Pemikiran David Hume
Rasionalitas dan Empirisme dalam Filsafat Hume
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
filsafat David Hume, seorang tokoh sentral dalam tradisi empirisme modern yang
memberikan pengaruh besar terhadap epistemologi, metafisika, etika, agama, dan
politik. Melalui pendekatan skeptis dan naturalistik, Hume menggugat keabsahan
berbagai konsep rasionalistik dan metafisik yang tidak dapat ditelusuri kepada
pengalaman indrawi. Ia membedakan antara kesan dan ide, serta mengkritik
inferensi kausal dan prinsip induksi sebagai produk kebiasaan psikologis, bukan
penalaran logis. Dalam filsafat agama, Hume menolak validitas mukjizat dan
argumen teistik, serta mempertanyakan dasar moralitas yang bersumber dari
wahyu. Ia mengembangkan etika sentimental yang berpijak pada simpati dan
utilitas sosial, serta memandang institusi politik sebagai hasil konvensi
historis, bukan perjanjian sosial apriori. Artikel ini juga menyoroti pengaruh
luas pemikiran Hume terhadap tokoh-tokoh besar seperti Immanuel Kant, serta
kritik-kritik yang dilontarkan terhadap skeptisisme dan naturalismenya. Dengan
demikian, tulisan ini menawarkan refleksi kritis terhadap warisan intelektual
Hume sekaligus relevansinya dalam konteks filsafat kontemporer.
Kata Kunci: David Hume, empirisme, skeptisisme, kausalitas,
mukjizat, etika sentimental, filsafat politik, filsafat agama, Immanuel Kant,
pencerahan Skotlandia.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat David Hume
1.
Pendahuluan
Pemikiran filsafat
Barat modern mengalami transformasi radikal pada abad ke-17 dan ke-18 seiring
dengan munculnya berbagai kritik terhadap fondasi rasionalisme klasik yang
dikembangkan oleh René Descartes, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Baruch
Spinoza. Di tengah gejolak intelektual ini, muncul seorang filsuf Skotlandia bernama
David
Hume (1711–1776) yang menjadi salah satu tokoh sentral dalam
mengembangkan aliran empirisme dan skeptisisme
filosofis. Pemikiran Hume telah memberikan dampak besar
terhadap filsafat pengetahuan, metafisika, dan filsafat agama, serta menggugah
respons kritis dari para filsuf besar setelahnya, termasuk Immanuel Kant yang
mengakui bahwa pemikiran Hume “membangunkannya dari tidur dogmatis.”¹
Sebagai filsuf dari
era Scottish
Enlightenment, Hume memosisikan pengalaman inderawi sebagai sumber
utama pengetahuan manusia. Ia menolak keyakinan rasionalistik bahwa kebenaran
dapat diperoleh semata-mata melalui proses deduksi logis tanpa landasan
empiris. Dalam karyanya yang monumental A Treatise of Human Nature
(1739–40), Hume mengemukakan bahwa semua ide berasal dari kesan (impressions)
yang diperoleh dari pengalaman indrawi, dan bahwa klaim-klaim metafisik yang
melampaui pengalaman semacam itu bersifat tidak bermakna secara filosofis.²
Hume bahkan melangkah lebih jauh dengan mengkritik gagasan kausalitas sebagai
sesuatu yang tidak didasarkan pada relasi objektif, melainkan pada kebiasaan
psikologis yang terbentuk melalui asosiasi pengalaman.³
Di sisi lain,
pemikiran Hume tidak berhenti pada bidang epistemologi semata, melainkan juga
merambah ke dalam filsafat moral dan agama, di
mana ia mempertanyakan fondasi rasional dari doktrin-doktrin teistik dan
menempatkan sentimen moral sebagai dasar
penilaian etis, bukan akal budi.⁴ Ia menolak klaim bahwa manusia dapat mencapai
prinsip moral universal melalui akal, dan justru menekankan bahwa simpati dan
emosi memiliki peran utama dalam membentuk keutamaan moral.⁵ Pandangan ini
merupakan tantangan serius terhadap teori etika rasionalistik yang berkembang
pada masa itu.
Tujuan dari artikel
ini adalah untuk menyajikan telaah kritis dan sistematis terhadap pemikiran
filsafat David Hume, khususnya dalam hal epistemologi,
metafisika, filsafat agama, serta etika. Dengan menggunakan
pendekatan historis-filosofis dan mengacu pada karya-karya primer maupun studi
sekunder yang kredibel, artikel ini hendak memperlihatkan posisi Hume dalam
sejarah filsafat modern dan warisan intelektualnya bagi diskursus filosofis
kontemporer. Penelusuran terhadap argumen-argumen Hume akan menunjukkan tidak
hanya konsistensi logis dalam kerangka empirisme, tetapi juga batas-batas dari
skeptisisme yang ia ajukan.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans.
Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7.
[2]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.1.1.1.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1993), sec. VII, 60–61.
[4]
David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman
Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 24–25.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, 17–18.
2.
Biografi Singkat David Hume
David Hume lahir
pada tanggal 7 Mei 1711 di Edinburgh,
Skotlandia, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam keluarga bangsawan
kecil yang secara sosial terhormat namun tidak kaya. Ayahnya, Joseph Home,
adalah seorang pengacara tanah (advocate) yang wafat saat Hume
masih kecil. Ibunya, Katherine Falconer, membesarkan Hume dengan menanamkan
nilai-nilai intelektual dan religius khas masyarakat Skotlandia kala itu.¹
Meskipun nama keluarga aslinya adalah "Home," Hume kemudian
mengubah ejaannya agar lebih mudah diterima dalam pengucapan bahasa Inggris.²
Hume memulai
pendidikannya pada usia sangat muda di University of Edinburgh ketika
ia baru berusia sekitar 12 tahun, sebuah hal yang lazim dalam sistem pendidikan
Skotlandia abad ke-18. Ia mula-mula menekuni studi hukum sesuai harapan
keluarganya, namun segera menunjukkan minat besar pada bidang sastra, sejarah,
dan terutama filsafat.³ Ketertarikannya pada masalah-masalah metafisika dan
epistemologi mengantarkannya pada apa yang ia sebut sebagai “a philosophical
melancholy and delirium” (kesuraman dan kegilaan filosofis), yang kemudian
menjadi titik balik baginya untuk mengembangkan pendekatan empiris dan
naturalistik terhadap pikiran manusia.⁴
Pada tahun 1734,
Hume pindah ke Prancis selatan dan menetap di La Flèche, tempat yang pernah
menjadi lokasi pendidikan Descartes. Di sanalah ia menulis karya monumentalnya,
A
Treatise of Human Nature, yang diterbitkan dalam tiga jilid pada
tahun 1739 dan 1740.⁵ Meskipun Hume menaruh harapan besar terhadap penerbitan
karyanya, ia kecewa karena tanggapan publik dan kalangan akademik sangat
dingin. Dalam refleksinya yang terkenal, ia menulis bahwa karyanya "fell
dead-born from the press."⁶
Kegagalan awal ini
tidak menghentikan karier intelektualnya. Ia kemudian menyusun kembali
gagasan-gagasan utama dari Treatise dalam bentuk yang lebih
populer, yaitu dalam An Enquiry Concerning Human Understanding
(1748) dan An
Enquiry Concerning the Principles of Morals (1751), yang keduanya
mendapat penerimaan lebih baik.⁷ Di samping karya-karya filsafat murni, Hume
juga aktif sebagai sejarawan, dan karya
historisnya The History of England menjadi
sangat populer dan menjadikannya tokoh penting dalam literasi publik Inggris.⁸
Hume juga sempat
bekerja dalam bidang diplomatik dan menjabat sebagai sekretaris kedutaan
Inggris di Paris (1763–1766). Di Paris, ia menjalin hubungan intelektual dengan
para philosophes
seperti D’Alembert, Helvétius, dan Rousseau. Namun hubungannya dengan Rousseau
berakhir buruk karena perselisihan personal dan ideologis.⁹
Menjelang akhir
hayatnya, Hume kembali ke Edinburgh dan mengabdikan diri pada studi dan
korespondensi ilmiah. Ia meninggal dunia pada 25 Agustus 1776 setelah
mengalami gangguan kesehatan yang berkepanjangan. Dalam surat-surat
terakhirnya, ia menunjukkan ketenangan dan keberanian menghadapi kematian tanpa
mengandalkan keimanan konvensional, sesuatu yang mencerminkan konsistensi
prinsip-prinsip filsafatnya.¹⁰
Footnotes
[1]
Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 3–5.
[2]
Ibid., 6.
[3]
James A. Harris, Hume: An Intellectual Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 20–22.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), Introduction, xix–xx.
[5]
Harris, Hume: An Intellectual Biography, 49–52.
[6]
David Hume, My Own Life, in Essays, Moral, Political, and
Literary, ed. Eugene F. Miller (Indianapolis: Liberty Fund, 1987), xxxii.
[7]
David Fate Norton and Jacqueline Taylor, eds., The Cambridge
Companion to Hume, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009),
10.
[8]
Duncan Forbes, Hume’s Philosophical Politics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1975), 72–74.
[9]
Mossner, The Life of David Hume, 478–489.
[10]
Hume, My Own Life, xxxiv.
3.
Epistemologi: Teori Pengetahuan Hume
Dalam sejarah
filsafat modern, David Hume dianggap sebagai
salah satu tokoh paling radikal dalam mengembangkan teori
pengetahuan berbasis empirisme. Ia tidak hanya melanjutkan
warisan empirisme yang dirintis oleh John Locke dan George Berkeley, tetapi
juga mengguncang
fondasi epistemologi Barat melalui pendekatan skeptis dan naturalistik
terhadap pikiran manusia. Dalam A Treatise of Human Nature (1739),
Hume secara eksplisit menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari
pengalaman, dan bahwa upaya untuk melampaui batas-batas pengalaman indrawi akan
berujung pada ilusi metafisik.¹
3.1.
Distingsi antara
"Impression" dan "Idea"
Hume membangun
kerangka epistemologinya melalui distingsi antara kesan
(impression) dan ide (idea). Menurut Hume, kesan
adalah persepsi yang paling kuat dan hidup, seperti sensasi, emosi, dan
persepsi langsung; sedangkan ide adalah salinan lemah dari kesan tersebut, yang
hadir dalam pikiran saat kita mengingat atau membayangkannya.² Semua ide yang
kompleks, tegasnya, tersusun dari ide-ide sederhana yang pada gilirannya
bersumber dari kesan sederhana. Jika suatu ide tidak dapat ditelusuri kepada
suatu kesan, maka ide tersebut dianggap tidak sah secara epistemologis.³
Prinsip ini dikenal sebagai Prinsip Asal-usul Empiris (Copy
Principle).
Dengan prinsip
tersebut, Hume mengkritik ide-ide metafisik seperti “substansi,” “diri,”
atau “Tuhan” jika tidak memiliki dasar pengalaman yang nyata. Misalnya,
ia mempertanyakan bagaimana mungkin kita memiliki ide tentang “diri”
yang tetap, jika yang kita alami hanyalah aliran kesan yang terus berubah.⁴
3.2.
Prinsip Asosiasi Ide
Mengingat pikiran
manusia tidak pasif, Hume menjelaskan bagaimana ide-ide saling berhubungan
melalui tiga prinsip utama: kemiripan (resemblance), kedekatan
dalam ruang dan waktu (contiguity), dan hubungan
sebab-akibat (cause and effect).⁵ Ketiga prinsip ini
menjelaskan mengapa pikiran kita dapat membentuk asosiasi atau inferensi dari
satu gagasan ke gagasan lain, meskipun tidak ada kepastian objektif dalam
hubungan tersebut.
Dari sinilah muncul
salah satu tema epistemologis utama Hume: skeptisisme terhadap kausalitas dan inferensi
induktif. Ia menyatakan bahwa kita tidak pernah mengamati
secara langsung “hubungan kausal”, yang kita amati hanyalah peristiwa
yang berurutan secara tetap. Ide bahwa suatu sebab pasti
diikuti oleh akibat bukanlah hasil dari pengetahuan rasional, melainkan hasil
kebiasaan psikologis (custom or habit).⁶
3.3.
Kritik terhadap
Kausalitas dan Inferensi Induktif
Kritik Hume terhadap
inferensi kausal menjadi dasar dari apa yang disebut “masalah
induksi”. Ia mempertanyakan landasan rasional kita dalam
mengasumsikan bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu. Mengapa kita percaya
bahwa matahari akan terbit besok? Jawaban umum adalah karena hal itu selalu
terjadi di masa lalu. Namun, menurut Hume, asumsi tersebut tidak dapat
dibenarkan secara logis karena bersifat sirkular: kita mengandalkan prinsip
regularitas untuk membenarkan prinsip regularitas.⁷
Hume menyimpulkan
bahwa kepercayaan
kita terhadap kausalitas dan pengetahuan induktif bukanlah
hasil penalaran logis, tetapi merupakan produk kebiasaan alami dari
pikiran manusia.⁸ Dengan demikian, fondasi pengetahuan ilmiah bersifat
non-rasional, meskipun tetap berguna secara praktis.
3.4.
Implikasi
Skeptisisme Hume
Meskipun Hume
dikenal karena skeptisisme radikalnya, ia tidak bermaksud meniadakan
pengetahuan, melainkan menempatkannya dalam kerangka probabilitas
dan kebiasaan alamiah. Ia menganjurkan bentuk filsafat yang “mitigated”
atau skeptisisme
moderat, yakni pengakuan akan keterbatasan akal dan keengganan
untuk membuat klaim absolut.⁹ Implikasi ini sangat penting dalam sejarah
pemikiran, karena menjadi dasar bagi Immanuel Kant untuk merumuskan
sistem filsafat kritis yang berupaya menjembatani empirisme dan rasionalisme.
Kant sendiri mengakui bahwa Hume telah “membangunkannya dari tidur dogmatis.”¹⁰
Footnotes
[1]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), xix.
[2]
Ibid., 1.1.1.1–2.
[3]
Ibid., 1.1.6.4.
[4]
Ibid., 1.4.6.4–7.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. III, 18–21.
[6]
Ibid., sec. VII, 60–61.
[7]
Ibid., sec. IV, 35–37.
[8]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977),
71–73.
[9]
Hume, Enquiry Concerning Human Understanding, sec. XII, 162.
[10]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans.
Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7.
4.
Metafisika dan Konsep Kausalitas
Salah satu
kontribusi paling fundamental dan kontroversial dari pemikiran David
Hume dalam filsafat modern terletak pada kritiknya terhadap metafisika
tradisional dan konsep kausalitas. Berbeda dari para
rasionalis seperti Descartes dan Leibniz yang meyakini keberadaan substansi dan
relasi kausal sebagai realitas objektif yang dapat diketahui melalui akal budi,
Hume berpendapat bahwa gagasan metafisik semacam itu tidak memiliki
dasar dalam pengalaman empiris, dan oleh karena itu tidak sah
sebagai pengetahuan.
4.1.
Kritik terhadap
Metafisika Tradisional
Hume memulai dengan
mempertanyakan validitas ide-ide metafisik yang tidak dapat diturunkan dari
pengalaman indrawi. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding,
ia menegaskan prinsip yang terkenal: setiap ide yang tidak berasal dari kesan
(impression) mesti dianggap sebagai tidak bermakna.¹ Oleh karena itu,
istilah-istilah metafisis seperti “substansi,” “jiwa,” atau “keberadaan
mutlak” tidak memiliki referen dalam pengalaman dan hanya merupakan konstruk
linguistik tanpa isi.² Dalam hal ini, Hume mengambil posisi empirisme
radikal, yang menolak klaim-klaim metafisika yang tidak dapat
diverifikasi melalui pengalaman langsung atau observasi.
4.2.
Kritik terhadap
Konsep Kausalitas
Konsep kausalitas
menempati posisi sentral dalam filsafat Hume, terutama karena ia melihat bahwa relasi
sebab-akibat sering digunakan sebagai dasar inferensi ilmiah
dan metafisik. Hume mengajukan pertanyaan mendasar: apa yang
sesungguhnya kita maksud ketika kita mengatakan bahwa satu hal menyebabkan hal
lain?
Menurut Hume,
pengalaman kita tidak pernah memberi kita intuisi langsung tentang adanya
“koneksi niscaya” antara dua peristiwa. Yang kita amati hanyalah urutan
temporal dan keberulangan: misalnya, setiap kali bola A
menabrak bola B, bola B bergerak. Namun, dari fakta ini saja, kita tidak bisa
menyimpulkan secara logis bahwa peristiwa itu selalu harus terjadi seperti itu
di masa depan.³
Kita hanya membiasakan
diri untuk mengasosiasikan peristiwa A dengan B karena
pengalaman berulang, dan dari kebiasaan itulah muncul kepercayaan
akan kausalitas. Bagi Hume, kausalitas bukanlah relasi objektif
di dunia, melainkan konstruk mental yang dibentuk
melalui habit (kebiasaan).⁴
4.3.
Masalah Koneksi
Niscaya (Necessary Connection)
Kritik paling tajam
Hume terletak pada gagasan “koneksi niscaya” (necessary
connection). Dalam tradisi filsafat sebelumnya, terutama dalam
filsafat skolastik dan rasionalisme modern, hubungan sebab-akibat dianggap
bersifat niscaya, yakni jika A terjadi maka B harus terjadi. Hume membantah hal
ini. Ia menegaskan bahwa konsep “niscaya” bukanlah hasil dari persepsi
empiris, karena dalam pengalaman tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan
kekuatan atau keharusan internal yang menghubungkan dua peristiwa.⁵
Apa yang kita sebut
sebagai “koneksi niscaya” hanyalah kesan psikologis yang muncul
karena ekspektasi yang tertanam dari pengalaman berulang.⁶ Dengan demikian,
gagasan tentang hukum alam atau prinsip kausal tidak lebih dari konvensi
praktis yang berfungsi untuk mengatur pengalaman, bukan sebagai
kebenaran metafisis yang objektif.
4.4.
Implikasi terhadap
Ilmu Pengetahuan
Pandangan Hume
memiliki implikasi epistemologis dan metodologis yang
sangat luas, terutama terhadap fondasi ilmu pengetahuan. Bila
kausalitas tidak bisa dijustifikasi secara logis dan hanya bergantung pada kebiasaan,
maka seluruh
metode induktif—yang merupakan dasar ilmu modern—berdiri di
atas dasar yang rapuh.⁷
Hal ini memunculkan
apa yang dikenal sebagai “masalah induksi” dalam
epistemologi modern: kita tidak memiliki dasar rasional untuk meyakini bahwa
hukum-hukum alam akan tetap berlaku di masa depan hanya karena mereka berlaku
di masa lalu.⁸ Hume tidak memberikan solusi definitif terhadap masalah ini,
tetapi ia mengusulkan skeptisisme moderat dan penggunaan
prinsip utilitas sebagai pedoman pragmatis dalam kehidupan
sehari-hari maupun ilmu pengetahuan.
Footnotes
[1]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. II, 10.
[2]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977),
47–49.
[3]
Hume, Enquiry, sec. VII, 60–61.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.3.6.16–18.
[5]
Hume, Enquiry, sec. VII, 62–64.
[6]
Robert J. Fogelin, Hume’s Skeptical Crisis: A Textual Study
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 88–89.
[7]
Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 115–118.
[8]
John Wright, The Sceptical Realism of David Hume (Manchester:
Manchester University Press, 1983), 99–103.
5.
Filsafat Agama: Argumen Melawan Mukjizat dan
Teisme
Pemikiran David Hume
dalam bidang filsafat agama merupakan salah
satu aspek paling kontroversial dan berpengaruh dari keseluruhan sistem
filosofisnya. Dalam kerangka empirisme skeptis, Hume secara
sistematis meruntuhkan fondasi rasional dan historis dari
kepercayaan religius, khususnya menyangkut eksistensi
Tuhan, validitas mukjizat, dan dasar moral agama. Meskipun ia
tidak secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai ateis, tulisannya menunjukkan
sikap
yang sangat kritis terhadap teisme tradisional, terutama yang
bersandar pada wahyu dan argumen metafisik.
5.1.
Kritik terhadap
Argumen Mukjizat
Salah satu bagian
paling terkenal dari karya Hume adalah bab X dalam An
Enquiry Concerning Human Understanding, berjudul “Of
Miracles”. Dalam bagian ini, Hume menyampaikan argumen
epistemologis terhadap kemungkinan pembenaran rasional atas kepercayaan
terhadap mukjizat.¹
Hume mendefinisikan
mukjizat sebagai “pelanggaran terhadap hukum-hukum alam oleh kehendak ilahi.”²
Berdasarkan definisi ini, ia menegaskan bahwa hukum alam merupakan kesimpulan
yang diperoleh melalui pengalaman universal dan konstan. Oleh karena itu, setiap
kesaksian tentang mukjizat secara inheren lebih tidak mungkin dibandingkan
keteraturan hukum alam itu sendiri.³ Dengan kata lain, bukti
empiris terhadap keberadaan hukum alam selalu lebih kuat daripada kesaksian
individu yang mendukung mukjizat, sehingga secara rasional,
kepercayaan pada mukjizat tidak dapat dibenarkan.
Hume tidak
mengatakan bahwa mukjizat mustahil terjadi, melainkan bahwa tidak
ada jumlah kesaksian yang cukup untuk meyakinkan secara rasional bahwa mukjizat
telah terjadi. Ia menyoroti bahwa kesaksian mukjizat sering
kali berasal dari orang-orang yang kurang terdidik, berada dalam situasi
fanatisme, atau berasal dari budaya yang belum berkembang secara ilmiah.⁴
5.2.
Kritik terhadap
Argumen Teistik
Dalam karya Dialogues
Concerning Natural Religion, yang diterbitkan secara anumerta pada
tahun 1779, Hume mengembangkan kritik mendalam terhadap argumen rasional untuk
eksistensi Tuhan, khususnya argumen desain (teleologis).
Melalui dialog antara tokoh-tokoh fiktif seperti Philo, Cleanthes, dan Demea,
Hume membedah kelemahan argumen bahwa keteraturan dan kompleksitas alam semesta
merupakan bukti keberadaan perancang ilahi.⁵
Hume menyatakan
bahwa analogi antara dunia dan mesin ciptaan manusia adalah lemah
dan tidak proporsional. Jika dunia menyerupai mesin, maka bisa
saja ia merupakan hasil dari proses alamiah yang tidak disadari,
bukan dari kehendak rasional.⁶ Selain itu, Hume menunjukkan bahwa argumen
desain tidak dapat menghasilkan Tuhan yang maha sempurna, karena dunia penuh
dengan penderitaan dan ketidaksempurnaan. Jika dunia mencerminkan sifat
penciptanya, maka penciptanya tidak bisa digambarkan sebagai makhluk yang sempurna
dalam arti moral dan ontologis.⁷
Argumen lainnya yang
dikritik Hume adalah argumen kosmologis, yang
menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki sebab, dan oleh karena itu mesti ada “sebab
pertama” yang tidak disebabkan, yakni Tuhan. Hume membantah argumen ini
dengan menyatakan bahwa gagasan tentang sebab pertama bersifat
spekulatif, dan bahwa tidak ada alasan logis mengapa alam semesta
tidak bisa menjadi sebab bagi dirinya sendiri atau merupakan serangkaian
kejadian yang tak terbatas ke belakang.⁸
5.3.
Agama dan Moralitas:
Apakah Diperlukan Tuhan?
Selain kritik
terhadap dasar-dasar kepercayaan teistik, Hume juga mempertanyakan hubungan
antara agama dan moralitas. Dalam An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ia menekankan bahwa moralitas tidak bersumber dari perintah ilahi
atau wahyu, melainkan dari perasaan manusia terhadap simpati, kebajikan,
dan manfaat sosial.⁹ Oleh karena itu, menurut Hume, agama
bukanlah fondasi moralitas, dan dalam banyak kasus justru
berkontribusi terhadap fanatisme dan kekerasan.¹⁰
Hume menolak
pandangan bahwa tanpa agama tidak mungkin ada moralitas. Ia berpendapat bahwa
manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk bertindak secara baik
terhadap sesamanya, dan bahwa keutamaan moral dapat dijelaskan secara
naturalistik tanpa perlu mengandaikan prinsip-prinsip supranatural.
5.4.
Posisi Hume: Ateis,
Agnostik, atau Deis?
Meskipun banyak
komentator menyimpulkan bahwa Hume adalah ateis terselubung, namun dalam
karya-karyanya, ia lebih cenderung mengadopsi posisi skeptisisme
filosofis yang tidak secara tegas menyangkal Tuhan, tetapi menggantung
penilaian atas dasar keterbatasan pengetahuan manusia.¹¹ Hume
dengan cermat menghindari kesimpulan eksplisit yang dapat menimbulkan kecaman
langsung dari gereja dan negara. Oleh karena itu, ia lebih tepat digambarkan
sebagai skeptis terhadap teisme dogmatis dan wahyu
supranatural, namun tetap membuka ruang kemungkinan bagi
keberadaan prinsip metafisik yang tak dapat diketahui secara empiris.
Footnotes
[1]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. X, 110.
[2]
Ibid., 110.
[3]
Ibid., 112–115.
[4]
Ibid., 116–119.
[5]
David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman
Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 12–15.
[6]
Ibid., 35–38.
[7]
Ibid., 55–57.
[8]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977),
101–104.
[9]
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, 3–4.
[10]
J. C. A. Gaskin, Hume’s Philosophy of Religion (London:
Macmillan, 1988), 139–141.
[11]
Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 601–604.
6.
Etika dan Moralitas
Pemikiran David Hume
tentang etika dan moralitas menunjukkan
arah baru dalam sejarah filsafat moral, dengan menentang pandangan
rasionalistik yang mendominasi sejak masa klasik hingga era modern awal. Dalam An
Enquiry Concerning the Principles of Morals (1751), Hume secara
eksplisit menolak bahwa moralitas bersumber dari akal (reason) semata.
Sebaliknya, ia mengembangkan suatu etika sentimental, di mana perasaan
(sentiment) menjadi fondasi utama dalam penilaian moral.¹
6.1.
Penolakan terhadap
Etika Rasionalistik
Hume berangkat dari
kritik terhadap para filsuf seperti Samuel Clarke dan Immanuel
Kant, yang beranggapan bahwa prinsip-prinsip moral dapat
ditentukan secara apriori melalui akal budi. Ia berargumen bahwa akal
tidak dapat memotivasi tindakan, karena akal hanya berfungsi
menunjukkan relasi fakta, bukan menentukan nilai. Menurut Hume, motivasi moral
berasal dari afeksi dan perasaan batin,
bukan dari penalaran logis.² Dalam Treatise of Human Nature, ia
menulis dengan tegas bahwa “reason is, and ought only to be the slave of the
passions.”³
Dengan demikian,
penilaian moral bukan hasil dari deduksi logis, melainkan dari respon
afektif terhadap tindakan atau karakter tertentu, seperti
simpati, kebaikan hati, atau kebencian terhadap kekejaman.⁴ Pandangan ini
menjauh dari universalisme etika rasional dan mendekati pendekatan naturalistik
yang berakar pada kondisi manusiawi konkret.
6.2.
Moralitas sebagai
Ekspresi Simpati dan Kebaikan Sosial
Dalam sistem etika
Hume, simpati
(sympathy) memegang peran sentral. Ia percaya bahwa manusia,
sebagai makhluk sosial, memiliki kemampuan alami untuk merasakan penderitaan
atau kebahagiaan orang lain. Dari simpati ini muncul penilaian
terhadap kebajikan (virtue) dan kejahatan (vice).⁵ Suatu tindakan dinilai
bermoral bukan karena sesuai dengan hukum rasional, melainkan karena menimbulkan
perasaan persetujuan atau penghargaan dalam hati orang yang menilainya.
Hume juga menekankan
pentingnya utilitas sosial dalam
pembentukan moralitas. Ia mengamati bahwa tindakan yang secara umum dianggap
sebagai kebajikan—seperti kejujuran, kemurahan hati, dan keadilan—semuanya
memiliki manfaat bagi individu dan masyarakat.⁶ Oleh karena itu, penilaian
moral tidak bersifat subjektif sepenuhnya, karena ada kesepakatan
umum mengenai tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial.⁷
6.3.
Keadilan,
Kepemilikan, dan Konvensi Sosial
Hume menyadari bahwa
beberapa kebajikan tidak lahir dari dorongan emosional langsung, tetapi dari konvensi
sosial yang disepakati. Contohnya adalah keadilan
dan kepemilikan, yang menurutnya bukan merupakan nilai alamiah
(natural virtues), tetapi kebajikan artifisial (artificial virtues)
yang muncul karena kebutuhan manusia untuk hidup bersama dalam keteraturan.⁸
Ia berpendapat bahwa
dalam kondisi keterbatasan sumber daya dan kecenderungan egoistis manusia,
aturan-aturan mengenai hak milik, perjanjian, dan keadilan menjadi penting
sebagai konvensi sosial yang dijaga melalui rasa
kewajiban moral.⁹ Tanpa konvensi semacam itu, masyarakat akan terjebak
dalam kekacauan. Namun, nilai dari keadilan tetap bergantung pada manfaat
sosialnya, bukan pada imperatif rasional transenden.
6.4.
Naturalisme Moral
Hume dan Kritik Terhadap Transendensi Etika
Etika Hume berpijak
pada naturalisme
moral, yakni keyakinan bahwa fakta moral dapat dijelaskan dalam istilah
pengalaman manusia dan kecenderungan emosional, tanpa merujuk
pada entitas metafisik atau hukum moral ilahi. Ia menghindari klaim-klaim etika
yang bersifat dogmatis dan transendental.⁽¹⁰⁾
Dalam hal ini, Hume
juga terkenal dengan “is–ought problem”, yakni
peringatan bahwa tidaklah sah untuk menyimpulkan klaim normatif (“seharusnya”)
semata-mata dari premis faktual (“adanya sesuatu”).⁽¹¹⁾ Pernyataan ini
menjadi tonggak penting dalam metaetika, karena memperjelas
bahwa nilai
moral tidak bisa disimpulkan secara otomatis dari deskripsi fakta belaka,
tetapi membutuhkan justifikasi yang berbeda.
6.5.
Relevansi Pemikiran
Etika Hume dalam Filsafat Kontemporer
Meskipun sempat
dipandang sebagai bentuk relativisme moral, pemikiran Hume mendapat apresiasi
luas dalam filsafat moral abad ke-20, terutama dari kalangan emotivis
seperti A. J. Ayer dan naturalistik non-kognitivis
seperti Simon Blackburn.⁽¹²⁾ Hume juga dianggap sebagai pelopor
pendekatan empiris terhadap moralitas, yang mendasari banyak
kajian dalam psikologi moral dan etika evolusioner modern.
Etika sentimental
Hume menawarkan alternatif yang koheren dan manusiawi
terhadap rasionalisme moral kaku, dengan menekankan dimensi emosi, simpati, dan
manfaat sosial sebagai fondasi utama moralitas.
Footnotes
[1]
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. I, 3.
[2]
Ibid., 4–5.
[3]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 2.3.3.4.
[4]
Ibid., 3.1.2.1–2.
[5]
Hume, Enquiry Concerning the Principles of Morals, sec. II,
9–10.
[6]
Ibid., sec. V, 35–37.
[7]
J. L. Mackie, Hume’s Moral Theory (London: Routledge &
Kegan Paul, 1980), 29–30.
[8]
David Hume, Treatise, 3.2.1.10–12.
[9]
Ibid., 3.2.2.5–7.
[10]
Geoffrey Sayre-McCord, ed., Essays on Moral Realism (Ithaca:
Cornell University Press, 1988), 203–205.
[11]
Hume, Treatise, 3.1.1.27.
[12]
Simon Blackburn, Ruling Passions: A Theory of Practical Reasoning
(Oxford: Clarendon Press, 1998), 11–13.
7.
Hume dan Politik
Pemikiran politik
David Hume, meskipun tidak sepopuler kontribusinya dalam epistemologi atau
etika, memainkan peran penting dalam perkembangan liberalisme
klasik dan teori konvensional dalam filsafat politik modern.
Melalui berbagai esai politik dan sejarah yang ia tulis, terutama dalam Essays:
Moral, Political, and Literary dan The History of England, Hume
menawarkan pendekatan politik yang berpijak pada empirisme
moral dan pandangan realistis mengenai sifat manusia dan institusi sosial.
7.1.
Konsepsi Sifat
Manusia dalam Politik
Hume memandang
manusia sebagai makhluk yang dibimbing oleh perasaan dan kepentingan, bukan
semata oleh akal atau prinsip moral universal.¹ Oleh karena
itu, ia menolak konstruksi politik yang terlalu idealis, seperti state of
nature yang dikemukakan oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau. Baginya,
teori semacam itu hanya bersifat spekulatif dan tidak berdasarkan pada
pengalaman historis nyata.² Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak terbentuk melalui kontrak
sosial formal, melainkan tumbuh secara bertahap melalui
kebutuhan praktis dan kebiasaan yang mengatur hubungan antarmanusia.
7.2.
Pemerintahan sebagai
Produk Konvensi dan Kebiasaan
Dalam esainya Of the
Origin of Government, Hume menyatakan bahwa pemerintahan
berasal dari kebutuhan akan stabilitas dan perlindungan hak milik,
bukan dari perjanjian eksplisit antarindividu.³ Ia mengemukakan bahwa konvensi
sosial dan institusi politik berkembang melalui proses sejarah, bukan melalui
rekayasa rasional apriori.⁴ Pendekatan ini menjadikan Hume
sebagai salah satu pelopor teori konservatisme empiris, di mana
stabilitas dan keberlangsungan institusi lebih diutamakan daripada spekulasi
mengenai bentuk ideal suatu negara.
Menurut Hume, kepercayaan
terhadap otoritas politik terbentuk melalui kebiasaan dan konsensus sosial
yang dibentuk oleh manfaat institusi tersebut, bukan karena hak ilahi atau
prinsip metafisis.⁵ Ia juga menolak ide bahwa legitimasi kekuasaan bergantung
semata pada persetujuan bebas individu, karena dalam praktiknya, sebagian besar
masyarakat menerima pemerintahan sebagai fakta yang diwariskan, bukan hasil
pilihan bebas.
7.3.
Pandangan tentang
Kebebasan dan Konstitusi
Hume bukan seorang
demokratis dalam pengertian modern. Ia menyatakan skeptisisme
terhadap demokrasi langsung, karena menurutnya rakyat tidak
selalu rasional dan dapat mudah terpengaruh oleh emosi massa atau demagogi.⁶
Sebaliknya, ia lebih mendukung bentuk pemerintahan campuran (mixed
constitution), di mana kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dibagi
dan saling mengimbangi. Pandangan ini sangat memengaruhi perkembangan konstitusionalisme
Inggris dan menjadi rujukan dalam pemikiran politik Montesquieu
dan bahkan para pendiri Amerika Serikat.⁷
Kebebasan, menurut
Hume, bukanlah ketiadaan hukum, melainkan keamanan dalam menjalankan hak-hak yang dijamin
oleh hukum. Ia menekankan pentingnya kebebasan
sipil dan ekonomi, tetapi dalam kerangka hukum yang teratur.⁸
Dalam hal ini, Hume dapat dianggap sebagai pendukung liberalisme
moderat, yang menghargai kebebasan individu tanpa mengorbankan
ketertiban sosial.
7.4.
Kritik terhadap
Revolusi dan Fanatisme Politik
Sebagai sejarawan
dan filsuf, Hume bersikap kritis terhadap revolusi politik yang radikal,
seperti Revolusi Inggris atau ekses Revolusi Prancis. Ia berpendapat bahwa
perubahan politik sebaiknya dilakukan secara bertahap dan hati-hati, karena
institusi sosial memiliki nilai akumulatif yang tidak bisa begitu saja
digantikan oleh sistem baru.⁹
Hume juga mencela
fanatisme ideologis, baik dalam bentuk politik maupun agama. Bagi Hume, stabilitas
politik lebih penting daripada ideologi, dan kebajikan seorang
negarawan diukur dari kemampuannya menjaga keseimbangan sosial, bukan dari
kesetiaannya pada prinsip doktriner.¹⁰
7.5.
Warisan Pemikiran
Politik Hume
Meskipun ia tidak
menyusun teori politik sistematik seperti Hobbes atau Locke, pemikiran politik
Hume memiliki pengaruh mendalam terhadap liberalisme klasik,
khususnya dalam hal realisme politik, pentingnya institusi, dan
pendekatan historis terhadap perubahan sosial. Pemikir seperti
Edmund Burke, Friedrich Hayek, dan Michael Oakeshott mengambil inspirasi dari skeptisisme
politik dan empirisme sosial Hume.¹¹
Dengan menolak
apriorisme dalam politik dan menekankan pentingnya pengalaman, kebiasaan, dan
institusi sebagai dasar ketertiban sosial, Hume meletakkan fondasi intelektual
bagi pendekatan politik yang moderat, pragmatis, dan anti-utopis,
yang masih relevan hingga kini.
Footnotes
[1]
David Hume, Essays: Moral, Political, and Literary, ed. Eugene
F. Miller (Indianapolis: Liberty Fund, 1987), 37.
[2]
James A. Harris, Hume: An Intellectual Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 293–294.
[3]
Hume, Essays, 38.
[4]
Duncan Forbes, Hume’s Philosophical Politics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1975), 40–42.
[5]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge & Kegan Paul, 1977),
117–118.
[6]
Hume, Essays, 120–123.
[7]
Donald W. Livingston, Hume’s Philosophy of Common Life
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 176–178.
[8]
Hume, Essays, 89.
[9]
Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 585.
[10]
Hume, Essays, 131–133.
[11]
Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University
of Chicago Press, 1960), 102–104.
8.
Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran Hume
Pemikiran David Hume
memberikan dampak mendalam dalam hampir semua cabang filsafat Barat modern,
dari epistemologi, etika, metafisika, filsafat agama, hingga filsafat politik.
Ia bukan hanya dikenal sebagai pengkritik tajam terhadap dogma rasionalisme dan
teisme, tetapi juga sebagai pelopor metodologi filsafat berbasis empirisme yang
skeptis dan naturalistik. Namun, pengaruh besar Hume ini juga diiringi dengan
berbagai kritik tajam dari generasi filsuf setelahnya, baik
dari kalangan rasionalis, idealis, maupun positivis.
8.1.
Pengaruh terhadap
Filsafat Modern: Dari Kant hingga Positivisme
Pengaruh Hume
terhadap Immanuel Kant mungkin merupakan
salah satu yang paling menentukan dalam sejarah filsafat. Kant secara eksplisit
mengakui bahwa Hume “membangunkannya dari tidur dogmatis,” terutama melalui
keraguan Hume terhadap kausalitas dan pengetahuan apriori.¹ Kant merespons
kritik Hume dengan merumuskan proyek filsafat kritis, dalam Critique
of Pure Reason, yang bertujuan menggabungkan empirisme dan
rasionalisme dalam suatu sintesis transendental.²
Selain Kant,
pemikiran Hume juga mengilhami perkembangan empirisme logis dan positivisme
ilmiah pada abad ke-20. Tokoh-tokoh seperti A. J.
Ayer, anggota Lingkaran Wina, memandang Hume sebagai pendahulu
utama dari filsafat analitik modern yang menolak makna metafisika tradisional.³
Dalam Language,
Truth and Logic, Ayer mengadopsi prinsip verifikasi yang secara
eksplisit berakar pada prinsip Hume bahwa ide-ide harus dapat ditelusuri kepada
kesan-kesan empiris.⁴
Hume juga berperan
dalam membentuk dasar filsafat ilmu modern, khususnya
melalui identifikasinya terhadap masalah induksi—yakni ketiadaan
dasar logis yang kuat untuk menyimpulkan hukum universal dari observasi
terbatas.⁵ Masalah ini masih menjadi titik diskusi utama dalam epistemologi dan
metodologi ilmu pengetahuan kontemporer.
8.2.
Kritik terhadap
Skeptisisme dan Naturalisme Hume
Meskipun pemikiran
Hume banyak diapresiasi, ia juga menjadi sasaran kritik serius, terutama dari kaum
rasionalis dan idealis. Salah satu kritik utama datang dari
Kant, yang berpendapat bahwa Hume gagal memahami struktur
apriori kesadaran manusia yang memungkinkan adanya pengalaman
itu sendiri.⁶ Bagi Kant, konsep-konsep seperti ruang, waktu, dan kausalitas
tidak bergantung pada pengalaman, tetapi justru mendasari dan membentuk pengalaman itu.
Selain itu, kritik
juga muncul terhadap naturalisme moral Hume. Para
pendukung etika rasional (seperti Kant dan pengikutnya) menganggap pendekatan
etika Hume terlalu subjektif karena mendasarkan penilaian moral pada perasaan
simpati atau kebiasaan sosial.⁷ Mereka berpendapat bahwa moralitas
memerlukan prinsip universal yang dapat diuji secara rasional,
bukan hanya konvensi atau perasaan.
Masalah
“is–ought” yang dirumuskan Hume sendiri juga menjadi titik
kritis dalam diskusi metaetika. Beberapa filsuf, seperti G. E. Moore, berusaha
menunjukkan bahwa naturalisme moral Hume melanggar prinsip logis dengan mencoba
mendasarkan klaim normatif (apa yang seharusnya) dari deskripsi faktual
(apa yang ada).⁸
Ini melahirkan apa yang dikenal sebagai naturalistic fallacy (kesesatan
naturalistik) dalam etika.
8.3.
Penolakan terhadap
Ateisme Terbuka dan Kontroversi Teologis
Hume juga dikritik
karena dianggap menyembunyikan ateisme dalam bentuk skeptisisme
yang terselubung. Meskipun ia tidak secara eksplisit menyatakan
dirinya ateis, banyak komentator seperti J. C. A. Gaskin menilai bahwa posisi
Hume dalam Dialogues
Concerning Natural Religion secara efektif menolak semua argumen
teistik tradisional.⁹ Dalam konteks Inggris abad ke-18, sikap hati-hati Hume
dapat dibaca sebagai strategi pragmatis untuk menghindari sensor dan kecaman
sosial.
Di sisi lain, para
pembela agama menilai bahwa skeptisisme Hume merusak dasar kepercayaan
publik terhadap agama dan moralitas, karena menyarankan bahwa kepercayaan
religius tidak bisa dibenarkan secara rasional maupun historis.
Kritik ini bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga politis, karena Hume
dituduh memperlemah kohesi sosial berbasis nilai-nilai Kristen yang saat itu
dominan.¹⁰
8.4.
Relevansi
Kontemporer dan Warisan Intelektual
Hume tetap menjadi
tokoh sentral dalam diskursus filsafat kontemporer. Ia dihargai karena kejujurannya
dalam mengakui batas-batas nalar manusia, sekaligus karena metode
analitis dan historisnya yang tajam. Dalam filsafat sains, Hume
dianggap pelopor realisme skeptis dan pemikiran
kritis terhadap sains sebagai proyek tanpa fondasi mutlak.¹¹ Dalam bidang
etika, meskipun pendekatannya dikritik, empati dan perhatian terhadap utilitas sosial
kini banyak diadopsi dalam kajian psikologi moral dan filsafat praktis.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans.
Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7.
[2]
Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith
(London: Macmillan, 1929), A19/B33.
[3]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 45–47.
[4]
Ibid., 50.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1993), sec. IV–VII.
[6]
Kant, Critique of Pure Reason, A92/B124.
[7]
J. L. Mackie, Hume’s Moral Theory (London: Routledge &
Kegan Paul, 1980), 41.
[8]
G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 10–12.
[9]
J. C. A. Gaskin, Hume’s Philosophy of Religion (London:
Macmillan, 1988), 156–159.
[10]
Ernest C. Mossner, The Life of David Hume (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 604–606.
[11]
Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 190–195.
9.
Kesimpulan
David Hume merupakan
salah satu figur paling penting dalam sejarah filsafat modern yang menggugat
dasar-dasar keyakinan rasional dan metafisik yang sebelumnya
diterima secara luas. Melalui pendekatan empiris dan skeptis, Hume
menunjukkan bahwa banyak dari klaim filosofis, teologis, dan ilmiah tidak
dapat dibenarkan melalui nalar atau pengalaman secara ketat,
dan oleh karena itu harus ditinjau ulang dengan kerangka berpikir yang lebih
hati-hati dan realistis.
Dalam bidang epistemologi,
Hume membangun sistem pengetahuan yang berpijak pada kesan dan ide, serta menggugat
validitas inferensi kausal yang menjadi dasar berpikir ilmiah.¹
Ia menyimpulkan bahwa kepercayaan pada sebab-akibat tidak berasal
dari akal, melainkan dari kebiasaan psikologis, sebuah
pandangan yang melahirkan “masalah induksi” yang hingga kini masih menjadi
pusat diskusi dalam filsafat ilmu.²
Dalam metafisika
dan filsafat agama, Hume secara tajam mengkritik
argumen teistik, terutama argumen mukjizat dan desain, yang
dianggapnya tidak memiliki dasar empiris yang kuat.³ Ia tidak menolak
kemungkinan metafisika secara total, tetapi menggantung penilaian atas klaim-klaim
metafisik yang melampaui pengalaman, sehingga menjadikan
posisinya cenderung agnostik dan anti-dogmatis.⁴
Di bidang etika,
Hume menolak pandangan rasionalistik yang meletakkan moralitas pada hukum akal
universal. Sebaliknya, ia membangun etika sentimental, yang
menempatkan simpati, manfaat sosial, dan perasaan moral
sebagai dasar penilaian etis.⁵ Pandangan ini telah memberikan alternatif
penting terhadap etika normatif dan berpengaruh dalam perkembangan etika
psikologis dan empiris pada abad ke-20 dan ke-21.
Dalam filsafat
politik, Hume menawarkan pendekatan konvensionalis
dan konservatif, yang menolak model kontrak sosial fiktif dan
menekankan pentingnya institusi yang berkembang secara historis dan
berdasarkan kebiasaan sosial.⁶ Ia mengajukan realitas
psikologis manusia sebagai dasar dari legitimasi pemerintahan,
bukan klaim metafisik tentang hak alamiah atau perjanjian awal.
Dari sisi pengaruh,
pemikiran Hume menjadi fondasi penting bagi pemikiran Immanuel
Kant, filsafat analitik, positivisme logis, hingga teori sains
dan etika kontemporer.⁷ Namun, warisan intelektualnya tidak luput dari kritik,
terutama dari kaum rasionalis, idealis, dan moralis
transendental, yang menilai bahwa skeptisisme Hume dapat
berujung pada relativisme atau nihilisme.⁸
Kekuatan terbesar
Hume terletak pada keberaniannya untuk menantang dogma intelektual
dan menggantinya dengan analisis yang jujur dan metodis atas
pengalaman manusiawi. Dengan menekankan keraguan yang terarah, empirisme yang
terbimbing, dan moralitas yang manusiawi, Hume menegaskan
pentingnya filsafat sebagai penyelidikan kritis atas
batas-batas pengetahuan, kepercayaan, dan tindakan.⁹ Dalam
dunia yang semakin kompleks dan pluralistik, warisan Hume tetap relevan sebagai
pengingat bahwa filsafat bukan hanya mencari kepastian, tetapi juga memahami
keterbatasan akal manusia dengan rendah hati dan kejujuran intelektual.
Footnotes
[1]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.1.1.1–3.
[2]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), sec. VII, 60–61.
[3]
Ibid., sec. X, 110–119.
[4]
David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman
Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 55–57.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), sec. II, 9–10.
[6]
David Hume, Essays: Moral, Political, and Literary, ed. Eugene
F. Miller (Indianapolis: Liberty Fund, 1987), 38–40.
[7]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans.
Paul Carus (New York: Liberal Arts Press, 1950), 7; A. J. Ayer, Language,
Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 45–47.
[8]
G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 10–12; J. L. Mackie, Hume’s Moral Theory (London:
Routledge & Kegan Paul, 1980), 41–42.
[9]
Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 198–201.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language,
truth and logic. London: Gollancz.
Beauchamp, T. L. (Ed.).
(1998). An enquiry concerning the principles of morals (by David
Hume). Oxford: Oxford University Press.
Blackburn, S. (1998). Ruling
passions: A theory of practical reasoning. Oxford: Clarendon Press.
Fogelin, R. J. (2009). Hume’s
skeptical crisis: A textual study. Oxford: Oxford University Press.
Forbes, D. (1975). Hume’s
philosophical politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Garrett, D. (1997). Cognition
and commitment in Hume’s philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Gaskin, J. C. A. (1988). Hume’s
philosophy of religion. London: Macmillan.
Harris, J. A. (2015). Hume:
An intellectual biography. Cambridge: Cambridge University Press.
Hayek, F. A. (1960). The
constitution of liberty. Chicago: University of Chicago Press.
Hume, D. (1978). A
treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon
Press. (Original work published 1739)
Hume, D. (1987). Essays:
Moral, political, and literary (E. F. Miller, Ed.). Indianapolis: Liberty
Fund. (Original essays published 1741–1777)
Hume, D. (1993). An
enquiry concerning human understanding (E. Steinberg, Ed.). Indianapolis:
Hackett Publishing. (Original work published 1748)
Hume, D. (1947). Dialogues
concerning natural religion (N. Kemp Smith, Ed.). Indianapolis:
Bobbs-Merrill. (Original work published posthumously 1779)
Kant, I. (1929). Critique
of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan. (Original work
published 1781)
Kant, I. (1950). Prolegomena
to any future metaphysics (P. Carus, Trans.). New York: Liberal Arts
Press. (Original work published 1783)
Livingston, D. W. (1984). Hume’s
philosophy of common life. Chicago: University of Chicago Press.
Mackie, J. L. (1980). Hume’s
moral theory. London: Routledge & Kegan Paul.
Moore, G. E. (1903). Principia
ethica. Cambridge: Cambridge University Press.
Mossner, E. C. (2001). The
life of David Hume. Oxford: Oxford University Press.
Sayre-McCord, G. (Ed.).
(1988). Essays on moral realism. Ithaca: Cornell University Press.
Stroud, B. (1977). Hume.
London: Routledge & Kegan Paul.
Wright, J. (1983). The
sceptical realism of David Hume. Manchester: Manchester University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar