Pemikiran John Rawls
Keadilan sebagai Fairness
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap
pemikiran moral dan politik John Rawls, seorang filsuf liberal paling
berpengaruh pada abad ke-20. Melalui teorinya yang dikenal sebagai justice
as fairness, Rawls membangun kerangka normatif untuk merancang struktur
dasar masyarakat yang adil berdasarkan dua prinsip utama: kebebasan yang setara
dan prinsip perbedaan. Artikel ini menguraikan evolusi pemikiran Rawls dari A
Theory of Justice menuju Political Liberalism dan The Law of
Peoples, serta menyoroti keunikan pendekatannya yang memadukan
kontraktarianisme hipotetik dengan proseduralisme moral. Selain itu, dibahas
pula tanggapan Rawls terhadap utilitarianisme, pengaruh luasnya dalam filsafat
politik, serta berbagai kritik yang datang dari kubu libertarian, komunitarian,
marxis, dan realis politik. Melalui sintesis konseptual dan refleksi kritis,
artikel ini menegaskan relevansi prinsip-prinsip Rawlsian dalam merespons
tantangan keadilan sosial dan pluralisme nilai di era kontemporer.
Kata Kunci: John Rawls, justice as fairness, keadilan
prosedural, liberalisme politik, kontrak sosial, utilitarianisme, pluralisme,
keadilan global, filsafat politik, kritik terhadap Rawls.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Pemikiran Moral dan Politik
John Rawls
1.
Pendahuluan
Dalam ranah filsafat
politik kontemporer, nama John Rawls (1921–2002)
menempati posisi yang sangat menonjol sebagai pemikir yang berhasil merumuskan
teori keadilan normatif dalam kerangka liberal yang rasional dan sistematis.
Pemikirannya menawarkan jawaban terhadap tantangan besar dalam kehidupan sosial
modern: bagaimana menyusun struktur dasar masyarakat yang adil di tengah
keberagaman nilai dan kepentingan warga negaranya. Teorinya, yang dikenal
sebagai justice
as fairness, pertama kali diperkenalkan secara komprehensif dalam
karyanya yang monumental, A Theory of Justice (1971), dan
segera menjadi tonggak utama dalam diskursus keadilan dalam dunia akademik
maupun kebijakan publik di akhir abad ke-201.
Kemunculan pemikiran
Rawls tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah intelektual Amerika Serikat
pasca-Perang Dunia II, ketika filsafat politik liberal mengalami tantangan dari
berbagai arah, baik dari arus utilitarianisme, marxisme, maupun
libertarianisme. Dalam situasi tersebut, Rawls berusaha membangun fondasi moral
bagi sistem demokrasi liberal yang adil dan stabil melalui pendekatan
kontraktarian yang dimodifikasi. Ia mengajukan argumen bahwa prinsip-prinsip
keadilan seharusnya ditentukan oleh individu-individu yang berada dalam original
position—sebuah kondisi hipotetik di mana para pihak berada di
balik veil of
ignorance dan tidak mengetahui posisi sosial atau atribut personal
mereka di masyarakat2.
Rawls meyakini bahwa
masyarakat yang adil tidak semata-mata bertumpu pada hasil akhir atau
distribusi sumber daya, tetapi harus dibangun melalui prosedur yang fair dalam
menentukan struktur dasar masyarakat. Di sinilah konsep fairness
menjadi krusial: keadilan tidak cukup dimaknai sebagai kesetaraan hasil, tetapi
sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan yang adil dan rasional, yang
dapat diterima oleh semua individu yang setara sebagai warga negara bebas3.
Pemikiran Rawls
menghadirkan pembaruan dalam filsafat politik normatif dengan mengintegrasikan
prinsip moral Kantian, teori pilihan rasional, dan intuisi liberalisme klasik.
Dengan demikian, Rawls tidak hanya menghidupkan kembali tradisi kontrak sosial
modern, tetapi juga menawarkannya dalam bentuk yang dapat diadaptasi dengan
realitas demokrasi pluralistik masa kini. Pengaruhnya begitu luas sehingga
karya-karyanya menjadi rujukan wajib dalam diskusi mengenai keadilan sosial,
etika publik, dan desain institusional dalam masyarakat modern4.
Bagian ini bertujuan
untuk memperkenalkan kerangka pemikiran John Rawls sebagai suatu sistem
filsafat moral dan politik yang utuh. Dengan menganalisis prinsip-prinsip
keadilan yang ia rumuskan, artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana Rawls
membentuk ulang wacana keadilan dalam tradisi liberal, serta bagaimana teorinya
mendapat tanggapan, kritik, dan penerapan dalam konteks kontemporer.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–5.
[2]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 16–20.
[3]
Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 1989), 30–33.
[4]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 55–62.
2.
Biografi Intelektual John Rawls
John Bordley Rawls
dilahirkan pada tanggal 21 Februari 1921 di Baltimore, Maryland, dalam sebuah
keluarga kelas menengah atas yang menghargai pendidikan dan tanggung jawab
sosial. Ia menempuh pendidikan sarjana di Princeton University dan lulus pada
tahun 1943, sebelum bergabung dalam dinas militer Amerika Serikat pada Perang
Dunia II. Pengalaman perang, khususnya kunjungannya ke kamp-kamp konsentrasi
Nazi yang telah dibebaskan, berpengaruh besar terhadap kepekaannya terhadap
penderitaan manusia dan ketidakadilan struktural1. Setelah perang,
Rawls kembali ke Princeton untuk menyelesaikan studi doktoralnya dan kemudian
mengajar di berbagai universitas bergengsi seperti Cornell, MIT, dan akhirnya
Harvard, di mana ia mengabdikan hampir seluruh karier akademiknya sejak 19622.
Secara intelektual,
Rawls dipengaruhi oleh beragam tradisi filsafat moral dan politik. Ia banyak
terinspirasi oleh Immanuel Kant, terutama dalam gagasan tentang otonomi moral
dan imperatif kategoris. Namun, Rawls mengembangkan gagasan tersebut dalam
kerangka politik yang lebih empiris dan kontraktarian, menekankan pentingnya
konsensus rasional dalam masyarakat pluralistik3. Selain itu, ia
juga dipengaruhi oleh filsafat analitik Anglo-Amerika, khususnya dalam hal
klarifikasi konsep-konsep normatif serta gaya argumentatif yang ketat. Dalam
konteks ini, Rawls mengambil jarak dari pendekatan utilitarian yang dominan
pada masanya, dan menawarkan alternatif rasional berbasis prinsip4.
Latar belakang
akademik Rawls secara konsisten memperlihatkan upaya untuk merumuskan teori
keadilan yang tidak sekadar normatif secara moral, tetapi juga dapat diterapkan
secara institusional. Melalui metode refleksi ekuilibrium (reflective
equilibrium), Rawls berusaha menggabungkan intuisi moral umum
masyarakat dengan prinsip-prinsip rasional yang dapat dipertanggungjawabkan
secara universal. Pendekatan ini menjadi metode khas Rawls yang menandai
distingsi pemikirannya dalam filsafat politik kontemporer5.
Puncak kontribusi
Rawls adalah penerbitan A Theory of Justice pada tahun
1971, yang segera memicu revolusi dalam studi filsafat politik. Karya ini
menandai kebangkitan kembali tradisi liberalisme normatif yang berbasis kontrak
sosial, di tengah dominasi pendekatan utilitarian dan positivis pada saat itu.
Melalui dua prinsip keadilan dan kerangka original position, Rawls mengubah
secara radikal cara kita memahami keadilan sebagai prinsip dasar pengaturan
masyarakat6. Karya-karya lanjutannya seperti Political
Liberalism (1993) dan The Law of Peoples (1999)
memperlihatkan perkembangan pemikirannya menuju pendekatan yang lebih responsif
terhadap pluralisme nilai dan konteks global7.
Dengan integritas
intelektual, ketelitian argumentatif, dan komitmen terhadap nilai-nilai
demokrasi dan kesetaraan, John Rawls meninggalkan warisan yang sangat besar
bagi filsafat politik modern. Ia tidak hanya mendefinisikan ulang keadilan
dalam masyarakat liberal, tetapi juga mewariskan perangkat analitis yang terus
digunakan dan dikembangkan hingga saat ini dalam kajian keadilan sosial,
institusi demokratis, dan etika publik.
Footnotes
[1]
Thomas Pogge, John Rawls: His Life and Theory of Justice
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–6.
[2]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 1–5.
[3]
John Rawls, Lectures on the History of Moral Philosophy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 234–239.
[4]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–54.
[5]
Norman Daniels, Justice and Justification: Reflective Equilibrium
in Theory and Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2–8.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), xv–xxii.
[7]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), Introduction; John Rawls, The Law of Peoples
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–5.
3.
Konsep Dasar “Justice as Fairness”
Gagasan utama John
Rawls tentang justice as fairness merupakan usaha
sistematik untuk membangun sebuah teori keadilan politik dan sosial yang
bersifat kontraktual, rasional, dan dapat diterima oleh semua warga negara yang
setara dan bebas. Dalam A Theory of Justice (1971), Rawls
menyatakan bahwa keadilan merupakan “virtue of social institutions” yang
paling fundamental—lebih utama daripada efisiensi, kesejahteraan, atau bahkan
kebebasan jika kebebasan tersebut didistribusikan secara tidak adil1.
Oleh karena itu, justice as fairness menawarkan
suatu model normatif di mana prinsip-prinsip keadilan tidak berasal dari
konsensus empiris, melainkan ditetapkan melalui kontrak sosial hipotetik yang
rasional dan adil.
3.1.
Dua Prinsip Keadilan
Rawls merumuskan dua
prinsip keadilan yang menurutnya akan disepakati oleh individu yang berada
dalam original
position di balik veil of ignorance. Kedua prinsip
tersebut adalah:
1)
Prinsip Kebebasan yang
Setara (Equal Basic Liberties):
Setiap orang memiliki hak yang sama atas skema
kebebasan dasar yang paling luas yang sesuai dengan kebebasan serupa bagi semua
orang. Kebebasan ini meliputi hak atas kebebasan berpendapat, beragama, hak
milik pribadi, dan partisipasi politik2.
2)
Prinsip Perbedaan dan
Pemerataan Kesempatan (Difference Principle and Fair Equality of Opportunity):
Ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dibenarkan
hanya jika (a) memberikan manfaat terbesar bagi anggota masyarakat yang paling
tidak beruntung (the least advantaged), dan (b) melekat pada posisi
dan jabatan yang terbuka bagi semua orang dalam kondisi pemerataan kesempatan
yang adil3.
Prinsip pertama
memiliki prioritas mutlak atas prinsip kedua—yang disebut Rawls sebagai lexical
priority. Artinya, kebebasan dasar tidak boleh dikorbankan demi
keuntungan ekonomi atau efisiensi4.
3.2.
Original Position
dan Veil of Ignorance
Untuk memastikan
keadilan dalam pemilihan prinsip-prinsip dasar masyarakat, Rawls merancang
model original
position, yaitu suatu situasi hipotetik di mana individu rasional
memilih prinsip keadilan tanpa mengetahui posisi mereka dalam masyarakat
(status sosial, kelas ekonomi, agama, bakat alami, dsb.). Ketidaktahuan ini,
yang disebut veil of ignorance, memaksa para
peserta untuk membuat keputusan secara adil, tanpa memihak pada kepentingan
diri sendiri yang bersifat kontingen5.
Rawls menyatakan
bahwa prinsip keadilan yang disepakati dalam original position mencerminkan
fairness, karena tidak ada individu yang memiliki keuntungan epistemik dalam
menentukan prinsip tersebut. Inilah sebabnya mengapa ia menyebut teorinya
sebagai justice
as fairness—keadilan sebagai hasil dari prosedur yang adil6.
3.3.
Keadilan sebagai
Struktur Dasar
Rawls menganggap
prinsip keadilan harus diterapkan pada struktur dasar masyarakat (basic
structure), yakni institusi sosial utama seperti sistem hukum,
sistem ekonomi, dan keluarga. Institusi-institusi ini memiliki pengaruh besar
terhadap peluang hidup dan pembagian sumber daya. Oleh karena itu, keadilan
dalam struktur dasar adalah prioritas normatif dalam teori Rawls, bukan sekadar
keadilan antarpribadi7.
3.4.
Keadilan dan
Rasionalitas Moral
Teori Rawls tidak
hanya bertumpu pada prosedur rasional kontraktual, tetapi juga berlandaskan
moralitas publik. Para agen dalam original position dipandang sebagai
makhluk rasional yang memiliki moral powers untuk membentuk, mengejar,
dan merevisi konsepsi kebaikan hidup mereka. Oleh sebab itu, justice
as fairness tidak bersifat relativistik, melainkan normatif
universal dalam kerangka masyarakat demokratis yang plural8.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3.
[2]
Ibid., 53–54.
[3]
Ibid., 72–73.
[4]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–43.
[5]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 21–24.
[6]
Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 1989), 31–34.
[7]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 58–59.
[8]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 19–22.
4.
Rawls dan Tradisi Kontraktarianisme
Pemikiran keadilan
John Rawls berakar kuat dalam tradisi kontraktarianisme,
yaitu aliran dalam filsafat politik yang menjelaskan legitimasi otoritas
politik dan prinsip-prinsip keadilan berdasarkan kesepakatan rasional
antarindividu. Tradisi ini memiliki akar klasik dalam karya-karya filsuf
seperti Thomas Hobbes, John
Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, yang
masing-masing menawarkan model kontrak sosial sebagai dasar legitimasi negara
dan hukum. Rawls menghidupkan kembali pendekatan ini dalam konteks modern,
dengan membebaskannya dari asumsi historis dan menggantinya dengan kerangka
rasional dan hipotetik yang lebih sesuai dengan masyarakat pluralistik dan
demokratis masa kini1.
4.1.
Kontrak Sosial
Sebagai Prosedur Normatif
Berbeda dengan
kontrak sosial dalam versi Hobbes atau Locke yang bersifat lebih historis atau
naturalistik, kontrak sosial menurut Rawls adalah konstruksi
moral rasional dalam bentuk situasi hipotetik yang disebut original
position. Dalam posisi ini, para agen yang rasional dan setara
diminta untuk memilih prinsip-prinsip keadilan tanpa mengetahui posisi mereka
di masyarakat (disebut veil of ignorance)2.
Dengan demikian, prinsip-prinsip yang dipilih tidak akan bias terhadap
kepentingan golongan tertentu. Hal ini merepresentasikan keadilan yang
prosedural dan tidak bergantung pada hasil atau status quo politik tertentu.
Rawls menegaskan
bahwa tujuannya bukan untuk memberikan penjelasan sejarah tentang terbentuknya
masyarakat, tetapi untuk memberikan justifikasi moral normatif atas
struktur dasar masyarakat yang adil. Dalam hal ini, kontrak sosial versi Rawls
berfungsi sebagai alat reflektif untuk menilai
legitimasi prinsip-prinsip politik melalui kesepakatan imajiner yang adil3.
4.2.
Perbandingan dengan
Kontraktarianisme Klasik
Meskipun Rawls
mengadopsi model kontrak sosial, ia membedakan diri dari pendahulunya dalam
berbagai aspek kunci. Hobbes, misalnya, berangkat dari asumsi tentang keadaan
alam (state of nature) yang penuh konflik dan ketakutan, sehingga kontrak
sosial muncul sebagai cara untuk menghindari kekacauan dan menjamin keamanan
melalui penyerahan hak kepada penguasa mutlak4. Locke menekankan
perlindungan hak-hak alamiah seperti kehidupan, kebebasan, dan milik, sedangkan
Rousseau mengusulkan kehendak umum (general will) sebagai dasar moral
masyarakat politik yang adil5.
Rawls, di sisi lain,
tidak membangun argumennya berdasarkan kondisi alam atau kehendak umum,
melainkan pada rasionalitas moral dan kesetaraan
moral para agen dalam posisi hipotetik. Ia juga menolak asumsi
utilitarian yang mendominasi filsafat politik Anglo-Amerika pascaperang dunia,
karena dianggap gagal menghormati individualitas dan hak-hak dasar warga negara6.
Dengan demikian,
Rawls menggabungkan struktur moral Kantian dengan
pendekatan kontraktual, menciptakan model baru kontraktarianisme yang bersifat
deontologis dan nonutilitarian. Prinsip-prinsip keadilan tidak dipilih karena
memaksimalkan kebahagiaan kolektif, tetapi karena dapat dibenarkan oleh setiap
individu sebagai makhluk rasional yang setara7.
4.3.
Rasionalitas dan
Ketidakberpihakan
Dalam kerangka
Rawls, agen-agen dalam original position digambarkan
sebagai rasional, memiliki kepentingan atas kebaikan hidup mereka, namun tidak
egois secara moral. Mereka menyepakati prinsip keadilan bukan karena
kepentingan pribadi, tetapi karena mereka tahu bahwa struktur keadilan yang
adil akan menguntungkan semua, terutama dalam ketidaktahuan tentang posisi
mereka sendiri. Ini menciptakan kondisi ketidakberpihakan moral yang
menjadi inti dari konsep fairness dalam teori Rawls8.
Rawls dengan
demikian tidak hanya merevitalisasi tradisi kontraktarian, tetapi juga
mengembangkannya menjadi teori keadilan normatif yang berakar pada konsensus rasional
dalam masyarakat demokratis. Dalam pengertian ini, ia berhasil menjembatani
filsafat moral, teori politik, dan teori institusi dalam satu kerangka
konseptual yang solid.
Footnotes
[1]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 36–39.
[2]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 12–19.
[3]
Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 1989), 27–30.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1991), 86–94.
[5]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II: §§4–6; Jean-Jacques
Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London:
Penguin, 1968), Book I–II.
[6]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 56–58.
[7]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 82–86.
[8]
Norman Daniels, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory
of Justice (Oxford: Blackwell, 1975), 12–14.
5.
Kritik dan Tanggapan terhadap Utilitarianisme
Salah satu fokus
utama dalam proyek filsafat politik John Rawls adalah menyusun
alternatif moral yang lebih adil terhadap dominasi teori utilitarianisme
dalam filsafat Anglo-Amerika abad ke-20. Utilitarianisme, terutama dalam
bentuknya yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, memandang
keadilan sebagai persoalan maksimalisasi kebahagiaan atau kegunaan total
di masyarakat. Meskipun memiliki daya tarik pragmatis, Rawls menganggap bahwa
pendekatan ini mengabaikan hak-hak individu
dan tidak mampu memberikan prinsip moral yang stabil dan adil dalam masyarakat
pluralistik1.
5.1.
Masalah Agregasi
dalam Utilitarianisme
Rawls menilai bahwa
utilitarianisme terlalu menekankan pada prinsip agregasi, yaitu bahwa
kesejahteraan total suatu masyarakat dapat ditingkatkan walaupun mengorbankan
kepentingan sebagian kecil individu. Dalam pandangan
utilitarian, ketidakadilan terhadap segelintir orang dapat dibenarkan selama
hal itu membawa manfaat lebih besar secara keseluruhan. Rawls menganggap
prinsip ini bertentangan dengan intuisi moral dasar tentang
keadilan—yaitu bahwa setiap individu memiliki hak yang tak
dapat dikorbankan demi kepentingan kolektif2.
Sebagai contoh,
dalam kerangka utilitarianisme, sistem perbudakan atau ketidaksetaraan ekstrem
bisa saja dianggap sah jika menghasilkan kebahagiaan bersih yang lebih besar.
Rawls menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa keadilan
adalah soal hak dan struktur yang fair, bukan sekadar kalkulasi
manfaat kolektif3.
5.2.
Ketidaksesuaian
dengan Prinsip Otonomi Moral
Selain itu, Rawls
menolak utilitarianisme karena tidak menghormati otonomi moral individu.
Dalam kerangka utilitarianisme, seseorang diperlakukan hanya sebagai sarana
untuk mencapai kesejahteraan sosial, bukan sebagai tujuan itu sendiri.
Sebaliknya, Rawls—meneruskan semangat moral Kantian—menggagas bahwa individu
adalah agen moral yang rasional dan bebas, yang harus diakui
sebagai pemilik hak yang tidak dapat dinegosiasikan, bahkan
demi kemaslahatan kolektif4.
Dalam original
position, prinsip keadilan tidak akan disetujui jika memungkinkan
eksploitasi terhadap kelompok tertentu, karena para agen berada di balik veil of ignorance
dan tidak tahu posisi mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, justice
as fairness menjamin kesetaraan dan ketidakberpihakan,
bukan optimalisasi kebahagiaan total5.
5.3.
Kritik terhadap
Rule-Utilitarianisme
Beberapa pembela
utilitarianisme berusaha memodifikasi pendekatan ini melalui rule-utilitarianism,
yang menilai tindakan berdasarkan kepatuhannya terhadap aturan-aturan umum yang
menghasilkan kegunaan terbesar. Namun Rawls menilai pendekatan ini tetap gagal,
karena tidak
mengakui struktur keadilan sebagai sesuatu yang mendahului kesejahteraan.
Menurutnya, prinsip keadilan seharusnya dipilih lebih dahulu, sebelum
mempertimbangkan distribusi kegunaan atau manfaat sosial6.
Rawls menegaskan
bahwa masyarakat adil harus dirancang berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat
diterima oleh semua individu yang bebas dan setara. Oleh karena itu,
utilitarianisme—baik dalam versi tindakan (act) maupun aturan (rule)—gagal
menyediakan kerangka normatif yang menghormati pluralisme
moral dan struktur institusi demokratis7.
5.4.
Tanggapan Rawls:
Keadilan sebagai Prioritas Moral
Rawls tidak sekadar
mengkritik utilitarianisme, tetapi juga menawarkan alternatif positif melalui
dua prinsip keadilan dalam justice as fairness. Dengan
memberikan prioritas leksikal pada kebebasan dasar,
ia menekankan bahwa hak-hak sipil dan politik tidak boleh dikorbankan demi
keuntungan ekonomi. Sementara prinsip perbedaan memastikan bahwa
ketidaksetaraan hanya dibenarkan jika meningkatkan kondisi kelompok yang paling
tidak beruntung8.
Dengan demikian, Rawls
menggeser perdebatan keadilan dari persoalan hasil kolektif menuju struktur
institusional dan legitimasi normatif. Teorinya menghormati
martabat moral individu dan membangun fondasi keadilan yang lebih kuat dalam
masyarakat plural yang demokratis.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 22–28.
[2]
Ibid., 24–27.
[3]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 45–48.
[4]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 122–125.
[5]
Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 1989), 35–39.
[6]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 64–66.
[7]
Norman Daniels, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory
of Justice (Oxford: Blackwell, 1975), 15–17.
[8]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 291–294.
6.
Teori Keadilan sebagai Keadilan Prosedural
Salah satu sumbangan
konseptual penting John Rawls dalam teori keadilan adalah pengembangan gagasan
tentang keadilan prosedural (procedural justice).
Bagi Rawls, keadilan tidak semata-mata ditentukan oleh hasil akhir atau
distribusi sumber daya, melainkan oleh prosedur yang digunakan untuk menentukan
prinsip-prinsip dasar masyarakat. Oleh karena itu, justice
as fairness dapat dipahami sebagai teori keadilan
prosedural murni (pure procedural justice) yang
bertumpu pada proses yang adil sebagai syarat terciptanya keadilan yang sah1.
6.1.
Klasifikasi Keadilan
Prosedural
Rawls membedakan
tiga bentuk keadilan prosedural dalam A Theory of Justice:
1)
Perfect Procedural
Justice
terdapat prinsip independen tentang hasil yang
adil, dan prosedur tertentu dijamin akan menghasilkan hasil tersebut. Contoh:
membagi roti dengan aturan “satu membagi, satu memilih”2.
2)
Imperfect Procedural
Justice
terdapat prinsip hasil yang adil, tetapi tidak
ada prosedur yang dapat menjamin tercapainya hasil tersebut. Contoh: sistem
hukum pidana, di mana keadilan substantif mungkin tidak selalu tercapai
meskipun prosedur formal diikuti3.
3)
Pure Procedural Justice
tidak ada prinsip hasil yang adil secara
independen, dan hasil dianggap adil karena
dihasilkan melalui prosedur yang adil. Inilah model yang diadopsi dalam original
position Rawls, di mana prinsip-prinsip keadilan dipilih melalui proses
rasional yang setara dan tidak memihak4.
Dengan membingkai
keadilan dalam kategori ini, Rawls menegaskan bahwa keadilan
sebagai fairness adalah bentuk keadilan prosedural murni, di
mana prinsip-prinsip keadilan dianggap sah karena disepakati oleh individu yang
rasional dan setara dalam posisi awal hipotetik yang adil5.
6.2.
Original Position
sebagai Prosedur Keadilan
Model original
position adalah inti dari pendekatan prosedural Rawls. Di dalamnya,
individu memilih prinsip-prinsip keadilan tanpa mengetahui identitas atau
posisi sosial mereka, sehingga meminimalkan bias dan memperkuat
ketidakberpihakan moral. Prosedur ini bukanlah proses historis, melainkan konstruksi
moral hipotetik yang memungkinkan pengujian rasional atas
legitimasi prinsip-prinsip dasar dalam masyarakat6.
Karena keputusan
dalam original
position diambil secara rasional dan setara, maka prinsip keadilan
yang dihasilkan dianggap adil tanpa harus diuji oleh hasil akhir empiris. Dalam
hal ini, keadilan dipahami dari prosesnya, bukan dari
dampaknya, menjadikan prosedur sebagai sumber legitimasi
normatif7.
6.3.
Implikasi
Institusional
Konsepsi keadilan
prosedural Rawls memiliki implikasi langsung terhadap desain
institusi sosial dan politik. Institusi dianggap adil bukan
hanya karena menghasilkan distribusi tertentu, tetapi karena didirikan
berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat disepakati oleh semua warga negara
sebagai hasil dari prosedur yang fair. Misalnya, sistem hukum, pendidikan, dan
ekonomi harus disusun sesuai dengan dua prinsip keadilan yang dipilih dalam original
position8.
Dengan demikian, justice
as fairness memberi arah normatif bagi pembentukan struktur dasar
masyarakat—yang mencakup konstitusi, kebijakan publik, dan struktur
ekonomi—melalui prosedur legitimasi yang menghargai kesetaraan dan kebebasan
semua warga negara.
6.4.
Perbandingan dengan
Pendekatan Substantif
Pendekatan Rawls
berbeda tajam dari teori keadilan yang bersifat substantif, seperti utilitarianisme,
yang menilai keadilan berdasarkan hasil akhir (misalnya, total kebahagiaan atau
kesejahteraan). Dalam pendekatan substantif, keadilan diukur berdasarkan
konsekuensi; sedangkan dalam teori Rawls, keabsahan normatif berasal dari prosedur pemilihan
prinsip yang adil, bukan dari seberapa besar manfaat kolektif
yang dihasilkan9.
Dengan penekanan
pada keadilan prosedural, Rawls menghindari relativisme hasil dan memberikan
dasar moral yang kuat bagi keberagaman nilai dalam masyarakat plural. Ia menyatukan
nilai rasionalitas,
moralitas, dan institusionalitas dalam satu kerangka prosedural
yang kohesif.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 85–86.
[2]
Ibid., 85.
[3]
Ibid., 86.
[4]
Ibid., 87.
[5]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 93–96.
[6]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 16–20.
[7]
Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 1989), 49–51.
[8]
Norman Daniels, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory
of Justice (Oxford: Blackwell, 1975), 19–21.
[9]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 67–68.
7.
7. Evolusi Pemikiran Rawls: Political
Liberalism dan The Law of Peoples
Setelah merumuskan justice
as fairness secara sistematik dalam A Theory of Justice (1971), John
Rawls melanjutkan pengembangan teorinya dalam karya-karya lanjutan yang
memperluas cakupan filsafat politiknya, baik dalam konteks masyarakat plural
domestik maupun hubungan antarbangsa. Dua karya penting dalam fase ini adalah Political
Liberalism (1993) dan The Law of Peoples (1999). Keduanya
menunjukkan bagaimana Rawls merevisi dan memperluas teori keadilannya agar
tetap relevan dalam menghadapi realitas pluralisme nilai dan globalisasi
politik.
7.1.
Dari Teori
Komprehensif Menuju Liberalisme Politik
Dalam Political
Liberalism, Rawls menyadari bahwa A Theory of Justice dapat
ditafsirkan sebagai “teori moral komprehensif”—yakni suatu pandangan
moral menyeluruh yang sulit disepakati dalam masyarakat demokratis yang
pluralistik secara mendalam (reasonable pluralism)1.
Oleh karena itu, Rawls menggeser pendekatan normatifnya dari basis metafisik
universal ke kerangka politik yang bersifat parsial dan
publik, yang ia sebut sebagai “liberalisme politik” (political
liberalism).
Inti dari Political
Liberalism adalah upaya menjelaskan bagaimana masyarakat
demokratis yang adil dan stabil dapat bertahan, meskipun para
anggotanya menganut pandangan hidup dan moralitas yang berbeda-beda secara
rasional. Untuk menjawab tantangan ini, Rawls memperkenalkan konsep “overlapping
consensus”—yakni kesepakatan antarwarga yang berbeda dalam
pandangan moral dan religius, tetapi tetap menerima prinsip-prinsip dasar
keadilan sebagai landasan politik bersama2.
7.2.
Konsep
Reasonableness dan Public Reason
Dalam kerangka baru
ini, Rawls membedakan antara warga negara yang “reasonable” dan yang “unreasonable”.
Warga yang reasonable bersedia menerima prinsip-prinsip dasar demokrasi dan
berpartisipasi dalam kehidupan publik dengan semangat saling menghormati.
Mereka menggunakan apa yang disebut Rawls sebagai “public
reason”—yakni bentuk rasionalitas publik yang digunakan untuk
membahas isu-isu politik fundamental dalam masyarakat majemuk3.
Dengan demikian, Political
Liberalism tidak mengasumsikan satu sistem etika absolut, tetapi
justru menciptakan ruang normatif di mana institusi-institusi dasar dapat dibenarkan oleh
semua pihak yang reasonable, meskipun mereka berbeda dalam
pandangan hidup pribadi4.
7.3.
Perluasan Global:
The Law of Peoples
Rawls kemudian
melanjutkan pendekatannya ke tingkat global melalui karya The Law
of Peoples (1999), yang merupakan perluasan dari teori keadilan ke
dalam hubungan
antarnegara. Dalam karya ini, Rawls tidak mencoba
menguniversalkan justice as fairness untuk semua
bangsa, tetapi menyusun prinsip-prinsip normatif yang dapat
diterima oleh “masyarakat masyarakat” (society of peoples),
termasuk negara liberal dan nonliberal yang menghormati hukum dasar kemanusiaan5.
Rawls mengembangkan
delapan prinsip dasar dalam The Law of Peoples, termasuk:
saling menghormati kedaulatan, tidak mencampuri urusan dalam negeri, dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ia juga membedakan antara masyarakat
liberal, masyarakat hierarkis tetapi patuh hukum (misalnya “decent peoples”),
dan negara tiranik yang tidak reasonable6.
Berbeda dari
pendekatan kosmopolitan seperti milik Thomas Pogge atau Charles Beitz yang
mengusulkan penerapan prinsip keadilan global berbasis individu, Rawls
mempertahankan pendekatan berbasis masyarakat politis (nation-states) dengan
prinsip non-intervensi dan penghormatan atas otonomi
kolektif. Bagi Rawls, keadilan global bukan soal redistribusi
global secara langsung, tetapi tentang pembentukan tatanan internasional yang
stabil dan adil di antara masyarakat yang reasonable7.
7.4.
Relevansi Evolusi
Pemikiran Rawls
Evolusi pemikiran
Rawls mencerminkan komitmennya terhadap stabilitas demokratis dan
toleransi pluralisme, baik dalam konteks domestik maupun
internasional. Ia menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya bisa dipahami secara
substantif, tetapi juga dalam kerangka diskursif dan prosedural
yang memungkinkan kehidupan bersama di tengah perbedaan mendasar. Melalui Political
Liberalism dan The Law of Peoples, Rawls tidak
hanya memperkuat daya aplikatif dari justice as fairness, tetapi juga
menunjukkan bahwa keadilan adalah proyek filosofis yang hidup dan responsif
terhadap kompleksitas zaman.
Footnotes
[1]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), xv–xvii.
[2]
Ibid., 133–172.
[3]
Ibid., 213–254.
[4]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 342–347.
[5]
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 3–5.
[6]
Ibid., 59–82.
[7]
Charles Beitz, Political Theory and International Relations
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 129–132; Thomas Pogge, World
Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 198–203.
8.
Warisan Intelektual dan Pengaruh Kontemporer
Pemikiran John Rawls
telah meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa luas dan mendalam dalam
lanskap filsafat moral, politik, dan hukum kontemporer. Teorinya tentang justice
as fairness tidak hanya merevitalisasi filsafat politik normatif,
tetapi juga memberikan kerangka konseptual yang kokoh untuk memahami dan
menilai institusi-institusi demokratis di era modern. Dalam hal ini, Rawls
telah menjadi salah satu filsuf politik paling berpengaruh pada abad
ke-20, dengan pengaruh yang menjangkau disiplin ilmu politik,
hukum, ekonomi, dan kebijakan publik.
8.1.
Pengaruh dalam
Filsafat Politik dan Etika Normatif
Setelah penerbitan A Theory
of Justice (1971), filsafat politik mengalami kebangkitan besar
setelah sekian lama didominasi oleh pendekatan positivistik dan analitik yang
skeptis terhadap normativitas. Rawls membuka kembali ruang untuk argumen
moral rasional dalam diskusi keadilan, dengan menjadikan
keadilan sebagai objek analisis filosofis yang sistematik dan terstruktur1.
Ia berhasil meletakkan standar metodologis tinggi dalam filsafat politik dengan
memperkenalkan konsep reflective equilibrium, yang sejak
itu menjadi metode umum dalam penyusunan teori moral dan politik2.
Filsuf-filsuf besar
seperti Thomas Nagel, T.M.
Scanlon, dan Christine Korsgaard
mengembangkan karya-karya mereka dalam dialog langsung dengan gagasan Rawls.
Bahkan kritikus Rawls, seperti Robert Nozick, yang menulis Anarchy,
State, and Utopia (1974) sebagai tanggapan langsung terhadap Rawls,
turut menjadikan pemikiran Rawls sebagai tolok ukur diskusi tentang keadilan
dan negara minimal3.
8.2.
Pengaruh terhadap
Pemikiran Komunitarian dan Kritiknya
Muncul pula arus
kritik yang sangat berpengaruh dari komunitarianisme, terutama dari
Michael
Sandel, Alasdair MacIntyre, dan Charles
Taylor, yang mempertanyakan asumsi liberalisme Rawls tentang
individualitas dan rasionalitas moral yang terlepas dari komunitas. Sandel,
misalnya, dalam Liberalism and the Limits of Justice
(1982), mengkritik bahwa original position Rawlsian terlalu
abstrak dan mengabaikan identitas moral yang terbentuk secara historis dan
sosial4. Meski demikian, kritik ini justru memperkaya wacana
keadilan dan mendorong lahirnya debat yang produktif antara pendekatan liberal
dan komunitarian.
8.3.
Pengaruh dalam Teori
Keadilan Global dan Ekonomi Politik
Pemikiran Rawls juga
berdampak luas pada diskursus keadilan global,
meskipun pendekatannya dalam The Law of Peoples dianggap terlalu
berhati-hati oleh beberapa pemikir kosmopolitan. Thomas
Pogge, misalnya, mengembangkan konsep global
justice yang lebih radikal, dengan menekankan tanggung jawab moral
negara-negara makmur terhadap kemiskinan global. Pogge menilai bahwa prinsip
keadilan Rawls harus diperluas secara transnasional untuk mencerminkan realitas
globalisasi ekonomi dan ketimpangan global5.
Di sisi lain, Amartya
Sen, peraih Nobel Ekonomi, juga terinspirasi oleh Rawls dalam
menyusun pendekatan berbasis capabilities dan comparative
justice. Ia mengkritik Rawls karena terlalu fokus pada ideal teori
(ideal
theory), dan menawarkan pendekatan yang lebih terbuka terhadap
keadilan kontekstual dan praktis, namun tetap mengakui pengaruh normatif kuat
dari kerangka Rawlsian6.
8.4.
Pengaruh dalam Ilmu
Hukum dan Kebijakan Publik
Rawls juga
memengaruhi perkembangan teori hukum dan kebijakan publik, khususnya dalam
bidang constitutional
law dan public reason. Prinsip keadilan
yang menjamin kebebasan dasar dan pemerataan kesempatan telah digunakan dalam
perumusan kebijakan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan distribusi kekayaan.
Banyak ahli hukum konstitusi liberal, seperti Ronald Dworkin, mengembangkan teori
keadilan hukum dengan merujuk pada justice as fairness sebagai dasar
legitimasi hukum dalam masyarakat demokratis7.
Di banyak negara
demokrasi, gagasan Rawls tentang public reason digunakan untuk
menilai batas-batas antara kebijakan publik dan keyakinan privat dalam
masyarakat plural. Hal ini menjadi sangat relevan dalam diskusi kontemporer
mengenai sekularisme, hak-hak minoritas, dan toleransi
dalam demokrasi multikultural.
8.5.
Relevansi
Kontemporer dalam Konteks Krisis Global
Di tengah
meningkatnya populisme, ketimpangan sosial, dan krisis kepercayaan terhadap
institusi demokratis, pemikiran Rawls tetap menjadi sumber refleksi
kritis dan normatif yang penting. Seruan Rawls untuk membangun
struktur masyarakat yang dapat dibenarkan oleh semua individu yang bebas dan
setara menjadi semakin relevan, terutama dalam merespons tantangan global
seperti ketimpangan ekonomi, migrasi,
dan kerapuhan
institusi demokrasi.
Warisan intelektual
Rawls tidak hanya terletak pada kerangka teoritisnya yang elegan, tetapi juga pada
komitmennya
terhadap rasionalitas moral, kebebasan sipil, dan keadilan sosial,
yang menjadikan pemikirannya tetap hidup dalam diskusi-diskusi kontemporer
lintas disiplin.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–11.
[2]
Norman Daniels, Justice and Justification: Reflective Equilibrium
in Theory and Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 1–4.
[3]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), x–xii.
[4]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–7.
[5]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 11–15.
[6]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 56–58.
[7]
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1977), 150–155.
9.
Kritik terhadap Rawls
Meskipun teori justice
as fairness yang dikembangkan John Rawls telah menjadi landasan
penting dalam filsafat politik kontemporer, pemikirannya tidak luput dari
kritik. Kritik terhadap Rawls datang dari berbagai arah, termasuk dari kaum libertarian,
komunitarian,
serta dari kalangan kritis dan marxis. Perbedaan
titik tolak normatif, konsepsi tentang individu, dan penilaian terhadap
struktur sosial membuat teori Rawls menjadi sasaran perdebatan filosofis yang
luas dan beragam.
9.1.
Kritik Libertarian:
Robert Nozick dan Negara Minimal
Salah satu kritik
paling terkenal berasal dari filsuf libertarian Robert Nozick, yang dalam Anarchy,
State, and Utopia (1974) menolak prinsip redistributif Rawls.
Nozick menyatakan bahwa prinsip perbedaan Rawls mengandung paksaan terhadap hak
milik individu dan melanggar prinsip kebebasan pribadi. Baginya, keadilan tidak
bergantung pada pola distribusi tertentu (patterned distribution), melainkan
pada prosedur
yang adil dalam perolehan dan transfer kekayaan. Selama
kekayaan diperoleh secara sah (melalui akuisisi dan pertukaran sukarela), maka
ketimpangan bukanlah sesuatu yang tidak adil1.
Nozick menilai bahwa
justice
as fairness mengabaikan hak milik sebagai hak dasar,
dan menyerukan bahwa negara seharusnya terbatas pada perlindungan terhadap
hak-hak tersebut, tanpa campur tangan dalam distribusi hasil ekonomi2.
9.2.
Kritik Komunitarian:
Identitas, Sejarah, dan Ketertanaman Sosial
Kelompok komunitarian,
seperti Michael Sandel, Alasdair
MacIntyre, dan Charles Taylor, menolak asumsi
dasar Rawls tentang individu sebagai agen rasional yang terlepas dari identitas
sosial dan sejarah. Dalam Liberalism and the Limits of Justice
(1982), Sandel mengkritik original position sebagai model
yang terlalu abstrak, karena menggambarkan individu seolah-olah tanpa
keterikatan moral dan budaya, padahal dalam kenyataannya manusia selalu terikat
pada komunitas dan tradisi tertentu3.
Bagi komunitarian,
teori Rawls terlalu menekankan keadilan prosedural dan otonomi individual,
sementara mengabaikan konteks historis, nilai kolektif, dan praktik
komunitas yang juga membentuk moralitas. MacIntyre, dalam After
Virtue (1981), bahkan menilai bahwa moralitas liberal seperti Rawls
gagal memberikan kerangka naratif yang kuat untuk mengikat masyarakat secara
etis4.
9.3.
Kritik dari Kiri:
Marxisme dan Ketimpangan Struktural
Dari sisi kiri,
kalangan marxis dan kritikus sosial memandang bahwa teori Rawls terlalu lembut
terhadap kapitalisme, karena hanya berusaha mengoreksi
ketimpangan melalui prinsip distribusi, bukan mengubah struktur kepemilikan dan
kekuasaan ekonomi. Dalam pandangan ini, Rawls tetap menerima keberadaan kelas-kelas
sosial, selama distribusinya dianggap “adil” menurut prinsip
perbedaan. Namun, bagi kalangan kiri radikal, keadilan sejati menuntut perubahan struktur
produksi dan relasi kepemilikan, bukan sekadar redistribusi
hasil5.
Sebagian kritik ini
juga datang dari gerakan keadilan global, yang
menilai The Law
of Peoples Rawls terlalu mengakomodasi status quo internasional dan
tidak cukup memperjuangkan prinsip keadilan global berbasis individu. Thomas
Pogge, misalnya, menganggap Rawls tidak cukup menuntut
akuntabilitas negara-negara kaya dalam menciptakan dan mempertahankan sistem
global yang eksploitatif6.
9.4.
Kritik Kontekstual:
Realisme Politik dan Ketidakseimbangan Praktis
Beberapa kritik lain
berasal dari pendekatan realis politik seperti Raymond Geuss dan Bernard
Williams, yang menuduh Rawls terlalu idealistis dan tidak
memperhitungkan kekuasaan, konflik, dan kontingensi sejarah.
Bagi mereka, filsafat politik seharusnya tidak hanya menetapkan norma ideal,
tetapi juga mempertimbangkan realitas politik dan kondisi praktis,
termasuk kemungkinan resistensi sosial, dinamika kepentingan, dan institusi
yang tidak netral7.
Mereka menilai bahwa
teori Rawlsian cenderung mengabaikan asimetri kekuasaan dan
berasumsi bahwa konsensus rasional selalu mungkin, padahal dalam kenyataan, politik
adalah medan pertarungan yang kompleks dan tidak selalu dapat
dijinakkan oleh prinsip moral universal.
9.5.
Tanggapan Rawls dan
Revisi Pemikiran
Rawls sendiri
menanggapi sebagian kritik tersebut dalam Political Liberalism dan The Law
of Peoples dengan memperkenalkan konsep public reason, reasonable
pluralism, dan pengakuan terhadap bentuk masyarakat nonliberal yang
patuh terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Namun demikian, Rawls tetap
mempertahankan inti normatif dari liberalisme politik,
yakni kebebasan, kesetaraan, dan prosedur yang adil sebagai fondasi masyarakat
yang stabil dan sah secara moral8.
Footnotes
[1]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 149–182.
[2]
Ibid., 198–204.
[3]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–17.
[4]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 256–260.
[5]
G.A. Cohen, If You’re an Egalitarian, How Come You’re So Rich?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 120–124.
[6]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 196–203.
[7]
Raymond Geuss, Philosophy and Real Politics (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 2008), 9–12; Bernard Williams, In the Beginning
Was the Deed: Realism and Moralism in Political Argument, ed. Geoffrey
Hawthorn (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2005), 1–5.
[8]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), xlv–liii.
10.
Penutup
Pemikiran John Rawls
telah memberikan sumbangan monumental dalam filsafat moral dan politik modern,
khususnya melalui teorinya yang dikenal sebagai justice as fairness. Dengan
merumuskan dua prinsip keadilan yang berakar pada kesetaraan moral dan prosedur
rasional, Rawls berhasil merancang sebuah kerangka normatif yang menjawab
tantangan mendasar dalam masyarakat demokratis modern: bagaimana menyusun
tatanan sosial yang adil di tengah pluralisme keyakinan, identitas, dan
kepentingan1.
Melalui konsep original
position dan veil of ignorance, Rawls
menghadirkan model kontraktarianisme baru yang memadukan ideal moral Kantian
dengan pendekatan rasional dari teori pilihan. Teori keadilannya membedakan
secara tegas antara keadilan sebagai kebajikan institusi sosial
dan kesejahteraan
sebagai tujuan individual, dan dengan demikian menentang
hegemoni utilitarianisme yang dominan dalam filsafat Anglo-Amerika saat itu2.
Justice
as fairness menegaskan bahwa keadilan harus dibangun di atas prosedur
yang adil, bukan semata hasil yang menguntungkan secara
agregatif.
Evolusi pemikiran
Rawls dalam Political Liberalism dan The Law
of Peoples menunjukkan sensitivitasnya terhadap kompleksitas
masyarakat kontemporer. Ia menggeser teorinya dari sistem moral komprehensif
menjadi kerangka politik yang bersifat publik dan inklusif, serta memperluas
cakupan ke tingkat global dengan tetap menjaga prinsip-prinsip kedaulatan, hak
asasi, dan keterbukaan terhadap perbedaan nilai3. Hal ini menandai
kematangan filsafat politik Rawls dalam merespons dinamika pluralisme dan
globalisasi.
Meski teorinya
menuai berbagai kritik—baik dari libertarian, komunitarian, marxis, hingga
realis politik—Rawls tetap memberikan landasan normatif yang kuat dan elegan
bagi banyak perdebatan etika dan politik kontemporer. Kritik terhadapnya justru
menegaskan pentingnya teori Rawls sebagai pusat gravitasi diskursus keadilan
modern. Sebagaimana diakui oleh banyak akademisi, kualitas intelektual Rawls terletak
pada kemampuannya menyatukan rasionalitas moral, kesetaraan politik, dan desain
institusional dalam satu sintesis yang koheren4.
Lebih dari sekadar
konstruksi teoretis, pemikiran Rawls memiliki dampak praktis dan pedagogis.
Gagasannya digunakan untuk mengevaluasi kebijakan publik, sistem pendidikan,
distribusi ekonomi, dan dasar-dasar hukum konstitusional dalam masyarakat
demokratis. Dalam konteks global yang semakin diwarnai oleh ketimpangan sosial,
krisis demokrasi, dan fragmentasi nilai, warisan Rawls tetap menjadi rambu
moral yang menunjukkan arah menuju masyarakat yang lebih adil
dan beradab.
Dengan demikian,
studi atas pemikiran John Rawls tidak hanya menjadi bagian penting dari wacana
akademik, tetapi juga menyumbang secara nyata dalam merumuskan cita-cita
keadilan sosial yang dapat diterima oleh semua individu yang bebas dan setara.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, prinsip-prinsip justice
as fairness tetap menjadi panduan etis dan politik yang relevan dan
mendesak5.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–6.
[2]
Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 32–36.
[3]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 9–11; John Rawls, The Law of Peoples
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–5.
[4]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 69–70.
[5]
Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University
Press, 1989), 193–197.
Daftar Pustaka
Beitz, C. R. (1979). Political theory and
international relations. Princeton University Press.
Cohen, G. A. (2001). If you're an egalitarian,
how come you're so rich? Harvard University Press.
Daniels, N. (1996). Justice and justification:
Reflective equilibrium in theory and practice. Cambridge University Press.
Daniels, N. (Ed.). (1975). Reading Rawls:
Critical studies on Rawls' A theory of justice. Blackwell.
Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously.
Harvard University Press.
Freeman, S. (2007). Rawls. Routledge.
Geuss, R. (2008). Philosophy and real politics.
Princeton University Press.
Hobbes, T. (1991). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge University Press. (Original work published 1651)
Kymlicka, W. (2002). Contemporary political
philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
Basic Books.
Pogge, T. (1989). Realizing Rawls. Cornell
University Press.
Pogge, T. (2002). World poverty and human rights.
Polity Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Rawls, J. (1999). The law of peoples: With “The
idea of public reason revisited”. Harvard University Press.
Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A
restatement (E. Kelly, Ed.). Harvard University Press.
Rawls, J. (2000). Lectures on the history of
moral philosophy. Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin. (Original work published 1762)
Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits
of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Williams, B. (2005). In the beginning was the
deed: Realism and moralism in political argument (G. Hawthorn, Ed.).
Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar