Jenis-Jenis Pengetahuan
Telaah Filosofis terhadap Ragam dan Validitas
Pengetahuan Manusia
Alihkan ke: Epistemologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam tentang
klasifikasi jenis-jenis pengetahuan dalam perspektif epistemologi, sebagai
cabang filsafat yang mengkaji asal-usul, struktur, dan validitas pengetahuan
manusia. Dengan mengkaji jenis-jenis pengetahuan seperti a priori dan a
posteriori, pengetahuan proposisional (knowing that), pengetahuan
praktis (knowing how), pengetahuan intuitif, serta pengetahuan
inferensial dan non-inferensial, artikel ini menunjukkan bahwa pengetahuan
bersifat kompleks, kontekstual, dan beragam dalam bentuk serta sumbernya.
Selain itu, pembahasan mencakup persoalan justifikasi, termasuk kritik terhadap
definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief, serta
tanggapan kontemporer seperti reliabilisme dan epistemologi kebajikan. Artikel
ini juga mengeksplorasi kritik-kritik terhadap sistem klasifikasi pengetahuan
dari perspektif feminis, postmodern, dan dekolonial, yang menantang anggapan
universalitas dan netralitas epistemik. Pengetahuan tidak lagi dipandang
sebagai entitas netral, melainkan sebagai konstruksi sosial yang selalu
berkelindan dengan posisi, kuasa, dan kepentingan. Dengan pendekatan
pluralistik dan interdisipliner, artikel ini menawarkan perspektif kritis dan
reflektif dalam memahami dinamika pengetahuan, baik dalam ranah teoritis maupun
aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan, sains, dan spiritualitas.
Kata Kunci: Epistemologi; Jenis Pengetahuan; Justifikasi;
Knowing That; Knowing How; Intuisi; Testimoni; Pluralisme Epistemik;
Epistemologi Feminis; Epistemologi Dekolonial.
PEMBAHASAN
Jenis-Jenis Pengetahuan dalam Epistemologi
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran filsafat, epistemologi
menempati posisi sentral sebagai cabang yang membahas hakikat, asal-usul,
batas, dan validitas pengetahuan manusia. Pertanyaan seperti "Apa yang
dapat kita ketahui?", "Bagaimana kita mengetahui sesuatu?",
dan "Apa bentuk-bentuk pengetahuan yang sahih?" telah menjadi
pusat perdebatan filsuf sejak era Yunani Kuno hingga masa kontemporer.
Epistemologi tidak hanya menyangkut pertanyaan teoritis, tetapi juga
memengaruhi bagaimana manusia menyusun argumen ilmiah, mengambil keputusan
moral, dan menilai keabsahan informasi dalam kehidupan sehari-hari.
Plato, dalam dialog Theaetetus,
mendefinisikan pengetahuan secara klasik sebagai “justified true belief”—yakni
keyakinan yang benar dan disertai pembenaran atau alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.¹ Formulasi ini mendominasi pemikiran epistemologis
selama berabad-abad, meskipun kemudian digugat melalui problematika yang
diajukan Edmund Gettier pada pertengahan abad ke-20, yang menunjukkan bahwa
definisi tersebut tidak selalu mencakup semua kondisi pengetahuan.²
Salah satu persoalan mendasar dalam epistemologi
adalah mengenali jenis-jenis pengetahuan yang dimiliki manusia. Tidak
semua bentuk pengetahuan bersifat proposisional; sebagian bersifat praktis,
intuitif, bahkan non-diskursif. Seiring dengan berkembangnya berbagai disiplin
ilmu dan pendekatan filsafat, seperti epistemologi feminis, epistemologi Islam,
dan epistemologi postkolonial, klasifikasi jenis pengetahuan menjadi semakin
kompleks dan terbuka untuk pembacaan ulang.³
Pengetahuan manusia tidak hanya terbatas pada
proposisi ilmiah, tetapi juga mencakup keterampilan, pengalaman batin,
kesadaran diri, dan keyakinan spiritual. Pembahasan mengenai keragaman bentuk
pengetahuan ini menjadi penting dalam rangka menghindari reduksionisme
epistemologis, yaitu kecenderungan menyempitkan pengetahuan hanya dalam
bentuk yang dapat diuji secara empiris atau rasional saja.⁴ Dalam dunia
kontemporer yang dipenuhi oleh arus informasi dan disinformasi, pemahaman yang
utuh dan kritis terhadap jenis-jenis pengetahuan menjadi kunci untuk membangun
pemikiran yang sehat dan bertanggung jawab.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara
sistematis berbagai jenis pengetahuan dalam perspektif epistemologi, dengan
pendekatan filosofis dan multidisipliner. Dengan mengacu pada
pemikiran-pemikiran klasik dan kontemporer, penulis berusaha menelusuri
klasifikasi dan karakteristik masing-masing bentuk pengetahuan, sekaligus
mengaitkannya dengan relevansi praktis dalam kehidupan manusia modern. Kajian
ini diharapkan dapat memperluas cakrawala berpikir pembaca mengenai apa yang
dimaksud dengan “mengetahui” dan bagaimana ragam bentuk pengetahuan itu dapat
dinilai secara epistemologis.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210d.
[2]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief
Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.
[3]
Linda Martín Alcoff, Epistemology: The Big
Questions, ed. Linda Alcoff (Malden: Blackwell Publishers, 1998), 332–347.
[4]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of
the South: Justice Against Epistemicide (New York: Routledge, 2014),
92–105.
2.
Pengertian Epistemologi dan Pengetahuan
Epistemologi, dari
bahasa Yunani epistēmē (pengetahuan) dan logos
(kajian atau teori), merupakan cabang filsafat yang secara sistematis mengkaji
sifat, sumber, batas, dan validitas pengetahuan.¹ Dalam literatur filsafat
Barat, epistemologi sering disebut sebagai theory of knowledge, meskipun
beberapa filsuf membedakan keduanya: epistemologi mengandung dimensi evaluatif
terhadap pengetahuan, sementara theory of knowledge lebih
deskriptif.²
Sejak era klasik,
filsuf telah mencoba mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “pengetahuan”.
Definisi tradisional yang paling berpengaruh berasal dari Plato, yang menyebut
pengetahuan sebagai “justified true belief” atau
kepercayaan yang benar dan disertai justifikasi.³ Meskipun definisi ini tampak
sederhana, ia memuat tiga komponen utama:
·
Keyakinan (belief):
individu harus meyakini sesuatu untuk mengklaim bahwa ia tahu.
·
Kebenaran (truth):
klaim pengetahuan tersebut harus benar secara faktual.
·
Justifikasi
(justification): ada alasan yang memadai untuk mempercayai bahwa klaim
tersebut benar.
Namun, definisi
tersebut mulai dipertanyakan setelah munculnya esai terkenal Edmund Gettier
pada 1963, yang menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki kepercayaan yang
benar dan dibenarkan tetapi tetap tidak memiliki pengetahuan karena adanya
unsur keberuntungan.⁴ Masalah Gettier ini kemudian memunculkan beragam teori
alternatif tentang pengetahuan, seperti reliabilisme, epistemologi
kebajikan (virtue epistemology), dan teori sensitivitas
kontekstual.⁵
Secara umum,
pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, seperti pengetahuan
proposisional (knowing that), pengetahuan praktis
(knowing
how), dan pengetahuan langsung atau intuitif (knowing
by acquaintance).⁶ Ketiganya mencerminkan kompleksitas
epistemologis dalam memahami bagaimana manusia mengenal realitas, mengingat
bahwa tidak semua pengetahuan dapat diungkapkan dalam bentuk proposisi atau
pernyataan eksplisit.
Epistemologi juga
membahas tentang sumber-sumber pengetahuan,
antara lain persepsi inderawi, ingatan, introspeksi, intuisi, penalaran
deduktif dan induktif, serta otoritas atau kesaksian (testimoni).⁷ Dalam
tradisi Islam klasik, epistemologi dikenal sebagai ‘ilm al-ma‘rifah atau naẓariyyah
al-ma‘rifah, dan sumber pengetahuan diidentifikasi melalui al-ḥiss
(indera), al-‘aql (akal), al-khabar al-ṣādiq (berita yang benar, seperti
wahyu), dan al-kashf (penyingkapan batin melalui intuisi atau irfan).⁸
Oleh karena itu,
epistemologi tidak hanya penting sebagai fondasi filsafat, tetapi juga sebagai
lensa kritis untuk memahami legitimasi pengetahuan dalam ilmu pengetahuan, pendidikan,
teknologi, agama, dan kehidupan sosial. Memahami pengertian epistemologi secara
komprehensif memungkinkan seseorang untuk menilai tidak hanya apa
yang diketahui, tetapi juga bagaimana dan mengapa
sesuatu itu dapat diketahui.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 1.
[2]
Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 12–13.
[3]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c.
[4]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[5]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge:
Harvard University Press, 1986); Linda Zagzebski, Virtues of the Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996).
[6]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
26–29.
[7]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/epistemology/.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 63–88.
3.
Klasifikasi Jenis-Jenis Pengetahuan
Dalam epistemologi,
pengetahuan tidak dipahami sebagai entitas tunggal dan seragam, melainkan
sebagai fenomena kompleks yang hadir dalam berbagai bentuk, bergantung pada
cara diperoleh, objek yang diketahui, dan cara diekspresikan. Klasifikasi
jenis-jenis pengetahuan ini menjadi penting untuk memahami keragaman cara
manusia memahami realitas, serta untuk membedakan antara bentuk-bentuk
pengetahuan yang dapat diuji secara ilmiah dan yang tidak.
3.1.
Pengetahuan A Priori dan A
Posteriori
Dua bentuk
pengetahuan paling fundamental dalam epistemologi klasik adalah pengetahuan
a priori dan a posteriori.
·
Pengetahuan a priori
adalah pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman inderawi dan dapat
diperoleh semata-mata melalui akal. Contohnya adalah pernyataan matematika
seperti “2 + 2 = 4”.¹ Immanuel Kant menganggap pengetahuan ini bersifat
sintetik namun diperlukan bagi kemungkinan pengalaman itu sendiri.²
·
Pengetahuan a
posteriori, sebaliknya, berasal dari pengalaman empirik. Misalnya,
mengetahui bahwa “langit berwarna biru” adalah sesuatu yang diperoleh
melalui pengamatan inderawi.³
Distingsi ini
menunjukkan bahwa tidak semua pengetahuan dapat direduksi pada pengalaman
empiris, dan bahwa akal manusia memiliki kapasitas untuk menghasilkan
pengetahuan tanpa melalui observasi langsung.
3.2.
Pengetahuan Proposisional (Knowing
That)
Pengetahuan
proposisional merujuk pada pengetahuan terhadap fakta atau proposisi
tertentu—yakni mengetahui bahwa suatu klaim atau pernyataan adalah benar. Contoh
klasiknya adalah “air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan satu atmosfer.”⁴
Pengetahuan jenis ini menjadi fokus utama dalam epistemologi analitik karena
sifatnya yang dapat dikaji secara logis, disangkal, dan diuji validitasnya
melalui metode ilmiah.
3.3.
Pengetahuan Praktis (Knowing How)
Berbeda dari
proposisional, pengetahuan praktis mengacu
pada kemampuan melakukan sesuatu, seperti “tahu cara mengendarai sepeda”
atau “menyusun alat musik.” Gilbert Ryle menolak dikotomi bahwa semua
pengetahuan harus bersifat proposisional; menurutnya, knowing
how bukanlah sekadar knowing that ditambah instruksi.⁵
Pengetahuan praktis sering bersifat implisit dan tidak selalu dapat diungkapkan
dalam proposisi verbal.
3.4.
Pengetahuan Intuitif atau Langsung (Knowing
by Acquaintance)
Jenis pengetahuan
ini merujuk pada pengalaman langsung dan non-inferensial terhadap sesuatu,
seperti mengenali rasa sakit atau mengalami keindahan. Bertrand Russell
menyebut ini sebagai pengetahuan melalui perkenalan langsung
(knowledge
by acquaintance)—yaitu relasi kognitif antara subjek dan objek yang
hadir secara langsung dalam kesadaran.⁶ Pengetahuan intuitif juga mencakup
bentuk-bentuk pengalaman religius atau mistik yang tidak melalui argumen
deduktif.
3.5.
Pengetahuan Inferensial dan
Non-Inferensial
Pengetahuan
inferensial adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses penalaran, baik
induktif maupun deduktif. Misalnya, seseorang mengetahui bahwa akan turun hujan
karena melihat langit mendung dan merasakan angin lembab. Sebaliknya,
pengetahuan non-inferensial, seperti persepsi langsung atau keyakinan dasar
(basic belief), tidak diperoleh melalui proses inferensi.⁷ Pendekatan foundationalism
dalam epistemologi membangun argumen tentang pentingnya pengetahuan
non-inferensial sebagai fondasi bagi klaim inferensial.⁸
3.6.
Pengetahuan Eksplisit dan Implisit
Pengetahuan
eksplisit adalah pengetahuan yang disadari secara sadar dan dapat
dikomunikasikan secara verbal. Sebaliknya, pengetahuan implisit bersifat
tak tersadari, namun tetap berpengaruh terhadap perilaku dan penilaian
seseorang. Michael Polanyi menyebutnya sebagai “tacit knowledge”, seperti
keterampilan memahami bahasa ibu tanpa dapat menjelaskan secara eksplisit
aturan gramatikalnya.⁹ Pengetahuan ini sangat penting dalam konteks budaya,
teknologi, dan seni.
Klasifikasi ini
menegaskan bahwa pengetahuan tidak hanya bersifat proposisional atau teoritis,
melainkan juga mencakup aspek praktis, intuitif, dan implisit yang mendalam.
Dengan memahami ragam bentuk pengetahuan ini, epistemologi dapat memperluas
cakrawala pemikiran filsafat tentang bagaimana manusia mengenal dan mengerti
dunia.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (New York: Macmillan, 1929), A6/B10.
[2]
Ibid., A7/B11.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 3–5.
[4]
Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 13–15.
[5]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
27–28.
[6]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1912), 46–50.
[7]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/epistemology/.
[8]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2002), 34–38.
[9]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of
Chicago Press, 1966), 4–7.
4.
Pengetahuan dan Sumbernya
Setiap bentuk
pengetahuan selalu berkaitan erat dengan sumber-sumber yang menyediakannya.
Dalam epistemologi, sumber pengetahuan (sources of knowledge) menjadi topik sentral
karena ia menyangkut bagaimana manusia memperoleh justifikasi atas keyakinannya
dan apakah keyakinan itu dapat disebut sebagai pengetahuan sejati. Dengan
mengenali sumber-sumber pengetahuan secara sistematis, filsuf dapat menilai
keabsahan dan batas kemampuan kognitif manusia.
4.1.
Persepsi Indrawi (Sense Perception)
Persepsi indrawi
merupakan salah satu sumber pengetahuan paling dasar, terutama dalam tradisi
empirisme. Tokoh seperti John Locke dan David Hume menekankan bahwa semua
pengetahuan manusia berasal dari pengalaman—baik dalam bentuk impresi langsung
maupun ide yang dihasilkan darinya.¹ Locke menyebut pikiran manusia saat lahir
sebagai tabula
rasa, yang kemudian dipenuhi oleh kesan-kesan yang masuk melalui
pancaindra.² Pengetahuan ini bersifat a posteriori dan menjadi landasan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan empiris.
4.2.
Ingatan (Memory)
Ingatan memungkinkan
manusia mempertahankan dan mengakses kembali informasi atau pengalaman masa
lalu. Meskipun tidak menghasilkan pengetahuan baru, ingatan berperan penting
dalam mempertahankan struktur koherensi dari pengetahuan.³ Dalam epistemologi
modern, ingatan tidak sekadar dilihat sebagai penyimpanan pasif, tetapi juga
sebagai proses aktif yang dapat diverifikasi atau dikoreksi.⁴ Ketika seseorang
mengklaim mengetahui sesuatu "karena pernah melihatnya kemarin",
keandalan memori menjadi komponen kunci dalam justifikasi.
4.3.
Introspeksi (Introspection)
Introspeksi merujuk
pada kapasitas untuk mengetahui keadaan batin sendiri secara langsung, seperti
merasakan sakit, marah, atau berpikir.⁵ Pengetahuan melalui introspeksi
dianggap bersifat non-inferensial dan langsung (immediate), meskipun tetap bisa
dipertanyakan keakuratannya dalam konteks psikologi kontemporer.⁶ Dalam
epistemologi rasionalis, introspeksi merupakan sarana untuk mencapai kepastian
atas kebenaran-kebenaran dasar.
4.4.
Penalaran (Reasoning)
Penalaran, baik
deduktif maupun induktif, adalah instrumen utama dalam membangun argumen,
menarik kesimpulan, dan menguji kebenaran proposisi.⁷ Pengetahuan yang diperoleh
melalui deduksi bersifat pasti, sementara induksi bersifat probabilistik.
Descartes menekankan pentingnya penalaran logis dalam memperoleh kepastian
epistemik, terutama melalui metode keraguan metodis yang berakhir pada
kebenaran “cogito, ergo sum.”⁸
4.5.
Intuisi (Intuition)
Intuisi dalam
epistemologi sering merujuk pada kemampuan langsung memahami suatu kebenaran
tanpa perantaraan inferensi formal. Tokoh-tokoh seperti Henri Bergson dan G.E.
Moore menempatkan intuisi sebagai pengalaman intelektual langsung yang
mendahului argumentasi rasional.⁹ Dalam banyak tradisi filsafat Timur dan
Islam, intuisi (al-kashf) bahkan dipandang sebagai bentuk pengetahuan tertinggi
yang melampaui nalar diskursif.¹⁰
4.6.
Testimoni (Kesaksian Otoritatif)
Pengetahuan yang
diperoleh dari orang lain—baik melalui komunikasi lisan, tulisan, atau otoritas
ilmiah—disebut sebagai testimoni. Dalam kehidupan
sehari-hari, sebagian besar pengetahuan kita berasal dari testimoni, mulai dari
informasi sejarah, geografi, hingga berita medis.¹¹ Epistemologi kontemporer
mengakui bahwa testimoni dapat menjadi sumber pengetahuan yang sah, selama
pemberi informasi dianggap jujur dan kompeten.¹²
4.7.
Wahyu dan Pengalaman Transendental
(Konteks Epistemologi Keagamaan)
Dalam epistemologi
keagamaan, sumber pengetahuan diperluas mencakup wahyu ilahi dan pengalaman
spiritual. Dalam Islam, misalnya, ulama-ulama seperti al-Ghazālī dan Ibn Sīnā
mengakui wahyu (al-khabar al-ṣādiq) dan kasyf (penyingkapan batin) sebagai
bentuk pengetahuan yang otentik, meskipun tidak dapat diverifikasi oleh metode
empiris.¹³ Pandangan ini menegaskan adanya pluralitas epistemik di luar
paradigma sekuler-modern.
Sumber-sumber
pengetahuan yang beragam ini memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana
manusia membangun keyakinan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Klasifikasi ini juga membantu memetakan dimensi epistemik dari berbagai
aktivitas manusia, baik dalam sains, filsafat, agama, maupun kehidupan sosial.
Footnotes
[1]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2.
[2]
Ibid., II.i.1.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 44–46.
[4]
Sven Bernecker, “Memory,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/memory/.
[5]
George Pitcher, A Theory of Perception (Princeton: Princeton
University Press, 1971), 112.
[6]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard
University Press, 1986), 47–51.
[7]
Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 89–91.
[8]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.
[9]
Henri Bergson, An Introduction to Metaphysics, trans. T.E.
Hulme (New York: Macmillan, 1912), 10–13.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 82–97.
[11]
C.A.J. Coady, Testimony: A Philosophical Study (Oxford:
Clarendon Press, 1992), 42.
[12]
Jennifer Lackey, Learning from Words: Testimony as a Source of
Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2008), 25–30.
[13]
Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, trans. R.J. McCarthy, Freedom
and Fulfillment (Boston: Twayne, 1980), 69–75.
5.
Pengetahuan dan Justifikasi: Apakah Semua
Pengetahuan Bisa Dipertanggungjawabkan?
Salah satu aspek paling mendasar dalam epistemologi
adalah persoalan justifikasi—yakni pembenaran rasional yang membedakan
antara pengetahuan yang sah dan keyakinan yang bersifat subjektif atau tidak
berdasar. Dalam tradisi filsafat Barat, khususnya sejak Plato, pengetahuan
tidak sekadar didefinisikan sebagai true belief (keyakinan yang benar),
melainkan sebagai justified true belief (keyakinan yang benar dan
dibenarkan).¹ Dengan demikian, elemen justifikasi menjadi kriteria krusial
dalam membedakan pengetahuan dari opini, intuisi mentah, atau kepercayaan tak
berdasar.
5.1.
Teori-Teori Justifikasi Klasik
Tiga teori besar telah mendominasi diskursus
mengenai justifikasi pengetahuan:
1)
Teori Korespondensi (Correspondence Theory): Menyatakan bahwa proposisi dianggap benar apabila
sesuai (berkorespondensi) dengan fakta atau realitas objektif.²
2)
Teori Koherensi (Coherence Theory): Menganggap bahwa suatu proposisi dapat dibenarkan bila ia koheren
secara logis dengan sistem keyakinan lainnya yang telah diterima.³
3)
Teori Pragmatis (Pragmatic Theory): Menilai kebenaran berdasarkan kebermanfaatan atau kegunaan praktis dari
suatu keyakinan dalam konteks tertentu.⁴
Masing-masing teori menawarkan pendekatan yang
berbeda dalam membenarkan klaim pengetahuan, dan kesemuanya tetap relevan dalam
kajian epistemologi kontemporer.
5.2.
Tantangan dari Masalah Gettier
Meskipun definisi klasik tentang pengetahuan
sebagai justified true belief telah lama diterima, Edmund Gettier pada
tahun 1963 mengguncang konsensus tersebut dengan esainya yang pendek namun
revolusioner. Dalam dua contoh kasus hipotetik, Gettier menunjukkan bahwa
seseorang bisa saja memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, tetapi tetap tidak
memiliki pengetahuan, karena unsur keberuntungan atau kebetulan.⁵
Contohnya, jika seseorang percaya bahwa "orang
yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki 10 koin di sakunya"
berdasarkan alasan rasional, namun ternyata orang lain yang juga memiliki 10
koin justru mendapatkan pekerjaan itu, maka keyakinan itu benar dan
dibenarkan—tetapi bukan pengetahuan sejati.⁶ Kasus ini mendorong lahirnya
berbagai teori baru yang berusaha memperbaiki atau menggantikan definisi klasik
tersebut.
5.3.
Pendekatan Reliabilisme
Salah satu respons penting terhadap problem Gettier
adalah reliabilisme, yang dikembangkan oleh Alvin Goldman. Dalam
pandangan ini, suatu keyakinan dapat disebut sebagai pengetahuan jika diperoleh
melalui proses kognitif yang dapat diandalkan (reliable cognitive process)—yakni
proses yang, dalam kondisi normal, cenderung menghasilkan keyakinan yang
benar.⁷ Reliabilisme menekankan aspek eksternal justifikasi, yaitu kondisi
objektif di luar kesadaran subjek.
5.4.
Epistemologi Kebajikan (Virtue
Epistemology)
Linda Zagzebski mengusulkan pendekatan berbasis
kebajikan intelektual—yakni bahwa pengetahuan adalah hasil dari kebiasaan
epistemik yang baik (seperti kejujuran intelektual, ketelitian, dan keterbukaan
terhadap koreksi).⁸ Dalam epistemologi kebajikan, pengetahuan dianggap sebagai hasil
dari tindakan epistemik yang berhasil karena dilakukan dengan cara yang benar
oleh agen yang berkarakter baik secara intelektual. Pendekatan ini
menekankan dimensi etis dalam epistemologi, dan menghubungkan antara karakter
moral dan akurasi kognitif.
5.5.
Sensitivitas dan Kontekstualisme
Teori lain yang juga diajukan sebagai respons
terhadap problematika justifikasi adalah teori sensitivitas (Robert
Nozick) dan kontekstualisme epistemik (David Lewis, Stewart Cohen).
Dalam teori sensitivitas, keyakinan harus "sensitif terhadap kebenaran"—yakni
jika proposisi tersebut salah, maka subjek tidak akan tetap mempercayainya.⁹
Sementara kontekstualisme menekankan bahwa standar justifikasi dapat berubah
tergantung pada konteks pertanyaan atau tuntutan epistemik.¹⁰
Dari berbagai pendekatan ini, terlihat bahwa tidak
semua pengetahuan dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan melalui satu
kerangka justifikasi saja. Kompleksitas cara manusia mengetahui, kondisi
eksternal, karakter personal, dan konteks sosial turut memengaruhi apa yang
dapat disebut sebagai pengetahuan yang sah. Oleh karena itu, epistemologi
modern cenderung bersifat pluralistik dan interdisipliner dalam menjawab
pertanyaan seputar justifikasi.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210d.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in
The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random
House, 1941), 1011b25.
[3]
Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol.
2 (New York: George Allen & Unwin, 1939), 268–270.
[4]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 97–104.
[5]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief
Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.
[6]
Ibid.
[7]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge: Harvard University Press, 1986), 51–53.
[8]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry
into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 270–280.
[9]
Robert Nozick, Philosophical Explanations
(Cambridge: Harvard University Press, 1981), 172–187.
[10]
David Lewis, “Elusive Knowledge,” Australasian
Journal of Philosophy 74, no. 4 (1996): 549–567.
6.
Aplikasi Jenis Pengetahuan dalam Kehidupan
Jenis-jenis pengetahuan yang telah dibahas dalam
kerangka epistemologi tidak hanya penting dalam tataran teoretis, tetapi
memiliki dampak nyata dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Dari sains
hingga etika, dari seni hingga spiritualitas, pemahaman tentang ragam
pengetahuan menjadi fondasi untuk tindakan yang bijaksana, keputusan yang
rasional, dan interaksi sosial yang berkeadaban. Aplikasi praktis ini
memperlihatkan bagaimana epistemologi tidak sekadar bersifat abstrak, melainkan
berperan langsung dalam mengarahkan orientasi hidup manusia.
6.1.
Pengetahuan Proposisional dalam Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Pengetahuan proposisional (knowing that)
memainkan peran sentral dalam pengembangan sains modern. Ia membentuk dasar
bagi pengujian hipotesis, penyusunan teori, dan penetapan hukum-hukum alam.¹
Dalam metodologi ilmiah, proposisi seperti “air mendidih pada 100°C pada
tekanan satu atmosfer” menjadi objek verifikasi empiris dan eksperimen
laboratorium.² Oleh karena itu, keberhasilan sains dan teknologi sangat
bergantung pada akurasi dan justifikasi proposisi-proposisi pengetahuan.
Di bidang teknologi, aplikasi pengetahuan
proposisional memampukan manusia menciptakan alat dan sistem yang kompleks,
seperti kecerdasan buatan, energi terbarukan, dan jaringan komunikasi global.³
Namun demikian, epistemologi mengingatkan bahwa pengetahuan teknis bukanlah
netral secara etis; ia selalu menuntut tanggung jawab dalam penggunaannya.
6.2.
Pengetahuan Praktis dalam Etika,
Pendidikan, dan Keterampilan Sosial
Pengetahuan praktis (knowing how) memiliki
kontribusi signifikan dalam etika terapan, pedagogi, dan hubungan antarmanusia.
Dalam konteks etika, kebajikan moral seperti prudence (kehati-hatian)
dan phronesis (kearifan praktis), sebagaimana diulas oleh Aristoteles,
merupakan bentuk pengetahuan praktis yang tidak dapat direduksi menjadi rumusan
proposisional.⁴ Etika kedokteran, pendidikan, atau keadilan restoratif menuntut
kepekaan situasional yang hanya dapat dikembangkan melalui pengalaman dan
kebiasaan berpikir reflektif.
Dalam pendidikan, pengetahuan praktis mencakup
keterampilan mengajar, membangun komunikasi dengan siswa, serta memahami
kebutuhan belajar individu. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan sejati
bukan hanya transfer informasi, melainkan proses pembebasan yang membutuhkan
pengetahuan praktis dan empatik.⁵
6.3.
Pengetahuan Intuitif dan
Spiritualitas
Pengetahuan intuitif (knowing by acquaintance)
memegang peranan penting dalam pengalaman religius, estetika, dan relasi
transendental. Dalam pengalaman mistik atau kontemplatif, individu seringkali
merasa mengalami “pengetahuan langsung” tentang realitas ilahi, yang tidak
dapat dijelaskan secara rasional tetapi memiliki kedalaman eksistensial yang
kuat.⁶
Dalam tradisi Islam, pengetahuan intuitif yang
diperoleh melalui kashf atau ma‘rifah dianggap sebagai puncak
pengalaman intelektual dan spiritual, melampaui batasan diskursus rasional.
Al-Ghazālī membedakan antara ‘ilm al-yaqīn, ‘ain al-yaqīn, dan ḥaqq
al-yaqīn, sebagai tiga tingkatan kepastian yang mencerminkan transisi dari
proposisi ke penyaksian batin.⁷
6.4.
Pengetahuan Implisit dan Konteks
Sosial Budaya
Pengetahuan implisit (tacit knowledge)
sering kali menjadi fondasi perilaku sosial dan budaya yang tidak disadari.
Seperti ditunjukkan oleh Michael Polanyi, kita sering "tahu lebih
banyak daripada yang bisa kita katakan"—misalnya dalam memahami
isyarat sosial, kebiasaan budaya, atau penguasaan bahasa ibu.⁸ Pengetahuan ini
berperan penting dalam proses enkulturasi dan adaptasi sosial, serta dalam
pengambilan keputusan kolektif yang tidak sepenuhnya berbasis logika formal.
Dalam dunia kerja dan organisasi, pengetahuan
implisit menjadi elemen kunci dalam knowledge management, di mana
praktik terbaik dan intuisi profesional tidak selalu dapat ditularkan melalui
dokumen, tetapi melalui bimbingan langsung, pelatihan, dan teladan.
Secara keseluruhan, berbagai jenis pengetahuan
tersebut saling melengkapi dalam membentuk struktur kehidupan manusia yang
utuh. Pengetahuan proposisional memberi dasar kognitif, pengetahuan praktis
melatih kebijaksanaan dalam tindakan, pengetahuan intuitif membuka ruang
transendensi, dan pengetahuan implisit meneguhkan akar sosial dan budaya
manusia. Dengan menyadari keragaman bentuk pengetahuan ini, kita terdorong
untuk mengembangkan cara pandang yang lebih holistik, humanis, dan kontekstual
dalam menghadapi realitas.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2010), 18–21.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery, trans. from the German (New York: Routledge, 2002), 40–42.
[3]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From
Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 87–89.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book VI, esp. 1140b.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury, 2000), 72–75.
[6]
William James, The Varieties of Religious Experience
(New York: Longmans, Green and Co., 1902), 370–380.
[7]
Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, trans.
R.J. McCarthy, Freedom and Fulfillment (Boston: Twayne, 1980), 70–73.
[8]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension
(Chicago: University of Chicago Press, 1966), 4–7.
7.
Kritik dan Tantangan dalam Klasifikasi
Pengetahuan
Meskipun klasifikasi
pengetahuan dalam epistemologi telah memberikan struktur konseptual yang kaya
dan berguna, sejumlah kritik dan tantangan terus mengemuka baik dari dalam
tradisi filsafat sendiri maupun dari pendekatan interdisipliner kontemporer.
Kritik-kritik ini mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang melandasi
kategorisasi pengetahuan serta relevansi klasifikasi tersebut dalam menghadapi
kompleksitas realitas sosial, budaya, dan politik.
7.1.
Kritik Reduksionisme Epistemologis
Salah satu kritik
utama terhadap klasifikasi pengetahuan tradisional adalah kecenderungannya
untuk mereduksi
pengetahuan menjadi bentuk proposisional atau diskursif semata.
Pandangan ini banyak dijumpai dalam epistemologi analitik yang menempatkan justified
true belief sebagai model utama pengetahuan.¹ Kritik terhadap
reduksionisme ini datang dari filsuf seperti Gilbert Ryle yang menunjukkan
bahwa knowing
how tidak dapat direduksi menjadi knowing that.² Dengan kata lain,
tidak semua pengetahuan bisa diungkapkan dalam bentuk proposisi logis atau
dinilai melalui kriteria justifikasi rasional semata.
7.2.
Konteks Sosial dan Epistemologi
Feminis
Epistemologi
tradisional sering kali bersifat abstrak dan ahistoris, seolah
pengetahuan adalah entitas netral yang berkembang dalam ruang hampa sosial.
Namun, epistemologi feminis menekankan bahwa pengetahuan selalu diproduksi
dalam konteks kekuasaan, identitas gender, dan relasi sosial.³ Sandra Harding
dan Lorraine Code berargumen bahwa klasifikasi pengetahuan perlu
memperhitungkan situated knowledge, yakni
pengetahuan yang dipengaruhi oleh posisi sosial subjek yang mengetahui.⁴ Dengan
demikian, tidak ada “pandangan dari mana-mana” yang sepenuhnya
objektif—pengetahuan selalu berakar pada pengalaman, tubuh, dan interaksi
sosial.
7.3.
Kritik Postmodern dan Dekonstruksi
Epistemik
Filsafat postmodern,
terutama dalam karya Michel Foucault dan Jean-François Lyotard, menggugat
klaim-klaim universal dari klasifikasi pengetahuan. Foucault, misalnya,
memperkenalkan konsep regimes of truth, yaitu sistem
pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dan institusi sosial tertentu.⁵
Klasifikasi pengetahuan dalam hal ini tidak bebas nilai, melainkan
merefleksikan ideologi dominan dalam masyarakat tertentu. Lyotard bahkan
menyatakan bahwa “narasi besar” (grand narratives) tentang pengetahuan telah
runtuh, dan yang tersisa hanyalah fragmen-fragmen kebenaran lokal
yang bersaing.⁶
7.4.
Tantangan dari Epistemologi Global
dan Dekolonial
Epistemologi Barat
telah lama menjadi standar dominan dalam wacana pengetahuan global. Namun,
dalam beberapa dekade terakhir muncul tantangan serius dari epistemologi
dekolonial yang berasal dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia.
Boaventura de Sousa Santos menyebut bahwa epistemisida (pembunuhan
terhadap sistem pengetahuan non-Barat) terjadi melalui kolonialisme dan
modernisme.⁷ Klasifikasi pengetahuan yang hanya mengakomodasi pengetahuan
ilmiah dan rasional dianggap menyingkirkan bentuk-bentuk pengetahuan lokal,
spiritual, atau komunitarian.
7.5.
Kesulitan dalam Batasan
Antarkategori Pengetahuan
Secara praktis,
klasifikasi antara proposisional, praktis, dan intuitif tidak selalu tegas.
Sering kali seseorang menggunakan berbagai jenis pengetahuan secara simultan
dalam aktivitas nyata. Misalnya, seorang dokter mengandalkan pengetahuan
proposisional (teori medis), praktis (pengalaman klinis), dan intuitif (insting
profesional) secara bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi bersifat ideal-tipikal,
dan dalam praktik sering terjadi tumpang tindih.⁸
Kritik-kritik ini
menunjukkan bahwa meskipun klasifikasi pengetahuan berguna sebagai kerangka
berpikir, ia tidak bersifat mutlak atau final. Epistemologi kontemporer perlu
bersikap terbuka terhadap pluralitas bentuk pengetahuan, konteks
sosial-produktifnya, dan dinamika kekuasaan yang mempengaruhinya. Dengan
demikian, pemahaman terhadap pengetahuan menjadi lebih inklusif, kontekstual,
dan reflektif terhadap keragaman realitas manusia.
Footnotes
[1]
Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 18–21.
[2]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
26–28.
[3]
Elizabeth Anderson, “Feminist Epistemology and Philosophy of Science,”
in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta,
Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/feminism-epistemology/.
[4]
Sandra Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca:
Cornell University Press, 1986), 140–145.
[5]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.
[6]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
[7]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (New York: Routledge, 2014), 1–20.
[8]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 74–77.
8.
Kesimpulan
Kajian tentang jenis-jenis
pengetahuan dalam epistemologi mengungkapkan bahwa pengetahuan
manusia bukanlah entitas tunggal dan seragam, melainkan merupakan realitas yang
plural, kontekstual, dan berlapis. Melalui pengelompokan seperti a priori
dan a
posteriori, knowing that dan knowing
how, serta pengetahuan intuitif dan proposisional, epistemologi
berupaya memetakan keragaman cara manusia mengenal, memahami, dan mengklaim
sesuatu sebagai benar.¹
Pemahaman terhadap
ragam bentuk pengetahuan ini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan
dunia kontemporer yang ditandai oleh informasi yang berlimpah, konflik
epistemik, dan krisis kepercayaan terhadap otoritas ilmu. Pengetahuan tidak
hanya diperoleh dari pengalaman empirik atau proses rasional, tetapi juga
melalui intuisi, testimoni, tradisi, bahkan wahyu, sebagaimana dijelaskan oleh
epistemologi klasik maupun kontemporer, termasuk dalam tradisi Islam dan
epistemologi feminis.²
Dalam konteks ini, justifikasi
menjadi aspek penting yang membedakan antara pengetahuan sejati dan sekadar
opini. Namun sebagaimana ditunjukkan oleh masalah Gettier, justifikasi itu
sendiri tidak cukup untuk menjamin validitas pengetahuan, sehingga berbagai
pendekatan alternatif seperti reliabilisme dan epistemologi kebajikan
berkembang untuk mengisi kekosongan itu.³ Hal ini menegaskan bahwa epistemologi
adalah medan yang dinamis dan terbuka untuk kritik serta inovasi.
Lebih jauh, kritik
terhadap klasifikasi pengetahuan dari perspektif postmodern, feminis, dan
dekolonial menunjukkan bahwa sistem epistemologis yang dominan seringkali bias
terhadap posisi sosial dan budaya tertentu.⁴ Maka, epistemologi masa kini
menuntut pendekatan pluralistik dan interkultural,
yang mengakui adanya beragam bentuk pengetahuan—baik ilmiah, praktis,
spiritual, maupun lokal-komunitarian—yang masing-masing sah dalam konteksnya
sendiri.⁵
Dengan demikian,
epistemologi tidak hanya berfungsi sebagai alat analisis filosofis, tetapi juga
sebagai dasar etis dan politis dalam
menyikapi produksi, distribusi, dan legitimasi pengetahuan. Ia menuntut
kejujuran intelektual, keterbukaan terhadap keragaman, serta kesadaran kritis
terhadap struktur kekuasaan yang membentuk narasi-narasi “kebenaran”.
Dalam kerangka ini, mempelajari jenis-jenis pengetahuan bukanlah sekadar
latihan akademik, melainkan jalan menuju pembentukan manusia yang reflektif,
adil, dan bertanggung jawab terhadap dunia yang ia tempati.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 11–13.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 63–88; Elizabeth Anderson, “Feminist Epistemology and Philosophy
of Science,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N.
Zalta, Winter 2020 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/feminism-epistemology/.
[3]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123; Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry
into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 270–280.
[4]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133; Sandra
Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca: Cornell University
Press, 1986), 145–149.
[5]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (New York: Routledge, 2014), 1–20.
Daftar Pustaka
Anderson, E. (2020).
Feminist epistemology and philosophy of science. In E. N. Zalta (Ed.), The
Stanford encyclopedia of philosophy (Winter 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/feminism-epistemology/
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work
published ca. 350 B.C.E.)
Audi, R. (2010). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Bernecker, S. (2020).
Memory. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Winter 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/memory/
Blanshard, B. (1939). The
nature of thought (Vol. 2). George Allen & Unwin.
Coady, C. A. J. (1992). Testimony:
A philosophical study. Clarendon Press.
Dancy, J. (1985). An
introduction to contemporary epistemology. Blackwell.
Descartes, R. (1996). Meditations
on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1641)
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon
Books.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Bloomsbury. (Original work
published 1970)
Gettier, E. L. (1963). Is
justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123. https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121
Goldman, A. I. (1986). Epistemology
and cognition. Harvard University Press.
Harding, S. (1986). The
science question in feminism. Cornell University Press.
Ihde, D. (1990). Technology
and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.
James, W. (1907). Pragmatism:
A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green and Co.
James, W. (1902). The
varieties of religious experience: A study in human nature. Longmans,
Green and Co.
Kant, I. (1929). Critique
of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). Macmillan. (Original work
published 1781)
Lackey, J. (2008). Learning
from words: Testimony as a source of knowledge. Oxford University Press.
Lewis, D. (1996). Elusive
knowledge. Australasian Journal of Philosophy, 74(4), 549–567. https://doi.org/10.1080/00048409612347521
Locke, J. (1975). An
essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon
Press. (Original work published 1690)
Lyotard, J.-F. (1984). The
postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B.
Massumi, Trans.). University of Minnesota Press. (Original work published 1979)
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. State University of New York Press.
Nozick, R. (1981). Philosophical
explanations. Harvard University Press.
Plato. (1992). Theaetetus
(M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.
Polanyi, M. (1966). The
tacit dimension. University of Chicago Press.
Popper, K. R. (2002). The
logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)
Pitcher, G. (1971). A
theory of perception. Princeton University Press.
Ryle, G. (1949). The
concept of mind. Hutchinson.
Russell, B. (1912). The
problems of philosophy. Oxford University Press.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies
of the South: Justice against epistemicide. Routledge.
Steup, M. (2020).
Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Winter 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/epistemology/
Zagzebski, L. (1996). Virtues
of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations
of knowledge. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar