Metode Fenomenologi
Asal-Usul, Struktur Intensional, dan Relevansi
Interdisipliner dalam Pemikiran Kontemporer
Alihkan ke: Motode-Metode dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif metode
fenomenologi dalam filsafat, dengan menelusuri akar historis, struktur
konseptual, dan relevansinya dalam lintas disiplin keilmuan kontemporer.
Dimulai dari gagasan Edmund Husserl tentang epoché dan reduksi eidetik,
fenomenologi berkembang menjadi pendekatan reflektif untuk memahami makna
pengalaman subjektif manusia. Pembahasan mencakup konsep-konsep kunci seperti
intensionalitas, struktur noesis–noema, serta dunia kehidupan (Lebenswelt)
yang menjadi fondasi analisis fenomenologis. Artikel ini juga mengeksplorasi
bagaimana metode fenomenologi diterapkan dalam berbagai ranah seperti filsafat
eksistensial, etika relasional, pedagogi reflektif, psikologi humanistik, serta
studi teknologi dan digitalitas. Meskipun menghadapi kritik dari berbagai
aliran pemikiran seperti filsafat analitik, teori kritis, dan
post-strukturalisme, fenomenologi kontemporer menunjukkan fleksibilitas
epistemologis dan metodologis yang menjadikannya tetap relevan. Kesimpulan
artikel menegaskan bahwa metode fenomenologi tidak hanya berperan dalam
membangun wacana filsafat yang mendalam, tetapi juga menawarkan kerangka
transformatif untuk memahami keberadaan manusia di tengah kompleksitas dunia
modern.
Kata Kunci: Fenomenologi, Edmund Husserl, intensionalitas,
reduksi eidetik, noesis-noema, dunia kehidupan (Lebenswelt),
intersubjektivitas, filsafat kontemporer, etika eksistensial, studi pengalaman.
PEMBAHASAN
Metode Fenomenologi dalam Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat sebagai disiplin
kritis dan reflektif senantiasa ditantang untuk mengembangkan metode yang mampu
mengungkap realitas secara mendalam dan autentik. Dalam perjalanan sejarahnya,
berbagai pendekatan metodologis telah ditawarkan, mulai dari metode dialektika
dalam tradisi Yunani, metode deduktif dan induktif dalam era modern, hingga
metode analitis dalam filsafat analitik. Di antara beragam pendekatan tersebut,
fenomenologi muncul sebagai metode yang secara radikal menolak pemisahan antara
subjek dan objek, serta berupaya untuk kembali kepada pengalaman murni sebelum
ditafsirkan oleh teori atau konstruksi ilmiah.
Fenomenologi pertama
kali dirintis oleh Edmund Husserl (1859–1938)
sebagai sebuah metode untuk mencapai pemahaman yang mendasar tentang kesadaran
dan objek-objek yang muncul di dalamnya. Husserl menegaskan urgensi untuk “kembali
kepada hal-hal itu sendiri” (Zurück zu den Sachen selbst!),
yaitu ajakan untuk mengesampingkan asumsi-asumsi teoritis dan berfokus pada
pengalaman sebagaimana adanya dalam kesadaran manusia.1 Ia
mengembangkan metode reduksi fenomenologis dan epoché sebagai sarana untuk
menyaring esensi dari pengalaman subjektif, tanpa terjebak dalam prasangka
empiris maupun spekulatif.
Fenomenologi bukan
hanya berkembang sebagai aliran filsafat, tetapi juga sebagai pendekatan
metodologis yang berpengaruh luas, melintasi batas-batas disiplin. Dalam
perkembangannya, para pemikir seperti Martin Heidegger, Maurice
Merleau-Ponty, dan Emmanuel Levinas memperluas
cakupan fenomenologi ke ranah ontologi, estetika, etika, dan bahkan
intersubjektivitas yang radikal. Metode ini tidak lagi terbatas pada deskripsi
pengalaman subjektif, melainkan menjelma menjadi kerangka untuk memahami
eksistensi, tubuh, dunia kehidupan (Lebenswelt), dan relasi
antar-manusia.2
Di luar lingkup
filsafat, fenomenologi telah memberikan kontribusi penting dalam ilmu-ilmu
sosial, terutama dalam penelitian kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk
menelusuri makna-makna subjektif dari pengalaman individu, yang sering kali
luput dari jangkauan metode kuantitatif. Dalam pendidikan, fenomenologi
digunakan untuk memahami dinamika pembelajaran dari perspektif pengalaman
peserta didik. Dalam psikologi, ia menjadi landasan bagi pendekatan humanistik
dan eksistensial dalam terapi dan kajian kesadaran.3
Dengan demikian,
metode fenomenologi memegang peranan vital dalam menjembatani pemikiran
filsafat yang reflektif dengan pendekatan empatik dan kontekstual terhadap
realitas manusia. Artikel ini akan mengurai asal-usul metode fenomenologi,
menelaah struktur intensional dari kesadaran yang menjadi pusat kajiannya,
serta mengupas relevansi interdisipliner fenomenologi dalam pemikiran
kontemporer.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 35–37.
[2]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 4–7; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception,
trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), ix–xii.
[3]
Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an
Action Sensitive Pedagogy (New York: State University of New York Press,
1990), 9–11; Jonathan A. Smith, Paul Flowers, and Michael Larkin, Interpretative
Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research (London: SAGE,
2009), 1–5.
2.
Landasan
Historis dan Filosofis Metode Fenomenologi
Fenomenologi sebagai
metode filsafat lahir pada pergantian abad ke-20 dalam konteks ketegangan
intelektual antara idealisme Jerman, positivisme ilmiah, dan skeptisisme modern
terhadap landasan pengetahuan. Ia bukan hanya sebuah sistem filsafat, tetapi
merupakan metode
untuk mendekati realitas sebagaimana ia muncul dalam pengalaman subyektif yang
murni. Metode ini terutama dirumuskan oleh Edmund Husserl, yang dipandang
sebagai bapak pendiri fenomenologi.
2.1.
Asal-usul dalam
Tradisi Filsafat Modern
Cikal bakal
pemikiran fenomenologi dapat ditelusuri dari kritik terhadap metode
deduktif-rasionalistik René Descartes dan idealisme transendental Immanuel
Kant. Jika Kant menegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui "fenomena"
dan bukan "noumena", maka Husserl berusaha memahami struktur
dari kesadaran itu sendiri terhadap fenomena tersebut1. Ia
mengadopsi pendekatan deskriptif untuk memahami bagaimana objek tampak (appears)
dalam kesadaran tanpa mereduksinya menjadi kategori empiris atau logis.
Gagasan awal
fenomenologi juga dipengaruhi oleh karya-karya Franz Brentano, terutama
gagasan tentang intensionalitas—bahwa setiap
kesadaran selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu. Dari Brentano, Husserl
mengembangkan ide bahwa kesadaran memiliki arah (intentional directedness) terhadap
objek, dan di sinilah letak struktur fundamental dari pengalaman manusia2.
2.2.
Fenomenologi Murni
Husserlian
Dalam karya
monumentalnya, Logical Investigations (1900–1901),
Husserl mengkritik psikologisme dan menawarkan deskripsi fenomenologis sebagai
alternatif untuk memahami hukum-hukum logika dan makna secara independen dari
proses mental individual. Dalam karya lanjutannya, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to
a Phenomenological Philosophy (1913), ia memperkenalkan reduction
dan epoché
sebagai teknik untuk menangguhkan asumsi dunia luar dan kembali ke “kesadaran
murni” sebagai pusat analisis filosofis3.
Husserl memandang
fenomenologi sebagai sebuah filsafat pertama (erste
Philosophie), yaitu sebagai dasar segala ilmu pengetahuan karena
berangkat dari analisis pengalaman subyektif yang paling fundamental. Dengan
mengedepankan deskripsi atas esensi (eidetic analysis), ia
bertujuan membangun pengetahuan yang pasti tanpa landasan empiris yang
berubah-ubah4.
2.3.
Transisi ke
Fenomenologi Hermeneutik dan Eksistensial
Setelah Husserl,
fenomenologi mengalami perkembangan signifikan melalui murid-murid dan para
penerusnya. Martin Heidegger, dalam Being
and Time (1927), mengalihkan fokus fenomenologi dari analisis
kesadaran ke pertanyaan tentang makna keberadaan (Sein).
Bagi Heidegger, manusia sebagai Dasein tidak sekadar subjek
pengamat, melainkan “ada-di-dunia” yang secara eksistensial terlibat
dalam dunianya. Ia memperkenalkan dimensi waktu, kecemasan, dan kefanaan ke
dalam fenomenologi, menjadikannya lebih ontologis dan eksistensial5.
Perkembangan ini
dilanjutkan oleh Maurice Merleau-Ponty, yang
menekankan bahwa tubuh (le corps propre) bukan sekadar
objek biologis, tetapi merupakan subjek yang mengalami dunia. Dalam Phenomenology
of Perception (1945), ia menggambarkan bagaimana persepsi mendasari
segala bentuk pengetahuan dan bahwa realitas selalu dijalani secara
pra-reflektif melalui tubuh yang hidup6.
Sementara itu, Emmanuel
Levinas membawa fenomenologi ke ranah etika dengan menyoroti
perjumpaan dengan “yang Lain” (autrui). Ia menegaskan bahwa
tanggung jawab etis terhadap sesama lebih mendasar daripada pengetahuan atau
ontologi itu sendiri7.
2.4.
Fenomenologi dalam
Konstelasi Filsafat Kontemporer
Fenomenologi modern
tidak lagi bersifat monolitik. Tokoh-tokoh seperti Jean-Paul
Sartre, Paul Ricoeur, Hans-Georg
Gadamer, dan Michel Henry memberikan corak
masing-masing pada pengembangan metode ini. Fenomenologi menjadi medan yang
kaya dengan interpretasi, baik dalam kerangka deskriptif murni maupun dalam
tradisi hermeneutik dan kritis. Bahkan dalam filsafat kontemporer, fenomenologi
tetap memainkan peranan penting dalam diskusi mengenai kesadaran, identitas,
intersubjektivitas, dan bahkan dalam perdebatan tentang kecerdasan buatan.
Dengan akar historis
yang kuat dan karakter reflektif yang mendalam, fenomenologi membuktikan
dirinya sebagai metode yang tahan uji waktu dalam merespons tantangan-tantangan
baru dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.
[2]
Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint, ed.
Linda L. McAlister, trans. Antos C. Rancurello, D. B. Terrell, and Linda L.
McAlister (London: Routledge, 1995), 88–89.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 59–65.
[4]
Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology
(Cambridge: Polity Press, 2005), 121–125.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 39–42.
[6]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2012), x–xii, 92–96.
[7]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.
3.
Konsep-Konsep
Kunci dalam Fenomenologi
Metode fenomenologi
dibangun atas sejumlah konsep fundamental yang menjadikannya khas dibandingkan
pendekatan-pendekatan lain dalam filsafat. Konsep-konsep ini mencerminkan
orientasi fenomenologi terhadap pemahaman pengalaman langsung dan struktur
kesadaran sebagaimana adanya, tanpa intervensi asumsi-asumsi teoretis. Beberapa
gagasan inti yang menjadi fondasi metodologis fenomenologi antara lain: epoché,
reduksi
fenomenologis, intensionalitas, noesis–noema, Lebenswelt,
dan tubuh sebagai subjek hidup.
3.1.
Epoché dan Reduksi
Fenomenologis
Salah satu langkah
awal dalam pendekatan fenomenologis adalah epoché, yakni tindakan menangguhkan
atau menunda segala bentuk asumsi tentang keberadaan dunia eksternal. Dengan
melakukan epoché,
subjek tidak menyangkal realitas, tetapi menunda penilaian tentang status
ontologisnya agar dapat memusatkan perhatian pada bagaimana dunia tersebut
muncul dalam kesadaran1.
Proses ini diikuti
oleh reduksi
fenomenologis, yaitu penyaringan terhadap unsur-unsur
pengalaman untuk menemukan esensi (hakikat tak berubah) dari fenomena yang
dialami. Reduksi ini memungkinkan seorang fenomenolog memisahkan makna-makna
esensial dari unsur-unsur kontingen dalam pengalaman manusia2.
3.2.
Intensionalitas
Kesadaran
Fenomenologi sangat
menekankan prinsip intensionalitas (dari kata
Latin intentio,
berarti ‘mengarah pada’), yaitu bahwa setiap kesadaran selalu merupakan
kesadaran tentang sesuatu (Bewusstsein von etwas). Artinya,
tidak ada pengalaman yang netral atau kosong; semua kesadaran memiliki arah dan
objek tertentu, baik itu benda konkret, gagasan abstrak, atau bahkan emosi dan
harapan3.
Intensionalitas
bukan hanya menunjuk pada relasi antara subjek dan objek, tetapi juga
mengandung makna bahwa objek pengalaman tidak pernah hadir secara ‘telanjang’,
melainkan selalu dimediasi oleh struktur kesadaran tertentu. Oleh karena itu,
fenomenologi mempelajari bukan hanya apa yang dialami, tetapi juga bagaimana
sesuatu itu dialami.
3.3.
Noesis dan Noema
Untuk memahami
struktur intensional dari kesadaran, Husserl membedakan antara noesis
dan noema.
Noesis
mengacu pada aktivitas mental atau sikap kesadaran (misalnya, mengingat,
mempersepsikan, mengharapkan), sedangkan noema adalah isi atau makna dari
objek sebagaimana ia dimunculkan dalam kesadaran4. Distingsi ini
memungkinkan analisis mendalam terhadap cara pengalaman dibentuk dalam proses
kesadaran.
Sebagai contoh,
melihat sebuah pohon (noesis: aktivitas persepsi) menghasilkan pengalaman
tentang pohon itu dalam makna tertentu (noema: pohon sebagai tampak dalam
kesadaran). Pohon yang sama bisa tampil berbeda tergantung perspektif, kondisi
emosi, atau konteks budaya subjeknya.
3.4.
Lebenswelt (Dunia
Kehidupan)
Konsep Lebenswelt,
atau dunia
kehidupan, diperkenalkan Husserl pada karya-karya akhir hidupnya
sebagai dunia pra-teoretis di mana manusia hidup dan berinteraksi sebelum
adanya refleksi ilmiah. Dunia kehidupan ini mencakup kebiasaan, norma, bahasa,
dan tindakan-tindakan sehari-hari yang membentuk horizon makna pengalaman
manusia5.
Dalam dunia
kehidupan, makna tidak muncul secara terisolasi, melainkan melalui
intersubjektivitas. Oleh karena itu, fenomenologi juga membuka ruang bagi
pemahaman tentang bagaimana pengalaman subjektif berkaitan dengan dunia sosial
yang bersama-sama dialami.
3.5.
Tubuh sebagai Subjek
yang Mengalami
Sumbangan besar Maurice
Merleau-Ponty dalam fenomenologi adalah penegasannya bahwa
tubuh bukan sekadar objek fisik, tetapi subjek yang aktif mengalami dunia.
Dalam Phenomenology
of Perception, ia memperkenalkan gagasan tentang tubuh
yang hidup (le corps propre), yaitu tubuh
sebagai medium utama yang memungkinkan persepsi dan tindakan6.
Tubuh bukan hanya
wadah atau alat, tetapi terlibat langsung dalam struktur pengalaman. Misalnya,
tangan yang meraba, kaki yang melangkah, atau mata yang menatap bukan sekadar
menjalankan fungsi biologis, tetapi membentuk pengalaman dunia. Tubuh membangun
ruang, waktu, dan makna dari keberadaan manusia di dunia.
Dengan memahami
kelima konsep kunci di atas, dapat terlihat bahwa fenomenologi tidak semata
mengkaji isi kesadaran, tetapi lebih dalam lagi: bagaimana dunia dimaknai dan
ditampilkan dalam dan melalui struktur kesadaran manusia. Metode ini menawarkan
suatu pendekatan reflektif yang mempertanyakan dasar-dasar pengalaman, dan
dengan demikian, membuka ruang bagi pemahaman yang lebih autentik atas
eksistensi manusia.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 61–65.
[2]
David Woodruff Smith, Husserl (London: Routledge, 2007),
54–57.
[3]
Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint,
trans. Antos C. Rancurello, D. B. Terrell, and Linda L. McAlister (London:
Routledge, 1995), 88–90.
[4]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 152–155.
[5]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press,
1970), 102–105.
[6]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2012), 93–97.
4.
Langkah-Langkah
atau Struktur Operasional dalam Metode Fenomenologi
Fenomenologi sebagai
metode bukan sekadar kumpulan ide filosofis, tetapi merupakan pendekatan
sistematis untuk mengakses pengalaman sebagaimana ia tampil dalam kesadaran.
Dalam kerangka ini, terdapat beberapa langkah operasional atau
prosedur reflektif yang membentuk kerangka kerja fenomenologi, baik dalam
penelitian filosofis murni maupun dalam aplikasi interdisipliner seperti dalam
ilmu sosial dan humaniora. Setidaknya terdapat lima tahapan utama dalam
prosedur fenomenologis: (1) pengamatan deskriptif terhadap pengalaman
subjektif, (2) epoché, (3)
reduksi esensial, (4) deskripsi struktur pengalaman,
dan (5)
penegasan makna yang ditampilkan melalui fenomena.
4.1.
Pengamatan
Deskriptif terhadap Pengalaman Subjektif
Langkah pertama
dalam metode fenomenologi adalah memusatkan perhatian pada pengalaman
sebagaimana dialami oleh subjek. Hal ini menuntut keterbukaan dan kepekaan
terhadap segala aspek pengalaman, termasuk sensasi, emosi, persepsi, intuisi,
dan makna-makna yang muncul secara langsung. Deskripsi fenomenologis tidak
bertujuan untuk menjelaskan pengalaman secara kausal atau teoretis, melainkan
untuk menghadirkannya secara apa adanya, dalam keutuhan dan kekhususannya1.
Dalam hal ini,
deskripsi dilakukan dalam bentuk naratif atau reflektif, dengan mencermati
pengalaman secara menyeluruh dari perspektif orang pertama (first-person
perspective). Misalnya, seseorang yang mengalami kesepian tidak
dianalisis secara sosiologis atau patologis terlebih dahulu, tetapi dipahami
dari cara bagaimana kesepian itu dialami dan dirasakan secara eksistensial.
4.2.
Epoché (Penangguhan
Asumsi)
Langkah kedua adalah
epoché,
yaitu penangguhan atau penanggalkan segala asumsi yang biasanya menyertai
pengalaman. Dalam tradisi empiris atau ilmiah, dunia cenderung dipahami sebagai
sesuatu yang “ada di luar sana” dan dapat diukur secara objektif.
Fenomenologi justru meminta kita untuk menangguhkan kepercayaan tersebut agar
dapat mengamati fenomena sebagaimana muncul dalam kesadaran, tanpa prasangka
atau konstruksi teoritis2.
Epoché
tidak menolak realitas eksternal, tetapi menunda pertanyaan tentang keberadaannya
untuk memberi ruang bagi pemahaman bagaimana realitas itu dialami oleh subjek.
Dalam konteks ini, Husserl menyebutnya sebagai “bracketing” terhadap
dunia alamiah (natural attitude) untuk memberi
ruang kepada attitude fenomenologis3.
4.3.
Reduksi Esensial
(Eidetic Reduction)
Setelah melakukan epoché,
fenomenolog melanjutkan dengan reduksi esensial (eidetic
reduction), yaitu upaya untuk menyingkap struktur esensial dari
pengalaman yang diamati. Hal ini dilakukan dengan membayangkan berbagai variasi
kemungkinan dari suatu pengalaman untuk menemukan unsur yang tidak dapat
dihilangkan tanpa merusak identitas fenomena itu sendiri4. Dengan
demikian, esensi dari suatu pengalaman bukanlah karakteristik kebetulan, tetapi
struktur universal yang menjadikan pengalaman itu adalah seperti yang dialami.
Misalnya, dalam
mengamati pengalaman “menunggu”, seorang fenomenolog akan mencari
unsur-unsur tetap dalam pengalaman itu (kekosongan waktu, harapan, ketegangan)
yang selalu hadir dalam bentuk apa pun dari pengalaman menunggu.
4.4.
Deskripsi Struktur
Intensional dari Pengalaman
Langkah selanjutnya
adalah mendeskripsikan struktur intensional, yaitu
relasi antara kesadaran (noesis) dan objek sebagaimana tampak dalam kesadaran
(noema). Analisis ini mengungkap cara bagaimana pengalaman tertentu muncul:
apakah melalui persepsi, imajinasi, ingatan, atau penilaian; dan bagaimana
pengalaman tersebut dikonstruksi dalam horizon makna subjek5.
Deskripsi struktur
ini dilakukan secara sistematis untuk memahami “bagaimana” dan bukan
hanya “apa” yang dialami. Dengan demikian, pengalaman manusia menjadi
transparan secara reflektif dan terbuka terhadap penafsiran yang berakar pada
pengalaman itu sendiri.
4.5.
Penegasan Makna dan
Intersubjektivitas
Langkah terakhir
dalam metode fenomenologi adalah penegasan makna yang
ditampilkan melalui fenomena sebagai bagian dari dunia kehidupan (Lebenswelt)
yang dipahami secara intersubjektif. Fenomenologi menolak gagasan bahwa makna
bersifat murni individualistik, melainkan ia terbangun dalam ruang komunikasi,
kebudayaan, dan relasi sosial. Oleh karena itu, deskripsi fenomenologis juga
mencakup pengakuan terhadap horizon historis dan intersubjektif di mana
makna-makna itu muncul6.
Makna bukan semata
hasil konstruksi subjek, tetapi sesuatu yang terberi dalam pertemuan antara
subjek dan dunia. Dalam konteks ini, fenomenologi melampaui deskripsi
individual dan memasuki ranah ontologis serta etis dari eksistensi manusia.
Dengan mengikuti
langkah-langkah tersebut, metode fenomenologi tidak hanya menjadi alat
konseptual untuk memahami pengalaman, tetapi juga membentuk suatu kerangka
refleksi filosofis yang mendalam dan terbuka terhadap berbagai bentuk
kebermaknaan dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an
Action Sensitive Pedagogy (Albany: State University of New York Press,
1990), 9–11.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 60–62.
[3]
David Woodruff Smith, Husserl (London: Routledge, 2007),
56–58.
[4]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 150–153.
[5]
Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge,
2019), 36–40.
[6]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press,
1970), 103–107.
5.
Aplikasi
dan Relevansi Metode Fenomenologi dalam Kajian Interdisipliner
Fenomenologi tidak
hanya memainkan peran sentral dalam diskursus filosofis, tetapi juga
menunjukkan fleksibilitas metodologis yang tinggi dalam menjangkau berbagai
disiplin ilmu. Sebagai metode yang memusatkan perhatian pada pengalaman
subjektif dan makna-makna yang muncul darinya, fenomenologi memberikan
kontribusi signifikan dalam memahami realitas manusiawi secara mendalam dan
kontekstual. Relevansi interdisipliner metode ini tampak jelas dalam
bidang-bidang seperti filsafat eksistensial, etika
dan humanisme, pendidikan, psikologi,
dan ilmu
sosial dan budaya.
5.1.
Dalam Filsafat
Eksistensial
Metode fenomenologi
secara langsung memengaruhi perkembangan filsafat eksistensial, terutama
melalui karya Martin Heidegger, Jean-Paul
Sartre, dan Maurice Merleau-Ponty.
Heidegger memanfaatkan metode fenomenologis untuk mengeksplorasi struktur
ontologis eksistensi manusia, khususnya dalam konsep Dasein
sebagai “ada-di-dunia” yang ditentukan oleh waktu, kesementaraan, dan
keterlemparan1. Sartre dalam Being and Nothingness menerapkan
fenomenologi untuk menjelaskan struktur kesadaran yang bersifat negasi, kebebasan,
dan tanggung jawab radikal2.
Kontribusi
Merleau-Ponty memperkuat dimensi eksistensial fenomenologi melalui gagasan
tentang tubuh sebagai pusat persepsi dan eksistensi, yang menolak dikotomi
antara pikiran dan tubuh dalam filsafat modern3. Pendekatan ini
memberi landasan bagi pemahaman eksistensi manusia secara konkret dan embodied.
5.2.
Dalam Etika dan
Humanisme
Fenomenologi juga
menunjukkan relevansi dalam ranah etika melalui pemikiran Emmanuel
Levinas, yang menggugat primat ontologi dalam filsafat Barat
dan menggantikannya dengan primat etika. Bagi Levinas, perjumpaan dengan yang
Lain (l’autrui) adalah pengalaman
mendasar yang bersifat etis, bukan sekadar relasi epistemik4. Dalam
kerangka fenomenologi, etika bukanlah sistem normatif yang dipaksakan dari luar,
melainkan respons primordial yang muncul dari keterpaparan subjek terhadap
kehadiran wajah orang lain.
Dengan demikian,
fenomenologi mendorong pemikiran etika yang lebih personal, konkret, dan
berbasis pengalaman relasional, serta membuka ruang bagi pendekatan humanistik
dalam studi-studi kemanusiaan.
5.3.
Dalam Pendidikan dan
Pedagogi Eksistensial
Fenomenologi telah
digunakan secara luas dalam filsafat dan praktik pendidikan, terutama dalam
pendekatan yang menekankan pada pemahaman pengalaman belajar dari perspektif
peserta didik. Dalam pendidikan, fenomenologi berfungsi sebagai metode untuk
memahami dunia kehidupan siswa, guru, dan konteks pendidikan secara lebih
mendalam dan otentik.
Max van
Manen mengembangkan apa yang disebut sebagai pedagogi
reflektif, yaitu pendekatan yang mengintegrasikan deskripsi
fenomenologis dengan pemikiran hermeneutik untuk memahami bagaimana makna
pendidikan dialami dalam keseharian5. Ini menjadikan fenomenologi
sangat relevan dalam praktik pengajaran yang berpusat pada pengalaman dan
subyektivitas peserta didik.
5.4.
Dalam Psikologi dan
Konseling
Dalam psikologi,
terutama dalam pendekatan humanistik dan eksistensial,
fenomenologi digunakan untuk memahami struktur batin manusia berdasarkan
pengalaman subjektifnya, bukan dari perspektif patologis semata. Carl
Rogers dan Rollo May, misalnya,
mengembangkan terapi berbasis pengalaman klien, dengan menekankan pentingnya
empati dan pemahaman terhadap dunia subjektif pasien6.
Metode fenomenologis
juga digunakan dalam riset kualitatif psikologi untuk mengeksplorasi pengalaman
mendalam seperti trauma, kesedihan, spiritualitas, dan proses transformasi
identitas. Fokusnya adalah pada makna dan pemaknaan yang dihasilkan oleh
individu dalam interaksinya dengan dunia dan sesama.
5.5.
Dalam Ilmu Sosial dan
Budaya
Fenomenologi memberi
kontribusi metodologis penting dalam ilmu sosial, khususnya dalam sosiologi,
antropologi, dan studi budaya. Alfred Schutz, misalnya,
menerapkan fenomenologi Husserl dalam sosiologi untuk memahami struktur makna
dalam dunia sosial sehari-hari dan konsep intersubjektivitas dalam tindakan
sosial7.
Dalam antropologi
dan etnografi, pendekatan fenomenologis digunakan untuk menangkap pengalaman
dunia kehidupan masyarakat secara holistik dan kontekstual, terutama dalam
menggali makna simbolik dari praktik budaya, ritus, atau ekspresi identitas.
Dalam studi budaya kontemporer, fenomenologi juga menjadi alat penting untuk
memahami pengalaman teknologi, media, dan ruang virtual sebagai bentuk-bentuk
realitas yang dialami secara intensional.
Metode fenomenologi
dengan demikian menunjukkan kapasitas transformatif dalam
menjembatani filsafat dengan berbagai cabang ilmu lain yang berorientasi pada
pemahaman manusia secara utuh. Relevansi interdisiplinernya terletak pada
kemampuannya menggali struktur makna yang mendasari pengalaman individual dan
kolektif, tanpa mereduksinya menjadi data statistik atau teori normatif semata.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 47–49.
[2]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 61–63.
[3]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2012), x–xii.
[4]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–44.
[5]
Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an
Action Sensitive Pedagogy (Albany: State University of New York Press,
1990), 12–14.
[6]
Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of
Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 28–33; Rollo May, The
Discovery of Being: Writings in Existential Psychology (New York: Norton,
1983), 14–17.
[7]
Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, trans.
George Walsh and Frederick Lehnert (Evanston: Northwestern University Press,
1967), 53–55.
6.
Kritik
terhadap Metode Fenomenologi
Meskipun metode
fenomenologi telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan filsafat dan
ilmu-ilmu kemanusiaan, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Kritik terhadap
fenomenologi datang dari berbagai sudut pandang filosofis maupun metodologis,
termasuk dari filsafat analitik, teori kritis, strukturalisme, serta pemikiran
postmodern. Kritik-kritik ini menyoroti aspek epistemologis, linguistik,
historis, dan ideologis dari pendekatan fenomenologi yang dianggap memiliki
keterbatasan tertentu.
6.1.
Kritik dari Filsafat
Analitik: Kurangnya Kejelasan Logis dan Verifikasi
Filsafat analitik
seringkali mengkritik fenomenologi karena dianggap tidak cukup jelas dalam
penggunaan istilah dan tidak memenuhi standar argumentasi logis yang ketat.
Tokoh seperti Gilbert Ryle dan A.J.
Ayer memandang pendekatan fenomenologis terlalu spekulatif dan
kurang dapat diverifikasi secara empiris atau logis1. Misalnya,
istilah seperti noema, reduksi esensial, atau kesadaran
murni dinilai kabur karena tidak dapat diuji secara publik dan
cenderung bersifat introspektif.
Bagi kalangan
analitik, klaim-klaim fenomenologis tentang esensi pengalaman kerap kali
terjebak pada subjektivisme dan tidak dapat dikomunikasikan dengan cara yang dapat
direplikasi secara sistematis. Dengan demikian, fenomenologi dituduh gagal
memenuhi prinsip-prinsip verifikasi dan falsifikasi dalam kriteria ilmiah
modern.
6.2.
Kritik dari Tradisi
Marxis dan Teori Kritis: Abstraksi dari Konteks Sosial
Kaum Marxis
dan pemikir
teori kritis, seperti Theodor Adorno dan Herbert
Marcuse, mengkritik fenomenologi karena dianggap
mengabstraksikan pengalaman individual dari struktur sosial, politik, dan
ekonomi yang membentuknya2. Husserlian phenomenology, dengan
penekanannya pada kesadaran murni dan pengalaman personal, dianggap terlalu
idealistik dan kurang kritis terhadap kondisi material dan historis yang
membingkai pengalaman tersebut.
Menurut Adorno,
kecenderungan fenomenologi untuk mengidealkan kesadaran justru mengaburkan kondisi-kondisi
objektif yang menentukan kehidupan manusia dalam masyarakat kapitalis. Oleh
karena itu, fenomenologi dinilai tidak cukup memadai untuk menghadirkan kritik
sosial yang transformatif.
6.3.
Kritik dari
Strukturalisme dan Post-Strukturalisme: Primat Bahasa dan Dekonstruksi Subjek
Strukturalis seperti
Claude
Lévi-Strauss dan post-strukturalis seperti Jacques
Derrida mempertanyakan asumsi fenomenologi tentang subjek
sebagai pusat kesadaran yang stabil dan otonom. Bagi mereka, bahasa
bukan hanya media untuk menyampaikan pengalaman, melainkan struktur yang
membentuk dan membatasi pengalaman itu sendiri3.
Derrida secara
khusus mengkritik Husserl dalam Speech and Phenomena, dengan
menyatakan bahwa klaim Husserl tentang kehadiran penuh makna dalam kesadaran tidak
mungkin dipertahankan, karena makna selalu tertunda (différance)
dalam peristiwa bahasa4. Fenomenologi dianggap gagal menyadari bahwa
pengalaman subjektif telah terperangkap dalam sistem tanda dan struktur
linguistik yang tak mungkin diakses secara murni.
6.4.
Kritik
Epistemologis: Kesulitan Verifikasi terhadap Esensi Pengalaman
Fenomenologi
berupaya untuk menemukan esensi dari pengalaman manusia
melalui reduksi eidetik. Namun, kritik epistemologis menyatakan bahwa apa yang
disebut sebagai esensi justru bergantung pada kerangka makna tertentu yang
tidak selalu universal. Pendekatan ini menghadapi tantangan besar ketika
dihadapkan pada relativisme budaya dan pluralitas pengalaman yang tidak dapat
disatukan dalam satu kesatuan makna esensial5.
Dengan demikian,
metode fenomenologis dapat dinilai berisiko melakukan generalisasi yang tidak
sahih terhadap pengalaman manusia, khususnya jika tidak memperhitungkan konteks
sosial, historis, dan budaya secara memadai.
6.5.
Respons Fenomenologi
Kontemporer terhadap Kritik
Meskipun
kritik-kritik tersebut signifikan, fenomenologi kontemporer telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggapi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut.
Misalnya, Dan Zahavi berargumen bahwa
fenomenologi modern telah berkembang menjadi lebih dialogis dan terbuka
terhadap interdisiplineritas, serta tidak lagi mengklaim posisi absolut
mengenai kesadaran atau esensi6.
Di sisi lain,
fenomenologi hermeneutik yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur dan Hans-Georg
Gadamer telah berusaha menjembatani antara pengalaman subjektif
dan horizon historis-budaya melalui pendekatan tafsir (hermeneutics),
yang memungkinkan pemahaman atas pengalaman yang tidak lepas dari bahasa dan
tradisi7.
Dengan demikian,
kritik terhadap metode fenomenologi justru telah mendorong pendekatan ini untuk
berevolusi menjadi lebih terbuka, reflektif, dan sadar akan keterbatasannya.
Fenomenologi kini tidak lagi dipahami sebagai metode tertutup dan solipsistik,
melainkan sebagai suatu pendekatan yang terus dikembangkan dalam dialog kritis
dengan tradisi-tradisi pemikiran lain.
Footnotes
[1]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
8–12; A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 121–125.
[2]
Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, trans. E.B. Ashton
(New York: Continuum, 1973), 52–57; Herbert Marcuse, One-Dimensional Man
(Boston: Beacon Press, 1964), 15–20.
[3]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire
Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 31–35.
[4]
Jacques Derrida, Speech and Phenomena and Other Essays on Husserl's
Theory of Signs, trans. David B. Allison (Evanston: Northwestern
University Press, 1973), 53–58.
[5]
Zahavi, Dan. Phenomenology: The Basics (London: Routledge,
2019), 79–83.
[6]
Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford: Stanford
University Press, 2003), 134–139.
[7]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 29–35;
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and
Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 265–270.
7.
Relevansi
dan Implikasi Kontemporer
Metode fenomenologi,
meskipun berakar pada filsafat awal abad ke-20, tetap menunjukkan relevansi
yang tinggi dalam konteks intelektual dan sosial kontemporer. Karakteristiknya
yang reflektif, deskriptif, dan berorientasi pada pemaknaan subjektif
memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan epistemologi, etika,
metodologi penelitian, serta diskursus tentang teknologi dan keberadaan manusia
di era digital. Fenomenologi kini tidak hanya menjadi milik para filsuf, tetapi
juga dipakai secara luas dalam ranah interdisipliner sebagai kerangka untuk memahami
kompleksitas pengalaman manusia dalam dunia yang terus berubah.
7.1.
Relevansi dalam
Filsafat Kesadaran dan Studi Kognitif
Fenomenologi masih
menjadi pendekatan penting dalam studi kontemporer tentang kesadaran (consciousness
studies) dan filsafat pikiran. Tokoh seperti Shaun
Gallagher dan Evan Thompson mengintegrasikan
fenomenologi dengan temuan dalam ilmu saraf kognitif dan psikologi
eksperimental untuk membentuk pendekatan neurofenomenologis1.
Tujuannya adalah menjembatani kesenjangan antara pengalaman subyektif dan data
neurobiologis dengan cara menggabungkan deskripsi fenomenologis dan pengukuran
empiris dalam satu kerangka dialogis.
Dalam konteks ini,
fenomenologi dipandang sebagai alat penting untuk mengatasi reduksionisme dalam
ilmu kognitif yang cenderung mengabaikan dimensi pengalaman pribadi. Hal ini
menunjukkan bahwa kontribusi fenomenologi tetap vital dalam upaya memahami
hakikat kesadaran, tubuh, dan identitas diri di era sains modern.
7.2.
Kontribusi terhadap
Etika dan Politik Kontemporer
Fenomenologi juga
memainkan peran kunci dalam revitalisasi diskursus etika dan politik, terutama
dalam konteks pluralisme dan perjumpaan antar-subjektif. Pemikiran Emmanuel
Levinas dan Paul Ricoeur tetap menjadi
inspirasi bagi pendekatan-pendekatan etis yang bersifat relasional dan dialogis
di tengah krisis kemanusiaan global, seperti migrasi, ketimpangan, dan ekologi2.
Fenomenologi
mendorong bentuk etika yang tidak berakar pada universalitas formal, melainkan
pada pengalaman konkret akan kerentanan, perbedaan, dan keterpanggilan moral
terhadap yang lain. Dalam politik, pendekatan fenomenologis mendorong kritik
terhadap objektifikasi manusia dan menyerukan pentingnya mengakui dimensi
pengalaman subjektif dalam kebijakan dan struktur sosial.
7.3.
Peran dalam Kajian
Teknologi dan Kehidupan Digital
Di tengah dominasi
teknologi digital, fenomenologi berkembang menjadi alat penting untuk memahami
bagaimana teknologi mengubah struktur pengalaman manusia. Don Ihde,
seorang tokoh utama dalam fenomenologi teknologi, menunjukkan bahwa alat-alat
teknologi bukan hanya objek eksternal, tetapi media perpanjangan pengalaman yang
membentuk cara manusia memahami dunia3.
Dalam konteks
digital, pengalaman manusia dimediasi oleh antarmuka (interfaces),
algoritma, dan representasi virtual yang membentuk horizon baru dalam persepsi
dan tindakan. Fenomenologi membantu mengeksplorasi dinamika ini, termasuk
alienasi digital, kehilangan kehadiran, dan perubahan dalam konsep ruang dan
waktu. Dengan demikian, fenomenologi memberi kontribusi penting dalam kajian posthumanism
dan etika teknologi.
7.4.
Implikasi dalam
Penelitian Kualitatif dan Ilmu Humaniora
Metode fenomenologis
terus berkembang sebagai pendekatan utama dalam penelitian kualitatif di bidang
pendidikan, psikologi, antropologi, dan studi budaya. Peneliti menggunakan
fenomenologi untuk menggali makna terdalam dari pengalaman individu dalam
konteks sosial dan historisnya.
Model penelitian
seperti Interpretative Phenomenological Analysis (IPA)
yang dikembangkan oleh Jonathan A. Smith memungkinkan
eksplorasi pengalaman subjektif secara sistematis, dengan tetap mempertahankan
kekayaan deskriptif dan reflektif yang menjadi ciri khas fenomenologi4.
Implikasi ini memperlihatkan bahwa fenomenologi mampu menjembatani antara
pendekatan akademik dan keterlibatan humanistik yang bermakna.
7.5.
Signifikansi dalam
Wacana Keberadaan dan Krisis Makna
Di tengah krisis
makna dalam budaya kontemporer yang ditandai oleh fragmentasi identitas,
individualisme, dan ketidakpastian eksistensial, fenomenologi hadir sebagai
pendekatan yang berupaya memulihkan kedalaman makna dalam pengalaman hidup
manusia. Dengan menekankan pada keterlibatan tubuh, dunia kehidupan (Lebenswelt),
dan relasi dengan sesama, fenomenologi memberi ruang bagi refleksi eksistensial
yang lebih otentik.
Fenomenologi
kontemporer tidak hanya berbicara tentang apa yang ada, tetapi tentang bagaimana
yang ada itu dimaknai. Dengan demikian, ia menjadi sangat relevan
untuk generasi yang mencari pemahaman atas diri, makna, dan relasi dalam dunia
yang penuh distorsi dan hiperrealitas.
Kesimpulan Sementara
Melalui kemampuannya
untuk menjembatani subjektivitas dengan makna dunia yang lebih luas,
fenomenologi telah membuktikan dirinya sebagai metode yang tidak hanya
filosofis, tetapi juga praktis, kritis, dan transformatif. Di tengah tantangan
zaman yang kompleks, metode ini tetap menjadi sarana penting dalam pencarian
makna yang mendalam dan reflektif atas realitas manusia.
Footnotes
[1]
Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The Phenomenological Mind, 2nd
ed. (London: Routledge, 2012), 12–17; Evan Thompson, Mind in Life: Biology,
Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge: Harvard University
Press, 2007), 13–19.
[2]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–117; Emmanuel Levinas, Otherwise
than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1998), 125–128.
[3]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–49.
[4]
Jonathan A. Smith, Paul Flowers, and Michael Larkin, Interpretative
Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research (London: SAGE
Publications, 2009), 3–8.
8.
Penutup
Metode fenomenologi
telah membuktikan dirinya sebagai pendekatan filosofis yang tidak hanya relevan
secara teoritis, tetapi juga bernilai praktis dan lintas disiplin dalam
memahami pengalaman manusia secara mendalam. Dengan menempatkan kesadaran
intensional sebagai titik tolaknya, fenomenologi menawarkan
suatu jalan reflektif untuk menelusuri bagaimana makna muncul dalam pengalaman,
bebas dari reduksi empiris maupun spekulasi metafisis yang tidak berdasar. Dari
tahap epoché
hingga deskripsi esensial dan pemaknaan intersubjektif, metode ini memberikan
perangkat metodologis yang kuat bagi pencarian makna yang otentik dan
kontekstual.
Secara historis,
fenomenologi muncul sebagai respons terhadap kekakuan logisisme dan empirisme
yang gagal menangkap nuansa eksistensial dari kehidupan manusia. Edmund
Husserl, sebagai pelopornya, meletakkan dasar metodologis yang
kemudian dikembangkan secara dinamis oleh pemikir-pemikir besar seperti Heidegger,
Merleau-Ponty,
dan Levinas.
Masing-masing tokoh memperluas jangkauan fenomenologi, dari kesadaran murni
menuju keberadaan, tubuh, etika, hingga relasi dengan sesama1.
Secara konseptual,
fenomenologi memperkenalkan istilah-istilah krusial seperti intensionalitas,
noesis–noema,
reduksi
eidetik, dan Lebenswelt, yang menjadi fondasi
dalam menggali struktur pengalaman manusia secara deskriptif dan reflektif.
Konsep-konsep tersebut menunjukkan bahwa pengalaman manusia tidak dapat
direduksi hanya pada fakta-fakta objektif, melainkan harus dipahami sebagai
gejala bermakna yang terletak dalam dunia kehidupan.
Dalam aplikasinya,
fenomenologi menjelma menjadi alat pemahaman yang tangguh dalam berbagai
disiplin ilmu: dari filsafat eksistensial dan etika relasional, hingga
psikologi humanistik, pedagogi reflektif, sosiologi interpretatif, dan studi
teknologi. Ia menjawab kebutuhan akan metode yang menghargai kekayaan makna
subjektif, tanpa mengabaikan horizon sosial dan historis tempat makna itu
terbit2.
Meskipun tidak lepas
dari kritik—terutama yang datang dari filsafat analitik, teori kritis,
strukturalisme, dan postmodernisme—fenomenologi telah memperkaya diskursus
filsafat kontemporer dengan membuka kemungkinan bagi pendekatan transformatif
dan lintas batas. Kritik tersebut justru mendorong evolusi metodologis dalam
fenomenologi, seperti yang terlihat dalam pengembangan hermeneutika
fenomenologis oleh Ricoeur dan keterbukaan
terhadap dialog ilmiah dalam neurofenomenologi masa kini3.
Di tengah dunia yang
semakin kompleks dan terdigitalisasi, fenomenologi tetap menawarkan suatu
horizon pemahaman yang menekankan kehadiran, kedalaman pengalaman, dan makna
yang muncul dalam relasi subjek dengan dunia dan sesama. Dalam situasi krisis
spiritual, ekologis, dan sosial, pendekatan fenomenologis menghadirkan
alternatif metodologis yang mampu merevitalisasi cara kita memandang diri,
orang lain, dan dunia secara lebih manusiawi.
Dengan demikian,
metode fenomenologi tidak hanya penting bagi pengembangan filsafat sebagai
disiplin teoretis, tetapi juga esensial bagi pembentukan sikap reflektif dan
etis dalam menghadapi realitas kontemporer yang terus berubah. Ia bukan sekadar
alat berpikir, melainkan juga cara hidup yang menuntut kesadaran, tanggung
jawab, dan keterbukaan terhadap makna yang selalu sedang terbentuk.
Footnotes
[1]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 7–12; Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 56–65.
[2]
Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an
Action Sensitive Pedagogy (Albany: State University of New York Press,
1990), 9–14; Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–49.
[3]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II,
trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University
Press, 1991), 23–29; Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London:
Routledge, 2019), 95–101.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W. (1973). Negative dialectics
(E. B. Ashton, Trans.). Continuum.
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic
(2nd ed.). Dover Publications.
Brentano, F. (1995). Psychology from an
empirical standpoint (A. C. Rancurello, D. B. Terrell, & L. L.
McAlister, Trans. & Eds.). Routledge. (Original work published 1874)
Derrida, J. (1973). Speech and phenomena, and
other essays on Husserl’s theory of signs (D. B. Allison, Trans.).
Northwestern University Press.
Gallagher, S., & Zahavi, D. (2012). The phenomenological
mind (2nd ed.). Routledge.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Husserl, E. (1970). The crisis of European
sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern
University Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus
Nijhoff.
Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld:
From garden to earth. Indiana University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781/1787)
Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology
(C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Levinas, E. (1998). Otherwise than being or beyond
essence (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies
in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.
Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
Routledge.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern
University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A
therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.
Ryle, G. (1949). The concept of mind.
Hutchinson.
Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness: An
essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Washington
Square Press. (Original work published 1943)
Schutz, A. (1967). The phenomenology of the
social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Northwestern University
Press.
Smith, D. W. (2007). Husserl. Routledge.
Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009).
Interpretative phenomenological analysis: Theory, method and research.
SAGE Publications.
Thompson, E. (2007). Mind in life: Biology,
phenomenology, and the sciences of mind. Harvard University Press.
van Manen, M. (1990). Researching lived
experience: Human science for an action sensitive pedagogy. State University
of New York Press.
Zahavi, D. (2003). Husserl’s phenomenology.
Stanford University Press.
Zahavi, D. (2019). Phenomenology: The basics.
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar