Sabtu, 31 Mei 2025

Gerakan Empiris Logis: Akar Filosofis dan Warisan Intelektual Verifikasi Empiris

Gerakan Empiris Logis

Akar Filosofis dan Warisan Intelektual Verifikasi Empiris


Alihkan ke: Positivisme.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif kemunculan, perkembangan, dan pengaruh Logical Empiricism atau Empiris Logis yang berpusat di Wina dan Praha pada awal abad ke-20. Berangkat dari latar belakang krisis epistemologis dan semangat reformasi intelektual pasca-Perang Dunia I, gerakan ini berupaya membangun sistem filsafat yang didasarkan pada verifikasi empiris dan logika simbolik, sembari menolak metafisika tradisional yang dianggap tak bermakna secara kognitif. Melalui prinsip verifikasi dan rekonstruksi bahasa ilmiah, tokoh-tokoh seperti Rudolf Carnap, Moritz Schlick, Otto Neurath, dan Hans Reichenbach mendorong filsafat untuk menjadi kegiatan analisis konseptual yang rasional dan terukur. Artikel ini juga mengeksplorasi kritik-kritik terhadap gerakan tersebut, terutama dari Karl Popper dan W.V.O. Quine, serta merefleksikan relevansi prinsip-prinsip Empiris Logis dalam konteks ilmu pengetahuan, filsafat bahasa, etika, dan diskursus post-truth kontemporer. Ditekankan bahwa meskipun proyek verifikasionisme dalam bentuk awalnya telah mengalami dekonstruksi, warisan metodologis dan etos rasionalnya tetap memainkan peran penting dalam tradisi filsafat analitik dan praksis ilmiah modern.

Kata Kunci: Logical Empiricism, Lingkaran Wina, Prinsip Verifikasi, Filsafat Ilmu, Rudolf Carnap, Otto Neurath, Karl Popper, W.V.O. Quine, Klarifikasi Bahasa, Demarkasi Ilmiah, Post-truth.


PEMBAHASAN

Gerakan Empiris Logis di Wina dan Praha


1.           Pendahuluan

Gerakan Empiris Logis, yang dikenal juga dengan nama Logical Empiricism atau Logical Positivism, merupakan salah satu aliran filsafat paling berpengaruh dalam perkembangan epistemologi dan filsafat ilmu pada abad ke-20. Aliran ini lahir sebagai respons terhadap krisis epistemologis dan disorientasi intelektual yang melanda Eropa pasca Perang Dunia I, di mana filsafat tradisional dianggap gagal memberikan kontribusi yang signifikan dalam menjawab persoalan nyata manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam situasi intelektual yang penuh ketidakpastian ini, sekelompok filsuf dan ilmuwan di Wina dan Praha mengusulkan sebuah pendekatan radikal: hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris atau bersifat analitik-logis yang memiliki makna kognitif.

Para pemikir dalam Lingkaran Wina (Wiener Kreis), seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan Otto Neurath, bersama dengan tokoh-tokoh Kelompok Praha seperti Hans Reichenbach, berusaha membangun suatu filsafat yang berbasis pada logika simbolik modern dan metode ilmiah, serta menolak metafisika tradisional yang dianggap tak bermakna secara kognitif¹. Mereka memadukan semangat positivisme klasik dengan perkembangan terbaru dalam logika matematika dan fisika modern, terinspirasi oleh karya Ludwig Wittgenstein, terutama Tractatus Logico-Philosophicus, yang memberikan pengaruh besar dalam memahami hubungan antara bahasa, dunia, dan makna².

Salah satu prinsip mendasar dari Empiris Logis adalah kriteria verifikasi makna, yaitu bahwa makna suatu pernyataan bergantung pada kemungkinan untuk memverifikasinya melalui pengalaman empiris atau analisis logis³. Dengan prinsip ini, filsafat ditransformasikan menjadi kegiatan klarifikasi logis terhadap bahasa ilmiah, dan tugas filsuf dianggap bukan lagi menciptakan teori metafisis, melainkan menyusun analisis logis atas konsep-konsep ilmiah dan kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, gerakan ini tidak hanya menyasar persoalan epistemologis, tetapi juga menyasar pembaruan metodologis dalam cara berpikir ilmiah dan kebahasaan.

Relevansi pembahasan tentang Gerakan Empiris Logis sangat penting, tidak hanya untuk memahami sejarah filsafat analitik dan sains modern, tetapi juga dalam merespons persoalan kontemporer mengenai batas antara pengetahuan ilmiah dan spekulasi metafisik. Dalam konteks inilah, studi terhadap akar filosofis dan kontribusi intelektual dari kelompok Wina dan Praha menjadi sangat signifikan untuk direkonstruksi secara kritis.


Footnotes

[1]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 18–21.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), §1–5.6.

[3]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 33–35.


2.           Konteks Historis: Dunia Intelektual Eropa pada Awal Abad ke-20

Awal abad ke-20 merupakan periode transformasi besar dalam lanskap intelektual Eropa, ditandai oleh ketegangan antara kemajuan ilmiah yang pesat dan keresahan filosofis yang mendalam. Revolusi dalam fisika yang dipelopori oleh teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum Heisenberg telah mengguncang fondasi empirisme klasik dan mekanik Newtonian, sementara di sisi lain, dunia filsafat masih bergulat dengan sisa-sisa metafisika Hegelian dan spiritualisme idealistik yang dominan pada abad ke-19¹. Dalam konteks ini, banyak ilmuwan dan filsuf merasa bahwa filsafat telah kehilangan relevansinya karena terjebak dalam spekulasi abstrak yang tidak dapat diuji secara objektif.

Sementara itu, positivisme sebagai warisan Auguste Comte mengalami revitalisasi dalam bentuk baru. Comte sendiri telah merumuskan suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya sumber pengetahuan sahih, dan bahwa masyarakat akan berkembang melalui tahap teologis, metafisik, dan akhirnya tahap positif atau ilmiah². Namun, versi awal positivisme Comte dinilai terlalu dogmatis dan kurang sensitif terhadap kompleksitas bahasa dan struktur logis dari ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, para pemikir abad ke-20, khususnya di wilayah Eropa Tengah seperti Austria dan Cekoslowakia, mulai mencari dasar baru bagi fondasi pengetahuan ilmiah yang lebih presisi.

Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh gerakan filsafat analitik yang dimulai oleh Gottlob Frege dan kemudian dikembangkan oleh Bertrand Russell serta Ludwig Wittgenstein. Frege memperkenalkan sistem logika simbolik yang ketat dan menolak psikologisme dalam matematika, membuka jalan bagi upaya rekonstruksi logis terhadap bahasa dan pemikiran³. Kemudian, karya monumental Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus menyarankan bahwa struktur logis dunia tercermin dalam bahasa, dan makna terletak dalam proposisi yang dapat dipikirkan atau divisualisasikan sebagai "gambaran" realitas⁴. Ide ini sangat memengaruhi generasi filsuf muda yang kemudian membentuk Lingkaran Wina.

Kondisi sosial-politik Eropa pasca-Perang Dunia I juga menjadi katalis bagi munculnya gerakan ini. Keruntuhan Kekaisaran Austro-Hungaria, naiknya rezim totaliter, dan ketidakpastian terhadap masa depan ilmu pengetahuan mendorong kebutuhan akan pendekatan filosofis yang menjunjung rasionalitas, kejelasan, dan universalitas⁵. Gerakan Empiris Logis muncul sebagai tanggapan terhadap situasi tersebut—sebuah proyek kolektif yang bertujuan menyusun sistem pengetahuan ilmiah bebas dari muatan ideologis, religius, dan metafisik.

Dengan demikian, gerakan Empiris Logis bukanlah kemunculan yang tiba-tiba, melainkan hasil dari berbagai dinamika historis dan intelektual yang saling berkelindan. Ia hadir sebagai upaya untuk merestorasi kepercayaan terhadap nalar dan ilmu pengetahuan, sekaligus menegaskan kembali peran filsafat sebagai klarifikasi konseptual, bukan spekulasi metafisik.


Footnotes

[1]                Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from Within: The Emergence of Neurath’s Naturalism in the Vienna Circle (Amsterdam: Rodopi, 1992), 17–20.

[2]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 2:15–20.

[3]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge: Harvard University Press, 1981), 27–29.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), §2.1–2.21.

[5]                Alan Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 10–13.


3.           Munculnya Lingkaran Wina dan Kelompok Praha

Gerakan Empiris Logis menemukan bentuk institusional dan intelektualnya yang paling berpengaruh melalui dua pusat utama: Lingkaran Wina (Wiener Kreis) di Austria dan Kelompok Praha (Berliner Gruppe atau Praguer Kreis) di Cekoslowakia. Kedua kelompok ini, meskipun beroperasi dalam konteks geografis dan sosial yang berbeda, berbagi visi bersama untuk mereformasi filsafat melalui logika simbolik dan pendekatan ilmiah yang ketat.

Lingkaran Wina secara resmi terbentuk pada awal 1920-an di bawah kepemimpinan Moritz Schlick, seorang filsuf ilmu pengetahuan yang pada saat itu menjabat sebagai profesor filsafat di Universitas Wina. Kelompok ini terdiri atas sejumlah intelektual dari berbagai disiplin ilmu, seperti Rudolf Carnap (logika dan filsafat bahasa), Otto Neurath (sosiologi dan ekonomi), Herbert Feigl, dan Philipp Frank. Mereka secara rutin mengadakan pertemuan mingguan di Institut Fisika Wina untuk mendiskusikan isu-isu logika, bahasa, dan dasar-dasar ilmu pengetahuan¹.

Agenda utama mereka adalah mengembangkan suatu sistem filsafat yang didasarkan pada logika matematika dan verifikasi empiris, serta menolak seluruh bentuk metafisika sebagai tak bermakna secara kognitif. Schlick dan rekan-rekannya sangat dipengaruhi oleh karya Ludwig Wittgenstein, terutama Tractatus Logico-Philosophicus, yang mereka anggap sebagai fondasi ontologis dan logis bagi proyek analisis bahasa². Meskipun Wittgenstein sendiri tidak secara langsung menjadi anggota Lingkaran Wina, ia pernah hadir dalam beberapa pertemuan, namun tetap menjaga jarak dan mengkritik kecenderungan kelompok ini dalam menafsirkan karyanya secara terlalu teknis³.

Salah satu tokoh sentral lainnya adalah Rudolf Carnap, yang kemudian menjadi arsitek utama dalam pengembangan program rekonstruksi logis terhadap bahasa ilmiah. Dalam karya seperti Der logische Aufbau der Welt (1928), Carnap merancang model epistemologi rasionalistik yang berupaya menyusun seluruh pengetahuan dari basis pengalaman murni menggunakan sistem logis formal⁴.

Sementara itu, di Praha, Hans Reichenbach memimpin kelompok intelektual yang memiliki tujuan serupa. Meskipun tidak secara formal dinamai “Kelompok Praha”, Reichenbach dan para kolaboratornya di Berlin dan kemudian di Cekoslowakia mengembangkan pendekatan yang disebut fisikalisme epistemologis. Mereka menekankan perlunya mengintegrasikan teori relativitas dan mekanika kuantum ke dalam kerangka epistemologi ilmiah, serta lebih menekankan aspek probabilistik daripada deterministik dalam verifikasi⁵.

Meskipun ada nuansa perbedaan dalam pendekatan antara Wina dan Praha—misalnya, Carnap lebih fokus pada bahasa formal, sedangkan Reichenbach menaruh perhatian pada logika probabilitas—kedua kelompok ini secara umum bersatu dalam semangat untuk menyaring filsafat dari ambiguitas metafisis dan mendasarkannya pada kejelasan ilmiah dan logika⁶.

Kerja sama antara kedua kelompok semakin menguat lewat proyek internasional bertajuk Encyclopedia of Unified Science, yang bertujuan mengintegrasikan semua cabang ilmu pengetahuan dalam suatu sistem koheren berbasis logika dan verifikasi. Proyek ini menjadi bukti bahwa Logical Empiricism bukan hanya aliran filsafat, melainkan juga gerakan intelektual yang bersifat kolektif dan multidisipliner⁷.


Footnotes

[1]                Friedrich Stadler, The Vienna Circle: Studies in the Origins, Development, and Influence of Logical Empiricism, trans. Thomas E. Uebel (Wien: Springer, 2001), 37–40.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), §2.1–4.5.

[3]                Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from Within: The Emergence of Neurath’s Naturalism in the Vienna Circle (Amsterdam: Rodopi, 1992), 62–64.

[4]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World, trans. Rolf A. George (Chicago: Open Court, 2003), xxi–xxiii.

[5]                Alan Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 91–95.

[6]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 112–115.

[7]                Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles W. Morris, eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University of Chicago Press, 1938), Vol. I, Introduction.


4.           Prinsip Verifikasi: Inti dari Empiris Logis

Salah satu kontribusi paling sentral dari Gerakan Empiris Logis adalah pengembangan prinsip verifikasi (Verifikationsprinzip), yang menjadi tolok ukur utama untuk menentukan apakah suatu pernyataan bermakna secara kognitif. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu pernyataan hanya bermakna jika dapat diverifikasi melalui observasi empiris atau jika ia merupakan kebenaran analitik dalam logika atau matematika. Dengan kata lain, makna suatu pernyataan terletak pada metode verifikasinya—baik secara a posteriori (melalui pengalaman) maupun a priori (melalui deduksi logis)¹.

Prinsip ini secara tegas diarahkan untuk menolak metafisika sebagai bentuk wacana yang tidak bermakna secara kognitif. Para filsuf Empiris Logis menganggap bahwa banyak pernyataan dalam metafisika tradisional (seperti "Yang Mutlak ada di luar ruang dan waktu") tidak dapat diuji secara empiris maupun diturunkan secara logis, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pernyataan bermakna dalam kerangka analisis ilmiah². Pernyataan semacam itu dianggap sebagai ekspresi emosional atau spekulatif, bukan sebagai pernyataan kognitif yang dapat dibenarkan atau disangkal melalui bukti.

Tokoh utama yang memformulasikan prinsip verifikasi secara sistematis adalah Rudolf Carnap dan A. J. Ayer. Dalam karya Language, Truth and Logic, Ayer menyatakan secara eksplisit bahwa “a sentence is factually significant to any given person, if, and only if, he knows how to verify the proposition which it purports to express”³. Dengan demikian, makna tidak dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada kata-kata secara abstrak, tetapi sebagai fungsi dari prosedur verifikasi yang menyertainya.

Namun, seiring berkembangnya kritik terhadap prinsip ini, para filsuf Empiris Logis mulai membedakan antara verifikasi kuat dan verifikasi lemah. Verifikasi kuat mengharuskan bahwa pernyataan dapat dibuktikan benar secara mutlak melalui observasi; sedangkan verifikasi lemah hanya menuntut bahwa pernyataan dapat dikonfirmasi dalam derajat tertentu oleh pengalaman. Versi lemah inilah yang kemudian lebih banyak digunakan dalam praktik, karena sains modern jarang beroperasi dengan kepastian absolut⁴.

Perbedaan lain yang penting dalam prinsip ini adalah antara pernyataan analitik (kebenarannya ditentukan oleh struktur logis atau definisi, seperti “semua bujangan belum menikah”) dan pernyataan sintetik empiris (yang dapat dibuktikan benar atau salah melalui pengalaman, seperti “air mendidih pada 100°C”). Hanya pernyataan dalam dua kategori ini yang dianggap bermakna; sisanya, seperti pernyataan teologis atau nilai etis, dikelompokkan sebagai ekspresi yang bersifat emotif atau imperatif⁵.

Implikasi dari prinsip verifikasi ini sangat luas, khususnya dalam bidang filsafat ilmu, bahasa, dan teori pengetahuan. Ia memungkinkan adanya batas demarkasi yang jelas antara ilmu dan pseudosains, antara wacana rasional dan spekulasi bebas. Prinsip ini juga memperkuat gagasan bahwa bahasa harus disusun secara presisi logis agar dapat berfungsi sebagai alat komunikasi ilmiah yang valid.

Namun demikian, prinsip verifikasi tidak luput dari kritik. Banyak filsuf, termasuk Karl Popper, menunjukkan bahwa prinsip ini gagal memenuhi kriterianya sendiri: pernyataan “suatu pernyataan hanya bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris” sendiri tidak dapat diverifikasi secara empiris, dan karena itu tidak bermakna menurut standar yang ditetapkannya⁶. Kritik semacam ini membuka jalan bagi revisi dan refleksi lebih lanjut dalam tradisi Empiris Logis dan menjadi pendorong berkembangnya filsafat ilmu kontemporer.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, trans. A. Metcalfe and W. H. Kneale (London: Routledge and Kegan Paul, 1937), 317–320.

[2]                Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The Philosophical Review 45, no. 4 (1936): 339–356.

[3]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 16–18.

[4]                Thomas Uebel, Empiricism at the Crossroads: The Vienna Circle’s Protocol-Sentence Debate (Chicago: Open Court, 2007), 65–67.

[5]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 133–137.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from the German by the author (London: Hutchinson, 1959), 39–42.


5.           Metode dan Program Epistemologis Empiris Logis

Gerakan Empiris Logis tidak hanya menyodorkan prinsip verifikasi sebagai norma makna, tetapi juga menyusun program epistemologis sistematik untuk merekonstruksi ilmu pengetahuan dalam kerangka logis dan empiris yang konsisten. Program ini merupakan usaha kolektif untuk menyusun ulang seluruh bangunan ilmu dari landasan logika simbolik dan pengalaman inderawi yang dapat dikonfirmasi. Tujuan akhirnya adalah menciptakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat koheren, terintegrasi, dan bebas dari ambiguitas metafisis.

Salah satu kontribusi awal yang paling penting datang dari Rudolf Carnap, terutama dalam karya Der logische Aufbau der Welt (1928), yang kemudian dikenal sebagai The Logical Structure of the World. Dalam karya ini, Carnap merancang metode “rekonstruksi konstitusional”, yakni upaya menyusun seluruh konsep ilmiah—dari konsep dasar hingga konsep teoritis—berdasarkan pengalaman elementer (sense-data) dengan bantuan sistem logika formal¹. Ia mengembangkan linguistic framework untuk memetakan bagaimana konsep-konsep ilmiah dapat dikonstruksi secara sistematis dari basis logis yang netral secara metafisik².

Rekonstruksi ini bertumpu pada gagasan bahwa bahasa ilmiah harus ditata secara presisi melalui logika simbolik, sehingga setiap pernyataan dapat dianalisis berdasarkan struktur logisnya dan diverifikasi secara empiris. Dalam hal ini, Carnap mengembangkan dua tingkat bahasa: bahasa objek (yang berbicara tentang dunia) dan metabahasa (yang membahas struktur dan sintaks dari bahasa objek)³. Distingsi ini menjadi penting dalam membedakan antara pernyataan ilmiah dan diskusi filosofis tentang pernyataan ilmiah.

Program epistemologis Empiris Logis juga ditandai dengan penolakan terhadap fondasionalisme metafisis. Alih-alih mencari dasar absolut bagi pengetahuan seperti “substansi” atau “ide”, mereka berusaha membangun pengetahuan melalui hubungan logis dan konfirmasi empiris antar-pernyataan. Dalam pendekatan ini, tidak ada kebenaran “mutlak”; yang ada adalah sistem proposisi yang saling mendukung dalam jejaring konfirmasi⁴.

Di samping itu, gerakan ini mengusulkan visi tentang “ilmu pengetahuan yang disatukan” (unified science), yang digagas terutama oleh Otto Neurath. Menurut Neurath, semua cabang ilmu harus diekspresikan dalam satu bahasa ilmiah universal yang dapat dianalisis secara logis dan terhubung satu sama lain melalui prinsip empiris. Neurath menolak pandangan hierarkis dalam ilmu, dan menggantikannya dengan struktur jaringan yang terbuka dan kolaboratif⁵. Dalam semangat ini, mereka merintis proyek besar bertajuk International Encyclopedia of Unified Science, yang bertujuan mengintegrasikan semua disiplin ilmu dalam kerangka konseptual tunggal⁶.

Program ini juga mencakup perhatian terhadap penggunaan bahasa yang tepat dan bebas dari kekaburan. Carnap, dalam The Logical Syntax of Language, menekankan pentingnya aturan sintaksis eksplisit dalam sistem bahasa untuk menghindari ambiguitas dan kesalahan berpikir filosofis. Ia melihat filsafat sebagai logische Syntax der Sprache—sebuah kegiatan teknis untuk menjernihkan cara kita menggunakan simbol dan pernyataan⁷.

Namun, meskipun idealnya adalah membangun sistem pengetahuan yang seluruhnya logis dan empiris, para tokoh Empiris Logis sendiri menyadari keterbatasan praktik ilmiah yang sering kali tidak mengikuti model deduktif yang ketat. Oleh karena itu, mereka juga membuka ruang bagi penyesuaian konsep verifikasi, termasuk integrasi prinsip probabilistik, sebagaimana dikembangkan oleh Hans Reichenbach dan Carnap dalam tahap-tahap lanjut⁸.

Secara keseluruhan, metode dan program epistemologis Empiris Logis menandai upaya besar untuk memfilsafatkan ilmu secara ilmiah, dan sebaliknya, menjadikan filsafat tunduk pada standar rasionalitas ilmiah. Mereka bukan hanya membangun teori tentang ilmu, tetapi juga merancang kerangka praktis yang memungkinkan penyusunan, evaluasi, dan klarifikasi pengetahuan manusia dengan presisi logis dan verifikasi empiris.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World, trans. Rolf A. George (Chicago: Open Court, 2003), xx–xxiii.

[2]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 78–81.

[3]                Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, trans. A. Metcalfe and W. H. Kneale (London: Routledge and Kegan Paul, 1937), 1–12.

[4]                Thomas Uebel, Empiricism at the Crossroads: The Vienna Circle’s Protocol-Sentence Debate (Chicago: Open Court, 2007), 144–148.

[5]                Otto Neurath, “Unified Science and Psychology,” in Philosophy of Science 1, no. 2 (1934): 179–187.

[6]                Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles W. Morris, eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University of Chicago Press, 1938), Vol. I, Introduction.

[7]                Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, 278–289.

[8]                Hans Reichenbach, The Rise of Scientific Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1951), 33–38.


6.           Kritik terhadap Gerakan Empiris Logis

Meskipun Gerakan Empiris Logis memberikan kontribusi signifikan terhadap filsafat ilmu dan epistemologi abad ke-20, pendekatan ini tidak luput dari kritik mendalam yang pada akhirnya menggoyahkan fondasi filosofisnya sendiri. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai arah—baik dari kalangan filsuf sains seperti Karl Popper, tokoh filsafat analitik seperti W.V.O. Quine, maupun dari dalam gerakan itu sendiri melalui refleksi kritis para anggotanya.

6.1.       Masalah dengan Prinsip Verifikasi

Salah satu kritik paling fundamental adalah bahwa prinsip verifikasi itu sendiri tidak dapat diverifikasi secara empiris, sehingga, berdasarkan kriterianya sendiri, menjadi pernyataan yang tidak bermakna secara kognitif. Kritik ini pertama kali dikemukakan oleh Karl Popper, yang menunjukkan bahwa prinsip tersebut bersifat self-refuting. Menurut Popper, tidak mungkin memverifikasi secara empiris pernyataan bahwa “semua pernyataan bermakna jika dan hanya jika dapat diverifikasi secara empiris”¹.

Popper juga menolak pendekatan verifikasi sebagai dasar demarkasi antara sains dan non-sains. Ia mengajukan prinsip falsifikasi sebagai alternatif, yakni bahwa suatu teori ilmiah harus bersifat refutable atau dapat diuji dan dibantah melalui pengalaman. Dengan falsifikasi, ilmu tidak ditentukan oleh konfirmasi, tetapi oleh potensi untuk diuji secara kritis dan ditolak jika bertentangan dengan observasi².

6.2.       Kritik dari Quine: "Two Dogmas of Empiricism"

Serangan konseptual yang lebih dalam datang dari W.V.O. Quine dalam esai terkenalnya Two Dogmas of Empiricism (1951), yang dianggap sebagai momen penutup dominasi Empiris Logis dalam filsafat Amerika. Quine membantah dua asumsi dasar empirisisme logis: (a) bahwa terdapat pemisahan tegas antara pernyataan analitik dan sintetik, dan (b) bahwa setiap pernyataan dapat diuji secara independen berdasarkan pengalaman³.

Menurut Quine, makna suatu pernyataan tidak dapat ditentukan secara isolatif karena seluruh sistem pengetahuan manusia terhubung dalam web of belief—yakni jaringan proposisi yang saling menguatkan. Dengan demikian, penolakan terhadap satu pernyataan bisa berdampak pada revisi bagian lain dalam sistem keyakinan, bukan hanya pada pernyataan itu sendiri⁴.

6.3.       Krisis Internal: Ambiguitas dalam “Protokol Kalimat”

Dari dalam gerakan sendiri, muncul perdebatan tentang “protokol kalimat” (protocol sentences)—yakni pernyataan dasar hasil observasi yang menjadi landasan konfirmasi empiris. Beberapa anggota Lingkaran Wina, seperti Neurath, menentang pandangan bahwa observasi dapat menjadi dasar netral karena semua bahasa observasional sudah terstruktur secara teoritis. Ini memunculkan kritik terhadap asumsi netralitas data inderawi dan menyoroti peran bahasa dan teori dalam membentuk pengalaman⁵.

6.4.       Problematika Bahasa Ideal dan Dunia Nyata

Upaya Carnap dan rekan-rekannya untuk menyusun sistem bahasa ilmiah formal yang sempurna juga dianggap terlalu utopis. Bahasa alami yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak tunduk pada logika simbolik yang ketat, dan tidak semua aspek pengetahuan dapat direduksi ke dalam bentuk logis-matematis tanpa kehilangan makna praktis dan sosialnya⁶. Kritik ini diperkuat oleh perkembangan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang dipelopori oleh J.L. Austin dan Gilbert Ryle.

6.5.       Ketidaksesuaian dengan Praktik Ilmu

Banyak ilmuwan merasa bahwa Empiris Logis tidak mencerminkan praktik aktual dalam ilmu pengetahuan. Ilmu tidak selalu bergerak dalam garis lurus dari observasi ke teori melalui verifikasi, melainkan melalui hipotesis, model, dan kadang asumsi spekulatif. Ini terlihat jelas dalam fisika teoretis dan biologi evolusioner, di mana banyak teori tidak dapat diverifikasi secara langsung⁷.


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap Gerakan Empiris Logis tidak lantas menghapus kontribusinya terhadap filsafat modern. Sebaliknya, kritik-kritik tersebut mendorong evolusi epistemologi ke arah yang lebih terbuka, reflektif, dan pluralistik. Prinsip-prinsip seperti klarifikasi logis, perhatian terhadap bahasa, dan usaha menjembatani filsafat dan sains tetap menjadi warisan penting yang membentuk fondasi filsafat analitik kontemporer.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from the German by the author (London: Hutchinson, 1959), 39–41.

[2]                Ibid., 66–69.

[3]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[4]                Ibid., 40–42.

[5]                Thomas Uebel, Empiricism at the Crossroads: The Vienna Circle’s Protocol-Sentence Debate (Chicago: Open Court, 2007), 83–87.

[6]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 143–145.

[7]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 4–9.


7.           Pengaruh dan Warisan Logical Empiricism

Meskipun mengalami berbagai kritik dan mengalami kemunduran pengaruh langsung pada pertengahan abad ke-20, Logical Empiricism (Empiris Logis) tetap menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat modern, terutama dalam tradisi filsafat analitik dan filsafat ilmu. Warisan intelektualnya tidak hanya membentuk kontur epistemologi kontemporer, tetapi juga menetapkan standar baru dalam hal klarifikasi konseptual, presisi logis, dan hubungan antara filsafat dan sains.

7.1.       Meletakkan Fondasi Filsafat Ilmu Modern

Logical Empiricism memainkan peran utama dalam membentuk filsafat ilmu sebagai disiplin yang otonom dan sistematik, terpisah dari metafisika spekulatif. Gerakan ini menekankan pentingnya metode ilmiah sebagai model ideal untuk kegiatan epistemologis dan menunjukkan bagaimana filsafat dapat berfungsi sebagai penelaahan kritis atas dasar-dasar ilmu pengetahuan, bukan sebagai produsen teori-teori dunia suprarasional¹.

Filsuf seperti Carl Hempel dan Hans Reichenbach, yang terinspirasi langsung oleh Lingkaran Wina dan Kelompok Praha, menjadi tokoh sentral dalam pengembangan model deduktif-nomologis dan logika probabilistik dalam penjelasan ilmiah². Model-model ini hingga kini masih diajarkan sebagai kerangka dasar dalam filsafat ilmu di universitas-universitas dunia.

7.2.       Mendorong Perkembangan Logika dan Analisis Bahasa

Warisan utama lainnya dari gerakan ini adalah pengaruhnya terhadap perkembangan logika simbolik dan filsafat bahasa. Karya-karya Carnap dalam The Logical Syntax of Language dan Meaning and Necessity memperluas cakupan filsafat ke wilayah semantik formal, metateori, dan struktur bahasa ilmiah³. Bahkan setelah kritik dari Quine dan filsuf pasca-positivis, pendekatan analitis terhadap bahasa tetap menjadi arus utama dalam filsafat Anglo-Amerika.

Selain itu, pendekatan linguistic turn dalam filsafat abad ke-20—yang menjadikan analisis bahasa sebagai metode utama dalam memecahkan masalah filosofis—berutang banyak kepada para empiris logis yang pertama kali menempatkan bahasa sebagai pusat analisis epistemologis⁴.

7.3.       Memengaruhi Tradisi Sains dan Kajian Interdisipliner

Logical Empiricism juga memiliki dampak signifikan dalam mendorong pendekatan interdisipliner dan naturalistik dalam kajian sains. Konsep unified science yang diajukan oleh Otto Neurath membuka jalan bagi integrasi metodologis antara berbagai cabang ilmu, dari fisika hingga ilmu sosial, dalam kerangka rasional dan empiris yang koheren. Ide ini memengaruhi berkembangnya studi ilmu (science studies), metodologi ilmiah, dan filsafat sains kuantitatif⁵.

Bahkan pendekatan naturalized epistemology yang kemudian dikembangkan oleh Quine juga masih membawa jejak warisan empiris logis, yakni keyakinan bahwa filsafat tidak dapat terpisah dari sains, dan bahwa pemahaman tentang pengetahuan harus dibangun di atas hasil-hasil empiris dari ilmu-ilmu kognitif⁶.

7.4.       Mewarnai Debat Demarkasi Ilmu dan Pseudoscience

Meskipun prinsip verifikasi telah banyak ditinggalkan, semangat demarkasi antara ilmu dan non-ilmu yang diperjuangkan oleh para empiris logis tetap menjadi isu utama dalam filsafat sains modern. Isu ini menjadi relevan kembali dalam diskusi kontemporer mengenai pseudoscience, teori konspirasi, dan tantangan terhadap otoritas ilmiah di era post-truth⁷.

Upaya mereka untuk merumuskan kriteria yang dapat diterapkan secara objektif terhadap pernyataan ilmiah menjadi fondasi bagi perdebatan lanjutan tentang falsifiabilitas, konsiliensi, dan robustness dalam epistemologi sains.

7.5.       Warisan Institusional dan Historis

Secara institusional, banyak tokoh utama Gerakan Empiris Logis berperan dalam membentuk pusat-pusat filsafat modern di Amerika Serikat setelah mereka bermigrasi akibat naiknya fasisme di Eropa. Tokoh seperti Carnap, Hempel, dan Reichenbach mengajar di universitas-universitas besar seperti Chicago, Princeton, dan UCLA, dan membawa serta pendekatan logis-empiris ke dalam pendidikan tinggi dan riset filsafat Amerika⁸.

Warisan mereka juga terpelihara dalam proyek-proyek dokumentasi dan kajian sejarah filsafat, seperti Vienna Circle Institute, yang hingga kini terus meneliti dan menerbitkan dokumen-dokumen primer dan sekunder dari masa kejayaan Empiris Logis.


Kesimpulan Sementara

Meskipun proyek epistemologis Empiris Logis mengalami revisi dan kritik yang tajam, warisan intelektualnya tetap terasa dalam berbagai aspek filsafat kontemporer: dari metodologi ilmiah hingga logika, dari filsafat bahasa hingga teori kognitif. Warisan ini bukan hanya berupa doktrin, tetapi berupa warisan metodologis: semangat untuk menata ulang pengetahuan secara rasional, terbuka terhadap revisi, dan berbasis pada observasi dan inferensi logis.


Footnotes

[1]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 45–48.

[2]                Carl G. Hempel, Aspects of Scientific Explanation (New York: Free Press, 1965), 231–253.

[3]                Rudolf Carnap, Meaning and Necessity: A Study in Semantics and Modal Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 5–8.

[4]                Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press, 1967), 3–7.

[5]                Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles Morris, eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University of Chicago Press, 1938), Introduction.

[6]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[7]                Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 12–17.

[8]                Alan Richardson and Thomas Uebel, eds., The Cambridge Companion to Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 5–9.


8.           Relevansi Prinsip Verifikasi dalam Diskursus Ilmiah dan Filosofis Modern

Meskipun prinsip verifikasi sebagai doktrin filsafat telah mengalami delegitimasi dalam kerangka epistemologi kontemporer, semangat rasionalitas empiris yang mendasarinya tetap memiliki daya hidup konseptual dan metodologis dalam banyak cabang diskursus ilmiah dan filosofis. Prinsip ini, yang menyatakan bahwa makna pernyataan terletak pada kemungkinannya untuk diverifikasi secara empiris atau ditentukan secara logis, masih menjadi pijakan penting dalam pembahasan tentang keabsahan pernyataan ilmiah, kriteria kognitivitas, dan batas antara sains dan metafisika.

8.1.       Dalam Ilmu Pengetahuan: Klarifikasi dan Demarkasi

Dalam ranah ilmiah, prinsip verifikasi tetap berfungsi sebagai alat klarifikasi konseptual. Meskipun tidak diterapkan secara ketat dalam bentuk aslinya, pendekatan berbasis verifikasi masih digunakan untuk menilai apakah suatu teori atau hipotesis bersifat ilmiah atau sekadar spekulatif. Hal ini sangat relevan dalam diskusi lintas disiplin seperti teori string dalam fisika teoretis, model iklim dalam sains lingkungan, atau neurofisiologi kesadaran dalam ilmu kognitif. Dalam konteks ini, prinsip verifikasi berfungsi sebagai parameter demarkatif, yakni menggarisbawahi perbedaan antara proposisi yang dapat diuji melalui pengamatan (meskipun secara tidak langsung) dan proposisi yang tidak memiliki jalur pengujian sama sekali¹.

Sebagai contoh, dalam praktik medis berbasis bukti (evidence-based medicine), pernyataan tentang efektivitas suatu terapi harus dapat dikonfirmasi melalui metode uji klinis terkontrol. Prinsip ini, meskipun tidak lagi disebut sebagai “verifikasi”, tetap beroperasi dalam semangat yang sama dengan yang diajukan oleh para empiris logis: yakni bahwa kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan melalui prosedur sistematik berbasis observasi².

8.2.       Dalam Filsafat Bahasa dan Semantik

Dalam filsafat bahasa, prinsip verifikasi telah mengilhami pendekatan-pendekatan semantik modern, khususnya dalam teori makna berbasis penggunaan (use-based theories) dan truth-conditional semantics. Meskipun filsuf seperti Wittgenstein (fase akhir) dan Donald Davidson menolak bentuk keras prinsip verifikasi, mereka tetap mempertahankan gagasan bahwa makna tidak dapat dipisahkan dari kondisi kebenaran dan konteks penggunaan³.

Selain itu, teori speech act yang dikembangkan oleh J.L. Austin dan John Searle menunjukkan bahwa banyak pernyataan memperoleh maknanya dari fungsi performatifnya dalam situasi sosial tertentu. Meski berbeda dari semangat logika formal Empiris Logis, pendekatan ini tetap berbagi perhatian yang sama terhadap penilaian makna berdasarkan konsekuensi dan kondisi keberlakuannya⁴.

8.3.       Dalam Filsafat Agama dan Etika

Prinsip verifikasi juga tetap menjadi sumber perdebatan kritis dalam filsafat agama dan filsafat moral. Banyak argumen ateistik modern, seperti yang dikemukakan oleh Antony Flew atau Richard Dawkins, secara implisit mengandalkan prinsip bahwa pernyataan teistik (misalnya “Tuhan itu ada”) tidak memiliki makna kognitif karena tidak dapat diuji atau dibantah secara empiris⁵. Hal yang sama berlaku untuk klaim-klaim etika absolut yang tidak dapat direduksi menjadi pernyataan faktual.

Namun demikian, pendekatan ini telah memunculkan respons yang konstruktif dari berbagai tradisi, termasuk filsafat analitik agama, yang berusaha membangun model semantik dan epistemik yang mampu menjelaskan makna religius tanpa bergantung pada verifikasi empiris langsung, seperti pendekatan reformed epistemology oleh Alvin Plantinga⁶.

8.4.       Dalam Era Post-Truth dan Pseudoscience

Di era informasi digital dan post-truth, prinsip verifikasi memperoleh relevansi baru sebagai tolok ukur untuk menyaring klaim-klaim yang tidak berdasar, seperti teori konspirasi, misinformasi kesehatan, dan pseudosains. Kebutuhan akan standar rasional dan objektif untuk menilai validitas pernyataan menjadi semakin mendesak di tengah banjir informasi yang tidak terkontrol. Dalam konteks ini, prinsip verifikasi (atau bentuk revisinya seperti falsifiabilitas atau konfirmasi intersubjektif) menjadi alat etis sekaligus epistemologis dalam menjaga integritas pengetahuan publik⁷.

8.5.       Dalam Epistemologi Naturalistik dan Kognitif

Akhirnya, dalam epistemologi kontemporer yang semakin dipengaruhi oleh ilmu kognitif dan psikologi eksperimental, prinsip verifikasi mengalami bentuk reformulasi dalam bentuk penekanan pada keandalan inferensi dan keterhubungan dengan data empirik aktual. Pendekatan ini, meskipun tidak secara eksplisit mengacu pada Empiris Logis, tetap mempertahankan semangat dasar bahwa pengetahuan harus memiliki akar empiris dan dapat dievaluasi secara publik dan sistematik⁸.


Kesimpulan Sementara

Prinsip verifikasi, meski telah ditinggalkan dalam bentuk dogmatisnya oleh banyak filsuf modern, tetap hidup dalam bentuk semangat metodologis dan etos keilmuan yang menekankan pentingnya pengujian empiris, ketepatan bahasa, dan rasionalitas terbuka. Ia telah berpindah dari dogma filosofis menjadi alat kerja konseptual lintas disiplin, dan relevansinya tetap kuat dalam menghadapi tantangan epistemologis zaman kontemporer.


Footnotes

[1]                Larry Laudan, Science and Hypothesis: Historical Essays on Scientific Methodology (Dordrecht: Reidel, 1981), 25–27.

[2]                David L. Sackett et al., Evidence-Based Medicine: How to Practice and Teach EBM (Edinburgh: Churchill Livingstone, 2000), 3–5.

[3]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” in Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 17–36.

[4]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 94–107.

[5]                Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London: SCM Press, 1955), 96–99.

[6]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 3–7.

[7]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 52–59.

[8]                Stephen Stich, The Fragmentation of Reason: Preface to a Pragmatic Theory of Cognitive Evaluation (Cambridge: MIT Press, 1990), 42–45.


9.           Kesimpulan

Gerakan Empiris Logis, yang berkembang pesat di Eropa Tengah melalui Lingkaran Wina dan Kelompok Praha pada awal abad ke-20, merupakan salah satu tonggak revolusioner dalam sejarah filsafat modern. Berakar dari keinginan untuk mereformasi filsafat agar selaras dengan metodologi ilmiah, gerakan ini menekankan bahwa makna suatu pernyataan hanya dapat dipahami melalui verifikasi empiris atau analisis logis, menolak seluruh bentuk metafisika yang tidak dapat diuji secara objektif. Prinsip ini melandasi usaha para tokohnya, seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan Hans Reichenbach, dalam membangun epistemologi yang bebas dari spekulasi, serta mengintegrasikan ilmu ke dalam kerangka logika simbolik dan observasi¹.

Dengan menjadikan klarifikasi logis atas bahasa ilmiah sebagai tugas utama filsafat, Empiris Logis bukan hanya menggeser fokus filsafat dari spekulasi ontologis ke analisis linguistik dan metodologis, tetapi juga menandai dimulainya tradisi filsafat analitik yang kini mendominasi dunia akademik Barat. Meskipun menghadapi kritik tajam—terutama dari Karl Popper mengenai prinsip verifikasi yang self-refuting, serta dari W.V.O. Quine dalam esainya Two Dogmas of Empiricism—kontribusi gerakan ini terhadap struktur filsafat ilmu tetap signifikan².

Lebih jauh, warisan intelektual Empiris Logis tercermin dalam berbagai bidang: dari model deduktif-nomologis dalam penjelasan ilmiah, hingga upaya menyatukan seluruh ilmu pengetahuan dalam kerangka logis yang koheren. Meskipun proyek unified science tidak pernah terealisasi secara utuh, gagasan integrasi ilmiah, penggunaan bahasa formal, dan semangat intersubjektivitas rasional tetap menjadi pilar dalam diskursus ilmiah modern³.

Dalam konteks kontemporer, prinsip verifikasi tetap memiliki relevansi epistemologis. Ia bertransformasi dari kriteria ketat menjadi semangat metodologis yang mendorong klarifikasi, konfirmasi, dan validasi pengetahuan. Di tengah tantangan era post-truth, maraknya disinformasi, dan berkembangnya klaim-klaim pseudosains, etos keilmuan yang diwariskan oleh Empiris Logis menjadi semakin vital⁴.

Oleh karena itu, meskipun telah mengalami revisi dan dekonstruksi, Empiris Logis tidak dapat disingkirkan begitu saja dari sejarah pemikiran. Ia justru meletakkan fondasi bagi filsafat ilmu yang rasional, terbuka, dan bertanggung jawab secara epistemik. Dalam sejarah intelektual modern, Empiris Logis berdiri sebagai bukti bahwa filsafat, ketika disandingkan secara kritis dengan sains, dapat membentuk kerangka berpikir yang ketat sekaligus relevan dengan kebutuhan zaman.


Footnotes

[1]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 45–52.

[2]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43; Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from the German by the author (London: Hutchinson, 1959), 40–42.

[3]                Otto Neurath, Rudolf Carnap, and Charles W. Morris, eds., International Encyclopedia of Unified Science (Chicago: University of Chicago Press, 1938), Introduction.

[4]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 58–64.


Daftar Pustaka

Austin, J. L. (1962). How to do things with words (J. O. Urmson & M. Sbisà, Eds.). Harvard University Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Carnap, R. (1937). The logical syntax of language (A. Metcalfe & W. H. Kneale, Trans.). Routledge and Kegan Paul.

Carnap, R. (1947). Meaning and necessity: A study in semantics and modal logic. University of Chicago Press.

Carnap, R. (2003). The logical structure of the world (R. A. George, Trans.). Open Court.

Davidson, D. (1984). Truth and meaning. In Inquiries into truth and interpretation (pp. 17–36). Clarendon Press.

Dummett, M. (1981). Frege: Philosophy of language. Harvard University Press.

Flew, A. (1955). Theology and falsification. In A. Flew & A. MacIntyre (Eds.), New essays in philosophical theology (pp. 96–99). SCM Press.

Friedman, M. (1999). Reconsidering logical positivism. Cambridge University Press.

Hempel, C. G. (1965). Aspects of scientific explanation. Free Press.

Laudan, L. (1981). Science and hypothesis: Historical essays on scientific methodology. Reidel.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Neurath, O. (1934). Unified science and psychology. Philosophy of Science, 1(2), 179–187.

Neurath, O., Carnap, R., & Morris, C. W. (Eds.). (1938). International encyclopedia of unified science (Vol. I). University of Chicago Press.

Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. University of Chicago Press.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery (Author Trans.). Hutchinson.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized. In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). Columbia University Press.

Richardson, A. (1998). Carnap’s construction of the world: The Aufbau and the emergence of logical empiricism. Cambridge University Press.

Richardson, A., & Uebel, T. (Eds.). (2007). The Cambridge companion to logical empiricism. Cambridge University Press.

Rorty, R. (Ed.). (1967). The linguistic turn: Recent essays in philosophical method. University of Chicago Press.

Sackett, D. L., Straus, S. E., Richardson, W. S., Rosenberg, W., & Haynes, R. B. (2000). Evidence-based medicine: How to practice and teach EBM (2nd ed.). Churchill Livingstone.

Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The Philosophical Review, 45(4), 339–356.

Stadler, F. (2001). The Vienna Circle: Studies in the origins, development, and influence of logical empiricism (T. E. Uebel, Trans.). Springer.

Stich, S. (1990). The fragmentation of reason: Preface to a pragmatic theory of cognitive evaluation. MIT Press.

Uebel, T. (1992). Overcoming logical positivism from within: The emergence of Neurath’s naturalism in the Vienna Circle. Rodopi.

Uebel, T. (2007). Empiricism at the crossroads: The Vienna Circle’s protocol-sentence debate. Open Court.

Wittgenstein, L. (2001). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge. (Original work published 1921)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar