Rabu, 28 Mei 2025

Hubungan Ontologi dengan Metafisika: Hubungan Ontologi dan Metafisika dalam Tradisi Filsafat

Hubungan Ontologi dengan Metafisika

Hubungan Ontologi dan Metafisika dalam Tradisi Filsafat


Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif hubungan antara ontologi dan metafisika sebagai dua cabang utama filsafat yang berperan penting dalam menyingkap struktur terdalam realitas. Kajian dimulai dengan penelusuran konsep dasar ontologi sebagai studi tentang "yang ada", serta cakupan metafisika sebagai filsafat pertama yang menyelidiki prinsip-prinsip eksistensi. Melalui studi perbandingan pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Aristoteles, Immanuel Kant, Martin Heidegger, W.V.O. Quine, dan E.J. Lowe, artikel ini menunjukkan bahwa relasi antara ontologi dan metafisika bersifat dinamis, historis, dan metodologis. Di samping itu, dibahas pula implikasi epistemologis serta relevansi kontemporer dari kajian ontologi-metafisika, baik dalam konteks filsafat sains, teknologi informasi, hingga filsafat moral dan politik. Hasil kajian menegaskan bahwa ontologi dan metafisika bukan hanya bidang spekulatif, tetapi juga fondasi konseptual yang esensial dalam memahami dan mengarahkan refleksi filosofis serta praksis keilmuan di era modern.

Kata Kunci; Ontologi; Metafisika; Eksistensi; Realitas; Filsafat; Epistemologi; Filsuf Klasik; Filsafat Kontemporer.


PEMBAHASAN

Menelusuri Fondasi Realitas dalam Tradisi Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat, pertanyaan mengenai “apa yang sungguh-sungguh ada” dan “bagaimana struktur realitas itu sendiri” menjadi tema sentral yang terus diperbincangkan sejak masa Yunani Kuno hingga era kontemporer. Filsafat sebagai disiplin intelektual tidak hanya mengkaji cara berpikir yang logis, tetapi juga mendalami dasar keberadaan (being) dan hakikat kenyataan (reality). Dalam konteks ini, dua cabang utama filsafat yang paling erat terkait ialah ontologi dan metafisika. Keduanya sering digunakan secara bergantian, namun dalam tradisi filsafat, keduanya memiliki distingsi konseptual yang penting.

Ontologi secara etimologis berasal dari kata Yunani ontos (yang ada) dan logos (ilmu atau wacana), yang secara umum didefinisikan sebagai studi tentang keberadaan atau eksistensi sebagai eksistensi itu sendiri. Ontologi tidak bertanya “apa yang kita ketahui tentang dunia”, tetapi “apa yang sebenarnya ada”, dalam bentuk yang paling fundamental dan universal.¹ Di sisi lain, metafisika, sebuah istilah yang pertama kali digunakan oleh editor karya Aristoteles (khususnya Andronikos dari Rodos), merujuk pada cabang filsafat yang lebih luas yang mencakup studi tentang eksistensi, identitas, ruang, waktu, kausalitas, kemungkinan, dan sebagainya.²

Hubungan antara ontologi dan metafisika bukan hanya bersifat terminologis, melainkan juga metodologis dan substansial. Ontologi sering dipandang sebagai inti dari metafisika; ia menyediakan kerangka dasar dari apa yang dianggap “ada” sebelum membahas pertanyaan metafisik lainnya.³ Namun, dalam perkembangan filsafat modern dan analitik, muncul perdebatan mengenai apakah ontologi harus tetap berada dalam lingkup metafisika, atau justru berdiri sebagai kajian yang otonom.⁴ Hal ini membuka ruang refleksi yang luas tentang cara kita memahami dan mengklasifikasikan realitas.

Kajian tentang hubungan antara ontologi dan metafisika menjadi semakin relevan di tengah berkembangnya filsafat kontemporer yang tidak hanya dipengaruhi oleh tradisi kontinental dan analitik, tetapi juga oleh pendekatan interdisipliner dalam sains, linguistik, dan teknologi. Seiring dengan meningkatnya ketertarikan pada fondasi teoritis dari berbagai ilmu, muncul kebutuhan untuk meninjau ulang keterkaitan ontologi-metafisika sebagai basis dari pengetahuan dan keberadaan.

Melalui artikel ini, penulis bertujuan untuk menelusuri secara sistematis bagaimana ontologi dan metafisika berkembang, saling berinteraksi, dan membentuk satu jaringan wacana yang esensial dalam memahami struktur realitas. Fokus utama adalah meninjau titik temu, perbedaan konseptual, serta relevansi keduanya dalam konteks filsafat klasik hingga kontemporer. Dengan pendekatan historis-kritis dan analitis, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi teoritis bagi studi ontologi dan metafisika dalam kerangka filsafat secara lebih luas.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, Ontology, Identity, and Modality: Essays in Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1.

[2]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1979), 16; lihat juga Richard Sorabji, Aristotle on Memory (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 8.

[3]                E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 6–8.

[4]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.


2.           Hakikat Ontologi sebagai Kajian tentang Ada

Ontologi, dalam konteks filsafat, merupakan cabang kajian yang berurusan secara langsung dengan pertanyaan paling mendasar tentang keberadaan (being). Secara historis, istilah ini berasal dari bahasa Yunani ontos (ὄντος, bentuk genitif dari to on, “yang ada”) dan logos (λόγος, “ilmu” atau “kajian”), yang jika digabungkan berarti “kajian tentang yang ada” atau “ilmu tentang ada”.¹ Dalam tradisi filsafat Barat, kajian ini secara eksplisit berkembang sejak filsuf Pra-Sokratik yang mulai merumuskan pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang hakikat realitas dan perubahan di dunia ini.

Salah satu pendiri utama filsafat ontologis adalah Parmenides, yang secara radikal menolak realitas perubahan dan perbedaan, dengan menyatakan bahwa “yang ada itu ada, dan yang tidak ada itu tidak ada.”² Pandangan ini menandai lahirnya suatu pendekatan ontologis yang ketat, yakni bahwa hanya “yang ada” yang layak dibicarakan secara filosofis. Sebaliknya, Herakleitos menyodorkan pandangan dinamis tentang realitas, bahwa segala sesuatu sedang dalam keadaan berubah (panta rhei), yang kemudian menimbulkan ketegangan ontologis antara kesinambungan dan perubahan.³

Krisis ontologis tersebut dikembangkan secara sistematis oleh Plato dan Aristoteles. Dalam filsafat Plato, dunia nyata dibedakan antara dunia indra (dunia fenomenal) dan dunia ide (dunia yang benar-benar ada). Dunia ide—sebagai bentuk-bentuk yang kekal dan tak berubah—diperlakukan sebagai objek ontologis yang paling nyata.⁴ Sementara itu, Aristoteles memformulasikan pendekatan yang lebih empiris dan sistematis melalui karyanya Metaphysics, di mana ia menyatakan bahwa filsafat pertama adalah ilmu yang mempelajari “yang ada sejauh ia ada” (being qua being).⁵ Ontologi dalam pengertian Aristotelian ini mencakup penyelidikan tentang substansi (ousia), esensi, atribut, dan hubungan sebab-akibat dari segala yang ada.

Dalam perkembangan filsafat modern dan kontemporer, konsep ontologi mengalami perluasan dan diversifikasi. Immanuel Kant, misalnya, mengkritik ontologi tradisional karena menganggapnya berpretensi mengetahui hakikat sesuatu di luar batas pengalaman. Ia membedakan antara noumenon (realitas pada dirinya) dan phenomenon (realitas sebagaimana tampak).⁶ Di abad ke-20, Martin Heidegger menghidupkan kembali ontologi melalui pendekatan fenomenologis, dengan menyatakan bahwa filsafat harus kembali ke “pertanyaan tentang makna ada” (Seinsfrage). Dalam karyanya Sein und Zeit (1927), Heidegger membedakan antara Sein (ada) dan Seiendes (yang ada), dan menegaskan bahwa ontologi fundamental harus mengkaji kondisi keberadaan subjek manusia (Dasein) sebagai entitas yang menyadari keberadaannya.⁷

Sementara itu, dalam tradisi filsafat analitik, ontologi banyak dikaitkan dengan analisis konseptual tentang entitas dan komitmen eksistensial dalam bahasa dan logika. Tokoh seperti W.V.O. Quine memandang pertanyaan ontologis dalam kerangka bahasa formal: “Apa saja entitas yang harus diasumsikan sebagai ada agar teori kita menjadi benar?”⁸ Hal ini menempatkan ontologi dalam posisi yang sangat relevan bagi ilmu pengetahuan dan filsafat bahasa.

Secara keseluruhan, ontologi bukan hanya persoalan abstrak mengenai “apa yang ada”, tetapi merupakan kajian tentang struktur, kategori, dan hierarki dari entitas yang kita asumsikan nyata. Dengan kata lain, ontologi membentuk fondasi teoritis atas bagaimana realitas dipahami, diklasifikasi, dan diorganisasikan baik dalam wacana filosofis maupun dalam praktik ilmiah.⁹


Footnotes

[1]                E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2002), 1.

[2]                G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 264.

[3]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 50–52.

[4]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 22–24.

[5]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A249–B305.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 19–21.

[8]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[9]                Peter Simons, Parts: A Study in Ontology (Oxford: Clarendon Press, 1987), xv–xvi.


3.           Metafisika: Ruang Lingkup dan Tujuan

Metafisika merupakan salah satu cabang filsafat tertua dan paling mendasar, yang berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan hakiki tentang realitas, eksistensi, dan struktur terdalam dari segala yang ada. Meskipun seringkali dikaitkan dengan spekulasi abstrak, metafisika justru berada di jantung filsafat sebagai refleksi rasional atas dasar-dasar keberadaan yang mendasari segala fenomena.¹ Istilah “metafisika” sendiri berasal dari tradisi penyusunan karya Aristoteles, khususnya oleh Andronikos dari Rodos (abad ke-1 SM), yang menempatkan sekumpulan tulisan Aristoteles setelah (meta) karya-karyanya tentang fisika. Namun, secara substantif, yang dibahas adalah hal-hal yang melampaui dunia fisik—yakni yang mendasari dan memungkinkan eksistensi dunia fisik itu sendiri.²

Secara umum, ruang lingkup metafisika mencakup empat wilayah utama: (1) ontologi, yakni kajian tentang “yang ada” dan kategorinya; (2) kosmologi metafisik, yang membahas struktur dan asal-usul dunia sebagai keseluruhan; (3) teologi rasional, yakni perenungan filosofis tentang eksistensi dan sifat Tuhan; dan (4) metafisika modal, yang menyelidiki kemungkinan, keniscayaan, dan eksistensi alternatif.³ Dalam kerangka ini, metafisika melampaui sekadar pertanyaan tentang “apa yang ada” dengan juga bertanya “mengapa sesuatu ada daripada tidak ada sama sekali,” serta “apa sifat terdalam dari eksistensi itu.”⁴

Aristoteles mendefinisikan metafisika sebagai ilmu tentang yang ada sejauh ia ada (science of being qua being), dan menyatakan bahwa tugas filsafat pertama adalah menyelidiki prinsip-prinsip pertama dan sebab-sebab yang paling fundamental dari segala sesuatu.⁵ Hal ini mencerminkan dua tujuan utama metafisika: pertama, deskriptif, yakni untuk mengklasifikasikan dan menjelaskan struktur dasar realitas; dan kedua, normatif-teoretis, yakni untuk menetapkan kerangka konsisten bagi pengetahuan dan eksistensi.

Namun, pengaruh Immanuel Kant terhadap metafisika modern tidak dapat diabaikan. Dalam Critique of Pure Reason, Kant membatasi ruang lingkup metafisika spekulatif dengan mengkritisi klaim metafisika tradisional yang tidak berbasis pada pengalaman inderawi. Bagi Kant, metafisika tetap mungkin dilakukan, tetapi harus berada dalam batas-batas rasio murni dan dalam konteks epistemologi transendental.⁶

Di abad ke-20, terjadi pergeseran tajam dalam pendekatan metafisika, khususnya dalam tradisi filsafat analitik. Tokoh seperti W.V.O. Quine dan Rudolf Carnap menolak atau mereformulasi metafisika dalam kerangka logika simbolik dan analisis bahasa. Quine, misalnya, menyatakan bahwa metafisika tidak bisa dipisahkan dari ilmu pengetahuan karena pertanyaan ontologis adalah pertanyaan tentang struktur teori ilmiah.⁷ Namun, kebangkitan metafisika dalam filsafat analitik kontemporer—yang dikenal sebagai neo-metafisika—telah membuka kembali kajian mendalam tentang universalia, identitas, kausalitas, dan modalitas, yang dianggap penting untuk menjelaskan konsistensi logis dan semantik realitas.⁸

Dengan demikian, tujuan utama metafisika adalah untuk membangun kerangka konseptual yang menyeluruh dan koheren dalam memahami realitas pada level terdalamnya. Dalam pengertian ini, metafisika tidak hanya menyumbang pada filsafat teoritis, tetapi juga berperan sebagai fondasi konseptual bagi berbagai disiplin ilmu lainnya—termasuk fisika, teologi, linguistik, hingga kecerdasan buatan.


Footnotes

[1]                Stephen Mumford, Metaphysics: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2012), 1–2.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 47–48.

[3]                E.J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 4–7.

[4]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 1.

[5]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A xvii–B xxx.

[7]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[8]                Michael J. Loux dan Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2017), 3–6.


4.           Relasi Ontologi dan Metafisika

Hubungan antara ontologi dan metafisika merupakan persoalan konseptual yang kompleks dan telah menjadi bahan diskusi intensif dalam sejarah filsafat. Meski sering digunakan secara sinonim dalam literatur filsafat, banyak filsuf yang menegaskan bahwa keduanya memiliki cakupan dan fungsi yang berbeda namun saling terkait. Untuk memahami relasi ini secara utuh, penting untuk meninjau posisi ontologi baik sebagai cabang dari metafisika maupun sebagai pendekatan filosofis yang berdiri sendiri.

Secara tradisional, ontologi diposisikan sebagai inti dari metafisika. Dalam kerangka Aristotelian, metafisika adalah filsafat pertama (prote philosophia) yang menyelidiki prinsip-prinsip pertama dan sebab-sebab terdalam dari segala yang ada, sementara ontologi berperan sebagai bagian dari metafisika yang secara khusus membahas struktur dan kategori dari keberadaan itu sendiri.¹ Dengan kata lain, ontologi menjawab pertanyaan "apa yang ada", sedangkan metafisika memperluas pertanyaan itu ke arah "mengapa dan bagaimana yang ada itu ada", mencakup aspek-aspek seperti kausalitas, kemungkinan, dan esensi.²

Namun, dalam filsafat modern dan kontemporer, terutama dalam tradisi filsafat analitik, hubungan ini mengalami pergeseran. Sejumlah filsuf mengusulkan bahwa ontologi dan metafisika dapat dipisahkan secara metodologis, di mana ontologi lebih menitikberatkan pada inventarisasi atau katalog entitas (kategori eksistensial), sedangkan metafisika membahas struktur hubungan antar entitas tersebut secara spekulatif atau konseptual.³ Misalnya, W.V.O. Quine menyederhanakan persoalan ontologis menjadi persoalan tentang komitmen eksistensial: “Apa yang harus kita anggap ada agar teori kita tentang dunia menjadi benar?”⁴ Pertanyaan ini sangat ontologis, tetapi pemaknaannya di dalam kerangka ilmiah menggeser peran metafisika ke arah epistemologi dan bahasa.

Sebaliknya, dalam tradisi kontinental, seperti dalam filsafat Martin Heidegger, justru terdapat pengarusutamaan ontologi atas metafisika. Heidegger menyatakan bahwa filsafat Barat sejak Aristoteles terjebak dalam metafisika dan melupakan pertanyaan yang lebih asli: pertanyaan tentang makna dari ada itu sendiri (Seinfrage).⁵ Dalam konteks ini, Heidegger tidak memisahkan ontologi dari metafisika, tetapi mengkritisi arah metafisika tradisional yang lebih berfokus pada entitas daripada pada eksistensi sebagai eksistensi. Oleh karena itu, ia mengembangkan apa yang disebutnya ontologi fundamental, yakni penyelidikan terhadap syarat-syarat keberadaan yang memungkinkan segala bentuk pengetahuan dan pemaknaan.⁶

Perdebatan mengenai hubungan keduanya juga tampak dalam pendekatan metafisika kontemporer. Filsuf seperti E.J. Lowe dan Peter van Inwagen mempertahankan bahwa ontologi merupakan aspek deskriptif dari metafisika, yang mengkaji entitas dan kategori mereka secara logis dan sistematis, sementara metafisika mencakup pula teori-teori tentang sebab, perubahan, dan kemungkinan.⁷ Ini berarti bahwa ontologi dan metafisika beroperasi pada tingkatan yang berbeda namun saling melengkapi: ontologi menjawab pertanyaan "apa saja yang ada", sedangkan metafisika menjawab "apa sifat dasar dari hal-hal yang ada dan bagaimana mereka berhubungan".

Dengan demikian, relasi antara ontologi dan metafisika dapat dipahami sebagai relasi antara bagian dan keseluruhan, atau antara fondasi dan struktur. Ontologi menyediakan kerangka konseptual untuk mendeskripsikan realitas, sedangkan metafisika menyediakan kerangka penafsiran untuk memaknai realitas itu secara lebih mendalam dan holistik. Dalam praktik filsafat kontemporer, hubungan ini tidak lagi bersifat hierarkis-mutlak, melainkan dialogis dan kontekstual, tergantung pada pendekatan filosofis yang digunakan.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21–23.

[2]                E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 4–7.

[3]                Peter van Inwagen, Ontology, Identity, and Modality: Essays in Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–4.

[4]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.

[6]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 7–9.

[7]                E.J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2002), 2–5.


5.           Implikasi Epistemologis dan Metodologis

Relasi antara ontologi dan metafisika tidak hanya berdampak pada struktur konseptual filsafat, tetapi juga memiliki konsekuensi penting dalam ranah epistemologi (teori pengetahuan) dan metodologi (cara pendekatan dan penyelidikan). Hal ini karena cara kita memahami “apa yang ada” (ontologi) dan “apa makna serta struktur terdalam dari yang ada” (metafisika) akan menentukan bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu dan dengan metode apa pengetahuan itu dapat diperoleh atau dibenarkan.

Secara epistemologis, ontologi berperan sebagai prasyarat bagi pengetahuan: sebelum kita dapat mengetahui sesuatu, kita harus terlebih dahulu mengasumsikan bahwa sesuatu itu ada.¹ Oleh karena itu, pilihan ontologis tertentu sering kali menentukan batas cakupan epistemologi. Misalnya, dalam filsafat realisme, diasumsikan bahwa dunia eksternal benar-benar ada secara independen dari pikiran, sehingga pengetahuan diarahkan untuk merepresentasikan realitas objektif; sebaliknya, dalam idealisme, eksistensi dikondisikan oleh kesadaran, sehingga pengetahuan menjadi hasil konstruksi subjek.² Ini menunjukkan bahwa ontologi dan epistemologi saling mempengaruhi secara timbal balik.

Dalam konteks ini, Immanuel Kant memainkan peran penting dengan menunjukkan bahwa keterbatasan epistemologis juga memengaruhi validitas klaim metafisika. Dalam Critique of Pure Reason, ia menegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui dunia sebagaimana ia tampak kepada kita (fenomena), bukan sebagaimana ia ada pada dirinya sendiri (noumena).³ Konsekuensinya, metafisika dan ontologi harus dibingkai dalam batas-batas rasio murni. Pandangan Kant menyiratkan bahwa epistemologi tidak sekadar bergantung pada ontologi, tetapi juga dapat menjadi landasan untuk mengoreksi atau membatasi klaim ontologis dan metafisis.

Dari segi metodologis, konsepsi tentang “yang ada” secara langsung memengaruhi metode pendekatan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Misalnya, ontologi kategoris seperti yang dikembangkan oleh Aristoteles atau E.J. Lowe—yang mengklasifikasikan realitas ke dalam substansi, atribut, relasi, dsb.—menyediakan struktur konseptual yang menjadi kerangka bagi penelitian ilmiah maupun filsafat.⁴ Dalam hal ini, metafisika berfungsi sebagai pengatur norma-norma kategori yang harus digunakan oleh metode ilmiah untuk menjelaskan dunia.⁵

Dalam perkembangan filsafat kontemporer, terutama dalam tradisi filsafat analitik, muncul pendekatan ontologi formal yang menggunakan perangkat logika simbolik untuk membakukan representasi entitas dan hubungan di antara mereka. Metode ini banyak digunakan dalam pengembangan ontologi terapan (applied ontology) di bidang ilmu komputer, ilmu informasi, dan kecerdasan buatan, di mana struktur ontologis dijadikan dasar bagi sistem informasi dan basis data.⁶ Di sini terlihat bahwa ontologi tidak hanya menjadi refleksi filosofis, tetapi juga alat metodologis yang operasional.

Selain itu, pertimbangan ontologis juga berperan penting dalam penyusunan teori ilmiah. Quine, misalnya, berpendapat bahwa komitmen ontologis suatu teori ilmiah dapat ditentukan dari bentuk logis kalimat-kalimat dalam teori tersebut.⁷ Artinya, dalam pendekatan ilmiah pun, pemilihan struktur ontologis bukanlah sesuatu yang netral, melainkan bersifat metodologis dan strategis. Hal ini membuktikan bahwa ontologi dan metafisika tidak hanya berdampak dalam tataran spekulatif, melainkan juga dalam praksis keilmuan.

Dengan demikian, implikasi epistemologis dan metodologis dari relasi ontologi-metafisika menegaskan bahwa fondasi metafisik tidak bisa dilepaskan dari cara kita membangun, menguji, dan membenarkan pengetahuan. Interaksi erat ini memperkuat posisi ontologi dan metafisika sebagai bukan sekadar cabang filsafat yang bersifat teoritis, tetapi juga sebagai kerangka dasar yang memandu aktivitas rasional dan ilmiah secara lebih luas.


Footnotes

[1]                E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–5.

[2]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 37–45.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A249–B305.

[4]                E.J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Clarendon Press, 2006), 1–3.

[5]                Wilfrid Sellars, “Empiricism and the Philosophy of Mind,” in Science, Perception and Reality (London: Routledge & Kegan Paul, 1963), 127–196.

[6]                Barry Smith dan Werner Ceusters, “Ontology as the Core Discipline of Biomedical Informatics: Legacies of the Past and Recommendations for the Future,” Methods of Information in Medicine 48, no. 6 (2009): 475–487.

[7]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 15–16.


6.           Studi Perbandingan: Pandangan Beberapa Tokoh Filsafat

Studi perbandingan terhadap pemikiran para tokoh filsafat klasik hingga kontemporer menunjukkan bahwa hubungan antara ontologi dan metafisika telah mengalami pergeseran dan rekonstruksi yang signifikan dalam berbagai tradisi filsafat. Setiap tokoh membawa pendekatan yang unik dalam memahami struktur realitas, keberadaan, dan cara berpikir tentang “yang ada”. Kajian ini tidak hanya memperkaya diskursus konseptual, tetapi juga menampilkan dinamika epistemologis dan metodologis yang berbeda antar tradisi.

6.1.       Aristoteles: Ontologi dalam Bingkai Metafisika Tradisional

Aristoteles adalah figur sentral dalam merumuskan metafisika sebagai “ilmu tentang yang ada sejauh ia ada” (being qua being). Dalam Metaphysics, Aristoteles mengembangkan pendekatan yang sangat sistematis terhadap kategori eksistensi, seperti substansi (ousia), aksiden, dan kausalitas.¹ Ontologi, dalam sistem Aristotelian, merupakan bagian integral dari metafisika yang bertugas mendeskripsikan struktur universal dari segala yang ada. Ia membedakan antara keberadaan aktual dan potensial, serta mengkaji prinsip-prinsip dasar perubahan dan keberlangsungan.² Dengan demikian, Aristoteles mengokohkan fondasi metafisika yang sekaligus bersifat ontologis.

6.2.       Immanuel Kant: Kritik terhadap Ontologi Tradisional

Kant melakukan revolusi epistemologis dengan mengkritik klaim metafisika tradisional yang berusaha mengetahui realitas sebagaimana adanya (noumena), terlepas dari pengalaman. Dalam Critique of Pure Reason, ia menegaskan bahwa pengetahuan hanya mungkin atas fenomena, yaitu hal-hal sebagaimana ditangkap dalam kerangka ruang dan waktu oleh fakultas kognitif manusia.³ Oleh karena itu, Kant membatasi ruang lingkup ontologi sebagai bagian dari metafisika spekulatif dan menyerukan “metafisika dalam batas-batas rasio murni.”⁴ Dalam kerangka ini, hubungan ontologi dan metafisika ditransformasikan dari usaha deskriptif menjadi proyek kritis-transendental yang mengkaji syarat-syarat kemungkinan pengetahuan.

6.3.       Martin Heidegger: Ontologi Fundamental sebagai Kritik atas Metafisika

Heidegger secara radikal menempatkan ontologi sebagai inti filsafat sejati yang telah “dilupakan” oleh tradisi metafisika Barat. Dalam Being and Time, ia membedakan antara Seiendes (entitas) dan Sein (ada), dan menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah memahami makna dari keberadaan itu sendiri (Seinsfrage).⁵ Ia menyebut proyek ini sebagai ontologi fundamental, yang berusaha mengungkap syarat ontologis yang memungkinkan manusia memahami dan berelasi dengan dunia.⁶ Heidegger menilai bahwa metafisika Aristotelian dan turunannya terlalu fokus pada entitas, sehingga gagal mengungkap horizon makna eksistensial dari keberadaan. Pandangan ini memposisikan ontologi tidak hanya sebagai bagian dari metafisika, tetapi sebagai kritik dan rekonstruksi terhadapnya.

6.4.       W.V.O. Quine: Ontologi dalam Kerangka Ilmu dan Bahasa

Dalam tradisi filsafat analitik, Quine menawarkan pendekatan yang berbeda terhadap ontologi, yakni melalui kerangka logika dan analisis bahasa. Dalam esainya yang terkenal “On What There Is,” ia menyatakan bahwa komitmen ontologis suatu teori ditentukan oleh entitas yang harus dianggap ada agar teori itu menjadi benar.⁷ Bagi Quine, pertanyaan ontologis tidak dapat dipisahkan dari struktur linguistik dan teori ilmiah. Ontologi, menurutnya, tidak berjalan secara independen dari metodologi ilmiah dan harus diuji melalui koherensi dalam sistem pengetahuan.⁸ Ini menunjukkan bahwa hubungan ontologi dan metafisika menjadi lebih pragmatis dan teknis dalam kerangka ilmu modern.

6.5.       E. J. Lowe: Integrasi Sistematik antara Ontologi dan Metafisika

E. J. Lowe mengembangkan pendekatan integratif yang menempatkan ontologi sebagai inti dari metafisika, tetapi tetap membedakannya secara konseptual. Dalam karyanya The Four-Category Ontology, ia mengusulkan sistem ontologi formal yang membedakan antara empat jenis entitas: substansi, jenis, atribut, dan modus.⁹ Bagi Lowe, metafisika adalah studi menyeluruh tentang struktur realitas, sementara ontologi adalah aspek deskriptifnya yang menyediakan kerangka klasifikasi. Pendekatan ini menyeimbangkan antara kedalaman spekulatif metafisika dan presisi sistematis ontologi.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21–1003b10.

[2]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 40–52.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A249–B305.

[4]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 118–123.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.

[6]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 7–9.

[7]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[8]                Peter Hylton, Quine (London: Routledge, 2007), 85–98.

[9]                E. J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Clarendon Press, 2006), 1–15.


7.           Relevansi Kontemporer

Di tengah kemajuan sains, teknologi, dan interdisiplineritas ilmu pengetahuan, kajian ontologi dan metafisika tetap menunjukkan signifikansi yang tak tergantikan. Meskipun pernah mengalami skeptisisme pada era positivisme logis—yang menolak validitas metafisika sebagai bentuk “nonsense” karena tidak dapat diverifikasi secara empiris—filsafat kontemporer justru menyaksikan kebangkitan kembali perhatian terhadap pertanyaan-pertanyaan ontologis dan metafisis, terutama dalam konteks filsafat analitik, teknologi informasi, dan bahkan kecerdasan buatan.¹

Dalam bidang filsafat sains, metafisika dan ontologi menyediakan kerangka reflektif terhadap dasar-dasar konsep ilmiah seperti ruang, waktu, materi, kausalitas, dan hukum alam. Banyak fisikawan dan filsuf sains menyadari bahwa teori-teori ilmiah memuat komitmen ontologis tertentu yang tidak dapat dihindari. Misalnya, pertanyaan tentang realitas partikel subatomik, status eksistensial medan kuantum, atau makna waktu dalam relativitas umum, semuanya berakar pada refleksi metafisik tentang “apa yang ada.”² Oleh karena itu, ontologi menjadi prasyarat filosofis bagi validitas ontologis model-model ilmiah.

Di sisi lain, ontologi juga memainkan peran kunci dalam ilmu komputer, teknologi informasi, dan kecerdasan buatan (AI). Istilah ontology dalam konteks ini merujuk pada sistem klasifikasi formal atas entitas, relasi, dan atribut yang memungkinkan sistem informasi untuk memahami dan memproses data secara semantik.³ Ontologi digunakan dalam pengembangan basis data semantik, web semantik (semantic web), serta sistem inferensi dalam AI dan machine learning. Misalnya, dalam bioinformatika, Gene Ontology menjadi struktur konseptual penting untuk mengelompokkan dan menafsirkan data genetik secara universal.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa ontologi tidak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga aplikatif dan teknis.

Lebih lanjut, dalam bidang filsafat bahasa dan logika, ontologi dan metafisika digunakan untuk menganalisis struktur makna, referensi, dan representasi. Tokoh-tokoh seperti Quine dan Kripke telah menunjukkan bahwa struktur logika predikatif dan semantik modal sangat dipengaruhi oleh pertanyaan-pertanyaan ontologis.⁵ Bahkan, perdebatan tentang referensi tetap (rigid designation) atau identitas trans-temporal berakar dari kerangka metafisika identitas dan eksistensi.⁶

Relevansi metafisika juga tampak dalam diskursus etika dan filsafat politik, khususnya terkait dengan konsep nilai, kehendak bebas, hakikat manusia, dan tujuan moral. Sebuah teori etika, misalnya, akan memiliki presupposisi metafisik tertentu tentang sifat dasar manusia atau struktur realitas moral.⁷ Dalam hal ini, metafisika menjadi dasar dari ontologi moral dan konsep normatif dalam kehidupan publik.

Dalam era postmodernisme dan pluralitas wacana, metafisika dan ontologi tetap diperlukan untuk mendialogkan berbagai sistem makna. Meskipun postmodernisme cenderung mencurigai narasi besar dan esensialisme, banyak filsuf kontemporer berupaya membangun ontologi plural yang mampu menampung keragaman perspektif tanpa jatuh ke relativisme mutlak.⁸ Ini membuka kemungkinan bagi ontologi-kritis, yakni pendekatan yang tetap mempertanyakan dasar realitas tetapi tanpa menafikan kompleksitas sosial-budaya dan linguistiknya.

Singkatnya, ontologi dan metafisika tetap relevan dalam menjawab tantangan intelektual kontemporer, baik dalam bidang ilmiah, teknologi, maupun kemanusiaan. Mereka menyediakan kerangka teoritis yang esensial bagi fondasi konseptual berbagai ilmu dan praktik. Reaktualisasi keduanya di masa kini tidak lagi bersifat abstrak-spekulatif semata, tetapi justru menjadi instrumen berpikir yang strategis dalam memahami dan mengelola kompleksitas realitas modern.


Footnotes

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 34–37; lihat pula Paul Horwich, Metaphysical Essays (Oxford: Oxford University Press, 2010), 3–4.

[2]                Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 10–12.

[3]                Barry Smith et al., “Ontology and Information Science,” Studies in Health Technology and Informatics 122 (2006): 5–13.

[4]                Michael Ashburner et al., “Gene Ontology: Tool for the Unification of Biology,” Nature Genetics 25, no. 1 (2000): 25–29.

[5]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[6]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–53.

[7]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 23–28.

[8]                Manuel DeLanda, Assemblage Theory (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2016), 13–16.


8.           Penutup

Kajian tentang hubungan ontologi dan metafisika merupakan upaya mendalam untuk menelusuri fondasi-fondasi terdalam dari realitas, suatu pencarian intelektual yang terus relevan dari zaman Yunani Kuno hingga era kecerdasan buatan dewasa ini. Sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai tradisi pemikiran, ontologi dan metafisika bukan hanya disiplin spekulatif, tetapi juga penyelidikan sistematis terhadap struktur dan makna dari "yang ada"—baik yang aktual maupun potensial, baik yang tampak maupun yang transenden.

Dalam sejarah filsafat, para pemikir besar dari Aristoteles hingga Heidegger telah menunjukkan bahwa pemahaman tentang “ada” (being) tidak dapat dilepaskan dari cara manusia mengonseptualisasikan kenyataan itu sendiri.¹ Aristoteles meletakkan dasar metafisika sebagai ilmu tentang "yang ada sebagai ada", sedangkan Heidegger mengkritisi bahwa metafisika tradisional justru telah melupakan pertanyaan sejati tentang keberadaan.² Ini menunjukkan bahwa ontologi dan metafisika memiliki relasi dinamis, bukan statis, dan senantiasa diperbarui oleh pergumulan intelektual dalam konteks zamannya.

Di sisi lain, perkembangan filsafat analitik dan filsafat sains telah memperluas cakupan ontologi ke dalam wilayah yang lebih formal, teknis, dan aplikatif. Filsuf seperti Quine dan Lowe menunjukkan bahwa pertanyaan ontologis tidak hanya penting bagi metafisika, tetapi juga bagi rasionalisasi ilmu pengetahuan, pengembangan teori, dan bahkan desain sistem informasi.³ Dalam konteks ini, ontologi dan metafisika telah mengalami dekontekstualisasi dari eksklusivitas filosofis menuju peran yang lebih fungsional dalam ilmu interdisipliner.

Keseluruhan pembahasan dalam artikel ini memperlihatkan bahwa ontologi dan metafisika tidak hanya memiliki hubungan inheren, tetapi juga saling melengkapi dalam upaya memahami realitas secara holistik. Ontologi memberikan peta kategoris tentang entitas yang ada, sedangkan metafisika menawarkan kerangka interpretatif tentang makna, sebab-akibat, dan kemungkinan dari entitas tersebut.⁴ Dalam banyak hal, ontologi adalah "apa"-nya realitas, dan metafisika adalah "mengapa"-nya realitas.

Lebih jauh, kajian ini menegaskan bahwa ontologi dan metafisika adalah fondasi teoritis yang penting bagi etika, epistemologi, filsafat politik, dan sains, serta memiliki daya lenting untuk beradaptasi dalam kerangka dunia modern yang kompleks, plural, dan transdisipliner.⁵ Oleh karena itu, mempelajari hubungan antara keduanya tidak hanya penting untuk filsafat secara akademis, tetapi juga relevan bagi siapa pun yang ingin berpikir mendalam tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa ontologi dan metafisika tetap menjadi medan filosofis yang vital dan produktif, bukan saja sebagai warisan intelektual, tetapi juga sebagai kerangka kerja konseptual yang dapat menjembatani filsafat klasik dengan tantangan pengetahuan kontemporer. Dalam era yang ditandai oleh ledakan data, ketidakpastian eksistensial, dan kompleksitas ontologis baru, keduanya berperan sebagai kompas intelektual yang memungkinkan manusia tetap kritis, reflektif, dan terbuka terhadap kemungkinan makna yang lebih dalam dari realitas.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book IV, 1003a21; Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.

[2]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 7–9.

[3]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19; E. J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Clarendon Press, 2006), 1–15.

[4]                E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–7.

[5]                Manuel DeLanda, Assemblage Theory (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2016), 13–16; Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 10–12.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Ashburner, M., Ball, C. A., Blake, J. A., Botstein, D., Butler, H., Cherry, J. M., ... & Sherlock, G. (2000). Gene ontology: Tool for the unification of biology. Nature Genetics, 25(1), 25–29. https://doi.org/10.1038/75556

Audi, R. (2010). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). New York: Routledge.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Barnes, J., Raven, J. E., & Schofield, M. (1983). The Presocratic philosophers (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

DeLanda, M. (2016). Assemblage theory. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Finnis, J. (2011). Natural law and natural rights (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

Guyer, P. (2006). Kant. New York: Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Heidegger, M. (2000). Introduction to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Horwich, P. (2010). Metaphysical essays. Oxford: Oxford University Press.

Hylton, P. (2007). Quine. London: Routledge.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan. (Original work published 1781/1787)

Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Lowe, E. J. (1998). The possibility of metaphysics: Substance, identity, and time. Oxford: Clarendon Press.

Lowe, E. J. (2002). A survey of metaphysics. Oxford: Oxford University Press.

Lowe, E. J. (2006). The four-category ontology: A metaphysical foundation for natural science. Oxford: Clarendon Press.

Maudlin, T. (2007). The metaphysics within physics. Oxford: Oxford University Press.

Mumford, S. (2012). Metaphysics: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Owens, J. (1951). The doctrine of being in the Aristotelian metaphysics. Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Quine, W. V. O. (1953). On what there is. In From a logical point of view (pp. 1–19). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Russell, B. (2004). History of Western philosophy. London: Routledge.

Sellars, W. (1963). Empiricism and the philosophy of mind. In Science, perception and reality (pp. 127–196). London: Routledge & Kegan Paul.

Simons, P. (1987). Parts: A study in ontology. Oxford: Clarendon Press.

Smith, B., & Ceusters, W. (2009). Ontology as the core discipline of biomedical informatics: Legacies of the past and recommendations for the future. Methods of Information in Medicine, 48(6), 475–487. https://doi.org/10.3414/ME9232

Smith, B., Kusnierczyk, W., Schober, D., & Ceusters, W. (2006). Towards a reference terminology for ontology research and development in the biomedical domain. Studies in Health Technology and Informatics, 122, 5–13.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar