Kebenaran (True)
Kajian Filsafat tentang Hakikat, Teori, dan Implikasi
Kebenaran
Alihkan ke: Dialektika, Kriteria Kebenaran dan Validitas Pengetahuan, Pengetahuan, Pengetahuan dalam Konteks Filsafat, Metode Dialektis Socrates (Elenchus).
Hubungan antara Justification, Truth, dan Belief.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep kebenaran secara
komprehensif dalam perspektif filsafat, dengan menelusuri akar historis,
teori-teori utama, serta implikasi epistemologis, sosial, dan etisnya. Dimulai
dengan pemetaan pengertian dasar tentang kebenaran, artikel ini mengeksplorasi
lima teori utama—korespondensi, koherensi, pragmatis, konsensus, dan
deflasi—untuk menunjukkan keragaman pendekatan dalam menjelaskan apa yang
dimaksud dengan kebenaran. Selanjutnya, pembahasan dilanjutkan dengan menelaah
hubungan antara kebenaran dan bahasa, termasuk pandangan logis-semantik dan
kritik terhadap representasionalisme. Dalam ranah epistemologi, kebenaran
diuraikan sebagai syarat esensial bagi pengetahuan yang sahih, serta ditinjau
dalam konteks skeptisisme dan teori pembenaran. Lebih jauh, artikel ini juga
menyoroti bagaimana kebenaran berfungsi dalam kehidupan sosial dan moral, mulai
dari diskursus politik hingga etika komunikasi. Di tengah tantangan era post-truth,
artikel ini menegaskan pentingnya kebenaran sebagai fondasi kepercayaan,
keadilan, dan tanggung jawab manusiawi dalam berbagai aspek kehidupan nyata.
Penulis menyimpulkan bahwa pemahaman dan pembelaan terhadap kebenaran adalah
tanggung jawab filosofis sekaligus etis yang urgen di era kontemporer.
Kata Kunci: Kebenaran, filsafat, epistemologi, teori kebenaran,
etika, bahasa, post-truth, keadilan, kepercayaan, komunikasi.
PEMBAHASAN
Menyingkap Tabir Kebenaran
1.
Pendahuluan
Kebenaran (True) merupakan
salah satu konsep paling fundamental dan kompleks dalam sejarah pemikiran
filsafat. Sejak masa Yunani Kuno hingga zaman kontemporer, pertanyaan tentang
apa itu kebenaran dan bagaimana manusia dapat mengetahuinya telah menjadi pusat
perhatian para filsuf dari berbagai aliran dan zaman. Dalam pemikiran
Aristoteles, misalnya, kebenaran dimaknai sebagai kecocokan antara pernyataan dan realitas; seseorang berkata benar
jika ia mengatakan sesuatu yang sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi,
dan berkata salah jika mengatakan sebaliknya.¹
Kendati definisi korespondensi
semacam itu tampak intuitif dan masih banyak digunakan hingga kini,
perkembangan filsafat modern dan kontemporer menunjukkan bahwa konsep kebenaran
tidak dapat dipahami secara tunggal. Terdapat berbagai teori tentang kebenaran yang dikembangkan untuk menjawab
pertanyaan mendasar ini dari perspektif yang berbeda, seperti teori koherensi
yang menekankan keselarasan dalam sistem kepercayaan, teori pragmatis yang
melihat kebenaran dari nilai fungsionalnya, serta teori konsensus yang
menekankan dimensi intersubjektif dalam pencapaian kebenaran.²
Problematika
kebenaran semakin rumit dalam konteks kehidupan modern yang sarat dengan
disinformasi, relativisme, dan bias ideologis. Kita hidup di zaman yang oleh beberapa pemikir disebut sebagai post-truth era, di mana fakta objektif sering kali dikalahkan oleh emosi dan
opini pribadi dalam membentuk opini publik.³ Oleh karena itu, membahas kembali
konsep kebenaran dari sudut pandang filsafat tidak hanya relevan untuk
memperkaya khazanah intelektual, tetapi juga penting secara praktis dalam
kehidupan sosial, politik, dan moral.
Artikel ini
bertujuan untuk mengulas konsep kebenaran secara komprehensif dalam kacamata
filsafat, dimulai dari pengertian umum hingga eksplorasi terhadap berbagai
teori kebenaran yang berkembang. Dengan pendekatan historis dan analitis,
tulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca memahami bahwa kebenaran bukanlah konsep yang sederhana dan tunggal,
melainkan problematis dan penuh nuansa. Melalui kajian ini, pembaca diajak
untuk menyadari pentingnya bersikap kritis terhadap klaim-klaim kebenaran yang
ada di sekitar mereka, serta membangun pemahaman yang lebih reflektif tentang
hakikat dan peran kebenaran dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
1019b25.
[2]
Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 5–17.
[3]
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary
Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 4.
2.
Pengertian Kebenaran dalam Filsafat
Kebenaran merupakan
konsep sentral dalam filsafat, yang berkaitan erat dengan pengetahuan,
keyakinan, dan realitas. Secara umum, kebenaran dipahami sebagai keadaan atau
kualitas dari suatu pernyataan, proposisi, atau keyakinan yang sesuai dengan kenyataan atau fakta. Namun,
definisi ini sesungguhnya menyiratkan adanya asumsi-asumsi filosofis tertentu
yang tidak selalu disepakati oleh semua aliran pemikiran.
Dalam sejarah
filsafat Barat, pemahaman tentang kebenaran sering kali dirumuskan dalam
kerangka proposisional, yakni bahwa
suatu proposisi adalah benar jika ia sesuai dengan kenyataan (truth as
correspondence). Pemikiran ini dapat ditelusuri sejak Aristoteles yang
menyatakan: “To say of what is that it is not, or of what is not that it is,
is false, while to say of what is that it is, and of what is not that it is
not, is true.”_¹ Dengan kata lain, kebenaran berkaitan dengan relasi antara
bahasa atau pemikiran dengan objek yang dinyatakannya.
Kendati demikian,
perkembangan filsafat di era modern menunjukkan bahwa kebenaran tidak hanya
dapat direduksi pada kecocokan antara proposisi dan realitas. Sebagian filsuf
berpendapat bahwa kebenaran juga memiliki dimensi internal, seperti konsistensi logis dalam suatu sistem
pengetahuan (koherensi), atau nilai praktis dalam kehidupan manusia
(pragmatisme).² Oleh karena itu, pengertian tentang kebenaran sangat tergantung
pada kerangka teoritik dan epistemologis yang melandasinya.
Dalam kerangka
epistemologi, kebenaran menjadi ukuran utama dari pengetahuan. Sebuah keyakinan
atau proposisi tidak bisa disebut sebagai pengetahuan jika tidak benar.³ Namun
demikian, tidak semua hal yang diyakini benar oleh seseorang dapat disebut sebagai
kebenaran objektif. Hal ini memunculkan persoalan tentang hubungan antara keyakinan subjektif, justifikasi, dan
kebenaran objektif—yang menjadi salah satu fokus utama dalam debat
epistemologis modern, seperti terlihat dalam kasus Gettier.⁴
Selain itu, dalam
wacana kontemporer, terdapat juga pembedaan penting antara truth,
belief,
dan fact.
Truth
adalah status epistemik dari pernyataan; belief adalah sikap mental
subjektif; dan fact adalah realitas objektif di
luar pikiran.⁵ Perbedaan ini penting untuk memahami bahwa klaim kebenaran tidak
identik dengan sekadar keyakinan atau pendapat, dan bahwa ada standar tertentu
yang diperlukan untuk menguji klaim tersebut.
Di sisi lain, dalam
konteks kehidupan sosial dan etika, kebenaran juga berkaitan dengan kejujuran,
keadilan, dan tanggung jawab moral. Dalam tradisi filsafat Timur dan Islam
misalnya, konsep kebenaran tidak hanya dipahami secara logis, tetapi juga etis
dan spiritual—berkaitan dengan kejujuran hati, kesesuaian dengan wahyu, dan
ketulusan dalam berkata.⁶
Dari uraian ini
dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam filsafat adalah konsep yang
multidimensional. Ia tidak hanya berkaitan dengan validitas logis atau
kesesuaian semantik, tetapi juga dengan aspek praktis, sosial, dan bahkan
spiritual. Oleh karena itu, memahami kebenaran secara filosofis menuntut
pendekatan yang luas dan reflektif, melampaui definisi yang sempit dan
simplistis.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
1011b25.
[2]
Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 2–5.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 21–23.
[4]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[5]
Simon Blackburn, Truth: A Guide for the Perplexed (London:
Penguin Books, 2005), 17–19.
[6]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an
(Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), 45–47.
3.
Teori-Teori Kebenaran
Pemikiran tentang
kebenaran dalam filsafat tidak berhenti pada pengertian dasar semata, melainkan
berkembang menjadi sejumlah teori yang berupaya menjelaskan secara lebih
spesifik bagaimana dan mengapa sesuatu dapat dikatakan benar. Teori-teori ini
mencerminkan pendekatan epistemologis dan metafisik yang berbeda-beda terhadap
realitas, bahasa, dan pengetahuan. Secara umum, terdapat lima teori utama yang
mendominasi diskursus filosofis: korespondensi, koherensi,
pragmatis,
konsensus,
dan deflasi
(redundansi).
3.1.
Teori Korespondensi (Correspondence Theory of
Truth)
Teori korespondensi
adalah salah satu teori tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah filsafat.
Inti dari teori ini adalah bahwa suatu proposisi atau pernyataan adalah benar
jika ia “mencocoki” atau sesuai dengan fakta atau realitas objektif.
Akar pemikiran ini dapat ditelusuri kembali kepada Plato dan Aristoteles. Dalam
Metaphysics,
Aristoteles menegaskan bahwa mengatakan sesuatu “yang ada itu tidak ada”
adalah salah, dan mengatakan sesuatu “yang ada itu ada” adalah benar.¹
Versi modern dari
teori ini banyak dikembangkan oleh filsuf realis seperti Bertrand Russell dan
G.E. Moore. Russell menyatakan bahwa kebenaran adalah relasi antara proposisi
dan fakta; jika keduanya sejalan, maka proposisi tersebut benar.² Meskipun
tampak intuitif, teori ini mendapat kritik karena kesulitannya dalam
menjelaskan secara tepat apa yang dimaksud dengan “fakta”, serta
bagaimana kita dapat memastikan bahwa sebuah proposisi benar-benar mencerminkan
realitas secara objektif.
3.2.
Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori koherensi
menyatakan bahwa suatu proposisi adalah benar jika ia konsisten atau koheren
dengan seluruh sistem keyakinan atau proposisi lainnya yang kita anggap benar.
Dengan kata lain, kebenaran tidak tergantung pada relasi dengan dunia luar,
melainkan pada keselarasan internal dalam suatu sistem pemikiran.³
Teori ini banyak
digunakan dalam konteks filsafat idealis, terutama oleh para pemikir seperti
Spinoza, Hegel, dan F.H. Bradley.⁴ Mereka memandang bahwa kenyataan adalah
suatu sistem rasional yang menyeluruh, dan kebenaran adalah harmoni dalam
keseluruhan sistem tersebut. Kritik utama terhadap teori ini adalah bahwa
sistem kepercayaan yang koheren belum tentu benar secara faktual; dua sistem
yang saling bertentangan bisa sama-sama koheren secara internal, namun tidak
bisa keduanya benar secara bersamaan.
3.3.
Teori Pragmatis (Pragmatic Theory of Truth)
Teori pragmatis
muncul dari tradisi filsafat Amerika dan dipelopori oleh Charles Sanders
Peirce, William James, dan John Dewey. Dalam pandangan ini, kebenaran adalah
apa yang “berfungsi” atau “bermanfaat” dalam praktik. James
menyatakan bahwa sesuatu itu benar jika dalam pengalamannya “terkonfirmasi”
dan menunjukkan manfaat praktis dalam kehidupan.⁵
Menurut Peirce,
kebenaran adalah hasil dari penyelidikan yang terus-menerus, dan suatu
proposisi dianggap benar bila ia tahan terhadap penyelidikan tak terbatas dan
konsensus ilmiah.⁶ Meskipun teori ini fleksibel dan kontekstual, para kritikus
menyoroti bahwa ia dapat mengaburkan batas antara kebenaran dan utilitas—apa
yang berguna belum tentu benar secara objektif.
3.4.
Teori Konsensus (Consensus Theory of Truth)
Teori ini berkembang
dalam konteks filsafat sosial dan komunikasi, terutama melalui pemikiran Jürgen
Habermas. Ia menyatakan bahwa kebenaran adalah hasil dari kesepakatan rasional
di antara para peserta diskursus yang bebas dari dominasi dan distorsi
komunikasi.⁷ Dalam kerangka ini, kebenaran bukan ditentukan oleh dunia luar,
tetapi oleh prosedur dialog yang ideal dalam masyarakat demokratis.
Habermas
menggabungkan teori kebenaran dengan etika komunikasi, menekankan bahwa klaim
kebenaran harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan publik.⁸
Kritik terhadap teori ini adalah bahwa konsensus bisa dicapai melalui
manipulasi atau tekanan sosial, dan belum tentu mencerminkan kebenaran
objektif.
3.5.
Teori Deflasi (Redundansi) dan Teori Semantik
Teori deflasi
menyatakan bahwa kebenaran bukanlah properti substantif yang perlu dijelaskan
secara mendalam. Frank P. Ramsey mengatakan bahwa mengatakan “Pernyataan
‘Salju itu putih’ adalah benar” hanyalah cara lain untuk mengatakan “Salju
itu putih”—dengan kata lain, istilah “benar” bersifat redundant.⁹
Alfred Tarski
mengembangkan teori semantik tentang kebenaran dengan prinsip konvensi-T:
pernyataan “‘Salju itu putih’ adalah benar jika dan hanya jika salju itu
putih.”_¹⁰ Tarski menekankan bahwa kebenaran adalah konsep formal yang
dapat ditentukan dalam suatu bahasa tertentu melalui aturan semantik. Meskipun
sangat teknis dan digunakan dalam logika matematika, teori ini memberikan
sumbangan penting dalam upaya menjelaskan kebenaran dalam konteks bahasa.
Kesimpulan Sementara
Kelima teori ini menunjukkan
bahwa kebenaran dapat dipahami dari berbagai sudut pandang: hubungan dengan
realitas, keselarasan internal, nilai praktis, intersubjektivitas, atau bahkan
sebagai konsep formal belaka. Tidak ada satu teori pun yang sepenuhnya
komprehensif, namun masing-masing menawarkan wawasan berharga dalam memahami
kompleksitas konsep kebenaran dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
1011b25.
[2]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 125–127.
[3]
Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 24–30.
[4]
F.H. Bradley, The Principles of Logic (Oxford: Clarendon
Press, 1922), 345–350.
[5]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 200–203.
[6]
Charles Sanders Peirce, “The Fixation of Belief,” in The Essential
Peirce: Selected Philosophical Writings, Vol. 1, ed. Nathan Houser and
Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 109–123.
[7]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1:
Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 287–290.
[8]
Ibid., 294–297.
[9]
Frank P. Ramsey, “Facts and Propositions,” in The Foundations of
Mathematics and Other Logical Essays, ed. R.B. Braithwaite (London:
Routledge & Kegan Paul, 1931), 138–155.
[10]
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and the Foundations of
Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944):
341–376.
4.
Kebenaran dan Bahasa
Kebenaran dalam
filsafat tidak dapat dilepaskan dari persoalan bahasa. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa klaim-klaim kebenaran hampir selalu diekspresikan melalui
proposisi atau pernyataan linguistik. Bahasa menjadi medium utama untuk
menyampaikan, menguji, dan mempertanggungjawabkan klaim kebenaran. Oleh karena
itu, pemahaman tentang hakikat dan fungsi bahasa menjadi sangat penting dalam
kajian filsafat kebenaran.
4.1.
Bahasa sebagai Representasi Realitas
Salah satu asumsi
mendasar dalam banyak teori kebenaran, terutama teori korespondensi, adalah
bahwa bahasa mampu merepresentasikan dunia secara objektif. Pandangan ini mengandaikan
bahwa terdapat hubungan langsung antara kata atau kalimat dengan objek atau
fakta di dunia.¹ Pendekatan ini banyak dianut dalam tradisi filsafat analitik
awal, seperti terlihat dalam karya Tractatus Logico-Philosophicus
karya Ludwig Wittgenstein.
Dalam karyanya,
Wittgenstein merumuskan bahwa dunia terdiri atas fakta-fakta, bukan
benda-benda, dan bahwa kalimat dalam bahasa logis adalah “gambaran”
(picture) dari fakta-fakta tersebut.² Kalimat yang benar adalah kalimat yang
secara logis mencerminkan struktur dari kenyataan. Namun, ia juga menambahkan
bahwa apa yang tidak dapat dikatakan secara logis harus “dilewatkan dalam
diam” (Wovon
man nicht sprechen kann, darüber muss man schweigen), menandakan
batas bahasa dalam menangkap seluruh aspek realitas.³
4.2.
Perkembangan Filsafat Bahasa dan Semantik
Kebenaran
Perkembangan lebih
lanjut dalam filsafat bahasa, khususnya dalam filsafat logika dan semantik,
menempatkan perhatian besar pada bagaimana makna dan kebenaran saling
berkaitan. Alfred Tarski memberikan sumbangan penting melalui semantic
theory of truth, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah sifat dari
kalimat dalam suatu bahasa formal, dan dapat dirumuskan melalui prinsip
konvensi-T.⁴
Sebagai contoh,
dalam bahasa Inggris: kalimat “Salju itu putih” adalah benar jika dan
hanya jika salju itu putih. Formula ini mencoba menjembatani
hubungan antara bahasa dan dunia secara sistematis dan formal. Tarski
menekankan pentingnya pembedaan antara object language (bahasa objek) dan meta-language
(meta-bahasa) untuk menghindari paradoks semantik seperti paradoks kebohongan.⁵
4.3.
Kritik terhadap Representasionalisme dan Bahasa
sebagai Praktik Sosial
Namun, pandangan
bahwa bahasa semata-mata merepresentasikan realitas mendapat kritik dari banyak
filsuf kontemporer. Dalam Philosophical Investigations,
Wittgenstein (fase kedua) menolak ide bahwa makna adalah representasi statis
dari realitas, dan mengusulkan bahwa makna adalah “penggunaan dalam suatu
permainan bahasa” (language game).⁶ Dengan kata
lain, kebenaran tidak dapat dipahami hanya melalui representasi logis, tetapi
melalui praktik sosial dan konteks penggunaan bahasa itu sendiri.
Filsuf seperti
Donald Davidson juga berkontribusi dalam menyoroti pentingnya konteks
komunikasi dan interpretasi. Davidson menolak bahwa ada “makna tetap”
yang melekat pada kata, dan justru menekankan bahwa pemahaman kebenaran muncul
dari radical
interpretation, yaitu proses menafsirkan maksud orang lain
berdasarkan konteks pembicaraan.⁷
4.4.
Bahasa, Ideologi, dan Kekuasaan
Dalam filsafat kontemporer,
terutama yang dipengaruhi oleh hermeneutika dan post-strukturalisme, bahasa
dipandang bukan hanya sebagai alat representasi atau komunikasi, tetapi juga
sebagai sarana produksi makna dan kekuasaan. Michel Foucault, misalnya,
menunjukkan bahwa bahasa dan diskursus membentuk apa yang dapat dikatakan benar
dalam konteks historis tertentu.⁸ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak netral,
tetapi merupakan hasil dari struktur kekuasaan yang menentukan wacana dominan.
Pandangan ini
membuka ruang bagi analisis kritis terhadap bagaimana bahasa digunakan untuk
membentuk, mengaburkan, atau menegaskan klaim kebenaran dalam masyarakat. Di
era digital dan media sosial, misalnya, permainan bahasa—dalam bentuk retorika
politik, framing berita, dan algoritma pencarian—dapat mengaburkan batas antara
fakta dan opini, antara informasi dan manipulasi.
Penutup Subbagian
Dengan demikian,
pembahasan tentang kebenaran tidak dapat dilepaskan dari dimensi bahasa. Bahasa
bukan hanya alat untuk menyatakan yang benar atau salah, tetapi juga arena di
mana makna kebenaran itu sendiri dipertarungkan, dinegosiasikan, dan
diproduksi. Filsafat bahasa memperluas wawasan kita tentang bagaimana klaim
kebenaran beroperasi, bukan hanya dalam ranah logika, tetapi juga dalam
kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Footnotes
[1]
Michael Dummett, Truth and Other Enigmas (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1978), 1–5.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 2001), prop. 2.1–2.21.
[3]
Ibid., prop. 7.
[4]
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and the Foundations of
Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944):
341–376.
[5]
Ibid., 353–355.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 2009), §§23–43.
[7]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” in Inquiries into Truth and
Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 17–36.
[8]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–132.
5.
Kebenaran dalam Konteks Epistemologi
Dalam filsafat,
epistemologi merupakan cabang yang secara khusus membahas tentang
pengetahuan—asal-usul, struktur, dan validitasnya. Dalam konteks ini, kebenaran
memiliki kedudukan sentral sebagai salah satu syarat utama dari apa yang
disebut sebagai pengetahuan. Sejak zaman Plato,
pengetahuan secara klasik didefinisikan sebagai justified true belief (keyakinan yang benar dan dibenarkan).¹ Definisi ini mengandaikan bahwa agar
seseorang benar-benar mengetahui sesuatu, ia tidak hanya harus meyakininya,
tetapi keyakinan itu juga harus benar dan memiliki dasar justifikasi yang
sahih.
5.1.
Kebenaran sebagai Unsur Pengetahuan
Definisi klasik
pengetahuan menggabungkan tiga elemen utama: kepercayaan (belief),
kebenaran (truth),
dan pembenaran (justification).² Misalnya,
seseorang yang percaya bahwa "matahari terbit dari timur" dan
keyakinan itu benar serta didasarkan pada pengamatan atau pembelajaran yang
sahih, maka ia dapat dikatakan memiliki pengetahuan tentang peristiwa tersebut.
Namun, jika salah
satu dari tiga unsur ini tidak terpenuhi—misalnya jika keyakinan itu salah atau
tidak dapat dibenarkan—maka klaim tersebut tidak dapat dianggap sebagai
pengetahuan. Inilah yang menjadikan kebenaran sebagai elemen non-negotiable
dalam epistemologi: tanpa kebenaran, tidak ada pengetahuan.
5.2.
Tantangan Gettier terhadap Definisi Klasik
Pada tahun 1963,
Edmund L. Gettier menerbitkan artikel singkat yang secara radikal mengguncang fondasi
epistemologi modern. Dalam artikel “Is Justified True Belief Knowledge?”,
Gettier menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan yang benar dan
dibenarkan, namun tetap tidak memiliki pengetahuan karena unsur “kebetulan”
dalam pembenaran tersebut.³
Sebagai contoh: jika
seseorang melihat jam yang menunjukkan pukul 3 sore dan percaya bahwa sekarang
pukul 3, dan ternyata benar memang pukul 3, namun jam itu sebenarnya mati sejak
kemarin dan hanya kebetulan saja menunjuk waktu yang tepat, maka meskipun
keyakinannya benar dan tampak dibenarkan, itu tidak dapat dikatakan sebagai
pengetahuan. Inilah yang disebut sebagai “kasus Gettier”.
Kasus ini
menunjukkan bahwa kebenaran saja tidak cukup, dan pembenaran juga harus reliable
atau tidak semata-mata kebetulan. Ini mendorong munculnya teori-teori baru
dalam epistemologi seperti reliabilisme, virtue
epistemology, dan contextualism, yang berupaya
menyesuaikan peran kebenaran dalam kerangka yang lebih kompleks.
5.3.
Realisme, Antirealisme, dan Kebenaran Epistemik
Dalam konteks
epistemologi kontemporer, diskusi tentang kebenaran juga bersinggungan dengan
perdebatan antara realisme dan antirealisme.
Para realis epistemik berpendapat bahwa kebenaran bersifat independen terhadap
pikiran; suatu proposisi bisa benar meskipun tidak diketahui atau tidak bisa
dibuktikan.⁴ Sebaliknya, antirealis menganggap bahwa kebenaran bergantung pada
bukti atau kemampuan kita untuk membenarkan suatu proposisi.
Michael Dummett,
seorang tokoh penting dalam filsafat analitik, menolak realisme kebenaran dan
berpandangan bahwa kebenaran suatu proposisi hanya dapat ditentukan melalui
kemampuan verifikasi dalam praktik bahasa dan pemikiran.⁵ Pandangan ini
berkontribusi pada pengembangan konsep epistemic truth, yaitu gagasan
bahwa kebenaran harus bisa diverifikasi atau diketahui, dan bukan sekadar
korespondensi abstrak dengan dunia.
5.4.
Kebenaran, Skeptisisme, dan Justifikasi
Dalam konteks
epistemologi, kebenaran juga berhadapan dengan persoalan skeptisisme—keraguan
terhadap kemungkinan pengetahuan sejati. Skeptisisme epistemologis
mempertanyakan apakah manusia benar-benar bisa mengetahui sesuatu secara pasti,
mengingat kemungkinan kesalahan persepsi, penipuan indrawi, atau bias
kognitif.⁶
Sebagai respons
terhadap skeptisisme, para filsuf mengembangkan berbagai teori pembenaran (theories
of justification), seperti foundationalism, coherentism,
dan infinitism.
Teori-teori ini menyusun model bagaimana keyakinan kita bisa dibangun di atas
landasan yang dapat diandalkan, serta sejauh mana kebenaran dapat diverifikasi
secara rasional dan sistematis.
Penutup Subbagian
Dengan demikian,
dalam konteks epistemologi, kebenaran bukan hanya atribut dari proposisi,
melainkan juga syarat pokok untuk menyatakan bahwa suatu keyakinan benar-benar
merupakan pengetahuan. Kebenaran berinteraksi erat dengan konsep pembenaran,
kepercayaan, dan metode pencapaian pengetahuan. Perkembangan epistemologi
modern menunjukkan bahwa memahami kebenaran dalam konteks ini membutuhkan bukan
hanya analisis logis, tetapi juga refleksi mendalam terhadap batas-batas
pengetahuan manusia.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210a.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 22–25.
[3]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]
Paul Boghossian, “What is Social Construction?” in Philosophical
Issues, Vol. 17, ed. Ernest Sosa and Enrique Villanueva (Oxford:
Blackwell, 2007), 14–18.
[5]
Michael Dummett, Truth and the Past (New York: Columbia
University Press, 2004), 6–8.
[6]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder: Westview
Press, 2000), 103–109.
6.
Kebenaran dalam Perspektif Sosial dan Etika
Kebenaran tidak
hanya berfungsi sebagai konsep epistemologis dan logis, tetapi juga memiliki
implikasi yang luas dalam ranah sosial dan etika. Dalam kehidupan
bermasyarakat, kebenaran memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan,
mewujudkan keadilan, dan menjaga integritas komunikasi. Di luar itu,
perbincangan tentang kebenaran juga berkaitan erat dengan tanggung jawab moral
individu dan kolektif, terutama dalam konteks penyampaian informasi,
pengambilan keputusan, dan kehidupan politik.
6.1.
Kebenaran sebagai Fondasi Kehidupan Sosial
Dalam hubungan
sosial, kebenaran menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan (trust).
Tanpa komitmen bersama terhadap nilai kejujuran dan transparansi, kehidupan
bersama akan mudah terganggu oleh kecurigaan, manipulasi, dan kekacauan moral.
Filsuf Jürgen Habermas menekankan pentingnya kondisi ideal komunikasi yang
didasarkan pada keterbukaan terhadap kebenaran, di mana semua peserta diskursus
dapat mengajukan klaim kebenaran yang dapat diuji secara rasional tanpa adanya
dominasi.¹
Dalam masyarakat
demokratis, ideal ini menjadi landasan bagi diskusi publik yang sehat dan
deliberatif. Keberlangsungan lembaga-lembaga sosial seperti media, pengadilan,
dan lembaga pendidikan sangat tergantung pada komitmen terhadap kebenaran.
Ketika klaim kebenaran dikaburkan oleh disinformasi atau ideologi kekuasaan,
masyarakat kehilangan arah dalam menilai realitas secara objektif.
6.2.
Kebenaran dan Etika Komunikasi
Secara etis,
kebenaran berkaitan dengan kejujuran dan tanggung jawab dalam menyampaikan
informasi. Emmanuel Levinas menekankan bahwa hubungan dengan sesama manusia
dibangun atas dasar keterbukaan dan tanggung jawab etis yang mendalam.²
Menyampaikan kebenaran bukan hanya soal akurasi fakta, tetapi juga bentuk
penghormatan terhadap martabat orang lain.
Dalam konteks ini,
berbohong bukan hanya kesalahan moral individual, melainkan bentuk pelanggaran
terhadap relasi etis antar manusia. Dietrich Bonhoeffer bahkan menyatakan bahwa
“pemalsuan kebenaran” dalam komunikasi bukan hanya tindakan dosa,
melainkan penghancuran hubungan sosial yang tulus.³
Kebenaran juga
menjadi prinsip etis dalam profesi tertentu, seperti jurnalisme, kedokteran,
hukum, dan pendidikan. Dalam profesi-profesi tersebut, kegagalan dalam
menyampaikan kebenaran bisa menimbulkan kerugian besar, bahkan mengancam
kehidupan orang lain.
6.3.
Konstruksi Sosial atas Kebenaran
Sejumlah filsuf
post-strukturalis seperti Michel Foucault menyoroti bahwa apa yang dianggap “benar”
dalam masyarakat tidak selalu netral, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial
dan politik. Menurut Foucault, setiap masyarakat memiliki “rezim kebenaran”
yang menentukan wacana mana yang sah untuk dikatakan, siapa yang berhak
berbicara, dan bagaimana validitas pernyataan diukur.⁴
Dalam pandangan ini,
kebenaran bukan hanya persoalan epistemologis, melainkan juga politis.
Misalnya, dalam masyarakat kolonial atau patriarkis, wacana kebenaran sering
kali ditentukan oleh struktur kekuasaan yang menyingkirkan kelompok tertentu.
Oleh karena itu, membongkar konstruksi sosial atas kebenaran menjadi tugas
penting dalam upaya emansipasi dan keadilan sosial.
6.4.
Tantangan Era Post-truth
Fenomena post-truth
yang mencuat dalam dekade terakhir merupakan bukti bagaimana kebenaran
menghadapi krisis dalam ranah publik. Dalam era ini, emosi dan opini personal
sering kali lebih berpengaruh daripada fakta objektif dalam membentuk opini
publik.⁵ Ralph Keyes menyebut bahwa “ketidaknyamanan terhadap kebenaran”
telah menjadi norma baru, di mana kebohongan kecil hingga besar diterima secara
sosial sepanjang sesuai dengan narasi dominan atau identitas kelompok.⁶
Dalam konteks ini,
tanggung jawab etis terhadap kebenaran menjadi sangat penting. Masyarakat perlu
membangun kembali budaya komunikasi yang berbasis pada pencarian kebenaran,
bukan sekadar afirmasi terhadap keyakinan kelompok. Pendidikan kritis,
transparansi media, dan tanggung jawab moral individu memiliki peran penting
dalam menghadapi tantangan ini.
Penutup Subbagian
Dengan demikian,
kebenaran dalam perspektif sosial dan etika bukanlah sesuatu yang netral dan
terisolasi, tetapi terhubung erat dengan relasi kuasa, struktur sosial, serta
tanggung jawab moral. Memahami dan memelihara kebenaran bukan hanya urusan
logis atau ilmiah, melainkan juga komitmen etis terhadap sesama manusia dan
masyarakat yang adil. Kebenaran, dalam dimensi ini, menjadi jantung dari
peradaban yang sehat dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1:
Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 287–293.
[2]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 199–202.
[3]
Dietrich Bonhoeffer, Ethics, trans. Neville Horton Smith (New
York: Simon and Schuster, 1995), 362–364.
[4]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133.
[5]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
10–14.
[6]
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in
Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 4–7.
7.
Implikasi Konsep Kebenaran dalam Kehidupan
Nyata
Pemahaman tentang
kebenaran tidak hanya penting dalam wacana filsafat teoritis, tetapi juga
memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap berbagai dimensi kehidupan
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, politik, pendidikan, hukum, agama, dan
media, kebenaran bukanlah sekadar ide abstrak, melainkan prinsip dasar yang
menentukan kepercayaan, tanggung jawab, dan keadilan. Ketiadaan komitmen
terhadap kebenaran dalam konteks-konteks ini dapat menimbulkan disorientasi
sosial dan krisis etika yang serius.
7.1.
Kebenaran dalam Dunia Politik dan Pemerintahan
Dalam dunia politik,
kebenaran merupakan fondasi bagi legitimasi kekuasaan, akuntabilitas kebijakan,
dan partisipasi warga negara. John Rawls menekankan bahwa keadilan sebagai
nilai politik hanya dapat terwujud jika terdapat kesetiaan terhadap kebenaran (duty of
civility) dalam diskursus publik.¹ Ketika politisi atau institusi
publik menyebarkan informasi palsu atau manipulatif, mereka merusak dasar
kepercayaan sosial yang sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan
demokrasi.
Fenomena propaganda,
disinformasi, dan “politik pasca-kebenaran” (post-truth
politics) membuktikan bahwa kebohongan sistematis dapat merusak
struktur demokrasi secara perlahan.² Oleh karena itu, memperjuangkan
keterbukaan informasi dan transparansi kebijakan menjadi bagian dari etika
publik yang tak terpisahkan dari nilai kebenaran.
7.2.
Kebenaran dalam Dunia Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan
Dalam ranah
pendidikan dan ilmu pengetahuan, kebenaran menjadi tujuan fundamental.
Pengetahuan ilmiah dibangun di atas metodologi yang mengutamakan keterbukaan
terhadap fakta, pembuktian empiris, dan kritik rasional.³ Bila institusi
pendidikan gagal menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran akademik, maka
seluruh proses pembelajaran kehilangan integritasnya.
Filsuf Karl Popper
menekankan pentingnya falsifiabilitas dalam ilmu pengetahuan sebagai sarana
untuk terus menguji klaim-klaim kebenaran secara terbuka.⁴ Dalam pendidikan,
hal ini diterjemahkan sebagai semangat berpikir kritis, keberanian mengoreksi
kesalahan, dan keterbukaan terhadap perbedaan pandangan.
Lebih jauh,
penanaman nilai kebenaran dalam pendidikan berkontribusi besar dalam
pembentukan karakter siswa sebagai warga yang bertanggung jawab secara moral
dan intelektual.
7.3.
Kebenaran dalam Etika Profesional
Dalam berbagai
bidang profesi seperti hukum, jurnalisme, dan kedokteran, komitmen terhadap
kebenaran adalah elemen etis yang tak dapat ditawar. Seorang hakim, misalnya,
tidak akan bisa menegakkan keadilan tanpa merujuk pada kebenaran fakta hukum.
Demikian pula, jurnalis tidak bisa menyampaikan laporan yang kredibel tanpa
berpegang pada data yang benar.
Kode etik profesi di
bidang-bidang ini secara eksplisit menyebutkan kejujuran dan akurasi sebagai
prinsip utama.⁵ Kegagalan dalam menjaga kebenaran bukan hanya pelanggaran
moral, tetapi bisa berdampak hukum dan sosial, seperti hilangnya kepercayaan
publik atau kerugian nyawa.
7.4.
Kebenaran dalam Kehidupan Religius dan Moral
Dalam tradisi
keagamaan, kebenaran sering kali dipandang sebagai nilai transenden yang
berasal dari Tuhan. Dalam Islam, misalnya, kebenaran (al-ḥaqq)
adalah salah satu nama Allah dan menjadi prinsip sentral dalam ajaran moral dan
hukum.⁶ Menyampaikan yang benar dan menghindari kebohongan adalah bagian dari
ibadah, dan pelanggaran terhadap kebenaran dianggap sebagai bentuk pengkhianatan
terhadap amanah.
Dalam kehidupan
spiritual, komitmen terhadap kebenaran menjadi bentuk kejujuran batin dan
kesetiaan kepada nilai-nilai ilahi. Kierkegaard bahkan menyebut bahwa “kebenaran
subjektif” (yaitu hidup dalam kejujuran eksistensial terhadap iman dan
nurani) lebih penting daripada sekadar kebenaran objektif yang dingin dan
abstrak.⁷
7.5.
Kebenaran dan Tanggung Jawab Sosial
Implikasi kebenaran
juga tampak dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Dalam relasi antarindividu,
kejujuran adalah landasan dari hubungan yang sehat dan saling menghargai. Dalam
media sosial dan ruang digital, tanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang
benar menjadi semakin penting seiring dengan dampak masif penyebaran hoaks.
Lee McIntyre
menekankan bahwa masyarakat hanya dapat berfungsi secara rasional jika para
anggotanya memiliki komitmen terhadap fakta.⁸ Hal ini berarti bahwa setiap
individu memiliki peran dalam merawat ekosistem informasi dan menjaga
integritas wacana publik.
Penutup Subbagian
Konsep kebenaran
bukanlah sekadar bahan perenungan filosofis, melainkan pilar utama dalam
membentuk kehidupan yang beradab dan bermartabat. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan penuh dengan manipulasi informasi, keberanian untuk mencari,
menyampaikan, dan mempertahankan kebenaran merupakan bentuk tanggung jawab
moral tertinggi. Dari ruang kelas hingga ruang sidang, dari rumah ibadah hingga
parlemen, nilai kebenaran adalah cahaya yang menuntun manusia menuju keadilan,
kedamaian, dan kemanusiaan sejati.
Footnotes
[1]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1996), 217–219.
[2]
Timothy Snyder, On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth
Century (New York: Tim Duggan Books, 2017), 65–68.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 34–37.
[4]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (London: Routledge, 2002), 33–37.
[5]
Society of Professional Journalists, “SPJ Code of Ethics,” https://www.spj.org/ethicscode.asp (diakses 6 April 2025).
[6]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an
(Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), 45–49.
[7]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical
Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton
University Press, 1992), 189–191.
[8]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
92–97.
8.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai
kebenaran dalam filsafat menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah konsep tunggal
yang mudah didefinisikan, melainkan entitas kompleks yang menyentuh berbagai
dimensi kehidupan manusia: dari pemikiran logis, bahasa, dan pengetahuan hingga
kehidupan sosial, moral, dan politik. Filsafat telah memperkaya pemahaman kita
tentang kebenaran dengan merumuskan berbagai teori—seperti korespondensi,
koherensi, pragmatis, konsensus, dan deflasi—yang masing-masing menyoroti sisi
berbeda dari relasi antara bahasa, pikiran, dan realitas.¹
Dalam konteks
epistemologi, kebenaran menjadi syarat esensial bagi suatu keyakinan untuk
diakui sebagai pengetahuan. Namun, tantangan-tantangan seperti kasus Gettier
dan problem skeptisisme memperlihatkan bahwa pencapaian kebenaran membutuhkan
tidak hanya pembenaran rasional, tetapi juga ketepatan metode dan keandalan
sumber informasi.² Hal ini menuntut pendekatan yang lebih hati-hati dan
reflektif dalam menyusun klaim-klaim kognitif.
Lebih jauh, dalam
ranah sosial dan etika, kebenaran merupakan landasan penting bagi kepercayaan,
keadilan, dan tanggung jawab. Dalam diskursus publik, pendidikan, profesi,
serta relasi antar manusia, kebenaran tidak dapat dipisahkan dari etika
komunikasi dan integritas pribadi. Seperti ditegaskan oleh Jürgen Habermas,
masyarakat demokratis yang sehat hanya mungkin terwujud bila ada komitmen
bersama terhadap rasionalitas komunikatif yang membuka ruang bagi klaim
kebenaran yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan.³
Kebenaran juga bukan
sesuatu yang bebas nilai. Dalam agama, misalnya, kebenaran berkaitan erat
dengan nilai-nilai spiritual dan moral. Dalam konteks ini, menjadi
"benar" bukan hanya berarti sesuai dengan fakta, tetapi juga selaras
dengan nilai ketulusan, kejujuran, dan keadilan ilahiah.⁴
Namun, tantangan
zaman post-truth dan disinformasi digital menuntut refleksi ulang terhadap
bagaimana manusia modern memahami dan menjaga kebenaran. Kebenaran kini tidak
lagi hanya menjadi urusan akademik atau metafisik, melainkan menjadi medan
pertempuran sosial dan politik yang menentukan arah peradaban.⁵ Dalam situasi
semacam ini, filsafat kebenaran bukan hanya menjadi sarana intelektual untuk
memahami realitas, tetapi juga menjadi panduan moral dalam membangun kehidupan
yang adil dan bermartabat.
Dengan demikian,
upaya memahami kebenaran tidak boleh berhenti pada teori-teori spekulatif,
melainkan harus meluas ke dalam praksis kehidupan. Dalam era di mana batas
antara fakta dan opini kian kabur, keberanian untuk mencari, menyuarakan, dan
membela kebenaran menjadi tindakan filosofis sekaligus etis yang paling
mendesak dan bermakna.
Footnotes
[1]
Richard L. Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 2–35.
[2]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[3]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason
and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon
Press, 1984), 287–293.
[4]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an (Montreal:
McGill-Queen’s University Press, 2002), 45–49.
[5]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
3–7.
Daftar Pustaka
Audi, R. (2011). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Blackburn, S. (2005). Truth:
A guide for the perplexed. Penguin Books.
Bogossian, P. (2007). What
is social construction? In E. Sosa & E. Villanueva (Eds.), Philosophical
Issues (Vol. 17, pp. 14–18). Blackwell.
Bonhoeffer, D. (1995). Ethics
(N. H. Smith, Trans.). Simon and Schuster.
Bradley, F. H. (1922). The
principles of logic (2nd ed.). Clarendon Press.
Davidson, D. (1984). Truth
and meaning. In Inquiries into truth and interpretation (pp. 17–36).
Clarendon Press.
Dummett, M. (1978). Truth
and other enigmas. Harvard University Press.
Dummett, M. (2004). Truth
and the past. Columbia University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon Books.
Gettier, E. L. (1963). Is
justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon
Press.
Izutsu, T. (2002). Ethico-religious
concepts in the Qur'an. McGill-Queen’s University Press.
James, W. (1907). Pragmatism:
A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.
Keyes, R. (2004). The
post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St.
Martin’s Press.
Kierkegaard, S. (1992). Concluding
unscientific postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H.
Hong, Trans.). Princeton University Press.
Kirkham, R. L. (1992). Theories
of truth: A critical introduction. MIT Press.
Lehrer, K. (2000). Theory
of knowledge (2nd ed.). Westview Press.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Peirce, C. S. (1992). The
fixation of belief. In N. Houser & C. Kloesel (Eds.), The essential
Peirce: Selected philosophical writings (Vol. 1, pp. 109–123). Indiana
University Press.
Plato. (1992). Theaetetus
(M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.
Popper, K. (2002). Conjectures
and refutations: The growth of scientific knowledge (Routledge Classics
ed.). Routledge.
Ramsey, F. P. (1931). Facts
and propositions. In R. B. Braithwaite (Ed.), The foundations of
mathematics and other logical essays (pp. 138–155). Routledge & Kegan
Paul.
Rawls, J. (1996). Political
liberalism (Expanded ed.). Columbia University Press.
Russell, B. (1998). The
problems of philosophy. Oxford University Press.
Snyder, T. (2017). On
tyranny: Twenty lessons from the twentieth century. Tim Duggan Books.
Society of Professional
Journalists. (n.d.). SPJ code of ethics. https://www.spj.org/ethicscode.asp
Tarski, A. (1944). The
semantic conception of truth and the foundations of semantics. Philosophy
and Phenomenological Research, 4(3), 341–376.
Wittgenstein, L. (2001). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge. (Original work published 1921)
Wittgenstein, L. (2009). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar