Senin, 18 November 2024

Metode Fenomenologi: Asal-Usul, Struktur Intensional, dan Relevansi Interdisipliner dalam Pemikiran Kontemporer

Metode Fenomenologi

Asal-Usul, Struktur Intensional, dan Relevansi Interdisipliner dalam Pemikiran Kontemporer


Alihkan ke: Motode-Metode dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif metode fenomenologi dalam filsafat, dengan menelusuri akar historis, struktur konseptual, dan relevansinya dalam lintas disiplin keilmuan kontemporer. Dimulai dari gagasan Edmund Husserl tentang epoché dan reduksi eidetik, fenomenologi berkembang menjadi pendekatan reflektif untuk memahami makna pengalaman subjektif manusia. Pembahasan mencakup konsep-konsep kunci seperti intensionalitas, struktur noesis–noema, serta dunia kehidupan (Lebenswelt) yang menjadi fondasi analisis fenomenologis. Artikel ini juga mengeksplorasi bagaimana metode fenomenologi diterapkan dalam berbagai ranah seperti filsafat eksistensial, etika relasional, pedagogi reflektif, psikologi humanistik, serta studi teknologi dan digitalitas. Meskipun menghadapi kritik dari berbagai aliran pemikiran seperti filsafat analitik, teori kritis, dan post-strukturalisme, fenomenologi kontemporer menunjukkan fleksibilitas epistemologis dan metodologis yang menjadikannya tetap relevan. Kesimpulan artikel menegaskan bahwa metode fenomenologi tidak hanya berperan dalam membangun wacana filsafat yang mendalam, tetapi juga menawarkan kerangka transformatif untuk memahami keberadaan manusia di tengah kompleksitas dunia modern.

Kata Kunci: Fenomenologi, Edmund Husserl, intensionalitas, reduksi eidetik, noesis-noema, dunia kehidupan (Lebenswelt), intersubjektivitas, filsafat kontemporer, etika eksistensial, studi pengalaman.


PEMBAHASAN

Metode Fenomenologi dalam Kajian Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat sebagai disiplin kritis dan reflektif senantiasa ditantang untuk mengembangkan metode yang mampu mengungkap realitas secara mendalam dan autentik. Dalam perjalanan sejarahnya, berbagai pendekatan metodologis telah ditawarkan, mulai dari metode dialektika dalam tradisi Yunani, metode deduktif dan induktif dalam era modern, hingga metode analitis dalam filsafat analitik. Di antara beragam pendekatan tersebut, fenomenologi muncul sebagai metode yang secara radikal menolak pemisahan antara subjek dan objek, serta berupaya untuk kembali kepada pengalaman murni sebelum ditafsirkan oleh teori atau konstruksi ilmiah.

Fenomenologi pertama kali dirintis oleh Edmund Husserl (1859–1938) sebagai sebuah metode untuk mencapai pemahaman yang mendasar tentang kesadaran dan objek-objek yang muncul di dalamnya. Husserl menegaskan urgensi untuk “kembali kepada hal-hal itu sendiri” (Zurück zu den Sachen selbst!), yaitu ajakan untuk mengesampingkan asumsi-asumsi teoritis dan berfokus pada pengalaman sebagaimana adanya dalam kesadaran manusia.1 Ia mengembangkan metode reduksi fenomenologis dan epoché sebagai sarana untuk menyaring esensi dari pengalaman subjektif, tanpa terjebak dalam prasangka empiris maupun spekulatif.

Fenomenologi bukan hanya berkembang sebagai aliran filsafat, tetapi juga sebagai pendekatan metodologis yang berpengaruh luas, melintasi batas-batas disiplin. Dalam perkembangannya, para pemikir seperti Martin Heidegger, Maurice Merleau-Ponty, dan Emmanuel Levinas memperluas cakupan fenomenologi ke ranah ontologi, estetika, etika, dan bahkan intersubjektivitas yang radikal. Metode ini tidak lagi terbatas pada deskripsi pengalaman subjektif, melainkan menjelma menjadi kerangka untuk memahami eksistensi, tubuh, dunia kehidupan (Lebenswelt), dan relasi antar-manusia.2

Di luar lingkup filsafat, fenomenologi telah memberikan kontribusi penting dalam ilmu-ilmu sosial, terutama dalam penelitian kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk menelusuri makna-makna subjektif dari pengalaman individu, yang sering kali luput dari jangkauan metode kuantitatif. Dalam pendidikan, fenomenologi digunakan untuk memahami dinamika pembelajaran dari perspektif pengalaman peserta didik. Dalam psikologi, ia menjadi landasan bagi pendekatan humanistik dan eksistensial dalam terapi dan kajian kesadaran.3

Dengan demikian, metode fenomenologi memegang peranan vital dalam menjembatani pemikiran filsafat yang reflektif dengan pendekatan empatik dan kontekstual terhadap realitas manusia. Artikel ini akan mengurai asal-usul metode fenomenologi, menelaah struktur intensional dari kesadaran yang menjadi pusat kajiannya, serta mengupas relevansi interdisipliner fenomenologi dalam pemikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 35–37.

[2]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 4–7; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), ix–xii.

[3]                Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an Action Sensitive Pedagogy (New York: State University of New York Press, 1990), 9–11; Jonathan A. Smith, Paul Flowers, and Michael Larkin, Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research (London: SAGE, 2009), 1–5.


2.           Landasan Historis dan Filosofis Metode Fenomenologi

Fenomenologi sebagai metode filsafat lahir pada pergantian abad ke-20 dalam konteks ketegangan intelektual antara idealisme Jerman, positivisme ilmiah, dan skeptisisme modern terhadap landasan pengetahuan. Ia bukan hanya sebuah sistem filsafat, tetapi merupakan metode untuk mendekati realitas sebagaimana ia muncul dalam pengalaman subyektif yang murni. Metode ini terutama dirumuskan oleh Edmund Husserl, yang dipandang sebagai bapak pendiri fenomenologi.

2.1.       Asal-usul dalam Tradisi Filsafat Modern

Cikal bakal pemikiran fenomenologi dapat ditelusuri dari kritik terhadap metode deduktif-rasionalistik René Descartes dan idealisme transendental Immanuel Kant. Jika Kant menegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui "fenomena" dan bukan "noumena", maka Husserl berusaha memahami struktur dari kesadaran itu sendiri terhadap fenomena tersebut1. Ia mengadopsi pendekatan deskriptif untuk memahami bagaimana objek tampak (appears) dalam kesadaran tanpa mereduksinya menjadi kategori empiris atau logis.

Gagasan awal fenomenologi juga dipengaruhi oleh karya-karya Franz Brentano, terutama gagasan tentang intensionalitas—bahwa setiap kesadaran selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu. Dari Brentano, Husserl mengembangkan ide bahwa kesadaran memiliki arah (intentional directedness) terhadap objek, dan di sinilah letak struktur fundamental dari pengalaman manusia2.

2.2.       Fenomenologi Murni Husserlian

Dalam karya monumentalnya, Logical Investigations (1900–1901), Husserl mengkritik psikologisme dan menawarkan deskripsi fenomenologis sebagai alternatif untuk memahami hukum-hukum logika dan makna secara independen dari proses mental individual. Dalam karya lanjutannya, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (1913), ia memperkenalkan reduction dan epoché sebagai teknik untuk menangguhkan asumsi dunia luar dan kembali ke “kesadaran murni” sebagai pusat analisis filosofis3.

Husserl memandang fenomenologi sebagai sebuah filsafat pertama (erste Philosophie), yaitu sebagai dasar segala ilmu pengetahuan karena berangkat dari analisis pengalaman subyektif yang paling fundamental. Dengan mengedepankan deskripsi atas esensi (eidetic analysis), ia bertujuan membangun pengetahuan yang pasti tanpa landasan empiris yang berubah-ubah4.

2.3.       Transisi ke Fenomenologi Hermeneutik dan Eksistensial

Setelah Husserl, fenomenologi mengalami perkembangan signifikan melalui murid-murid dan para penerusnya. Martin Heidegger, dalam Being and Time (1927), mengalihkan fokus fenomenologi dari analisis kesadaran ke pertanyaan tentang makna keberadaan (Sein). Bagi Heidegger, manusia sebagai Dasein tidak sekadar subjek pengamat, melainkan “ada-di-dunia” yang secara eksistensial terlibat dalam dunianya. Ia memperkenalkan dimensi waktu, kecemasan, dan kefanaan ke dalam fenomenologi, menjadikannya lebih ontologis dan eksistensial5.

Perkembangan ini dilanjutkan oleh Maurice Merleau-Ponty, yang menekankan bahwa tubuh (le corps propre) bukan sekadar objek biologis, tetapi merupakan subjek yang mengalami dunia. Dalam Phenomenology of Perception (1945), ia menggambarkan bagaimana persepsi mendasari segala bentuk pengetahuan dan bahwa realitas selalu dijalani secara pra-reflektif melalui tubuh yang hidup6.

Sementara itu, Emmanuel Levinas membawa fenomenologi ke ranah etika dengan menyoroti perjumpaan dengan “yang Lain” (autrui). Ia menegaskan bahwa tanggung jawab etis terhadap sesama lebih mendasar daripada pengetahuan atau ontologi itu sendiri7.

2.4.       Fenomenologi dalam Konstelasi Filsafat Kontemporer

Fenomenologi modern tidak lagi bersifat monolitik. Tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre, Paul Ricoeur, Hans-Georg Gadamer, dan Michel Henry memberikan corak masing-masing pada pengembangan metode ini. Fenomenologi menjadi medan yang kaya dengan interpretasi, baik dalam kerangka deskriptif murni maupun dalam tradisi hermeneutik dan kritis. Bahkan dalam filsafat kontemporer, fenomenologi tetap memainkan peranan penting dalam diskusi mengenai kesadaran, identitas, intersubjektivitas, dan bahkan dalam perdebatan tentang kecerdasan buatan.

Dengan akar historis yang kuat dan karakter reflektif yang mendalam, fenomenologi membuktikan dirinya sebagai metode yang tahan uji waktu dalam merespons tantangan-tantangan baru dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[2]                Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint, ed. Linda L. McAlister, trans. Antos C. Rancurello, D. B. Terrell, and Linda L. McAlister (London: Routledge, 1995), 88–89.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 59–65.

[4]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 121–125.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 39–42.

[6]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), x–xii, 92–96.

[7]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.


3.           Konsep-Konsep Kunci dalam Fenomenologi

Metode fenomenologi dibangun atas sejumlah konsep fundamental yang menjadikannya khas dibandingkan pendekatan-pendekatan lain dalam filsafat. Konsep-konsep ini mencerminkan orientasi fenomenologi terhadap pemahaman pengalaman langsung dan struktur kesadaran sebagaimana adanya, tanpa intervensi asumsi-asumsi teoretis. Beberapa gagasan inti yang menjadi fondasi metodologis fenomenologi antara lain: epoché, reduksi fenomenologis, intensionalitas, noesis–noema, Lebenswelt, dan tubuh sebagai subjek hidup.

3.1.       Epoché dan Reduksi Fenomenologis

Salah satu langkah awal dalam pendekatan fenomenologis adalah epoché, yakni tindakan menangguhkan atau menunda segala bentuk asumsi tentang keberadaan dunia eksternal. Dengan melakukan epoché, subjek tidak menyangkal realitas, tetapi menunda penilaian tentang status ontologisnya agar dapat memusatkan perhatian pada bagaimana dunia tersebut muncul dalam kesadaran1.

Proses ini diikuti oleh reduksi fenomenologis, yaitu penyaringan terhadap unsur-unsur pengalaman untuk menemukan esensi (hakikat tak berubah) dari fenomena yang dialami. Reduksi ini memungkinkan seorang fenomenolog memisahkan makna-makna esensial dari unsur-unsur kontingen dalam pengalaman manusia2.

3.2.       Intensionalitas Kesadaran

Fenomenologi sangat menekankan prinsip intensionalitas (dari kata Latin intentio, berarti ‘mengarah pada’), yaitu bahwa setiap kesadaran selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu (Bewusstsein von etwas). Artinya, tidak ada pengalaman yang netral atau kosong; semua kesadaran memiliki arah dan objek tertentu, baik itu benda konkret, gagasan abstrak, atau bahkan emosi dan harapan3.

Intensionalitas bukan hanya menunjuk pada relasi antara subjek dan objek, tetapi juga mengandung makna bahwa objek pengalaman tidak pernah hadir secara ‘telanjang’, melainkan selalu dimediasi oleh struktur kesadaran tertentu. Oleh karena itu, fenomenologi mempelajari bukan hanya apa yang dialami, tetapi juga bagaimana sesuatu itu dialami.

3.3.       Noesis dan Noema

Untuk memahami struktur intensional dari kesadaran, Husserl membedakan antara noesis dan noema. Noesis mengacu pada aktivitas mental atau sikap kesadaran (misalnya, mengingat, mempersepsikan, mengharapkan), sedangkan noema adalah isi atau makna dari objek sebagaimana ia dimunculkan dalam kesadaran4. Distingsi ini memungkinkan analisis mendalam terhadap cara pengalaman dibentuk dalam proses kesadaran.

Sebagai contoh, melihat sebuah pohon (noesis: aktivitas persepsi) menghasilkan pengalaman tentang pohon itu dalam makna tertentu (noema: pohon sebagai tampak dalam kesadaran). Pohon yang sama bisa tampil berbeda tergantung perspektif, kondisi emosi, atau konteks budaya subjeknya.

3.4.       Lebenswelt (Dunia Kehidupan)

Konsep Lebenswelt, atau dunia kehidupan, diperkenalkan Husserl pada karya-karya akhir hidupnya sebagai dunia pra-teoretis di mana manusia hidup dan berinteraksi sebelum adanya refleksi ilmiah. Dunia kehidupan ini mencakup kebiasaan, norma, bahasa, dan tindakan-tindakan sehari-hari yang membentuk horizon makna pengalaman manusia5.

Dalam dunia kehidupan, makna tidak muncul secara terisolasi, melainkan melalui intersubjektivitas. Oleh karena itu, fenomenologi juga membuka ruang bagi pemahaman tentang bagaimana pengalaman subjektif berkaitan dengan dunia sosial yang bersama-sama dialami.

3.5.       Tubuh sebagai Subjek yang Mengalami

Sumbangan besar Maurice Merleau-Ponty dalam fenomenologi adalah penegasannya bahwa tubuh bukan sekadar objek fisik, tetapi subjek yang aktif mengalami dunia. Dalam Phenomenology of Perception, ia memperkenalkan gagasan tentang tubuh yang hidup (le corps propre), yaitu tubuh sebagai medium utama yang memungkinkan persepsi dan tindakan6.

Tubuh bukan hanya wadah atau alat, tetapi terlibat langsung dalam struktur pengalaman. Misalnya, tangan yang meraba, kaki yang melangkah, atau mata yang menatap bukan sekadar menjalankan fungsi biologis, tetapi membentuk pengalaman dunia. Tubuh membangun ruang, waktu, dan makna dari keberadaan manusia di dunia.


Dengan memahami kelima konsep kunci di atas, dapat terlihat bahwa fenomenologi tidak semata mengkaji isi kesadaran, tetapi lebih dalam lagi: bagaimana dunia dimaknai dan ditampilkan dalam dan melalui struktur kesadaran manusia. Metode ini menawarkan suatu pendekatan reflektif yang mempertanyakan dasar-dasar pengalaman, dan dengan demikian, membuka ruang bagi pemahaman yang lebih autentik atas eksistensi manusia.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 61–65.

[2]                David Woodruff Smith, Husserl (London: Routledge, 2007), 54–57.

[3]                Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint, trans. Antos C. Rancurello, D. B. Terrell, and Linda L. McAlister (London: Routledge, 1995), 88–90.

[4]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 152–155.

[5]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 102–105.

[6]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), 93–97.


4.           Langkah-Langkah atau Struktur Operasional dalam Metode Fenomenologi

Fenomenologi sebagai metode bukan sekadar kumpulan ide filosofis, tetapi merupakan pendekatan sistematis untuk mengakses pengalaman sebagaimana ia tampil dalam kesadaran. Dalam kerangka ini, terdapat beberapa langkah operasional atau prosedur reflektif yang membentuk kerangka kerja fenomenologi, baik dalam penelitian filosofis murni maupun dalam aplikasi interdisipliner seperti dalam ilmu sosial dan humaniora. Setidaknya terdapat lima tahapan utama dalam prosedur fenomenologis: (1) pengamatan deskriptif terhadap pengalaman subjektif, (2) epoché, (3) reduksi esensial, (4) deskripsi struktur pengalaman, dan (5) penegasan makna yang ditampilkan melalui fenomena.

4.1.       Pengamatan Deskriptif terhadap Pengalaman Subjektif

Langkah pertama dalam metode fenomenologi adalah memusatkan perhatian pada pengalaman sebagaimana dialami oleh subjek. Hal ini menuntut keterbukaan dan kepekaan terhadap segala aspek pengalaman, termasuk sensasi, emosi, persepsi, intuisi, dan makna-makna yang muncul secara langsung. Deskripsi fenomenologis tidak bertujuan untuk menjelaskan pengalaman secara kausal atau teoretis, melainkan untuk menghadirkannya secara apa adanya, dalam keutuhan dan kekhususannya1.

Dalam hal ini, deskripsi dilakukan dalam bentuk naratif atau reflektif, dengan mencermati pengalaman secara menyeluruh dari perspektif orang pertama (first-person perspective). Misalnya, seseorang yang mengalami kesepian tidak dianalisis secara sosiologis atau patologis terlebih dahulu, tetapi dipahami dari cara bagaimana kesepian itu dialami dan dirasakan secara eksistensial.

4.2.       Epoché (Penangguhan Asumsi)

Langkah kedua adalah epoché, yaitu penangguhan atau penanggalkan segala asumsi yang biasanya menyertai pengalaman. Dalam tradisi empiris atau ilmiah, dunia cenderung dipahami sebagai sesuatu yang “ada di luar sana” dan dapat diukur secara objektif. Fenomenologi justru meminta kita untuk menangguhkan kepercayaan tersebut agar dapat mengamati fenomena sebagaimana muncul dalam kesadaran, tanpa prasangka atau konstruksi teoritis2.

Epoché tidak menolak realitas eksternal, tetapi menunda pertanyaan tentang keberadaannya untuk memberi ruang bagi pemahaman bagaimana realitas itu dialami oleh subjek. Dalam konteks ini, Husserl menyebutnya sebagai “bracketing” terhadap dunia alamiah (natural attitude) untuk memberi ruang kepada attitude fenomenologis3.

4.3.       Reduksi Esensial (Eidetic Reduction)

Setelah melakukan epoché, fenomenolog melanjutkan dengan reduksi esensial (eidetic reduction), yaitu upaya untuk menyingkap struktur esensial dari pengalaman yang diamati. Hal ini dilakukan dengan membayangkan berbagai variasi kemungkinan dari suatu pengalaman untuk menemukan unsur yang tidak dapat dihilangkan tanpa merusak identitas fenomena itu sendiri4. Dengan demikian, esensi dari suatu pengalaman bukanlah karakteristik kebetulan, tetapi struktur universal yang menjadikan pengalaman itu adalah seperti yang dialami.

Misalnya, dalam mengamati pengalaman “menunggu”, seorang fenomenolog akan mencari unsur-unsur tetap dalam pengalaman itu (kekosongan waktu, harapan, ketegangan) yang selalu hadir dalam bentuk apa pun dari pengalaman menunggu.

4.4.       Deskripsi Struktur Intensional dari Pengalaman

Langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan struktur intensional, yaitu relasi antara kesadaran (noesis) dan objek sebagaimana tampak dalam kesadaran (noema). Analisis ini mengungkap cara bagaimana pengalaman tertentu muncul: apakah melalui persepsi, imajinasi, ingatan, atau penilaian; dan bagaimana pengalaman tersebut dikonstruksi dalam horizon makna subjek5.

Deskripsi struktur ini dilakukan secara sistematis untuk memahami “bagaimana” dan bukan hanya “apa” yang dialami. Dengan demikian, pengalaman manusia menjadi transparan secara reflektif dan terbuka terhadap penafsiran yang berakar pada pengalaman itu sendiri.

4.5.       Penegasan Makna dan Intersubjektivitas

Langkah terakhir dalam metode fenomenologi adalah penegasan makna yang ditampilkan melalui fenomena sebagai bagian dari dunia kehidupan (Lebenswelt) yang dipahami secara intersubjektif. Fenomenologi menolak gagasan bahwa makna bersifat murni individualistik, melainkan ia terbangun dalam ruang komunikasi, kebudayaan, dan relasi sosial. Oleh karena itu, deskripsi fenomenologis juga mencakup pengakuan terhadap horizon historis dan intersubjektif di mana makna-makna itu muncul6.

Makna bukan semata hasil konstruksi subjek, tetapi sesuatu yang terberi dalam pertemuan antara subjek dan dunia. Dalam konteks ini, fenomenologi melampaui deskripsi individual dan memasuki ranah ontologis serta etis dari eksistensi manusia.


Dengan mengikuti langkah-langkah tersebut, metode fenomenologi tidak hanya menjadi alat konseptual untuk memahami pengalaman, tetapi juga membentuk suatu kerangka refleksi filosofis yang mendalam dan terbuka terhadap berbagai bentuk kebermaknaan dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an Action Sensitive Pedagogy (Albany: State University of New York Press, 1990), 9–11.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 60–62.

[3]                David Woodruff Smith, Husserl (London: Routledge, 2007), 56–58.

[4]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 150–153.

[5]                Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge, 2019), 36–40.

[6]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 103–107.


5.           Aplikasi dan Relevansi Metode Fenomenologi dalam Kajian Interdisipliner

Fenomenologi tidak hanya memainkan peran sentral dalam diskursus filosofis, tetapi juga menunjukkan fleksibilitas metodologis yang tinggi dalam menjangkau berbagai disiplin ilmu. Sebagai metode yang memusatkan perhatian pada pengalaman subjektif dan makna-makna yang muncul darinya, fenomenologi memberikan kontribusi signifikan dalam memahami realitas manusiawi secara mendalam dan kontekstual. Relevansi interdisipliner metode ini tampak jelas dalam bidang-bidang seperti filsafat eksistensial, etika dan humanisme, pendidikan, psikologi, dan ilmu sosial dan budaya.

5.1.       Dalam Filsafat Eksistensial

Metode fenomenologi secara langsung memengaruhi perkembangan filsafat eksistensial, terutama melalui karya Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Maurice Merleau-Ponty. Heidegger memanfaatkan metode fenomenologis untuk mengeksplorasi struktur ontologis eksistensi manusia, khususnya dalam konsep Dasein sebagai “ada-di-dunia” yang ditentukan oleh waktu, kesementaraan, dan keterlemparan1. Sartre dalam Being and Nothingness menerapkan fenomenologi untuk menjelaskan struktur kesadaran yang bersifat negasi, kebebasan, dan tanggung jawab radikal2.

Kontribusi Merleau-Ponty memperkuat dimensi eksistensial fenomenologi melalui gagasan tentang tubuh sebagai pusat persepsi dan eksistensi, yang menolak dikotomi antara pikiran dan tubuh dalam filsafat modern3. Pendekatan ini memberi landasan bagi pemahaman eksistensi manusia secara konkret dan embodied.

5.2.       Dalam Etika dan Humanisme

Fenomenologi juga menunjukkan relevansi dalam ranah etika melalui pemikiran Emmanuel Levinas, yang menggugat primat ontologi dalam filsafat Barat dan menggantikannya dengan primat etika. Bagi Levinas, perjumpaan dengan yang Lain (l’autrui) adalah pengalaman mendasar yang bersifat etis, bukan sekadar relasi epistemik4. Dalam kerangka fenomenologi, etika bukanlah sistem normatif yang dipaksakan dari luar, melainkan respons primordial yang muncul dari keterpaparan subjek terhadap kehadiran wajah orang lain.

Dengan demikian, fenomenologi mendorong pemikiran etika yang lebih personal, konkret, dan berbasis pengalaman relasional, serta membuka ruang bagi pendekatan humanistik dalam studi-studi kemanusiaan.

5.3.       Dalam Pendidikan dan Pedagogi Eksistensial

Fenomenologi telah digunakan secara luas dalam filsafat dan praktik pendidikan, terutama dalam pendekatan yang menekankan pada pemahaman pengalaman belajar dari perspektif peserta didik. Dalam pendidikan, fenomenologi berfungsi sebagai metode untuk memahami dunia kehidupan siswa, guru, dan konteks pendidikan secara lebih mendalam dan otentik.

Max van Manen mengembangkan apa yang disebut sebagai pedagogi reflektif, yaitu pendekatan yang mengintegrasikan deskripsi fenomenologis dengan pemikiran hermeneutik untuk memahami bagaimana makna pendidikan dialami dalam keseharian5. Ini menjadikan fenomenologi sangat relevan dalam praktik pengajaran yang berpusat pada pengalaman dan subyektivitas peserta didik.

5.4.       Dalam Psikologi dan Konseling

Dalam psikologi, terutama dalam pendekatan humanistik dan eksistensial, fenomenologi digunakan untuk memahami struktur batin manusia berdasarkan pengalaman subjektifnya, bukan dari perspektif patologis semata. Carl Rogers dan Rollo May, misalnya, mengembangkan terapi berbasis pengalaman klien, dengan menekankan pentingnya empati dan pemahaman terhadap dunia subjektif pasien6.

Metode fenomenologis juga digunakan dalam riset kualitatif psikologi untuk mengeksplorasi pengalaman mendalam seperti trauma, kesedihan, spiritualitas, dan proses transformasi identitas. Fokusnya adalah pada makna dan pemaknaan yang dihasilkan oleh individu dalam interaksinya dengan dunia dan sesama.

5.5.       Dalam Ilmu Sosial dan Budaya

Fenomenologi memberi kontribusi metodologis penting dalam ilmu sosial, khususnya dalam sosiologi, antropologi, dan studi budaya. Alfred Schutz, misalnya, menerapkan fenomenologi Husserl dalam sosiologi untuk memahami struktur makna dalam dunia sosial sehari-hari dan konsep intersubjektivitas dalam tindakan sosial7.

Dalam antropologi dan etnografi, pendekatan fenomenologis digunakan untuk menangkap pengalaman dunia kehidupan masyarakat secara holistik dan kontekstual, terutama dalam menggali makna simbolik dari praktik budaya, ritus, atau ekspresi identitas. Dalam studi budaya kontemporer, fenomenologi juga menjadi alat penting untuk memahami pengalaman teknologi, media, dan ruang virtual sebagai bentuk-bentuk realitas yang dialami secara intensional.


Metode fenomenologi dengan demikian menunjukkan kapasitas transformatif dalam menjembatani filsafat dengan berbagai cabang ilmu lain yang berorientasi pada pemahaman manusia secara utuh. Relevansi interdisiplinernya terletak pada kemampuannya menggali struktur makna yang mendasari pengalaman individual dan kolektif, tanpa mereduksinya menjadi data statistik atau teori normatif semata.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 47–49.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 61–63.

[3]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), x–xii.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 39–44.

[5]                Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an Action Sensitive Pedagogy (Albany: State University of New York Press, 1990), 12–14.

[6]                Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 28–33; Rollo May, The Discovery of Being: Writings in Existential Psychology (New York: Norton, 1983), 14–17.

[7]                Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, trans. George Walsh and Frederick Lehnert (Evanston: Northwestern University Press, 1967), 53–55.


6.           Kritik terhadap Metode Fenomenologi

Meskipun metode fenomenologi telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Kritik terhadap fenomenologi datang dari berbagai sudut pandang filosofis maupun metodologis, termasuk dari filsafat analitik, teori kritis, strukturalisme, serta pemikiran postmodern. Kritik-kritik ini menyoroti aspek epistemologis, linguistik, historis, dan ideologis dari pendekatan fenomenologi yang dianggap memiliki keterbatasan tertentu.

6.1.       Kritik dari Filsafat Analitik: Kurangnya Kejelasan Logis dan Verifikasi

Filsafat analitik seringkali mengkritik fenomenologi karena dianggap tidak cukup jelas dalam penggunaan istilah dan tidak memenuhi standar argumentasi logis yang ketat. Tokoh seperti Gilbert Ryle dan A.J. Ayer memandang pendekatan fenomenologis terlalu spekulatif dan kurang dapat diverifikasi secara empiris atau logis1. Misalnya, istilah seperti noema, reduksi esensial, atau kesadaran murni dinilai kabur karena tidak dapat diuji secara publik dan cenderung bersifat introspektif.

Bagi kalangan analitik, klaim-klaim fenomenologis tentang esensi pengalaman kerap kali terjebak pada subjektivisme dan tidak dapat dikomunikasikan dengan cara yang dapat direplikasi secara sistematis. Dengan demikian, fenomenologi dituduh gagal memenuhi prinsip-prinsip verifikasi dan falsifikasi dalam kriteria ilmiah modern.

6.2.       Kritik dari Tradisi Marxis dan Teori Kritis: Abstraksi dari Konteks Sosial

Kaum Marxis dan pemikir teori kritis, seperti Theodor Adorno dan Herbert Marcuse, mengkritik fenomenologi karena dianggap mengabstraksikan pengalaman individual dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang membentuknya2. Husserlian phenomenology, dengan penekanannya pada kesadaran murni dan pengalaman personal, dianggap terlalu idealistik dan kurang kritis terhadap kondisi material dan historis yang membingkai pengalaman tersebut.

Menurut Adorno, kecenderungan fenomenologi untuk mengidealkan kesadaran justru mengaburkan kondisi-kondisi objektif yang menentukan kehidupan manusia dalam masyarakat kapitalis. Oleh karena itu, fenomenologi dinilai tidak cukup memadai untuk menghadirkan kritik sosial yang transformatif.

6.3.       Kritik dari Strukturalisme dan Post-Strukturalisme: Primat Bahasa dan Dekonstruksi Subjek

Strukturalis seperti Claude Lévi-Strauss dan post-strukturalis seperti Jacques Derrida mempertanyakan asumsi fenomenologi tentang subjek sebagai pusat kesadaran yang stabil dan otonom. Bagi mereka, bahasa bukan hanya media untuk menyampaikan pengalaman, melainkan struktur yang membentuk dan membatasi pengalaman itu sendiri3.

Derrida secara khusus mengkritik Husserl dalam Speech and Phenomena, dengan menyatakan bahwa klaim Husserl tentang kehadiran penuh makna dalam kesadaran tidak mungkin dipertahankan, karena makna selalu tertunda (différance) dalam peristiwa bahasa4. Fenomenologi dianggap gagal menyadari bahwa pengalaman subjektif telah terperangkap dalam sistem tanda dan struktur linguistik yang tak mungkin diakses secara murni.

6.4.       Kritik Epistemologis: Kesulitan Verifikasi terhadap Esensi Pengalaman

Fenomenologi berupaya untuk menemukan esensi dari pengalaman manusia melalui reduksi eidetik. Namun, kritik epistemologis menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai esensi justru bergantung pada kerangka makna tertentu yang tidak selalu universal. Pendekatan ini menghadapi tantangan besar ketika dihadapkan pada relativisme budaya dan pluralitas pengalaman yang tidak dapat disatukan dalam satu kesatuan makna esensial5.

Dengan demikian, metode fenomenologis dapat dinilai berisiko melakukan generalisasi yang tidak sahih terhadap pengalaman manusia, khususnya jika tidak memperhitungkan konteks sosial, historis, dan budaya secara memadai.

6.5.       Respons Fenomenologi Kontemporer terhadap Kritik

Meskipun kritik-kritik tersebut signifikan, fenomenologi kontemporer telah melakukan berbagai upaya untuk menanggapi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut. Misalnya, Dan Zahavi berargumen bahwa fenomenologi modern telah berkembang menjadi lebih dialogis dan terbuka terhadap interdisiplineritas, serta tidak lagi mengklaim posisi absolut mengenai kesadaran atau esensi6.

Di sisi lain, fenomenologi hermeneutik yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur dan Hans-Georg Gadamer telah berusaha menjembatani antara pengalaman subjektif dan horizon historis-budaya melalui pendekatan tafsir (hermeneutics), yang memungkinkan pemahaman atas pengalaman yang tidak lepas dari bahasa dan tradisi7.


Dengan demikian, kritik terhadap metode fenomenologi justru telah mendorong pendekatan ini untuk berevolusi menjadi lebih terbuka, reflektif, dan sadar akan keterbatasannya. Fenomenologi kini tidak lagi dipahami sebagai metode tertutup dan solipsistik, melainkan sebagai suatu pendekatan yang terus dikembangkan dalam dialog kritis dengan tradisi-tradisi pemikiran lain.


Footnotes

[1]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 8–12; A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 121–125.

[2]                Theodor W. Adorno, Negative Dialectics, trans. E.B. Ashton (New York: Continuum, 1973), 52–57; Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 15–20.

[3]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 31–35.

[4]                Jacques Derrida, Speech and Phenomena and Other Essays on Husserl's Theory of Signs, trans. David B. Allison (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 53–58.

[5]                Zahavi, Dan. Phenomenology: The Basics (London: Routledge, 2019), 79–83.

[6]                Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 134–139.

[7]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 29–35; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 265–270.


7.           Relevansi dan Implikasi Kontemporer

Metode fenomenologi, meskipun berakar pada filsafat awal abad ke-20, tetap menunjukkan relevansi yang tinggi dalam konteks intelektual dan sosial kontemporer. Karakteristiknya yang reflektif, deskriptif, dan berorientasi pada pemaknaan subjektif memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan epistemologi, etika, metodologi penelitian, serta diskursus tentang teknologi dan keberadaan manusia di era digital. Fenomenologi kini tidak hanya menjadi milik para filsuf, tetapi juga dipakai secara luas dalam ranah interdisipliner sebagai kerangka untuk memahami kompleksitas pengalaman manusia dalam dunia yang terus berubah.

7.1.       Relevansi dalam Filsafat Kesadaran dan Studi Kognitif

Fenomenologi masih menjadi pendekatan penting dalam studi kontemporer tentang kesadaran (consciousness studies) dan filsafat pikiran. Tokoh seperti Shaun Gallagher dan Evan Thompson mengintegrasikan fenomenologi dengan temuan dalam ilmu saraf kognitif dan psikologi eksperimental untuk membentuk pendekatan neurofenomenologis1. Tujuannya adalah menjembatani kesenjangan antara pengalaman subyektif dan data neurobiologis dengan cara menggabungkan deskripsi fenomenologis dan pengukuran empiris dalam satu kerangka dialogis.

Dalam konteks ini, fenomenologi dipandang sebagai alat penting untuk mengatasi reduksionisme dalam ilmu kognitif yang cenderung mengabaikan dimensi pengalaman pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi fenomenologi tetap vital dalam upaya memahami hakikat kesadaran, tubuh, dan identitas diri di era sains modern.

7.2.       Kontribusi terhadap Etika dan Politik Kontemporer

Fenomenologi juga memainkan peran kunci dalam revitalisasi diskursus etika dan politik, terutama dalam konteks pluralisme dan perjumpaan antar-subjektif. Pemikiran Emmanuel Levinas dan Paul Ricoeur tetap menjadi inspirasi bagi pendekatan-pendekatan etis yang bersifat relasional dan dialogis di tengah krisis kemanusiaan global, seperti migrasi, ketimpangan, dan ekologi2.

Fenomenologi mendorong bentuk etika yang tidak berakar pada universalitas formal, melainkan pada pengalaman konkret akan kerentanan, perbedaan, dan keterpanggilan moral terhadap yang lain. Dalam politik, pendekatan fenomenologis mendorong kritik terhadap objektifikasi manusia dan menyerukan pentingnya mengakui dimensi pengalaman subjektif dalam kebijakan dan struktur sosial.

7.3.       Peran dalam Kajian Teknologi dan Kehidupan Digital

Di tengah dominasi teknologi digital, fenomenologi berkembang menjadi alat penting untuk memahami bagaimana teknologi mengubah struktur pengalaman manusia. Don Ihde, seorang tokoh utama dalam fenomenologi teknologi, menunjukkan bahwa alat-alat teknologi bukan hanya objek eksternal, tetapi media perpanjangan pengalaman yang membentuk cara manusia memahami dunia3.

Dalam konteks digital, pengalaman manusia dimediasi oleh antarmuka (interfaces), algoritma, dan representasi virtual yang membentuk horizon baru dalam persepsi dan tindakan. Fenomenologi membantu mengeksplorasi dinamika ini, termasuk alienasi digital, kehilangan kehadiran, dan perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Dengan demikian, fenomenologi memberi kontribusi penting dalam kajian posthumanism dan etika teknologi.

7.4.       Implikasi dalam Penelitian Kualitatif dan Ilmu Humaniora

Metode fenomenologis terus berkembang sebagai pendekatan utama dalam penelitian kualitatif di bidang pendidikan, psikologi, antropologi, dan studi budaya. Peneliti menggunakan fenomenologi untuk menggali makna terdalam dari pengalaman individu dalam konteks sosial dan historisnya.

Model penelitian seperti Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) yang dikembangkan oleh Jonathan A. Smith memungkinkan eksplorasi pengalaman subjektif secara sistematis, dengan tetap mempertahankan kekayaan deskriptif dan reflektif yang menjadi ciri khas fenomenologi4. Implikasi ini memperlihatkan bahwa fenomenologi mampu menjembatani antara pendekatan akademik dan keterlibatan humanistik yang bermakna.

7.5.       Signifikansi dalam Wacana Keberadaan dan Krisis Makna

Di tengah krisis makna dalam budaya kontemporer yang ditandai oleh fragmentasi identitas, individualisme, dan ketidakpastian eksistensial, fenomenologi hadir sebagai pendekatan yang berupaya memulihkan kedalaman makna dalam pengalaman hidup manusia. Dengan menekankan pada keterlibatan tubuh, dunia kehidupan (Lebenswelt), dan relasi dengan sesama, fenomenologi memberi ruang bagi refleksi eksistensial yang lebih otentik.

Fenomenologi kontemporer tidak hanya berbicara tentang apa yang ada, tetapi tentang bagaimana yang ada itu dimaknai. Dengan demikian, ia menjadi sangat relevan untuk generasi yang mencari pemahaman atas diri, makna, dan relasi dalam dunia yang penuh distorsi dan hiperrealitas.


Kesimpulan Sementara

Melalui kemampuannya untuk menjembatani subjektivitas dengan makna dunia yang lebih luas, fenomenologi telah membuktikan dirinya sebagai metode yang tidak hanya filosofis, tetapi juga praktis, kritis, dan transformatif. Di tengah tantangan zaman yang kompleks, metode ini tetap menjadi sarana penting dalam pencarian makna yang mendalam dan reflektif atas realitas manusia.


Footnotes

[1]                Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The Phenomenological Mind, 2nd ed. (London: Routledge, 2012), 12–17; Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 13–19.

[2]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–117; Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 125–128.

[3]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–49.

[4]                Jonathan A. Smith, Paul Flowers, and Michael Larkin, Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research (London: SAGE Publications, 2009), 3–8.


8.           Penutup

Metode fenomenologi telah membuktikan dirinya sebagai pendekatan filosofis yang tidak hanya relevan secara teoritis, tetapi juga bernilai praktis dan lintas disiplin dalam memahami pengalaman manusia secara mendalam. Dengan menempatkan kesadaran intensional sebagai titik tolaknya, fenomenologi menawarkan suatu jalan reflektif untuk menelusuri bagaimana makna muncul dalam pengalaman, bebas dari reduksi empiris maupun spekulasi metafisis yang tidak berdasar. Dari tahap epoché hingga deskripsi esensial dan pemaknaan intersubjektif, metode ini memberikan perangkat metodologis yang kuat bagi pencarian makna yang otentik dan kontekstual.

Secara historis, fenomenologi muncul sebagai respons terhadap kekakuan logisisme dan empirisme yang gagal menangkap nuansa eksistensial dari kehidupan manusia. Edmund Husserl, sebagai pelopornya, meletakkan dasar metodologis yang kemudian dikembangkan secara dinamis oleh pemikir-pemikir besar seperti Heidegger, Merleau-Ponty, dan Levinas. Masing-masing tokoh memperluas jangkauan fenomenologi, dari kesadaran murni menuju keberadaan, tubuh, etika, hingga relasi dengan sesama1.

Secara konseptual, fenomenologi memperkenalkan istilah-istilah krusial seperti intensionalitas, noesis–noema, reduksi eidetik, dan Lebenswelt, yang menjadi fondasi dalam menggali struktur pengalaman manusia secara deskriptif dan reflektif. Konsep-konsep tersebut menunjukkan bahwa pengalaman manusia tidak dapat direduksi hanya pada fakta-fakta objektif, melainkan harus dipahami sebagai gejala bermakna yang terletak dalam dunia kehidupan.

Dalam aplikasinya, fenomenologi menjelma menjadi alat pemahaman yang tangguh dalam berbagai disiplin ilmu: dari filsafat eksistensial dan etika relasional, hingga psikologi humanistik, pedagogi reflektif, sosiologi interpretatif, dan studi teknologi. Ia menjawab kebutuhan akan metode yang menghargai kekayaan makna subjektif, tanpa mengabaikan horizon sosial dan historis tempat makna itu terbit2.

Meskipun tidak lepas dari kritik—terutama yang datang dari filsafat analitik, teori kritis, strukturalisme, dan postmodernisme—fenomenologi telah memperkaya diskursus filsafat kontemporer dengan membuka kemungkinan bagi pendekatan transformatif dan lintas batas. Kritik tersebut justru mendorong evolusi metodologis dalam fenomenologi, seperti yang terlihat dalam pengembangan hermeneutika fenomenologis oleh Ricoeur dan keterbukaan terhadap dialog ilmiah dalam neurofenomenologi masa kini3.

Di tengah dunia yang semakin kompleks dan terdigitalisasi, fenomenologi tetap menawarkan suatu horizon pemahaman yang menekankan kehadiran, kedalaman pengalaman, dan makna yang muncul dalam relasi subjek dengan dunia dan sesama. Dalam situasi krisis spiritual, ekologis, dan sosial, pendekatan fenomenologis menghadirkan alternatif metodologis yang mampu merevitalisasi cara kita memandang diri, orang lain, dan dunia secara lebih manusiawi.

Dengan demikian, metode fenomenologi tidak hanya penting bagi pengembangan filsafat sebagai disiplin teoretis, tetapi juga esensial bagi pembentukan sikap reflektif dan etis dalam menghadapi realitas kontemporer yang terus berubah. Ia bukan sekadar alat berpikir, melainkan juga cara hidup yang menuntut kesadaran, tanggung jawab, dan keterbukaan terhadap makna yang selalu sedang terbentuk.


Footnotes

[1]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 7–12; Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 56–65.

[2]                Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an Action Sensitive Pedagogy (Albany: State University of New York Press, 1990), 9–14; Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–49.

[3]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 23–29; Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge, 2019), 95–101.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W. (1973). Negative dialectics (E. B. Ashton, Trans.). Continuum.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic (2nd ed.). Dover Publications.

Brentano, F. (1995). Psychology from an empirical standpoint (A. C. Rancurello, D. B. Terrell, & L. L. McAlister, Trans. & Eds.). Routledge. (Original work published 1874)

Derrida, J. (1973). Speech and phenomena, and other essays on Husserl’s theory of signs (D. B. Allison, Trans.). Northwestern University Press.

Gallagher, S., & Zahavi, D. (2012). The phenomenological mind (2nd ed.). Routledge.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology (C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Levinas, E. (1998). Otherwise than being or beyond essence (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.

Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.

Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness: An essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)

Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Northwestern University Press.

Smith, D. W. (2007). Husserl. Routledge.

Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative phenomenological analysis: Theory, method and research. SAGE Publications.

Thompson, E. (2007). Mind in life: Biology, phenomenology, and the sciences of mind. Harvard University Press.

van Manen, M. (1990). Researching lived experience: Human science for an action sensitive pedagogy. State University of New York Press.

Zahavi, D. (2003). Husserl’s phenomenology. Stanford University Press.

Zahavi, D. (2019). Phenomenology: The basics. Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar