Hubungan Ontologi dengan Metafisika
Hubungan Ontologi dan Metafisika dalam Tradisi Filsafat
Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif hubungan
antara ontologi dan metafisika sebagai dua cabang utama filsafat
yang berperan penting dalam menyingkap struktur terdalam realitas. Kajian
dimulai dengan penelusuran konsep dasar ontologi sebagai studi tentang "yang
ada", serta cakupan metafisika sebagai filsafat pertama yang
menyelidiki prinsip-prinsip eksistensi. Melalui studi perbandingan pemikiran
tokoh-tokoh besar seperti Aristoteles, Immanuel Kant, Martin Heidegger, W.V.O.
Quine, dan E.J. Lowe, artikel ini menunjukkan bahwa relasi antara ontologi dan
metafisika bersifat dinamis, historis, dan metodologis. Di samping itu, dibahas
pula implikasi epistemologis serta relevansi kontemporer dari kajian
ontologi-metafisika, baik dalam konteks filsafat sains, teknologi informasi,
hingga filsafat moral dan politik. Hasil kajian menegaskan bahwa ontologi dan
metafisika bukan hanya bidang spekulatif, tetapi juga fondasi konseptual yang
esensial dalam memahami dan mengarahkan refleksi filosofis serta praksis
keilmuan di era modern.
Kata Kunci; Ontologi; Metafisika; Eksistensi; Realitas;
Filsafat; Epistemologi; Filsuf Klasik; Filsafat Kontemporer.
PEMBAHASAN
Menelusuri Fondasi Realitas dalam Tradisi Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah filsafat, pertanyaan mengenai “apa
yang sungguh-sungguh ada” dan “bagaimana struktur realitas itu sendiri”
menjadi tema sentral yang terus diperbincangkan sejak masa Yunani Kuno hingga
era kontemporer. Filsafat sebagai disiplin intelektual tidak hanya mengkaji
cara berpikir yang logis, tetapi juga mendalami dasar keberadaan (being) dan
hakikat kenyataan (reality). Dalam konteks ini, dua cabang utama filsafat yang
paling erat terkait ialah ontologi dan metafisika. Keduanya
sering digunakan secara bergantian, namun dalam tradisi filsafat, keduanya
memiliki distingsi konseptual yang penting.
Ontologi secara etimologis berasal dari kata Yunani ontos (yang ada) dan logos
(ilmu atau wacana), yang secara umum didefinisikan sebagai studi tentang
keberadaan atau eksistensi sebagai eksistensi itu sendiri. Ontologi tidak
bertanya “apa yang kita ketahui tentang dunia”, tetapi “apa yang
sebenarnya ada”, dalam bentuk yang paling fundamental dan universal.¹ Di
sisi lain, metafisika, sebuah istilah yang pertama kali digunakan oleh
editor karya Aristoteles (khususnya Andronikos dari Rodos), merujuk pada cabang
filsafat yang lebih luas yang mencakup studi tentang eksistensi, identitas,
ruang, waktu, kausalitas, kemungkinan, dan sebagainya.²
Hubungan antara ontologi dan metafisika bukan hanya
bersifat terminologis, melainkan juga metodologis dan substansial. Ontologi
sering dipandang sebagai inti dari metafisika; ia menyediakan kerangka dasar
dari apa yang dianggap “ada” sebelum membahas pertanyaan metafisik
lainnya.³ Namun, dalam perkembangan filsafat modern dan analitik, muncul
perdebatan mengenai apakah ontologi harus tetap berada dalam lingkup
metafisika, atau justru berdiri sebagai kajian yang otonom.⁴ Hal ini membuka
ruang refleksi yang luas tentang cara kita memahami dan mengklasifikasikan
realitas.
Kajian tentang hubungan antara ontologi dan
metafisika menjadi semakin relevan di tengah berkembangnya filsafat kontemporer
yang tidak hanya dipengaruhi oleh tradisi kontinental dan analitik, tetapi juga
oleh pendekatan interdisipliner dalam sains, linguistik, dan teknologi. Seiring
dengan meningkatnya ketertarikan pada fondasi teoritis dari berbagai ilmu,
muncul kebutuhan untuk meninjau ulang keterkaitan ontologi-metafisika sebagai
basis dari pengetahuan dan keberadaan.
Melalui artikel ini, penulis bertujuan untuk
menelusuri secara sistematis bagaimana ontologi dan metafisika berkembang,
saling berinteraksi, dan membentuk satu jaringan wacana yang esensial dalam
memahami struktur realitas. Fokus utama adalah meninjau titik temu, perbedaan
konseptual, serta relevansi keduanya dalam konteks filsafat klasik hingga
kontemporer. Dengan pendekatan historis-kritis dan analitis, diharapkan
pembahasan ini dapat memberikan kontribusi teoritis bagi studi ontologi dan
metafisika dalam kerangka filsafat secara lebih luas.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, Ontology, Identity, and
Modality: Essays in Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press,
2001), 1.
[2]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1979), 16; lihat juga Richard Sorabji, Aristotle on
Memory (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 8.
[3]
E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics:
Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 6–8.
[4]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
1–19.
2.
Hakikat Ontologi sebagai Kajian tentang Ada
Ontologi, dalam konteks filsafat, merupakan cabang kajian yang berurusan secara
langsung dengan pertanyaan paling mendasar tentang keberadaan (being).
Secara historis, istilah ini berasal dari bahasa Yunani ontos (ὄντος,
bentuk genitif dari to on, “yang ada”) dan logos (λόγος, “ilmu”
atau “kajian”), yang jika digabungkan berarti “kajian tentang yang
ada” atau “ilmu tentang ada”.¹ Dalam tradisi filsafat Barat, kajian
ini secara eksplisit berkembang sejak filsuf Pra-Sokratik yang mulai merumuskan
pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang hakikat realitas dan perubahan di dunia
ini.
Salah satu pendiri utama filsafat ontologis adalah Parmenides,
yang secara radikal menolak realitas perubahan dan perbedaan, dengan menyatakan
bahwa “yang ada itu ada, dan yang tidak ada itu tidak ada.”² Pandangan
ini menandai lahirnya suatu pendekatan ontologis yang ketat, yakni bahwa hanya
“yang ada” yang layak dibicarakan secara filosofis. Sebaliknya, Herakleitos
menyodorkan pandangan dinamis tentang realitas, bahwa segala sesuatu sedang
dalam keadaan berubah (panta rhei), yang kemudian menimbulkan ketegangan
ontologis antara kesinambungan dan perubahan.³
Krisis ontologis tersebut dikembangkan secara
sistematis oleh Plato dan Aristoteles. Dalam filsafat Plato,
dunia nyata dibedakan antara dunia indra (dunia fenomenal) dan dunia ide (dunia
yang benar-benar ada). Dunia ide—sebagai bentuk-bentuk yang kekal dan tak
berubah—diperlakukan sebagai objek ontologis yang paling nyata.⁴ Sementara itu,
Aristoteles memformulasikan pendekatan yang lebih empiris dan sistematis
melalui karyanya Metaphysics, di mana ia menyatakan bahwa filsafat
pertama adalah ilmu yang mempelajari “yang ada sejauh ia ada” (being
qua being).⁵ Ontologi dalam pengertian Aristotelian ini mencakup
penyelidikan tentang substansi (ousia), esensi, atribut, dan hubungan
sebab-akibat dari segala yang ada.
Dalam perkembangan filsafat modern dan kontemporer,
konsep ontologi mengalami perluasan dan diversifikasi. Immanuel Kant,
misalnya, mengkritik ontologi tradisional karena menganggapnya berpretensi
mengetahui hakikat sesuatu di luar batas pengalaman. Ia membedakan antara noumenon
(realitas pada dirinya) dan phenomenon (realitas sebagaimana tampak).⁶
Di abad ke-20, Martin Heidegger menghidupkan kembali ontologi melalui
pendekatan fenomenologis, dengan menyatakan bahwa filsafat harus kembali ke “pertanyaan
tentang makna ada” (Seinsfrage). Dalam karyanya Sein und Zeit
(1927), Heidegger membedakan antara Sein (ada) dan Seiendes (yang
ada), dan menegaskan bahwa ontologi fundamental harus mengkaji kondisi
keberadaan subjek manusia (Dasein) sebagai entitas yang menyadari
keberadaannya.⁷
Sementara itu, dalam tradisi filsafat analitik,
ontologi banyak dikaitkan dengan analisis konseptual tentang entitas dan
komitmen eksistensial dalam bahasa dan logika. Tokoh seperti W.V.O.
Quine memandang pertanyaan ontologis dalam kerangka bahasa formal: “Apa
saja entitas yang harus diasumsikan sebagai ada agar teori kita menjadi benar?”⁸
Hal ini menempatkan ontologi dalam posisi yang sangat relevan bagi ilmu
pengetahuan dan filsafat bahasa.
Secara keseluruhan, ontologi bukan hanya persoalan
abstrak mengenai “apa yang ada”, tetapi merupakan kajian tentang
struktur, kategori, dan hierarki dari entitas yang kita asumsikan nyata. Dengan
kata lain, ontologi membentuk fondasi teoritis atas bagaimana realitas
dipahami, diklasifikasi, dan diorganisasikan baik dalam wacana filosofis maupun
dalam praktik ilmiah.⁹
Footnotes
[1]
E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 1.
[2]
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 264.
[3]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 50–52.
[4]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 22–24.
[5]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A249–B305.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 19–21.
[8]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
1–19.
[9]
Peter Simons, Parts: A Study in Ontology
(Oxford: Clarendon Press, 1987), xv–xvi.
3.
Metafisika: Ruang Lingkup dan Tujuan
Metafisika merupakan salah satu cabang filsafat tertua dan paling mendasar, yang
berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan hakiki tentang realitas, eksistensi,
dan struktur terdalam dari segala yang ada. Meskipun seringkali dikaitkan
dengan spekulasi abstrak, metafisika justru berada di jantung filsafat sebagai
refleksi rasional atas dasar-dasar keberadaan yang mendasari segala fenomena.¹
Istilah “metafisika” sendiri berasal dari tradisi penyusunan karya
Aristoteles, khususnya oleh Andronikos dari Rodos (abad ke-1 SM), yang
menempatkan sekumpulan tulisan Aristoteles setelah (meta)
karya-karyanya tentang fisika. Namun, secara substantif, yang dibahas adalah
hal-hal yang melampaui dunia fisik—yakni yang mendasari dan memungkinkan
eksistensi dunia fisik itu sendiri.²
Secara umum, ruang lingkup metafisika mencakup empat
wilayah utama: (1) ontologi, yakni kajian tentang “yang ada”
dan kategorinya; (2) kosmologi metafisik, yang membahas struktur dan
asal-usul dunia sebagai keseluruhan; (3) teologi rasional, yakni
perenungan filosofis tentang eksistensi dan sifat Tuhan; dan (4) metafisika
modal, yang menyelidiki kemungkinan, keniscayaan, dan eksistensi
alternatif.³ Dalam kerangka ini, metafisika melampaui sekadar pertanyaan
tentang “apa yang ada” dengan juga bertanya “mengapa sesuatu ada
daripada tidak ada sama sekali,” serta “apa sifat terdalam dari
eksistensi itu.”⁴
Aristoteles mendefinisikan metafisika sebagai “ilmu tentang yang ada
sejauh ia ada” (science of being qua being), dan menyatakan
bahwa tugas filsafat pertama adalah menyelidiki prinsip-prinsip pertama dan
sebab-sebab yang paling fundamental dari segala sesuatu.⁵ Hal ini mencerminkan
dua tujuan utama metafisika: pertama, deskriptif, yakni untuk
mengklasifikasikan dan menjelaskan struktur dasar realitas; dan kedua, normatif-teoretis,
yakni untuk menetapkan kerangka konsisten bagi pengetahuan dan eksistensi.
Namun, pengaruh Immanuel Kant terhadap
metafisika modern tidak dapat diabaikan. Dalam Critique of Pure Reason,
Kant membatasi ruang lingkup metafisika spekulatif dengan mengkritisi klaim
metafisika tradisional yang tidak berbasis pada pengalaman inderawi. Bagi Kant,
metafisika tetap mungkin dilakukan, tetapi harus berada dalam batas-batas rasio
murni dan dalam konteks epistemologi transendental.⁶
Di abad ke-20, terjadi pergeseran tajam dalam
pendekatan metafisika, khususnya dalam tradisi filsafat analitik. Tokoh
seperti W.V.O. Quine dan Rudolf Carnap menolak atau mereformulasi
metafisika dalam kerangka logika simbolik dan analisis bahasa. Quine, misalnya,
menyatakan bahwa metafisika tidak bisa dipisahkan dari ilmu pengetahuan karena
pertanyaan ontologis adalah pertanyaan tentang struktur teori ilmiah.⁷ Namun,
kebangkitan metafisika dalam filsafat analitik kontemporer—yang dikenal sebagai
neo-metafisika—telah membuka kembali kajian mendalam tentang universalia,
identitas, kausalitas, dan modalitas, yang dianggap penting
untuk menjelaskan konsistensi logis dan semantik realitas.⁸
Dengan demikian, tujuan utama metafisika
adalah untuk membangun kerangka konseptual yang menyeluruh dan koheren dalam
memahami realitas pada level terdalamnya. Dalam pengertian ini, metafisika
tidak hanya menyumbang pada filsafat teoritis, tetapi juga berperan sebagai
fondasi konseptual bagi berbagai disiplin ilmu lainnya—termasuk fisika,
teologi, linguistik, hingga kecerdasan buatan.
Footnotes
[1]
Stephen Mumford, Metaphysics: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2012), 1–2.
[2]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 47–48.
[3]
E.J. Lowe, The Possibility of Metaphysics:
Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 4–7.
[4]
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
1.
[5]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A xvii–B xxx.
[7]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
1–19.
[8]
Michael J. Loux dan Thomas M. Crisp, Metaphysics:
A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2017), 3–6.
4.
Relasi Ontologi dan Metafisika
Hubungan antara ontologi dan metafisika
merupakan persoalan konseptual yang kompleks dan telah menjadi bahan diskusi
intensif dalam sejarah filsafat. Meski sering digunakan secara sinonim dalam
literatur filsafat, banyak filsuf yang menegaskan bahwa keduanya memiliki
cakupan dan fungsi yang berbeda namun saling terkait. Untuk memahami relasi ini
secara utuh, penting untuk meninjau posisi ontologi baik sebagai cabang dari
metafisika maupun sebagai pendekatan filosofis yang berdiri sendiri.
Secara tradisional, ontologi diposisikan sebagai
inti dari metafisika. Dalam kerangka Aristotelian, metafisika adalah filsafat
pertama (prote philosophia) yang menyelidiki prinsip-prinsip pertama
dan sebab-sebab terdalam dari segala yang ada, sementara ontologi berperan
sebagai bagian dari metafisika yang secara khusus membahas struktur dan
kategori dari keberadaan itu sendiri.¹ Dengan kata lain, ontologi menjawab
pertanyaan "apa yang ada", sedangkan metafisika memperluas
pertanyaan itu ke arah "mengapa dan bagaimana yang ada itu ada",
mencakup aspek-aspek seperti kausalitas, kemungkinan, dan esensi.²
Namun, dalam filsafat modern dan kontemporer,
terutama dalam tradisi filsafat analitik, hubungan ini mengalami
pergeseran. Sejumlah filsuf mengusulkan bahwa ontologi dan metafisika dapat
dipisahkan secara metodologis, di mana ontologi lebih menitikberatkan pada
inventarisasi atau katalog entitas (kategori eksistensial), sedangkan
metafisika membahas struktur hubungan antar entitas tersebut secara spekulatif
atau konseptual.³ Misalnya, W.V.O. Quine menyederhanakan persoalan
ontologis menjadi persoalan tentang komitmen eksistensial: “Apa yang harus
kita anggap ada agar teori kita tentang dunia menjadi benar?”⁴ Pertanyaan
ini sangat ontologis, tetapi pemaknaannya di dalam kerangka ilmiah menggeser
peran metafisika ke arah epistemologi dan bahasa.
Sebaliknya, dalam tradisi kontinental, seperti
dalam filsafat Martin Heidegger, justru terdapat pengarusutamaan
ontologi atas metafisika. Heidegger menyatakan bahwa filsafat Barat sejak
Aristoteles terjebak dalam metafisika dan melupakan pertanyaan yang lebih
asli: pertanyaan tentang makna dari ada itu sendiri (Seinfrage).⁵
Dalam konteks ini, Heidegger tidak memisahkan ontologi dari metafisika, tetapi
mengkritisi arah metafisika tradisional yang lebih berfokus pada entitas
daripada pada eksistensi sebagai eksistensi. Oleh karena itu, ia mengembangkan
apa yang disebutnya ontologi fundamental, yakni penyelidikan terhadap
syarat-syarat keberadaan yang memungkinkan segala bentuk pengetahuan dan
pemaknaan.⁶
Perdebatan mengenai hubungan keduanya juga tampak
dalam pendekatan metafisika kontemporer. Filsuf seperti E.J. Lowe dan Peter
van Inwagen mempertahankan bahwa ontologi merupakan aspek deskriptif
dari metafisika, yang mengkaji entitas dan kategori mereka secara logis dan
sistematis, sementara metafisika mencakup pula teori-teori tentang sebab,
perubahan, dan kemungkinan.⁷ Ini berarti bahwa ontologi dan metafisika
beroperasi pada tingkatan yang berbeda namun saling melengkapi: ontologi
menjawab pertanyaan "apa saja yang ada", sedangkan metafisika
menjawab "apa sifat dasar dari hal-hal yang ada dan bagaimana mereka
berhubungan".
Dengan demikian, relasi antara ontologi dan
metafisika dapat dipahami sebagai relasi antara bagian dan keseluruhan,
atau antara fondasi dan struktur. Ontologi menyediakan kerangka konseptual
untuk mendeskripsikan realitas, sedangkan metafisika menyediakan kerangka
penafsiran untuk memaknai realitas itu secara lebih mendalam dan holistik.
Dalam praktik filsafat kontemporer, hubungan ini tidak lagi bersifat
hierarkis-mutlak, melainkan dialogis dan kontekstual, tergantung pada
pendekatan filosofis yang digunakan.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21–23.
[2]
E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics:
Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 4–7.
[3]
Peter van Inwagen, Ontology, Identity, and
Modality: Essays in Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press,
2001), 1–4.
[4]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
1–19.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.
[6]
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
7–9.
[7]
E.J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 2–5.
5.
Implikasi Epistemologis dan Metodologis
Relasi antara ontologi dan metafisika tidak
hanya berdampak pada struktur konseptual filsafat, tetapi juga memiliki
konsekuensi penting dalam ranah epistemologi (teori pengetahuan)
dan metodologi (cara pendekatan dan penyelidikan). Hal ini karena cara
kita memahami “apa yang ada” (ontologi) dan “apa makna serta
struktur terdalam dari yang ada” (metafisika) akan menentukan bagaimana
kita dapat mengetahui sesuatu dan dengan metode apa pengetahuan itu
dapat diperoleh atau dibenarkan.
Secara epistemologis, ontologi berperan sebagai
prasyarat bagi pengetahuan: sebelum kita dapat mengetahui sesuatu, kita
harus terlebih dahulu mengasumsikan bahwa sesuatu itu ada.¹ Oleh karena
itu, pilihan ontologis tertentu sering kali menentukan batas cakupan
epistemologi. Misalnya, dalam filsafat realisme, diasumsikan bahwa dunia
eksternal benar-benar ada secara independen dari pikiran, sehingga pengetahuan
diarahkan untuk merepresentasikan realitas objektif; sebaliknya, dalam
idealisme, eksistensi dikondisikan oleh kesadaran, sehingga pengetahuan menjadi
hasil konstruksi subjek.² Ini menunjukkan bahwa ontologi dan epistemologi
saling mempengaruhi secara timbal balik.
Dalam konteks ini, Immanuel Kant memainkan
peran penting dengan menunjukkan bahwa keterbatasan epistemologis juga
memengaruhi validitas klaim metafisika. Dalam Critique of Pure Reason,
ia menegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui dunia sebagaimana ia tampak
kepada kita (fenomena), bukan sebagaimana ia ada pada dirinya sendiri
(noumena).³ Konsekuensinya, metafisika dan ontologi harus dibingkai dalam
batas-batas rasio murni. Pandangan Kant menyiratkan bahwa epistemologi tidak
sekadar bergantung pada ontologi, tetapi juga dapat menjadi landasan untuk
mengoreksi atau membatasi klaim ontologis dan metafisis.
Dari segi metodologis, konsepsi tentang “yang
ada” secara langsung memengaruhi metode pendekatan dalam filsafat dan
ilmu pengetahuan. Misalnya, ontologi kategoris seperti yang
dikembangkan oleh Aristoteles atau E.J. Lowe—yang mengklasifikasikan realitas
ke dalam substansi, atribut, relasi, dsb.—menyediakan struktur konseptual yang
menjadi kerangka bagi penelitian ilmiah maupun filsafat.⁴ Dalam hal ini,
metafisika berfungsi sebagai pengatur norma-norma kategori yang harus digunakan
oleh metode ilmiah untuk menjelaskan dunia.⁵
Dalam perkembangan filsafat kontemporer, terutama
dalam tradisi filsafat analitik, muncul pendekatan ontologi formal
yang menggunakan perangkat logika simbolik untuk membakukan representasi
entitas dan hubungan di antara mereka. Metode ini banyak digunakan dalam
pengembangan ontologi terapan (applied ontology) di bidang ilmu
komputer, ilmu informasi, dan kecerdasan buatan, di mana struktur ontologis
dijadikan dasar bagi sistem informasi dan basis data.⁶ Di sini terlihat bahwa ontologi
tidak hanya menjadi refleksi filosofis, tetapi juga alat metodologis yang
operasional.
Selain itu, pertimbangan ontologis juga berperan
penting dalam penyusunan teori ilmiah. Quine, misalnya, berpendapat
bahwa komitmen ontologis suatu teori ilmiah dapat ditentukan dari bentuk logis
kalimat-kalimat dalam teori tersebut.⁷ Artinya, dalam pendekatan ilmiah pun,
pemilihan struktur ontologis bukanlah sesuatu yang netral, melainkan bersifat
metodologis dan strategis. Hal ini membuktikan bahwa ontologi dan metafisika
tidak hanya berdampak dalam tataran spekulatif, melainkan juga dalam praksis
keilmuan.
Dengan demikian, implikasi epistemologis dan
metodologis dari relasi ontologi-metafisika menegaskan bahwa fondasi
metafisik tidak bisa dilepaskan dari cara kita membangun, menguji, dan
membenarkan pengetahuan. Interaksi erat ini memperkuat posisi ontologi dan
metafisika sebagai bukan sekadar cabang filsafat yang bersifat teoritis, tetapi
juga sebagai kerangka dasar yang memandu aktivitas rasional dan ilmiah secara
lebih luas.
Footnotes
[1]
E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 3–5.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2010), 37–45.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A249–B305.
[4]
E.J. Lowe, The Four-Category Ontology: A
Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Clarendon Press,
2006), 1–3.
[5]
Wilfrid Sellars, “Empiricism and the Philosophy of
Mind,” in Science, Perception and Reality (London: Routledge & Kegan
Paul, 1963), 127–196.
[6]
Barry Smith dan Werner Ceusters, “Ontology as the
Core Discipline of Biomedical Informatics: Legacies of the Past and
Recommendations for the Future,” Methods of Information in Medicine 48,
no. 6 (2009): 475–487.
[7]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
15–16.
6.
Studi Perbandingan: Pandangan Beberapa Tokoh
Filsafat
Studi perbandingan
terhadap pemikiran para tokoh filsafat klasik hingga kontemporer menunjukkan
bahwa hubungan
antara ontologi dan metafisika telah mengalami pergeseran dan
rekonstruksi yang signifikan dalam berbagai tradisi filsafat. Setiap tokoh
membawa pendekatan yang unik dalam memahami struktur realitas, keberadaan, dan
cara berpikir tentang “yang ada”. Kajian ini tidak hanya memperkaya
diskursus konseptual, tetapi juga menampilkan dinamika epistemologis dan
metodologis yang berbeda antar tradisi.
6.1.
Aristoteles:
Ontologi dalam Bingkai Metafisika Tradisional
Aristoteles adalah
figur sentral dalam merumuskan metafisika sebagai “ilmu tentang yang ada sejauh ia ada”
(being
qua being). Dalam Metaphysics, Aristoteles
mengembangkan pendekatan yang sangat sistematis terhadap kategori eksistensi,
seperti substansi (ousia), aksiden, dan kausalitas.¹
Ontologi, dalam sistem Aristotelian, merupakan bagian integral dari metafisika
yang bertugas mendeskripsikan struktur universal dari segala yang ada. Ia
membedakan antara keberadaan aktual dan potensial, serta mengkaji
prinsip-prinsip dasar perubahan dan keberlangsungan.² Dengan demikian,
Aristoteles mengokohkan fondasi metafisika yang sekaligus bersifat ontologis.
6.2.
Immanuel Kant:
Kritik terhadap Ontologi Tradisional
Kant melakukan
revolusi epistemologis dengan mengkritik klaim metafisika tradisional yang
berusaha mengetahui realitas sebagaimana adanya (noumena), terlepas dari pengalaman.
Dalam Critique
of Pure Reason, ia menegaskan bahwa pengetahuan hanya mungkin atas fenomena,
yaitu hal-hal sebagaimana ditangkap dalam kerangka ruang dan waktu oleh fakultas
kognitif manusia.³ Oleh karena itu, Kant membatasi ruang lingkup ontologi
sebagai bagian dari metafisika spekulatif dan menyerukan “metafisika dalam
batas-batas rasio murni.”⁴ Dalam kerangka ini, hubungan ontologi dan
metafisika ditransformasikan dari usaha deskriptif menjadi proyek
kritis-transendental yang mengkaji syarat-syarat kemungkinan pengetahuan.
6.3.
Martin Heidegger:
Ontologi Fundamental sebagai Kritik atas Metafisika
Heidegger secara
radikal menempatkan ontologi sebagai inti filsafat sejati yang telah “dilupakan”
oleh tradisi metafisika Barat. Dalam Being and Time, ia membedakan
antara Seiendes
(entitas) dan Sein (ada), dan menyatakan bahwa
tugas utama filsafat adalah memahami makna dari keberadaan itu sendiri (Seinsfrage).⁵
Ia menyebut proyek ini sebagai ontologi fundamental, yang
berusaha mengungkap syarat ontologis yang memungkinkan manusia memahami dan
berelasi dengan dunia.⁶ Heidegger menilai bahwa metafisika Aristotelian dan
turunannya terlalu fokus pada entitas, sehingga gagal mengungkap horizon makna
eksistensial dari keberadaan. Pandangan ini memposisikan ontologi tidak hanya
sebagai bagian dari metafisika, tetapi sebagai kritik dan rekonstruksi
terhadapnya.
6.4.
W.V.O. Quine:
Ontologi dalam Kerangka Ilmu dan Bahasa
Dalam tradisi
filsafat analitik, Quine menawarkan pendekatan yang berbeda terhadap ontologi,
yakni melalui kerangka logika dan analisis bahasa. Dalam esainya yang terkenal
“On What There Is,” ia menyatakan bahwa komitmen ontologis suatu teori
ditentukan oleh entitas yang harus dianggap ada agar teori itu menjadi benar.⁷
Bagi Quine, pertanyaan ontologis tidak dapat dipisahkan dari struktur
linguistik dan teori ilmiah. Ontologi, menurutnya, tidak berjalan secara
independen dari metodologi ilmiah dan harus diuji melalui koherensi dalam
sistem pengetahuan.⁸ Ini menunjukkan bahwa hubungan ontologi dan metafisika
menjadi lebih pragmatis dan teknis dalam kerangka ilmu modern.
6.5. E. J. Lowe: Integrasi Sistematik antara Ontologi
dan Metafisika
E. J. Lowe
mengembangkan pendekatan integratif yang menempatkan ontologi sebagai inti
dari metafisika, tetapi tetap membedakannya secara konseptual.
Dalam karyanya The Four-Category Ontology, ia
mengusulkan sistem ontologi formal yang membedakan antara empat jenis entitas:
substansi, jenis, atribut, dan modus.⁹ Bagi Lowe, metafisika adalah studi
menyeluruh tentang struktur realitas, sementara ontologi adalah aspek
deskriptifnya yang menyediakan kerangka klasifikasi. Pendekatan ini
menyeimbangkan antara kedalaman spekulatif metafisika dan presisi sistematis
ontologi.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), Book IV, 1003a21–1003b10.
[2]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 40–52.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), A249–B305.
[4]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 118–123.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.
[6]
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory
Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 7–9.
[7]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.
[8]
Peter Hylton, Quine (London: Routledge, 2007), 85–98.
[9]
E. J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation
for Natural Science (Oxford: Clarendon Press, 2006), 1–15.
7.
Relevansi Kontemporer
Di tengah kemajuan sains, teknologi, dan
interdisiplineritas ilmu pengetahuan, kajian ontologi dan metafisika
tetap menunjukkan signifikansi yang tak tergantikan. Meskipun pernah mengalami
skeptisisme pada era positivisme logis—yang menolak validitas metafisika
sebagai bentuk “nonsense” karena tidak dapat diverifikasi secara
empiris—filsafat kontemporer justru menyaksikan kebangkitan kembali perhatian
terhadap pertanyaan-pertanyaan ontologis dan metafisis, terutama dalam konteks
filsafat analitik, teknologi informasi, dan bahkan kecerdasan buatan.¹
Dalam bidang filsafat sains, metafisika dan
ontologi menyediakan kerangka reflektif terhadap dasar-dasar konsep ilmiah
seperti ruang, waktu, materi, kausalitas, dan hukum alam. Banyak fisikawan dan
filsuf sains menyadari bahwa teori-teori ilmiah memuat komitmen ontologis
tertentu yang tidak dapat dihindari. Misalnya, pertanyaan tentang realitas
partikel subatomik, status eksistensial medan kuantum, atau makna waktu dalam
relativitas umum, semuanya berakar pada refleksi metafisik tentang “apa yang
ada.”² Oleh karena itu, ontologi menjadi prasyarat filosofis bagi
validitas ontologis model-model ilmiah.
Di sisi lain, ontologi juga memainkan peran
kunci dalam ilmu komputer, teknologi informasi, dan kecerdasan buatan (AI).
Istilah ontology dalam konteks ini merujuk pada sistem klasifikasi
formal atas entitas, relasi, dan atribut yang memungkinkan sistem informasi
untuk memahami dan memproses data secara semantik.³ Ontologi digunakan dalam
pengembangan basis data semantik, web semantik (semantic web), serta
sistem inferensi dalam AI dan machine learning. Misalnya, dalam bioinformatika,
Gene Ontology menjadi struktur konseptual penting untuk mengelompokkan
dan menafsirkan data genetik secara universal.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa ontologi
tidak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga aplikatif dan teknis.
Lebih lanjut, dalam bidang filsafat bahasa dan
logika, ontologi dan metafisika digunakan untuk menganalisis struktur
makna, referensi, dan representasi. Tokoh-tokoh seperti Quine dan Kripke telah
menunjukkan bahwa struktur logika predikatif dan semantik modal sangat
dipengaruhi oleh pertanyaan-pertanyaan ontologis.⁵ Bahkan, perdebatan tentang referensi
tetap (rigid designation) atau identitas trans-temporal berakar dari
kerangka metafisika identitas dan eksistensi.⁶
Relevansi metafisika juga tampak dalam diskursus etika
dan filsafat politik, khususnya terkait dengan konsep nilai, kehendak
bebas, hakikat manusia, dan tujuan moral. Sebuah teori etika, misalnya, akan
memiliki presupposisi metafisik tertentu tentang sifat dasar manusia atau
struktur realitas moral.⁷ Dalam hal ini, metafisika menjadi dasar dari ontologi
moral dan konsep normatif dalam kehidupan publik.
Dalam era postmodernisme dan pluralitas wacana,
metafisika dan ontologi tetap diperlukan untuk mendialogkan berbagai sistem
makna. Meskipun postmodernisme cenderung mencurigai narasi besar dan
esensialisme, banyak filsuf kontemporer berupaya membangun ontologi plural yang
mampu menampung keragaman perspektif tanpa jatuh ke relativisme mutlak.⁸ Ini
membuka kemungkinan bagi ontologi-kritis, yakni pendekatan yang tetap
mempertanyakan dasar realitas tetapi tanpa menafikan kompleksitas sosial-budaya
dan linguistiknya.
Singkatnya, ontologi dan metafisika tetap
relevan dalam menjawab tantangan intelektual kontemporer, baik dalam bidang
ilmiah, teknologi, maupun kemanusiaan. Mereka menyediakan kerangka teoritis
yang esensial bagi fondasi konseptual berbagai ilmu dan praktik. Reaktualisasi keduanya
di masa kini tidak lagi bersifat abstrak-spekulatif semata, tetapi justru
menjadi instrumen berpikir yang strategis dalam memahami dan mengelola
kompleksitas realitas modern.
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 34–37; lihat pula Paul Horwich, Metaphysical
Essays (Oxford: Oxford University Press, 2010), 3–4.
[2]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 10–12.
[3]
Barry Smith et al., “Ontology and Information
Science,” Studies in Health Technology and Informatics 122 (2006): 5–13.
[4]
Michael Ashburner et al., “Gene Ontology: Tool for
the Unification of Biology,” Nature Genetics 25, no. 1 (2000): 25–29.
[5]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
1–19.
[6]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–53.
[7]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 23–28.
[8]
Manuel DeLanda, Assemblage Theory
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2016), 13–16.
8.
Penutup
Kajian tentang hubungan ontologi dan metafisika
merupakan upaya mendalam untuk menelusuri fondasi-fondasi terdalam dari
realitas, suatu pencarian intelektual yang terus relevan dari zaman Yunani Kuno
hingga era kecerdasan buatan dewasa ini. Sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai
tradisi pemikiran, ontologi dan metafisika bukan hanya disiplin spekulatif,
tetapi juga penyelidikan sistematis terhadap struktur dan makna dari
"yang ada"—baik yang aktual maupun potensial, baik yang tampak
maupun yang transenden.
Dalam sejarah filsafat, para pemikir besar dari Aristoteles
hingga Heidegger telah menunjukkan bahwa pemahaman tentang “ada”
(being) tidak dapat dilepaskan dari cara manusia mengonseptualisasikan
kenyataan itu sendiri.¹ Aristoteles meletakkan dasar metafisika sebagai ilmu
tentang "yang ada sebagai ada", sedangkan Heidegger
mengkritisi bahwa metafisika tradisional justru telah melupakan pertanyaan
sejati tentang keberadaan.² Ini menunjukkan bahwa ontologi dan metafisika
memiliki relasi dinamis, bukan statis, dan senantiasa diperbarui oleh
pergumulan intelektual dalam konteks zamannya.
Di sisi lain, perkembangan filsafat analitik
dan filsafat sains telah memperluas cakupan ontologi ke dalam wilayah yang
lebih formal, teknis, dan aplikatif. Filsuf seperti Quine dan Lowe
menunjukkan bahwa pertanyaan ontologis tidak hanya penting bagi metafisika,
tetapi juga bagi rasionalisasi ilmu pengetahuan, pengembangan teori, dan
bahkan desain sistem informasi.³ Dalam konteks ini, ontologi dan metafisika
telah mengalami dekontekstualisasi dari eksklusivitas filosofis menuju
peran yang lebih fungsional dalam ilmu interdisipliner.
Keseluruhan pembahasan dalam artikel ini
memperlihatkan bahwa ontologi dan metafisika tidak hanya memiliki hubungan
inheren, tetapi juga saling melengkapi dalam upaya memahami realitas secara
holistik. Ontologi memberikan peta kategoris tentang entitas yang ada,
sedangkan metafisika menawarkan kerangka interpretatif tentang makna,
sebab-akibat, dan kemungkinan dari entitas tersebut.⁴ Dalam banyak hal,
ontologi adalah "apa"-nya realitas, dan metafisika adalah
"mengapa"-nya realitas.
Lebih jauh, kajian ini menegaskan bahwa ontologi
dan metafisika adalah fondasi teoritis yang penting bagi etika, epistemologi,
filsafat politik, dan sains, serta memiliki daya lenting untuk beradaptasi
dalam kerangka dunia modern yang kompleks, plural, dan transdisipliner.⁵ Oleh
karena itu, mempelajari hubungan antara keduanya tidak hanya penting untuk
filsafat secara akademis, tetapi juga relevan bagi siapa pun yang ingin
berpikir mendalam tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya.
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa ontologi
dan metafisika tetap menjadi medan filosofis yang vital dan produktif,
bukan saja sebagai warisan intelektual, tetapi juga sebagai kerangka kerja
konseptual yang dapat menjembatani filsafat klasik dengan tantangan pengetahuan
kontemporer. Dalam era yang ditandai oleh ledakan data, ketidakpastian
eksistensial, dan kompleksitas ontologis baru, keduanya berperan sebagai kompas
intelektual yang memungkinkan manusia tetap kritis, reflektif, dan terbuka
terhadap kemungkinan makna yang lebih dalam dari realitas.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21; Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper
& Row, 1962), 21–35.
[2]
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
7–9.
[3]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
1–19; E. J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for
Natural Science (Oxford: Clarendon Press, 2006), 1–15.
[4]
E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 3–7.
[5]
Manuel DeLanda, Assemblage Theory
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2016), 13–16; Tim Maudlin, The
Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 10–12.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language,
truth and logic. London: Gollancz.
Ashburner, M., Ball, C. A.,
Blake, J. A., Botstein, D., Butler, H., Cherry, J. M., ... & Sherlock, G.
(2000). Gene ontology: Tool for the unification of biology. Nature
Genetics, 25(1), 25–29. https://doi.org/10.1038/75556
Audi, R. (2010). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). New
York: Routledge.
Barnes, J. (2000). Aristotle:
A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
Barnes, J., Raven, J. E.,
& Schofield, M. (1983). The Presocratic philosophers (2nd ed.).
Cambridge: Cambridge University Press.
DeLanda, M. (2016). Assemblage
theory. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Finnis, J. (2011). Natural
law and natural rights (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.
Guyer, P. (2006). Kant.
New York: Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper &
Row.
Heidegger, M. (2000). Introduction
to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). New Haven: Yale
University Press.
Horwich, P. (2010). Metaphysical
essays. Oxford: Oxford University Press.
Hylton, P. (2007). Quine.
London: Routledge.
Kant, I. (1929). Critique
of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan. (Original work
published 1781/1787)
Kripke, S. A. (1980). Naming
and necessity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Lowe, E. J. (1998). The
possibility of metaphysics: Substance, identity, and time. Oxford:
Clarendon Press.
Lowe, E. J. (2002). A
survey of metaphysics. Oxford: Oxford University Press.
Lowe, E. J. (2006). The
four-category ontology: A metaphysical foundation for natural science.
Oxford: Clarendon Press.
Maudlin, T. (2007). The
metaphysics within physics. Oxford: Oxford University Press.
Mumford, S. (2012). Metaphysics:
A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
Owens, J. (1951). The
doctrine of being in the Aristotelian metaphysics. Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies.
Quine, W. V. O. (1953). On
what there is. In From a logical point of view (pp. 1–19). Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Russell, B. (2004). History
of Western philosophy. London: Routledge.
Sellars, W. (1963).
Empiricism and the philosophy of mind. In Science, perception and reality
(pp. 127–196). London: Routledge & Kegan Paul.
Simons, P. (1987). Parts:
A study in ontology. Oxford: Clarendon Press.
Smith, B., & Ceusters,
W. (2009). Ontology as the core discipline of biomedical informatics: Legacies
of the past and recommendations for the future. Methods of Information in
Medicine, 48(6), 475–487. https://doi.org/10.3414/ME9232
Smith, B., Kusnierczyk, W.,
Schober, D., & Ceusters, W. (2006). Towards a reference terminology for
ontology research and development in the biomedical domain. Studies in
Health Technology and Informatics, 122, 5–13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar