Gerakan Empiris Logis
Akar Filosofis dan Warisan Intelektual Verifikasi
Empiris
Alihkan ke: Positivisme.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
kemunculan, perkembangan, dan pengaruh Logical Empiricism atau Empiris
Logis yang berpusat di Wina dan Praha pada awal abad ke-20. Berangkat dari
latar belakang krisis epistemologis dan semangat reformasi intelektual
pasca-Perang Dunia I, gerakan ini berupaya membangun sistem filsafat yang
didasarkan pada verifikasi empiris dan logika simbolik, sembari menolak
metafisika tradisional yang dianggap tak bermakna secara kognitif. Melalui
prinsip verifikasi dan rekonstruksi bahasa ilmiah, tokoh-tokoh seperti Rudolf
Carnap, Moritz Schlick, Otto Neurath, dan Hans Reichenbach mendorong filsafat
untuk menjadi kegiatan analisis konseptual yang rasional dan terukur. Artikel
ini juga mengeksplorasi kritik-kritik terhadap gerakan tersebut, terutama dari
Karl Popper dan W.V.O. Quine, serta merefleksikan relevansi prinsip-prinsip
Empiris Logis dalam konteks ilmu pengetahuan, filsafat bahasa, etika, dan
diskursus post-truth kontemporer. Ditekankan bahwa meskipun proyek
verifikasionisme dalam bentuk awalnya telah mengalami dekonstruksi, warisan
metodologis dan etos rasionalnya tetap memainkan peran penting dalam tradisi
filsafat analitik dan praksis ilmiah modern.
Kata Kunci: Logical Empiricism, Lingkaran Wina, Prinsip
Verifikasi, Filsafat Ilmu, Rudolf Carnap, Otto Neurath, Karl Popper, W.V.O.
Quine, Klarifikasi Bahasa, Demarkasi Ilmiah, Post-truth.
PEMBAHASAN
Gerakan Empiris Logis di Wina dan Praha
1.
Pendahuluan
Gerakan Empiris Logis, yang dikenal juga dengan
nama Logical Empiricism atau Logical Positivism, merupakan salah
satu aliran filsafat paling berpengaruh dalam perkembangan epistemologi dan
filsafat ilmu pada abad ke-20. Aliran ini lahir sebagai respons terhadap krisis
epistemologis dan disorientasi intelektual yang melanda Eropa pasca Perang
Dunia I, di mana filsafat tradisional dianggap gagal memberikan kontribusi yang
signifikan dalam menjawab persoalan nyata manusia dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Dalam situasi intelektual yang penuh ketidakpastian ini,
sekelompok filsuf dan ilmuwan di Wina dan Praha mengusulkan sebuah pendekatan
radikal: hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris atau bersifat
analitik-logis yang memiliki makna kognitif.
Para pemikir dalam Lingkaran Wina (Wiener
Kreis), seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan Otto Neurath, bersama dengan
tokoh-tokoh Kelompok Praha seperti Hans Reichenbach, berusaha membangun
suatu filsafat yang berbasis pada logika simbolik modern dan metode ilmiah,
serta menolak metafisika tradisional yang dianggap tak bermakna secara
kognitif¹. Mereka memadukan semangat positivisme klasik dengan perkembangan
terbaru dalam logika matematika dan fisika modern, terinspirasi oleh karya
Ludwig Wittgenstein, terutama Tractatus Logico-Philosophicus, yang
memberikan pengaruh besar dalam memahami hubungan antara bahasa, dunia, dan
makna².
Salah satu prinsip mendasar dari Empiris Logis
adalah kriteria verifikasi makna, yaitu bahwa makna suatu pernyataan
bergantung pada kemungkinan untuk memverifikasinya melalui pengalaman empiris
atau analisis logis³. Dengan prinsip ini, filsafat ditransformasikan menjadi
kegiatan klarifikasi logis terhadap bahasa ilmiah, dan tugas filsuf dianggap
bukan lagi menciptakan teori metafisis, melainkan menyusun analisis logis atas
konsep-konsep ilmiah dan kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, gerakan ini
tidak hanya menyasar persoalan epistemologis, tetapi juga menyasar pembaruan metodologis
dalam cara berpikir ilmiah dan kebahasaan.
Relevansi pembahasan tentang Gerakan Empiris Logis
sangat penting, tidak hanya untuk memahami sejarah filsafat analitik dan sains
modern, tetapi juga dalam merespons persoalan kontemporer mengenai batas antara
pengetahuan ilmiah dan spekulasi metafisik. Dalam konteks inilah, studi
terhadap akar filosofis dan kontribusi intelektual dari kelompok Wina dan Praha
menjadi sangat signifikan untuk direkonstruksi secara kritis.
Footnotes
[1]
Michael Friedman, Reconsidering Logical
Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 18–21.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London:
Routledge, 2001), §1–5.6.
[3]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 33–35.
2.
Konteks
Historis: Dunia Intelektual Eropa pada Awal Abad ke-20
Awal abad ke-20 merupakan periode transformasi
besar dalam lanskap intelektual Eropa, ditandai oleh ketegangan antara kemajuan
ilmiah yang pesat dan keresahan filosofis yang mendalam. Revolusi dalam fisika
yang dipelopori oleh teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum Heisenberg
telah mengguncang fondasi empirisme klasik dan mekanik Newtonian, sementara di
sisi lain, dunia filsafat masih bergulat dengan sisa-sisa metafisika Hegelian
dan spiritualisme idealistik yang dominan pada abad ke-19¹. Dalam konteks ini,
banyak ilmuwan dan filsuf merasa bahwa filsafat telah kehilangan relevansinya
karena terjebak dalam spekulasi abstrak yang tidak dapat diuji secara objektif.
Sementara itu, positivisme sebagai warisan Auguste
Comte mengalami revitalisasi dalam bentuk baru. Comte sendiri telah merumuskan
suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya sumber pengetahuan
sahih, dan bahwa masyarakat akan berkembang melalui tahap teologis, metafisik,
dan akhirnya tahap positif atau ilmiah². Namun, versi awal positivisme Comte
dinilai terlalu dogmatis dan kurang sensitif terhadap kompleksitas bahasa dan
struktur logis dari ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, para pemikir abad
ke-20, khususnya di wilayah Eropa Tengah seperti Austria dan Cekoslowakia,
mulai mencari dasar baru bagi fondasi pengetahuan ilmiah yang lebih presisi.
Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh gerakan filsafat analitik yang dimulai oleh Gottlob Frege dan kemudian
dikembangkan oleh Bertrand Russell serta Ludwig Wittgenstein. Frege
memperkenalkan sistem logika simbolik yang ketat dan menolak psikologisme dalam
matematika, membuka jalan bagi upaya rekonstruksi logis terhadap bahasa dan
pemikiran³. Kemudian, karya monumental Wittgenstein dalam Tractatus
Logico-Philosophicus menyarankan bahwa struktur logis dunia tercermin dalam
bahasa, dan makna terletak dalam proposisi yang dapat dipikirkan atau
divisualisasikan sebagai "gambaran" realitas⁴. Ide ini sangat
memengaruhi generasi filsuf muda yang kemudian membentuk Lingkaran Wina.
Kondisi sosial-politik Eropa pasca-Perang Dunia I
juga menjadi katalis bagi munculnya gerakan ini. Keruntuhan Kekaisaran Austro-Hungaria,
naiknya rezim totaliter, dan ketidakpastian terhadap masa depan ilmu
pengetahuan mendorong kebutuhan akan pendekatan filosofis yang menjunjung
rasionalitas, kejelasan, dan universalitas⁵. Gerakan Empiris Logis muncul
sebagai tanggapan terhadap situasi tersebut—sebuah proyek kolektif yang
bertujuan menyusun sistem pengetahuan ilmiah bebas dari muatan ideologis,
religius, dan metafisik.
Dengan demikian, gerakan Empiris Logis bukanlah
kemunculan yang tiba-tiba, melainkan hasil dari berbagai dinamika historis dan
intelektual yang saling berkelindan. Ia hadir sebagai upaya untuk merestorasi
kepercayaan terhadap nalar dan ilmu pengetahuan, sekaligus menegaskan kembali
peran filsafat sebagai klarifikasi konseptual, bukan spekulasi metafisik.
Footnotes
[1]
Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from
Within: The Emergence of Neurath’s Naturalism in the Vienna Circle
(Amsterdam: Rodopi, 1992), 17–20.
[2]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of
Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons,
1896), 2:15–20.
[3]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(Cambridge: Harvard University Press, 1981), 27–29.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London:
Routledge, 2001), §2.1–2.21.
[5]
Alan Richardson, Carnap’s Construction of the
World: The Aufbau and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 10–13.
3.
Munculnya
Lingkaran Wina dan Kelompok Praha
Gerakan Empiris Logis menemukan bentuk institusional
dan intelektualnya yang paling berpengaruh melalui dua pusat utama: Lingkaran
Wina (Wiener Kreis) di Austria dan Kelompok Praha (Berliner Gruppe
atau Praguer Kreis) di Cekoslowakia. Kedua kelompok ini, meskipun beroperasi
dalam konteks geografis dan sosial yang berbeda, berbagi visi bersama untuk
mereformasi filsafat melalui logika simbolik dan pendekatan ilmiah yang ketat.
Lingkaran Wina secara resmi terbentuk pada awal
1920-an di bawah kepemimpinan Moritz Schlick, seorang filsuf ilmu
pengetahuan yang pada saat itu menjabat sebagai profesor filsafat di
Universitas Wina. Kelompok ini terdiri atas sejumlah intelektual dari berbagai
disiplin ilmu, seperti Rudolf Carnap (logika dan filsafat bahasa), Otto
Neurath (sosiologi dan ekonomi), Herbert Feigl, dan Philipp Frank.
Mereka secara rutin mengadakan pertemuan mingguan di Institut Fisika Wina untuk
mendiskusikan isu-isu logika, bahasa, dan dasar-dasar ilmu pengetahuan¹.
Agenda utama mereka adalah mengembangkan suatu
sistem filsafat yang didasarkan pada logika matematika dan verifikasi
empiris, serta menolak seluruh bentuk metafisika sebagai tak bermakna
secara kognitif. Schlick dan rekan-rekannya sangat dipengaruhi oleh karya Ludwig
Wittgenstein, terutama Tractatus Logico-Philosophicus, yang mereka
anggap sebagai fondasi ontologis dan logis bagi proyek analisis bahasa².
Meskipun Wittgenstein sendiri tidak secara langsung menjadi anggota Lingkaran
Wina, ia pernah hadir dalam beberapa pertemuan, namun tetap menjaga jarak dan
mengkritik kecenderungan kelompok ini dalam menafsirkan karyanya secara terlalu
teknis³.
Salah satu tokoh sentral lainnya adalah Rudolf
Carnap, yang kemudian menjadi arsitek utama dalam pengembangan program rekonstruksi
logis terhadap bahasa ilmiah. Dalam karya seperti Der logische Aufbau
der Welt (1928), Carnap merancang model epistemologi rasionalistik yang
berupaya menyusun seluruh pengetahuan dari basis pengalaman murni menggunakan
sistem logis formal⁴.
Sementara itu, di Praha, Hans Reichenbach
memimpin kelompok intelektual yang memiliki tujuan serupa. Meskipun tidak
secara formal dinamai “Kelompok Praha”, Reichenbach dan para
kolaboratornya di Berlin dan kemudian di Cekoslowakia mengembangkan pendekatan
yang disebut fisikalisme epistemologis. Mereka menekankan perlunya mengintegrasikan
teori relativitas dan mekanika kuantum ke dalam kerangka epistemologi ilmiah,
serta lebih menekankan aspek probabilistik daripada deterministik dalam
verifikasi⁵.
Meskipun ada nuansa perbedaan dalam pendekatan
antara Wina dan Praha—misalnya, Carnap lebih fokus pada bahasa formal,
sedangkan Reichenbach menaruh perhatian pada logika probabilitas—kedua kelompok
ini secara umum bersatu dalam semangat untuk menyaring filsafat dari ambiguitas
metafisis dan mendasarkannya pada kejelasan ilmiah dan logika⁶.
Kerja sama antara kedua kelompok semakin menguat
lewat proyek internasional bertajuk Encyclopedia of Unified Science,
yang bertujuan mengintegrasikan semua cabang ilmu pengetahuan dalam suatu
sistem koheren berbasis logika dan verifikasi. Proyek ini menjadi bukti bahwa
Logical Empiricism bukan hanya aliran filsafat, melainkan juga gerakan
intelektual yang bersifat kolektif dan multidisipliner⁷.
Footnotes
[1]
Friedrich Stadler, The Vienna Circle: Studies in
the Origins, Development, and Influence of Logical Empiricism, trans.
Thomas E. Uebel (Wien: Springer, 2001), 37–40.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London:
Routledge, 2001), §2.1–4.5.
[3]
Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from
Within: The Emergence of Neurath’s Naturalism in the Vienna Circle
(Amsterdam: Rodopi, 1992), 62–64.
[4]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World, trans. Rolf A. George (Chicago: Open Court, 2003), xxi–xxiii.
[5]
Alan Richardson, Carnap’s Construction of the
World: The Aufbau and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 91–95.
[6]
Michael Friedman, Reconsidering Logical
Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 112–115.
[7]
Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles W. Morris,
eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University
of Chicago Press, 1938), Vol. I, Introduction.
4.
Prinsip
Verifikasi: Inti dari Empiris Logis
Salah satu kontribusi paling sentral dari Gerakan
Empiris Logis adalah pengembangan prinsip verifikasi (Verifikationsprinzip),
yang menjadi tolok ukur utama untuk menentukan apakah suatu pernyataan bermakna
secara kognitif. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu pernyataan hanya bermakna
jika dapat diverifikasi melalui observasi empiris atau jika ia merupakan
kebenaran analitik dalam logika atau matematika. Dengan kata lain, makna suatu
pernyataan terletak pada metode verifikasinya—baik secara a posteriori
(melalui pengalaman) maupun a priori (melalui deduksi logis)¹.
Prinsip ini secara tegas diarahkan untuk menolak
metafisika sebagai bentuk wacana yang tidak bermakna secara kognitif. Para
filsuf Empiris Logis menganggap bahwa banyak pernyataan dalam metafisika
tradisional (seperti "Yang Mutlak ada di luar ruang dan waktu")
tidak dapat diuji secara empiris maupun diturunkan secara logis, sehingga tidak
memenuhi syarat sebagai pernyataan bermakna dalam kerangka analisis ilmiah².
Pernyataan semacam itu dianggap sebagai ekspresi emosional atau spekulatif,
bukan sebagai pernyataan kognitif yang dapat dibenarkan atau disangkal melalui
bukti.
Tokoh utama yang memformulasikan prinsip verifikasi
secara sistematis adalah Rudolf Carnap dan A. J. Ayer. Dalam
karya Language, Truth and Logic, Ayer menyatakan secara eksplisit bahwa
“a sentence is factually significant to any given person, if, and only if,
he knows how to verify the proposition which it purports to express”³.
Dengan demikian, makna tidak dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada
kata-kata secara abstrak, tetapi sebagai fungsi dari prosedur verifikasi yang
menyertainya.
Namun, seiring berkembangnya kritik terhadap
prinsip ini, para filsuf Empiris Logis mulai membedakan antara verifikasi
kuat dan verifikasi lemah. Verifikasi kuat mengharuskan bahwa pernyataan
dapat dibuktikan benar secara mutlak melalui observasi; sedangkan verifikasi
lemah hanya menuntut bahwa pernyataan dapat dikonfirmasi dalam derajat tertentu
oleh pengalaman. Versi lemah inilah yang kemudian lebih banyak digunakan dalam
praktik, karena sains modern jarang beroperasi dengan kepastian absolut⁴.
Perbedaan lain yang penting dalam prinsip ini
adalah antara pernyataan analitik (kebenarannya ditentukan oleh struktur
logis atau definisi, seperti “semua bujangan belum menikah”) dan
pernyataan sintetik empiris (yang dapat dibuktikan benar atau salah
melalui pengalaman, seperti “air mendidih pada 100°C”). Hanya pernyataan
dalam dua kategori ini yang dianggap bermakna; sisanya, seperti pernyataan
teologis atau nilai etis, dikelompokkan sebagai ekspresi yang bersifat emotif
atau imperatif⁵.
Implikasi dari prinsip verifikasi ini sangat luas,
khususnya dalam bidang filsafat ilmu, bahasa, dan teori pengetahuan. Ia
memungkinkan adanya batas demarkasi yang jelas antara ilmu dan pseudosains,
antara wacana rasional dan spekulasi bebas. Prinsip ini juga memperkuat gagasan
bahwa bahasa harus disusun secara presisi logis agar dapat berfungsi sebagai
alat komunikasi ilmiah yang valid.
Namun demikian, prinsip verifikasi tidak luput dari
kritik. Banyak filsuf, termasuk Karl Popper, menunjukkan bahwa prinsip ini gagal
memenuhi kriterianya sendiri: pernyataan “suatu pernyataan hanya
bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris” sendiri tidak dapat
diverifikasi secara empiris, dan karena itu tidak bermakna menurut standar yang
ditetapkannya⁶. Kritik semacam ini membuka jalan bagi revisi dan refleksi lebih
lanjut dalam tradisi Empiris Logis dan menjadi pendorong berkembangnya filsafat
ilmu kontemporer.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language,
trans. A. Metcalfe and W. H. Kneale (London: Routledge and Kegan Paul, 1937),
317–320.
[2]
Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The
Philosophical Review 45, no. 4 (1936): 339–356.
[3]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 16–18.
[4]
Thomas Uebel, Empiricism at the Crossroads: The
Vienna Circle’s Protocol-Sentence Debate (Chicago: Open Court, 2007),
65–67.
[5]
Michael Friedman, Reconsidering Logical
Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 133–137.
[6]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. from the German by the author (London: Hutchinson, 1959), 39–42.
5.
Metode
dan Program Epistemologis Empiris Logis
Gerakan Empiris Logis tidak hanya menyodorkan
prinsip verifikasi sebagai norma makna, tetapi juga menyusun program
epistemologis sistematik untuk merekonstruksi ilmu pengetahuan dalam
kerangka logis dan empiris yang konsisten. Program ini merupakan usaha kolektif
untuk menyusun ulang seluruh bangunan ilmu dari landasan logika simbolik dan
pengalaman inderawi yang dapat dikonfirmasi. Tujuan akhirnya adalah menciptakan
suatu sistem pengetahuan yang bersifat koheren, terintegrasi, dan bebas dari
ambiguitas metafisis.
Salah satu kontribusi awal yang paling penting
datang dari Rudolf Carnap, terutama dalam karya Der logische Aufbau
der Welt (1928), yang kemudian dikenal sebagai The Logical Structure of
the World. Dalam karya ini, Carnap merancang metode “rekonstruksi
konstitusional”, yakni upaya menyusun seluruh konsep ilmiah—dari konsep
dasar hingga konsep teoritis—berdasarkan pengalaman elementer (sense-data)
dengan bantuan sistem logika formal¹. Ia mengembangkan linguistic framework
untuk memetakan bagaimana konsep-konsep ilmiah dapat dikonstruksi secara
sistematis dari basis logis yang netral secara metafisik².
Rekonstruksi ini bertumpu pada gagasan bahwa bahasa
ilmiah harus ditata secara presisi melalui logika simbolik, sehingga
setiap pernyataan dapat dianalisis berdasarkan struktur logisnya dan
diverifikasi secara empiris. Dalam hal ini, Carnap mengembangkan dua tingkat
bahasa: bahasa objek (yang berbicara tentang dunia) dan metabahasa
(yang membahas struktur dan sintaks dari bahasa objek)³. Distingsi ini menjadi
penting dalam membedakan antara pernyataan ilmiah dan diskusi filosofis tentang
pernyataan ilmiah.
Program epistemologis Empiris Logis juga ditandai
dengan penolakan terhadap fondasionalisme metafisis. Alih-alih mencari
dasar absolut bagi pengetahuan seperti “substansi” atau “ide”,
mereka berusaha membangun pengetahuan melalui hubungan logis dan konfirmasi
empiris antar-pernyataan. Dalam pendekatan ini, tidak ada kebenaran “mutlak”;
yang ada adalah sistem proposisi yang saling mendukung dalam jejaring
konfirmasi⁴.
Di samping itu, gerakan ini mengusulkan visi
tentang “ilmu pengetahuan yang disatukan” (unified science), yang
digagas terutama oleh Otto Neurath. Menurut Neurath, semua cabang ilmu harus
diekspresikan dalam satu bahasa ilmiah universal yang dapat dianalisis secara
logis dan terhubung satu sama lain melalui prinsip empiris. Neurath menolak
pandangan hierarkis dalam ilmu, dan menggantikannya dengan struktur jaringan
yang terbuka dan kolaboratif⁵. Dalam semangat ini, mereka merintis proyek besar
bertajuk International Encyclopedia of Unified Science, yang bertujuan
mengintegrasikan semua disiplin ilmu dalam kerangka konseptual tunggal⁶.
Program ini juga mencakup perhatian terhadap penggunaan
bahasa yang tepat dan bebas dari kekaburan. Carnap, dalam The Logical
Syntax of Language, menekankan pentingnya aturan sintaksis eksplisit dalam
sistem bahasa untuk menghindari ambiguitas dan kesalahan berpikir filosofis. Ia
melihat filsafat sebagai logische Syntax der Sprache—sebuah kegiatan
teknis untuk menjernihkan cara kita menggunakan simbol dan pernyataan⁷.
Namun, meskipun idealnya adalah membangun sistem
pengetahuan yang seluruhnya logis dan empiris, para tokoh Empiris Logis sendiri
menyadari keterbatasan praktik ilmiah yang sering kali tidak mengikuti model
deduktif yang ketat. Oleh karena itu, mereka juga membuka ruang bagi
penyesuaian konsep verifikasi, termasuk integrasi prinsip probabilistik,
sebagaimana dikembangkan oleh Hans Reichenbach dan Carnap dalam tahap-tahap
lanjut⁸.
Secara keseluruhan, metode dan program
epistemologis Empiris Logis menandai upaya besar untuk memfilsafatkan ilmu
secara ilmiah, dan sebaliknya, menjadikan filsafat tunduk pada standar
rasionalitas ilmiah. Mereka bukan hanya membangun teori tentang ilmu,
tetapi juga merancang kerangka praktis yang memungkinkan penyusunan, evaluasi,
dan klarifikasi pengetahuan manusia dengan presisi logis dan verifikasi
empiris.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World, trans. Rolf A. George (Chicago: Open Court, 2003), xx–xxiii.
[2]
Michael Friedman, Reconsidering Logical
Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 78–81.
[3]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language,
trans. A. Metcalfe and W. H. Kneale (London: Routledge and Kegan Paul, 1937),
1–12.
[4]
Thomas Uebel, Empiricism at the Crossroads: The
Vienna Circle’s Protocol-Sentence Debate (Chicago: Open Court, 2007),
144–148.
[5]
Otto Neurath, “Unified Science and Psychology,” in Philosophy
of Science 1, no. 2 (1934): 179–187.
[6]
Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles W. Morris,
eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University
of Chicago Press, 1938), Vol. I, Introduction.
[7]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language,
278–289.
[8]
Hans Reichenbach, The Rise of Scientific
Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1951), 33–38.
6.
Kritik
terhadap Gerakan Empiris Logis
Meskipun Gerakan Empiris Logis memberikan
kontribusi signifikan terhadap filsafat ilmu dan epistemologi abad ke-20,
pendekatan ini tidak luput dari kritik mendalam yang pada akhirnya menggoyahkan
fondasi filosofisnya sendiri. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai
arah—baik dari kalangan filsuf sains seperti Karl Popper, tokoh filsafat
analitik seperti W.V.O. Quine, maupun dari dalam gerakan itu sendiri
melalui refleksi kritis para anggotanya.
6.1.
Masalah dengan Prinsip Verifikasi
Salah satu kritik paling fundamental adalah bahwa prinsip
verifikasi itu sendiri tidak dapat diverifikasi secara empiris, sehingga,
berdasarkan kriterianya sendiri, menjadi pernyataan yang tidak bermakna secara
kognitif. Kritik ini pertama kali dikemukakan oleh Karl Popper, yang
menunjukkan bahwa prinsip tersebut bersifat self-refuting. Menurut
Popper, tidak mungkin memverifikasi secara empiris pernyataan bahwa “semua
pernyataan bermakna jika dan hanya jika dapat diverifikasi secara empiris”¹.
Popper juga menolak pendekatan verifikasi sebagai
dasar demarkasi antara sains dan non-sains. Ia mengajukan prinsip
falsifikasi sebagai alternatif, yakni bahwa suatu teori ilmiah harus
bersifat refutable atau dapat diuji dan dibantah melalui pengalaman.
Dengan falsifikasi, ilmu tidak ditentukan oleh konfirmasi, tetapi oleh potensi
untuk diuji secara kritis dan ditolak jika bertentangan dengan observasi².
6.2.
Kritik dari Quine: "Two Dogmas
of Empiricism"
Serangan konseptual yang lebih dalam datang dari
W.V.O. Quine dalam esai terkenalnya Two Dogmas of Empiricism (1951),
yang dianggap sebagai momen penutup dominasi Empiris Logis dalam filsafat
Amerika. Quine membantah dua asumsi dasar empirisisme logis: (a) bahwa terdapat
pemisahan tegas antara pernyataan analitik dan sintetik, dan (b) bahwa setiap
pernyataan dapat diuji secara independen berdasarkan pengalaman³.
Menurut Quine, makna suatu pernyataan tidak dapat
ditentukan secara isolatif karena seluruh sistem pengetahuan manusia terhubung
dalam web of belief—yakni jaringan proposisi yang saling menguatkan.
Dengan demikian, penolakan terhadap satu pernyataan bisa berdampak pada revisi
bagian lain dalam sistem keyakinan, bukan hanya pada pernyataan itu sendiri⁴.
6.3.
Krisis Internal: Ambiguitas dalam
“Protokol Kalimat”
Dari dalam gerakan sendiri, muncul perdebatan
tentang “protokol kalimat” (protocol sentences)—yakni pernyataan
dasar hasil observasi yang menjadi landasan konfirmasi empiris. Beberapa
anggota Lingkaran Wina, seperti Neurath, menentang pandangan bahwa observasi
dapat menjadi dasar netral karena semua bahasa observasional sudah terstruktur
secara teoritis. Ini memunculkan kritik terhadap asumsi netralitas data
inderawi dan menyoroti peran bahasa dan teori dalam membentuk pengalaman⁵.
6.4.
Problematika Bahasa Ideal dan Dunia
Nyata
Upaya Carnap dan rekan-rekannya untuk menyusun
sistem bahasa ilmiah formal yang sempurna juga dianggap terlalu utopis. Bahasa
alami yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak tunduk pada logika
simbolik yang ketat, dan tidak semua aspek pengetahuan dapat direduksi ke dalam
bentuk logis-matematis tanpa kehilangan makna praktis dan sosialnya⁶. Kritik
ini diperkuat oleh perkembangan filsafat bahasa biasa (ordinary language
philosophy) yang dipelopori oleh J.L. Austin dan Gilbert Ryle.
6.5.
Ketidaksesuaian dengan Praktik Ilmu
Banyak ilmuwan merasa bahwa Empiris Logis tidak
mencerminkan praktik aktual dalam ilmu pengetahuan. Ilmu tidak selalu bergerak
dalam garis lurus dari observasi ke teori melalui verifikasi, melainkan melalui
hipotesis, model, dan kadang asumsi spekulatif. Ini terlihat jelas dalam fisika
teoretis dan biologi evolusioner, di mana banyak teori tidak dapat diverifikasi
secara langsung⁷.
Kesimpulan
Sementara
Kritik terhadap Gerakan Empiris Logis tidak lantas
menghapus kontribusinya terhadap filsafat modern. Sebaliknya, kritik-kritik
tersebut mendorong evolusi epistemologi ke arah yang lebih terbuka, reflektif,
dan pluralistik. Prinsip-prinsip seperti klarifikasi logis, perhatian terhadap
bahasa, dan usaha menjembatani filsafat dan sains tetap menjadi warisan penting
yang membentuk fondasi filsafat analitik kontemporer.
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. from the German by the author (London: Hutchinson, 1959), 39–41.
[2]
Ibid., 66–69.
[3]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.
[4]
Ibid., 40–42.
[5]
Thomas Uebel, Empiricism at the Crossroads: The
Vienna Circle’s Protocol-Sentence Debate (Chicago: Open Court, 2007),
83–87.
[6]
Michael Friedman, Reconsidering Logical
Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 143–145.
[7]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 4–9.
7.
Pengaruh
dan Warisan Logical Empiricism
Meskipun mengalami berbagai kritik dan mengalami
kemunduran pengaruh langsung pada pertengahan abad ke-20, Logical Empiricism
(Empiris Logis) tetap menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah
filsafat modern, terutama dalam tradisi filsafat analitik dan filsafat ilmu.
Warisan intelektualnya tidak hanya membentuk kontur epistemologi kontemporer,
tetapi juga menetapkan standar baru dalam hal klarifikasi konseptual,
presisi logis, dan hubungan antara filsafat dan sains.
7.1.
Meletakkan Fondasi Filsafat Ilmu
Modern
Logical Empiricism memainkan peran utama dalam
membentuk filsafat ilmu sebagai disiplin yang otonom dan sistematik,
terpisah dari metafisika spekulatif. Gerakan ini menekankan pentingnya metode
ilmiah sebagai model ideal untuk kegiatan epistemologis dan menunjukkan
bagaimana filsafat dapat berfungsi sebagai penelaahan kritis atas dasar-dasar
ilmu pengetahuan, bukan sebagai produsen teori-teori dunia suprarasional¹.
Filsuf seperti Carl Hempel dan Hans
Reichenbach, yang terinspirasi langsung oleh Lingkaran Wina dan Kelompok
Praha, menjadi tokoh sentral dalam pengembangan model deduktif-nomologis dan
logika probabilistik dalam penjelasan ilmiah². Model-model ini hingga kini
masih diajarkan sebagai kerangka dasar dalam filsafat ilmu di
universitas-universitas dunia.
7.2.
Mendorong Perkembangan Logika dan
Analisis Bahasa
Warisan utama lainnya dari gerakan ini adalah
pengaruhnya terhadap perkembangan logika simbolik dan filsafat bahasa.
Karya-karya Carnap dalam The Logical Syntax of Language dan Meaning
and Necessity memperluas cakupan filsafat ke wilayah semantik formal,
metateori, dan struktur bahasa ilmiah³. Bahkan setelah kritik dari Quine dan
filsuf pasca-positivis, pendekatan analitis terhadap bahasa tetap menjadi arus
utama dalam filsafat Anglo-Amerika.
Selain itu, pendekatan linguistic turn dalam
filsafat abad ke-20—yang menjadikan analisis bahasa sebagai metode utama dalam
memecahkan masalah filosofis—berutang banyak kepada para empiris logis yang
pertama kali menempatkan bahasa sebagai pusat analisis epistemologis⁴.
7.3.
Memengaruhi Tradisi Sains dan Kajian
Interdisipliner
Logical Empiricism juga memiliki dampak signifikan
dalam mendorong pendekatan interdisipliner dan naturalistik dalam kajian
sains. Konsep unified science yang diajukan oleh Otto Neurath
membuka jalan bagi integrasi metodologis antara berbagai cabang ilmu, dari
fisika hingga ilmu sosial, dalam kerangka rasional dan empiris yang koheren.
Ide ini memengaruhi berkembangnya studi ilmu (science studies), metodologi
ilmiah, dan filsafat sains kuantitatif⁵.
Bahkan pendekatan naturalized epistemology
yang kemudian dikembangkan oleh Quine juga masih membawa jejak warisan empiris
logis, yakni keyakinan bahwa filsafat tidak dapat terpisah dari sains, dan
bahwa pemahaman tentang pengetahuan harus dibangun di atas hasil-hasil empiris
dari ilmu-ilmu kognitif⁶.
7.4.
Mewarnai Debat Demarkasi Ilmu dan
Pseudoscience
Meskipun prinsip verifikasi telah banyak
ditinggalkan, semangat demarkasi antara ilmu dan non-ilmu yang
diperjuangkan oleh para empiris logis tetap menjadi isu utama dalam filsafat
sains modern. Isu ini menjadi relevan kembali dalam diskusi kontemporer
mengenai pseudoscience, teori konspirasi, dan tantangan terhadap
otoritas ilmiah di era post-truth⁷.
Upaya mereka untuk merumuskan kriteria yang dapat
diterapkan secara objektif terhadap pernyataan ilmiah menjadi fondasi bagi
perdebatan lanjutan tentang falsifiabilitas, konsiliensi, dan robustness dalam
epistemologi sains.
7.5.
Warisan Institusional dan Historis
Secara institusional, banyak tokoh utama Gerakan
Empiris Logis berperan dalam membentuk pusat-pusat filsafat modern di Amerika
Serikat setelah mereka bermigrasi akibat naiknya fasisme di Eropa. Tokoh
seperti Carnap, Hempel, dan Reichenbach mengajar di universitas-universitas
besar seperti Chicago, Princeton, dan UCLA, dan membawa serta pendekatan
logis-empiris ke dalam pendidikan tinggi dan riset filsafat Amerika⁸.
Warisan mereka juga terpelihara dalam proyek-proyek
dokumentasi dan kajian sejarah filsafat, seperti Vienna Circle Institute,
yang hingga kini terus meneliti dan menerbitkan dokumen-dokumen primer dan
sekunder dari masa kejayaan Empiris Logis.
Kesimpulan
Sementara
Meskipun proyek epistemologis Empiris Logis
mengalami revisi dan kritik yang tajam, warisan intelektualnya tetap terasa
dalam berbagai aspek filsafat kontemporer: dari metodologi ilmiah hingga
logika, dari filsafat bahasa hingga teori kognitif. Warisan ini bukan hanya
berupa doktrin, tetapi berupa warisan metodologis: semangat untuk menata ulang
pengetahuan secara rasional, terbuka terhadap revisi, dan berbasis pada
observasi dan inferensi logis.
Footnotes
[1]
Michael Friedman, Reconsidering Logical
Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 45–48.
[2]
Carl G. Hempel, Aspects of Scientific
Explanation (New York: Free Press, 1965), 231–253.
[3]
Rudolf Carnap, Meaning and Necessity: A Study in
Semantics and Modal Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1947),
5–8.
[4]
Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent
Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press,
1967), 3–7.
[5]
Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles Morris,
eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University
of Chicago Press, 1938), Introduction.
[6]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological
Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969),
69–90.
[7]
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy
of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago:
University of Chicago Press, 2013), 12–17.
[8]
Alan Richardson and Thomas Uebel, eds., The
Cambridge Companion to Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), 5–9.
8.
Relevansi
Prinsip Verifikasi dalam Diskursus Ilmiah dan Filosofis Modern
Meskipun prinsip verifikasi sebagai doktrin
filsafat telah mengalami delegitimasi dalam kerangka epistemologi kontemporer,
semangat rasionalitas empiris yang mendasarinya tetap memiliki daya hidup
konseptual dan metodologis dalam banyak cabang diskursus ilmiah dan
filosofis. Prinsip ini, yang menyatakan bahwa makna pernyataan terletak pada
kemungkinannya untuk diverifikasi secara empiris atau ditentukan secara logis,
masih menjadi pijakan penting dalam pembahasan tentang keabsahan pernyataan
ilmiah, kriteria kognitivitas, dan batas antara sains dan metafisika.
8.1.
Dalam Ilmu Pengetahuan: Klarifikasi
dan Demarkasi
Dalam ranah ilmiah, prinsip verifikasi tetap
berfungsi sebagai alat klarifikasi konseptual. Meskipun tidak diterapkan
secara ketat dalam bentuk aslinya, pendekatan berbasis verifikasi masih
digunakan untuk menilai apakah suatu teori atau hipotesis bersifat ilmiah atau
sekadar spekulatif. Hal ini sangat relevan dalam diskusi lintas disiplin
seperti teori string dalam fisika teoretis, model iklim dalam sains lingkungan,
atau neurofisiologi kesadaran dalam ilmu kognitif. Dalam konteks ini, prinsip
verifikasi berfungsi sebagai parameter demarkatif, yakni menggarisbawahi
perbedaan antara proposisi yang dapat diuji melalui pengamatan (meskipun secara
tidak langsung) dan proposisi yang tidak memiliki jalur pengujian sama sekali¹.
Sebagai contoh, dalam praktik medis berbasis bukti
(evidence-based medicine), pernyataan tentang efektivitas suatu terapi
harus dapat dikonfirmasi melalui metode uji klinis terkontrol. Prinsip ini,
meskipun tidak lagi disebut sebagai “verifikasi”, tetap beroperasi dalam
semangat yang sama dengan yang diajukan oleh para empiris logis: yakni bahwa
kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan melalui prosedur sistematik berbasis
observasi².
8.2.
Dalam Filsafat Bahasa dan Semantik
Dalam filsafat bahasa, prinsip verifikasi telah
mengilhami pendekatan-pendekatan semantik modern, khususnya dalam teori
makna berbasis penggunaan (use-based theories) dan truth-conditional
semantics. Meskipun filsuf seperti Wittgenstein (fase akhir) dan Donald
Davidson menolak bentuk keras prinsip verifikasi, mereka tetap mempertahankan
gagasan bahwa makna tidak dapat dipisahkan dari kondisi kebenaran dan
konteks penggunaan³.
Selain itu, teori speech act yang
dikembangkan oleh J.L. Austin dan John Searle menunjukkan bahwa banyak
pernyataan memperoleh maknanya dari fungsi performatifnya dalam situasi sosial
tertentu. Meski berbeda dari semangat logika formal Empiris Logis, pendekatan
ini tetap berbagi perhatian yang sama terhadap penilaian makna berdasarkan
konsekuensi dan kondisi keberlakuannya⁴.
8.3.
Dalam Filsafat Agama dan Etika
Prinsip verifikasi juga tetap menjadi sumber
perdebatan kritis dalam filsafat agama dan filsafat moral. Banyak argumen
ateistik modern, seperti yang dikemukakan oleh Antony Flew atau Richard
Dawkins, secara implisit mengandalkan prinsip bahwa pernyataan teistik
(misalnya “Tuhan itu ada”) tidak memiliki makna kognitif karena tidak
dapat diuji atau dibantah secara empiris⁵. Hal yang sama berlaku untuk
klaim-klaim etika absolut yang tidak dapat direduksi menjadi pernyataan
faktual.
Namun demikian, pendekatan ini telah memunculkan
respons yang konstruktif dari berbagai tradisi, termasuk filsafat analitik
agama, yang berusaha membangun model semantik dan epistemik yang mampu
menjelaskan makna religius tanpa bergantung pada verifikasi empiris langsung,
seperti pendekatan reformed epistemology oleh Alvin Plantinga⁶.
8.4.
Dalam Era Post-Truth dan
Pseudoscience
Di era informasi digital dan post-truth,
prinsip verifikasi memperoleh relevansi baru sebagai tolok ukur untuk
menyaring klaim-klaim yang tidak berdasar, seperti teori konspirasi,
misinformasi kesehatan, dan pseudosains. Kebutuhan akan standar rasional dan
objektif untuk menilai validitas pernyataan menjadi semakin mendesak di tengah
banjir informasi yang tidak terkontrol. Dalam konteks ini, prinsip verifikasi
(atau bentuk revisinya seperti falsifiabilitas atau konfirmasi intersubjektif)
menjadi alat etis sekaligus epistemologis dalam menjaga integritas pengetahuan
publik⁷.
8.5.
Dalam Epistemologi Naturalistik dan
Kognitif
Akhirnya, dalam epistemologi kontemporer yang
semakin dipengaruhi oleh ilmu kognitif dan psikologi eksperimental, prinsip
verifikasi mengalami bentuk reformulasi dalam bentuk penekanan pada
keandalan inferensi dan keterhubungan dengan data empirik aktual.
Pendekatan ini, meskipun tidak secara eksplisit mengacu pada Empiris Logis,
tetap mempertahankan semangat dasar bahwa pengetahuan harus memiliki akar
empiris dan dapat dievaluasi secara publik dan sistematik⁸.
Kesimpulan
Sementara
Prinsip verifikasi, meski telah ditinggalkan dalam
bentuk dogmatisnya oleh banyak filsuf modern, tetap hidup dalam bentuk semangat
metodologis dan etos keilmuan yang menekankan pentingnya pengujian empiris,
ketepatan bahasa, dan rasionalitas terbuka. Ia telah berpindah dari dogma
filosofis menjadi alat kerja konseptual lintas disiplin, dan
relevansinya tetap kuat dalam menghadapi tantangan epistemologis zaman
kontemporer.
Footnotes
[1]
Larry Laudan, Science and Hypothesis: Historical
Essays on Scientific Methodology (Dordrecht: Reidel, 1981), 25–27.
[2]
David L. Sackett et al., Evidence-Based
Medicine: How to Practice and Teach EBM (Edinburgh: Churchill Livingstone,
2000), 3–5.
[3]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” in Inquiries
into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 17–36.
[4]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962),
94–107.
[5]
Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New
Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre
(London: SCM Press, 1955), 96–99.
[6]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 3–7.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT
Press, 2018), 52–59.
[8]
Stephen Stich, The Fragmentation of Reason:
Preface to a Pragmatic Theory of Cognitive Evaluation (Cambridge: MIT
Press, 1990), 42–45.
9.
Kesimpulan
Gerakan Empiris Logis, yang berkembang pesat
di Eropa Tengah melalui Lingkaran Wina dan Kelompok Praha pada awal abad ke-20,
merupakan salah satu tonggak revolusioner dalam sejarah filsafat modern.
Berakar dari keinginan untuk mereformasi filsafat agar selaras dengan
metodologi ilmiah, gerakan ini menekankan bahwa makna suatu pernyataan hanya
dapat dipahami melalui verifikasi empiris atau analisis logis, menolak
seluruh bentuk metafisika yang tidak dapat diuji secara objektif. Prinsip ini
melandasi usaha para tokohnya, seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto
Neurath, dan Hans Reichenbach, dalam membangun epistemologi yang bebas dari
spekulasi, serta mengintegrasikan ilmu ke dalam kerangka logika simbolik dan
observasi¹.
Dengan menjadikan klarifikasi logis atas bahasa
ilmiah sebagai tugas utama filsafat, Empiris Logis bukan hanya menggeser
fokus filsafat dari spekulasi ontologis ke analisis linguistik dan metodologis,
tetapi juga menandai dimulainya tradisi filsafat analitik yang kini
mendominasi dunia akademik Barat. Meskipun menghadapi kritik tajam—terutama
dari Karl Popper mengenai prinsip verifikasi yang self-refuting, serta dari
W.V.O. Quine dalam esainya Two Dogmas of Empiricism—kontribusi gerakan
ini terhadap struktur filsafat ilmu tetap signifikan².
Lebih jauh, warisan intelektual Empiris Logis
tercermin dalam berbagai bidang: dari model deduktif-nomologis dalam penjelasan
ilmiah, hingga upaya menyatukan seluruh ilmu pengetahuan dalam kerangka logis
yang koheren. Meskipun proyek unified science tidak pernah terealisasi
secara utuh, gagasan integrasi ilmiah, penggunaan bahasa formal, dan semangat intersubjektivitas
rasional tetap menjadi pilar dalam diskursus ilmiah modern³.
Dalam konteks kontemporer, prinsip verifikasi tetap
memiliki relevansi epistemologis. Ia bertransformasi dari kriteria ketat
menjadi semangat metodologis yang mendorong klarifikasi, konfirmasi, dan
validasi pengetahuan. Di tengah tantangan era post-truth, maraknya
disinformasi, dan berkembangnya klaim-klaim pseudosains, etos keilmuan yang
diwariskan oleh Empiris Logis menjadi semakin vital⁴.
Oleh karena itu, meskipun telah mengalami revisi
dan dekonstruksi, Empiris Logis tidak dapat disingkirkan begitu saja dari
sejarah pemikiran. Ia justru meletakkan fondasi bagi filsafat ilmu yang
rasional, terbuka, dan bertanggung jawab secara epistemik. Dalam sejarah
intelektual modern, Empiris Logis berdiri sebagai bukti bahwa filsafat, ketika
disandingkan secara kritis dengan sains, dapat membentuk kerangka berpikir yang
ketat sekaligus relevan dengan kebutuhan zaman.
Footnotes
[1]
Michael Friedman, Reconsidering Logical
Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 45–52.
[2]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43; Karl Popper, The Logic of
Scientific Discovery, trans. from the German by the author (London:
Hutchinson, 1959), 40–42.
[3]
Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles W. Morris,
eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University
of Chicago Press, 1938), Introduction.
[4]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT
Press, 2018), 58–64.
Daftar Pustaka
Austin, J. L. (1962). How to do things with
words (J. O. Urmson & M. Sbisà, Eds.). Harvard University Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Carnap, R. (1937). The logical syntax of
language (A. Metcalfe & W. H. Kneale, Trans.). Routledge and Kegan
Paul.
Carnap, R. (1947). Meaning and necessity: A
study in semantics and modal logic. University of Chicago Press.
Carnap, R. (2003). The logical structure of the
world (R. A. George, Trans.). Open Court.
Davidson, D. (1984). Truth and meaning. In Inquiries
into truth and interpretation (pp. 17–36). Clarendon Press.
Dummett, M. (1981). Frege: Philosophy of
language. Harvard University Press.
Flew, A. (1955). Theology and falsification. In A.
Flew & A. MacIntyre (Eds.), New essays in philosophical theology
(pp. 96–99). SCM Press.
Friedman, M. (1999). Reconsidering logical
positivism. Cambridge University Press.
Hempel, C. G. (1965). Aspects of scientific
explanation. Free Press.
Laudan, L. (1981). Science and hypothesis:
Historical essays on scientific methodology. Reidel.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Neurath, O. (1934). Unified science and psychology.
Philosophy of Science, 1(2), 179–187.
Neurath, O., Carnap, R., & Morris, C. W.
(Eds.). (1938). International encyclopedia of unified science (Vol. I).
University of Chicago Press.
Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy
of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. University of
Chicago Press.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery (Author Trans.). Hutchinson.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized.
In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). Columbia
University Press.
Richardson, A. (1998). Carnap’s construction of
the world: The Aufbau and the emergence of logical empiricism. Cambridge
University Press.
Richardson, A., & Uebel, T. (Eds.). (2007). The
Cambridge companion to logical empiricism. Cambridge University Press.
Rorty, R. (Ed.). (1967). The linguistic turn:
Recent essays in philosophical method. University of Chicago Press.
Sackett, D. L., Straus, S. E., Richardson, W. S.,
Rosenberg, W., & Haynes, R. B. (2000). Evidence-based medicine: How to
practice and teach EBM (2nd ed.). Churchill Livingstone.
Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The
Philosophical Review, 45(4), 339–356.
Stadler, F. (2001). The Vienna Circle: Studies
in the origins, development, and influence of logical empiricism (T. E.
Uebel, Trans.). Springer.
Stich, S. (1990). The fragmentation of reason:
Preface to a pragmatic theory of cognitive evaluation. MIT Press.
Uebel, T. (1992). Overcoming logical positivism
from within: The emergence of Neurath’s naturalism in the Vienna Circle.
Rodopi.
Uebel, T. (2007). Empiricism at the crossroads:
The Vienna Circle’s protocol-sentence debate. Open Court.
Wittgenstein, L. (2001). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge. (Original work published 1921)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar