Leap of Faith
Konsep Lompatan Iman dalam Filsafat Søren Kierkegaard
Alihkan ke: Pemikiran Søren Kierkegaard.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep lompatan
iman (leap of faith) dalam filsafat Søren Kierkegaard sebagai respons
eksistensial terhadap dominasi rasionalisme modern dan kekeringan spiritual
manusia kontemporer. Dimulai dari latar belakang intelektual Kierkegaard,
artikel ini menguraikan dasar ontologis dan epistemologis lompatan iman, serta
menjelaskan tahapan eksistensial menuju iman sejati: estetik, etik, dan
religius. Penekanan diletakkan pada paradoks iman, di mana manusia dipanggil
untuk mempercayai Yang Tak Terjangkau oleh akal melalui keputusan subjektif
yang radikal. Dibandingkan dengan rasionalisme teologis dan filsafat modern,
konsep ini menunjukkan penolakan terhadap sistem logis impersonal dan
menegaskan pentingnya subjektivitas sebagai inti kebenaran iman. Dalam konteks
dunia sekuler dan postmodern, lompatan iman menjadi relevan sebagai bentuk keberanian
eksistensial dalam menghadapi absurditas, krisis makna, dan relativisme moral.
Namun demikian, artikel ini juga menyoroti berbagai kritik terhadap konsep
tersebut, termasuk problem epistemologis, etis, dan hermeneutis yang
menyertainya. Dengan pendekatan filosofis yang mendalam dan referensi yang
kredibel, artikel ini menempatkan lompatan iman sebagai konsep kunci dalam
pemikiran eksistensialis religius yang terus berbicara dalam dinamika zaman.
Kata Kunci: Søren Kierkegaard, lompatan iman, eksistensialisme
religius, subjektivitas, paradoks iman, rasionalisme modern, etika, iman dan
nalar.
PEMBAHASAN
Memahami Konsep Lompatan Iman (Leap of Faith) dalam
Filsafat Søren Kierkegaard
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah filsafat modern, Søren Kierkegaard
(1813–1855) dikenal sebagai figur sentral yang menggagas pendekatan
eksistensial terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidup,
kebebasan, kecemasan, dan iman. Berbeda dari para filsuf rasionalis seperti
Hegel yang mengusung sistem metafisika komprehensif berbasis nalar, Kierkegaard
justru menekankan pentingnya subjektivitas, pengalaman eksistensial individu,
dan paradoks iman sebagai cara memahami realitas terdalam manusia. Salah satu
konsep paling menonjol dari pemikirannya adalah “lompatan iman” (leap of
faith), suatu tindakan eksistensial yang tidak dapat dijustifikasi oleh
akal rasional tetapi justru menjadi bentuk tertinggi dari keberanian spiritual
manusia dalam menghadapi absurditas dan ketidakpastian eksistensi.
Konsep lompatan iman berakar dalam kritik
Kierkegaard terhadap rasionalisme sistematik yang mendominasi filsafat Eropa
pada masanya, terutama filsafat Hegelian. Menurut Kierkegaard, sistem logis
yang berusaha menjelaskan seluruh realitas tidak mampu mengakomodasi kompleksitas
pengalaman manusia, terutama dalam hal keyakinan religius. Dalam pandangannya,
iman bukanlah hasil akhir dari argumen logis, melainkan suatu “paradoks”
yang menuntut lompatan eksistensial: keberanian untuk mempercayai apa yang
tampak absurd dalam perspektif rasional, seperti iman Abraham terhadap perintah
Allah yang tampaknya bertentangan dengan akal dan etika biasa.¹
Lompatan iman menjadi solusi Kierkegaard atas
dilema antara nalar dan iman, antara universalitas etis dan individualitas
religius. Baginya, manusia berada dalam ketegangan eksistensial yang
mendalam—ia merasakan absurditas dunia, kehampaan dalam estetika, dan
keterbatasan dalam moralitas, hingga akhirnya dihadapkan pada pilihan radikal
untuk mempercayai sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara rasional.² Inilah
yang membuat iman, menurut Kierkegaard, menjadi pengalaman yang sangat
personal, mendalam, dan penuh risiko, tetapi justru karenanya memiliki nilai
eksistensial yang tertinggi.³
Dalam konteks dunia modern yang cenderung menjunjung
tinggi rasionalitas, saintisme, dan objektivitas, gagasan Kierkegaard tentang
lompatan iman menawarkan perspektif alternatif mengenai pentingnya dimensi
subjektif, afektif, dan transrasional dalam pencarian makna hidup. Gagasan ini
tidak hanya relevan dalam ranah teologis, tetapi juga dalam diskursus etika,
psikologi eksistensial, dan bahkan dalam kritik terhadap nihilisme
pascamodern.⁴ Oleh karena itu, pembahasan tentang konsep lompatan iman tidak
hanya penting dalam kerangka sejarah filsafat, melainkan juga memiliki
signifikansi yang mendalam untuk menjawab kegelisahan spiritual dan
eksistensial manusia kontemporer.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 47–49.
[2]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 140–143.
[3]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of
Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN:
Purdue University Press, 1996), 75.
[4]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard
(Chesham: Acumen, 2005), 102–104.
2.
Biografi
Intelektual Søren Kierkegaard
Søren Aabye Kierkegaard lahir pada 5 Mei 1813 di
Kopenhagen, Denmark, dalam sebuah keluarga yang sangat religius dan
intelektual. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seorang pedagang
kaya sekaligus pemikir autodidak yang sangat dipengaruhi oleh pietisme Lutheran
yang ketat. Pengaruh intelektual dan religius sang ayah membentuk fondasi spiritual
dan intelektual Kierkegaard sejak dini, khususnya dalam hal refleksi mendalam
tentang dosa, penderitaan, dan keabadian.¹ Meskipun hidup dalam kenyamanan
finansial, Kierkegaard mengalami pergulatan batin yang mendalam akibat trauma
masa kecil dan hubungan kompleks dengan ayahnya yang penuh rasa bersalah dan
kecemasan religius.²
Kierkegaard menempuh pendidikan di Universitas
Kopenhagen, di mana ia mempelajari filsafat, teologi, dan sastra klasik. Ia
menulis disertasi bertajuk The Concept of Irony, with Constant Reference to
Socrates (1841), yang menampilkan pemikiran awalnya tentang ironi sebagai
bentuk refleksi eksistensial dan kritik terhadap idealisme sistematis.³ Meski
secara akademik terlatih dalam sistem Hegelian yang dominan saat itu,
Kierkegaard justru mengembangkan pendekatan yang sangat kontras. Ia menolak
pandangan Hegel yang menyatukan seluruh kenyataan dalam suatu sistem dialektis
yang rasional dan total, karena baginya sistem tersebut mengabaikan eksistensi
konkret individu.⁴
Karya-karya Kierkegaard banyak ditulis dengan nama
samaran (pseudonim), seperti Johannes de Silentio, Vigilius Haufniensis, dan
Anti-Climacus. Strategi ini dimaksudkan bukan untuk menyembunyikan identitas,
melainkan untuk menghidupkan berbagai sudut pandang yang menunjukkan
kompleksitas pengalaman eksistensial manusia.⁵ Melalui pendekatan ini, ia
memperkenalkan kategori eksistensial seperti “kecemasan” (angst),
“putus asa” (fortvivlelse), “subjektivitas”, dan tentu
saja “iman sebagai lompatan”. Semua ini membentuk kerangka khas
filsafatnya yang disebut eksistensialisme religius.
Secara sosial dan religius, Kierkegaard menjadi
pengkritik tajam Gereja Denmark (Folkekirken) yang ia anggap telah menjadi
institusi formalistis yang kehilangan keotentikan iman. Dalam pamflet-pamflet
akhir hidupnya, seperti The Attack upon Christendom, ia menyerang keras
kemunafikan religius dan memperjuangkan kembalinya kekristenan kepada bentuk
yang radikal dan eksistensial, yaitu hubungan personal dan langsung dengan
Tuhan.⁶ Kritik ini memperjelas bahwa bagi Kierkegaard, iman bukan sekadar
keanggotaan institusional atau hasil pembelajaran doktrinal, tetapi merupakan
pengalaman pribadi yang intens dan paradoksikal.
Sebagai pemikir yang hidup dalam kesendirian
intelektual, Kierkegaard meninggal dunia pada 11 November 1855 tanpa pernah
mendapatkan pengakuan luas semasa hidupnya. Namun, warisan intelektualnya
kemudian menjadi fondasi penting bagi perkembangan eksistensialisme di abad
ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Martin Heidegger, Karl Jaspers, Jean-Paul
Sartre, dan teolog seperti Karl Barth dan Paul Tillich.⁷ Melalui lensa biografi
intelektual ini, dapat dipahami bahwa konsep “lompatan iman” tidak
muncul dalam ruang hampa, tetapi lahir dari sebuah perjalanan batin,
intelektual, dan spiritual yang intens dan penuh pergolakan terhadap dunia
modern yang serba rasional.
Footnotes
[1]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–5.
[2]
Joakim Garff, Søren Kierkegaard: A Biography,
trans. Bruce H. Kirmmse (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2005),
68–75.
[3]
Søren Kierkegaard, The Concept of Irony,
trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University
Press, 1989), xiii–xv.
[4]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 17–20.
[5]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard
(Chesham: Acumen, 2005), 42–45.
[6]
Søren Kierkegaard, Attack Upon Christendom,
trans. Walter Lowrie (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1968), 1–9.
[7]
Merold Westphal, Kierkegaard and the Ethics of
Postmodernism (Bloomington: Indiana University Press, 1996), 23–25.
3.
Dasar
Ontologis dan Epistemologis Lompatan Iman
Konsep “lompatan iman” (leap of faith) dalam
filsafat Søren Kierkegaard tidak dapat dipahami secara utuh tanpa terlebih
dahulu menelusuri dasar ontologis dan epistemologisnya. Kierkegaard
mengembangkan gagasan ini sebagai respons terhadap kegagalan sistem rasionalis
(terutama Hegelian) dalam menjelaskan keberadaan manusia secara eksistensial.
Dalam hal ontologi, Kierkegaard memulai dari asumsi bahwa eksistensi manusia
bersifat paradoksal, terbagi antara keterbatasan dan potensi kekekalan,
antara yang fana dan yang ilahi.¹ Manusia bukan hanya makhluk rasional,
melainkan juga makhluk yang berdiri di hadapan kemungkinan-kemungkinan
eksistensial yang menuntut keputusan mutlak.²
Kierkegaard menolak pendekatan metafisika
tradisional yang berusaha memahami keberadaan melalui konsep universal dan
abstrak. Baginya, eksistensi individual tidak dapat ditangkap oleh kategori
universal; eksistensi bersifat subjektif dan konkret. Karena itu, dalam
karya Concluding Unscientific Postscript, ia menegaskan bahwa “subjektivitas
adalah kebenaran”—artinya, kebenaran yang sejati hanya dapat dialami secara
personal dan eksistensial, bukan dicapai melalui sistem logis yang impersonal.³
Di sinilah titik awal epistemologis Kierkegaard: pengetahuan religius dan
eksistensial bukan hasil deduksi logis, melainkan penghayatan pribadi dalam
relasi dengan Tuhan.
Dalam kerangka ini, iman bukan sekadar
kepercayaan intelektual terhadap dogma, tetapi adalah keberanian eksistensial
untuk melampaui batas-batas rasionalitas menuju relasi paradoksal dengan yang
transenden.⁴ Lompatan iman merupakan respons terhadap absurditas—ketika
individu dihadapkan pada sesuatu yang tak dapat dijelaskan atau dibenarkan oleh
nalar (misalnya, perintah Allah kepada Abraham untuk mengorbankan Ishak), ia
harus mengambil keputusan untuk percaya walau tanpa bukti atau kepastian.⁵
Tindakan ini melibatkan apa yang oleh Kierkegaard disebut sebagai “penghentian
teleologis atas etika”—yakni bahwa dalam iman, individu menaati Tuhan
bahkan ketika perintah-Nya tampak bertentangan dengan moralitas umum.⁶
Dari perspektif epistemologis, lompatan iman
mencerminkan keterbatasan akal dalam memahami realitas transendental.
Kierkegaard tidak anti-rasio, namun ia menyadari bahwa akal memiliki batasnya,
khususnya dalam perkara ilahi. Ia menyebut iman sebagai “absurd”—bukan
dalam arti irasional, tetapi sebagai sesuatu yang tidak bisa ditundukkan ke
dalam kategori logika manusia.⁷ Oleh karena itu, keputusan beriman adalah
tindakan bebas yang tidak dapat dipaksakan oleh bukti atau logika, melainkan
hanya dimungkinkan oleh keberanian subjektif untuk mempercayai.
Di sisi lain, landasan ontologis lompatan iman juga
terlihat dalam penggambaran Kierkegaard tentang kondisi manusia yang dilanda
kecemasan (angst) dan putus asa (despair). Kecemasan muncul
sebagai akibat dari kesadaran manusia akan kemungkinan-kemungkinan dirinya,
sementara putus asa timbul karena kegagalan untuk menjadi diri yang sejati,
yaitu diri yang berakar dalam relasi dengan Allah.⁸ Dalam konteks ini, lompatan
iman menjadi jalan ontologis untuk mengatasi keterputusan eksistensial dan
merekonsiliasi diri dengan asal-usul ilahi.
Dengan demikian, konsep lompatan iman tidak dapat
dipisahkan dari visi Kierkegaard tentang eksistensi manusia sebagai ketegangan
yang tidak terselesaikan secara rasional. Hanya melalui iman—yang melampaui nalar
namun tidak melawan akal—manusia dapat masuk ke dalam relasi otentik dengan
Yang Mutlak. Lompatan ini bukan bentuk pengabaian rasio, melainkan pengakuan
akan keterbatasannya dalam menghadapi misteri terdalam keberadaan.
Footnotes
[1]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 116–118.
[2]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of
Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN:
Purdue University Press, 1996), 33–36.
[3]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H.
Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 201.
[4]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard
(Chesham: Acumen, 2005), 85–88.
[5]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 52–60.
[6]
Ibid., 61.
[7]
C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 89–91.
[8]
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 45–48.
4.
Tiga
Tahapan Eksistensial Menuju Lompatan Iman
Søren Kierkegaard
memandang kehidupan manusia sebagai sebuah perjalanan eksistensial yang tidak
bersifat linier atau mekanistik, melainkan sebagai sebuah proses
transformasi batin yang melibatkan pilihan-pilihan mendalam dan
penuh risiko. Dalam kerangka ini, ia menggambarkan tiga tahapan
eksistensial yang menjadi jalan menuju kemungkinan “lompatan
iman”. Tahapan ini tidak sekadar menunjukkan perkembangan moral atau
intelektual, tetapi mencerminkan cara-cara manusia memahami dan menghidupi
keberadaannya secara radikal. Ketiganya adalah: tahap estetik, tahap
etik, dan tahap religius.¹
4.1. Tahap Estetik: Kenikmatan Tanpa Komitmen
Tahap estetik
dicirikan oleh pencarian terhadap kesenangan, keindahan, dan pelarian dari
penderitaan. Individu yang berada dalam tahap ini menghindari
komitmen dan tanggung jawab eksistensial, dan sebaliknya hidup dalam “keacakan”
pilihan yang dangkal dan sementara. Tokoh A dalam Either/Or menggambarkan kehidupan
estetik sebagai suatu bentuk eksistensi yang dipenuhi ironi, humor, dan
estetika, namun pada akhirnya berujung pada kehampaan dan keputusasaan.²
Estetikus menganggap
hidup sebagai sesuatu yang harus dinikmati, tetapi justru menolak untuk
menegaskan jati diri sejatinya melalui pilihan yang otentik. Ketika krisis
melanda, individu dalam tahap ini mengalami despair (putus asa) karena
menyadari bahwa hidupnya tidak memiliki makna yang sejati.³ Keputusasaan inilah
yang mendorong individu untuk beralih ke tahap berikutnya.
4.2. Tahap Etik: Komitmen terhadap Moralitas
Dalam tahap etik,
individu mulai menyadari pentingnya tanggung jawab, komitmen, dan struktur
moral dalam kehidupan. Ia tidak lagi hidup semata-mata demi kesenangan,
melainkan berusaha menjadi subjek moral yang otentik.
Tokoh Judge Wilhelm dalam Either/Or bagian kedua menjadi
representasi tahap ini, dengan penekanan pada keseriusan hidup, integritas pribadi, dan
nilai-nilai etis universal.⁴
Namun, tahap etik
pun memiliki keterbatasan. Kendati individu telah menjalani kehidupan bermoral,
ia tetap menghadapi keterbatasan dan kegagalan dalam menjangkau ideal etis
secara mutlak. Dalam pandangan Kierkegaard, ini menunjukkan bahwa kehidupan
etik tidak cukup untuk menyelamatkan manusia dari keputusasaan terdalam,
karena hukum moral tidak memiliki kuasa menebus kegagalan eksistensial manusia
secara total.⁵ Maka, keterbatasan ini membuka jalan ke tahap ketiga yang lebih
radikal dan personal.
4.3. Tahap Religius: Penyerahan Diri secara Paradoxis
Tahap religius,
terutama yang disebut Religiousness B oleh Kierkegaard,
merupakan titik puncak dalam perjalanan eksistensial manusia. Dalam tahap ini,
individu menyadari bahwa hanya relasi langsung dan personal dengan Tuhan
yang dapat memberikan pemenuhan eksistensial sejati. Ia mengambil lompatan
iman, yaitu tindakan percaya kepada Allah secara mutlak meskipun
tanpa justifikasi rasional atau bukti objektif.⁶
Kisah Abraham dalam Fear and
Trembling adalah simbol utama tahap ini. Abraham, sebagai “ksatria
iman” (Knight
of Faith), bersedia mengorbankan Ishak bukan karena mengikuti etika
universal, melainkan karena ia percaya secara mutlak kepada perintah Allah,
walau perintah itu tampak absurd dan tidak rasional. Kierkegaard menyebut
tindakan ini sebagai bentuk penghentian teleologis atas etika,
yakni ketika kehendak Tuhan melampaui hukum moral yang berlaku umum.⁷
Individu dalam tahap
religius hidup dalam paradoks: ia mencintai dunia
tetapi tidak melekat padanya; ia tunduk kepada etika tetapi bersedia
melampauinya demi iman; ia hidup dalam kecemasan, namun juga dalam keyakinan
terdalam kepada kasih Allah. Iman di sini bukan hasil dari argumen, melainkan
bentuk keberanian
eksistensial untuk mempercayai Yang Mutlak, bahkan ketika semua
dasar rasional telah runtuh.⁸
Melalui kerangka
tiga tahapan eksistensial ini, Kierkegaard menunjukkan bahwa lompatan iman
bukanlah tindakan yang irasional, tetapi respon tertinggi terhadap realitas eksistensial
manusia yang tidak dapat diselesaikan oleh estetika ataupun etika semata.
Lompatan tersebut merupakan momen keputusan radikal yang hanya dapat dijalani
oleh individu yang berani menghadapi absurditas dengan kepercayaan yang utuh
kepada Yang Ilahi.
Footnotes
[1]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 100–102.
[2]
Søren Kierkegaard, Either/Or, Part I, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1987), 39–44.
[3]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University
Press, 1996), 41.
[4]
Søren Kierkegaard, Either/Or, Part II, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1987), 177–184.
[5]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham:
Acumen, 2005), 90.
[6]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript,
209–211.
[7]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 61–66.
[8]
C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1998), 96–98.
5.
Lompatan
Iman sebagai Paradoks Eksistensial
Konsep “lompatan iman” (leap of faith)
dalam filsafat Søren Kierkegaard mencapai titik kritisnya ketika dipahami
sebagai paradoks eksistensial yang tidak dapat diselesaikan oleh akal,
tetapi justru menjadi dasar pengalaman religius yang autentik. Paradoks ini
tidak bersifat spekulatif atau metafisik belaka, melainkan merupakan ekspresi
eksistensial dari ketegangan antara keberadaan manusia sebagai makhluk temporal
dan relasi absolut dengan Yang Kekal.¹
Kierkegaard menegaskan bahwa iman bukan hasil dari
proses deduktif yang rasional, melainkan tindakan individual yang melibatkan pengambilan
risiko tertinggi, yaitu percaya kepada sesuatu yang secara objektif tampak
mustahil atau bahkan absurd. Ia menulis bahwa “iman adalah justru bahwa
keberadaan yang absurd harus dipercayai”—sebuah klaim yang menegaskan bahwa
iman melampaui kategori logika biasa.² Ini bukan berarti bahwa iman adalah
irasional dalam arti negatif, melainkan melampaui rasionalitas dalam
kategori eksistensial.
Paradoks utama dalam iman, menurut Kierkegaard,
terletak pada relasi antara manusia dengan Tuhan yang transenden. Di
satu sisi, manusia adalah bagian dari dunia yang terbatas dan fana; di sisi
lain, dalam iman, manusia mengklaim suatu hubungan personal dan intim dengan
Sang Mutlak.³ Paradoks ini tercermin secara paling radikal dalam kisah Abraham
dalam Fear and Trembling, di mana Abraham bersedia mengorbankan anaknya
demi menaati perintah Tuhan—sebuah tindakan yang secara etis tampak keliru,
namun justru menjadi bentuk tertinggi dari iman. Kierkegaard menyebut Abraham
sebagai “ksatria iman” (Knight of Faith), karena ia mampu menjaga
paradoks antara cinta terhadap Ishak dan ketaatan total kepada Allah tanpa
meminta pembenaran rasional.⁴
Bagi Kierkegaard, iman bukanlah penyelesaian
paradoks, tetapi keberanian untuk hidup di dalamnya. Iman tidak menghapus
absurditas, tetapi menegaskannya sambil memilih untuk mempercayai bahwa Allah
sanggup melakukan yang mustahil.⁵ Di sinilah iman menjadi murni
eksistensial—suatu bentuk komitmen subjektif radikal yang tidak dapat dijamin
oleh bukti objektif, melainkan ditegaskan melalui keputusan batin yang penuh
risiko. Ia menulis dalam Concluding Unscientific Postscript bahwa “subjektivitas
adalah kebenaran”, menandakan bahwa dalam hal-hal keimanan, kebenaran
terletak dalam intensitas keterlibatan eksistensial, bukan dalam
korespondensi logis.⁶
Paradoks iman ini juga melibatkan ketegangan antara
etika universal dan panggilan religius yang bersifat pribadi. Dalam kasus
Abraham, moralitas umum akan menilai tindakannya sebagai kejahatan, tetapi
dalam relasi dengan Allah, tindakannya justru menjadi tindakan iman. Inilah
yang oleh Kierkegaard disebut sebagai “penangguhan teleologis atas etika”
(teleological suspension of the ethical), yaitu bahwa dalam iman sejati,
panggilan Ilahi dapat melampaui norma etika yang berlaku umum.⁷
Kierkegaard menyadari bahwa posisi ini menimbulkan
keberatan serius, bahkan tuduhan akan relativisme moral atau fanatisme. Namun,
baginya, justru kemustahilan iman adalah yang menjadikannya mulia. Iman
tidak berada dalam ruang aman filsafat atau etika, melainkan dalam ruang
kegelisahan, penderitaan, dan kecemasan, di mana individu harus berdiri sendiri
di hadapan Allah.⁸
Dengan demikian, lompatan iman bukanlah solusi
logis atas problem keberadaan, melainkan keberanian untuk hidup di dalam
misteri, tanpa menuntut jaminan dari nalar. Inilah yang menjadikan lompatan
iman sebagai paradoks eksistensial sejati: suatu tindakan melampaui akal yang
justru membuka jalan bagi kedalaman dan keotentikan spiritual manusia.
Footnotes
[1]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 125–127.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 55.
[3]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard
(Chesham: Acumen, 2005), 91–93.
[4]
Kierkegaard, Fear and Trembling, 58–63.
[5]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of
Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN:
Purdue University Press, 1996), 103.
[6]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H.
Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 201–203.
[7]
Kierkegaard, Fear and Trembling, 66.
[8]
C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 110–112.
6.
Perbandingan
dengan Rasionalisme Teologis dan Filsafat Modern
Søren Kierkegaard
memformulasikan konsep lompatan iman dalam kerangka kritik terhadap dominasi
rasionalisme, baik dalam teologi sistematis maupun dalam filsafat modern.
Kritik ini bersifat radikal dan eksistensial, sebab
ia menolak klaim bahwa realitas religius dapat sepenuhnya dipahami, dijelaskan,
atau dibenarkan melalui nalar dan sistem logika formal. Lompatan iman menjadi
penanda perbedaan tegas antara pendekatan Kierkegaard dan para pemikir yang
mengedepankan sistematika dan objektivitas dalam memahami keberadaan dan iman.
6.1. Kritik terhadap Rasionalisme Teologis
Kierkegaard sangat
keras dalam mengkritik teologi Hegelian dan upaya-upaya sistematis untuk
mendamaikan iman dengan akal secara total. Dalam sistem Hegel, iman dan
pengetahuan dianggap sebagai tahap-tahap dalam perkembangan roh absolut menuju
kesadaran diri. Dalam skema tersebut, iman kehilangan karakter subjektif dan
eksistensialnya, karena dijadikan bagian dari konstruksi dialektis universal.¹
Kierkegaard melihat pendekatan ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap
hakikat iman yang sejati, yang justru melibatkan paradoks dan penderitaan
serta tidak
dapat direduksi menjadi pengetahuan rasional.
Dalam Concluding
Unscientific Postscript, ia menyatakan bahwa “iman dimulai ketika
pemikiran berhenti,” menegaskan bahwa iman bukanlah hasil puncak pemikiran
logis, melainkan suatu keputusan eksistensial yang mengatasi logika.² Sebagai
respons terhadap rasionalisme teologis, Kierkegaard menawarkan pandangan bahwa
iman harus dipahami sebagai tindakan bebas dan personal,
bukan sebagai kesimpulan logis dari serangkaian premis teologis.³
6.2. Kontras dengan Rasionalisme Filsafat Modern
Di luar ranah
teologi, Kierkegaard juga bersilang jalan dengan pemikiran para filsuf modern
seperti Immanuel Kant dan René Descartes. Descartes, misalnya, mengedepankan
metode keraguan rasional dan menjadikan kepastian kognitif sebagai fondasi filsafat.⁴
Bagi Kierkegaard, pendekatan ini mengabaikan dimensi keberanian dan kecemasan
dalam keberadaan manusia, serta gagal memahami bahwa kebenaran
religius bukan soal kepastian logis, tetapi komitmen eksistensial
yang diambil dalam kondisi ketidakpastian.
Demikian pula dengan
Kant, yang berupaya menyelamatkan iman melalui postulat rasional dalam Critique
of Practical Reason. Bagi Kant, iman kepada Tuhan, jiwa, dan
kebebasan adalah syarat moralitas, namun tetap
ditempatkan dalam kerangka kategori rasio praktis.⁵ Kierkegaard mengkritik ini
sebagai pendekatan eksternal dan fungsional,
karena ia tidak menempatkan Tuhan sebagai tujuan eksistensial yang absolut dan
personal, melainkan sebagai syarat rasional bagi sistem etika.
6.3. Dialog dengan Tokoh Lain: Pascal dan Barth
Meskipun Kierkegaard
berselisih dengan rasionalisme, ia memiliki kedekatan intelektual dengan Blaise
Pascal, yang juga menekankan ketegangan antara iman dan nalar.
Pascal menulis bahwa “hati memiliki alasan yang tidak diketahui oleh akal,”
suatu gagasan yang sangat sejalan dengan keyakinan Kierkegaard bahwa iman
adalah bentuk pengetahuan yang hanya dapat dicapai melalui keberanian batin dan
pengakuan terhadap keterbatasan akal.⁶
Di sisi lain,
warisan Kierkegaard tampak jelas dalam pemikiran teolog Karl Barth. Barth menolak
teologi natural dan mengedepankan pewahyuan sebagai satu-satunya dasar
pengetahuan tentang Tuhan. Dalam hal ini, ia mengembangkan teologi dialektis
yang sangat dipengaruhi oleh gagasan Kierkegaard tentang lompatan iman dan
paradoks.⁷ Barth menegaskan bahwa Tuhan hanya dapat dikenal melalui tindakan
pewahyuan-Nya sendiri, bukan melalui sistem metafisika atau analogi rasional.
6.4. Signifikansi Perbandingan
Melalui perbandingan
ini, tampak bahwa Kierkegaard berupaya untuk menegaskan kembali otentisitas iman sebagai
perjumpaan personal antara manusia dan Allah, yang tidak dapat
direduksi ke dalam sistem berpikir apa pun. Baginya, iman adalah keputusan
eksistensial yang diambil dalam keterasingan, kecemasan, dan tanpa jaminan
objektif. Perbedaan fundamental antara Kierkegaard dan rasionalisme terletak
pada hakikat
kebenaran itu sendiri: rasionalisme memandang kebenaran sebagai
korespondensi logis, sedangkan Kierkegaard memahaminya sebagai kesetiaan
subjektif dalam relasi eksistensial dengan Yang Mutlak.⁸
Dengan demikian,
lompatan iman dalam pemikiran Kierkegaard menantang proyek filsafat modern yang
mencari kepastian dan justifikasi rasional, dan justru mengarahkan perhatian
kepada keterlibatan
eksistensial, keberanian moral, dan hubungan pribadi yang penuh
risiko dengan Tuhan.
Footnotes
[1]
Merold Westphal, Kierkegaard and the Philosophical Fragments
(Bloomington: Indiana University Press, 1999), 61–64.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 246.
[3]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 128–130.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125–128.
[6]
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London:
Penguin Books, 1995), fragment 277.
[7]
Karl Barth, The Epistle to the Romans, trans. Edwyn C. Hoskyns
(Oxford: Oxford University Press, 1968), x–xi.
[8]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham:
Acumen, 2005), 93–95.
7.
Relevansi
Konsep Lompatan Iman dalam Konteks Modern
Dalam dunia modern
yang ditandai oleh dominasi rasionalitas, kemajuan teknologi, dan sekularisasi,
konsep “lompatan iman” (leap of faith) dari Søren
Kierkegaard memperoleh signifikansi baru sebagai respons eksistensial terhadap
krisis makna yang melanda individu kontemporer. Dunia pasca-Enlightenment telah
meletakkan nalar sebagai tolok ukur utama dalam memahami kenyataan, sementara
agama dan pengalaman spiritual sering kali direduksi menjadi soal pribadi yang
terpinggirkan dalam wacana publik. Namun demikian, justru dalam atmosfer yang
nihilistik dan terfragmentasi inilah, lompatan iman menjadi relevan sebagai tindakan
keberanian eksistensial untuk memilih makna, harapan, dan
hubungan dengan Yang Mutlak di tengah ketidakpastian.
7.1. Kehampaan Spiritual dan Pencarian Makna
Manusia modern hidup
dalam dunia yang secara teknologis maju, namun secara eksistensial mengalami
kehampaan. Seperti yang telah diprediksi Kierkegaard, masyarakat yang
kehilangan kesadaran akan eksistensinya sendiri akan cenderung melarikan diri
dalam kesibukan, hiburan, atau sistem moral yang impersonal, namun gagal
menjawab kerinduan terdalam akan otentisitas dan makna
hidup.¹ Dalam konteks ini, lompatan iman menjadi sarana untuk
mengakui keterbatasan rasio dan membuka diri terhadap kemungkinan transendensi.
Konsep ini menggema
dalam fenomena spiritualitas modern, di mana banyak orang, terlepas dari latar
belakang agama, mulai menempuh pencarian eksistensial yang lebih bersifat
personal, intens, dan reflektif. Lompatan iman Kierkegaard tidak mewakili
kepatuhan buta terhadap dogma, melainkan tindakan sadar untuk mempercayai dalam
kegelapan, tanpa menuntut bukti absolut atau rasionalitas
sistemik.²
7.2. Lompatan Iman dalam Konteks Etika dan Keputusan
Moral
Dalam situasi moral
yang kompleks dan ambigu seperti yang sering dihadapi manusia modern—misalnya
dalam isu-isu bioetika, keadilan sosial, dan hubungan antarmanusia—pemikiran
Kierkegaard menunjukkan bahwa keputusan moral tidak selalu dapat diselesaikan
oleh hukum universal atau prinsip rasional semata. Justru dalam
situasi genting, individu dipanggil untuk bertindak dengan keyakinan yang melampaui
kepastian logis, seraya menanggung risiko eksistensial dari
tindakannya.
Hal ini sejalan
dengan pandangan dari filsuf kontemporer seperti Paul Tillich yang menekankan
bahwa iman
adalah keberanian untuk menjadi, yaitu tindakan menerima diri
dan panggilan hidup dalam ketegangan antara harapan dan keputusasaan.³ Dalam
kondisi sosial yang dipenuhi relativisme dan disorientasi moral, lompatan iman
menawarkan orientasi baru yang bersifat personal dan eksistensial, bukan karena
bebas nilai, melainkan karena menuntut keterlibatan utuh dan keberanian batin.
7.3. Lompatan Iman dan Krisis Epistemik Zaman Digital
Era digital
memperkuat krisis epistemik: arus informasi yang deras, kaburnya batas antara
fakta dan opini, serta berkembangnya ketidakpercayaan terhadap otoritas
kebenaran konvensional. Dalam kondisi ini, banyak individu terjebak dalam sikap
skeptis atau sinis yang paralel dengan kecemasan eksistensial Kierkegaardian.⁴
Lompatan iman dapat dipahami sebagai jawaban alternatif terhadap krisis
ini—bukan dengan menyangkal nalar, melainkan dengan mengakui
keterbatasan rasionalitas dan memilih untuk mempercayai sesuatu secara
eksistensial.
Kierkegaard menolak
argumen apologetik yang mencoba membuktikan iman melalui logika; baginya,
kekuatan iman justru terletak pada keteguhan pribadi yang berani melampaui
bukti dan statistik. Di tengah dunia yang menuntut jaminan dan validasi
terus-menerus, lompatan iman menawarkan ruang bagi kepercayaan
yang membebaskan, karena tidak tergantung pada validasi
eksternal.⁵
7.4. Spiritualitas Post-Sekular dan Lompatan Iman
Fenomena “post-secular
turn” dalam filsafat dan sosiologi agama—seperti dikemukakan oleh Jürgen
Habermas—menunjukkan bahwa narasi sekularisasi yang total mulai dipertanyakan.⁶
Banyak individu kembali menggali pengalaman religius atau transenden, bukan
dalam bentuk ortodoksi dogmatis, tetapi dalam bentuk pencarian eksistensial yang
sangat sejalan dengan semangat Kierkegaard. Dalam konteks ini, lompatan iman
menjadi representasi spiritualitas baru: beriman bukan karena kepastian, tetapi justru
karena keraguan yang dihadapi dengan kejujuran dan keberanian.
7.5. Implikasi Terhadap Pendidikan, Psikologi, dan
Budaya
Dalam bidang
pendidikan, pemikiran Kierkegaard mendorong pendekatan pedagogis yang
menekankan pengalaman subjektif dan keterlibatan personal,
bukan sekadar transfer pengetahuan objektif.⁷ Dalam psikologi eksistensial,
seperti dikembangkan oleh Viktor Frankl dan Rollo May, konsep keberanian untuk
menghadapi absurditas dan penderitaan demi makna sangat sejalan dengan gagasan
lompatan iman.
Di ranah budaya
populer, tema lompatan iman muncul dalam narasi-narasi film, sastra, dan seni
yang menggambarkan tokoh-tokoh yang menghadapi ketidakpastian, mengambil
risiko, dan menemukan makna hidup dalam situasi paradoksal—dari kisah Les
Misérables hingga The Matrix. Ini menunjukkan bahwa
meski lahir dari abad ke-19, gagasan Kierkegaard tetap hidup dalam kesadaran
kultural modern.
Kesimpulan Sub-Bagian
Secara keseluruhan,
relevansi konsep lompatan iman dalam konteks modern terletak pada kemampuannya
untuk menawarkan
jalan spiritual yang otentik di tengah runtuhnya fondasi-fondasi rasionalitas
dan kepastian modernitas. Lompatan ini bukan bentuk
irasionalitas buta, melainkan respon mendalam terhadap keterbatasan manusia,
absurditas dunia, dan kerinduan akan hubungan dengan Yang Transenden.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, gagasan Kierkegaard tetap menjadi
cahaya bagi mereka yang berani mempercayai—bukan karena kepastian, tetapi
justru karena absurditas.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair
Hannay (London: Penguin Books, 1989), 51–54.
[2]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham:
Acumen, 2005), 99–101.
[3]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 39–41.
[4]
Merold Westphal, Kierkegaard and the Ethics of Postmodernism
(Bloomington: Indiana University Press, 1996), 76–79.
[5]
C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1998), 94–95.
[6]
Jürgen Habermas, Religion and Rationality: Essays on Reason, God
and Modernity, ed. Eduardo Mendieta (Cambridge, MA: MIT Press, 2002),
74–77.
[7]
David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford:
Blackwell, 1999), 126–128.
8.
Kritik
terhadap Konsep Lompatan Iman
Meskipun konsep “lompatan
iman” (leap of faith) Søren Kierkegaard
memberikan kontribusi penting dalam ranah filsafat eksistensial dan teologi
modern, gagasan ini tidak luput dari berbagai kritik serius, baik dari
perspektif filsafat analitik, etika, maupun teologi rasional. Kritik-kritik
tersebut umumnya mempertanyakan validitas epistemologis, implikasi
moral, dan potensi problematis dari
menempatkan iman dalam kerangka yang sepenuhnya subjektif dan paradoksikal.
8.1. Kritik Epistemologis: Apakah Iman Menjadi Arbitrer?
Salah satu kritik
utama terhadap konsep lompatan iman datang dari para filsuf berhaluan analitik
seperti Bertrand Russell dan Antony Flew, yang menyatakan bahwa mempercayai
sesuatu tanpa dasar rasional yang cukup membuka kemungkinan terhadap
kepercayaan yang sewenang-wenang (arbitrer).¹ Bila kriteria
rasionalitas tidak lagi dijadikan pijakan, maka setiap keyakinan—tak peduli
seaneh atau seabsurd apa pun—bisa saja dibenarkan atas nama "iman".
Dalam kerangka ini, lompatan iman justru mengaburkan batas antara keyakinan autentik dan
kepercayaan irasional.
Filsuf analitik
Alvin Plantinga, meskipun tidak secara langsung menolak iman, menekankan
perlunya “warrant” atau pembenaran epistemik
bagi kepercayaan religius.² Ia menyatakan bahwa iman yang rasional tetap perlu
memiliki struktur kognitif yang masuk akal, bukan hanya berdasarkan kehendak
atau pengalaman subjektif. Dalam perspektif ini, konsep iman Kierkegaard
dinilai terlalu subjektif dan rentan terhadap
relativisme epistemik.
8.2. Kritik Etis: Potensi untuk Menjustifikasi Fanatisme
Lompatan iman juga
dikritik karena dapat membuka ruang pembenaran terhadap
tindakan-tindakan yang secara moral keliru, apabila dilakukan
atas nama “iman kepada Tuhan”. Hal ini menjadi sorotan tajam dalam
diskusi tentang teleological suspension of the ethical—gagasan
Kierkegaard bahwa perintah Tuhan dapat melampaui hukum etika umum, seperti
dalam kasus Abraham yang hampir mengorbankan Ishak.³
Filsuf Emmanuel
Levinas menganggap pendekatan semacam ini berbahaya, karena memberi
tempat bagi tindakan irasional yang mengabaikan martabat manusia atas nama
wahyu atau otoritas transenden.⁴ Dalam dunia kontemporer yang rentan terhadap
ekstremisme dan kekerasan berbasis agama, interpretasi lompatan iman yang
membenarkan tindakan ekstrem atas dasar “ketaatan kepada yang ilahi”
sangat problematik jika tidak dikritisi secara etis.
8.3. Kritik dari Teologi Rasional dan Reformasi
Dari sisi teologi,
beberapa kalangan Protestan ortodoks maupun Katolik menilai konsep iman
Kierkegaard terlalu individualistis dan emosional,
sehingga mengabaikan dimensi komunitas, tradisi, dan rasionalitas iman. Thomas
Aquinas, misalnya, mengajukan bahwa iman tetap membutuhkan dasar rasional yang
dapat dipertanggungjawabkan secara argumentatif.⁵ Dalam Summa
Theologiae, Aquinas menegaskan bahwa rasio
dan wahyu saling melengkapi, dan iman tidak bisa dilepaskan
sepenuhnya dari akal budi.
Demikian pula,
teolog reformasi seperti B. B. Warfield menekankan bahwa iman
Kristen adalah respons terhadap wahyu Allah yang obyektif, dan
bukan keputusan personal yang melampaui nalar.⁶ Dalam pandangan ini,
Kierkegaard dianggap terlalu menekankan aspek eksistensial, sehingga
mengaburkan kekuatan historis dan objektif dari penyataan ilahi dalam Alkitab.
8.4. Problematika Psikologis: Antara Iman dan
Keputusasaan
Beberapa psikolog
eksistensial dan fenomenolog seperti Rollo May dan Viktor Frankl memuji
pendekatan Kierkegaard terhadap kecemasan dan eksistensi, tetapi tetap mengkhawatirkan
potensi destruktif dari tindakan melompat dalam absurditas tanpa integrasi
psikologis yang matang.⁷ Keputusan iman yang tidak disertai
proses reflektif dan pemahaman diri dapat menimbulkan disosiasi
atau ketegangan internal, yang bukannya membawa penyembuhan
eksistensial, tetapi justru memperdalam keputusasaan.
8.5. Kritik Hermeneutis: Tantangan Interpretasi dan
Ambiguitas
Sebagai seorang penulis
yang gemar menggunakan pseudonim, gaya ironis, dan struktur naratif yang
kompleks, Kierkegaard sering menyampaikan gagasannya secara tidak langsung. Hal
ini memunculkan tantangan hermeneutis, karena
pembaca kerap kesulitan membedakan antara pandangan pribadi Kierkegaard dengan
posisi yang diwakili tokoh-tokoh fiktifnya seperti Johannes de Silentio atau
Anti-Climacus.⁸ Akibatnya, konsep lompatan iman bisa ditafsirkan secara
beragam—dari tindakan keberanian spiritual hingga bentuk fideisme ekstrem—dan
tidak mudah untuk membedakan mana tafsiran yang paling setia kepada intensi
Kierkegaard.
Kesimpulan Sub-Bagian
Kritik terhadap
konsep lompatan iman tidak serta-merta meniadakan nilai filosofisnya, melainkan
mengajak
pada pembacaan yang lebih hati-hati, kritis, dan kontekstual.
Sebagai sebuah tawaran eksistensial, konsep ini tetap memiliki kekuatan untuk
menantang kemapanan rasionalitas modern dan membuka ruang bagi pemaknaan
spiritual yang otentik. Namun, agar tidak terjerumus dalam relativisme,
fanatisme, atau subjektivisme ekstrem, gagasan ini perlu
didialogkan secara kritis dengan pendekatan-pendekatan lain dalam filsafat,
teologi, dan ilmu-ilmu humaniora.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, Religion and Science (New York: Oxford
University Press, 1935), 17–18.
[2]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 179–182.
[3]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 61–67.
[4]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh, PA: Duquesne University Press, 1969),
244–246.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.1.1, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[6]
B. B. Warfield, The Inspiration and Authority of the Bible
(Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed Publishing, 1948), 65–70.
[7]
Rollo May, The Courage to Create (New York: W. W. Norton &
Company, 1975), 83–85; Viktor E. Frankl, The Doctor and the Soul: From
Psychotherapy to Logotherapy (New York: Vintage Books, 1986), 62.
[8]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard (Chesham:
Acumen, 2005), 98–100.
9.
Penutup
Konsep lompatan iman (leap of faith)
yang dikemukakan oleh Søren Kierkegaard merupakan respons eksistensial yang
mendalam terhadap krisis modernitas, rasionalisme, dan kekeringan spiritual
yang merajalela di abad ke-19 dan terus bergema hingga hari ini. Dengan menolak
pendekatan sistematik-rasional ala Hegel dan menegaskan pentingnya
subjektivitas dalam pengalaman religius, Kierkegaard memperkenalkan paradigma
baru dalam memahami iman: bukan sebagai hasil dari bukti atau argumen logis,
melainkan sebagai keputusan radikal dan personal untuk mempercayai Yang
Mutlak dalam kondisi ketidakpastian, absurditas, dan paradoks.¹
Melalui kerangka tiga tahapan eksistensial—estetik,
etik, dan religius—Kierkegaard tidak hanya merumuskan struktur pertumbuhan
rohani manusia, tetapi juga menekankan bahwa puncak keberadaan manusia terletak
pada keberanian eksistensial untuk mengambil risiko iman, bukan pada
pencapaian rasionalitas objektif.² Di sini, iman tidak sekadar mengisi
kekosongan logika, tetapi menandai keterlibatan total diri dalam relasi
dengan Tuhan.³ Lompatan iman adalah penegasan terhadap kemungkinan tertinggi
eksistensi: menjadikan yang mustahil sebagai mungkin, bukan dengan argumen,
tetapi dengan keyakinan penuh pengharapan dan cinta.
Namun demikian, lompatan iman juga bukan tanpa
tantangan. Berbagai kritik dari filsafat analitik, teologi rasional, hingga
etika kontemporer menunjukkan bahwa penekanan Kierkegaard pada subjektivitas
dapat menimbulkan risiko relativisme, fideisme, bahkan justifikasi fanatisme,
bila tidak dibaca dalam kerangka eksistensial yang utuh dan bertanggung jawab.⁴
Oleh sebab itu, pemahaman atas konsep ini harus disertai dengan kesadaran
hermeneutis, historis, dan kontekstual agar tidak jatuh dalam penyalahgunaan
makna atau simplifikasi.
Dalam konteks modern dan post-sekular, relevansi
lompatan iman tampak semakin nyata. Dunia yang semakin kompleks, cair, dan
nihilistik menuntut manusia untuk mencari makna di luar kepastian objektif. Di
tengah fragmentasi nilai dan kegagalan sistem rasional untuk memberikan
kepenuhan spiritual, gagasan Kierkegaard menawarkan jalan iman yang otentik
dan penuh keberanian—sebuah ajakan untuk tetap berharap dan percaya, bukan
karena segala sesuatu telah jelas, tetapi justru karena kegelapan dan keraguan
telah dihadapi dengan jujur.⁵
Akhirnya, pemikiran Kierkegaard tidak hanya menawarkan
suatu teori iman, tetapi juga suatu etos eksistensial yang menantang
manusia modern untuk mengambil sikap: apakah ia akan terus berlindung dalam
kenyamanan rasionalitas, ataukah ia akan berani melangkah ke dalam
ketidakpastian dengan iman sebagai keberanian tertinggi? Dalam lompatan iman,
kita tidak menemukan jaminan, tetapi kita menemukan diri. Dan dalam
penemuan itu, manusia menyentuh kemungkinan terdalam dari eksistensinya sebagai
makhluk yang terhubung dengan Yang Tak Terbatas.⁶
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H.
Hong (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 201–204.
[2]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 101–103.
[3]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of
Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN:
Purdue University Press, 1996), 89.
[4]
George Pattison, The Philosophy of Kierkegaard
(Chesham: Acumen, 2005), 93–95.
[5]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 58.
[6]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 66–69.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
(Karya asli ditulis pada abad ke-13)
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
(Karya asli diterbitkan 1641)
Evans, C. S. (1998). Faith beyond reason.
Edinburgh University Press.
Evans, C. S. (2009). Kierkegaard: An
introduction. Cambridge University Press.
Frankl, V. E. (1986). The doctor and the soul:
From psychotherapy to logotherapy (Rev. ed.). Vintage Books.
Garff, J. (2005). Søren Kierkegaard: A biography
(B. H. Kirmmse, Trans.). Princeton University Press.
Habermas, J. (2002). Religion and rationality:
Essays on reason, God and modernity (E. Mendieta, Ed.). MIT Press.
Hannay, A. (2001). Kierkegaard: A biography.
Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
(Karya asli diterbitkan 1843)
Kierkegaard, S. (1987). Either/Or: Parts I and
II (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press.
(Karya asli diterbitkan 1843)
Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
(Karya asli diterbitkan 1849)
Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific
postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong,
Trans.). Princeton University Press.
(Karya asli diterbitkan 1846)
Kierkegaard, S. (1968). Attack upon Christendom
(W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press.
(Karya asli diterbitkan 1855)
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
May, R. (1975). The courage to create. W. W.
Norton & Company.
Pascal, B. (1995). Pensées (A. J.
Krailsheimer, Trans.). Penguin Books.
(Karya asli ditulis ca. 1660-an)
Pattison, G. (2005). The philosophy of
Kierkegaard. Acumen.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Russell, B. (1935). Religion and science.
Oxford University Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Warfield, B. B. (1948). The inspiration and
authority of the Bible. Presbyterian and Reformed Publishing.
Westphal, M. (1996). Becoming a self: A reading
of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript. Purdue University
Press.
Westphal, M. (1999). Kierkegaard and the
philosophical fragments. Indiana University Press.
Westphal, M. (1996). Kierkegaard and the ethics
of postmodernism. Indiana University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar