Sabtu, 24 Mei 2025

Pemikiran Jeremy Bentham: Telaah Kritis atas Prinsip Kegunaan dalam Etika dan Hukum

Pemikiran Jeremy Bentham

Telaah Kritis atas Prinsip Kegunaan dalam Etika dan Hukum


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pemikiran Jeremy Bentham sebagai pelopor utama utilitarianisme klasik, dengan fokus pada prinsip kegunaan (principle of utility) sebagai landasan filsafat moral dan hukum. Bentham menolak moralitas berbasis intuisi, tradisi, maupun wahyu, dan menggantikannya dengan pendekatan empiris dan rasional yang mengutamakan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak sebagai kriteria utama penilaian etis dan legal. Dalam kerangka aksiologis, Bentham mendefinisikan nilai moral berdasarkan dampak tindakan terhadap kebahagiaan kolektif, sementara secara epistemologis, ia memandang moralitas sebagai pengetahuan yang dapat diuji melalui observasi dan kalkulasi manfaat.

Artikel ini juga menyoroti kontribusi Bentham dalam reformasi hukum, terutama melalui kritik terhadap common law, advokasi kodifikasi hukum, dan gagasan Panopticon sebagai metafora pengawasan sosial. Kritik-kritik utama terhadap pemikirannya berasal dari John Stuart Mill yang menekankan kualitas kebahagiaan, serta dari tradisi deontologi dan etika kebajikan yang menyoroti kelemahan reduksionisme moral dalam utilitarianisme. Meskipun demikian, warisan Bentham tetap signifikan dalam etika terapan, analisis kebijakan publik, dan teori hukum modern. Artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Bentham, meskipun tidak bebas dari kelemahan, tetap relevan untuk memahami dan membentuk kerangka etika dan hukum yang rasional, pragmatis, dan berbasis kesejahteraan publik.

Kata Kunci: Jeremy Bentham, utilitarianisme, prinsip kegunaan, filsafat hukum, kalkulus kebahagiaan, reformasi hukum, etika empiris, positivisme hukum.


PEMBAHASAN

Jeremy Bentham dan Filsafat Utilitarianisme


1.           Pendahuluan

Filsafat moral modern mengalami pergeseran besar sejak abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748–1832) mengajukan prinsip kegunaan sebagai fondasi etika dan hukum. Dalam konteks ini, muncul sebuah gagasan revolusioner bahwa nilai moral suatu tindakan terletak pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan “kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.”¹ Bentham tidak hanya meletakkan dasar bagi utilitarianisme klasik, tetapi juga menggagas pendekatan normatif berbasis kalkulasi rasional dan empiris yang menghubungkan antara etika, hukum, dan kebijakan sosial.

Kontribusi Bentham tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial-politik Inggris pada akhir abad ke-18, yang ditandai oleh ketimpangan sosial, sistem hukum yang tidak terkodifikasi, dan dorongan kuat terhadap reformasi.² Dalam karya monumentalnya, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), Bentham merumuskan prinsip utilitas sebagai “the property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage, pleasure, good, or happiness.”³ Konsep ini tidak hanya menantang otoritas etika deontologis dan teologis pada zamannya, tetapi juga memberikan landasan sistematik bagi reformasi hukum, sistem pemasyarakatan, dan tata kelola pemerintahan yang lebih efisien dan manusiawi.

Sebagai pemikir yang menolak abstraksi metafisik dan norma moral berbasis wahyu, Bentham menegaskan bahwa landasan moral dan legal harus dapat diverifikasi secara empiris dan terukur.⁴ Oleh karena itu, ia mengembangkan metode felicific calculus (kalkulus kebahagiaan), yakni instrumen logis untuk menilai konsekuensi tindakan berdasarkan intensitas, durasi, kepastian, dan keluasan kebahagiaan yang ditimbulkan.⁵ Meskipun pendekatan ini dianggap reduksionis oleh sebagian filsuf moral kontemporer, pemikiran Bentham tetap menjadi tonggak penting dalam diskursus etika terapan, filsafat hukum, dan kebijakan publik.

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan dan mengkritisi pemikiran Jeremy Bentham secara sistematis, dengan fokus pada prinsip kegunaan sebagai landasan etika dan hukum. Pembahasan mencakup latar belakang filsafat utilitarianisme, pokok-pokok pikiran Bentham, dampaknya terhadap reformasi hukum, serta kritik-kritik yang muncul terhadap pandangannya, baik dari sesama utilitarian seperti John Stuart Mill, maupun dari tradisi etika alternatif seperti deontologi Kantian dan etika kebajikan Aristotelian. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini bersifat konseptual-analitik dengan telaah pustaka dari karya-karya primer dan sekunder yang relevan, termasuk buku, jurnal ilmiah, dan komentar filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1.

[2]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 45–47.

[3]                Bentham, Introduction to the Principles, 2.

[4]                H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 20–23.

[5]                Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot: Ashgate, 2009), 38–40.


2.           Biografi Intelektual Jeremy Bentham

Jeremy Bentham lahir pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris, dalam keluarga kelas menengah atas yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan hukum. Ia dikenal sebagai anak yang luar biasa cerdas. Pada usia tiga tahun, Bentham sudah membaca karya-karya filsafat dan bermain biola. Ia mulai belajar di Queen’s College, Oxford pada usia dua belas tahun dan memperoleh gelar B.A. pada usia lima belas.¹ Meskipun dilatih sebagai pengacara, ia segera kecewa terhadap sistem hukum Inggris yang dianggapnya tidak rasional, arbitrer, dan penuh dengan kepalsuan teknis.² Kekecewaan inilah yang menjadi titik tolak awal keterlibatannya dalam proyek besar reformasi hukum dan sosial.

Secara intelektual, Bentham banyak dipengaruhi oleh filsuf empiris seperti John Locke dan David Hume. Namun, ia mengembangkan gagasan moral dan politik yang sangat khas melalui prinsip utilitas atau “prinsip kegunaan” (principle of utility), yang menjadi inti dari seluruh bangunan pemikirannya.³ Baginya, kebahagiaan dapat diukur secara objektif berdasarkan konsekuensi nyata dari suatu tindakan, sebuah pendekatan yang kontras dengan etika normatif berbasis tugas (deontologi) atau nilai intrinsik (virtue ethics).⁴

Selain aktif menulis dalam bidang etika dan hukum, Bentham juga merupakan seorang reformis sosial yang vokal. Ia menyuarakan perlunya kodifikasi hukum, penghapusan hukuman mati, hak-hak perempuan, pengurangan kekuasaan gereja dalam negara, dan prinsip transparansi dalam pemerintahan.⁵ Salah satu gagasannya yang paling terkenal adalah konsep Panopticon, sebuah rancangan arsitektur penjara yang memungkinkan pengawasan total terhadap tahanan sebagai metafora ideal pengendalian sosial yang efisien.⁶ Meskipun rancangan ini menuai kritik karena berpotensi represif, konsep tersebut mencerminkan konsistensinya dalam mengedepankan efektivitas dan rasionalitas dalam kehidupan sosial.

Sebagai pemikir yang tidak pernah menikah dan menjalani hidup dalam disiplin intelektual yang ketat, Bentham mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk menulis dan mengembangkan sistem filsafat moral dan hukum yang utuh. Ia meninggal dunia pada 6 Juni 1832. Namun warisan pemikirannya tetap hidup, tidak hanya melalui para pengikut seperti John Stuart Mill, tetapi juga dalam pengaruh jangka panjangnya terhadap pembentukan negara kesejahteraan, sistem hukum kodifikasi, dan teori kebijakan publik kontemporer.⁷


Footnotes

[1]                F. Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot: Ashgate, 2009), 11–13.

[2]                H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 24.

[3]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1–3.

[4]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 60–61.

[5]                Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 83–87.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 200–203.

[7]                John Dinwiddy, “Bentham’s Transition to Political Radicalism, 1809–10,” Journal of the History of Ideas 36, no. 4 (1975): 683–700.


3.           Prinsip Utilitarianisme: Hakikat dan Asas Filsafat Moral

3.1.       Definisi Utilitarianisme dan Akar Epistemologisnya

Utilitarianisme merupakan sebuah teori etika normatif yang menetapkan bahwa tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang memaksimalkan kebahagiaan atau kesejahteraan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹ Jeremy Bentham adalah tokoh sentral dalam formalisasi doktrin ini, yang ia sebut sebagai principle of utility atau prinsip kegunaan. Menurut Bentham, prinsip ini adalah “that principle which approves or disapproves of every action whatsoever, according to the tendency which it appears to have to augment or diminish the happiness of the party whose interest is in question.”²

Secara epistemologis, Bentham mendasarkan moralitas pada empirisme: pengalaman kebahagiaan dan penderitaan adalah dasar tunggal dari penilaian moral. Dengan menolak sumber moralitas yang metafisik, intuitif, atau ilahiah, Bentham menekankan bahwa nilai tindakan dapat dievaluasi secara objektif berdasarkan hasil yang nyata dan terukur.³ Hal ini menunjukkan pendekatan naturalistik terhadap etika, dengan pengandaian bahwa fakta-fakta tentang kebahagiaan manusia dapat diamati dan dikalkulasi.

3.2.       Konsep Kebahagiaan dan Kalkulus Hedonis

Bagi Bentham, kebahagiaan (pleasure) dan penderitaan (pain) adalah dua kutub utama dalam pengalaman manusia, yang tidak hanya menjadi motivator tindakan, tetapi juga standar penilaian moral. Ia menyatakan bahwa “Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure.”⁴ Untuk itu, ia mengembangkan suatu metode penilaian moral bernama felicific calculus (kalkulus kebahagiaan), yang mencakup tujuh kriteria: intensitas, durasi, kepastian, kedekatan waktu, kesuburan (kemungkinan menghasilkan lebih banyak kebahagiaan), kemurnian (bebas dari penderitaan), dan keluasan (jumlah orang yang terpengaruh).⁵

Melalui pendekatan ini, moralitas tidak lagi bersifat abstrak atau intuitif, tetapi menjadi sesuatu yang dapat dihitung secara rasional. Prinsip ini membawa utilitarianisme menjadi sistem etika yang fungsional dan operasional, yang dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan hukum, politik, dan sosial.

3.3.       Universalitas dan Impartialitas dalam Etika Utilitarian

Prinsip kegunaan mengandung implikasi moral yang bersifat universal dan tidak memihak (impartial). Dalam evaluasi moral, kepentingan setiap individu harus diperhitungkan secara setara, tanpa memberikan hak istimewa kepada satu orang atau kelompok atas yang lain.⁶ Dalam konteks ini, Bentham menolak moralitas aristokratik yang dominan di zamannya dan menyerukan pendekatan egaliter terhadap kesejahteraan bersama. Etika Bentham tidak membeda-bedakan antara kebahagiaan raja dan kebahagiaan petani; yang penting adalah jumlah dan intensitas kebahagiaan yang tercipta.

Dengan menekankan aspek universalitas, Bentham memperkenalkan dimensi moral yang mendalam terhadap kebijakan publik: undang-undang yang baik adalah yang menghasilkan “kesejahteraan terbesar bagi jumlah terbesar” (the greatest happiness for the greatest number), sebuah slogan yang kemudian dipopulerkan oleh para penerusnya, meskipun bukan frasa literal dari Bentham sendiri.⁷

3.4.       Kritik Terhadap Reduksionisme Moral

Meskipun pendekatan Bentham dianggap revolusioner, berbagai kritik juga diarahkan kepadanya. Salah satu kritik utama adalah bahwa utilitarianisme Bentham terlalu reduksionis karena mengabaikan kualitas kebahagiaan dan hanya menekankan kuantitas. John Stuart Mill, murid intelektual Bentham, menyatakan bahwa “it is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied,” sebuah kritik terhadap pemahaman hedonistik Bentham yang dianggap terlalu dangkal.⁸ Selain itu, pendekatan kalkulatif Bentham dinilai terlalu mekanistik dan mengabaikan aspek moral seperti keadilan, hak individu, dan niat dalam bertindak.

Meskipun demikian, fondasi moral yang ia bangun tetap memberikan kontribusi besar dalam ranah etika terapan, khususnya dalam bidang bioetika, kebijakan publik, dan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), menjadikan utilitarianisme sebagai salah satu teori moral yang paling berpengaruh dalam diskursus modern.


Footnotes

[1]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 4.

[2]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 2.

[3]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 71–72.

[4]                Bentham, Introduction, 1.

[5]                H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 28–29.

[6]                Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot: Ashgate, 2009), 40–41.

[7]                Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 96.

[8]                Mill, Utilitarianism, 56.


4.           Bentham dan Reformasi Hukum: Filsafat Hukum Positivistik

4.1.       Kritik terhadap Common Law dan Advokasi Kodifikasi

Jeremy Bentham tampil sebagai salah satu kritikus paling tajam terhadap sistem common law Inggris, yang menurutnya penuh dengan ketidakjelasan, inkonsistensi, dan penggunaan fiksi hukum yang menyesatkan. Ia mencemooh sistem hukum ini sebagai "dog law"—sebuah sistem yang memberikan hukuman setelah kesalahan dilakukan tanpa adanya aturan yang dapat diketahui terlebih dahulu.¹ Kritik tersebut berakar pada keyakinan bahwa hukum harus transparan, rasional, dan dapat diprediksi. Oleh karena itu, Bentham menyerukan reformasi menyeluruh melalui proses kodifikasi hukum (codification), yakni penyusunan hukum dalam bentuk undang-undang tertulis yang sistematis dan dapat diakses oleh publik.²

Bentham menilai bahwa hukum yang baik harus tunduk pada prinsip kegunaan, dan bukan pada kebiasaan atau preseden. Ia menolak keabsahan precedent sebagai dasar legitimasi hukum dan menganggapnya sebagai sumber ketidakadilan dan ketidakefisienan.³ Kodifikasi tidak hanya mempermudah pemahaman hukum oleh warga negara, tetapi juga menjadi sarana kontrol terhadap kekuasaan arbitrer para hakim dan lembaga yudikatif.⁴

4.2.       Positivisme Hukum dan Konsepsi tentang Keadilan

Dalam teori hukum, Bentham adalah pionir dari pendekatan legal positivism, yang menegaskan bahwa hukum merupakan produk otoritas manusia, bukan manifestasi dari prinsip moral atau keadilan alamiah.⁵ Ia memisahkan secara tegas antara "apa yang ada" (positive law) dan "apa yang seharusnya" (moral ideals). Baginya, keabsahan hukum tidak tergantung pada isinya yang adil atau tidak, melainkan pada asal-usulnya yang sah secara prosedural.⁶

Namun demikian, Bentham tidak lantas membenarkan semua hukum positif. Ia tetap menilai hukum berdasarkan prinsip utilitas, yaitu sejauh mana hukum tersebut memaksimalkan kebahagiaan sosial. Dalam hal ini, keadilan bagi Bentham bukanlah konsep absolut, melainkan hasil dari evaluasi utilitarian terhadap manfaat sosial dari peraturan hukum.⁷ Ia berpandangan bahwa sistem hukum yang adil adalah yang dapat memberikan ketertiban dan kesejahteraan secara luas, bukan yang berakar pada tradisi atau otoritas metafisik.

4.3.       Gagasan Penjara Ideal: Panopticon sebagai Instrumen Sosial

Salah satu kontribusi paling unik Bentham dalam ranah hukum dan sistem peradilan adalah gagasan tentang Panopticon, sebuah desain arsitektural untuk penjara yang memungkinkan satu penjaga mengawasi semua tahanan tanpa diketahui kapan mereka diawasi.⁸ Tujuannya adalah untuk menciptakan efek pengawasan permanen dan internalisasi disiplin tanpa perlu kekerasan fisik.

Panopticon tidak hanya mencerminkan gagasan efisiensi dan rasionalitas dalam sistem pemasyarakatan, tetapi juga menjadi representasi filosofis dari kontrol sosial modern. Bentham berpendapat bahwa dengan menciptakan kondisi pengawasan yang konstan, masyarakat dapat mencegah kejahatan dan mengurangi kebutuhan akan hukuman berat.⁹ Meski proyek ini tidak pernah terealisasi secara penuh, konsepnya berpengaruh besar dalam diskursus kriminologi dan teori sosial modern, sebagaimana dikaji ulang secara kritis oleh Michel Foucault dalam Discipline and Punish.¹⁰

4.4.       Warisan terhadap Hukum Modern

Pemikiran hukum Bentham memberikan dampak besar terhadap lahirnya sistem hukum kodifikasi di berbagai negara, terutama dalam konteks reformasi hukum pidana dan administrasi pemerintahan.¹¹ Gagasannya juga menjadi pondasi awal bagi pemikir legal positivism modern seperti John Austin dan H.L.A. Hart.¹² Bentham meletakkan dasar normatif sekaligus teknokratik dalam pemikiran hukum, yang berpengaruh hingga dalam pembentukan sistem hukum modern yang berbasis rasionalitas prosedural, efisiensi, dan kejelasan hukum tertulis.


Footnotes

[1]                Jeremy Bentham, Of Laws in General, ed. H.L.A. Hart (London: Athlone Press, 1970), 174.

[2]                Philip Schofield, Bentham: A Guide for the Perplexed (London: Continuum, 2009), 66–69.

[3]                H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 35.

[4]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 104–106.

[5]                Frederick Rosen, Bentham, Byron, and Greece: Constitutionalism, Nationalism, and Early Liberal Political Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 91.

[6]                Hart, Essays on Bentham, 15–17.

[7]                David Lyons, “Bentham’s Utilitarian Critique of the Common Law,” The University of Chicago Law Review 51, no. 4 (1984): 1223–1243.

[8]                Jeremy Bentham, The Panopticon Writings, ed. Miran Božovič (London: Verso, 1995), 29–31.

[9]                Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 122–125.

[10]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 200–203.

[11]             Gerald J. Postema, “Bentham and the Common Law Tradition,” California Law Review 72, no. 3 (1984): 711–732.

[12]             John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: John Murray, 1832); Hart, Essays on Bentham, 22.


5.           Aspek Aksiologis dan Epistemologis dalam Pemikiran Bentham

5.1.       Dimensi Aksiologis: Nilai Moral Berdasarkan Kebahagiaan

Secara aksiologis, pemikiran Jeremy Bentham berpijak pada pandangan bahwa nilai moral suatu tindakan semata-mata ditentukan oleh konsekuensi dari tindakan tersebut dalam menghasilkan kebahagiaan atau menghindari penderitaan.¹ Ia tidak mengakui adanya nilai moral intrinsik yang melekat pada suatu tindakan, terlepas dari hasilnya. Dalam hal ini, prinsip utilitas yang dikembangkan Bentham merupakan bentuk hedonisme teleologis, yaitu teori nilai yang menempatkan pleasure (kenikmatan) sebagai nilai tertinggi dan pain (penderitaan) sebagai nilai yang harus dihindari.²

Dalam kerangka ini, Bentham menolak segala bentuk moralitas deontologis yang mengutamakan kewajiban sebagai nilai yang berdiri sendiri. Baginya, tidak ada kewajiban moral yang berdasar pada norma a priori atau hukum alam. Semua nilai moral ditentukan berdasarkan sejauh mana ia mendatangkan manfaat empiris bagi makhluk yang dapat merasakan.³ Pendekatan ini menjadikan prinsip kegunaan sebagai satu-satunya kriteria aksiologis yang sah dalam menentukan baik-buruknya tindakan.

Namun demikian, pemahaman tentang nilai dalam sistem Bentham bukanlah sesuatu yang bersifat subjektif individual, melainkan agregatif dan sosial. Nilai suatu tindakan ditentukan berdasarkan efeknya terhadap kebahagiaan kolektif, bukan hanya terhadap satu individu.⁴ Hal ini menjadikan utilitarianisme sebagai suatu sistem nilai yang berorientasi pada kesejahteraan publik dan secara inheren mengandung tuntutan moral untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terdampak oleh tindakan tertentu.

5.2.       Dimensi Epistemologis: Moralitas sebagai Pengetahuan Empiris

Dalam aspek epistemologis, Bentham membangun sistem etikanya di atas fondasi empirisme dan rasionalisme pragmatis.⁵ Ia berpandangan bahwa pengetahuan moral bukanlah hasil dari intuisi, perenungan metafisik, atau pewahyuan ilahiah, melainkan berasal dari pengamatan terhadap pengalaman manusia yang konkret tentang kesenangan dan penderitaan.⁶ Dengan kata lain, Bentham menganggap bahwa moralitas dapat dianalisis dan dipahami melalui metode ilmiah yang sama seperti dalam ilmu alam: melalui observasi, klasifikasi, dan perhitungan.

Untuk mengoperasionalisasikan prinsip ini, Bentham memperkenalkan felicific calculus—suatu metode kuantitatif untuk menilai nilai moral suatu tindakan berdasarkan kriteria seperti intensitas, durasi, kepastian, dan keluasan efek kebahagiaan yang ditimbulkan.⁷ Kalkulus ini merupakan upaya Bentham untuk mengembangkan sistem moral yang “ilmiah,” dalam arti dapat dihitung dan diuji secara objektif, serta bebas dari spekulasi metafisik.⁸

Namun, pendekatan ini tidak lepas dari kritik. Banyak filsuf moral, baik dari kubu deontologis maupun virtue ethics, menilai bahwa pendekatan epistemologis Bentham terlalu menyederhanakan kompleksitas moralitas manusia.⁹ Penilaian moral tidak dapat direduksi menjadi perhitungan matematis semata, karena faktor seperti niat, integritas, dan keadilan tidak selalu dapat dikalkulasi secara kuantitatif. Meski demikian, kontribusi Bentham tetap penting karena ia membuka ruang bagi pendekatan etika yang berbasis bukti empiris, yang relevan dalam konteks kebijakan publik dan penilaian moral berbasis hasil nyata.

5.3.       Sintesis Aksiologi dan Epistemologi: Etika sebagai Ilmu Praktis

Sintesis antara aspek aksiologis dan epistemologis dalam pemikiran Bentham melahirkan pandangan bahwa etika seharusnya menjadi ilmu praktis (practical science) yang berguna untuk membimbing tindakan sosial dan kebijakan publik. Etika, bagi Bentham, bukan semata-mata refleksi filosofis, tetapi alat untuk membentuk institusi hukum, pemerintahan, dan masyarakat yang lebih rasional dan berkeadilan berdasarkan prinsip kegunaan.¹⁰ Dengan cara ini, ia menghubungkan nilai dan pengetahuan dalam satu sistem etika yang dapat dipraktikkan secara konkret dan terukur.


Footnotes

[1]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1–3.

[2]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 52–55.

[3]                Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 70–72.

[4]                John Dinwiddy, “Bentham’s Transition to Political Radicalism, 1809–10,” Journal of the History of Ideas 36, no. 4 (1975): 690–693.

[5]                H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 27–29.

[6]                Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot: Ashgate, 2009), 40.

[7]                Bentham, Introduction, 31–35.

[8]                Crimmins, Secular Utilitarianism, 74.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 52–54.

[10]             Schofield, Utility and Democracy, 124–128.


6.           Kritik dan Perkembangan Lanjutan

6.1.       Kritik terhadap Kalkulus Kebahagiaan dan Reduksionisme Moral

Meskipun prinsip kegunaan yang dikemukakan Jeremy Bentham memiliki pengaruh besar dalam bidang etika dan hukum, tidak sedikit kritik yang diarahkan terhadap pendekatannya, terutama dalam hal reduksionisme moral. Salah satu keberatan utama ialah bahwa Bentham terlalu menyederhanakan kompleksitas moralitas menjadi persoalan kalkulatif mengenai kebahagiaan dan penderitaan.¹ Dalam felicific calculus—upaya untuk menghitung intensitas, durasi, kepastian, dan keluasan kebahagiaan—ia mengasumsikan bahwa seluruh aspek nilai moral dapat dikuantifikasi secara objektif.²

John Stuart Mill, penerus intelektual Bentham, mengkritik pendekatan ini sebagai bentuk hedonisme yang bersifat kuantitatif dan mengabaikan kualitas pengalaman manusia. Ia menyatakan bahwa “it is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied,” yang menandakan adanya hierarki dalam jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan intelektual dan moral lebih tinggi daripada kenikmatan fisik.³ Kritik Mill menandai pergeseran dari utilitarianisme Bentham yang berfokus pada pleasure sebagai satu-satunya nilai, menuju pendekatan yang mempertimbangkan kualitas serta kapasitas reflektif manusia.

Selain itu, Bentham juga dikritik karena gagal menangkap aspek normatif seperti keadilan, hak-hak individual, dan niat moral. Teori utilitarian, misalnya, bisa membenarkan ketidakadilan terhadap minoritas jika hal tersebut menghasilkan kebahagiaan mayoritas.⁴ Dalam konteks hukum, hal ini menimbulkan dilema etis yang serius, karena hukum seharusnya tidak hanya memperhitungkan dampak, tetapi juga menjamin keadilan dan perlindungan hak secara substansial.

6.2.       Kontras dengan Tradisi Etika Deontologis dan Kebajikan

Pemikiran Bentham juga berseberangan tajam dengan tradisi etika deontologis yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, moralitas tidak didasarkan pada hasil atau konsekuensi, tetapi pada prinsip kewajiban yang rasional dan universal (categorical imperative).⁵ Bentham dianggap gagal membedakan antara tindakan yang benar karena kewajiban dan tindakan yang benar karena menguntungkan. Pandangan ini juga dikritik oleh pemikir etika kebajikan seperti Alasdair MacIntyre, yang berpendapat bahwa pendekatan utilitarian mengabaikan karakter moral, konteks komunitas, dan telos manusia yang lebih dalam.⁶

Bagi MacIntyre, pendekatan Bentham menurunkan moralitas menjadi keputusan teknis tanpa memperhatikan struktur naratif dan historis dari kehidupan manusia. Dalam masyarakat modern yang telah terfragmentasi secara nilai, pendekatan kalkulatif Bentham dinilai tidak cukup memadai untuk menangani konflik etis yang kompleks.⁷

6.3.       Warisan dalam Etika Terapan dan Kebijakan Publik

Terlepas dari kritik tersebut, utilitarianisme Bentham tetap memberikan kontribusi penting dalam pengembangan etika terapan dan kebijakan publik modern. Prinsip kegunaan telah menjadi fondasi dalam analisis kebijakan sosial, ekonomi kesejahteraan, dan teori keadilan distributif. Dalam bidang bioetika, Peter Singer—filsuf kontemporer utilitarian—mengembangkan pandangan yang menyatukan prinsip kegunaan Bentham dengan sensitivitas terhadap penderitaan makhluk hidup, baik manusia maupun non-manusia.⁸

Konsep cost-benefit analysis, yang digunakan secara luas dalam pengambilan keputusan pemerintah dan perusahaan, merupakan penerapan praktis dari ide Bentham tentang evaluasi rasional terhadap manfaat dan kerugian.⁹ Dalam sistem hukum, pendekatan utilitarian digunakan untuk menilai efektivitas hukuman, regulasi ekonomi, serta efisiensi administratif, meskipun harus diimbangi dengan prinsip keadilan dan hak asasi.

6.4.       Relevansi dalam Konteks Global dan Interdisipliner

Di era global yang ditandai oleh kompleksitas moral dan pluralisme nilai, warisan Bentham tetap relevan. Pemikirannya mendorong rasionalisasi dalam proses legislatif, desentralisasi kekuasaan, dan penyusunan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).¹⁰ Meski tidak sempurna, prinsip kegunaan tetap menjadi alat konseptual yang berguna dalam merancang sistem etika dan hukum yang responsif terhadap kebutuhan sosial.¹¹

Lebih jauh, pemikiran Bentham menjadi jembatan antara filsafat moral, ekonomi, dan teori pemerintahan. Dengan demikian, utilitarianisme klasik tidak hanya menjadi doktrin etis, tetapi juga paradigma multidisipliner yang mempengaruhi teori hukum, politik, manajemen publik, bahkan ekologi dan kesejahteraan hewan.


Footnotes

[1]                H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 37–38.

[2]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 31–35.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 56.

[4]                Bernard Williams, “A Critique of Utilitarianism,” in Utilitarianism: For and Against, by J.J.C. Smart and Bernard Williams (Cambridge: Cambridge University Press, 1973), 77–150.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–33.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 44–47.

[7]                MacIntyre, After Virtue, 50–52.

[8]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 7–12.

[9]                Daniel M. Hausman and Michael S. McPherson, Economic Analysis, Moral Philosophy, and Public Policy (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 115–117.

[10]             James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 123–125.

[11]             Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 142–145.


7.           Kesimpulan

Jeremy Bentham merupakan figur sentral dalam sejarah filsafat modern yang berhasil mengintegrasikan moralitas, hukum, dan kebijakan sosial dalam satu kerangka sistematis berbasis prinsip kegunaan. Melalui pemikiran utilitarianisme yang ia bangun, Bentham mengalihkan orientasi filsafat moral dari abstraksi metafisik dan normativitas teologis menuju evaluasi rasional terhadap konsekuensi nyata tindakan manusia.¹ Ia memperkenalkan principle of utility sebagai asas moral universal, yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.²

Sumbangan Bentham tidak terbatas pada bidang etika teoritis, melainkan menjangkau ranah praktis, terutama dalam hukum dan pemerintahan. Kritiknya terhadap common law serta seruannya untuk kodifikasi hukum menandai awal dari transisi menuju positivisme hukum yang lebih rasional dan terstruktur.³ Konsep felicific calculus yang ia gagas adalah upaya awal untuk mendirikan etika sebagai ilmu praktis, yang berbasis pada pengukuran empiris dan kalkulasi manfaat sosial.⁴ Dalam konteks ini, nilai moral dan hukum dilihat sebagai sesuatu yang dapat dianalisis dan ditingkatkan melalui proses rasionalisasi yang terbuka dan demokratis.

Namun demikian, pendekatan Bentham juga tidak lepas dari kritik. Kesederhanaan kalkulus kebahagiaan dinilai tidak cukup untuk menangkap kompleksitas moral, terutama dalam situasi yang menuntut perlindungan hak-hak minoritas, penilaian terhadap niat moral, dan keadilan distributif.⁵ Kritik dari John Stuart Mill mengenai pentingnya kualitas kebahagiaan, serta penolakan dari filsuf-filsuf deontologis dan virtue ethics terhadap reduksionisme moral Bentham, menunjukkan adanya kebutuhan untuk menyempurnakan atau melengkapi kerangka utilitarianisme klasik.⁶

Meski demikian, warisan intelektual Bentham tetap hidup dalam berbagai bidang. Prinsip kegunaan telah menjadi landasan penting dalam pengembangan etika terapan, analisis kebijakan publik, ekonomi kesejahteraan, dan reformasi hukum.⁷ Pemikirannya mendorong lahirnya pendekatan multidisipliner dalam penanganan masalah sosial dan etika, serta memberikan alat analisis rasional yang dapat digunakan dalam konteks global yang plural dan kompleks.

Dengan demikian, filsafat moral dan hukum Bentham tidak hanya bernilai historis, tetapi juga memiliki relevansi kontemporer yang kuat. Prinsip kegunaan tetap menjadi instrumen penting dalam menimbang manfaat dan risiko suatu kebijakan, dan dalam membentuk sistem hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.⁸ Penilaian terhadap pemikirannya bukanlah soal menerima atau menolak secara mutlak, melainkan sejauh mana prinsip-prinsip tersebut dapat dikontekstualisasikan dan dimodifikasi untuk menjawab tantangan moral masa kini.


Footnotes

[1]                James E. Crimmins, Secular Utilitarianism: Social Science and the Critique of Religion in the Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Clarendon Press, 1990), 32–33.

[2]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne and Son, 1789), 1–2.

[3]                H.L.A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 24–25.

[4]                Frederick Rosen, Jeremy Bentham and the Law (Aldershot: Ashgate, 2009), 38–40.

[5]                Bernard Williams, “A Critique of Utilitarianism,” in Utilitarianism: For and Against, by J.J.C. Smart and Bernard Williams (Cambridge: Cambridge University Press, 1973), 117–120.

[6]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 56–58; Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 52–54.

[7]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 9–10.

[8]                Philip Schofield, Utility and Democracy: The Political Thought of Jeremy Bentham (Oxford: Oxford University Press, 2006), 132–135.


Daftar Pustaka

Bentham, J. (1789). An introduction to the principles of morals and legislation. T. Payne and Son.

Bentham, J. (1995). The Panopticon writings (M. Božovič, Ed.). Verso.

Crimmins, J. E. (1990). Secular utilitarianism: Social science and the critique of religion in the thought of Jeremy Bentham. Clarendon Press.

Dinwiddy, J. (1975). Bentham’s transition to political radicalism, 1809–10. Journal of the History of Ideas, 36(4), 683–700. https://doi.org/10.2307/2708995

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Hart, H. L. A. (1982). Essays on Bentham: Studies in jurisprudence and political theory. Oxford University Press.

Hausman, D. M., & McPherson, M. S. (2006). Economic analysis, moral philosophy, and public policy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1863)

Postema, G. J. (1984). Bentham and the common law tradition. California Law Review, 72(3), 711–732. https://doi.org/10.2307/3480543

Rosen, F. (2009). Jeremy Bentham and the law. Ashgate.

Rosen, F. (2006). Bentham, Byron, and Greece: Constitutionalism, nationalism, and early liberal political thought. Oxford University Press.

Schofield, P. (2006). Utility and democracy: The political thought of Jeremy Bentham. Oxford University Press.

Schofield, P. (2009). Bentham: A guide for the perplexed. Continuum.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Williams, B. (1973). A critique of utilitarianism. In J. J. C. Smart & B. Williams, Utilitarianism: For and against (pp. 77–150). Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar