Senin, 18 November 2024

Metode Transendental: Genealogi Rasionalitas, Struktur Epistemologis, dan Implikasinya dalam Pemikiran Modern

Metode Transendental

Genealogi Rasionalitas, Struktur Epistemologis, dan Implikasinya dalam Pemikiran Modern


Alihkan ke: Motode-Metode dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara sistematis dan kritis mengenai metode transendental dalam kajian filsafat, dengan menelusuri genealogi historisnya, struktur epistemologisnya, serta relevansinya dalam wacana kontemporer. Metode transendental, yang dirumuskan secara sistematis oleh Immanuel Kant, menandai pergeseran mendasar dalam filsafat modern dengan memusatkan perhatian pada syarat-syarat apriori yang memungkinkan pengetahuan dan pengalaman. Artikel ini menguraikan perkembangan konsep transendental dari akar skolastik hingga formulasi Kantian, dilanjutkan dengan transformasi pasca-Kantian oleh Fichte, Schelling, dan Hegel, serta reaktualisasinya dalam fenomenologi, hermeneutika, teori kritis, dan filsafat analitik. Selain mengulas kritik-kritik filosofis terhadap metode ini, artikel ini juga menyoroti implikasinya yang luas dalam bidang etika, komunikasi, pendidikan, teknologi, dan kecerdasan buatan. Melalui pendekatan reflektif, artikel ini menegaskan pentingnya metode transendental sebagai landasan rasionalitas kritis yang tetap relevan dalam menjawab tantangan intelektual di era kontemporer.

Kata Kunci: Metode transendental, Immanuel Kant, rasionalitas apriori, epistemologi kritis, idealisme Jerman, fenomenologi, teori kritis, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Metode Transendental dalam Kajian Filsafat


1.           Pendahuluan

Metode transendental merupakan salah satu pendekatan paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern yang secara fundamental mengubah cara berpikir manusia tentang pengetahuan, realitas, dan subjek. Tidak seperti metode empiris yang bertumpu pada pengamatan inderawi, atau metode deduktif yang berangkat dari premis logis menuju kesimpulan, metode transendental memusatkan perhatiannya pada syarat-syarat kemungkinan dari pengalaman atau pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, metode ini tidak bertanya apa yang diketahui, tetapi bagaimana mungkin sesuatu dapat diketahui—suatu pendekatan yang pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Immanuel Kant dalam karyanya yang monumental, Critique of Pure Reason (1781).¹

Kelahiran metode transendental dapat dilihat sebagai respons terhadap kebuntuan antara rasionalisme dan empirisme pada abad ke-17 dan ke-18. Rasionalisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti René Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz, menekankan pada pengetahuan a priori dan deduksi logis. Sebaliknya, empirisme yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume lebih menitikberatkan pada pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Ketegangan ini memuncak dalam skeptisisme Hume mengenai kausalitas dan keuniversalan pengetahuan, yang kemudian memicu "membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya."_² Kant menyadari bahwa untuk menyelamatkan ilmu pengetahuan dari relativisme empiris maupun spekulasi metafisik yang tidak berdasar, dibutuhkan pendekatan baru yang menyelidiki struktur internal kesadaran manusia sebagai fondasi pengetahuan objektif.

Dalam konteks ini, metode transendental tidak hanya menjadi instrumen analisis epistemologis, tetapi juga membentuk dasar bagi proyek metafisika kritis.³ Dengan memfokuskan diri pada struktur kesadaran dan kondisi a priori yang memungkinkan pengalaman, metode ini membuka jalan bagi pembentukan konsep subjek transendental yang universal dan normatif. Hal ini memberikan filsafat landasan untuk mengembangkan teori tentang rasionalitas, kebebasan, dan moralitas dalam kerangka yang tidak terjebak pada empirisme reduktif ataupun dogmatisme metafisik.⁴

Lebih dari sekadar warisan Kantian, metode transendental berkembang dalam pelbagai bentuk dan reinterpretasi dalam pemikiran pasca-Kantian, mulai dari Fichte dan Schelling, hingga Hegel dan Husserl. Bahkan dalam filsafat kontemporer, pendekatan transendental tetap memainkan peran penting, baik dalam diskursus epistemologi analitik (seperti pada P.F. Strawson) maupun dalam teori kritis dan hermeneutika (seperti pada Karl-Otto Apel dan Jürgen Habermas).⁵ Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi secara sistematis asal-usul, karakteristik, dan relevansi metode transendental dalam konteks historis dan kontemporer, serta menilai kontribusinya terhadap upaya membangun fondasi rasionalitas dalam berbagai bidang filsafat.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B19.

[2]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 47.

[3]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 5–9.

[4]                Robert Pippin, Idealism as Modernism: Hegelian Variations (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12.

[5]                Thomas E. Wartenberg, “Reason and the Practice of Science: Transcendental Arguments and Scientific Realism,” in The Cambridge Companion to Kant and Modern Philosophy, ed. Paul Guyer (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 369–390.


2.           Fondasi Historis Metode Transendental

Untuk memahami metode transendental secara utuh, diperlukan penelusuran terhadap akar historisnya yang terbentang sejak era skolastik hingga mencapai puncaknya dalam filsafat Immanuel Kant. Meskipun konsep "transendental" memperoleh bentuk sistematis dalam karya Kant, jejak pemikirannya telah muncul dalam berbagai bentuk sebelumnya, baik dalam tradisi metafisika Kristen Abad Pertengahan maupun dalam filsafat modern awal.

2.1.       Asal-Usul dalam Tradisi Skolastik

Dalam filsafat skolastik, istilah transcendentalia digunakan untuk merujuk pada kategori-kategori yang melampaui genus dan spesies dalam hirarki Aristotelian, seperti ens (ada), unum (satu), verum (benar), dan bonum (baik). Para filsuf seperti Thomas Aquinas dan Duns Scotus menggunakan istilah ini untuk menunjukkan sifat-sifat yang secara universal melekat pada segala sesuatu yang ada, menjadikannya fondasi metafisika yang bersifat universal.¹ Konsepsi ini lebih bersifat ontologis daripada epistemologis, namun menandai pentingnya pencarian struktur yang mendasari realitas secara menyeluruh.

2.2.       Perkembangan dalam Filsafat Modern Awal

Transisi menuju pemikiran modern membawa pergeseran fokus dari ontologi ke epistemologi. René Descartes, dengan metode keraguannya (methodic doubt), memulai pencarian dasar kepastian dalam subjek—“cogito ergo sum”—sebagai titik tolak pengetahuan yang tak terbantahkan.² Meskipun belum menggunakan istilah “transendental,” Descartes mengisyaratkan pendekatan yang serupa dalam penyelidikan syarat-syarat fundamental pengetahuan.³

Perkembangan lebih lanjut terjadi dalam pemikiran Christian Wolff dan Alexander Gottlieb Baumgarten, yang secara eksplisit menggunakan istilah “transendental” dalam konteks logika dan metafisika untuk membedakan prinsip-prinsip a priori dari prinsip-prinsip empiris.⁴ Namun, dalam karya mereka, penggunaan istilah tersebut masih cenderung bersifat teknis dan sistematis tanpa penyelidikan kritis terhadap batas-batas pengetahuan manusia.

2.3.       Reformulasi Radikal oleh Immanuel Kant

Puncak historis metode transendental terjadi dalam filsafat Kant. Dalam Critique of Pure Reason, Kant memperkenalkan metode transendental sebagai suatu prosedur untuk menyelidiki syarat-syarat kemungkinan pengetahuan a priori yang objektif dan universal.⁵ Berbeda dari pendahulunya, Kant memusatkan perhatian pada struktur subjek kognitif, dengan menyatakan bahwa objek pengetahuan harus menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk intuisi dan kategori-kategori yang dibawa oleh subjek.⁶ Dengan demikian, revolusi Kopernikan dalam filsafat pun dimulai: bukan lagi subjek yang menyesuaikan diri dengan dunia, melainkan dunia yang dipahami dalam kerangka struktur kesadaran manusia.

Metode transendental Kant tidak hanya menolak empirisme reduksionis dan rasionalisme dogmatis, tetapi juga membentuk kerangka baru bagi pemahaman tentang pengetahuan, subjek, dan realitas. Ia menunjukkan bahwa syarat-syarat bagi kemungkinan pengalaman bukanlah sesuatu yang diperoleh dari pengalaman itu sendiri, melainkan berasal dari struktur internal kesadaran yang aktif membentuk pengalaman.⁷

Dengan demikian, metode transendental memiliki akar historis yang panjang dan berkembang dari ontologi skolastik menuju epistemologi kritis modern. Transformasi ini mencerminkan pergulatan panjang filsafat untuk menjembatani realitas dan kesadaran, dan menjadi landasan penting bagi elaborasi lebih lanjut dalam idealisme Jerman dan pemikiran filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Jan A. Aertsen, Medieval Philosophy and the Transcendentals: The Case of Thomas Aquinas (Leiden: Brill, 1996), 112–117.

[2]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 18.

[3]                Tom Sorell, Descartes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 49–51.

[4]                George di Giovanni, “The Origins of the Transcendental in German Idealism,” International Philosophical Quarterly 29, no. 2 (1989): 179–192.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A12/B25.

[6]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 14–18.

[7]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 63–65.


3.           Pengertian dan Karakteristik Metode Transendental

Metode transendental merupakan pendekatan filosofis yang bertujuan menyelidiki syarat-syarat kemungkinan (conditions of possibility) dari pengetahuan, pengalaman, dan realitas sebagaimana dimaknai oleh subjek rasional. Berbeda dengan metode deduktif yang berangkat dari premis-premis logis untuk mencapai kesimpulan, atau metode empiris yang berpijak pada observasi inderawi, metode transendental tidak langsung memeriksa objek sebagaimana adanya, tetapi mengarahkan perhatiannya pada kondisi apriori yang memungkinkan objek itu muncul dalam kesadaran.¹

Secara konseptual, istilah “transendental” dalam pengertian Kantian tidak mengacu pada hal-hal yang “melampaui” pengalaman seperti yang lazim diasosiasikan dengan metafisika klasik. Sebaliknya, ia menunjuk pada apa yang memungkinkan pengalaman itu sendiri. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menjelaskan bahwa “transendental” merujuk pada segala bentuk pengetahuan yang tidak berkaitan dengan objek-objek secara langsung, tetapi dengan cara kita mengenal objek-objek tersebut sejauh pengetahuan itu mungkin a priori.² Oleh karena itu, metode transendental bukanlah teori tentang benda-benda pada dirinya (things-in-themselves), tetapi tentang bagaimana kesadaran kita membentuk pengalaman melalui struktur-struktur rasional yang bersifat apriori.

Karakteristik utama dari metode transendental mencakup beberapa aspek kunci berikut:

3.1.       Fokus pada Kondisi Apriori

Metode transendental bertujuan mengungkap bentuk-bentuk kesadaran yang bersifat a priori, yaitu struktur yang tidak diperoleh dari pengalaman, tetapi justru memungkinkan pengalaman. Misalnya, ruang dan waktu dipahami Kant sebagai bentuk apriori dari intuisi, dan kategori-kategori seperti kausalitas, substansi, dan kuantitas sebagai bentuk apriori dari intelek.³

3.2.       Analisis terhadap Subjek Transendental

Salah satu pilar metode transendental adalah gagasan tentang subjek transendental—bukan sebagai individu konkret, melainkan sebagai kesadaran universal yang menyatukan pengalaman melalui aktivitas spontan dari fakultas kognitif.⁴ Subjek transendental bukanlah pribadi empiris, tetapi fungsi epistemologis yang menyintesis data intuisi melalui kategori-kategori.

3.3.       Relasi Ko-konstitutif antara Subjek dan Objek

Metode transendental menolak dikotomi keras antara subjek dan objek. Objek-objek pengetahuan bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara lepas dari subjek, melainkan hasil dari konstruksi interaktif antara dunia luar dan struktur apriori dari kesadaran.⁵ Dengan demikian, pengalaman empiris tidak mungkin dipahami tanpa adanya aktivitas apriori dari subjek yang menyintesis fenomena menjadi kesatuan yang bermakna.

3.4.       Asas Refleksi Kritis

Metode ini mengandung unsur reflektif, dalam arti bahwa ia menyelidiki bagaimana pengetahuan mungkin, bukan sekadar apa yang diketahui. Pendekatan ini bersifat second-order reflection, karena tidak langsung berkutat pada objek pengalaman, tetapi pada proses kognitif yang memungkinkan terbentuknya pengalaman itu.⁶

3.5.       Fungsi Heuristik terhadap Batas Pengetahuan

Metode transendental juga berfungsi sebagai batas kritik terhadap ekspansi metafisika spekulatif. Dengan menunjukkan bahwa pengetahuan terbatas pada fenomena yang dibentuk oleh struktur kesadaran, Kant menolak klaim untuk mengetahui hal-hal pada dirinya (noumena) secara langsung.⁷

Melalui karakteristik-karakteristik tersebut, metode transendental telah memengaruhi paradigma epistemologi modern dengan cara yang mendalam. Ia tidak hanya merekonstruksi fondasi pengetahuan, tetapi juga membuka ruang untuk evaluasi kritis terhadap klaim-klaim ilmiah, moral, dan metafisik berdasarkan refleksi rasional tentang syarat-syarat apriori yang memungkinkan pengetahuan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 85.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A12/B25.

[3]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 43–46.

[4]                Karl Ameriks, “The Critique of Pure Reason and the Method of Transcendental Arguments,” in The Cambridge Companion to Kant, ed. Paul Guyer (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 255.

[5]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 72–75.

[6]                Dieter Henrich, Between Kant and Hegel: Lectures on German Idealism, ed. David S. Pacini (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003), 18.

[7]                Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 125–130.


4.           Struktur Rasionalitas dalam Metode Transendental

Metode transendental tidak hanya mengubah cara berpikir tentang pengetahuan, tetapi juga mereformulasi struktur rasionalitas itu sendiri. Rasionalitas dalam kerangka ini tidak lagi dipahami sebagai deduksi logis murni atau akumulasi data empiris, melainkan sebagai aktivitas sintesis kesadaran yang bersifat produktif dan apriori. Dalam pandangan Immanuel Kant, rasionalitas bersifat transendental karena ia mengatur, menyatukan, dan memampukan pengalaman melalui struktur yang melekat pada subjek kognitif.¹

4.1.       Peran Intuisi Apriori: Ruang dan Waktu

Struktur rasionalitas dalam metode transendental dimulai dengan analisis terhadap intuisi murni (pure intuition), yaitu ruang dan waktu. Kant mengemukakan bahwa kedua bentuk intuisi ini bukan berasal dari pengalaman, melainkan merupakan cara bagaimana subjek meresepsi segala sesuatu.² Ruang adalah bentuk apriori bagi semua intuisi luar, sedangkan waktu merupakan bentuk apriori bagi intuisi dalam, dan bahkan menjadi kerangka bagi semua bentuk intuisi secara umum.³ Oleh karena itu, pengalaman empiris tidak mungkin terjadi tanpa adanya prastruktur intuisi ini, yang secara mendasar membentuk kesadaran manusia tentang dunia.

4.2.       Peran Kategori Intelek: Kerangka Rasionalitas Aktif

Di atas dasar intuisi, Kant membangun dimensi intelektual rasionalitas melalui kategori-kategori pemahaman (categories of understanding), seperti kausalitas, substansi, kuantitas, dan kualitas. Kategori-kategori ini bersifat apriori dan bekerja secara aktif dalam mengorganisir data-data yang diberikan oleh intuisi.⁴ Dalam istilah Kant, intelek tidak sekadar menerima informasi, melainkan secara aktif mensintesis dan mengkonstruksi fenomena melalui kategori-kategori tersebut.⁵ Rasionalitas di sini berfungsi sebagai kekuatan penyatuan (synthesis), bukan sebagai refleksi pasif, sehingga struktur pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk apriori yang dimiliki oleh subjek.

4.3.       Sintesis Transendental: Proses Pemaknaan Realitas

Salah satu konsep kunci dalam pemahaman rasionalitas transendental adalah sintesis transendental—yaitu kegiatan yang dilakukan oleh subjek untuk menyatukan berbagai elemen intuisi dan pengertian ke dalam satu representasi terpadu. Kant menyebut kegiatan ini sebagai “sintesis apersepsi transendental,” yaitu kemampuan kesadaran untuk mengatakan “aku berpikir” (das Ich denke) terhadap semua representasi.⁶ Di sinilah letak fondasi rasionalitas transendental: bukan pada materi pengetahuan, melainkan pada struktur sintesis yang dilakukan oleh subjek sebagai pusat koordinasi kesadaran.

4.4.       Skematisasi: Jembatan antara Intuisi dan Pengertian

Untuk menjelaskan hubungan antara bentuk-bentuk intuisi dan kategori pemahaman, Kant memperkenalkan konsep skema transendental (transcendental schema), yaitu bentuk waktu yang memungkinkan penerapan kategori pada intuisi.⁷ Misalnya, kategori kausalitas hanya bisa diterapkan jika ada pemahaman tentang urutan waktu. Dengan demikian, skematisasi bertindak sebagai mekanisme penghubung antara aspek intuisi dan intelek dalam kerangka rasionalitas transendental.

4.5.       Implikasi terhadap Rasionalitas Objektif

Struktur rasionalitas transendental menghasilkan pengetahuan yang bersifat objektif dalam arti universal dan niscaya, tetapi bukan dalam pengertian absolut metafisik. Objektivitas di sini berasal dari kesamaan struktur apriori dalam diri semua subjek rasional.⁸ Oleh karena itu, meskipun dunia sebagaimana adanya (das Ding an sich) tidak dapat diakses secara langsung, dunia fenomenal yang dibentuk oleh struktur kesadaran tetap dapat dijadikan objek pengetahuan yang sah dan ilmiah.

Struktur rasionalitas yang ditawarkan oleh metode transendental ini memampukan filsafat untuk menjembatani kesenjangan antara empirisme dan rasionalisme, serta antara realitas dan kesadaran. Dengan demikian, metode transendental memberikan model epistemologi yang kritis, sistematis, dan reflektif, yang tetap relevan dalam diskursus filsafat hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 82.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A22/B37.

[3]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 91–94.

[4]                Robert Pippin, Kant's Theory of Form: An Essay on the Critique of Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982), 112.

[5]                Dieter Henrich, Between Kant and Hegel: Lectures on German Idealism, ed. David S. Pacini (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003), 25–27.

[6]                Kant, Critique of Pure Reason, B132.

[7]                Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 164–167.

[8]                Karl Ameriks, “The Critique of Pure Reason and the Method of Transcendental Arguments,” in The Cambridge Companion to Kant, ed. Paul Guyer (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 259–261.


5.           Perkembangan dan Transformasi Pasca-Kantian

Metode transendental yang dirumuskan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason tidak berhenti sebagai proyek filosofis individual. Ia justru menjadi fondasi bagi gerakan besar dalam filsafat Jerman yang dikenal sebagai German Idealism atau Idealismus. Dalam konteks pasca-Kantian, metode transendental mengalami pengembangan, transformasi, dan juga kritik tajam yang memperluas cakupan serta mengubah asumsi dasarnya. Tokoh-tokoh seperti Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Joseph Schelling, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel masing-masing memberikan reinterpretasi mendalam terhadap metode ini, hingga pengaruhnya pun terus bergema dalam pemikiran fenomenologi dan teori kritis abad ke-20.

5.1.       Fichte dan Subjektivasi Metode Transendental

Johann Gottlieb Fichte adalah tokoh pertama yang secara eksplisit berusaha melanjutkan proyek Kant dalam kerangka idealisme transendental, namun dengan menekankan peran aktif subjek. Dalam karya Wissenschaftslehre (1794), Fichte mengembangkan gagasan bahwa seluruh struktur realitas merupakan hasil dari aktivitas Ego mutlak (das absolute Ich), yang memunculkan dunia sebagai produk dari penentuan-diri rasional.¹ Berbeda dengan Kant yang tetap mengakui adanya thing-in-itself (noumena), Fichte menolak segala bentuk realitas yang tidak berasal dari subjek transendental. Dengan demikian, metode transendental mengalami pergeseran dari penyelidikan terhadap kondisi kemungkinan pengetahuan menjadi pembuktian bahwa segala realitas adalah konstruksi aktivitas subjek.²

5.2.       Schelling dan Integrasi Dimensi Metafisik

Friedrich Schelling melanjutkan dan mengkritik Fichte dengan menunjukkan bahwa subjek tidak dapat dipisahkan dari alam (Natur), dan bahwa prinsip pertama dari segala sesuatu harus mencakup keduanya. Dalam System of Transcendental Idealism (1800), ia memperkenalkan pendekatan yang memadukan metode transendental dengan filsafat alam.³ Ia berupaya menunjukkan bahwa subjek dan objek memiliki asal metafisik yang sama dan bersatu dalam prinsip absolut. Transformasi ini menggeser metode transendental dari analisis epistemologis murni menuju proyek ontologis yang mencoba menjelaskan keberadaan dunia sebagai ekspresi dari prinsip yang satu.⁴

5.3.       Hegel dan Dialektika Rasionalitas Historis

Puncak perkembangan metode transendental pasca-Kantian terjadi dalam filsafat Hegel. Dalam Phenomenology of Spirit (1807), Hegel mengkritik keterbatasan pendekatan Kantian yang membedakan subjek transendental dari dunia objek.⁵ Menurutnya, kesadaran tidak dapat dipahami sebagai struktur tetap yang apriori, melainkan sebagai proses historis dan dialektis yang berkembang melalui negasi dan rekonsiliasi. Ia menggantikan metode transendental dengan metode dialektika, yang tetap mempertahankan fokus pada kesadaran dan rasionalitas, namun menekankannya sebagai proses yang dinamis dan historis.⁶ Dengan demikian, Hegel tidak membatalkan warisan Kant, melainkan mentransformasikannya ke dalam suatu filsafat sistematis yang menyatukan logika, ontologi, dan sejarah dalam gerakan rasional total.

5.4.       Pengaruh pada Filsafat Kontinental Modern

Transformasi metode transendental tidak berhenti pada idealisme Jerman. Dalam abad ke-20, Edmund Husserl menghidupkan kembali semangat transendental dalam bentuk fenomenologi transendental. Ia menyebutkan perlunya “reduksi fenomenologis” sebagai cara untuk sampai pada kesadaran murni (reines Bewusstsein), yang menjadi tempat segala makna diberi.⁷ Sementara itu, Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre mengkritik pendekatan ini sebagai terlalu subjektif dan ahistoris, tetapi tetap mempertahankan metode reflektif-transendental dalam bentuk baru yang eksistensial dan ontologis.⁸

Selain fenomenologi, metode transendental juga memiliki pengaruh besar dalam teori kritis melalui karya Jürgen Habermas dan Karl-Otto Apel. Keduanya mengembangkan pragmatik transendental, yang berupaya mengkaji kondisi rasionalitas komunikatif dalam tindakan wicara.⁹ Ini menunjukkan bahwa metode transendental tetap relevan ketika diperluas ke dalam domain intersubjektivitas dan praksis sosial.


Footnotes

[1]                Johann Gottlieb Fichte, Foundations of the Entire Science of Knowledge (Wissenschaftslehre), trans. Peter Heath and John Lachs (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 9–12.

[2]                Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 254–260.

[3]                F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, trans. Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 23–29.

[4]                Andrew Bowie, Introduction to German Philosophy: From Kant to Habermas (Cambridge: Polity Press, 2003), 84–87.

[5]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), §78–80.

[6]                Robert Stern, Hegelian Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–50.

[7]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer, 1983), 60–65.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–64; Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Methuen, 1957), 10–15.

[9]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 15–18; Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 215–220.


6.           Kritik terhadap Metode Transendental

Meskipun metode transendental yang diperkenalkan oleh Kant telah memberikan sumbangan besar dalam filsafat modern, pendekatan ini tidak luput dari kritik, baik dari aliran-aliran filsafat kontemporer maupun dari pemikir-pemikir pasca-Kantian sendiri. Kritik-kritik tersebut mencerminkan upaya untuk mengevaluasi batas, kelemahan, serta tantangan metodologis dan ontologis yang melekat dalam pendekatan transendental, baik dalam konteks epistemologi, metafisika, maupun praktik intersubjektif.

6.1.       Kritik Empiris dan Positivistik: Reduksi terhadap Dunia Pengalaman

Salah satu kritik utama datang dari aliran empirisme logis dan positivisme ilmiah, yang berpendapat bahwa metode transendental bersifat terlalu spekulatif dan tidak verifikatif. Para pemikir seperti Ernst Mach dan Rudolf Carnap memandang bahwa pernyataan-pernyataan metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris harus dianggap tidak bermakna.¹ Dalam kerangka ini, konsep-konsep seperti “kategori apriori” atau “subjek transendental” dinilai tidak memiliki korelasi langsung dengan data observasional, sehingga metode transendental dianggap tidak ilmiah.² Kritik ini menekankan bahwa pengetahuan sejati harus didasarkan pada pengalaman empiris yang dapat diuji, bukan pada struktur kesadaran yang bersifat spekulatif.

6.2.       Kritik Fenomenologis: Reduksi terhadap Kesadaran Konkret

Dari sudut pandang fenomenologi, Edmund Husserl mengkritik Kant karena terlalu menekankan pada struktur formal dan apriori kesadaran tanpa menyelidiki kesadaran itu sendiri sebagaimana dialami.³ Husserl menilai bahwa metode transendental Kant terlalu kaku dan kurang mampu menjangkau makna-makna yang muncul dalam Lebenswelt (dunia kehidupan) melalui pengalaman langsung. Ia kemudian mengembangkan reduksi fenomenologis sebagai cara untuk “kembali ke hal-hal itu sendiri” dan mengungkap struktur makna yang melekat pada pengalaman konkrit, bukan sekadar bentuk-bentuk formalnya.⁴

Martin Heidegger melanjutkan kritik ini dengan menyatakan bahwa pendekatan Kantian terhadap subjek transendental mengabaikan dimensi ontologis dari keberadaan manusia (Dasein). Dalam Being and Time, Heidegger menekankan bahwa “struktur transendental” tidak cukup untuk menjelaskan eksistensi manusia dalam keterlemparannya ke dunia historis, linguistik, dan temporal.⁵

6.3.       Kritik Hermeneutik dan Post-Strukturalis: Kekakuan dan Universalisme Abstrak

Pemikir-pemikir hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer mengkritik metode transendental karena mengasumsikan adanya subjek universal yang netral dan ahistoris. Menurut Gadamer, pemahaman selalu bersifat historis, terbentuk melalui pra-pemahaman dan horizon-horizon makna yang berubah-ubah.⁶ Oleh karena itu, klaim tentang “kategori apriori” yang bersifat tetap dan universal dianggap mengabaikan kondisi historis dan linguistik pemahaman manusia.

Post-strukturalis seperti Michel Foucault bahkan lebih radikal dalam kritiknya. Dalam The Order of Things, Foucault menyatakan bahwa struktur rasionalitas yang dipakai Kant dan para pengikutnya bukanlah struktur transenden yang netral, melainkan produk dari formasi diskursif dan relasi kekuasaan tertentu.⁷ Dalam pandangan ini, metode transendental tidak cukup kritis terhadap dirinya sendiri, karena tidak menyadari bahwa ia juga merupakan bagian dari konfigurasi historis yang spesifik.

6.4.       Kritik Analitik terhadap Argumen Transendental

Dalam tradisi filsafat analitik, metode transendental kerap dipertanyakan melalui analisis terhadap validitas logis dan bentuk argumennya. P. F. Strawson, meskipun menghargai Kant, menyatakan dalam The Bounds of Sense bahwa banyak argumen transendental Kant terlalu ambigu, khususnya dalam kaitannya dengan konsep objek dan kausalitas.⁸ Strawson mencoba menyelamatkan aspek-aspek tertentu dari Kant, tetapi menolak klaim-klaim metafisis tentang noumena dan subjek transendental yang menurutnya tidak dapat dipertahankan secara konseptual tanpa menimbulkan kontradiksi.

6.5.       Kritik dari Perspektif Sosial dan Praksis

Kritik juga muncul dari pemikir teori kritis seperti Jürgen Habermas, yang menilai bahwa metode transendental terlalu menekankan dimensi kesadaran individual dan mengabaikan dimensi intersubjektif dari rasionalitas.⁹ Menurut Habermas, rasionalitas tidak dapat dibatasi hanya pada kesadaran monologis, tetapi harus dipahami dalam konteks komunikasi dan tindakan sosial. Oleh karena itu, ia mengembangkan pragmatik transendental sebagai bentuk kritik dan rekonstruksi terhadap pendekatan Kantian klasik.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik terhadap metode transendental menunjukkan bahwa pendekatan ini, meskipun revolusioner dalam sejarah filsafat, tetap menghadapi batasan konseptual dan metodologis. Kritik dari berbagai tradisi—empirisme, fenomenologi, hermeneutika, filsafat analitik, hingga teori kritis—memperlihatkan pentingnya merefleksikan kembali dasar-dasar apriori yang diasumsikan dalam metode transendental, sekaligus membuka kemungkinan pengembangan pendekatan-pendekatan baru yang lebih sensitif terhadap konteks historis, linguistik, dan sosial.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language,” in Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 60–81.

[2]                Michael Friedman, Kant and the Exact Sciences (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 19–22.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer, 1983), 47.

[4]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 136–138.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–65.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–276.

[7]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage, 1994), xxi–xxiii.

[8]                P. F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of Pure Reason (London: Methuen, 1966), 22–25.

[9]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–317.


7.           Relevansi dan Implikasi Kontemporer

Meskipun berasal dari konteks filsafat modern abad ke-18, metode transendental tetap memiliki signifikansi besar dalam wacana filsafat kontemporer. Keunggulannya terletak pada kemampuan untuk mengungkap struktur rasionalitas yang mendasari kemungkinan pengetahuan, tindakan, dan pemahaman manusia. Dalam lanskap pemikiran abad ke-20 dan ke-21, pendekatan transendental tidak hanya menjadi fondasi bagi kritik epistemologis, tetapi juga memainkan peran penting dalam filsafat bahasa, teori etika, filsafat ilmu, hingga kecerdasan buatan dan studi interdisipliner lainnya.

7.1.       Reaktualisasi dalam Epistemologi dan Filsafat Analitik

Dalam tradisi filsafat analitik, pendekatan transendental memperoleh reaktualisasi melalui upaya untuk menyelamatkan rasionalitas objektif dari relativisme radikal. Salah satu tokoh penting dalam konteks ini adalah P. F. Strawson, yang dalam The Bounds of Sense berusaha menafsirkan kembali argumen-argumen Kant secara logis dan analitis.¹ Strawson mempertahankan pentingnya argumen transendental dalam menunjukkan bahwa konsep-konsep tertentu merupakan prasyarat niscaya bagi kebermaknaan pengalaman.² Dengan demikian, meskipun Strawson menolak aspek metafisik Kantian seperti noumena, ia tetap mengakui kekuatan metode transendental sebagai alat reflektif dalam analisis konseptual.

Lebih lanjut, Charles Taylor dan Robert Brandom mengembangkan pendekatan transendental dalam konteks analisis semantik dan normatif.³ Keduanya menekankan bahwa pemahaman tentang makna atau tindakan rasional mensyaratkan prakonsepsi struktural tertentu, yang dapat dikaji secara transendental melalui analisis terhadap syarat-syarat diskursif atau inferensial dari pemahaman itu sendiri.

7.2.       Relevansi dalam Teori Etika dan Tindakan Komunikatif

Dalam bidang etika dan teori tindakan, metode transendental mengalami perluasan oleh pemikir teori kritis seperti Jürgen Habermas. Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas merumuskan suatu pragmatik transendental yang menyelidiki syarat-syarat ideal bagi tindakan komunikatif yang rasional.⁴ Menurutnya, dalam setiap tindakan wicara terkandung klaim-klaim normatif dan rasional yang dapat diuji melalui dialog. Dengan mengungkap struktur komunikasi rasional ini, metode transendental digunakan untuk membangun dasar etika diskursus yang intersubjektif dan bebas dari dominasi.⁵

Kontribusi serupa diberikan oleh Karl-Otto Apel, yang mengembangkan “etika komunikasi transendental” sebagai bentuk rasionalitas yang bertumpu pada praanggapan normatif dalam setiap percakapan.⁶ Pendekatan ini menegaskan bahwa bahkan kritik sosial yang paling radikal pun harus berakar pada struktur rasional tertentu yang dapat diuji secara argumentatif.

7.3.       Implikasi Interdisipliner: Teknologi, AI, dan Pendidikan

Di luar ranah filsafat murni, metode transendental mulai diterapkan dalam bidang-bidang interdisipliner. Dalam filsafat teknologi dan kecerdasan buatan (AI), misalnya, para pemikir seperti Hubert Dreyfus dan Luciano Floridi mengangkat pertanyaan-pertanyaan transendental seputar pra-syarat kognitif dan etis yang memungkinkan pemrosesan makna dan agen moral dalam sistem komputasi.⁷ Pertanyaan seperti “Apa kondisi kemungkinan bagi pengambilan keputusan yang bermakna secara etis oleh mesin?” atau “Apa struktur pengalaman yang tidak dapat direduksi ke kalkulasi algoritmik?” menunjukkan bahwa metode transendental tetap relevan dalam menghadapi tantangan baru zaman digital.

Dalam bidang pendidikan, metode transendental diterapkan untuk mengevaluasi kerangka epistemik dan struktur normatif yang membentuk proses pembelajaran. Pendekatan ini memungkinkan refleksi kritis terhadap kurikulum, nilai, dan tujuan pendidikan berdasarkan syarat-syarat rasional yang mendasarinya, bukan semata-mata atas dasar efisiensi instrumental.⁸

7.4.       Jawaban terhadap Tantangan Relativisme dan Krisis Rasionalitas

Metode transendental juga tetap signifikan sebagai tanggapan terhadap krisis rasionalitas yang melanda filsafat pascamodern. Di tengah merebaknya relativisme epistemik, konstruktivisme sosial, dan kritik terhadap “metanarasi,” pendekatan transendental mempertahankan posisi kritis yang tidak terjerumus pada nihilisme. Dengan memeriksa syarat-syarat kemungkinan makna, validitas, dan kebenaran, ia menawarkan model penalaran yang tetap terbuka terhadap kritik namun tidak menyerah pada skeptisisme total.⁹


Kesimpulan Sementara

Dengan tetap mempertahankan karakter reflektif dan kritisnya, metode transendental terbukti mampu beradaptasi dan memberikan kontribusi signifikan terhadap berbagai bidang kajian kontemporer. Keunggulan utamanya terletak pada kemampuannya untuk mengungkap dimensi apriori dari praktik epistemik, moral, dan sosial yang sering kali tidak disadari, namun mendasari kehidupan rasional manusia dalam dunia modern yang kompleks.


Footnotes

[1]                P. F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of Pure Reason (London: Methuen, 1966), 22–25.

[2]                Robert Stern, Transcendental Arguments and Scepticism: Answering the Question of Justification (Oxford: Oxford University Press, 2000), 89–92.

[3]                Robert B. Brandom, Making It Explicit: Reasoning, Representing, and Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 17–20.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 15–18.

[5]                Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 88–90.

[6]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 215–220.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 62–65; Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–113.

[8]                Gert Biesta, Good Education in an Age of Measurement: Ethics, Politics, Democracy (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2010), 34–37.

[9]                Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 218–222.


8.           Penutup

Metode transendental, sejak dirumuskan secara sistematis oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, telah memberikan kontribusi mendalam terhadap struktur filsafat modern, khususnya dalam memahami fondasi rasionalitas, pengetahuan, dan subjektivitas.⁽¹⁾ Dengan menempatkan fokus analisis pada syarat-syarat kemungkinan pengetahuan dan pengalaman, metode ini memperkenalkan dimensi kritis dalam filsafat yang membedakannya dari pendekatan-pendekatan spekulatif maupun empiris murni.

Sebagai metode reflektif tingkat kedua, pendekatan transendental tidak berpretensi mengungkap hakikat realitas itu sendiri, melainkan mengkaji struktur-struktur apriori yang memungkinkan realitas dipahami oleh subjek.² Struktur tersebut meliputi bentuk-bentuk intuisi (ruang dan waktu), kategori-kategori intelek (seperti kausalitas dan substansi), hingga prinsip sintesis kesadaran yang menyatukan pengalaman dalam satu koherensi. Dengan kerangka ini, Kant menempatkan rasionalitas sebagai kekuatan pembentuk realitas fenomenal, sekaligus menetapkan batas-batas epistemologis yang melindungi filsafat dari klaim-klaim metafisik yang tidak berdasar.³

Namun demikian, seperti telah dibahas dalam bagian sebelumnya, metode ini tidak lepas dari kritik. Mulai dari positivisme logis yang menolak status non-empiris metode transendental, fenomenologi yang mempertanyakan kekakuan strukturnya, hermeneutika yang menyoroti ahistorisitas subjek transendental, hingga pendekatan analitik yang meragukan validitas argumennya—semua ini mencerminkan ketegangan metodologis yang terus memicu pembaruan teori.⁴

Kendati menghadapi berbagai tantangan, metode transendental tetap mempertahankan daya tahannya dalam wacana filsafat kontemporer, terutama karena sifatnya yang terbuka untuk rekonstruksi. Relevansinya tidak hanya terjaga dalam wilayah epistemologi dan metafisika, tetapi juga berkembang ke dalam teori tindakan komunikatif, filsafat bahasa, etika diskursus, dan kajian interdisipliner seperti pendidikan, teknologi, dan kecerdasan buatan.⁵ Pendekatan ini memberikan perangkat konseptual untuk mempertanyakan dan menguji struktur rasional yang tidak selalu terlihat, namun menentukan validitas dan makna dari pengetahuan dan tindakan manusia.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa metode transendental merupakan sumbangan penting bagi filsafat modern dan kontemporer dalam menggagas ulang hubungan antara subjek, pengetahuan, dan dunia. Kemampuannya dalam mengungkap dimensi apriori dari pengalaman menjadikannya instrumen filosofis yang bernilai, tidak hanya sebagai metode analisis epistemologis, tetapi juga sebagai fondasi untuk kritik sosial, etika normatif, dan pengembangan teori intersubjektivitas.⁶ Oleh karena itu, memahami dan mengembangkan metode ini tetap menjadi tugas penting dalam upaya melestarikan rasionalitas kritis di tengah kompleksitas dunia modern.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[2]                Robert Pippin, Kant's Theory of Form: An Essay on the Critique of Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982), 35–38.

[3]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 106–110.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–276; P. F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of Pure Reason (London: Methuen, 1966), 22–25.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 15–18; Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 215–220.

[6]                Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 218–222.


Daftar Pustaka

Allison, H. E. (1983). Kant’s transcendental idealism: An interpretation and defense. Yale University Press.

Ameriks, K. (1992). The Critique of Pure Reason and the method of transcendental arguments. In P. Guyer (Ed.), The Cambridge companion to Kant (pp. 251–279). Cambridge University Press.

Apel, K.-O. (1980). Towards a transformation of philosophy. Routledge & Kegan Paul.

Aertsen, J. A. (1996). Medieval philosophy and the transcendentals: The case of Thomas Aquinas. Brill.

Beiser, F. C. (2002). German idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.

Biesta, G. (2010). Good education in an age of measurement: Ethics, politics, democracy. Paradigm Publishers.

Bowie, A. (2003). Introduction to German philosophy: From Kant to Habermas. Polity Press.

Brandom, R. B. (1994). Making it explicit: Reasoning, representing, and discursive commitment. Harvard University Press.

Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 60–81). Free Press.

Cooke, M. (1994). Language and reason: A study of Habermas’s pragmatics. MIT Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1637)

Dreyfus, H. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

di Giovanni, G. (1989). The origins of the transcendental in German idealism. International Philosophical Quarterly, 29(2), 179–192.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage.

Friedman, M. (1992). Kant and the exact sciences. Harvard University Press.

Gardner, S. (1999). Kant and the critique of pure reason. Routledge.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Volume 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Henrich, D. (2003). Between Kant and Hegel: Lectures on German idealism (D. S. Pacini, Ed.). Harvard University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Kluwer.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Pippin, R. (1982). Kant's theory of form: An essay on the critique of pure reason. Yale University Press.

Pippin, R. (1997). Idealism as modernism: Hegelian variations. Cambridge University Press.

Schelling, F. W. J. (1978). System of transcendental idealism (P. Heath, Trans.). University Press of Virginia. (Original work published 1800)

Sorell, T. (2000). Descartes: A very short introduction. Oxford University Press.

Stern, R. (2000). Transcendental arguments and scepticism: Answering the question of justification. Oxford University Press.

Stern, R. (2009). Hegelian metaphysics. Oxford University Press.

Strawson, P. F. (1966). The bounds of sense: An essay on Kant’s Critique of Pure Reason. Methuen.

Taylor, C. (1985). Philosophy and the human sciences: Philosophical papers 2. Cambridge University Press.

Wartenberg, T. E. (2006). Reason and the practice of science: Transcendental arguments and scientific realism. In P. Guyer (Ed.), The Cambridge companion to Kant and modern philosophy (pp. 369–390). Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar