Teologi Metafisik
Menelusuri Fondasi Ketuhanan dalam Perspektif Ontologis
dan Transenden
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif dimensi
teologi metafisik sebagai cabang filsafat yang membahas keberadaan Tuhan dalam
kerangka ontologis dan transenden. Dengan merujuk pada warisan intelektual dari
tradisi filsafat Islam, Kristen, dan Timur, kajian ini menelusuri konsep Tuhan
sebagai Ens Necessarium, actus purus, dan ipsum esse
subsistens. Berbagai argumen metafisik seperti argumentasi ontologis,
kosmologis, teleologis, dan moral dianalisis secara filosofis, serta dikaji
pula kritik-kritik kontemporer dari positivisme logis, eksistensialisme, dan
filsafat bahasa. Dalam kerangka reflektif, artikel ini menegaskan bahwa teologi
metafisik tetap relevan dalam diskursus filsafat modern sebagai fondasi
pemaknaan eksistensial, etika, dan spiritualitas rasional. Dengan
mengintegrasikan pendekatan rasional, religius, dan metafisik, artikel ini
memperlihatkan bahwa pencarian terhadap Tuhan tidak hanya bersifat religius,
tetapi juga merupakan ekspresi terdalam dari pencarian akan makna dan dasar
realitas.
Kata Kunci: Teologi metafisik, ontologi Ketuhanan, Ens
Necessarium, argumentasi rasional, transendensi, filsafat agama, realitas
tertinggi, eksistensi Tuhan.
PEMBAHASAN
Kajian Teologi Metafisik dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat, pertanyaan tentang eksistensi dan hakikat Tuhan menempati posisi
sentral yang tidak pernah kehilangan relevansi. Sejak era Yunani Kuno hingga
pemikiran kontemporer, upaya manusia untuk memahami realitas transenden
senantiasa bergumul dengan dimensi metafisik yang mendasari segala sesuatu.
Cabang filsafat yang secara khusus mengkaji aspek ini dikenal sebagai teologi
metafisik, yaitu bidang kajian yang mengeksplorasi keberadaan
Tuhan bukan semata dari sisi religius-doktrinal, tetapi dari sudut pandang
ontologis, kausal, dan rasional.
Teologi metafisik
berakar dari tradisi metafisika Aristotelian, terutama melalui konsep first
unmoved mover yang digunakan untuk menjelaskan keberadaan prinsip
pertama yang tak tergantung pada entitas lain.1 Pemikiran ini
kemudian diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf besar
seperti Plotinus, Ibn Sina, dan Thomas Aquinas yang melihat Tuhan sebagai Ens
Necessarium (wujud yang niscaya ada) serta actus
purus (aktus murni), yakni realitas yang sempurna, tidak berubah,
dan menjadi sumber dari segala eksistensi.2
Urgensi kajian
teologi metafisik dalam konteks kontemporer tidak semata-mata karena
relevansinya dalam menjawab pertanyaan mendasar tentang Tuhan, tetapi juga
karena kemampuannya menjembatani ketegangan antara iman dan rasio, antara agama
dan filsafat. Di tengah krisis makna akibat dominasi positivisme ilmiah dan
relativisme postmodern, kajian metafisik tentang Ketuhanan menjadi medan
filosofis yang vital untuk merekonstruksi fondasi ontologis dan etis manusia
modern.3
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara mendalam aspek-aspek utama dari teologi
metafisik, mencakup definisi konseptual, argumen rasional tentang eksistensi
Tuhan, posisi Tuhan dalam struktur realitas, serta kontribusi dan tantangan
dari berbagai tradisi filsafat besar, baik Barat maupun Timur. Kajian ini akan
berpijak pada sumber-sumber klasik dan kontemporer guna menyajikan pemahaman
yang integral tentang Tuhan sebagai prinsip realitas tertinggi.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago:
Encyclopedia Britannica, 1952), Book XII, 1072b.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3; Ibn
Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 270–274.
[3]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2007), 543–547; John Cottingham, The Spiritual Dimension:
Religion, Philosophy and Human Value (Cambridge: Cambridge University
Press, 2005), 34–36.
2.
Definisi
dan Ruang Lingkup Teologi Metafisik
Secara terminologis,
teologi
metafisik merupakan cabang filsafat yang membahas keberadaan,
esensi, dan atribut Tuhan sebagai Being (ada) tertinggi melalui
pendekatan metafisik, bukan semata melalui wahyu atau dogma religius. Dalam
ranah ini, Tuhan diposisikan sebagai prinsip ontologis pertama—causa
prima—yang menjelaskan tidak hanya asal-muasal segala sesuatu,
tetapi juga struktur realitas itu sendiri dalam kerangka keabadian, keesaan,
dan keniscayaan eksistensial.1
Teologi metafisik
berbeda dari teologi positif yang berpijak
pada wahyu ilahi, kitab suci, atau otoritas religius, serta dari teologi
naturalis yang menekankan pada argumen rasional berdasarkan
pengamatan terhadap alam semesta. Dalam pendekatan metafisik, Tuhan dikaji
sebagai entitas yang tidak dapat direduksi menjadi entitas empiris, melainkan
sebagai realitas paling fundamental yang melampaui ruang dan waktu—yang dalam
istilah skolastik disebut sebagai actus purus, yakni eksistensi murni
tanpa potensi dan tanpa kekurangan.2
Pembahasan dalam
teologi metafisik mencakup beberapa tema pokok:
1)
Keberadaan Tuhan
– Apakah Tuhan ada, dan jika ya, dalam bentuk apa eksistensinya dapat dipahami
secara nalar?
2)
Hakikat Tuhan
– Apa esensi Tuhan sebagai Wujud Absolut? Apakah Ia bersifat personal,
transenden, atau imanen?
3)
Atribut Tuhan
– Bagaimana konsep seperti keabadian, kemahakuasaan, kemahatahuan, dan
kesempurnaan dijelaskan secara ontologis?
4)
Relasi Tuhan dengan
dunia – Bagaimana hubungan antara Tuhan dan ciptaan dijelaskan
dalam kerangka kausalitas metafisik?
Tokoh-tokoh seperti
Plotinus, Ibn Sina, Mulla Sadra, dan Thomas Aquinas mengembangkan pendekatan
ini dengan cara yang khas. Plotinus dalam doktrin The One menempatkan prinsip mutlak
sebagai sumber emanasi segala realitas tanpa keterlibatan langsung dalam
ciptaan.3 Ibn Sina mengklasifikasikan eksistensi menjadi wajib
al-wujud (yang niscaya ada, yaitu Tuhan) dan mumkin
al-wujud (yang mungkin ada, yaitu ciptaan), menekankan
ketergantungan ontologis segala sesuatu pada Tuhan.4 Sementara itu,
Mulla Sadra memperkenalkan konsep ashalat al-wujud (keutamaan
eksistensi) untuk menegaskan bahwa realitas Tuhan merupakan puncak intensitas
eksistensi.5
Dari sisi ruang
lingkup, teologi metafisik tidak hanya berada dalam wilayah abstraksi
spekulatif, tetapi juga berkontribusi pada fondasi etika, antropologi
filosofis, dan kosmologi. Dengan demikian, kajian ini bukan sekadar
memperdebatkan eksistensi Tuhan secara rasional, tetapi juga menyusun kerangka
dasar bagi pemahaman manusia tentang makna hidup, tujuan eksistensial, dan
struktur nilai universal.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval
Philosophy (New York: Image Books, 1993), 173–175.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.1;
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 51–55.
[3]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London:
Penguin Classics, 1991), V.1.
[4]
Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr,
1985), 272–278.
[5]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfar al-Arba‘ah), ed. and trans. James W.
Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 88–92.
3.
Fondasi
Ontologis Konsep Ketuhanan
Teologi metafisik
memandang Tuhan sebagai realitas ontologis tertinggi dan prinsip pertama dari
segala sesuatu. Dalam kerangka ini, eksistensi Tuhan bukan sekadar entitas
kepercayaan religius, melainkan modus essendi (cara berada) yang
mutlak, niscaya, dan mendasari seluruh tatanan wujud. Ontologi Ketuhanan
menyelidiki hakikat “ada” (being) dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai Ens
Necessarium—yakni wujud yang keberadaannya tidak tergantung pada
apa pun selain diri-Nya sendiri, dan yang menjadi sebab ada bagi seluruh yang
lain.1
Gagasan tentang
Tuhan sebagai Being tertinggi dapat ditelusuri
kembali pada metafisika Aristoteles. Dalam Metaphysics, Aristotle menyebut
eksistensi entitas yang tidak bergerak namun menjadi penyebab gerak, yang
kemudian dikenal sebagai Unmoved Mover. Entitas ini tidak
bersifat material, tidak berubah, dan sepenuhnya aktual (aktus murni). Ia
menjadi asas bagi seluruh gerak dan perubahan dalam dunia, tetapi tidak
mengalami perubahan itu sendiri.2 Meskipun konsep ini belum
menyentuh Ketuhanan dalam pengertian agama Abrahamik, ia membuka jalan bagi
formulasi metafisik tentang prinsip realitas yang mutlak.
Dalam filsafat
Islam, Ibn Sina (Avicenna) mengembangkan argumentasi ontologis yang membedakan
antara wajib
al-wujud (yang niscaya ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin ada).
Segala yang kita temui di alam bersifat mungkin ada, sehingga keberadaannya
membutuhkan sebab eksternal. Sementara itu, Tuhan adalah satu-satunya entitas
yang eksistensinya bersifat niscaya dan menjadi sebab bagi yang lainnya tanpa
memiliki sebab atas dirinya sendiri.3 Pandangan ini ditegaskan lebih
lanjut dalam karya Al-Najat dan Al-Shifa’,
yang menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan merupakan dasar logis dan ontologis
bagi segala realitas.
Sementara itu, dalam
teologi skolastik, Thomas Aquinas mengembangkan konsep Tuhan sebagai actus
purus, yakni eksistensi murni tanpa potensi. Tuhan tidak memiliki
kekurangan, perubahan, atau aktualisasi bertahap karena Ia sudah sepenuhnya
aktual dan sempurna. Dengan demikian, Tuhan tidak termasuk dalam genus atau
kategori apapun yang ada; Ia melampaui semua kategori ontologis. Ia bukanlah “salah
satu” dari sekian banyak wujud, melainkan ipsum esse subsistens—eksistensi
itu sendiri yang berdiri sendiri.4 Dalam kerangka ini, Tuhan tidak
hanya ada, tetapi adalah keberadaan itu sendiri, sumber dari segala eksistensi
yang tergradasi dalam ciptaan.
Dalam pandangan
filsuf Muslim kontemporer seperti Mulla Sadra, konsep ashalat
al-wujud (keaslian eksistensi) menunjukkan bahwa hanya eksistensi
yang benar-benar nyata dan bersifat gradatif. Tuhan adalah puncak intensitas
eksistensi yang tidak bisa ditandingi oleh wujud lain. Eksistensi Tuhan bukan
hanya niscaya, tetapi juga paling sempurna dan mutlak.5 Konsep ini
memberi dasar bagi argumentasi tentang keesaan dan kesempurnaan Tuhan dari
perspektif ontologis dan transenden.
Dengan demikian,
fondasi ontologis konsep Ketuhanan dalam teologi metafisik tidak hanya
menegaskan eksistensi Tuhan secara logis dan rasional, tetapi juga menjelaskan
bahwa Tuhan adalah realitas paling mendasar, satu-satunya sumber eksistensi,
dan pusat dari seluruh struktur ontologis semesta. Pemahaman ini membentuk
basis bagi argumen-argumen metafisik berikutnya mengenai sifat-sifat Tuhan,
hubungan-Nya dengan dunia, dan peran-Nya dalam kosmos.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 74–77.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago:
Encyclopedia Britannica, 1952), Book XII, 1072a–1073a.
[3]
Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr,
1985), 270–278; Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 93–96.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.1–2;
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 55–58.
[5]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfar al-Arba‘ah), ed. and trans. James W.
Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 88–92.
4.
Argumen
Metafisik tentang Eksistensi Tuhan
Salah satu
kontribusi utama teologi metafisik adalah pengembangan argumen rasional yang
menegaskan keberadaan Tuhan sebagai prinsip ontologis tertinggi. Dalam tradisi
filsafat, terdapat beberapa jenis argumen metafisik yang dibangun berdasarkan
prinsip kausalitas, esensialitas, dan struktur logis eksistensi. Masing-masing
menawarkan pendekatan yang berbeda, namun seluruhnya berpijak pada kesadaran
akan keberadaan realitas dan keterbatasan wujud-wujud kontingen.
4.1.
Argumen Ontologis
Argumen ontologis
dikembangkan pertama kali oleh Anselmus dari Canterbury dalam Proslogion
(1078), yang menyatakan bahwa Tuhan adalah "sesuatu yang di mana tidak
ada yang lebih besar dapat dipikirkan" (that than which nothing greater can be
conceived). Jika Tuhan hanya ada dalam pikiran, maka kita dapat
membayangkan sesuatu yang lebih besar, yaitu Tuhan yang juga ada dalam
kenyataan—maka secara logis, Tuhan harus ada dalam kenyataan itu sendiri.1
René Descartes
kemudian memperkuat argumen ini dalam Meditations on First Philosophy,
dengan menyatakan bahwa eksistensi merupakan bagian tak terpisahkan dari esensi
Tuhan, sebagaimana bilangan tiga tak dapat dipisahkan dari sifat genapnya
sudut-sudut segitiga.2 Meskipun argumen ini
banyak dikritik, terutama oleh Immanuel Kant yang membantah bahwa eksistensi
adalah predikat, argumen ontologis tetap menjadi bagian penting dalam
perdebatan metafisik tentang eksistensi Tuhan.3
4.2.
Argumen Kosmologis
Argumen kosmologis
berangkat dari kenyataan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki
sebab. Karena rantai sebab-akibat tidak bisa berlanjut tanpa akhir, maka harus
ada penyebab pertama yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan. Thomas Aquinas dalam Summa
Theologiae merumuskan lima jalan (quinque viae), dua di antaranya
adalah argumen dari gerak (ex motu) dan dari sebab (ex causa),
yang menuntun kepada keberadaan Tuhan sebagai causa prima dan motor
immobile.4
Dalam tradisi Islam,
Al-Kindi dan Al-Ghazali merumuskan bentuk awal dari kalam cosmological argument, yang
menyatakan bahwa:
1)
Segala yang bermula pasti memiliki
sebab;
2)
Alam semesta bermula;
3)
Maka, alam semesta memiliki sebab:
yaitu Tuhan.5
Argumen ini diperbaharui oleh William Lane Craig
dalam karya modernnya The Kalam Cosmological Argument, yang menegaskan
bahwa sebab bagi munculnya alam harus bersifat immaterial, atemporal, dan
personal.6
4.3.
Argumen Teleologis
Argumen teleologis
atau argumentasi dari keteraturan menyatakan bahwa desain yang teratur dan
kompleks di alam semesta menunjukkan adanya perancang cerdas. Dalam Summa
Theologiae, Aquinas mengutip bahwa entitas yang tidak memiliki
kesadaran tidak bisa bertindak menuju tujuan kecuali diarahkan oleh suatu
kecerdasan.7
Meski tantangan
muncul dari teori evolusi dan penjelasan ilmiah atas kompleksitas hayati, tokoh
seperti Richard Swinburne dan Alvin Plantinga mengembangkan versi argumen ini
dalam kerangka probabilistik dan teori desain cerdas yang konsisten dengan
metafisika teistik.8
4.4.
Argumen Moral
Argumen ini
dikembangkan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Practical Reason, yang
menyatakan bahwa keberadaan moralitas dan kewajiban etis secara objektif
menunjukkan perlunya keberadaan Tuhan sebagai sumber hukum moral dan sebagai
jaminan keharmonisan antara kebajikan dan kebahagiaan.9
Argumen ini tidak
membuktikan Tuhan secara spekulatif, namun menyatakan bahwa postulat eksistensi
Tuhan dibutuhkan agar moralitas manusia rasional dan konsisten.
Dengan demikian,
argumen-argumen metafisik tentang eksistensi Tuhan tidak berdiri sendiri
sebagai spekulasi abstrak, melainkan berakar pada pengalaman manusia akan dunia
dan refleksi filosofis tentang struktur realitas. Kajian-kajian ini
memperlihatkan bahwa Tuhan bukan hanya diperlukan untuk menjelaskan “kenapa”
sesuatu ada, tetapi juga sebagai fondasi bagi keteraturan, makna, dan moralitas
dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 8–10.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation V.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A598/B626.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3, trans. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[5]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Incoherence of the
Philosophers), trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University
Press, 2000), 141–143.
[6]
William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London:
Macmillan, 1979), 63–72.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3.
[8]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford:
Clarendon Press, 2004), 133–145; Alvin Plantinga, Where the Conflict Really
Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press,
2011), 269–275.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 124–129.
5.
Tuhan
sebagai Realitas Tertinggi dalam Sistem Metafisika
Dalam sistem
metafisika, Tuhan diposisikan bukan hanya sebagai entitas tertinggi, tetapi
sebagai realitas
tertinggi (supreme reality) yang tidak hanya menjadi sebab pertama
(causa
prima) dari segala sesuatu, melainkan juga sebagai asas dan tujuan
akhir (telos)
seluruh eksistensi. Pemikiran ini menyatakan bahwa seluruh struktur realitas
bergantung ontologis pada Tuhan, dan bahwa segala yang ada memperoleh makna,
keberadaan, serta keterarahannya dari eksistensi Tuhan yang mutlak.
5.1.
Tuhan sebagai
Prinsip Pertama dan Final
Sejak Aristoteles,
konsep Tuhan sebagai Unmoved Mover menyatakan bahwa di
balik seluruh gerakan dan perubahan di alam semesta, pasti ada entitas yang
tidak digerakkan oleh apapun, namun menjadi penyebab gerak bagi yang lain.
Entitas ini tidak bersifat material dan tidak dapat berubah, karena segala
perubahan menunjukkan kekurangan atau potensi yang belum terealisasi—sementara
Tuhan, sebagai actus purus, adalah wujud yang
sepenuhnya aktual dan sempurna.1
Thomas Aquinas
memperdalam konsep ini dalam Summa Theologiae, dengan
menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya prima causa dalam urutan kausalitas
efisien, tetapi juga causa finalis dalam tujuan
keberadaan segala sesuatu. Semua makhluk secara natural mengarah kepada
kebaikan tertinggi, dan Tuhan adalah kebaikan itu sendiri (ipsum
bonum), sehingga seluruh eksistensi pada hakikatnya bersifat
teleologis dan teosentris.2
5.2.
Tuhan sebagai Ipsum
Esse Subsistens
Dalam sistem
metafisika skolastik, Tuhan tidak dikategorikan sebagai “salah satu dari
banyak wujud” (ens), tetapi sebagai ipsum esse subsistens—yakni
eksistensi itu sendiri yang berdiri secara mandiri dan tidak bergantung pada
wujud lain. Sementara makhluk-makhluk lain memiliki eksistensi (esse),
Tuhan adalah
eksistensi itu sendiri. Dengan demikian, Tuhan bukan hanya satu di antara
banyak realitas, melainkan dasar dari seluruh realitas.3
Etienne Gilson
menegaskan bahwa pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam makhluk menjadi
petunjuk bahwa hanya dalam Tuhan esensi dan eksistensi menyatu secara identik.
Oleh karena itu, Tuhan menjadi dasar ontologis dari seluruh hirarki wujud, yang
ditandai dengan gradasi keberadaan (gradationem in entibus)—dari
wujud-wujud lemah hingga wujud yang paling sempurna dan mutlak.4
5.3.
Hirarki Ontologis
dan Partisipasi Wujud
Dalam tradisi
Neoplatonik, terutama melalui Plotinus, Tuhan dipahami sebagai The One—sumber
tunggal dari seluruh realitas yang memancar (emanasi) ke dalam
tingkatan-tingkatan eksistensi. Realitas yang lebih rendah tidak memiliki
eksistensi mandiri, melainkan hanya dalam partisipasinya kepada The One.
Hal ini menegaskan bahwa segala sesuatu bergantung secara ontologis pada Tuhan,
tidak hanya dalam penciptaannya, tetapi juga dalam kelangsungan eksistensinya.5
Mulla Sadra, dalam
filsafat hikmah muta‘aliyah, juga menyusun model ontologi gradasional di mana
Tuhan sebagai wujud paling sempurna menjadi
puncak dari hirarki eksistensial. Segala yang ada merupakan manifestasi
bertingkat dari eksistensi Tuhan yang mutlak, dan melalui tajalli
(penampakan ilahi), seluruh realitas menunjukkan keterarahannya kepada Yang
Maha Wujud.6
5.4.
Transendensi dan
Immanensi Tuhan
Dalam teologi
metafisik, transendensi dan immanensi Tuhan bukanlah dua konsep yang
kontradiktif, melainkan koheren secara ontologis. Tuhan bersifat transenden
karena Ia melampaui kategori-kategori makhluk dan tidak dapat dibatasi oleh
ruang dan waktu. Namun Ia juga imanen, dalam arti bahwa eksistensi Tuhan
menopang segala sesuatu, dan tanpa-Nya, segala sesuatu tidak dapat eksis bahkan
dalam sekejap. Seperti ditegaskan oleh Augustinus, “Tuhan lebih dekat kepada
kita daripada diri kita sendiri.”7
Dengan demikian,
dalam sistem metafisika, Tuhan bukan sekadar "ada", tetapi
merupakan sumber dari "adanya" itu sendiri. Ia adalah realitas
paling fundamental yang menjadi fondasi dari struktur kosmos, arah dari gerak
moral dan intelektual manusia, serta pusat dari semua partisipasi ontologis.
Dalam kerangka ini, memahami Tuhan bukan hanya memahami Sang Pencipta, tetapi
juga memahami dasar-dasar realitas dan eksistensi itu sendiri.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago:
Encyclopedia Britannica, 1952), Book XII, 1072a–1073a.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3; I, q.44, a.4,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[3]
Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 52–54.
[4]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 75–78.
[5]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London:
Penguin Classics, 1991), V.1.
[6]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect, ed. and trans. James W. Morris (Tehran: SIPRIn, 2002),
89–92.
[7]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1998), Book III, Ch.6.
6.
Teologi
Metafisik dalam Tradisi Islam, Kristen, dan Filsafat Timur
Teologi metafisik
tidak terbatas pada tradisi filsafat Barat atau Islam, melainkan hadir dalam
berbagai peradaban yang berusaha menjelaskan hakikat Ketuhanan dalam kerangka
ontologis dan rasional. Meskipun pendekatannya berbeda-beda, seluruh tradisi
ini memiliki kesamaan dalam mengakui Tuhan (atau realitas absolut) sebagai
dasar keberadaan dan sumber segala realitas. Kajian ini mengkaji tiga lensa
utama: Islam, Kristen, dan filsafat Timur.
6.1.
Tradisi Islam:
Ketuhanan sebagai Wujud Niscaya dan Puncak Eksistensi
Dalam filsafat
Islam, teologi metafisik memperoleh bentuk sistematik sejak masa Ibn Sina
(Avicenna), yang membedakan antara wujud niscaya (wajib
al-wujud) dan wujud mungkin (mumkin
al-wujud). Tuhan adalah satu-satunya wujud yang keberadaannya tidak
tergantung kepada sebab eksternal, dan karena itu menjadi sumber eksistensi
segala yang lain.1 Konsep ini menandai upaya
awal untuk mengintegrasikan ontologi Aristotelian dan Neoplatonik ke dalam
teologi Islam.
Al-Ghazali, meskipun
mengkritik metafisika Yunani, tetap menerima argumen bahwa segala sesuatu yang
bermula pasti memiliki sebab. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menolak
keabadian alam dan menegaskan penciptaan oleh Tuhan sebagai Wujud Yang Maha
Bebas dan Maha Berkehendak.2
Pemikiran ini
mengalami kulminasi dalam filsafat Mulla Sadra (w. 1640) yang merumuskan
doktrin ashālat
al-wujūd (keaslian eksistensi) dan tasykīk al-wujūd (gradasi
eksistensi). Menurut Sadra, Tuhan adalah eksistensi mutlak yang tak terbatas,
sedangkan realitas-realitas lain hanyalah manifestasi bertingkat dari wujud
ilahi yang sama.3 Teologi metafisik Sadra
menampilkan sintesis antara rasionalisme, mistisisme, dan wahyu.
6.2.
Tradisi Kristen: Tuhan
sebagai Ipsum Esse Subsistens dan Prima Causa
Dalam tradisi
Kristen, teologi metafisik berkembang melalui pemikiran para Bapa Gereja dan
filsuf skolastik. Augustinus (w. 430) menekankan bahwa Tuhan adalah kebenaran
dan keberadaan tertinggi, yang lebih mendalam daripada segala bentuk
pengetahuan manusia. Ia mengaitkan eksistensi Tuhan dengan prinsip rasionalitas
internal manusia yang tidak dapat disangkal, sehingga epistemologi dan ontologi
berakar pada Ketuhanan.4
Puncak pemikiran ini
ditemukan dalam karya Thomas Aquinas, yang menyatakan bahwa Tuhan adalah ipsum
esse subsistens—eksistensi itu sendiri yang berdiri sendiri. Tuhan
tidak termasuk dalam kategori apapun; Ia adalah sumber segala bentuk dan
substansi, dan tidak memiliki perbedaan antara esensi dan eksistensi
sebagaimana makhluk ciptaan.5 Lima jalan Aquinas (quinque
viae) adalah bukti utama argumen metafisiknya, yang mengarah pada
eksistensi Tuhan sebagai sebab pertama, aktus murni, dan tujuan akhir dari
segala sesuatu.
Selain itu, dalam mistik
Kristen, terutama pada Meister Eckhart dan Pseudo-Dionysius, Tuhan dipahami
sebagai super-essence
(melampaui esensi), yang hanya dapat didekati melalui negasi dan pengosongan
diri (via negativa). Pendekatan ini tetap metafisik karena mencoba melampaui
kategori-kategori empiris demi menangkap realitas yang transenden dan mutlak.6
6.3.
Filsafat Timur:
Realitas Absolut sebagai Prinsip Ontologis
Dalam filsafat
Hindu, terutama dalam ajaran Vedanta Advaita yang
dikembangkan oleh Shankara (w. 820), Brahman dipahami sebagai realitas
tertinggi yang tidak berubah, tidak terbatas, dan menjadi dasar dari seluruh
fenomena. Brahman bukan sekadar “ada”, tetapi adalah kesadaran
murni yang tak tergoyahkan—tanpa dualitas dan tanpa atribut
(nirguna Brahman). Segala fenomena di dunia adalah maya (ilusi) yang menyelubungi
kebenaran ontologis Brahman.7
Dalam konteks
Buddhis, khususnya dalam aliran Madhyamaka yang dirumuskan oleh
Nagarjuna, tidak ada esensi tetap (svabhava) yang dimiliki oleh segala
sesuatu. Konsep śūnyatā (kekosongan) tidak merujuk
pada nihilisme, melainkan menolak kemandirian eksistensial. Walaupun Buddhisme
tidak berbicara tentang “Tuhan” secara teistik, ia tetap menampilkan
kerangka metafisik yang mendalam mengenai realitas, dengan śūnyatā
sebagai prinsip universal keterkaitan dan ketergantungan ontologis.8
Kesimpulan Bagian
Ketiga tradisi ini
menunjukkan bahwa pencarian terhadap realitas tertinggi melalui jalan
metafisika bukanlah monopoli satu agama atau filsafat tertentu. Baik dalam
konsep wajib
al-wujud, ipsum esse, Brahman,
maupun śūnyatā,
kita menemukan keinginan mendalam manusia untuk memahami dasar terdalam dari
eksistensi. Meskipun ekspresinya berbeda, seluruh sistem ini bersatu dalam
upaya metafisik untuk melacak sumber yang tak tersentuh oleh perubahan,
kekurangan, dan keterbatasan, serta menjadi fondasi bagi segala realitas yang
ada.
Footnotes
[1]
Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr,
1985), 270–278; Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 93–96.
[2]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers (Tahāfut
al-Falāsifah), trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University
Press, 2000), 141–143.
[3]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (Al-Asfār al-Arba‘ah), trans. James W. Morris (Tehran:
SIPRIn, 2002), 88–95.
[4]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1998), Book X, Ch. 25.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1–2; De Ente
et Essentia, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of
Mediaeval Studies, 1968), 50–54.
[6]
Pseudo-Dionysius, The Divine Names, trans. Colm Luibheid (New
York: Paulist Press, 1987), 137–140.
[7]
Shankara, Brahma Sutra Bhasya, trans. Swami Gambhirananda
(Calcutta: Advaita Ashrama, 1965), I.1.4.
[8]
Nagarjuna, Mūlamadhyamakakārikā, trans. Jay L. Garfield, The
Fundamental Wisdom of the Middle Way (New York: Oxford University Press,
1995), 24–26.
7.
Kritik
Kontemporer terhadap Teologi Metafisik
Meskipun teologi
metafisik telah menjadi bagian integral dari tradisi intelektual Barat, Islam,
dan Timur, pendekatan ini tidak luput dari kritik, terutama dalam konteks
pemikiran modern dan kontemporer. Kritik-kritik ini datang dari berbagai arah:
positivisme logis, empirisisme sains, eksistensialisme, serta pendekatan
filsafat analitik dan bahasa. Kritik terhadap teologi metafisik tidak hanya
mempertanyakan validitas argumen metafisik tentang Tuhan, tetapi juga menyoroti
keterbatasan epistemologis dan bahasa dalam membicarakan realitas transenden.
7.1.
Kritik Positivisme
Logis dan Ilmu Empiris
Gerakan positivisme
logis yang berkembang pada awal abad ke-20, terutama melalui
Lingkaran Wina (Vienna Circle), menolak semua pernyataan metafisis sebagai
tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Menurut tokoh
seperti A.J. Ayer, pernyataan seperti “Tuhan itu ada” atau “Tuhan
adalah wujud niscaya” tidak dapat diuji secara empiris dan karenanya
bersifat nonsens (meaningless).1 Dalam Language,
Truth and Logic, Ayer menegaskan bahwa hanya dua jenis proposisi
yang bermakna: yang empiris dan yang logis-matematis; segala bentuk pernyataan
metafisik—termasuk teologi metafisik—harus ditolak.
Kritik ini sejalan
dengan pandangan naturalistik, yang berpendapat
bahwa seluruh realitas dapat dijelaskan melalui hukum-hukum alam tanpa perlu
menyertakan entitas transenden. Tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins dalam The God
Delusion menganggap bahwa keberadaan Tuhan adalah hipotesis ilmiah
yang tidak didukung oleh bukti empiris, dan bahwa teologi metafisik mengaburkan
batas antara mitos dan fakta.2
7.2.
Kritik Filsafat
Bahasa dan Ketidakjelasan Konseptual
Pendekatan filsafat
bahasa juga memberikan kritik tajam terhadap teologi metafisik.
Ludwig Wittgenstein, dalam Tractatus Logico-Philosophicus,
menyatakan bahwa "tentang apa yang tidak dapat dibicarakan, kita harus
diam" (Wovon man nicht sprechen kann, darüber muss man
schweigen).3 Artinya, bahasa memiliki
batas-batas logis yang tidak dapat menembus wilayah metafisika atau Ketuhanan;
pembicaraan tentang Tuhan berada di luar kemampuan struktur bahasa yang
bermakna.
Kritik ini diperkuat
oleh tokoh-tokoh seperti Antony Flew, yang menilai bahwa pernyataan teistik
sering kali imun terhadap falsifikasi—yakni
tidak terbuka terhadap kemungkinan dibuktikan salah. Dalam debat filsafat
agama, Flew berargumen bahwa jika tidak ada keadaan apapun yang dapat
membuktikan ketidakbenaran pernyataan “Tuhan itu ada,” maka pernyataan
tersebut menjadi kosong dari makna faktual.4
7.3.
Kritik
Eksistensialis: Ketuhanan sebagai Masalah Keberadaan, Bukan Esensi
Kaum eksistensialis
seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre tidak secara langsung menolak
eksistensi Tuhan, tetapi mengkritik cara teologi metafisik mendekati Tuhan
melalui konsep-konsep universal dan logika spekulatif. Kierkegaard menolak
"sistem" Hegelian dan menekankan bahwa hubungan dengan Tuhan
bersifat eksistensial, personal, dan paradoksikal—bukan sesuatu yang dapat
didekati melalui argumen rasional.5 Sartre, di
sisi lain, menolak keberadaan Tuhan karena menurutnya keberadaan mendahului
esensi; dan dalam ketiadaan Tuhan, manusia bertanggung jawab secara penuh atas
penciptaan makna hidupnya sendiri.6
7.4.
Respons Filsafat
Analitik Agama
Meskipun teologi
metafisik dikritik secara tajam, beberapa tokoh filsafat analitik agama
berusaha merehabilitasi dan merumuskan ulang argumen-argumen metafisik dengan
pendekatan logika formal dan epistemologi modern. Alvin Plantinga, misalnya,
membela kebermaknaan klaim teistik melalui epistemologi reformed
epistemology, yang menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan bisa
bersifat properly
basic (mendasar secara rasional) tanpa membutuhkan pembuktian
formal.7
Richard Swinburne
juga membela argumen-argumen metafisik tentang Tuhan dengan pendekatan
probabilistik. Ia menunjukkan bahwa meskipun argumen seperti kosmologis dan
teleologis tidak membuktikan Tuhan secara mutlak, tetapi secara kumulatif
meningkatkan probabilitas keberadaan Tuhan sebagai penjelasan terbaik terhadap
kosmos.8
Kesimpulan Bagian
Kritik kontemporer
terhadap teologi metafisik mencerminkan dinamika dan ketegangan antara
rasionalitas metafisik dan tuntutan empiris serta eksistensial zaman modern.
Meskipun kritik-kritik tersebut menantang validitas dan relevansi pendekatan
metafisik terhadap Ketuhanan, mereka sekaligus mendorong refleksi yang lebih
mendalam, kreatif, dan kritis dalam merumuskan ulang hubungan antara iman,
akal, dan realitas transenden dalam horizon filsafat masa kini.
Footnotes
[1]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 115–118.
[2]
Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin,
2006), 31–34.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), §7.
[4]
Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in
Philosophical Theology, eds. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London:
SCM Press, 1955), 96–99.
[5]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the
Philosophical Crumbs, trans. David F. Swenson (Princeton: Princeton
University Press, 1941), 189–194.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20–23.
[7]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 170–185.
[8]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford:
Clarendon Press, 2004), 133–156.
8.
Relevansi
Teologi Metafisik dalam Diskursus Filsafat Modern
Di tengah dinamika
filsafat kontemporer yang ditandai oleh pluralisme metodologis, relativisme
nilai, dan dominasi rasionalitas instrumental, teologi metafisik tetap memiliki
relevansi signifikan. Ia tidak hanya mempertahankan tradisi klasik tentang
refleksi terhadap Tuhan sebagai realitas tertinggi, tetapi juga menanggapi
kegelisahan intelektual dan spiritual zaman modern dalam bentuk yang baru,
interdisipliner, dan terbuka. Relevansi ini terwujud dalam beberapa dimensi
utama: epistemologis, eksistensial, etis, serta dialog antara ilmu dan agama.
8.1.
Pemulihan Makna
dalam Era Sekular
Filsuf Charles
Taylor dalam A Secular Age menjelaskan bahwa
modernitas tidak menghapus religiositas, tetapi membentuk horizon pemahaman
baru di mana kepercayaan kepada Tuhan menjadi salah satu pilihan dalam “kondisi
iman” yang plural dan reflektif.1 Dalam
konteks ini, teologi metafisik menjadi ruang di mana Tuhan tidak lagi
dibayangkan sebagai dogma statis, tetapi sebagai horizon metafisik bagi
pencarian makna terdalam manusia. Ia memungkinkan pemahaman terhadap eksistensi
yang melampaui reduksionisme materialistik yang sering kali mendominasi
pemikiran modern.
8.2.
Jembatan antara
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Dalam era kemajuan
sains dan teknologi, teologi metafisik menawarkan pendekatan sintesis antara
keyakinan dan penalaran ilmiah. John Polkinghorne, fisikawan sekaligus teolog,
menunjukkan bahwa refleksi metafisik atas realitas dapat berjalan seiring
dengan eksplorasi ilmiah tentang kosmos. Menurutnya, struktur rasional alam
semesta dan keteraturan kosmik memberikan dasar kuat bagi postulat Tuhan
sebagai sumber dan penjamin keteraturan tersebut.2 Ini
memperlihatkan bahwa teologi metafisik bukanlah penghalang bagi ilmu, melainkan
kerangka reflektif yang memperluas ruang makna ilmiah menuju horizon
transenden.
8.3.
Kontribusi terhadap
Etika dan Humanisme
Teologi metafisik
juga relevan dalam menyusun fondasi etika dan nilai-nilai universal dalam dunia
yang semakin terfragmentasi. Dengan mendasarkan nilai moral pada realitas ilahi
yang mutlak dan sempurna, ia memberikan dasar ontologis bagi norma-norma etis
yang tidak sekadar bersifat subjektif atau relativistik. Emmanuel Levinas,
meskipun tidak metafisik dalam pengertian tradisional, menunjukkan bahwa
hubungan etis dengan “Yang Tak Terhingga” (le Tout-Autre) adalah
dasar kebermaknaan hubungan antar-manusia.3
Dengan demikian,
teologi metafisik memperluas cakrawala etika, dari semata-mata kalkulasi
utilitarian menuju orientasi transenden terhadap Yang Maha Baik, sebagaimana
ditegaskan oleh Plato maupun Aquinas.
8.4.
Revitalisasi
Spiritualitas Rasional
Di tengah
kebangkitan spiritualitas noninstitusional dan pencarian eksistensial
kontemporer, teologi metafisik menawarkan spiritualitas yang berbasis
rasionalitas dan kedalaman ontologis. Tokoh seperti John Cottingham menyatakan
bahwa pendekatan metafisik terhadap Tuhan tidak bertentangan dengan pengalaman
religius, melainkan memperdalamnya dengan memberikan kerangka filosofis yang
koheren dan reflektif.4 Dalam konteks ini, teologi
metafisik menjadi ruang pertemuan antara iman dan filsafat, antara pencarian
akan Tuhan dan kehendak untuk memahami eksistensi secara utuh.
8.5.
Relevansi dalam
Diskursus Lintas Agama dan Budaya
Dalam dunia yang
plural, teologi metafisik juga berperan sebagai medium dialog lintas tradisi.
Konsep tentang realitas tertinggi, meskipun berbeda istilah dan ekspresi,
terdapat dalam berbagai agama besar. Pendekatan metafisik memungkinkan
diskursus lintas agama yang tidak bersifat apologetik, melainkan eksploratif
dan komparatif—sebagaimana tercermin dalam karya Huston Smith dan Seyyed
Hossein Nasr, yang menekankan pentingnya “filsafat perenial” (philosophia
perennis) sebagai fondasi spiritual bersama umat manusia.5
Kesimpulan Bagian
Teologi metafisik
tetap relevan dalam filsafat modern karena ia menyediakan jawaban filosofis
yang dalam terhadap pertanyaan eksistensial, etis, dan spiritual yang tidak
bisa dijawab sepenuhnya oleh sains atau nihilisme sekuler. Ia membuka horizon
berpikir yang mengaitkan antara akal dan iman, antara realitas empiris dan
transendensi, serta antara manusia dan sumber keberadaannya. Dalam konteks
dunia kontemporer yang dilanda krisis makna dan orientasi, teologi metafisik
bukan warisan masa lalu, tetapi tawaran reflektif untuk masa depan.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2007), 3–5; 543–547.
[2]
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(Minneapolis: Fortress Press, 1998), 55–60.
[3]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–35.
[4]
John Cottingham, The Spiritual Dimension: Religion, Philosophy, and
Human Value (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 12–19.
[5]
Huston Smith, The World's Religions (San Francisco: HarperOne,
2009), 387–392; Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and
Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007),
41–45.
9.
Simpulan
dan Refleksi Filosofis
Teologi metafisik,
sebagai cabang filsafat yang menyelidiki Tuhan dari sudut pandang ontologis dan
transenden, telah menunjukkan peran vital dalam membentuk horizon pemikiran
metafisik klasik dan kontemporer. Melalui analisis terhadap konsep Ens
Necessarium, actus purus, dan ipsum
esse subsistens, berbagai tradisi filsafat besar—baik Islam,
Kristen, maupun Timur—telah menyepakati bahwa Tuhan merupakan realitas
tertinggi yang menjadi dasar dari segala eksistensi.
Kajian ini
menegaskan bahwa pemahaman rasional tentang Tuhan bukanlah bentuk reduksi
spiritualitas menjadi spekulasi, melainkan usaha untuk mengintegrasikan nalar,
iman, dan pengalaman eksistensial dalam satu horizon reflektif. Dalam kerangka
metafisik, Tuhan tidak semata-mata diasumsikan sebagai makhluk supranatural,
melainkan sebagai fondasi mutlak dari ada itu sendiri (being-itself),
yang melampaui ruang, waktu, dan kausalitas—sebagaimana dirumuskan oleh
Aquinas, Ibn Sina, dan Sadra.1
Secara filosofis,
refleksi tentang Tuhan dalam teologi metafisik juga memperlihatkan bahwa
keterbatasan akal manusia bukan menjadi halangan mutlak, melainkan titik tolak
untuk memperluas horizon pengertian tentang realitas transenden. Seperti
dikatakan oleh Etienne Gilson, metafisika bukanlah pengganti iman, melainkan “upaya
akal budi untuk memahami sedalam mungkin dasar-dasar wujud yang juga
disingkapkan dalam wahyu.”2 Dengan demikian, ketegangan antara
iman dan rasio bukanlah pertentangan, melainkan dinamika dialektis yang
memperkaya pemahaman manusia terhadap Tuhan dan realitas.
Kritik-kritik
terhadap teologi metafisik dari berbagai aliran modern seperti positivisme
logis, eksistensialisme, dan filsafat bahasa telah memberikan tantangan yang
produktif. Kritik ini menuntut pembaruan metodologis dan epistemologis agar
wacana teologi tidak jatuh dalam dogmatisme atau spekulasi kosong. Namun
demikian, kebangkitan filsafat analitik agama dan pendekatan lintas disiplin
pada abad ke-21 memperlihatkan bahwa refleksi metafisik tentang Tuhan tetap
hidup dan berkembang dalam horizon baru yang lebih inklusif dan dialogis.3
Teologi metafisik juga
berkontribusi penting dalam membangun fondasi etika, spiritualitas rasional,
serta dialog antaragama yang mengakar pada pemahaman mendalam tentang realitas
tertinggi. Dalam dunia yang dilanda relativisme dan krisis makna, teologi
metafisik menyediakan ruang bagi manusia untuk kembali mempertanyakan bukan
hanya bagaimana dunia bekerja, tetapi mengapa dan untuk
apa ia ada.
Refleksi filosofis
akhir yang dapat ditarik dari kajian ini adalah bahwa Tuhan sebagai realitas
metafisik tertinggi bukanlah objek yang dapat dikuasai oleh konsep manusiawi,
melainkan horizon pemaknaan yang terus-menerus melampaui, menggugah, dan
mengarahkan eksistensi manusia. Dalam pengertian ini, pencarian akan Tuhan
bukanlah sekadar pencarian atas kebenaran metafisik, tetapi juga pencarian atas
kebenaran eksistensial dan spiritual yang paling dalam.
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1–2; Ibn Sina, Al-Najat,
ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 270–278; Mulla Sadra, The
Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans.
James W. Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 88–92.
[2]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 112–115.
[3]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 170–185; John Cottingham, The Spiritual Dimension:
Religion, Philosophy, and Human Value (Cambridge: Cambridge University
Press, 2005), 19–22.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.
Aquinas, T. (1968). De ente et essentia (A.
Maurer, Trans.). Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Augustine. (1998). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
New York: Dover Publications.
Craig, W. L. (1979). The Kalam cosmological
argument. London: Macmillan.
Cottingham, J. (2005). The spiritual dimension:
Religion, philosophy, and human value. Cambridge: Cambridge University
Press.
Dawkins, R. (2006). The God delusion.
Boston: Houghton Mifflin.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Flew, A. (1955). Theology and falsification. In A.
Flew & A. MacIntyre (Eds.), New essays in philosophical theology
(pp. 96–99). London: SCM Press.
Garfield, J. L. (Trans.). (1995). The
fundamental wisdom of the middle way: Nāgārjuna’s Mūlamadhyamakakārikā. New
York: Oxford University Press.
Gilson, E. (1952). Being and some philosophers.
Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gilson, E. (1994). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Ibn Sina. (1985). Al-Najat (M. Fakhry, Ed.).
Beirut: Dar al-Fikr.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific
postscript to the philosophical crumbs (D. F. Swenson, Trans.). Princeton:
Princeton University Press.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University
Press.
Mulla Sadra. (2002). The transcendent philosophy
of the four journeys of the intellect (al-Asfar al-Arba‘ah) (J. W. Morris,
Ed. & Trans.). Tehran: SIPRIn.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York:
HarperOne.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford: Oxford University Press.
Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). London: Penguin Classics.
Polkinghorne, J. (1998). Science and theology:
An introduction. Minneapolis: Fortress Press.
Pseudo-Dionysius. (1987). The divine names
(C. Luibheid, Trans.). New York: Paulist Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.
Shankara. (1965). Brahma Sutra Bhasya (S.
Gambhirananda, Trans.). Calcutta: Advaita Ashrama.
Smith, H. (2009). The world’s religions
(Rev. ed.). San Francisco: HarperOne.
Swinburne, R. (2004). The existence of God
(2nd ed.). Oxford: Clarendon Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar