Selasa, 27 Mei 2025

Jenis-Jenis Pengetahuan: Telaah Filosofis terhadap Ragam dan Validitas Pengetahuan Manusia

Jenis-Jenis Pengetahuan

Telaah Filosofis terhadap Ragam dan Validitas Pengetahuan Manusia


Alihkan ke: Epistemologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara mendalam tentang klasifikasi jenis-jenis pengetahuan dalam perspektif epistemologi, sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal-usul, struktur, dan validitas pengetahuan manusia. Dengan mengkaji jenis-jenis pengetahuan seperti a priori dan a posteriori, pengetahuan proposisional (knowing that), pengetahuan praktis (knowing how), pengetahuan intuitif, serta pengetahuan inferensial dan non-inferensial, artikel ini menunjukkan bahwa pengetahuan bersifat kompleks, kontekstual, dan beragam dalam bentuk serta sumbernya. Selain itu, pembahasan mencakup persoalan justifikasi, termasuk kritik terhadap definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief, serta tanggapan kontemporer seperti reliabilisme dan epistemologi kebajikan. Artikel ini juga mengeksplorasi kritik-kritik terhadap sistem klasifikasi pengetahuan dari perspektif feminis, postmodern, dan dekolonial, yang menantang anggapan universalitas dan netralitas epistemik. Pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai entitas netral, melainkan sebagai konstruksi sosial yang selalu berkelindan dengan posisi, kuasa, dan kepentingan. Dengan pendekatan pluralistik dan interdisipliner, artikel ini menawarkan perspektif kritis dan reflektif dalam memahami dinamika pengetahuan, baik dalam ranah teoritis maupun aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan, sains, dan spiritualitas.

Kata Kunci: Epistemologi; Jenis Pengetahuan; Justifikasi; Knowing That; Knowing How; Intuisi; Testimoni; Pluralisme Epistemik; Epistemologi Feminis; Epistemologi Dekolonial.


PEMBAHASAN

Jenis-Jenis Pengetahuan dalam Epistemologi


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran filsafat, epistemologi menempati posisi sentral sebagai cabang yang membahas hakikat, asal-usul, batas, dan validitas pengetahuan manusia. Pertanyaan seperti "Apa yang dapat kita ketahui?", "Bagaimana kita mengetahui sesuatu?", dan "Apa bentuk-bentuk pengetahuan yang sahih?" telah menjadi pusat perdebatan filsuf sejak era Yunani Kuno hingga masa kontemporer. Epistemologi tidak hanya menyangkut pertanyaan teoritis, tetapi juga memengaruhi bagaimana manusia menyusun argumen ilmiah, mengambil keputusan moral, dan menilai keabsahan informasi dalam kehidupan sehari-hari.

Plato, dalam dialog Theaetetus, mendefinisikan pengetahuan secara klasik sebagai “justified true belief”—yakni keyakinan yang benar dan disertai pembenaran atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.¹ Formulasi ini mendominasi pemikiran epistemologis selama berabad-abad, meskipun kemudian digugat melalui problematika yang diajukan Edmund Gettier pada pertengahan abad ke-20, yang menunjukkan bahwa definisi tersebut tidak selalu mencakup semua kondisi pengetahuan.²

Salah satu persoalan mendasar dalam epistemologi adalah mengenali jenis-jenis pengetahuan yang dimiliki manusia. Tidak semua bentuk pengetahuan bersifat proposisional; sebagian bersifat praktis, intuitif, bahkan non-diskursif. Seiring dengan berkembangnya berbagai disiplin ilmu dan pendekatan filsafat, seperti epistemologi feminis, epistemologi Islam, dan epistemologi postkolonial, klasifikasi jenis pengetahuan menjadi semakin kompleks dan terbuka untuk pembacaan ulang.³

Pengetahuan manusia tidak hanya terbatas pada proposisi ilmiah, tetapi juga mencakup keterampilan, pengalaman batin, kesadaran diri, dan keyakinan spiritual. Pembahasan mengenai keragaman bentuk pengetahuan ini menjadi penting dalam rangka menghindari reduksionisme epistemologis, yaitu kecenderungan menyempitkan pengetahuan hanya dalam bentuk yang dapat diuji secara empiris atau rasional saja.⁴ Dalam dunia kontemporer yang dipenuhi oleh arus informasi dan disinformasi, pemahaman yang utuh dan kritis terhadap jenis-jenis pengetahuan menjadi kunci untuk membangun pemikiran yang sehat dan bertanggung jawab.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis berbagai jenis pengetahuan dalam perspektif epistemologi, dengan pendekatan filosofis dan multidisipliner. Dengan mengacu pada pemikiran-pemikiran klasik dan kontemporer, penulis berusaha menelusuri klasifikasi dan karakteristik masing-masing bentuk pengetahuan, sekaligus mengaitkannya dengan relevansi praktis dalam kehidupan manusia modern. Kajian ini diharapkan dapat memperluas cakrawala berpikir pembaca mengenai apa yang dimaksud dengan “mengetahui” dan bagaimana ragam bentuk pengetahuan itu dapat dinilai secara epistemologis.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210d.

[2]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[3]                Linda Martín Alcoff, Epistemology: The Big Questions, ed. Linda Alcoff (Malden: Blackwell Publishers, 1998), 332–347.

[4]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (New York: Routledge, 2014), 92–105.


2.           Pengertian Epistemologi dan Pengetahuan

Epistemologi, dari bahasa Yunani epistēmē (pengetahuan) dan logos (kajian atau teori), merupakan cabang filsafat yang secara sistematis mengkaji sifat, sumber, batas, dan validitas pengetahuan.¹ Dalam literatur filsafat Barat, epistemologi sering disebut sebagai theory of knowledge, meskipun beberapa filsuf membedakan keduanya: epistemologi mengandung dimensi evaluatif terhadap pengetahuan, sementara theory of knowledge lebih deskriptif.²

Sejak era klasik, filsuf telah mencoba mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “pengetahuan”. Definisi tradisional yang paling berpengaruh berasal dari Plato, yang menyebut pengetahuan sebagai “justified true belief” atau kepercayaan yang benar dan disertai justifikasi.³ Meskipun definisi ini tampak sederhana, ia memuat tiga komponen utama:

·                     Keyakinan (belief): individu harus meyakini sesuatu untuk mengklaim bahwa ia tahu.

·                     Kebenaran (truth): klaim pengetahuan tersebut harus benar secara faktual.

·                     Justifikasi (justification): ada alasan yang memadai untuk mempercayai bahwa klaim tersebut benar.

Namun, definisi tersebut mulai dipertanyakan setelah munculnya esai terkenal Edmund Gettier pada 1963, yang menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki kepercayaan yang benar dan dibenarkan tetapi tetap tidak memiliki pengetahuan karena adanya unsur keberuntungan.⁴ Masalah Gettier ini kemudian memunculkan beragam teori alternatif tentang pengetahuan, seperti reliabilisme, epistemologi kebajikan (virtue epistemology), dan teori sensitivitas kontekstual.⁵

Secara umum, pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, seperti pengetahuan proposisional (knowing that), pengetahuan praktis (knowing how), dan pengetahuan langsung atau intuitif (knowing by acquaintance).⁶ Ketiganya mencerminkan kompleksitas epistemologis dalam memahami bagaimana manusia mengenal realitas, mengingat bahwa tidak semua pengetahuan dapat diungkapkan dalam bentuk proposisi atau pernyataan eksplisit.

Epistemologi juga membahas tentang sumber-sumber pengetahuan, antara lain persepsi inderawi, ingatan, introspeksi, intuisi, penalaran deduktif dan induktif, serta otoritas atau kesaksian (testimoni).⁷ Dalam tradisi Islam klasik, epistemologi dikenal sebagai ‘ilm al-ma‘rifah atau naẓariyyah al-ma‘rifah, dan sumber pengetahuan diidentifikasi melalui al-ḥiss (indera), al-‘aql (akal), al-khabar al-ṣādiq (berita yang benar, seperti wahyu), dan al-kashf (penyingkapan batin melalui intuisi atau irfan).⁸

Oleh karena itu, epistemologi tidak hanya penting sebagai fondasi filsafat, tetapi juga sebagai lensa kritis untuk memahami legitimasi pengetahuan dalam ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi, agama, dan kehidupan sosial. Memahami pengertian epistemologi secara komprehensif memungkinkan seseorang untuk menilai tidak hanya apa yang diketahui, tetapi juga bagaimana dan mengapa sesuatu itu dapat diketahui.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 1.

[2]                Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 12–13.

[3]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c.

[4]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[5]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986); Linda Zagzebski, Virtues of the Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1996).

[6]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 26–29.

[7]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/epistemology/.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 63–88.


3.           Klasifikasi Jenis-Jenis Pengetahuan

Dalam epistemologi, pengetahuan tidak dipahami sebagai entitas tunggal dan seragam, melainkan sebagai fenomena kompleks yang hadir dalam berbagai bentuk, bergantung pada cara diperoleh, objek yang diketahui, dan cara diekspresikan. Klasifikasi jenis-jenis pengetahuan ini menjadi penting untuk memahami keragaman cara manusia memahami realitas, serta untuk membedakan antara bentuk-bentuk pengetahuan yang dapat diuji secara ilmiah dan yang tidak.

3.1.       Pengetahuan A Priori dan A Posteriori

Dua bentuk pengetahuan paling fundamental dalam epistemologi klasik adalah pengetahuan a priori dan a posteriori.

·                     Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman inderawi dan dapat diperoleh semata-mata melalui akal. Contohnya adalah pernyataan matematika seperti “2 + 2 = 4”.¹ Immanuel Kant menganggap pengetahuan ini bersifat sintetik namun diperlukan bagi kemungkinan pengalaman itu sendiri.²

·                     Pengetahuan a posteriori, sebaliknya, berasal dari pengalaman empirik. Misalnya, mengetahui bahwa “langit berwarna biru” adalah sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan inderawi.³

Distingsi ini menunjukkan bahwa tidak semua pengetahuan dapat direduksi pada pengalaman empiris, dan bahwa akal manusia memiliki kapasitas untuk menghasilkan pengetahuan tanpa melalui observasi langsung.

3.2.       Pengetahuan Proposisional (Knowing That)

Pengetahuan proposisional merujuk pada pengetahuan terhadap fakta atau proposisi tertentu—yakni mengetahui bahwa suatu klaim atau pernyataan adalah benar. Contoh klasiknya adalah “air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan satu atmosfer.”⁴ Pengetahuan jenis ini menjadi fokus utama dalam epistemologi analitik karena sifatnya yang dapat dikaji secara logis, disangkal, dan diuji validitasnya melalui metode ilmiah.

3.3.       Pengetahuan Praktis (Knowing How)

Berbeda dari proposisional, pengetahuan praktis mengacu pada kemampuan melakukan sesuatu, seperti “tahu cara mengendarai sepeda” atau “menyusun alat musik.” Gilbert Ryle menolak dikotomi bahwa semua pengetahuan harus bersifat proposisional; menurutnya, knowing how bukanlah sekadar knowing that ditambah instruksi.⁵ Pengetahuan praktis sering bersifat implisit dan tidak selalu dapat diungkapkan dalam proposisi verbal.

3.4.       Pengetahuan Intuitif atau Langsung (Knowing by Acquaintance)

Jenis pengetahuan ini merujuk pada pengalaman langsung dan non-inferensial terhadap sesuatu, seperti mengenali rasa sakit atau mengalami keindahan. Bertrand Russell menyebut ini sebagai pengetahuan melalui perkenalan langsung (knowledge by acquaintance)—yaitu relasi kognitif antara subjek dan objek yang hadir secara langsung dalam kesadaran.⁶ Pengetahuan intuitif juga mencakup bentuk-bentuk pengalaman religius atau mistik yang tidak melalui argumen deduktif.

3.5.       Pengetahuan Inferensial dan Non-Inferensial

Pengetahuan inferensial adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses penalaran, baik induktif maupun deduktif. Misalnya, seseorang mengetahui bahwa akan turun hujan karena melihat langit mendung dan merasakan angin lembab. Sebaliknya, pengetahuan non-inferensial, seperti persepsi langsung atau keyakinan dasar (basic belief), tidak diperoleh melalui proses inferensi.⁷ Pendekatan foundationalism dalam epistemologi membangun argumen tentang pentingnya pengetahuan non-inferensial sebagai fondasi bagi klaim inferensial.⁸

3.6.       Pengetahuan Eksplisit dan Implisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang disadari secara sadar dan dapat dikomunikasikan secara verbal. Sebaliknya, pengetahuan implisit bersifat tak tersadari, namun tetap berpengaruh terhadap perilaku dan penilaian seseorang. Michael Polanyi menyebutnya sebagai “tacit knowledge”, seperti keterampilan memahami bahasa ibu tanpa dapat menjelaskan secara eksplisit aturan gramatikalnya.⁹ Pengetahuan ini sangat penting dalam konteks budaya, teknologi, dan seni.


Klasifikasi ini menegaskan bahwa pengetahuan tidak hanya bersifat proposisional atau teoritis, melainkan juga mencakup aspek praktis, intuitif, dan implisit yang mendalam. Dengan memahami ragam bentuk pengetahuan ini, epistemologi dapat memperluas cakrawala pemikiran filsafat tentang bagaimana manusia mengenal dan mengerti dunia.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), A6/B10.

[2]                Ibid., A7/B11.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 3–5.

[4]                Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 13–15.

[5]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 27–28.

[6]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 46–50.

[7]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/epistemology/.

[8]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2002), 34–38.

[9]                Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 4–7.


4.           Pengetahuan dan Sumbernya

Setiap bentuk pengetahuan selalu berkaitan erat dengan sumber-sumber yang menyediakannya. Dalam epistemologi, sumber pengetahuan (sources of knowledge) menjadi topik sentral karena ia menyangkut bagaimana manusia memperoleh justifikasi atas keyakinannya dan apakah keyakinan itu dapat disebut sebagai pengetahuan sejati. Dengan mengenali sumber-sumber pengetahuan secara sistematis, filsuf dapat menilai keabsahan dan batas kemampuan kognitif manusia.

4.1.       Persepsi Indrawi (Sense Perception)

Persepsi indrawi merupakan salah satu sumber pengetahuan paling dasar, terutama dalam tradisi empirisme. Tokoh seperti John Locke dan David Hume menekankan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman—baik dalam bentuk impresi langsung maupun ide yang dihasilkan darinya.¹ Locke menyebut pikiran manusia saat lahir sebagai tabula rasa, yang kemudian dipenuhi oleh kesan-kesan yang masuk melalui pancaindra.² Pengetahuan ini bersifat a posteriori dan menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan empiris.

4.2.       Ingatan (Memory)

Ingatan memungkinkan manusia mempertahankan dan mengakses kembali informasi atau pengalaman masa lalu. Meskipun tidak menghasilkan pengetahuan baru, ingatan berperan penting dalam mempertahankan struktur koherensi dari pengetahuan.³ Dalam epistemologi modern, ingatan tidak sekadar dilihat sebagai penyimpanan pasif, tetapi juga sebagai proses aktif yang dapat diverifikasi atau dikoreksi.⁴ Ketika seseorang mengklaim mengetahui sesuatu "karena pernah melihatnya kemarin", keandalan memori menjadi komponen kunci dalam justifikasi.

4.3.       Introspeksi (Introspection)

Introspeksi merujuk pada kapasitas untuk mengetahui keadaan batin sendiri secara langsung, seperti merasakan sakit, marah, atau berpikir.⁵ Pengetahuan melalui introspeksi dianggap bersifat non-inferensial dan langsung (immediate), meskipun tetap bisa dipertanyakan keakuratannya dalam konteks psikologi kontemporer.⁶ Dalam epistemologi rasionalis, introspeksi merupakan sarana untuk mencapai kepastian atas kebenaran-kebenaran dasar.

4.4.       Penalaran (Reasoning)

Penalaran, baik deduktif maupun induktif, adalah instrumen utama dalam membangun argumen, menarik kesimpulan, dan menguji kebenaran proposisi.⁷ Pengetahuan yang diperoleh melalui deduksi bersifat pasti, sementara induksi bersifat probabilistik. Descartes menekankan pentingnya penalaran logis dalam memperoleh kepastian epistemik, terutama melalui metode keraguan metodis yang berakhir pada kebenaran “cogito, ergo sum.”⁸

4.5.       Intuisi (Intuition)

Intuisi dalam epistemologi sering merujuk pada kemampuan langsung memahami suatu kebenaran tanpa perantaraan inferensi formal. Tokoh-tokoh seperti Henri Bergson dan G.E. Moore menempatkan intuisi sebagai pengalaman intelektual langsung yang mendahului argumentasi rasional.⁹ Dalam banyak tradisi filsafat Timur dan Islam, intuisi (al-kashf) bahkan dipandang sebagai bentuk pengetahuan tertinggi yang melampaui nalar diskursif.¹⁰

4.6.       Testimoni (Kesaksian Otoritatif)

Pengetahuan yang diperoleh dari orang lain—baik melalui komunikasi lisan, tulisan, atau otoritas ilmiah—disebut sebagai testimoni. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar pengetahuan kita berasal dari testimoni, mulai dari informasi sejarah, geografi, hingga berita medis.¹¹ Epistemologi kontemporer mengakui bahwa testimoni dapat menjadi sumber pengetahuan yang sah, selama pemberi informasi dianggap jujur dan kompeten.¹²

4.7.       Wahyu dan Pengalaman Transendental (Konteks Epistemologi Keagamaan)

Dalam epistemologi keagamaan, sumber pengetahuan diperluas mencakup wahyu ilahi dan pengalaman spiritual. Dalam Islam, misalnya, ulama-ulama seperti al-Ghazālī dan Ibn Sīnā mengakui wahyu (al-khabar al-ṣādiq) dan kasyf (penyingkapan batin) sebagai bentuk pengetahuan yang otentik, meskipun tidak dapat diverifikasi oleh metode empiris.¹³ Pandangan ini menegaskan adanya pluralitas epistemik di luar paradigma sekuler-modern.


Sumber-sumber pengetahuan yang beragam ini memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana manusia membangun keyakinan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Klasifikasi ini juga membantu memetakan dimensi epistemik dari berbagai aktivitas manusia, baik dalam sains, filsafat, agama, maupun kehidupan sosial.


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2.

[2]                Ibid., II.i.1.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 44–46.

[4]                Sven Bernecker, “Memory,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/memory/.

[5]                George Pitcher, A Theory of Perception (Princeton: Princeton University Press, 1971), 112.

[6]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 47–51.

[7]                Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 89–91.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.

[9]                Henri Bergson, An Introduction to Metaphysics, trans. T.E. Hulme (New York: Macmillan, 1912), 10–13.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 82–97.

[11]             C.A.J. Coady, Testimony: A Philosophical Study (Oxford: Clarendon Press, 1992), 42.

[12]             Jennifer Lackey, Learning from Words: Testimony as a Source of Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2008), 25–30.

[13]             Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, trans. R.J. McCarthy, Freedom and Fulfillment (Boston: Twayne, 1980), 69–75.


5.           Pengetahuan dan Justifikasi: Apakah Semua Pengetahuan Bisa Dipertanggungjawabkan?

Salah satu aspek paling mendasar dalam epistemologi adalah persoalan justifikasi—yakni pembenaran rasional yang membedakan antara pengetahuan yang sah dan keyakinan yang bersifat subjektif atau tidak berdasar. Dalam tradisi filsafat Barat, khususnya sejak Plato, pengetahuan tidak sekadar didefinisikan sebagai true belief (keyakinan yang benar), melainkan sebagai justified true belief (keyakinan yang benar dan dibenarkan).¹ Dengan demikian, elemen justifikasi menjadi kriteria krusial dalam membedakan pengetahuan dari opini, intuisi mentah, atau kepercayaan tak berdasar.

5.1.       Teori-Teori Justifikasi Klasik

Tiga teori besar telah mendominasi diskursus mengenai justifikasi pengetahuan:

1)                  Teori Korespondensi (Correspondence Theory): Menyatakan bahwa proposisi dianggap benar apabila sesuai (berkorespondensi) dengan fakta atau realitas objektif.²

2)                  Teori Koherensi (Coherence Theory): Menganggap bahwa suatu proposisi dapat dibenarkan bila ia koheren secara logis dengan sistem keyakinan lainnya yang telah diterima.³

3)                  Teori Pragmatis (Pragmatic Theory): Menilai kebenaran berdasarkan kebermanfaatan atau kegunaan praktis dari suatu keyakinan dalam konteks tertentu.⁴

Masing-masing teori menawarkan pendekatan yang berbeda dalam membenarkan klaim pengetahuan, dan kesemuanya tetap relevan dalam kajian epistemologi kontemporer.

5.2.       Tantangan dari Masalah Gettier

Meskipun definisi klasik tentang pengetahuan sebagai justified true belief telah lama diterima, Edmund Gettier pada tahun 1963 mengguncang konsensus tersebut dengan esainya yang pendek namun revolusioner. Dalam dua contoh kasus hipotetik, Gettier menunjukkan bahwa seseorang bisa saja memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, tetapi tetap tidak memiliki pengetahuan, karena unsur keberuntungan atau kebetulan.⁵

Contohnya, jika seseorang percaya bahwa "orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki 10 koin di sakunya" berdasarkan alasan rasional, namun ternyata orang lain yang juga memiliki 10 koin justru mendapatkan pekerjaan itu, maka keyakinan itu benar dan dibenarkan—tetapi bukan pengetahuan sejati.⁶ Kasus ini mendorong lahirnya berbagai teori baru yang berusaha memperbaiki atau menggantikan definisi klasik tersebut.

5.3.       Pendekatan Reliabilisme

Salah satu respons penting terhadap problem Gettier adalah reliabilisme, yang dikembangkan oleh Alvin Goldman. Dalam pandangan ini, suatu keyakinan dapat disebut sebagai pengetahuan jika diperoleh melalui proses kognitif yang dapat diandalkan (reliable cognitive process)—yakni proses yang, dalam kondisi normal, cenderung menghasilkan keyakinan yang benar.⁷ Reliabilisme menekankan aspek eksternal justifikasi, yaitu kondisi objektif di luar kesadaran subjek.

5.4.       Epistemologi Kebajikan (Virtue Epistemology)

Linda Zagzebski mengusulkan pendekatan berbasis kebajikan intelektual—yakni bahwa pengetahuan adalah hasil dari kebiasaan epistemik yang baik (seperti kejujuran intelektual, ketelitian, dan keterbukaan terhadap koreksi).⁸ Dalam epistemologi kebajikan, pengetahuan dianggap sebagai hasil dari tindakan epistemik yang berhasil karena dilakukan dengan cara yang benar oleh agen yang berkarakter baik secara intelektual. Pendekatan ini menekankan dimensi etis dalam epistemologi, dan menghubungkan antara karakter moral dan akurasi kognitif.

5.5.       Sensitivitas dan Kontekstualisme

Teori lain yang juga diajukan sebagai respons terhadap problematika justifikasi adalah teori sensitivitas (Robert Nozick) dan kontekstualisme epistemik (David Lewis, Stewart Cohen). Dalam teori sensitivitas, keyakinan harus "sensitif terhadap kebenaran"—yakni jika proposisi tersebut salah, maka subjek tidak akan tetap mempercayainya.⁹ Sementara kontekstualisme menekankan bahwa standar justifikasi dapat berubah tergantung pada konteks pertanyaan atau tuntutan epistemik.¹⁰


Dari berbagai pendekatan ini, terlihat bahwa tidak semua pengetahuan dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan melalui satu kerangka justifikasi saja. Kompleksitas cara manusia mengetahui, kondisi eksternal, karakter personal, dan konteks sosial turut memengaruhi apa yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang sah. Oleh karena itu, epistemologi modern cenderung bersifat pluralistik dan interdisipliner dalam menjawab pertanyaan seputar justifikasi.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210d.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 1011b25.

[3]                Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2 (New York: George Allen & Unwin, 1939), 268–270.

[4]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 97–104.

[5]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[6]                Ibid.

[7]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 51–53.

[8]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 270–280.

[9]                Robert Nozick, Philosophical Explanations (Cambridge: Harvard University Press, 1981), 172–187.

[10]             David Lewis, “Elusive Knowledge,” Australasian Journal of Philosophy 74, no. 4 (1996): 549–567.


6.           Aplikasi Jenis Pengetahuan dalam Kehidupan

Jenis-jenis pengetahuan yang telah dibahas dalam kerangka epistemologi tidak hanya penting dalam tataran teoretis, tetapi memiliki dampak nyata dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Dari sains hingga etika, dari seni hingga spiritualitas, pemahaman tentang ragam pengetahuan menjadi fondasi untuk tindakan yang bijaksana, keputusan yang rasional, dan interaksi sosial yang berkeadaban. Aplikasi praktis ini memperlihatkan bagaimana epistemologi tidak sekadar bersifat abstrak, melainkan berperan langsung dalam mengarahkan orientasi hidup manusia.

6.1.       Pengetahuan Proposisional dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pengetahuan proposisional (knowing that) memainkan peran sentral dalam pengembangan sains modern. Ia membentuk dasar bagi pengujian hipotesis, penyusunan teori, dan penetapan hukum-hukum alam.¹ Dalam metodologi ilmiah, proposisi seperti “air mendidih pada 100°C pada tekanan satu atmosfer” menjadi objek verifikasi empiris dan eksperimen laboratorium.² Oleh karena itu, keberhasilan sains dan teknologi sangat bergantung pada akurasi dan justifikasi proposisi-proposisi pengetahuan.

Di bidang teknologi, aplikasi pengetahuan proposisional memampukan manusia menciptakan alat dan sistem yang kompleks, seperti kecerdasan buatan, energi terbarukan, dan jaringan komunikasi global.³ Namun demikian, epistemologi mengingatkan bahwa pengetahuan teknis bukanlah netral secara etis; ia selalu menuntut tanggung jawab dalam penggunaannya.

6.2.       Pengetahuan Praktis dalam Etika, Pendidikan, dan Keterampilan Sosial

Pengetahuan praktis (knowing how) memiliki kontribusi signifikan dalam etika terapan, pedagogi, dan hubungan antarmanusia. Dalam konteks etika, kebajikan moral seperti prudence (kehati-hatian) dan phronesis (kearifan praktis), sebagaimana diulas oleh Aristoteles, merupakan bentuk pengetahuan praktis yang tidak dapat direduksi menjadi rumusan proposisional.⁴ Etika kedokteran, pendidikan, atau keadilan restoratif menuntut kepekaan situasional yang hanya dapat dikembangkan melalui pengalaman dan kebiasaan berpikir reflektif.

Dalam pendidikan, pengetahuan praktis mencakup keterampilan mengajar, membangun komunikasi dengan siswa, serta memahami kebutuhan belajar individu. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan sejati bukan hanya transfer informasi, melainkan proses pembebasan yang membutuhkan pengetahuan praktis dan empatik.⁵

6.3.       Pengetahuan Intuitif dan Spiritualitas

Pengetahuan intuitif (knowing by acquaintance) memegang peranan penting dalam pengalaman religius, estetika, dan relasi transendental. Dalam pengalaman mistik atau kontemplatif, individu seringkali merasa mengalami “pengetahuan langsung” tentang realitas ilahi, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional tetapi memiliki kedalaman eksistensial yang kuat.⁶

Dalam tradisi Islam, pengetahuan intuitif yang diperoleh melalui kashf atau ma‘rifah dianggap sebagai puncak pengalaman intelektual dan spiritual, melampaui batasan diskursus rasional. Al-Ghazālī membedakan antara ‘ilm al-yaqīn, ‘ain al-yaqīn, dan ḥaqq al-yaqīn, sebagai tiga tingkatan kepastian yang mencerminkan transisi dari proposisi ke penyaksian batin.⁷

6.4.       Pengetahuan Implisit dan Konteks Sosial Budaya

Pengetahuan implisit (tacit knowledge) sering kali menjadi fondasi perilaku sosial dan budaya yang tidak disadari. Seperti ditunjukkan oleh Michael Polanyi, kita sering "tahu lebih banyak daripada yang bisa kita katakan"—misalnya dalam memahami isyarat sosial, kebiasaan budaya, atau penguasaan bahasa ibu.⁸ Pengetahuan ini berperan penting dalam proses enkulturasi dan adaptasi sosial, serta dalam pengambilan keputusan kolektif yang tidak sepenuhnya berbasis logika formal.

Dalam dunia kerja dan organisasi, pengetahuan implisit menjadi elemen kunci dalam knowledge management, di mana praktik terbaik dan intuisi profesional tidak selalu dapat ditularkan melalui dokumen, tetapi melalui bimbingan langsung, pelatihan, dan teladan.


Secara keseluruhan, berbagai jenis pengetahuan tersebut saling melengkapi dalam membentuk struktur kehidupan manusia yang utuh. Pengetahuan proposisional memberi dasar kognitif, pengetahuan praktis melatih kebijaksanaan dalam tindakan, pengetahuan intuitif membuka ruang transendensi, dan pengetahuan implisit meneguhkan akar sosial dan budaya manusia. Dengan menyadari keragaman bentuk pengetahuan ini, kita terdorong untuk mengembangkan cara pandang yang lebih holistik, humanis, dan kontekstual dalam menghadapi realitas.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 18–21.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from the German (New York: Routledge, 2002), 40–42.

[3]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 87–89.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book VI, esp. 1140b.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury, 2000), 72–75.

[6]                William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green and Co., 1902), 370–380.

[7]                Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, trans. R.J. McCarthy, Freedom and Fulfillment (Boston: Twayne, 1980), 70–73.

[8]                Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 4–7.


7.           Kritik dan Tantangan dalam Klasifikasi Pengetahuan

Meskipun klasifikasi pengetahuan dalam epistemologi telah memberikan struktur konseptual yang kaya dan berguna, sejumlah kritik dan tantangan terus mengemuka baik dari dalam tradisi filsafat sendiri maupun dari pendekatan interdisipliner kontemporer. Kritik-kritik ini mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang melandasi kategorisasi pengetahuan serta relevansi klasifikasi tersebut dalam menghadapi kompleksitas realitas sosial, budaya, dan politik.

7.1.       Kritik Reduksionisme Epistemologis

Salah satu kritik utama terhadap klasifikasi pengetahuan tradisional adalah kecenderungannya untuk mereduksi pengetahuan menjadi bentuk proposisional atau diskursif semata. Pandangan ini banyak dijumpai dalam epistemologi analitik yang menempatkan justified true belief sebagai model utama pengetahuan.¹ Kritik terhadap reduksionisme ini datang dari filsuf seperti Gilbert Ryle yang menunjukkan bahwa knowing how tidak dapat direduksi menjadi knowing that.² Dengan kata lain, tidak semua pengetahuan bisa diungkapkan dalam bentuk proposisi logis atau dinilai melalui kriteria justifikasi rasional semata.

7.2.       Konteks Sosial dan Epistemologi Feminis

Epistemologi tradisional sering kali bersifat abstrak dan ahistoris, seolah pengetahuan adalah entitas netral yang berkembang dalam ruang hampa sosial. Namun, epistemologi feminis menekankan bahwa pengetahuan selalu diproduksi dalam konteks kekuasaan, identitas gender, dan relasi sosial.³ Sandra Harding dan Lorraine Code berargumen bahwa klasifikasi pengetahuan perlu memperhitungkan situated knowledge, yakni pengetahuan yang dipengaruhi oleh posisi sosial subjek yang mengetahui.⁴ Dengan demikian, tidak ada “pandangan dari mana-mana” yang sepenuhnya objektif—pengetahuan selalu berakar pada pengalaman, tubuh, dan interaksi sosial.

7.3.       Kritik Postmodern dan Dekonstruksi Epistemik

Filsafat postmodern, terutama dalam karya Michel Foucault dan Jean-François Lyotard, menggugat klaim-klaim universal dari klasifikasi pengetahuan. Foucault, misalnya, memperkenalkan konsep regimes of truth, yaitu sistem pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dan institusi sosial tertentu.⁵ Klasifikasi pengetahuan dalam hal ini tidak bebas nilai, melainkan merefleksikan ideologi dominan dalam masyarakat tertentu. Lyotard bahkan menyatakan bahwa “narasi besar” (grand narratives) tentang pengetahuan telah runtuh, dan yang tersisa hanyalah fragmen-fragmen kebenaran lokal yang bersaing.⁶

7.4.       Tantangan dari Epistemologi Global dan Dekolonial

Epistemologi Barat telah lama menjadi standar dominan dalam wacana pengetahuan global. Namun, dalam beberapa dekade terakhir muncul tantangan serius dari epistemologi dekolonial yang berasal dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Boaventura de Sousa Santos menyebut bahwa epistemisida (pembunuhan terhadap sistem pengetahuan non-Barat) terjadi melalui kolonialisme dan modernisme.⁷ Klasifikasi pengetahuan yang hanya mengakomodasi pengetahuan ilmiah dan rasional dianggap menyingkirkan bentuk-bentuk pengetahuan lokal, spiritual, atau komunitarian.

7.5.       Kesulitan dalam Batasan Antarkategori Pengetahuan

Secara praktis, klasifikasi antara proposisional, praktis, dan intuitif tidak selalu tegas. Sering kali seseorang menggunakan berbagai jenis pengetahuan secara simultan dalam aktivitas nyata. Misalnya, seorang dokter mengandalkan pengetahuan proposisional (teori medis), praktis (pengalaman klinis), dan intuitif (insting profesional) secara bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi bersifat ideal-tipikal, dan dalam praktik sering terjadi tumpang tindih.⁸


Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa meskipun klasifikasi pengetahuan berguna sebagai kerangka berpikir, ia tidak bersifat mutlak atau final. Epistemologi kontemporer perlu bersikap terbuka terhadap pluralitas bentuk pengetahuan, konteks sosial-produktifnya, dan dinamika kekuasaan yang mempengaruhinya. Dengan demikian, pemahaman terhadap pengetahuan menjadi lebih inklusif, kontekstual, dan reflektif terhadap keragaman realitas manusia.


Footnotes

[1]                Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 18–21.

[2]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 26–28.

[3]                Elizabeth Anderson, “Feminist Epistemology and Philosophy of Science,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/feminism-epistemology/.

[4]                Sandra Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca: Cornell University Press, 1986), 140–145.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.

[6]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[7]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (New York: Routledge, 2014), 1–20.

[8]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 74–77.


8.           Kesimpulan

Kajian tentang jenis-jenis pengetahuan dalam epistemologi mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia bukanlah entitas tunggal dan seragam, melainkan merupakan realitas yang plural, kontekstual, dan berlapis. Melalui pengelompokan seperti a priori dan a posteriori, knowing that dan knowing how, serta pengetahuan intuitif dan proposisional, epistemologi berupaya memetakan keragaman cara manusia mengenal, memahami, dan mengklaim sesuatu sebagai benar.¹

Pemahaman terhadap ragam bentuk pengetahuan ini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan dunia kontemporer yang ditandai oleh informasi yang berlimpah, konflik epistemik, dan krisis kepercayaan terhadap otoritas ilmu. Pengetahuan tidak hanya diperoleh dari pengalaman empirik atau proses rasional, tetapi juga melalui intuisi, testimoni, tradisi, bahkan wahyu, sebagaimana dijelaskan oleh epistemologi klasik maupun kontemporer, termasuk dalam tradisi Islam dan epistemologi feminis.²

Dalam konteks ini, justifikasi menjadi aspek penting yang membedakan antara pengetahuan sejati dan sekadar opini. Namun sebagaimana ditunjukkan oleh masalah Gettier, justifikasi itu sendiri tidak cukup untuk menjamin validitas pengetahuan, sehingga berbagai pendekatan alternatif seperti reliabilisme dan epistemologi kebajikan berkembang untuk mengisi kekosongan itu.³ Hal ini menegaskan bahwa epistemologi adalah medan yang dinamis dan terbuka untuk kritik serta inovasi.

Lebih jauh, kritik terhadap klasifikasi pengetahuan dari perspektif postmodern, feminis, dan dekolonial menunjukkan bahwa sistem epistemologis yang dominan seringkali bias terhadap posisi sosial dan budaya tertentu.⁴ Maka, epistemologi masa kini menuntut pendekatan pluralistik dan interkultural, yang mengakui adanya beragam bentuk pengetahuan—baik ilmiah, praktis, spiritual, maupun lokal-komunitarian—yang masing-masing sah dalam konteksnya sendiri.⁵

Dengan demikian, epistemologi tidak hanya berfungsi sebagai alat analisis filosofis, tetapi juga sebagai dasar etis dan politis dalam menyikapi produksi, distribusi, dan legitimasi pengetahuan. Ia menuntut kejujuran intelektual, keterbukaan terhadap keragaman, serta kesadaran kritis terhadap struktur kekuasaan yang membentuk narasi-narasi “kebenaran”. Dalam kerangka ini, mempelajari jenis-jenis pengetahuan bukanlah sekadar latihan akademik, melainkan jalan menuju pembentukan manusia yang reflektif, adil, dan bertanggung jawab terhadap dunia yang ia tempati.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 11–13.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 63–88; Elizabeth Anderson, “Feminist Epistemology and Philosophy of Science,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/feminism-epistemology/.

[3]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123; Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 270–280.

[4]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133; Sandra Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca: Cornell University Press, 1986), 145–149.

[5]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (New York: Routledge, 2014), 1–20.


Daftar Pustaka

Anderson, E. (2020). Feminist epistemology and philosophy of science. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Winter 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/feminism-epistemology/

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 350 B.C.E.)

Audi, R. (2010). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Bernecker, S. (2020). Memory. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Winter 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/memory/

Blanshard, B. (1939). The nature of thought (Vol. 2). George Allen & Unwin.

Coady, C. A. J. (1992). Testimony: A philosophical study. Clarendon Press.

Dancy, J. (1985). An introduction to contemporary epistemology. Blackwell.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1641)

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Bloomsbury. (Original work published 1970)

Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123. https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121

Goldman, A. I. (1986). Epistemology and cognition. Harvard University Press.

Harding, S. (1986). The science question in feminism. Cornell University Press.

Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green and Co.

James, W. (1902). The varieties of religious experience: A study in human nature. Longmans, Green and Co.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). Macmillan. (Original work published 1781)

Lackey, J. (2008). Learning from words: Testimony as a source of knowledge. Oxford University Press.

Lewis, D. (1996). Elusive knowledge. Australasian Journal of Philosophy, 74(4), 549–567. https://doi.org/10.1080/00048409612347521

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1690)

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press. (Original work published 1979)

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nozick, R. (1981). Philosophical explanations. Harvard University Press.

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.

Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. University of Chicago Press.

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)

Pitcher, G. (1971). A theory of perception. Princeton University Press.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Routledge.

Steup, M. (2020). Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Winter 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/epistemology/

Zagzebski, L. (1996). Virtues of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar