Jumat, 06 Desember 2024

Humanisme: Genealogi, Ontologi, dan Relevansi Filsafat tentang Martabat Manusia dalam Peradaban Modern

Humanisme

Genealogi, Ontologi, dan Relevansi Filsafat tentang Martabat Manusia dalam Peradaban Modern


Alihkan ke: Filsafat Manusia.

Martabat Manusia (Human Dignity), Hak Asasi Manusia (HAM).

Posthumanisme, Transhumanisme.


Abstrak

Artikel ini menguraikan secara sistematis dan historis perkembangan gagasan Humanisme sebagai salah satu arus utama dalam sejarah filsafat Barat, sekaligus merefleksikan relevansinya dalam konteks kontemporer. Kajian ini dimulai dari analisis genealogis tentang asal-usul humanisme sejak tradisi Yunani klasik, Renaisans, dan Pencerahan, yang menempatkan manusia sebagai pusat pengetahuan dan ukuran moralitas. Selanjutnya, pembahasan berlanjut pada aspek ontologis, di mana manusia dipahami sebagai makhluk rasional sekaligus eksistensial yang memiliki martabat, kebebasan, dan keterarahan pada makna. Dari sisi epistemologis, humanisme menegaskan peran rasionalitas reflektif dan pengalaman dialogis sebagai dasar pencarian kebenaran yang berorientasi pada pemahaman, bukan dominasi.

Pada tataran aksiologis, humanisme berakar pada prinsip martabat manusia, solidaritas, dan tanggung jawab moral yang menjadi fondasi bagi etika, hak asasi manusia, dan demokrasi. Namun, artikel ini juga mengkaji berbagai kritik terhadap humanisme—dari Marx, Nietzsche, Heidegger, hingga posthumanisme kontemporer—yang menyoroti keterbatasannya dalam menjawab masalah antroposentrisme, alienasi, dan dehumanisasi. Berdasarkan kritik tersebut, muncul bentuk baru humanisme integral, yang memadukan dimensi rasional, spiritual, ekologis, dan digital dalam memahami eksistensi manusia.

Melalui analisis sintesis filosofis, artikel ini menegaskan bahwa humanisme bukanlah ideologi tertutup, melainkan proyek etis peradaban yang senantiasa terbuka untuk dikoreksi dan diperbarui. Dalam dunia modern yang diwarnai krisis nilai, ketimpangan sosial, serta tantangan teknologi dan ekologi, humanisme hadir kembali sebagai paradigma reflektif untuk mengembalikan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara kemajuan dan kemanusiaan. Dengan demikian, humanisme kontemporer tidak lagi sekadar berbicara tentang “manusia sebagai pusat”, melainkan tentang kemanusiaan sebagai jejaring kehidupan yang saling bergantung dan bermakna.

Kata Kunci: Humanisme, martabat manusia, ontologi, rasionalitas, etika, tanggung jawab, posthumanisme, humanisme integral, solidaritas, spiritualitas ekologis.


PEMBAHASAN

Humanisme bagi Martabat dan Keberlanjutan Kehidupan Manusia


1.           Pendahuluan

Humanisme merupakan salah satu arus pemikiran paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai, ukuran rasionalitas, dan sumber moralitas. Sejak awal kemunculannya, gagasan ini berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang makna menjadi manusia (what it means to be human)—yakni mengenai martabat, kebebasan, dan tanggung jawab manusia dalam dunia yang terus berubah. Dalam konteks ini, humanisme tidak hanya dipahami sebagai pandangan moral atau kultural, melainkan sebagai suatu kerangka ontologis dan epistemologis yang menjadikan manusia titik tolak bagi pengetahuan, tindakan, dan kebudayaan.¹

Akar historis humanisme dapat ditelusuri hingga tradisi filsafat Yunani kuno, terutama melalui konsep paideia yang menekankan pembentukan keutamaan manusia secara rasional dan etis.² Selanjutnya, dalam masa Renaisans, humanisme berkembang sebagai gerakan intelektual yang menegaskan otonomi akal dan potensi kreatif manusia, seperti tergambar dalam karya Giovanni Pico della Mirandola Oration on the Dignity of Man (1486), yang menegaskan bahwa martabat manusia terletak pada kemampuannya membentuk dirinya sendiri.³ Sejak saat itu, humanisme menjadi fondasi bagi lahirnya berbagai sistem nilai modern seperti liberalisme, rasionalisme, dan ide-ide hak asasi manusia.⁴

Namun demikian, perkembangan modernitas juga melahirkan ambiguitas dalam proyek humanisme itu sendiri. Rasionalitas yang pada awalnya dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan dominasi alam, justru bertransformasi menjadi instrumen dominasi baru terhadap manusia dan lingkungan.⁵ Kritik terhadap humanisme muncul dari berbagai arah: dari Nietzsche yang menolak moralitas universal manusia, dari Heidegger yang menilai humanisme sebagai bentuk metafisika subyektivitas, hingga dari kalangan posthumanis yang menganggap konsep “manusia pusat segalanya” sudah usang di era teknologi dan ekologi.⁶

Di sisi lain, krisis global—baik ekologis, sosial, maupun eksistensial—menunjukkan kebutuhan mendesak untuk menafsirkan kembali hakikat dan peran manusia dalam dunia yang semakin kompleks. Di tengah perkembangan teknologi kecerdasan buatan, bioteknologi, dan globalisasi budaya, muncul pertanyaan baru: apakah humanisme masih relevan? Apakah manusia masih dapat menjadi subjek etika dan rasionalitas di tengah realitas yang semakin terfragmentasi dan algoritmik?⁷

Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki genealogi, ontologi, epistemologi, dan aksiologi humanisme secara sistematis, serta mengkaji kembali relevansinya dalam konteks kontemporer. Kajian ini juga berupaya menyusun sintesis filosofis yang memungkinkan pembaruan konsep humanisme agar tetap selaras dengan tantangan dunia modern—sebuah “humanisme integral” yang menggabungkan rasionalitas, spiritualitas, dan tanggung jawab ekologis. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bersifat historis-deskriptif, tetapi juga reflektif dan normatif, karena berupaya menemukan fondasi baru bagi martabat manusia dalam horizon filsafat yang lebih luas dan terbuka untuk koreksi serta pengembangan.⁸


Footnotes

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–5.

[2]                Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, vol. 1 (New York: Oxford University Press, 1945), 12–14.

[3]                Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Henry Regnery Company, 1956), 5–8.

[4]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 106–109.

[5]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–7.

[6]                Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks, ed. William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 239–242.

[7]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 1–4.

[8]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 18–20.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Humanisme

2.1.       Humanisme Klasik (Yunani–Romawi)

Asal-usul humanisme dapat ditemukan dalam kebudayaan Yunani kuno, khususnya melalui konsep paideia, yaitu pendidikan total manusia untuk mencapai kebajikan (areté) dan kesempurnaan rasional.¹ Filsafat Yunani, terutama ajaran Socrates, Plato, dan Aristoteles, menempatkan manusia sebagai makhluk yang rasional (zoon logikon) dan sosial (zoon politikon).² Dalam pandangan ini, manusia mencapai kemanusiaannya melalui refleksi etis dan partisipasi dalam kehidupan polis.³

Sementara itu, filsafat Stoa (Stoikisme) memberikan fondasi universal bagi humanisme dengan menegaskan bahwa seluruh manusia adalah bagian dari satu kosmos rasional yang diatur oleh logos.⁴ Dengan demikian, humanisme klasik telah mengandung unsur kosmopolitanisme awal yang mengakui persaudaraan universal umat manusia tanpa membedakan asal-usul sosial maupun geografis.⁵ Dalam konteks Romawi, gagasan ini diteruskan oleh Cicero dan Seneca, yang menekankan martabat manusia sebagai makhluk moral yang dikaruniai akal dan kebebasan.⁶

2.2.       Humanisme Kristen dan Skolastik

Pada masa patristik dan skolastik, humanisme memperoleh bentuk baru yang mengintegrasikan warisan filsafat Yunani dengan teologi Kristen. Santo Agustinus (354–430) menafsirkan martabat manusia sebagai citra Allah (imago Dei), yang berarti bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengenal, mengasihi, dan meniru Sang Pencipta.⁷ Dalam hal ini, pusat humanisme bukan lagi manusia sebagai entitas otonom, melainkan manusia sebagai makhluk relasional yang menemukan dirinya dalam relasi dengan Tuhan.

Thomas Aquinas (1225–1274) kemudian memberikan sintesis filosofis antara humanisme klasik dan teologi Kristen dengan menggunakan kerangka Aristotelian.⁸ Bagi Aquinas, rasionalitas manusia merupakan bagian dari hukum kodrati (lex naturalis) yang memantulkan hukum ilahi (lex divina).⁹ Oleh karena itu, martabat manusia bersumber pada kemampuan akalnya untuk mengenali kebaikan moral dan memilihnya secara bebas.¹⁰ Humanisme skolastik ini membentuk dasar bagi pemahaman moral dan hukum Barat hingga era modern.

2.3.       Humanisme Renaisans

Abad ke-14 hingga ke-16 menandai kelahiran kembali (renaissance) semangat humanistik dalam kebudayaan Eropa. Humanisme Renaisans berfokus pada penghargaan terhadap potensi manusia, kebebasan kreatif, dan penemuan kembali warisan klasik.¹¹ Giovanni Pico della Mirandola dalam Oration on the Dignity of Man (1486) secara eksplisit menegaskan bahwa martabat manusia terletak pada kebebasannya untuk menentukan dirinya sendiri dan menjadi apa pun yang ia pilih.¹² Pandangan ini mengubah paradigma teosentris abad pertengahan menuju antroposentrisme modern.

Para humanis seperti Erasmus dari Rotterdam menekankan pentingnya pendidikan moral dan rasional sebagai sarana untuk memuliakan kemanusiaan, bukan sekadar untuk kekuasaan atau dogma.¹³ Humanisme Renaisans melahirkan optimisme terhadap kapasitas manusia dan menyiapkan jalan bagi munculnya sains modern, rasionalisme, serta konsep kebebasan individu yang menjadi dasar bagi demokrasi modern.¹⁴

2.4.       Humanisme Modern dan Eksistensialis

Dalam era modern, humanisme mengalami rasionalisasi dan sekularisasi. Immanuel Kant (1724–1804) memberikan landasan moral bagi humanisme melalui prinsip bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri (Zweck an sich selbst), bukan sebagai alat.¹⁵ Dengan demikian, moralitas bersumber pada otonomi rasional manusia, bukan pada otoritas eksternal.¹⁶

Namun, setelah dua perang dunia dan krisis eksistensial abad ke-20, muncul bentuk baru humanisme yang menolak optimisme rasional modern: humanisme eksistensialis. Jean-Paul Sartre dalam L’existentialisme est un humanisme menegaskan bahwa eksistensi mendahului esensi, dan bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas penciptaan makna hidupnya.¹⁷ Humanisme Sartrean ini bukan tentang kodrat manusia universal, melainkan tentang kebebasan dan tanggung jawab radikal yang melekat dalam keberadaan manusia.¹⁸

2.5.       Humanisme Kontemporer dan Posthumanisme

Humanisme abad ke-21 menghadapi tantangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya—kemajuan teknologi, bioteknologi, dan kecerdasan buatan yang mengguncang batas antara manusia dan mesin.¹⁹ Pemikir seperti Rosi Braidotti dan Donna Haraway mengusulkan posthumanisme, yaitu pandangan yang menolak dominasi manusia sebagai pusat dunia dan menekankan relasionalitas antara manusia, hewan, teknologi, dan alam.²⁰

Meski demikian, posthumanisme tidak selalu berarti “anti-humanisme.” Ia lebih merupakan ajakan untuk membangun bentuk baru humanisme yang inklusif, ekologis, dan transhuman—yang menempatkan manusia bukan di atas, melainkan di dalam jaringan kehidupan.²¹ Dengan demikian, genealogi humanisme menunjukkan dinamika panjang antara ideal martabat manusia dan kritik terhadap antroposentrisme yang menyertainya.²² Evolusi historis ini membuka kemungkinan bagi rekonstruksi humanisme yang lebih integral, yang mampu menjawab tantangan eksistensial dan ekologis zaman kontemporer.²³


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, vol. 1 (New York: Oxford University Press, 1945), 13–16.

[2]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a–1255b.

[3]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 518b–520c.

[4]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, vol. 7 (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 121–125.

[5]                Martha C. Nussbaum, The Cosmopolitan Tradition: A Noble but Flawed Ideal (Cambridge: Harvard University Press, 2019), 4–5.

[6]                Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller (Cambridge: Harvard University Press, 1913), I.4–6.

[7]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), X.6.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I–II, q.94.

[9]                Ibid., I–II, q.91, a.2.

[10]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 152–154.

[11]             Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 21–23.

[12]             Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Henry Regnery Company, 1956), 5–7.

[13]             Desiderius Erasmus, The Education of a Christian Prince, trans. Lisa Jardine (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–15.

[14]             Jacob Burckhardt, The Civilization of the Renaissance in Italy, trans. S.G.C. Middlemore (London: Phaidon Press, 1995), 92–94.

[15]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–37.

[16]             Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 92–94.

[17]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20–22.

[18]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 34–36.

[19]             Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 7–9.

[20]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 1–4; Donna J. Haraway, A Cyborg Manifesto (New York: Routledge, 1991), 149–151.

[21]             Braidotti, The Posthuman, 189–192.

[22]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 112–115.

[23]             Jürgen Habermas, The Future of Human Nature (Cambridge: Polity Press, 2003), 45–48.


3.           Ontologi Humanisme: Hakikat Manusia dan Eksistensinya

3.1.       Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Bermartabat

Ontologi humanisme berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia memiliki kedudukan istimewa dalam tatanan realitas karena kemampuannya berpikir, bernalar, dan merefleksikan dirinya sendiri. Dalam tradisi Aristotelian, manusia disebut zoon logikon—makhluk yang berakal budi, di mana rasionalitas menjadi inti eksistensinya.¹ Aristoteles menegaskan bahwa manusia mencapai kebahagiaan (eudaimonia) melalui realisasi potensi akalnya yang tertinggi, yakni kontemplasi terhadap kebaikan.² Dalam konteks ini, rasionalitas bukan hanya kemampuan logis, melainkan modus eksistensi manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya dan dunia.

Humanisme kemudian mengembangkan gagasan ini menjadi landasan moral dan ontologis: manusia bukan sekadar bagian dari dunia, tetapi juga agen yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan memberi makna pada keberadaannya.³ Dari sinilah muncul pandangan bahwa manusia memiliki martabat inheren yang tidak bergantung pada status sosial atau atribut eksternal.⁴ Martabat ini menjadi prinsip metafisis yang menandai nilai intrinsik setiap individu sebagai subjek moral.

3.2.       Antropologi Kristen: Manusia sebagai Imago Dei

Dalam tradisi teologi Kristen, ontologi manusia diartikulasikan melalui konsep imago Dei, yaitu bahwa manusia diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1:26).⁵ Konsep ini memperluas makna humanisme klasik dengan menempatkan manusia sebagai makhluk yang berpartisipasi dalam realitas ilahi. Santo Agustinus memahami imago Dei sebagai kemampuan manusia untuk mengenal dan mengasihi Tuhan, di mana kesadaran diri manusia mencerminkan struktur trinitaris dari pengetahuan, kehendak, dan cinta.⁶

Thomas Aquinas kemudian mengembangkan pandangan ini dengan memberikan dimensi rasional dan moral. Menurutnya, manusia berbeda dari makhluk lain karena memiliki akal (intellectus) dan kehendak bebas (liberum arbitrium) yang berakar pada hukum kodrati (lex naturalis).⁷ Dalam perspektif ini, eksistensi manusia adalah actus essendi—tindakan keberadaan yang diciptakan dan diarahkan kepada Sang Ada (Ipsum Esse Subsistens).⁸ Dengan demikian, humanisme skolastik tidak memisahkan manusia dari Tuhan, tetapi justru menegaskan bahwa martabat manusia bersumber dari partisipasinya dalam kebaikan dan keberadaan ilahi.⁹

3.3.       Humanisme Modern: Otonomi dan Subjektivitas

Humanisme modern menandai pergeseran ontologis dari teosentrisme menuju antroposentrisme. Descartes, dengan adagium terkenalnya cogito ergo sum, menegaskan bahwa kesadaran diri merupakan fondasi keberadaan yang paling pasti.¹⁰ Subjek manusia menjadi pusat dari segala pengetahuan dan realitas. Dalam tradisi Kantian, manusia dipahami sebagai makhluk otonom yang memiliki nilai intrinsik karena kemampuannya bertindak menurut hukum moral yang ia berikan kepada dirinya sendiri.¹¹

Namun, otonomi ini juga menimbulkan problem metafisis baru: manusia terisolasi dari dimensi transenden dan alam semesta.¹² Dalam pandangan Heidegger, modernitas telah “melupakan pertanyaan tentang Ada” (Seinsvergessenheit) karena menggantikan relasi eksistensial manusia dengan realitas menjadi sekadar hubungan penguasaan dan representasi.¹³ Ia mengkritik humanisme modern karena menjadikan manusia sekadar subjek yang menundukkan dunia sebagai objek, sehingga kehilangan pengalaman ontologis yang lebih dalam.¹⁴

3.4.       Eksistensialisme dan Ontologi Kebebasan

Eksistensialisme menawarkan koreksi terhadap humanisme rasional dengan menekankan eksistensi konkret manusia. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi,” artinya manusia tidak memiliki kodrat yang tetap; ia menciptakan dirinya melalui pilihan-pilihannya.¹⁵ Ontologi Sartre adalah ontologi kebebasan, di mana manusia selalu “terkutuk untuk bebas” karena tidak ada otoritas eksternal yang menentukan maknanya.¹⁶ Dalam kebebasan itu, manusia menjadi sumber nilai, tetapi juga sumber kecemasan eksistensial.

Martin Buber dan Emmanuel Levinas kemudian menolak pandangan individualistik Sartre dengan menekankan dimensi relasional eksistensi. Buber melalui konsep “Aku-Engkau” (Ich-Du) menegaskan bahwa keberadaan manusia bersifat dialogis—manusia menjadi diri sejati hanya dalam hubungan yang otentik dengan yang lain.¹⁷ Sementara Levinas menempatkan etika sebagai filsafat pertama, di mana keberadaan manusia ditentukan oleh tanggung jawab tanpa batas terhadap yang Lain (l’Autre).¹⁸ Dengan demikian, ontologi humanisme kontemporer tidak lagi berpusat pada subjek otonom, tetapi pada relasionalitas yang etis dan transenden.

3.5.       Humanisme Ekologis dan Posthumanisme

Perkembangan filsafat kontemporer menunjukkan bahwa hakikat manusia tidak dapat dilepaskan dari jaringan kehidupan yang lebih luas. Humanisme ekologis berupaya menolak dualisme manusia–alam dan mengusulkan pandangan bahwa manusia adalah bagian dari komunitas ekologis yang saling terkait.¹⁹ Dalam pandangan ini, keberadaan manusia memiliki nilai bukan karena keunggulannya, tetapi karena perannya dalam menjaga keseimbangan kehidupan.

Posthumanisme melanjutkan gagasan ini dengan menantang fondasi antroposentris humanisme klasik. Rosi Braidotti, misalnya, menegaskan bahwa manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai pusat moral atau ontologis, melainkan sebagai simpul dalam jaringan materialitas yang dinamis.²⁰ Ontologi posthumanis menolak esensialisme dan menekankan fluiditas identitas serta keterkaitan antara manusia, teknologi, dan biosfer.²¹

Dengan demikian, refleksi ontologis dalam humanisme menempuh perjalanan panjang dari pencarian esensi manusia hingga kesadaran akan keterhubungannya dengan segala bentuk kehidupan. Dalam horizon baru ini, hakikat manusia tidak lagi dipahami secara tertutup, melainkan terbuka—sebagai makhluk yang terus “menjadi” melalui relasi, tanggung jawab, dan kreativitas dalam dunia yang hidup.²²


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b–1103a.

[2]                Ibid., 1177a–1178b.

[3]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 13–15.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.

[5]                Alkitab, Kejadian 1:26.

[6]                Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn: New City Press, 1991), IX.4–6.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I–II, q.94, a.2.

[8]                Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 113–115.

[9]                Ibid., 117.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.

[11]             Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 36–39.

[12]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 20–22.

[13]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 26–30.

[14]             Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks, ed. William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 245–248.

[15]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[16]             Ibid., 34.

[17]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 17–19.

[18]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.

[19]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 204–206.

[20]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 89–93.

[21]             Donna J. Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 10–12.

[22]             Jürgen Habermas, The Future of Human Nature (Cambridge: Polity Press, 2003), 47–49.


4.           Epistemologi Humanisme: Rasionalitas, Pengalaman, dan Makna

4.1.       Rasionalitas sebagai Dasar Pengetahuan dan Kebebasan

Epistemologi humanisme berpangkal pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan untuk memahami dunia dan dirinya melalui akal budi (ratio). Dalam tradisi Yunani, pengetahuan dipahami sebagai jalan menuju kebenaran dan kebajikan; Plato menyebutnya sebagai epistēmē, pengetahuan yang bersumber dari ide yang abadi dan rasional.¹ Sementara Aristoteles menegaskan bahwa pengetahuan sejati berasal dari kemampuan manusia untuk mengenali sebab-sebab (aitia) yang mendasari segala sesuatu.²

Rasionalitas, dalam kerangka humanisme, bukan semata kemampuan logis, tetapi juga fondasi bagi kebebasan. Immanuel Kant menempatkan rasio praktis sebagai sumber otonomi moral manusia: manusia bebas karena ia dapat bertindak berdasarkan hukum yang ia berikan pada dirinya sendiri melalui akal.³ Dengan demikian, pengetahuan dan kebebasan bersifat saling melengkapi—pengetahuan memungkinkan kebebasan yang bertanggung jawab, dan kebebasan memungkinkan manusia untuk mengarahkan pengetahuannya pada kebaikan.⁴

Namun, tradisi modern yang terlalu menekankan rasionalitas instrumental, sebagaimana dikritik oleh Horkheimer dan Adorno, mengubah rasio menjadi alat dominasi, bukan emansipasi.⁵ Humanisme epistemologis berupaya merehabilitasi rasionalitas agar kembali bersifat komunikatif dan reflektif, bukan teknokratis dan manipulatif.⁶

4.2.       Pengalaman, Kesadaran, dan Subjektivitas

Selain rasio, pengalaman (experientia) memainkan peranan sentral dalam epistemologi humanisme. Pengalaman manusia bukan hanya data empiris, melainkan proses reflektif yang memungkinkan pemaknaan diri. Dalam tradisi fenomenologi Husserl, kesadaran manusia dipahami sebagai kesadaran yang selalu “tentang sesuatu” (intentionality), yang berarti bahwa pengetahuan adalah hasil relasi aktif antara subjek dan dunia.⁷

Korelasi antara kesadaran dan dunia ini menegaskan dimensi humanistik epistemologi: manusia bukan penonton pasif, melainkan partisipan dalam pembentukan makna realitas.⁸ Dilthey dan Gadamer kemudian mengembangkan hal ini dalam hermeneutika humanistik, di mana memahami berarti menafsirkan, dan setiap pengetahuan selalu berakar pada konteks historis dan kultural tertentu.⁹ Maka, pengetahuan manusia selalu bersifat dialogis dan terbuka terhadap revisi melalui pengalaman baru.¹⁰

Dalam tradisi eksistensialis, pengalaman manusia menjadi medan bagi pencarian makna. Sartre menegaskan bahwa manusia menciptakan kebenaran melalui tindakannya sendiri, sementara Camus melihat pengalaman absurditas sebagai sumber kesadaran etis yang mendalam.¹¹ Dalam konteks ini, epistemologi humanisme menolak pandangan objektivistik yang meniadakan peran subjek, dan menegaskan bahwa pengetahuan sejati berakar pada keterlibatan eksistensial manusia dalam dunia yang ia huni.¹²

4.3.       Bahasa, Budaya, dan Penafsiran Makna

Humanisme menempatkan bahasa sebagai medium utama pengetahuan dan pembentukan makna. Menurut Hans-Georg Gadamer, bahasa adalah “horizon tempat pengertian terjadi”; melalui bahasa, manusia tidak hanya mengkomunikasikan informasi, tetapi juga menafsirkan dunia.¹³ Dalam kerangka ini, epistemologi humanisme bersifat hermeneutik: pengetahuan bukan cermin pasif realitas, melainkan proses dialogis antara penafsir dan dunia yang ditafsirkan.¹⁴

Bahasa dan budaya membentuk struktur pemahaman manusia. Clifford Geertz menegaskan bahwa kebudayaan adalah jaringan makna yang ditenun manusia sendiri, dan tugas filsafat maupun ilmu humaniora adalah menafsirkan jaringan itu.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi humanisme berakar pada pluralitas interpretasi: setiap pengetahuan selalu bersifat kontekstual dan historis.¹⁶

Hal ini tidak berarti relativisme total. Gadamer mengingatkan bahwa pemahaman selalu melibatkan fusion of horizons—perjumpaan antara horizon masa lalu dan masa kini yang melahirkan makna baru.¹⁷ Maka, epistemologi humanisme mengakui relativitas tanpa meniadakan rasionalitas; ia menempatkan dialog sebagai dasar kebenaran intersubjektif.¹⁸

4.4.       Kritik terhadap Positivisme dan Rasionalitas Tertutup

Epistemologi humanisme menolak reduksi ilmu pengetahuan menjadi sekadar pengumpulan fakta empiris. Positivisme, yang menganggap bahwa hanya hal yang dapat diukur yang bermakna, telah mengabaikan dimensi nilai dan makna dalam pengetahuan manusia.¹⁹ Sebagai tanggapan, filsuf seperti Wilhelm Dilthey dan Jürgen Habermas membedakan antara Verstehen (pemahaman) dan Erklären (penjelasan).²⁰ Pengetahuan humanistik lebih menekankan Verstehen—upaya memahami makna subjektif dan sosial dari tindakan manusia, bukan hanya menjelaskan sebab-sebabnya secara mekanistik.²¹

Habermas kemudian mengembangkan konsep “rasionalitas komunikatif” yang menegaskan bahwa pengetahuan sejati lahir dalam komunikasi bebas dari dominasi, di mana kebenaran diuji melalui argumentasi dan kesalingpahaman.²² Dengan demikian, epistemologi humanisme bersifat intersubjektif dan etis, bukan teknokratis dan hegemonik.²³

4.5.       Menuju Epistemologi Humanisme Integratif

Epistemologi humanisme pada akhirnya berupaya mengintegrasikan dimensi rasional, empiris, eksistensial, dan dialogis dari pengetahuan manusia. Pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai cerminan dunia objektif yang netral, tetapi sebagai aktivitas reflektif yang mengandung tanggung jawab moral dan sosial.²⁴

Dalam konteks kontemporer, hal ini berarti membangun bentuk pengetahuan yang menghargai kompleksitas manusia—baik sebagai makhluk biologis, sosial, maupun spiritual.²⁵ Epistemologi humanisme menolak absolutisme dan relativisme ekstrem sekaligus, dengan menempatkan kebenaran sebagai proses terbuka yang selalu dapat dikoreksi melalui dialog dan pengalaman.²⁶ Dengan demikian, humanisme epistemologis tidak sekadar mengajarkan “apa yang diketahui,” tetapi “bagaimana manusia menjadi lebih manusiawi melalui pengetahuannya.”²⁷


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 505a–509c.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), I.1–2.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–29.

[4]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 115–117.

[5]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–8.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.

[7]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 56–59.

[8]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), xvi–xvii.

[9]                Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, trans. Ramon J. Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 78–80.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 269–271.

[11]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 38–40; Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 11–12.

[12]             Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 45–47.

[13]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 383–385.

[14]             Ibid., 390.

[15]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[16]             Ibid., 27.

[17]             Gadamer, Truth and Method, 302–304.

[18]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests (Boston: Beacon Press, 1971), 309–310.

[19]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, vol. 1 (Paris: Bachelier, 1830), 10–12.

[20]             Dilthey, Introduction to the Human Sciences, 94–96.

[21]             Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge: MIT Press, 1988), 127–129.

[22]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, 286–289.

[23]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 114–116.

[24]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 45–47.

[25]             Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge: Harvard University Press, 1997), 8–10.

[26]             Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 18–20.

[27]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–73.


5.           Aksiologi Humanisme: Nilai, Etika, dan Moralitas

5.1.       Prinsip Dasar Etika Humanistik: Martabat dan Otonomi Manusia

Aksiologi humanisme berakar pada keyakinan bahwa nilai moral tertinggi terdapat dalam martabat dan kebebasan manusia sebagai makhluk rasional dan bertanggung jawab.¹ Dalam pandangan ini, nilai bukan diturunkan dari otoritas eksternal—baik agama, negara, maupun sistem metafisik tertutup—melainkan berakar pada kapasitas manusia untuk menilai dan menentukan tindakannya sendiri secara rasional dan etis.² Immanuel Kant menegaskan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri (Zweck an sich selbst) dan tidak boleh diperlakukan semata sebagai alat bagi tujuan lain.³ Dengan demikian, otonomi manusia menjadi dasar ontologis dan moral bagi seluruh sistem nilai humanistik.

Nilai-nilai humanisme—seperti kebebasan, keadilan, dan solidaritas—bertujuan membangun kondisi di mana setiap individu dapat mengaktualisasikan potensinya secara penuh.⁴ Aksiologi ini menolak segala bentuk reduksi manusia, baik oleh kekuasaan politik, teknologi, maupun ekonomi. Karenanya, etika humanistik berupaya mempertahankan keseimbangan antara kebebasan individual dan tanggung jawab sosial, antara hak dan kewajiban, antara otonomi dan empati.⁵

5.2.       Humanisme dan Teori Nilai: Dari Scheler hingga Nussbaum

Dalam tradisi aksiologi modern, Max Scheler menjadi tokoh penting yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang mampu menghayati nilai melalui cinta dan intuisi moral.⁶ Ia menolak relativisme dan menegaskan bahwa nilai-nilai moral bersifat objektif, meskipun penghayatannya bersifat personal.⁷ Manusia, dalam kerangka Schelerian, bukan pencipta nilai, melainkan pengenal nilai (Wertnehmung), yang melalui cinta dapat menyingkap hierarki nilai: nilai-nilai kenikmatan, kehidupan, spiritual, dan kesucian.⁸

Sementara itu, Martha Nussbaum mengembangkan teori nilai humanistik dalam konteks etika kapabilitas (capabilities approach).⁹ Bagi Nussbaum, keadilan moral tidak dapat dilepaskan dari kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Ia merumuskan sepuluh kapabilitas dasar—seperti kehidupan, kesehatan, integritas tubuh, dan afiliasi sosial—sebagai nilai universal yang harus dijamin dalam setiap masyarakat yang manusiawi.¹⁰ Pendekatan ini menghubungkan dimensi moral dengan dimensi sosial-politik, sehingga menjadikan humanisme bukan hanya refleksi filosofis, tetapi juga proyek etis dan praktis untuk menciptakan struktur keadilan yang berorientasi pada kesejahteraan manusia.¹¹

5.3.       Etika Tanggung Jawab dan Humanisme Dialogis

Humanisme kontemporer menekankan dimensi tanggung jawab sebagai inti moralitas. Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menegaskan bahwa teknologi modern telah memperluas jangkauan tindakan manusia hingga ke masa depan dan ekosistem global, sehingga etika tradisional yang berpusat pada individu tidak lagi memadai.¹² Etika tanggung jawab mengandaikan kewajiban moral untuk menjaga keberlangsungan kehidupan dan martabat generasi mendatang.¹³

Sejalan dengan itu, Emmanuel Levinas menempatkan tanggung jawab terhadap “yang Lain” (l’Autre) sebagai prinsip pertama etika.¹⁴ Bagi Levinas, hubungan etis tidak bermula dari kesetaraan atau kontrak sosial, melainkan dari seruan wajah orang lain yang menuntut tanggapan moral.¹⁵ Dengan demikian, etika humanistik bukan sekadar rasionalitas normatif, melainkan pengalaman eksistensial akan kehadiran yang Lain. Martin Buber melengkapi perspektif ini melalui gagasan Ich-Du, bahwa relasi “Aku–Engkau” bersifat dialogis dan melahirkan makna kemanusiaan yang otentik.¹⁶

Etika dialogis ini menempatkan komunikasi, pengakuan, dan empati sebagai pusat nilai moral. Dalam pandangan Jürgen Habermas, moralitas sejati muncul dalam tindakan komunikatif, ketika individu berinteraksi berdasarkan prinsip kesalingpahaman tanpa paksaan.¹⁷ Dengan demikian, tanggung jawab etis menjadi struktur dasar kehidupan sosial yang humanistik, di mana manusia saling menghormati sebagai subjek yang otonom sekaligus saling terkait.¹⁸

5.4.       Humanisme, Keadilan Sosial, dan Hak Asasi Manusia

Salah satu ekspresi paling nyata dari aksiologi humanisme adalah gagasan hak asasi manusia (HAM).¹⁹ Prinsip bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat karena martabatnya berasal dari fondasi humanistik yang panjang, sejak Renaisans hingga Pencerahan.²⁰ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) mencerminkan penerapan prinsip humanistik dalam ranah hukum dan politik global: pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak.²¹

Humanisme moral tidak berhenti pada hak individual, tetapi juga menuntut keadilan sosial sebagai kondisi yang memungkinkan hak-hak itu diwujudkan.²² Dalam konteks ini, etika humanistik beririsan dengan teori keadilan John Rawls, yang menegaskan bahwa prinsip moral harus menjamin kebebasan yang setara bagi semua orang serta memberikan perhatian khusus pada kelompok yang paling lemah.²³ Dengan demikian, humanisme etis menciptakan jembatan antara moralitas pribadi dan struktur sosial-politik, menegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus diwujudkan dalam lembaga-lembaga publik yang adil dan inklusif.²⁴

5.5.       Humanisme, Cinta Kasih, dan Spiritualitas Moral

Akhirnya, dimensi terdalam dari aksiologi humanisme terletak pada cinta kasih (agape atau caritas), yang menjadi inti dari semua nilai moral.²⁵ Dalam hal ini, Erich Fromm menafsirkan cinta bukan sebagai emosi, melainkan sebagai tindakan etis yang berakar pada penghormatan terhadap kehidupan dan kebebasan orang lain.²⁶ Cinta, bagi Fromm, adalah bentuk tertinggi dari rasionalitas moral, karena ia mengatasi egoisme dan membuka ruang bagi solidaritas universal.²⁷

Humanisme spiritual seperti yang dikembangkan oleh Albert Schweitzer—dengan semboyan Reverence for Life—menegaskan bahwa tindakan etis sejati adalah penghormatan terhadap semua bentuk kehidupan.²⁸ Dalam horizon ini, nilai-nilai humanistik tidak hanya bersifat antropologis, tetapi juga kosmologis dan ekologis. Dengan demikian, etika humanistik mencapai bentuk paling integralnya ketika manusia memandang diri sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas, dan bertanggung jawab atas keberlanjutannya.²⁹


Footnotes

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 13–15.

[2]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 140–143.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.

[4]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33–35.

[5]                Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 110–112.

[6]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 3–5.

[7]                Ibid., 89–90.

[8]                Ibid., 97–100.

[9]                Nussbaum, Creating Capabilities, 18–20.

[10]             Ibid., 33–34.

[11]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–38.

[12]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.

[13]             Ibid., 12–14.

[14]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.

[15]             Ibid., 44–46.

[16]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 20–22.

[17]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.

[18]             Ibid., 289–291.

[19]             Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W.W. Norton, 2007), 15–17.

[20]             Charles Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 3–5.

[21]             United Nations, Universal Declaration of Human Rights (Paris: UN General Assembly, 1948), Article 1.

[22]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 16–18.

[23]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 52–54.

[24]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 25–27.

[25]             Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought: An Autobiography, trans. C.T. Campion (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1949), 157–159.

[26]             Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), 19–21.

[27]             Ibid., 99–100.

[28]             Schweitzer, Reverence for Life, trans. Reginald H. Fuller (New York: Philosophical Library, 1949), 40–42.

[29]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 15–17.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural Humanisme

6.1.       Humanisme dan Dasar Sosial Kemanusiaan

Humanisme tidak hanya merupakan pandangan filosofis mengenai martabat individu, tetapi juga suatu proyek sosial yang berakar pada keyakinan akan kesetaraan, solidaritas, dan kebersamaan manusia dalam kehidupan bersama (communitas humana).¹ Sejak masa klasik, filsafat Yunani telah menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon—makhluk yang hanya dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan sosial dan politik.² Dengan demikian, dimensi sosial humanisme menegaskan bahwa kemanusiaan bukan sifat individual yang terisolasi, melainkan relasional dan dialogis.³

Dalam konteks modern, pemikiran humanistik menolak pandangan atomistik masyarakat yang melihat manusia semata sebagai individu rasional yang bersaing. Sebaliknya, humanisme menekankan prinsip reciprocity (timbal balik) dan recognition (pengakuan) sebagai dasar moral komunitas.⁴ Axel Honneth, misalnya, menegaskan bahwa keutuhan identitas manusia hanya dapat terbentuk melalui pengakuan timbal balik antara individu dan masyarakat.⁵ Maka, tindakan sosial yang menegasikan martabat orang lain secara langsung melemahkan kemanusiaan itu sendiri.

6.2.       Humanisme dan Politik: Kebebasan, Keadilan, dan Demokrasi

Secara politik, humanisme melahirkan paradigma baru dalam teori keadilan dan pemerintahan modern. Warisan humanisme Renaisans dan Pencerahan menginspirasi munculnya gagasan hak asasi manusia, kedaulatan rakyat, dan demokrasi liberal.⁶ Jean-Jacques Rousseau, dalam Du contrat social, menyatakan bahwa kebebasan sejati hanya mungkin tercapai dalam tatanan politik yang menjamin kesetaraan moral setiap warga negara.⁷

Namun, dalam perkembangannya, humanisme politik tidak berhenti pada demokrasi prosedural. Humanisme sosial menuntut agar demokrasi juga menjadi sarana untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan partisipasi aktif, keadilan distributif, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.⁸ John Dewey, tokoh pragmatis Amerika, menafsirkan demokrasi sebagai “cara hidup” yang menuntut keterlibatan etis dan pendidikan moral warga negara.⁹

Dalam pandangan kontemporer, Amartya Sen dan Martha Nussbaum menghubungkan humanisme politik dengan teori kapabilitas, di mana kebebasan manusia diukur bukan hanya dari hak formal, tetapi juga dari kemampuan nyata untuk menjalani kehidupan bermartabat.¹⁰ Oleh karena itu, humanisme politik tidak hanya berbicara tentang struktur kekuasaan, tetapi juga tentang empowerment manusia sebagai agen etis dan sosial.¹¹

6.3.       Humanisme dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Humanisme menjadi fondasi filosofis utama bagi konsepsi hak asasi manusia modern. Prinsip bahwa setiap individu memiliki nilai yang melekat (inherent dignity) karena kemanusiaannya tercermin dalam Universal Declaration of Human Rights (1948), yang menegaskan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak.¹² Lynn Hunt menyebut bahwa ide hak asasi manusia hanya mungkin muncul setelah masyarakat Barat menginternalisasi “empati moral” sebagai nilai humanistik—yakni kemampuan membayangkan penderitaan orang lain sebagai penderitaan diri sendiri.¹³

Humanisme, dengan demikian, tidak hanya berfungsi sebagai ide abstrak, tetapi sebagai imperatif moral global. Dalam konteks dunia yang diwarnai oleh kekerasan, ketimpangan, dan dehumanisasi, humanisme menegaskan kembali bahwa legitimasi politik hanya sah jika menghormati dan melindungi martabat manusia.¹⁴ Sebagaimana ditegaskan oleh Habermas, prinsip normatif masyarakat modern terletak pada rasionalitas komunikatif—bahwa hukum dan kebijakan publik harus lahir dari wacana yang inklusif dan bebas dari dominasi.¹⁵

6.4.       Humanisme, Pendidikan, dan Kebudayaan

Dimensi kultural humanisme paling nyata terlihat dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa Renaisans, pendidikan humanistik (studia humanitatis) bertujuan menumbuhkan keutamaan moral, kritisisme rasional, dan kepekaan estetik yang memperkaya jiwa manusia.¹⁶ Erasmus dari Rotterdam menganggap pendidikan sebagai sarana untuk “membentuk manusia sejati” (homo humanus) yang mampu berpikir bebas dan bertindak berdasarkan kebajikan.¹⁷

Dalam dunia modern, pendidikan humanistik menjadi inti dari proyek peradaban. Paulo Freire, melalui Pedagogy of the Oppressed, menekankan bahwa pendidikan sejati adalah dialog yang membebaskan manusia dari struktur penindasan.¹⁸ Pendidikan yang humanistik membangun kesadaran kritis (conscientização)—yakni kemampuan untuk memahami realitas sosial secara reflektif dan bertindak untuk mengubahnya.¹⁹

Dalam ranah kebudayaan, humanisme menekankan bahwa seni, sastra, dan praktik budaya merupakan ekspresi terdalam dari kemanusiaan. Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai “jaringan makna yang ditenun manusia sendiri.”²⁰ Oleh karena itu, pelestarian kebudayaan bukan sekadar soal tradisi, tetapi bagian integral dari upaya mempertahankan martabat dan identitas manusia.²¹

6.5.       Humanisme Global dan Solidaritas Antarbangsa

Di era globalisasi, humanisme menghadapi tantangan baru berupa konflik identitas, krisis migrasi, dan ketimpangan global.²² Meskipun globalisasi menjanjikan keterhubungan universal, realitas menunjukkan bahwa kemajuan teknologi dan ekonomi sering kali memperdalam jurang sosial.²³ Dalam konteks ini, muncul gagasan humanisme kosmopolitan, sebagaimana dikembangkan oleh Martha Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah, yang menegaskan bahwa moralitas harus melampaui batas-batas nasional dan etnis.²⁴

Humanisme kosmopolitan menolak chauvinisme dan eksklusivisme budaya, serta menegaskan pentingnya tanggung jawab moral global—baik terhadap sesama manusia maupun terhadap planet ini.²⁵ Dalam hal ini, humanisme baru harus bersifat interkultural dan ekologis, menghormati pluralitas sambil mencari dasar etis universal bagi kehidupan bersama.²⁶ Sebagaimana ditegaskan oleh Edgar Morin, masa depan peradaban bergantung pada kemampuan kita membangun “kesadaran bumi” (planetary consciousness) yang memandang kemanusiaan sebagai satu komunitas yang saling bergantung.²⁷


Footnotes

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 32–34.

[2]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a–1255b.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 204–206.

[4]                Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 107–109.

[5]                Ibid., 111–113.

[6]                Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W.W. Norton, 2007), 24–26.

[7]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–51.

[8]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–38.

[9]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 101–103.

[10]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 32–35.

[11]             Ibid., 52–54.

[12]             United Nations, Universal Declaration of Human Rights (Paris: UN General Assembly, 1948), Preamble.

[13]             Hunt, Inventing Human Rights, 38–41.

[14]             Charles Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 4–6.

[15]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 110–113.

[16]             Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 21–23.

[17]             Desiderius Erasmus, The Education of a Christian Prince, trans. Lisa Jardine (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 13–15.

[18]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 45–47.

[19]             Ibid., 54–55.

[20]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[21]             Ibid., 12–14.

[22]             Ulrich Beck, What Is Globalization? (Cambridge: Polity Press, 2000), 45–47.

[23]             Zygmunt Bauman, Globalization: The Human Consequences (New York: Columbia University Press, 1998), 2–4.

[24]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), xvii–xx.

[25]             Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 33–35.

[26]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 72–74.

[27]             Edgar Morin, Homeland Earth: A Manifesto for the New Millennium, trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton Press, 1999), 14–17.


7.           Kritik terhadap Humanisme

7.1.       Kritik Marxis: Humanisme sebagai Ideologi Borjuis

Kritik terhadap humanisme pertama kali memperoleh bentuk sistematis dalam tradisi Marxis. Karl Marx, dalam Theses on Feuerbach (1845), menolak humanisme idealis yang memandang manusia sebagai subjek abstrak yang terlepas dari kondisi material dan sosialnya.¹ Bagi Marx, konsep “hakikat manusia” tidak dapat dipisahkan dari relasi sosial konkret—terutama dari hubungan produksi dan kerja.² Humanisme, dalam bentuk liberalnya, dianggap berfungsi sebagai ideologi yang menutupi kontradiksi kelas dengan menonjolkan universalitas palsu tentang “manusia,” padahal dalam kenyataannya, manusia hidup dalam struktur ketimpangan ekonomi dan politik.³

Dalam pandangan ini, humanisme borjuis menjadikan “manusia” sebagai entitas homogen yang mengaburkan fakta eksploitasi.⁴ Oleh karena itu, Marx menggantikan humanisme metafisis dengan “humanisme praksis,” yakni gagasan bahwa kemanusiaan tidak diberikan, melainkan harus diwujudkan melalui perjuangan revolusioner yang membebaskan manusia dari alienasi.⁵ Humanisme sejati, bagi Marx, hanya mungkin terwujud dalam masyarakat tanpa kelas, di mana relasi antarmanusia tidak lagi dimediasi oleh kepemilikan dan dominasi.⁶

7.2.       Kritik Nietzsche: Anti-Humanisme dan Kematian Tuhan

Friedrich Nietzsche mengajukan kritik radikal terhadap humanisme dengan menuduhnya masih berakar pada moralitas Kristen yang melemahkan manusia. Dalam Also sprach Zarathustra, Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati,” dan bersamanya runtuh pula semua nilai absolut yang selama ini menopang humanisme moral dan rasional.⁷ Ia menolak pandangan bahwa manusia memiliki martabat universal; sebaliknya, manusia adalah makhluk yang harus mengatasi dirinya sendiri menuju Übermensch—manusia unggul yang mencipta nilai baru melalui kehendak kuasa (der Wille zur Macht).⁸

Nietzsche melihat humanisme sebagai bentuk “antropoteisme,” di mana manusia menggantikan posisi Tuhan tanpa mengubah struktur nilai lama.⁹ Dengan mempertahankan konsep moralitas universal, humanisme justru menghambat potensi kreatif manusia untuk menilai dan mencipta makna secara bebas.¹⁰ Kritik Nietzsche menyingkap dimensi nihilistik dari humanisme modern: jika semua nilai bersumber dari manusia, maka ketika manusia kehilangan makna, seluruh sistem nilai pun runtuh.¹¹

7.3.       Kritik Heidegger: Humanisme sebagai Metafisika Subjektivitas

Martin Heidegger menilai bahwa tradisi humanisme, sejak Renaisans hingga Eksistensialisme, masih terjebak dalam paradigma metafisika subjek yang menempatkan manusia sebagai pusat segala sesuatu.¹² Dalam Brief über den Humanismus (Letter on Humanism), Heidegger berargumen bahwa humanisme gagal memahami makna “ada” (Sein) karena terlalu berfokus pada “yang ada” (Seiendes), yakni manusia sebagai subjek yang berpikir dan menguasai.¹³

Menurut Heidegger, humanisme modern memandang manusia sebagai penguasa realitas, bukan sebagai penjaga keberadaan.¹⁴ Hal ini melahirkan cara berpikir teknologis (Gestell), di mana dunia direduksi menjadi objek manipulasi.¹⁵ Ia menyerukan “pengunduran diri dari humanisme” agar manusia dapat kembali mengalami dirinya bukan sebagai pusat, melainkan sebagai makhluk yang menerima panggilan dari Ada (Seinsruf).¹⁶ Kritik Heidegger menggeser fokus filsafat dari antroposentrisme ke ontosentrisme, membuka ruang bagi pemikiran post-humanistik yang lebih terbuka terhadap eksistensi non-manusia.¹⁷

7.4.       Kritik Post-Strukturalis: Kematian Subjek dan Desentralisasi Manusia

Para pemikir post-strukturalis seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Louis Althusser menolak asumsi humanistik tentang manusia sebagai subjek otonom dan rasional. Foucault, dalam Les mots et les choses (The Order of Things), menyatakan bahwa “manusia adalah penemuan yang baru-baru ini muncul... dan mungkin akan segera lenyap seperti wajah yang digambar di atas pasir di tepi laut.”¹⁸ Kritik ini menandai berakhirnya paradigma humanisme modern: manusia bukan pusat pengetahuan, melainkan hasil dari jaringan wacana, institusi, dan kekuasaan.¹⁹

Althusser menganggap humanisme sebagai ideologi yang mengaburkan struktur material masyarakat.²⁰ Ia mengkritik “Marxisme humanis” karena memulihkan gagasan subjek yang bebas dan rasional, padahal struktur ideologislah yang membentuk kesadaran manusia.²¹ Sementara Derrida menyoroti keterbatasan bahasa humanistik yang berpretensi menghadirkan makna utuh; bagi Derrida, makna selalu tertunda (différance), sehingga tidak ada “manusia universal” yang menjadi sumber tunggal makna.²²

Post-strukturalisme, dengan demikian, menggugat fondasi epistemologis humanisme. Ia membuka ruang bagi pluralitas, ketidaktetapan, dan keterkondisian makna manusia dalam jejaring simbolik dan diskursif.²³

7.5.       Kritik Ekofilosofis dan Posthumanis: Melampaui Antroposentrisme

Kritik paling mutakhir terhadap humanisme datang dari ekofilsafat dan posthumanisme. Rosi Braidotti menegaskan bahwa humanisme klasik telah gagal karena berakar pada antroposentrisme—yakni pandangan bahwa manusia adalah pusat nilai moral dan ontologis.²⁴ Pandangan ini, menurutnya, bertanggung jawab atas eksploitasi terhadap alam, hewan, dan bahkan manusia lain.²⁵

Posthumanisme menolak dualisme manusia–alam dan manusia–teknologi, serta berupaya membangun paradigma relasional yang menempatkan manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas.²⁶ Donna Haraway, dalam A Cyborg Manifesto, mengusulkan figur “cyborg” sebagai simbol dari identitas hibrid manusia–mesin yang melampaui batas-batas biologis dan kultural.²⁷ Sementara itu, Bruno Latour dalam We Have Never Been Modern menolak oposisi antara alam dan budaya, seraya menegaskan bahwa seluruh entitas—baik manusia maupun non-manusia—berpartisipasi dalam proses penciptaan realitas sosial.²⁸

Kritik posthumanis tidak bertujuan untuk meniadakan manusia, tetapi untuk mendekonstruksi konsep “manusia pusat segalanya” agar lahir bentuk humanisme baru yang lebih ekologis, interdependen, dan inklusif.²⁹

7.6.       Implikasi Filosofis: Dari Humanisme ke Transhumanisme dan Neo-Humanisme

Berbagai kritik di atas membuka peluang untuk menafsirkan kembali makna kemanusiaan. Di satu sisi, muncul gerakan transhumanisme yang memandang teknologi sebagai sarana untuk “meningkatkan” kemampuan manusia, baik secara biologis maupun kognitif.³⁰ Namun, arah ini menuai kontroversi karena berpotensi melahirkan bentuk baru dehumanisasi—yakni penggantian manusia dengan entitas pasca-biologis.³¹

Di sisi lain, muncul arus neo-humanisme yang berupaya mempertahankan nilai kemanusiaan sambil mengakui keterkaitannya dengan alam, teknologi, dan budaya global.³² Neo-humanisme, sebagaimana dikemukakan Edgar Morin dan Martha Nussbaum, menyerukan bentuk humanisme yang plural, dialogis, dan kosmopolitan—sebuah humanisme yang tidak lagi antroposentris, tetapi “planetaris.”³³ Dengan demikian, kritik terhadap humanisme tidak berakhir dengan penolakannya, melainkan membuka jalan bagi transformasi menuju pemahaman yang lebih integral dan reflektif tentang manusia.³⁴


Footnotes

[1]                Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), dalam The German Ideology, trans. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 121–123.

[2]                Ibid., 124.

[3]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: Dover Publications, 2007), 88–91.

[4]                Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso, 1977), 228–230.

[5]                Marx, Theses on Feuerbach, 125.

[6]                Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Frederick Ungar, 1961), 34–36.

[7]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 125–127.

[8]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Judith Norman (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 202–204.

[9]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1979), 47–49.

[10]             Nietzsche, Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 109–112.

[11]             Ibid., 163.

[12]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 25–27.

[13]             Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks, ed. William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 239–241.

[14]             Ibid., 243–244.

[15]             Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 19–21.

[16]             Heidegger, “Letter on Humanism,” 246–248.

[17]             Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 133–136.

[18]             Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage, 1994), 387.

[19]             Ibid., 321–324.

[20]             Althusser, For Marx, 233–236.

[21]             Louis Althusser, Essays in Self-Criticism, trans. Grahame Lock (London: Verso, 1976), 189–191.

[22]             Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.

[23]             Ibid., 285–287.

[24]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 1–3.

[25]             Ibid., 87–89.

[26]             Cary Wolfe, What Is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), xvi–xviii.

[27]             Donna J. Haraway, A Cyborg Manifesto, dalam Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–150.

[28]             Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 42–44.

[29]             Braidotti, The Posthuman, 190–192.

[30]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 5–7.

[31]             Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 7–9.

[32]             Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO, 1999), 14–16.

[33]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 45–47.

[34]             Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 61–63.


8.           Relevansi Humanisme dalam Konteks Kontemporer

8.1.       Krisis Kemanusiaan dan Tantangan Global Modernitas

Humanisme kontemporer berhadapan dengan paradoks besar: di satu sisi, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan globalisasi telah memperluas kapasitas manusia; namun di sisi lain, krisis kemanusiaan—seperti ketimpangan sosial, konflik etnis, degradasi lingkungan, dan dehumanisasi teknologi—menunjukkan kerapuhan fondasi moral modernitas.¹ Manusia modern menghadapi “disorientasi eksistensial” akibat fragmentasi nilai dan relativisme moral.²

Zygmunt Bauman menyebut kondisi ini sebagai “modernitas cair,” di mana struktur sosial dan nilai-nilai etis kehilangan bentuk yang stabil, membuat manusia kehilangan arah dan makna hidup.³ Dalam situasi ini, humanisme menjadi relevan bukan sebagai ide nostalgia masa lalu, tetapi sebagai kerangka reflektif untuk mengembalikan makna dan tanggung jawab manusia di tengah dunia yang terfragmentasi.⁴

Krisis global seperti perubahan iklim, migrasi massal, dan kemiskinan ekstrem menuntut paradigma baru yang melampaui kepentingan individual atau nasional.⁵ Humanisme kontemporer, karenanya, harus berevolusi menjadi humanisme planetaris—pandangan yang menegaskan keterhubungan mendalam antara seluruh umat manusia dan bumi sebagai rumah bersama.⁶

8.2.       Humanisme Digital: Manusia dalam Era Teknologi dan Kecerdasan Buatan

Revolusi digital dan kemajuan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan baru bagi pemahaman tentang manusia, kebebasan, dan tanggung jawab.⁷ Teknologi yang semula dimaksudkan untuk mempermudah kehidupan kini turut membentuk perilaku, emosi, dan struktur sosial manusia. Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme pengawasan” (surveillance capitalism), di mana data manusia dijadikan komoditas untuk mengendalikan pilihan dan kesadaran individu.⁸

Dalam konteks ini, humanisme digital berupaya menegaskan kembali martabat manusia di tengah algoritma dan otomatisasi.⁹ Luciano Floridi mengusulkan konsep infosphere, yaitu ruang eksistensial baru di mana manusia harus bertindak secara etis terhadap sistem informasi dan entitas digital lainnya.¹⁰ Etika digital humanistik menuntut agar teknologi dikembangkan bukan untuk menggantikan manusia, melainkan untuk memperluas kapasitasnya dalam berpikir, berempati, dan berpartisipasi.¹¹

Dengan demikian, relevansi humanisme dalam era teknologi tidak terletak pada nostalgia terhadap masa pra-digital, tetapi pada kemampuan untuk mengarahkan teknologi kepada nilai-nilai kemanusiaan—yakni transparansi, tanggung jawab, dan keadilan.¹²

8.3.       Humanisme Ekologis dan Kesadaran Planetaris

Salah satu tantangan paling mendesak bagi humanisme kontemporer adalah krisis ekologis global. Pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa alam kini terbukti destruktif bagi biosfer.¹³ Lynn White Jr. menuduh akar krisis ekologis modern berasal dari paradigma teologis dan filosofis yang menempatkan manusia di atas alam.¹⁴ Sebagai tanggapan, muncul ecological humanism atau eco-humanism, yang menegaskan bahwa martabat manusia tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan alam.¹⁵

Humanisme ekologis menuntut perubahan radikal dari logika dominasi menuju logika interdependensi. Thomas Berry dan Leonardo Boff mengusulkan visi cosmocentric humanism—pandangan bahwa manusia adalah bagian dari komunitas kehidupan yang lebih luas, bukan pusatnya.¹⁶ Etika ini memperluas cakrawala moral dari “hak asasi manusia” menuju “hak asasi alam.”¹⁷

Relevansi humanisme ekologis terlihat dalam kebijakan global seperti The Earth Charter (2000) yang menegaskan tanggung jawab bersama untuk menjaga keutuhan bumi dan kesejahteraan semua makhluk hidup.¹⁸ Dalam kerangka ini, humanisme bukan lagi sekadar filsafat moral manusia, tetapi filsafat kehidupan yang mempersatukan manusia dengan alam dan kosmos.¹⁹

8.4.       Humanisme Interkultural dan Pluralisme Global

Dunia kontemporer ditandai oleh pluralitas budaya, agama, dan sistem nilai. Globalisasi mempertemukan beragam pandangan hidup yang sering kali menimbulkan ketegangan antara universalisme dan partikularisme.²⁰ Oleh karena itu, humanisme harus bertransformasi menjadi humanisme interkultural, yang menghargai perbedaan tanpa kehilangan komitmen terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan.²¹

Raimon Panikkar menekankan pentingnya dialog dialogal, yakni perjumpaan antarbudaya yang tidak berangkat dari superioritas, tetapi dari kesadaran akan saling ketergantungan eksistensial.²² Dalam konteks ini, humanisme menjadi wadah bagi “kosmopolitanisme dialogis” sebagaimana dirumuskan Martha Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah—pandangan bahwa kita adalah warga dunia yang memiliki tanggung jawab etis lintas batas.²³

Humanisme interkultural menolak dikotomi antara “Barat” dan “Timur,” serta membuka ruang bagi kebijaksanaan lokal—seperti prinsip Ubuntu dari Afrika (“Aku adalah karena kita”) atau gotong royong dalam tradisi Nusantara—sebagai ekspresi otentik nilai-nilai humanistik.²⁴ Dengan demikian, humanisme kontemporer menegaskan bahwa kemanusiaan hanya dapat dipahami dalam konteks keberagaman yang saling memperkaya.²⁵

8.5.       Humanisme Emansipatoris dan Keadilan Sosial

Di tengah ketimpangan global dan krisis keadilan sosial, relevansi humanisme juga terletak pada daya emansipatorisnya.²⁶ Humanisme emansipatoris menggabungkan refleksi moral dengan praksis sosial untuk melawan ketidakadilan struktural. Paulo Freire menegaskan bahwa “pendidikan yang membebaskan” merupakan bentuk humanisme sejati karena mengembalikan manusia pada perannya sebagai subjek perubahan.²⁷

Habermas memperluas gagasan ini melalui teori tindakan komunikatif, yang memandang rasionalitas sebagai sarana pembebasan melalui dialog kritis dan kesetaraan partisipasi.²⁸ Humanisme emansipatoris berupaya membangun masyarakat yang tidak hanya rasional secara teknis, tetapi juga adil secara moral dan komunikatif.²⁹ Dalam konteks politik global, hal ini berarti memperjuangkan tatanan dunia yang inklusif, setara, dan berkeadilan, di mana martabat manusia menjadi dasar etika dan kebijakan publik.³⁰

8.6.       Sintesis Kontemporer: Menuju Humanisme Integral

Semua dinamika di atas mengarah pada kebutuhan akan humanisme integral, yaitu paradigma yang memadukan dimensi rasional, spiritual, sosial, ekologis, dan digital dari eksistensi manusia.³¹ Edgar Morin menyebutnya sebagai “humanisme kompleks,” di mana manusia dipahami sebagai makhluk yang rapuh namun kreatif, terbatas namun bertanggung jawab atas kehidupan di bumi.³²

Humanisme integral tidak menolak modernitas, tetapi mengoreksinya dari dalam—mengembalikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya pada horizon etis kemanusiaan.³³ Dalam visi ini, humanisme tidak hanya berbicara tentang “hak untuk hidup,” tetapi juga “kewajiban untuk memelihara kehidupan.”³⁴ Dengan demikian, relevansi humanisme di abad ke-21 terletak pada kemampuannya untuk menjadi jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara kemajuan dan keberlanjutan, antara manusia dan dunia.³⁵


Footnotes

[1]                Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust (Ithaca: Cornell University Press, 1989), 3–5.

[2]                Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 23–25.

[3]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–9.

[4]                Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 11–13.

[5]                Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, trans. Mark Ritter (London: Sage Publications, 1992), 45–48.

[6]                Edgar Morin, Homeland Earth: A Manifesto for the New Millennium, trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton Press, 1999), 15–17.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 9–11.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.

[9]                Floridi, The Ethics of Information, 23–25.

[10]             Ibid., 57–59.

[11]             Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 10–12.

[12]             Jürgen Habermas, The Future of Human Nature (Cambridge: Polity Press, 2003), 67–69.

[13]             Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[14]             Ibid., 1204.

[15]             Arran Gare, Postmodernism and the Environmental Crisis (London: Routledge, 1995), 118–120.

[16]             Thomas Berry, The Great Work: Our Way into the Future (New York: Bell Tower, 1999), 15–17; Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 22–24.

[17]             Boff, Cry of the Earth, 26–28.

[18]             Earth Charter Commission, The Earth Charter (Paris: UNESCO, 2000), Preamble.

[19]             Berry, The Great Work, 31–33.

[20]             Raimon Panikkar, Cultural Disarmament: The Way to Peace (Louisville: Westminster John Knox Press, 1995), 42–44.

[21]             Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 113–115.

[22]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 75–77.

[23]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), xvii–xx; Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 37–39.

[24]             Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness (New York: Doubleday, 1999), 31–33.

[25]             Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 45–47.

[26]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 15–17.

[27]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 66–68.

[28]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 288–291.

[29]             Ibid., 295–297.

[30]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 25–27.

[31]             Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO, 1999), 14–16.

[32]             Ibid., 18–19.

[33]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 511–513.

[34]             Leonardo Boff, Ethics and Ecology (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 40–42.

[35]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities, 92–94.


9.           Sintesis Filosofis Humanisme

9.1.       Rekonsiliasi antara Rasionalitas, Eksistensi, dan Relasionalitas

Sintesis filosofis humanisme berupaya mengintegrasikan berbagai dimensi yang selama ini tampak terpecah: antara rasionalitas dan eksistensialitas, antara otonomi individu dan keterhubungan sosial, serta antara kebebasan dan tanggung jawab.¹ Dalam tradisi klasik, rasionalitas menjadi inti hakikat manusia—zoon logikon menurut Aristoteles—namun perkembangan eksistensialisme menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk berpikir, melainkan juga makhluk yang “ada dalam dunia,” terlibat secara konkret dalam sejarah dan relasi.²

Pendekatan sintetis ini menolak reduksi manusia menjadi sekadar subjek kognitif (seperti dalam rasionalisme modern) atau makhluk biologis (seperti dalam positivisme).³ Manusia adalah makhluk rasional dan relasional: ia mengenal dirinya melalui orang lain dan dunia. Emmanuel Levinas menegaskan bahwa keberadaan manusia ditentukan bukan oleh kesadaran diri, melainkan oleh keterbukaan terhadap “yang Lain.”⁴ Dalam hal ini, humanisme yang sejati adalah humanisme dialogis—yang menyatukan logos (rasionalitas) dan ethos (relasi etis).⁵

Dengan demikian, sintesis filosofis humanisme tidak meniadakan ketegangan antara kebebasan dan tanggung jawab, tetapi mengartikulasikannya sebagai dinamika eksistensial. Manusia adalah makhluk yang bebas sekaligus terikat, otonom sekaligus terarah pada yang lain.⁶

9.2.       Integrasi antara Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Sintesis humanisme tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga struktural. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi tidak dapat dipisahkan karena ketiganya saling menjelaskan eksistensi manusia. Ontologi menjawab apa itu manusia, epistemologi menjawab bagaimana manusia mengetahui dirinya dan dunia, sementara aksiologi menjawab bagaimana manusia seharusnya hidup.⁷

Dalam kerangka ini, pengetahuan bukan sekadar akumulasi data, melainkan proses etis dan eksistensial yang melibatkan nilai dan tanggung jawab.⁸ Paul Ricoeur menyebut manusia sebagai “makhluk hermeneutik,” yaitu subjek yang selalu menafsirkan dunia dan dirinya melalui simbol, tindakan, dan nilai.⁹ Maka, sintesis humanisme memandang akal budi tidak berdiri di atas moralitas, tetapi berakar di dalamnya: rasionalitas sejati selalu bersifat etis dan reflektif.¹⁰

Ontologi humanisme yang berlandaskan pada martabat manusia menemukan ekspresinya dalam aksiologi solidaritas.¹¹ Pengetahuan yang benar harus berujung pada tindakan yang memelihara kehidupan, sementara tindakan moral yang baik selalu berakar pada pemahaman yang benar tentang keberadaan.¹² Di sinilah humanisme menjadi “metafisika praksis”: filsafat yang menghubungkan keberadaan, pengetahuan, dan kebaikan dalam satu kesatuan yang dinamis.¹³

9.3.       Humanisme Integral: Sintesis Spiritualitas, Sosialitas, dan Ekologis

Dalam konteks kontemporer, sintesis filosofis humanisme perlu melampaui batas antroposentrisme klasik menuju humanisme integral—yakni humanisme yang menyadari keterhubungan antara manusia, alam, dan transendensi.¹⁴ Pierre Teilhard de Chardin menggambarkan evolusi manusia sebagai gerak kosmik menuju kesadaran kolektif yang semakin reflektif dan spiritual.¹⁵ Ia menegaskan bahwa kemanusiaan sejati hanya dapat dipahami dalam horizon kosmik, di mana manusia menjadi “titik sadar dari alam semesta.”¹⁶

Humanisme integral juga mengandaikan dimensi ekologis. Thomas Berry menulis bahwa manusia harus memandang dirinya sebagai bagian dari Earth Community, bukan sebagai penguasa alam.¹⁷ Dalam kerangka ini, spiritualitas ekologis bukanlah pelarian religius, melainkan kesadaran ontologis akan kesatuan seluruh kehidupan.¹⁸

Sintesis ini juga mengandung dimensi sosial: manusia sebagai makhluk spiritual menemukan keutuhannya melalui keterlibatan dalam keadilan, pendidikan, dan budaya yang memanusiakan.¹⁹ Edgar Morin menyebutnya “antropo-eko-etik,” yakni kesadaran kompleks yang menghubungkan moralitas, biosfer, dan spiritualitas.²⁰ Dengan demikian, humanisme integral adalah jawaban atas fragmentasi modernitas: ia memulihkan harmoni antara tubuh dan jiwa, individu dan komunitas, manusia dan bumi.²¹

9.4.       Humanisme sebagai Paradigma Emansipatoris dan Transformatif

Sintesis humanisme juga bersifat praksis: ia tidak berhenti pada refleksi, tetapi bergerak menuju transformasi sosial dan moral.²² Humanisme emansipatoris—seperti dikembangkan oleh Paulo Freire dan Habermas—menegaskan bahwa kesadaran kritis adalah bagian dari kemanusiaan itu sendiri.²³ Tindakan manusia yang rasional harus diarahkan bukan pada dominasi, melainkan pada pembebasan dari penindasan dan alienasi.²⁴

Habermas memandang humanisme komunikatif sebagai basis rasionalitas baru yang bersifat dialogis, di mana kebenaran dan keadilan lahir dari partisipasi setara dalam ruang wacana publik.²⁵ Dalam pengertian ini, humanisme adalah proyek sosial-politik untuk menegakkan struktur keadilan yang berpihak pada martabat manusia dan keberlanjutan planet.²⁶

Humanisme sintetis, dengan demikian, menggabungkan dimensi teoritis (refleksi filosofis) dan dimensi praksis (tindakan moral dan politik).²⁷ Ia menegaskan bahwa filsafat bukan sekadar pencarian kebenaran, tetapi juga perjuangan demi kemanusiaan yang lebih adil dan berkelanjutan.²⁸

9.5.       Menuju Humanisme Transendental dan Terbuka

Akhirnya, sintesis filosofis humanisme harus tetap bersifat terbuka, karena kemanusiaan adalah proyek yang belum selesai.²⁹ Jacques Maritain menyebut ini sebagai integral humanism—humanisme yang mempersatukan iman dan akal, dunia dan transendensi, tanpa meniadakan otonomi rasional manusia.³⁰ Ia menolak humanisme sekuler yang menutup diri terhadap spiritualitas, tetapi juga menolak teosentrisme yang meniadakan kebebasan manusia.³¹

Humanisme transendental memandang manusia sebagai makhluk yang capax Dei—mampu melampaui dirinya sendiri dalam pencarian makna yang lebih tinggi.³² Namun, transendensi ini bukan pelarian dari dunia, melainkan keterlibatan penuh di dalamnya.³³ Dengan demikian, humanisme sejati bersifat immanent-transcendent: berakar pada dunia empiris, namun selalu terbuka pada horizon nilai yang melampaui.³⁴

Dalam arti ini, sintesis filosofis humanisme dapat dirumuskan sebagai: upaya terus-menerus untuk menyeimbangkan antara kebebasan dan keterikatan, antara rasionalitas dan kasih, antara immanensi dan transendensi.³⁵ Ia adalah proyek reflektif sekaligus etis yang mengarahkan peradaban manusia menuju integrasi antara pengetahuan, moralitas, dan kehidupan.³⁶


Footnotes

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 512–514.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 53–55.

[3]                Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 58–60.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.

[5]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 20–22.

[6]                Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katharine Farrer (New York: Harper & Row, 1965), 45–47.

[7]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 10–12.

[8]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 23–25.

[9]                Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press, 1967), 247–249.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 385–388.

[11]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 46–48.

[12]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.

[13]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 341–343.

[14]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, trans. Bernard Wall (New York: Harper & Row, 1959), 257–259.

[15]             Ibid., 260–262.

[16]             Ibid., 270–272.

[17]             Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 92–94.

[18]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 41–43.

[19]             Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), 103–105.

[20]             Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO, 1999), 17–19.

[21]             Ibid., 24–26.

[22]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 66–68.

[23]             Ibid., 72–73.

[24]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.

[25]             Ibid., 289–291.

[26]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 37–39.

[27]             Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age of Globalization and Exclusion, trans. Eduardo Mendieta (Durham: Duke University Press, 2013), 12–14.

[28]             Ibid., 20–21.

[29]             Jacques Maritain, Integral Humanism, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1968), 3–5.

[30]             Ibid., 7–9.

[31]             Ibid., 13–15.

[32]             Karl Rahner, Spirit in the World, trans. William Dych (New York: Continuum, 1968), 91–93.

[33]             Paul Tillich, Love, Power, and Justice (London: Oxford University Press, 1954), 22–24.

[34]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 83–85.

[35]             Edgar Morin, Homeland Earth: A Manifesto for the New Millennium, trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton Press, 1999), 18–20.

[36]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 95–97.


10.       Kesimpulan

Humanisme, dalam lintasan sejarah filsafat, merupakan proyek intelektual dan moral yang berupaya memahami serta memuliakan hakikat manusia sebagai makhluk rasional, bebas, dan bermartabat.¹ Namun, sebagaimana telah ditunjukkan melalui kajian genealogis dan kritis, humanisme bukanlah doktrin tunggal yang statis, melainkan suatu tradisi reflektif yang terus berubah dan beradaptasi terhadap konteks zaman.² Dari akar-akar Yunani klasik hingga posthumanisme kontemporer, humanisme selalu bergerak antara dua kutub: afirmasi terhadap martabat manusia dan kritik atas batas-batasnya.³

Secara ontologis, humanisme memandang manusia sebagai makhluk yang berada di antara dunia empiris dan horizon transendental—ia adalah ens finitum yang sadar akan keterbatasannya, namun memiliki kapasitas untuk melampaui diri.⁴ Dalam pengertian ini, humanisme mengakui paradoks eksistensial manusia: bahwa kebebasan dan keterikatan, rasionalitas dan afektivitas, individualitas dan sosialitas, bukanlah kontradiksi, melainkan dua sisi yang saling melengkapi dalam struktur keberadaan manusia.⁵

Secara epistemologis, humanisme menegaskan bahwa pengetahuan manusia selalu bersifat hermeneutik dan dialogis.⁶ Rasionalitas bukan sekadar instrumen teknis untuk menguasai dunia, melainkan sarana untuk memahami makna dan membangun kesalingpahaman antarindividu.⁷ Di sinilah letak keunggulan epistemologi humanistik—ia menolak positivisme yang kering dari nilai, namun juga menghindari relativisme ekstrem yang meniadakan kebenaran.⁸ Pengetahuan sejati, dalam pandangan humanistik, selalu berakar pada pengalaman hidup, komunikasi, dan tanggung jawab moral.⁹

Secara aksiologis, humanisme memusatkan etika pada nilai martabat manusia.¹⁰ Manusia tidak boleh diperlakukan sebagai alat, karena setiap pribadi memiliki nilai intrinsik.¹¹ Etika humanistik menekankan tanggung jawab, solidaritas, dan cinta kasih sebagai ekspresi tertinggi dari rasionalitas moral.¹² Dalam konteks sosial dan politik, nilai-nilai ini menjelma dalam perjuangan untuk keadilan, hak asasi manusia, dan perdamaian dunia.¹³ Dalam konteks ekologis, ia berkembang menjadi etika kehidupan yang menegaskan kesatuan antara manusia dan alam.¹⁴

Kritik terhadap humanisme—dari Marx, Nietzsche, Heidegger, hingga para posthumanis—tidak meniadakan nilainya, melainkan memperkaya dan memperdalamnya.¹⁵ Kritik tersebut mengingatkan bahwa setiap bentuk humanisme yang menutup diri pada yang lain—baik itu Tuhan, alam, atau teknologi—berisiko berubah menjadi ideologi yang menindas.¹⁶ Oleh karena itu, humanisme harus senantiasa terbuka, reflektif, dan korektif terhadap dirinya sendiri. Ia bukan dogma, melainkan horizon pencarian yang tak pernah usai tentang apa artinya menjadi manusia.¹⁷

Dalam konteks kontemporer, relevansi humanisme terletak pada kemampuannya untuk menjadi paradigma etis global.¹⁸ Dunia yang dilanda krisis ekologis, ketimpangan ekonomi, dan disrupsi digital membutuhkan visi kemanusiaan baru yang menyatukan ilmu pengetahuan dengan moralitas, rasionalitas dengan empati, teknologi dengan spiritualitas.¹⁹ Humanisme integral—sebagaimana dirumuskan oleh Jacques Maritain, Edgar Morin, dan Martha Nussbaum—mengajak manusia untuk menegakkan martabat tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi seluruh kehidupan di bumi.²⁰

Dengan demikian, kesimpulan utama yang dapat ditarik adalah bahwa humanisme bukan hanya teori tentang manusia, melainkan proyek etis peradaban.²¹ Ia adalah usaha berkelanjutan untuk menyeimbangkan kekuatan dan kelemahan manusia, kebebasan dan tanggung jawab, individualitas dan solidaritas.²² Dalam arti yang paling mendalam, humanisme mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti terus belajar untuk menjadi lebih manusiawi—dalam berpikir, bertindak, dan mencintai.²³


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, vol. 1 (New York: Oxford University Press, 1945), 15–17.

[2]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 510–512.

[3]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 3–5.

[4]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 28–30.

[5]                Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katharine Farrer (New York: Harper & Row, 1965), 45–47.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 382–385.

[7]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 140–142.

[8]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 17–19.

[9]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 66–68.

[10]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.

[11]             Ibid., 46.

[12]             Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), 99–100.

[13]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 52–54.

[14]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 26–28.

[15]             Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Judith Norman (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 202–204.

[16]             Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks, ed. William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 246–248.

[17]             Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 11–13.

[18]             Edgar Morin, Homeland Earth: A Manifesto for the New Millennium, trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton Press, 1999), 17–19.

[19]             Jürgen Habermas, The Future of Human Nature (Cambridge: Polity Press, 2003), 65–67.

[20]             Jacques Maritain, Integral Humanism, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1968), 5–7; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 91–93.

[21]             Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 61–63.

[22]             Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO, 1999), 14–16.

[23]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 34–36.


Daftar Pustaka

Althusser, L. (1976). Essays in self-criticism (G. Lock, Trans.). Verso.

Althusser, L. (1977). For Marx (B. Brewster, Trans.). Verso.

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of strangers. W. W. Norton.

Aristotle. (1908). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Augustine. (1991). De Trinitate (E. Hill, Trans.). New City Press.

Bauman, Z. (1989). Modernity and the Holocaust. Cornell University Press.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity (M. Ritter, Trans.). Sage Publications.

Beitz, C. (2009). The idea of human rights. Oxford University Press.

Bernstein, R. J. (1983). Beyond objectivism and relativism: Science, hermeneutics, and praxis. University of Pennsylvania Press.

Berry, T. (1988). The dream of the Earth. Sierra Club Books.

Berry, T. (1999). The great work: Our way into the future. Bell Tower.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Boff, L. (1997). Cry of the Earth, cry of the poor. Orbis Books.

Boff, L. (1997). Ethics and ecology. Orbis Books.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith, Trans.). Charles Scribner’s Sons.

Burckhardt, J. (1995). The civilization of the Renaissance in Italy (S. G. C. Middlemore, Trans.). Phaidon Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage.

Cicero. (1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Harvard University Press.

Comte, A. (1830). Cours de philosophie positive (Vol. 1). Bachelier.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Open Court.

Dilthey, W. (1988). Introduction to the human sciences (R. J. Betanzos, Trans.). Wayne State University Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time. MIT Press.

Dussel, E. (2013). Ethics of liberation in the age of globalization and exclusion (E. Mendieta, Trans.). Duke University Press.

Earth Charter Commission. (2000). The Earth Charter. UNESCO.

Erasmus, D. (1997). The education of a Christian prince (L. Jardine, Trans.). Cambridge University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Fromm, E. (1956). The art of loving. Harper & Row.

Fromm, E. (1961). Marx’s concept of man. Frederick Ungar.

Fukuyama, F. (2002). Our posthuman future: Consequences of the biotechnology revolution. Farrar, Straus and Giroux.

Gadamer, H.-G. (1994). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Gare, A. (1995). Postmodernism and the environmental crisis. Routledge.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Gilson, É. (1949). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Random House.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests. Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action (Vol. 2). Beacon Press.

Habermas, J. (1988). On the logic of the social sciences (S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (2003). The future of human nature. Polity Press.

Haraway, D. J. (1991). A cyborg manifesto. In Simians, cyborgs, and women: The reinvention of nature (pp. 149–181). Routledge.

Haraway, D. J. (2016). Staying with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1979). Nietzsche (Vol. 1). Harper & Row.

Heidegger, M. (1998). Letter on humanism. In W. McNeill (Ed.), Pathmarks (pp. 239–248). Cambridge University Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.). Polity Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment. Stanford University Press.

Hunt, L. (2007). Inventing human rights: A history. W. W. Norton.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Jaeger, W. (1945). Paideia: The ideals of Greek culture (Vol. 1). Oxford University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and its sources. Columbia University Press.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Marcel, G. (1965). Being and having (K. Farrer, Trans.). Harper & Row.

Maritain, J. (1968). Integral humanism (J. W. Evans, Trans.). University of Notre Dame Press.

Marx, K. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International Publishers.

Marx, K. (2007). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Dover Publications.

Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Morin, E. (1999). Homeland Earth: A manifesto for the new millennium (S. Kelly & R. Lapoint, Trans.). Hampton Press.

Morin, E. (1999). Seven complex lessons in education for the future. UNESCO.

Nietzsche, F. (1967). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin.

Nietzsche, F. (2002). Beyond good and evil (J. Norman, Trans.). Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness. Orbis Books.

Panikkar, R. (1995). Cultural disarmament: The way to peace. Westminster John Knox Press.

Pico della Mirandola, G. (1956). Oration on the dignity of man (A. R. Caponigri, Trans.). Henry Regnery Company.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Rahner, K. (1968). Spirit in the world (W. Dych, Trans.). Continuum.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Ricoeur, P. (1965). Fallible man (C. A. Kelbley, Trans.). Regnery Gateway.

Ricoeur, P. (1966). Freedom and nature: The voluntary and the involuntary (E. V. Kohák, Trans.). Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil (E. Buchanan, Trans.). Beacon Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.). Northwestern University Press.

Schweitzer, A. (1949). Out of my life and thought: An autobiography (C. T. Campion, Trans.). Holt, Rinehart and Winston.

Schweitzer, A. (1949). Reverence for life (R. H. Fuller, Trans.). Philosophical Library.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon of man (B. Wall, Trans.). Harper & Row.

Tillich, P. (1951). Systematic theology (Vol. 1). University of Chicago Press.

Tillich, P. (1954). Love, power, and justice. Oxford University Press.

Tutu, D. (1999). No future without forgiveness. Doubleday.

United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. UN General Assembly.

Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing technology: Understanding and designing the morality of things. University of Chicago Press.

White, L. Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207. science

Wolfe, C. (2010). What is posthumanism? University of Minnesota Press.

Wood, A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar