Humanisme
Genealogi, Ontologi, dan Relevansi Filsafat tentang Martabat Manusia dalam Peradaban Modern
Alihkan ke: Filsafat Manusia.
Martabat
Manusia (Human
Dignity), Hak Asasi Manusia (HAM).
Posthumanisme, Transhumanisme.
Abstrak
Artikel ini menguraikan secara sistematis dan
historis perkembangan gagasan Humanisme sebagai salah satu arus utama
dalam sejarah filsafat Barat, sekaligus merefleksikan relevansinya dalam
konteks kontemporer. Kajian ini dimulai dari analisis genealogis tentang
asal-usul humanisme sejak tradisi Yunani klasik, Renaisans, dan Pencerahan,
yang menempatkan manusia sebagai pusat pengetahuan dan ukuran moralitas.
Selanjutnya, pembahasan berlanjut pada aspek ontologis, di mana manusia
dipahami sebagai makhluk rasional sekaligus eksistensial yang memiliki
martabat, kebebasan, dan keterarahan pada makna. Dari sisi epistemologis,
humanisme menegaskan peran rasionalitas reflektif dan pengalaman dialogis
sebagai dasar pencarian kebenaran yang berorientasi pada pemahaman, bukan
dominasi.
Pada tataran aksiologis, humanisme berakar
pada prinsip martabat manusia, solidaritas, dan tanggung jawab moral yang
menjadi fondasi bagi etika, hak asasi manusia, dan demokrasi. Namun, artikel
ini juga mengkaji berbagai kritik terhadap humanisme—dari Marx,
Nietzsche, Heidegger, hingga posthumanisme kontemporer—yang menyoroti
keterbatasannya dalam menjawab masalah antroposentrisme, alienasi, dan
dehumanisasi. Berdasarkan kritik tersebut, muncul bentuk baru humanisme
integral, yang memadukan dimensi rasional, spiritual, ekologis, dan digital
dalam memahami eksistensi manusia.
Melalui analisis sintesis filosofis, artikel ini
menegaskan bahwa humanisme bukanlah ideologi tertutup, melainkan proyek etis
peradaban yang senantiasa terbuka untuk dikoreksi dan diperbarui. Dalam
dunia modern yang diwarnai krisis nilai, ketimpangan sosial, serta tantangan
teknologi dan ekologi, humanisme hadir kembali sebagai paradigma reflektif
untuk mengembalikan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara
kemajuan dan kemanusiaan. Dengan demikian, humanisme kontemporer tidak lagi
sekadar berbicara tentang “manusia sebagai pusat”, melainkan tentang kemanusiaan
sebagai jejaring kehidupan yang saling bergantung dan bermakna.
Kata Kunci: Humanisme, martabat manusia, ontologi,
rasionalitas, etika, tanggung jawab, posthumanisme, humanisme integral,
solidaritas, spiritualitas ekologis.
PEMBAHASAN
Humanisme bagi Martabat dan Keberlanjutan Kehidupan
Manusia
1.
Pendahuluan
Humanisme merupakan salah satu arus pemikiran
paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat yang menempatkan manusia
sebagai pusat nilai, ukuran rasionalitas, dan sumber moralitas. Sejak awal
kemunculannya, gagasan ini berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang makna
menjadi manusia (what it means to be human)—yakni mengenai martabat,
kebebasan, dan tanggung jawab manusia dalam dunia yang terus berubah. Dalam
konteks ini, humanisme tidak hanya dipahami sebagai pandangan moral atau
kultural, melainkan sebagai suatu kerangka ontologis dan epistemologis
yang menjadikan manusia titik tolak bagi pengetahuan, tindakan, dan
kebudayaan.¹
Akar historis humanisme dapat ditelusuri hingga
tradisi filsafat Yunani kuno, terutama melalui konsep paideia yang
menekankan pembentukan keutamaan manusia secara rasional dan etis.²
Selanjutnya, dalam masa Renaisans, humanisme berkembang sebagai gerakan
intelektual yang menegaskan otonomi akal dan potensi kreatif manusia, seperti
tergambar dalam karya Giovanni Pico della Mirandola Oration on the Dignity
of Man (1486), yang menegaskan bahwa martabat manusia terletak pada
kemampuannya membentuk dirinya sendiri.³ Sejak saat itu, humanisme menjadi
fondasi bagi lahirnya berbagai sistem nilai modern seperti liberalisme,
rasionalisme, dan ide-ide hak asasi manusia.⁴
Namun demikian, perkembangan modernitas juga
melahirkan ambiguitas dalam proyek humanisme itu sendiri. Rasionalitas yang
pada awalnya dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan
dominasi alam, justru bertransformasi menjadi instrumen dominasi baru terhadap
manusia dan lingkungan.⁵ Kritik terhadap humanisme muncul dari berbagai arah:
dari Nietzsche yang menolak moralitas universal manusia, dari Heidegger yang
menilai humanisme sebagai bentuk metafisika subyektivitas, hingga dari kalangan
posthumanis yang menganggap konsep “manusia pusat segalanya” sudah usang
di era teknologi dan ekologi.⁶
Di sisi lain, krisis global—baik ekologis, sosial,
maupun eksistensial—menunjukkan kebutuhan mendesak untuk menafsirkan kembali
hakikat dan peran manusia dalam dunia yang semakin kompleks. Di tengah
perkembangan teknologi kecerdasan buatan, bioteknologi, dan globalisasi budaya,
muncul pertanyaan baru: apakah humanisme masih relevan? Apakah manusia
masih dapat menjadi subjek etika dan rasionalitas di tengah realitas yang semakin
terfragmentasi dan algoritmik?⁷
Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki genealogi,
ontologi, epistemologi, dan aksiologi humanisme secara sistematis, serta
mengkaji kembali relevansinya dalam konteks kontemporer. Kajian ini juga
berupaya menyusun sintesis filosofis yang memungkinkan pembaruan konsep
humanisme agar tetap selaras dengan tantangan dunia modern—sebuah “humanisme
integral” yang menggabungkan rasionalitas, spiritualitas, dan tanggung
jawab ekologis. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bersifat
historis-deskriptif, tetapi juga reflektif dan normatif, karena berupaya
menemukan fondasi baru bagi martabat manusia dalam horizon filsafat yang lebih
luas dan terbuka untuk koreksi serta pengembangan.⁸
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–5.
[2]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek
Culture, vol. 1 (New York: Oxford University Press, 1945), 12–14.
[3]
Giovanni Pico della Mirandola, Oration on the
Dignity of Man, trans. A. Robert Caponigri (Chicago: Henry Regnery Company,
1956), 5–8.
[4]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 106–109.
[5]
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic
of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–7.
[6]
Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks,
ed. William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 239–242.
[7]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 1–4.
[8]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
18–20.
2.
Landasan Historis dan Genealogis Humanisme
2.1. Humanisme Klasik (Yunani–Romawi)
Asal-usul humanisme
dapat ditemukan dalam kebudayaan Yunani kuno, khususnya melalui konsep paideia,
yaitu pendidikan total manusia untuk mencapai kebajikan (areté)
dan kesempurnaan rasional.¹ Filsafat Yunani, terutama ajaran Socrates, Plato,
dan Aristoteles, menempatkan manusia sebagai makhluk yang rasional (zoon
logikon) dan sosial (zoon politikon).² Dalam pandangan
ini, manusia mencapai kemanusiaannya melalui refleksi etis dan partisipasi
dalam kehidupan polis.³
Sementara itu,
filsafat Stoa (Stoikisme) memberikan fondasi universal bagi humanisme dengan
menegaskan bahwa seluruh manusia adalah bagian dari satu kosmos rasional yang
diatur oleh logos.⁴ Dengan demikian, humanisme
klasik telah mengandung unsur kosmopolitanisme awal yang mengakui persaudaraan
universal umat manusia tanpa membedakan asal-usul sosial maupun geografis.⁵
Dalam konteks Romawi, gagasan ini diteruskan oleh Cicero dan Seneca, yang
menekankan martabat manusia sebagai makhluk moral yang dikaruniai akal dan
kebebasan.⁶
2.2. Humanisme Kristen dan Skolastik
Pada masa patristik
dan skolastik, humanisme memperoleh bentuk baru yang mengintegrasikan warisan
filsafat Yunani dengan teologi Kristen. Santo Agustinus (354–430) menafsirkan
martabat manusia sebagai citra Allah (imago Dei), yang berarti bahwa
manusia memiliki kapasitas untuk mengenal, mengasihi, dan meniru Sang
Pencipta.⁷ Dalam hal ini, pusat humanisme bukan lagi manusia sebagai entitas
otonom, melainkan manusia sebagai makhluk relasional yang menemukan dirinya
dalam relasi dengan Tuhan.
Thomas Aquinas
(1225–1274) kemudian memberikan sintesis filosofis antara humanisme klasik dan
teologi Kristen dengan menggunakan kerangka Aristotelian.⁸ Bagi Aquinas,
rasionalitas manusia merupakan bagian dari hukum kodrati (lex
naturalis) yang memantulkan hukum ilahi (lex
divina).⁹ Oleh karena itu, martabat manusia bersumber pada
kemampuan akalnya untuk mengenali kebaikan moral dan memilihnya secara bebas.¹⁰
Humanisme skolastik ini membentuk dasar bagi pemahaman moral dan hukum Barat
hingga era modern.
2.3. Humanisme Renaisans
Abad ke-14 hingga
ke-16 menandai kelahiran kembali (renaissance) semangat humanistik
dalam kebudayaan Eropa. Humanisme Renaisans berfokus pada penghargaan terhadap
potensi manusia, kebebasan kreatif, dan penemuan kembali warisan klasik.¹¹
Giovanni Pico della Mirandola dalam Oration on the Dignity of Man
(1486) secara eksplisit menegaskan bahwa martabat manusia terletak pada
kebebasannya untuk menentukan dirinya sendiri dan menjadi apa pun yang ia
pilih.¹² Pandangan ini mengubah paradigma teosentris abad pertengahan menuju antroposentrisme
modern.
Para humanis seperti
Erasmus dari Rotterdam menekankan pentingnya pendidikan moral dan rasional
sebagai sarana untuk memuliakan kemanusiaan, bukan sekadar untuk kekuasaan atau
dogma.¹³ Humanisme Renaisans melahirkan optimisme terhadap kapasitas manusia
dan menyiapkan jalan bagi munculnya sains modern, rasionalisme, serta konsep
kebebasan individu yang menjadi dasar bagi demokrasi modern.¹⁴
2.4. Humanisme Modern dan Eksistensialis
Dalam era modern,
humanisme mengalami rasionalisasi dan sekularisasi. Immanuel Kant (1724–1804)
memberikan landasan moral bagi humanisme melalui prinsip bahwa manusia harus
diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri (Zweck an sich selbst), bukan
sebagai alat.¹⁵ Dengan demikian, moralitas bersumber pada otonomi rasional
manusia, bukan pada otoritas eksternal.¹⁶
Namun, setelah dua
perang dunia dan krisis eksistensial abad ke-20, muncul bentuk baru humanisme
yang menolak optimisme rasional modern: humanisme eksistensialis. Jean-Paul
Sartre dalam L’existentialisme est un humanisme
menegaskan bahwa eksistensi mendahului esensi, dan bahwa manusia bertanggung
jawab penuh atas penciptaan makna hidupnya.¹⁷ Humanisme Sartrean ini bukan
tentang kodrat manusia universal, melainkan tentang kebebasan dan tanggung
jawab radikal yang melekat dalam keberadaan manusia.¹⁸
2.5. Humanisme Kontemporer dan Posthumanisme
Humanisme abad ke-21
menghadapi tantangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya—kemajuan
teknologi, bioteknologi, dan kecerdasan buatan yang mengguncang batas antara manusia
dan mesin.¹⁹ Pemikir seperti Rosi Braidotti dan Donna Haraway mengusulkan posthumanisme,
yaitu pandangan yang menolak dominasi manusia sebagai pusat dunia dan
menekankan relasionalitas antara manusia, hewan, teknologi, dan alam.²⁰
Meski demikian, posthumanisme
tidak selalu berarti “anti-humanisme.” Ia lebih merupakan ajakan untuk
membangun bentuk baru humanisme yang inklusif, ekologis, dan transhuman—yang
menempatkan manusia bukan di atas, melainkan di dalam jaringan kehidupan.²¹
Dengan demikian, genealogi humanisme menunjukkan dinamika panjang antara ideal
martabat manusia dan kritik terhadap antroposentrisme yang menyertainya.²²
Evolusi historis ini membuka kemungkinan bagi rekonstruksi humanisme yang lebih
integral, yang mampu menjawab tantangan eksistensial dan ekologis zaman
kontemporer.²³
Footnotes
[1]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of
Greek Culture, vol. 1 (New York:
Oxford University Press, 1945), 13–16.
[2]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 1253a–1255b.
[3]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 518b–520c.
[4]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent
Philosophers, vol. 7 (Cambridge:
Harvard University Press, 1925), 121–125.
[5]
Martha C. Nussbaum, The
Cosmopolitan Tradition: A Noble but Flawed Ideal (Cambridge: Harvard University Press, 2019), 4–5.
[6]
Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller (Cambridge: Harvard University
Press, 1913), I.4–6.
[7]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), X.6.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I–II, q.94.
[9]
Ibid., I–II, q.91, a.2.
[10]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 152–154.
[11]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance
Thought and Its Sources (New York:
Columbia University Press, 1979), 21–23.
[12]
Giovanni Pico della Mirandola, Oration
on the Dignity of Man, trans. A.
Robert Caponigri (Chicago: Henry Regnery Company, 1956), 5–7.
[13]
Desiderius Erasmus, The
Education of a Christian Prince,
trans. Lisa Jardine (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–15.
[14]
Jacob Burckhardt, The Civilization of the
Renaissance in Italy, trans. S.G.C.
Middlemore (London: Phaidon Press, 1995), 92–94.
[15]
Immanuel Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–37.
[16]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 92–94.
[17]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 20–22.
[18]
Simone de Beauvoir, The
Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 34–36.
[19]
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 7–9.
[20]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 1–4; Donna J.
Haraway, A Cyborg Manifesto (New York: Routledge, 1991), 149–151.
[21]
Braidotti, The Posthuman, 189–192.
[22]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 112–115.
[23]
Jürgen Habermas, The Future of Human
Nature (Cambridge: Polity Press,
2003), 45–48.
3.
Ontologi Humanisme: Hakikat Manusia dan
Eksistensinya
3.1. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Bermartabat
Ontologi humanisme
berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia memiliki kedudukan istimewa dalam
tatanan realitas karena kemampuannya berpikir, bernalar, dan merefleksikan
dirinya sendiri. Dalam tradisi Aristotelian, manusia disebut zoon
logikon—makhluk yang berakal budi, di mana rasionalitas menjadi
inti eksistensinya.¹ Aristoteles menegaskan bahwa manusia mencapai kebahagiaan
(eudaimonia)
melalui realisasi potensi akalnya yang tertinggi, yakni kontemplasi terhadap
kebaikan.² Dalam konteks ini, rasionalitas bukan hanya kemampuan logis,
melainkan modus eksistensi manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya dan
dunia.
Humanisme kemudian
mengembangkan gagasan ini menjadi landasan moral dan ontologis: manusia bukan
sekadar bagian dari dunia, tetapi juga agen yang memiliki kemampuan untuk
mengarahkan dan memberi makna pada keberadaannya.³ Dari sinilah muncul
pandangan bahwa manusia memiliki martabat inheren yang tidak
bergantung pada status sosial atau atribut eksternal.⁴ Martabat ini menjadi
prinsip metafisis yang menandai nilai intrinsik setiap individu sebagai subjek
moral.
3.2. Antropologi Kristen: Manusia sebagai Imago Dei
Dalam tradisi
teologi Kristen, ontologi manusia diartikulasikan melalui konsep imago
Dei, yaitu bahwa manusia diciptakan “menurut gambar dan rupa
Allah” (Kejadian 1:26).⁵ Konsep ini memperluas makna humanisme klasik
dengan menempatkan manusia sebagai makhluk yang berpartisipasi dalam realitas
ilahi. Santo Agustinus memahami imago Dei sebagai kemampuan manusia
untuk mengenal dan mengasihi Tuhan, di mana kesadaran diri manusia mencerminkan
struktur trinitaris dari pengetahuan, kehendak, dan cinta.⁶
Thomas Aquinas
kemudian mengembangkan pandangan ini dengan memberikan dimensi rasional dan
moral. Menurutnya, manusia berbeda dari makhluk lain karena memiliki akal (intellectus)
dan kehendak bebas (liberum arbitrium) yang berakar
pada hukum kodrati (lex naturalis).⁷ Dalam perspektif
ini, eksistensi manusia adalah actus essendi—tindakan keberadaan
yang diciptakan dan diarahkan kepada Sang Ada (Ipsum Esse Subsistens).⁸ Dengan
demikian, humanisme skolastik tidak memisahkan manusia dari Tuhan, tetapi
justru menegaskan bahwa martabat manusia bersumber dari partisipasinya dalam
kebaikan dan keberadaan ilahi.⁹
3.3. Humanisme Modern: Otonomi dan Subjektivitas
Humanisme modern
menandai pergeseran ontologis dari teosentrisme menuju antroposentrisme.
Descartes, dengan adagium terkenalnya cogito ergo sum, menegaskan bahwa
kesadaran diri merupakan fondasi keberadaan yang paling pasti.¹⁰ Subjek manusia
menjadi pusat dari segala pengetahuan dan realitas. Dalam tradisi Kantian,
manusia dipahami sebagai makhluk otonom yang memiliki nilai intrinsik karena
kemampuannya bertindak menurut hukum moral yang ia berikan kepada dirinya
sendiri.¹¹
Namun, otonomi ini
juga menimbulkan problem metafisis baru: manusia terisolasi dari dimensi
transenden dan alam semesta.¹² Dalam pandangan Heidegger, modernitas telah “melupakan
pertanyaan tentang Ada” (Seinsvergessenheit) karena
menggantikan relasi eksistensial manusia dengan realitas menjadi sekadar
hubungan penguasaan dan representasi.¹³ Ia mengkritik humanisme modern karena
menjadikan manusia sekadar subjek yang menundukkan dunia sebagai objek,
sehingga kehilangan pengalaman ontologis yang lebih dalam.¹⁴
3.4. Eksistensialisme dan Ontologi Kebebasan
Eksistensialisme
menawarkan koreksi terhadap humanisme rasional dengan menekankan eksistensi
konkret manusia. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului
esensi,” artinya manusia tidak memiliki kodrat yang tetap; ia menciptakan
dirinya melalui pilihan-pilihannya.¹⁵ Ontologi Sartre adalah ontologi
kebebasan, di mana manusia selalu “terkutuk untuk bebas” karena tidak
ada otoritas eksternal yang menentukan maknanya.¹⁶ Dalam kebebasan itu, manusia
menjadi sumber nilai, tetapi juga sumber kecemasan eksistensial.
Martin Buber dan
Emmanuel Levinas kemudian menolak pandangan individualistik Sartre dengan
menekankan dimensi relasional eksistensi. Buber melalui konsep “Aku-Engkau”
(Ich-Du)
menegaskan bahwa keberadaan manusia bersifat dialogis—manusia menjadi diri
sejati hanya dalam hubungan yang otentik dengan yang lain.¹⁷ Sementara Levinas
menempatkan etika sebagai filsafat pertama, di mana keberadaan manusia
ditentukan oleh tanggung jawab tanpa batas terhadap yang Lain (l’Autre).¹⁸
Dengan demikian, ontologi humanisme kontemporer tidak lagi berpusat pada subjek
otonom, tetapi pada relasionalitas yang etis dan transenden.
3.5. Humanisme Ekologis dan Posthumanisme
Perkembangan
filsafat kontemporer menunjukkan bahwa hakikat manusia tidak dapat dilepaskan
dari jaringan kehidupan yang lebih luas. Humanisme ekologis berupaya menolak
dualisme manusia–alam dan mengusulkan pandangan bahwa manusia adalah bagian
dari komunitas ekologis yang saling terkait.¹⁹ Dalam pandangan ini, keberadaan
manusia memiliki nilai bukan karena keunggulannya, tetapi karena perannya dalam
menjaga keseimbangan kehidupan.
Posthumanisme
melanjutkan gagasan ini dengan menantang fondasi antroposentris humanisme
klasik. Rosi Braidotti, misalnya, menegaskan bahwa manusia tidak lagi dapat
dilihat sebagai pusat moral atau ontologis, melainkan sebagai simpul dalam
jaringan materialitas yang dinamis.²⁰ Ontologi posthumanis menolak esensialisme
dan menekankan fluiditas identitas serta keterkaitan antara manusia, teknologi,
dan biosfer.²¹
Dengan demikian,
refleksi ontologis dalam humanisme menempuh perjalanan panjang dari pencarian
esensi manusia hingga kesadaran akan keterhubungannya dengan segala bentuk
kehidupan. Dalam horizon baru ini, hakikat manusia tidak lagi dipahami secara
tertutup, melainkan terbuka—sebagai makhluk yang terus “menjadi” melalui
relasi, tanggung jawab, dan kreativitas dalam dunia yang hidup.²²
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1097b–1103a.
[2]
Ibid., 1177a–1178b.
[3]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 13–15.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.
[5]
Alkitab, Kejadian 1:26.
[6]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn: New City Press, 1991),
IX.4–6.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I–II, q.94, a.2.
[8]
Étienne Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1949), 113–115.
[9]
Ibid., 117.
[10]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.
[11]
Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, 36–39.
[12]
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 20–22.
[13]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 26–30.
[14]
Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks, ed.
William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 245–248.
[15]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[16]
Ibid., 34.
[17]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1958), 17–19.
[18]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.
[19]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 204–206.
[20]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 89–93.
[21]
Donna J. Haraway, Staying with the
Trouble: Making Kin in the Chthulucene
(Durham: Duke University Press, 2016), 10–12.
[22]
Jürgen Habermas, The Future of Human
Nature (Cambridge: Polity Press,
2003), 47–49.
4.
Epistemologi Humanisme: Rasionalitas,
Pengalaman, dan Makna
4.1. Rasionalitas sebagai Dasar Pengetahuan dan
Kebebasan
Epistemologi
humanisme berpangkal pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang
memiliki kemampuan untuk memahami dunia dan dirinya melalui akal budi (ratio).
Dalam tradisi Yunani, pengetahuan dipahami sebagai jalan menuju kebenaran dan
kebajikan; Plato menyebutnya sebagai epistēmē, pengetahuan yang
bersumber dari ide yang abadi dan rasional.¹ Sementara Aristoteles menegaskan
bahwa pengetahuan sejati berasal dari kemampuan manusia untuk mengenali
sebab-sebab (aitia) yang mendasari segala
sesuatu.²
Rasionalitas, dalam
kerangka humanisme, bukan semata kemampuan logis, tetapi juga fondasi bagi kebebasan.
Immanuel Kant menempatkan rasio praktis sebagai sumber otonomi moral manusia:
manusia bebas karena ia dapat bertindak berdasarkan hukum yang ia berikan pada
dirinya sendiri melalui akal.³ Dengan demikian, pengetahuan dan kebebasan
bersifat saling melengkapi—pengetahuan memungkinkan kebebasan yang bertanggung
jawab, dan kebebasan memungkinkan manusia untuk mengarahkan pengetahuannya pada
kebaikan.⁴
Namun, tradisi
modern yang terlalu menekankan rasionalitas instrumental, sebagaimana dikritik
oleh Horkheimer dan Adorno, mengubah rasio menjadi alat dominasi, bukan
emansipasi.⁵ Humanisme epistemologis berupaya merehabilitasi rasionalitas agar
kembali bersifat komunikatif dan reflektif, bukan teknokratis dan manipulatif.⁶
4.2. Pengalaman, Kesadaran, dan Subjektivitas
Selain rasio,
pengalaman (experientia) memainkan peranan
sentral dalam epistemologi humanisme. Pengalaman manusia bukan hanya data
empiris, melainkan proses reflektif yang memungkinkan pemaknaan diri. Dalam
tradisi fenomenologi Husserl, kesadaran manusia dipahami sebagai kesadaran yang
selalu “tentang sesuatu” (intentionality), yang berarti bahwa
pengetahuan adalah hasil relasi aktif antara subjek dan dunia.⁷
Korelasi antara
kesadaran dan dunia ini menegaskan dimensi humanistik epistemologi: manusia bukan
penonton pasif, melainkan partisipan dalam pembentukan makna realitas.⁸ Dilthey
dan Gadamer kemudian mengembangkan hal ini dalam hermeneutika humanistik, di
mana memahami berarti menafsirkan, dan setiap pengetahuan selalu berakar pada
konteks historis dan kultural tertentu.⁹ Maka, pengetahuan manusia selalu
bersifat dialogis dan terbuka terhadap revisi melalui pengalaman baru.¹⁰
Dalam tradisi
eksistensialis, pengalaman manusia menjadi medan bagi pencarian makna. Sartre
menegaskan bahwa manusia menciptakan kebenaran melalui tindakannya sendiri,
sementara Camus melihat pengalaman absurditas sebagai sumber kesadaran etis
yang mendalam.¹¹ Dalam konteks ini, epistemologi humanisme menolak pandangan
objektivistik yang meniadakan peran subjek, dan menegaskan bahwa pengetahuan
sejati berakar pada keterlibatan eksistensial manusia dalam dunia yang ia
huni.¹²
4.3. Bahasa, Budaya, dan Penafsiran Makna
Humanisme
menempatkan bahasa sebagai medium utama pengetahuan dan pembentukan makna.
Menurut Hans-Georg Gadamer, bahasa adalah “horizon tempat pengertian terjadi”;
melalui bahasa, manusia tidak hanya mengkomunikasikan informasi, tetapi juga
menafsirkan dunia.¹³ Dalam kerangka ini, epistemologi humanisme bersifat
hermeneutik: pengetahuan bukan cermin pasif realitas, melainkan proses dialogis
antara penafsir dan dunia yang ditafsirkan.¹⁴
Bahasa dan budaya
membentuk struktur pemahaman manusia. Clifford Geertz menegaskan bahwa
kebudayaan adalah jaringan makna yang ditenun manusia sendiri, dan tugas
filsafat maupun ilmu humaniora adalah menafsirkan jaringan itu.¹⁵ Dengan
demikian, epistemologi humanisme berakar pada pluralitas interpretasi: setiap
pengetahuan selalu bersifat kontekstual dan historis.¹⁶
Hal ini tidak
berarti relativisme total. Gadamer mengingatkan bahwa pemahaman selalu
melibatkan fusion
of horizons—perjumpaan antara horizon masa lalu dan masa kini yang
melahirkan makna baru.¹⁷ Maka, epistemologi humanisme mengakui relativitas
tanpa meniadakan rasionalitas; ia menempatkan dialog sebagai dasar kebenaran
intersubjektif.¹⁸
4.4. Kritik terhadap Positivisme dan Rasionalitas
Tertutup
Epistemologi
humanisme menolak reduksi ilmu pengetahuan menjadi sekadar pengumpulan fakta
empiris. Positivisme, yang menganggap bahwa hanya hal yang dapat diukur yang
bermakna, telah mengabaikan dimensi nilai dan makna dalam pengetahuan
manusia.¹⁹ Sebagai tanggapan, filsuf seperti Wilhelm Dilthey dan Jürgen
Habermas membedakan antara Verstehen (pemahaman) dan Erklären
(penjelasan).²⁰ Pengetahuan humanistik lebih menekankan Verstehen—upaya
memahami makna subjektif dan sosial dari tindakan manusia, bukan hanya
menjelaskan sebab-sebabnya secara mekanistik.²¹
Habermas kemudian
mengembangkan konsep “rasionalitas komunikatif” yang menegaskan bahwa
pengetahuan sejati lahir dalam komunikasi bebas dari dominasi, di mana
kebenaran diuji melalui argumentasi dan kesalingpahaman.²² Dengan demikian,
epistemologi humanisme bersifat intersubjektif dan etis, bukan teknokratis dan
hegemonik.²³
4.5. Menuju Epistemologi Humanisme Integratif
Epistemologi
humanisme pada akhirnya berupaya mengintegrasikan dimensi rasional, empiris,
eksistensial, dan dialogis dari pengetahuan manusia. Pengetahuan tidak lagi
dilihat sebagai cerminan dunia objektif yang netral, tetapi sebagai aktivitas
reflektif yang mengandung tanggung jawab moral dan sosial.²⁴
Dalam konteks
kontemporer, hal ini berarti membangun bentuk pengetahuan yang menghargai
kompleksitas manusia—baik sebagai makhluk biologis, sosial, maupun spiritual.²⁵
Epistemologi humanisme menolak absolutisme dan relativisme ekstrem sekaligus,
dengan menempatkan kebenaran sebagai proses terbuka yang selalu dapat dikoreksi
melalui dialog dan pengalaman.²⁶ Dengan demikian, humanisme epistemologis tidak
sekadar mengajarkan “apa yang diketahui,” tetapi “bagaimana manusia
menjadi lebih manusiawi melalui pengetahuannya.”²⁷
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 505a–509c.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908),
I.1–2.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Practical
Reason, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 27–29.
[4]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008),
115–117.
[5]
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 3–8.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.
[7]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a
Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff,
1983), 56–59.
[8]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 2002), xvi–xvii.
[9]
Wilhelm Dilthey, Introduction to the
Human Sciences, trans. Ramon J.
Betanzos (Detroit: Wayne State University Press, 1988), 78–80.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 269–271.
[11]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 38–40; Albert Camus, The Myth of Sisyphus,
trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1991), 11–12.
[12]
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The
Voluntary and the Involuntary,
trans. Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 45–47.
[13]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 383–385.
[14]
Ibid., 390.
[15]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–6.
[16]
Ibid., 27.
[17]
Gadamer, Truth and Method, 302–304.
[18]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests (Boston: Beacon Press,
1971), 309–310.
[19]
Auguste Comte, Cours de Philosophie
Positive, vol. 1 (Paris: Bachelier,
1830), 10–12.
[20]
Dilthey, Introduction to the
Human Sciences, 94–96.
[21]
Jürgen Habermas, On the Logic of the
Social Sciences, trans. Shierry
Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge: MIT Press, 1988), 127–129.
[22]
Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1,
286–289.
[23]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press,
1995), 114–116.
[24]
Charles Taylor, The Ethics of
Authenticity (Cambridge: Harvard
University Press, 1991), 45–47.
[25]
Martha C. Nussbaum, Cultivating
Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge: Harvard University Press, 1997), 8–10.
[26]
Richard J. Bernstein, Beyond
Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1983), 18–20.
[27]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 2000), 72–73.
5.
Aksiologi Humanisme: Nilai, Etika, dan
Moralitas
5.1. Prinsip Dasar Etika Humanistik: Martabat dan
Otonomi Manusia
Aksiologi humanisme
berakar pada keyakinan bahwa nilai moral tertinggi terdapat dalam martabat dan
kebebasan manusia sebagai makhluk rasional dan bertanggung jawab.¹ Dalam
pandangan ini, nilai bukan diturunkan dari otoritas eksternal—baik agama,
negara, maupun sistem metafisik tertutup—melainkan berakar pada kapasitas
manusia untuk menilai dan menentukan tindakannya sendiri secara rasional dan
etis.² Immanuel Kant menegaskan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya
sendiri (Zweck an
sich selbst) dan tidak boleh diperlakukan semata sebagai alat bagi
tujuan lain.³ Dengan demikian, otonomi manusia menjadi dasar ontologis dan
moral bagi seluruh sistem nilai humanistik.
Nilai-nilai
humanisme—seperti kebebasan, keadilan, dan solidaritas—bertujuan membangun
kondisi di mana setiap individu dapat mengaktualisasikan potensinya secara
penuh.⁴ Aksiologi ini menolak segala bentuk reduksi manusia, baik oleh
kekuasaan politik, teknologi, maupun ekonomi. Karenanya, etika humanistik
berupaya mempertahankan keseimbangan antara kebebasan individual dan tanggung
jawab sosial, antara hak dan kewajiban, antara otonomi dan empati.⁵
5.2. Humanisme dan Teori Nilai: Dari Scheler hingga
Nussbaum
Dalam tradisi
aksiologi modern, Max Scheler menjadi tokoh penting yang menempatkan manusia
sebagai makhluk yang mampu menghayati nilai melalui cinta dan intuisi moral.⁶
Ia menolak relativisme dan menegaskan bahwa nilai-nilai moral bersifat
objektif, meskipun penghayatannya bersifat personal.⁷ Manusia, dalam kerangka
Schelerian, bukan pencipta nilai, melainkan pengenal nilai (Wertnehmung),
yang melalui cinta dapat menyingkap hierarki nilai: nilai-nilai kenikmatan,
kehidupan, spiritual, dan kesucian.⁸
Sementara itu,
Martha Nussbaum mengembangkan teori nilai humanistik dalam konteks etika
kapabilitas (capabilities approach).⁹ Bagi
Nussbaum, keadilan moral tidak dapat dilepaskan dari kemampuan manusia untuk
menjalani kehidupan yang bermartabat. Ia merumuskan sepuluh kapabilitas
dasar—seperti kehidupan, kesehatan, integritas tubuh, dan afiliasi
sosial—sebagai nilai universal yang harus dijamin dalam setiap masyarakat yang
manusiawi.¹⁰ Pendekatan ini menghubungkan dimensi moral dengan dimensi
sosial-politik, sehingga menjadikan humanisme bukan hanya refleksi filosofis,
tetapi juga proyek etis dan praktis untuk menciptakan struktur keadilan yang
berorientasi pada kesejahteraan manusia.¹¹
5.3. Etika Tanggung Jawab dan Humanisme Dialogis
Humanisme
kontemporer menekankan dimensi tanggung jawab sebagai inti moralitas. Hans
Jonas, dalam The Imperative of Responsibility,
menegaskan bahwa teknologi modern telah memperluas jangkauan tindakan manusia
hingga ke masa depan dan ekosistem global, sehingga etika tradisional yang berpusat
pada individu tidak lagi memadai.¹² Etika tanggung jawab mengandaikan kewajiban
moral untuk menjaga keberlangsungan kehidupan dan martabat generasi
mendatang.¹³
Sejalan dengan itu,
Emmanuel Levinas menempatkan tanggung jawab terhadap “yang Lain” (l’Autre)
sebagai prinsip pertama etika.¹⁴ Bagi Levinas, hubungan etis tidak bermula dari
kesetaraan atau kontrak sosial, melainkan dari seruan wajah orang lain yang
menuntut tanggapan moral.¹⁵ Dengan demikian, etika humanistik bukan sekadar
rasionalitas normatif, melainkan pengalaman eksistensial akan kehadiran yang
Lain. Martin Buber melengkapi perspektif ini melalui gagasan Ich-Du,
bahwa relasi “Aku–Engkau” bersifat dialogis dan melahirkan makna
kemanusiaan yang otentik.¹⁶
Etika dialogis ini
menempatkan komunikasi, pengakuan, dan empati sebagai pusat nilai moral. Dalam
pandangan Jürgen Habermas, moralitas sejati muncul dalam tindakan komunikatif,
ketika individu berinteraksi berdasarkan prinsip kesalingpahaman tanpa
paksaan.¹⁷ Dengan demikian, tanggung jawab etis menjadi struktur dasar
kehidupan sosial yang humanistik, di mana manusia saling menghormati sebagai
subjek yang otonom sekaligus saling terkait.¹⁸
5.4. Humanisme, Keadilan Sosial, dan Hak Asasi Manusia
Salah satu ekspresi
paling nyata dari aksiologi humanisme adalah gagasan hak asasi manusia (HAM).¹⁹
Prinsip bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat karena martabatnya
berasal dari fondasi humanistik yang panjang, sejak Renaisans hingga
Pencerahan.²⁰ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) mencerminkan
penerapan prinsip humanistik dalam ranah hukum dan politik global: pengakuan
bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak.²¹
Humanisme moral
tidak berhenti pada hak individual, tetapi juga menuntut keadilan sosial
sebagai kondisi yang memungkinkan hak-hak itu diwujudkan.²² Dalam konteks ini,
etika humanistik beririsan dengan teori keadilan John Rawls, yang menegaskan
bahwa prinsip moral harus menjamin kebebasan yang setara bagi semua orang serta
memberikan perhatian khusus pada kelompok yang paling lemah.²³ Dengan demikian,
humanisme etis menciptakan jembatan antara moralitas pribadi dan struktur
sosial-politik, menegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus diwujudkan dalam
lembaga-lembaga publik yang adil dan inklusif.²⁴
5.5. Humanisme, Cinta Kasih, dan Spiritualitas Moral
Akhirnya, dimensi
terdalam dari aksiologi humanisme terletak pada cinta kasih (agape
atau caritas),
yang menjadi inti dari semua nilai moral.²⁵ Dalam hal ini, Erich Fromm
menafsirkan cinta bukan sebagai emosi, melainkan sebagai tindakan etis yang
berakar pada penghormatan terhadap kehidupan dan kebebasan orang lain.²⁶ Cinta,
bagi Fromm, adalah bentuk tertinggi dari rasionalitas moral, karena ia
mengatasi egoisme dan membuka ruang bagi solidaritas universal.²⁷
Humanisme spiritual
seperti yang dikembangkan oleh Albert Schweitzer—dengan semboyan Reverence
for Life—menegaskan bahwa tindakan etis sejati adalah penghormatan
terhadap semua bentuk kehidupan.²⁸ Dalam horizon ini, nilai-nilai humanistik
tidak hanya bersifat antropologis, tetapi juga kosmologis dan ekologis. Dengan
demikian, etika humanistik mencapai bentuk paling integralnya ketika manusia
memandang diri sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas, dan
bertanggung jawab atas keberlanjutannya.²⁹
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 13–15.
[2]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 140–143.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.
[4]
Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33–35.
[5]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press,
1995), 110–112.
[6]
Max Scheler, Formalism in Ethics and
Non-Formal Ethics of Values, trans.
Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University Press,
1973), 3–5.
[7]
Ibid., 89–90.
[8]
Ibid., 97–100.
[9]
Nussbaum, Creating Capabilities, 18–20.
[10]
Ibid., 33–34.
[11]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–38.
[12]
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.
[13]
Ibid., 12–14.
[14]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.
[15]
Ibid., 44–46.
[16]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1958), 20–22.
[17]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.
[18]
Ibid., 289–291.
[19]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights:
A History (New York: W.W. Norton,
2007), 15–17.
[20]
Charles Beitz, The Idea of Human
Rights (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 3–5.
[21]
United Nations, Universal Declaration
of Human Rights (Paris: UN General
Assembly, 1948), Article 1.
[22]
Martha C. Nussbaum, Frontiers
of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 16–18.
[23]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge: Harvard University Press,
1999), 52–54.
[24]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 25–27.
[25]
Albert Schweitzer, Out of My Life and
Thought: An Autobiography, trans.
C.T. Campion (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1949), 157–159.
[26]
Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), 19–21.
[27]
Ibid., 99–100.
[28]
Schweitzer, Reverence for Life, trans. Reginald H. Fuller (New York: Philosophical
Library, 1949), 40–42.
[29]
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 15–17.
6.
Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural Humanisme
6.1. Humanisme dan Dasar Sosial Kemanusiaan
Humanisme tidak
hanya merupakan pandangan filosofis mengenai martabat individu, tetapi juga
suatu proyek
sosial yang berakar pada keyakinan akan kesetaraan,
solidaritas, dan kebersamaan manusia dalam kehidupan bersama (communitas
humana).¹ Sejak masa klasik, filsafat Yunani telah menegaskan bahwa
manusia adalah zoon politikon—makhluk yang hanya
dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan sosial dan politik.² Dengan
demikian, dimensi sosial humanisme menegaskan bahwa kemanusiaan bukan sifat
individual yang terisolasi, melainkan relasional dan dialogis.³
Dalam konteks
modern, pemikiran humanistik menolak pandangan atomistik masyarakat yang
melihat manusia semata sebagai individu rasional yang bersaing. Sebaliknya,
humanisme menekankan prinsip reciprocity (timbal balik) dan recognition
(pengakuan) sebagai dasar moral komunitas.⁴ Axel Honneth, misalnya, menegaskan
bahwa keutuhan identitas manusia hanya dapat terbentuk melalui pengakuan timbal
balik antara individu dan masyarakat.⁵ Maka, tindakan sosial yang menegasikan
martabat orang lain secara langsung melemahkan kemanusiaan itu sendiri.
6.2. Humanisme dan Politik: Kebebasan, Keadilan, dan
Demokrasi
Secara politik,
humanisme melahirkan paradigma baru dalam teori keadilan dan pemerintahan
modern. Warisan humanisme Renaisans dan Pencerahan menginspirasi munculnya
gagasan hak asasi manusia, kedaulatan
rakyat, dan demokrasi liberal.⁶ Jean-Jacques
Rousseau, dalam Du contrat social, menyatakan bahwa
kebebasan sejati hanya mungkin tercapai dalam tatanan politik yang menjamin
kesetaraan moral setiap warga negara.⁷
Namun, dalam
perkembangannya, humanisme politik tidak berhenti pada demokrasi prosedural.
Humanisme sosial menuntut agar demokrasi juga menjadi sarana untuk menciptakan
kondisi yang memungkinkan partisipasi aktif, keadilan distributif, dan
perlindungan terhadap kelompok rentan.⁸ John Dewey, tokoh pragmatis Amerika,
menafsirkan demokrasi sebagai “cara hidup” yang menuntut keterlibatan
etis dan pendidikan moral warga negara.⁹
Dalam pandangan
kontemporer, Amartya Sen dan Martha Nussbaum menghubungkan humanisme politik
dengan teori kapabilitas, di mana kebebasan manusia diukur bukan hanya dari hak
formal, tetapi juga dari kemampuan nyata untuk menjalani kehidupan
bermartabat.¹⁰ Oleh karena itu, humanisme politik tidak hanya berbicara tentang
struktur kekuasaan, tetapi juga tentang empowerment manusia sebagai agen
etis dan sosial.¹¹
6.3. Humanisme dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Humanisme menjadi
fondasi filosofis utama bagi konsepsi hak asasi manusia modern. Prinsip bahwa
setiap individu memiliki nilai yang melekat (inherent dignity) karena
kemanusiaannya tercermin dalam Universal Declaration of Human Rights
(1948), yang menegaskan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam
martabat dan hak.¹² Lynn Hunt menyebut bahwa ide hak asasi manusia hanya
mungkin muncul setelah masyarakat Barat menginternalisasi “empati moral”
sebagai nilai humanistik—yakni kemampuan membayangkan penderitaan orang lain
sebagai penderitaan diri sendiri.¹³
Humanisme, dengan
demikian, tidak hanya berfungsi sebagai ide abstrak, tetapi sebagai imperatif
moral global. Dalam konteks dunia yang diwarnai oleh kekerasan,
ketimpangan, dan dehumanisasi, humanisme menegaskan kembali bahwa legitimasi
politik hanya sah jika menghormati dan melindungi martabat manusia.¹⁴
Sebagaimana ditegaskan oleh Habermas, prinsip normatif masyarakat modern
terletak pada rasionalitas komunikatif—bahwa hukum dan kebijakan publik harus
lahir dari wacana yang inklusif dan bebas dari dominasi.¹⁵
6.4. Humanisme, Pendidikan, dan Kebudayaan
Dimensi kultural
humanisme paling nyata terlihat dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Sejak
masa Renaisans, pendidikan humanistik (studia humanitatis) bertujuan
menumbuhkan keutamaan moral, kritisisme rasional, dan kepekaan estetik yang
memperkaya jiwa manusia.¹⁶ Erasmus dari Rotterdam menganggap pendidikan sebagai
sarana untuk “membentuk manusia sejati” (homo humanus) yang mampu berpikir
bebas dan bertindak berdasarkan kebajikan.¹⁷
Dalam dunia modern,
pendidikan humanistik menjadi inti dari proyek peradaban. Paulo Freire, melalui
Pedagogy
of the Oppressed, menekankan bahwa pendidikan sejati adalah dialog
yang membebaskan manusia dari struktur penindasan.¹⁸ Pendidikan yang humanistik
membangun kesadaran kritis (conscientização)—yakni kemampuan
untuk memahami realitas sosial secara reflektif dan bertindak untuk
mengubahnya.¹⁹
Dalam ranah
kebudayaan, humanisme menekankan bahwa seni, sastra, dan praktik budaya
merupakan ekspresi terdalam dari kemanusiaan. Clifford Geertz menyebut
kebudayaan sebagai “jaringan makna yang ditenun manusia sendiri.”²⁰ Oleh
karena itu, pelestarian kebudayaan bukan sekadar soal tradisi, tetapi bagian integral
dari upaya mempertahankan martabat dan identitas manusia.²¹
6.5. Humanisme Global dan Solidaritas Antarbangsa
Di era globalisasi,
humanisme menghadapi tantangan baru berupa konflik identitas, krisis migrasi,
dan ketimpangan global.²² Meskipun globalisasi menjanjikan keterhubungan
universal, realitas menunjukkan bahwa kemajuan teknologi dan ekonomi sering
kali memperdalam jurang sosial.²³ Dalam konteks ini, muncul gagasan humanisme
kosmopolitan, sebagaimana dikembangkan oleh Martha Nussbaum dan
Kwame Anthony Appiah, yang menegaskan bahwa moralitas harus melampaui
batas-batas nasional dan etnis.²⁴
Humanisme
kosmopolitan menolak chauvinisme dan eksklusivisme budaya, serta menegaskan
pentingnya tanggung jawab moral global—baik terhadap sesama manusia maupun
terhadap planet ini.²⁵ Dalam hal ini, humanisme baru harus bersifat interkultural
dan ekologis,
menghormati pluralitas sambil mencari dasar etis universal bagi kehidupan
bersama.²⁶ Sebagaimana ditegaskan oleh Edgar Morin, masa depan peradaban bergantung
pada kemampuan kita membangun “kesadaran bumi” (planetary
consciousness) yang memandang kemanusiaan sebagai satu komunitas
yang saling bergantung.²⁷
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 32–34.
[2]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 1253a–1255b.
[3]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue, 3rd ed. (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), 204–206.
[4]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press,
1995), 107–109.
[5]
Ibid., 111–113.
[6]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights:
A History (New York: W.W. Norton,
2007), 24–26.
[7]
Jean-Jacques Rousseau, The
Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–51.
[8]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–38.
[9]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 101–103.
[10]
Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 32–35.
[11]
Ibid., 52–54.
[12]
United Nations, Universal Declaration
of Human Rights (Paris: UN General
Assembly, 1948), Preamble.
[13]
Hunt, Inventing Human Rights, 38–41.
[14]
Charles Beitz, The Idea of Human
Rights (Oxford: Oxford University
Press, 2009), 4–6.
[15]
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
110–113.
[16]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance
Thought and Its Sources (New York:
Columbia University Press, 1979), 21–23.
[17]
Desiderius Erasmus, The
Education of a Christian Prince,
trans. Lisa Jardine (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 13–15.
[18]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum,
2000), 45–47.
[19]
Ibid., 54–55.
[20]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–6.
[21]
Ibid., 12–14.
[22]
Ulrich Beck, What Is Globalization? (Cambridge: Polity Press, 2000), 45–47.
[23]
Zygmunt Bauman, Globalization: The
Human Consequences (New York:
Columbia University Press, 1998), 2–4.
[24]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism:
Ethics in a World of Strangers (New
York: W.W. Norton, 2006), xvii–xx.
[25]
Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 33–35.
[26]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 72–74.
[27]
Edgar Morin, Homeland Earth: A
Manifesto for the New Millennium,
trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton Press, 1999),
14–17.
7.
Kritik terhadap Humanisme
7.1. Kritik Marxis: Humanisme sebagai Ideologi Borjuis
Kritik terhadap
humanisme pertama kali memperoleh bentuk sistematis dalam tradisi Marxis. Karl
Marx, dalam Theses on Feuerbach (1845), menolak
humanisme idealis yang memandang manusia sebagai subjek abstrak yang terlepas
dari kondisi material dan sosialnya.¹ Bagi Marx, konsep “hakikat manusia”
tidak dapat dipisahkan dari relasi sosial konkret—terutama dari hubungan
produksi dan kerja.² Humanisme, dalam bentuk liberalnya, dianggap berfungsi
sebagai ideologi yang menutupi kontradiksi kelas dengan menonjolkan
universalitas palsu tentang “manusia,” padahal dalam kenyataannya,
manusia hidup dalam struktur ketimpangan ekonomi dan politik.³
Dalam pandangan ini,
humanisme borjuis menjadikan “manusia” sebagai entitas homogen yang
mengaburkan fakta eksploitasi.⁴ Oleh karena itu, Marx menggantikan humanisme
metafisis dengan “humanisme praksis,” yakni gagasan bahwa kemanusiaan
tidak diberikan, melainkan harus diwujudkan melalui perjuangan revolusioner
yang membebaskan manusia dari alienasi.⁵ Humanisme sejati, bagi Marx, hanya
mungkin terwujud dalam masyarakat tanpa kelas, di mana relasi antarmanusia
tidak lagi dimediasi oleh kepemilikan dan dominasi.⁶
7.2. Kritik Nietzsche: Anti-Humanisme dan Kematian Tuhan
Friedrich Nietzsche
mengajukan kritik radikal terhadap humanisme dengan menuduhnya masih berakar
pada moralitas Kristen yang melemahkan manusia. Dalam Also
sprach Zarathustra, Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati,”
dan bersamanya runtuh pula semua nilai absolut yang selama ini menopang
humanisme moral dan rasional.⁷ Ia menolak pandangan bahwa manusia memiliki
martabat universal; sebaliknya, manusia adalah makhluk yang harus mengatasi
dirinya sendiri menuju Übermensch—manusia unggul yang
mencipta nilai baru melalui kehendak kuasa (der Wille zur Macht).⁸
Nietzsche melihat
humanisme sebagai bentuk “antropoteisme,” di mana manusia menggantikan posisi
Tuhan tanpa mengubah struktur nilai lama.⁹ Dengan mempertahankan konsep
moralitas universal, humanisme justru menghambat potensi kreatif manusia untuk
menilai dan mencipta makna secara bebas.¹⁰ Kritik Nietzsche menyingkap dimensi
nihilistik dari humanisme modern: jika semua nilai bersumber dari manusia, maka
ketika manusia kehilangan makna, seluruh sistem nilai pun runtuh.¹¹
7.3. Kritik Heidegger: Humanisme sebagai Metafisika
Subjektivitas
Martin Heidegger menilai
bahwa tradisi humanisme, sejak Renaisans hingga Eksistensialisme, masih
terjebak dalam paradigma metafisika subjek yang menempatkan manusia sebagai
pusat segala sesuatu.¹² Dalam Brief über den Humanismus (Letter
on Humanism), Heidegger berargumen bahwa humanisme gagal memahami
makna “ada” (Sein) karena terlalu berfokus pada
“yang ada” (Seiendes), yakni manusia sebagai
subjek yang berpikir dan menguasai.¹³
Menurut Heidegger,
humanisme modern memandang manusia sebagai penguasa realitas, bukan sebagai penjaga
keberadaan.¹⁴ Hal ini melahirkan cara berpikir teknologis (Gestell),
di mana dunia direduksi menjadi objek manipulasi.¹⁵ Ia menyerukan “pengunduran
diri dari humanisme” agar manusia dapat kembali mengalami dirinya bukan
sebagai pusat, melainkan sebagai makhluk yang menerima panggilan dari Ada (Seinsruf).¹⁶
Kritik Heidegger menggeser fokus filsafat dari antroposentrisme ke
ontosentrisme, membuka ruang bagi pemikiran post-humanistik yang lebih terbuka
terhadap eksistensi non-manusia.¹⁷
7.4. Kritik Post-Strukturalis: Kematian Subjek dan
Desentralisasi Manusia
Para pemikir
post-strukturalis seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Louis Althusser
menolak asumsi humanistik tentang manusia sebagai subjek otonom dan rasional.
Foucault, dalam Les mots et les choses (The
Order of Things), menyatakan bahwa “manusia adalah penemuan yang
baru-baru ini muncul... dan mungkin akan segera lenyap seperti wajah yang
digambar di atas pasir di tepi laut.”¹⁸ Kritik ini menandai berakhirnya
paradigma humanisme modern: manusia bukan pusat pengetahuan, melainkan hasil
dari jaringan wacana, institusi, dan kekuasaan.¹⁹
Althusser menganggap
humanisme sebagai ideologi yang mengaburkan struktur material masyarakat.²⁰ Ia
mengkritik “Marxisme humanis” karena memulihkan gagasan subjek yang bebas dan
rasional, padahal struktur ideologislah yang membentuk kesadaran manusia.²¹
Sementara Derrida menyoroti keterbatasan bahasa humanistik yang berpretensi
menghadirkan makna utuh; bagi Derrida, makna selalu tertunda (différance),
sehingga tidak ada “manusia universal” yang menjadi sumber tunggal
makna.²²
Post-strukturalisme,
dengan demikian, menggugat fondasi epistemologis humanisme. Ia membuka ruang
bagi pluralitas, ketidaktetapan, dan keterkondisian makna manusia dalam
jejaring simbolik dan diskursif.²³
7.5. Kritik Ekofilosofis dan Posthumanis: Melampaui
Antroposentrisme
Kritik paling
mutakhir terhadap humanisme datang dari ekofilsafat dan posthumanisme. Rosi
Braidotti menegaskan bahwa humanisme klasik telah gagal karena berakar pada
antroposentrisme—yakni pandangan bahwa manusia adalah pusat nilai moral dan
ontologis.²⁴ Pandangan ini, menurutnya, bertanggung jawab atas eksploitasi
terhadap alam, hewan, dan bahkan manusia lain.²⁵
Posthumanisme
menolak dualisme manusia–alam dan manusia–teknologi, serta berupaya membangun
paradigma relasional yang menempatkan manusia sebagai bagian dari jaringan
kehidupan yang lebih luas.²⁶ Donna Haraway, dalam A Cyborg Manifesto, mengusulkan
figur “cyborg” sebagai simbol dari identitas hibrid manusia–mesin yang
melampaui batas-batas biologis dan kultural.²⁷ Sementara itu, Bruno Latour
dalam We Have
Never Been Modern menolak oposisi antara alam dan budaya, seraya
menegaskan bahwa seluruh entitas—baik manusia maupun non-manusia—berpartisipasi
dalam proses penciptaan realitas sosial.²⁸
Kritik posthumanis
tidak bertujuan untuk meniadakan manusia, tetapi untuk mendekonstruksi
konsep “manusia pusat segalanya” agar lahir bentuk humanisme
baru yang lebih ekologis, interdependen, dan inklusif.²⁹
7.6. Implikasi Filosofis: Dari Humanisme ke
Transhumanisme dan Neo-Humanisme
Berbagai kritik di
atas membuka peluang untuk menafsirkan kembali makna kemanusiaan. Di satu sisi,
muncul gerakan transhumanisme yang memandang
teknologi sebagai sarana untuk “meningkatkan” kemampuan manusia, baik
secara biologis maupun kognitif.³⁰ Namun, arah ini menuai kontroversi karena
berpotensi melahirkan bentuk baru dehumanisasi—yakni penggantian manusia dengan
entitas pasca-biologis.³¹
Di sisi lain, muncul
arus neo-humanisme
yang berupaya mempertahankan nilai kemanusiaan sambil mengakui keterkaitannya
dengan alam, teknologi, dan budaya global.³² Neo-humanisme, sebagaimana
dikemukakan Edgar Morin dan Martha Nussbaum, menyerukan bentuk humanisme yang
plural, dialogis, dan kosmopolitan—sebuah humanisme yang tidak lagi
antroposentris, tetapi “planetaris.”³³ Dengan demikian, kritik terhadap
humanisme tidak berakhir dengan penolakannya, melainkan membuka jalan bagi
transformasi menuju pemahaman yang lebih integral dan reflektif tentang
manusia.³⁴
Footnotes
[1]
Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), dalam The
German Ideology, trans. C.J. Arthur
(New York: International Publishers, 1970), 121–123.
[2]
Ibid., 124.
[3]
Karl Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: Dover Publications, 2007), 88–91.
[4]
Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso, 1977), 228–230.
[5]
Marx, Theses on Feuerbach, 125.
[6]
Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Frederick Ungar, 1961), 34–36.
[7]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 125–127.
[8]
Friedrich Nietzsche, Beyond
Good and Evil, trans. Judith Norman
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 202–204.
[9]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1979), 47–49.
[10]
Nietzsche, Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967),
109–112.
[11]
Ibid., 163.
[12]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 25–27.
[13]
Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks, ed.
William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 239–241.
[14]
Ibid., 243–244.
[15]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt
(New York: Harper & Row, 1977), 19–21.
[16]
Heidegger, “Letter on Humanism,” 246–248.
[17]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 133–136.
[18]
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences
(New York: Vintage, 1994), 387.
[19]
Ibid., 321–324.
[20]
Althusser, For Marx, 233–236.
[21]
Louis Althusser, Essays in
Self-Criticism, trans. Grahame Lock
(London: Verso, 1976), 189–191.
[22]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago
Press, 1978), 278–280.
[23]
Ibid., 285–287.
[24]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 1–3.
[25]
Ibid., 87–89.
[26]
Cary Wolfe, What Is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010),
xvi–xviii.
[27]
Donna J. Haraway, A Cyborg Manifesto, dalam Simians,
Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–150.
[28]
Bruno Latour, We Have Never Been
Modern, trans. Catherine Porter
(Cambridge: Harvard University Press, 1993), 42–44.
[29]
Braidotti, The Posthuman, 190–192.
[30]
Nick Bostrom, Superintelligence:
Paths, Dangers, Strategies (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 5–7.
[31]
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 7–9.
[32]
Edgar Morin, Seven Complex Lessons
in Education for the Future (Paris:
UNESCO, 1999), 14–16.
[33]
Martha C. Nussbaum, Frontiers
of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 45–47.
[34]
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The
Voluntary and the Involuntary, trans.
Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 61–63.
8.
Relevansi Humanisme dalam Konteks Kontemporer
8.1. Krisis Kemanusiaan dan Tantangan Global Modernitas
Humanisme
kontemporer berhadapan dengan paradoks besar: di satu sisi, kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan globalisasi telah memperluas kapasitas manusia;
namun di sisi lain, krisis kemanusiaan—seperti ketimpangan sosial, konflik
etnis, degradasi lingkungan, dan dehumanisasi teknologi—menunjukkan kerapuhan
fondasi moral modernitas.¹ Manusia modern menghadapi “disorientasi
eksistensial” akibat fragmentasi nilai dan relativisme moral.²
Zygmunt Bauman
menyebut kondisi ini sebagai “modernitas cair,” di mana struktur sosial
dan nilai-nilai etis kehilangan bentuk yang stabil, membuat manusia kehilangan
arah dan makna hidup.³ Dalam situasi ini, humanisme menjadi relevan bukan
sebagai ide nostalgia masa lalu, tetapi sebagai kerangka reflektif untuk
mengembalikan makna dan tanggung jawab manusia di tengah dunia yang
terfragmentasi.⁴
Krisis global
seperti perubahan iklim, migrasi massal, dan kemiskinan ekstrem menuntut
paradigma baru yang melampaui kepentingan individual atau nasional.⁵ Humanisme
kontemporer, karenanya, harus berevolusi menjadi humanisme
planetaris—pandangan yang menegaskan keterhubungan mendalam
antara seluruh umat manusia dan bumi sebagai rumah bersama.⁶
8.2. Humanisme Digital: Manusia dalam Era Teknologi dan
Kecerdasan Buatan
Revolusi digital dan
kemajuan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan baru bagi pemahaman
tentang manusia, kebebasan, dan tanggung jawab.⁷ Teknologi yang semula
dimaksudkan untuk mempermudah kehidupan kini turut membentuk perilaku, emosi,
dan struktur sosial manusia. Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme
pengawasan” (surveillance capitalism), di mana
data manusia dijadikan komoditas untuk mengendalikan pilihan dan kesadaran
individu.⁸
Dalam konteks ini,
humanisme digital berupaya menegaskan kembali martabat manusia di tengah
algoritma dan otomatisasi.⁹ Luciano Floridi mengusulkan konsep infosphere,
yaitu ruang eksistensial baru di mana manusia harus bertindak secara etis
terhadap sistem informasi dan entitas digital lainnya.¹⁰ Etika digital
humanistik menuntut agar teknologi dikembangkan bukan untuk menggantikan
manusia, melainkan untuk memperluas kapasitasnya dalam berpikir, berempati, dan
berpartisipasi.¹¹
Dengan demikian,
relevansi humanisme dalam era teknologi tidak terletak pada nostalgia terhadap
masa pra-digital, tetapi pada kemampuan untuk mengarahkan teknologi kepada nilai-nilai
kemanusiaan—yakni transparansi, tanggung jawab, dan keadilan.¹²
8.3. Humanisme Ekologis dan Kesadaran Planetaris
Salah satu tantangan
paling mendesak bagi humanisme kontemporer adalah krisis ekologis global.
Pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa alam kini
terbukti destruktif bagi biosfer.¹³ Lynn White Jr. menuduh akar krisis ekologis
modern berasal dari paradigma teologis dan filosofis yang menempatkan manusia
di atas alam.¹⁴ Sebagai tanggapan, muncul ecological humanism atau eco-humanism,
yang menegaskan bahwa martabat manusia tidak dapat dipisahkan dari
keberlanjutan alam.¹⁵
Humanisme ekologis
menuntut perubahan radikal dari logika dominasi menuju logika interdependensi.
Thomas Berry dan Leonardo Boff mengusulkan visi cosmocentric humanism—pandangan
bahwa manusia adalah bagian dari komunitas kehidupan yang lebih luas, bukan
pusatnya.¹⁶ Etika ini memperluas cakrawala moral dari “hak asasi manusia”
menuju “hak asasi alam.”¹⁷
Relevansi humanisme
ekologis terlihat dalam kebijakan global seperti The Earth Charter (2000) yang
menegaskan tanggung jawab bersama untuk menjaga keutuhan bumi dan kesejahteraan
semua makhluk hidup.¹⁸ Dalam kerangka ini, humanisme bukan lagi sekadar
filsafat moral manusia, tetapi filsafat kehidupan yang
mempersatukan manusia dengan alam dan kosmos.¹⁹
8.4. Humanisme Interkultural dan Pluralisme Global
Dunia kontemporer
ditandai oleh pluralitas budaya, agama, dan sistem nilai. Globalisasi
mempertemukan beragam pandangan hidup yang sering kali menimbulkan ketegangan
antara universalisme dan partikularisme.²⁰ Oleh karena itu, humanisme harus
bertransformasi menjadi humanisme interkultural, yang
menghargai perbedaan tanpa kehilangan komitmen terhadap nilai-nilai universal
kemanusiaan.²¹
Raimon Panikkar
menekankan pentingnya dialog dialogal, yakni perjumpaan
antarbudaya yang tidak berangkat dari superioritas, tetapi dari kesadaran akan
saling ketergantungan eksistensial.²² Dalam konteks ini, humanisme menjadi
wadah bagi “kosmopolitanisme dialogis” sebagaimana dirumuskan Martha
Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah—pandangan bahwa kita adalah warga dunia yang
memiliki tanggung jawab etis lintas batas.²³
Humanisme
interkultural menolak dikotomi antara “Barat” dan “Timur,” serta membuka ruang
bagi kebijaksanaan lokal—seperti prinsip Ubuntu dari Afrika (“Aku adalah
karena kita”) atau gotong royong dalam tradisi
Nusantara—sebagai ekspresi otentik nilai-nilai humanistik.²⁴ Dengan demikian,
humanisme kontemporer menegaskan bahwa kemanusiaan hanya dapat dipahami dalam
konteks keberagaman yang saling memperkaya.²⁵
8.5. Humanisme Emansipatoris dan Keadilan Sosial
Di tengah
ketimpangan global dan krisis keadilan sosial, relevansi humanisme juga
terletak pada daya emansipatorisnya.²⁶ Humanisme emansipatoris menggabungkan
refleksi moral dengan praksis sosial untuk melawan ketidakadilan struktural.
Paulo Freire menegaskan bahwa “pendidikan yang membebaskan” merupakan
bentuk humanisme sejati karena mengembalikan manusia pada perannya sebagai
subjek perubahan.²⁷
Habermas memperluas
gagasan ini melalui teori tindakan komunikatif, yang memandang rasionalitas
sebagai sarana pembebasan melalui dialog kritis dan kesetaraan partisipasi.²⁸
Humanisme emansipatoris berupaya membangun masyarakat yang tidak hanya rasional
secara teknis, tetapi juga adil secara moral dan komunikatif.²⁹
Dalam konteks politik global, hal ini berarti memperjuangkan tatanan dunia yang
inklusif, setara, dan berkeadilan, di mana martabat manusia menjadi dasar etika
dan kebijakan publik.³⁰
8.6. Sintesis Kontemporer: Menuju Humanisme Integral
Semua dinamika di
atas mengarah pada kebutuhan akan humanisme integral, yaitu
paradigma yang memadukan dimensi rasional, spiritual, sosial, ekologis, dan
digital dari eksistensi manusia.³¹ Edgar Morin menyebutnya sebagai “humanisme
kompleks,” di mana manusia dipahami sebagai makhluk yang rapuh namun
kreatif, terbatas namun bertanggung jawab atas kehidupan di bumi.³²
Humanisme integral
tidak menolak modernitas, tetapi mengoreksinya dari dalam—mengembalikan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya pada horizon etis kemanusiaan.³³ Dalam visi
ini, humanisme tidak hanya berbicara tentang “hak untuk hidup,” tetapi
juga “kewajiban untuk memelihara kehidupan.”³⁴ Dengan demikian,
relevansi humanisme di abad ke-21 terletak pada kemampuannya untuk menjadi
jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara kemajuan dan
keberlanjutan, antara manusia dan dunia.³⁵
Footnotes
[1]
Zygmunt Bauman, Modernity and the
Holocaust (Ithaca: Cornell
University Press, 1989), 3–5.
[2]
Charles Taylor, The Ethics of
Authenticity (Cambridge: Harvard
University Press, 1991), 23–25.
[3]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–9.
[4]
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley (Chicago: Regnery Gateway,
1965), 11–13.
[5]
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a
New Modernity, trans. Mark Ritter
(London: Sage Publications, 1992), 45–48.
[6]
Edgar Morin, Homeland Earth: A
Manifesto for the New Millennium,
trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton Press, 1999),
15–17.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 9–11.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs,
2019), 8–10.
[9]
Floridi, The Ethics of
Information, 23–25.
[10]
Ibid., 57–59.
[11]
Peter-Paul Verbeek, Moralizing
Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 10–12.
[12]
Jürgen Habermas, The Future of Human
Nature (Cambridge: Polity Press,
2003), 67–69.
[13]
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767
(1967): 1203–1207.
[14]
Ibid., 1204.
[15]
Arran Gare, Postmodernism and the
Environmental Crisis (London:
Routledge, 1995), 118–120.
[16]
Thomas Berry, The Great Work: Our Way
into the Future (New York: Bell
Tower, 1999), 15–17; Leonardo Boff, Cry
of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 22–24.
[17]
Boff, Cry of the Earth, 26–28.
[18]
Earth Charter Commission, The
Earth Charter (Paris: UNESCO, 2000),
Preamble.
[19]
Berry, The Great Work, 31–33.
[20]
Raimon Panikkar, Cultural Disarmament:
The Way to Peace (Louisville:
Westminster John Knox Press, 1995), 42–44.
[21]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 113–115.
[22]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 75–77.
[23]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism:
Ethics in a World of Strangers (New
York: W.W. Norton, 2006), xvii–xx; Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species
Membership (Cambridge: Harvard
University Press, 2006), 37–39.
[24]
Desmond Tutu, No Future Without
Forgiveness (New York: Doubleday,
1999), 31–33.
[25]
Nussbaum, Creating Capabilities:
The Human Development Approach
(Cambridge: Harvard University Press, 2011), 45–47.
[26]
Nancy Fraser, Justice Interruptus:
Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 15–17.
[27]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 2000), 66–68.
[28]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon
Press, 1987), 288–291.
[29]
Ibid., 295–297.
[30]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 25–27.
[31]
Edgar Morin, Seven Complex Lessons
in Education for the Future (Paris:
UNESCO, 1999), 14–16.
[32]
Ibid., 18–19.
[33]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 511–513.
[34]
Leonardo Boff, Ethics and Ecology (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 40–42.
[35]
Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities, 92–94.
9.
Sintesis Filosofis Humanisme
9.1. Rekonsiliasi antara Rasionalitas, Eksistensi, dan
Relasionalitas
Sintesis filosofis
humanisme berupaya mengintegrasikan berbagai dimensi yang selama ini tampak
terpecah: antara rasionalitas dan eksistensialitas, antara otonomi individu dan
keterhubungan sosial, serta antara kebebasan dan tanggung jawab.¹ Dalam tradisi
klasik, rasionalitas menjadi inti hakikat manusia—zoon logikon menurut
Aristoteles—namun perkembangan eksistensialisme menegaskan bahwa manusia bukan
hanya makhluk berpikir, melainkan juga makhluk yang “ada dalam dunia,”
terlibat secara konkret dalam sejarah dan relasi.²
Pendekatan sintetis
ini menolak reduksi manusia menjadi sekadar subjek kognitif (seperti dalam
rasionalisme modern) atau makhluk biologis (seperti dalam positivisme).³
Manusia adalah makhluk rasional dan relasional: ia mengenal dirinya
melalui orang lain dan dunia. Emmanuel Levinas menegaskan bahwa keberadaan
manusia ditentukan bukan oleh kesadaran diri, melainkan oleh keterbukaan
terhadap “yang Lain.”⁴ Dalam hal ini, humanisme yang sejati adalah humanisme
dialogis—yang menyatukan logos (rasionalitas) dan ethos (relasi
etis).⁵
Dengan demikian,
sintesis filosofis humanisme tidak meniadakan ketegangan antara kebebasan dan
tanggung jawab, tetapi mengartikulasikannya sebagai dinamika eksistensial.
Manusia adalah makhluk yang bebas sekaligus terikat, otonom sekaligus terarah
pada yang lain.⁶
9.2. Integrasi antara Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi
Sintesis humanisme
tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga struktural. Ontologi,
epistemologi, dan aksiologi tidak dapat dipisahkan karena ketiganya saling
menjelaskan eksistensi manusia. Ontologi menjawab apa itu manusia, epistemologi
menjawab bagaimana
manusia mengetahui dirinya dan dunia, sementara aksiologi menjawab bagaimana
manusia seharusnya hidup.⁷
Dalam kerangka ini,
pengetahuan bukan sekadar akumulasi data, melainkan proses etis dan
eksistensial yang melibatkan nilai dan tanggung jawab.⁸ Paul Ricoeur menyebut
manusia sebagai “makhluk hermeneutik,” yaitu subjek yang selalu
menafsirkan dunia dan dirinya melalui simbol, tindakan, dan nilai.⁹ Maka,
sintesis humanisme memandang akal budi tidak berdiri di atas moralitas, tetapi
berakar di dalamnya: rasionalitas sejati selalu bersifat etis dan reflektif.¹⁰
Ontologi humanisme
yang berlandaskan pada martabat manusia menemukan ekspresinya dalam aksiologi
solidaritas.¹¹ Pengetahuan yang benar harus berujung pada tindakan yang
memelihara kehidupan, sementara tindakan moral yang baik selalu berakar pada
pemahaman yang benar tentang keberadaan.¹² Di sinilah humanisme menjadi “metafisika
praksis”: filsafat yang menghubungkan keberadaan, pengetahuan, dan kebaikan
dalam satu kesatuan yang dinamis.¹³
9.3. Humanisme Integral: Sintesis Spiritualitas,
Sosialitas, dan Ekologis
Dalam konteks
kontemporer, sintesis filosofis humanisme perlu melampaui batas
antroposentrisme klasik menuju humanisme integral—yakni
humanisme yang menyadari keterhubungan antara manusia, alam, dan
transendensi.¹⁴ Pierre Teilhard de Chardin menggambarkan evolusi manusia
sebagai gerak kosmik menuju kesadaran kolektif yang semakin reflektif dan
spiritual.¹⁵ Ia menegaskan bahwa kemanusiaan sejati hanya dapat dipahami dalam
horizon kosmik, di mana manusia menjadi “titik sadar dari alam semesta.”¹⁶
Humanisme integral
juga mengandaikan dimensi ekologis. Thomas Berry menulis bahwa manusia harus
memandang dirinya sebagai bagian dari Earth Community, bukan sebagai
penguasa alam.¹⁷ Dalam kerangka ini, spiritualitas ekologis bukanlah pelarian
religius, melainkan kesadaran ontologis akan kesatuan seluruh kehidupan.¹⁸
Sintesis ini juga
mengandung dimensi sosial: manusia sebagai makhluk spiritual menemukan
keutuhannya melalui keterlibatan dalam keadilan, pendidikan, dan budaya yang
memanusiakan.¹⁹ Edgar Morin menyebutnya “antropo-eko-etik,” yakni
kesadaran kompleks yang menghubungkan moralitas, biosfer, dan spiritualitas.²⁰
Dengan demikian, humanisme integral adalah jawaban atas fragmentasi modernitas:
ia memulihkan harmoni antara tubuh dan jiwa, individu dan komunitas, manusia
dan bumi.²¹
9.4. Humanisme sebagai Paradigma Emansipatoris dan
Transformatif
Sintesis humanisme
juga bersifat praksis: ia tidak berhenti pada refleksi, tetapi bergerak menuju
transformasi sosial dan moral.²² Humanisme emansipatoris—seperti dikembangkan
oleh Paulo Freire dan Habermas—menegaskan bahwa kesadaran kritis adalah bagian
dari kemanusiaan itu sendiri.²³ Tindakan manusia yang rasional harus diarahkan
bukan pada dominasi, melainkan pada pembebasan dari penindasan dan alienasi.²⁴
Habermas memandang
humanisme komunikatif sebagai basis rasionalitas baru yang bersifat dialogis,
di mana kebenaran dan keadilan lahir dari partisipasi setara dalam ruang wacana
publik.²⁵ Dalam pengertian ini, humanisme adalah proyek sosial-politik untuk
menegakkan struktur keadilan yang berpihak pada martabat manusia dan
keberlanjutan planet.²⁶
Humanisme sintetis,
dengan demikian, menggabungkan dimensi teoritis (refleksi filosofis) dan
dimensi praksis (tindakan moral dan politik).²⁷ Ia menegaskan bahwa filsafat
bukan sekadar pencarian kebenaran, tetapi juga perjuangan demi kemanusiaan yang
lebih adil dan berkelanjutan.²⁸
9.5. Menuju Humanisme Transendental dan Terbuka
Akhirnya, sintesis
filosofis humanisme harus tetap bersifat terbuka, karena kemanusiaan adalah
proyek yang belum selesai.²⁹ Jacques Maritain menyebut ini sebagai integral
humanism—humanisme yang mempersatukan iman dan akal, dunia dan
transendensi, tanpa meniadakan otonomi rasional manusia.³⁰ Ia menolak humanisme
sekuler yang menutup diri terhadap spiritualitas, tetapi juga menolak
teosentrisme yang meniadakan kebebasan manusia.³¹
Humanisme
transendental memandang manusia sebagai makhluk yang capax
Dei—mampu melampaui dirinya sendiri dalam pencarian makna yang
lebih tinggi.³² Namun, transendensi ini bukan pelarian dari dunia, melainkan
keterlibatan penuh di dalamnya.³³ Dengan demikian, humanisme sejati bersifat immanent-transcendent:
berakar pada dunia empiris, namun selalu terbuka pada horizon nilai yang
melampaui.³⁴
Dalam arti ini,
sintesis filosofis humanisme dapat dirumuskan sebagai: upaya terus-menerus
untuk menyeimbangkan antara kebebasan dan keterikatan, antara rasionalitas dan
kasih, antara immanensi dan transendensi.³⁵ Ia adalah proyek reflektif
sekaligus etis yang mengarahkan peradaban manusia menuju integrasi antara
pengetahuan, moralitas, dan kehidupan.³⁶
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 512–514.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 53–55.
[3]
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The
Voluntary and the Involuntary,
trans. Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 58–60.
[4]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.
[5]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1958), 20–22.
[6]
Gabriel Marcel, Being and Having, trans. Katharine Farrer (New York: Harper & Row,
1965), 45–47.
[7]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 10–12.
[8]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
23–25.
[9]
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan (Boston: Beacon Press,
1967), 247–249.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 385–388.
[11]
Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 46–48.
[12]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests (Boston: Beacon Press,
1971), 308–310.
[13]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 341–343.
[14]
Pierre Teilhard de Chardin, The
Phenomenon of Man, trans. Bernard
Wall (New York: Harper & Row, 1959), 257–259.
[15]
Ibid., 260–262.
[16]
Ibid., 270–272.
[17]
Thomas Berry, The Dream of the Earth (San Francisco: Sierra Club Books, 1988), 92–94.
[18]
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry
of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 1997), 41–43.
[19]
Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), 103–105.
[20]
Edgar Morin, Seven Complex Lessons
in Education for the Future (Paris:
UNESCO, 1999), 17–19.
[21]
Ibid., 24–26.
[22]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 2000), 66–68.
[23]
Ibid., 72–73.
[24]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 285–287.
[25]
Ibid., 289–291.
[26]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 37–39.
[27]
Enrique Dussel, Ethics of Liberation in
the Age of Globalization and Exclusion,
trans. Eduardo Mendieta (Durham: Duke University Press, 2013), 12–14.
[28]
Ibid., 20–21.
[29]
Jacques Maritain, Integral Humanism, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1968), 3–5.
[30]
Ibid., 7–9.
[31]
Ibid., 13–15.
[32]
Karl Rahner, Spirit in the World, trans. William Dych (New York: Continuum, 1968),
91–93.
[33]
Paul Tillich, Love, Power, and
Justice (London: Oxford University
Press, 1954), 22–24.
[34]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 83–85.
[35]
Edgar Morin, Homeland Earth: A
Manifesto for the New Millennium,
trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton Press, 1999),
18–20.
[36]
Martha C. Nussbaum, Frontiers
of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 95–97.
10.
Kesimpulan
Humanisme, dalam lintasan sejarah filsafat,
merupakan proyek intelektual dan moral yang berupaya memahami serta memuliakan
hakikat manusia sebagai makhluk rasional, bebas, dan bermartabat.¹ Namun,
sebagaimana telah ditunjukkan melalui kajian genealogis dan kritis, humanisme
bukanlah doktrin tunggal yang statis, melainkan suatu tradisi reflektif yang
terus berubah dan beradaptasi terhadap konteks zaman.² Dari akar-akar Yunani
klasik hingga posthumanisme kontemporer, humanisme selalu bergerak antara dua
kutub: afirmasi terhadap martabat manusia dan kritik atas batas-batasnya.³
Secara ontologis, humanisme memandang manusia
sebagai makhluk yang berada di antara dunia empiris dan horizon
transendental—ia adalah ens finitum yang sadar akan keterbatasannya,
namun memiliki kapasitas untuk melampaui diri.⁴ Dalam pengertian ini, humanisme
mengakui paradoks eksistensial manusia: bahwa kebebasan dan keterikatan,
rasionalitas dan afektivitas, individualitas dan sosialitas, bukanlah
kontradiksi, melainkan dua sisi yang saling melengkapi dalam struktur
keberadaan manusia.⁵
Secara epistemologis, humanisme menegaskan bahwa
pengetahuan manusia selalu bersifat hermeneutik dan dialogis.⁶ Rasionalitas
bukan sekadar instrumen teknis untuk menguasai dunia, melainkan sarana untuk
memahami makna dan membangun kesalingpahaman antarindividu.⁷ Di sinilah letak
keunggulan epistemologi humanistik—ia menolak positivisme yang kering dari
nilai, namun juga menghindari relativisme ekstrem yang meniadakan kebenaran.⁸
Pengetahuan sejati, dalam pandangan humanistik, selalu berakar pada pengalaman
hidup, komunikasi, dan tanggung jawab moral.⁹
Secara aksiologis, humanisme memusatkan etika pada
nilai martabat manusia.¹⁰ Manusia tidak boleh diperlakukan sebagai alat, karena
setiap pribadi memiliki nilai intrinsik.¹¹ Etika humanistik menekankan tanggung
jawab, solidaritas, dan cinta kasih sebagai ekspresi tertinggi dari
rasionalitas moral.¹² Dalam konteks sosial dan politik, nilai-nilai ini
menjelma dalam perjuangan untuk keadilan, hak asasi manusia, dan perdamaian
dunia.¹³ Dalam konteks ekologis, ia berkembang menjadi etika kehidupan yang
menegaskan kesatuan antara manusia dan alam.¹⁴
Kritik terhadap humanisme—dari Marx, Nietzsche,
Heidegger, hingga para posthumanis—tidak meniadakan nilainya, melainkan
memperkaya dan memperdalamnya.¹⁵ Kritik tersebut mengingatkan bahwa setiap
bentuk humanisme yang menutup diri pada yang lain—baik itu Tuhan, alam, atau
teknologi—berisiko berubah menjadi ideologi yang menindas.¹⁶ Oleh karena itu,
humanisme harus senantiasa terbuka, reflektif, dan korektif terhadap dirinya
sendiri. Ia bukan dogma, melainkan horizon pencarian yang tak pernah usai
tentang apa artinya menjadi manusia.¹⁷
Dalam konteks kontemporer, relevansi humanisme
terletak pada kemampuannya untuk menjadi paradigma etis global.¹⁸ Dunia
yang dilanda krisis ekologis, ketimpangan ekonomi, dan disrupsi digital
membutuhkan visi kemanusiaan baru yang menyatukan ilmu pengetahuan dengan
moralitas, rasionalitas dengan empati, teknologi dengan spiritualitas.¹⁹
Humanisme integral—sebagaimana dirumuskan oleh Jacques Maritain, Edgar Morin,
dan Martha Nussbaum—mengajak manusia untuk menegakkan martabat tidak hanya bagi
dirinya sendiri, tetapi juga bagi seluruh kehidupan di bumi.²⁰
Dengan demikian, kesimpulan utama yang dapat ditarik adalah bahwa humanisme bukan
hanya teori tentang manusia, melainkan proyek etis peradaban.²¹ Ia adalah
usaha berkelanjutan untuk menyeimbangkan kekuatan dan kelemahan manusia,
kebebasan dan tanggung jawab, individualitas dan solidaritas.²² Dalam arti yang
paling mendalam, humanisme mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti terus
belajar untuk menjadi lebih manusiawi—dalam berpikir, bertindak, dan
mencintai.²³
Footnotes
[1]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek
Culture, vol. 1 (New York: Oxford University Press, 1945), 15–17.
[2]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989),
510–512.
[3]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 3–5.
[4]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 28–30.
[5]
Gabriel Marcel, Being and Having, trans.
Katharine Farrer (New York: Harper & Row, 1965), 45–47.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 382–385.
[7]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 140–142.
[8]
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and
Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1983), 17–19.
[9]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 66–68.
[10]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
42–44.
[11]
Ibid., 46.
[12]
Erich Fromm, The Art of Loving (New York:
Harper & Row, 1956), 99–100.
[13]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 52–54.
[14]
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 26–28.
[15]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Judith Norman (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 202–204.
[16]
Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” dalam Pathmarks,
ed. William McNeill (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 246–248.
[17]
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles
A. Kelbley (Chicago: Regnery Gateway, 1965), 11–13.
[18]
Edgar Morin, Homeland Earth: A Manifesto for the
New Millennium, trans. Sean Kelly and Roger Lapoint (Cresskill, NJ: Hampton
Press, 1999), 17–19.
[19]
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature
(Cambridge: Polity Press, 2003), 65–67.
[20]
Jacques Maritain, Integral Humanism, trans.
Joseph W. Evans (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1968), 5–7; Martha
C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach
(Cambridge: Harvard University Press, 2011), 91–93.
[21]
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary
and the Involuntary, trans. Erazim V. Kohák (Evanston: Northwestern
University Press, 1966), 61–63.
[22]
Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education
for the Future (Paris: UNESCO, 1999), 14–16.
[23]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 34–36.
Daftar Pustaka
Althusser,
L. (1976). Essays in self-criticism (G.
Lock, Trans.). Verso.
Althusser,
L. (1977). For Marx (B. Brewster,
Trans.). Verso.
Appiah,
K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of
strangers. W. W. Norton.
Aristotle.
(1908). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Aristotle.
(1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.
Augustine.
(1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University
Press.
Augustine.
(1991). De Trinitate (E. Hill, Trans.). New City Press.
Bauman,
Z. (1989). Modernity and the Holocaust.
Cornell University Press.
Bauman,
Z. (2000). Liquid modernity. Polity
Press.
Beck,
U. (1992). Risk society: Towards a new modernity
(M. Ritter, Trans.). Sage Publications.
Beitz,
C. (2009). The idea of human rights.
Oxford University Press.
Bernstein,
R. J. (1983). Beyond objectivism and relativism:
Science, hermeneutics, and praxis. University of Pennsylvania
Press.
Berry,
T. (1988). The dream of the Earth.
Sierra Club Books.
Berry,
T. (1999). The great work: Our way into the future.
Bell Tower.
Bhabha,
H. K. (1994). The location of culture.
Routledge.
Boff,
L. (1997). Cry of the Earth, cry of the poor.
Orbis Books.
Boff,
L. (1997). Ethics and ecology. Orbis
Books.
Bostrom,
N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers,
strategies. Oxford University Press.
Braidotti,
R. (2013). The posthuman. Polity Press.
Buber,
M. (1958). I and thou (R. G. Smith,
Trans.). Charles Scribner’s Sons.
Burckhardt,
J. (1995). The civilization of the Renaissance in
Italy (S. G. C. Middlemore, Trans.). Phaidon Press.
Camus,
A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage.
Cicero.
(1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Harvard University
Press.
Comte,
A. (1830). Cours de philosophie positive
(Vol. 1). Bachelier.
Derrida,
J. (1978). Writing and difference (A.
Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Descartes,
R. (1996). Meditations on first philosophy
(J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Dewey,
J. (1916). Democracy and education.
Macmillan.
Dewey,
J. (1925). Experience and nature. Open Court.
Dilthey,
W. (1988). Introduction to the human sciences
(R. J. Betanzos, Trans.). Wayne State University Press.
Dreyfus,
H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on
Heidegger’s Being and Time. MIT Press.
Dussel,
E. (2013). Ethics of liberation in the age of
globalization and exclusion (E. Mendieta, Trans.). Duke University
Press.
Earth
Charter Commission. (2000). The Earth Charter.
UNESCO.
Erasmus,
D. (1997). The education of a Christian prince
(L. Jardine, Trans.). Cambridge University Press.
Floridi,
L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Foucault,
M. (1994). The order of things: An archaeology of
the human sciences. Vintage.
Freire,
P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M.
B. Ramos, Trans.). Continuum.
Fromm,
E. (1956). The art of loving. Harper
& Row.
Fromm,
E. (1961). Marx’s concept of man.
Frederick Ungar.
Fukuyama,
F. (2002). Our posthuman future: Consequences of the
biotechnology revolution. Farrar, Straus and Giroux.
Gadamer,
H.-G. (1994). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Gare,
A. (1995). Postmodernism and the environmental
crisis. Routledge.
Geertz,
C. (1973). The interpretation of cultures.
Basic Books.
Gilson,
É. (1949). Being and some philosophers.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gilson,
É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas
Aquinas. Random House.
Habermas,
J. (1971). Knowledge and human interests.
Beacon Press.
Habermas,
J. (1984). The theory of communicative action
(Vol. 1). Beacon Press.
Habermas,
J. (1987). The theory of communicative action
(Vol. 2). Beacon Press.
Habermas,
J. (1988). On the logic of the social sciences
(S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.). MIT Press.
Habermas,
J. (1996). Between facts and norms: Contributions to
a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT
Press.
Habermas,
J. (2003). The future of human nature.
Polity Press.
Haraway,
D. J. (1991). A cyborg manifesto. In Simians,
cyborgs, and women: The reinvention of nature (pp. 149–181).
Routledge.
Haraway,
D. J. (2016). Staying with the trouble: Making kin in
the Chthulucene. Duke University Press.
Heidegger,
M. (1962). Being and time (J. Macquarrie
& E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger,
M. (1977). The question concerning technology
(W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Heidegger,
M. (1979). Nietzsche (Vol. 1). Harper
& Row.
Heidegger,
M. (1998). Letter on humanism. In W.
McNeill (Ed.), Pathmarks (pp. 239–248).
Cambridge University Press.
Honneth,
A. (1995). The struggle for recognition: The moral
grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.). Polity Press.
Horkheimer,
M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of
enlightenment. Stanford University Press.
Hunt,
L. (2007). Inventing human rights: A history.
W. W. Norton.
Husserl,
E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology
and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus
Nijhoff.
Jaeger,
W. (1945). Paideia: The ideals of Greek culture
(Vol. 1). Oxford University Press.
Jonas,
H. (1984). The imperative of responsibility: In
search of an ethics for the technological age. University of
Chicago Press.
Kant,
I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant,
I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kristeller,
P. O. (1979). Renaissance thought and its sources.
Columbia University Press.
Latour,
B. (1993). We have never been modern (C.
Porter, Trans.). Harvard University Press.
Leopold,
A. (1949). A sand county almanac. Oxford
University Press.
Levinas,
E. (1969). Totality and infinity: An essay on
exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
MacIntyre,
A. (2007). After virtue (3rd ed.).
University of Notre Dame Press.
Marcel,
G. (1965). Being and having (K. Farrer,
Trans.). Harper & Row.
Maritain,
J. (1968). Integral humanism (J. W.
Evans, Trans.). University of Notre Dame Press.
Marx,
K. (1970). The German ideology (C. J.
Arthur, Trans.). International Publishers.
Marx,
K. (2007). Economic and philosophic manuscripts of
1844 (M. Milligan, Trans.). Dover Publications.
Merleau-Ponty,
M. (2002). Phenomenology of perception
(C. Smith, Trans.). Routledge.
Morin,
E. (1999). Homeland Earth: A manifesto for the new
millennium (S. Kelly & R. Lapoint, Trans.). Hampton Press.
Morin,
E. (1999). Seven complex lessons in education for
the future. UNESCO.
Nietzsche,
F. (1967). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche,
F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W.
Kaufmann, Trans.). Penguin.
Nietzsche,
F. (2002). Beyond good and evil (J.
Norman, Trans.). Cambridge University Press.
Nussbaum,
M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense
of reform in liberal education. Harvard University Press.
Nussbaum,
M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability,
nationality, species membership. Harvard University Press.
Nussbaum,
M. C. (2011). Creating capabilities: The human
development approach. Harvard University Press.
Panikkar,
R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging
religious consciousness. Orbis Books.
Panikkar,
R. (1995). Cultural disarmament: The way to peace.
Westminster John Knox Press.
Pico
della Mirandola, G. (1956). Oration on the dignity
of man (A. R. Caponigri, Trans.). Henry Regnery Company.
Plato.
(1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett
Publishing.
Rahner,
K. (1968). Spirit in the world (W. Dych,
Trans.). Continuum.
Rawls,
J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Ricoeur,
P. (1965). Fallible man (C. A. Kelbley,
Trans.). Regnery Gateway.
Ricoeur,
P. (1966). Freedom and nature: The voluntary and the
involuntary (E. V. Kohák, Trans.). Northwestern University Press.
Ricoeur,
P. (1967). The symbolism of evil (E.
Buchanan, Trans.). Beacon Press.
Ricoeur,
P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Rousseau,
J.-J. (1968). The social contract (M.
Cranston, Trans.). Penguin Books.
Sartre,
J.-P. (2007). Existentialism is a humanism
(C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Scheler,
M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics
of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.). Northwestern
University Press.
Schweitzer,
A. (1949). Out of my life and thought: An
autobiography (C. T. Campion, Trans.). Holt, Rinehart and Winston.
Schweitzer,
A. (1949). Reverence for life (R. H.
Fuller, Trans.). Philosophical Library.
Sen,
A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Sen,
A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Taylor,
C. (1989). Sources of the self: The making of the
modern identity. Harvard University Press.
Taylor,
C. (1991). The ethics of authenticity.
Harvard University Press.
Teilhard
de Chardin, P. (1959). The phenomenon of man
(B. Wall, Trans.). Harper & Row.
Tillich,
P. (1951). Systematic theology (Vol. 1).
University of Chicago Press.
Tillich,
P. (1954). Love, power, and justice.
Oxford University Press.
Tutu,
D. (1999). No future without forgiveness.
Doubleday.
United
Nations. (1948). Universal declaration of human rights.
UN General Assembly.
Verbeek,
P.-P. (2011). Moralizing technology: Understanding and
designing the morality of things. University of Chicago Press.
White,
L. Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science,
155(3767), 1203–1207. science
Wolfe,
C. (2010). What is posthumanism?
University of Minnesota Press.
Wood,
A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge
University Press.
Zuboff,
S. (2019). The age of surveillance capitalism.
PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar