Filsafat Abad
Pertengahan
Pergulatan Pemikiran antara Teologi dan Rasionalitas
Alihkan ke: Aliran-Aliran
Filsafat Berdasarkan Sejarah dan Periode Filsafat
Abstrak
Filsafat abad pertengahan merupakan periode penting
dalam sejarah pemikiran manusia yang berperan sebagai jembatan antara filsafat
klasik dan filsafat modern. Dalam periode ini, pemikiran filsafat berkembang
dalam konteks dominasi agama, baik dalam tradisi Kristen, Islam, maupun Yahudi.
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai perkembangan filsafat abad
pertengahan, mencakup konteks historisnya, tokoh-tokoh utama, serta perdebatan
besar yang terjadi dalam periode tersebut. Salah satu perdebatan utama yang
diangkat adalah hubungan antara akal dan wahyu, yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran berbeda dari tokoh seperti Thomas Aquinas, Al-Ghazali, dan
Ibnu Rusyd. Selain itu, artikel ini juga mengulas masalah universalia dalam
pertentangan antara realisme dan nominalisme, serta berbagai argumen filosofis
tentang eksistensi Tuhan.
Lebih lanjut, artikel ini mengkaji pengaruh
filsafat abad pertengahan terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya, terutama
dalam filsafat modern, ilmu pengetahuan, dan reformasi teologi. Filsafat abad
pertengahan memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk tradisi
rasionalisme dan empirisme, serta meletakkan dasar bagi metode ilmiah yang
berkembang di era modern. Meskipun sering dianggap sebagai periode subordinasi
filsafat terhadap teologi, filsafat abad pertengahan tetap relevan dalam berbagai
diskusi filsafat kontemporer, terutama dalam hubungan antara sains dan agama.
Dengan demikian, pemahaman terhadap filsafat abad pertengahan tidak hanya
berkontribusi dalam studi historis filsafat, tetapi juga memberikan perspektif
penting dalam memahami perkembangan intelektual manusia secara lebih luas.
Kata Kunci: Filsafat abad pertengahan, skolastisisme, akal dan
wahyu, realisme vs. nominalisme, eksistensi Tuhan, filsafat Kristen, filsafat
Islam, filsafat Yahudi, rasionalisme, empirisme.
PEMBAHASAN
Filsafat Abad Pertengahan
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Filsafat abad
pertengahan merujuk pada periode pemikiran filosofis yang berkembang antara
runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5 hingga awal Renaisans pada abad
ke-15. Periode ini ditandai oleh dominasi teologi dalam diskursus intelektual,
di mana filsafat berfungsi sebagai instrumen untuk memahami dan membela doktrin
keagamaan, khususnya dalam tradisi Kristen, Islam, dan Yahudi. Filsafat abad
pertengahan sering kali dianggap sebagai jembatan antara filsafat
klasik—seperti yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles—dan filsafat modern
yang muncul setelahnya. Salah satu karakteristik utama filsafat abad
pertengahan adalah upaya harmonisasi antara akal dan wahyu, sebagaimana terlihat
dalam berbagai perdebatan tentang eksistensi Tuhan, hakikat realitas, dan
hubungan antara manusia dan Tuhan.1
Secara historis,
filsafat abad pertengahan berkembang dalam tiga tradisi utama: Kristen, Islam,
dan Yahudi. Meskipun memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda, ketiga
tradisi ini menunjukkan keterkaitan erat dalam menyerap dan mengembangkan
filsafat Yunani, terutama melalui pemikiran Aristotelian dan Neoplatonis.2
Para pemikir abad pertengahan, seperti Santo Agustinus, Anselmus, Thomas
Aquinas, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Maimonides, berkontribusi besar dalam
mengembangkan pendekatan rasional terhadap isu-isu teologis dan metafisika,
menjadikan periode ini sebagai salah satu fase paling penting dalam sejarah
filsafat.3
Filsafat abad
pertengahan juga berperan dalam membentuk metode skolastik, yakni suatu
pendekatan yang berusaha merekonsiliasi iman dan akal melalui argumentasi logis
dan sistematis. Metode ini berkembang pesat di universitas-universitas Eropa
pada abad ke-12 hingga ke-15, dengan Thomas Aquinas sebagai salah satu tokoh
utama yang mengembangkan skolastisisme berdasarkan sintesis antara
Aristotelianisme dan teologi Kristen.4
1.2.
Tujuan Pembahasan
Pembahasan tentang
filsafat abad pertengahan bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana pemikiran filosofis berkembang dalam konteks dominasi
teologi dan agama. Secara lebih spesifik, artikel ini akan:
1)
Menganalisis
perkembangan filsafat abad pertengahan melalui kajian historis
dan pemikiran para tokoh utama yang mempengaruhinya.
2)
Membahas
integrasi antara filsafat dan teologi, terutama dalam tradisi
Kristen, Islam, dan Yahudi, serta bagaimana para filsuf berusaha menemukan
keseimbangan antara akal dan wahyu.
3)
Mengidentifikasi
perdebatan intelektual yang muncul, seperti pertentangan antara
realisme dan nominalisme, argumen tentang eksistensi Tuhan, dan perbedaan
pandangan tentang sifat realitas.
4)
Menyoroti
dampak filsafat abad pertengahan terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya,
khususnya dalam filsafat modern dan ilmu pengetahuan.
Dengan memahami
filsafat abad pertengahan secara mendalam, kita dapat melihat bagaimana
pemikiran rasional berkembang dalam lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh
dogma keagamaan. Kajian ini juga akan membantu
dalam memahami warisan filsafat abad pertengahan dalam konteks pemikiran
kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama dan
filsafat.5
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York:
Charles Scribner's Sons, 1936), 15-18.
[2]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London:
Longman, 1988), 42-45.
[3]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical
Introduction (London: Routledge, 2007), 23-27.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II - Medieval
Philosophy (New York: Image Books, 1993), 89-94.
[5]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 12-16.
2.
Konteks Historis dan Karakteristik Filsafat
Abad Pertengahan
2.1.
Pembagian Periode Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad
pertengahan berkembang selama hampir seribu tahun, dari runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5 hingga awal
Renaisans pada abad ke-15. Periode ini dapat dibagi menjadi tiga tahap utama
yang mencerminkan dinamika perkembangan pemikiran filosofis:
1)
Awal Abad Pertengahan
(476–1000 M)
Pada periode ini, pemikiran filosofis masih
berada di bawah pengaruh pemikiran klasik yang dikombinasikan dengan ajaran
agama. Santo Agustinus (354–430 M) menjadi tokoh utama dengan ajaran
Neoplatonisme yang ia adaptasi dalam konteks Kristen. Ia menekankan peran iman
sebagai dasar pengetahuan dan pemahaman tentang Tuhan.1 Filsafat pada
masa ini juga banyak dipengaruhi oleh penurunan intelektual di Eropa akibat
runtuhnya Romawi dan bangkitnya institusi gereja sebagai otoritas dominan dalam
kehidupan sosial dan intelektual.2
2)
Puncak Abad Pertengahan
(1000–1300 M)
Pada periode ini, terjadi kebangkitan intelektual
yang ditandai dengan munculnya universitas-universitas di Eropa, seperti
Universitas Paris dan Universitas Oxford. Skolastisisme berkembang sebagai
metode utama dalam pendidikan filsafat dan teologi. Thomas Aquinas (1225–1274 M)
menjadi figur sentral dengan upayanya menyelaraskan filsafat Aristotelian
dengan doktrin Kristen melalui Summa Theologica. Selain itu, pengaruh
filsafat Islam mulai masuk ke Eropa melalui penerjemahan karya-karya
Aristoteles dan filsuf Muslim seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.3
3)
Akhir Abad Pertengahan
(1300–1450 M)
Pada periode ini, terjadi kemunduran
skolastisisme yang ditandai dengan munculnya kritik terhadap pemikiran
skolastik yang terlalu bergantung pada tradisi otoritatif. William of Ockham
(1287–1347 M) menjadi salah satu filsuf penting yang mengembangkan nominalisme,
suatu pandangan yang menolak eksistensi universal sebagai realitas objektif.4
Pemikiran ini membuka jalan bagi skeptisisme dan empirisme yang berkembang di
era modern.
2.2.
Karakteristik Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad
pertengahan memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari periode filsafat lainnya:
1)
Dominasi Teologi dalam
Filsafat
Salah satu ciri khas filsafat abad pertengahan
adalah dominasi teologi dalam pemikiran filosofis. Hampir semua filsuf abad
pertengahan adalah teolog yang berusaha memahami kebenaran agama menggunakan
metode rasional. Pemikiran filsafat tidak berkembang secara independen,
melainkan berfungsi untuk menjelaskan, mempertahankan, dan memperdalam doktrin
agama.5
2)
Integrasi antara
Filsafat Yunani dan Doktrin Agama
Filsafat abad pertengahan ditandai dengan upaya
mengintegrasikan filsafat Yunani, terutama Aristotelianisme dan Platonisme,
dengan ajaran agama. Dalam tradisi Kristen, upaya ini terlihat dalam pemikiran
Thomas Aquinas yang mengadopsi logika Aristoteles untuk menjelaskan keberadaan
Tuhan. Dalam tradisi Islam, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd menggunakan
filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme untuk memahami hubungan antara akal dan
wahyu.6
3)
Metode Skolastik
Skolastisisme adalah metode utama dalam filsafat
abad pertengahan yang menggabungkan argumentasi logis dengan ajaran teologis.
Metode ini berkembang pesat di universitas-universitas abad pertengahan dan
berusaha menyusun sistem pemikiran yang rasional dan sistematis. Debat
skolastik sering kali berpusat pada pertanyaan tentang hubungan antara akal dan
iman, serta realitas universal.7
4)
Perdebatan tentang
Hakikat Realitas dan Universalia
Filsafat abad pertengahan banyak membahas perdebatan
metafisik tentang hakikat realitas dan konsep universalia. Perdebatan ini
melibatkan dua pandangan utama:
Realisme: Pandangan yang
menyatakan bahwa konsep-konsep universal memiliki realitas objektif,
sebagaimana dipertahankan oleh Anselmus dan Thomas Aquinas.
Nominalisme: Pandangan yang
menyatakan bahwa konsep-konsep universal hanyalah nama yang diberikan manusia
tanpa realitas objektif, seperti yang dikembangkan oleh William of Ockham.8
5)
Argumen tentang
Eksistensi Tuhan
Salah satu perdebatan utama dalam filsafat abad
pertengahan adalah argumen tentang eksistensi Tuhan. Beberapa argumen yang
terkenal meliputi:
Argumen Ontologis: Anselmus
dari Canterbury mengemukakan bahwa eksistensi Tuhan dapat dibuktikan secara
rasional berdasarkan konsep keberadaan yang paling sempurna.9
Argumen Kosmologis: Thomas
Aquinas menggunakan pendekatan Aristotelian untuk membuktikan bahwa Tuhan
adalah penyebab pertama dari segala sesuatu.10
Argumen Teleologis: Ibnu Sina
berpendapat bahwa keteraturan dalam alam semesta menunjukkan adanya pencipta
yang cerdas.11
Filsafat abad
pertengahan, meskipun sering dianggap sebagai subordinasi teologi, sebenarnya
memberikan fondasi bagi perkembangan filsafat
modern. Konsep-konsep yang berkembang pada periode ini, terutama dalam epistemologi,
metafisika, dan logika, masih memiliki relevansi dalam diskusi filosofis
kontemporer.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 28-31.
[2]
John Marenbon, Early Medieval Philosophy (480-1150): An
Introduction (London: Routledge, 1983), 12-16.
[3]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London:
Longman, 1988), 56-60.
[4]
William Courtenay, Capacity and Volition: A History of the
Distinction of Absolute and Ordained Power (Bergamo: Bergamo University
Press, 1990), 89-92.
[5]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 21-25.
[6]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II - Medieval
Philosophy (New York: Image Books, 1993), 103-108.
[7]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 45-50.
[8]
Paul Vincent Spade, Thoughts, Words, and Things: An Introduction to
Late Medieval Logic and Semantic Theory (Notre Dame: University of Notre
Dame Press, 1996), 67-70.
[9]
Anselmus, Proslogion, ed. Charlesworth (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 3-6.
[10]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.q2.a3.
[11]
Lenn Evan Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 82-85.
3.
Tokoh-Tokoh dan Pemikiran Utama dalam Filsafat
Abad Pertengahan
Filsafat abad
pertengahan ditandai oleh pemikiran para filsuf yang berupaya merekonsiliasi
iman dan akal, baik dalam tradisi Kristen, Islam, maupun Yahudi. Para pemikir
utama periode ini sering kali menggunakan metode rasional untuk membangun
argumen teologis dan menjelaskan realitas
metafisik. Berikut adalah beberapa tokoh penting beserta kontribusi mereka
dalam filsafat abad pertengahan.
3.1.
Filsafat Kristen
3.1.1.
Agustinus
dari Hippo (354–430 M): Platonisme dalam Teologi Kristen
Santo Agustinus
merupakan filsuf dan teolog Kristen yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Plato dan Neoplatonisme, terutama dari Plotinus. Ia mengajarkan bahwa dunia
materi hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi, yakni Tuhan sebagai
kebaikan tertinggi. Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah konsep divine
illumination, yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat
diperoleh melalui cahaya Tuhan dalam akal manusia.1 Agustinus juga
membela konsep original sin dan menekankan
perlunya kasih karunia Tuhan dalam keselamatan manusia.2
3.1.2. Anselmus dari Canterbury
(1033–1109 M): Argumen Ontologis tentang Tuhan
Anselmus dikenal
dengan argumen ontologisnya yang membuktikan keberadaan Tuhan melalui logika
deduktif. Dalam Proslogion, ia menyatakan bahwa
Tuhan adalah “sesuatu yang tidak mungkin dapat dipikirkan sesuatu yang lebih
besar darinya.”3 Jika Tuhan hanya ada dalam pikiran dan bukan
dalam realitas, maka sesuatu yang lebih besar dapat dibayangkan, yang berarti
bertentangan dengan definisi Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan harus ada dalam
kenyataan. Argumen ini menjadi salah satu perdebatan utama dalam filsafat
teologi abad pertengahan dan terus diperbincangkan hingga era modern.4
3.1.3. Thomas Aquinas (1225–1274 M):
Sintesis Aristotelian dan Teologi Kristen
Thomas Aquinas
adalah tokoh skolastik terbesar yang mengembangkan sintesis antara
Aristotelianisme dan teologi Kristen dalam Summa Theologica. Ia merumuskan Lima
Jalan (Quinque Viae) sebagai argumen rasional untuk membuktikan
keberadaan Tuhan, termasuk argumen kosmologis dan teleologis.5
Aquinas juga berpendapat bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam memahami
kebenaran.6 Pemikirannya sangat berpengaruh dalam teologi Katolik
dan menjadi dasar dari filsafat skolastik.
3.2.
Filsafat Islam
3.2.1. Al-Kindi (801–873 M): Perintis
Filsafat Islam
Al-Kindi dikenal
sebagai filsuf pertama dalam tradisi Islam yang mengadaptasi pemikiran
Aristoteles dan Neoplatonisme ke dalam Islam. Ia berpendapat bahwa filsafat dan
agama tidak bertentangan karena keduanya mencari kebenaran.7
Al-Kindi juga menulis tentang metafisika, epistemologi, dan etika, serta menekankan pentingnya akal dalam
memahami wahyu ilahi.8
3.2.2. Al-Farabi (872–950 M): Konsep
Negara dan Filsafat Politik
Al-Farabi dianggap
sebagai Al-Mu'allim
al-Thani (Guru Kedua) setelah Aristoteles. Dalam Al-Madina
al-Fadhila (Negara Utama), ia mengembangkan teori politik yang dipengaruhi oleh Republik
Plato. Menurutnya, negara ideal harus dipimpin oleh filsuf-raja yang memiliki
pengetahuan tentang kebaikan tertinggi.9
3.2.3. Ibnu Sina (980–1037 M):
Metafisika dan Konsep Wujud
Ibnu Sina (Avicenna)
adalah filsuf Islam terbesar dalam tradisi Aristotelian. Dalam Kitab
al-Syifa', ia mengembangkan konsep wujud (eksistensi) dan mahiya
(hakikat). Ia membagi keberadaan menjadi wujud yang mungkin dan wujud yang
wajib (Tuhan).10 Pemikirannya sangat berpengaruh dalam filsafat skolastik Eropa dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin.
3.2.4. Al-Ghazali (1058–1111 M): Kritik
terhadap Filsafat dan Pemulihan Ilmu Kalam
Dalam Tahafut
al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik filsuf-filsuf seperti Ibnu Sina
dan Al-Farabi karena dianggap terlalu mengandalkan rasionalitas dalam memahami
agama. Ia menolak konsep kausalitas Aristotelian dan berargumen bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan,
bukan hukum alam.11 Pemikirannya menjadi dasar bagi berkembangnya
tradisi Asy'ariyah dalam teologi Islam.
3.2.5. Ibnu Rusyd (1126–1198 M):
Aristotelianisme Radikal dalam Islam
Ibnu Rusyd
(Averroes) membela pemikiran Aristoteles dari kritik Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Tahafut (Inkoherensi Inkoherensi). Ia berargumen bahwa filsafat
dan agama adalah dua jalur yang berbeda menuju kebenaran dan tidak
bertentangan.12 Pemikirannya sangat berpengaruh di Eropa, terutama
dalam pemikiran skolastik dan Renaisans.
3.3.
Filsafat Yahudi
3.3.1. Philo dari Alexandria (20 SM–50
M): Neo-Platonisme dalam Yudaisme
Philo menggabungkan
filsafat Yunani dengan Yudaisme dan memperkenalkan konsep Logos sebagai perantara antara
Tuhan dan dunia. Ia berargumen bahwa akal manusia dapat memahami Tuhan melalui
filsafat dan wahyu.13
3.3.2. Maimonides (1135–1204 M):
Rasionalisme dalam Tradisi Yahudi
Maimonides menulis The
Guide for the Perplexed, di mana ia berusaha merekonsiliasi
Aristotelianisme dengan teologi Yahudi. Ia menekankan bahwa akal adalah sarana
utama untuk memahami Tuhan dan hukum-hukum agama.14 Pemikirannya mempengaruhi teologi Islam,
Kristen, dan filsafat skolastik.
Kesimpulan
Para filsuf abad
pertengahan, baik dari tradisi Kristen, Islam, maupun Yahudi, memberikan
kontribusi besar dalam perkembangan filsafat dan teologi. Mereka berusaha
membangun hubungan antara akal dan wahyu, serta memberikan dasar bagi
perkembangan filsafat modern.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 45-48.
[2]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical
Introduction (London: Routledge, 2007), 31-34.
[3]
Anselmus, Proslogion, ed. Charlesworth (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 5-7.
[4]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 27-30.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.q2.a3.
[6]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II - Medieval
Philosophy (New York: Image Books, 1993), 112-117.
[7]
Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 73-76.
[8]
Lenn Evan Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 98-101.
[9]
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadhila (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1992),
45-50.
[10]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton:
Princeton University Press, 1960), 84-89.
[11]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. and trans. Michael Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 12-16.
[12]
Averroes, Tahafut al-Tahafut (Incoherence of the Incoherence),
trans. Simon Van den Bergh (London: Luzac, 1954), 89-95.
[13]
Philo of Alexandria, On the Creation, trans. F. H. Colson
(Cambridge: Harvard University Press, 1929), 42-46.
[14]
Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. Shlomo
Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), 101-105.
4.
Perdebatan Besar dalam Filsafat Abad
Pertengahan
Filsafat abad
pertengahan ditandai oleh berbagai perdebatan filosofis yang berakar pada
pertentangan antara akal dan wahyu, metafisika, serta ontologi. Meskipun
filsafat pada periode ini banyak dipengaruhi oleh teologi, para filsuf abad
pertengahan tetap mengembangkan berbagai argumentasi logis dan rasional dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang keberadaan, realitas, dan Tuhan. Berikut adalah beberapa perdebatan
utama yang muncul dalam filsafat abad pertengahan.
4.1.
Hubungan antara Akal dan Wahyu
Salah satu
perdebatan terbesar dalam filsafat abad pertengahan adalah hubungan antara akal (reason) dan wahyu (revelation).
Para filsuf skolastik berusaha merekonsiliasi dua sumber pengetahuan ini,
tetapi tidak semua setuju mengenai bagaimana keduanya dapat diselaraskan.
4.1.1. Sintesis Akal dan Wahyu: Thomas
Aquinas
Thomas Aquinas
(1225–1274 M) berpendapat bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tetapi
saling melengkapi. Dalam Summa Theologica, ia membagi
kebenaran menjadi dua kategori: kebenaran yang dapat diketahui oleh akal
(seperti keberadaan Tuhan yang dapat dibuktikan dengan argumen kosmologis) dan kebenaran
yang hanya dapat diketahui melalui wahyu (seperti doktrin
Tritunggal dalam Kekristenan).1 Dengan menggunakan filsafat
Aristotelian, Aquinas mengembangkan argumen
bahwa iman tidak meniadakan akal, tetapi justru menyempurnakannya.2
4.1.2. Dominasi Wahyu atas Akal:
Al-Ghazali
Berbeda dengan
Aquinas, Al-Ghazali (1058–1111 M) dalam Tahafut al-Falasifah (Kerancuan
Para Filsuf) mengkritik para filsuf Muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi
karena dianggap terlalu mengutamakan akal dalam memahami Tuhan dan alam
semesta. Menurut Al-Ghazali, akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami realitas ilahi tanpa bimbingan wahyu.3
Ia menolak konsep kausalitas Aristotelian dan berargumen bahwa hubungan
sebab-akibat dalam alam semesta bukanlah sesuatu yang bersifat niscaya,
melainkan sepenuhnya berada di bawah kehendak Tuhan.4
4.1.3. Primasi Akal atas Wahyu: Ibnu
Rusyd
Ibnu Rusyd
(Averroes) (1126–1198 M) dalam Fasl al-Maqal (Keputusan yang
Tegas) menyatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara filsafat dan agama, karena
kebenaran agama dan filsafat berasal dari Tuhan yang sama. Ia berpendapat bahwa
teks-teks keagamaan harus ditafsirkan secara alegoris jika tampak bertentangan
dengan akal. Ibnu Rusyd mengembangkan teori double truth (dua kebenaran), yang
menyatakan bahwa ada kebenaran yang dapat dicapai melalui filsafat dan ada
kebenaran yang lebih sederhana
untuk dipahami oleh masyarakat umum melalui wahyu.5 Pemikirannya
sangat berpengaruh di Eropa dan menjadi dasar bagi perkembangan rasionalisme di
era Renaisans.
4.2.
Masalah Universalia: Realisme vs. Nominalisme
Perdebatan lain yang menjadi ciri khas filsafat abad
pertengahan adalah perdebatan mengenai universalia, yaitu
konsep-konsep abstrak seperti "kemanusiaan" atau "keindahan."
4.2.1. Realisme: Universalia sebagai
Entitas Nyata
Realisme dalam
filsafat abad pertengahan berpendapat bahwa konsep-konsep umum memiliki
eksistensi nyata di luar pikiran manusia. Pandangan ini berasal dari Plato,
yang menyatakan bahwa dunia ide lebih nyata daripada dunia fisik.6
Pandangan ini diperkuat oleh filsuf Kristen seperti Anselmus dan Thomas
Aquinas, yang berpendapat bahwa universalia adalah konsep yang ada dalam pikiran Tuhan sebelum diwujudkan
dalam dunia material.7
4.2.2. Nominalisme: Universalia sebagai
Sekadar Nama
Sebaliknya,
nominalisme menolak keberadaan universalia sebagai entitas yang berdiri sendiri
dan menganggapnya hanya sebagai konstruksi linguistik atau sebutan (nomina)
yang digunakan manusia untuk mengelompokkan
objek yang serupa. William of Ockham (1287–1347 M) adalah tokoh utama dalam
aliran ini. Ia menegaskan bahwa hanya individu yang benar-benar ada, sedangkan
konsep umum hanyalah produk pikiran manusia untuk menyederhanakan realitas.8
Pandangan nominalisme memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan empirisme dalam filsafat modern, terutama dalam pemikiran
Francis Bacon dan David Hume.9
4.3.
Argumen tentang Eksistensi Tuhan
Keberadaan Tuhan
merupakan salah satu topik utama dalam filsafat abad pertengahan. Para filsuf
mengembangkan berbagai argumen rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan, di
antaranya adalah:
4.3.1. Argumen Ontologis (Anselmus dari
Canterbury)
Anselmus dalam Proslogion
mengembangkan argumen ontologis, yang
menyatakan bahwa Tuhan adalah "sesuatu yang tidak dapat dipikirkan
sesuatu yang lebih besar darinya." Jika Tuhan hanya ada dalam pikiran,
maka kita bisa membayangkan eksistensi yang lebih tinggi, yakni Tuhan yang juga ada dalam kenyataan. Oleh karena itu,
Tuhan harus ada dalam realitas.10
4.3.2. Argumen Kosmologis (Thomas
Aquinas)
Thomas Aquinas
merumuskan argumen kosmologis, yang
berlandaskan pemikiran Aristoteles tentang sebab pertama (prime
mover). Ia berpendapat
bahwa segala sesuatu yang bergerak harus memiliki penyebab, dan sebab pertama
dari segala sesuatu yang ada adalah Tuhan.11
4.3.3. Argumen Teleologis (Ibnu Sina
dan Thomas Aquinas)
Ibnu Sina dalam Kitab
al-Syifa' mengembangkan argumen teleologis, yang
menyatakan bahwa tatanan alam semesta yang teratur menunjukkan adanya pencipta
yang cerdas.12 Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas
dalam Quinque
Viae, di mana ia berargumen bahwa tujuan akhir dari segala sesuatu adalah Tuhan sebagai
penyebab final.13
Kesimpulan
Perdebatan dalam
filsafat abad pertengahan mencerminkan upaya para filsuf untuk memahami
hubungan antara akal dan iman, realitas, serta keberadaan Tuhan. Meskipun
sering dipandang sebagai subordinasi teologi, filsafat abad pertengahan
memberikan dasar bagi perkembangan rasionalisme dan ilmu pengetahuan dalam
filsafat modern.
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.q1.a1.
[2]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 98-102.
[3]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Michael Marmura (Provo,
UT: Brigham Young University Press, 2000), 27-30.
[4]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 56-59.
[5]
Averroes, Fasl al-Maqal, trans. Charles Butterworth
(Cambridge: Harvard University Press, 2001), 89-93.
[6]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical
Introduction (London: Routledge, 2007), 112-116.
[7]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London:
Longman, 1988), 78-80.
[8]
William Courtenay, Capacity and Volition: A History of the
Distinction of Absolute and Ordained Power (Bergamo: Bergamo University
Press, 1990), 110-113.
[9]
Richard Popkin, The History of Scepticism (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 92-95.
[10]
Anselmus, Proslogion, ed. Charlesworth (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 4-7.
[11]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.q2.a3.
[12]
Lenn Evan Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 83-87.
[13]
Copleston, A History of Philosophy: Volume II - Medieval Philosophy
(New York: Image Books, 1993), 178-182.
5.
Pengaruh Filsafat Abad Pertengahan terhadap
Perkembangan Pemikiran Selanjutnya
Filsafat abad pertengahan
memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan pada era selanjutnya. Meskipun sering dianggap sebagai periode
di mana filsafat berada di bawah dominasi teologi, warisan pemikiran abad
pertengahan tetap relevan dalam pembentukan filsafat modern dan perkembangan
ilmu pengetahuan. Berikut adalah beberapa pengaruh utama filsafat abad
pertengahan terhadap pemikiran setelahnya.
5.1.
Warisan Filsafat Abad Pertengahan dalam
Filsafat Modern
Filsafat abad pertengahan memberikan fondasi bagi
perkembangan pemikiran modern, terutama dalam bidang metafisika, epistemologi,
dan etika.
5.1.1. Pengaruh pada Rasionalisme dan
Empirisme
Skolastisisme, yang
dikembangkan oleh filsuf seperti Thomas Aquinas dan William of Ockham, memiliki
dampak besar pada dua aliran utama dalam filsafat modern: rasionalisme
dan empirisme.
Rasionalisme, yang dikembangkan oleh René Descartes (1596–1650 M), memiliki
kemiripan dengan pendekatan skolastik dalam penggunaan deduksi logis untuk
memperoleh kebenaran. Descartes bahkan menggunakan argumen ontologis Anselmus
dalam pembuktiannya tentang keberadaan Tuhan.1
Di sisi lain,
nominalisme yang dikembangkan oleh William of Ockham berpengaruh terhadap
empirisme, yang kemudian dikembangkan oleh Francis Bacon (1561–1626 M) dan John
Locke (1632–1704 M). Ockham menolak konsep
universalia sebagai realitas yang berdiri sendiri dan menekankan pentingnya
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan.2
5.1.2. Pengaruh terhadap Skeptisisme
dan Humanisme Renaisans
Gerakan skeptisisme
dalam filsafat modern sebagian berasal dari kritik terhadap skolastisisme abad
pertengahan. Skeptisisme yang berkembang pada masa Renaisans dan Pencerahan banyak dipengaruhi oleh kritik
nominalisme terhadap metafisika skolastik.3 Selain itu, pemikiran
Ibnu Rusyd tentang hubungan akal dan wahyu menjadi salah satu faktor yang
mendorong berkembangnya humanisme sekuler dalam filsafat Renaisans.4
5.2.
Kontribusi terhadap Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Filsafat abad
pertengahan, meskipun dipengaruhi oleh dogma agama, memberikan kontribusi yang
signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan metodologi ilmiah.
5.2.1. Awal Mula Metode Ilmiah
Para filsuf abad
pertengahan, khususnya dalam tradisi Islam dan Kristen, mengembangkan
pendekatan ilmiah yang menjadi dasar bagi metode ilmiah modern. Ibnu Sina dalam
Kitab
al-Syifa' dan Roger Bacon dalam Opus Majus menekankan pentingnya
observasi dan eksperimen dalam memahami alam semesta.5 Konsep ini
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ilmuwan seperti Galileo Galilei dan
Isaac Newton pada era modern.
5.2.2. Pengaruh Filsafat Islam terhadap
Ilmu Pengetahuan Eropa
Filsafat Islam abad
pertengahan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, terutama melalui
penerjemahan karya-karya filsuf Muslim ke dalam bahasa Latin. Tokoh seperti
Ibnu Sina dan Al-Farabi berkontribusi dalam bidang kedokteran, optik, dan
astronomi, yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan sains di Eropa.6
5.3.
Reformasi dalam Teologi dan Filsafat Agama
Filsafat abad pertengahan
juga berdampak pada reformasi teologi dalam agama Kristen dan Islam.
5.3.1. Pengaruh terhadap Reformasi
Protestan
Pemikiran skolastik
yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas menjadi dasar bagi pemikiran Katolik,
tetapi kritik terhadap skolastisisme turut berperan dalam munculnya Reformasi
Protestan pada abad ke-16. Martin Luther menolak skolastisisme sebagai metode yang terlalu mengandalkan
rasionalitas dan menekankan kembali otoritas Alkitab sebagai satu-satunya
sumber kebenaran.7
5.3.2. Perubahan dalam Teologi Islam
Dalam Islam,
perdebatan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd mengenai hubungan akal dan wahyu
berkontribusi pada munculnya perbedaan pendekatan dalam teologi Islam. Tradisi
Asy'ariyah yang menekankan wahyu akhirnya menjadi dominan, sementara tradisi
filsafat yang lebih rasionalis mulai berkurang pengaruhnya di dunia Islam.8
5.4.
Relevansi Filsafat Abad Pertengahan di Era
Kontemporer
Meskipun abad
pertengahan telah lama berlalu, filsafat pada periode ini masih memiliki relevansi dalam berbagai aspek kehidupan
intelektual dan akademik.
5.4.1. Etika dan Filsafat Politik
Konsep etika dan filsafat politik yang dikembangkan dalam
filsafat abad pertengahan masih menjadi referensi dalam diskusi kontemporer.
Pemikiran Al-Farabi tentang negara utama (al-madina al-fadhila) dan gagasan
Aquinas tentang hukum alam masih digunakan dalam filsafat politik modern.9
5.4.2. Dialog antara Agama dan Sains
Perdebatan antara
akal dan wahyu dalam filsafat abad pertengahan tetap relevan dalam diskusi
tentang hubungan antara agama dan sains. Pemikiran para filsuf abad pertengahan
tentang harmoni antara iman dan rasionalitas sering dijadikan rujukan dalam
upaya menjembatani perbedaan antara pandangan
keagamaan dan sains modern.10
Kesimpulan
Filsafat abad
pertengahan memiliki dampak yang luas terhadap perkembangan pemikiran modern,
mulai dari filsafat rasionalis dan empiris, hingga perkembangan metode ilmiah dan reformasi keagamaan. Meskipun
sering dianggap sebagai periode yang didominasi oleh teologi, filsafat abad
pertengahan justru memberikan fondasi bagi perkembangan intelektual yang lebih
luas. Oleh karena itu, memahami filsafat abad pertengahan tidak hanya penting
dalam kajian sejarah filsafat, tetapi juga dalam memahami akar-akar pemikiran
modern.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 23-25.
[2]
William Courtenay, Capacity and Volition: A History of the
Distinction of Absolute and Ordained Power (Bergamo: Bergamo University
Press, 1990), 115-118.
[3]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 45-48.
[4]
Averroes, Fasl al-Maqal, trans. Charles Butterworth
(Cambridge: Harvard University Press, 2001), 102-106.
[5]
Roger Bacon, Opus Majus, ed. John Henry Bridges (London:
Williams and Norgate, 1897), 89-92.
[6]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 67-72.
[7]
Martin Luther, The Freedom of a Christian, trans. Mark D.
Tranvik (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 12-15.
[8]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 72-76.
[9]
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadhila (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1992),
115-120.
[10]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 98-102.
6.
Kesimpulan
Filsafat abad
pertengahan merupakan fase penting dalam sejarah pemikiran manusia, yang
berfungsi sebagai jembatan antara filsafat klasik dan filsafat modern. Dalam
periode ini, pemikiran filsafat berkembang dalam konteks dominasi agama, baik
dalam tradisi Kristen, Islam, maupun Yahudi. Namun, meskipun banyak terikat
dengan teologi, filsafat abad pertengahan tetap berkontribusi secara signifikan
terhadap perkembangan epistemologi,
metafisika, dan logika. Para filsuf abad pertengahan berusaha menyelaraskan
iman dan akal, serta merumuskan argumen rasional untuk membuktikan keberadaan
Tuhan dan memahami hakikat realitas.
6.1.
Ringkasan Pembahasan
Dalam artikel ini
telah dibahas beberapa aspek utama filsafat abad pertengahan, yaitu:
1)
Konteks Historis dan
Karakteristik Filsafat Abad Pertengahan
Periode ini terbagi menjadi tiga tahap
utama: awal abad pertengahan (476–1000 M), puncak abad pertengahan (1000–1300
M), dan akhir abad pertengahan (1300–1450 M).
Karakteristik utama filsafat abad
pertengahan mencakup dominasi teologi, integrasi filsafat Yunani dengan agama,
metode skolastik, serta perdebatan tentang universalia dan eksistensi Tuhan.1
2)
Tokoh-Tokoh dan
Pemikiran Utama
Dalam tradisi Kristen, Santo Agustinus
menekankan hubungan antara iman dan rasionalitas, Anselmus mengembangkan
argumen ontologis tentang Tuhan, dan Thomas Aquinas mensintesis filsafat
Aristoteles dengan teologi Kristen.2
Dalam tradisi Islam, Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd mengembangkan sistem pemikiran yang
menghubungkan filsafat dengan wahyu.3
Dalam tradisi Yahudi, Maimonides mencoba
merekonsiliasi Aristotelianisme dengan ajaran Yudaisme.4
3)
Perdebatan Besar dalam
Filsafat Abad Pertengahan
Hubungan antara akal dan wahyu menjadi
isu sentral, dengan perbedaan pandangan antara Thomas Aquinas, Al-Ghazali, dan
Ibnu Rusyd.5
Perdebatan mengenai universalia antara
realisme dan nominalisme mempengaruhi perkembangan epistemologi dan metafisika.6
Argumen tentang eksistensi Tuhan
berkembang melalui pendekatan ontologis, kosmologis, dan teleologis.7
4)
Pengaruh Filsafat Abad
Pertengahan terhadap Pemikiran Selanjutnya
Filsafat abad pertengahan memberikan
fondasi bagi perkembangan rasionalisme (Descartes) dan empirisme (Bacon dan
Locke).
Nominalisme William of Ockham
berkontribusi terhadap pemikiran skeptisisme dan ilmu pengetahuan modern.8
Pemikiran filsuf Muslim seperti Ibnu
Sina dan Ibnu Rusyd berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa.9
Reformasi Protestan juga dipengaruhi
oleh kritik terhadap skolastisisme dalam teologi Kristen.10
6.2.
Signifikansi Filsafat Abad Pertengahan dalam
Sejarah Pemikiran
Filsafat abad
pertengahan sering kali dipandang sebagai periode subordinasi filsafat terhadap
agama, tetapi sebenarnya memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan
pemikiran rasional dan ilmiah. Konsep-konsep
seperti kausalitas, hukum alam, dan metode skolastik tetap relevan dalam
filsafat modern.11 Warisan skolastisisme terlihat dalam pendidikan
universitas dan sistem pemikiran logis yang masih digunakan dalam filsafat dan
teologi hingga saat ini.12
Selain itu, filsafat
abad pertengahan menunjukkan bagaimana pemikiran manusia berusaha untuk menyeimbangkan antara akal dan iman
dalam memahami realitas. Dalam era kontemporer, perdebatan serupa masih
berlangsung dalam hubungan antara agama dan sains, sehingga kajian terhadap
filsafat abad pertengahan tetap relevan untuk memahami akar dari berbagai
pemikiran modern.13
6.3.
Implikasi bagi Studi Filsafat dan Teologi Masa
Kini
Filsafat abad
pertengahan memberikan beberapa pelajaran penting bagi studi filsafat dan
teologi di era modern:
1)
Pentingnya Dialog
antara Akal dan Iman
Meskipun sains dan agama sering kali
dianggap bertentangan, filsafat abad pertengahan menunjukkan bahwa keduanya
dapat saling melengkapi jika didekati dengan pemikiran yang rasional.14
2)
Relevansi Metode Skolastik
Metode skolastik yang dikembangkan dalam
filsafat abad pertengahan masih menjadi pendekatan yang berguna dalam filsafat
akademik dan diskusi teologis, terutama dalam analisis logis terhadap
argumen-argumen filosofis.15
3)
Kontribusi terhadap
Pemikiran Hukum dan Etika
Konsep hukum alam yang dikembangkan oleh
Thomas Aquinas masih menjadi dasar dalam filsafat hukum dan etika kontemporer.16
Sebagai kesimpulan,
filsafat abad pertengahan bukan hanya sekadar periode transisi dalam sejarah
pemikiran, tetapi merupakan fase yang memberikan kontribusi fundamental
terhadap perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi. Pemahaman
terhadap filsafat abad pertengahan memungkinkan kita untuk lebih memahami
bagaimana pemikiran manusia berkembang dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, kebenaran,
dan hubungan antara Tuhan dan manusia.
Footnotes
[1]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical
Introduction (London: Routledge, 2007), 23-27.
[2]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York:
Charles Scribner's Sons, 1936), 42-45.
[3]
Lenn Evan Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 83-87.
[4]
Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. Shlomo
Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), 101-105.
[5]
Averroes, Fasl al-Maqal, trans. Charles Butterworth
(Cambridge: Harvard University Press, 2001), 102-106.
[6]
William Courtenay, Capacity and Volition: A History of the
Distinction of Absolute and Ordained Power (Bergamo: Bergamo University
Press, 1990), 110-113.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.q2.a3.
[8]
Richard Popkin, The History of Scepticism (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 92-95.
[9]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 67-72.
[10]
Martin Luther, The Freedom of a Christian, trans. Mark D.
Tranvik (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 12-15.
[11]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 98-102.
[12]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London:
Longman, 1988), 78-80.
[13]
Roger Bacon, Opus Majus, ed. John Henry Bridges (London:
Williams and Norgate, 1897), 89-92.
[14]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 98-102.
[15]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II - Medieval
Philosophy (New York: Image Books, 1993), 178-182.
[16]
Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics (London:
Routledge, 1998), 87-90.
Daftar Pustaka
Anselmus. (2001). Proslogion
(C. Charlesworth, Ed.). Oxford University Press.
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Brothers.
Averroes. (1954). The
Incoherence of the Incoherence (S. Van den Bergh, Trans.). Luzac.
Averroes. (2001). Fasl
al-Maqal (C. Butterworth, Trans.). Harvard University Press.
Bacon, R. (1897). Opus
Majus (J. H. Bridges, Ed.). Williams and Norgate.
Copleston, F. (1993). A
History of Philosophy: Volume II - Medieval Philosophy. Image Books.
Courtenay, W. (1990). Capacity
and Volition: A History of the Distinction of Absolute and Ordained Power.
Bergamo University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations
on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Gilson, E. (1936). The
Spirit of Medieval Philosophy. Charles Scribner's Sons.
Gilson, E. (1956). The
Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame
Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna.
Routledge.
Grant, E. (2001). God
and Reason in the Middle Ages. Cambridge University Press.
Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s
Philosophical Theology. Oxford University Press.
Knowles, D. (1988). The
Evolution of Medieval Thought. Longman.
Luther, M. (2008). The
Freedom of a Christian (M. D. Tranvik, Trans.). Fortress Press.
MacIntyre, A. (1998). A
Short History of Ethics. Routledge.
Maimonides, M. (1963). The
Guide for the Perplexed (S. Pines, Trans.). University of Chicago Press.
Marenbon, J. (1983). Early
Medieval Philosophy (480-1150): An Introduction. Routledge.
Marenbon, J. (2007). Medieval
Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction. Routledge.
Philo of Alexandria.
(1929). On the Creation (F. H. Colson, Trans.). Harvard University
Press.
Popkin, R. (2003). The
History of Scepticism: From Savonarola to Bayle. Oxford University Press.
Saliba, G. (2007). Islamic
Science and the Making of the European Renaissance. MIT Press.
Spade, P. V. (1996). Thoughts,
Words, and Things: An Introduction to Late Medieval Logic and Semantic Theory.
University of Notre Dame Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar