Metode Transendental
Genealogi Rasionalitas, Struktur Epistemologis, dan
Implikasinya dalam Pemikiran Modern
Alihkan ke: Motode-Metode dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara sistematis dan kritis
mengenai metode transendental dalam kajian filsafat, dengan menelusuri
genealogi historisnya, struktur epistemologisnya, serta relevansinya dalam
wacana kontemporer. Metode transendental, yang dirumuskan secara sistematis
oleh Immanuel Kant, menandai pergeseran mendasar dalam filsafat modern dengan
memusatkan perhatian pada syarat-syarat apriori yang memungkinkan pengetahuan
dan pengalaman. Artikel ini menguraikan perkembangan konsep transendental dari
akar skolastik hingga formulasi Kantian, dilanjutkan dengan transformasi
pasca-Kantian oleh Fichte, Schelling, dan Hegel, serta reaktualisasinya dalam
fenomenologi, hermeneutika, teori kritis, dan filsafat analitik. Selain
mengulas kritik-kritik filosofis terhadap metode ini, artikel ini juga
menyoroti implikasinya yang luas dalam bidang etika, komunikasi, pendidikan,
teknologi, dan kecerdasan buatan. Melalui pendekatan reflektif, artikel ini
menegaskan pentingnya metode transendental sebagai landasan rasionalitas kritis
yang tetap relevan dalam menjawab tantangan intelektual di era kontemporer.
Kata Kunci: Metode transendental, Immanuel Kant, rasionalitas
apriori, epistemologi kritis, idealisme Jerman, fenomenologi, teori kritis,
filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Metode Transendental dalam Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
Metode transendental merupakan salah satu
pendekatan paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern yang secara
fundamental mengubah cara berpikir manusia tentang pengetahuan, realitas, dan
subjek. Tidak seperti metode empiris yang bertumpu pada pengamatan inderawi,
atau metode deduktif yang berangkat dari premis logis menuju kesimpulan, metode
transendental memusatkan perhatiannya pada syarat-syarat kemungkinan
dari pengalaman atau pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, metode ini tidak
bertanya apa yang diketahui, tetapi bagaimana mungkin sesuatu dapat
diketahui—suatu pendekatan yang pertama kali dirumuskan secara sistematis
oleh Immanuel Kant dalam karyanya yang monumental, Critique of Pure Reason
(1781).¹
Kelahiran metode transendental dapat dilihat sebagai
respons terhadap kebuntuan antara rasionalisme dan empirisme pada abad ke-17
dan ke-18. Rasionalisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti René
Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz, menekankan pada pengetahuan a
priori dan deduksi logis. Sebaliknya, empirisme yang dikembangkan oleh John
Locke dan David Hume lebih menitikberatkan pada pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Ketegangan ini memuncak dalam skeptisisme Hume mengenai kausalitas
dan keuniversalan pengetahuan, yang kemudian memicu "membangunkan Kant
dari tidur dogmatisnya."_² Kant menyadari bahwa untuk menyelamatkan
ilmu pengetahuan dari relativisme empiris maupun spekulasi metafisik yang tidak
berdasar, dibutuhkan pendekatan baru yang menyelidiki struktur internal
kesadaran manusia sebagai fondasi pengetahuan objektif.
Dalam konteks ini, metode transendental tidak hanya
menjadi instrumen analisis epistemologis, tetapi juga membentuk dasar bagi
proyek metafisika kritis.³ Dengan memfokuskan diri pada struktur kesadaran dan
kondisi a priori yang memungkinkan pengalaman, metode ini membuka jalan
bagi pembentukan konsep subjek transendental yang universal dan
normatif. Hal ini memberikan filsafat landasan untuk mengembangkan teori
tentang rasionalitas, kebebasan, dan moralitas dalam kerangka yang tidak
terjebak pada empirisme reduktif ataupun dogmatisme metafisik.⁴
Lebih dari sekadar warisan Kantian, metode
transendental berkembang dalam pelbagai bentuk dan reinterpretasi dalam
pemikiran pasca-Kantian, mulai dari Fichte dan Schelling, hingga Hegel dan
Husserl. Bahkan dalam filsafat kontemporer, pendekatan transendental tetap
memainkan peran penting, baik dalam diskursus epistemologi analitik (seperti
pada P.F. Strawson) maupun dalam teori kritis dan hermeneutika (seperti pada
Karl-Otto Apel dan Jürgen Habermas).⁵ Dengan demikian, artikel ini bertujuan
untuk mengelaborasi secara sistematis asal-usul, karakteristik, dan relevansi
metode transendental dalam konteks historis dan kontemporer, serta menilai
kontribusinya terhadap upaya membangun fondasi rasionalitas dalam berbagai
bidang filsafat.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), B19.
[2]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge,
2006), 47.
[3]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental
Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press,
1983), 5–9.
[4]
Robert Pippin, Idealism as Modernism: Hegelian
Variations (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12.
[5]
Thomas E. Wartenberg, “Reason and the Practice of
Science: Transcendental Arguments and Scientific Realism,” in The Cambridge
Companion to Kant and Modern Philosophy, ed. Paul Guyer (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 369–390.
2.
Fondasi
Historis Metode Transendental
Untuk memahami
metode transendental secara utuh, diperlukan penelusuran terhadap akar
historisnya yang terbentang sejak era skolastik hingga mencapai puncaknya dalam
filsafat Immanuel Kant. Meskipun konsep "transendental"
memperoleh bentuk sistematis dalam karya Kant, jejak pemikirannya telah muncul
dalam berbagai bentuk sebelumnya, baik dalam tradisi metafisika Kristen Abad
Pertengahan maupun dalam filsafat modern awal.
2.1. Asal-Usul dalam Tradisi Skolastik
Dalam filsafat
skolastik, istilah transcendentalia digunakan untuk
merujuk pada kategori-kategori yang melampaui genus dan spesies dalam hirarki
Aristotelian, seperti ens (ada), unum
(satu), verum
(benar), dan bonum (baik). Para filsuf seperti
Thomas Aquinas dan Duns Scotus menggunakan istilah ini untuk menunjukkan
sifat-sifat yang secara universal melekat pada segala sesuatu yang ada,
menjadikannya fondasi metafisika yang bersifat universal.¹ Konsepsi ini lebih
bersifat ontologis daripada epistemologis, namun menandai pentingnya pencarian
struktur yang mendasari realitas secara menyeluruh.
2.2. Perkembangan dalam Filsafat Modern Awal
Transisi menuju
pemikiran modern membawa pergeseran fokus dari ontologi ke epistemologi. René
Descartes, dengan metode keraguannya (methodic doubt), memulai pencarian
dasar kepastian dalam subjek—“cogito ergo sum”—sebagai
titik tolak pengetahuan yang tak terbantahkan.² Meskipun belum menggunakan
istilah “transendental,” Descartes mengisyaratkan pendekatan yang serupa
dalam penyelidikan syarat-syarat fundamental pengetahuan.³
Perkembangan lebih
lanjut terjadi dalam pemikiran Christian Wolff dan Alexander Gottlieb
Baumgarten, yang secara eksplisit menggunakan istilah “transendental”
dalam konteks logika dan metafisika untuk membedakan prinsip-prinsip a priori
dari prinsip-prinsip empiris.⁴ Namun, dalam karya mereka, penggunaan istilah
tersebut masih cenderung bersifat teknis dan sistematis tanpa penyelidikan
kritis terhadap batas-batas pengetahuan manusia.
2.3. Reformulasi Radikal oleh Immanuel Kant
Puncak historis
metode transendental terjadi dalam filsafat Kant. Dalam Critique
of Pure Reason, Kant memperkenalkan metode transendental sebagai
suatu prosedur untuk menyelidiki syarat-syarat kemungkinan
pengetahuan a priori yang objektif dan
universal.⁵ Berbeda dari pendahulunya, Kant memusatkan perhatian pada struktur
subjek kognitif, dengan menyatakan bahwa objek pengetahuan harus menyesuaikan
diri dengan bentuk-bentuk intuisi dan kategori-kategori yang dibawa oleh
subjek.⁶ Dengan demikian, revolusi Kopernikan dalam filsafat pun dimulai: bukan
lagi subjek yang menyesuaikan diri dengan dunia, melainkan dunia yang dipahami
dalam kerangka struktur kesadaran manusia.
Metode transendental
Kant tidak hanya menolak empirisme reduksionis dan rasionalisme dogmatis,
tetapi juga membentuk kerangka baru bagi pemahaman tentang pengetahuan, subjek,
dan realitas. Ia menunjukkan bahwa syarat-syarat bagi kemungkinan pengalaman
bukanlah sesuatu yang diperoleh dari pengalaman itu sendiri, melainkan berasal
dari struktur internal kesadaran yang aktif membentuk pengalaman.⁷
Dengan demikian,
metode transendental memiliki akar historis yang panjang dan berkembang dari
ontologi skolastik menuju epistemologi kritis modern. Transformasi ini
mencerminkan pergulatan panjang filsafat untuk menjembatani realitas dan
kesadaran, dan menjadi landasan penting bagi elaborasi lebih lanjut dalam
idealisme Jerman dan pemikiran filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Jan A. Aertsen, Medieval Philosophy and the Transcendentals: The Case
of Thomas Aquinas (Leiden: Brill, 1996), 112–117.
[2]
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 18.
[3]
Tom Sorell, Descartes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 49–51.
[4]
George di Giovanni, “The Origins of the Transcendental in German
Idealism,” International Philosophical Quarterly 29, no. 2 (1989):
179–192.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A12/B25.
[6]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 14–18.
[7]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 63–65.
3.
Pengertian
dan Karakteristik Metode Transendental
Metode transendental
merupakan pendekatan filosofis yang bertujuan menyelidiki syarat-syarat
kemungkinan (conditions of possibility) dari pengetahuan,
pengalaman, dan realitas sebagaimana dimaknai oleh subjek rasional. Berbeda
dengan metode deduktif yang berangkat dari premis-premis logis untuk mencapai
kesimpulan, atau metode empiris yang berpijak pada observasi inderawi, metode
transendental tidak langsung memeriksa objek sebagaimana adanya, tetapi
mengarahkan perhatiannya pada kondisi apriori yang memungkinkan objek itu
muncul dalam kesadaran.¹
Secara konseptual,
istilah “transendental” dalam pengertian Kantian tidak mengacu pada
hal-hal yang “melampaui” pengalaman seperti yang lazim diasosiasikan
dengan metafisika klasik. Sebaliknya, ia menunjuk pada apa yang memungkinkan
pengalaman itu sendiri. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
menjelaskan bahwa “transendental” merujuk pada segala bentuk pengetahuan
yang tidak berkaitan dengan objek-objek secara langsung, tetapi dengan cara
kita mengenal objek-objek tersebut sejauh pengetahuan itu mungkin a priori.²
Oleh karena itu, metode transendental bukanlah teori tentang benda-benda pada
dirinya (things-in-themselves),
tetapi tentang bagaimana kesadaran kita membentuk pengalaman melalui
struktur-struktur rasional yang bersifat apriori.
Karakteristik utama
dari metode transendental mencakup beberapa aspek kunci berikut:
3.1. Fokus pada Kondisi Apriori
Metode transendental
bertujuan mengungkap bentuk-bentuk kesadaran yang bersifat a priori,
yaitu struktur yang tidak diperoleh dari pengalaman, tetapi justru memungkinkan
pengalaman. Misalnya, ruang dan waktu dipahami Kant sebagai bentuk apriori dari
intuisi, dan kategori-kategori seperti kausalitas, substansi, dan kuantitas
sebagai bentuk apriori dari intelek.³
3.2. Analisis terhadap Subjek Transendental
Salah satu pilar
metode transendental adalah gagasan tentang subjek transendental—bukan sebagai
individu konkret, melainkan sebagai kesadaran universal yang menyatukan
pengalaman melalui aktivitas spontan dari fakultas kognitif.⁴ Subjek
transendental bukanlah pribadi empiris, tetapi fungsi epistemologis yang
menyintesis data intuisi melalui kategori-kategori.
3.3. Relasi Ko-konstitutif antara Subjek dan Objek
Metode transendental
menolak dikotomi keras antara subjek dan objek. Objek-objek pengetahuan
bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara lepas dari subjek, melainkan hasil
dari konstruksi interaktif antara dunia luar dan struktur apriori dari
kesadaran.⁵ Dengan demikian, pengalaman empiris tidak mungkin dipahami tanpa
adanya aktivitas apriori dari subjek yang menyintesis fenomena menjadi kesatuan
yang bermakna.
3.4. Asas Refleksi Kritis
Metode ini
mengandung unsur reflektif, dalam arti bahwa ia menyelidiki bagaimana
pengetahuan mungkin, bukan sekadar apa yang diketahui. Pendekatan ini bersifat second-order
reflection, karena tidak langsung berkutat pada objek pengalaman,
tetapi pada proses kognitif yang memungkinkan terbentuknya pengalaman itu.⁶
3.5. Fungsi Heuristik terhadap Batas Pengetahuan
Metode transendental
juga berfungsi sebagai batas kritik terhadap ekspansi metafisika spekulatif.
Dengan menunjukkan bahwa pengetahuan terbatas pada fenomena yang dibentuk oleh
struktur kesadaran, Kant menolak klaim untuk mengetahui hal-hal pada dirinya (noumena)
secara langsung.⁷
Melalui
karakteristik-karakteristik tersebut, metode transendental telah memengaruhi
paradigma epistemologi modern dengan cara yang mendalam. Ia tidak hanya merekonstruksi
fondasi pengetahuan, tetapi juga membuka ruang untuk evaluasi kritis terhadap
klaim-klaim ilmiah, moral, dan metafisik berdasarkan refleksi rasional tentang
syarat-syarat apriori yang memungkinkan pengetahuan itu sendiri.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 85.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A12/B25.
[3]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 43–46.
[4]
Karl Ameriks, “The Critique of Pure Reason and the Method of
Transcendental Arguments,” in The Cambridge Companion to Kant, ed.
Paul Guyer (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 255.
[5]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 72–75.
[6]
Dieter Henrich, Between Kant and Hegel: Lectures on German Idealism,
ed. David S. Pacini (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003), 18.
[7]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason
(London: Routledge, 1999), 125–130.
4.
Struktur
Rasionalitas dalam Metode Transendental
Metode transendental
tidak hanya mengubah cara berpikir tentang pengetahuan, tetapi juga
mereformulasi struktur rasionalitas itu sendiri. Rasionalitas dalam kerangka
ini tidak lagi dipahami sebagai deduksi logis murni atau akumulasi data
empiris, melainkan sebagai aktivitas sintesis kesadaran yang
bersifat produktif dan apriori. Dalam pandangan Immanuel Kant, rasionalitas
bersifat transendental
karena ia mengatur, menyatukan, dan memampukan pengalaman melalui struktur yang
melekat pada subjek kognitif.¹
4.1. Peran Intuisi Apriori: Ruang dan Waktu
Struktur
rasionalitas dalam metode transendental dimulai dengan analisis terhadap intuisi
murni (pure intuition), yaitu ruang dan
waktu. Kant mengemukakan bahwa kedua bentuk intuisi ini bukan berasal dari
pengalaman, melainkan merupakan cara bagaimana subjek meresepsi segala
sesuatu.² Ruang adalah bentuk apriori bagi semua intuisi luar, sedangkan waktu
merupakan bentuk apriori bagi intuisi dalam, dan bahkan menjadi kerangka bagi
semua bentuk intuisi secara umum.³ Oleh karena itu, pengalaman empiris tidak
mungkin terjadi tanpa adanya prastruktur intuisi ini, yang secara mendasar
membentuk kesadaran manusia tentang dunia.
4.2. Peran Kategori Intelek: Kerangka Rasionalitas Aktif
Di atas dasar
intuisi, Kant membangun dimensi intelektual rasionalitas melalui kategori-kategori
pemahaman (categories of understanding),
seperti kausalitas, substansi, kuantitas, dan kualitas. Kategori-kategori ini
bersifat apriori dan bekerja secara aktif dalam mengorganisir data-data yang
diberikan oleh intuisi.⁴ Dalam istilah Kant, intelek tidak sekadar menerima
informasi, melainkan secara aktif mensintesis dan mengkonstruksi fenomena
melalui kategori-kategori tersebut.⁵ Rasionalitas di sini berfungsi sebagai
kekuatan penyatuan (synthesis), bukan sebagai refleksi
pasif, sehingga struktur pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk
apriori yang dimiliki oleh subjek.
4.3. Sintesis Transendental: Proses Pemaknaan Realitas
Salah satu konsep
kunci dalam pemahaman rasionalitas transendental adalah sintesis
transendental—yaitu kegiatan yang dilakukan oleh subjek untuk
menyatukan berbagai elemen intuisi dan pengertian ke dalam satu representasi
terpadu. Kant menyebut kegiatan ini sebagai “sintesis apersepsi
transendental,” yaitu kemampuan kesadaran untuk mengatakan “aku berpikir”
(das Ich
denke) terhadap semua representasi.⁶ Di sinilah letak fondasi
rasionalitas transendental: bukan pada materi pengetahuan, melainkan pada
struktur sintesis yang dilakukan oleh subjek sebagai pusat koordinasi
kesadaran.
4.4. Skematisasi: Jembatan antara Intuisi dan Pengertian
Untuk menjelaskan
hubungan antara bentuk-bentuk intuisi dan kategori pemahaman, Kant
memperkenalkan konsep skema transendental (transcendental
schema), yaitu bentuk waktu yang memungkinkan penerapan kategori
pada intuisi.⁷ Misalnya, kategori kausalitas hanya bisa diterapkan jika ada
pemahaman tentang urutan waktu. Dengan demikian, skematisasi bertindak sebagai
mekanisme penghubung antara aspek intuisi dan intelek dalam kerangka
rasionalitas transendental.
4.5. Implikasi terhadap Rasionalitas Objektif
Struktur
rasionalitas transendental menghasilkan pengetahuan yang bersifat objektif
dalam arti universal dan niscaya, tetapi bukan dalam pengertian absolut
metafisik. Objektivitas di sini berasal dari kesamaan struktur apriori dalam
diri semua subjek rasional.⁸ Oleh karena itu, meskipun dunia sebagaimana adanya
(das Ding
an sich) tidak dapat diakses secara langsung, dunia fenomenal yang
dibentuk oleh struktur kesadaran tetap dapat dijadikan objek pengetahuan yang
sah dan ilmiah.
Struktur
rasionalitas yang ditawarkan oleh metode transendental ini memampukan filsafat
untuk menjembatani kesenjangan antara empirisme dan rasionalisme, serta antara
realitas dan kesadaran. Dengan demikian, metode transendental memberikan model
epistemologi yang kritis, sistematis, dan reflektif, yang tetap relevan dalam
diskursus filsafat hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 82.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A22/B37.
[3]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 91–94.
[4]
Robert Pippin, Kant's Theory of Form: An Essay on the Critique of
Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982), 112.
[5]
Dieter Henrich, Between Kant and Hegel: Lectures on German Idealism,
ed. David S. Pacini (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003), 25–27.
[6]
Kant, Critique of Pure Reason, B132.
[7]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason
(London: Routledge, 1999), 164–167.
[8]
Karl Ameriks, “The Critique of Pure Reason and the Method of
Transcendental Arguments,” in The Cambridge Companion to Kant, ed.
Paul Guyer (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 259–261.
5.
Perkembangan
dan Transformasi Pasca-Kantian
Metode transendental
yang dirumuskan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason tidak
berhenti sebagai proyek filosofis individual. Ia justru menjadi fondasi bagi
gerakan besar dalam filsafat Jerman yang dikenal sebagai German
Idealism atau Idealismus. Dalam konteks
pasca-Kantian, metode transendental mengalami pengembangan, transformasi, dan
juga kritik tajam yang memperluas cakupan serta mengubah asumsi dasarnya.
Tokoh-tokoh seperti Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Joseph Schelling,
dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel masing-masing memberikan reinterpretasi
mendalam terhadap metode ini, hingga pengaruhnya pun terus bergema dalam
pemikiran fenomenologi dan teori kritis abad ke-20.
5.1. Fichte dan Subjektivasi Metode Transendental
Johann Gottlieb
Fichte adalah tokoh pertama yang secara eksplisit berusaha melanjutkan proyek
Kant dalam kerangka idealisme transendental, namun dengan menekankan peran
aktif subjek. Dalam karya Wissenschaftslehre (1794), Fichte
mengembangkan gagasan bahwa seluruh struktur realitas merupakan hasil dari
aktivitas Ego
mutlak (das absolute Ich), yang memunculkan
dunia sebagai produk dari penentuan-diri rasional.¹ Berbeda dengan Kant yang
tetap mengakui adanya thing-in-itself (noumena), Fichte
menolak segala bentuk realitas yang tidak berasal dari subjek transendental.
Dengan demikian, metode transendental mengalami pergeseran dari penyelidikan
terhadap kondisi kemungkinan pengetahuan menjadi pembuktian bahwa segala
realitas adalah konstruksi aktivitas subjek.²
5.2. Schelling dan Integrasi Dimensi Metafisik
Friedrich Schelling
melanjutkan dan mengkritik Fichte dengan menunjukkan bahwa subjek tidak dapat
dipisahkan dari alam (Natur), dan bahwa prinsip pertama dari segala sesuatu
harus mencakup keduanya. Dalam System of Transcendental Idealism
(1800), ia memperkenalkan pendekatan yang memadukan metode transendental dengan
filsafat alam.³ Ia berupaya menunjukkan bahwa subjek dan objek memiliki asal
metafisik yang sama dan bersatu dalam prinsip absolut. Transformasi ini
menggeser metode transendental dari analisis epistemologis murni menuju proyek
ontologis yang mencoba menjelaskan keberadaan dunia sebagai ekspresi dari
prinsip yang satu.⁴
5.3. Hegel dan Dialektika Rasionalitas Historis
Puncak perkembangan
metode transendental pasca-Kantian terjadi dalam filsafat Hegel. Dalam Phenomenology
of Spirit (1807), Hegel mengkritik keterbatasan pendekatan Kantian
yang membedakan subjek transendental dari dunia objek.⁵ Menurutnya, kesadaran
tidak dapat dipahami sebagai struktur tetap yang apriori, melainkan sebagai
proses historis dan dialektis yang berkembang melalui negasi dan rekonsiliasi.
Ia menggantikan metode transendental dengan metode dialektika, yang tetap
mempertahankan fokus pada kesadaran dan rasionalitas, namun menekankannya
sebagai proses yang dinamis dan historis.⁶ Dengan demikian, Hegel tidak
membatalkan warisan Kant, melainkan mentransformasikannya ke dalam suatu
filsafat sistematis yang menyatukan logika, ontologi, dan sejarah dalam gerakan
rasional total.
5.4. Pengaruh pada Filsafat Kontinental Modern
Transformasi metode
transendental tidak berhenti pada idealisme Jerman. Dalam abad ke-20, Edmund
Husserl menghidupkan kembali semangat transendental dalam bentuk fenomenologi
transendental. Ia menyebutkan perlunya “reduksi fenomenologis” sebagai cara untuk
sampai pada kesadaran murni (reines Bewusstsein), yang menjadi
tempat segala makna diberi.⁷ Sementara itu, Martin Heidegger dan Jean-Paul
Sartre mengkritik pendekatan ini sebagai terlalu subjektif dan ahistoris,
tetapi tetap mempertahankan metode reflektif-transendental dalam bentuk baru
yang eksistensial dan ontologis.⁸
Selain fenomenologi,
metode transendental juga memiliki pengaruh besar dalam teori kritis melalui
karya Jürgen Habermas dan Karl-Otto Apel. Keduanya mengembangkan pragmatik
transendental, yang berupaya mengkaji kondisi rasionalitas
komunikatif dalam tindakan wicara.⁹ Ini menunjukkan bahwa metode transendental
tetap relevan ketika diperluas ke dalam domain intersubjektivitas dan praksis
sosial.
Footnotes
[1]
Johann Gottlieb Fichte, Foundations of the Entire Science of
Knowledge (Wissenschaftslehre), trans. Peter Heath and John Lachs
(Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 9–12.
[2]
Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle against
Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002),
254–260.
[3]
F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, trans.
Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 23–29.
[4]
Andrew Bowie, Introduction to German Philosophy: From Kant to
Habermas (Cambridge: Polity Press, 2003), 84–87.
[5]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), §78–80.
[6]
Robert Stern, Hegelian Metaphysics (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 45–50.
[7]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer, 1983),
60–65.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–64; Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Methuen, 1957), 10–15.
[9]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 15–18; Karl-Otto Apel, Towards
a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980),
215–220.
6.
Kritik
terhadap Metode Transendental
Meskipun metode
transendental yang diperkenalkan oleh Kant telah memberikan sumbangan besar
dalam filsafat modern, pendekatan ini tidak luput dari kritik, baik dari
aliran-aliran filsafat kontemporer maupun dari pemikir-pemikir pasca-Kantian
sendiri. Kritik-kritik tersebut mencerminkan upaya untuk mengevaluasi batas,
kelemahan, serta tantangan metodologis dan ontologis yang melekat dalam
pendekatan transendental, baik dalam konteks epistemologi, metafisika, maupun
praktik intersubjektif.
6.1. Kritik Empiris dan Positivistik: Reduksi terhadap
Dunia Pengalaman
Salah satu kritik
utama datang dari aliran empirisme logis dan positivisme ilmiah, yang
berpendapat bahwa metode transendental bersifat terlalu spekulatif dan tidak
verifikatif. Para pemikir seperti Ernst Mach dan Rudolf Carnap memandang bahwa
pernyataan-pernyataan metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris
harus dianggap tidak bermakna.¹ Dalam kerangka ini, konsep-konsep seperti “kategori
apriori” atau “subjek transendental” dinilai tidak memiliki
korelasi langsung dengan data observasional, sehingga metode transendental
dianggap tidak ilmiah.² Kritik ini menekankan bahwa pengetahuan sejati harus didasarkan
pada pengalaman empiris yang dapat diuji, bukan pada struktur kesadaran yang
bersifat spekulatif.
6.2. Kritik Fenomenologis: Reduksi terhadap Kesadaran
Konkret
Dari sudut pandang
fenomenologi, Edmund Husserl mengkritik Kant karena terlalu menekankan pada
struktur formal dan apriori kesadaran tanpa menyelidiki kesadaran
itu sendiri sebagaimana dialami.³ Husserl menilai bahwa metode
transendental Kant terlalu kaku dan kurang mampu menjangkau makna-makna yang
muncul dalam Lebenswelt (dunia kehidupan) melalui
pengalaman langsung. Ia kemudian mengembangkan reduksi fenomenologis sebagai cara
untuk “kembali ke hal-hal itu sendiri” dan mengungkap struktur makna
yang melekat pada pengalaman konkrit, bukan sekadar bentuk-bentuk formalnya.⁴
Martin Heidegger
melanjutkan kritik ini dengan menyatakan bahwa pendekatan Kantian terhadap
subjek transendental mengabaikan dimensi ontologis dari keberadaan manusia (Dasein).
Dalam Being
and Time, Heidegger menekankan bahwa “struktur transendental”
tidak cukup untuk menjelaskan eksistensi manusia dalam keterlemparannya ke
dunia historis, linguistik, dan temporal.⁵
6.3. Kritik Hermeneutik dan Post-Strukturalis: Kekakuan
dan Universalisme Abstrak
Pemikir-pemikir
hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer mengkritik metode transendental karena
mengasumsikan adanya subjek universal yang netral dan ahistoris. Menurut
Gadamer, pemahaman selalu bersifat historis, terbentuk melalui pra-pemahaman
dan horizon-horizon
makna yang berubah-ubah.⁶ Oleh karena itu, klaim tentang “kategori
apriori” yang bersifat tetap dan universal dianggap mengabaikan kondisi
historis dan linguistik pemahaman manusia.
Post-strukturalis
seperti Michel Foucault bahkan lebih radikal dalam kritiknya. Dalam The
Order of Things, Foucault menyatakan bahwa struktur rasionalitas
yang dipakai Kant dan para pengikutnya bukanlah struktur transenden yang
netral, melainkan produk dari formasi diskursif dan relasi kekuasaan tertentu.⁷
Dalam pandangan ini, metode transendental tidak cukup kritis terhadap dirinya
sendiri, karena tidak menyadari bahwa ia juga merupakan bagian dari konfigurasi
historis yang spesifik.
6.4. Kritik Analitik terhadap Argumen Transendental
Dalam tradisi
filsafat analitik, metode transendental kerap dipertanyakan melalui analisis
terhadap validitas logis dan bentuk argumennya. P. F. Strawson, meskipun
menghargai Kant, menyatakan dalam The Bounds of Sense bahwa banyak
argumen transendental Kant terlalu ambigu, khususnya dalam kaitannya dengan
konsep objek dan kausalitas.⁸ Strawson mencoba menyelamatkan aspek-aspek
tertentu dari Kant, tetapi menolak klaim-klaim metafisis tentang noumena
dan subjek
transendental yang menurutnya tidak dapat dipertahankan secara
konseptual tanpa menimbulkan kontradiksi.
6.5. Kritik dari Perspektif Sosial dan Praksis
Kritik juga muncul
dari pemikir teori kritis seperti Jürgen Habermas, yang menilai bahwa metode
transendental terlalu menekankan dimensi kesadaran individual dan mengabaikan
dimensi intersubjektif dari rasionalitas.⁹ Menurut Habermas, rasionalitas tidak
dapat dibatasi hanya pada kesadaran monologis, tetapi harus dipahami dalam
konteks komunikasi dan tindakan sosial. Oleh karena itu, ia mengembangkan pragmatik
transendental sebagai bentuk kritik dan rekonstruksi terhadap
pendekatan Kantian klasik.
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik
terhadap metode transendental menunjukkan bahwa pendekatan ini, meskipun
revolusioner dalam sejarah filsafat, tetap menghadapi batasan konseptual dan
metodologis. Kritik dari berbagai tradisi—empirisme, fenomenologi,
hermeneutika, filsafat analitik, hingga teori kritis—memperlihatkan pentingnya
merefleksikan kembali dasar-dasar apriori yang diasumsikan dalam metode
transendental, sekaligus membuka kemungkinan pengembangan pendekatan-pendekatan
baru yang lebih sensitif terhadap konteks historis, linguistik, dan sosial.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis
of Language,” in Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free
Press, 1959), 60–81.
[2]
Michael Friedman, Kant and the Exact Sciences (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1992), 19–22.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer, 1983),
47.
[4]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 136–138.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–65.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–276.
[7]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage, 1994), xxi–xxiii.
[8]
P. F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of
Pure Reason (London: Methuen, 1966), 22–25.
[9]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–317.
7.
Relevansi
dan Implikasi Kontemporer
Meskipun berasal
dari konteks filsafat modern abad ke-18, metode transendental tetap memiliki
signifikansi besar dalam wacana filsafat kontemporer. Keunggulannya terletak
pada kemampuan untuk mengungkap struktur rasionalitas yang mendasari
kemungkinan pengetahuan, tindakan, dan pemahaman manusia. Dalam lanskap
pemikiran abad ke-20 dan ke-21, pendekatan transendental tidak hanya menjadi
fondasi bagi kritik epistemologis, tetapi juga memainkan peran penting dalam
filsafat bahasa, teori etika, filsafat ilmu, hingga kecerdasan buatan dan studi
interdisipliner lainnya.
7.1. Reaktualisasi dalam Epistemologi dan Filsafat
Analitik
Dalam tradisi
filsafat analitik, pendekatan transendental memperoleh reaktualisasi melalui
upaya untuk menyelamatkan rasionalitas objektif dari relativisme radikal. Salah
satu tokoh penting dalam konteks ini adalah P. F. Strawson, yang dalam The
Bounds of Sense berusaha menafsirkan kembali argumen-argumen Kant
secara logis dan analitis.¹ Strawson mempertahankan pentingnya argumen
transendental dalam menunjukkan bahwa konsep-konsep tertentu merupakan
prasyarat niscaya bagi kebermaknaan pengalaman.² Dengan demikian, meskipun
Strawson menolak aspek metafisik Kantian seperti noumena, ia tetap mengakui kekuatan
metode transendental sebagai alat reflektif dalam analisis konseptual.
Lebih lanjut,
Charles Taylor dan Robert Brandom mengembangkan pendekatan transendental dalam
konteks analisis semantik dan normatif.³ Keduanya menekankan bahwa pemahaman
tentang makna atau tindakan rasional mensyaratkan prakonsepsi struktural
tertentu, yang dapat dikaji secara transendental melalui analisis terhadap
syarat-syarat diskursif atau inferensial dari pemahaman itu sendiri.
7.2. Relevansi dalam Teori Etika dan Tindakan
Komunikatif
Dalam bidang etika
dan teori tindakan, metode transendental mengalami perluasan oleh pemikir teori
kritis seperti Jürgen Habermas. Dalam The Theory of Communicative Action,
Habermas merumuskan suatu pragmatik transendental yang
menyelidiki syarat-syarat ideal bagi tindakan komunikatif yang rasional.⁴
Menurutnya, dalam setiap tindakan wicara terkandung klaim-klaim normatif dan
rasional yang dapat diuji melalui dialog. Dengan mengungkap struktur komunikasi
rasional ini, metode transendental digunakan untuk membangun dasar etika
diskursus yang intersubjektif dan bebas dari dominasi.⁵
Kontribusi serupa
diberikan oleh Karl-Otto Apel, yang mengembangkan “etika komunikasi
transendental” sebagai bentuk rasionalitas yang bertumpu pada praanggapan
normatif dalam setiap percakapan.⁶ Pendekatan ini menegaskan bahwa bahkan
kritik sosial yang paling radikal pun harus berakar pada struktur rasional
tertentu yang dapat diuji secara argumentatif.
7.3. Implikasi Interdisipliner: Teknologi, AI, dan
Pendidikan
Di luar ranah
filsafat murni, metode transendental mulai diterapkan dalam bidang-bidang
interdisipliner. Dalam filsafat teknologi dan kecerdasan buatan (AI), misalnya,
para pemikir seperti Hubert Dreyfus dan Luciano Floridi mengangkat
pertanyaan-pertanyaan transendental seputar pra-syarat kognitif dan etis yang
memungkinkan pemrosesan makna dan agen moral dalam sistem komputasi.⁷
Pertanyaan seperti “Apa kondisi kemungkinan bagi pengambilan keputusan yang
bermakna secara etis oleh mesin?” atau “Apa struktur pengalaman yang
tidak dapat direduksi ke kalkulasi algoritmik?” menunjukkan bahwa metode
transendental tetap relevan dalam menghadapi tantangan baru zaman digital.
Dalam bidang
pendidikan, metode transendental diterapkan untuk mengevaluasi kerangka
epistemik dan struktur normatif yang membentuk
proses pembelajaran. Pendekatan ini memungkinkan refleksi kritis terhadap
kurikulum, nilai, dan tujuan pendidikan berdasarkan syarat-syarat rasional yang
mendasarinya, bukan semata-mata atas dasar efisiensi instrumental.⁸
7.4. Jawaban terhadap Tantangan Relativisme dan Krisis
Rasionalitas
Metode transendental
juga tetap signifikan sebagai tanggapan terhadap krisis rasionalitas yang
melanda filsafat pascamodern. Di tengah merebaknya relativisme epistemik,
konstruktivisme sosial, dan kritik terhadap “metanarasi,” pendekatan
transendental mempertahankan posisi kritis yang tidak terjerumus pada
nihilisme. Dengan memeriksa syarat-syarat kemungkinan makna, validitas, dan
kebenaran, ia menawarkan model penalaran yang tetap terbuka terhadap kritik
namun tidak menyerah pada skeptisisme total.⁹
Kesimpulan Sementara
Dengan tetap
mempertahankan karakter reflektif dan kritisnya, metode transendental terbukti
mampu beradaptasi dan memberikan kontribusi signifikan terhadap berbagai bidang
kajian kontemporer. Keunggulan utamanya terletak pada kemampuannya untuk
mengungkap dimensi apriori dari praktik epistemik, moral, dan sosial yang
sering kali tidak disadari, namun mendasari kehidupan rasional manusia dalam
dunia modern yang kompleks.
Footnotes
[1]
P. F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of
Pure Reason (London: Methuen, 1966), 22–25.
[2]
Robert Stern, Transcendental Arguments and Scepticism: Answering
the Question of Justification (Oxford: Oxford University Press, 2000),
89–92.
[3]
Robert B. Brandom, Making It Explicit: Reasoning, Representing, and
Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994),
17–20.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 15–18.
[5]
Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics
(Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 88–90.
[6]
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy
(London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 215–220.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 62–65; Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
109–113.
[8]
Gert Biesta, Good Education in an Age of Measurement: Ethics,
Politics, Democracy (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2010), 34–37.
[9]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason
(London: Routledge, 1999), 218–222.
8.
Penutup
Metode transendental, sejak dirumuskan secara
sistematis oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, telah
memberikan kontribusi mendalam terhadap struktur filsafat modern, khususnya
dalam memahami fondasi rasionalitas, pengetahuan, dan subjektivitas.⁽¹⁾ Dengan
menempatkan fokus analisis pada syarat-syarat kemungkinan pengetahuan dan
pengalaman, metode ini memperkenalkan dimensi kritis dalam filsafat yang
membedakannya dari pendekatan-pendekatan spekulatif maupun empiris murni.
Sebagai metode reflektif tingkat kedua, pendekatan
transendental tidak berpretensi mengungkap hakikat realitas itu sendiri,
melainkan mengkaji struktur-struktur apriori yang memungkinkan realitas
dipahami oleh subjek.² Struktur tersebut meliputi bentuk-bentuk intuisi (ruang
dan waktu), kategori-kategori intelek (seperti kausalitas dan substansi),
hingga prinsip sintesis kesadaran yang menyatukan pengalaman dalam satu
koherensi. Dengan kerangka ini, Kant menempatkan rasionalitas sebagai kekuatan
pembentuk realitas fenomenal, sekaligus menetapkan batas-batas epistemologis
yang melindungi filsafat dari klaim-klaim metafisik yang tidak berdasar.³
Namun demikian, seperti telah dibahas dalam bagian
sebelumnya, metode ini tidak lepas dari kritik. Mulai dari positivisme logis
yang menolak status non-empiris metode transendental, fenomenologi yang
mempertanyakan kekakuan strukturnya, hermeneutika yang menyoroti ahistorisitas
subjek transendental, hingga pendekatan analitik yang meragukan validitas
argumennya—semua ini mencerminkan ketegangan metodologis yang terus memicu
pembaruan teori.⁴
Kendati menghadapi berbagai tantangan, metode
transendental tetap mempertahankan daya tahannya dalam wacana filsafat
kontemporer, terutama karena sifatnya yang terbuka untuk rekonstruksi.
Relevansinya tidak hanya terjaga dalam wilayah epistemologi dan metafisika,
tetapi juga berkembang ke dalam teori tindakan komunikatif, filsafat bahasa, etika
diskursus, dan kajian interdisipliner seperti pendidikan, teknologi, dan
kecerdasan buatan.⁵ Pendekatan ini memberikan perangkat konseptual untuk
mempertanyakan dan menguji struktur rasional yang tidak selalu terlihat, namun
menentukan validitas dan makna dari pengetahuan dan tindakan manusia.
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa metode
transendental merupakan sumbangan penting bagi filsafat modern dan kontemporer
dalam menggagas ulang hubungan antara subjek, pengetahuan, dan dunia.
Kemampuannya dalam mengungkap dimensi apriori dari pengalaman menjadikannya
instrumen filosofis yang bernilai, tidak hanya sebagai metode analisis
epistemologis, tetapi juga sebagai fondasi untuk kritik sosial, etika normatif,
dan pengembangan teori intersubjektivitas.⁶ Oleh karena itu, memahami dan
mengembangkan metode ini tetap menjadi tugas penting dalam upaya melestarikan
rasionalitas kritis di tengah kompleksitas dunia modern.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A51/B75.
[2]
Robert Pippin, Kant's Theory of Form: An Essay
on the Critique of Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982),
35–38.
[3]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental
Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press,
1983), 106–110.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–276;
P. F. Strawson, The Bounds of Sense: An Essay on Kant’s Critique of Pure Reason
(London: Methuen, 1966), 22–25.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), vol. 1, 15–18;
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London:
Routledge & Kegan Paul, 1980), 215–220.
[6]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure
Reason (London: Routledge, 1999), 218–222.
Daftar Pustaka
Allison, H. E. (1983). Kant’s transcendental
idealism: An interpretation and defense. Yale University Press.
Ameriks, K. (1992). The Critique of Pure Reason and
the method of transcendental arguments. In P. Guyer (Ed.), The Cambridge
companion to Kant (pp. 251–279). Cambridge University Press.
Apel, K.-O. (1980). Towards a transformation of
philosophy. Routledge & Kegan Paul.
Aertsen, J. A. (1996). Medieval philosophy and
the transcendentals: The case of Thomas Aquinas. Brill.
Beiser, F. C. (2002). German idealism: The
struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.
Biesta, G. (2010). Good education in an age of
measurement: Ethics, politics, democracy. Paradigm Publishers.
Bowie, A. (2003). Introduction to German
philosophy: From Kant to Habermas. Polity Press.
Brandom, R. B. (1994). Making it explicit:
Reasoning, representing, and discursive commitment. Harvard University
Press.
Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics
through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical
positivism (pp. 60–81). Free Press.
Cooke, M. (1994). Language and reason: A study
of Habermas’s pragmatics. MIT Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1637)
Dreyfus, H. (1992). What computers still can’t
do: A critique of artificial reason. MIT Press.
di Giovanni, G. (1989). The origins of the
transcendental in German idealism. International Philosophical Quarterly, 29(2),
179–192.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Foucault, M. (1994). The order of things: An
archaeology of the human sciences. Vintage.
Friedman, M. (1992). Kant and the exact sciences.
Harvard University Press.
Gardner, S. (1999). Kant and the critique of
pure reason. Routledge.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action: Volume 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Beacon Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Henrich, D. (2003). Between Kant and Hegel:
Lectures on German idealism (D. S. Pacini, Ed.). Harvard University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Kluwer.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781)
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
Routledge.
Pippin, R. (1982). Kant's theory of form: An
essay on the critique of pure reason. Yale University Press.
Pippin, R. (1997). Idealism as modernism:
Hegelian variations. Cambridge University Press.
Schelling, F. W. J. (1978). System of
transcendental idealism (P. Heath, Trans.). University Press of Virginia.
(Original work published 1800)
Sorell, T. (2000). Descartes: A very short
introduction. Oxford University Press.
Stern, R. (2000). Transcendental arguments and
scepticism: Answering the question of justification. Oxford University
Press.
Stern, R. (2009). Hegelian metaphysics.
Oxford University Press.
Strawson, P. F. (1966). The bounds of sense: An
essay on Kant’s Critique of Pure Reason. Methuen.
Taylor, C. (1985). Philosophy and the human
sciences: Philosophical papers 2. Cambridge University Press.
Wartenberg, T. E. (2006). Reason and the practice
of science: Transcendental arguments and scientific realism. In P. Guyer (Ed.),
The Cambridge companion to Kant and modern philosophy (pp. 369–390).
Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar