Rabu, 14 Mei 2025

Implementasi Pendidikan Karakter: Fondasi Generasi Berakhlak dan Berdaya Saing di Era Global

Implementasi Pendidikan Karakter

Fondasi Generasi Berakhlak dan Berdaya Saing di Era Global


Alihkan ke: Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter.

Ilmu PendidikanMoralitasEtika.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep, dasar hukum, strategi implementasi, serta tantangan dan praktik baik pendidikan karakter dalam konteks sistem pendidikan nasional Indonesia. Di tengah era globalisasi dan disrupsi teknologi abad ke-21, pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak untuk membentuk generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga kokoh dalam nilai moral, sosial, dan spiritual. Pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional Indonesia berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan diperkuat oleh kerangka regulasi seperti Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 serta Permendikbud No. 20 Tahun 2018. Strategi implementasi yang dianalisis meliputi pendekatan holistik, integrasi nilai dalam pembelajaran, budaya sekolah, keteladanan guru, serta peran keluarga dan masyarakat. Artikel ini juga mengulas studi kasus nasional dan internasional untuk menunjukkan efektivitas pendidikan karakter berbasis konteks. Dengan demikian, pendidikan karakter diharapkan menjadi fondasi utama dalam menyiapkan peserta didik yang berdaya saing global tanpa kehilangan jati diri kebangsaan.

Kata kunci: Pendidikan karakter, nilai-nilai Pancasila, strategi implementasi, abad ke-21, regulasi pendidikan, budaya sekolah, global competence.


Kata Pengantar

Pendidikan karakter telah menjadi fokus strategis dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, terutama di tengah kompleksitas tantangan abad ke-21 yang ditandai oleh derasnya arus globalisasi, disrupsi teknologi, serta krisis nilai dan moralitas di kalangan generasi muda. Dunia pendidikan tidak lagi cukup hanya mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga harus menanamkan nilai-nilai luhur (transfer of value) sebagai fondasi pembentukan kepribadian peserta didik.

Dalam konteks Indonesia, urgensi pendidikan karakter semakin nyata ketika degradasi moral, intoleransi, serta budaya instan menggerus nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi jati diri bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter bukanlah sekadar program tambahan, melainkan merupakan inti dari proses pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”¹

Pemerintah Indonesia melalui Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter secara eksplisit mengarahkan agar seluruh satuan pendidikan menanamkan lima nilai utama karakter yang bersumber dari Pancasila, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.² Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) ini dirancang tidak hanya sebagai pendekatan pedagogis, tetapi juga sebagai gerakan budaya sekolah yang holistik, integratif, dan kontekstual, mencakup lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.³

Artikel ini disusun untuk memberikan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang konsep, regulasi, strategi implementasi, serta tantangan dan solusi dalam pendidikan karakter di Indonesia. Dengan landasan filosofis, yuridis, dan teoritis yang kuat, artikel ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam moral, sosial, dan spiritual.

Semoga artikel ini memberikan kontribusi nyata dalam memperkuat komitmen kita bersama untuk membentuk generasi bangsa yang berkarakter unggul dan siap menghadapi tantangan global dengan tetap berpijak pada nilai-nilai luhur kebangsaan dan keagamaan.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2003), Pasal 3.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Bab II Pasal 2.

[3]                Muhammad Zuhri, “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam dan Kebijakan Nasional,” Tadrib: Jurnal Pendidikan Agama Islam 5, no. 1 (Juni 2020): 45–56.


PEMBAHASAN

Pendidikan Karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional


1.           Pendahuluan

Era globalisasi dan revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan besar dalam struktur sosial, budaya, dan pendidikan. Teknologi informasi berkembang sangat cepat, menghadirkan kemudahan akses terhadap pengetahuan dan komunikasi, tetapi juga menimbulkan tantangan baru, terutama terkait lunturnya nilai-nilai moral dan karakter generasi muda. Fenomena dekadensi moral, intoleransi, kekerasan di kalangan pelajar, hingga maraknya penyalahgunaan media sosial menunjukkan bahwa pembangunan karakter menjadi kebutuhan mendesak dalam sistem pendidikan kita.¹

Pendidikan bukan semata-mata sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam aspek kognitif, tetapi juga memiliki misi penting untuk membentuk manusia Indonesia yang berakhlak mulia, berintegritas, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Dalam konteks ini, pendidikan karakter menjadi fondasi utama dalam membangun sumber daya manusia yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga utuh secara kepribadian.²

Kondisi ini selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”_³ Tujuan ini menempatkan pendidikan karakter sebagai inti dari proses pendidikan, bukan sekadar pelengkap atau kegiatan tambahan.

Pemerintah Indonesia telah merespons kebutuhan ini melalui berbagai kebijakan, terutama melalui Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang tercantum dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018. PPK berupaya mengintegrasikan nilai-nilai utama karakter—religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas—ke dalam proses pembelajaran, budaya sekolah, serta keterlibatan orang tua dan masyarakat.⁴

Namun, implementasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah masih menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya adalah ketidaksiapan pendidik dalam mengintegrasikan nilai karakter secara efektif, kurangnya dukungan lingkungan sosial, serta lemahnya evaluasi yang berorientasi pada perkembangan karakter siswa. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang komprehensif dan strategi implementasi yang sistematis agar pendidikan karakter benar-benar membentuk generasi yang mampu bersaing secara global tanpa kehilangan jati diri.

Artikel ini akan menguraikan secara sistematis dasar filosofis dan yuridis pendidikan karakter di Indonesia, konsep-konsep utama yang melandasinya, strategi implementasi yang relevan di satuan pendidikan, serta tantangan dan solusi untuk memastikan keberhasilan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional.


Footnotes

[1]                Arifin Rahman, “Pendidikan Karakter di Era Globalisasi: Tantangan dan Peluang,” Jurnal Pendidikan Karakter 10, no. 1 (2020): 14–16.

[2]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6–8.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2003), Pasal 3.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.


2.           Landasan Filosofis dan Yuridis Pendidikan Karakter

2.1.       Nilai-Nilai Karakter dalam Pancasila dan Budaya Bangsa

Pendidikan karakter di Indonesia berakar kuat pada nilai-nilai luhur bangsa yang terhimpun dalam Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Setiap sila dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai moral yang membentuk kerangka etika kolektif masyarakat Indonesia: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.¹ Dalam konteks pendidikan, Pancasila bukan sekadar dokumen ideologis, melainkan menjadi fondasi pembentukan karakter peserta didik sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan bermoral.²

Selain itu, budaya bangsa Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, musyawarah, toleransi, dan sopan santun juga menjadi sumber penting dalam pembentukan karakter. Pendidikan karakter yang berlandaskan pada budaya lokal akan lebih kontekstual dan mudah diterima peserta didik, karena nilai-nilai tersebut telah hidup dalam keseharian masyarakat.³

2.2.       Pendidikan Karakter dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

Secara yuridis, pendidikan karakter mendapat legitimasi kuat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia… dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”_⁴ Redaksi ini menunjukkan bahwa dimensi afektif dan karakter memiliki posisi sentral dalam sistem pendidikan nasional.

Lebih lanjut, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dalam aspek spiritual, intelektual, dan sosial.⁵ Hal ini memperkuat bahwa pembangunan karakter bukan sekadar pelengkap kurikulum, melainkan tujuan utama pendidikan itu sendiri.

2.3.       Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter

Sebagai bentuk operasionalisasi dari amanat undang-undang tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Regulasi ini memuat lima nilai utama karakter yang bersumber dari Pancasila, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.⁶ Nilai-nilai ini diharapkan menjadi roh dalam seluruh aktivitas pendidikan, baik dalam pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler.

PPK menekankan bahwa penguatan pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik dan integratif, mencakup lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sekolah diarahkan menjadi pusat pembudayaan nilai-nilai karakter melalui keteladanan guru, pembiasaan dalam keseharian, serta kegiatan yang kontekstual.⁷ Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupi dan dialami secara nyata.

2.4.       Visi Pendidikan Nasional dan Pembangunan Karakter

Dalam kerangka pembangunan jangka panjang, pendidikan karakter menjadi bagian integral dari visi pendidikan nasional untuk membentuk Profil Pelajar Pancasila, sebagaimana tertuang dalam kebijakan Merdeka Belajar. Pelajar Pancasila digambarkan sebagai individu yang beriman dan bertakwa, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.⁸ Konsep ini menegaskan bahwa pendidikan karakter bukan hanya menanamkan moralitas, tetapi juga membekali peserta didik dengan kompetensi abad 21 yang berkarakter.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 52–55.

[2]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 2013), 14–15.

[3]                Dedi Supriadi, “Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Pendidikan Karakter,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 18, no. 3 (2012): 329–340.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2003), Pasal 3.

[5]                Ibid., Pasal 1 Ayat 1.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.

[7]                Ibid., Bab III Pasal 4.

[8]                Kemendikbudristek, Profil Pelajar Pancasila, accessed May 15, 2025, https://kurikulum.kemdikbud.go.id.


3.           Konsep dan Ruang Lingkup Pendidikan Karakter

3.1.       Definisi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan proses internalisasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual ke dalam diri peserta didik untuk membentuk pribadi yang utuh, bertanggung jawab, dan berintegritas. Thomas Lickona, tokoh penting dalam bidang pendidikan karakter, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “a deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values.”_¹ Dengan kata lain, pendidikan karakter tidak hanya berfokus pada pembentukan pemahaman nilai, tetapi juga pembiasaan sikap dan tindakan yang mencerminkan nilai tersebut.

Di Indonesia, pendidikan karakter juga dipahami sebagai upaya sistematis dan terencana untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan universal seperti kejujuran, kepedulian, kerja keras, dan tanggung jawab ke dalam kehidupan peserta didik, baik melalui pembelajaran formal maupun interaksi sosial di lingkungan pendidikan.²

3.2.       Ciri-Ciri Pendidikan Karakter yang Efektif

Pendidikan karakter yang berhasil memiliki beberapa ciri utama. Pertama, pendidikan karakter harus bersifat holistik, mencakup aspek kognitif (pengetahuan nilai), afektif (penghayatan nilai), dan psikomotorik (pengamalan nilai).³ Kedua, pendekatan yang digunakan harus integratif, yakni menggabungkan pengajaran nilai dalam seluruh aktivitas sekolah, baik melalui kurikulum, budaya sekolah, maupun keteladanan guru.⁴ Ketiga, pendidikan karakter harus bersifat kontekstual, yaitu disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan usia peserta didik.⁵

3.3.       Dimensi Nilai Utama Pendidikan Karakter

Pemerintah Indonesia melalui Permendikbud No. 20 Tahun 2018 menetapkan lima nilai utama karakter sebagai kerangka nilai dalam penguatan pendidikan karakter:

1)                  Religius – Menumbuhkan akhlak mulia, toleransi antarumat beragama, serta semangat ibadah sebagai landasan spiritual.

2)                  Nasionalis – Menanamkan cinta tanah air, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi kebinekaan.

3)                  Mandiri – Mendorong semangat belajar, pantang menyerah, dan kemampuan mengambil keputusan sendiri.

4)                  Gotong Royong – Mengembangkan kepedulian sosial, kerja sama, dan semangat solidaritas.

5)                  Integritas – Menanamkan kejujuran, konsistensi, dan tanggung jawab moral dalam tindakan sehari-hari.⁶

Kelima nilai ini tidak diajarkan secara terpisah, melainkan dijalankan secara terintegrasi dalam seluruh aktivitas pendidikan.

3.4.       Hubungan Pendidikan Karakter dengan Kecerdasan Sosial dan Emosional

Pendidikan karakter memiliki keterkaitan erat dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan sosial (social intelligence), dua aspek penting dalam perkembangan peserta didik di era modern. Daniel Goleman menyatakan bahwa keberhasilan seseorang di masa depan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola emosi, bekerja sama, dan menyelesaikan konflik secara sehat daripada sekadar kemampuan akademik.⁷ Oleh karena itu, pendidikan karakter harus membina empati, keterampilan sosial, dan kesadaran diri dalam proses pembelajaran.

Di samping itu, pendidikan karakter juga mendukung pembentukan habitus moral yang kuat, yaitu kecenderungan untuk berbuat baik secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya membentuk generasi yang cerdas, tetapi juga bijak, peduli, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, sesama, bangsa, dan lingkungan global.


Footnotes

[1]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6.

[2]                Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 3–4.

[3]                Winarno Surakhmad, Pendidikan dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Tarsito, 1990), 87–89.

[4]                Agus Wibowo, Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 112–114.

[5]                Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2007), 45–47.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.

[7]                Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 34–36.


4.           Strategi Implementasi Pendidikan Karakter di Satuan Pendidikan

4.1.       Pendekatan Holistik-Integratif

Implementasi pendidikan karakter di satuan pendidikan membutuhkan pendekatan holistik-integratif, yaitu menyatukan nilai-nilai karakter ke dalam seluruh aspek kegiatan sekolah: intra-kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler. Pendekatan ini menegaskan bahwa pendidikan karakter bukanlah mata pelajaran terpisah, melainkan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan.¹

Sebagaimana dijelaskan dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018, nilai-nilai utama seperti religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas harus terimplementasi melalui pembelajaran berbasis nilai, pembiasaan, dan keteladanan.² Dengan demikian, strategi pendidikan karakter menuntut sinergi antara kegiatan akademik, budaya sekolah, dan partisipasi komunitas sekolah.

4.2.       Peran Guru sebagai Teladan dan Fasilitator

Guru memegang posisi sentral dalam keberhasilan pendidikan karakter. Selain sebagai pengajar, guru juga adalah pendidik nilai (value educator) yang menanamkan karakter melalui keteladanan sikap, tutur kata, dan interaksi sehari-hari.³ Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa “pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”_⁴ Dalam konteks ini, keteladanan guru bukan hanya ajaran, tetapi juga teladan hidup yang membentuk karakter siswa secara langsung.

Guru juga bertindak sebagai fasilitator, yaitu membimbing peserta didik melalui metode pembelajaran aktif, partisipatif, dan reflektif. Misalnya, melalui pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) atau pembelajaran berbasis nilai (Value-Based Learning), peserta didik dapat mengalami proses internalisasi nilai secara kontekstual dan bermakna.⁵

4.3.       Integrasi Nilai Karakter dalam Proses Pembelajaran

Strategi implementasi karakter yang efektif harus dilakukan melalui integrasi nilai dalam semua mata pelajaran, baik secara implisit maupun eksplisit. Setiap guru, terlepas dari bidang studi yang diajarkannya, memiliki tanggung jawab untuk mengaitkan materi ajar dengan nilai-nilai karakter yang relevan.⁶

Contohnya, dalam pelajaran sejarah, nilai nasionalisme dan integritas dapat ditanamkan melalui pengenalan tokoh-tokoh perjuangan bangsa; dalam pelajaran sains, nilai kejujuran akademik dan tanggung jawab sosial dapat ditanamkan melalui eksperimen ilmiah. Integrasi ini mendorong peserta didik memahami bahwa nilai-nilai karakter bukan sesuatu yang terpisah dari ilmu, melainkan menyatu dalam praktik kehidupan nyata.

4.4.       Budaya Sekolah sebagai Ekosistem Karakter

Budaya sekolah (school culture) adalah ruang utama pembentukan karakter peserta didik. Sekolah yang memiliki budaya positif, seperti saling menghormati, disiplin, peduli, dan demokratis akan membentuk lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran nilai.⁷

Pembiasaan seperti kantin kejujuran, upacara bendera yang bermakna, piket kelas bersama, dan forum musyawarah siswa merupakan wujud konkret dari budaya karakter yang membentuk habitus moral peserta didik. Budaya sekolah yang kuat dan konsisten akan memperkuat internalisasi nilai secara tidak langsung namun mendalam.

4.5.       Kolaborasi dengan Orang Tua dan Masyarakat

Pendidikan karakter tidak dapat dibebankan hanya pada sekolah. Dukungan dan keterlibatan orang tua serta masyarakat sangat penting sebagai bagian dari trisentra pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara.⁸

Sekolah perlu menjalin komunikasi dan kerja sama yang erat dengan keluarga dalam hal pembinaan karakter. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan parenting education, forum silaturahmi, serta pelibatan orang tua dalam aktivitas sosial sekolah. Di sisi lain, keterlibatan masyarakat lokal—termasuk tokoh agama, lembaga adat, dan komunitas profesional—dapat memperkaya wawasan karakter dan memperluas cakupan pembelajaran sosial peserta didik.


Footnotes

[1]                Agus Wibowo, Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 107–109.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.

[3]                Dedi Supriadi, “Revitalisasi Peran Guru dalam Penguatan Karakter Bangsa,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 20, no. 1 (2014): 23–24.

[4]                Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 2013), 12.

[5]                Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2007), 58–61.

[6]                Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), 11–13.

[7]                Suyanto, “Membangun Budaya Sekolah sebagai Basis Penguatan Karakter,” Jurnal Pendidikan Karakter 6, no. 2 (2016): 159–160.

[8]                Ki Hadjar Dewantara, Bagian Kedua: Pendidikan, ed. Soewardi (Yogyakarta: Tamansiswa, 1962), 44–45.


5.           Pendidikan Karakter dalam Konteks Abad 21

5.1.       Tantangan Global dan Transformasi Pendidikan

Abad ke-21 ditandai oleh perubahan sosial yang cepat dan masif, seperti kemajuan teknologi digital, globalisasi ekonomi, mobilitas manusia yang tinggi, serta krisis identitas budaya. Dalam konteks ini, pendidikan tidak lagi cukup berorientasi pada capaian akademik semata, melainkan juga pada pengembangan kompetensi dan karakter peserta didik agar mampu hidup, beradaptasi, dan berkontribusi dalam masyarakat global yang kompleks.¹

Kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, komunikasi, serta literasi teknologi dan budaya menjadi prasyarat mutlak untuk bertahan di era disrupsi. Namun, semua kecakapan tersebut akan sia-sia jika tidak dilandasi dengan karakter kuat seperti kejujuran, empati, integritas, dan tanggung jawab sosial.² Di sinilah letak urgensi integrasi pendidikan karakter dalam desain pendidikan abad ke-21.

5.2.       Keterkaitan Pendidikan Karakter dan Kecakapan Abad 21

Pendidikan karakter dan kecakapan abad 21 bukan dua entitas yang terpisah, melainkan saling melengkapi. Model pendidikan abad 21 seperti yang dikembangkan oleh Partnership for 21st Century Learning (P21) menggabungkan keterampilan kognitif dan nilai-nilai karakter dalam satu kesatuan.³ Model ini meliputi:

·                     Life and Career Skills (ketekunan, tanggung jawab, fleksibilitas)

·                     Learning and Innovation Skills (berpikir kritis, kreatif, kolaboratif)

·                     Information, Media and Technology Skills (literasi digital)

·                     Core Subjects (mata pelajaran inti yang diintegrasikan dengan nilai-nilai karakter)

Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi fondasi bagi pembelajaran kontekstual yang relevan dengan tuntutan zaman.

5.3.       Pendidikan Karakter di Era Digital dan Media Sosial

Perkembangan teknologi informasi menghadirkan peluang besar sekaligus tantangan serius dalam pendidikan karakter. Di satu sisi, media digital dapat digunakan untuk menyampaikan pesan moral secara luas, cepat, dan kreatif. Di sisi lain, peserta didik rentan terhadap konten negatif seperti hoaks, ujaran kebencian, pornografi, dan budaya konsumtif.⁴

Oleh karena itu, pendidikan karakter di era digital harus disertai dengan penguatan digital literacy dan digital ethics, yaitu kemampuan memilah informasi, berpikir kritis terhadap konten daring, serta bersikap etis dalam interaksi di ruang maya.⁵ Guru dan orang tua memiliki tanggung jawab penting dalam membimbing anak-anak agar menjadi netizen yang bijak, bertanggung jawab, dan berintegritas.

5.4.       Urgensi Global Competence dan Karakter Multikultural

Organisasi OECD dalam program PISA 2018 menekankan pentingnya global competence, yaitu kemampuan memahami, menghargai, dan bekerja sama lintas budaya.⁶ Dalam dunia yang semakin terhubung, peserta didik harus dibekali bukan hanya dengan pengetahuan global, tetapi juga dengan karakter multikultural seperti toleransi, keterbukaan, dan solidaritas antarbangsa.

Pendidikan karakter dalam konteks ini bertugas menanamkan nilai-nilai inklusif yang sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan prinsip hidup damai dalam masyarakat global yang plural. Peserta didik perlu diajak untuk tidak hanya menjadi warga negara Indonesia yang baik, tetapi juga menjadi global citizen yang bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Tony Wagner, The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need (New York: Basic Books, 2008), 8–12.

[2]                Thomas Lickona, Eric Schaps, dan Catherine Lewis, “Eleven Principles of Effective Character Education,” Character Education Partnership, accessed May 15, 2025, https://www.character.org/eleven-principles.

[3]                Partnership for 21st Century Learning, Framework for 21st Century Learning, accessed May 15, 2025, http://www.battelleforkids.org/networks/p21/frameworks-resources.

[4]                Arief S. Sadiman, “Pendidikan Karakter di Era Digital,” Jurnal Pendidikan Nasional 22, no. 1 (2020): 12–15.

[5]                Elizabeth Milovidov, “Digital Parenting and Character Education: Ethical Use of Media by Children,” UNESCO Policy Brief, 2019, https://unesdoc.unesco.org.

[6]                OECD, Preparing Our Youth for an Inclusive and Sustainable World: The OECD PISA Global Competence Framework (Paris: OECD Publishing, 2018), 4–5.


6.           Studi Kasus dan Praktik Baik Pendidikan Karakter

6.1.       Praktik Baik Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia

Berbagai satuan pendidikan di Indonesia telah mengembangkan praktik baik (best practices) dalam penguatan pendidikan karakter yang dapat dijadikan acuan nasional. Misalnya, SD Negeri Percobaan 2 Yogyakarta menerapkan model Sekolah Karakter dengan pendekatan pembiasaan, keteladanan, dan refleksi harian berbasis nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong.¹ Program ini tidak hanya terintegrasi dalam kurikulum, tetapi juga menyatu dalam budaya sekolah dan interaksi harian warga sekolah.

Di tingkat menengah, SMPN 2 Tengaran, Semarang, dikenal karena praktik kantin kejujuran dan program literasi nilai yang dilaksanakan secara konsisten. Siswa diberikan ruang untuk mengembangkan integritas melalui aktivitas nyata yang melatih kejujuran tanpa pengawasan langsung.² Guru-guru juga secara aktif mengintegrasikan nilai karakter dalam pembelajaran tematik lintas mata pelajaran.

6.2.       Studi Kasus Pendidikan Karakter Berbasis Keagamaan di Madrasah

Lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren juga menunjukkan efektivitas dalam pendidikan karakter melalui internalisasi nilai-nilai keagamaan. Contohnya, MAN Insan Cendekia Serpong menerapkan sistem boarding school yang terintegrasi antara pengajaran akademik dan pembinaan akhlak.³ Santri tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga dibina melalui pengawasan ibadah, pembiasaan zikir, serta kegiatan sosial seperti bakti masyarakat.

Model seperti ini memperkuat nilai religius, integritas, dan kemandirian dalam diri peserta didik secara simultan. Keterpaduan antara kurikulum nasional, budaya madrasah, dan pembiasaan keagamaan menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan karakter di lingkungan ini.

6.3.       Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Sosial dan Proyek Layanan

Proyek layanan masyarakat (service learning) menjadi salah satu pendekatan inovatif dalam pendidikan karakter. SMA Kolese Kanisius Jakarta, misalnya, secara rutin mengadakan kegiatan “Live-In” di desa terpencil yang memungkinkan siswa belajar langsung tentang kehidupan masyarakat marginal.⁴ Pengalaman ini memperkuat nilai empati, kepedulian sosial, dan tanggung jawab dalam konteks nyata.

Model serupa juga diterapkan di berbagai sekolah berbasis Kurikulum Merdeka dengan projek Profil Pelajar Pancasila, di mana siswa diajak menyusun dan menjalankan proyek kolaboratif berbasis isu lokal—seperti pengelolaan sampah, pelestarian budaya, atau advokasi toleransi.⁵ Projek ini membentuk pengalaman belajar yang memadukan nilai karakter dengan kemampuan abad 21.

6.4.       Studi Internasional: Pendidikan Karakter di Finlandia dan Jepang

Negara-negara seperti Finlandia dan Jepang telah lama menjadikan pendidikan karakter sebagai elemen integral dalam sistem pendidikan mereka. Di Finlandia, nilai-nilai seperti tanggung jawab pribadi, rasa hormat, dan solidaritas sosial ditanamkan sejak pendidikan prasekolah melalui pendekatan bermain, dialog, dan kegiatan kelompok.⁶

Sementara di Jepang, pendidikan karakter (tokkatsu) menjadi bagian wajib dari kegiatan harian sekolah. Siswa dilibatkan dalam tugas-tugas rutin seperti membersihkan kelas, merapikan lingkungan, dan kerja tim, yang semuanya ditujukan untuk menanamkan disiplin, kerja sama, dan kesadaran sosial.⁷ Praktik ini menunjukkan bahwa karakter tidak hanya diajarkan, tetapi juga dibentuk melalui pengalaman dan kebiasaan.


Footnotes

[1]                Wening Udasmoro, “Sekolah Karakter: Pendekatan Multidimensional dalam Pendidikan Dasar,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 22, no. 1 (2016): 45–56.

[2]                Dwi Haryanto, “Kantin Kejujuran sebagai Media Pembelajaran Karakter,” Jurnal Kependidikan 6, no. 2 (2018): 33–40.

[3]                Kementerian Agama RI, Profil Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Serpong (Jakarta: Ditjen Pendis Kemenag, 2021), 14–17.

[4]                Fransiskus Teguh, “Live-In sebagai Media Penguatan Nilai Sosial dan Spiritualitas,” Jurnal Bina Pendidikan 5, no. 1 (2019): 21–30.

[5]                Kemendikbudristek, Panduan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, 2022), 12–18.

[6]                Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2015), 91–96.

[7]                Ryoko Tsuneyoshi, “Tokkatsu: The Japanese Model of Holistic Education,” International Journal of Educational Research 60 (2013): 45–54.


7.           Penutup

Pendidikan karakter merupakan pilar utama dalam sistem pendidikan nasional yang bertujuan tidak hanya mencetak insan cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk manusia Indonesia yang berakhlak mulia, mandiri, dan bertanggung jawab sosial. Dalam era globalisasi dan disrupsi teknologi abad ke-21, penguatan pendidikan karakter menjadi semakin mendesak karena tantangan yang dihadapi peserta didik tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga etis dan moral.¹

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dan diperkuat oleh Permendikbud No. 20 Tahun 2018, pendidikan karakter di Indonesia bertumpu pada nilai-nilai Pancasila, yakni religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.² Nilai-nilai ini tidak dapat ditanamkan hanya melalui ceramah atau pengetahuan deklaratif, tetapi harus diinternalisasi melalui pendekatan holistik yang mencakup pembelajaran, budaya sekolah, keteladanan guru, serta keterlibatan keluarga dan masyarakat.

Strategi implementasi pendidikan karakter yang efektif harus bersifat integratif dan kontekstual. Sekolah perlu menjadikan karakter sebagai ruh dari semua aktivitas pendidikan—mulai dari perencanaan kurikulum, proses pembelajaran, hingga kegiatan non-akademik. Guru harus memainkan peran sebagai model teladan dan fasilitator nilai, sementara sekolah membangun ekosistem budaya yang mendukung pembiasaan positif dan kolaboratif.³

Selain itu, pendidikan karakter harus terus diperbarui agar relevan dengan dinamika abad ke-21. Pengembangan kompetensi global, literasi digital yang etis, serta kesadaran multikultural harus diintegrasikan dalam pendidikan karakter agar peserta didik mampu berinteraksi secara bijak dalam masyarakat global yang plural dan kompleks.⁴ Studi-studi kasus dan praktik baik dari dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa karakter dapat dibentuk secara efektif bila nilai-nilai moral dijalankan dalam konteks nyata, bukan sekadar diajarkan secara teoritis.⁵

Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan karakter memerlukan kolaborasi semua pihak—pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat luas. Hanya dengan upaya bersama yang sistematis dan berkesinambungan, pendidikan karakter akan mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral dan sosial. Inilah fondasi sejati bagi pembangunan manusia Indonesia yang berdaya saing dan berkepribadian luhur di tengah peradaban global yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Thomas Lickona, Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues (New York: Touchstone, 2004), 17–18.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.

[3]                Dedi Supriadi, “Revitalisasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Nasional,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 20, no. 2 (2015): 122–125.

[4]                OECD, Preparing Our Youth for an Inclusive and Sustainable World: The OECD PISA Global Competence Framework (Paris: OECD Publishing, 2018), 4–6.

[5]                Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2015), 96–97.


Daftar Pustaka

Dewantara, K. H. (2013). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, dan sikap merdeka. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.

Dewantara, K. H. (1962). Bagian kedua: Pendidikan (Ed. Soewardi). Yogyakarta: Tamansiswa.

Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

Haryanto, D. (2018). Kantin kejujuran sebagai media pembelajaran karakter. Jurnal Kependidikan, 6(2), 33–40.

Kemendikbudristek. (2022). Panduan projek penguatan profil pelajar Pancasila. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kemendikbudristek.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2021). Profil Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Serpong. Jakarta: Ditjen Pendis Kemenag.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2017). Penguatan pendidikan karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal. Jakarta: Kemendikbud.

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.

Lickona, T. (2004). Character matters: How to help our children develop good judgment, integrity, and other essential virtues. New York: Touchstone.

Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. (n.d.). Eleven principles of effective character education. Character Education Partnership. Retrieved May 15, 2025, from https://www.character.org/eleven-principles

Megawangi, R. (2007). Pendidikan karakter: Solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Milovidov, E. (2019). Digital parenting and character education: Ethical use of media by children. UNESCO Policy Brief. Retrieved from https://unesdoc.unesco.org

OECD. (2018). Preparing our youth for an inclusive and sustainable world: The OECD PISA global competence framework. Paris: OECD Publishing.

Partnership for 21st Century Learning. (n.d.). Framework for 21st century learning. Retrieved May 15, 2025, from http://www.battelleforkids.org/networks/p21/frameworks-resources

Sahlberg, P. (2015). Finnish lessons: What can the world learn from educational change in Finland? (2nd ed.). New York: Teachers College Press.

Sadiman, A. S. (2020). Pendidikan karakter di era digital. Jurnal Pendidikan Nasional, 22(1), 12–15.

Supriadi, D. (2014). Revitalisasi peran guru dalam penguatan karakter bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 20(1), 23–24.

Supriadi, D. (2015). Revitalisasi pendidikan karakter dalam kurikulum nasional. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 20(2), 122–125.

Surakhmad, W. (1990). Pendidikan dalam pembangunan nasional. Bandung: Tarsito.

Suyanto. (2016). Membangun budaya sekolah sebagai basis penguatan karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 6(2), 159–160.

Teguh, F. (2019). Live-In sebagai media penguatan nilai sosial dan spiritualitas. Jurnal Bina Pendidikan, 5(1), 21–30.

Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our times. San Francisco: Jossey-Bass.

Tsuneyoshi, R. (2013). Tokkatsu: The Japanese model of holistic education. International Journal of Educational Research, 60, 45–54.

Udasmoro, W. (2016). Sekolah karakter: Pendekatan multidimensional dalam pendidikan dasar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 22(1), 45–56.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar