Rabu, 09 April 2025

Pemikiran Al-Ghazālī: Antara Filsafat, Teologi, dan Tasawuf dalam Tradisi Islam Klasik

Pemikiran Al-Ghazālī

Antara Filsafat, Teologi, dan Tasawuf dalam Tradisi Islam Klasik


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran intelektual dan spiritual Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111 M), salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam. Al-Ghazālī dikenal sebagai ulama multidisipliner yang merangkul sekaligus mengkritisi bidang filsafat, teologi (kalām), dan tasawuf. Tulisan ini menelusuri kontribusi Al-Ghazālī terhadap ketiga bidang tersebut, dimulai dari latar belakang biografi intelektualnya, kritiknya terhadap filsafat rasionalistik Neoplatonik, elaborasinya atas teologi Asyʿarī, hingga pengaruh sufistiknya yang dituangkan dalam Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn. Dalam aspek epistemologi, Al-Ghazālī membangun kerangka pengetahuan yang mencakup indera, akal, dan intuisi spiritual (mukāshafah), serta menekankan pentingnya integrasi antara ilmu dan amal. Artikel ini juga mengkaji pengaruh jangka panjang Al-Ghazālī terhadap dunia Islam dan Eropa Latin abad pertengahan, serta relevansi pemikirannya dalam menjawab tantangan intelektual dan spiritual kontemporer. Kajian ini menunjukkan bahwa warisan Al-Ghazālī bukan hanya historis, tetapi juga bersifat transformatif dan multidimensional.

Kata Kunci: Al-Ghazālī, filsafat Islam, teologi Asyʿarī, tasawuf, epistemologi Islam, kritik filsafat, pemikiran klasik Islam.


PEMBAHASAN

Kajian Pemikiran Al-Ghazālī Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Pemikiran Islam klasik merupakan medan yang kaya dengan dinamika intelektual yang mencakup bidang teologi, filsafat, dan spiritualitas. Di antara tokoh-tokoh besar yang memberikan kontribusi monumental dalam ketiga ranah tersebut adalah Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M). Ia dikenal sebagai seorang teolog Asy‘arī, filsuf yang kritis terhadap filsafat, sekaligus sufi yang mendalam dalam penghayatan spiritual. Kompleksitas dan kedalaman pemikirannya menjadikan Al-Ghazālī sebagai figur sentral dalam khazanah intelektual Islam, yang tidak hanya memengaruhi dunia Islam, tetapi juga pemikiran Eropa pada Abad Pertengahan.¹

Kepentingan untuk mengkaji pemikiran Al-Ghazālī terletak pada kemampuannya dalam menjembatani berbagai tradisi keilmuan yang pada masanya sering kali tampak saling bertentangan. Ia tidak hanya mengkritik filsafat rasionalistik dalam karyanya Tahāfut al-Falāsifah, tetapi juga merumuskan teologi Islam berdasarkan kerangka Asy‘arī yang seimbang antara akal dan wahyu.² Di sisi lain, Al-Ghazālī juga memperlihatkan keterbukaan terhadap dimensi spiritual dalam Islam, yang kemudian dituangkan dalam karya monumentalnya, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, yang dianggap sebagai sintesis paling komprehensif antara hukum Islam, akhlak, dan tasawuf.³

Studi terhadap pemikiran Al-Ghazālī tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga relevansi yang tinggi dalam konteks kontemporer. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan modern dan krisis spiritual yang melanda sebagian besar masyarakat Muslim, pendekatan integratif yang ditawarkan Al-Ghazālī dapat menjadi inspirasi bagi rekonstruksi pemikiran Islam yang menyeluruh dan seimbang.⁴ Dalam hal ini, pendekatan Al-Ghazālī terhadap epistemologi, etika, serta relasi antara syariat dan hakikat menunjukkan signifikansi pemikirannya yang melampaui zamannya.

Artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif pemikiran Al-Ghazālī dengan menelusuri aspek filsafat, teologi, dan tasawuf dalam karyanya. Dengan mengacu pada sumber-sumber primer dan kajian ilmiah kontemporer, tulisan ini hendak menyajikan analisis yang tidak hanya deskriptif, tetapi juga kritis terhadap gagasan-gagasan utama Al-Ghazālī dan pengaruhnya dalam sejarah pemikiran Islam.


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 8.

[2]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 5–10; lihat juga Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 37–40.

[3]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, n.d.), 22; lihat juga Hamid Algar, “Imam Ghazali: A Profile,” Islamic Studies 25, no. 3 (1986): 291–305.

[4]                Zainal Abidin Bagir, “Kritik terhadap Rasionalisme: Al-Ghazali dan Masalah Epistemologi Islam,” Mizan: Journal for Islamic Studies 4, no. 1 (2005): 87–103.


2.           Biografi Singkat Al-Ghazālī

Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī lahir pada tahun 450 H/1058 M di kota Ṭūs, wilayah Khurāsān (sekarang termasuk wilayah Iran). Nama lengkapnya menunjukkan garis keturunan dari ayahnya, yang dikenal sebagai seorang pengrajin pemintal wol (ghazzāl), sehingga muncul perbedaan penulisan namanya: al-Ghazālī (nisbat profesi) dan al-Ghazzālī (nisbat tempat). Namun, mayoritas ulama dan peneliti menggunakan bentuk al-Ghazālī

Al-Ghazālī dibesarkan dalam lingkungan yang sederhana. Setelah ayahnya wafat, ia dan saudaranya, Aḥmad, diasuh oleh seorang sufi yang merupakan sahabat ayah mereka. Lingkungan inilah yang kelak membentuk kecenderungan spiritualitas dalam dirinya. Ia mengawali pendidikan formalnya di Ṭūs, sebelum kemudian melanjutkan studi ke Nīshāpūr, pusat keilmuan penting pada masa itu. Di sana, ia belajar kepada Imam al-Ḥaramayn al-Juwaynī (w. 478 H/1085 M), seorang teolog dan faqih terkemuka dalam mazhab Asy‘arī dan Syafi‘i.²

Setelah wafatnya al-Juwaynī, Al-Ghazālī bergabung dengan istana wazir Nizām al-Mulk, dan pada usia sekitar 34 tahun diangkat sebagai guru besar di Madrasah Niẓāmiyyah di Bagdad—salah satu lembaga pendidikan paling prestisius dalam dunia Islam saat itu. Ia mencapai puncak karier akademik dan sosialnya di sana. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama. Ia mengalami krisis intelektual dan spiritual yang mendalam, yang ia gambarkan dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl.³ Dalam karya tersebut, ia menyatakan bahwa berbagai cabang ilmu yang ia pelajari—termasuk filsafat, ilmu kalam, bahkan fikih—belum mampu memberikan ketenangan batin dan kepastian hakiki.⁴

Pada tahun 488 H/1095 M, dalam kondisi tekanan jiwa yang berat, ia meninggalkan kedudukan dan kehidupannya di Bagdad, mengaku sakit, dan memulai perjalanan pengembaraan spiritual. Ia menetap di Damaskus, kemudian ke Yerusalem, dan juga ke Hijaz untuk berhaji. Dalam periode inilah ia semakin mendalami tasawuf secara praktis. Setelah lebih dari satu dekade menyendiri dan bermeditasi, ia kembali ke Ṭūs dan mendirikan sebuah zawiyah (tempat ibadah dan pengajaran sufistik) di samping rumahnya.⁵

Al-Ghazālī wafat pada tanggal 14 Jumādā al-Ākhirah 505 H / 19 Desember 1111 M di kampung halamannya di Ṭūs. Ia meninggalkan warisan keilmuan yang sangat luas, mencakup berbagai bidang seperti fikih, kalam, filsafat, logika, etika, dan tasawuf. Karya-karyanya terus menjadi rujukan utama dalam pendidikan Islam klasik dan modern, dengan pengaruh yang menjangkau dunia Timur dan Barat.⁶


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 24.

[2]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 20–22.

[3]                Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba and K. Ayyad (Damascus: Maktab al-Nahḍah, 1934), 15–17.

[4]                Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Ash‘arite School,” Journal of the American Oriental Society 121, no. 4 (2001): 598.

[5]                Hamid Algar, “Imam Ghazali: A Profile,” Islamic Studies 25, no. 3 (1986): 295–298.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 128–130.


3.           Kontribusi dalam Bidang Filsafat

Al-Ghazālī merupakan salah satu pemikir Muslim klasik yang memainkan peran penting dalam diskursus filsafat Islam. Meskipun ia dikenal luas karena kritik tajamnya terhadap filsafat, posisinya dalam sejarah pemikiran tidak dapat disederhanakan sebagai “anti-filsafat.” Sebaliknya, ia adalah seorang cendekiawan yang mendalami filsafat secara sistematis sebelum kemudian mengkritiknya secara metodologis dan teologis.¹

Studi filsafat Al-Ghazālī dimulai dari upaya intelektualnya untuk memahami sumber-sumber logika dan metafisika Yunani yang telah diformulasikan ulang oleh filsuf Muslim sebelumnya seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā. Dalam Maqāṣid al-Falāsifah (Tujuan-Tujuan Para Filsuf), Al-Ghazālī menyusun uraian sistematis mengenai logika, fisika, dan metafisika dari perspektif filsafat Peripatetik.² Menariknya, dalam karya ini Al-Ghazālī tampak netral dan bahkan akurat dalam menyajikan pandangan para filsuf, sehingga sebagian pembaca Barat bahkan pernah mengira bahwa ia adalah seorang pendukung filsafat.³

Namun, dalam karya lanjutannya yang lebih terkenal, Tahāfut al-Falāsifah (Keruntuhan Para Filsuf), Al-Ghazālī menyampaikan kritik tajam terhadap dua puluh doktrin utama para filsuf, terutama dalam bidang metafisika. Ia menilai bahwa filsafat dalam tiga aspek tertentu tidak hanya salah, tetapi menyimpang dari ajaran Islam yang sahih. Ketiga doktrin tersebut adalah:

1)                  Keyakinan bahwa alam bersifat azali dan tidak diciptakan,

2)                  Pandangan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular,

3)                  Penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akhirat.⁴

Terhadap ketiga poin ini, Al-Ghazālī secara eksplisit menyebut para filsuf sebagai kuffār (kafir), karena dianggap bertentangan secara langsung dengan nash-nash agama.⁵ Namun, ia juga menyatakan bahwa tidak semua aspek filsafat ditolak. Dalam pengantarnya, ia membedakan antara cabang-cabang filsafat: matematika, logika, fisika, dan etika bisa diterima selama tidak berbenturan dengan akidah.⁶ Dalam hal ini, Al-Ghazālī menunjukkan sikap selektif dan kritis: ia menolak metafisika spekulatif yang mengabaikan wahyu, tetapi tidak menolak metode rasional selama berada dalam batasan syariat.

Salah satu kontribusi besar Al-Ghazālī terhadap epistemologi adalah pengamatannya bahwa akal memiliki keterbatasan dalam mencapai kebenaran tertinggi. Dalam pandangannya, akal hanyalah satu sarana dari tiga sumber pengetahuan, di samping indra dan intuisi batin (kāshf).⁷ Oleh karena itu, bagi Al-Ghazālī, kebenaran paripurna hanya bisa dicapai melalui pencerahan spiritual yang diperoleh dari penyucian jiwa, bukan semata-mata melalui argumentasi logis.

Kritik Al-Ghazālī terhadap filsafat berpengaruh besar dalam sejarah pemikiran Islam. Ibn Rushd (Averroes), filsuf besar Andalusia, menulis Tahāfut al-Tahāfut sebagai respons langsung terhadap Al-Ghazālī. Namun demikian, tidak sedikit pemikir Muslim seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan bahkan tokoh-tokoh dalam dunia Barat Latin yang justru menghargai pendekatan Al-Ghazālī karena mampu mengintegrasikan tradisi rasional dengan spiritualitas keislaman.⁸

Dengan demikian, kontribusi Al-Ghazālī dalam filsafat bukan sekadar dalam bentuk penolakan, tetapi dalam bentuk reposisi: ia menggeser fokus filsafat dari spekulasi metafisik kepada pencapaian makrifat dan etika spiritual. Hal ini menjadikan Al-Ghazālī sebagai figur transformatif yang tidak hanya memengaruhi filsafat Islam, tetapi juga etika keilmuan dalam peradaban Islam.


Footnotes

[1]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 17–18.

[2]                Al-Ghazālī, Maqāṣid al-Falāsifah, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 3–5.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 121.

[4]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 234–250.

[5]                W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of Al-Ghazali (London: George Allen & Unwin, 1953), 44.

[6]                Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba and K. Ayyad (Damascus: Maktab al-Nahḍah, 1934), 25.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 127–130.

[8]                F.E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 256.


4.           Pemikiran Teologi (Kalām)

Dalam khazanah teologi Islam (ʿilm al-kalām), Al-Ghazālī menempati posisi penting sebagai pembaru dan pelindung ortodoksi Ahl al-Sunnah wa al-Jamāʿah, khususnya dalam tradisi Asyʿarīyah. Ia menulis sejumlah karya teologis yang menampilkan kedalaman dan sistematisasi pemikirannya, seperti al-Iqtiṣād fī al-Iʿtiqād, al-Risālah al-Qudsiyyah, dan Iljām al-ʿAwām ʿan ʿIlm al-Kalām.¹ Pemikiran teologisnya memperlihatkan upaya integratif dalam menjembatani antara dalil naqli (wahyu) dan dalil aqli (rasionalitas), sekaligus melawan ekstremisme rasionalisme ala Muʿtazilah maupun determinisme ekstrem ala Jabariyah.

Salah satu prinsip utama teologi Al-Ghazālī adalah keyakinan terhadap keesaan dan kemahakuasaan Tuhan, sebagaimana ditegaskan oleh mazhab Asyʿarī. Ia menolak pandangan yang mereduksi sifat-sifat Tuhan menjadi sekadar metafora, sebagaimana dilakukan oleh sebagian teolog Muʿtazilah. Al-Ghazālī menegaskan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat yang nyata namun tak menyerupai makhluk (bilā kayf), seperti ilmu, qudrah, irādah, samʿ, baṣar, dan kalām.² Dalam kerangka ini, Al-Ghazālī menegaskan keseimbangan antara tanzīh (penyucian Tuhan dari keserupaan makhluk) dan itsbāt (penetapan sifat Tuhan yang sesuai dengan nash).³

Terkait dengan kehendak Tuhan dan perbuatan manusia, Al-Ghazālī mengembangkan konsep kasb (perolehan), yang sebelumnya dirumuskan oleh Abū al-Ḥasan al-Ashʿarī. Konsep ini menekankan bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan, tetapi manusia tetap memiliki tanggung jawab moral atas perbuatannya. Dengan demikian, ia menolak paham determinisme murni dan menyisakan ruang bagi tanggung jawab etis manusia.⁴ Dalam al-Iqtiṣād fī al-Iʿtiqād, ia menulis bahwa manusia memperoleh perbuatan dari Tuhan, namun tetap layak diberi pahala atau siksa karena adanya pilihan dalam menerima atau menolak kehendak tersebut.⁵

Al-Ghazālī juga menolak teori kausalitas Aristotelian sebagaimana dianut oleh Ibn Sīnā, yang menyatakan bahwa segala kejadian memiliki sebab tetap dan dapat diprediksi. Bagi Al-Ghazālī, sebab-akibat tidaklah bersifat niscaya secara ontologis, tetapi hanya kebiasaan (ʿādah) yang ditetapkan oleh Tuhan. Ini menjadi dasar kritiknya terhadap filsafat dalam Tahāfut al-Falāsifah, di mana ia menyatakan bahwa api tidak membakar kapas karena kekuatannya sendiri, tetapi karena Tuhan menciptakan kebakaran saat dua hal itu bersentuhan.⁶ Pendekatan ini memperkuat keyakinan tentang kemutlakan kehendak Tuhan, yang tidak terikat oleh hukum sebab-akibat yang tetap.

Dalam masalah pengetahuan Tuhan, Al-Ghazālī juga menolak posisi filosof yang menyatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal. Ia membela keyakinan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara rinci dan partikular, termasuk pikiran dan tindakan setiap manusia. Ini merupakan respons terhadap konsepsi Neoplatonik tentang Tuhan yang dianggap terlalu transenden hingga tak terlibat langsung dalam realitas empiris.⁷

Terakhir, pendekatan Al-Ghazālī terhadap kalām juga mencerminkan komitmen terhadap pedagogi teologis yang bertahap. Ia mengkritik keterbukaan diskusi filsafat atau kalām yang terlalu dalam kepada masyarakat awam karena dikhawatirkan justru menimbulkan keraguan, bukan keyakinan. Karena itu, ia menulis Iljām al-ʿAwām ʿan ʿIlm al-Kalām untuk memperingatkan agar diskursus rasional tidak disalahgunakan atau disampaikan tanpa proporsionalitas pendidikan.⁸

Dengan demikian, pemikiran teologi Al-Ghazālī dapat dirangkum sebagai sintesis antara wahyu dan akal, antara ortodoksi dan rasionalitas, serta antara pencerahan intelektual dan keimanan. Ia berhasil mengukuhkan teologi Ahl al-Sunnah sebagai jalan tengah yang relevan bagi dunia Islam klasik dan tetap inspiratif hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 41–45.

[2]                Al-Ghazālī, al-Iqtiṣād fī al-Iʿtiqād, ed. Ibrāhīm al-Abyārī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 43–49.

[3]                Richard M. Frank, “The Autonomy of the Human Agent in the Theology of al-Ashʿarī,” Le Muséon 88, no. 3–4 (1975): 309–320.

[4]                Daniel Gimaret, Théories de l’acte humain en théologie musulmane (Paris: Vrin, 1980), 264–271.

[5]                Al-Ghazālī, al-Iqtiṣād fī al-Iʿtiqād, 122–126.

[6]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 170–175.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 124.

[8]                Al-Ghazālī, Iljām al-ʿAwām ʿan ʿIlm al-Kalām, ed. Muḥammad al-Sharīf (Beirut: Dār al-Mashriq, 1974), 5–8.


5.           Dimensi Tasawuf dan Spiritualitas

Tasawuf merupakan salah satu aspek paling penting dalam perkembangan intelektual dan spiritual Al-Ghazālī. Meskipun ia memulai kariernya sebagai ahli fikih dan teolog, pengalaman eksistensial yang mendalam mendorongnya untuk menjelajahi jalan sufi sebagai sarana untuk meraih makrifat (pengetahuan langsung tentang Tuhan). Dalam karya otobiografinya, al-Munqidh min al-Ḍalāl, Al-Ghazālī mengisahkan bagaimana ia mengalami krisis spiritual yang menyebabkan keraguan mendalam terhadap validitas semua cabang ilmu, termasuk filsafat dan kalām.⁽¹⁾

Dalam pencarian kebenaran hakiki, ia menyimpulkan bahwa tasawuf adalah jalan yang paling sahih dan paling berbuah secara eksistensial, karena bukan hanya menyampaikan pengetahuan secara teoritis, tetapi menuntun pada pengalaman langsung dengan Tuhan melalui penyucian jiwa. Ia menyatakan:

Saya mengetahui secara pasti bahwa para sufi adalah orang-orang yang benar-benar menempuh jalan menuju Tuhan, perilaku mereka adalah yang terbaik, dan jalan hidup mereka adalah yang paling lurus.”_⁽²⁾

Al-Ghazālī kemudian menjalani kehidupan spiritual dengan tekun selama lebih dari satu dekade dalam pengasingan dan ibadah, di Damaskus, Yerusalem, dan Makkah. Pengalaman-pengalaman ini dituangkan dalam karya monumentalnya, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, yang menjadi sintesis antara syariat, akhlak, dan tasawuf, serta menjadi salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Islam.⁽³⁾

Dalam Iḥyā’, Al-Ghazālī membagi ilmu ke dalam dua kategori: ʿulūm al-muʿāmalah (ilmu praktis) dan ʿulūm al-mukāshafah (ilmu pencerahan batin). Ilmu mukāshafah adalah puncak tertinggi dari pengetahuan, yang hanya dapat dicapai melalui penyucian hati dan latihan spiritual, bukan melalui logika atau perdebatan.⁽⁴⁾

Al-Ghazālī sangat menekankan pentingnya ikhlas, muraqabah (merasa diawasi Allah), muḥāsabah (introspeksi), dan zuhd (meninggalkan keterikatan duniawi). Ia percaya bahwa ibadah lahiriah tanpa transformasi batin tidak akan mengantarkan manusia kepada Allah. Kritiknya terhadap bentuk-bentuk formalitas agama yang kehilangan ruh menjadi tema utama dalam banyak bagian Iḥyā’.⁽⁵⁾

Salah satu kontribusi paling penting Al-Ghazālī adalah usahanya untuk merehabilitasi tasawuf ke dalam arus utama Ahlus Sunnah, yang sebelumnya sempat dicurigai karena praktik-praktik ekstrem sebagian kelompok sufi. Ia membela tasawuf yang berlandaskan syariat dan menjauh dari bid‘ah, sekaligus menolak aspek-aspek filsafat sufi yang terlalu esoterik, seperti konsep ittihād (penyatuan dengan Tuhan) dalam versi ekstrem.⁽⁶⁾

Dengan demikian, Al-Ghazālī berhasil menghadirkan tasawuf bukan sebagai pengganti syariat, tetapi sebagai penghayatan mendalam atas syariat itu sendiri. Ia menegaskan bahwa hanya dengan menyatukan ilmu lahir dan batin, seorang Muslim dapat mencapai kebahagiaan sejati (saʿādah), baik di dunia maupun di akhirat.⁽⁷⁾

Pengaruh sufisme Al-Ghazālī sangat besar, tidak hanya di dunia Islam, tetapi juga dalam lintas tradisi keagamaan. Di dunia Sunni, Iḥyā’ menjadi rujukan utama para ulama dan pesantren, bahkan dijadikan kitab wajib dalam banyak tarekat sufi. Di dunia Barat, pemikiran spiritual Al-Ghazālī dikaji sebagai alternatif terhadap rasionalisme modern yang cenderung kering secara spiritual.⁽⁸⁾


Footnotes

[1]                Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba dan K. Ayyad (Damascus: Maktab al-Nahḍah, 1934), 25–30.

[2]                Ibid., 30.

[3]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1 (Beirut: Dār al-Maʿrifah, n.d.), 15–20.

[4]                William C. Chittick, “Mysticism and Ethics in al-Ghazali,” Studia Islamica, no. 49 (1979): 143–144.

[5]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4, 326–330.

[6]                Hamid Algar, “Imam Ghazali: A Profile,” Islamic Studies 25, no. 3 (1986): 299.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 133.

[8]                Eric Geoffroy, Introduction to Sufism: The Inner Path of Islam, trans. Roger Gaetani (Bloomington: World Wisdom, 2010), 106–107.


6.           Metodologi Epistemologi

Al-Ghazālī merupakan salah satu tokoh yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan epistemologi atau teori pengetahuan. Ia tidak hanya menaruh perhatian terhadap sumber dan validitas pengetahuan, tetapi juga membahas secara mendalam tentang struktur dan hierarki pengetahuan dalam kaitannya dengan kehidupan spiritual. Metodologi epistemologinya menjadi sintesis dari pendekatan rasional (falsafi), teologis (kalām), dan intuisi spiritual (kāshf/tasawuf)

Pengalaman krisis intelektual yang ia tuangkan dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl menjadi titik balik dalam kerangka epistemologi Al-Ghazālī. Ia mempertanyakan validitas semua sumber pengetahuan yang dikenal kala itu—yakni indera, akal, dan otoritas—dengan skeptisisme yang mendalam. Bahkan ia menyatakan:

Keraguan adalah jalan menuju kebenaran. Barang siapa tidak meragukan, maka ia tidak akan memandang, dan barang siapa tidak memandang, ia tidak akan melihat.”_²

6.1.       Sumber Pengetahuan Menurut Al-Ghazālī

Al-Ghazālī membagi pengetahuan menjadi tiga sumber utama:

1)                  Pengetahuan Indrawi (al-ḥiss):

Pengetahuan ini bersifat lahiriah dan merupakan pengalaman empiris. Ia mengakui pentingnya indra, namun menekankan bahwa indra bisa tertipu, seperti ilusi visual atau mimpi. Oleh karena itu, pengetahuan ini dianggap paling rendah dalam hirarki epistemik.³

2)                  Pengetahuan Rasional (al-ʿaql):

Akal menurut Al-Ghazālī memiliki kemampuan besar untuk menalar prinsip-prinsip dasar logika dan filsafat. Ia menguasai dan mengajarkan logika Aristotelian, yang ia sebut sebagai mīzān al-ʿilm (timbangan ilmu).⁴ Namun, ia juga mengkritik klaim-klaim rasionalis yang menolak wahyu. Akal diperlukan, tetapi tidak cukup untuk mencapai kebenaran spiritual yang hakiki.⁵

3)                  Pengetahuan Intuitif atau Pencerahan Batin (al-mukāshafah):

Di puncak hirarki epistemologinya, Al-Ghazālī menempatkan pengetahuan sufi, yakni pengetahuan yang lahir dari penyucian hati dan ilham Tuhan. Pengetahuan jenis ini tidak diperoleh melalui pembelajaran, tetapi melalui pengalaman ruhani dan pembukaan (kāshf) yang diberikan oleh Allah kepada hati yang bersih.⁶

Baginya, pengetahuan yang benar bukan hanya kognitif, tetapi juga eksistensial, yaitu pengetahuan yang mengubah perilaku dan menumbuhkan kedekatan kepada Allah.⁷ Maka dari itu, ilmu yang tidak membawa manusia kepada amal dan takwa dianggap tidak berguna bahkan bisa menyesatkan.

6.2.       Hierarki Pengetahuan dan Etika Keilmuan

Dalam karya Miʿyār al-ʿIlm dan al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl, Al-Ghazālī mengembangkan sistem logika dan teori ilmu pengetahuan dengan pendekatan sistematis. Ia memadukan logika sebagai alat berpikir yang sah dalam Islam, dengan syarat tidak mengarah pada filsafat materialistik atau naturalistik.⁸

Lebih dari sekadar metode, epistemologi Al-Ghazālī sarat dengan muatan etika keilmuan. Ia menekankan bahwa ilmu harus diamalkan dan diniatkan karena Allah, bukan demi pujian atau jabatan. Dalam Iḥyā’, ia mengkritik keras para ulama yang menjadikan ilmu sebagai alat mencari dunia, bukan jalan menuju Allah.⁹


Kesimpulan

Epistemologi Al-Ghazālī tidak berhenti pada tataran logika dan metodologi, tetapi meluas hingga ke wilayah eksistensial dan spiritual. Ia membangun kerangka pengetahuan yang bertingkat: dari pengetahuan empiris, menuju rasional, dan berpuncak pada pengetahuan mukāshafah yang bersifat ilahiah. Dengan demikian, ia meletakkan dasar bagi pendekatan keilmuan Islam yang menyatukan antara rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas, serta membuka jalan bagi para intelektual Muslim dalam menafsirkan realitas secara utuh.


Footnotes

[1]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 65–69.

[2]                Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl, ed. J. Saliba dan K. Ayyad (Damascus: Maktab al-Nahḍah, 1934), 10.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 132.

[4]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 7–12.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 126.

[6]                William C. Chittick, “The Inner Nature of Islamic Philosophy: Al-Ghazali on the Sufi Path to Knowledge,” Islamic Studies 33, no. 3 (1994): 289–301.

[7]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1 (Beirut: Dār al-Maʿrifah, n.d.), 34.

[8]                Al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl, 2 vols. (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 1:5–10.

[9]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1, 50–55.


7.           Warisan Intelektual dan Pengaruh

Warisan intelektual Al-Ghazālī melampaui zamannya dan mencakup berbagai bidang keilmuan, mulai dari fikih, kalām, filsafat, hingga tasawuf. Ia tidak hanya berkontribusi dalam pengembangan disiplin-disiplin tersebut, tetapi juga memberikan pengaruh besar terhadap arah perkembangan pemikiran Islam, baik di Timur maupun di Barat.

7.1.       Pengaruh dalam Dunia Islam

Dalam tradisi Sunni, Al-Ghazālī dianggap sebagai ḥujjat al-islām (argumen Islam) karena kemampuannya menyusun sistem keilmuan yang menyeluruh dan terintegrasi.¹ Ia berhasil menggabungkan rasionalisme moderat dalam kerangka kalām Asyʿarī, memperkenalkan logika sebagai alat bantu dalam usul fikih, dan sekaligus menekankan pentingnya dimensi spiritual dalam keilmuan.² Karyanya Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn menjadi referensi utama dalam pendidikan Islam klasik, terutama di dunia pesantren, madrasah, dan majelis tarekat.

Dalam ranah filsafat, meskipun Tahāfut al-Falāsifah menjadi simbol penolakan terhadap metafisika Neoplatonik, karyanya justru mendorong lahirnya Tahāfut al-Tahāfut karya Ibn Rushd sebagai respons kritis.³ Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Al-Ghazālī memicu dinamika dan dialektika intelektual yang produktif. Bahkan tokoh seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Sayf al-Dīn al-Āmidī banyak mengembangkan metodologi kalam dan logika dengan mengacu pada fondasi yang dibangun Al-Ghazālī.⁴

Pengaruhnya dalam dunia tasawuf juga sangat besar. Ia dianggap sebagai tokoh yang berhasil “mensyar’iatkan tasawuf” dengan cara mengintegrasikan ajaran-ajaran sufi ke dalam bingkai syariat. Banyak tarekat besar, seperti Qādiriyyah dan Naqshbandiyyah, merujuk pada metodologi spiritual yang digariskan dalam Iḥyā’.⁵

7.2.       Pengaruh terhadap Dunia Barat

Al-Ghazālī juga memberikan pengaruh tidak langsung terhadap pemikiran Eropa melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Latin. Karya Maqāṣid al-Falāsifah diterjemahkan oleh Dominicus Gundissalinus di Toledo pada abad ke-12 dengan judul Intentiones Philosophorum.⁶ Karena gaya penulisan yang netral dan akademik, karya ini bahkan sempat disalahpahami sebagai pernyataan dukungan terhadap filsafat Aristotelian.

Lebih penting lagi, kritik epistemologis dan teologis Al-Ghazālī terhadap filsafat dipandang sebagai bagian dari kerangka skeptisisme metodologis yang juga memengaruhi filsuf-filsuf Barat seperti Thomas Aquinas.⁷ Beberapa peneliti modern, seperti W. Montgomery Watt dan Frank Griffel, menilai bahwa Al-Ghazālī memperkenalkan pendekatan kritis terhadap filsafat yang membangun fondasi bagi kemunculan pemikiran rasional-religius di Eropa abad pertengahan.⁸

7.3.       Relevansi Kontemporer

Dalam konteks modern, warisan Al-Ghazālī tetap relevan, khususnya dalam menjawab tantangan disintegrasi antara ilmu dan nilai, antara agama dan rasionalitas. Dalam dunia Muslim kontemporer, pemikiran Al-Ghazālī digunakan untuk menegaskan pentingnya sintesis antara wahyu dan akal, serta spiritualitas dalam kehidupan modern yang serba mekanistik.

Gerakan pemurnian spiritual dan reformasi pendidikan Islam di berbagai negara seringkali merujuk pada pendekatan integratif Al-Ghazālī.⁹ Dalam dunia akademik, karya-karyanya masih menjadi objek studi serius dalam bidang filsafat Islam, etika, dan pendidikan.


Kesimpulan

Al-Ghazālī mewariskan pemikiran yang kaya dan multidimensional. Ia bukan hanya seorang filsuf, teolog, atau sufi, tetapi simbol dari ulama mujaddid yang menjembatani antara akal dan wahyu, antara teori dan praktik, serta antara ilmu dan etika. Pengaruhnya tidak hanya mengakar dalam tradisi keilmuan Islam, tetapi juga meluas dalam sejarah pemikiran dunia. Warisan intelektualnya menunjukkan bahwa kebenaran tidak hanya dicapai melalui rasionalitas semata, melainkan juga melalui kejernihan jiwa dan kesadaran spiritual yang mendalam.


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 68.

[2]                Al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl, 2 vols. (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 1:7–10.

[3]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. S. Dunya (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1960), Introduction.

[4]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 142.

[5]                Hamid Algar, “Imam Ghazali: A Profile,” Islamic Studies 25, no. 3 (1986): 301–302.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 129.

[7]                Richard M. Frank, “Al-Ghazālī and Skepticism,” Muslim World 43, no. 3 (1953): 147–155.

[8]                Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, 167.

[9]                Zainal Abidin Bagir, “Al-Ghazālī dan Tantangan Epistemologi Kontemporer,” Mizan: Journal for Islamic Studies 6, no. 2 (2008): 91–103.


8.           Kesimpulan

Al-Ghazālī (w. 1111 M) merupakan tokoh sentral dalam tradisi keilmuan Islam klasik yang telah memberikan kontribusi monumental dalam membangun kerangka pemikiran Islam yang komprehensif dan integratif. Ia dikenal sebagai seorang teolog Asyʿarī, ahli fikih Syāfiʿī, kritikus filsafat, sekaligus sufi yang mendalam dalam spiritualitas. Kompleksitas keilmuannya tidak hanya mencerminkan keluasan pengetahuan, tetapi juga menunjukkan sintesis antara berbagai disiplin ilmu yang pada zamannya kerap dipandang bertentangan.¹

Dalam bidang filsafat, Al-Ghazālī menunjukkan sikap yang unik: ia menguasai filsafat dengan mendalam, namun tetap kritis terhadap aspek-aspek metafisik yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Melalui Tahāfut al-Falāsifah, ia menggugat klaim-klaim metafisika rasionalis yang menurutnya bertentangan dengan wahyu, terutama dalam hal keabadian alam, keterbatasan pengetahuan Tuhan, dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani.² Namun, ia tidak menolak seluruh filsafat; logika, etika, dan matematika tetap ia akui sebagai sarana penting dalam berpikir ilmiah.³

Di bidang teologi (kalām), Al-Ghazālī mengukuhkan prinsip-prinsip Asyʿarīyah dengan pendekatan argumentatif yang sistematis. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu, serta mengembangkan konsep kasb sebagai jalan tengah antara jabariyyah dan qadariyyah.⁴ Selain itu, ia juga mengoreksi pandangan filsafat tentang kausalitas, menekankan bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah sunatullah, bukan keniscayaan mutlak, karena segala sesuatu tunduk kepada kehendak Allah yang absolut.⁵

Dimensi spiritualitas Al-Ghazālī menjadi puncak pencapaian intelektual dan eksistensialnya. Ia menyatakan bahwa tasawuf adalah jalan yang paling valid untuk mencapai kebenaran tertinggi, yaitu maʿrifah kepada Allah. Melalui Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, ia menyajikan tasawuf sebagai bentuk penyempurnaan ajaran Islam, bukan sebagai penyimpangan dari syariat.⁶ Ia menekankan pentingnya penyucian jiwa, niat yang ikhlas, dan keterhubungan batin dengan Tuhan sebagai fondasi etika dan akhlak Islami.

Dari sudut pandang epistemologi, Al-Ghazālī memperkenalkan struktur pengetahuan bertingkat yang mencakup pengetahuan empiris (indrawi), rasional (akal), dan intuisi spiritual (mukāshafah).⁷ Model ini tidak hanya membahas bagaimana manusia memperoleh ilmu, tetapi juga bagaimana ilmu tersebut membentuk keberadaan dan hubungan manusia dengan realitas Ilahi. Ini menjadikannya sebagai pelopor epistemologi Islam yang menjembatani antara intelektualitas dan spiritualitas.

Warisan Al-Ghazālī melintasi batas ruang dan waktu. Pemikirannya membentuk arah ortodoksi Islam Sunni, menginspirasi para cendekiawan Muslim dari generasi ke generasi, serta memberikan pengaruh terhadap pemikiran filsafat di Eropa melalui jalur penerjemahan Latin.⁸ Dalam konteks kontemporer, warisan Al-Ghazālī menjadi sumber inspirasi penting dalam usaha menyatukan antara ilmu pengetahuan modern dan nilai-nilai spiritual Islam.

Dengan demikian, pemikiran Al-Ghazālī telah menjelma sebagai jembatan epistemologis dan eksistensial antara akal dan wahyu, antara rasionalitas dan spiritualitas, serta antara syariat dan hakikat. Relevansi pemikirannya tetap hidup hingga kini, terutama dalam dunia yang tengah mencari kembali titik temu antara ilmu dan iman, antara logika dan kebijaksanaan ruhani.⁹


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 3–5.

[2]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 202–210.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 137–140.

[4]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 86–92.

[5]                Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Ash‘arite School,” Journal of the American Oriental Society 121, no. 1 (2001): 10–12.

[6]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, vol. 1 (Beirut: Dār al-Maʿrifah, n.d.), 22–25.

[7]                William C. Chittick, “Mysticism and Ethics in al-Ghazali,” Studia Islamica, no. 49 (1979): 143–150.

[8]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 129–131.

[9]                Zainal Abidin Bagir, “Al-Ghazālī dan Tantangan Epistemologi Kontemporer,” Mizan: Journal for Islamic Studies 6, no. 2 (2008): 91–92.


Daftar Pustaka

Al-Ghazālī. (n.d.). Iḥyā’ ʿulūm al-dīn (Vols. 1–4). Beirut: Dār al-Maʿrifah.

Al-Ghazālī. (1934). Al-Munqidh min al-ḍalāl (J. Saliba & K. Ayyad, Eds.). Damascus: Maktab al-Nahḍah.

Al-Ghazālī. (1960). Maqāṣid al-falāsifah (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Al-Ghazālī. (1961). Miʿyār al-ʿilm (S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Al-Ghazālī. (1962). Al-Iqtiṣād fī al-iʿtiqād (I. al-Abyārī, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Al-Ghazālī. (1974). Iljām al-ʿawām ʿan ʿilm al-kalām (M. al-Sharīf, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Ghazālī. (1993). Al-Mustaṣfā min ʿilm al-uṣūl (Vols. 1–2). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Al-Ghazālī. (1927). Tahāfut al-falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.

Algar, H. (1986). Imam Ghazali: A profile. Islamic Studies, 25(3), 291–305.

Bagir, Z. A. (2005). Kritik terhadap rasionalisme: Al-Ghazali dan masalah epistemologi Islam. Mizan: Journal for Islamic Studies, 4(1), 87–103.

Bagir, Z. A. (2008). Al-Ghazālī dan tantangan epistemologi kontemporer. Mizan: Journal for Islamic Studies, 6(2), 91–103.

Chittick, W. C. (1979). Mysticism and ethics in al-Ghazali. Studia Islamica, 49, 143–150.

Chittick, W. C. (1994). The inner nature of Islamic philosophy: Al-Ghazali on the Sufi path to knowledge. Islamic Studies, 33(3), 289–301.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Frank, R. M. (1953). Al-Ghazali and skepticism. Muslim World, 43(3), 147–155.

Frank, R. M. (1975). The autonomy of the human agent in the theology of al-Ash‘arī. Le Muséon, 88(3–4), 309–320.

Frank, R. M. (2001). Al-Ghazali and the Ash‘arite school. Journal of the American Oriental Society, 121(4), 589–605.

Geoffroy, E. (2010). Introduction to Sufism: The inner path of Islam (R. Gaetani, Trans.). Bloomington: World Wisdom.

Gimaret, D. (1980). Théories de l’acte humain en théologie musulmane. Paris: Vrin.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s philosophical theology. Oxford: Oxford University Press.

Ibn Rushd. (1960). Tahāfut al-tahāfut (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Peters, F. E. (1968). Aristotle and the Arabs: The Aristotelian tradition in Islam. New York: New York University Press.

Watt, W. M. (1953). The faith and practice of Al-Ghazali. London: George Allen & Unwin.

Watt, W. M. (1963). Muslim intellectual: A study of Al-Ghazali. Edinburgh: Edinburgh University Press.


Lampiran: Daftar Karya-Karya Utama Al-Ghazālī

Berikut adalah daftar karya-karya utama Al-Ghazālī, disusun berdasarkan kategori bidang keilmuan dan disertai dengan penjelasan singkat untuk masing-masing karya. Ini mencerminkan keluasan intelektualnya dalam fikih, teologi, filsafat, tasawuf, dan pendidikan.

1.            Karya dalam Bidang Tasawuf dan Etika

1)                  Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn

Karya monumental yang menggabungkan ilmu fikih, akhlak, dan tasawuf. Terdiri dari empat bagian: ibadah, kebiasaan hidup, kehancuran, dan keselamatan.

2)                  Kīmiyā’ al-Saʿādah (Kimia Kebahagiaan)

Ringkasan dan penyesuaian dari Iḥyā’ yang lebih populer di kalangan awam. Ditulis dalam bahasa Persia dan Arab.

3)                  Mishkāt al-Anwār (Niche Cahaya)

Tafsir filosofis-sufistik atas ayat cahaya (QS 24:35), membahas teori cahaya sebagai metafora pengetahuan ilahiah.

4)                  al-Arbaʿīn fī Uṣūl al-Dīn

Ringkasan spiritual dan teologis dalam empat puluh bab pokok ajaran Islam.

2.            Karya dalam Bidang Filsafat dan Logika

5)                  Maqāṣid al-Falāsifah

Penjelasan sistematis dan netral tentang filsafat logika, fisika, dan metafisika menurut para filsuf Muslim (khususnya Ibn Sīnā).

6)                  Tahāfut al-Falāsifah

Karya kritik terhadap filsafat metafisika Muslim dan tiga doktrin yang dianggap kufur: azaliyat alam, ilmu Tuhan tentang partikular, dan penolakan kebangkitan jasmani.

7)                  Miʿyār al-ʿIlm

Buku tentang logika dan metode rasional dalam menimbang kebenaran pengetahuan.

8)                  Miḥakk al-Naẓar

Panduan metodologis dalam berpikir logis dan evaluasi argumen.

9)                  al-Qisṭās al-Mustaqīm

Pembahasan tentang neraca rasional dalam menilai argumen, menggunakan pendekatan simbolik dan logis.

3.            Karya dalam Bidang Teologi (Kalām)

10)              al-Iqtiṣād fī al-Iʿtiqād

Penjelasan ringkas dan sistematis tentang akidah Islam menurut mazhab Asyʿarī dengan pendekatan rasional-moderat.

11)              al-Risālah al-Qudsiyyah

Ringkasan prinsip-prinsip kalām dan iman, ditujukan untuk pelajar pemula.

12)              Iljām al-ʿAwām ʿan ʿIlm al-Kalām

Nasehat agar pembahasan kalām tidak disebarluaskan kepada awam demi menghindari fitnah intelektual.

4.            Karya dalam Bidang Fikih dan Ushul Fikih

13)              al-Wajīz fī Fiqh al-Imām al-Shāfiʿī

Ringkasan fikih Syafi‘i yang menjadi dasar dari karya fikih ringkas lainnya.

14)              al-Basīṭ, al-Wasīṭ, dan al-Khulāṣah

Deretan karya fikih dalam tiga tingkatan (panjang-menengah-ringkas) berdasarkan Nihāyat al-Maṭlab karya al-Juwaynī.

15)              al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl

Salah satu karya terpenting dalam ushul fikih, menggabungkan metode logika Aristotelian dengan teori hukum Islam.

5.            Karya dalam Bahasa Persia

16)              Nasīhat al-Mulūk

Buku nasihat politik dan etika pemerintahan yang ditulis untuk para raja.

17)              Kīmiyā-yi Saʿādat

Versi Persia dari Iḥyā’, dengan penyederhanaan gaya bahasa dan penyesuaian kontekstual untuk pembaca non-ulama.

6.            Karya Otobiografi dan Renungan

18)              al-Munqidh min al-Ḍalāl

Otobiografi intelektual dan spiritual Al-Ghazālī, mengisahkan pencarian kebenaran melalui kalām, filsafat, dan akhirnya tasawuf.

19)              Fayṣal al-Tafriqah bayna al-Islām wa al-Zandaqah

Buku tentang batas-batas iman dan kekafiran, serta siapa yang dapat divonis keluar dari Islam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar