Jumat, 30 Mei 2025

Pemikiran David Hume: Rasionalitas dan Empirisme dalam Filsafat Hume

Pemikiran David Hume

Rasionalitas dan Empirisme dalam Filsafat Hume


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran filsafat David Hume, seorang tokoh sentral dalam tradisi empirisme modern yang memberikan pengaruh besar terhadap epistemologi, metafisika, etika, agama, dan politik. Melalui pendekatan skeptis dan naturalistik, Hume menggugat keabsahan berbagai konsep rasionalistik dan metafisik yang tidak dapat ditelusuri kepada pengalaman indrawi. Ia membedakan antara kesan dan ide, serta mengkritik inferensi kausal dan prinsip induksi sebagai produk kebiasaan psikologis, bukan penalaran logis. Dalam filsafat agama, Hume menolak validitas mukjizat dan argumen teistik, serta mempertanyakan dasar moralitas yang bersumber dari wahyu. Ia mengembangkan etika sentimental yang berpijak pada simpati dan utilitas sosial, serta memandang institusi politik sebagai hasil konvensi historis, bukan perjanjian sosial apriori. Artikel ini juga menyoroti pengaruh luas pemikiran Hume terhadap tokoh-tokoh besar seperti Immanuel Kant, serta kritik-kritik yang dilontarkan terhadap skeptisisme dan naturalismenya. Dengan demikian, tulisan ini menawarkan refleksi kritis terhadap warisan intelektual Hume sekaligus relevansinya dalam konteks filsafat kontemporer.

Kata Kunci: David Hume, empirisme, skeptisisme, kausalitas, mukjizat, etika sentimental, filsafat politik, filsafat agama, Immanuel Kant, pencerahan Skotlandia.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat David Hume


1.           Pendahuluan

Pemikiran filsafat Barat modern mengalami transformasi radikal pada abad ke-17 dan ke-18 seiring dengan munculnya berbagai kritik terhadap fondasi rasionalisme klasik yang dikembangkan oleh René Descartes, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Baruch Spinoza. Di tengah gejolak intelektual ini, muncul seorang filsuf Skotlandia bernama David Hume (1711–1776) yang menjadi salah satu tokoh sentral dalam mengembangkan aliran empirisme dan skeptisisme filosofis. Pemikiran Hume telah memberikan dampak besar terhadap filsafat pengetahuan, metafisika, dan filsafat agama, serta menggugah respons kritis dari para filsuf besar setelahnya, termasuk Immanuel Kant yang mengakui bahwa pemikiran Hume “membangunkannya dari tidur dogmatis.”¹

Sebagai filsuf dari era Scottish Enlightenment, Hume memosisikan pengalaman inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Ia menolak keyakinan rasionalistik bahwa kebenaran dapat diperoleh semata-mata melalui proses deduksi logis tanpa landasan empiris. Dalam karyanya yang monumental A Treatise of Human Nature (1739–40), Hume mengemukakan bahwa semua ide berasal dari kesan (impressions) yang diperoleh dari pengalaman indrawi, dan bahwa klaim-klaim metafisik yang melampaui pengalaman semacam itu bersifat tidak bermakna secara filosofis.² Hume bahkan melangkah lebih jauh dengan mengkritik gagasan kausalitas sebagai sesuatu yang tidak didasarkan pada relasi objektif, melainkan pada kebiasaan psikologis yang terbentuk melalui asosiasi pengalaman.³

Di sisi lain, pemikiran Hume tidak berhenti pada bidang epistemologi semata, melainkan juga merambah ke dalam filsafat moral dan agama, di mana ia mempertanyakan fondasi rasional dari doktrin-doktrin teistik dan menempatkan sentimen moral sebagai dasar penilaian etis, bukan akal budi.⁴ Ia menolak klaim bahwa manusia dapat mencapai prinsip moral universal melalui akal, dan justru menekankan bahwa simpati dan emosi memiliki peran utama dalam membentuk keutamaan moral.⁵ Pandangan ini merupakan tantangan serius terhadap teori etika rasionalistik yang berkembang pada masa itu.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyajikan telaah kritis dan sistematis terhadap pemikiran filsafat David Hume, khususnya dalam hal epistemologi, metafisika, filsafat agama, serta etika. Dengan menggunakan pendekatan historis-filosofis dan mengacu pada karya-karya primer maupun studi sekunder yang kredibel, artikel ini hendak memperlihatkan posisi Hume dalam sejarah filsafat modern dan warisan intelektualnya bagi diskursus filosofis kontemporer. Penelusuran terhadap argumen-argumen Hume akan menunjukkan tidak hanya konsistensi logis dalam kerangka empirisme, tetapi juga batas-batas dari skeptisisme yang ia ajukan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7.

[2]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.1.1.1.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1993), sec. VII, 60–61.

[4]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 24–25.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, 17–18.


2.           Biografi Singkat David Hume

David Hume lahir pada tanggal 7 Mei 1711 di Edinburgh, Skotlandia, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam keluarga bangsawan kecil yang secara sosial terhormat namun tidak kaya. Ayahnya, Joseph Home, adalah seorang pengacara tanah (advocate) yang wafat saat Hume masih kecil. Ibunya, Katherine Falconer, membesarkan Hume dengan menanamkan nilai-nilai intelektual dan religius khas masyarakat Skotlandia kala itu.¹ Meskipun nama keluarga aslinya adalah "Home," Hume kemudian mengubah ejaannya agar lebih mudah diterima dalam pengucapan bahasa Inggris.²

Hume memulai pendidikannya pada usia sangat muda di University of Edinburgh ketika ia baru berusia sekitar 12 tahun, sebuah hal yang lazim dalam sistem pendidikan Skotlandia abad ke-18. Ia mula-mula menekuni studi hukum sesuai harapan keluarganya, namun segera menunjukkan minat besar pada bidang sastra, sejarah, dan terutama filsafat.³ Ketertarikannya pada masalah-masalah metafisika dan epistemologi mengantarkannya pada apa yang ia sebut sebagai “a philosophical melancholy and delirium” (kesuraman dan kegilaan filosofis), yang kemudian menjadi titik balik baginya untuk mengembangkan pendekatan empiris dan naturalistik terhadap pikiran manusia.⁴

Pada tahun 1734, Hume pindah ke Prancis selatan dan menetap di La Flèche, tempat yang pernah menjadi lokasi pendidikan Descartes. Di sanalah ia menulis karya monumentalnya, A Treatise of Human Nature, yang diterbitkan dalam tiga jilid pada tahun 1739 dan 1740.⁵ Meskipun Hume menaruh harapan besar terhadap penerbitan karyanya, ia kecewa karena tanggapan publik dan kalangan akademik sangat dingin. Dalam refleksinya yang terkenal, ia menulis bahwa karyanya "fell dead-born from the press."⁶

Kegagalan awal ini tidak menghentikan karier intelektualnya. Ia kemudian menyusun kembali gagasan-gagasan utama dari Treatise dalam bentuk yang lebih populer, yaitu dalam An Enquiry Concerning Human Understanding (1748) dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals (1751), yang keduanya mendapat penerimaan lebih baik.⁷ Di samping karya-karya filsafat murni, Hume juga aktif sebagai sejarawan, dan karya historisnya The History of England menjadi sangat populer dan menjadikannya tokoh penting dalam literasi publik Inggris.⁸

Hume juga sempat bekerja dalam bidang diplomatik dan menjabat sebagai sekretaris kedutaan Inggris di Paris (1763–1766). Di Paris, ia menjalin hubungan intelektual dengan para philosophes seperti D’Alembert, Helvétius, dan Rousseau. Namun hubungannya dengan Rousseau berakhir buruk karena perselisihan personal dan ideologis.⁹

Menjelang akhir hayatnya, Hume kembali ke Edinburgh dan mengabdikan diri pada studi dan korespondensi ilmiah. Ia meninggal dunia pada 25 Agustus 1776 setelah mengalami gangguan kesehatan yang berkepanjangan. Dalam surat-surat terakhirnya, ia menunjukkan ketenangan dan keberanian menghadapi kematian tanpa mengandalkan keimanan konvensional, sesuatu yang mencerminkan konsistensi prinsip-prinsip filsafatnya.¹⁰


Footnotes

[1]                Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford University Press, 2001), 3–5.

[2]                Ibid., 6.

[3]                James A. Harris, Hume: An Intellectual Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 20–22.

[4]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), Introduction, xix–xx.

[5]                Harris, Hume: An Intellectual Biography, 49–52.

[6]                David Hume, My Own Life, in Essays, Moral, Political, and Literary, ed. Eugene F. Miller (Indianapolis: Liberty Fund, 1987), xxxii.

[7]                David Fate Norton and Jacqueline Taylor, eds., The Cambridge Companion to Hume, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 10.

[8]                Duncan Forbes, Hume’s Philosophical Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 72–74.

[9]                Mossner, The Life of David Hume, 478–489.

[10]             Hume, My Own Life, xxxiv.


3.           Epistemologi: Teori Pengetahuan Hume

Dalam sejarah filsafat modern, David Hume dianggap sebagai salah satu tokoh paling radikal dalam mengembangkan teori pengetahuan berbasis empirisme. Ia tidak hanya melanjutkan warisan empirisme yang dirintis oleh John Locke dan George Berkeley, tetapi juga mengguncang fondasi epistemologi Barat melalui pendekatan skeptis dan naturalistik terhadap pikiran manusia. Dalam A Treatise of Human Nature (1739), Hume secara eksplisit menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman, dan bahwa upaya untuk melampaui batas-batas pengalaman indrawi akan berujung pada ilusi metafisik.¹

3.1.       Distingsi antara "Impression" dan "Idea"

Hume membangun kerangka epistemologinya melalui distingsi antara kesan (impression) dan ide (idea). Menurut Hume, kesan adalah persepsi yang paling kuat dan hidup, seperti sensasi, emosi, dan persepsi langsung; sedangkan ide adalah salinan lemah dari kesan tersebut, yang hadir dalam pikiran saat kita mengingat atau membayangkannya.² Semua ide yang kompleks, tegasnya, tersusun dari ide-ide sederhana yang pada gilirannya bersumber dari kesan sederhana. Jika suatu ide tidak dapat ditelusuri kepada suatu kesan, maka ide tersebut dianggap tidak sah secara epistemologis.³ Prinsip ini dikenal sebagai Prinsip Asal-usul Empiris (Copy Principle).

Dengan prinsip tersebut, Hume mengkritik ide-ide metafisik seperti “substansi,” “diri,” atau “Tuhan” jika tidak memiliki dasar pengalaman yang nyata. Misalnya, ia mempertanyakan bagaimana mungkin kita memiliki ide tentang “diri” yang tetap, jika yang kita alami hanyalah aliran kesan yang terus berubah.⁴

3.2.       Prinsip Asosiasi Ide

Mengingat pikiran manusia tidak pasif, Hume menjelaskan bagaimana ide-ide saling berhubungan melalui tiga prinsip utama: kemiripan (resemblance), kedekatan dalam ruang dan waktu (contiguity), dan hubungan sebab-akibat (cause and effect).⁵ Ketiga prinsip ini menjelaskan mengapa pikiran kita dapat membentuk asosiasi atau inferensi dari satu gagasan ke gagasan lain, meskipun tidak ada kepastian objektif dalam hubungan tersebut.

Dari sinilah muncul salah satu tema epistemologis utama Hume: skeptisisme terhadap kausalitas dan inferensi induktif. Ia menyatakan bahwa kita tidak pernah mengamati secara langsung “hubungan kausal”, yang kita amati hanyalah peristiwa yang berurutan secara tetap. Ide bahwa suatu sebab pasti diikuti oleh akibat bukanlah hasil dari pengetahuan rasional, melainkan hasil kebiasaan psikologis (custom or habit).⁶

3.3.       Kritik terhadap Kausalitas dan Inferensi Induktif

Kritik Hume terhadap inferensi kausal menjadi dasar dari apa yang disebut “masalah induksi”. Ia mempertanyakan landasan rasional kita dalam mengasumsikan bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu. Mengapa kita percaya bahwa matahari akan terbit besok? Jawaban umum adalah karena hal itu selalu terjadi di masa lalu. Namun, menurut Hume, asumsi tersebut tidak dapat dibenarkan secara logis karena bersifat sirkular: kita mengandalkan prinsip regularitas untuk membenarkan prinsip regularitas.⁷

Hume menyimpulkan bahwa kepercayaan kita terhadap kausalitas dan pengetahuan induktif bukanlah hasil penalaran logis, tetapi merupakan produk kebiasaan alami dari pikiran manusia.⁸ Dengan demikian, fondasi pengetahuan ilmiah bersifat non-rasional, meskipun tetap berguna secara praktis.

3.4.       Implikasi Skeptisisme Hume

Meskipun Hume dikenal karena skeptisisme radikalnya, ia tidak bermaksud meniadakan pengetahuan, melainkan menempatkannya dalam kerangka probabilitas dan kebiasaan alamiah. Ia menganjurkan bentuk filsafat yang “mitigated” atau skeptisisme moderat, yakni pengakuan akan keterbatasan akal dan keengganan untuk membuat klaim absolut.⁹ Implikasi ini sangat penting dalam sejarah pemikiran, karena menjadi dasar bagi Immanuel Kant untuk merumuskan sistem filsafat kritis yang berupaya menjembatani empirisme dan rasionalisme. Kant sendiri mengakui bahwa Hume telah “membangunkannya dari tidur dogmatis.”¹⁰


Footnotes

[1]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), xix.

[2]                Ibid., 1.1.1.1–2.

[3]                Ibid., 1.1.6.4.

[4]                Ibid., 1.4.6.4–7.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. III, 18–21.

[6]                Ibid., sec. VII, 60–61.

[7]                Ibid., sec. IV, 35–37.

[8]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977), 71–73.

[9]                Hume, Enquiry Concerning Human Understanding, sec. XII, 162.

[10]             Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7.


4.           Metafisika dan Konsep Kausalitas

Salah satu kontribusi paling fundamental dan kontroversial dari pemikiran David Hume dalam filsafat modern terletak pada kritiknya terhadap metafisika tradisional dan konsep kausalitas. Berbeda dari para rasionalis seperti Descartes dan Leibniz yang meyakini keberadaan substansi dan relasi kausal sebagai realitas objektif yang dapat diketahui melalui akal budi, Hume berpendapat bahwa gagasan metafisik semacam itu tidak memiliki dasar dalam pengalaman empiris, dan oleh karena itu tidak sah sebagai pengetahuan.

4.1.       Kritik terhadap Metafisika Tradisional

Hume memulai dengan mempertanyakan validitas ide-ide metafisik yang tidak dapat diturunkan dari pengalaman indrawi. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, ia menegaskan prinsip yang terkenal: setiap ide yang tidak berasal dari kesan (impression) mesti dianggap sebagai tidak bermakna.¹ Oleh karena itu, istilah-istilah metafisis seperti “substansi,” “jiwa,” atau “keberadaan mutlak” tidak memiliki referen dalam pengalaman dan hanya merupakan konstruk linguistik tanpa isi.² Dalam hal ini, Hume mengambil posisi empirisme radikal, yang menolak klaim-klaim metafisika yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman langsung atau observasi.

4.2.       Kritik terhadap Konsep Kausalitas

Konsep kausalitas menempati posisi sentral dalam filsafat Hume, terutama karena ia melihat bahwa relasi sebab-akibat sering digunakan sebagai dasar inferensi ilmiah dan metafisik. Hume mengajukan pertanyaan mendasar: apa yang sesungguhnya kita maksud ketika kita mengatakan bahwa satu hal menyebabkan hal lain?

Menurut Hume, pengalaman kita tidak pernah memberi kita intuisi langsung tentang adanya “koneksi niscaya” antara dua peristiwa. Yang kita amati hanyalah urutan temporal dan keberulangan: misalnya, setiap kali bola A menabrak bola B, bola B bergerak. Namun, dari fakta ini saja, kita tidak bisa menyimpulkan secara logis bahwa peristiwa itu selalu harus terjadi seperti itu di masa depan.³

Kita hanya membiasakan diri untuk mengasosiasikan peristiwa A dengan B karena pengalaman berulang, dan dari kebiasaan itulah muncul kepercayaan akan kausalitas. Bagi Hume, kausalitas bukanlah relasi objektif di dunia, melainkan konstruk mental yang dibentuk melalui habit (kebiasaan).⁴

4.3.       Masalah Koneksi Niscaya (Necessary Connection)

Kritik paling tajam Hume terletak pada gagasan “koneksi niscaya” (necessary connection). Dalam tradisi filsafat sebelumnya, terutama dalam filsafat skolastik dan rasionalisme modern, hubungan sebab-akibat dianggap bersifat niscaya, yakni jika A terjadi maka B harus terjadi. Hume membantah hal ini. Ia menegaskan bahwa konsep “niscaya” bukanlah hasil dari persepsi empiris, karena dalam pengalaman tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan kekuatan atau keharusan internal yang menghubungkan dua peristiwa.⁵

Apa yang kita sebut sebagai “koneksi niscaya” hanyalah kesan psikologis yang muncul karena ekspektasi yang tertanam dari pengalaman berulang.⁶ Dengan demikian, gagasan tentang hukum alam atau prinsip kausal tidak lebih dari konvensi praktis yang berfungsi untuk mengatur pengalaman, bukan sebagai kebenaran metafisis yang objektif.

4.4.       Implikasi terhadap Ilmu Pengetahuan

Pandangan Hume memiliki implikasi epistemologis dan metodologis yang sangat luas, terutama terhadap fondasi ilmu pengetahuan. Bila kausalitas tidak bisa dijustifikasi secara logis dan hanya bergantung pada kebiasaan, maka seluruh metode induktif—yang merupakan dasar ilmu modern—berdiri di atas dasar yang rapuh.⁷

Hal ini memunculkan apa yang dikenal sebagai “masalah induksi” dalam epistemologi modern: kita tidak memiliki dasar rasional untuk meyakini bahwa hukum-hukum alam akan tetap berlaku di masa depan hanya karena mereka berlaku di masa lalu.⁸ Hume tidak memberikan solusi definitif terhadap masalah ini, tetapi ia mengusulkan skeptisisme moderat dan penggunaan prinsip utilitas sebagai pedoman pragmatis dalam kehidupan sehari-hari maupun ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. II, 10.

[2]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977), 47–49.

[3]                Hume, Enquiry, sec. VII, 60–61.

[4]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.3.6.16–18.

[5]                Hume, Enquiry, sec. VII, 62–64.

[6]                Robert J. Fogelin, Hume’s Skeptical Crisis: A Textual Study (Oxford: Oxford University Press, 2009), 88–89.

[7]                Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1997), 115–118.

[8]                John Wright, The Sceptical Realism of David Hume (Manchester: Manchester University Press, 1983), 99–103.


5.           Filsafat Agama: Argumen Melawan Mukjizat dan Teisme

Pemikiran David Hume dalam bidang filsafat agama merupakan salah satu aspek paling kontroversial dan berpengaruh dari keseluruhan sistem filosofisnya. Dalam kerangka empirisme skeptis, Hume secara sistematis meruntuhkan fondasi rasional dan historis dari kepercayaan religius, khususnya menyangkut eksistensi Tuhan, validitas mukjizat, dan dasar moral agama. Meskipun ia tidak secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai ateis, tulisannya menunjukkan sikap yang sangat kritis terhadap teisme tradisional, terutama yang bersandar pada wahyu dan argumen metafisik.

5.1.       Kritik terhadap Argumen Mukjizat

Salah satu bagian paling terkenal dari karya Hume adalah bab X dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, berjudul “Of Miracles”. Dalam bagian ini, Hume menyampaikan argumen epistemologis terhadap kemungkinan pembenaran rasional atas kepercayaan terhadap mukjizat

Hume mendefinisikan mukjizat sebagai “pelanggaran terhadap hukum-hukum alam oleh kehendak ilahi.”² Berdasarkan definisi ini, ia menegaskan bahwa hukum alam merupakan kesimpulan yang diperoleh melalui pengalaman universal dan konstan. Oleh karena itu, setiap kesaksian tentang mukjizat secara inheren lebih tidak mungkin dibandingkan keteraturan hukum alam itu sendiri.³ Dengan kata lain, bukti empiris terhadap keberadaan hukum alam selalu lebih kuat daripada kesaksian individu yang mendukung mukjizat, sehingga secara rasional, kepercayaan pada mukjizat tidak dapat dibenarkan.

Hume tidak mengatakan bahwa mukjizat mustahil terjadi, melainkan bahwa tidak ada jumlah kesaksian yang cukup untuk meyakinkan secara rasional bahwa mukjizat telah terjadi. Ia menyoroti bahwa kesaksian mukjizat sering kali berasal dari orang-orang yang kurang terdidik, berada dalam situasi fanatisme, atau berasal dari budaya yang belum berkembang secara ilmiah.⁴

5.2.       Kritik terhadap Argumen Teistik

Dalam karya Dialogues Concerning Natural Religion, yang diterbitkan secara anumerta pada tahun 1779, Hume mengembangkan kritik mendalam terhadap argumen rasional untuk eksistensi Tuhan, khususnya argumen desain (teleologis). Melalui dialog antara tokoh-tokoh fiktif seperti Philo, Cleanthes, dan Demea, Hume membedah kelemahan argumen bahwa keteraturan dan kompleksitas alam semesta merupakan bukti keberadaan perancang ilahi.⁵

Hume menyatakan bahwa analogi antara dunia dan mesin ciptaan manusia adalah lemah dan tidak proporsional. Jika dunia menyerupai mesin, maka bisa saja ia merupakan hasil dari proses alamiah yang tidak disadari, bukan dari kehendak rasional.⁶ Selain itu, Hume menunjukkan bahwa argumen desain tidak dapat menghasilkan Tuhan yang maha sempurna, karena dunia penuh dengan penderitaan dan ketidaksempurnaan. Jika dunia mencerminkan sifat penciptanya, maka penciptanya tidak bisa digambarkan sebagai makhluk yang sempurna dalam arti moral dan ontologis.⁷

Argumen lainnya yang dikritik Hume adalah argumen kosmologis, yang menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki sebab, dan oleh karena itu mesti ada “sebab pertama” yang tidak disebabkan, yakni Tuhan. Hume membantah argumen ini dengan menyatakan bahwa gagasan tentang sebab pertama bersifat spekulatif, dan bahwa tidak ada alasan logis mengapa alam semesta tidak bisa menjadi sebab bagi dirinya sendiri atau merupakan serangkaian kejadian yang tak terbatas ke belakang.⁸

5.3.       Agama dan Moralitas: Apakah Diperlukan Tuhan?

Selain kritik terhadap dasar-dasar kepercayaan teistik, Hume juga mempertanyakan hubungan antara agama dan moralitas. Dalam An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ia menekankan bahwa moralitas tidak bersumber dari perintah ilahi atau wahyu, melainkan dari perasaan manusia terhadap simpati, kebajikan, dan manfaat sosial.⁹ Oleh karena itu, menurut Hume, agama bukanlah fondasi moralitas, dan dalam banyak kasus justru berkontribusi terhadap fanatisme dan kekerasan.¹⁰

Hume menolak pandangan bahwa tanpa agama tidak mungkin ada moralitas. Ia berpendapat bahwa manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk bertindak secara baik terhadap sesamanya, dan bahwa keutamaan moral dapat dijelaskan secara naturalistik tanpa perlu mengandaikan prinsip-prinsip supranatural.

5.4.       Posisi Hume: Ateis, Agnostik, atau Deis?

Meskipun banyak komentator menyimpulkan bahwa Hume adalah ateis terselubung, namun dalam karya-karyanya, ia lebih cenderung mengadopsi posisi skeptisisme filosofis yang tidak secara tegas menyangkal Tuhan, tetapi menggantung penilaian atas dasar keterbatasan pengetahuan manusia.¹¹ Hume dengan cermat menghindari kesimpulan eksplisit yang dapat menimbulkan kecaman langsung dari gereja dan negara. Oleh karena itu, ia lebih tepat digambarkan sebagai skeptis terhadap teisme dogmatis dan wahyu supranatural, namun tetap membuka ruang kemungkinan bagi keberadaan prinsip metafisik yang tak dapat diketahui secara empiris.


Footnotes

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. X, 110.

[2]                Ibid., 110.

[3]                Ibid., 112–115.

[4]                Ibid., 116–119.

[5]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 12–15.

[6]                Ibid., 35–38.

[7]                Ibid., 55–57.

[8]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977), 101–104.

[9]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, 3–4.

[10]             J. C. A. Gaskin, Hume’s Philosophy of Religion (London: Macmillan, 1988), 139–141.

[11]             Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford University Press, 2001), 601–604.


6.           Etika dan Moralitas

Pemikiran David Hume tentang etika dan moralitas menunjukkan arah baru dalam sejarah filsafat moral, dengan menentang pandangan rasionalistik yang mendominasi sejak masa klasik hingga era modern awal. Dalam An Enquiry Concerning the Principles of Morals (1751), Hume secara eksplisit menolak bahwa moralitas bersumber dari akal (reason) semata. Sebaliknya, ia mengembangkan suatu etika sentimental, di mana perasaan (sentiment) menjadi fondasi utama dalam penilaian moral.¹

6.1.       Penolakan terhadap Etika Rasionalistik

Hume berangkat dari kritik terhadap para filsuf seperti Samuel Clarke dan Immanuel Kant, yang beranggapan bahwa prinsip-prinsip moral dapat ditentukan secara apriori melalui akal budi. Ia berargumen bahwa akal tidak dapat memotivasi tindakan, karena akal hanya berfungsi menunjukkan relasi fakta, bukan menentukan nilai. Menurut Hume, motivasi moral berasal dari afeksi dan perasaan batin, bukan dari penalaran logis.² Dalam Treatise of Human Nature, ia menulis dengan tegas bahwa “reason is, and ought only to be the slave of the passions.”³

Dengan demikian, penilaian moral bukan hasil dari deduksi logis, melainkan dari respon afektif terhadap tindakan atau karakter tertentu, seperti simpati, kebaikan hati, atau kebencian terhadap kekejaman.⁴ Pandangan ini menjauh dari universalisme etika rasional dan mendekati pendekatan naturalistik yang berakar pada kondisi manusiawi konkret.

6.2.       Moralitas sebagai Ekspresi Simpati dan Kebaikan Sosial

Dalam sistem etika Hume, simpati (sympathy) memegang peran sentral. Ia percaya bahwa manusia, sebagai makhluk sosial, memiliki kemampuan alami untuk merasakan penderitaan atau kebahagiaan orang lain. Dari simpati ini muncul penilaian terhadap kebajikan (virtue) dan kejahatan (vice).⁵ Suatu tindakan dinilai bermoral bukan karena sesuai dengan hukum rasional, melainkan karena menimbulkan perasaan persetujuan atau penghargaan dalam hati orang yang menilainya.

Hume juga menekankan pentingnya utilitas sosial dalam pembentukan moralitas. Ia mengamati bahwa tindakan yang secara umum dianggap sebagai kebajikan—seperti kejujuran, kemurahan hati, dan keadilan—semuanya memiliki manfaat bagi individu dan masyarakat.⁶ Oleh karena itu, penilaian moral tidak bersifat subjektif sepenuhnya, karena ada kesepakatan umum mengenai tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial.⁷

6.3.       Keadilan, Kepemilikan, dan Konvensi Sosial

Hume menyadari bahwa beberapa kebajikan tidak lahir dari dorongan emosional langsung, tetapi dari konvensi sosial yang disepakati. Contohnya adalah keadilan dan kepemilikan, yang menurutnya bukan merupakan nilai alamiah (natural virtues), tetapi kebajikan artifisial (artificial virtues) yang muncul karena kebutuhan manusia untuk hidup bersama dalam keteraturan.⁸

Ia berpendapat bahwa dalam kondisi keterbatasan sumber daya dan kecenderungan egoistis manusia, aturan-aturan mengenai hak milik, perjanjian, dan keadilan menjadi penting sebagai konvensi sosial yang dijaga melalui rasa kewajiban moral.⁹ Tanpa konvensi semacam itu, masyarakat akan terjebak dalam kekacauan. Namun, nilai dari keadilan tetap bergantung pada manfaat sosialnya, bukan pada imperatif rasional transenden.

6.4.       Naturalisme Moral Hume dan Kritik Terhadap Transendensi Etika

Etika Hume berpijak pada naturalisme moral, yakni keyakinan bahwa fakta moral dapat dijelaskan dalam istilah pengalaman manusia dan kecenderungan emosional, tanpa merujuk pada entitas metafisik atau hukum moral ilahi. Ia menghindari klaim-klaim etika yang bersifat dogmatis dan transendental.⁽¹⁰⁾

Dalam hal ini, Hume juga terkenal dengan “is–ought problem”, yakni peringatan bahwa tidaklah sah untuk menyimpulkan klaim normatif (“seharusnya”) semata-mata dari premis faktual (“adanya sesuatu”).⁽¹¹⁾ Pernyataan ini menjadi tonggak penting dalam metaetika, karena memperjelas bahwa nilai moral tidak bisa disimpulkan secara otomatis dari deskripsi fakta belaka, tetapi membutuhkan justifikasi yang berbeda.

6.5.       Relevansi Pemikiran Etika Hume dalam Filsafat Kontemporer

Meskipun sempat dipandang sebagai bentuk relativisme moral, pemikiran Hume mendapat apresiasi luas dalam filsafat moral abad ke-20, terutama dari kalangan emotivis seperti A. J. Ayer dan naturalistik non-kognitivis seperti Simon Blackburn.⁽¹²⁾ Hume juga dianggap sebagai pelopor pendekatan empiris terhadap moralitas, yang mendasari banyak kajian dalam psikologi moral dan etika evolusioner modern.

Etika sentimental Hume menawarkan alternatif yang koheren dan manusiawi terhadap rasionalisme moral kaku, dengan menekankan dimensi emosi, simpati, dan manfaat sosial sebagai fondasi utama moralitas.


Footnotes

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, 3.

[2]                Ibid., 4–5.

[3]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 2.3.3.4.

[4]                Ibid., 3.1.2.1–2.

[5]                Hume, Enquiry Concerning the Principles of Morals, sec. II, 9–10.

[6]                Ibid., sec. V, 35–37.

[7]                J. L. Mackie, Hume’s Moral Theory (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 29–30.

[8]                David Hume, Treatise, 3.2.1.10–12.

[9]                Ibid., 3.2.2.5–7.

[10]             Geoffrey Sayre-McCord, ed., Essays on Moral Realism (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 203–205.

[11]             Hume, Treatise, 3.1.1.27.

[12]             Simon Blackburn, Ruling Passions: A Theory of Practical Reasoning (Oxford: Clarendon Press, 1998), 11–13.


7.           Hume dan Politik

Pemikiran politik David Hume, meskipun tidak sepopuler kontribusinya dalam epistemologi atau etika, memainkan peran penting dalam perkembangan liberalisme klasik dan teori konvensional dalam filsafat politik modern. Melalui berbagai esai politik dan sejarah yang ia tulis, terutama dalam Essays: Moral, Political, and Literary dan The History of England, Hume menawarkan pendekatan politik yang berpijak pada empirisme moral dan pandangan realistis mengenai sifat manusia dan institusi sosial.

7.1.       Konsepsi Sifat Manusia dalam Politik

Hume memandang manusia sebagai makhluk yang dibimbing oleh perasaan dan kepentingan, bukan semata oleh akal atau prinsip moral universal.¹ Oleh karena itu, ia menolak konstruksi politik yang terlalu idealis, seperti state of nature yang dikemukakan oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau. Baginya, teori semacam itu hanya bersifat spekulatif dan tidak berdasarkan pada pengalaman historis nyata.² Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak terbentuk melalui kontrak sosial formal, melainkan tumbuh secara bertahap melalui kebutuhan praktis dan kebiasaan yang mengatur hubungan antarmanusia.

7.2.       Pemerintahan sebagai Produk Konvensi dan Kebiasaan

Dalam esainya Of the Origin of Government, Hume menyatakan bahwa pemerintahan berasal dari kebutuhan akan stabilitas dan perlindungan hak milik, bukan dari perjanjian eksplisit antarindividu.³ Ia mengemukakan bahwa konvensi sosial dan institusi politik berkembang melalui proses sejarah, bukan melalui rekayasa rasional apriori.⁴ Pendekatan ini menjadikan Hume sebagai salah satu pelopor teori konservatisme empiris, di mana stabilitas dan keberlangsungan institusi lebih diutamakan daripada spekulasi mengenai bentuk ideal suatu negara.

Menurut Hume, kepercayaan terhadap otoritas politik terbentuk melalui kebiasaan dan konsensus sosial yang dibentuk oleh manfaat institusi tersebut, bukan karena hak ilahi atau prinsip metafisis.⁵ Ia juga menolak ide bahwa legitimasi kekuasaan bergantung semata pada persetujuan bebas individu, karena dalam praktiknya, sebagian besar masyarakat menerima pemerintahan sebagai fakta yang diwariskan, bukan hasil pilihan bebas.

7.3.       Pandangan tentang Kebebasan dan Konstitusi

Hume bukan seorang demokratis dalam pengertian modern. Ia menyatakan skeptisisme terhadap demokrasi langsung, karena menurutnya rakyat tidak selalu rasional dan dapat mudah terpengaruh oleh emosi massa atau demagogi.⁶ Sebaliknya, ia lebih mendukung bentuk pemerintahan campuran (mixed constitution), di mana kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dibagi dan saling mengimbangi. Pandangan ini sangat memengaruhi perkembangan konstitusionalisme Inggris dan menjadi rujukan dalam pemikiran politik Montesquieu dan bahkan para pendiri Amerika Serikat.⁷

Kebebasan, menurut Hume, bukanlah ketiadaan hukum, melainkan keamanan dalam menjalankan hak-hak yang dijamin oleh hukum. Ia menekankan pentingnya kebebasan sipil dan ekonomi, tetapi dalam kerangka hukum yang teratur.⁸ Dalam hal ini, Hume dapat dianggap sebagai pendukung liberalisme moderat, yang menghargai kebebasan individu tanpa mengorbankan ketertiban sosial.

7.4.       Kritik terhadap Revolusi dan Fanatisme Politik

Sebagai sejarawan dan filsuf, Hume bersikap kritis terhadap revolusi politik yang radikal, seperti Revolusi Inggris atau ekses Revolusi Prancis. Ia berpendapat bahwa perubahan politik sebaiknya dilakukan secara bertahap dan hati-hati, karena institusi sosial memiliki nilai akumulatif yang tidak bisa begitu saja digantikan oleh sistem baru.⁹

Hume juga mencela fanatisme ideologis, baik dalam bentuk politik maupun agama. Bagi Hume, stabilitas politik lebih penting daripada ideologi, dan kebajikan seorang negarawan diukur dari kemampuannya menjaga keseimbangan sosial, bukan dari kesetiaannya pada prinsip doktriner.¹⁰

7.5.       Warisan Pemikiran Politik Hume

Meskipun ia tidak menyusun teori politik sistematik seperti Hobbes atau Locke, pemikiran politik Hume memiliki pengaruh mendalam terhadap liberalisme klasik, khususnya dalam hal realisme politik, pentingnya institusi, dan pendekatan historis terhadap perubahan sosial. Pemikir seperti Edmund Burke, Friedrich Hayek, dan Michael Oakeshott mengambil inspirasi dari skeptisisme politik dan empirisme sosial Hume.¹¹

Dengan menolak apriorisme dalam politik dan menekankan pentingnya pengalaman, kebiasaan, dan institusi sebagai dasar ketertiban sosial, Hume meletakkan fondasi intelektual bagi pendekatan politik yang moderat, pragmatis, dan anti-utopis, yang masih relevan hingga kini.


Footnotes

[1]                David Hume, Essays: Moral, Political, and Literary, ed. Eugene F. Miller (Indianapolis: Liberty Fund, 1987), 37.

[2]                James A. Harris, Hume: An Intellectual Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 293–294.

[3]                Hume, Essays, 38.

[4]                Duncan Forbes, Hume’s Philosophical Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 40–42.

[5]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977), 117–118.

[6]                Hume, Essays, 120–123.

[7]                Donald W. Livingston, Hume’s Philosophy of Common Life (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 176–178.

[8]                Hume, Essays, 89.

[9]                Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford University Press, 2001), 585.

[10]             Hume, Essays, 131–133.

[11]             Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 102–104.


8.           Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran Hume

Pemikiran David Hume memberikan dampak mendalam dalam hampir semua cabang filsafat Barat modern, dari epistemologi, etika, metafisika, filsafat agama, hingga filsafat politik. Ia bukan hanya dikenal sebagai pengkritik tajam terhadap dogma rasionalisme dan teisme, tetapi juga sebagai pelopor metodologi filsafat berbasis empirisme yang skeptis dan naturalistik. Namun, pengaruh besar Hume ini juga diiringi dengan berbagai kritik tajam dari generasi filsuf setelahnya, baik dari kalangan rasionalis, idealis, maupun positivis.

8.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Modern: Dari Kant hingga Positivisme

Pengaruh Hume terhadap Immanuel Kant mungkin merupakan salah satu yang paling menentukan dalam sejarah filsafat. Kant secara eksplisit mengakui bahwa Hume “membangunkannya dari tidur dogmatis,” terutama melalui keraguan Hume terhadap kausalitas dan pengetahuan apriori.¹ Kant merespons kritik Hume dengan merumuskan proyek filsafat kritis, dalam Critique of Pure Reason, yang bertujuan menggabungkan empirisme dan rasionalisme dalam suatu sintesis transendental.²

Selain Kant, pemikiran Hume juga mengilhami perkembangan empirisme logis dan positivisme ilmiah pada abad ke-20. Tokoh-tokoh seperti A. J. Ayer, anggota Lingkaran Wina, memandang Hume sebagai pendahulu utama dari filsafat analitik modern yang menolak makna metafisika tradisional.³ Dalam Language, Truth and Logic, Ayer mengadopsi prinsip verifikasi yang secara eksplisit berakar pada prinsip Hume bahwa ide-ide harus dapat ditelusuri kepada kesan-kesan empiris.⁴

Hume juga berperan dalam membentuk dasar filsafat ilmu modern, khususnya melalui identifikasinya terhadap masalah induksi—yakni ketiadaan dasar logis yang kuat untuk menyimpulkan hukum universal dari observasi terbatas.⁵ Masalah ini masih menjadi titik diskusi utama dalam epistemologi dan metodologi ilmu pengetahuan kontemporer.

8.2.       Kritik terhadap Skeptisisme dan Naturalisme Hume

Meskipun pemikiran Hume banyak diapresiasi, ia juga menjadi sasaran kritik serius, terutama dari kaum rasionalis dan idealis. Salah satu kritik utama datang dari Kant, yang berpendapat bahwa Hume gagal memahami struktur apriori kesadaran manusia yang memungkinkan adanya pengalaman itu sendiri.⁶ Bagi Kant, konsep-konsep seperti ruang, waktu, dan kausalitas tidak bergantung pada pengalaman, tetapi justru mendasari dan membentuk pengalaman itu.

Selain itu, kritik juga muncul terhadap naturalisme moral Hume. Para pendukung etika rasional (seperti Kant dan pengikutnya) menganggap pendekatan etika Hume terlalu subjektif karena mendasarkan penilaian moral pada perasaan simpati atau kebiasaan sosial.⁷ Mereka berpendapat bahwa moralitas memerlukan prinsip universal yang dapat diuji secara rasional, bukan hanya konvensi atau perasaan.

Masalah “is–ought” yang dirumuskan Hume sendiri juga menjadi titik kritis dalam diskusi metaetika. Beberapa filsuf, seperti G. E. Moore, berusaha menunjukkan bahwa naturalisme moral Hume melanggar prinsip logis dengan mencoba mendasarkan klaim normatif (apa yang seharusnya) dari deskripsi faktual (apa yang ada).⁸ Ini melahirkan apa yang dikenal sebagai naturalistic fallacy (kesesatan naturalistik) dalam etika.

8.3.       Penolakan terhadap Ateisme Terbuka dan Kontroversi Teologis

Hume juga dikritik karena dianggap menyembunyikan ateisme dalam bentuk skeptisisme yang terselubung. Meskipun ia tidak secara eksplisit menyatakan dirinya ateis, banyak komentator seperti J. C. A. Gaskin menilai bahwa posisi Hume dalam Dialogues Concerning Natural Religion secara efektif menolak semua argumen teistik tradisional.⁹ Dalam konteks Inggris abad ke-18, sikap hati-hati Hume dapat dibaca sebagai strategi pragmatis untuk menghindari sensor dan kecaman sosial.

Di sisi lain, para pembela agama menilai bahwa skeptisisme Hume merusak dasar kepercayaan publik terhadap agama dan moralitas, karena menyarankan bahwa kepercayaan religius tidak bisa dibenarkan secara rasional maupun historis. Kritik ini bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga politis, karena Hume dituduh memperlemah kohesi sosial berbasis nilai-nilai Kristen yang saat itu dominan.¹⁰

8.4.       Relevansi Kontemporer dan Warisan Intelektual

Hume tetap menjadi tokoh sentral dalam diskursus filsafat kontemporer. Ia dihargai karena kejujurannya dalam mengakui batas-batas nalar manusia, sekaligus karena metode analitis dan historisnya yang tajam. Dalam filsafat sains, Hume dianggap pelopor realisme skeptis dan pemikiran kritis terhadap sains sebagai proyek tanpa fondasi mutlak.¹¹ Dalam bidang etika, meskipun pendekatannya dikritik, empati dan perhatian terhadap utilitas sosial kini banyak diadopsi dalam kajian psikologi moral dan filsafat praktis.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7.

[2]                Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A19/B33.

[3]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 45–47.

[4]                Ibid., 50.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1993), sec. IV–VII.

[6]                Kant, Critique of Pure Reason, A92/B124.

[7]                J. L. Mackie, Hume’s Moral Theory (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 41.

[8]                G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–12.

[9]                J. C. A. Gaskin, Hume’s Philosophy of Religion (London: Macmillan, 1988), 156–159.

[10]             Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford University Press, 2001), 604–606.

[11]             Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1997), 190–195.


9.           Kesimpulan

David Hume merupakan salah satu figur paling penting dalam sejarah filsafat modern yang menggugat dasar-dasar keyakinan rasional dan metafisik yang sebelumnya diterima secara luas. Melalui pendekatan empiris dan skeptis, Hume menunjukkan bahwa banyak dari klaim filosofis, teologis, dan ilmiah tidak dapat dibenarkan melalui nalar atau pengalaman secara ketat, dan oleh karena itu harus ditinjau ulang dengan kerangka berpikir yang lebih hati-hati dan realistis.

Dalam bidang epistemologi, Hume membangun sistem pengetahuan yang berpijak pada kesan dan ide, serta menggugat validitas inferensi kausal yang menjadi dasar berpikir ilmiah.¹ Ia menyimpulkan bahwa kepercayaan pada sebab-akibat tidak berasal dari akal, melainkan dari kebiasaan psikologis, sebuah pandangan yang melahirkan “masalah induksi” yang hingga kini masih menjadi pusat diskusi dalam filsafat ilmu.²

Dalam metafisika dan filsafat agama, Hume secara tajam mengkritik argumen teistik, terutama argumen mukjizat dan desain, yang dianggapnya tidak memiliki dasar empiris yang kuat.³ Ia tidak menolak kemungkinan metafisika secara total, tetapi menggantung penilaian atas klaim-klaim metafisik yang melampaui pengalaman, sehingga menjadikan posisinya cenderung agnostik dan anti-dogmatis.⁴

Di bidang etika, Hume menolak pandangan rasionalistik yang meletakkan moralitas pada hukum akal universal. Sebaliknya, ia membangun etika sentimental, yang menempatkan simpati, manfaat sosial, dan perasaan moral sebagai dasar penilaian etis.⁵ Pandangan ini telah memberikan alternatif penting terhadap etika normatif dan berpengaruh dalam perkembangan etika psikologis dan empiris pada abad ke-20 dan ke-21.

Dalam filsafat politik, Hume menawarkan pendekatan konvensionalis dan konservatif, yang menolak model kontrak sosial fiktif dan menekankan pentingnya institusi yang berkembang secara historis dan berdasarkan kebiasaan sosial.⁶ Ia mengajukan realitas psikologis manusia sebagai dasar dari legitimasi pemerintahan, bukan klaim metafisik tentang hak alamiah atau perjanjian awal.

Dari sisi pengaruh, pemikiran Hume menjadi fondasi penting bagi pemikiran Immanuel Kant, filsafat analitik, positivisme logis, hingga teori sains dan etika kontemporer.⁷ Namun, warisan intelektualnya tidak luput dari kritik, terutama dari kaum rasionalis, idealis, dan moralis transendental, yang menilai bahwa skeptisisme Hume dapat berujung pada relativisme atau nihilisme.⁸

Kekuatan terbesar Hume terletak pada keberaniannya untuk menantang dogma intelektual dan menggantinya dengan analisis yang jujur dan metodis atas pengalaman manusiawi. Dengan menekankan keraguan yang terarah, empirisme yang terbimbing, dan moralitas yang manusiawi, Hume menegaskan pentingnya filsafat sebagai penyelidikan kritis atas batas-batas pengetahuan, kepercayaan, dan tindakan.⁹ Dalam dunia yang semakin kompleks dan pluralistik, warisan Hume tetap relevan sebagai pengingat bahwa filsafat bukan hanya mencari kepastian, tetapi juga memahami keterbatasan akal manusia dengan rendah hati dan kejujuran intelektual.


Footnotes

[1]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.1.1.1–3.

[2]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. VII, 60–61.

[3]                Ibid., sec. X, 110–119.

[4]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 55–57.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. II, 9–10.

[6]                David Hume, Essays: Moral, Political, and Literary, ed. Eugene F. Miller (Indianapolis: Liberty Fund, 1987), 38–40.

[7]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7; A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 45–47.

[8]                G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–12; J. L. Mackie, Hume’s Moral Theory (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 41–42.

[9]                Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1997), 198–201.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Beauchamp, T. L. (Ed.). (1998). An enquiry concerning the principles of morals (by David Hume). Oxford: Oxford University Press.

Blackburn, S. (1998). Ruling passions: A theory of practical reasoning. Oxford: Clarendon Press.

Fogelin, R. J. (2009). Hume’s skeptical crisis: A textual study. Oxford: Oxford University Press.

Forbes, D. (1975). Hume’s philosophical politics. Cambridge: Cambridge University Press.

Garrett, D. (1997). Cognition and commitment in Hume’s philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Gaskin, J. C. A. (1988). Hume’s philosophy of religion. London: Macmillan.

Harris, J. A. (2015). Hume: An intellectual biography. Cambridge: Cambridge University Press.

Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty. Chicago: University of Chicago Press.

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press. (Original work published 1739)

Hume, D. (1987). Essays: Moral, political, and literary (E. F. Miller, Ed.). Indianapolis: Liberty Fund. (Original essays published 1741–1777)

Hume, D. (1993). An enquiry concerning human understanding (E. Steinberg, Ed.). Indianapolis: Hackett Publishing. (Original work published 1748)

Hume, D. (1947). Dialogues concerning natural religion (N. Kemp Smith, Ed.). Indianapolis: Bobbs-Merrill. (Original work published posthumously 1779)

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan. (Original work published 1781)

Kant, I. (1950). Prolegomena to any future metaphysics (P. Carus, Trans.). New York: Liberal Arts Press. (Original work published 1783)

Livingston, D. W. (1984). Hume’s philosophy of common life. Chicago: University of Chicago Press.

Mackie, J. L. (1980). Hume’s moral theory. London: Routledge & Kegan Paul.

Moore, G. E. (1903). Principia ethica. Cambridge: Cambridge University Press.

Mossner, E. C. (2001). The life of David Hume. Oxford: Oxford University Press.

Sayre-McCord, G. (Ed.). (1988). Essays on moral realism. Ithaca: Cornell University Press.

Stroud, B. (1977). Hume. London: Routledge & Kegan Paul.

Wright, J. (1983). The sceptical realism of David Hume. Manchester: Manchester University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar