Struktur Realitas
Menyingkap Lapisan-Lapisan Keberadaan
Alihkan ke: Realitas,
Ontologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji berbagai pendekatan filosofis
dalam memahami struktur realitas, yaitu tatanan ontologis yang mendasari
keberadaan segala sesuatu. Dengan menelusuri evolusi pemikiran dari filsafat
klasik hingga kontemporer, tulisan ini memaparkan dimensi-dimensi realitas
seperti substansi, relasi, proses, dan lapisan ontologis, sebagaimana
dikembangkan oleh Plato, Aristoteles, Whitehead, Hartmann, dan lain-lain.
Artikel ini juga mengeksplorasi perspektif filsafat analitik yang menekankan
logika, bahasa, dan komitmen ontologis, serta pendekatan fenomenologi dan
eksistensialisme yang menyoroti pengalaman langsung dan keterlibatan eksistensial
manusia dalam realitas. Ilmu pengetahuan modern turut dibahas sebagai kekuatan
pembentuk konsep realitas melalui berbagai paradigma, mulai dari mekanika
klasik hingga realisme struktural dan model-dependent realism. Lebih lanjut,
artikel ini mengkaji implikasi epistemologis dan etis dari berbagai pandangan
ontologis, serta menghadirkan kritik terhadap ambisi totalitas dalam menyusun
struktur realitas. Dengan demikian, artikel ini menawarkan pendekatan
komprehensif dan reflektif terhadap pemahaman realitas yang bersifat plural,
terbuka, dan dinamis.
Kata Kunci: Struktur realitas, ontologi, fenomenologi, filsafat
analitik, sains, relasionalitas, proses, eksistensialisme, epistemologi, etika.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat tentang Struktur Realitas
1.
Pendahuluan:
Apa yang Dimaksud dengan Struktur Realitas?
Pertanyaan mengenai “apa yang nyata” telah
menjadi inti dari pemikiran filosofis sejak zaman kuno. Dalam ranah ontologi,
cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan, konsep struktur
realitas merujuk pada cara-cara fundamental di mana segala sesuatu yang ada
tersusun, berinteraksi, dan saling berhubungan. Struktur realitas bukan hanya
tentang apa yang ada, melainkan juga bagaimana hal-hal tersebut
ada, dan dalam pola keteraturan seperti apa mereka membentuk totalitas
keberadaan.
Secara sederhana, struktur realitas dapat
dimengerti sebagai kerangka ontologis yang memungkinkan kita memahami
dan mengklasifikasikan entitas, relasi, dan sifat-sifat dasar dari segala
sesuatu yang eksis di dunia. Dalam pandangan Plato, struktur realitas
ditentukan oleh dunia ide (eidos) yang abadi dan tak berubah, sementara dunia
inderawi hanyalah bayangan yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk ideal
tersebut.¹ Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa realitas terdiri dari
substansi konkret yang memiliki bentuk dan materi, dengan eksistensi yang
aktual di dunia nyata.²
Dalam era modern, pertanyaan tentang struktur
realitas semakin kompleks. Immanuel Kant membedakan antara dunia
fenomenal (sebagaimana realitas tampak kepada kita) dan dunia noumenal
(realitas sebagaimana dirinya sendiri, yang tidak bisa dijangkau secara
langsung).³ Ini menunjukkan bahwa pemahaman manusia terhadap realitas selalu
berada dalam batasan persepsi dan struktur kognitifnya sendiri.
Konsep struktur realitas kemudian berkembang
menjadi diskusi mengenai lapisan-lapisan realitas — mulai dari material,
biologis, hingga spiritual — sebagaimana diusulkan oleh pemikir seperti Nicolai
Hartmann, yang mengemukakan bahwa realitas tersusun dalam tingkatan ontologis
yang saling bertumpu dan tidak dapat direduksi satu sama lain.⁴ Dalam kerangka
ini, struktur realitas bukanlah satu dimensi tunggal, melainkan tatanan
kompleks dan hierarkis yang memuat berbagai bentuk keberadaan.
Pentingnya mengkaji struktur realitas tidak hanya
terletak pada aspek teoretis, tetapi juga pada dampaknya terhadap cara manusia mengetahui
dunia (epistemologi), bertindak dalam dunia (etika), serta menyusun sistem
kepercayaan dan ilmu pengetahuan. Pemahaman tentang struktur realitas
menjadi dasar bagi penyusunan teori-teori ilmiah, pengembangan teknologi,
hingga tafsir terhadap kehidupan dan eksistensi manusia itu sendiri. Dalam era
digital dan virtual saat ini, di mana batas antara realitas dan simulasi mulai
kabur, pertanyaan tentang “apa yang nyata” menjadi semakin relevan dan
mendesak untuk dikaji secara mendalam.⁵
Dengan demikian, pembahasan tentang struktur
realitas bukan hanya urusan filsafat spekulatif, melainkan merupakan usaha
kritis untuk memahami keberadaan dan posisi manusia dalam keseluruhan tatanan
dunia yang kompleks, dinamis, dan berlapis-lapis.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in
The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random
House, 1941), Book VII.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A235/B294.
[4]
Nicolai Hartmann, New Ways of Ontology,
trans. Reinhard C. Kuhn (Chicago: Henry Regnery Company, 1953), 46–68.
[5]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6.
2.
Perspektif
Historis: Evolusi Pemikiran tentang Realitas
Pemikiran tentang realitas
merupakan bagian paling mendasar dalam sejarah filsafat. Dari masa ke masa,
para filsuf berupaya menjelaskan apa itu yang benar-benar ada,
dan bagaimana cara manusia memahami keberadaan tersebut. Evolusi pandangan
tentang struktur realitas memperlihatkan perubahan paradigma yang signifikan —
dari pendekatan metafisik klasik hingga perspektif postmodern yang lebih pluralistik
dan kritis terhadap konsep “realitas objektif”.
2.1. Yunani Kuno: Fondasi Ontologis
Pemikiran filsafat
Barat mengenai realitas bermula di Yunani kuno. Plato adalah tokoh penting yang
mengembangkan gagasan tentang dua dunia: dunia ide (forms) yang abadi
dan sempurna, serta dunia indrawi yang berubah dan
tidak sempurna. Baginya, struktur realitas sejati terletak pada dunia ide —
suatu tatanan keberadaan yang hanya dapat diakses melalui akal budi, bukan
pengalaman inderawi.¹
Sementara itu, Aristoteles,
murid Plato, mengkritisi dualisme gurunya. Ia menegaskan bahwa substansi
(ousia) merupakan dasar dari segala keberadaan, dan bahwa bentuk (form) tidak
terpisah dari materi (matter), melainkan menyatu dalam eksistensi aktual suatu
entitas.² Dengan demikian, realitas menurut Aristoteles bersifat imanen — hadir
dalam dunia ini, bukan di luar sana seperti dalam konsep dunia ide Plato.
2.2. Abad Pertengahan: Sintesis Ontologis dan Teologis
Dalam era
pertengahan, pemikiran ontologis banyak dipengaruhi oleh tradisi teologis. Thomas
Aquinas, misalnya, mensintesiskan filsafat Aristotelian dengan
teologi Kristen. Ia berpendapat bahwa eksistensi segala sesuatu bergantung pada
Aktus
Puri, yaitu Tuhan sebagai ipsum esse subsistens — keberadaan
murni yang menjadi dasar segala yang ada.³ Demikian pula dalam tradisi Islam, Ibn Sina
(Avicenna) membedakan antara mahiyah (esensi) dan wujud
(eksistensi), dan menyatakan bahwa hanya Tuhan yang esensinya identik dengan
eksistensinya.⁴
Pemikiran para
filsuf abad pertengahan mengarahkan perhatian pada hirarki
keberadaan, di mana struktur realitas dipandang bertingkat,
dengan Tuhan sebagai puncak dari segala eksistensi.
2.3. Era Modern: Revolusi Epistemologis dan Ontologis
Filsafat modern
menandai pergeseran dari ontologi ke epistemologi. René
Descartes memperkenalkan dualisme substansi antara res
cogitans (substansi berpikir) dan res
extensa (substansi yang meluas secara fisik), dengan
menempatkan pikiran sebagai titik mula keberadaan melalui cogito: “Aku berpikir, maka aku ada.”⁵ Pandangan
ini memunculkan fragmentasi antara subjek dan objek, antara pikiran dan dunia
luar, yang kemudian menjadi tantangan bagi filsuf-filsuf sesudahnya.
Immanuel
Kant melakukan revolusi konseptual dengan menyatakan bahwa kita
tidak bisa mengetahui realitas sebagaimana adanya (noumenon), melainkan hanya
sebagaimana ia tampak kepada kita melalui struktur a priori akal (phenomenon).⁶
Dengan demikian, struktur realitas yang kita pahami sebenarnya merupakan hasil
dari struktur pikiran manusia itu sendiri.
2.4. Filsafat Kontemporer: Multiperspektif dan Kritik
terhadap Realitas
Memasuki abad ke-20,
berbagai pendekatan ontologis baru bermunculan. Dalam filsafat
analitik, Willard Van Orman Quine menolak
dikotomi antara analitik dan sintetik, serta meragukan adanya fondasi tetap
dalam bahasa atau realitas.⁷ Sementara itu, David Lewis mengembangkan teori
modal
realism, yakni bahwa semua kemungkinan eksistensial (dunia
mungkin) benar-benar nyata di dunia mereka masing-masing.⁸
Dalam tradisi fenomenologi,
Edmund
Husserl menekankan bahwa realitas tidak bisa dipahami tanpa
menyertakan kesadaran subjek yang mengalaminya. Realitas adalah “yang
terberi” (gegeben) dalam kesadaran, bukan
objek netral di luar pengamatan.⁹ Martin Heidegger melanjutkan
dengan menggali makna keberadaan itu sendiri (Sein), yang menurutnya telah
dilupakan dalam tradisi filsafat Barat. Ia memperkenalkan konsep Dasein,
sebagai eksistensi manusia yang memiliki pemahaman tentang keberadaan.¹⁰
Pada akhirnya,
pendekatan postmodern seperti yang dikemukakan Jean Baudrillard meradikalkan
pemahaman tentang realitas. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat kontemporer,
kita hidup dalam simulacra — representasi dari
representasi — yang telah terlepas dari referensi realitas sejati.¹¹ Struktur
realitas, dalam pandangan ini, menjadi sesuatu yang tidak pasti, terbentuk dari
konstruksi media, simbol, dan ideologi.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book VII.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (Notre Dame: Christian Classics, 1981), I, q.3.
[4]
Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), Meditation II.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.
[7]
W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism, in From a Logical
Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.
[8]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986).
[9]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), §27–33.
[10]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), Division I, ch. 1–2.
[11]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
3.
Dimensi-Dimensi
dalam Struktur Realitas
Struktur realitas
bukanlah entitas tunggal dan statis, melainkan suatu tatanan
kompleks yang terdiri atas berbagai dimensi
ontologis. Para filsuf telah menawarkan berbagai kerangka untuk
memahami bagaimana realitas disusun, baik dalam bentuk entitas yang berdiri
sendiri, relasi antar entitas, proses yang berkesinambungan, maupun
lapisan-lapisan hierarkis yang saling mendasari. Setiap pendekatan menyoroti
aspek tertentu dari keberadaan, mencerminkan pluralitas dalam memahami struktur
realitas.
3.1. Ontologi Substansial: Realitas sebagai Entitas
Pendekatan ini
menganggap bahwa realitas terdiri atas substansi-substansi independen
yang memiliki esensi dan eksistensi. Pandangan ini berakar dari Aristoteles,
yang memandang substansi sebagai "apa yang ada dalam dirinya sendiri",
bukan dalam sesuatu yang lain.¹ Bagi Aristoteles, entitas (misalnya manusia,
pohon, bintang) adalah pusat realitas, dan kategori seperti kualitas atau
kuantitas hanyalah aksiden yang menempel padanya. Ontologi substansial
menekankan bahwa ada entitas yang benar-benar ada, dan keberadaan dapat
dijelaskan dengan menyelidiki hakikat entitas tersebut.
Model ini terus
bertahan dalam tradisi filsafat Barat hingga modernisme. Misalnya, Descartes
dan Spinoza
tetap berpegang pada realitas sebagai sesuatu yang disusun oleh
substansi-substansi, meskipun mereka berbeda dalam jumlah dan sifatnya.
3.2. Ontologi Relasional: Realitas sebagai Jaringan
Relasi
Berlawanan dengan
pendekatan substansial, ontologi relasional berpendapat
bahwa realitas tidak tersusun dari benda-benda yang berdiri sendiri, melainkan
dari relasi
antara hal-hal. Dalam filsafat Timur seperti filsafat
Buddhis Madhyamaka, hal-hal tidak memiliki svabhava
(hakikat diri) dan hanya eksis karena saling bergantung (pratītyasamutpāda).²
Dalam tradisi Barat
modern, Alfred North Whitehead
mengembangkan filsafat proses, di mana
realitas terdiri dari peristiwa (actual occasions) yang saling terhubung
melalui relasi.³ Relasi bukan sekadar tambahan pada entitas, tetapi justru fondasi
dari eksistensi. Hal ini mengarah pada pandangan bahwa struktur realitas
bersifat dinamis dan terbentuk oleh keterhubungan, bukan entitas pasif yang
tetap.
3.3. Ontologi Proses: Realitas sebagai Dinamika yang
Berlangsung
Dalam ontologi
proses, realitas dipahami sebagai gerak,
perubahan, dan kejadian — bukan benda atau objek tetap.
Pandangan ini menolak gagasan bahwa eksistensi itu bersifat statis. Henri
Bergson, misalnya, menyatakan bahwa waktu sejati (durée
réelle) adalah aliran kontinu yang tidak dapat dibagi atau diukur
secara matematis.⁴
Bagi Whitehead,
setiap “entitas aktual” bukanlah objek melainkan proses aktualisasi, dan
dunia ini adalah jaringan kejadian yang sedang berlangsung.⁵ Realitas bukan
koleksi benda, tetapi jaringan proses yang berkesinambungan dan saling
memengaruhi.
3.4. Ontologi Lapisan: Realitas sebagai Struktur
Berjenjang
Pendekatan ini
mengusulkan bahwa realitas terdiri dari lapisan-lapisan ontologis yang
tersusun secara hierarkis dan tidak dapat direduksi satu sama lain. Nicolai
Hartmann menyusun struktur ini dalam empat tingkat: fisik,
biologis, psikologis, dan spiritual.⁶ Setiap tingkat memiliki hukum, kategori,
dan karakter ontologisnya sendiri, yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan
prinsip lapisan yang lebih rendah.
Pandangan ini
memperkuat argumen melawan reduksionisme ilmiah, yang
cenderung menjelaskan segala sesuatu berdasarkan hukum fisika saja. Misalnya,
perilaku manusia tidak dapat dijelaskan hanya melalui biologi atau kimia,
karena melibatkan kesadaran, makna, dan nilai.
Pendekatan serupa
juga dikembangkan oleh Roy Bhaskar dalam realisme
kritis, yang menekankan struktur kausal dalam dunia
nyata yang bekerja pada tingkat-tahap yang berbeda.⁷ Struktur realitas dalam
kerangka ini bersifat stratifikatif: realitas bukan
sekadar permukaan gejala, tetapi mengandung kedalaman struktur yang hanya bisa
diakses melalui penyelidikan kritis dan ilmiah.
Implikasi Multidimensional
Pendekatan-pendekatan
tersebut tidak selalu saling meniadakan, melainkan dapat dipahami secara komplementer.
Ontologi substansial memberi landasan bagi identitas, relasional memberi
pemahaman tentang interkoneksi, proses menjelaskan dinamika perubahan, sementara
pendekatan lapisan menunjukkan kompleksitas hierarkis. Dengan memahami berbagai
dimensi ini, kita memperoleh pandangan yang lebih utuh tentang struktur
realitas, yang membuka jalan bagi pemikiran lintas disiplin,
dari metafisika hingga ilmu pengetahuan modern dan bahkan spiritualitas.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book VII.
[2]
Nagarjuna, Mulamadhyamakakarika, trans. Jay L. Garfield, in The
Fundamental Wisdom of the Middle Way (New York: Oxford University Press,
1995), chap. 1.
[3]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 18–23.
[4]
Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data
of Consciousness, trans. F.L. Pogson (London: George Allen & Unwin,
1910), 100–110.
[5]
Whitehead, Process and Reality, 27–35.
[6]
Nicolai Hartmann, New Ways of Ontology, trans. Reinhard C.
Kuhn (Chicago: Henry Regnery Company, 1953), 46–68.
[7]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
2008), 13–22.
4.
Struktur
Realitas Menurut Filsafat Analitik
Filsafat analitik,
yang berkembang kuat di dunia berbahasa Inggris sejak awal abad ke-20, membawa
pendekatan yang khas terhadap persoalan realitas. Dikenal dengan
karakteristiknya yang berbasis logika, bahasa, dan klarifikasi
konseptual, para pemikir dalam tradisi ini menyusun pemahaman
tentang struktur realitas melalui analisis terhadap cara bahasa
merepresentasikan dunia, serta penyelidikan terhadap ontologi entitas dan
fakta. Dalam konteks ini, pertanyaan tentang “apa yang ada” menjadi
lebih spesifik dan sistematis, sering kali dibingkai dalam bentuk teori
ontologi formal, semantik realitas, dan komitmen
ontologis.
4.1. Wittgenstein Awal: Realitas sebagai Totalitas Fakta
Dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, Ludwig Wittgenstein menyatakan
bahwa “dunia
adalah totalitas fakta, bukan benda” (Die Welt ist die
Gesamtheit der Tatsachen, nicht der Dinge).¹ Dengan pernyataan ini,
Wittgenstein beralih dari pemahaman realitas sebagai kumpulan objek (ontologi
substansial) ke struktur fakta yang dapat
dipresentasikan secara logis oleh bahasa. Fakta-fakta ini adalah
keadaan-keadaan dunia (states of affairs) yang bisa dinyatakan dalam proposisi.
Menurutnya, struktur
logis bahasa mencerminkan struktur logis dunia. Maka, realitas
memiliki struktur proposisional, dan dunia dapat dijelaskan
sejauh bahasa dapat memetakannya secara tepat.² Namun, batas bahasa juga
menjadi batas dunia, dan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara logis
(seperti nilai dan metafisika murni) hanya dapat “ditunjukkan”
(gezeigt), bukan dikatakan (gesagt).³
4.2. Quine dan Kritik terhadap Ontologi Tradisional
Willard
Van Orman Quine mengkritik pandangan bahwa bahasa dapat
membedakan secara tajam antara proposisi analitik (benar berdasarkan makna) dan
sintetik (benar berdasarkan fakta). Dalam esainya Two Dogmas of Empiricism, Quine
menyatakan bahwa tidak ada landasan objektif untuk memisahkan keduanya, karena
makna dan fakta saling terkait dalam jaringan kepercayaan.⁴
Quine juga
memperkenalkan metode komitmen ontologis — yakni, entitas
apa saja yang “diakui” oleh suatu teori berdasarkan variabel bebas yang
dikuantifikasikan dalam bentuk logisnya.⁵ Misalnya, dalam menyusun teori
ilmiah, kita secara ontologis “berkomitmen” terhadap eksistensi elektron
jika kita secara kuantitatif menyatakannya dalam teori tersebut. Oleh karena
itu, realitas dibatasi oleh teori-teori terbaik kita, dan struktur realitas
adalah apa yang terimplikasi dari keseluruhan sistem pengetahuan yang koheren.
4.3. David Lewis dan Modal Realism
Salah satu
pendekatan paling radikal dalam filsafat analitik tentang realitas datang dari David
Lewis, yang mengembangkan teori modal realism. Dalam karyanya On the
Plurality of Worlds, Lewis menyatakan bahwa semua dunia yang
mungkin (possible
worlds) benar-benar eksis dalam pengertian yang sama nyatanya
dengan dunia aktual.⁶
Bagi Lewis, realitas
terdiri atas totalitas dari semua dunia mungkin, dan setiap dunia memiliki
struktur internal yang koheren dan terpisah dari dunia kita. Dunia aktual
hanyalah satu di antara tak terhingga dunia-dunia nyata lainnya. Gagasan ini
memberi struktur realitas yang luas, di mana modalitas (kemungkinan dan
keharusan) dijelaskan sebagai hubungan antar dunia aktual dan dunia mungkin.⁷
4.4. Struktur Realitas dalam Semantik dan Logika
Filsafat analitik
juga banyak membahas struktur realitas melalui semantik logis, di mana makna
suatu ekspresi ditentukan oleh kondisi kebenarannya dalam dunia. Pendekatan
ini, sebagaimana dikembangkan oleh Donald Davidson dan Saul
Kripke, menempatkan realitas sebagai referent
dari istilah dan kebenaran proposisi.
Misalnya, dalam semantik
model-theoretic, suatu struktur realitas dianggap sebagai model
yang memuaskan suatu himpunan kalimat dalam bahasa formal. Maka, pertanyaan
tentang struktur realitas dapat dijawab dengan pertanyaan: model
seperti apa yang memuaskan teori kita tentang dunia?
Implikasi terhadap Struktur Realitas
Dari uraian di atas,
tampak bahwa filsafat analitik menempatkan struktur realitas dalam
hubungan yang erat dengan bahasa, logika, dan teori. Realitas tidak dibahas
dalam bentuk metafisik spekulatif, tetapi sebagai apa yang
dikatakan oleh teori terbaik kita, apa yang
terkuantifikasi oleh bentuk logis, dan apa yang
direpresentasikan oleh struktur semantik. Pendekatan ini
melahirkan pemahaman yang tajam namun terbatas: ia memperjelas kerangka
konseptual tentang realitas, tetapi sering menghindari dimensi eksistensial,
nilai, atau pengalaman.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1961), §1.1.
[2]
Ibid., §2.1–2.18.
[3]
Ibid., §6.522.
[4]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point
of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.
[5]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.
[6]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 1–5.
[7]
Ibid., 84–91.
5.
Struktur
Realitas dalam Fenomenologi dan Eksistensialisme
Fenomenologi dan
eksistensialisme merupakan dua pendekatan filosofis yang menyoroti realitas
dari sudut pandang pengalaman manusia secara langsung dan konkret,
berbeda dari pendekatan abstrak dan formal yang lazim dalam filsafat analitik.
Fokus utamanya bukan pada penyusunan model realitas secara teoritis, melainkan
pada bagaimana
realitas dialami, ditangkap, dan dimaknai oleh subjek. Dalam
kerangka ini, struktur realitas tidak bersifat objektif dan netral belaka,
melainkan selalu melibatkan kesadaran, keterlemparan, makna, dan
keterlibatan eksistensial.
5.1. Edmund Husserl: Realitas sebagai Korelasi antara
Subjek dan Objek
Sebagai pendiri
fenomenologi, Edmund Husserl mengajukan
proyek radikal untuk “kembali ke hal-hal itu sendiri” (Zurück
zu den Sachen selbst), yakni ke pengalaman sebagaimana dialami oleh
kesadaran murni.¹ Dalam kerangka Husserlian, realitas bukan entitas yang
berdiri di luar subjek, tetapi selalu diberi (gegeben) kepada
kesadaran dalam bentuk intensionalitas — yakni,
kesadaran yang selalu terarah pada sesuatu.²
Husserl memandang
bahwa struktur realitas tidak dapat dipisahkan dari struktur kesadaran.
Prosedur reduksi fenomenologis (epoché)
yang ia kembangkan bertujuan menyisihkan asumsi tentang eksistensi dunia luar
demi memahami esensi pengalaman. Dunia objektif, dalam hal ini, merupakan
konstruksi dari korelasi noesis (kesadaran) dan noema (makna dari yang
disadari).³ Dengan demikian, struktur realitas adalah hasil dari konstitusi
makna dalam kesadaran transendental.
5.2. Martin Heidegger: Keberadaan sebagai Pemahaman dan
Keterlemparan
Martin
Heidegger, murid Husserl, merevisi pendekatan fenomenologi
dengan menggantikan pusat perhatian dari kesadaran menjadi keberadaan
itu sendiri (Sein). Dalam karya utamanya Sein und
Zeit, Heidegger memperkenalkan konsep Dasein,
yaitu eksistensi manusia yang menyadari keberadaannya dan memiliki kemampuan
untuk menanyakan tentang makna keberadaan.⁴
Menurut Heidegger,
realitas tidak bisa dipahami terpisah dari keterlibatan eksistensial manusia di dalam
dunia. Struktur realitas bukan sekadar “benda-benda”
yang ada, melainkan jaringan makna yang diungkap dalam praktik sehari-hari.
Konsep being-in-the-world
(In-der-Welt-sein)
menekankan bahwa realitas hadir dalam konteks pemakaian, kerja, dan perhatian
praktis manusia, bukan sebagai objek netral bagi penonton pasif.⁵
Heidegger juga
menyoroti bahwa struktur realitas menyembunyikan dirinya sendiri (aletheia
sebagai “pengungkapan dan penyingkapan”), dan tugas filsafat adalah
membiarkan keberadaan itu berbicara, bukan menundukkannya pada kerangka
kategori yang kaku.⁶
5.3. Maurice Merleau-Ponty: Realitas sebagai Tubuh yang
Mengalami
Melanjutkan jalur
fenomenologi eksistensial, Maurice Merleau-Ponty
menekankan pengalaman tubuh sebagai
fondasi struktur realitas. Dalam Phenomenology of Perception, ia
berargumen bahwa tubuh bukanlah objek di dunia, tetapi subjek
yang hidup dalam dan melalui dunia.⁷ Pengalaman tubuh yang
berada, bergerak, dan merasakan dunia membentuk struktur realitas yang bersifat
prakonseptual.
Alih-alih melihat
realitas sebagai “apa yang tampak” dari luar, Merleau-Ponty menegaskan
bahwa realitas terjalin dalam struktur persepsi yang aktif
dan bersifat reversibel — yakni, tubuh yang
meraba sekaligus dapat diraba.⁸ Ini menegaskan bahwa realitas hadir sebagai pengalaman
langsung dan konkret, bukan semata-mata representasi
intelektual.
5.4. Jean-Paul Sartre: Realitas sebagai Kebebasan dan
Keberadaan-untuk-Sendiri
Dalam tradisi
eksistensialisme Prancis, Jean-Paul Sartre membedakan
antara être-en-soi
(keberadaan dalam dirinya sendiri) dan être-pour-soi (keberadaan untuk
dirinya sendiri). Yang pertama adalah realitas benda — tertutup dan tetap —
sedangkan yang kedua adalah kesadaran — terbuka, bebas, dan tanpa esensi.⁹
Bagi Sartre,
struktur realitas bagi manusia adalah ketiadaan yang menyertai kebebasan.
Manusia tidak memiliki hakikat tetap, dan realitas eksistensialnya ditentukan
oleh tindakan
dan pilihan yang terus-menerus. Dalam kerangka ini, realitas
bersifat terbuka dan belum selesai, dan
manusia ditakdirkan untuk menciptakan makna di tengah
absurditas.¹⁰
Implikasi: Struktur Realitas sebagai Keberadaan yang Dialami
Dari perspektif
fenomenologis dan eksistensialis, struktur realitas tidak dapat dipahami secara
objektif, terpisah dari subjek manusia. Realitas senantiasa hadir dalam pengalaman
yang terlibat, dalam struktur kesadaran, keberadaan, tubuh, dan
kebebasan. Dengan demikian, realitas bukan hanya “yang ada”, melainkan
juga “yang dihayati” dan “yang dimaknai”.
Pendekatan ini
membawa koreksi penting terhadap filsafat yang terlalu mengandalkan
objektivitas dan sistem formal. Ia menekankan bahwa memahami struktur realitas
berarti memahami kehadiran manusia di dalam dunia
secara total — sebagai makhluk yang sadar, mengalami, dan bertanya tentang
makna keberadaan itu sendiri.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), §1.
[2]
Ibid., §33–38.
[3]
Ibid., §47–54.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), Division I, §9–13.
[5]
Ibid., §12.
[6]
Martin Heidegger, The Essence of Truth, trans. Ted Sadler
(London: Continuum, 2002), 8–12.
[7]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), 94–101.
[8]
Ibid., 147–155.
[9]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), Part I, ch. 1–2.
[10]
Ibid., Part IV, ch. 1.
6.
Peran
Ilmu Pengetahuan dalam Membentuk Konsep Realitas
Ilmu pengetahuan
(sains) modern telah menjadi salah satu kekuatan dominan dalam membentuk cara
manusia memahami realitas. Sejak Revolusi Ilmiah
abad ke-17, realitas secara bertahap direduksi menjadi sesuatu yang dapat
diukur, diobservasi, dan dirumuskan dalam hukum universal.
Dalam kerangka ini, sains tidak hanya menggambarkan dunia sebagaimana adanya,
tetapi juga mengonstruksi dan menafsirkan struktur realitas
berdasarkan model dan teori yang dibangunnya.
6.1. Sains Klasik: Realitas sebagai Mekanisme yang
Teratur
Dalam paradigma
Newtonian, alam semesta dipandang sebagai sistem mekanistik dan deterministik,
yang tunduk pada hukum-hukum fisika universal.⁽¹⁾ Konsep ruang, waktu, dan
materi dijadikan dasar bagi struktur realitas objektif yang dapat dijelaskan
secara kausal dan matematis. Model ini membentuk realitas
sebagai totalitas objek yang tunduk pada hukum sebab-akibat, di
mana observasi dan eksperimen menjadi instrumen untuk mengungkap kebenaran.
Namun, pendekatan
ini sangat bergantung pada ontologi partikel dan substansi,
di mana entitas fisik diperlakukan sebagai unit dasar dari kenyataan. Di balik
klaim obyektivitasnya, paradigma ini tetap menyimpan asumsi
metafisik yang mendalam tentang struktur realitas, yaitu bahwa
dunia luar benar-benar eksis secara independen dari pengamat, dan bahwa
kebenaran adalah korespondensi antara teori dan kenyataan.⁽²⁾
6.2. Sains Kuantum: Ketidakpastian dan Peran Pengamat
Perkembangan mekanika
kuantum di awal abad ke-20 mengguncang dasar-dasar pemahaman
klasik tentang realitas. Eksperimen seperti double-slit experiment
menunjukkan bahwa partikel subatom tidak memiliki posisi atau lintasan tertentu
sampai diukur; sebaliknya, mereka eksis dalam superposisi keadaan.⁽³⁾
Pemikiran Niels
Bohr dan Werner Heisenberg melalui
interpretasi Kopenhagen menegaskan bahwa kenyataan kuantum tidak
dapat dipisahkan dari pengamat, dan bahwa realitas di tingkat
mikroskopis bersifat probabilistik, bukan deterministik.⁽⁴⁾ Artinya, struktur
realitas tidak lagi bersifat tetap dan objektif, tetapi terbentuk
melalui interaksi antara sistem dan pengamat.
Fenomena ini membuka
kembali pertanyaan ontologis: apakah realitas bersifat objektif secara
independen dari kesadaran? Apakah pengamatan menciptakan realitas? Fisika
kuantum dengan demikian menggugurkan pandangan realitas sebagai struktur pasif
yang menunggu untuk ditemukan, dan justru memperlihatkannya sebagai entitas aktif,
dinamis, dan partisipatif.
6.3. Ontologi Struktural-Relasional dalam Ilmu
Kontemporer
Sejalan dengan
perkembangan sains kontemporer, muncul pendekatan ontologi
struktural-realis yang menekankan bahwa struktur
relasi lebih fundamental daripada objek individu. James
Ladyman dan Don Ross, misalnya, dalam buku Every
Thing Must Go, menolak metafisika substansi klasik dan menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan modern menunjukkan bahwa apa yang disebut
"benda" hanyalah simpul dalam jaringan relasi struktural.⁽⁵⁾
Ontologi ini
menyatakan bahwa entitas fisik tidak memiliki identitas mandiri,
melainkan didefinisikan oleh posisinya dalam struktur relasional. Misalnya,
elektron bukanlah partikel dengan sifat tetap, tetapi suatu entitas yang hanya
dapat dijelaskan dalam konteks relasinya dengan partikel lain dan medan medan
gaya. Dalam hal ini, realitas adalah struktur informasi dan keterkaitan,
bukan kumpulan “benda” yang eksis dengan sendirinya.
6.4. Realisme vs Anti-Realisme: Apakah Ilmu Menemukan
atau Menciptakan Realitas?
Perdebatan klasik
dalam filsafat sains adalah antara realisme ilmiah dan anti-realisme.
Kaum realis, seperti Karl Popper dan Hilary
Putnam, berargumen bahwa teori ilmiah mewakili
realitas sebagaimana adanya, meskipun bersifat sementara dan
revisibel.⁽⁶⁾ Sebaliknya, Bas van Fraassen, dalam
kerangka konstruktivisme empiris,
menyatakan bahwa teori ilmiah tidak harus benar secara ontologis,
tetapi cukup “berhasil secara empiris”.⁽⁷⁾
Dalam konteks ini,
struktur realitas bukan sesuatu yang ditemukan oleh sains, melainkan
sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan paradigma dan
instrumen kognitif. Artinya, sains tidak netral secara
ontologis, tetapi membentuk realitas melalui model-model teoritis dan bahasa
yang digunakannya.
6.5. Sains dan Realitas Virtual: Tantangan Era Digital
Di era digital dan
kecerdasan buatan, tantangan baru muncul dalam memahami realitas. Teknologi
simulasi, realitas virtual, dan kecerdasan buatan menciptakan dunia buatan yang
semakin
sulit dibedakan dari realitas fisik. Dalam konteks ini, muncul
pertanyaan: apakah simulasi dapat dianggap sebagai bagian
dari struktur realitas? Apakah realitas itu sendiri dapat
direduksi menjadi informasi?
Pemikiran Jean
Baudrillard menunjukkan bahwa dalam masyarakat postmodern,
representasi sering kali menggantikan kenyataan —
menciptakan apa yang disebut sebagai hiperrealitas: dunia yang lebih
nyata daripada yang nyata, tetapi tidak memiliki referensi.⁽⁸⁾ Hal ini
menegaskan bahwa pemahaman tentang struktur realitas di zaman kontemporer tidak
hanya bergantung pada ilmu alam, tetapi juga pada media,
simbol, dan sistem representasi.
Simpulan: Peran Konstruktif dan Deskriptif Ilmu terhadap Realitas
Ilmu pengetahuan
memiliki peran ganda dalam struktur
realitas: sebagai deskripsi teoritis atas dunia
sebagaimana adanya dan sebagai konstruksi epistemik yang
membentuk cara kita memahaminya. Dari sains klasik yang bersifat deterministik
hingga paradigma kuantum dan relasional yang terbuka, ilmu pengetahuan telah
menantang pemahaman ontologis lama dan membuka kemungkinan baru dalam
menafsirkan keberadaan.
Dengan demikian,
sains bukan hanya alat untuk “menemukan” realitas, tetapi juga aktor
aktif dalam membentuk struktur realitas, baik melalui konseptualisasi,
pengamatan, maupun teknologi yang diciptakannya.
Footnotes
[1]
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica,
trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1934), Book I.
[2]
Ernan McMullin, “The Conception of Science in Galileo’s Work,” in Galileo,
Man of Science, ed. Ernan McMullin (New York: Basic Books, 1967), 245–276.
[3]
Richard Feynman, The Feynman Lectures on Physics, Vol. 3
(Reading, MA: Addison-Wesley, 1965), Ch. 1–2.
[4]
Niels Bohr, “Discussion with Einstein on Epistemological Problems in
Atomic Physics,” in Albert Einstein: Philosopher-Scientist, ed. Paul
Arthur Schilpp (La Salle: Open Court, 1949), 201–241.
[5]
James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics
Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–167.
[6]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), Ch. 1.
[7]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 8–13.
[8]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
7.
Implikasi
Epistemologis dan Etis dari Struktur Realitas
Pemahaman mengenai struktur
realitas tidak hanya memiliki konsekuensi dalam ranah
metafisika, tetapi juga berdampak besar terhadap cara manusia mengetahui
(epistemologi) dan bertindak (etika). Dalam
tradisi filsafat, struktur realitas seringkali diasumsikan sebagai sesuatu yang
netral dan mandiri. Namun, berbagai pendekatan ontologis kontemporer—baik dari
fenomenologi, filsafat sains, maupun konstruktivisme sosial—menunjukkan bahwa
struktur realitas berelasi erat dengan kondisi manusia sebagai subjek pengetahuan dan
agen moral.
7.1. Implikasi Epistemologis: Antara Representasi dan
Konstruksi
Dari sudut pandang
epistemologi klasik, pengetahuan dipahami sebagai representasi
yang akurat tentang dunia luar. Asumsi ini berakar pada
realisme ontologis yang menganggap bahwa realitas memiliki struktur tetap yang
dapat ditangkap secara objektif oleh akal manusia.⁽¹⁾ Namun, perkembangan dalam
filsafat sains dan fenomenologi telah menggeser paradigma ini menjadi lebih relasional
dan konstruktivis.
Dalam epistemologi
fenomenologis, seperti yang dikembangkan oleh Husserl, realitas
tidak dapat dipisahkan dari kesadaran yang menghayatinya.
Realitas, dalam hal ini, merupakan hasil dari proses konstitusi makna oleh
subjek—pengetahuan bukanlah cermin pasif, melainkan aktivitas aktif yang
menyusun dunia secara koheren.⁽²⁾
Hal serupa
dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam The
Structure of Scientific Revolutions, yang menunjukkan bahwa
pengetahuan ilmiah berkembang melalui paradigma yang membentuk cara
komunitas ilmiah melihat dan memahami realitas.⁽³⁾ Maka, struktur realitas
bukan sekadar objek pasif, tetapi produk interaktif antara dunia dan kerangka
interpretatif manusia.
Pendekatan ini
memperlihatkan bahwa pengetahuan tidak bersifat netral,
melainkan senantiasa dikondisikan oleh struktur bahasa, budaya, dan nilai.
Maka, epistemologi yang bertanggung jawab harus mempertimbangkan posisi
subjek, keterbatasan perspektif, dan dinamika kekuasaan yang
turut membentuk struktur pemahaman.
7.2. Implikasi Etis: Eksistensi, Tanggung Jawab, dan
Tindakan
Jika struktur
realitas tidak berdiri sendiri secara absolut, melainkan dipahami melalui
keterlibatan eksistensial manusia, maka konsekuensi etisnya adalah bahwa
manusia tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab
dalam menata dan menafsirkan dunia. Dalam filsafat eksistensialisme, seperti
dalam pemikiran Jean-Paul Sartre, realitas bagi
manusia bersifat terbuka—manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”
karena ia harus menciptakan makna dan arah hidupnya sendiri.⁽⁴⁾
Struktur realitas
yang tidak tetap justru menuntut komitmen moral dan tanggung jawab eksistensial.
Etika tidak bisa lagi bertumpu pada hukum-hukum alam atau norma-norma metafisik
yang kaku, melainkan harus bersifat reflektif, kontekstual, dan dialogis. Hal
ini ditegaskan pula oleh Emmanuel Levinas, yang
menyatakan bahwa realitas paling mendasar adalah wajah
orang lain, dan bahwa struktur realitas sejati dimulai dari
relasi etis dengan yang lain.⁽⁵⁾
Dalam konteks ini,
struktur realitas mengandung dimensi normatif, bukan hanya
deskriptif. Artinya, apa yang kita anggap nyata juga berkaitan dengan apa yang
kita anggap penting, adil, dan layak diperjuangkan. Pengetahuan
dan tindakan tidak dapat dipisahkan dari nilai dan komitmen moral.
7.3. Kebenaran, Makna, dan Kehidupan Sosial
Pandangan ontologis
yang menyadari keterbatasan dan konstruksi realitas juga membawa implikasi
besar bagi kehidupan sosial. Dalam kerangka konstruktivisme sosial, seperti
yang dikembangkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann,
realitas sosial terbentuk melalui proses institusionalisasi, internalisasi, dan
objektivasi.⁽⁶⁾ Dunia sosial bukanlah entitas objektif yang terlepas dari
manusia, tetapi hasil dari tindakan dan interaksi yang berulang-ulang dan
mengendap menjadi struktur.
Hal ini menuntut kesadaran
kritis terhadap bagaimana realitas sosial terbentuk dan
dipertahankan, termasuk melalui bahasa, simbol, kebijakan, dan struktur
kekuasaan. Dalam hal ini, struktur realitas tidak hanya mempengaruhi cara kita
mengetahui, tetapi juga cara kita hidup bersama,
termasuk dalam membentuk sistem keadilan, norma etika, dan identitas kolektif.
Dengan demikian,
pertanyaan tentang struktur realitas tidak semata-mata bersifat spekulatif,
tetapi juga mengandung muatan praktis dan transformasional.
Ia menuntut kita untuk bertanya: realitas macam apa yang sedang kita bangun?
Siapa yang diuntungkan? Dan bagaimana kita bisa mengubahnya demi kebaikan
bersama?
Simpulan
Implikasi
epistemologis dan etis dari struktur realitas menunjukkan bahwa realitas
bukanlah sekadar latar pasif dari keberadaan, melainkan ruang
aktif yang dibentuk oleh pengetahuan dan tindakan manusia.
Memahami realitas berarti memahami tanggung jawab epistemik dan etis kita sebagai
subjek yang hidup dan bertindak di dunia ini. Oleh karena itu,
ontologi tidak bisa dilepaskan dari etika dan epistemologi: ketiganya saling
berkaitan dalam menyusun peta pemahaman tentang keberadaan, pengetahuan, dan
kewajiban manusia.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1912), 34–40.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), §36–42.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52–65.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–30.
[5]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–44.
[6]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books,
1966), 61–85.
8.
Kritik
dan Tantangan dalam Menyusun Struktur Realitas
Penyusunan konsep
tentang struktur realitas merupakan
proyek filosofis yang ambisius, karena menyangkut upaya menjelaskan secara
menyeluruh apa yang
ada, bagaimana ia ada, dan dalam
kerangka keteraturan seperti apa segala yang ada itu saling terhubung.
Namun, dalam perjalanannya, proyek ini tidak luput dari kritik
mendasar dan menghadapi berbagai tantangan
ontologis, epistemologis, dan linguistik. Kritik-kritik ini
menggarisbawahi keterbatasan pendekatan filosofis maupun ilmiah dalam memetakan
realitas secara utuh dan obyektif.
8.1. Masalah Representasi dan Bahasa
Salah satu tantangan
utama dalam menyusun struktur realitas adalah ketergantungan pada bahasa sebagai alat
konseptualisasi. Bahasa bukanlah medium netral; ia membentuk
cara kita berpikir dan memandang dunia. Ludwig Wittgenstein, dalam Philosophical
Investigations, menolak pandangan sebelumnya bahwa bahasa adalah
cermin dunia. Ia menyatakan bahwa makna adalah penggunaan (meaning
is use), dan bahwa realitas dipahami dalam konteks praktik
linguistik tertentu.¹
Dengan demikian,
struktur realitas tidak dapat diklaim sebagai entitas yang "ada di luar
sana" secara mutlak, karena ia selalu dimediasi oleh kategori
linguistik dan budaya. Realitas tidak ditemukan secara murni, tetapi dikonstruksi
dalam permainan bahasa.² Pandangan ini juga didukung oleh para post-strukturalis,
seperti Derrida, yang menolak stabilitas makna dan menekankan ketidakmungkinan
kehadiran penuh realitas dalam tanda.³
8.2. Keterbatasan Perspektif Subjektif
Fenomenologi telah
menunjukkan bahwa realitas selalu dipahami dari sudut pandang subjek, namun
keterbatasan ini juga menjadi tantangan. Apa yang disebut sebagai “realitas”
adalah produk korelasi
antara subjek dan objek (Husserl), tetapi ini membuka kritik
bahwa seluruh struktur realitas yang disusun adalah antropo-sentris
dan tidak pernah lepas dari batas persepsi manusia.⁴
Dengan kata lain,
upaya menyusun struktur realitas secara objektif menghadapi paradoks: kita
ingin memetakan realitas secara utuh, namun hanya bisa melakukannya dari dalam
realitas itu sendiri. Bahkan pendekatan ilmiah yang tampaknya
objektif pun dibatasi oleh instrumen, teori, dan paradigma
yang bersifat historis dan sosial.
8.3. Kritik terhadap Metafisika Tradisional
Sejak awal abad
ke-20, banyak filsuf, terutama dalam tradisi positivisme logis dan filsafat
analitik, mempertanyakan validitas proyek metafisika. Rudolf
Carnap, misalnya, menyatakan bahwa banyak pernyataan metafisika
tentang realitas tidak memiliki makna empiris dan karena itu nonsensikal
dalam kerangka logika dan verifikasi.⁵
Bagi Carnap,
pernyataan tentang “struktur realitas” sering kali hanyalah pseudo-proposisi,
yakni klaim yang terdengar mendalam tetapi tidak dapat dibuktikan atau diuji.
Ini menimbulkan pertanyaan apakah upaya menyusun struktur realitas adalah
proyek yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, atau hanya spekulasi
kosong yang tak dapat diverifikasi.
8.4. Tantangan dari Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Ilmu pengetahuan
modern juga menunjukkan bahwa realitas tidak selalu koheren atau seragam.
Dalam fisika kuantum, misalnya, dunia tidak selalu mematuhi logika biner
klasik. Eksperimen dengan entanglement dan dualitas gelombang-partikel
memperlihatkan bahwa realitas bersifat paradoksikal dan tak terduga,
sehingga sulit untuk disusun dalam satu struktur tunggal dan stabil.⁶
Stephen
Hawking dan Leonard Mlodinow bahkan
memperkenalkan konsep model-dependent realism, yang
menyatakan bahwa tidak ada satu model realitas yang benar secara absolut; yang
ada hanyalah model-model yang berhasil menjelaskan fenomena dalam konteks
tertentu.⁷ Ini menunjukkan bahwa struktur realitas mungkin bersifat pluralistik
dan bergantung pada kerangka konseptual, bukan tunggal dan
objektif.
8.5. Realitas Simulasi dan Kehilangan Referensi
Tantangan
kontemporer terbesar mungkin datang dari fenomena simulasi dan virtualisasi,
yang mengaburkan batas antara realitas dan representasi. Dalam dunia digital
dan algoritmis, manusia sering kali berinteraksi lebih banyak dengan representasi
realitas (gambar, data, model) daripada dengan realitas itu
sendiri. Jean Baudrillard menyebut
kondisi ini sebagai hiperrealitas, di mana simulasi
tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi menggantikannya.⁸
Dalam konteks ini,
menyusun struktur realitas menjadi semakin problematis karena tidak
jelas lagi mana yang nyata dan mana yang simulasi. Realitas
kehilangan stabilitasnya sebagai fondasi epistemik, dan konsekuensinya, setiap
klaim tentang “struktur realitas” dapat dipertanyakan dari segi
ontologis dan politis.
Implikasi: Menuju Ontologi yang Rendah Hati
Keseluruhan kritik
dan tantangan di atas mengarahkan kita pada kesadaran bahwa menyusun struktur
realitas membutuhkan kerendahan ontologis — suatu
pengakuan atas keterbatasan pengetahuan, keterikatan pada konteks, dan potensi
pluralitas tafsir.⁹ Ontologi tidak bisa lagi menjadi proyek totalisasi, tetapi
menjadi praktik reflektif, interdisipliner, dan terbuka,
yang sadar akan batas dan biasnya sendiri.
Dengan demikian,
tantangan utama bukan hanya menyusun struktur realitas, tetapi menyadari
bahwa setiap struktur selalu bersifat terbuka, dapat direvisi, dan tidak pernah
final.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[2]
Ibid., §§65–67.
[3]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–160.
[4]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), §38–42.
[5]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis
of Language,” in Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (Glencoe: Free
Press, 1959), 60–81.
[6]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 26–32.
[7]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New
York: Bantam Books, 2010), 42–58.
[8]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[9]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham: Duke University Press, 2007),
81–97.
9.
Penutup:
Menuju Pemahaman yang Komprehensif tentang Realitas
Upaya untuk memahami struktur realitas merupakan
salah satu proyek paling mendasar sekaligus paling kompleks dalam sejarah
filsafat. Dari pemikiran klasik tentang substansi dan bentuk oleh Plato dan
Aristoteles, hingga pendekatan relasional, fenomenologis, dan ilmiah
kontemporer, jelas bahwa realitas tidak pernah bersifat tunggal, sederhana,
atau sepenuhnya dapat dijangkau oleh satu sistem pemikiran. Sebaliknya,
realitas muncul sebagai entitas berlapis, dinamis, dan multidimensional,
yang menuntut pendekatan lintas disiplin dan reflektif dalam memahaminya.
Di satu sisi, ontologi tradisional
menawarkan kategori-kategori dasar seperti substansi, esensi, dan kausalitas
untuk menjelaskan tatanan dunia. Di sisi lain, pendekatan fenomenologi dan
eksistensialisme menggarisbawahi dimensi pengalaman, kebermaknaan, dan
keterlibatan eksistensial subjek dalam realitas.⁽¹⁾ Dalam wilayah ilmu
pengetahuan, perubahan paradigma dari mekanistik ke kuantum dan strukturalisme
relasional mengindikasikan bahwa realitas tidak dapat dilepaskan dari kerangka
teoretis dan partisipasi epistemik manusia.⁽²⁾
Pemikiran seperti yang dikembangkan oleh Roy
Bhaskar melalui realisme kritis menunjukkan bahwa realitas harus dipahami
sebagai berlapis-lapis (stratified), dengan mekanisme kausal yang tidak
selalu langsung teramati, tetapi tetap nyata secara ontologis.⁽³⁾ Konsep ini
membantu menjembatani jurang antara realitas sebagai yang “ada di
luar sana” dan realitas sebagai yang “dikonstitusikan
dalam pengalaman manusia.” Pemahaman ini menuntut filsafat untuk tidak
hanya menjelaskan apa yang ada, tetapi juga bagaimana kita berada
bersama realitas itu secara epistemologis dan etis.
Menuju pemahaman yang komprehensif tentang realitas
berarti meninggalkan pendekatan reduksionistik—yang mereduksi realitas
menjadi semata-mata materi, fakta, atau simbol—dan sebaliknya mengadopsi
pendekatan holistik dan pluralistik. Ini mencakup dimensi material dan
immaterial, logis dan eksistensial, ilmiah dan spiritual. Sebagaimana dikatakan
oleh William James, pluralitas dunia bukanlah cacat, melainkan cermin
dari kekayaan realitas itu sendiri.⁽⁴⁾
Selain itu, refleksi atas kritik postmodern,
seperti yang dikemukakan Baudrillard dan Derrida, menyadarkan
kita bahwa struktur realitas selalu berada dalam medan tafsir, simulasi, dan
dekonstruksi.⁽⁵⁾ Maka, kita tidak hanya dihadapkan pada tugas membangun
pemahaman tentang realitas, tetapi juga menyadari konstruksi-konstruksi yang
telah membentuknya, baik melalui bahasa, teknologi, maupun ideologi.
Dalam konteks ini, kerendahan epistemik dan
ontologis menjadi prinsip utama: kita menyadari bahwa segala klaim tentang
realitas bersifat terbatas, bersyarat, dan terbuka terhadap revisi.⁽⁶⁾ Namun
keterbatasan ini bukan alasan untuk menyerah pada relativisme nihilistik,
melainkan dorongan untuk terus memperluas, memperdalam, dan memperhalus cara
kita memahami dunia.
Maka, menyusun struktur realitas bukanlah proyek
sekali jadi, tetapi perjalanan filosofis dan ilmiah yang tak pernah usai—suatu
usaha kolektif dan dialogis yang terus bergerak menuju pemahaman yang lebih
utuh, berakar pada keterbukaan terhadap kompleksitas keberadaan, serta
kesadaran akan tanggung jawab manusia dalam memaknainya.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §12–18.
[2]
James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go:
Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–167.
[3]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Verso, 2008), 13–22.
[4]
William James, A Pluralistic Universe
(Lincoln: University of Nebraska Press, 1996), 6–9.
[5]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–8; Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 278–293.
[6]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway:
Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham: Duke
University Press, 2007), 81–97.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (Book VII).
Random House.
Barad, K. (2007). Meeting the universe halfway:
Quantum physics and the entanglement of matter and meaning. Duke University
Press.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The
social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge.
Anchor Books.
Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science
(2nd ed.). Verso.
Bohr, N. (1949). Discussion with Einstein on
epistemological problems in atomic physics. In P. A. Schilpp (Ed.), Albert
Einstein: Philosopher-scientist (pp. 201–241). Open Court.
Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics
through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism
(pp. 60–81). Free Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Feynman, R. (1965). The Feynman lectures on
physics: Vol. 3. Addison-Wesley.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. Bantam Books.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (2002). The essence of truth
(T. Sadler, Trans.). Continuum.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
James, W. (1996). A pluralistic universe.
University of Nebraska Press. (Original work published 1909)
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Ladyman, J., & Ross, D. (2007). Every thing
must go: Metaphysics naturalized. Oxford University Press.
Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds.
Blackwell.
McMullin, E. (1967). The conception of science in
Galileo’s work. In E. McMullin (Ed.), Galileo, man of science (pp.
245–276). Basic Books.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Newton, I. (1934). Philosophiae naturalis
principia mathematica (A. Motte, Trans.). University of California Press.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Ed.). Hackett Publishing.
Putnam, H. (1981). Reason, truth and history.
Cambridge University Press.
Quine, W. V. O. (1953a). On what there is. In From
a logical point of view (pp. 1–19). Harvard University Press.
Quine, W. V. O. (1953b). Two dogmas of empiricism.
In From a logical point of view (pp. 20–46). Harvard University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Clarendon Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality
(D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Wittgenstein, L. (1961). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar