Rabu, 21 Mei 2025

Struktur Realitas: Menyingkap Lapisan-Lapisan Keberadaan

Struktur Realitas

Menyingkap Lapisan-Lapisan Keberadaan


Alihkan ke: Realitas, Ontologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji berbagai pendekatan filosofis dalam memahami struktur realitas, yaitu tatanan ontologis yang mendasari keberadaan segala sesuatu. Dengan menelusuri evolusi pemikiran dari filsafat klasik hingga kontemporer, tulisan ini memaparkan dimensi-dimensi realitas seperti substansi, relasi, proses, dan lapisan ontologis, sebagaimana dikembangkan oleh Plato, Aristoteles, Whitehead, Hartmann, dan lain-lain. Artikel ini juga mengeksplorasi perspektif filsafat analitik yang menekankan logika, bahasa, dan komitmen ontologis, serta pendekatan fenomenologi dan eksistensialisme yang menyoroti pengalaman langsung dan keterlibatan eksistensial manusia dalam realitas. Ilmu pengetahuan modern turut dibahas sebagai kekuatan pembentuk konsep realitas melalui berbagai paradigma, mulai dari mekanika klasik hingga realisme struktural dan model-dependent realism. Lebih lanjut, artikel ini mengkaji implikasi epistemologis dan etis dari berbagai pandangan ontologis, serta menghadirkan kritik terhadap ambisi totalitas dalam menyusun struktur realitas. Dengan demikian, artikel ini menawarkan pendekatan komprehensif dan reflektif terhadap pemahaman realitas yang bersifat plural, terbuka, dan dinamis.

Kata Kunci: Struktur realitas, ontologi, fenomenologi, filsafat analitik, sains, relasionalitas, proses, eksistensialisme, epistemologi, etika.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat tentang Struktur Realitas


1.           Pendahuluan: Apa yang Dimaksud dengan Struktur Realitas?

Pertanyaan mengenai “apa yang nyata” telah menjadi inti dari pemikiran filosofis sejak zaman kuno. Dalam ranah ontologi, cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan, konsep struktur realitas merujuk pada cara-cara fundamental di mana segala sesuatu yang ada tersusun, berinteraksi, dan saling berhubungan. Struktur realitas bukan hanya tentang apa yang ada, melainkan juga bagaimana hal-hal tersebut ada, dan dalam pola keteraturan seperti apa mereka membentuk totalitas keberadaan.

Secara sederhana, struktur realitas dapat dimengerti sebagai kerangka ontologis yang memungkinkan kita memahami dan mengklasifikasikan entitas, relasi, dan sifat-sifat dasar dari segala sesuatu yang eksis di dunia. Dalam pandangan Plato, struktur realitas ditentukan oleh dunia ide (eidos) yang abadi dan tak berubah, sementara dunia inderawi hanyalah bayangan yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk ideal tersebut.¹ Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa realitas terdiri dari substansi konkret yang memiliki bentuk dan materi, dengan eksistensi yang aktual di dunia nyata.²

Dalam era modern, pertanyaan tentang struktur realitas semakin kompleks. Immanuel Kant membedakan antara dunia fenomenal (sebagaimana realitas tampak kepada kita) dan dunia noumenal (realitas sebagaimana dirinya sendiri, yang tidak bisa dijangkau secara langsung).³ Ini menunjukkan bahwa pemahaman manusia terhadap realitas selalu berada dalam batasan persepsi dan struktur kognitifnya sendiri.

Konsep struktur realitas kemudian berkembang menjadi diskusi mengenai lapisan-lapisan realitas — mulai dari material, biologis, hingga spiritual — sebagaimana diusulkan oleh pemikir seperti Nicolai Hartmann, yang mengemukakan bahwa realitas tersusun dalam tingkatan ontologis yang saling bertumpu dan tidak dapat direduksi satu sama lain.⁴ Dalam kerangka ini, struktur realitas bukanlah satu dimensi tunggal, melainkan tatanan kompleks dan hierarkis yang memuat berbagai bentuk keberadaan.

Pentingnya mengkaji struktur realitas tidak hanya terletak pada aspek teoretis, tetapi juga pada dampaknya terhadap cara manusia mengetahui dunia (epistemologi), bertindak dalam dunia (etika), serta menyusun sistem kepercayaan dan ilmu pengetahuan. Pemahaman tentang struktur realitas menjadi dasar bagi penyusunan teori-teori ilmiah, pengembangan teknologi, hingga tafsir terhadap kehidupan dan eksistensi manusia itu sendiri. Dalam era digital dan virtual saat ini, di mana batas antara realitas dan simulasi mulai kabur, pertanyaan tentang “apa yang nyata” menjadi semakin relevan dan mendesak untuk dikaji secara mendalam.⁵

Dengan demikian, pembahasan tentang struktur realitas bukan hanya urusan filsafat spekulatif, melainkan merupakan usaha kritis untuk memahami keberadaan dan posisi manusia dalam keseluruhan tatanan dunia yang kompleks, dinamis, dan berlapis-lapis.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.

[4]                Nicolai Hartmann, New Ways of Ontology, trans. Reinhard C. Kuhn (Chicago: Henry Regnery Company, 1953), 46–68.

[5]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.


2.           Perspektif Historis: Evolusi Pemikiran tentang Realitas

Pemikiran tentang realitas merupakan bagian paling mendasar dalam sejarah filsafat. Dari masa ke masa, para filsuf berupaya menjelaskan apa itu yang benar-benar ada, dan bagaimana cara manusia memahami keberadaan tersebut. Evolusi pandangan tentang struktur realitas memperlihatkan perubahan paradigma yang signifikan — dari pendekatan metafisik klasik hingga perspektif postmodern yang lebih pluralistik dan kritis terhadap konsep “realitas objektif”.

2.1.       Yunani Kuno: Fondasi Ontologis

Pemikiran filsafat Barat mengenai realitas bermula di Yunani kuno. Plato adalah tokoh penting yang mengembangkan gagasan tentang dua dunia: dunia ide (forms) yang abadi dan sempurna, serta dunia indrawi yang berubah dan tidak sempurna. Baginya, struktur realitas sejati terletak pada dunia ide — suatu tatanan keberadaan yang hanya dapat diakses melalui akal budi, bukan pengalaman inderawi.¹

Sementara itu, Aristoteles, murid Plato, mengkritisi dualisme gurunya. Ia menegaskan bahwa substansi (ousia) merupakan dasar dari segala keberadaan, dan bahwa bentuk (form) tidak terpisah dari materi (matter), melainkan menyatu dalam eksistensi aktual suatu entitas.² Dengan demikian, realitas menurut Aristoteles bersifat imanen — hadir dalam dunia ini, bukan di luar sana seperti dalam konsep dunia ide Plato.

2.2.       Abad Pertengahan: Sintesis Ontologis dan Teologis

Dalam era pertengahan, pemikiran ontologis banyak dipengaruhi oleh tradisi teologis. Thomas Aquinas, misalnya, mensintesiskan filsafat Aristotelian dengan teologi Kristen. Ia berpendapat bahwa eksistensi segala sesuatu bergantung pada Aktus Puri, yaitu Tuhan sebagai ipsum esse subsistens — keberadaan murni yang menjadi dasar segala yang ada.³ Demikian pula dalam tradisi Islam, Ibn Sina (Avicenna) membedakan antara mahiyah (esensi) dan wujud (eksistensi), dan menyatakan bahwa hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya.⁴

Pemikiran para filsuf abad pertengahan mengarahkan perhatian pada hirarki keberadaan, di mana struktur realitas dipandang bertingkat, dengan Tuhan sebagai puncak dari segala eksistensi.

2.3.       Era Modern: Revolusi Epistemologis dan Ontologis

Filsafat modern menandai pergeseran dari ontologi ke epistemologi. René Descartes memperkenalkan dualisme substansi antara res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang meluas secara fisik), dengan menempatkan pikiran sebagai titik mula keberadaan melalui cogito: “Aku berpikir, maka aku ada.”⁵ Pandangan ini memunculkan fragmentasi antara subjek dan objek, antara pikiran dan dunia luar, yang kemudian menjadi tantangan bagi filsuf-filsuf sesudahnya.

Immanuel Kant melakukan revolusi konseptual dengan menyatakan bahwa kita tidak bisa mengetahui realitas sebagaimana adanya (noumenon), melainkan hanya sebagaimana ia tampak kepada kita melalui struktur a priori akal (phenomenon).⁶ Dengan demikian, struktur realitas yang kita pahami sebenarnya merupakan hasil dari struktur pikiran manusia itu sendiri.

2.4.       Filsafat Kontemporer: Multiperspektif dan Kritik terhadap Realitas

Memasuki abad ke-20, berbagai pendekatan ontologis baru bermunculan. Dalam filsafat analitik, Willard Van Orman Quine menolak dikotomi antara analitik dan sintetik, serta meragukan adanya fondasi tetap dalam bahasa atau realitas.⁷ Sementara itu, David Lewis mengembangkan teori modal realism, yakni bahwa semua kemungkinan eksistensial (dunia mungkin) benar-benar nyata di dunia mereka masing-masing.⁸

Dalam tradisi fenomenologi, Edmund Husserl menekankan bahwa realitas tidak bisa dipahami tanpa menyertakan kesadaran subjek yang mengalaminya. Realitas adalah “yang terberi” (gegeben) dalam kesadaran, bukan objek netral di luar pengamatan.⁹ Martin Heidegger melanjutkan dengan menggali makna keberadaan itu sendiri (Sein), yang menurutnya telah dilupakan dalam tradisi filsafat Barat. Ia memperkenalkan konsep Dasein, sebagai eksistensi manusia yang memiliki pemahaman tentang keberadaan.¹⁰

Pada akhirnya, pendekatan postmodern seperti yang dikemukakan Jean Baudrillard meradikalkan pemahaman tentang realitas. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat kontemporer, kita hidup dalam simulacra — representasi dari representasi — yang telah terlepas dari referensi realitas sejati.¹¹ Struktur realitas, dalam pandangan ini, menjadi sesuatu yang tidak pasti, terbentuk dari konstruksi media, simbol, dan ideologi.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (Notre Dame: Christian Classics, 1981), I, q.3.

[4]                Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), Meditation II.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.

[7]                W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism, in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.

[8]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986).

[9]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §27–33.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), Division I, ch. 1–2.

[11]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.


3.           Dimensi-Dimensi dalam Struktur Realitas

Struktur realitas bukanlah entitas tunggal dan statis, melainkan suatu tatanan kompleks yang terdiri atas berbagai dimensi ontologis. Para filsuf telah menawarkan berbagai kerangka untuk memahami bagaimana realitas disusun, baik dalam bentuk entitas yang berdiri sendiri, relasi antar entitas, proses yang berkesinambungan, maupun lapisan-lapisan hierarkis yang saling mendasari. Setiap pendekatan menyoroti aspek tertentu dari keberadaan, mencerminkan pluralitas dalam memahami struktur realitas.

3.1.       Ontologi Substansial: Realitas sebagai Entitas

Pendekatan ini menganggap bahwa realitas terdiri atas substansi-substansi independen yang memiliki esensi dan eksistensi. Pandangan ini berakar dari Aristoteles, yang memandang substansi sebagai "apa yang ada dalam dirinya sendiri", bukan dalam sesuatu yang lain.¹ Bagi Aristoteles, entitas (misalnya manusia, pohon, bintang) adalah pusat realitas, dan kategori seperti kualitas atau kuantitas hanyalah aksiden yang menempel padanya. Ontologi substansial menekankan bahwa ada entitas yang benar-benar ada, dan keberadaan dapat dijelaskan dengan menyelidiki hakikat entitas tersebut.

Model ini terus bertahan dalam tradisi filsafat Barat hingga modernisme. Misalnya, Descartes dan Spinoza tetap berpegang pada realitas sebagai sesuatu yang disusun oleh substansi-substansi, meskipun mereka berbeda dalam jumlah dan sifatnya.

3.2.       Ontologi Relasional: Realitas sebagai Jaringan Relasi

Berlawanan dengan pendekatan substansial, ontologi relasional berpendapat bahwa realitas tidak tersusun dari benda-benda yang berdiri sendiri, melainkan dari relasi antara hal-hal. Dalam filsafat Timur seperti filsafat Buddhis Madhyamaka, hal-hal tidak memiliki svabhava (hakikat diri) dan hanya eksis karena saling bergantung (pratītyasamutpāda).²

Dalam tradisi Barat modern, Alfred North Whitehead mengembangkan filsafat proses, di mana realitas terdiri dari peristiwa (actual occasions) yang saling terhubung melalui relasi.³ Relasi bukan sekadar tambahan pada entitas, tetapi justru fondasi dari eksistensi. Hal ini mengarah pada pandangan bahwa struktur realitas bersifat dinamis dan terbentuk oleh keterhubungan, bukan entitas pasif yang tetap.

3.3.       Ontologi Proses: Realitas sebagai Dinamika yang Berlangsung

Dalam ontologi proses, realitas dipahami sebagai gerak, perubahan, dan kejadian — bukan benda atau objek tetap. Pandangan ini menolak gagasan bahwa eksistensi itu bersifat statis. Henri Bergson, misalnya, menyatakan bahwa waktu sejati (durée réelle) adalah aliran kontinu yang tidak dapat dibagi atau diukur secara matematis.⁴

Bagi Whitehead, setiap “entitas aktual” bukanlah objek melainkan proses aktualisasi, dan dunia ini adalah jaringan kejadian yang sedang berlangsung.⁵ Realitas bukan koleksi benda, tetapi jaringan proses yang berkesinambungan dan saling memengaruhi.

3.4.       Ontologi Lapisan: Realitas sebagai Struktur Berjenjang

Pendekatan ini mengusulkan bahwa realitas terdiri dari lapisan-lapisan ontologis yang tersusun secara hierarkis dan tidak dapat direduksi satu sama lain. Nicolai Hartmann menyusun struktur ini dalam empat tingkat: fisik, biologis, psikologis, dan spiritual.⁶ Setiap tingkat memiliki hukum, kategori, dan karakter ontologisnya sendiri, yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan prinsip lapisan yang lebih rendah.

Pandangan ini memperkuat argumen melawan reduksionisme ilmiah, yang cenderung menjelaskan segala sesuatu berdasarkan hukum fisika saja. Misalnya, perilaku manusia tidak dapat dijelaskan hanya melalui biologi atau kimia, karena melibatkan kesadaran, makna, dan nilai.

Pendekatan serupa juga dikembangkan oleh Roy Bhaskar dalam realisme kritis, yang menekankan struktur kausal dalam dunia nyata yang bekerja pada tingkat-tahap yang berbeda.⁷ Struktur realitas dalam kerangka ini bersifat stratifikatif: realitas bukan sekadar permukaan gejala, tetapi mengandung kedalaman struktur yang hanya bisa diakses melalui penyelidikan kritis dan ilmiah.


Implikasi Multidimensional

Pendekatan-pendekatan tersebut tidak selalu saling meniadakan, melainkan dapat dipahami secara komplementer. Ontologi substansial memberi landasan bagi identitas, relasional memberi pemahaman tentang interkoneksi, proses menjelaskan dinamika perubahan, sementara pendekatan lapisan menunjukkan kompleksitas hierarkis. Dengan memahami berbagai dimensi ini, kita memperoleh pandangan yang lebih utuh tentang struktur realitas, yang membuka jalan bagi pemikiran lintas disiplin, dari metafisika hingga ilmu pengetahuan modern dan bahkan spiritualitas.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII.

[2]                Nagarjuna, Mulamadhyamakakarika, trans. Jay L. Garfield, in The Fundamental Wisdom of the Middle Way (New York: Oxford University Press, 1995), chap. 1.

[3]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 18–23.

[4]                Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness, trans. F.L. Pogson (London: George Allen & Unwin, 1910), 100–110.

[5]                Whitehead, Process and Reality, 27–35.

[6]                Nicolai Hartmann, New Ways of Ontology, trans. Reinhard C. Kuhn (Chicago: Henry Regnery Company, 1953), 46–68.

[7]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 2008), 13–22.


4.           Struktur Realitas Menurut Filsafat Analitik

Filsafat analitik, yang berkembang kuat di dunia berbahasa Inggris sejak awal abad ke-20, membawa pendekatan yang khas terhadap persoalan realitas. Dikenal dengan karakteristiknya yang berbasis logika, bahasa, dan klarifikasi konseptual, para pemikir dalam tradisi ini menyusun pemahaman tentang struktur realitas melalui analisis terhadap cara bahasa merepresentasikan dunia, serta penyelidikan terhadap ontologi entitas dan fakta. Dalam konteks ini, pertanyaan tentang “apa yang ada” menjadi lebih spesifik dan sistematis, sering kali dibingkai dalam bentuk teori ontologi formal, semantik realitas, dan komitmen ontologis.

4.1.       Wittgenstein Awal: Realitas sebagai Totalitas Fakta

Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwa “dunia adalah totalitas fakta, bukan benda” (Die Welt ist die Gesamtheit der Tatsachen, nicht der Dinge).¹ Dengan pernyataan ini, Wittgenstein beralih dari pemahaman realitas sebagai kumpulan objek (ontologi substansial) ke struktur fakta yang dapat dipresentasikan secara logis oleh bahasa. Fakta-fakta ini adalah keadaan-keadaan dunia (states of affairs) yang bisa dinyatakan dalam proposisi.

Menurutnya, struktur logis bahasa mencerminkan struktur logis dunia. Maka, realitas memiliki struktur proposisional, dan dunia dapat dijelaskan sejauh bahasa dapat memetakannya secara tepat.² Namun, batas bahasa juga menjadi batas dunia, dan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara logis (seperti nilai dan metafisika murni) hanya dapat “ditunjukkan” (gezeigt), bukan dikatakan (gesagt).³

4.2.       Quine dan Kritik terhadap Ontologi Tradisional

Willard Van Orman Quine mengkritik pandangan bahwa bahasa dapat membedakan secara tajam antara proposisi analitik (benar berdasarkan makna) dan sintetik (benar berdasarkan fakta). Dalam esainya Two Dogmas of Empiricism, Quine menyatakan bahwa tidak ada landasan objektif untuk memisahkan keduanya, karena makna dan fakta saling terkait dalam jaringan kepercayaan.⁴

Quine juga memperkenalkan metode komitmen ontologis — yakni, entitas apa saja yang “diakui” oleh suatu teori berdasarkan variabel bebas yang dikuantifikasikan dalam bentuk logisnya.⁵ Misalnya, dalam menyusun teori ilmiah, kita secara ontologis “berkomitmen” terhadap eksistensi elektron jika kita secara kuantitatif menyatakannya dalam teori tersebut. Oleh karena itu, realitas dibatasi oleh teori-teori terbaik kita, dan struktur realitas adalah apa yang terimplikasi dari keseluruhan sistem pengetahuan yang koheren.

4.3.       David Lewis dan Modal Realism

Salah satu pendekatan paling radikal dalam filsafat analitik tentang realitas datang dari David Lewis, yang mengembangkan teori modal realism. Dalam karyanya On the Plurality of Worlds, Lewis menyatakan bahwa semua dunia yang mungkin (possible worlds) benar-benar eksis dalam pengertian yang sama nyatanya dengan dunia aktual.⁶

Bagi Lewis, realitas terdiri atas totalitas dari semua dunia mungkin, dan setiap dunia memiliki struktur internal yang koheren dan terpisah dari dunia kita. Dunia aktual hanyalah satu di antara tak terhingga dunia-dunia nyata lainnya. Gagasan ini memberi struktur realitas yang luas, di mana modalitas (kemungkinan dan keharusan) dijelaskan sebagai hubungan antar dunia aktual dan dunia mungkin.⁷

4.4.       Struktur Realitas dalam Semantik dan Logika

Filsafat analitik juga banyak membahas struktur realitas melalui semantik logis, di mana makna suatu ekspresi ditentukan oleh kondisi kebenarannya dalam dunia. Pendekatan ini, sebagaimana dikembangkan oleh Donald Davidson dan Saul Kripke, menempatkan realitas sebagai referent dari istilah dan kebenaran proposisi.

Misalnya, dalam semantik model-theoretic, suatu struktur realitas dianggap sebagai model yang memuaskan suatu himpunan kalimat dalam bahasa formal. Maka, pertanyaan tentang struktur realitas dapat dijawab dengan pertanyaan: model seperti apa yang memuaskan teori kita tentang dunia?


Implikasi terhadap Struktur Realitas

Dari uraian di atas, tampak bahwa filsafat analitik menempatkan struktur realitas dalam hubungan yang erat dengan bahasa, logika, dan teori. Realitas tidak dibahas dalam bentuk metafisik spekulatif, tetapi sebagai apa yang dikatakan oleh teori terbaik kita, apa yang terkuantifikasi oleh bentuk logis, dan apa yang direpresentasikan oleh struktur semantik. Pendekatan ini melahirkan pemahaman yang tajam namun terbatas: ia memperjelas kerangka konseptual tentang realitas, tetapi sering menghindari dimensi eksistensial, nilai, atau pengalaman.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1961), §1.1.

[2]                Ibid., §2.1–2.18.

[3]                Ibid., §6.522.

[4]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.

[5]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[6]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.

[7]                Ibid., 84–91.


5.           Struktur Realitas dalam Fenomenologi dan Eksistensialisme

Fenomenologi dan eksistensialisme merupakan dua pendekatan filosofis yang menyoroti realitas dari sudut pandang pengalaman manusia secara langsung dan konkret, berbeda dari pendekatan abstrak dan formal yang lazim dalam filsafat analitik. Fokus utamanya bukan pada penyusunan model realitas secara teoritis, melainkan pada bagaimana realitas dialami, ditangkap, dan dimaknai oleh subjek. Dalam kerangka ini, struktur realitas tidak bersifat objektif dan netral belaka, melainkan selalu melibatkan kesadaran, keterlemparan, makna, dan keterlibatan eksistensial.

5.1.       Edmund Husserl: Realitas sebagai Korelasi antara Subjek dan Objek

Sebagai pendiri fenomenologi, Edmund Husserl mengajukan proyek radikal untuk “kembali ke hal-hal itu sendiri” (Zurück zu den Sachen selbst), yakni ke pengalaman sebagaimana dialami oleh kesadaran murni.¹ Dalam kerangka Husserlian, realitas bukan entitas yang berdiri di luar subjek, tetapi selalu diberi (gegeben) kepada kesadaran dalam bentuk intensionalitas — yakni, kesadaran yang selalu terarah pada sesuatu.²

Husserl memandang bahwa struktur realitas tidak dapat dipisahkan dari struktur kesadaran. Prosedur reduksi fenomenologis (epoché) yang ia kembangkan bertujuan menyisihkan asumsi tentang eksistensi dunia luar demi memahami esensi pengalaman. Dunia objektif, dalam hal ini, merupakan konstruksi dari korelasi noesis (kesadaran) dan noema (makna dari yang disadari).³ Dengan demikian, struktur realitas adalah hasil dari konstitusi makna dalam kesadaran transendental.

5.2.       Martin Heidegger: Keberadaan sebagai Pemahaman dan Keterlemparan

Martin Heidegger, murid Husserl, merevisi pendekatan fenomenologi dengan menggantikan pusat perhatian dari kesadaran menjadi keberadaan itu sendiri (Sein). Dalam karya utamanya Sein und Zeit, Heidegger memperkenalkan konsep Dasein, yaitu eksistensi manusia yang menyadari keberadaannya dan memiliki kemampuan untuk menanyakan tentang makna keberadaan.⁴

Menurut Heidegger, realitas tidak bisa dipahami terpisah dari keterlibatan eksistensial manusia di dalam dunia. Struktur realitas bukan sekadar “benda-benda” yang ada, melainkan jaringan makna yang diungkap dalam praktik sehari-hari. Konsep being-in-the-world (In-der-Welt-sein) menekankan bahwa realitas hadir dalam konteks pemakaian, kerja, dan perhatian praktis manusia, bukan sebagai objek netral bagi penonton pasif.⁵

Heidegger juga menyoroti bahwa struktur realitas menyembunyikan dirinya sendiri (aletheia sebagai “pengungkapan dan penyingkapan”), dan tugas filsafat adalah membiarkan keberadaan itu berbicara, bukan menundukkannya pada kerangka kategori yang kaku.⁶

5.3.       Maurice Merleau-Ponty: Realitas sebagai Tubuh yang Mengalami

Melanjutkan jalur fenomenologi eksistensial, Maurice Merleau-Ponty menekankan pengalaman tubuh sebagai fondasi struktur realitas. Dalam Phenomenology of Perception, ia berargumen bahwa tubuh bukanlah objek di dunia, tetapi subjek yang hidup dalam dan melalui dunia.⁷ Pengalaman tubuh yang berada, bergerak, dan merasakan dunia membentuk struktur realitas yang bersifat prakonseptual.

Alih-alih melihat realitas sebagai “apa yang tampak” dari luar, Merleau-Ponty menegaskan bahwa realitas terjalin dalam struktur persepsi yang aktif dan bersifat reversibel — yakni, tubuh yang meraba sekaligus dapat diraba.⁸ Ini menegaskan bahwa realitas hadir sebagai pengalaman langsung dan konkret, bukan semata-mata representasi intelektual.

5.4.       Jean-Paul Sartre: Realitas sebagai Kebebasan dan Keberadaan-untuk-Sendiri

Dalam tradisi eksistensialisme Prancis, Jean-Paul Sartre membedakan antara être-en-soi (keberadaan dalam dirinya sendiri) dan être-pour-soi (keberadaan untuk dirinya sendiri). Yang pertama adalah realitas benda — tertutup dan tetap — sedangkan yang kedua adalah kesadaran — terbuka, bebas, dan tanpa esensi.⁹

Bagi Sartre, struktur realitas bagi manusia adalah ketiadaan yang menyertai kebebasan. Manusia tidak memiliki hakikat tetap, dan realitas eksistensialnya ditentukan oleh tindakan dan pilihan yang terus-menerus. Dalam kerangka ini, realitas bersifat terbuka dan belum selesai, dan manusia ditakdirkan untuk menciptakan makna di tengah absurditas.¹⁰


Implikasi: Struktur Realitas sebagai Keberadaan yang Dialami

Dari perspektif fenomenologis dan eksistensialis, struktur realitas tidak dapat dipahami secara objektif, terpisah dari subjek manusia. Realitas senantiasa hadir dalam pengalaman yang terlibat, dalam struktur kesadaran, keberadaan, tubuh, dan kebebasan. Dengan demikian, realitas bukan hanya “yang ada”, melainkan juga “yang dihayati” dan “yang dimaknai”.

Pendekatan ini membawa koreksi penting terhadap filsafat yang terlalu mengandalkan objektivitas dan sistem formal. Ia menekankan bahwa memahami struktur realitas berarti memahami kehadiran manusia di dalam dunia secara total — sebagai makhluk yang sadar, mengalami, dan bertanya tentang makna keberadaan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §1.

[2]                Ibid., §33–38.

[3]                Ibid., §47–54.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), Division I, §9–13.

[5]                Ibid., §12.

[6]                Martin Heidegger, The Essence of Truth, trans. Ted Sadler (London: Continuum, 2002), 8–12.

[7]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), 94–101.

[8]                Ibid., 147–155.

[9]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), Part I, ch. 1–2.

[10]             Ibid., Part IV, ch. 1.


6.           Peran Ilmu Pengetahuan dalam Membentuk Konsep Realitas

Ilmu pengetahuan (sains) modern telah menjadi salah satu kekuatan dominan dalam membentuk cara manusia memahami realitas. Sejak Revolusi Ilmiah abad ke-17, realitas secara bertahap direduksi menjadi sesuatu yang dapat diukur, diobservasi, dan dirumuskan dalam hukum universal. Dalam kerangka ini, sains tidak hanya menggambarkan dunia sebagaimana adanya, tetapi juga mengonstruksi dan menafsirkan struktur realitas berdasarkan model dan teori yang dibangunnya.

6.1.       Sains Klasik: Realitas sebagai Mekanisme yang Teratur

Dalam paradigma Newtonian, alam semesta dipandang sebagai sistem mekanistik dan deterministik, yang tunduk pada hukum-hukum fisika universal.⁽¹⁾ Konsep ruang, waktu, dan materi dijadikan dasar bagi struktur realitas objektif yang dapat dijelaskan secara kausal dan matematis. Model ini membentuk realitas sebagai totalitas objek yang tunduk pada hukum sebab-akibat, di mana observasi dan eksperimen menjadi instrumen untuk mengungkap kebenaran.

Namun, pendekatan ini sangat bergantung pada ontologi partikel dan substansi, di mana entitas fisik diperlakukan sebagai unit dasar dari kenyataan. Di balik klaim obyektivitasnya, paradigma ini tetap menyimpan asumsi metafisik yang mendalam tentang struktur realitas, yaitu bahwa dunia luar benar-benar eksis secara independen dari pengamat, dan bahwa kebenaran adalah korespondensi antara teori dan kenyataan.⁽²⁾

6.2.       Sains Kuantum: Ketidakpastian dan Peran Pengamat

Perkembangan mekanika kuantum di awal abad ke-20 mengguncang dasar-dasar pemahaman klasik tentang realitas. Eksperimen seperti double-slit experiment menunjukkan bahwa partikel subatom tidak memiliki posisi atau lintasan tertentu sampai diukur; sebaliknya, mereka eksis dalam superposisi keadaan.⁽³⁾

Pemikiran Niels Bohr dan Werner Heisenberg melalui interpretasi Kopenhagen menegaskan bahwa kenyataan kuantum tidak dapat dipisahkan dari pengamat, dan bahwa realitas di tingkat mikroskopis bersifat probabilistik, bukan deterministik.⁽⁴⁾ Artinya, struktur realitas tidak lagi bersifat tetap dan objektif, tetapi terbentuk melalui interaksi antara sistem dan pengamat.

Fenomena ini membuka kembali pertanyaan ontologis: apakah realitas bersifat objektif secara independen dari kesadaran? Apakah pengamatan menciptakan realitas? Fisika kuantum dengan demikian menggugurkan pandangan realitas sebagai struktur pasif yang menunggu untuk ditemukan, dan justru memperlihatkannya sebagai entitas aktif, dinamis, dan partisipatif.

6.3.       Ontologi Struktural-Relasional dalam Ilmu Kontemporer

Sejalan dengan perkembangan sains kontemporer, muncul pendekatan ontologi struktural-realis yang menekankan bahwa struktur relasi lebih fundamental daripada objek individu. James Ladyman dan Don Ross, misalnya, dalam buku Every Thing Must Go, menolak metafisika substansi klasik dan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern menunjukkan bahwa apa yang disebut "benda" hanyalah simpul dalam jaringan relasi struktural.⁽⁵⁾

Ontologi ini menyatakan bahwa entitas fisik tidak memiliki identitas mandiri, melainkan didefinisikan oleh posisinya dalam struktur relasional. Misalnya, elektron bukanlah partikel dengan sifat tetap, tetapi suatu entitas yang hanya dapat dijelaskan dalam konteks relasinya dengan partikel lain dan medan medan gaya. Dalam hal ini, realitas adalah struktur informasi dan keterkaitan, bukan kumpulan “benda” yang eksis dengan sendirinya.

6.4.       Realisme vs Anti-Realisme: Apakah Ilmu Menemukan atau Menciptakan Realitas?

Perdebatan klasik dalam filsafat sains adalah antara realisme ilmiah dan anti-realisme. Kaum realis, seperti Karl Popper dan Hilary Putnam, berargumen bahwa teori ilmiah mewakili realitas sebagaimana adanya, meskipun bersifat sementara dan revisibel.⁽⁶⁾ Sebaliknya, Bas van Fraassen, dalam kerangka konstruktivisme empiris, menyatakan bahwa teori ilmiah tidak harus benar secara ontologis, tetapi cukup “berhasil secara empiris”.⁽⁷⁾

Dalam konteks ini, struktur realitas bukan sesuatu yang ditemukan oleh sains, melainkan sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan paradigma dan instrumen kognitif. Artinya, sains tidak netral secara ontologis, tetapi membentuk realitas melalui model-model teoritis dan bahasa yang digunakannya.

6.5.       Sains dan Realitas Virtual: Tantangan Era Digital

Di era digital dan kecerdasan buatan, tantangan baru muncul dalam memahami realitas. Teknologi simulasi, realitas virtual, dan kecerdasan buatan menciptakan dunia buatan yang semakin sulit dibedakan dari realitas fisik. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah simulasi dapat dianggap sebagai bagian dari struktur realitas? Apakah realitas itu sendiri dapat direduksi menjadi informasi?

Pemikiran Jean Baudrillard menunjukkan bahwa dalam masyarakat postmodern, representasi sering kali menggantikan kenyataan — menciptakan apa yang disebut sebagai hiperrealitas: dunia yang lebih nyata daripada yang nyata, tetapi tidak memiliki referensi.⁽⁸⁾ Hal ini menegaskan bahwa pemahaman tentang struktur realitas di zaman kontemporer tidak hanya bergantung pada ilmu alam, tetapi juga pada media, simbol, dan sistem representasi.


Simpulan: Peran Konstruktif dan Deskriptif Ilmu terhadap Realitas

Ilmu pengetahuan memiliki peran ganda dalam struktur realitas: sebagai deskripsi teoritis atas dunia sebagaimana adanya dan sebagai konstruksi epistemik yang membentuk cara kita memahaminya. Dari sains klasik yang bersifat deterministik hingga paradigma kuantum dan relasional yang terbuka, ilmu pengetahuan telah menantang pemahaman ontologis lama dan membuka kemungkinan baru dalam menafsirkan keberadaan.

Dengan demikian, sains bukan hanya alat untuk “menemukan” realitas, tetapi juga aktor aktif dalam membentuk struktur realitas, baik melalui konseptualisasi, pengamatan, maupun teknologi yang diciptakannya.


Footnotes

[1]                Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1934), Book I.

[2]                Ernan McMullin, “The Conception of Science in Galileo’s Work,” in Galileo, Man of Science, ed. Ernan McMullin (New York: Basic Books, 1967), 245–276.

[3]                Richard Feynman, The Feynman Lectures on Physics, Vol. 3 (Reading, MA: Addison-Wesley, 1965), Ch. 1–2.

[4]                Niels Bohr, “Discussion with Einstein on Epistemological Problems in Atomic Physics,” in Albert Einstein: Philosopher-Scientist, ed. Paul Arthur Schilpp (La Salle: Open Court, 1949), 201–241.

[5]                James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–167.

[6]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), Ch. 1.

[7]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 8–13.

[8]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.


7.           Implikasi Epistemologis dan Etis dari Struktur Realitas

Pemahaman mengenai struktur realitas tidak hanya memiliki konsekuensi dalam ranah metafisika, tetapi juga berdampak besar terhadap cara manusia mengetahui (epistemologi) dan bertindak (etika). Dalam tradisi filsafat, struktur realitas seringkali diasumsikan sebagai sesuatu yang netral dan mandiri. Namun, berbagai pendekatan ontologis kontemporer—baik dari fenomenologi, filsafat sains, maupun konstruktivisme sosial—menunjukkan bahwa struktur realitas berelasi erat dengan kondisi manusia sebagai subjek pengetahuan dan agen moral.

7.1.       Implikasi Epistemologis: Antara Representasi dan Konstruksi

Dari sudut pandang epistemologi klasik, pengetahuan dipahami sebagai representasi yang akurat tentang dunia luar. Asumsi ini berakar pada realisme ontologis yang menganggap bahwa realitas memiliki struktur tetap yang dapat ditangkap secara objektif oleh akal manusia.⁽¹⁾ Namun, perkembangan dalam filsafat sains dan fenomenologi telah menggeser paradigma ini menjadi lebih relasional dan konstruktivis.

Dalam epistemologi fenomenologis, seperti yang dikembangkan oleh Husserl, realitas tidak dapat dipisahkan dari kesadaran yang menghayatinya. Realitas, dalam hal ini, merupakan hasil dari proses konstitusi makna oleh subjek—pengetahuan bukanlah cermin pasif, melainkan aktivitas aktif yang menyusun dunia secara koheren.⁽²⁾

Hal serupa dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions, yang menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah berkembang melalui paradigma yang membentuk cara komunitas ilmiah melihat dan memahami realitas.⁽³⁾ Maka, struktur realitas bukan sekadar objek pasif, tetapi produk interaktif antara dunia dan kerangka interpretatif manusia.

Pendekatan ini memperlihatkan bahwa pengetahuan tidak bersifat netral, melainkan senantiasa dikondisikan oleh struktur bahasa, budaya, dan nilai. Maka, epistemologi yang bertanggung jawab harus mempertimbangkan posisi subjek, keterbatasan perspektif, dan dinamika kekuasaan yang turut membentuk struktur pemahaman.

7.2.       Implikasi Etis: Eksistensi, Tanggung Jawab, dan Tindakan

Jika struktur realitas tidak berdiri sendiri secara absolut, melainkan dipahami melalui keterlibatan eksistensial manusia, maka konsekuensi etisnya adalah bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab dalam menata dan menafsirkan dunia. Dalam filsafat eksistensialisme, seperti dalam pemikiran Jean-Paul Sartre, realitas bagi manusia bersifat terbuka—manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas” karena ia harus menciptakan makna dan arah hidupnya sendiri.⁽⁴⁾

Struktur realitas yang tidak tetap justru menuntut komitmen moral dan tanggung jawab eksistensial. Etika tidak bisa lagi bertumpu pada hukum-hukum alam atau norma-norma metafisik yang kaku, melainkan harus bersifat reflektif, kontekstual, dan dialogis. Hal ini ditegaskan pula oleh Emmanuel Levinas, yang menyatakan bahwa realitas paling mendasar adalah wajah orang lain, dan bahwa struktur realitas sejati dimulai dari relasi etis dengan yang lain.⁽⁵⁾

Dalam konteks ini, struktur realitas mengandung dimensi normatif, bukan hanya deskriptif. Artinya, apa yang kita anggap nyata juga berkaitan dengan apa yang kita anggap penting, adil, dan layak diperjuangkan. Pengetahuan dan tindakan tidak dapat dipisahkan dari nilai dan komitmen moral.

7.3.       Kebenaran, Makna, dan Kehidupan Sosial

Pandangan ontologis yang menyadari keterbatasan dan konstruksi realitas juga membawa implikasi besar bagi kehidupan sosial. Dalam kerangka konstruktivisme sosial, seperti yang dikembangkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann, realitas sosial terbentuk melalui proses institusionalisasi, internalisasi, dan objektivasi.⁽⁶⁾ Dunia sosial bukanlah entitas objektif yang terlepas dari manusia, tetapi hasil dari tindakan dan interaksi yang berulang-ulang dan mengendap menjadi struktur.

Hal ini menuntut kesadaran kritis terhadap bagaimana realitas sosial terbentuk dan dipertahankan, termasuk melalui bahasa, simbol, kebijakan, dan struktur kekuasaan. Dalam hal ini, struktur realitas tidak hanya mempengaruhi cara kita mengetahui, tetapi juga cara kita hidup bersama, termasuk dalam membentuk sistem keadilan, norma etika, dan identitas kolektif.

Dengan demikian, pertanyaan tentang struktur realitas tidak semata-mata bersifat spekulatif, tetapi juga mengandung muatan praktis dan transformasional. Ia menuntut kita untuk bertanya: realitas macam apa yang sedang kita bangun? Siapa yang diuntungkan? Dan bagaimana kita bisa mengubahnya demi kebaikan bersama?


Simpulan

Implikasi epistemologis dan etis dari struktur realitas menunjukkan bahwa realitas bukanlah sekadar latar pasif dari keberadaan, melainkan ruang aktif yang dibentuk oleh pengetahuan dan tindakan manusia. Memahami realitas berarti memahami tanggung jawab epistemik dan etis kita sebagai subjek yang hidup dan bertindak di dunia ini. Oleh karena itu, ontologi tidak bisa dilepaskan dari etika dan epistemologi: ketiganya saling berkaitan dalam menyusun peta pemahaman tentang keberadaan, pengetahuan, dan kewajiban manusia.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 34–40.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §36–42.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52–65.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–30.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–44.

[6]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 61–85.


8.           Kritik dan Tantangan dalam Menyusun Struktur Realitas

Penyusunan konsep tentang struktur realitas merupakan proyek filosofis yang ambisius, karena menyangkut upaya menjelaskan secara menyeluruh apa yang ada, bagaimana ia ada, dan dalam kerangka keteraturan seperti apa segala yang ada itu saling terhubung. Namun, dalam perjalanannya, proyek ini tidak luput dari kritik mendasar dan menghadapi berbagai tantangan ontologis, epistemologis, dan linguistik. Kritik-kritik ini menggarisbawahi keterbatasan pendekatan filosofis maupun ilmiah dalam memetakan realitas secara utuh dan obyektif.

8.1.       Masalah Representasi dan Bahasa

Salah satu tantangan utama dalam menyusun struktur realitas adalah ketergantungan pada bahasa sebagai alat konseptualisasi. Bahasa bukanlah medium netral; ia membentuk cara kita berpikir dan memandang dunia. Ludwig Wittgenstein, dalam Philosophical Investigations, menolak pandangan sebelumnya bahwa bahasa adalah cermin dunia. Ia menyatakan bahwa makna adalah penggunaan (meaning is use), dan bahwa realitas dipahami dalam konteks praktik linguistik tertentu.¹

Dengan demikian, struktur realitas tidak dapat diklaim sebagai entitas yang "ada di luar sana" secara mutlak, karena ia selalu dimediasi oleh kategori linguistik dan budaya. Realitas tidak ditemukan secara murni, tetapi dikonstruksi dalam permainan bahasa.² Pandangan ini juga didukung oleh para post-strukturalis, seperti Derrida, yang menolak stabilitas makna dan menekankan ketidakmungkinan kehadiran penuh realitas dalam tanda

8.2.       Keterbatasan Perspektif Subjektif

Fenomenologi telah menunjukkan bahwa realitas selalu dipahami dari sudut pandang subjek, namun keterbatasan ini juga menjadi tantangan. Apa yang disebut sebagai “realitas” adalah produk korelasi antara subjek dan objek (Husserl), tetapi ini membuka kritik bahwa seluruh struktur realitas yang disusun adalah antropo-sentris dan tidak pernah lepas dari batas persepsi manusia.⁴

Dengan kata lain, upaya menyusun struktur realitas secara objektif menghadapi paradoks: kita ingin memetakan realitas secara utuh, namun hanya bisa melakukannya dari dalam realitas itu sendiri. Bahkan pendekatan ilmiah yang tampaknya objektif pun dibatasi oleh instrumen, teori, dan paradigma yang bersifat historis dan sosial.

8.3.       Kritik terhadap Metafisika Tradisional

Sejak awal abad ke-20, banyak filsuf, terutama dalam tradisi positivisme logis dan filsafat analitik, mempertanyakan validitas proyek metafisika. Rudolf Carnap, misalnya, menyatakan bahwa banyak pernyataan metafisika tentang realitas tidak memiliki makna empiris dan karena itu nonsensikal dalam kerangka logika dan verifikasi.⁵

Bagi Carnap, pernyataan tentang “struktur realitas” sering kali hanyalah pseudo-proposisi, yakni klaim yang terdengar mendalam tetapi tidak dapat dibuktikan atau diuji. Ini menimbulkan pertanyaan apakah upaya menyusun struktur realitas adalah proyek yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, atau hanya spekulasi kosong yang tak dapat diverifikasi.

8.4.       Tantangan dari Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Ilmu pengetahuan modern juga menunjukkan bahwa realitas tidak selalu koheren atau seragam. Dalam fisika kuantum, misalnya, dunia tidak selalu mematuhi logika biner klasik. Eksperimen dengan entanglement dan dualitas gelombang-partikel memperlihatkan bahwa realitas bersifat paradoksikal dan tak terduga, sehingga sulit untuk disusun dalam satu struktur tunggal dan stabil.⁶

Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow bahkan memperkenalkan konsep model-dependent realism, yang menyatakan bahwa tidak ada satu model realitas yang benar secara absolut; yang ada hanyalah model-model yang berhasil menjelaskan fenomena dalam konteks tertentu.⁷ Ini menunjukkan bahwa struktur realitas mungkin bersifat pluralistik dan bergantung pada kerangka konseptual, bukan tunggal dan objektif.

8.5.       Realitas Simulasi dan Kehilangan Referensi

Tantangan kontemporer terbesar mungkin datang dari fenomena simulasi dan virtualisasi, yang mengaburkan batas antara realitas dan representasi. Dalam dunia digital dan algoritmis, manusia sering kali berinteraksi lebih banyak dengan representasi realitas (gambar, data, model) daripada dengan realitas itu sendiri. Jean Baudrillard menyebut kondisi ini sebagai hiperrealitas, di mana simulasi tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi menggantikannya.⁸

Dalam konteks ini, menyusun struktur realitas menjadi semakin problematis karena tidak jelas lagi mana yang nyata dan mana yang simulasi. Realitas kehilangan stabilitasnya sebagai fondasi epistemik, dan konsekuensinya, setiap klaim tentang “struktur realitas” dapat dipertanyakan dari segi ontologis dan politis.


Implikasi: Menuju Ontologi yang Rendah Hati

Keseluruhan kritik dan tantangan di atas mengarahkan kita pada kesadaran bahwa menyusun struktur realitas membutuhkan kerendahan ontologis — suatu pengakuan atas keterbatasan pengetahuan, keterikatan pada konteks, dan potensi pluralitas tafsir.⁹ Ontologi tidak bisa lagi menjadi proyek totalisasi, tetapi menjadi praktik reflektif, interdisipliner, dan terbuka, yang sadar akan batas dan biasnya sendiri.

Dengan demikian, tantangan utama bukan hanya menyusun struktur realitas, tetapi menyadari bahwa setiap struktur selalu bersifat terbuka, dapat direvisi, dan tidak pernah final.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[2]                Ibid., §§65–67.

[3]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–160.

[4]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §38–42.

[5]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language,” in Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (Glencoe: Free Press, 1959), 60–81.

[6]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 26–32.

[7]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 42–58.

[8]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[9]                Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham: Duke University Press, 2007), 81–97.


9.           Penutup: Menuju Pemahaman yang Komprehensif tentang Realitas

Upaya untuk memahami struktur realitas merupakan salah satu proyek paling mendasar sekaligus paling kompleks dalam sejarah filsafat. Dari pemikiran klasik tentang substansi dan bentuk oleh Plato dan Aristoteles, hingga pendekatan relasional, fenomenologis, dan ilmiah kontemporer, jelas bahwa realitas tidak pernah bersifat tunggal, sederhana, atau sepenuhnya dapat dijangkau oleh satu sistem pemikiran. Sebaliknya, realitas muncul sebagai entitas berlapis, dinamis, dan multidimensional, yang menuntut pendekatan lintas disiplin dan reflektif dalam memahaminya.

Di satu sisi, ontologi tradisional menawarkan kategori-kategori dasar seperti substansi, esensi, dan kausalitas untuk menjelaskan tatanan dunia. Di sisi lain, pendekatan fenomenologi dan eksistensialisme menggarisbawahi dimensi pengalaman, kebermaknaan, dan keterlibatan eksistensial subjek dalam realitas.⁽¹⁾ Dalam wilayah ilmu pengetahuan, perubahan paradigma dari mekanistik ke kuantum dan strukturalisme relasional mengindikasikan bahwa realitas tidak dapat dilepaskan dari kerangka teoretis dan partisipasi epistemik manusia.⁽²⁾

Pemikiran seperti yang dikembangkan oleh Roy Bhaskar melalui realisme kritis menunjukkan bahwa realitas harus dipahami sebagai berlapis-lapis (stratified), dengan mekanisme kausal yang tidak selalu langsung teramati, tetapi tetap nyata secara ontologis.⁽³⁾ Konsep ini membantu menjembatani jurang antara realitas sebagai yang “ada di luar sana” dan realitas sebagai yang “dikonstitusikan dalam pengalaman manusia.” Pemahaman ini menuntut filsafat untuk tidak hanya menjelaskan apa yang ada, tetapi juga bagaimana kita berada bersama realitas itu secara epistemologis dan etis.

Menuju pemahaman yang komprehensif tentang realitas berarti meninggalkan pendekatan reduksionistik—yang mereduksi realitas menjadi semata-mata materi, fakta, atau simbol—dan sebaliknya mengadopsi pendekatan holistik dan pluralistik. Ini mencakup dimensi material dan immaterial, logis dan eksistensial, ilmiah dan spiritual. Sebagaimana dikatakan oleh William James, pluralitas dunia bukanlah cacat, melainkan cermin dari kekayaan realitas itu sendiri.⁽⁴⁾

Selain itu, refleksi atas kritik postmodern, seperti yang dikemukakan Baudrillard dan Derrida, menyadarkan kita bahwa struktur realitas selalu berada dalam medan tafsir, simulasi, dan dekonstruksi.⁽⁵⁾ Maka, kita tidak hanya dihadapkan pada tugas membangun pemahaman tentang realitas, tetapi juga menyadari konstruksi-konstruksi yang telah membentuknya, baik melalui bahasa, teknologi, maupun ideologi.

Dalam konteks ini, kerendahan epistemik dan ontologis menjadi prinsip utama: kita menyadari bahwa segala klaim tentang realitas bersifat terbatas, bersyarat, dan terbuka terhadap revisi.⁽⁶⁾ Namun keterbatasan ini bukan alasan untuk menyerah pada relativisme nihilistik, melainkan dorongan untuk terus memperluas, memperdalam, dan memperhalus cara kita memahami dunia.

Maka, menyusun struktur realitas bukanlah proyek sekali jadi, tetapi perjalanan filosofis dan ilmiah yang tak pernah usai—suatu usaha kolektif dan dialogis yang terus bergerak menuju pemahaman yang lebih utuh, berakar pada keterbukaan terhadap kompleksitas keberadaan, serta kesadaran akan tanggung jawab manusia dalam memaknainya.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §12–18.

[2]                James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–167.

[3]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 2008), 13–22.

[4]                William James, A Pluralistic Universe (Lincoln: University of Nebraska Press, 1996), 6–9.

[5]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–8; Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.

[6]                Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham: Duke University Press, 2007), 81–97.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (Book VII). Random House.

Barad, K. (2007). Meeting the universe halfway: Quantum physics and the entanglement of matter and meaning. Duke University Press.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.

Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science (2nd ed.). Verso.

Bohr, N. (1949). Discussion with Einstein on epistemological problems in atomic physics. In P. A. Schilpp (Ed.), Albert Einstein: Philosopher-scientist (pp. 201–241). Open Court.

Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 60–81). Free Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Feynman, R. (1965). The Feynman lectures on physics: Vol. 3. Addison-Wesley.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (2002). The essence of truth (T. Sadler, Trans.). Continuum.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

James, W. (1996). A pluralistic universe. University of Nebraska Press. (Original work published 1909)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Ladyman, J., & Ross, D. (2007). Every thing must go: Metaphysics naturalized. Oxford University Press.

Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds. Blackwell.

McMullin, E. (1967). The conception of science in Galileo’s work. In E. McMullin (Ed.), Galileo, man of science (pp. 245–276). Basic Books.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.

Newton, I. (1934). Philosophiae naturalis principia mathematica (A. Motte, Trans.). University of California Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Ed.). Hackett Publishing.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Quine, W. V. O. (1953a). On what there is. In From a logical point of view (pp. 1–19). Harvard University Press.

Quine, W. V. O. (1953b). Two dogmas of empiricism. In From a logical point of view (pp. 20–46). Harvard University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Wittgenstein, L. (1961). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar