Utilitarianisme dalam Etika Normatif
Konsep, Prinsip, dan Kritik terhadap Pemikiran Jeremy
Bentham & John Stuart Mill
Abstrak
Utilitarianisme merupakan salah satu teori utama
dalam etika normatif yang menekankan bahwa moralitas suatu tindakan harus
didasarkan pada konsekuensinya dalam menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi
jumlah orang terbanyak. Artikel ini mengkaji konsep dasar utilitarianisme
sebagaimana dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill,
serta mengeksplorasi kelebihan dan kritik terhadap teori ini. Bentham
mengedepankan pendekatan kalkulus hedonistik, yang menilai moralitas
berdasarkan kuantitas kesenangan yang dihasilkan, sedangkan Mill
menyempurnakannya dengan memperkenalkan distingsi antara kesenangan lebih
tinggi dan lebih rendah, yang memberikan dimensi kualitatif dalam penilaian
moral. Meskipun utilitarianisme memiliki pengaruh besar dalam berbagai bidang
seperti hukum, kebijakan publik, dan ekonomi, teori ini juga menghadapi
berbagai kritik. Dari perspektif deontologi Kantian, utilitarianisme
dikritik karena mengabaikan kewajiban moral absolut dan potensi pengorbanan hak
minoritas demi kepentingan mayoritas. Dari perspektif etika kebajikan
Aristotelian, utilitarianisme dianggap terlalu berorientasi pada hasil dan
kurang mempertimbangkan pembentukan karakter moral individu. Selain itu,
tantangan dalam pengukuran kebahagiaan dan penerapan prinsip keadilan
menjadi permasalahan dalam penerapan teori ini di dunia nyata. Meskipun
demikian, utilitarianisme tetap menjadi teori yang relevan dalam konteks etika
kontemporer, terutama dalam pengambilan keputusan berbasis kesejahteraan
sosial. Artikel ini juga merekomendasikan studi lebih lanjut mengenai integrasi
utilitarianisme dengan teori keadilan serta penerapannya dalam bidang teknologi
dan kebijakan publik.
Kata Kunci: Utilitarianisme, Jeremy Bentham, John Stuart Mill,
etika normatif, konsekuensialisme, kalkulus hedonistik, deontologi, etika
kebajikan, keadilan sosial, kebahagiaan terbesar.
PEMBAHASAN
Utilitarianisme – Jeremy Bentham & John Stuart Mill
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Etika normatif
adalah cabang filsafat moral yang berfokus pada prinsip-prinsip yang menentukan
apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai benar atau salah. Dalam ranah
ini, Utilitarianisme
muncul sebagai salah satu teori etika yang paling berpengaruh, dengan premis
utama bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹ Teori ini menekankan konsekuensi dari
suatu tindakan dan bagaimana hasilnya mempengaruhi kesejahteraan individu dan
masyarakat secara keseluruhan.
Pemikiran
utilitarian pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Jeremy Bentham (1748–1832) dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Stuart Mill (1806–1873).² Bentham merumuskan prinsip "the
greatest happiness principle" yang menyatakan bahwa kebahagiaan harus diukur secara
kuantitatif berdasarkan kesenangan dan penderitaan yang dihasilkan.³ Sementara
itu, Mill menyempurnakan konsep ini dengan menekankan bahwa kebahagiaan
memiliki dimensi kualitatif, di mana kesenangan intelektual lebih bernilai
dibandingkan kesenangan fisik.⁴
Dalam
perkembangannya, Utilitarianisme tidak hanya menjadi
teori filsafat moral tetapi juga mempengaruhi kebijakan hukum, ekonomi, dan
kebijakan publik.⁵ Meski demikian, teori ini juga mendapat banyak kritik,
terutama dari perspektif deontologi Kantian dan etika
kebajikan Aristotelian. Oleh karena itu, penting untuk memahami
prinsip-prinsip dasar Utilitarianisme serta mengeksplorasi kritik terhadap pemikiran Bentham dan Mill untuk
memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai etika normatif.
1.2.
Rumusan Masalah
Untuk memahami lebih
lanjut mengenai Utilitarianisme,
terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dalam artikel ini:
·
Apa itu
Utilitarianisme? Bagaimana konsep dasar dan prinsip-prinsipnya
dalam etika normatif?
·
Bagaimana
pemikiran Jeremy Bentham dan John Stuart Mill dalam Utilitarianisme?
Apa perbedaan dan perkembangan dari teori mereka?
·
Apa saja
kelebihan dan kritik terhadap Utilitarianisme? Apakah teori ini
masih relevan dalam konteks moralitas kontemporer?
1.3.
Tujuan dan Metode Penulisan
Tujuan dari artikel
ini adalah:
1)
Menjelaskan konsep dasar
dan prinsip-prinsip utama dalam Utilitarianisme, termasuk act
utilitarianism dan rule utilitarianism.
2)
Menganalisis pemikiran
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, serta kontribusi mereka terhadap
perkembangan teori ini.
3)
Mengulas kritik terhadap
Utilitarianisme dari berbagai perspektif filsafat moral dan etika.
Dalam menyusun
artikel ini, metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library
research) dengan merujuk pada sumber-sumber akademik yang kredibel,
seperti buku, jurnal ilmiah, dan makalah filsafat yang membahas secara mendalam
tentang Utilitarianisme.
Artikel ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai
Utilitarianisme serta relevansinya dalam perkembangan etika kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1973), 34.
[2]
Roger Crisp, Mill on Utilitarianism (London:
Routledge, 1997), 2.
[3]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 14.
[4]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker,
Son, and Bourn, 1863), 12.
[5]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 67.
2.
Konsep Dasar Utilitarianisme
2.1.
Definisi Utilitarianisme
Utilitarianisme
adalah teori dalam etika normatif yang menekankan bahwa moralitas suatu
tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Prinsip utama teori ini adalah the
greatest happiness principle, yaitu bahwa suatu tindakan dianggap
benar jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹
Utilitarianisme masuk dalam kategori etika konsekuensialis, yang
berarti nilai moral dari suatu tindakan tidak ditentukan oleh niat atau
kewajiban, melainkan oleh hasil akhirnya.²
Gagasan ini pertama
kali dikembangkan secara sistematis oleh Jeremy Bentham dan
disempurnakan oleh John Stuart Mill, yang
masing-masing memiliki pendekatan berbeda terhadap konsep kebahagiaan.³ Bentham
menekankan bahwa kebahagiaan dapat diukur secara kuantitatif, sementara Mill menambahkan dimensi kualitatif dalam
penilaian kebahagiaan. Meskipun memiliki variasi dalam pendekatan, keduanya
tetap menempatkan kebahagiaan sebagai prinsip fundamental dalam moralitas.⁴
2.2.
Prinsip Dasar Utilitarianisme
Utilitarianisme
berlandaskan pada beberapa
prinsip utama yang membedakannya dari teori etika lainnya:
2.2.1.
Prinsip Kesenangan
(Pleasure) dan Kebahagiaan (Happiness)
Menurut Bentham,
satu-satunya tujuan moral adalah memaksimalkan kesenangan dan mengurangi
penderitaan.⁵ Ia memperkenalkan kalkulus hedonistik (hedonic
calculus) sebagai metode untuk mengukur kebahagiaan berdasarkan
tujuh kriteria: intensitas, durasi, kepastian, kedekatan waktu, kesuburan
(kemungkinan menghasilkan kebahagiaan
lebih lanjut), kemurnian (kemungkinan menghindari penderitaan), dan cakupan
(jumlah orang yang terpengaruh).⁶
Namun, Mill
mengkritik pendekatan kuantitatif Bentham dengan menyatakan bahwa tidak semua
kesenangan memiliki nilai yang sama. Ia membedakan antara kesenangan
lebih tinggi (higher pleasures), seperti
aktivitas intelektual dan estetika, serta kesenangan lebih rendah (lower
pleasures), seperti kepuasan fisik.⁷ Menurut Mill, seseorang yang
pernah mengalami kesenangan intelektual tidak akan rela kembali ke kesenangan
yang lebih rendah, karena kesenangan intelektual memiliki nilai yang lebih
tinggi.⁸
2.2.2.
Konsekuensialisme
dalam Etika Utilitarian
Utilitarianisme
termasuk dalam kategori konsekuensialisme, yaitu teori
yang menilai moralitas tindakan berdasarkan akibat yang ditimbulkan.⁹ Artinya,
tindakan yang paling benar adalah yang menghasilkan konsekuensi terbaik dalam
hal kebahagiaan.
Dalam praktiknya,
prinsip ini sering digunakan dalam pengambilan keputusan dalam hukum, ekonomi,
dan kebijakan publik.¹⁰ Misalnya, dalam hukum pidana, utilitarianisme mendukung hukuman yang memberikan efek jera bagi
pelaku kejahatan dan sekaligus mencegah kejahatan lebih lanjut dalam
masyarakat.¹¹
2.3.
Dua Aliran dalam Utilitarianisme
Seiring
perkembangannya, utilitarianisme terbagi menjadi dua pendekatan utama:
2.3.1.
Act Utilitarianism
Pendekatan ini
menilai moralitas berdasarkan konsekuensi dari tindakan spesifik dalam suatu
situasi tertentu.¹² Jeremy Bentham adalah tokoh
utama dalam Act Utilitarianism, yang
berpendapat bahwa setiap tindakan harus dievaluasi secara independen berdasarkan dampaknya terhadap
kebahagiaan.¹³
Pendekatan ini
memberikan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan moral, tetapi sering dikritik
karena dapat membenarkan tindakan
yang secara umum dianggap tidak bermoral, seperti berbohong atau melakukan
ketidakadilan, jika tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan lebih besar.¹⁴
2.3.2.
Rule Utilitarianism
Sebagai respons
terhadap kelemahan Act Utilitarianism, John Stuart Mill mengembangkan konsep Rule
Utilitarianism, yang menilai moralitas berdasarkan aturan umum
yang, jika diterapkan secara konsisten, akan menghasilkan kebahagiaan terbesar dalam jangka panjang.¹⁵
Sebagai contoh,
meskipun dalam satu kasus tertentu
berbohong mungkin menghasilkan kebahagiaan lebih besar, jika aturan umum "berbohong
diperbolehkan" diterapkan dalam masyarakat, maka kepercayaan sosial
akan runtuh, sehingga mengurangi kebahagiaan secara keseluruhan. Oleh karena
itu, Rule
Utilitarianism menekankan pentingnya membentuk prinsip moral
yang berlaku secara luas demi kesejahteraan jangka panjang.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker,
Son, and Bourn, 1863), 9.
[2]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 23.
[3]
Roger Crisp, Mill on Utilitarianism (London:
Routledge, 1997), 5.
[4]
William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1973), 58.
[5]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 18.
[6]
Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, 22.
[7]
Mill, Utilitarianism, 10.
[8]
Mill, Utilitarianism, 12.
[9]
Driver, Consequentialism, 45.
[10]
R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method, and Point
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 67.
[11]
H. L. A. Hart, Punishment and Responsibility
(Oxford: Oxford University Press, 1968), 45.
[12]
J. J. C. Smart and Bernard Williams, Utilitarianism: For and Against
(Cambridge: Cambridge University Press, 1973), 15.
[13]
Smart and Williams, Utilitarianism: For and Against,
19.
[14]
Henry Sidgwick, The Methods of Ethics (London:
Macmillan, 1907), 126.
[15]
Mill, Utilitarianism, 22.
[16]
Crisp, Mill on Utilitarianism, 43.
3.
Pemikiran Jeremy Bentham dalam Utilitarianisme
3.1.
Teori “Greatest Happiness Principle”
Jeremy Bentham
(1748–1832) adalah filsuf Inggris yang dikenal sebagai pendiri utilitarianisme
klasik. Ia merumuskan prinsip dasar etika ini dalam konsep the
greatest happiness principle, yang menyatakan bahwa suatu tindakan
dianggap benar jika tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi
jumlah orang terbanyak.¹ Menurut Bentham, kebahagiaan dapat diukur melalui pengalaman kesenangan (pleasure)
dan ketiadaan penderitaan (pain), sehingga moralitas suatu
tindakan harus dievaluasi berdasarkan konsekuensi yang dihasilkannya.²
Sebagai seorang
filsuf utilitarian awal, Bentham mengembangkan pendekatan hedonistik,
yang berarti bahwa semua bentuk kesenangan secara kuantitatif memiliki nilai
yang sama.³ Ia tidak membedakan jenis kesenangan tertentu sebagai lebih tinggi atau lebih rendah, melainkan
berfokus pada cara mengukur dan membandingkan kesenangan untuk menentukan
tindakan yang paling bermanfaat.
3.2.
Kalkulus Hedonistik: Cara Mengukur Kebahagiaan
Untuk menerapkan
prinsip the
greatest happiness, Bentham memperkenalkan kalkulus hedonistik (hedonic
calculus), yaitu metode kuantitatif untuk menghitung nilai moral
dari suatu tindakan berdasarkan tujuh kriteria:
1)
Intensitas
(intensity): Seberapa kuat kesenangan yang dihasilkan?
2)
Durasi
(duration): Berapa lama kesenangan tersebut bertahan?
3)
Kepastian
(certainty): Seberapa besar kemungkinan kesenangan itu terjadi?
4)
Kedekatan
waktu (propinquity): Seberapa cepat kesenangan akan dirasakan?
5)
Kesuburan
(fecundity): Apakah kesenangan tersebut akan menghasilkan
kesenangan lebih lanjut?
6)
Kemurnian
(purity): Seberapa kecil kemungkinan kesenangan tersebut
diikuti oleh penderitaan?
7)
Cakupan
(extent): Seberapa banyak orang yang akan merasakan kesenangan
tersebut?⁴
Dengan menggunakan
kalkulus ini, Bentham berusaha menciptakan pendekatan yang objektif dalam
menentukan moralitas suatu tindakan berdasarkan dampak kesejahteraan yang dihasilkannya.
Namun, kalkulus
hedonistik mendapat banyak kritik karena dianggap terlalu mekanistis dan sulit
diterapkan dalam kehidupan nyata. Menentukan intensitas atau durasi kesenangan dengan ukuran yang pasti adalah
sesuatu yang subjektif dan sulit untuk diukur secara universal.⁵
3.3.
Aspek Utilitarianisme Bentham: Reformasi Sosial
dan Hukum
Selain dalam bidang
filsafat moral, pemikiran Bentham juga memberikan pengaruh besar dalam bidang
hukum dan kebijakan publik. Ia percaya bahwa hukum harus dibuat berdasarkan asas manfaat (utility),
yakni hukum yang baik adalah hukum yang dapat menghasilkan kebahagiaan terbesar
bagi masyarakat.⁶
Sebagai seorang
reformis hukum, Bentham menolak konsep hukum kodrat (natural
law) yang bersandar pada hak-hak yang melekat pada individu,
seperti yang dikemukakan oleh John Locke dan para pemikir pencerahan lainnya.⁷
Sebaliknya, ia mengusulkan pendekatan legal positivism, yang
menekankan bahwa hukum harus dibuat berdasarkan prinsip-prinsip rasional yang
dapat meningkatkan kesejahteraan sosial.⁸
Bentham juga
mengusulkan beberapa reformasi sosial yang signifikan, termasuk:
·
Reformasi
sistem peradilan pidana:
Ia mendukung hukuman yang lebih
berorientasi pada rehabilitasi daripada sekadar pembalasan.
·
Transparansi
dalam kebijakan pemerintah:
Bentham menentang praktik pemerintahan
yang otoriter dan menekankan pentingnya akuntabilitas pemerintah dalam
menciptakan kebijakan publik yang berorientasi pada kebahagiaan masyarakat.
·
Hak-hak
individu dalam kebijakan sosial:
Meskipun menolak hak kodrat, Bentham
tetap mendukung kebijakan yang memperluas kebebasan individu sejauh kebebasan
tersebut tidak merugikan kebahagiaan orang lain.⁹
3.4.
Kelebihan dan Kritik terhadap Bentham
3.4.1.
Kontribusi dan
Kelebihan Pemikiran Bentham
Pemikiran Bentham
memberikan kontribusi besar dalam:
1)
Menjadikan moralitas
berbasis konsekuensi sebagai prinsip utama dalam etika normatif.¹⁰
2)
Mengembangkan pendekatan
ilmiah dalam etika dengan kalkulus hedonistik.¹¹
3)
Mempromosikan reformasi
hukum dan kebijakan sosial yang berbasis manfaat bagi masyarakat luas.¹²
3.4.2.
Kritik terhadap
Utilitarianisme Bentham
Meskipun pemikiran
Bentham sangat berpengaruh, ia juga menerima banyak kritik, di antaranya:
1)
Reduksi
moralitas menjadi kuantifikasi kesenangan
Kritikus berpendapat bahwa kalkulus
hedonistik terlalu mekanistis dan gagal menangkap kompleksitas moral dalam
kehidupan manusia.¹³
2)
Mengabaikan
aspek keadilan
Utilitarianisme Bentham dikritik karena
berpotensi membenarkan ketidakadilan jika suatu tindakan menghasilkan
kebahagiaan bagi mayoritas, meskipun merugikan minoritas.¹⁴
3)
Tidak
membedakan kualitas kesenangan
Tidak seperti John Stuart Mill, Bentham
tidak membedakan antara jenis kesenangan yang lebih tinggi dan lebih rendah,
yang dianggap sebagai kelemahan karena tidak semua bentuk kesenangan memiliki
nilai yang sama.¹⁵
Meskipun demikian,
pemikiran Bentham tetap menjadi landasan utama dalam studi etika normatif dan
teori hukum, serta memberikan inspirasi bagi banyak reformasi sosial di abad
ke-19 dan ke-20.
Catatan Kaki
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 12.
[2]
William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1973), 60.
[3]
Roger Crisp, Mill on Utilitarianism (London:
Routledge, 1997), 7.
[4]
Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, 22.
[5]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 68.
[6]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 45.
[7]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Oxford University Press, 1980), 89.
[8]
Hart, Essays on Bentham, 49.
[9]
David Lyons, In the Interest of the Governed: A Study in
Bentham’s Philosophy of Utility and Law (Oxford: Oxford University
Press, 1973), 92.
[10]
Mill, Utilitarianism, 15.
[11]
Crisp, Mill on Utilitarianism, 26.
[12]
Driver, Consequentialism, 71.
[13]
Smart and Williams, Utilitarianism: For and Against
(Cambridge: Cambridge University Press, 1973), 38.
[14]
Henry Sidgwick, The Methods of Ethics (London:
Macmillan, 1907), 130.
[15]
Mill, Utilitarianism, 16.
4.
Pemikiran John Stuart Mill dalam
Utilitarianisme
4.1.
Perkembangan dari Bentham: Kritik terhadap
Konsep Kebahagiaan
John Stuart Mill
(1806–1873) adalah filsuf Inggris yang mengembangkan dan menyempurnakan teori
utilitarianisme yang sebelumnya dirumuskan oleh Jeremy Bentham. Meskipun Mill
tetap mempertahankan prinsip dasar the greatest happiness principle,
ia menyadari kelemahan dalam konsep kebahagiaan Bentham, terutama dalam hal kuantifikasi kesenangan.¹ Bentham
berpendapat bahwa semua bentuk kesenangan memiliki nilai yang sama dan hanya
dapat diukur secara kuantitatif.² Namun, Mill mengkritik pendekatan ini dengan
menekankan bahwa ada perbedaan antara kesenangan yang lebih tinggi (higher
pleasures) dan kesenangan yang lebih rendah (lower
pleasures).³
Menurut Mill,
kesenangan yang lebih tinggi bersumber dari aktivitas intelektual, estetika,
dan moralitas, seperti membaca, berpikir kritis, atau menikmati seni.⁴
Sementara itu, kesenangan yang lebih
rendah berasal dari kepuasan fisik semata, seperti makan, tidur, atau hiburan
sederhana. Mill menyatakan bahwa individu yang telah mengalami kedua jenis
kesenangan ini akan lebih memilih kesenangan yang lebih tinggi, karena
memberikan kepuasan yang lebih mendalam dan bermakna.⁵ Dengan demikian, Mill
mengubah pendekatan utilitarianisme dari perspektif kuantitatif
(Bentham) menjadi kualitatif, di mana nilai moral
suatu tindakan tidak hanya bergantung pada jumlah kebahagiaan yang dihasilkan,
tetapi juga pada kualitas kebahagiaan itu sendiri.
4.2.
Teori Utilitarianisme Mill
4.2.1.
Distingsi antara
Kesenangan Lebih Tinggi dan Kesenangan Lebih Rendah
Mill merumuskan
bahwa perbedaan utama antara dua jenis kesenangan ini terletak pada kapasitas
manusia untuk mengalami dan menghargai kesenangan intelektual.⁶
Ia menyatakan,
"Lebih baik
menjadi manusia yang tidak puas daripada menjadi babi yang puas; lebih baik
menjadi Socrates yang tidak puas daripada orang bodoh yang puas."⁷
Pernyataan ini
mencerminkan keyakinan Mill bahwa kualitas kebahagiaan lebih penting daripada
kuantitasnya. Ia berargumen bahwa manusia memiliki kapasitas rasional dan
intelektual yang memungkinkan mereka mengejar
bentuk kebahagiaan yang lebih bermakna daripada sekadar kepuasan fisik.
4.2.2.
Kebebasan dan Hak
Individu dalam Moralitas
Mill juga memberikan
kontribusi signifikan dalam konsep kebebasan individu dalam etika
utilitarianisme. Dalam bukunya On Liberty (1859), Mill menekankan
pentingnya kebebasan individu dalam menentukan jalan hidupnya sendiri, asalkan
tidak merugikan orang lain.⁸ Ia berpendapat bahwa kebebasan berpikir,
berbicara, dan bertindak adalah esensial untuk perkembangan moral dan
kebahagiaan manusia.⁹
Konsep ini berkaitan
erat dengan Rule Utilitarianism, yaitu
pendekatan yang menilai moralitas berdasarkan aturan umum yang, jika diterapkan
secara konsisten, akan menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat dalam
jangka panjang.¹⁰ Berbeda dengan Act Utilitarianism ala Bentham,
yang mengevaluasi moralitas setiap tindakan secara independen berdasarkan
konsekuensinya, Mill mengusulkan bahwa keberlanjutan kebahagiaan lebih penting
dibandingkan sekadar hasil instan.¹¹
Sebagai contoh,
meskipun berbohong dalam satu kasus tertentu mungkin membawa kebahagiaan jangka
pendek, jika kebohongan dijadikan aturan umum dalam masyarakat, maka
kepercayaan sosial akan runtuh, yang pada akhirnya mengurangi kebahagiaan
secara keseluruhan. Oleh karena itu, Mill berpendapat bahwa aturan moral harus
dirancang untuk memaksimalkan kebahagiaan dalam jangka panjang.
4.3.
Kelebihan dan Kritik terhadap Mill
4.3.1.
Kontribusi dan
Kelebihan Pemikiran Mill
Pemikiran Mill
memberikan kontribusi yang lebih kompleks dalam utilitarianisme dibandingkan
Bentham:
1)
Menawarkan dimensi
kualitatif dalam teori kebahagiaan, yang lebih realistis dibandingkan
pendekatan hedonistik Bentham.¹²
2)
Menekankan kebebasan
individu sebagai bagian dari kesejahteraan moral dan sosial.¹³
3)
Membentuk dasar bagi
Rule Utilitarianism, yang lebih dapat diterapkan dalam etika sosial dan hukum.¹⁴
4.3.2.
Kritik terhadap
Utilitarianisme Mill
Meskipun pendekatan
Mill lebih matang dibandingkan Bentham, ia tetap menghadapi kritik:
1)
Kesulitan
dalam menentukan standar objektif untuk kualitas kesenangan
Kritikus berpendapat bahwa pembagian
antara kesenangan lebih tinggi dan lebih rendah bersifat subjektif dan sulit
diukur secara universal.¹⁵
2)
Tidak
sepenuhnya mengatasi kritik terhadap utilitarianisme secara umum
Mill tetap berpegang pada prinsip the
greatest happiness, yang dapat berpotensi membenarkan tindakan
tidak adil jika hal tersebut menghasilkan kebahagiaan bagi mayoritas.¹⁶
3)
Potensi
konflik antara kebebasan individu dan kebahagiaan mayoritas
Dalam beberapa kasus, kebebasan individu
yang sangat dijunjung oleh Mill mungkin bertentangan dengan kepentingan umum,
sehingga menimbulkan dilema moral yang tidak mudah diselesaikan dalam kerangka
utilitarianisme.¹⁷
Meskipun terdapat
kritik terhadap teori Mill, pemikirannya tetap menjadi referensi utama dalam
filsafat moral dan memberikan landasan bagi banyak teori etika modern, termasuk
liberalisme politik dan filsafat hak asasi manusia.
Catatan Kaki
[1]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker,
Son, and Bourn, 1863), 11.
[2]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 14.
[3]
Roger Crisp, Mill on Utilitarianism (London:
Routledge, 1997), 7.
[4]
Mill, Utilitarianism, 12.
[5]
Crisp, Mill on Utilitarianism, 18.
[6]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 71.
[7]
Mill, Utilitarianism, 16.
[8]
John Stuart Mill, On Liberty (London: John W. Parker
and Son, 1859), 9.
[9]
Mill, On Liberty, 22.
[10]
Crisp, Mill on Utilitarianism, 30.
[11]
Smart and Williams, Utilitarianism: For and Against
(Cambridge: Cambridge University Press, 1973), 21.
[12]
Henry Sidgwick, The Methods of Ethics (London:
Macmillan, 1907), 135.
[13]
Mill, On Liberty, 36.
[14]
Crisp, Mill on Utilitarianism, 42.
[15]
Smart and Williams, Utilitarianism: For and Against,
29.
[16]
R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method, and Point
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 67.
[17]
Driver, Consequentialism, 84.
5.
Kritik Terhadap Utilitarianisme
Meskipun utilitarianisme
merupakan salah satu teori etika yang paling berpengaruh, ia juga menerima
berbagai kritik dari para filsuf moral. Kritik utama terhadap utilitarianisme
mencakup masalah metodologis dalam pengukuran kebahagiaan, konflik dengan
prinsip keadilan, serta tantangan dalam penerapannya dalam kehidupan nyata.
Beberapa perspektif yang paling signifikan dalam kritik terhadap
utilitarianisme berasal dari deontologi Kantian, etika
kebajikan Aristotelian, serta tantangan praktis dalam
penerapannya.
5.1.
Kritik dari Perspektif Deontologi (Kantian
Ethics)
Immanuel
Kant (1724–1804) adalah salah satu filsuf yang paling vokal
dalam menolak utilitarianisme. Dalam teori deontologi, Kant menekankan
bahwa moralitas suatu tindakan harus didasarkan pada prinsip kewajiban dan
bukan pada konsekuensi.¹ Berbeda dengan utilitarianisme yang menilai
benar-salah suatu tindakan berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan, Kant
berpendapat bahwa suatu tindakan hanya dapat dianggap bermoral jika dilakukan
berdasarkan imperatif kategoris, yaitu
aturan moral universal yang berlaku tanpa pengecualian.²
Salah satu kritik
utama Kant terhadap utilitarianisme adalah bahwa teori ini dapat membenarkan
tindakan yang secara intrinsik tidak etis jika tindakan tersebut menghasilkan
kebahagiaan yang lebih besar.³ Sebagai contoh, dalam skenario di mana seseorang
harus berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain, seorang utilitarian
mungkin akan mengatakan bahwa berbohong dapat diterima jika itu meningkatkan
kebahagiaan secara keseluruhan. Namun, menurut Kant, berbohong selalu salah,
karena itu bertentangan dengan prinsip universalitas dalam moralitas.⁴
Selain itu,
deontologi Kantian menegaskan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan
pada dirinya sendiri, bukan sekadar alat untuk mencapai
kebahagiaan mayoritas.⁵ Hal ini berlawanan dengan pendekatan utilitarianisme
yang cenderung memperhitungkan individu sebagai bagian dari keseimbangan
kebahagiaan total. Oleh karena itu, utilitarianisme dikritik karena berisiko
mengorbankan hak-hak individu demi kepentingan mayoritas.
5.2.
Kritik dari Perspektif Etika Kebajikan (Virtue
Ethics - Aristoteles)
Utilitarianisme juga
mendapat kritik dari perspektif etika kebajikan yang
dikembangkan oleh Aristoteles (384–322 SM).⁶
Dalam Nicomachean
Ethics, Aristoteles menekankan bahwa tujuan akhir manusia bukan
hanya mencari kebahagiaan dalam bentuk kesenangan atau kepuasan, tetapi juga
dalam bentuk eudaimonia, yaitu kebahagiaan
yang diperoleh melalui pengembangan karakter dan kebajikan moral.⁷
Salah satu kelemahan
utama utilitarianisme menurut pendekatan etika kebajikan adalah bahwa teori ini
hanya fokus pada konsekuensi dari tindakan, tanpa memperhitungkan karakter
moral individu yang bertindak.⁸ Aristoteles berpendapat bahwa etika tidak hanya
harus mengevaluasi hasil tindakan, tetapi juga kebiasaan, motivasi, dan niat
baik seseorang dalam bertindak.⁹
Selain itu, etika
kebajikan berfokus pada pengembangan karakter dan kebijaksanaan moral
(phronesis), sementara utilitarianisme hanya mempertimbangkan hasil akhir tanpa
memperhitungkan bagaimana tindakan tersebut membentuk karakter seseorang dalam
jangka panjang.¹⁰ Oleh karena itu, utilitarianisme dikritik karena gagal
memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana seseorang dapat menjadi
individu yang baik secara moral, selain hanya mengejar kebahagiaan terbesar.
5.3.
Problematika Praktis dalam Penerapan
Utilitarianisme
Selain kritik
filosofis dari deontologi dan etika kebajikan, utilitarianisme juga menghadapi
tantangan dalam penerapannya dalam dunia nyata. Beberapa permasalahan utama
meliputi:
5.3.1.
Kesulitan dalam
Mengukur Kebahagiaan
Salah satu kritik
terbesar terhadap utilitarianisme adalah kesulitan dalam mengukur kebahagiaan.¹¹
Meskipun Bentham berusaha mengatasi hal ini dengan kalkulus
hedonistik, banyak filsuf berpendapat bahwa tidak ada standar
objektif yang dapat digunakan untuk membandingkan kebahagiaan satu individu
dengan individu lainnya.¹²
Selain itu, konsep
kesenangan dan penderitaan sangat subjektif dan dapat bervariasi tergantung
pada latar belakang budaya, kondisi psikologis, dan preferensi individu.¹³
Misalnya, bagaimana kita bisa membandingkan kebahagiaan yang dirasakan seorang
seniman ketika menciptakan karya seni dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh
seorang atlet yang memenangkan perlombaan? Ketidakmampuan utilitarianisme dalam
memberikan metode kuantitatif yang benar-benar objektif untuk mengukur
kebahagiaan membuat teori ini sulit diterapkan dalam kebijakan moral dan
sosial.
5.3.2.
Potensi Mengorbankan
Hak Minoritas demi Mayoritas
Utilitarianisme
dikritik karena dapat membenarkan tindakan yang mengorbankan hak individu atau
kelompok minoritas jika hal itu meningkatkan kebahagiaan mayoritas.¹⁴ Sebagai
contoh, dalam suatu masyarakat yang mayoritas penduduknya tidak menyukai
kelompok etnis tertentu, teori utilitarianisme secara teoritis dapat digunakan
untuk membenarkan diskriminasi terhadap kelompok tersebut jika itu membawa
kebahagiaan lebih besar bagi mayoritas.¹⁵
Hal ini menimbulkan
dilema etis, karena prinsip utilitarianisme tidak selalu menjamin keadilan.
Dalam sistem hukum dan politik, hak asasi manusia sering kali berbasis pada
prinsip keadilan dan hak individu,
bukan hanya pada keseimbangan kebahagiaan total. Oleh karena itu,
utilitarianisme dikritik karena tidak memiliki mekanisme yang cukup kuat untuk
melindungi hak-hak individu dari potensi tirani mayoritas.¹⁶
Kesimpulan
Meskipun
utilitarianisme telah memberikan kontribusi besar dalam filsafat moral dan teori
hukum, teori ini juga menghadapi kritik mendalam dari berbagai perspektif.
Deontologi Kantian menentang pendekatan konsekuensialisnya yang mengabaikan
kewajiban moral absolut, sementara etika kebajikan Aristotelian mengkritik
kegagalannya dalam mempertimbangkan karakter moral individu. Selain itu,
kesulitan dalam mengukur kebahagiaan dan potensi pelanggaran terhadap hak
minoritas membuat utilitarianisme sulit diterapkan secara praktis dalam
berbagai konteks sosial.
Meskipun demikian,
utilitarianisme tetap menjadi teori yang berpengaruh dan relevan dalam banyak
diskusi etika, terutama dalam bidang kebijakan publik, ekonomi, dan teori
keadilan. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif terhadap kelebihan dan
kritik terhadap utilitarianisme sangat penting dalam mengevaluasi
aplikabilitasnya dalam kehidupan modern.
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 52.
[2]
Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
56.
[3]
Roger Crisp, Mill on Utilitarianism (London:
Routledge, 1997), 75.
[4]
Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
58.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 26.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), 14.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 18.
[8]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 67.
[9]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 22.
[10]
Annas, Intelligent Virtue, 73.
[11]
Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, 24.
[12]
Smart and Williams, Utilitarianism: For and Against,
34.
[13]
Crisp, Mill on Utilitarianism, 90.
[14]
Rawls, A Theory of Justice, 92.
[15]
Hart, Essays on Bentham, 68.
[16]
Rawls, A Theory of Justice, 98.
6.
Kesimpulan
Setelah menguraikan
konsep, prinsip, dan kritik terhadap utilitarianisme, dapat
disimpulkan bahwa teori ini merupakan salah satu pendekatan etika normatif yang
paling berpengaruh dalam filsafat moral. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill adalah dua tokoh utama dalam perkembangan teori
ini, masing-masing dengan pendekatan yang berbeda dalam mendefinisikan
kebahagiaan dan moralitas.
6.1.
Ringkasan Konsep Utilitarianisme
Utilitarianisme
berakar pada prinsip the greatest happiness, yang
menegaskan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹ Bentham memperkenalkan
konsep kalkulus
hedonistik, yang mengukur kebahagiaan secara kuantitatif
berdasarkan tujuh kriteria, seperti intensitas, durasi, dan cakupan.² Namun,
pendekatan ini dikritik karena dianggap terlalu mekanistis dan mengabaikan
perbedaan dalam kualitas kebahagiaan.
Mill mengembangkan
lebih lanjut teori ini dengan memperkenalkan distingsi antara kesenangan lebih tinggi dan
lebih rendah, yang memberikan dimensi kualitatif dalam analisis
moral utilitarianisme.³ Selain itu, ia juga memperkenalkan Rule
Utilitarianism, yang berfokus pada penerapan aturan moral yang
secara umum akan menghasilkan kebahagiaan jangka panjang.⁴
6.2.
Kontribusi Bentham dan Mill dalam Etika
Normatif
Utilitarianisme
memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan etika normatif dan memiliki
dampak luas dalam berbagai bidang, termasuk hukum, ekonomi, dan kebijakan publik.⁵
Pemikiran Bentham digunakan sebagai dasar bagi reformasi hukum dan sistem
keadilan pidana, sementara Mill berperan dalam memperkuat gagasan kebebasan
individu dan perlindungan hak asasi manusia.⁶
Pendekatan
utilitarian juga telah digunakan dalam pengambilan keputusan etis di berbagai konteks,
seperti kebijakan kesejahteraan sosial, distribusi sumber daya, dan analisis
risiko dalam ekonomi dan politik.⁷ Prinsip ini masih banyak digunakan dalam
pembuatan kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
6.3.
Relevansi Utilitarianisme dalam Konteks Modern
Dalam konteks
kontemporer, utilitarianisme tetap menjadi teori yang relevan
dalam berbagai isu etika, seperti etika lingkungan, hak asasi
manusia, dan bioetika.⁸ Misalnya, dalam debat tentang keadilan
sosial dan distribusi sumber daya, utilitarianisme dapat
digunakan untuk menentukan kebijakan yang memberikan manfaat terbesar bagi
masyarakat luas.⁹
Namun, tantangan
terbesar utilitarianisme adalah bagaimana menyeimbangkan kepentingan
individu dan mayoritas, terutama dalam masyarakat yang semakin
kompleks dan pluralistik. Kritik terhadap potensi pelanggaran
hak minoritas tetap menjadi tantangan dalam penerapan teori
ini.¹⁰
6.4.
Saran untuk Studi Lebih Lanjut
Meskipun
utilitarianisme telah memberikan kontribusi besar dalam etika normatif, masih
terdapat ruang untuk pengembangan lebih lanjut, terutama dalam menyesuaikan
teori ini dengan tantangan moral modern.
Beberapa area yang dapat dikaji lebih dalam meliputi:
1)
Integrasi
antara utilitarianisme dan teori keadilan, khususnya dalam
konteks hak individu dan hak kolektif.
2)
Penerapan
utilitarianisme dalam etika teknologi dan kecerdasan buatan, di
mana keputusan etis sering kali memerlukan pertimbangan kesejahteraan banyak
pihak.
3)
Kajian
kritis terhadap dampak kebijakan utilitarian dalam konteks politik dan ekonomi,
terutama dalam isu ketimpangan sosial.
Utilitarianisme
tetap menjadi salah satu teori etika normatif yang paling berpengaruh dalam
sejarah filsafat moral. Terlepas dari berbagai kritik yang diajukan
terhadapnya, teori ini terus berkembang dan beradaptasi untuk menghadapi
tantangan moral dalam dunia modern.
Catatan Kaki
[1]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker,
Son, and Bourn, 1863), 9.
[2]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 22.
[3]
Roger Crisp, Mill on Utilitarianism (London:
Routledge, 1997), 15.
[4]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 58.
[5]
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Studies in Jurisprudence and
Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 1982), 75.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 30.
[7]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 45.
[8]
R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method, and Point
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 82.
[9]
Singer, Practical Ethics, 49.
[10]
Rawls, A Theory of Justice, 95.
Daftar Pustaka
Annas, J. (2011). Intelligent virtue. Oxford
University Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Bentham, J. (1789). An introduction to the
principles of morals and legislation. Clarendon Press.
Crisp, R. (1997). Mill on utilitarianism.
Routledge.
Driver, J. (2012). Consequentialism.
Routledge.
Finnis, J. (1980). Natural law and natural
rights. Oxford University Press.
Hare, R. M. (1981). Moral thinking: Its levels,
method, and point. Oxford University Press.
Hart, H. L. A. (1968). Punishment and
responsibility. Oxford University Press.
Hart, H. L. A. (1982). Essays on Bentham:
Studies in jurisprudence and political theory. Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. J. Gregor, Ed. & Trans.). Cambridge University Press.
Lyons, D. (1973). In the interest of the
governed: A study in Bentham’s philosophy of utility and law. Oxford
University Press.
Mill, J. S. (1859). On liberty. John W.
Parker and Son.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Parker,
Son, and Bourn.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Sidgwick, H. (1907). The methods of ethics.
Macmillan.
Singer, P. (1993). Practical ethics.
Cambridge University Press.
Smart, J. J. C., & Williams, B. (1973). Utilitarianism:
For and against. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar