Sabtu, 31 Mei 2025

Pemikiran John Rawls: Keadilan sebagai Fairness

Pemikiran John Rawls

Keadilan sebagai Fairness


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap pemikiran moral dan politik John Rawls, seorang filsuf liberal paling berpengaruh pada abad ke-20. Melalui teorinya yang dikenal sebagai justice as fairness, Rawls membangun kerangka normatif untuk merancang struktur dasar masyarakat yang adil berdasarkan dua prinsip utama: kebebasan yang setara dan prinsip perbedaan. Artikel ini menguraikan evolusi pemikiran Rawls dari A Theory of Justice menuju Political Liberalism dan The Law of Peoples, serta menyoroti keunikan pendekatannya yang memadukan kontraktarianisme hipotetik dengan proseduralisme moral. Selain itu, dibahas pula tanggapan Rawls terhadap utilitarianisme, pengaruh luasnya dalam filsafat politik, serta berbagai kritik yang datang dari kubu libertarian, komunitarian, marxis, dan realis politik. Melalui sintesis konseptual dan refleksi kritis, artikel ini menegaskan relevansi prinsip-prinsip Rawlsian dalam merespons tantangan keadilan sosial dan pluralisme nilai di era kontemporer.

Kata Kunci: John Rawls, justice as fairness, keadilan prosedural, liberalisme politik, kontrak sosial, utilitarianisme, pluralisme, keadilan global, filsafat politik, kritik terhadap Rawls.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Pemikiran Moral dan Politik John Rawls


1.           Pendahuluan

Dalam ranah filsafat politik kontemporer, nama John Rawls (1921–2002) menempati posisi yang sangat menonjol sebagai pemikir yang berhasil merumuskan teori keadilan normatif dalam kerangka liberal yang rasional dan sistematis. Pemikirannya menawarkan jawaban terhadap tantangan besar dalam kehidupan sosial modern: bagaimana menyusun struktur dasar masyarakat yang adil di tengah keberagaman nilai dan kepentingan warga negaranya. Teorinya, yang dikenal sebagai justice as fairness, pertama kali diperkenalkan secara komprehensif dalam karyanya yang monumental, A Theory of Justice (1971), dan segera menjadi tonggak utama dalam diskursus keadilan dalam dunia akademik maupun kebijakan publik di akhir abad ke-201.

Kemunculan pemikiran Rawls tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah intelektual Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II, ketika filsafat politik liberal mengalami tantangan dari berbagai arah, baik dari arus utilitarianisme, marxisme, maupun libertarianisme. Dalam situasi tersebut, Rawls berusaha membangun fondasi moral bagi sistem demokrasi liberal yang adil dan stabil melalui pendekatan kontraktarian yang dimodifikasi. Ia mengajukan argumen bahwa prinsip-prinsip keadilan seharusnya ditentukan oleh individu-individu yang berada dalam original position—sebuah kondisi hipotetik di mana para pihak berada di balik veil of ignorance dan tidak mengetahui posisi sosial atau atribut personal mereka di masyarakat2.

Rawls meyakini bahwa masyarakat yang adil tidak semata-mata bertumpu pada hasil akhir atau distribusi sumber daya, tetapi harus dibangun melalui prosedur yang fair dalam menentukan struktur dasar masyarakat. Di sinilah konsep fairness menjadi krusial: keadilan tidak cukup dimaknai sebagai kesetaraan hasil, tetapi sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan yang adil dan rasional, yang dapat diterima oleh semua individu yang setara sebagai warga negara bebas3.

Pemikiran Rawls menghadirkan pembaruan dalam filsafat politik normatif dengan mengintegrasikan prinsip moral Kantian, teori pilihan rasional, dan intuisi liberalisme klasik. Dengan demikian, Rawls tidak hanya menghidupkan kembali tradisi kontrak sosial modern, tetapi juga menawarkannya dalam bentuk yang dapat diadaptasi dengan realitas demokrasi pluralistik masa kini. Pengaruhnya begitu luas sehingga karya-karyanya menjadi rujukan wajib dalam diskusi mengenai keadilan sosial, etika publik, dan desain institusional dalam masyarakat modern4.

Bagian ini bertujuan untuk memperkenalkan kerangka pemikiran John Rawls sebagai suatu sistem filsafat moral dan politik yang utuh. Dengan menganalisis prinsip-prinsip keadilan yang ia rumuskan, artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana Rawls membentuk ulang wacana keadilan dalam tradisi liberal, serta bagaimana teorinya mendapat tanggapan, kritik, dan penerapan dalam konteks kontemporer.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[2]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 16–20.

[3]                Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 30–33.

[4]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 55–62.


2.           Biografi Intelektual John Rawls

John Bordley Rawls dilahirkan pada tanggal 21 Februari 1921 di Baltimore, Maryland, dalam sebuah keluarga kelas menengah atas yang menghargai pendidikan dan tanggung jawab sosial. Ia menempuh pendidikan sarjana di Princeton University dan lulus pada tahun 1943, sebelum bergabung dalam dinas militer Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Pengalaman perang, khususnya kunjungannya ke kamp-kamp konsentrasi Nazi yang telah dibebaskan, berpengaruh besar terhadap kepekaannya terhadap penderitaan manusia dan ketidakadilan struktural1. Setelah perang, Rawls kembali ke Princeton untuk menyelesaikan studi doktoralnya dan kemudian mengajar di berbagai universitas bergengsi seperti Cornell, MIT, dan akhirnya Harvard, di mana ia mengabdikan hampir seluruh karier akademiknya sejak 19622.

Secara intelektual, Rawls dipengaruhi oleh beragam tradisi filsafat moral dan politik. Ia banyak terinspirasi oleh Immanuel Kant, terutama dalam gagasan tentang otonomi moral dan imperatif kategoris. Namun, Rawls mengembangkan gagasan tersebut dalam kerangka politik yang lebih empiris dan kontraktarian, menekankan pentingnya konsensus rasional dalam masyarakat pluralistik3. Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh filsafat analitik Anglo-Amerika, khususnya dalam hal klarifikasi konsep-konsep normatif serta gaya argumentatif yang ketat. Dalam konteks ini, Rawls mengambil jarak dari pendekatan utilitarian yang dominan pada masanya, dan menawarkan alternatif rasional berbasis prinsip4.

Latar belakang akademik Rawls secara konsisten memperlihatkan upaya untuk merumuskan teori keadilan yang tidak sekadar normatif secara moral, tetapi juga dapat diterapkan secara institusional. Melalui metode refleksi ekuilibrium (reflective equilibrium), Rawls berusaha menggabungkan intuisi moral umum masyarakat dengan prinsip-prinsip rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara universal. Pendekatan ini menjadi metode khas Rawls yang menandai distingsi pemikirannya dalam filsafat politik kontemporer5.

Puncak kontribusi Rawls adalah penerbitan A Theory of Justice pada tahun 1971, yang segera memicu revolusi dalam studi filsafat politik. Karya ini menandai kebangkitan kembali tradisi liberalisme normatif yang berbasis kontrak sosial, di tengah dominasi pendekatan utilitarian dan positivis pada saat itu. Melalui dua prinsip keadilan dan kerangka original position, Rawls mengubah secara radikal cara kita memahami keadilan sebagai prinsip dasar pengaturan masyarakat6. Karya-karya lanjutannya seperti Political Liberalism (1993) dan The Law of Peoples (1999) memperlihatkan perkembangan pemikirannya menuju pendekatan yang lebih responsif terhadap pluralisme nilai dan konteks global7.

Dengan integritas intelektual, ketelitian argumentatif, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan, John Rawls meninggalkan warisan yang sangat besar bagi filsafat politik modern. Ia tidak hanya mendefinisikan ulang keadilan dalam masyarakat liberal, tetapi juga mewariskan perangkat analitis yang terus digunakan dan dikembangkan hingga saat ini dalam kajian keadilan sosial, institusi demokratis, dan etika publik.


Footnotes

[1]                Thomas Pogge, John Rawls: His Life and Theory of Justice (Oxford: Oxford University Press, 2007), 3–6.

[2]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 1–5.

[3]                John Rawls, Lectures on the History of Moral Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 234–239.

[4]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–54.

[5]                Norman Daniels, Justice and Justification: Reflective Equilibrium in Theory and Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2–8.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), xv–xxii.

[7]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), Introduction; John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–5.


3.           Konsep Dasar “Justice as Fairness”

Gagasan utama John Rawls tentang justice as fairness merupakan usaha sistematik untuk membangun sebuah teori keadilan politik dan sosial yang bersifat kontraktual, rasional, dan dapat diterima oleh semua warga negara yang setara dan bebas. Dalam A Theory of Justice (1971), Rawls menyatakan bahwa keadilan merupakan “virtue of social institutions” yang paling fundamental—lebih utama daripada efisiensi, kesejahteraan, atau bahkan kebebasan jika kebebasan tersebut didistribusikan secara tidak adil1. Oleh karena itu, justice as fairness menawarkan suatu model normatif di mana prinsip-prinsip keadilan tidak berasal dari konsensus empiris, melainkan ditetapkan melalui kontrak sosial hipotetik yang rasional dan adil.

3.1.       Dua Prinsip Keadilan

Rawls merumuskan dua prinsip keadilan yang menurutnya akan disepakati oleh individu yang berada dalam original position di balik veil of ignorance. Kedua prinsip tersebut adalah:

1)                  Prinsip Kebebasan yang Setara (Equal Basic Liberties):

Setiap orang memiliki hak yang sama atas skema kebebasan dasar yang paling luas yang sesuai dengan kebebasan serupa bagi semua orang. Kebebasan ini meliputi hak atas kebebasan berpendapat, beragama, hak milik pribadi, dan partisipasi politik2.

2)                  Prinsip Perbedaan dan Pemerataan Kesempatan (Difference Principle and Fair Equality of Opportunity):

Ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dibenarkan hanya jika (a) memberikan manfaat terbesar bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung (the least advantaged), dan (b) melekat pada posisi dan jabatan yang terbuka bagi semua orang dalam kondisi pemerataan kesempatan yang adil3.

Prinsip pertama memiliki prioritas mutlak atas prinsip kedua—yang disebut Rawls sebagai lexical priority. Artinya, kebebasan dasar tidak boleh dikorbankan demi keuntungan ekonomi atau efisiensi4.

3.2.       Original Position dan Veil of Ignorance

Untuk memastikan keadilan dalam pemilihan prinsip-prinsip dasar masyarakat, Rawls merancang model original position, yaitu suatu situasi hipotetik di mana individu rasional memilih prinsip keadilan tanpa mengetahui posisi mereka dalam masyarakat (status sosial, kelas ekonomi, agama, bakat alami, dsb.). Ketidaktahuan ini, yang disebut veil of ignorance, memaksa para peserta untuk membuat keputusan secara adil, tanpa memihak pada kepentingan diri sendiri yang bersifat kontingen5.

Rawls menyatakan bahwa prinsip keadilan yang disepakati dalam original position mencerminkan fairness, karena tidak ada individu yang memiliki keuntungan epistemik dalam menentukan prinsip tersebut. Inilah sebabnya mengapa ia menyebut teorinya sebagai justice as fairness—keadilan sebagai hasil dari prosedur yang adil6.

3.3.       Keadilan sebagai Struktur Dasar

Rawls menganggap prinsip keadilan harus diterapkan pada struktur dasar masyarakat (basic structure), yakni institusi sosial utama seperti sistem hukum, sistem ekonomi, dan keluarga. Institusi-institusi ini memiliki pengaruh besar terhadap peluang hidup dan pembagian sumber daya. Oleh karena itu, keadilan dalam struktur dasar adalah prioritas normatif dalam teori Rawls, bukan sekadar keadilan antarpribadi7.

3.4.       Keadilan dan Rasionalitas Moral

Teori Rawls tidak hanya bertumpu pada prosedur rasional kontraktual, tetapi juga berlandaskan moralitas publik. Para agen dalam original position dipandang sebagai makhluk rasional yang memiliki moral powers untuk membentuk, mengejar, dan merevisi konsepsi kebaikan hidup mereka. Oleh sebab itu, justice as fairness tidak bersifat relativistik, melainkan normatif universal dalam kerangka masyarakat demokratis yang plural8.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3.

[2]                Ibid., 53–54.

[3]                Ibid., 72–73.

[4]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–43.

[5]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 21–24.

[6]                Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 31–34.

[7]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 58–59.

[8]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 19–22.


4.           Rawls dan Tradisi Kontraktarianisme

Pemikiran keadilan John Rawls berakar kuat dalam tradisi kontraktarianisme, yaitu aliran dalam filsafat politik yang menjelaskan legitimasi otoritas politik dan prinsip-prinsip keadilan berdasarkan kesepakatan rasional antarindividu. Tradisi ini memiliki akar klasik dalam karya-karya filsuf seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, yang masing-masing menawarkan model kontrak sosial sebagai dasar legitimasi negara dan hukum. Rawls menghidupkan kembali pendekatan ini dalam konteks modern, dengan membebaskannya dari asumsi historis dan menggantinya dengan kerangka rasional dan hipotetik yang lebih sesuai dengan masyarakat pluralistik dan demokratis masa kini1.

4.1.       Kontrak Sosial Sebagai Prosedur Normatif

Berbeda dengan kontrak sosial dalam versi Hobbes atau Locke yang bersifat lebih historis atau naturalistik, kontrak sosial menurut Rawls adalah konstruksi moral rasional dalam bentuk situasi hipotetik yang disebut original position. Dalam posisi ini, para agen yang rasional dan setara diminta untuk memilih prinsip-prinsip keadilan tanpa mengetahui posisi mereka di masyarakat (disebut veil of ignorance)2. Dengan demikian, prinsip-prinsip yang dipilih tidak akan bias terhadap kepentingan golongan tertentu. Hal ini merepresentasikan keadilan yang prosedural dan tidak bergantung pada hasil atau status quo politik tertentu.

Rawls menegaskan bahwa tujuannya bukan untuk memberikan penjelasan sejarah tentang terbentuknya masyarakat, tetapi untuk memberikan justifikasi moral normatif atas struktur dasar masyarakat yang adil. Dalam hal ini, kontrak sosial versi Rawls berfungsi sebagai alat reflektif untuk menilai legitimasi prinsip-prinsip politik melalui kesepakatan imajiner yang adil3.

4.2.       Perbandingan dengan Kontraktarianisme Klasik

Meskipun Rawls mengadopsi model kontrak sosial, ia membedakan diri dari pendahulunya dalam berbagai aspek kunci. Hobbes, misalnya, berangkat dari asumsi tentang keadaan alam (state of nature) yang penuh konflik dan ketakutan, sehingga kontrak sosial muncul sebagai cara untuk menghindari kekacauan dan menjamin keamanan melalui penyerahan hak kepada penguasa mutlak4. Locke menekankan perlindungan hak-hak alamiah seperti kehidupan, kebebasan, dan milik, sedangkan Rousseau mengusulkan kehendak umum (general will) sebagai dasar moral masyarakat politik yang adil5.

Rawls, di sisi lain, tidak membangun argumennya berdasarkan kondisi alam atau kehendak umum, melainkan pada rasionalitas moral dan kesetaraan moral para agen dalam posisi hipotetik. Ia juga menolak asumsi utilitarian yang mendominasi filsafat politik Anglo-Amerika pascaperang dunia, karena dianggap gagal menghormati individualitas dan hak-hak dasar warga negara6.

Dengan demikian, Rawls menggabungkan struktur moral Kantian dengan pendekatan kontraktual, menciptakan model baru kontraktarianisme yang bersifat deontologis dan nonutilitarian. Prinsip-prinsip keadilan tidak dipilih karena memaksimalkan kebahagiaan kolektif, tetapi karena dapat dibenarkan oleh setiap individu sebagai makhluk rasional yang setara7.

4.3.       Rasionalitas dan Ketidakberpihakan

Dalam kerangka Rawls, agen-agen dalam original position digambarkan sebagai rasional, memiliki kepentingan atas kebaikan hidup mereka, namun tidak egois secara moral. Mereka menyepakati prinsip keadilan bukan karena kepentingan pribadi, tetapi karena mereka tahu bahwa struktur keadilan yang adil akan menguntungkan semua, terutama dalam ketidaktahuan tentang posisi mereka sendiri. Ini menciptakan kondisi ketidakberpihakan moral yang menjadi inti dari konsep fairness dalam teori Rawls8.

Rawls dengan demikian tidak hanya merevitalisasi tradisi kontraktarian, tetapi juga mengembangkannya menjadi teori keadilan normatif yang berakar pada konsensus rasional dalam masyarakat demokratis. Dalam pengertian ini, ia berhasil menjembatani filsafat moral, teori politik, dan teori institusi dalam satu kerangka konseptual yang solid.


Footnotes

[1]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 36–39.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 12–19.

[3]                Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 27–30.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 86–94.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II: §§4–6; Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), Book I–II.

[6]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 56–58.

[7]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 82–86.

[8]                Norman Daniels, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of Justice (Oxford: Blackwell, 1975), 12–14.


5.           Kritik dan Tanggapan terhadap Utilitarianisme

Salah satu fokus utama dalam proyek filsafat politik John Rawls adalah menyusun alternatif moral yang lebih adil terhadap dominasi teori utilitarianisme dalam filsafat Anglo-Amerika abad ke-20. Utilitarianisme, terutama dalam bentuknya yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, memandang keadilan sebagai persoalan maksimalisasi kebahagiaan atau kegunaan total di masyarakat. Meskipun memiliki daya tarik pragmatis, Rawls menganggap bahwa pendekatan ini mengabaikan hak-hak individu dan tidak mampu memberikan prinsip moral yang stabil dan adil dalam masyarakat pluralistik1.

5.1.       Masalah Agregasi dalam Utilitarianisme

Rawls menilai bahwa utilitarianisme terlalu menekankan pada prinsip agregasi, yaitu bahwa kesejahteraan total suatu masyarakat dapat ditingkatkan walaupun mengorbankan kepentingan sebagian kecil individu. Dalam pandangan utilitarian, ketidakadilan terhadap segelintir orang dapat dibenarkan selama hal itu membawa manfaat lebih besar secara keseluruhan. Rawls menganggap prinsip ini bertentangan dengan intuisi moral dasar tentang keadilan—yaitu bahwa setiap individu memiliki hak yang tak dapat dikorbankan demi kepentingan kolektif2.

Sebagai contoh, dalam kerangka utilitarianisme, sistem perbudakan atau ketidaksetaraan ekstrem bisa saja dianggap sah jika menghasilkan kebahagiaan bersih yang lebih besar. Rawls menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa keadilan adalah soal hak dan struktur yang fair, bukan sekadar kalkulasi manfaat kolektif3.

5.2.       Ketidaksesuaian dengan Prinsip Otonomi Moral

Selain itu, Rawls menolak utilitarianisme karena tidak menghormati otonomi moral individu. Dalam kerangka utilitarianisme, seseorang diperlakukan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan sosial, bukan sebagai tujuan itu sendiri. Sebaliknya, Rawls—meneruskan semangat moral Kantian—menggagas bahwa individu adalah agen moral yang rasional dan bebas, yang harus diakui sebagai pemilik hak yang tidak dapat dinegosiasikan, bahkan demi kemaslahatan kolektif4.

Dalam original position, prinsip keadilan tidak akan disetujui jika memungkinkan eksploitasi terhadap kelompok tertentu, karena para agen berada di balik veil of ignorance dan tidak tahu posisi mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, justice as fairness menjamin kesetaraan dan ketidakberpihakan, bukan optimalisasi kebahagiaan total5.

5.3.       Kritik terhadap Rule-Utilitarianisme

Beberapa pembela utilitarianisme berusaha memodifikasi pendekatan ini melalui rule-utilitarianism, yang menilai tindakan berdasarkan kepatuhannya terhadap aturan-aturan umum yang menghasilkan kegunaan terbesar. Namun Rawls menilai pendekatan ini tetap gagal, karena tidak mengakui struktur keadilan sebagai sesuatu yang mendahului kesejahteraan. Menurutnya, prinsip keadilan seharusnya dipilih lebih dahulu, sebelum mempertimbangkan distribusi kegunaan atau manfaat sosial6.

Rawls menegaskan bahwa masyarakat adil harus dirancang berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat diterima oleh semua individu yang bebas dan setara. Oleh karena itu, utilitarianisme—baik dalam versi tindakan (act) maupun aturan (rule)—gagal menyediakan kerangka normatif yang menghormati pluralisme moral dan struktur institusi demokratis7.

5.4.       Tanggapan Rawls: Keadilan sebagai Prioritas Moral

Rawls tidak sekadar mengkritik utilitarianisme, tetapi juga menawarkan alternatif positif melalui dua prinsip keadilan dalam justice as fairness. Dengan memberikan prioritas leksikal pada kebebasan dasar, ia menekankan bahwa hak-hak sipil dan politik tidak boleh dikorbankan demi keuntungan ekonomi. Sementara prinsip perbedaan memastikan bahwa ketidaksetaraan hanya dibenarkan jika meningkatkan kondisi kelompok yang paling tidak beruntung8.

Dengan demikian, Rawls menggeser perdebatan keadilan dari persoalan hasil kolektif menuju struktur institusional dan legitimasi normatif. Teorinya menghormati martabat moral individu dan membangun fondasi keadilan yang lebih kuat dalam masyarakat plural yang demokratis.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 22–28.

[2]                Ibid., 24–27.

[3]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 45–48.

[4]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 122–125.

[5]                Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 35–39.

[6]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 64–66.

[7]                Norman Daniels, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of Justice (Oxford: Blackwell, 1975), 15–17.

[8]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 291–294.


6.           Teori Keadilan sebagai Keadilan Prosedural

Salah satu sumbangan konseptual penting John Rawls dalam teori keadilan adalah pengembangan gagasan tentang keadilan prosedural (procedural justice). Bagi Rawls, keadilan tidak semata-mata ditentukan oleh hasil akhir atau distribusi sumber daya, melainkan oleh prosedur yang digunakan untuk menentukan prinsip-prinsip dasar masyarakat. Oleh karena itu, justice as fairness dapat dipahami sebagai teori keadilan prosedural murni (pure procedural justice) yang bertumpu pada proses yang adil sebagai syarat terciptanya keadilan yang sah1.

6.1.       Klasifikasi Keadilan Prosedural

Rawls membedakan tiga bentuk keadilan prosedural dalam A Theory of Justice:

1)                  Perfect Procedural Justice

terdapat prinsip independen tentang hasil yang adil, dan prosedur tertentu dijamin akan menghasilkan hasil tersebut. Contoh: membagi roti dengan aturan “satu membagi, satu memilih2.

2)                  Imperfect Procedural Justice

terdapat prinsip hasil yang adil, tetapi tidak ada prosedur yang dapat menjamin tercapainya hasil tersebut. Contoh: sistem hukum pidana, di mana keadilan substantif mungkin tidak selalu tercapai meskipun prosedur formal diikuti3.

3)                  Pure Procedural Justice

tidak ada prinsip hasil yang adil secara independen, dan hasil dianggap adil karena dihasilkan melalui prosedur yang adil. Inilah model yang diadopsi dalam original position Rawls, di mana prinsip-prinsip keadilan dipilih melalui proses rasional yang setara dan tidak memihak4.

Dengan membingkai keadilan dalam kategori ini, Rawls menegaskan bahwa keadilan sebagai fairness adalah bentuk keadilan prosedural murni, di mana prinsip-prinsip keadilan dianggap sah karena disepakati oleh individu yang rasional dan setara dalam posisi awal hipotetik yang adil5.

6.2.       Original Position sebagai Prosedur Keadilan

Model original position adalah inti dari pendekatan prosedural Rawls. Di dalamnya, individu memilih prinsip-prinsip keadilan tanpa mengetahui identitas atau posisi sosial mereka, sehingga meminimalkan bias dan memperkuat ketidakberpihakan moral. Prosedur ini bukanlah proses historis, melainkan konstruksi moral hipotetik yang memungkinkan pengujian rasional atas legitimasi prinsip-prinsip dasar dalam masyarakat6.

Karena keputusan dalam original position diambil secara rasional dan setara, maka prinsip keadilan yang dihasilkan dianggap adil tanpa harus diuji oleh hasil akhir empiris. Dalam hal ini, keadilan dipahami dari prosesnya, bukan dari dampaknya, menjadikan prosedur sebagai sumber legitimasi normatif7.

6.3.       Implikasi Institusional

Konsepsi keadilan prosedural Rawls memiliki implikasi langsung terhadap desain institusi sosial dan politik. Institusi dianggap adil bukan hanya karena menghasilkan distribusi tertentu, tetapi karena didirikan berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat disepakati oleh semua warga negara sebagai hasil dari prosedur yang fair. Misalnya, sistem hukum, pendidikan, dan ekonomi harus disusun sesuai dengan dua prinsip keadilan yang dipilih dalam original position8.

Dengan demikian, justice as fairness memberi arah normatif bagi pembentukan struktur dasar masyarakat—yang mencakup konstitusi, kebijakan publik, dan struktur ekonomi—melalui prosedur legitimasi yang menghargai kesetaraan dan kebebasan semua warga negara.

6.4.       Perbandingan dengan Pendekatan Substantif

Pendekatan Rawls berbeda tajam dari teori keadilan yang bersifat substantif, seperti utilitarianisme, yang menilai keadilan berdasarkan hasil akhir (misalnya, total kebahagiaan atau kesejahteraan). Dalam pendekatan substantif, keadilan diukur berdasarkan konsekuensi; sedangkan dalam teori Rawls, keabsahan normatif berasal dari prosedur pemilihan prinsip yang adil, bukan dari seberapa besar manfaat kolektif yang dihasilkan9.

Dengan penekanan pada keadilan prosedural, Rawls menghindari relativisme hasil dan memberikan dasar moral yang kuat bagi keberagaman nilai dalam masyarakat plural. Ia menyatukan nilai rasionalitas, moralitas, dan institusionalitas dalam satu kerangka prosedural yang kohesif.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 85–86.

[2]                Ibid., 85.

[3]                Ibid., 86.

[4]                Ibid., 87.

[5]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 93–96.

[6]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 16–20.

[7]                Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 49–51.

[8]                Norman Daniels, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of Justice (Oxford: Blackwell, 1975), 19–21.

[9]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 67–68.


7.           7. Evolusi Pemikiran Rawls: Political Liberalism dan The Law of Peoples

Setelah merumuskan justice as fairness secara sistematik dalam A Theory of Justice (1971), John Rawls melanjutkan pengembangan teorinya dalam karya-karya lanjutan yang memperluas cakupan filsafat politiknya, baik dalam konteks masyarakat plural domestik maupun hubungan antarbangsa. Dua karya penting dalam fase ini adalah Political Liberalism (1993) dan The Law of Peoples (1999). Keduanya menunjukkan bagaimana Rawls merevisi dan memperluas teori keadilannya agar tetap relevan dalam menghadapi realitas pluralisme nilai dan globalisasi politik.

7.1.       Dari Teori Komprehensif Menuju Liberalisme Politik

Dalam Political Liberalism, Rawls menyadari bahwa A Theory of Justice dapat ditafsirkan sebagai “teori moral komprehensif”—yakni suatu pandangan moral menyeluruh yang sulit disepakati dalam masyarakat demokratis yang pluralistik secara mendalam (reasonable pluralism)1. Oleh karena itu, Rawls menggeser pendekatan normatifnya dari basis metafisik universal ke kerangka politik yang bersifat parsial dan publik, yang ia sebut sebagai “liberalisme politik” (political liberalism).

Inti dari Political Liberalism adalah upaya menjelaskan bagaimana masyarakat demokratis yang adil dan stabil dapat bertahan, meskipun para anggotanya menganut pandangan hidup dan moralitas yang berbeda-beda secara rasional. Untuk menjawab tantangan ini, Rawls memperkenalkan konsep “overlapping consensus”—yakni kesepakatan antarwarga yang berbeda dalam pandangan moral dan religius, tetapi tetap menerima prinsip-prinsip dasar keadilan sebagai landasan politik bersama2.

7.2.       Konsep Reasonableness dan Public Reason

Dalam kerangka baru ini, Rawls membedakan antara warga negara yang “reasonable” dan yang “unreasonable”. Warga yang reasonable bersedia menerima prinsip-prinsip dasar demokrasi dan berpartisipasi dalam kehidupan publik dengan semangat saling menghormati. Mereka menggunakan apa yang disebut Rawls sebagai “public reason”—yakni bentuk rasionalitas publik yang digunakan untuk membahas isu-isu politik fundamental dalam masyarakat majemuk3.

Dengan demikian, Political Liberalism tidak mengasumsikan satu sistem etika absolut, tetapi justru menciptakan ruang normatif di mana institusi-institusi dasar dapat dibenarkan oleh semua pihak yang reasonable, meskipun mereka berbeda dalam pandangan hidup pribadi4.

7.3.       Perluasan Global: The Law of Peoples

Rawls kemudian melanjutkan pendekatannya ke tingkat global melalui karya The Law of Peoples (1999), yang merupakan perluasan dari teori keadilan ke dalam hubungan antarnegara. Dalam karya ini, Rawls tidak mencoba menguniversalkan justice as fairness untuk semua bangsa, tetapi menyusun prinsip-prinsip normatif yang dapat diterima oleh “masyarakat masyarakat” (society of peoples), termasuk negara liberal dan nonliberal yang menghormati hukum dasar kemanusiaan5.

Rawls mengembangkan delapan prinsip dasar dalam The Law of Peoples, termasuk: saling menghormati kedaulatan, tidak mencampuri urusan dalam negeri, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ia juga membedakan antara masyarakat liberal, masyarakat hierarkis tetapi patuh hukum (misalnya “decent peoples”), dan negara tiranik yang tidak reasonable6.

Berbeda dari pendekatan kosmopolitan seperti milik Thomas Pogge atau Charles Beitz yang mengusulkan penerapan prinsip keadilan global berbasis individu, Rawls mempertahankan pendekatan berbasis masyarakat politis (nation-states) dengan prinsip non-intervensi dan penghormatan atas otonomi kolektif. Bagi Rawls, keadilan global bukan soal redistribusi global secara langsung, tetapi tentang pembentukan tatanan internasional yang stabil dan adil di antara masyarakat yang reasonable7.

7.4.       Relevansi Evolusi Pemikiran Rawls

Evolusi pemikiran Rawls mencerminkan komitmennya terhadap stabilitas demokratis dan toleransi pluralisme, baik dalam konteks domestik maupun internasional. Ia menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya bisa dipahami secara substantif, tetapi juga dalam kerangka diskursif dan prosedural yang memungkinkan kehidupan bersama di tengah perbedaan mendasar. Melalui Political Liberalism dan The Law of Peoples, Rawls tidak hanya memperkuat daya aplikatif dari justice as fairness, tetapi juga menunjukkan bahwa keadilan adalah proyek filosofis yang hidup dan responsif terhadap kompleksitas zaman.


Footnotes

[1]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), xv–xvii.

[2]                Ibid., 133–172.

[3]                Ibid., 213–254.

[4]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 342–347.

[5]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–5.

[6]                Ibid., 59–82.

[7]                Charles Beitz, Political Theory and International Relations (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 129–132; Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 198–203.


8.           Warisan Intelektual dan Pengaruh Kontemporer

Pemikiran John Rawls telah meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa luas dan mendalam dalam lanskap filsafat moral, politik, dan hukum kontemporer. Teorinya tentang justice as fairness tidak hanya merevitalisasi filsafat politik normatif, tetapi juga memberikan kerangka konseptual yang kokoh untuk memahami dan menilai institusi-institusi demokratis di era modern. Dalam hal ini, Rawls telah menjadi salah satu filsuf politik paling berpengaruh pada abad ke-20, dengan pengaruh yang menjangkau disiplin ilmu politik, hukum, ekonomi, dan kebijakan publik.

8.1.       Pengaruh dalam Filsafat Politik dan Etika Normatif

Setelah penerbitan A Theory of Justice (1971), filsafat politik mengalami kebangkitan besar setelah sekian lama didominasi oleh pendekatan positivistik dan analitik yang skeptis terhadap normativitas. Rawls membuka kembali ruang untuk argumen moral rasional dalam diskusi keadilan, dengan menjadikan keadilan sebagai objek analisis filosofis yang sistematik dan terstruktur1. Ia berhasil meletakkan standar metodologis tinggi dalam filsafat politik dengan memperkenalkan konsep reflective equilibrium, yang sejak itu menjadi metode umum dalam penyusunan teori moral dan politik2.

Filsuf-filsuf besar seperti Thomas Nagel, T.M. Scanlon, dan Christine Korsgaard mengembangkan karya-karya mereka dalam dialog langsung dengan gagasan Rawls. Bahkan kritikus Rawls, seperti Robert Nozick, yang menulis Anarchy, State, and Utopia (1974) sebagai tanggapan langsung terhadap Rawls, turut menjadikan pemikiran Rawls sebagai tolok ukur diskusi tentang keadilan dan negara minimal3.

8.2.       Pengaruh terhadap Pemikiran Komunitarian dan Kritiknya

Muncul pula arus kritik yang sangat berpengaruh dari komunitarianisme, terutama dari Michael Sandel, Alasdair MacIntyre, dan Charles Taylor, yang mempertanyakan asumsi liberalisme Rawls tentang individualitas dan rasionalitas moral yang terlepas dari komunitas. Sandel, misalnya, dalam Liberalism and the Limits of Justice (1982), mengkritik bahwa original position Rawlsian terlalu abstrak dan mengabaikan identitas moral yang terbentuk secara historis dan sosial4. Meski demikian, kritik ini justru memperkaya wacana keadilan dan mendorong lahirnya debat yang produktif antara pendekatan liberal dan komunitarian.

8.3.       Pengaruh dalam Teori Keadilan Global dan Ekonomi Politik

Pemikiran Rawls juga berdampak luas pada diskursus keadilan global, meskipun pendekatannya dalam The Law of Peoples dianggap terlalu berhati-hati oleh beberapa pemikir kosmopolitan. Thomas Pogge, misalnya, mengembangkan konsep global justice yang lebih radikal, dengan menekankan tanggung jawab moral negara-negara makmur terhadap kemiskinan global. Pogge menilai bahwa prinsip keadilan Rawls harus diperluas secara transnasional untuk mencerminkan realitas globalisasi ekonomi dan ketimpangan global5.

Di sisi lain, Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, juga terinspirasi oleh Rawls dalam menyusun pendekatan berbasis capabilities dan comparative justice. Ia mengkritik Rawls karena terlalu fokus pada ideal teori (ideal theory), dan menawarkan pendekatan yang lebih terbuka terhadap keadilan kontekstual dan praktis, namun tetap mengakui pengaruh normatif kuat dari kerangka Rawlsian6.

8.4.       Pengaruh dalam Ilmu Hukum dan Kebijakan Publik

Rawls juga memengaruhi perkembangan teori hukum dan kebijakan publik, khususnya dalam bidang constitutional law dan public reason. Prinsip keadilan yang menjamin kebebasan dasar dan pemerataan kesempatan telah digunakan dalam perumusan kebijakan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan distribusi kekayaan. Banyak ahli hukum konstitusi liberal, seperti Ronald Dworkin, mengembangkan teori keadilan hukum dengan merujuk pada justice as fairness sebagai dasar legitimasi hukum dalam masyarakat demokratis7.

Di banyak negara demokrasi, gagasan Rawls tentang public reason digunakan untuk menilai batas-batas antara kebijakan publik dan keyakinan privat dalam masyarakat plural. Hal ini menjadi sangat relevan dalam diskusi kontemporer mengenai sekularisme, hak-hak minoritas, dan toleransi dalam demokrasi multikultural.

8.5.       Relevansi Kontemporer dalam Konteks Krisis Global

Di tengah meningkatnya populisme, ketimpangan sosial, dan krisis kepercayaan terhadap institusi demokratis, pemikiran Rawls tetap menjadi sumber refleksi kritis dan normatif yang penting. Seruan Rawls untuk membangun struktur masyarakat yang dapat dibenarkan oleh semua individu yang bebas dan setara menjadi semakin relevan, terutama dalam merespons tantangan global seperti ketimpangan ekonomi, migrasi, dan kerapuhan institusi demokrasi.

Warisan intelektual Rawls tidak hanya terletak pada kerangka teoritisnya yang elegan, tetapi juga pada komitmennya terhadap rasionalitas moral, kebebasan sipil, dan keadilan sosial, yang menjadikan pemikirannya tetap hidup dalam diskusi-diskusi kontemporer lintas disiplin.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–11.

[2]                Norman Daniels, Justice and Justification: Reflective Equilibrium in Theory and Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 1–4.

[3]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), x–xii.

[4]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–7.

[5]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 11–15.

[6]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 56–58.

[7]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 150–155.


9.           Kritik terhadap Rawls

Meskipun teori justice as fairness yang dikembangkan John Rawls telah menjadi landasan penting dalam filsafat politik kontemporer, pemikirannya tidak luput dari kritik. Kritik terhadap Rawls datang dari berbagai arah, termasuk dari kaum libertarian, komunitarian, serta dari kalangan kritis dan marxis. Perbedaan titik tolak normatif, konsepsi tentang individu, dan penilaian terhadap struktur sosial membuat teori Rawls menjadi sasaran perdebatan filosofis yang luas dan beragam.

9.1.       Kritik Libertarian: Robert Nozick dan Negara Minimal

Salah satu kritik paling terkenal berasal dari filsuf libertarian Robert Nozick, yang dalam Anarchy, State, and Utopia (1974) menolak prinsip redistributif Rawls. Nozick menyatakan bahwa prinsip perbedaan Rawls mengandung paksaan terhadap hak milik individu dan melanggar prinsip kebebasan pribadi. Baginya, keadilan tidak bergantung pada pola distribusi tertentu (patterned distribution), melainkan pada prosedur yang adil dalam perolehan dan transfer kekayaan. Selama kekayaan diperoleh secara sah (melalui akuisisi dan pertukaran sukarela), maka ketimpangan bukanlah sesuatu yang tidak adil1.

Nozick menilai bahwa justice as fairness mengabaikan hak milik sebagai hak dasar, dan menyerukan bahwa negara seharusnya terbatas pada perlindungan terhadap hak-hak tersebut, tanpa campur tangan dalam distribusi hasil ekonomi2.

9.2.       Kritik Komunitarian: Identitas, Sejarah, dan Ketertanaman Sosial

Kelompok komunitarian, seperti Michael Sandel, Alasdair MacIntyre, dan Charles Taylor, menolak asumsi dasar Rawls tentang individu sebagai agen rasional yang terlepas dari identitas sosial dan sejarah. Dalam Liberalism and the Limits of Justice (1982), Sandel mengkritik original position sebagai model yang terlalu abstrak, karena menggambarkan individu seolah-olah tanpa keterikatan moral dan budaya, padahal dalam kenyataannya manusia selalu terikat pada komunitas dan tradisi tertentu3.

Bagi komunitarian, teori Rawls terlalu menekankan keadilan prosedural dan otonomi individual, sementara mengabaikan konteks historis, nilai kolektif, dan praktik komunitas yang juga membentuk moralitas. MacIntyre, dalam After Virtue (1981), bahkan menilai bahwa moralitas liberal seperti Rawls gagal memberikan kerangka naratif yang kuat untuk mengikat masyarakat secara etis4.

9.3.       Kritik dari Kiri: Marxisme dan Ketimpangan Struktural

Dari sisi kiri, kalangan marxis dan kritikus sosial memandang bahwa teori Rawls terlalu lembut terhadap kapitalisme, karena hanya berusaha mengoreksi ketimpangan melalui prinsip distribusi, bukan mengubah struktur kepemilikan dan kekuasaan ekonomi. Dalam pandangan ini, Rawls tetap menerima keberadaan kelas-kelas sosial, selama distribusinya dianggap “adil” menurut prinsip perbedaan. Namun, bagi kalangan kiri radikal, keadilan sejati menuntut perubahan struktur produksi dan relasi kepemilikan, bukan sekadar redistribusi hasil5.

Sebagian kritik ini juga datang dari gerakan keadilan global, yang menilai The Law of Peoples Rawls terlalu mengakomodasi status quo internasional dan tidak cukup memperjuangkan prinsip keadilan global berbasis individu. Thomas Pogge, misalnya, menganggap Rawls tidak cukup menuntut akuntabilitas negara-negara kaya dalam menciptakan dan mempertahankan sistem global yang eksploitatif6.

9.4.       Kritik Kontekstual: Realisme Politik dan Ketidakseimbangan Praktis

Beberapa kritik lain berasal dari pendekatan realis politik seperti Raymond Geuss dan Bernard Williams, yang menuduh Rawls terlalu idealistis dan tidak memperhitungkan kekuasaan, konflik, dan kontingensi sejarah. Bagi mereka, filsafat politik seharusnya tidak hanya menetapkan norma ideal, tetapi juga mempertimbangkan realitas politik dan kondisi praktis, termasuk kemungkinan resistensi sosial, dinamika kepentingan, dan institusi yang tidak netral7.

Mereka menilai bahwa teori Rawlsian cenderung mengabaikan asimetri kekuasaan dan berasumsi bahwa konsensus rasional selalu mungkin, padahal dalam kenyataan, politik adalah medan pertarungan yang kompleks dan tidak selalu dapat dijinakkan oleh prinsip moral universal.

9.5.       Tanggapan Rawls dan Revisi Pemikiran

Rawls sendiri menanggapi sebagian kritik tersebut dalam Political Liberalism dan The Law of Peoples dengan memperkenalkan konsep public reason, reasonable pluralism, dan pengakuan terhadap bentuk masyarakat nonliberal yang patuh terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Namun demikian, Rawls tetap mempertahankan inti normatif dari liberalisme politik, yakni kebebasan, kesetaraan, dan prosedur yang adil sebagai fondasi masyarakat yang stabil dan sah secara moral8.


Footnotes

[1]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 149–182.

[2]                Ibid., 198–204.

[3]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–17.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 256–260.

[5]                G.A. Cohen, If You’re an Egalitarian, How Come You’re So Rich? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 120–124.

[6]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 196–203.

[7]                Raymond Geuss, Philosophy and Real Politics (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2008), 9–12; Bernard Williams, In the Beginning Was the Deed: Realism and Moralism in Political Argument, ed. Geoffrey Hawthorn (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2005), 1–5.

[8]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), xlv–liii.


10.       Penutup

Pemikiran John Rawls telah memberikan sumbangan monumental dalam filsafat moral dan politik modern, khususnya melalui teorinya yang dikenal sebagai justice as fairness. Dengan merumuskan dua prinsip keadilan yang berakar pada kesetaraan moral dan prosedur rasional, Rawls berhasil merancang sebuah kerangka normatif yang menjawab tantangan mendasar dalam masyarakat demokratis modern: bagaimana menyusun tatanan sosial yang adil di tengah pluralisme keyakinan, identitas, dan kepentingan1.

Melalui konsep original position dan veil of ignorance, Rawls menghadirkan model kontraktarianisme baru yang memadukan ideal moral Kantian dengan pendekatan rasional dari teori pilihan. Teori keadilannya membedakan secara tegas antara keadilan sebagai kebajikan institusi sosial dan kesejahteraan sebagai tujuan individual, dan dengan demikian menentang hegemoni utilitarianisme yang dominan dalam filsafat Anglo-Amerika saat itu2. Justice as fairness menegaskan bahwa keadilan harus dibangun di atas prosedur yang adil, bukan semata hasil yang menguntungkan secara agregatif.

Evolusi pemikiran Rawls dalam Political Liberalism dan The Law of Peoples menunjukkan sensitivitasnya terhadap kompleksitas masyarakat kontemporer. Ia menggeser teorinya dari sistem moral komprehensif menjadi kerangka politik yang bersifat publik dan inklusif, serta memperluas cakupan ke tingkat global dengan tetap menjaga prinsip-prinsip kedaulatan, hak asasi, dan keterbukaan terhadap perbedaan nilai3. Hal ini menandai kematangan filsafat politik Rawls dalam merespons dinamika pluralisme dan globalisasi.

Meski teorinya menuai berbagai kritik—baik dari libertarian, komunitarian, marxis, hingga realis politik—Rawls tetap memberikan landasan normatif yang kuat dan elegan bagi banyak perdebatan etika dan politik kontemporer. Kritik terhadapnya justru menegaskan pentingnya teori Rawls sebagai pusat gravitasi diskursus keadilan modern. Sebagaimana diakui oleh banyak akademisi, kualitas intelektual Rawls terletak pada kemampuannya menyatukan rasionalitas moral, kesetaraan politik, dan desain institusional dalam satu sintesis yang koheren4.

Lebih dari sekadar konstruksi teoretis, pemikiran Rawls memiliki dampak praktis dan pedagogis. Gagasannya digunakan untuk mengevaluasi kebijakan publik, sistem pendidikan, distribusi ekonomi, dan dasar-dasar hukum konstitusional dalam masyarakat demokratis. Dalam konteks global yang semakin diwarnai oleh ketimpangan sosial, krisis demokrasi, dan fragmentasi nilai, warisan Rawls tetap menjadi rambu moral yang menunjukkan arah menuju masyarakat yang lebih adil dan beradab.

Dengan demikian, studi atas pemikiran John Rawls tidak hanya menjadi bagian penting dari wacana akademik, tetapi juga menyumbang secara nyata dalam merumuskan cita-cita keadilan sosial yang dapat diterima oleh semua individu yang bebas dan setara. Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, prinsip-prinsip justice as fairness tetap menjadi panduan etis dan politik yang relevan dan mendesak5.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–6.

[2]                Samuel Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), 32–36.

[3]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 9–11; John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–5.

[4]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 69–70.

[5]                Thomas Pogge, Realizing Rawls (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 193–197.


Daftar Pustaka

Beitz, C. R. (1979). Political theory and international relations. Princeton University Press.

Cohen, G. A. (2001). If you're an egalitarian, how come you're so rich? Harvard University Press.

Daniels, N. (1996). Justice and justification: Reflective equilibrium in theory and practice. Cambridge University Press.

Daniels, N. (Ed.). (1975). Reading Rawls: Critical studies on Rawls' A theory of justice. Blackwell.

Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously. Harvard University Press.

Freeman, S. (2007). Rawls. Routledge.

Geuss, R. (2008). Philosophy and real politics. Princeton University Press.

Hobbes, T. (1991). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)

Kymlicka, W. (2002). Contemporary political philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Pogge, T. (1989). Realizing Rawls. Cornell University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Rawls, J. (1999). The law of peoples: With “The idea of public reason revisited”. Harvard University Press.

Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A restatement (E. Kelly, Ed.). Harvard University Press.

Rawls, J. (2000). Lectures on the history of moral philosophy. Harvard University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin. (Original work published 1762)

Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Williams, B. (2005). In the beginning was the deed: Realism and moralism in political argument (G. Hawthorn, Ed.). Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar