasi Kodifikasi
Jeremy Bentham
tampil sebagai salah satu kritikus paling tajam terhadap sistem common
law Inggris, yang menurutnya penuh dengan ketidakjelasan,
inkonsistensi, dan penggunaan fiksi hukum yang menyesatkan. Ia mencemooh sistem
hukum ini sebagai "dog law"—sebuah sistem yang memberikan
hukuman setelah kesalahan dilakukan tanpa adanya aturan yang dapat diketahui
terlebih dahulu.¹ Kritik tersebut berakar pada keyakinan bahwa hukum harus
transparan, rasional, dan dapat diprediksi. Oleh karena itu, Bentham menyerukan
reformasi menyeluruh melalui proses kodifikasi hukum (codification), yakni
penyusunan hukum dalam bentuk undang-undang tertulis yang sistematis dan dapat
diakses oleh publik.²
Bentham menilai
bahwa hukum yang baik harus tunduk pada prinsip kegunaan, dan bukan pada
kebiasaan atau preseden. Ia menolak keabsahan precedent sebagai dasar legitimasi
hukum dan menganggapnya sebagai sumber ketidakadilan dan ketidakefisienan.³
Kodifikasi tidak hanya mempermudah pemahaman hukum oleh warga negara, tetapi
juga menjadi sarana kontrol terhadap kekuasaan arbitrer para hakim dan lembaga
yudikatif.⁴
4.2.
Positivisme Hukum dan
Konsepsi tentang Keadilan
Dalam teori hukum,
Bentham adalah pionir dari pendekatan legal positivism, yang menegaskan
bahwa hukum merupakan produk otoritas manusia, bukan manifestasi dari prinsip
moral atau keadilan alamiah.⁵ Ia memisahkan secara tegas antara "apa
yang ada"
(positive law) dan "apa yang seharusnya" (moral
ideals). Baginya, keabsahan hukum tidak tergantung pada isinya yang adil atau
tidak, melainkan pada asal-usulnya yang sah secara prosedural.⁶
Namun demikian,
Bentham tidak lantas membenarkan semua hukum positif. Ia tetap menilai hukum
berdasarkan prinsip utilitas, yaitu sejauh mana hukum tersebut memaksimalkan
kebahagiaan sosial. Dalam hal ini, keadilan bagi Bentham bukanlah konsep
absolut, melainkan hasil dari evaluasi utilitarian terhadap manfaat sosial dari
peraturan hukum.⁷ Ia berpandangan bahwa sistem hukum yang adil adalah yang
dapat memberikan ketertiban dan kesejahteraan secara luas, bukan yang berakar
pada tradisi atau otoritas metafisik.
4.3.
Gagasan Penjara Ideal:
Panopticon sebagai Instrumen Sosial
Salah satu
kontribusi paling unik Bentham dalam ranah hukum dan sistem peradilan adalah
gagasan tentang Panopticon, sebuah desain
arsitektural untuk penjara yang memungkinkan satu penjaga mengawasi semua
tahanan tanpa diketahui kapan mereka diawasi.⁸ Tujuannya adalah untuk
menciptakan efek pengawasan permanen dan internalisasi disiplin tanpa perlu
kekerasan fisik.
Panopticon
tidak hanya mencerminkan gagasan efisiensi dan rasionalitas dalam sistem
pemasyarakatan, tetapi juga menjadi representasi filosofis dari kontrol sosial
modern. Bentham berpendapat bahwa dengan menciptakan kondisi pengawasan yang
konstan, masyarakat dapat mencegah kejahatan dan mengurangi kebutuhan akan
hukuman berat.⁹ Meski proyek ini tidak pernah terealisasi secara penuh,
konsepnya berpengaruh besar dalam diskursus kriminologi dan teori sosial
modern, sebagaimana dikaji ulang secara kritis oleh Michel Foucault dalam Discipline
and Punish.¹⁰
4.4.
Warisan terhadap Hukum
Modern
Pemikiran hukum
Bentham memberikan dampak besar terhadap lahirnya sistem hukum kodifikasi di
berbagai negara, terutama dalam konteks reformasi hukum pidana dan administrasi
pemerintahan.¹¹ Gagasannya juga menjadi pondasi awal bagi pemikir legal
positivism modern seperti John Austin dan H.L.A. Hart.¹² Bentham
meletakkan dasar normatif sekaligus teknokratik dalam pemikiran hukum, yang
berpengaruh hingga dalam pembentukan sistem hukum modern yang berbasis
rasionalitas prosedural, efisiensi, dan kejelasan hukum tertulis.
Footnotes
[1]
Jeremy Bentham, Of Laws in General, ed. H.L.A. Hart (London:
Athlone Press, 1970), 174.
[2]
Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London:
Continuum, 2009), 66–69.
[3]
H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 35.
[4]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 104–106.
[5]
Frederick Rosen, Bentham, Byron, and Greece: Constitutionalism,
Nationalism, and Early Liberal Political Thought (Oxford: Oxford
University Press, 2006), 91.
[6]
Hart, Essays on Bentham, 15–17.
[7]
David Lyons, “Bentham’s Utilitarian Critique of the Common Law,” The
University of Chicago Law Review 51, no. 4 (1984): 1223–1243.
[8]
Jeremy Bentham, The Panopticon Writings, ed. Miran Božovič
(London: Verso, 1995), 29–31.
[9]
Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of
Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 122–125.
[10]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 200–203.
[11]
Gerald J. Postema, “Bentham and the Common Law Tradition,” California
Law Review 72, no. 3 (1984): 711–732.
[12]
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London:
John Murray, 1832); Hart, Essays on Bentham, 22.
5.
Aspek Aksiologis dan Epistemologis dalam
Pemikiran Bentham
5.1.
Dimensi Aksiologis:
Nilai Moral Berdasarkan Kebahagiaan
Secara aksiologis,
pemikiran Jeremy Bentham berpijak pada pandangan bahwa nilai moral suatu
tindakan semata-mata ditentukan oleh konsekuensi dari tindakan tersebut dalam menghasilkan
kebahagiaan atau menghindari penderitaan.¹ Ia tidak mengakui adanya nilai moral
intrinsik yang melekat pada suatu tindakan, terlepas dari hasilnya. Dalam hal
ini, prinsip utilitas yang dikembangkan Bentham merupakan bentuk hedonisme
teleologis, yaitu teori nilai yang menempatkan pleasure (kenikmatan) sebagai nilai
tertinggi dan pain (penderitaan) sebagai nilai
yang harus dihindari.²
Dalam kerangka ini,
Bentham menolak segala bentuk moralitas deontologis yang mengutamakan kewajiban
sebagai nilai yang berdiri sendiri. Baginya, tidak ada kewajiban moral yang
berdasar pada norma a priori atau hukum alam. Semua nilai moral ditentukan
berdasarkan sejauh mana ia mendatangkan manfaat empiris bagi makhluk yang dapat
merasakan.³ Pendekatan ini menjadikan prinsip kegunaan sebagai satu-satunya
kriteria aksiologis yang sah dalam menentukan baik-buruknya tindakan.
Namun demikian,
pemahaman tentang nilai dalam sistem Bentham bukanlah sesuatu yang bersifat
subjektif individual, melainkan agregatif dan sosial. Nilai suatu tindakan
ditentukan berdasarkan efeknya terhadap kebahagiaan kolektif, bukan hanya
terhadap satu individu.⁴ Hal ini menjadikan utilitarianisme sebagai suatu
sistem nilai yang berorientasi pada kesejahteraan publik dan secara inheren
mengandung tuntutan moral untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang
terdampak oleh tindakan tertentu.
5.2.
Dimensi Epistemologis:
Moralitas sebagai Pengetahuan Empiris
Dalam aspek
epistemologis, Bentham membangun sistem etikanya di atas fondasi empirisme dan
rasionalisme pragmatis.⁵ Ia berpandangan bahwa pengetahuan moral bukanlah hasil
dari intuisi, perenungan metafisik, atau pewahyuan ilahiah, melainkan berasal
dari pengamatan terhadap pengalaman manusia yang konkret tentang kesenangan dan
penderitaan.⁶ Dengan kata lain, Bentham menganggap bahwa moralitas dapat
dianalisis dan dipahami melalui metode ilmiah yang sama seperti dalam ilmu
alam: melalui observasi, klasifikasi, dan perhitungan.
Untuk
mengoperasionalisasikan prinsip ini, Bentham memperkenalkan felicific
calculus—suatu metode kuantitatif untuk menilai nilai moral suatu
tindakan berdasarkan kriteria seperti intensitas, durasi, kepastian, dan
keluasan efek kebahagiaan yang ditimbulkan.⁷ Kalkulus ini merupakan upaya
Bentham untuk mengembangkan sistem moral yang “ilmiah,” dalam arti dapat
dihitung dan diuji secara objektif, serta bebas dari spekulasi metafisik.⁸
Namun, pendekatan
ini tidak lepas dari kritik. Banyak filsuf moral, baik dari kubu deontologis
maupun virtue ethics, menilai bahwa pendekatan epistemologis Bentham terlalu
menyederhanakan kompleksitas moralitas manusia.⁹ Penilaian moral tidak dapat
direduksi menjadi perhitungan matematis semata, karena faktor seperti niat,
integritas, dan keadilan tidak selalu dapat dikalkulasi secara kuantitatif.
Meski demikian, kontribusi Bentham tetap penting karena ia membuka ruang bagi
pendekatan etika yang berbasis bukti empiris, yang relevan dalam konteks
kebijakan publik dan penilaian moral berbasis hasil nyata.
5.3.
Sintesis Aksiologi dan
Epistemologi: Etika sebagai Ilmu Praktis
Sintesis antara
aspek aksiologis dan epistemologis dalam pemikiran Bentham melahirkan pandangan
bahwa etika seharusnya menjadi ilmu praktis (practical science) yang berguna
untuk membimbing tindakan sosial dan kebijakan publik. Etika, bagi Bentham,
bukan semata-mata refleksi filosofis, tetapi alat untuk membentuk institusi
hukum, pemerintahan, dan masyarakat yang lebih rasional dan berkeadilan
berdasarkan prinsip kegunaan.¹⁰ Dengan cara ini, ia menghubungkan nilai dan
pengetahuan dalam satu sistem etika yang dapat dipraktikkan secara konkret dan
terukur.
Footnotes
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1–3.
[2]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique
of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press,
1990), 52–55.
[3]
Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of
Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 70–72.
[4]
John Dinwiddy, “Bentham’s Transition to Political Radicalism, 1809–10,”
Journal of the History of Ideas 36, no. 4 (1975): 690–693.
[5]
H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 27–29.
[6]
Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot:
Ashgate, 2009), 40.
[7]
Bentham, Introduction, 31–35.
[8]
Crimmins, Secular Utilitarianism, 74.
[9]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1981), 52–54.
[10]
Schofield, Utility and Democracy, 124–128.
6.
Kritik dan Perkembangan Lanjutan
6.1.
Kritik terhadap
Kalkulus Kebahagiaan dan Reduksionisme Moral
Meskipun prinsip
kegunaan yang dikemukakan Jeremy Bentham memiliki pengaruh besar dalam bidang
etika dan hukum, tidak sedikit kritik yang diarahkan terhadap pendekatannya,
terutama dalam hal reduksionisme moral. Salah satu keberatan utama ialah bahwa
Bentham terlalu menyederhanakan kompleksitas moralitas menjadi persoalan
kalkulatif mengenai kebahagiaan dan penderitaan.¹ Dalam felicific
calculus—upaya untuk menghitung intensitas, durasi, kepastian, dan
keluasan kebahagiaan—ia mengasumsikan bahwa seluruh aspek nilai moral dapat
dikuantifikasi secara objektif.²
John Stuart Mill,
penerus intelektual Bentham, mengkritik pendekatan ini sebagai bentuk hedonisme
yang bersifat kuantitatif dan mengabaikan kualitas pengalaman manusia. Ia
menyatakan bahwa “it is better to be a human being dissatisfied than a pig
satisfied,” yang menandakan adanya hierarki dalam jenis kebahagiaan, yaitu
kebahagiaan intelektual dan moral lebih tinggi daripada kenikmatan fisik.³
Kritik Mill menandai pergeseran dari utilitarianisme Bentham yang berfokus pada
pleasure
sebagai satu-satunya nilai, menuju pendekatan yang mempertimbangkan kualitas
serta kapasitas reflektif manusia.
Selain itu, Bentham
juga dikritik karena gagal menangkap aspek normatif seperti keadilan, hak-hak
individual, dan niat moral. Teori utilitarian, misalnya, bisa membenarkan
ketidakadilan terhadap minoritas jika hal tersebut menghasilkan kebahagiaan
mayoritas.⁴ Dalam konteks hukum, hal ini menimbulkan dilema etis yang serius,
karena hukum seharusnya tidak hanya memperhitungkan dampak, tetapi juga
menjamin keadilan dan perlindungan hak secara substansial.
6.2.
Kontras dengan Tradisi
Etika Deontologis dan Kebajikan
Pemikiran Bentham
juga berseberangan tajam dengan tradisi etika deontologis yang dikembangkan
oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, moralitas tidak didasarkan pada hasil atau
konsekuensi, tetapi pada prinsip kewajiban yang rasional dan universal (categorical
imperative).⁵ Bentham dianggap gagal membedakan antara tindakan
yang benar karena kewajiban dan tindakan yang benar karena menguntungkan.
Pandangan ini juga dikritik oleh pemikir etika kebajikan seperti Alasdair
MacIntyre, yang berpendapat bahwa pendekatan utilitarian mengabaikan karakter
moral, konteks komunitas, dan telos manusia yang lebih dalam.⁶
Bagi MacIntyre,
pendekatan Bentham menurunkan moralitas menjadi keputusan teknis tanpa
memperhatikan struktur naratif dan historis dari kehidupan manusia. Dalam
masyarakat modern yang telah terfragmentasi secara nilai, pendekatan kalkulatif
Bentham dinilai tidak cukup memadai untuk menangani konflik etis yang
kompleks.⁷
6.3.
Warisan dalam Etika
Terapan dan Kebijakan Publik
Terlepas dari kritik
tersebut, utilitarianisme Bentham tetap memberikan kontribusi penting dalam
pengembangan etika terapan dan kebijakan publik modern. Prinsip kegunaan telah
menjadi fondasi dalam analisis kebijakan sosial, ekonomi kesejahteraan, dan
teori keadilan distributif. Dalam bidang bioetika, Peter Singer—filsuf
kontemporer utilitarian—mengembangkan pandangan yang menyatukan prinsip
kegunaan Bentham dengan sensitivitas terhadap penderitaan makhluk hidup, baik
manusia maupun non-manusia.⁸
Konsep cost-benefit
analysis, yang digunakan secara luas dalam pengambilan keputusan
pemerintah dan perusahaan, merupakan penerapan praktis dari ide Bentham tentang
evaluasi rasional terhadap manfaat dan kerugian.⁹ Dalam sistem hukum,
pendekatan utilitarian digunakan untuk menilai efektivitas hukuman, regulasi
ekonomi, serta efisiensi administratif, meskipun harus diimbangi dengan prinsip
keadilan dan hak asasi.
6.4.
Relevansi dalam
Konteks Global dan Interdisipliner
Di era global yang
ditandai oleh kompleksitas moral dan pluralisme nilai, warisan Bentham tetap
relevan. Pemikirannya mendorong rasionalisasi dalam proses legislatif,
desentralisasi kekuasaan, dan penyusunan kebijakan berbasis bukti (evidence-based
policy).¹⁰ Meski tidak sempurna, prinsip kegunaan tetap menjadi
alat konseptual yang berguna dalam merancang sistem etika dan hukum yang
responsif terhadap kebutuhan sosial.¹¹
Lebih jauh,
pemikiran Bentham menjadi jembatan antara filsafat moral, ekonomi, dan teori
pemerintahan. Dengan demikian, utilitarianisme klasik tidak hanya menjadi
doktrin etis, tetapi juga paradigma multidisipliner yang mempengaruhi teori
hukum, politik, manajemen publik, bahkan ekologi dan kesejahteraan hewan.
Footnotes
[1]
H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 37–38.
[2]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 31–35.
[3]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 56.
[4]
Bernard Williams, “A Critique of Utilitarianism,” in Utilitarianism:
For and Against, by J.J.C. Smart and Bernard Williams (Cambridge:
Cambridge University Press, 1973), 77–150.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–33.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1981), 44–47.
[7]
MacIntyre, After Virtue, 50–52.
[8]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 7–12.
[9]
Daniel M. Hausman and Michael S. McPherson, Economic Analysis,
Moral Philosophy, and Public Policy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2006), 115–117.
[10]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 123–125.
[11]
Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of
Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 142–145.
7.
Kesimpulan
Jeremy Bentham
merupakan figur sentral dalam sejarah filsafat modern yang berhasil
mengintegrasikan moralitas, hukum, dan kebijakan sosial dalam satu kerangka
sistematis berbasis prinsip kegunaan. Melalui pemikiran utilitarianisme yang ia
bangun, Bentham mengalihkan orientasi filsafat moral dari abstraksi metafisik dan
normativitas teologis menuju evaluasi rasional terhadap konsekuensi nyata
tindakan manusia.¹ Ia memperkenalkan principle of utility sebagai asas
moral universal, yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah yang
menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.²
Sumbangan Bentham
tidak terbatas pada bidang etika teoritis, melainkan menjangkau ranah praktis,
terutama dalam hukum dan pemerintahan. Kritiknya terhadap common
law serta seruannya untuk kodifikasi hukum menandai awal dari transisi
menuju positivisme hukum yang lebih rasional dan terstruktur.³ Konsep felicific
calculus yang ia gagas adalah upaya awal untuk mendirikan etika
sebagai ilmu praktis, yang berbasis pada pengukuran empiris dan kalkulasi
manfaat sosial.⁴ Dalam konteks ini, nilai moral dan hukum dilihat sebagai
sesuatu yang dapat dianalisis dan ditingkatkan melalui proses rasionalisasi
yang terbuka dan demokratis.
Namun demikian,
pendekatan Bentham juga tidak lepas dari kritik. Kesederhanaan kalkulus
kebahagiaan dinilai tidak cukup untuk menangkap kompleksitas moral, terutama
dalam situasi yang menuntut perlindungan hak-hak minoritas, penilaian terhadap
niat moral, dan keadilan distributif.⁵ Kritik dari John Stuart Mill mengenai
pentingnya kualitas kebahagiaan, serta penolakan dari filsuf-filsuf deontologis
dan virtue ethics terhadap reduksionisme moral Bentham, menunjukkan adanya
kebutuhan untuk menyempurnakan atau melengkapi kerangka utilitarianisme
klasik.⁶
Meski demikian,
warisan intelektual Bentham tetap hidup dalam berbagai bidang. Prinsip kegunaan
telah menjadi landasan penting dalam pengembangan etika terapan, analisis
kebijakan publik, ekonomi kesejahteraan, dan reformasi hukum.⁷ Pemikirannya
mendorong lahirnya pendekatan multidisipliner dalam penanganan masalah sosial
dan etika, serta memberikan alat analisis rasional yang dapat digunakan dalam
konteks global yang plural dan kompleks.
Dengan demikian,
filsafat moral dan hukum Bentham tidak hanya bernilai historis, tetapi juga
memiliki relevansi kontemporer yang kuat. Prinsip kegunaan tetap menjadi
instrumen penting dalam menimbang manfaat dan risiko suatu kebijakan, dan dalam
membentuk sistem hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.⁸
Penilaian terhadap pemikirannya bukanlah soal menerima atau menolak secara
mutlak, melainkan sejauh mana prinsip-prinsip tersebut dapat
dikontekstualisasikan dan dimodifikasi untuk menjawab tantangan moral masa
kini.
Footnotes
[1]
James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the
Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon
Press, 1990), 32–33.
[2]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1–2.
[3]
H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 24–25.
[4]
Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot:
Ashgate, 2009), 38–40.
[5]
Bernard Williams, “A Critique of Utilitarianism,” in Utilitarianism:
For and Against, by J.J.C. Smart and Bernard Williams (Cambridge:
Cambridge University Press, 1973), 117–120.
[6]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 56–58; Alasdair MacIntyre, After Virtue
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 52–54.
[7]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 9–10.
[8]
Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of
Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 132–135.
Daftar Pustaka
Bentham, J. (1789). An
introduction to the principles of morals and legislation. T. Payne and
Son.
Bentham, J. (1995). The
Panopticon writings (M. Božovič, Ed.). Verso.
Crimmins, J. E. (1990). Secular
utilitarianism: Social science and the critique of religion in the thought of
Jeremy Bentham. Clarendon Press.
Dinwiddy, J. (1975).
Bentham’s transition to political radicalism, 1809–10. Journal of the
History of Ideas, 36(4), 683–700. https://doi.org/10.2307/2708995
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1975)
Hart, H. L. A. (1982). Essays
on Bentham: Studies in jurisprudence and political theory. Oxford
University Press.
Hausman, D. M., &
McPherson, M. S. (2006). Economic analysis, moral philosophy, and public
policy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1785)
MacIntyre, A. (1981). After
virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism
(R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1863)
Postema, G. J. (1984).
Bentham and the common law tradition. California Law Review, 72(3),
711–732. https://doi.org/10.2307/3480543
Rosen, F. (2009). Jeremy
Bentham and the law. Ashgate.
Rosen, F. (2006). Bentham,
Byron, and Greece: Constitutionalism, nationalism, and early liberal political
thought. Oxford University Press.
Schofield, P. (2006). Utility
and democracy: The political thought of Jeremy Bentham. Oxford University
Press.
Schofield, P. (2009). Bentham:
A guide for the perplexed. Continuum.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Williams, B. (1973). A
critique of utilitarianism. In J. J. C. Smart & B. Williams, Utilitarianism:
For and against (pp. 77–150). Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar