Implementasi Pendidikan Karakter
Fondasi Generasi Berakhlak dan Berdaya Saing di Era
Global
Alihkan ke: Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter.
Ilmu Pendidikan, Moralitas, Etika.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep,
dasar hukum, strategi implementasi, serta tantangan dan praktik baik pendidikan
karakter dalam konteks sistem pendidikan nasional Indonesia. Di tengah era
globalisasi dan disrupsi teknologi abad ke-21, pendidikan karakter menjadi
kebutuhan mendesak untuk membentuk generasi yang tidak hanya unggul secara
akademik, tetapi juga kokoh dalam nilai moral, sosial, dan spiritual.
Pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional Indonesia berlandaskan
nilai-nilai Pancasila dan diperkuat oleh kerangka regulasi seperti Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 serta Permendikbud No. 20 Tahun 2018. Strategi
implementasi yang dianalisis meliputi pendekatan holistik, integrasi nilai
dalam pembelajaran, budaya sekolah, keteladanan guru, serta peran keluarga dan
masyarakat. Artikel ini juga mengulas studi kasus nasional dan internasional
untuk menunjukkan efektivitas pendidikan karakter berbasis konteks. Dengan
demikian, pendidikan karakter diharapkan menjadi fondasi utama dalam menyiapkan
peserta didik yang berdaya saing global tanpa kehilangan jati diri kebangsaan.
Kata kunci: Pendidikan
karakter, nilai-nilai Pancasila, strategi implementasi, abad ke-21, regulasi
pendidikan, budaya sekolah, global competence.
Kata
Pengantar
Pendidikan karakter telah menjadi fokus strategis
dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, terutama di tengah kompleksitas
tantangan abad ke-21 yang ditandai oleh derasnya arus globalisasi, disrupsi
teknologi, serta krisis nilai dan moralitas di kalangan generasi muda. Dunia
pendidikan tidak lagi cukup hanya mentransfer pengetahuan (transfer of
knowledge), melainkan juga harus menanamkan nilai-nilai luhur (transfer of value)
sebagai fondasi pembentukan kepribadian peserta didik.
Dalam konteks Indonesia, urgensi pendidikan
karakter semakin nyata ketika degradasi moral, intoleransi, serta budaya instan
menggerus nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi jati diri bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan karakter bukanlah sekadar program tambahan, melainkan
merupakan inti dari proses pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”¹
Pemerintah Indonesia melalui Permendikbud No. 20
Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter secara eksplisit
mengarahkan agar seluruh satuan pendidikan menanamkan lima nilai utama karakter
yang bersumber dari Pancasila, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong
royong, dan integritas.² Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) ini dirancang
tidak hanya sebagai pendekatan pedagogis, tetapi juga sebagai gerakan budaya
sekolah yang holistik, integratif, dan kontekstual, mencakup lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat.³
Artikel ini disusun untuk memberikan pemahaman yang
mendalam dan menyeluruh tentang konsep, regulasi, strategi implementasi, serta
tantangan dan solusi dalam pendidikan karakter di Indonesia. Dengan landasan
filosofis, yuridis, dan teoritis yang kuat, artikel ini diharapkan dapat
menjadi referensi bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan pemangku
kepentingan lainnya dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga kuat dalam moral, sosial, dan spiritual.
Semoga artikel ini memberikan kontribusi nyata
dalam memperkuat komitmen kita bersama untuk membentuk generasi bangsa yang
berkarakter unggul dan siap menghadapi tantangan global dengan tetap berpijak
pada nilai-nilai luhur kebangsaan dan keagamaan.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional, 2003), Pasal 3.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan
Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Bab II Pasal 2.
[3]
Muhammad Zuhri, “Pendidikan Karakter dalam
Perspektif Pendidikan Islam dan Kebijakan Nasional,” Tadrib: Jurnal
Pendidikan Agama Islam 5, no. 1 (Juni 2020): 45–56.
PEMBAHASAN
Pendidikan Karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional
1.
Pendahuluan
Era globalisasi dan revolusi industri 4.0 telah
membawa perubahan besar dalam struktur sosial, budaya, dan pendidikan.
Teknologi informasi berkembang sangat cepat, menghadirkan kemudahan akses
terhadap pengetahuan dan komunikasi, tetapi juga menimbulkan tantangan baru,
terutama terkait lunturnya nilai-nilai moral dan karakter generasi muda.
Fenomena dekadensi moral, intoleransi, kekerasan di kalangan pelajar, hingga
maraknya penyalahgunaan media sosial menunjukkan bahwa pembangunan karakter
menjadi kebutuhan mendesak dalam sistem pendidikan kita.¹
Pendidikan bukan semata-mata sarana untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam aspek kognitif, tetapi juga memiliki misi
penting untuk membentuk manusia Indonesia yang berakhlak mulia, berintegritas,
dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Dalam konteks ini, pendidikan
karakter menjadi fondasi utama dalam membangun sumber daya manusia yang tidak
hanya unggul secara intelektual, tetapi juga utuh secara kepribadian.²
Kondisi ini selaras dengan amanat Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan
bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”_³ Tujuan ini
menempatkan pendidikan karakter sebagai inti dari proses pendidikan, bukan
sekadar pelengkap atau kegiatan tambahan.
Pemerintah Indonesia telah merespons kebutuhan ini
melalui berbagai kebijakan, terutama melalui Program Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) yang tercantum dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018.
PPK berupaya mengintegrasikan nilai-nilai utama karakter—religius, nasionalis,
mandiri, gotong royong, dan integritas—ke dalam proses pembelajaran, budaya
sekolah, serta keterlibatan orang tua dan masyarakat.⁴
Namun, implementasi pendidikan karakter di
sekolah-sekolah masih menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya adalah
ketidaksiapan pendidik dalam mengintegrasikan nilai karakter secara efektif,
kurangnya dukungan lingkungan sosial, serta lemahnya evaluasi yang berorientasi
pada perkembangan karakter siswa. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang komprehensif
dan strategi implementasi yang sistematis agar pendidikan karakter benar-benar
membentuk generasi yang mampu bersaing secara global tanpa kehilangan jati
diri.
Artikel ini akan menguraikan secara sistematis
dasar filosofis dan yuridis pendidikan karakter di Indonesia, konsep-konsep
utama yang melandasinya, strategi implementasi yang relevan di satuan
pendidikan, serta tantangan dan solusi untuk memastikan keberhasilan pendidikan
karakter dalam sistem pendidikan nasional.
Footnotes
[1]
Arifin Rahman, “Pendidikan Karakter di Era
Globalisasi: Tantangan dan Peluang,” Jurnal Pendidikan Karakter 10, no.
1 (2020): 14–16.
[2]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 6–8.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional, 2003), Pasal 3.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018
tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal
(Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.
2.
Landasan
Filosofis dan Yuridis Pendidikan Karakter
2.1.
Nilai-Nilai Karakter dalam
Pancasila dan Budaya Bangsa
Pendidikan karakter
di Indonesia berakar kuat pada nilai-nilai luhur bangsa yang terhimpun dalam
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Setiap sila dalam
Pancasila mencerminkan nilai-nilai moral yang membentuk kerangka etika kolektif
masyarakat Indonesia: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan
keadilan sosial.¹ Dalam konteks pendidikan, Pancasila bukan sekadar dokumen
ideologis, melainkan menjadi fondasi pembentukan karakter peserta didik sebagai
warga negara yang bertanggung jawab dan bermoral.²
Selain itu, budaya
bangsa Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong
royong, musyawarah, toleransi, dan sopan santun juga menjadi sumber penting
dalam pembentukan karakter. Pendidikan karakter yang berlandaskan pada budaya
lokal akan lebih kontekstual dan mudah diterima peserta didik, karena
nilai-nilai tersebut telah hidup dalam keseharian masyarakat.³
2.2.
Pendidikan Karakter dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
Secara yuridis,
pendidikan karakter mendapat legitimasi kuat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia…
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”_⁴
Redaksi ini menunjukkan bahwa dimensi afektif dan karakter memiliki posisi
sentral dalam sistem pendidikan nasional.
Lebih lanjut, Pasal
1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya dalam aspek spiritual, intelektual, dan
sosial.⁵ Hal ini memperkuat bahwa pembangunan karakter bukan sekadar pelengkap
kurikulum, melainkan tujuan utama pendidikan itu sendiri.
2.3.
Permendikbud No. 20 Tahun
2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter
Sebagai bentuk
operasionalisasi dari amanat undang-undang tersebut, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menerbitkan Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Regulasi ini memuat lima nilai
utama karakter yang bersumber dari Pancasila, yaitu religius, nasionalis,
mandiri, gotong royong, dan integritas.⁶ Nilai-nilai ini diharapkan menjadi roh
dalam seluruh aktivitas pendidikan, baik dalam pembelajaran intrakurikuler,
kokurikuler, maupun ekstrakurikuler.
PPK menekankan bahwa
penguatan pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik dan integratif,
mencakup lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sekolah diarahkan
menjadi pusat pembudayaan nilai-nilai karakter melalui keteladanan guru,
pembiasaan dalam keseharian, serta kegiatan yang kontekstual.⁷ Dengan demikian,
pendidikan karakter tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupi dan dialami
secara nyata.
2.4.
Visi Pendidikan Nasional
dan Pembangunan Karakter
Dalam kerangka
pembangunan jangka panjang, pendidikan karakter menjadi bagian integral dari
visi pendidikan nasional untuk membentuk Profil Pelajar Pancasila,
sebagaimana tertuang dalam kebijakan Merdeka Belajar. Pelajar Pancasila
digambarkan sebagai individu yang beriman dan bertakwa, berkebhinekaan global,
bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.⁸ Konsep ini menegaskan
bahwa pendidikan karakter bukan hanya menanamkan moralitas, tetapi juga
membekali peserta didik dengan kompetensi abad 21 yang berkarakter.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
52–55.
[2]
Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap
Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 2013), 14–15.
[3]
Dedi Supriadi, “Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Pendidikan Karakter,” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 18, no. 3 (2012): 329–340.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional,
2003), Pasal 3.
[5]
Ibid., Pasal 1 Ayat 1.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud,
2018), Pasal 2.
[7]
Ibid., Bab III Pasal 4.
[8]
Kemendikbudristek, Profil Pelajar Pancasila, accessed May 15,
2025, https://kurikulum.kemdikbud.go.id.
3.
Konsep
dan Ruang Lingkup Pendidikan Karakter
3.1.
Definisi Pendidikan
Karakter
Pendidikan karakter
merupakan proses internalisasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual ke dalam
diri peserta didik untuk membentuk pribadi yang utuh, bertanggung jawab, dan berintegritas.
Thomas Lickona, tokoh penting dalam bidang pendidikan karakter, mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai “a deliberate effort to help people understand,
care about, and act upon core ethical values.”_¹ Dengan kata lain,
pendidikan karakter tidak hanya berfokus pada pembentukan pemahaman nilai,
tetapi juga pembiasaan sikap dan tindakan yang mencerminkan nilai tersebut.
Di Indonesia,
pendidikan karakter juga dipahami sebagai upaya sistematis dan terencana untuk
menanamkan nilai-nilai kebajikan universal seperti kejujuran, kepedulian, kerja
keras, dan tanggung jawab ke dalam kehidupan peserta didik, baik melalui
pembelajaran formal maupun interaksi sosial di lingkungan pendidikan.²
3.2.
Ciri-Ciri Pendidikan
Karakter yang Efektif
Pendidikan karakter
yang berhasil memiliki beberapa ciri utama. Pertama, pendidikan karakter harus
bersifat holistik, mencakup aspek
kognitif (pengetahuan nilai), afektif (penghayatan nilai), dan psikomotorik
(pengamalan nilai).³ Kedua, pendekatan yang digunakan harus integratif,
yakni menggabungkan pengajaran nilai dalam seluruh aktivitas sekolah, baik
melalui kurikulum, budaya sekolah, maupun keteladanan guru.⁴ Ketiga, pendidikan
karakter harus bersifat kontekstual, yaitu disesuaikan
dengan kondisi sosial, budaya, dan usia peserta didik.⁵
3.3.
Dimensi Nilai Utama
Pendidikan Karakter
Pemerintah Indonesia
melalui Permendikbud
No. 20 Tahun 2018 menetapkan lima nilai utama karakter sebagai
kerangka nilai dalam penguatan pendidikan karakter:
1)
Religius –
Menumbuhkan akhlak mulia, toleransi antarumat beragama, serta semangat ibadah
sebagai landasan spiritual.
2)
Nasionalis –
Menanamkan cinta tanah air, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi
kebinekaan.
3)
Mandiri –
Mendorong semangat belajar, pantang menyerah, dan kemampuan mengambil keputusan
sendiri.
4)
Gotong Royong –
Mengembangkan kepedulian sosial, kerja sama, dan semangat solidaritas.
5)
Integritas –
Menanamkan kejujuran, konsistensi, dan tanggung jawab moral dalam tindakan
sehari-hari.⁶
Kelima nilai ini
tidak diajarkan secara terpisah, melainkan dijalankan secara terintegrasi dalam
seluruh aktivitas pendidikan.
3.4.
Hubungan Pendidikan
Karakter dengan Kecerdasan Sosial dan Emosional
Pendidikan karakter
memiliki keterkaitan erat dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence)
dan kecerdasan
sosial (social intelligence), dua aspek penting dalam
perkembangan peserta didik di era modern. Daniel Goleman menyatakan bahwa
keberhasilan seseorang di masa depan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan
mengelola emosi, bekerja sama, dan menyelesaikan konflik secara sehat daripada
sekadar kemampuan akademik.⁷ Oleh karena itu, pendidikan karakter harus membina
empati, keterampilan sosial, dan kesadaran diri dalam proses pembelajaran.
Di samping itu,
pendidikan karakter juga mendukung pembentukan habitus moral yang kuat, yaitu
kecenderungan untuk berbuat baik secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya membentuk generasi yang
cerdas, tetapi juga bijak, peduli, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri,
sesama, bangsa, dan lingkungan global.
Footnotes
[1]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6.
[2]
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Penguatan Pendidikan Karakter di
Sekolah Menengah Pertama (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 3–4.
[3]
Winarno Surakhmad, Pendidikan dalam Pembangunan Nasional
(Bandung: Tarsito, 1990), 87–89.
[4]
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter
Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 112–114.
[5]
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk
Membangun Bangsa (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2007), 45–47.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan
Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.
[7]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 34–36.
4.
Strategi
Implementasi Pendidikan Karakter di Satuan Pendidikan
4.1.
Pendekatan
Holistik-Integratif
Implementasi
pendidikan karakter di satuan pendidikan membutuhkan pendekatan holistik-integratif,
yaitu menyatukan nilai-nilai karakter ke dalam seluruh aspek kegiatan sekolah: intra-kurikuler,
ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler. Pendekatan ini menegaskan
bahwa pendidikan karakter bukanlah mata pelajaran terpisah, melainkan bagian
tak terpisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan.¹
Sebagaimana
dijelaskan dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018,
nilai-nilai utama seperti religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan
integritas harus terimplementasi melalui pembelajaran berbasis nilai,
pembiasaan, dan keteladanan.² Dengan demikian, strategi pendidikan karakter
menuntut sinergi antara kegiatan akademik, budaya sekolah, dan partisipasi
komunitas sekolah.
4.2.
Peran Guru sebagai Teladan
dan Fasilitator
Guru memegang posisi
sentral dalam keberhasilan pendidikan karakter. Selain sebagai pengajar, guru
juga adalah pendidik nilai (value educator)
yang menanamkan karakter melalui keteladanan sikap, tutur kata, dan interaksi
sehari-hari.³ Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa “pendidikan itu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.”_⁴ Dalam konteks ini, keteladanan guru bukan hanya
ajaran, tetapi juga teladan hidup yang membentuk karakter siswa secara
langsung.
Guru juga bertindak
sebagai fasilitator, yaitu membimbing peserta didik melalui metode pembelajaran
aktif, partisipatif, dan reflektif. Misalnya, melalui pembelajaran berbasis
proyek (Project-Based Learning) atau pembelajaran berbasis nilai (Value-Based
Learning), peserta didik dapat mengalami proses internalisasi nilai secara kontekstual
dan bermakna.⁵
4.3.
Integrasi Nilai Karakter
dalam Proses Pembelajaran
Strategi
implementasi karakter yang efektif harus dilakukan melalui integrasi
nilai dalam semua mata pelajaran, baik secara implisit maupun
eksplisit. Setiap guru, terlepas dari bidang studi yang diajarkannya, memiliki
tanggung jawab untuk mengaitkan materi ajar dengan nilai-nilai karakter yang
relevan.⁶
Contohnya, dalam
pelajaran sejarah, nilai nasionalisme dan integritas dapat ditanamkan melalui
pengenalan tokoh-tokoh perjuangan bangsa; dalam pelajaran sains, nilai
kejujuran akademik dan tanggung jawab sosial dapat ditanamkan melalui
eksperimen ilmiah. Integrasi ini mendorong peserta didik memahami bahwa
nilai-nilai karakter bukan sesuatu yang terpisah dari ilmu, melainkan menyatu
dalam praktik kehidupan nyata.
4.4.
Budaya Sekolah sebagai
Ekosistem Karakter
Budaya
sekolah (school culture) adalah ruang utama pembentukan
karakter peserta didik. Sekolah yang memiliki budaya positif, seperti saling
menghormati, disiplin, peduli, dan demokratis akan membentuk lingkungan yang
kondusif bagi pembelajaran nilai.⁷
Pembiasaan seperti kantin
kejujuran, upacara bendera yang bermakna, piket
kelas bersama, dan forum musyawarah siswa merupakan
wujud konkret dari budaya karakter yang membentuk habitus moral peserta didik.
Budaya sekolah yang kuat dan konsisten akan memperkuat internalisasi nilai
secara tidak langsung namun mendalam.
4.5.
Kolaborasi dengan Orang Tua
dan Masyarakat
Pendidikan karakter
tidak dapat dibebankan hanya pada sekolah. Dukungan dan keterlibatan orang tua
serta masyarakat sangat penting sebagai bagian dari trisentra
pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara.⁸
Sekolah perlu
menjalin komunikasi dan kerja sama yang erat dengan keluarga dalam hal
pembinaan karakter. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan parenting
education, forum silaturahmi, serta pelibatan orang tua dalam aktivitas sosial
sekolah. Di sisi lain, keterlibatan masyarakat lokal—termasuk tokoh agama,
lembaga adat, dan komunitas profesional—dapat memperkaya wawasan karakter dan
memperluas cakupan pembelajaran sosial peserta didik.
Footnotes
[1]
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter
Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 107–109.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud,
2018), Pasal 2.
[3]
Dedi Supriadi, “Revitalisasi Peran Guru dalam Penguatan Karakter
Bangsa,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 20, no. 1 (2014): 23–24.
[4]
Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap
Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 2013), 12.
[5]
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk
Membangun Bangsa (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2007), 58–61.
[6]
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Penguatan Pendidikan Karakter di
Sekolah Menengah Pertama (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
2017), 11–13.
[7]
Suyanto, “Membangun Budaya Sekolah sebagai Basis Penguatan Karakter,” Jurnal
Pendidikan Karakter 6, no. 2 (2016): 159–160.
[8]
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Kedua: Pendidikan, ed. Soewardi
(Yogyakarta: Tamansiswa, 1962), 44–45.
5.
Pendidikan
Karakter dalam Konteks Abad 21
5.1.
Tantangan Global dan
Transformasi Pendidikan
Abad ke-21 ditandai
oleh perubahan sosial yang cepat dan masif, seperti kemajuan teknologi digital,
globalisasi ekonomi, mobilitas manusia yang tinggi, serta krisis identitas
budaya. Dalam konteks ini, pendidikan tidak lagi cukup berorientasi pada capaian
akademik semata, melainkan juga pada pengembangan kompetensi dan karakter
peserta didik agar mampu hidup, beradaptasi, dan berkontribusi dalam masyarakat
global yang kompleks.¹
Kemampuan berpikir
kritis, kolaborasi, kreativitas, komunikasi, serta literasi teknologi dan
budaya menjadi prasyarat mutlak untuk bertahan di era disrupsi. Namun, semua
kecakapan tersebut akan sia-sia jika tidak dilandasi dengan karakter kuat
seperti kejujuran, empati, integritas, dan tanggung jawab sosial.² Di sinilah
letak urgensi integrasi pendidikan karakter dalam desain pendidikan abad ke-21.
5.2.
Keterkaitan Pendidikan
Karakter dan Kecakapan Abad 21
Pendidikan karakter
dan kecakapan abad 21 bukan dua entitas yang terpisah, melainkan saling
melengkapi. Model pendidikan abad 21 seperti yang dikembangkan oleh Partnership
for 21st Century Learning (P21) menggabungkan keterampilan kognitif
dan nilai-nilai karakter dalam satu kesatuan.³ Model ini meliputi:
·
Life and Career
Skills (ketekunan, tanggung jawab, fleksibilitas)
·
Learning and Innovation
Skills (berpikir kritis, kreatif, kolaboratif)
·
Information, Media
and Technology Skills (literasi digital)
·
Core Subjects
(mata pelajaran inti yang diintegrasikan dengan nilai-nilai karakter)
Dengan demikian,
pendidikan karakter menjadi fondasi bagi pembelajaran kontekstual yang relevan
dengan tuntutan zaman.
5.3.
Pendidikan Karakter di Era
Digital dan Media Sosial
Perkembangan
teknologi informasi menghadirkan peluang besar sekaligus tantangan serius dalam
pendidikan karakter. Di satu sisi, media digital dapat digunakan untuk
menyampaikan pesan moral secara luas, cepat, dan kreatif. Di sisi lain, peserta
didik rentan terhadap konten negatif seperti hoaks, ujaran kebencian,
pornografi, dan budaya konsumtif.⁴
Oleh karena itu,
pendidikan karakter di era digital harus disertai dengan penguatan digital
literacy dan digital ethics, yaitu kemampuan
memilah informasi, berpikir kritis terhadap konten daring, serta bersikap etis
dalam interaksi di ruang maya.⁵ Guru dan orang tua memiliki tanggung jawab
penting dalam membimbing anak-anak agar menjadi netizen yang bijak, bertanggung
jawab, dan berintegritas.
5.4.
Urgensi Global Competence
dan Karakter Multikultural
Organisasi OECD
dalam program PISA 2018 menekankan pentingnya global
competence, yaitu kemampuan memahami, menghargai, dan bekerja
sama lintas budaya.⁶ Dalam dunia yang semakin terhubung, peserta didik harus
dibekali bukan hanya dengan pengetahuan global, tetapi juga dengan karakter
multikultural seperti toleransi, keterbukaan, dan solidaritas
antarbangsa.
Pendidikan karakter
dalam konteks ini bertugas menanamkan nilai-nilai inklusif yang sejalan dengan
semangat Bhinneka Tunggal Ika dan prinsip hidup damai dalam masyarakat global
yang plural. Peserta didik perlu diajak untuk tidak hanya menjadi warga negara
Indonesia yang baik, tetapi juga menjadi global citizen yang bertanggung
jawab.
Footnotes
[1]
Tony Wagner, The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools
Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need (New York: Basic
Books, 2008), 8–12.
[2]
Thomas Lickona, Eric Schaps, dan Catherine Lewis, “Eleven Principles of
Effective Character Education,” Character Education Partnership,
accessed May 15, 2025, https://www.character.org/eleven-principles.
[3]
Partnership for 21st Century Learning, Framework for 21st Century
Learning, accessed May 15, 2025, http://www.battelleforkids.org/networks/p21/frameworks-resources.
[4]
Arief S. Sadiman, “Pendidikan Karakter di Era Digital,” Jurnal
Pendidikan Nasional 22, no. 1 (2020): 12–15.
[5]
Elizabeth Milovidov, “Digital Parenting and Character Education:
Ethical Use of Media by Children,” UNESCO Policy Brief, 2019, https://unesdoc.unesco.org.
[6]
OECD, Preparing Our Youth for an Inclusive and Sustainable World:
The OECD PISA Global Competence Framework (Paris: OECD Publishing, 2018),
4–5.
6.
Studi
Kasus dan Praktik Baik Pendidikan Karakter
6.1.
Praktik Baik Pendidikan
Karakter di Sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia
Berbagai satuan
pendidikan di Indonesia telah mengembangkan praktik baik (best
practices) dalam penguatan pendidikan karakter yang dapat dijadikan
acuan nasional. Misalnya, SD Negeri Percobaan 2 Yogyakarta
menerapkan model Sekolah Karakter dengan pendekatan
pembiasaan, keteladanan, dan refleksi harian berbasis nilai-nilai seperti
kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong.¹ Program ini tidak hanya
terintegrasi dalam kurikulum, tetapi juga menyatu dalam budaya sekolah dan
interaksi harian warga sekolah.
Di tingkat menengah,
SMPN 2
Tengaran, Semarang, dikenal karena praktik kantin
kejujuran dan program literasi nilai yang
dilaksanakan secara konsisten. Siswa diberikan ruang untuk mengembangkan
integritas melalui aktivitas nyata yang melatih kejujuran tanpa pengawasan
langsung.² Guru-guru juga secara aktif mengintegrasikan nilai karakter dalam
pembelajaran tematik lintas mata pelajaran.
6.2.
Studi Kasus Pendidikan
Karakter Berbasis Keagamaan di Madrasah
Lembaga pendidikan
Islam seperti madrasah dan pesantren juga menunjukkan efektivitas dalam
pendidikan karakter melalui internalisasi nilai-nilai keagamaan. Contohnya, MAN
Insan Cendekia Serpong menerapkan sistem boarding
school yang terintegrasi antara pengajaran akademik dan pembinaan
akhlak.³ Santri tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga dibina
melalui pengawasan ibadah, pembiasaan zikir, serta kegiatan sosial seperti
bakti masyarakat.
Model seperti ini
memperkuat nilai religius, integritas, dan kemandirian
dalam diri peserta didik secara simultan. Keterpaduan antara kurikulum
nasional, budaya madrasah, dan pembiasaan keagamaan menjadi kunci utama
keberhasilan pendidikan karakter di lingkungan ini.
6.3.
Pendidikan Karakter Melalui
Kegiatan Sosial dan Proyek Layanan
Proyek layanan
masyarakat (service learning) menjadi salah
satu pendekatan inovatif dalam pendidikan karakter. SMA
Kolese Kanisius Jakarta, misalnya, secara rutin mengadakan
kegiatan “Live-In” di desa terpencil yang memungkinkan siswa belajar langsung
tentang kehidupan masyarakat marginal.⁴ Pengalaman ini memperkuat nilai empati,
kepedulian sosial, dan tanggung jawab dalam konteks nyata.
Model serupa juga
diterapkan di berbagai sekolah berbasis Kurikulum Merdeka dengan projek Profil
Pelajar Pancasila, di mana siswa diajak menyusun dan menjalankan
proyek kolaboratif berbasis isu lokal—seperti pengelolaan sampah, pelestarian
budaya, atau advokasi toleransi.⁵ Projek ini membentuk pengalaman belajar yang
memadukan nilai karakter dengan kemampuan abad 21.
6.4.
Studi Internasional:
Pendidikan Karakter di Finlandia dan Jepang
Negara-negara
seperti Finlandia dan Jepang
telah lama menjadikan pendidikan karakter sebagai elemen integral dalam sistem
pendidikan mereka. Di Finlandia, nilai-nilai seperti tanggung jawab pribadi,
rasa hormat, dan solidaritas sosial ditanamkan sejak pendidikan prasekolah
melalui pendekatan bermain, dialog, dan kegiatan kelompok.⁶
Sementara di Jepang,
pendidikan karakter (tokkatsu) menjadi bagian wajib dari
kegiatan harian sekolah. Siswa dilibatkan dalam tugas-tugas rutin seperti
membersihkan kelas, merapikan lingkungan, dan kerja tim, yang semuanya
ditujukan untuk menanamkan disiplin, kerja sama, dan kesadaran sosial.⁷ Praktik
ini menunjukkan bahwa karakter tidak hanya diajarkan, tetapi juga dibentuk
melalui pengalaman dan kebiasaan.
Footnotes
[1]
Wening Udasmoro, “Sekolah Karakter: Pendekatan Multidimensional dalam
Pendidikan Dasar,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 22, no. 1 (2016):
45–56.
[2]
Dwi Haryanto, “Kantin Kejujuran sebagai Media Pembelajaran Karakter,” Jurnal
Kependidikan 6, no. 2 (2018): 33–40.
[3]
Kementerian Agama RI, Profil Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia
Serpong (Jakarta: Ditjen Pendis Kemenag, 2021), 14–17.
[4]
Fransiskus Teguh, “Live-In sebagai Media Penguatan Nilai Sosial dan
Spiritualitas,” Jurnal Bina Pendidikan 5, no. 1 (2019): 21–30.
[5]
Kemendikbudristek, Panduan Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, 2022), 12–18.
[6]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from
Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2015),
91–96.
[7]
Ryoko Tsuneyoshi, “Tokkatsu: The Japanese Model of Holistic Education,”
International Journal of Educational Research 60 (2013): 45–54.
7.
Penutup
Pendidikan karakter merupakan pilar utama dalam
sistem pendidikan nasional yang bertujuan tidak hanya mencetak insan cerdas
secara intelektual, tetapi juga membentuk manusia Indonesia yang berakhlak
mulia, mandiri, dan bertanggung jawab sosial. Dalam era globalisasi dan
disrupsi teknologi abad ke-21, penguatan pendidikan karakter menjadi semakin
mendesak karena tantangan yang dihadapi peserta didik tidak hanya bersifat
kognitif, tetapi juga etis dan moral.¹
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 dan diperkuat oleh Permendikbud No. 20 Tahun 2018,
pendidikan karakter di Indonesia bertumpu pada nilai-nilai Pancasila, yakni
religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.² Nilai-nilai ini
tidak dapat ditanamkan hanya melalui ceramah atau pengetahuan deklaratif,
tetapi harus diinternalisasi melalui pendekatan holistik yang mencakup
pembelajaran, budaya sekolah, keteladanan guru, serta keterlibatan keluarga dan
masyarakat.
Strategi implementasi pendidikan karakter yang
efektif harus bersifat integratif dan kontekstual. Sekolah perlu menjadikan
karakter sebagai ruh dari semua aktivitas pendidikan—mulai dari perencanaan
kurikulum, proses pembelajaran, hingga kegiatan non-akademik. Guru harus
memainkan peran sebagai model teladan dan fasilitator nilai, sementara sekolah
membangun ekosistem budaya yang mendukung pembiasaan positif dan kolaboratif.³
Selain itu, pendidikan karakter harus terus diperbarui
agar relevan dengan dinamika abad ke-21. Pengembangan kompetensi global,
literasi digital yang etis, serta kesadaran multikultural harus diintegrasikan
dalam pendidikan karakter agar peserta didik mampu berinteraksi secara bijak
dalam masyarakat global yang plural dan kompleks.⁴ Studi-studi kasus dan
praktik baik dari dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa karakter dapat
dibentuk secara efektif bila nilai-nilai moral dijalankan dalam konteks nyata,
bukan sekadar diajarkan secara teoritis.⁵
Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan karakter
memerlukan kolaborasi semua pihak—pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan
masyarakat luas. Hanya dengan upaya bersama yang sistematis dan
berkesinambungan, pendidikan karakter akan mampu melahirkan generasi penerus
bangsa yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga tangguh secara
moral dan sosial. Inilah fondasi sejati bagi pembangunan manusia Indonesia yang
berdaya saing dan berkepribadian luhur di tengah peradaban global yang terus
berubah.
Footnotes
[1]
Thomas Lickona, Character Matters: How to Help
Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues
(New York: Touchstone, 2004), 17–18.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta:
Kemendikbud, 2018), Pasal 2.
[3]
Dedi Supriadi, “Revitalisasi Pendidikan Karakter
dalam Kurikulum Nasional,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 20, no. 2
(2015): 122–125.
[4]
OECD, Preparing Our Youth for an Inclusive and
Sustainable World: The OECD PISA Global Competence Framework (Paris: OECD
Publishing, 2018), 4–6.
[5]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the
World Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2015), 96–97.
Daftar Pustaka
Dewantara, K. H. (2013). Pemikiran, konsepsi,
keteladanan, dan sikap merdeka. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.
Dewantara, K. H. (1962). Bagian kedua:
Pendidikan (Ed. Soewardi). Yogyakarta: Tamansiswa.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why
it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
Haryanto, D. (2018). Kantin kejujuran sebagai media
pembelajaran karakter. Jurnal Kependidikan, 6(2), 33–40.
Kemendikbudristek. (2022). Panduan projek
penguatan profil pelajar Pancasila. Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Pembelajaran, Kemendikbudristek.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2021). Profil
Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Serpong. Jakarta: Ditjen Pendis
Kemenag.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2017). Penguatan pendidikan karakter di Sekolah Menengah Pertama.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan
Pendidikan Formal. Jakarta: Kemendikbud.
Lickona, T. (1991). Educating for character: How
our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.
Lickona, T. (2004). Character matters: How to
help our children develop good judgment, integrity, and other essential virtues.
New York: Touchstone.
Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. (n.d.).
Eleven principles of effective character education. Character Education
Partnership. Retrieved May 15, 2025, from https://www.character.org/eleven-principles
Megawangi, R. (2007). Pendidikan karakter:
Solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage
Foundation.
Milovidov, E. (2019). Digital parenting and
character education: Ethical use of media by children. UNESCO Policy Brief.
Retrieved from https://unesdoc.unesco.org
OECD. (2018). Preparing our youth for an inclusive
and sustainable world: The OECD PISA global competence framework. Paris:
OECD Publishing.
Partnership for 21st Century Learning. (n.d.). Framework
for 21st century learning. Retrieved May 15, 2025, from http://www.battelleforkids.org/networks/p21/frameworks-resources
Sahlberg, P. (2015). Finnish lessons: What can
the world learn from educational change in Finland? (2nd ed.). New York:
Teachers College Press.
Sadiman, A. S. (2020). Pendidikan karakter di era
digital. Jurnal Pendidikan Nasional, 22(1), 12–15.
Supriadi, D. (2014). Revitalisasi peran guru dalam
penguatan karakter bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 20(1),
23–24.
Supriadi, D. (2015). Revitalisasi pendidikan
karakter dalam kurikulum nasional. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
20(2), 122–125.
Surakhmad, W. (1990). Pendidikan dalam
pembangunan nasional. Bandung: Tarsito.
Suyanto. (2016). Membangun budaya sekolah sebagai
basis penguatan karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 6(2), 159–160.
Teguh, F. (2019). Live-In sebagai media penguatan
nilai sosial dan spiritualitas. Jurnal Bina Pendidikan, 5(1), 21–30.
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st
century skills: Learning for life in our times. San Francisco: Jossey-Bass.
Tsuneyoshi, R. (2013). Tokkatsu: The Japanese model
of holistic education. International Journal of Educational Research,
60, 45–54.
Udasmoro, W. (2016). Sekolah karakter: Pendekatan
multidimensional dalam pendidikan dasar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
22(1), 45–56.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: Kementerian
Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar