Jumat, 23 Mei 2025

Teologi Metafisik: Menelusuri Fondasi Ketuhanan dalam Perspektif Ontologis dan Transenden

Teologi Metafisik

Menelusuri Fondasi Ketuhanan dalam Perspektif Ontologis dan Transenden


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif dimensi teologi metafisik sebagai cabang filsafat yang membahas keberadaan Tuhan dalam kerangka ontologis dan transenden. Dengan merujuk pada warisan intelektual dari tradisi filsafat Islam, Kristen, dan Timur, kajian ini menelusuri konsep Tuhan sebagai Ens Necessarium, actus purus, dan ipsum esse subsistens. Berbagai argumen metafisik seperti argumentasi ontologis, kosmologis, teleologis, dan moral dianalisis secara filosofis, serta dikaji pula kritik-kritik kontemporer dari positivisme logis, eksistensialisme, dan filsafat bahasa. Dalam kerangka reflektif, artikel ini menegaskan bahwa teologi metafisik tetap relevan dalam diskursus filsafat modern sebagai fondasi pemaknaan eksistensial, etika, dan spiritualitas rasional. Dengan mengintegrasikan pendekatan rasional, religius, dan metafisik, artikel ini memperlihatkan bahwa pencarian terhadap Tuhan tidak hanya bersifat religius, tetapi juga merupakan ekspresi terdalam dari pencarian akan makna dan dasar realitas.

Kata Kunci: Teologi metafisik, ontologi Ketuhanan, Ens Necessarium, argumentasi rasional, transendensi, filsafat agama, realitas tertinggi, eksistensi Tuhan.


PEMBAHASAN

Kajian Teologi Metafisik dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat, pertanyaan tentang eksistensi dan hakikat Tuhan menempati posisi sentral yang tidak pernah kehilangan relevansi. Sejak era Yunani Kuno hingga pemikiran kontemporer, upaya manusia untuk memahami realitas transenden senantiasa bergumul dengan dimensi metafisik yang mendasari segala sesuatu. Cabang filsafat yang secara khusus mengkaji aspek ini dikenal sebagai teologi metafisik, yaitu bidang kajian yang mengeksplorasi keberadaan Tuhan bukan semata dari sisi religius-doktrinal, tetapi dari sudut pandang ontologis, kausal, dan rasional.

Teologi metafisik berakar dari tradisi metafisika Aristotelian, terutama melalui konsep first unmoved mover yang digunakan untuk menjelaskan keberadaan prinsip pertama yang tak tergantung pada entitas lain.1 Pemikiran ini kemudian diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf besar seperti Plotinus, Ibn Sina, dan Thomas Aquinas yang melihat Tuhan sebagai Ens Necessarium (wujud yang niscaya ada) serta actus purus (aktus murni), yakni realitas yang sempurna, tidak berubah, dan menjadi sumber dari segala eksistensi.2

Urgensi kajian teologi metafisik dalam konteks kontemporer tidak semata-mata karena relevansinya dalam menjawab pertanyaan mendasar tentang Tuhan, tetapi juga karena kemampuannya menjembatani ketegangan antara iman dan rasio, antara agama dan filsafat. Di tengah krisis makna akibat dominasi positivisme ilmiah dan relativisme postmodern, kajian metafisik tentang Ketuhanan menjadi medan filosofis yang vital untuk merekonstruksi fondasi ontologis dan etis manusia modern.3

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam aspek-aspek utama dari teologi metafisik, mencakup definisi konseptual, argumen rasional tentang eksistensi Tuhan, posisi Tuhan dalam struktur realitas, serta kontribusi dan tantangan dari berbagai tradisi filsafat besar, baik Barat maupun Timur. Kajian ini akan berpijak pada sumber-sumber klasik dan kontemporer guna menyajikan pemahaman yang integral tentang Tuhan sebagai prinsip realitas tertinggi.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), Book XII, 1072b.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3; Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 270–274.

[3]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 543–547; John Cottingham, The Spiritual Dimension: Religion, Philosophy and Human Value (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 34–36.


2.           Definisi dan Ruang Lingkup Teologi Metafisik

Secara terminologis, teologi metafisik merupakan cabang filsafat yang membahas keberadaan, esensi, dan atribut Tuhan sebagai Being (ada) tertinggi melalui pendekatan metafisik, bukan semata melalui wahyu atau dogma religius. Dalam ranah ini, Tuhan diposisikan sebagai prinsip ontologis pertama—causa prima—yang menjelaskan tidak hanya asal-muasal segala sesuatu, tetapi juga struktur realitas itu sendiri dalam kerangka keabadian, keesaan, dan keniscayaan eksistensial.1

Teologi metafisik berbeda dari teologi positif yang berpijak pada wahyu ilahi, kitab suci, atau otoritas religius, serta dari teologi naturalis yang menekankan pada argumen rasional berdasarkan pengamatan terhadap alam semesta. Dalam pendekatan metafisik, Tuhan dikaji sebagai entitas yang tidak dapat direduksi menjadi entitas empiris, melainkan sebagai realitas paling fundamental yang melampaui ruang dan waktu—yang dalam istilah skolastik disebut sebagai actus purus, yakni eksistensi murni tanpa potensi dan tanpa kekurangan.2

Pembahasan dalam teologi metafisik mencakup beberapa tema pokok:

1)                  Keberadaan Tuhan – Apakah Tuhan ada, dan jika ya, dalam bentuk apa eksistensinya dapat dipahami secara nalar?

2)                  Hakikat Tuhan – Apa esensi Tuhan sebagai Wujud Absolut? Apakah Ia bersifat personal, transenden, atau imanen?

3)                  Atribut Tuhan – Bagaimana konsep seperti keabadian, kemahakuasaan, kemahatahuan, dan kesempurnaan dijelaskan secara ontologis?

4)                  Relasi Tuhan dengan dunia – Bagaimana hubungan antara Tuhan dan ciptaan dijelaskan dalam kerangka kausalitas metafisik?

Tokoh-tokoh seperti Plotinus, Ibn Sina, Mulla Sadra, dan Thomas Aquinas mengembangkan pendekatan ini dengan cara yang khas. Plotinus dalam doktrin The One menempatkan prinsip mutlak sebagai sumber emanasi segala realitas tanpa keterlibatan langsung dalam ciptaan.3 Ibn Sina mengklasifikasikan eksistensi menjadi wajib al-wujud (yang niscaya ada, yaitu Tuhan) dan mumkin al-wujud (yang mungkin ada, yaitu ciptaan), menekankan ketergantungan ontologis segala sesuatu pada Tuhan.4 Sementara itu, Mulla Sadra memperkenalkan konsep ashalat al-wujud (keutamaan eksistensi) untuk menegaskan bahwa realitas Tuhan merupakan puncak intensitas eksistensi.5

Dari sisi ruang lingkup, teologi metafisik tidak hanya berada dalam wilayah abstraksi spekulatif, tetapi juga berkontribusi pada fondasi etika, antropologi filosofis, dan kosmologi. Dengan demikian, kajian ini bukan sekadar memperdebatkan eksistensi Tuhan secara rasional, tetapi juga menyusun kerangka dasar bagi pemahaman manusia tentang makna hidup, tujuan eksistensial, dan struktur nilai universal.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 173–175.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.1; Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 51–55.

[3]                Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), V.1.

[4]                Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 272–278.

[5]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfar al-Arba‘ah), ed. and trans. James W. Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 88–92.


3.           Fondasi Ontologis Konsep Ketuhanan

Teologi metafisik memandang Tuhan sebagai realitas ontologis tertinggi dan prinsip pertama dari segala sesuatu. Dalam kerangka ini, eksistensi Tuhan bukan sekadar entitas kepercayaan religius, melainkan modus essendi (cara berada) yang mutlak, niscaya, dan mendasari seluruh tatanan wujud. Ontologi Ketuhanan menyelidiki hakikat “ada” (being) dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai Ens Necessarium—yakni wujud yang keberadaannya tidak tergantung pada apa pun selain diri-Nya sendiri, dan yang menjadi sebab ada bagi seluruh yang lain.1

Gagasan tentang Tuhan sebagai Being tertinggi dapat ditelusuri kembali pada metafisika Aristoteles. Dalam Metaphysics, Aristotle menyebut eksistensi entitas yang tidak bergerak namun menjadi penyebab gerak, yang kemudian dikenal sebagai Unmoved Mover. Entitas ini tidak bersifat material, tidak berubah, dan sepenuhnya aktual (aktus murni). Ia menjadi asas bagi seluruh gerak dan perubahan dalam dunia, tetapi tidak mengalami perubahan itu sendiri.2 Meskipun konsep ini belum menyentuh Ketuhanan dalam pengertian agama Abrahamik, ia membuka jalan bagi formulasi metafisik tentang prinsip realitas yang mutlak.

Dalam filsafat Islam, Ibn Sina (Avicenna) mengembangkan argumentasi ontologis yang membedakan antara wajib al-wujud (yang niscaya ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin ada). Segala yang kita temui di alam bersifat mungkin ada, sehingga keberadaannya membutuhkan sebab eksternal. Sementara itu, Tuhan adalah satu-satunya entitas yang eksistensinya bersifat niscaya dan menjadi sebab bagi yang lainnya tanpa memiliki sebab atas dirinya sendiri.3 Pandangan ini ditegaskan lebih lanjut dalam karya Al-Najat dan Al-Shifa’, yang menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan merupakan dasar logis dan ontologis bagi segala realitas.

Sementara itu, dalam teologi skolastik, Thomas Aquinas mengembangkan konsep Tuhan sebagai actus purus, yakni eksistensi murni tanpa potensi. Tuhan tidak memiliki kekurangan, perubahan, atau aktualisasi bertahap karena Ia sudah sepenuhnya aktual dan sempurna. Dengan demikian, Tuhan tidak termasuk dalam genus atau kategori apapun yang ada; Ia melampaui semua kategori ontologis. Ia bukanlah “salah satu” dari sekian banyak wujud, melainkan ipsum esse subsistens—eksistensi itu sendiri yang berdiri sendiri.4 Dalam kerangka ini, Tuhan tidak hanya ada, tetapi adalah keberadaan itu sendiri, sumber dari segala eksistensi yang tergradasi dalam ciptaan.

Dalam pandangan filsuf Muslim kontemporer seperti Mulla Sadra, konsep ashalat al-wujud (keaslian eksistensi) menunjukkan bahwa hanya eksistensi yang benar-benar nyata dan bersifat gradatif. Tuhan adalah puncak intensitas eksistensi yang tidak bisa ditandingi oleh wujud lain. Eksistensi Tuhan bukan hanya niscaya, tetapi juga paling sempurna dan mutlak.5 Konsep ini memberi dasar bagi argumentasi tentang keesaan dan kesempurnaan Tuhan dari perspektif ontologis dan transenden.

Dengan demikian, fondasi ontologis konsep Ketuhanan dalam teologi metafisik tidak hanya menegaskan eksistensi Tuhan secara logis dan rasional, tetapi juga menjelaskan bahwa Tuhan adalah realitas paling mendasar, satu-satunya sumber eksistensi, dan pusat dari seluruh struktur ontologis semesta. Pemahaman ini membentuk basis bagi argumen-argumen metafisik berikutnya mengenai sifat-sifat Tuhan, hubungan-Nya dengan dunia, dan peran-Nya dalam kosmos.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 74–77.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), Book XII, 1072a–1073a.

[3]                Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 270–278; Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 93–96.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.1–2; Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 55–58.

[5]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfar al-Arba‘ah), ed. and trans. James W. Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 88–92.


4.           Argumen Metafisik tentang Eksistensi Tuhan

Salah satu kontribusi utama teologi metafisik adalah pengembangan argumen rasional yang menegaskan keberadaan Tuhan sebagai prinsip ontologis tertinggi. Dalam tradisi filsafat, terdapat beberapa jenis argumen metafisik yang dibangun berdasarkan prinsip kausalitas, esensialitas, dan struktur logis eksistensi. Masing-masing menawarkan pendekatan yang berbeda, namun seluruhnya berpijak pada kesadaran akan keberadaan realitas dan keterbatasan wujud-wujud kontingen.

4.1.       Argumen Ontologis

Argumen ontologis dikembangkan pertama kali oleh Anselmus dari Canterbury dalam Proslogion (1078), yang menyatakan bahwa Tuhan adalah "sesuatu yang di mana tidak ada yang lebih besar dapat dipikirkan" (that than which nothing greater can be conceived). Jika Tuhan hanya ada dalam pikiran, maka kita dapat membayangkan sesuatu yang lebih besar, yaitu Tuhan yang juga ada dalam kenyataan—maka secara logis, Tuhan harus ada dalam kenyataan itu sendiri.1

René Descartes kemudian memperkuat argumen ini dalam Meditations on First Philosophy, dengan menyatakan bahwa eksistensi merupakan bagian tak terpisahkan dari esensi Tuhan, sebagaimana bilangan tiga tak dapat dipisahkan dari sifat genapnya sudut-sudut segitiga.2 Meskipun argumen ini banyak dikritik, terutama oleh Immanuel Kant yang membantah bahwa eksistensi adalah predikat, argumen ontologis tetap menjadi bagian penting dalam perdebatan metafisik tentang eksistensi Tuhan.3

4.2.       Argumen Kosmologis

Argumen kosmologis berangkat dari kenyataan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki sebab. Karena rantai sebab-akibat tidak bisa berlanjut tanpa akhir, maka harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan. Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae merumuskan lima jalan (quinque viae), dua di antaranya adalah argumen dari gerak (ex motu) dan dari sebab (ex causa), yang menuntun kepada keberadaan Tuhan sebagai causa prima dan motor immobile.4

Dalam tradisi Islam, Al-Kindi dan Al-Ghazali merumuskan bentuk awal dari kalam cosmological argument, yang menyatakan bahwa:

1)                  Segala yang bermula pasti memiliki sebab;

2)                  Alam semesta bermula;

3)                  Maka, alam semesta memiliki sebab: yaitu Tuhan.5

Argumen ini diperbaharui oleh William Lane Craig dalam karya modernnya The Kalam Cosmological Argument, yang menegaskan bahwa sebab bagi munculnya alam harus bersifat immaterial, atemporal, dan personal.6

4.3.       Argumen Teleologis

Argumen teleologis atau argumentasi dari keteraturan menyatakan bahwa desain yang teratur dan kompleks di alam semesta menunjukkan adanya perancang cerdas. Dalam Summa Theologiae, Aquinas mengutip bahwa entitas yang tidak memiliki kesadaran tidak bisa bertindak menuju tujuan kecuali diarahkan oleh suatu kecerdasan.7

Meski tantangan muncul dari teori evolusi dan penjelasan ilmiah atas kompleksitas hayati, tokoh seperti Richard Swinburne dan Alvin Plantinga mengembangkan versi argumen ini dalam kerangka probabilistik dan teori desain cerdas yang konsisten dengan metafisika teistik.8

4.4.       Argumen Moral

Argumen ini dikembangkan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Practical Reason, yang menyatakan bahwa keberadaan moralitas dan kewajiban etis secara objektif menunjukkan perlunya keberadaan Tuhan sebagai sumber hukum moral dan sebagai jaminan keharmonisan antara kebajikan dan kebahagiaan.9

Argumen ini tidak membuktikan Tuhan secara spekulatif, namun menyatakan bahwa postulat eksistensi Tuhan dibutuhkan agar moralitas manusia rasional dan konsisten.


Dengan demikian, argumen-argumen metafisik tentang eksistensi Tuhan tidak berdiri sendiri sebagai spekulasi abstrak, melainkan berakar pada pengalaman manusia akan dunia dan refleksi filosofis tentang struktur realitas. Kajian-kajian ini memperlihatkan bahwa Tuhan bukan hanya diperlukan untuk menjelaskan “kenapa” sesuatu ada, tetapi juga sebagai fondasi bagi keteraturan, makna, dan moralitas dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 8–10.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation V.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A598/B626.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[5]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah (Incoherence of the Philosophers), trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 141–143.

[6]                William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London: Macmillan, 1979), 63–72.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3.

[8]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 133–145; Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 269–275.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 124–129.


5.           Tuhan sebagai Realitas Tertinggi dalam Sistem Metafisika

Dalam sistem metafisika, Tuhan diposisikan bukan hanya sebagai entitas tertinggi, tetapi sebagai realitas tertinggi (supreme reality) yang tidak hanya menjadi sebab pertama (causa prima) dari segala sesuatu, melainkan juga sebagai asas dan tujuan akhir (telos) seluruh eksistensi. Pemikiran ini menyatakan bahwa seluruh struktur realitas bergantung ontologis pada Tuhan, dan bahwa segala yang ada memperoleh makna, keberadaan, serta keterarahannya dari eksistensi Tuhan yang mutlak.

5.1.       Tuhan sebagai Prinsip Pertama dan Final

Sejak Aristoteles, konsep Tuhan sebagai Unmoved Mover menyatakan bahwa di balik seluruh gerakan dan perubahan di alam semesta, pasti ada entitas yang tidak digerakkan oleh apapun, namun menjadi penyebab gerak bagi yang lain. Entitas ini tidak bersifat material dan tidak dapat berubah, karena segala perubahan menunjukkan kekurangan atau potensi yang belum terealisasi—sementara Tuhan, sebagai actus purus, adalah wujud yang sepenuhnya aktual dan sempurna.1

Thomas Aquinas memperdalam konsep ini dalam Summa Theologiae, dengan menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya prima causa dalam urutan kausalitas efisien, tetapi juga causa finalis dalam tujuan keberadaan segala sesuatu. Semua makhluk secara natural mengarah kepada kebaikan tertinggi, dan Tuhan adalah kebaikan itu sendiri (ipsum bonum), sehingga seluruh eksistensi pada hakikatnya bersifat teleologis dan teosentris.2

5.2.       Tuhan sebagai Ipsum Esse Subsistens

Dalam sistem metafisika skolastik, Tuhan tidak dikategorikan sebagai “salah satu dari banyak wujud” (ens), tetapi sebagai ipsum esse subsistens—yakni eksistensi itu sendiri yang berdiri secara mandiri dan tidak bergantung pada wujud lain. Sementara makhluk-makhluk lain memiliki eksistensi (esse), Tuhan adalah eksistensi itu sendiri. Dengan demikian, Tuhan bukan hanya satu di antara banyak realitas, melainkan dasar dari seluruh realitas.3

Etienne Gilson menegaskan bahwa pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam makhluk menjadi petunjuk bahwa hanya dalam Tuhan esensi dan eksistensi menyatu secara identik. Oleh karena itu, Tuhan menjadi dasar ontologis dari seluruh hirarki wujud, yang ditandai dengan gradasi keberadaan (gradationem in entibus)—dari wujud-wujud lemah hingga wujud yang paling sempurna dan mutlak.4

5.3.       Hirarki Ontologis dan Partisipasi Wujud

Dalam tradisi Neoplatonik, terutama melalui Plotinus, Tuhan dipahami sebagai The One—sumber tunggal dari seluruh realitas yang memancar (emanasi) ke dalam tingkatan-tingkatan eksistensi. Realitas yang lebih rendah tidak memiliki eksistensi mandiri, melainkan hanya dalam partisipasinya kepada The One. Hal ini menegaskan bahwa segala sesuatu bergantung secara ontologis pada Tuhan, tidak hanya dalam penciptaannya, tetapi juga dalam kelangsungan eksistensinya.5

Mulla Sadra, dalam filsafat hikmah muta‘aliyah, juga menyusun model ontologi gradasional di mana Tuhan sebagai wujud paling sempurna menjadi puncak dari hirarki eksistensial. Segala yang ada merupakan manifestasi bertingkat dari eksistensi Tuhan yang mutlak, dan melalui tajalli (penampakan ilahi), seluruh realitas menunjukkan keterarahannya kepada Yang Maha Wujud.6

5.4.       Transendensi dan Immanensi Tuhan

Dalam teologi metafisik, transendensi dan immanensi Tuhan bukanlah dua konsep yang kontradiktif, melainkan koheren secara ontologis. Tuhan bersifat transenden karena Ia melampaui kategori-kategori makhluk dan tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun Ia juga imanen, dalam arti bahwa eksistensi Tuhan menopang segala sesuatu, dan tanpa-Nya, segala sesuatu tidak dapat eksis bahkan dalam sekejap. Seperti ditegaskan oleh Augustinus, “Tuhan lebih dekat kepada kita daripada diri kita sendiri.”7


Dengan demikian, dalam sistem metafisika, Tuhan bukan sekadar "ada", tetapi merupakan sumber dari "adanya" itu sendiri. Ia adalah realitas paling fundamental yang menjadi fondasi dari struktur kosmos, arah dari gerak moral dan intelektual manusia, serta pusat dari semua partisipasi ontologis. Dalam kerangka ini, memahami Tuhan bukan hanya memahami Sang Pencipta, tetapi juga memahami dasar-dasar realitas dan eksistensi itu sendiri.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), Book XII, 1072a–1073a.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3; I, q.44, a.4, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 52–54.

[4]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 75–78.

[5]                Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), V.1.

[6]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, ed. and trans. James W. Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 89–92.

[7]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), Book III, Ch.6.


6.           Teologi Metafisik dalam Tradisi Islam, Kristen, dan Filsafat Timur

Teologi metafisik tidak terbatas pada tradisi filsafat Barat atau Islam, melainkan hadir dalam berbagai peradaban yang berusaha menjelaskan hakikat Ketuhanan dalam kerangka ontologis dan rasional. Meskipun pendekatannya berbeda-beda, seluruh tradisi ini memiliki kesamaan dalam mengakui Tuhan (atau realitas absolut) sebagai dasar keberadaan dan sumber segala realitas. Kajian ini mengkaji tiga lensa utama: Islam, Kristen, dan filsafat Timur.

6.1.       Tradisi Islam: Ketuhanan sebagai Wujud Niscaya dan Puncak Eksistensi

Dalam filsafat Islam, teologi metafisik memperoleh bentuk sistematik sejak masa Ibn Sina (Avicenna), yang membedakan antara wujud niscaya (wajib al-wujud) dan wujud mungkin (mumkin al-wujud). Tuhan adalah satu-satunya wujud yang keberadaannya tidak tergantung kepada sebab eksternal, dan karena itu menjadi sumber eksistensi segala yang lain.1 Konsep ini menandai upaya awal untuk mengintegrasikan ontologi Aristotelian dan Neoplatonik ke dalam teologi Islam.

Al-Ghazali, meskipun mengkritik metafisika Yunani, tetap menerima argumen bahwa segala sesuatu yang bermula pasti memiliki sebab. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menolak keabadian alam dan menegaskan penciptaan oleh Tuhan sebagai Wujud Yang Maha Bebas dan Maha Berkehendak.2

Pemikiran ini mengalami kulminasi dalam filsafat Mulla Sadra (w. 1640) yang merumuskan doktrin ashālat al-wujūd (keaslian eksistensi) dan tasykīk al-wujūd (gradasi eksistensi). Menurut Sadra, Tuhan adalah eksistensi mutlak yang tak terbatas, sedangkan realitas-realitas lain hanyalah manifestasi bertingkat dari wujud ilahi yang sama.3 Teologi metafisik Sadra menampilkan sintesis antara rasionalisme, mistisisme, dan wahyu.

6.2.       Tradisi Kristen: Tuhan sebagai Ipsum Esse Subsistens dan Prima Causa

Dalam tradisi Kristen, teologi metafisik berkembang melalui pemikiran para Bapa Gereja dan filsuf skolastik. Augustinus (w. 430) menekankan bahwa Tuhan adalah kebenaran dan keberadaan tertinggi, yang lebih mendalam daripada segala bentuk pengetahuan manusia. Ia mengaitkan eksistensi Tuhan dengan prinsip rasionalitas internal manusia yang tidak dapat disangkal, sehingga epistemologi dan ontologi berakar pada Ketuhanan.4

Puncak pemikiran ini ditemukan dalam karya Thomas Aquinas, yang menyatakan bahwa Tuhan adalah ipsum esse subsistens—eksistensi itu sendiri yang berdiri sendiri. Tuhan tidak termasuk dalam kategori apapun; Ia adalah sumber segala bentuk dan substansi, dan tidak memiliki perbedaan antara esensi dan eksistensi sebagaimana makhluk ciptaan.5 Lima jalan Aquinas (quinque viae) adalah bukti utama argumen metafisiknya, yang mengarah pada eksistensi Tuhan sebagai sebab pertama, aktus murni, dan tujuan akhir dari segala sesuatu.

Selain itu, dalam mistik Kristen, terutama pada Meister Eckhart dan Pseudo-Dionysius, Tuhan dipahami sebagai super-essence (melampaui esensi), yang hanya dapat didekati melalui negasi dan pengosongan diri (via negativa). Pendekatan ini tetap metafisik karena mencoba melampaui kategori-kategori empiris demi menangkap realitas yang transenden dan mutlak.6

6.3.       Filsafat Timur: Realitas Absolut sebagai Prinsip Ontologis

Dalam filsafat Hindu, terutama dalam ajaran Vedanta Advaita yang dikembangkan oleh Shankara (w. 820), Brahman dipahami sebagai realitas tertinggi yang tidak berubah, tidak terbatas, dan menjadi dasar dari seluruh fenomena. Brahman bukan sekadar “ada”, tetapi adalah kesadaran murni yang tak tergoyahkan—tanpa dualitas dan tanpa atribut (nirguna Brahman). Segala fenomena di dunia adalah maya (ilusi) yang menyelubungi kebenaran ontologis Brahman.7

Dalam konteks Buddhis, khususnya dalam aliran Madhyamaka yang dirumuskan oleh Nagarjuna, tidak ada esensi tetap (svabhava) yang dimiliki oleh segala sesuatu. Konsep śūnyatā (kekosongan) tidak merujuk pada nihilisme, melainkan menolak kemandirian eksistensial. Walaupun Buddhisme tidak berbicara tentang “Tuhan” secara teistik, ia tetap menampilkan kerangka metafisik yang mendalam mengenai realitas, dengan śūnyatā sebagai prinsip universal keterkaitan dan ketergantungan ontologis.8


Kesimpulan Bagian

Ketiga tradisi ini menunjukkan bahwa pencarian terhadap realitas tertinggi melalui jalan metafisika bukanlah monopoli satu agama atau filsafat tertentu. Baik dalam konsep wajib al-wujud, ipsum esse, Brahman, maupun śūnyatā, kita menemukan keinginan mendalam manusia untuk memahami dasar terdalam dari eksistensi. Meskipun ekspresinya berbeda, seluruh sistem ini bersatu dalam upaya metafisik untuk melacak sumber yang tak tersentuh oleh perubahan, kekurangan, dan keterbatasan, serta menjadi fondasi bagi segala realitas yang ada.


Footnotes

[1]                Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 270–278; Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 93–96.

[2]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers (Tahāfut al-Falāsifah), trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 141–143.

[3]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (Al-Asfār al-Arba‘ah), trans. James W. Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 88–95.

[4]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), Book X, Ch. 25.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1–2; De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 50–54.

[6]                Pseudo-Dionysius, The Divine Names, trans. Colm Luibheid (New York: Paulist Press, 1987), 137–140.

[7]                Shankara, Brahma Sutra Bhasya, trans. Swami Gambhirananda (Calcutta: Advaita Ashrama, 1965), I.1.4.

[8]                Nagarjuna, Mūlamadhyamakakārikā, trans. Jay L. Garfield, The Fundamental Wisdom of the Middle Way (New York: Oxford University Press, 1995), 24–26.


7.           Kritik Kontemporer terhadap Teologi Metafisik

Meskipun teologi metafisik telah menjadi bagian integral dari tradisi intelektual Barat, Islam, dan Timur, pendekatan ini tidak luput dari kritik, terutama dalam konteks pemikiran modern dan kontemporer. Kritik-kritik ini datang dari berbagai arah: positivisme logis, empirisisme sains, eksistensialisme, serta pendekatan filsafat analitik dan bahasa. Kritik terhadap teologi metafisik tidak hanya mempertanyakan validitas argumen metafisik tentang Tuhan, tetapi juga menyoroti keterbatasan epistemologis dan bahasa dalam membicarakan realitas transenden.

7.1.       Kritik Positivisme Logis dan Ilmu Empiris

Gerakan positivisme logis yang berkembang pada awal abad ke-20, terutama melalui Lingkaran Wina (Vienna Circle), menolak semua pernyataan metafisis sebagai tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Menurut tokoh seperti A.J. Ayer, pernyataan seperti “Tuhan itu ada” atau “Tuhan adalah wujud niscaya” tidak dapat diuji secara empiris dan karenanya bersifat nonsens (meaningless).1 Dalam Language, Truth and Logic, Ayer menegaskan bahwa hanya dua jenis proposisi yang bermakna: yang empiris dan yang logis-matematis; segala bentuk pernyataan metafisik—termasuk teologi metafisik—harus ditolak.

Kritik ini sejalan dengan pandangan naturalistik, yang berpendapat bahwa seluruh realitas dapat dijelaskan melalui hukum-hukum alam tanpa perlu menyertakan entitas transenden. Tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins dalam The God Delusion menganggap bahwa keberadaan Tuhan adalah hipotesis ilmiah yang tidak didukung oleh bukti empiris, dan bahwa teologi metafisik mengaburkan batas antara mitos dan fakta.2

7.2.       Kritik Filsafat Bahasa dan Ketidakjelasan Konseptual

Pendekatan filsafat bahasa juga memberikan kritik tajam terhadap teologi metafisik. Ludwig Wittgenstein, dalam Tractatus Logico-Philosophicus, menyatakan bahwa "tentang apa yang tidak dapat dibicarakan, kita harus diam" (Wovon man nicht sprechen kann, darüber muss man schweigen).3 Artinya, bahasa memiliki batas-batas logis yang tidak dapat menembus wilayah metafisika atau Ketuhanan; pembicaraan tentang Tuhan berada di luar kemampuan struktur bahasa yang bermakna.

Kritik ini diperkuat oleh tokoh-tokoh seperti Antony Flew, yang menilai bahwa pernyataan teistik sering kali imun terhadap falsifikasi—yakni tidak terbuka terhadap kemungkinan dibuktikan salah. Dalam debat filsafat agama, Flew berargumen bahwa jika tidak ada keadaan apapun yang dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan “Tuhan itu ada,” maka pernyataan tersebut menjadi kosong dari makna faktual.4

7.3.       Kritik Eksistensialis: Ketuhanan sebagai Masalah Keberadaan, Bukan Esensi

Kaum eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre tidak secara langsung menolak eksistensi Tuhan, tetapi mengkritik cara teologi metafisik mendekati Tuhan melalui konsep-konsep universal dan logika spekulatif. Kierkegaard menolak "sistem" Hegelian dan menekankan bahwa hubungan dengan Tuhan bersifat eksistensial, personal, dan paradoksikal—bukan sesuatu yang dapat didekati melalui argumen rasional.5 Sartre, di sisi lain, menolak keberadaan Tuhan karena menurutnya keberadaan mendahului esensi; dan dalam ketiadaan Tuhan, manusia bertanggung jawab secara penuh atas penciptaan makna hidupnya sendiri.6

7.4.       Respons Filsafat Analitik Agama

Meskipun teologi metafisik dikritik secara tajam, beberapa tokoh filsafat analitik agama berusaha merehabilitasi dan merumuskan ulang argumen-argumen metafisik dengan pendekatan logika formal dan epistemologi modern. Alvin Plantinga, misalnya, membela kebermaknaan klaim teistik melalui epistemologi reformed epistemology, yang menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan bisa bersifat properly basic (mendasar secara rasional) tanpa membutuhkan pembuktian formal.7

Richard Swinburne juga membela argumen-argumen metafisik tentang Tuhan dengan pendekatan probabilistik. Ia menunjukkan bahwa meskipun argumen seperti kosmologis dan teleologis tidak membuktikan Tuhan secara mutlak, tetapi secara kumulatif meningkatkan probabilitas keberadaan Tuhan sebagai penjelasan terbaik terhadap kosmos.8


Kesimpulan Bagian

Kritik kontemporer terhadap teologi metafisik mencerminkan dinamika dan ketegangan antara rasionalitas metafisik dan tuntutan empiris serta eksistensial zaman modern. Meskipun kritik-kritik tersebut menantang validitas dan relevansi pendekatan metafisik terhadap Ketuhanan, mereka sekaligus mendorong refleksi yang lebih mendalam, kreatif, dan kritis dalam merumuskan ulang hubungan antara iman, akal, dan realitas transenden dalam horizon filsafat masa kini.


Footnotes

[1]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 115–118.

[2]                Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 31–34.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), §7.

[4]                Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in Philosophical Theology, eds. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London: SCM Press, 1955), 96–99.

[5]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Crumbs, trans. David F. Swenson (Princeton: Princeton University Press, 1941), 189–194.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20–23.

[7]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 170–185.

[8]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 133–156.


8.           Relevansi Teologi Metafisik dalam Diskursus Filsafat Modern

Di tengah dinamika filsafat kontemporer yang ditandai oleh pluralisme metodologis, relativisme nilai, dan dominasi rasionalitas instrumental, teologi metafisik tetap memiliki relevansi signifikan. Ia tidak hanya mempertahankan tradisi klasik tentang refleksi terhadap Tuhan sebagai realitas tertinggi, tetapi juga menanggapi kegelisahan intelektual dan spiritual zaman modern dalam bentuk yang baru, interdisipliner, dan terbuka. Relevansi ini terwujud dalam beberapa dimensi utama: epistemologis, eksistensial, etis, serta dialog antara ilmu dan agama.

8.1.       Pemulihan Makna dalam Era Sekular

Filsuf Charles Taylor dalam A Secular Age menjelaskan bahwa modernitas tidak menghapus religiositas, tetapi membentuk horizon pemahaman baru di mana kepercayaan kepada Tuhan menjadi salah satu pilihan dalam “kondisi iman” yang plural dan reflektif.1 Dalam konteks ini, teologi metafisik menjadi ruang di mana Tuhan tidak lagi dibayangkan sebagai dogma statis, tetapi sebagai horizon metafisik bagi pencarian makna terdalam manusia. Ia memungkinkan pemahaman terhadap eksistensi yang melampaui reduksionisme materialistik yang sering kali mendominasi pemikiran modern.

8.2.       Jembatan antara Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Dalam era kemajuan sains dan teknologi, teologi metafisik menawarkan pendekatan sintesis antara keyakinan dan penalaran ilmiah. John Polkinghorne, fisikawan sekaligus teolog, menunjukkan bahwa refleksi metafisik atas realitas dapat berjalan seiring dengan eksplorasi ilmiah tentang kosmos. Menurutnya, struktur rasional alam semesta dan keteraturan kosmik memberikan dasar kuat bagi postulat Tuhan sebagai sumber dan penjamin keteraturan tersebut.2 Ini memperlihatkan bahwa teologi metafisik bukanlah penghalang bagi ilmu, melainkan kerangka reflektif yang memperluas ruang makna ilmiah menuju horizon transenden.

8.3.       Kontribusi terhadap Etika dan Humanisme

Teologi metafisik juga relevan dalam menyusun fondasi etika dan nilai-nilai universal dalam dunia yang semakin terfragmentasi. Dengan mendasarkan nilai moral pada realitas ilahi yang mutlak dan sempurna, ia memberikan dasar ontologis bagi norma-norma etis yang tidak sekadar bersifat subjektif atau relativistik. Emmanuel Levinas, meskipun tidak metafisik dalam pengertian tradisional, menunjukkan bahwa hubungan etis dengan “Yang Tak Terhingga” (le Tout-Autre) adalah dasar kebermaknaan hubungan antar-manusia.3

Dengan demikian, teologi metafisik memperluas cakrawala etika, dari semata-mata kalkulasi utilitarian menuju orientasi transenden terhadap Yang Maha Baik, sebagaimana ditegaskan oleh Plato maupun Aquinas.

8.4.       Revitalisasi Spiritualitas Rasional

Di tengah kebangkitan spiritualitas noninstitusional dan pencarian eksistensial kontemporer, teologi metafisik menawarkan spiritualitas yang berbasis rasionalitas dan kedalaman ontologis. Tokoh seperti John Cottingham menyatakan bahwa pendekatan metafisik terhadap Tuhan tidak bertentangan dengan pengalaman religius, melainkan memperdalamnya dengan memberikan kerangka filosofis yang koheren dan reflektif.4 Dalam konteks ini, teologi metafisik menjadi ruang pertemuan antara iman dan filsafat, antara pencarian akan Tuhan dan kehendak untuk memahami eksistensi secara utuh.

8.5.       Relevansi dalam Diskursus Lintas Agama dan Budaya

Dalam dunia yang plural, teologi metafisik juga berperan sebagai medium dialog lintas tradisi. Konsep tentang realitas tertinggi, meskipun berbeda istilah dan ekspresi, terdapat dalam berbagai agama besar. Pendekatan metafisik memungkinkan diskursus lintas agama yang tidak bersifat apologetik, melainkan eksploratif dan komparatif—sebagaimana tercermin dalam karya Huston Smith dan Seyyed Hossein Nasr, yang menekankan pentingnya “filsafat perenial” (philosophia perennis) sebagai fondasi spiritual bersama umat manusia.5


Kesimpulan Bagian

Teologi metafisik tetap relevan dalam filsafat modern karena ia menyediakan jawaban filosofis yang dalam terhadap pertanyaan eksistensial, etis, dan spiritual yang tidak bisa dijawab sepenuhnya oleh sains atau nihilisme sekuler. Ia membuka horizon berpikir yang mengaitkan antara akal dan iman, antara realitas empiris dan transendensi, serta antara manusia dan sumber keberadaannya. Dalam konteks dunia kontemporer yang dilanda krisis makna dan orientasi, teologi metafisik bukan warisan masa lalu, tetapi tawaran reflektif untuk masa depan.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 3–5; 543–547.

[2]                John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (Minneapolis: Fortress Press, 1998), 55–60.

[3]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–35.

[4]                John Cottingham, The Spiritual Dimension: Religion, Philosophy, and Human Value (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 12–19.

[5]                Huston Smith, The World's Religions (San Francisco: HarperOne, 2009), 387–392; Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 41–45.


9.           Simpulan dan Refleksi Filosofis

Teologi metafisik, sebagai cabang filsafat yang menyelidiki Tuhan dari sudut pandang ontologis dan transenden, telah menunjukkan peran vital dalam membentuk horizon pemikiran metafisik klasik dan kontemporer. Melalui analisis terhadap konsep Ens Necessarium, actus purus, dan ipsum esse subsistens, berbagai tradisi filsafat besar—baik Islam, Kristen, maupun Timur—telah menyepakati bahwa Tuhan merupakan realitas tertinggi yang menjadi dasar dari segala eksistensi.

Kajian ini menegaskan bahwa pemahaman rasional tentang Tuhan bukanlah bentuk reduksi spiritualitas menjadi spekulasi, melainkan usaha untuk mengintegrasikan nalar, iman, dan pengalaman eksistensial dalam satu horizon reflektif. Dalam kerangka metafisik, Tuhan tidak semata-mata diasumsikan sebagai makhluk supranatural, melainkan sebagai fondasi mutlak dari ada itu sendiri (being-itself), yang melampaui ruang, waktu, dan kausalitas—sebagaimana dirumuskan oleh Aquinas, Ibn Sina, dan Sadra.1

Secara filosofis, refleksi tentang Tuhan dalam teologi metafisik juga memperlihatkan bahwa keterbatasan akal manusia bukan menjadi halangan mutlak, melainkan titik tolak untuk memperluas horizon pengertian tentang realitas transenden. Seperti dikatakan oleh Etienne Gilson, metafisika bukanlah pengganti iman, melainkan “upaya akal budi untuk memahami sedalam mungkin dasar-dasar wujud yang juga disingkapkan dalam wahyu.2 Dengan demikian, ketegangan antara iman dan rasio bukanlah pertentangan, melainkan dinamika dialektis yang memperkaya pemahaman manusia terhadap Tuhan dan realitas.

Kritik-kritik terhadap teologi metafisik dari berbagai aliran modern seperti positivisme logis, eksistensialisme, dan filsafat bahasa telah memberikan tantangan yang produktif. Kritik ini menuntut pembaruan metodologis dan epistemologis agar wacana teologi tidak jatuh dalam dogmatisme atau spekulasi kosong. Namun demikian, kebangkitan filsafat analitik agama dan pendekatan lintas disiplin pada abad ke-21 memperlihatkan bahwa refleksi metafisik tentang Tuhan tetap hidup dan berkembang dalam horizon baru yang lebih inklusif dan dialogis.3

Teologi metafisik juga berkontribusi penting dalam membangun fondasi etika, spiritualitas rasional, serta dialog antaragama yang mengakar pada pemahaman mendalam tentang realitas tertinggi. Dalam dunia yang dilanda relativisme dan krisis makna, teologi metafisik menyediakan ruang bagi manusia untuk kembali mempertanyakan bukan hanya bagaimana dunia bekerja, tetapi mengapa dan untuk apa ia ada.

Refleksi filosofis akhir yang dapat ditarik dari kajian ini adalah bahwa Tuhan sebagai realitas metafisik tertinggi bukanlah objek yang dapat dikuasai oleh konsep manusiawi, melainkan horizon pemaknaan yang terus-menerus melampaui, menggugah, dan mengarahkan eksistensi manusia. Dalam pengertian ini, pencarian akan Tuhan bukanlah sekadar pencarian atas kebenaran metafisik, tetapi juga pencarian atas kebenaran eksistensial dan spiritual yang paling dalam.


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1–2; Ibn Sina, Al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 270–278; Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans. James W. Morris (Tehran: SIPRIn, 2002), 88–92.

[2]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 112–115.

[3]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 170–185; John Cottingham, The Spiritual Dimension: Religion, Philosophy, and Human Value (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 19–22.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.

Aquinas, T. (1968). De ente et essentia (A. Maurer, Trans.). Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Augustine. (1998). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. New York: Dover Publications.

Craig, W. L. (1979). The Kalam cosmological argument. London: Macmillan.

Cottingham, J. (2005). The spiritual dimension: Religion, philosophy, and human value. Cambridge: Cambridge University Press.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. Boston: Houghton Mifflin.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Flew, A. (1955). Theology and falsification. In A. Flew & A. MacIntyre (Eds.), New essays in philosophical theology (pp. 96–99). London: SCM Press.

Garfield, J. L. (Trans.). (1995). The fundamental wisdom of the middle way: Nāgārjuna’s Mūlamadhyamakakārikā. New York: Oxford University Press.

Gilson, E. (1952). Being and some philosophers. Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, E. (1994). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Ibn Sina. (1985). Al-Najat (M. Fakhry, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript to the philosophical crumbs (D. F. Swenson, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

Mulla Sadra. (2002). The transcendent philosophy of the four journeys of the intellect (al-Asfar al-Arba‘ah) (J. W. Morris, Ed. & Trans.). Tehran: SIPRIn.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York: HarperOne.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford: Oxford University Press.

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). London: Penguin Classics.

Polkinghorne, J. (1998). Science and theology: An introduction. Minneapolis: Fortress Press.

Pseudo-Dionysius. (1987). The divine names (C. Luibheid, Trans.). New York: Paulist Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Shankara. (1965). Brahma Sutra Bhasya (S. Gambhirananda, Trans.). Calcutta: Advaita Ashrama.

Smith, H. (2009). The world’s religions (Rev. ed.). San Francisco: HarperOne.

Swinburne, R. (2004). The existence of God (2nd ed.). Oxford: Clarendon Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar