Sabtu, 31 Mei 2025

Leap of Faith: Konsep Lompatan Iman dalam Filsafat Søren Kierkegaard

Leap of Faith

Konsep Lompatan Iman dalam Filsafat Søren Kierkegaard


Alihkan ke: Pemikiran Søren Kierkegaard.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep lompatan iman (leap of faith) dalam filsafat Søren Kierkegaard sebagai respons eksistensial terhadap dominasi rasionalisme modern dan kekeringan spiritual manusia kontemporer. Dimulai dari latar belakang intelektual Kierkegaard, artikel ini menguraikan dasar ontologis dan epistemologis lompatan iman, serta menjelaskan tahapan eksistensial menuju iman sejati: estetik, etik, dan religius. Penekanan diletakkan pada paradoks iman, di mana manusia dipanggil untuk mempercayai Yang Tak Terjangkau oleh akal melalui keputusan subjektif yang radikal. Dibandingkan dengan rasionalisme teologis dan filsafat modern, konsep ini menunjukkan penolakan terhadap sistem logis impersonal dan menegaskan pentingnya subjektivitas sebagai inti kebenaran iman. Dalam konteks dunia sekuler dan postmodern, lompatan iman menjadi relevan sebagai bentuk keberanian eksistensial dalam menghadapi absurditas, krisis makna, dan relativisme moral. Namun demikian, artikel ini juga menyoroti berbagai kritik terhadap konsep tersebut, termasuk problem epistemologis, etis, dan hermeneutis yang menyertainya. Dengan pendekatan filosofis yang mendalam dan referensi yang kredibel, artikel ini menempatkan lompatan iman sebagai konsep kunci dalam pemikiran eksistensialis religius yang terus berbicara dalam dinamika zaman.

Kata Kunci: Søren Kierkegaard, lompatan iman, eksistensialisme religius, subjektivitas, paradoks iman, rasionalisme modern, etika, iman dan nalar.


PEMBAHASAN

Memahami Konsep Lompatan Iman (Leap of Faith) dalam Filsafat Søren Kierkegaard


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat modern, Søren Kierkegaard (1813–1855) dikenal sebagai figur sentral yang menggagas pendekatan eksistensial terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidup, kebebasan, kecemasan, dan iman. Berbeda dari para filsuf rasionalis seperti Hegel yang mengusung sistem metafisika komprehensif berbasis nalar, Kierkegaard justru menekankan pentingnya subjektivitas, pengalaman eksistensial individu, dan paradoks iman sebagai cara memahami realitas terdalam manusia. Salah satu konsep paling menonjol dari pemikirannya adalah “lompatan iman” (leap of faith), suatu tindakan eksistensial yang tidak dapat dijustifikasi oleh akal rasional tetapi justru menjadi bentuk tertinggi dari keberanian spiritual manusia dalam menghadapi absurditas dan ketidakpastian eksistensi.

Konsep lompatan iman berakar dalam kritik Kierkegaard terhadap rasionalisme sistematik yang mendominasi filsafat Eropa pada masanya, terutama filsafat Hegelian. Menurut Kierkegaard, sistem logis yang berusaha menjelaskan seluruh realitas tidak mampu mengakomodasi kompleksitas pengalaman manusia, terutama dalam hal keyakinan religius. Dalam pandangannya, iman bukanlah hasil akhir dari argumen logis, melainkan suatu “paradoks” yang menuntut lompatan eksistensial: keberanian untuk mempercayai apa yang tampak absurd dalam perspektif rasional, seperti iman Abraham terhadap perintah Allah yang tampaknya bertentangan dengan akal dan etika biasa.¹

Lompatan iman menjadi solusi Kierkegaard atas dilema antara nalar dan iman, antara universalitas etis dan individualitas religius. Baginya, manusia berada dalam ketegangan eksistensial yang mendalam—ia merasakan absurditas dunia, kehampaan dalam estetika, dan keterbatasan dalam moralitas, hingga akhirnya dihadapkan pada pilihan radikal untuk mempercayai sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara rasional.² Inilah yang membuat iman, menurut Kierkegaard, menjadi pengalaman yang sangat personal, mendalam, dan penuh risiko, tetapi justru karenanya memiliki nilai eksistensial yang tertinggi.³

Dalam konteks dunia modern yang cenderung menjunjung tinggi rasionalitas, saintisme, dan objektivitas, gagasan Kierkegaard tentang lompatan iman menawarkan perspektif alternatif mengenai pentingnya dimensi subjektif, afektif, dan transrasional dalam pencarian makna hidup. Gagasan ini tidak hanya relevan dalam ranah teologis, tetapi juga dalam diskursus etika, psikologi eksistensial, dan bahkan dalam kritik terhadap nihilisme pascamodern.⁴ Oleh karena itu, pembahasan tentang konsep lompatan iman tidak hanya penting dalam kerangka sejarah filsafat, melainkan juga memiliki signifikansi yang mendalam untuk menjawab kegelisahan spiritual dan eksistensial manusia kontemporer.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 47–49.

[2]                C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 140–143.

[3]                Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University Press, 1996), 75.

[4]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 102–104.


2.           Biografi Intelektual Søren Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard lahir pada 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark, dalam sebuah keluarga yang sangat religius dan intelektual. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seorang pedagang kaya sekaligus pemikir autodidak yang sangat dipengaruhi oleh pietisme Lutheran yang ketat. Pengaruh intelektual dan religius sang ayah membentuk fondasi spiritual dan intelektual Kierkegaard sejak dini, khususnya dalam hal refleksi mendalam tentang dosa, penderitaan, dan keabadian.¹ Meskipun hidup dalam kenyamanan finansial, Kierkegaard mengalami pergulatan batin yang mendalam akibat trauma masa kecil dan hubungan kompleks dengan ayahnya yang penuh rasa bersalah dan kecemasan religius.²

Kierkegaard menempuh pendidikan di Universitas Kopenhagen, di mana ia mempelajari filsafat, teologi, dan sastra klasik. Ia menulis disertasi bertajuk The Concept of Irony, with Constant Reference to Socrates (1841), yang menampilkan pemikiran awalnya tentang ironi sebagai bentuk refleksi eksistensial dan kritik terhadap idealisme sistematis.³ Meski secara akademik terlatih dalam sistem Hegelian yang dominan saat itu, Kierkegaard justru mengembangkan pendekatan yang sangat kontras. Ia menolak pandangan Hegel yang menyatukan seluruh kenyataan dalam suatu sistem dialektis yang rasional dan total, karena baginya sistem tersebut mengabaikan eksistensi konkret individu.⁴

Karya-karya Kierkegaard banyak ditulis dengan nama samaran (pseudonim), seperti Johannes de Silentio, Vigilius Haufniensis, dan Anti-Climacus. Strategi ini dimaksudkan bukan untuk menyembunyikan identitas, melainkan untuk menghidupkan berbagai sudut pandang yang menunjukkan kompleksitas pengalaman eksistensial manusia.⁵ Melalui pendekatan ini, ia memperkenalkan kategori eksistensial seperti “kecemasan” (angst), “putus asa” (fortvivlelse), “subjektivitas”, dan tentu saja “iman sebagai lompatan”. Semua ini membentuk kerangka khas filsafatnya yang disebut eksistensialisme religius.

Secara sosial dan religius, Kierkegaard menjadi pengkritik tajam Gereja Denmark (Folkekirken) yang ia anggap telah menjadi institusi formalistis yang kehilangan keotentikan iman. Dalam pamflet-pamflet akhir hidupnya, seperti The Attack upon Christendom, ia menyerang keras kemunafikan religius dan memperjuangkan kembalinya kekristenan kepada bentuk yang radikal dan eksistensial, yaitu hubungan personal dan langsung dengan Tuhan.⁶ Kritik ini memperjelas bahwa bagi Kierkegaard, iman bukan sekadar keanggotaan institusional atau hasil pembelajaran doktrinal, tetapi merupakan pengalaman pribadi yang intens dan paradoksikal.

Sebagai pemikir yang hidup dalam kesendirian intelektual, Kierkegaard meninggal dunia pada 11 November 1855 tanpa pernah mendapatkan pengakuan luas semasa hidupnya. Namun, warisan intelektualnya kemudian menjadi fondasi penting bagi perkembangan eksistensialisme di abad ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Martin Heidegger, Karl Jaspers, Jean-Paul Sartre, dan teolog seperti Karl Barth dan Paul Tillich.⁷ Melalui lensa biografi intelektual ini, dapat dipahami bahwa konsep “lompatan iman” tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi lahir dari sebuah perjalanan batin, intelektual, dan spiritual yang intens dan penuh pergolakan terhadap dunia modern yang serba rasional.


Footnotes

[1]                Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–5.

[2]                Joakim Garff, Søren Kierkegaard: A Biography, trans. Bruce H. Kirmmse (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2005), 68–75.

[3]                Søren Kierkegaard, The Concept of Irony, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1989), xiii–xv.

[4]                C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 17–20.

[5]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 42–45.

[6]                Søren Kierkegaard, Attack Upon Christendom, trans. Walter Lowrie (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1968), 1–9.

[7]                Merold Westphal, Kierkegaard and the Ethics of Postmodernism (Bloomington: Indiana University Press, 1996), 23–25.


3.           Dasar Ontologis dan Epistemologis Lompatan Iman

Konsep “lompatan iman” (leap of faith) dalam filsafat Søren Kierkegaard tidak dapat dipahami secara utuh tanpa terlebih dahulu menelusuri dasar ontologis dan epistemologisnya. Kierkegaard mengembangkan gagasan ini sebagai respons terhadap kegagalan sistem rasionalis (terutama Hegelian) dalam menjelaskan keberadaan manusia secara eksistensial. Dalam hal ontologi, Kierkegaard memulai dari asumsi bahwa eksistensi manusia bersifat paradoksal, terbagi antara keterbatasan dan potensi kekekalan, antara yang fana dan yang ilahi.¹ Manusia bukan hanya makhluk rasional, melainkan juga makhluk yang berdiri di hadapan kemungkinan-kemungkinan eksistensial yang menuntut keputusan mutlak.²

Kierkegaard menolak pendekatan metafisika tradisional yang berusaha memahami keberadaan melalui konsep universal dan abstrak. Baginya, eksistensi individual tidak dapat ditangkap oleh kategori universal; eksistensi bersifat subjektif dan konkret. Karena itu, dalam karya Concluding Unscientific Postscript, ia menegaskan bahwa “subjektivitas adalah kebenaran”—artinya, kebenaran yang sejati hanya dapat dialami secara personal dan eksistensial, bukan dicapai melalui sistem logis yang impersonal.³ Di sinilah titik awal epistemologis Kierkegaard: pengetahuan religius dan eksistensial bukan hasil deduksi logis, melainkan penghayatan pribadi dalam relasi dengan Tuhan.

Dalam kerangka ini, iman bukan sekadar kepercayaan intelektual terhadap dogma, tetapi adalah keberanian eksistensial untuk melampaui batas-batas rasionalitas menuju relasi paradoksal dengan yang transenden.⁴ Lompatan iman merupakan respons terhadap absurditas—ketika individu dihadapkan pada sesuatu yang tak dapat dijelaskan atau dibenarkan oleh nalar (misalnya, perintah Allah kepada Abraham untuk mengorbankan Ishak), ia harus mengambil keputusan untuk percaya walau tanpa bukti atau kepastian.⁵ Tindakan ini melibatkan apa yang oleh Kierkegaard disebut sebagai “penghentian teleologis atas etika”—yakni bahwa dalam iman, individu menaati Tuhan bahkan ketika perintah-Nya tampak bertentangan dengan moralitas umum.⁶

Dari perspektif epistemologis, lompatan iman mencerminkan keterbatasan akal dalam memahami realitas transendental. Kierkegaard tidak anti-rasio, namun ia menyadari bahwa akal memiliki batasnya, khususnya dalam perkara ilahi. Ia menyebut iman sebagai “absurd”—bukan dalam arti irasional, tetapi sebagai sesuatu yang tidak bisa ditundukkan ke dalam kategori logika manusia.⁷ Oleh karena itu, keputusan beriman adalah tindakan bebas yang tidak dapat dipaksakan oleh bukti atau logika, melainkan hanya dimungkinkan oleh keberanian subjektif untuk mempercayai.

Di sisi lain, landasan ontologis lompatan iman juga terlihat dalam penggambaran Kierkegaard tentang kondisi manusia yang dilanda kecemasan (angst) dan putus asa (despair). Kecemasan muncul sebagai akibat dari kesadaran manusia akan kemungkinan-kemungkinan dirinya, sementara putus asa timbul karena kegagalan untuk menjadi diri yang sejati, yaitu diri yang berakar dalam relasi dengan Allah.⁸ Dalam konteks ini, lompatan iman menjadi jalan ontologis untuk mengatasi keterputusan eksistensial dan merekonsiliasi diri dengan asal-usul ilahi.

Dengan demikian, konsep lompatan iman tidak dapat dipisahkan dari visi Kierkegaard tentang eksistensi manusia sebagai ketegangan yang tidak terselesaikan secara rasional. Hanya melalui iman—yang melampaui nalar namun tidak melawan akal—manusia dapat masuk ke dalam relasi otentik dengan Yang Mutlak. Lompatan ini bukan bentuk pengabaian rasio, melainkan pengakuan akan keterbatasannya dalam menghadapi misteri terdalam keberadaan.


Footnotes

[1]                C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 116–118.

[2]                Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University Press, 1996), 33–36.

[3]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 201.

[4]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 85–88.

[5]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 52–60.

[6]                Ibid., 61.

[7]                C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 89–91.

[8]                Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 45–48.


4.           Tiga Tahapan Eksistensial Menuju Lompatan Iman

Søren Kierkegaard memandang kehidupan manusia sebagai sebuah perjalanan eksistensial yang tidak bersifat linier atau mekanistik, melainkan sebagai sebuah proses transformasi batin yang melibatkan pilihan-pilihan mendalam dan penuh risiko. Dalam kerangka ini, ia menggambarkan tiga tahapan eksistensial yang menjadi jalan menuju kemungkinan “lompatan iman”. Tahapan ini tidak sekadar menunjukkan perkembangan moral atau intelektual, tetapi mencerminkan cara-cara manusia memahami dan menghidupi keberadaannya secara radikal. Ketiganya adalah: tahap estetik, tahap etik, dan tahap religius

4.1.       Tahap Estetik: Kenikmatan Tanpa Komitmen

Tahap estetik dicirikan oleh pencarian terhadap kesenangan, keindahan, dan pelarian dari penderitaan. Individu yang berada dalam tahap ini menghindari komitmen dan tanggung jawab eksistensial, dan sebaliknya hidup dalam “keacakan” pilihan yang dangkal dan sementara. Tokoh A dalam Either/Or menggambarkan kehidupan estetik sebagai suatu bentuk eksistensi yang dipenuhi ironi, humor, dan estetika, namun pada akhirnya berujung pada kehampaan dan keputusasaan

Estetikus menganggap hidup sebagai sesuatu yang harus dinikmati, tetapi justru menolak untuk menegaskan jati diri sejatinya melalui pilihan yang otentik. Ketika krisis melanda, individu dalam tahap ini mengalami despair (putus asa) karena menyadari bahwa hidupnya tidak memiliki makna yang sejati.³ Keputusasaan inilah yang mendorong individu untuk beralih ke tahap berikutnya.

4.2.       Tahap Etik: Komitmen terhadap Moralitas

Dalam tahap etik, individu mulai menyadari pentingnya tanggung jawab, komitmen, dan struktur moral dalam kehidupan. Ia tidak lagi hidup semata-mata demi kesenangan, melainkan berusaha menjadi subjek moral yang otentik. Tokoh Judge Wilhelm dalam Either/Or bagian kedua menjadi representasi tahap ini, dengan penekanan pada keseriusan hidup, integritas pribadi, dan nilai-nilai etis universal.⁴

Namun, tahap etik pun memiliki keterbatasan. Kendati individu telah menjalani kehidupan bermoral, ia tetap menghadapi keterbatasan dan kegagalan dalam menjangkau ideal etis secara mutlak. Dalam pandangan Kierkegaard, ini menunjukkan bahwa kehidupan etik tidak cukup untuk menyelamatkan manusia dari keputusasaan terdalam, karena hukum moral tidak memiliki kuasa menebus kegagalan eksistensial manusia secara total.⁵ Maka, keterbatasan ini membuka jalan ke tahap ketiga yang lebih radikal dan personal.

4.3.       Tahap Religius: Penyerahan Diri secara Paradoxis

Tahap religius, terutama yang disebut Religiousness B oleh Kierkegaard, merupakan titik puncak dalam perjalanan eksistensial manusia. Dalam tahap ini, individu menyadari bahwa hanya relasi langsung dan personal dengan Tuhan yang dapat memberikan pemenuhan eksistensial sejati. Ia mengambil lompatan iman, yaitu tindakan percaya kepada Allah secara mutlak meskipun tanpa justifikasi rasional atau bukti objektif.⁶

Kisah Abraham dalam Fear and Trembling adalah simbol utama tahap ini. Abraham, sebagai “ksatria iman” (Knight of Faith), bersedia mengorbankan Ishak bukan karena mengikuti etika universal, melainkan karena ia percaya secara mutlak kepada perintah Allah, walau perintah itu tampak absurd dan tidak rasional. Kierkegaard menyebut tindakan ini sebagai bentuk penghentian teleologis atas etika, yakni ketika kehendak Tuhan melampaui hukum moral yang berlaku umum.⁷

Individu dalam tahap religius hidup dalam paradoks: ia mencintai dunia tetapi tidak melekat padanya; ia tunduk kepada etika tetapi bersedia melampauinya demi iman; ia hidup dalam kecemasan, namun juga dalam keyakinan terdalam kepada kasih Allah. Iman di sini bukan hasil dari argumen, melainkan bentuk keberanian eksistensial untuk mempercayai Yang Mutlak, bahkan ketika semua dasar rasional telah runtuh.⁸


Melalui kerangka tiga tahapan eksistensial ini, Kierkegaard menunjukkan bahwa lompatan iman bukanlah tindakan yang irasional, tetapi respon tertinggi terhadap realitas eksistensial manusia yang tidak dapat diselesaikan oleh estetika ataupun etika semata. Lompatan tersebut merupakan momen keputusan radikal yang hanya dapat dijalani oleh individu yang berani menghadapi absurditas dengan kepercayaan yang utuh kepada Yang Ilahi.


Footnotes

[1]                C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 100–102.

[2]                Søren Kierkegaard, Either/Or, Part I, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1987), 39–44.

[3]                Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University Press, 1996), 41.

[4]                Søren Kierkegaard, Either/Or, Part II, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1987), 177–184.

[5]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 90.

[6]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, 209–211.

[7]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 61–66.

[8]                C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 96–98.


5.           Lompatan Iman sebagai Paradoks Eksistensial

Konsep “lompatan iman” (leap of faith) dalam filsafat Søren Kierkegaard mencapai titik kritisnya ketika dipahami sebagai paradoks eksistensial yang tidak dapat diselesaikan oleh akal, tetapi justru menjadi dasar pengalaman religius yang autentik. Paradoks ini tidak bersifat spekulatif atau metafisik belaka, melainkan merupakan ekspresi eksistensial dari ketegangan antara keberadaan manusia sebagai makhluk temporal dan relasi absolut dengan Yang Kekal.¹

Kierkegaard menegaskan bahwa iman bukan hasil dari proses deduktif yang rasional, melainkan tindakan individual yang melibatkan pengambilan risiko tertinggi, yaitu percaya kepada sesuatu yang secara objektif tampak mustahil atau bahkan absurd. Ia menulis bahwa “iman adalah justru bahwa keberadaan yang absurd harus dipercayai”—sebuah klaim yang menegaskan bahwa iman melampaui kategori logika biasa.² Ini bukan berarti bahwa iman adalah irasional dalam arti negatif, melainkan melampaui rasionalitas dalam kategori eksistensial.

Paradoks utama dalam iman, menurut Kierkegaard, terletak pada relasi antara manusia dengan Tuhan yang transenden. Di satu sisi, manusia adalah bagian dari dunia yang terbatas dan fana; di sisi lain, dalam iman, manusia mengklaim suatu hubungan personal dan intim dengan Sang Mutlak.³ Paradoks ini tercermin secara paling radikal dalam kisah Abraham dalam Fear and Trembling, di mana Abraham bersedia mengorbankan anaknya demi menaati perintah Tuhan—sebuah tindakan yang secara etis tampak keliru, namun justru menjadi bentuk tertinggi dari iman. Kierkegaard menyebut Abraham sebagai “ksatria iman” (Knight of Faith), karena ia mampu menjaga paradoks antara cinta terhadap Ishak dan ketaatan total kepada Allah tanpa meminta pembenaran rasional.⁴

Bagi Kierkegaard, iman bukanlah penyelesaian paradoks, tetapi keberanian untuk hidup di dalamnya. Iman tidak menghapus absurditas, tetapi menegaskannya sambil memilih untuk mempercayai bahwa Allah sanggup melakukan yang mustahil.⁵ Di sinilah iman menjadi murni eksistensial—suatu bentuk komitmen subjektif radikal yang tidak dapat dijamin oleh bukti objektif, melainkan ditegaskan melalui keputusan batin yang penuh risiko. Ia menulis dalam Concluding Unscientific Postscript bahwa “subjektivitas adalah kebenaran”, menandakan bahwa dalam hal-hal keimanan, kebenaran terletak dalam intensitas keterlibatan eksistensial, bukan dalam korespondensi logis.⁶

Paradoks iman ini juga melibatkan ketegangan antara etika universal dan panggilan religius yang bersifat pribadi. Dalam kasus Abraham, moralitas umum akan menilai tindakannya sebagai kejahatan, tetapi dalam relasi dengan Allah, tindakannya justru menjadi tindakan iman. Inilah yang oleh Kierkegaard disebut sebagai “penangguhan teleologis atas etika” (teleological suspension of the ethical), yaitu bahwa dalam iman sejati, panggilan Ilahi dapat melampaui norma etika yang berlaku umum.⁷

Kierkegaard menyadari bahwa posisi ini menimbulkan keberatan serius, bahkan tuduhan akan relativisme moral atau fanatisme. Namun, baginya, justru kemustahilan iman adalah yang menjadikannya mulia. Iman tidak berada dalam ruang aman filsafat atau etika, melainkan dalam ruang kegelisahan, penderitaan, dan kecemasan, di mana individu harus berdiri sendiri di hadapan Allah.⁸

Dengan demikian, lompatan iman bukanlah solusi logis atas problem keberadaan, melainkan keberanian untuk hidup di dalam misteri, tanpa menuntut jaminan dari nalar. Inilah yang menjadikan lompatan iman sebagai paradoks eksistensial sejati: suatu tindakan melampaui akal yang justru membuka jalan bagi kedalaman dan keotentikan spiritual manusia.


Footnotes

[1]                C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 125–127.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 55.

[3]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 91–93.

[4]                Kierkegaard, Fear and Trembling, 58–63.

[5]                Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University Press, 1996), 103.

[6]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 201–203.

[7]                Kierkegaard, Fear and Trembling, 66.

[8]                C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 110–112.


6.           Perbandingan dengan Rasionalisme Teologis dan Filsafat Modern

Søren Kierkegaard memformulasikan konsep lompatan iman dalam kerangka kritik terhadap dominasi rasionalisme, baik dalam teologi sistematis maupun dalam filsafat modern. Kritik ini bersifat radikal dan eksistensial, sebab ia menolak klaim bahwa realitas religius dapat sepenuhnya dipahami, dijelaskan, atau dibenarkan melalui nalar dan sistem logika formal. Lompatan iman menjadi penanda perbedaan tegas antara pendekatan Kierkegaard dan para pemikir yang mengedepankan sistematika dan objektivitas dalam memahami keberadaan dan iman.

6.1.       Kritik terhadap Rasionalisme Teologis

Kierkegaard sangat keras dalam mengkritik teologi Hegelian dan upaya-upaya sistematis untuk mendamaikan iman dengan akal secara total. Dalam sistem Hegel, iman dan pengetahuan dianggap sebagai tahap-tahap dalam perkembangan roh absolut menuju kesadaran diri. Dalam skema tersebut, iman kehilangan karakter subjektif dan eksistensialnya, karena dijadikan bagian dari konstruksi dialektis universal.¹ Kierkegaard melihat pendekatan ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap hakikat iman yang sejati, yang justru melibatkan paradoks dan penderitaan serta tidak dapat direduksi menjadi pengetahuan rasional.

Dalam Concluding Unscientific Postscript, ia menyatakan bahwa “iman dimulai ketika pemikiran berhenti,” menegaskan bahwa iman bukanlah hasil puncak pemikiran logis, melainkan suatu keputusan eksistensial yang mengatasi logika.² Sebagai respons terhadap rasionalisme teologis, Kierkegaard menawarkan pandangan bahwa iman harus dipahami sebagai tindakan bebas dan personal, bukan sebagai kesimpulan logis dari serangkaian premis teologis.³

6.2.       Kontras dengan Rasionalisme Filsafat Modern

Di luar ranah teologi, Kierkegaard juga bersilang jalan dengan pemikiran para filsuf modern seperti Immanuel Kant dan René Descartes. Descartes, misalnya, mengedepankan metode keraguan rasional dan menjadikan kepastian kognitif sebagai fondasi filsafat.⁴ Bagi Kierkegaard, pendekatan ini mengabaikan dimensi keberanian dan kecemasan dalam keberadaan manusia, serta gagal memahami bahwa kebenaran religius bukan soal kepastian logis, tetapi komitmen eksistensial yang diambil dalam kondisi ketidakpastian.

Demikian pula dengan Kant, yang berupaya menyelamatkan iman melalui postulat rasional dalam Critique of Practical Reason. Bagi Kant, iman kepada Tuhan, jiwa, dan kebebasan adalah syarat moralitas, namun tetap ditempatkan dalam kerangka kategori rasio praktis.⁵ Kierkegaard mengkritik ini sebagai pendekatan eksternal dan fungsional, karena ia tidak menempatkan Tuhan sebagai tujuan eksistensial yang absolut dan personal, melainkan sebagai syarat rasional bagi sistem etika.

6.3.       Dialog dengan Tokoh Lain: Pascal dan Barth

Meskipun Kierkegaard berselisih dengan rasionalisme, ia memiliki kedekatan intelektual dengan Blaise Pascal, yang juga menekankan ketegangan antara iman dan nalar. Pascal menulis bahwa “hati memiliki alasan yang tidak diketahui oleh akal,” suatu gagasan yang sangat sejalan dengan keyakinan Kierkegaard bahwa iman adalah bentuk pengetahuan yang hanya dapat dicapai melalui keberanian batin dan pengakuan terhadap keterbatasan akal.⁶

Di sisi lain, warisan Kierkegaard tampak jelas dalam pemikiran teolog Karl Barth. Barth menolak teologi natural dan mengedepankan pewahyuan sebagai satu-satunya dasar pengetahuan tentang Tuhan. Dalam hal ini, ia mengembangkan teologi dialektis yang sangat dipengaruhi oleh gagasan Kierkegaard tentang lompatan iman dan paradoks.⁷ Barth menegaskan bahwa Tuhan hanya dapat dikenal melalui tindakan pewahyuan-Nya sendiri, bukan melalui sistem metafisika atau analogi rasional.

6.4.       Signifikansi Perbandingan

Melalui perbandingan ini, tampak bahwa Kierkegaard berupaya untuk menegaskan kembali otentisitas iman sebagai perjumpaan personal antara manusia dan Allah, yang tidak dapat direduksi ke dalam sistem berpikir apa pun. Baginya, iman adalah keputusan eksistensial yang diambil dalam keterasingan, kecemasan, dan tanpa jaminan objektif. Perbedaan fundamental antara Kierkegaard dan rasionalisme terletak pada hakikat kebenaran itu sendiri: rasionalisme memandang kebenaran sebagai korespondensi logis, sedangkan Kierkegaard memahaminya sebagai kesetiaan subjektif dalam relasi eksistensial dengan Yang Mutlak.⁸

Dengan demikian, lompatan iman dalam pemikiran Kierkegaard menantang proyek filsafat modern yang mencari kepastian dan justifikasi rasional, dan justru mengarahkan perhatian kepada keterlibatan eksistensial, keberanian moral, dan hubungan pribadi yang penuh risiko dengan Tuhan.


Footnotes

[1]                Merold Westphal, Kierkegaard and the Philosophical Fragments (Bloomington: Indiana University Press, 1999), 61–64.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 246.

[3]                C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 128–130.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125–128.

[6]                Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin Books, 1995), fragment 277.

[7]                Karl Barth, The Epistle to the Romans, trans. Edwyn C. Hoskyns (Oxford: Oxford University Press, 1968), x–xi.

[8]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 93–95.


7.           Relevansi Konsep Lompatan Iman dalam Konteks Modern

Dalam dunia modern yang ditandai oleh dominasi rasionalitas, kemajuan teknologi, dan sekularisasi, konsep “lompatan iman” (leap of faith) dari Søren Kierkegaard memperoleh signifikansi baru sebagai respons eksistensial terhadap krisis makna yang melanda individu kontemporer. Dunia pasca-Enlightenment telah meletakkan nalar sebagai tolok ukur utama dalam memahami kenyataan, sementara agama dan pengalaman spiritual sering kali direduksi menjadi soal pribadi yang terpinggirkan dalam wacana publik. Namun demikian, justru dalam atmosfer yang nihilistik dan terfragmentasi inilah, lompatan iman menjadi relevan sebagai tindakan keberanian eksistensial untuk memilih makna, harapan, dan hubungan dengan Yang Mutlak di tengah ketidakpastian.

7.1.       Kehampaan Spiritual dan Pencarian Makna

Manusia modern hidup dalam dunia yang secara teknologis maju, namun secara eksistensial mengalami kehampaan. Seperti yang telah diprediksi Kierkegaard, masyarakat yang kehilangan kesadaran akan eksistensinya sendiri akan cenderung melarikan diri dalam kesibukan, hiburan, atau sistem moral yang impersonal, namun gagal menjawab kerinduan terdalam akan otentisitas dan makna hidup.¹ Dalam konteks ini, lompatan iman menjadi sarana untuk mengakui keterbatasan rasio dan membuka diri terhadap kemungkinan transendensi.

Konsep ini menggema dalam fenomena spiritualitas modern, di mana banyak orang, terlepas dari latar belakang agama, mulai menempuh pencarian eksistensial yang lebih bersifat personal, intens, dan reflektif. Lompatan iman Kierkegaard tidak mewakili kepatuhan buta terhadap dogma, melainkan tindakan sadar untuk mempercayai dalam kegelapan, tanpa menuntut bukti absolut atau rasionalitas sistemik.²

7.2.       Lompatan Iman dalam Konteks Etika dan Keputusan Moral

Dalam situasi moral yang kompleks dan ambigu seperti yang sering dihadapi manusia modern—misalnya dalam isu-isu bioetika, keadilan sosial, dan hubungan antarmanusia—pemikiran Kierkegaard menunjukkan bahwa keputusan moral tidak selalu dapat diselesaikan oleh hukum universal atau prinsip rasional semata. Justru dalam situasi genting, individu dipanggil untuk bertindak dengan keyakinan yang melampaui kepastian logis, seraya menanggung risiko eksistensial dari tindakannya.

Hal ini sejalan dengan pandangan dari filsuf kontemporer seperti Paul Tillich yang menekankan bahwa iman adalah keberanian untuk menjadi, yaitu tindakan menerima diri dan panggilan hidup dalam ketegangan antara harapan dan keputusasaan.³ Dalam kondisi sosial yang dipenuhi relativisme dan disorientasi moral, lompatan iman menawarkan orientasi baru yang bersifat personal dan eksistensial, bukan karena bebas nilai, melainkan karena menuntut keterlibatan utuh dan keberanian batin.

7.3.       Lompatan Iman dan Krisis Epistemik Zaman Digital

Era digital memperkuat krisis epistemik: arus informasi yang deras, kaburnya batas antara fakta dan opini, serta berkembangnya ketidakpercayaan terhadap otoritas kebenaran konvensional. Dalam kondisi ini, banyak individu terjebak dalam sikap skeptis atau sinis yang paralel dengan kecemasan eksistensial Kierkegaardian.⁴ Lompatan iman dapat dipahami sebagai jawaban alternatif terhadap krisis ini—bukan dengan menyangkal nalar, melainkan dengan mengakui keterbatasan rasionalitas dan memilih untuk mempercayai sesuatu secara eksistensial.

Kierkegaard menolak argumen apologetik yang mencoba membuktikan iman melalui logika; baginya, kekuatan iman justru terletak pada keteguhan pribadi yang berani melampaui bukti dan statistik. Di tengah dunia yang menuntut jaminan dan validasi terus-menerus, lompatan iman menawarkan ruang bagi kepercayaan yang membebaskan, karena tidak tergantung pada validasi eksternal.⁵

7.4.       Spiritualitas Post-Sekular dan Lompatan Iman

Fenomena “post-secular turn” dalam filsafat dan sosiologi agama—seperti dikemukakan oleh Jürgen Habermas—menunjukkan bahwa narasi sekularisasi yang total mulai dipertanyakan.⁶ Banyak individu kembali menggali pengalaman religius atau transenden, bukan dalam bentuk ortodoksi dogmatis, tetapi dalam bentuk pencarian eksistensial yang sangat sejalan dengan semangat Kierkegaard. Dalam konteks ini, lompatan iman menjadi representasi spiritualitas baru: beriman bukan karena kepastian, tetapi justru karena keraguan yang dihadapi dengan kejujuran dan keberanian.

7.5.       Implikasi Terhadap Pendidikan, Psikologi, dan Budaya

Dalam bidang pendidikan, pemikiran Kierkegaard mendorong pendekatan pedagogis yang menekankan pengalaman subjektif dan keterlibatan personal, bukan sekadar transfer pengetahuan objektif.⁷ Dalam psikologi eksistensial, seperti dikembangkan oleh Viktor Frankl dan Rollo May, konsep keberanian untuk menghadapi absurditas dan penderitaan demi makna sangat sejalan dengan gagasan lompatan iman.

Di ranah budaya populer, tema lompatan iman muncul dalam narasi-narasi film, sastra, dan seni yang menggambarkan tokoh-tokoh yang menghadapi ketidakpastian, mengambil risiko, dan menemukan makna hidup dalam situasi paradoksal—dari kisah Les Misérables hingga The Matrix. Ini menunjukkan bahwa meski lahir dari abad ke-19, gagasan Kierkegaard tetap hidup dalam kesadaran kultural modern.


Kesimpulan Sub-Bagian

Secara keseluruhan, relevansi konsep lompatan iman dalam konteks modern terletak pada kemampuannya untuk menawarkan jalan spiritual yang otentik di tengah runtuhnya fondasi-fondasi rasionalitas dan kepastian modernitas. Lompatan ini bukan bentuk irasionalitas buta, melainkan respon mendalam terhadap keterbatasan manusia, absurditas dunia, dan kerinduan akan hubungan dengan Yang Transenden. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, gagasan Kierkegaard tetap menjadi cahaya bagi mereka yang berani mempercayai—bukan karena kepastian, tetapi justru karena absurditas.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 51–54.

[2]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 99–101.

[3]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 39–41.

[4]                Merold Westphal, Kierkegaard and the Ethics of Postmodernism (Bloomington: Indiana University Press, 1996), 76–79.

[5]                C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 94–95.

[6]                Jürgen Habermas, Religion and Rationality: Essays on Reason, God and Modernity, ed. Eduardo Mendieta (Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 74–77.

[7]                David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford: Blackwell, 1999), 126–128.


8.           Kritik terhadap Konsep Lompatan Iman

Meskipun konsep “lompatan iman” (leap of faith) Søren Kierkegaard memberikan kontribusi penting dalam ranah filsafat eksistensial dan teologi modern, gagasan ini tidak luput dari berbagai kritik serius, baik dari perspektif filsafat analitik, etika, maupun teologi rasional. Kritik-kritik tersebut umumnya mempertanyakan validitas epistemologis, implikasi moral, dan potensi problematis dari menempatkan iman dalam kerangka yang sepenuhnya subjektif dan paradoksikal.

8.1.       Kritik Epistemologis: Apakah Iman Menjadi Arbitrer?

Salah satu kritik utama terhadap konsep lompatan iman datang dari para filsuf berhaluan analitik seperti Bertrand Russell dan Antony Flew, yang menyatakan bahwa mempercayai sesuatu tanpa dasar rasional yang cukup membuka kemungkinan terhadap kepercayaan yang sewenang-wenang (arbitrer).¹ Bila kriteria rasionalitas tidak lagi dijadikan pijakan, maka setiap keyakinan—tak peduli seaneh atau seabsurd apa pun—bisa saja dibenarkan atas nama "iman". Dalam kerangka ini, lompatan iman justru mengaburkan batas antara keyakinan autentik dan kepercayaan irasional.

Filsuf analitik Alvin Plantinga, meskipun tidak secara langsung menolak iman, menekankan perlunya “warrant” atau pembenaran epistemik bagi kepercayaan religius.² Ia menyatakan bahwa iman yang rasional tetap perlu memiliki struktur kognitif yang masuk akal, bukan hanya berdasarkan kehendak atau pengalaman subjektif. Dalam perspektif ini, konsep iman Kierkegaard dinilai terlalu subjektif dan rentan terhadap relativisme epistemik.

8.2.       Kritik Etis: Potensi untuk Menjustifikasi Fanatisme

Lompatan iman juga dikritik karena dapat membuka ruang pembenaran terhadap tindakan-tindakan yang secara moral keliru, apabila dilakukan atas nama “iman kepada Tuhan”. Hal ini menjadi sorotan tajam dalam diskusi tentang teleological suspension of the ethical—gagasan Kierkegaard bahwa perintah Tuhan dapat melampaui hukum etika umum, seperti dalam kasus Abraham yang hampir mengorbankan Ishak.³

Filsuf Emmanuel Levinas menganggap pendekatan semacam ini berbahaya, karena memberi tempat bagi tindakan irasional yang mengabaikan martabat manusia atas nama wahyu atau otoritas transenden.⁴ Dalam dunia kontemporer yang rentan terhadap ekstremisme dan kekerasan berbasis agama, interpretasi lompatan iman yang membenarkan tindakan ekstrem atas dasar “ketaatan kepada yang ilahi” sangat problematik jika tidak dikritisi secara etis.

8.3.       Kritik dari Teologi Rasional dan Reformasi

Dari sisi teologi, beberapa kalangan Protestan ortodoks maupun Katolik menilai konsep iman Kierkegaard terlalu individualistis dan emosional, sehingga mengabaikan dimensi komunitas, tradisi, dan rasionalitas iman. Thomas Aquinas, misalnya, mengajukan bahwa iman tetap membutuhkan dasar rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara argumentatif.⁵ Dalam Summa Theologiae, Aquinas menegaskan bahwa rasio dan wahyu saling melengkapi, dan iman tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari akal budi.

Demikian pula, teolog reformasi seperti B. B. Warfield menekankan bahwa iman Kristen adalah respons terhadap wahyu Allah yang obyektif, dan bukan keputusan personal yang melampaui nalar.⁶ Dalam pandangan ini, Kierkegaard dianggap terlalu menekankan aspek eksistensial, sehingga mengaburkan kekuatan historis dan objektif dari penyataan ilahi dalam Alkitab.

8.4.       Problematika Psikologis: Antara Iman dan Keputusasaan

Beberapa psikolog eksistensial dan fenomenolog seperti Rollo May dan Viktor Frankl memuji pendekatan Kierkegaard terhadap kecemasan dan eksistensi, tetapi tetap mengkhawatirkan potensi destruktif dari tindakan melompat dalam absurditas tanpa integrasi psikologis yang matang.⁷ Keputusan iman yang tidak disertai proses reflektif dan pemahaman diri dapat menimbulkan disosiasi atau ketegangan internal, yang bukannya membawa penyembuhan eksistensial, tetapi justru memperdalam keputusasaan.

8.5.       Kritik Hermeneutis: Tantangan Interpretasi dan Ambiguitas

Sebagai seorang penulis yang gemar menggunakan pseudonim, gaya ironis, dan struktur naratif yang kompleks, Kierkegaard sering menyampaikan gagasannya secara tidak langsung. Hal ini memunculkan tantangan hermeneutis, karena pembaca kerap kesulitan membedakan antara pandangan pribadi Kierkegaard dengan posisi yang diwakili tokoh-tokoh fiktifnya seperti Johannes de Silentio atau Anti-Climacus.⁸ Akibatnya, konsep lompatan iman bisa ditafsirkan secara beragam—dari tindakan keberanian spiritual hingga bentuk fideisme ekstrem—dan tidak mudah untuk membedakan mana tafsiran yang paling setia kepada intensi Kierkegaard.


Kesimpulan Sub-Bagian

Kritik terhadap konsep lompatan iman tidak serta-merta meniadakan nilai filosofisnya, melainkan mengajak pada pembacaan yang lebih hati-hati, kritis, dan kontekstual. Sebagai sebuah tawaran eksistensial, konsep ini tetap memiliki kekuatan untuk menantang kemapanan rasionalitas modern dan membuka ruang bagi pemaknaan spiritual yang otentik. Namun, agar tidak terjerumus dalam relativisme, fanatisme, atau subjektivisme ekstrem, gagasan ini perlu didialogkan secara kritis dengan pendekatan-pendekatan lain dalam filsafat, teologi, dan ilmu-ilmu humaniora.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, Religion and Science (New York: Oxford University Press, 1935), 17–18.

[2]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 179–182.

[3]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 61–67.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh, PA: Duquesne University Press, 1969), 244–246.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.1.1, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[6]                B. B. Warfield, The Inspiration and Authority of the Bible (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed Publishing, 1948), 65–70.

[7]                Rollo May, The Courage to Create (New York: W. W. Norton & Company, 1975), 83–85; Viktor E. Frankl, The Doctor and the Soul: From Psychotherapy to Logotherapy (New York: Vintage Books, 1986), 62.

[8]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 98–100.


9.           Penutup

Konsep lompatan iman (leap of faith) yang dikemukakan oleh Søren Kierkegaard merupakan respons eksistensial yang mendalam terhadap krisis modernitas, rasionalisme, dan kekeringan spiritual yang merajalela di abad ke-19 dan terus bergema hingga hari ini. Dengan menolak pendekatan sistematik-rasional ala Hegel dan menegaskan pentingnya subjektivitas dalam pengalaman religius, Kierkegaard memperkenalkan paradigma baru dalam memahami iman: bukan sebagai hasil dari bukti atau argumen logis, melainkan sebagai keputusan radikal dan personal untuk mempercayai Yang Mutlak dalam kondisi ketidakpastian, absurditas, dan paradoks.¹

Melalui kerangka tiga tahapan eksistensial—estetik, etik, dan religius—Kierkegaard tidak hanya merumuskan struktur pertumbuhan rohani manusia, tetapi juga menekankan bahwa puncak keberadaan manusia terletak pada keberanian eksistensial untuk mengambil risiko iman, bukan pada pencapaian rasionalitas objektif.² Di sini, iman tidak sekadar mengisi kekosongan logika, tetapi menandai keterlibatan total diri dalam relasi dengan Tuhan.³ Lompatan iman adalah penegasan terhadap kemungkinan tertinggi eksistensi: menjadikan yang mustahil sebagai mungkin, bukan dengan argumen, tetapi dengan keyakinan penuh pengharapan dan cinta.

Namun demikian, lompatan iman juga bukan tanpa tantangan. Berbagai kritik dari filsafat analitik, teologi rasional, hingga etika kontemporer menunjukkan bahwa penekanan Kierkegaard pada subjektivitas dapat menimbulkan risiko relativisme, fideisme, bahkan justifikasi fanatisme, bila tidak dibaca dalam kerangka eksistensial yang utuh dan bertanggung jawab.⁴ Oleh sebab itu, pemahaman atas konsep ini harus disertai dengan kesadaran hermeneutis, historis, dan kontekstual agar tidak jatuh dalam penyalahgunaan makna atau simplifikasi.

Dalam konteks modern dan post-sekular, relevansi lompatan iman tampak semakin nyata. Dunia yang semakin kompleks, cair, dan nihilistik menuntut manusia untuk mencari makna di luar kepastian objektif. Di tengah fragmentasi nilai dan kegagalan sistem rasional untuk memberikan kepenuhan spiritual, gagasan Kierkegaard menawarkan jalan iman yang otentik dan penuh keberanian—sebuah ajakan untuk tetap berharap dan percaya, bukan karena segala sesuatu telah jelas, tetapi justru karena kegelapan dan keraguan telah dihadapi dengan jujur.⁵

Akhirnya, pemikiran Kierkegaard tidak hanya menawarkan suatu teori iman, tetapi juga suatu etos eksistensial yang menantang manusia modern untuk mengambil sikap: apakah ia akan terus berlindung dalam kenyamanan rasionalitas, ataukah ia akan berani melangkah ke dalam ketidakpastian dengan iman sebagai keberanian tertinggi? Dalam lompatan iman, kita tidak menemukan jaminan, tetapi kita menemukan diri. Dan dalam penemuan itu, manusia menyentuh kemungkinan terdalam dari eksistensinya sebagai makhluk yang terhubung dengan Yang Tak Terbatas.⁶


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 201–204.

[2]                C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 101–103.

[3]                Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University Press, 1996), 89.

[4]                George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham: Acumen, 2005), 93–95.

[5]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 58.

[6]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 66–69.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
(Karya asli ditulis pada abad ke-13)

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
(Karya asli diterbitkan 1641)

Evans, C. S. (1998). Faith beyond reason. Edinburgh University Press.

Evans, C. S. (2009). Kierkegaard: An introduction. Cambridge University Press.

Frankl, V. E. (1986). The doctor and the soul: From psychotherapy to logotherapy (Rev. ed.). Vintage Books.

Garff, J. (2005). Søren Kierkegaard: A biography (B. H. Kirmmse, Trans.). Princeton University Press.

Habermas, J. (2002). Religion and rationality: Essays on reason, God and modernity (E. Mendieta, Ed.). MIT Press.

Hannay, A. (2001). Kierkegaard: A biography. Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
(Karya asli diterbitkan 1843)

Kierkegaard, S. (1987). Either/Or: Parts I and II (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press.
(Karya asli diterbitkan 1843)

Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
(Karya asli diterbitkan 1849)

Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press.
(Karya asli diterbitkan 1846)

Kierkegaard, S. (1968). Attack upon Christendom (W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press.
(Karya asli diterbitkan 1855)

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

May, R. (1975). The courage to create. W. W. Norton & Company.

Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). Penguin Books.
(Karya asli ditulis ca. 1660-an)

Pattison, G. (2005). The philosophy of Kierkegaard. Acumen.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Russell, B. (1935). Religion and science. Oxford University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Warfield, B. B. (1948). The inspiration and authority of the Bible. Presbyterian and Reformed Publishing.

Westphal, M. (1996). Becoming a self: A reading of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript. Purdue University Press.

Westphal, M. (1999). Kierkegaard and the philosophical fragments. Indiana University Press.

Westphal, M. (1996). Kierkegaard and the ethics of postmodernism. Indiana University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar