Selasa, 12 November 2024

Kebenaran (True): Kajian Filsafat tentang Hakikat, Teori, dan Implikasi Kebenaran

Kebenaran (True)

Kajian Filsafat tentang Hakikat, Teori, dan Implikasi Kebenaran


Alihkan ke: Dialektika, Kriteria Kebenaran dan Validitas Pengetahuan, Pengetahuan, Pengetahuan dalam Konteks Filsafat, Metode Dialektis Socrates (Elenchus).

Hubungan antara Justification, Truth, dan Belief.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep kebenaran secara komprehensif dalam perspektif filsafat, dengan menelusuri akar historis, teori-teori utama, serta implikasi epistemologis, sosial, dan etisnya. Dimulai dengan pemetaan pengertian dasar tentang kebenaran, artikel ini mengeksplorasi lima teori utama—korespondensi, koherensi, pragmatis, konsensus, dan deflasi—untuk menunjukkan keragaman pendekatan dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebenaran. Selanjutnya, pembahasan dilanjutkan dengan menelaah hubungan antara kebenaran dan bahasa, termasuk pandangan logis-semantik dan kritik terhadap representasionalisme. Dalam ranah epistemologi, kebenaran diuraikan sebagai syarat esensial bagi pengetahuan yang sahih, serta ditinjau dalam konteks skeptisisme dan teori pembenaran. Lebih jauh, artikel ini juga menyoroti bagaimana kebenaran berfungsi dalam kehidupan sosial dan moral, mulai dari diskursus politik hingga etika komunikasi. Di tengah tantangan era post-truth, artikel ini menegaskan pentingnya kebenaran sebagai fondasi kepercayaan, keadilan, dan tanggung jawab manusiawi dalam berbagai aspek kehidupan nyata. Penulis menyimpulkan bahwa pemahaman dan pembelaan terhadap kebenaran adalah tanggung jawab filosofis sekaligus etis yang urgen di era kontemporer.

Kata Kunci: Kebenaran, filsafat, epistemologi, teori kebenaran, etika, bahasa, post-truth, keadilan, kepercayaan, komunikasi.


PEMBAHASAN

Menyingkap Tabir Kebenaran


1.           Pendahuluan

Kebenaran (True) merupakan salah satu konsep paling fundamental dan kompleks dalam sejarah pemikiran filsafat. Sejak masa Yunani Kuno hingga zaman kontemporer, pertanyaan tentang apa itu kebenaran dan bagaimana manusia dapat mengetahuinya telah menjadi pusat perhatian para filsuf dari berbagai aliran dan zaman. Dalam pemikiran Aristoteles, misalnya, kebenaran dimaknai sebagai kecocokan antara pernyataan dan realitas; seseorang berkata benar jika ia mengatakan sesuatu yang sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi, dan berkata salah jika mengatakan sebaliknya.¹

Kendati definisi korespondensi semacam itu tampak intuitif dan masih banyak digunakan hingga kini, perkembangan filsafat modern dan kontemporer menunjukkan bahwa konsep kebenaran tidak dapat dipahami secara tunggal. Terdapat berbagai teori tentang kebenaran yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan mendasar ini dari perspektif yang berbeda, seperti teori koherensi yang menekankan keselarasan dalam sistem kepercayaan, teori pragmatis yang melihat kebenaran dari nilai fungsionalnya, serta teori konsensus yang menekankan dimensi intersubjektif dalam pencapaian kebenaran.²

Problematika kebenaran semakin rumit dalam konteks kehidupan modern yang sarat dengan disinformasi, relativisme, dan bias ideologis. Kita hidup di zaman yang oleh beberapa pemikir disebut sebagai post-truth era, di mana fakta objektif sering kali dikalahkan oleh emosi dan opini pribadi dalam membentuk opini publik.³ Oleh karena itu, membahas kembali konsep kebenaran dari sudut pandang filsafat tidak hanya relevan untuk memperkaya khazanah intelektual, tetapi juga penting secara praktis dalam kehidupan sosial, politik, dan moral.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas konsep kebenaran secara komprehensif dalam kacamata filsafat, dimulai dari pengertian umum hingga eksplorasi terhadap berbagai teori kebenaran yang berkembang. Dengan pendekatan historis dan analitis, tulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca memahami bahwa kebenaran bukanlah konsep yang sederhana dan tunggal, melainkan problematis dan penuh nuansa. Melalui kajian ini, pembaca diajak untuk menyadari pentingnya bersikap kritis terhadap klaim-klaim kebenaran yang ada di sekitar mereka, serta membangun pemahaman yang lebih reflektif tentang hakikat dan peran kebenaran dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1019b25.

[2]                Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 5–17.

[3]                Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 4.


2.           Pengertian Kebenaran dalam Filsafat

Kebenaran merupakan konsep sentral dalam filsafat, yang berkaitan erat dengan pengetahuan, keyakinan, dan realitas. Secara umum, kebenaran dipahami sebagai keadaan atau kualitas dari suatu pernyataan, proposisi, atau keyakinan yang sesuai dengan kenyataan atau fakta. Namun, definisi ini sesungguhnya menyiratkan adanya asumsi-asumsi filosofis tertentu yang tidak selalu disepakati oleh semua aliran pemikiran.

Dalam sejarah filsafat Barat, pemahaman tentang kebenaran sering kali dirumuskan dalam kerangka proposisional, yakni bahwa suatu proposisi adalah benar jika ia sesuai dengan kenyataan (truth as correspondence). Pemikiran ini dapat ditelusuri sejak Aristoteles yang menyatakan: “To say of what is that it is not, or of what is not that it is, is false, while to say of what is that it is, and of what is not that it is not, is true.”_¹ Dengan kata lain, kebenaran berkaitan dengan relasi antara bahasa atau pemikiran dengan objek yang dinyatakannya.

Kendati demikian, perkembangan filsafat di era modern menunjukkan bahwa kebenaran tidak hanya dapat direduksi pada kecocokan antara proposisi dan realitas. Sebagian filsuf berpendapat bahwa kebenaran juga memiliki dimensi internal, seperti konsistensi logis dalam suatu sistem pengetahuan (koherensi), atau nilai praktis dalam kehidupan manusia (pragmatisme).² Oleh karena itu, pengertian tentang kebenaran sangat tergantung pada kerangka teoritik dan epistemologis yang melandasinya.

Dalam kerangka epistemologi, kebenaran menjadi ukuran utama dari pengetahuan. Sebuah keyakinan atau proposisi tidak bisa disebut sebagai pengetahuan jika tidak benar.³ Namun demikian, tidak semua hal yang diyakini benar oleh seseorang dapat disebut sebagai kebenaran objektif. Hal ini memunculkan persoalan tentang hubungan antara keyakinan subjektif, justifikasi, dan kebenaran objektif—yang menjadi salah satu fokus utama dalam debat epistemologis modern, seperti terlihat dalam kasus Gettier.⁴

Selain itu, dalam wacana kontemporer, terdapat juga pembedaan penting antara truth, belief, dan fact. Truth adalah status epistemik dari pernyataan; belief adalah sikap mental subjektif; dan fact adalah realitas objektif di luar pikiran.⁵ Perbedaan ini penting untuk memahami bahwa klaim kebenaran tidak identik dengan sekadar keyakinan atau pendapat, dan bahwa ada standar tertentu yang diperlukan untuk menguji klaim tersebut.

Di sisi lain, dalam konteks kehidupan sosial dan etika, kebenaran juga berkaitan dengan kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab moral. Dalam tradisi filsafat Timur dan Islam misalnya, konsep kebenaran tidak hanya dipahami secara logis, tetapi juga etis dan spiritual—berkaitan dengan kejujuran hati, kesesuaian dengan wahyu, dan ketulusan dalam berkata.⁶

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam filsafat adalah konsep yang multidimensional. Ia tidak hanya berkaitan dengan validitas logis atau kesesuaian semantik, tetapi juga dengan aspek praktis, sosial, dan bahkan spiritual. Oleh karena itu, memahami kebenaran secara filosofis menuntut pendekatan yang luas dan reflektif, melampaui definisi yang sempit dan simplistis.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1011b25.

[2]                Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 2–5.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 21–23.

[4]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[5]                Simon Blackburn, Truth: A Guide for the Perplexed (London: Penguin Books, 2005), 17–19.

[6]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), 45–47.


3.           Teori-Teori Kebenaran

Pemikiran tentang kebenaran dalam filsafat tidak berhenti pada pengertian dasar semata, melainkan berkembang menjadi sejumlah teori yang berupaya menjelaskan secara lebih spesifik bagaimana dan mengapa sesuatu dapat dikatakan benar. Teori-teori ini mencerminkan pendekatan epistemologis dan metafisik yang berbeda-beda terhadap realitas, bahasa, dan pengetahuan. Secara umum, terdapat lima teori utama yang mendominasi diskursus filosofis: korespondensi, koherensi, pragmatis, konsensus, dan deflasi (redundansi).

3.1.       Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)

Teori korespondensi adalah salah satu teori tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah filsafat. Inti dari teori ini adalah bahwa suatu proposisi atau pernyataan adalah benar jika ia “mencocoki” atau sesuai dengan fakta atau realitas objektif. Akar pemikiran ini dapat ditelusuri kembali kepada Plato dan Aristoteles. Dalam Metaphysics, Aristoteles menegaskan bahwa mengatakan sesuatu “yang ada itu tidak ada” adalah salah, dan mengatakan sesuatu “yang ada itu ada” adalah benar.¹

Versi modern dari teori ini banyak dikembangkan oleh filsuf realis seperti Bertrand Russell dan G.E. Moore. Russell menyatakan bahwa kebenaran adalah relasi antara proposisi dan fakta; jika keduanya sejalan, maka proposisi tersebut benar.² Meskipun tampak intuitif, teori ini mendapat kritik karena kesulitannya dalam menjelaskan secara tepat apa yang dimaksud dengan “fakta”, serta bagaimana kita dapat memastikan bahwa sebuah proposisi benar-benar mencerminkan realitas secara objektif.

3.2.       Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)

Teori koherensi menyatakan bahwa suatu proposisi adalah benar jika ia konsisten atau koheren dengan seluruh sistem keyakinan atau proposisi lainnya yang kita anggap benar. Dengan kata lain, kebenaran tidak tergantung pada relasi dengan dunia luar, melainkan pada keselarasan internal dalam suatu sistem pemikiran.³

Teori ini banyak digunakan dalam konteks filsafat idealis, terutama oleh para pemikir seperti Spinoza, Hegel, dan F.H. Bradley.⁴ Mereka memandang bahwa kenyataan adalah suatu sistem rasional yang menyeluruh, dan kebenaran adalah harmoni dalam keseluruhan sistem tersebut. Kritik utama terhadap teori ini adalah bahwa sistem kepercayaan yang koheren belum tentu benar secara faktual; dua sistem yang saling bertentangan bisa sama-sama koheren secara internal, namun tidak bisa keduanya benar secara bersamaan.

3.3.       Teori Pragmatis (Pragmatic Theory of Truth)

Teori pragmatis muncul dari tradisi filsafat Amerika dan dipelopori oleh Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Dalam pandangan ini, kebenaran adalah apa yang “berfungsi” atau “bermanfaat” dalam praktik. James menyatakan bahwa sesuatu itu benar jika dalam pengalamannya “terkonfirmasi” dan menunjukkan manfaat praktis dalam kehidupan.⁵

Menurut Peirce, kebenaran adalah hasil dari penyelidikan yang terus-menerus, dan suatu proposisi dianggap benar bila ia tahan terhadap penyelidikan tak terbatas dan konsensus ilmiah.⁶ Meskipun teori ini fleksibel dan kontekstual, para kritikus menyoroti bahwa ia dapat mengaburkan batas antara kebenaran dan utilitas—apa yang berguna belum tentu benar secara objektif.

3.4.       Teori Konsensus (Consensus Theory of Truth)

Teori ini berkembang dalam konteks filsafat sosial dan komunikasi, terutama melalui pemikiran Jürgen Habermas. Ia menyatakan bahwa kebenaran adalah hasil dari kesepakatan rasional di antara para peserta diskursus yang bebas dari dominasi dan distorsi komunikasi.⁷ Dalam kerangka ini, kebenaran bukan ditentukan oleh dunia luar, tetapi oleh prosedur dialog yang ideal dalam masyarakat demokratis.

Habermas menggabungkan teori kebenaran dengan etika komunikasi, menekankan bahwa klaim kebenaran harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan publik.⁸ Kritik terhadap teori ini adalah bahwa konsensus bisa dicapai melalui manipulasi atau tekanan sosial, dan belum tentu mencerminkan kebenaran objektif.

3.5.       Teori Deflasi (Redundansi) dan Teori Semantik

Teori deflasi menyatakan bahwa kebenaran bukanlah properti substantif yang perlu dijelaskan secara mendalam. Frank P. Ramsey mengatakan bahwa mengatakan “Pernyataan ‘Salju itu putih’ adalah benar” hanyalah cara lain untuk mengatakan “Salju itu putih”—dengan kata lain, istilah “benar” bersifat redundant.⁹

Alfred Tarski mengembangkan teori semantik tentang kebenaran dengan prinsip konvensi-T: pernyataan “‘Salju itu putih’ adalah benar jika dan hanya jika salju itu putih.”_¹⁰ Tarski menekankan bahwa kebenaran adalah konsep formal yang dapat ditentukan dalam suatu bahasa tertentu melalui aturan semantik. Meskipun sangat teknis dan digunakan dalam logika matematika, teori ini memberikan sumbangan penting dalam upaya menjelaskan kebenaran dalam konteks bahasa.


Kesimpulan Sementara

Kelima teori ini menunjukkan bahwa kebenaran dapat dipahami dari berbagai sudut pandang: hubungan dengan realitas, keselarasan internal, nilai praktis, intersubjektivitas, atau bahkan sebagai konsep formal belaka. Tidak ada satu teori pun yang sepenuhnya komprehensif, namun masing-masing menawarkan wawasan berharga dalam memahami kompleksitas konsep kebenaran dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1011b25.

[2]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 125–127.

[3]                Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 24–30.

[4]                F.H. Bradley, The Principles of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1922), 345–350.

[5]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 200–203.

[6]                Charles Sanders Peirce, “The Fixation of Belief,” in The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Vol. 1, ed. Nathan Houser and Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 109–123.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 287–290.

[8]                Ibid., 294–297.

[9]                Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” in The Foundations of Mathematics and Other Logical Essays, ed. R.B. Braithwaite (London: Routledge & Kegan Paul, 1931), 138–155.

[10]             Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–376.


4.           Kebenaran dan Bahasa

Kebenaran dalam filsafat tidak dapat dilepaskan dari persoalan bahasa. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa klaim-klaim kebenaran hampir selalu diekspresikan melalui proposisi atau pernyataan linguistik. Bahasa menjadi medium utama untuk menyampaikan, menguji, dan mempertanggungjawabkan klaim kebenaran. Oleh karena itu, pemahaman tentang hakikat dan fungsi bahasa menjadi sangat penting dalam kajian filsafat kebenaran.

4.1.       Bahasa sebagai Representasi Realitas

Salah satu asumsi mendasar dalam banyak teori kebenaran, terutama teori korespondensi, adalah bahwa bahasa mampu merepresentasikan dunia secara objektif. Pandangan ini mengandaikan bahwa terdapat hubungan langsung antara kata atau kalimat dengan objek atau fakta di dunia.¹ Pendekatan ini banyak dianut dalam tradisi filsafat analitik awal, seperti terlihat dalam karya Tractatus Logico-Philosophicus karya Ludwig Wittgenstein.

Dalam karyanya, Wittgenstein merumuskan bahwa dunia terdiri atas fakta-fakta, bukan benda-benda, dan bahwa kalimat dalam bahasa logis adalah “gambaran” (picture) dari fakta-fakta tersebut.² Kalimat yang benar adalah kalimat yang secara logis mencerminkan struktur dari kenyataan. Namun, ia juga menambahkan bahwa apa yang tidak dapat dikatakan secara logis harus “dilewatkan dalam diam” (Wovon man nicht sprechen kann, darüber muss man schweigen), menandakan batas bahasa dalam menangkap seluruh aspek realitas.³

4.2.       Perkembangan Filsafat Bahasa dan Semantik Kebenaran

Perkembangan lebih lanjut dalam filsafat bahasa, khususnya dalam filsafat logika dan semantik, menempatkan perhatian besar pada bagaimana makna dan kebenaran saling berkaitan. Alfred Tarski memberikan sumbangan penting melalui semantic theory of truth, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah sifat dari kalimat dalam suatu bahasa formal, dan dapat dirumuskan melalui prinsip konvensi-T.⁴

Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris: kalimat “Salju itu putih” adalah benar jika dan hanya jika salju itu putih. Formula ini mencoba menjembatani hubungan antara bahasa dan dunia secara sistematis dan formal. Tarski menekankan pentingnya pembedaan antara object language (bahasa objek) dan meta-language (meta-bahasa) untuk menghindari paradoks semantik seperti paradoks kebohongan.⁵

4.3.       Kritik terhadap Representasionalisme dan Bahasa sebagai Praktik Sosial

Namun, pandangan bahwa bahasa semata-mata merepresentasikan realitas mendapat kritik dari banyak filsuf kontemporer. Dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein (fase kedua) menolak ide bahwa makna adalah representasi statis dari realitas, dan mengusulkan bahwa makna adalah “penggunaan dalam suatu permainan bahasa” (language game).⁶ Dengan kata lain, kebenaran tidak dapat dipahami hanya melalui representasi logis, tetapi melalui praktik sosial dan konteks penggunaan bahasa itu sendiri.

Filsuf seperti Donald Davidson juga berkontribusi dalam menyoroti pentingnya konteks komunikasi dan interpretasi. Davidson menolak bahwa ada “makna tetap” yang melekat pada kata, dan justru menekankan bahwa pemahaman kebenaran muncul dari radical interpretation, yaitu proses menafsirkan maksud orang lain berdasarkan konteks pembicaraan.⁷

4.4.       Bahasa, Ideologi, dan Kekuasaan

Dalam filsafat kontemporer, terutama yang dipengaruhi oleh hermeneutika dan post-strukturalisme, bahasa dipandang bukan hanya sebagai alat representasi atau komunikasi, tetapi juga sebagai sarana produksi makna dan kekuasaan. Michel Foucault, misalnya, menunjukkan bahwa bahasa dan diskursus membentuk apa yang dapat dikatakan benar dalam konteks historis tertentu.⁸ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak netral, tetapi merupakan hasil dari struktur kekuasaan yang menentukan wacana dominan.

Pandangan ini membuka ruang bagi analisis kritis terhadap bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk, mengaburkan, atau menegaskan klaim kebenaran dalam masyarakat. Di era digital dan media sosial, misalnya, permainan bahasa—dalam bentuk retorika politik, framing berita, dan algoritma pencarian—dapat mengaburkan batas antara fakta dan opini, antara informasi dan manipulasi.


Penutup Subbagian

Dengan demikian, pembahasan tentang kebenaran tidak dapat dilepaskan dari dimensi bahasa. Bahasa bukan hanya alat untuk menyatakan yang benar atau salah, tetapi juga arena di mana makna kebenaran itu sendiri dipertarungkan, dinegosiasikan, dan diproduksi. Filsafat bahasa memperluas wawasan kita tentang bagaimana klaim kebenaran beroperasi, bukan hanya dalam ranah logika, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya.


Footnotes

[1]                Michael Dummett, Truth and Other Enigmas (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 1–5.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 2001), prop. 2.1–2.21.

[3]                Ibid., prop. 7.

[4]                Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–376.

[5]                Ibid., 353–355.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 2009), §§23–43.

[7]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” in Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 17–36.

[8]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–132.


5.           Kebenaran dalam Konteks Epistemologi

Dalam filsafat, epistemologi merupakan cabang yang secara khusus membahas tentang pengetahuan—asal-usul, struktur, dan validitasnya. Dalam konteks ini, kebenaran memiliki kedudukan sentral sebagai salah satu syarat utama dari apa yang disebut sebagai pengetahuan. Sejak zaman Plato, pengetahuan secara klasik didefinisikan sebagai justified true belief (keyakinan yang benar dan dibenarkan).¹ Definisi ini mengandaikan bahwa agar seseorang benar-benar mengetahui sesuatu, ia tidak hanya harus meyakininya, tetapi keyakinan itu juga harus benar dan memiliki dasar justifikasi yang sahih.

5.1.       Kebenaran sebagai Unsur Pengetahuan

Definisi klasik pengetahuan menggabungkan tiga elemen utama: kepercayaan (belief), kebenaran (truth), dan pembenaran (justification).² Misalnya, seseorang yang percaya bahwa "matahari terbit dari timur" dan keyakinan itu benar serta didasarkan pada pengamatan atau pembelajaran yang sahih, maka ia dapat dikatakan memiliki pengetahuan tentang peristiwa tersebut.

Namun, jika salah satu dari tiga unsur ini tidak terpenuhi—misalnya jika keyakinan itu salah atau tidak dapat dibenarkan—maka klaim tersebut tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan. Inilah yang menjadikan kebenaran sebagai elemen non-negotiable dalam epistemologi: tanpa kebenaran, tidak ada pengetahuan.

5.2.       Tantangan Gettier terhadap Definisi Klasik

Pada tahun 1963, Edmund L. Gettier menerbitkan artikel singkat yang secara radikal mengguncang fondasi epistemologi modern. Dalam artikel “Is Justified True Belief Knowledge?”, Gettier menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, namun tetap tidak memiliki pengetahuan karena unsur “kebetulan” dalam pembenaran tersebut.³

Sebagai contoh: jika seseorang melihat jam yang menunjukkan pukul 3 sore dan percaya bahwa sekarang pukul 3, dan ternyata benar memang pukul 3, namun jam itu sebenarnya mati sejak kemarin dan hanya kebetulan saja menunjuk waktu yang tepat, maka meskipun keyakinannya benar dan tampak dibenarkan, itu tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan. Inilah yang disebut sebagai “kasus Gettier”.

Kasus ini menunjukkan bahwa kebenaran saja tidak cukup, dan pembenaran juga harus reliable atau tidak semata-mata kebetulan. Ini mendorong munculnya teori-teori baru dalam epistemologi seperti reliabilisme, virtue epistemology, dan contextualism, yang berupaya menyesuaikan peran kebenaran dalam kerangka yang lebih kompleks.

5.3.       Realisme, Antirealisme, dan Kebenaran Epistemik

Dalam konteks epistemologi kontemporer, diskusi tentang kebenaran juga bersinggungan dengan perdebatan antara realisme dan antirealisme. Para realis epistemik berpendapat bahwa kebenaran bersifat independen terhadap pikiran; suatu proposisi bisa benar meskipun tidak diketahui atau tidak bisa dibuktikan.⁴ Sebaliknya, antirealis menganggap bahwa kebenaran bergantung pada bukti atau kemampuan kita untuk membenarkan suatu proposisi.

Michael Dummett, seorang tokoh penting dalam filsafat analitik, menolak realisme kebenaran dan berpandangan bahwa kebenaran suatu proposisi hanya dapat ditentukan melalui kemampuan verifikasi dalam praktik bahasa dan pemikiran.⁵ Pandangan ini berkontribusi pada pengembangan konsep epistemic truth, yaitu gagasan bahwa kebenaran harus bisa diverifikasi atau diketahui, dan bukan sekadar korespondensi abstrak dengan dunia.

5.4.       Kebenaran, Skeptisisme, dan Justifikasi

Dalam konteks epistemologi, kebenaran juga berhadapan dengan persoalan skeptisisme—keraguan terhadap kemungkinan pengetahuan sejati. Skeptisisme epistemologis mempertanyakan apakah manusia benar-benar bisa mengetahui sesuatu secara pasti, mengingat kemungkinan kesalahan persepsi, penipuan indrawi, atau bias kognitif.⁶

Sebagai respons terhadap skeptisisme, para filsuf mengembangkan berbagai teori pembenaran (theories of justification), seperti foundationalism, coherentism, dan infinitism. Teori-teori ini menyusun model bagaimana keyakinan kita bisa dibangun di atas landasan yang dapat diandalkan, serta sejauh mana kebenaran dapat diverifikasi secara rasional dan sistematis.


Penutup Subbagian

Dengan demikian, dalam konteks epistemologi, kebenaran bukan hanya atribut dari proposisi, melainkan juga syarat pokok untuk menyatakan bahwa suatu keyakinan benar-benar merupakan pengetahuan. Kebenaran berinteraksi erat dengan konsep pembenaran, kepercayaan, dan metode pencapaian pengetahuan. Perkembangan epistemologi modern menunjukkan bahwa memahami kebenaran dalam konteks ini membutuhkan bukan hanya analisis logis, tetapi juga refleksi mendalam terhadap batas-batas pengetahuan manusia.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210a.

[2]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 22–25.

[3]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                Paul Boghossian, “What is Social Construction?” in Philosophical Issues, Vol. 17, ed. Ernest Sosa and Enrique Villanueva (Oxford: Blackwell, 2007), 14–18.

[5]                Michael Dummett, Truth and the Past (New York: Columbia University Press, 2004), 6–8.

[6]                Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder: Westview Press, 2000), 103–109.


6.           Kebenaran dalam Perspektif Sosial dan Etika

Kebenaran tidak hanya berfungsi sebagai konsep epistemologis dan logis, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam ranah sosial dan etika. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebenaran memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan, mewujudkan keadilan, dan menjaga integritas komunikasi. Di luar itu, perbincangan tentang kebenaran juga berkaitan erat dengan tanggung jawab moral individu dan kolektif, terutama dalam konteks penyampaian informasi, pengambilan keputusan, dan kehidupan politik.

6.1.       Kebenaran sebagai Fondasi Kehidupan Sosial

Dalam hubungan sosial, kebenaran menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan (trust). Tanpa komitmen bersama terhadap nilai kejujuran dan transparansi, kehidupan bersama akan mudah terganggu oleh kecurigaan, manipulasi, dan kekacauan moral. Filsuf Jürgen Habermas menekankan pentingnya kondisi ideal komunikasi yang didasarkan pada keterbukaan terhadap kebenaran, di mana semua peserta diskursus dapat mengajukan klaim kebenaran yang dapat diuji secara rasional tanpa adanya dominasi.¹

Dalam masyarakat demokratis, ideal ini menjadi landasan bagi diskusi publik yang sehat dan deliberatif. Keberlangsungan lembaga-lembaga sosial seperti media, pengadilan, dan lembaga pendidikan sangat tergantung pada komitmen terhadap kebenaran. Ketika klaim kebenaran dikaburkan oleh disinformasi atau ideologi kekuasaan, masyarakat kehilangan arah dalam menilai realitas secara objektif.

6.2.       Kebenaran dan Etika Komunikasi

Secara etis, kebenaran berkaitan dengan kejujuran dan tanggung jawab dalam menyampaikan informasi. Emmanuel Levinas menekankan bahwa hubungan dengan sesama manusia dibangun atas dasar keterbukaan dan tanggung jawab etis yang mendalam.² Menyampaikan kebenaran bukan hanya soal akurasi fakta, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap martabat orang lain.

Dalam konteks ini, berbohong bukan hanya kesalahan moral individual, melainkan bentuk pelanggaran terhadap relasi etis antar manusia. Dietrich Bonhoeffer bahkan menyatakan bahwa “pemalsuan kebenaran” dalam komunikasi bukan hanya tindakan dosa, melainkan penghancuran hubungan sosial yang tulus.³

Kebenaran juga menjadi prinsip etis dalam profesi tertentu, seperti jurnalisme, kedokteran, hukum, dan pendidikan. Dalam profesi-profesi tersebut, kegagalan dalam menyampaikan kebenaran bisa menimbulkan kerugian besar, bahkan mengancam kehidupan orang lain.

6.3.       Konstruksi Sosial atas Kebenaran

Sejumlah filsuf post-strukturalis seperti Michel Foucault menyoroti bahwa apa yang dianggap “benar” dalam masyarakat tidak selalu netral, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan politik. Menurut Foucault, setiap masyarakat memiliki “rezim kebenaran” yang menentukan wacana mana yang sah untuk dikatakan, siapa yang berhak berbicara, dan bagaimana validitas pernyataan diukur.⁴

Dalam pandangan ini, kebenaran bukan hanya persoalan epistemologis, melainkan juga politis. Misalnya, dalam masyarakat kolonial atau patriarkis, wacana kebenaran sering kali ditentukan oleh struktur kekuasaan yang menyingkirkan kelompok tertentu. Oleh karena itu, membongkar konstruksi sosial atas kebenaran menjadi tugas penting dalam upaya emansipasi dan keadilan sosial.

6.4.       Tantangan Era Post-truth

Fenomena post-truth yang mencuat dalam dekade terakhir merupakan bukti bagaimana kebenaran menghadapi krisis dalam ranah publik. Dalam era ini, emosi dan opini personal sering kali lebih berpengaruh daripada fakta objektif dalam membentuk opini publik.⁵ Ralph Keyes menyebut bahwa “ketidaknyamanan terhadap kebenaran” telah menjadi norma baru, di mana kebohongan kecil hingga besar diterima secara sosial sepanjang sesuai dengan narasi dominan atau identitas kelompok.⁶

Dalam konteks ini, tanggung jawab etis terhadap kebenaran menjadi sangat penting. Masyarakat perlu membangun kembali budaya komunikasi yang berbasis pada pencarian kebenaran, bukan sekadar afirmasi terhadap keyakinan kelompok. Pendidikan kritis, transparansi media, dan tanggung jawab moral individu memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan ini.


Penutup Subbagian

Dengan demikian, kebenaran dalam perspektif sosial dan etika bukanlah sesuatu yang netral dan terisolasi, tetapi terhubung erat dengan relasi kuasa, struktur sosial, serta tanggung jawab moral. Memahami dan memelihara kebenaran bukan hanya urusan logis atau ilmiah, melainkan juga komitmen etis terhadap sesama manusia dan masyarakat yang adil. Kebenaran, dalam dimensi ini, menjadi jantung dari peradaban yang sehat dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 287–293.

[2]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–202.

[3]                Dietrich Bonhoeffer, Ethics, trans. Neville Horton Smith (New York: Simon and Schuster, 1995), 362–364.

[4]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.

[5]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 10–14.

[6]                Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 4–7.


7.           Implikasi Konsep Kebenaran dalam Kehidupan Nyata

Pemahaman tentang kebenaran tidak hanya penting dalam wacana filsafat teoritis, tetapi juga memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap berbagai dimensi kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, politik, pendidikan, hukum, agama, dan media, kebenaran bukanlah sekadar ide abstrak, melainkan prinsip dasar yang menentukan kepercayaan, tanggung jawab, dan keadilan. Ketiadaan komitmen terhadap kebenaran dalam konteks-konteks ini dapat menimbulkan disorientasi sosial dan krisis etika yang serius.

7.1.       Kebenaran dalam Dunia Politik dan Pemerintahan

Dalam dunia politik, kebenaran merupakan fondasi bagi legitimasi kekuasaan, akuntabilitas kebijakan, dan partisipasi warga negara. John Rawls menekankan bahwa keadilan sebagai nilai politik hanya dapat terwujud jika terdapat kesetiaan terhadap kebenaran (duty of civility) dalam diskursus publik.¹ Ketika politisi atau institusi publik menyebarkan informasi palsu atau manipulatif, mereka merusak dasar kepercayaan sosial yang sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan demokrasi.

Fenomena propaganda, disinformasi, dan “politik pasca-kebenaran” (post-truth politics) membuktikan bahwa kebohongan sistematis dapat merusak struktur demokrasi secara perlahan.² Oleh karena itu, memperjuangkan keterbukaan informasi dan transparansi kebijakan menjadi bagian dari etika publik yang tak terpisahkan dari nilai kebenaran.

7.2.       Kebenaran dalam Dunia Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Dalam ranah pendidikan dan ilmu pengetahuan, kebenaran menjadi tujuan fundamental. Pengetahuan ilmiah dibangun di atas metodologi yang mengutamakan keterbukaan terhadap fakta, pembuktian empiris, dan kritik rasional.³ Bila institusi pendidikan gagal menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran akademik, maka seluruh proses pembelajaran kehilangan integritasnya.

Filsuf Karl Popper menekankan pentingnya falsifiabilitas dalam ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk terus menguji klaim-klaim kebenaran secara terbuka.⁴ Dalam pendidikan, hal ini diterjemahkan sebagai semangat berpikir kritis, keberanian mengoreksi kesalahan, dan keterbukaan terhadap perbedaan pandangan.

Lebih jauh, penanaman nilai kebenaran dalam pendidikan berkontribusi besar dalam pembentukan karakter siswa sebagai warga yang bertanggung jawab secara moral dan intelektual.

7.3.       Kebenaran dalam Etika Profesional

Dalam berbagai bidang profesi seperti hukum, jurnalisme, dan kedokteran, komitmen terhadap kebenaran adalah elemen etis yang tak dapat ditawar. Seorang hakim, misalnya, tidak akan bisa menegakkan keadilan tanpa merujuk pada kebenaran fakta hukum. Demikian pula, jurnalis tidak bisa menyampaikan laporan yang kredibel tanpa berpegang pada data yang benar.

Kode etik profesi di bidang-bidang ini secara eksplisit menyebutkan kejujuran dan akurasi sebagai prinsip utama.⁵ Kegagalan dalam menjaga kebenaran bukan hanya pelanggaran moral, tetapi bisa berdampak hukum dan sosial, seperti hilangnya kepercayaan publik atau kerugian nyawa.

7.4.       Kebenaran dalam Kehidupan Religius dan Moral

Dalam tradisi keagamaan, kebenaran sering kali dipandang sebagai nilai transenden yang berasal dari Tuhan. Dalam Islam, misalnya, kebenaran (al-ḥaqq) adalah salah satu nama Allah dan menjadi prinsip sentral dalam ajaran moral dan hukum.⁶ Menyampaikan yang benar dan menghindari kebohongan adalah bagian dari ibadah, dan pelanggaran terhadap kebenaran dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah.

Dalam kehidupan spiritual, komitmen terhadap kebenaran menjadi bentuk kejujuran batin dan kesetiaan kepada nilai-nilai ilahi. Kierkegaard bahkan menyebut bahwa “kebenaran subjektif” (yaitu hidup dalam kejujuran eksistensial terhadap iman dan nurani) lebih penting daripada sekadar kebenaran objektif yang dingin dan abstrak.⁷

7.5.       Kebenaran dan Tanggung Jawab Sosial

Implikasi kebenaran juga tampak dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Dalam relasi antarindividu, kejujuran adalah landasan dari hubungan yang sehat dan saling menghargai. Dalam media sosial dan ruang digital, tanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang benar menjadi semakin penting seiring dengan dampak masif penyebaran hoaks.

Lee McIntyre menekankan bahwa masyarakat hanya dapat berfungsi secara rasional jika para anggotanya memiliki komitmen terhadap fakta.⁸ Hal ini berarti bahwa setiap individu memiliki peran dalam merawat ekosistem informasi dan menjaga integritas wacana publik.


Penutup Subbagian

Konsep kebenaran bukanlah sekadar bahan perenungan filosofis, melainkan pilar utama dalam membentuk kehidupan yang beradab dan bermartabat. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan manipulasi informasi, keberanian untuk mencari, menyampaikan, dan mempertahankan kebenaran merupakan bentuk tanggung jawab moral tertinggi. Dari ruang kelas hingga ruang sidang, dari rumah ibadah hingga parlemen, nilai kebenaran adalah cahaya yang menuntun manusia menuju keadilan, kedamaian, dan kemanusiaan sejati.


Footnotes

[1]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1996), 217–219.

[2]                Timothy Snyder, On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century (New York: Tim Duggan Books, 2017), 65–68.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 34–37.

[4]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 2002), 33–37.

[5]                Society of Professional Journalists, “SPJ Code of Ethics,” https://www.spj.org/ethicscode.asp (diakses 6 April 2025).

[6]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), 45–49.

[7]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 189–191.

[8]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 92–97.


8.           Kesimpulan

Pembahasan mengenai kebenaran dalam filsafat menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah konsep tunggal yang mudah didefinisikan, melainkan entitas kompleks yang menyentuh berbagai dimensi kehidupan manusia: dari pemikiran logis, bahasa, dan pengetahuan hingga kehidupan sosial, moral, dan politik. Filsafat telah memperkaya pemahaman kita tentang kebenaran dengan merumuskan berbagai teori—seperti korespondensi, koherensi, pragmatis, konsensus, dan deflasi—yang masing-masing menyoroti sisi berbeda dari relasi antara bahasa, pikiran, dan realitas.¹

Dalam konteks epistemologi, kebenaran menjadi syarat esensial bagi suatu keyakinan untuk diakui sebagai pengetahuan. Namun, tantangan-tantangan seperti kasus Gettier dan problem skeptisisme memperlihatkan bahwa pencapaian kebenaran membutuhkan tidak hanya pembenaran rasional, tetapi juga ketepatan metode dan keandalan sumber informasi.² Hal ini menuntut pendekatan yang lebih hati-hati dan reflektif dalam menyusun klaim-klaim kognitif.

Lebih jauh, dalam ranah sosial dan etika, kebenaran merupakan landasan penting bagi kepercayaan, keadilan, dan tanggung jawab. Dalam diskursus publik, pendidikan, profesi, serta relasi antar manusia, kebenaran tidak dapat dipisahkan dari etika komunikasi dan integritas pribadi. Seperti ditegaskan oleh Jürgen Habermas, masyarakat demokratis yang sehat hanya mungkin terwujud bila ada komitmen bersama terhadap rasionalitas komunikatif yang membuka ruang bagi klaim kebenaran yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan.³

Kebenaran juga bukan sesuatu yang bebas nilai. Dalam agama, misalnya, kebenaran berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual dan moral. Dalam konteks ini, menjadi "benar" bukan hanya berarti sesuai dengan fakta, tetapi juga selaras dengan nilai ketulusan, kejujuran, dan keadilan ilahiah.⁴

Namun, tantangan zaman post-truth dan disinformasi digital menuntut refleksi ulang terhadap bagaimana manusia modern memahami dan menjaga kebenaran. Kebenaran kini tidak lagi hanya menjadi urusan akademik atau metafisik, melainkan menjadi medan pertempuran sosial dan politik yang menentukan arah peradaban.⁵ Dalam situasi semacam ini, filsafat kebenaran bukan hanya menjadi sarana intelektual untuk memahami realitas, tetapi juga menjadi panduan moral dalam membangun kehidupan yang adil dan bermartabat.

Dengan demikian, upaya memahami kebenaran tidak boleh berhenti pada teori-teori spekulatif, melainkan harus meluas ke dalam praksis kehidupan. Dalam era di mana batas antara fakta dan opini kian kabur, keberanian untuk mencari, menyuarakan, dan membela kebenaran menjadi tindakan filosofis sekaligus etis yang paling mendesak dan bermakna.


Footnotes

[1]                Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 2–35.

[2]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 287–293.

[4]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), 45–49.

[5]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 3–7.


Daftar Pustaka

Audi, R. (2011). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Blackburn, S. (2005). Truth: A guide for the perplexed. Penguin Books.

Bogossian, P. (2007). What is social construction? In E. Sosa & E. Villanueva (Eds.), Philosophical Issues (Vol. 17, pp. 14–18). Blackwell.

Bonhoeffer, D. (1995). Ethics (N. H. Smith, Trans.). Simon and Schuster.

Bradley, F. H. (1922). The principles of logic (2nd ed.). Clarendon Press.

Davidson, D. (1984). Truth and meaning. In Inquiries into truth and interpretation (pp. 17–36). Clarendon Press.

Dummett, M. (1978). Truth and other enigmas. Harvard University Press.

Dummett, M. (2004). Truth and the past. Columbia University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Izutsu, T. (2002). Ethico-religious concepts in the Qur'an. McGill-Queen’s University Press.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.

Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.

Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press.

Kirkham, R. L. (1992). Theories of truth: A critical introduction. MIT Press.

Lehrer, K. (2000). Theory of knowledge (2nd ed.). Westview Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Peirce, C. S. (1992). The fixation of belief. In N. Houser & C. Kloesel (Eds.), The essential Peirce: Selected philosophical writings (Vol. 1, pp. 109–123). Indiana University Press.

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.

Popper, K. (2002). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge (Routledge Classics ed.). Routledge.

Ramsey, F. P. (1931). Facts and propositions. In R. B. Braithwaite (Ed.), The foundations of mathematics and other logical essays (pp. 138–155). Routledge & Kegan Paul.

Rawls, J. (1996). Political liberalism (Expanded ed.). Columbia University Press.

Russell, B. (1998). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Snyder, T. (2017). On tyranny: Twenty lessons from the twentieth century. Tim Duggan Books.

Society of Professional Journalists. (n.d.). SPJ code of ethics. https://www.spj.org/ethicscode.asp

Tarski, A. (1944). The semantic conception of truth and the foundations of semantics. Philosophy and Phenomenological Research, 4(3), 341–376.

Wittgenstein, L. (2001). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge. (Original work published 1921)

Wittgenstein, L. (2009). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar