Hubungan Ontologi dan Epistemologi
Sebuah Kajian Ontologis-Epistemologis tentang Hubungan
Ontologi dan Epistemologi dalam Filsafat
Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas hubungan fundamental antara
ontologi (kajian tentang keberadaan) dan epistemologi (kajian tentang pengetahuan)
dalam tradisi filsafat, baik klasik maupun kontemporer. Ontologi dan
epistemologi tidak dipahami sebagai dua domain yang terpisah, melainkan sebagai
dimensi yang saling membentuk dalam cara manusia memahami dan mengakses
realitas. Melalui telaah terhadap pemikiran filsuf-filsuf besar seperti Plato,
Kant, Heidegger, hingga pemikir kontemporer seperti Bhaskar, Gadamer, dan
Rorty, artikel ini menunjukkan bagaimana asumsi ontologis mempengaruhi cara
manusia membangun pengetahuan, dan sebaliknya, bagaimana kerangka epistemik
membentuk pemaknaan terhadap realitas. Penjelajahan ini diperkuat dengan
kasus-kasus konkret dari fisika kuantum, biologi evolusioner, ilmu sosial,
hermeneutika, dan teknologi digital. Di sisi lain, artikel ini juga menguraikan
kritik dan tantangan konseptual yang muncul dari relasi keduanya, termasuk
problem lingkaran logis, relativisme epistemik, fragmentasi ilmu, serta
implikasi dari ontologi informasi dalam era digital. Kajian ini menegaskan
bahwa hubungan antara ontologi dan epistemologi perlu didekati secara reflektif
dan integratif, guna membangun pemahaman filsafat yang kontekstual dan
bertanggung jawab terhadap kompleksitas realitas kontemporer.
Kata Kunci: Ontologi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan,
Realitas, Konstruktivisme, Hermeneutika, Ontologi Digital, Relasi Filosofis,
Ilmu dan Metafisika, Teori Pengetahuan.
PEMBAHASAN
Menjembatani Realitas dan Pengetahuan
1.
Pendahuluan
Pertanyaan tentang hakikat realitas dan bagaimana
manusia mengetahui realitas tersebut merupakan dua kutub utama dalam tradisi
filsafat sejak zaman kuno. Ontologi dan epistemologi adalah dua cabang filsafat
yang masing-masing menangani dua dimensi fundamental tersebut. Ontologi
berfokus pada apa yang ada—yakni struktur, kategori, dan sifat-sifat
dasar dari segala bentuk eksistensi. Sementara itu, epistemologi menyelidiki bagaimana
kita mengetahui sesuatu, serta kriteria dan validitas dari pengetahuan yang
diperoleh manusia. Keduanya bukanlah domain yang terpisah secara mutlak, melainkan
saling terkait dalam cara yang kompleks dan saling memengaruhi.
Keterkaitan antara ontologi dan epistemologi bukan
hanya sebatas hubungan metodologis, tetapi juga konseptual. Dalam banyak sistem
filsafat, pemahaman tentang keberadaan (being) mendahului sekaligus membentuk
struktur epistemik yang memungkinkan pengetahuan. Sebagai contoh, dalam
filsafat Plato, realitas ideal (ontologi) menjadi dasar bagi pengetahuan sejati
(episteme) yang melampaui sekadar opini atau persepsi inderawi (doxa).¹
Sebaliknya, dalam pendekatan Kantian, struktur pengetahuan manusia
(epistemologi) justru menjadi kerangka yang membentuk pengalaman realitas
(ontologi), sehingga realitas itu sendiri tidak dapat diketahui secara an
sich, melainkan hanya melalui bentuk-bentuk intuisi dan kategori rasio.²
Tegangan antara pendekatan ontologis dan
epistemologis ini juga tampak dalam perkembangan filsafat modern dan
kontemporer. Dalam realisme ilmiah, ontologi dianggap mendahului dan membimbing
konstruksi pengetahuan ilmiah, sementara dalam konstruktivisme, epistemologi
membentuk dan bahkan "menciptakan" realitas sebagaimana
dipahami oleh subjek.³ Dalam diskursus ini, menjadi penting untuk menelaah
bagaimana asumsi ontologis mendasari teori-teori pengetahuan tertentu, dan
sebaliknya, bagaimana pendekatan epistemologis memengaruhi konsepsi kita
tentang realitas.
Kajian ini menjadi semakin penting dalam konteks
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat kontemporer yang semakin
interdisipliner. Dalam filsafat ilmu, misalnya, pertanyaan tentang apa
yang dianggap sebagai "realitas ilmiah" tidak dapat dipisahkan
dari bagaimana sains mengakses, menginterpretasi, dan mengonstruksi
realitas tersebut.⁴ Dengan demikian, hubungan antara ontologi dan epistemologi
menjadi landasan filosofis dalam memahami dan membangun pengetahuan yang sahih
dan koheren.
Melalui artikel ini, penulis akan membahas hubungan
antara ontologi dan epistemologi secara mendalam, dengan menelusuri akar
historis, pendekatan filosofis, dan relevansi kontemporernya. Tujuan utama
kajian ini adalah menjelaskan bahwa pengembangan pemahaman tentang realitas
tidak bisa dilepaskan dari cara kita mengetahuinya, dan sebaliknya, upaya
epistemologis yang serius mesti memperhatikan struktur ontologis yang
mendasarinya. Hubungan keduanya tidak bersifat linear atau sepihak, melainkan
dialogis, dinamis, dan saling membentuk.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube,
rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992),
476e–480a.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A51/B75–A64/B89.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–135.
[4]
Ian Hacking, Representing and Intervening:
Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 21–48.
2.
Konsep
Dasar Ontologi
Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas
tentang keberadaan atau being dalam makna yang paling mendasar dan
menyeluruh. Ia berupaya menjawab pertanyaan seperti: Apa yang ada?; Apa
sifat dasar dari kenyataan?; Apakah realitas terdiri dari satu jenis
substansi atau banyak? Kajian ini tidak hanya mencakup klasifikasi
keberadaan, tetapi juga struktur, relasi, dan prinsip-prinsip fundamental dari
segala sesuatu yang eksis.¹ Dalam pengertian klasik, ontologi sering disebut
sebagai metafisika pertama (prima philosophia), yaitu cabang filsafat
yang mempelajari sebab pertama dan hakikat terdalam dari segala sesuatu.²
Pemikiran ontologis dapat ditelusuri sejak filsafat
Yunani Kuno, terutama pada pemikiran Parmenides, yang menegaskan bahwa “yang
ada itu ada, dan yang tidak ada tidak dapat dipikirkan.”³ Gagasan ini
menekankan bahwa keberadaan adalah mutlak dan tidak dapat dinegasikan tanpa
kontradiksi. Dalam sistem filsafat Plato, ontologi mendapat bentuk yang lebih
sistematik melalui konsep dunia ide (world of forms) sebagai
realitas yang sejati dan abadi, berlawanan dengan dunia fenomenal yang bersifat
sementara dan berubah-ubah.⁴ Aristoteles kemudian merumuskan ontologi dalam
kerangka substance metaphysics, dengan mendefinisikan ousia
(substansi) sebagai inti dari apa yang membuat sesuatu itu ada.⁵
Seiring berkembangnya filsafat Barat, pandangan
ontologis mengalami berbagai pergeseran, terutama pada masa modern. René
Descartes, misalnya, memulai penyelidikan filosofisnya dari keraguan dan
menghasilkan klaim ontologis melalui cogito: “cogito ergo sum”
(“aku berpikir, maka aku ada”)⁶. Dalam hal ini, eksistensi subjek yang
berpikir menjadi titik awal ontologi, bukan dunia eksternal sebagaimana dalam
filsafat klasik. Pandangan ini membuka jalan bagi subjektivisme modern, yang
memengaruhi pendekatan-pendekatan epistemologis kemudian.
Dalam filsafat kontemporer, ontologi tidak hanya
menjadi urusan metafisika spekulatif, tetapi juga diterapkan dalam berbagai
disiplin ilmu. Martin Heidegger, dalam Sein und Zeit (1927), memperluas
kajian ontologi dari sekadar "apa yang ada" menjadi "makna
keberadaan itu sendiri" (Seinsfrage). Heidegger mengkritik
filsafat Barat yang, menurutnya, melupakan pertanyaan tentang being itu
sendiri dan terlalu terpaku pada entitas-entitas konkret.⁷ Ontologi dalam
pemikiran Heidegger bukan lagi sekadar taksonomi metafisika, melainkan usaha
eksistensial untuk mengungkap struktur makna dari keberadaan manusia (Dasein)
dalam dunia.
Selain dalam filsafat Barat, ontologi juga
berkembang dalam tradisi filsafat Islam. Filsuf seperti Ibn Sina (Avicenna)
membedakan antara wujud (eksistensi) dan mahiyyah (esensi), dan
menyatakan bahwa hanya Tuhan yang wajib al-wujud (niscaya dalam
eksistensinya), sedangkan makhluk-makhluk lainnya bersifat mumkin al-wujud
(mungkin ada atau tidak ada).⁸ Pemikiran ini kemudian diperluas oleh Mulla
Sadra dengan teori ashalat al-wujud (keberadaan sebagai realitas
primer), yang menegaskan bahwa keberadaanlah yang bersifat nyata, sementara
esensi merupakan abstraksi mental.⁹
Dalam perkembangan terkini, ontologi menjadi bidang
yang juga relevan dalam filsafat ilmu, terutama dalam diskusi mengenai asumsi
dasar tentang realitas dalam pendekatan ilmiah. Setiap teori ilmiah, secara
tersirat, mengandung klaim ontologis tentang jenis realitas apa yang sedang
ditelaah—apakah berupa objek material, struktur sosial, atau proses simbolik.¹⁰
Oleh karena itu, memahami konsep dasar ontologi menjadi penting bukan hanya
dalam filsafat murni, tetapi juga dalam membangun fondasi konseptual berbagai
disiplin ilmu lainnya.
Footnotes
[1]
Barry Smith, "Ontology," in The
Blackwell Guide to the Philosophy of Computing and Information, ed. Luciano
Floridi (Oxford: Blackwell, 2004), 155–166.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book I, 980a–982a.
[3]
Parmenides, Fragments, in Early Greek
Philosophy, ed. Jonathan Barnes (London: Penguin Books, 1987), 132–138.
[4]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube,
rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992),
509d–511e.
[5]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill
(Oxford: Clarendon Press, 1963), esp. ch. 5 (2a–4b).
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993),
Meditation II.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 1–39.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 66–85.
[9]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the
Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute, 2008), 12–28.
[10]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 2008), xvii–xxii.
3.
Konsep
Dasar Epistemologi
Epistemologi, atau
teori pengetahuan, merupakan cabang filsafat yang menyelidiki hakikat, sumber,
batas, dan validitas pengetahuan. Secara etimologis, istilah “epistemologi”
berasal dari bahasa Yunani epistēmē (pengetahuan) dan logos
(studi atau diskursus), sehingga epistemologi berarti kajian sistematis tentang
pengetahuan.¹ Pertanyaan-pertanyaan sentral yang dikaji epistemologi antara
lain: Apa itu
pengetahuan? Bagaimana kita mengetahuinya? Apakah semua pengetahuan dapat
dibenarkan? dan Apa syarat agar suatu keyakinan dapat disebut
sebagai pengetahuan?
Sejak masa Yunani
Kuno, para filsuf telah memperdebatkan kriteria dari pengetahuan yang sahih.
Plato, dalam dialog Theaetetus, mendefinisikan
pengetahuan sebagai justified true belief
(kepercayaan yang benar dan dibenarkan), yang menjadi fondasi dari
banyak teori epistemologi modern.² Namun, definisi tersebut kemudian dikritik
karena dianggap tidak cukup mampu menjelaskan semua bentuk pengetahuan,
terutama setelah munculnya paradoks Gettier pada abad ke-20, yang menunjukkan
bahwa seseorang bisa memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, namun tetap
bukan pengetahuan dalam arti sebenarnya.³
Dalam hal sumber
pengetahuan, para filsuf terbagi ke dalam berbagai aliran. Rasionalisme,
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti René Descartes dan Gottfried Wilhelm
Leibniz, menyatakan bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan, terutama dalam
ranah kebenaran universal dan prinsip-prinsip logis.⁴ Sebaliknya, empirisme,
yang berkembang melalui tokoh seperti John Locke, George Berkeley, dan David
Hume, berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.⁵
Dalam pandangan empiris, pikiran manusia pada awalnya adalah tabula
rasa, dan segala pengetahuan diturunkan dari pengamatan atas dunia
eksternal.
Immanuel
Kant mencoba mendamaikan kedua pendekatan tersebut melalui apa
yang disebut sebagai sintesis transendental. Menurutnya,
meskipun semua pengetahuan bermula dari pengalaman, tidak semuanya berasal dari
pengalaman. Struktur kognitif manusia seperti ruang, waktu, dan
kategori-kategori rasional bersifat a priori, dan menjadi kerangka bagi
pengalaman itu sendiri.⁶ Dengan demikian, pengetahuan adalah hasil interaksi antara
data empiris dan struktur apriori dari akal budi.
Dalam epistemologi
kontemporer, muncul berbagai pendekatan baru yang memperluas cakupan kajian
epistemik. Pragmatisme, yang dipelopori
oleh Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey, menilai pengetahuan
berdasarkan nilai praktis dan konsekuensi fungsionalnya dalam kehidupan.⁷
Sementara itu, epistemologi feminis dan epistemologi
sosial menekankan bahwa produksi pengetahuan tidak bebas nilai,
melainkan dibentuk oleh relasi sosial, konteks budaya, dan kekuasaan.⁸
Pendekatan-pendekatan ini menyoroti bahwa identitas, pengalaman, dan posisi
sosial subjek berpengaruh dalam membentuk struktur epistemik.
Di samping itu,
epistemologi juga membahas teori kebenaran, sebagai
dimensi normatif dari pengetahuan. Tiga teori utama yang banyak dibahas adalah:
·
Teori
korespondensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah
kesesuaian antara proposisi dan realitas.
·
Teori
koherensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah konsistensi
logis dalam sistem keyakinan.
·
Teori
pragmatis, yang menilai kebenaran berdasarkan manfaat dan
keberhasilannya dalam tindakan.⁹
Pada akhirnya,
epistemologi bukan hanya menjadi diskursus abstrak tentang pengetahuan, tetapi
juga memainkan peran kunci dalam metodologi ilmu pengetahuan, pengambilan
keputusan etis, dan bahkan politik pengetahuan. Dalam konteks hubungan dengan
ontologi, epistemologi menjadi lensa yang digunakan untuk melihat dan
menginterpretasi realitas, sekaligus dibentuk oleh asumsi ontologis tertentu
tentang apa yang ada dan apa yang bisa diketahui.
Footnotes
[1]
Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western
Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004), 216.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210a.
[3]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), Part IV.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, ch. I.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.
[7]
William James, Pragmatism (New York: Dover Publications,
1995), Lecture II.
[8]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from
Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 3–14.
[9]
Marian
David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford Encyclopedia
of Philosophy (Fall 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2016/entries/truth-correspondence/.
4.
Titik
Temu Ontologi dan Epistemologi
Ontologi dan epistemologi sering diperlakukan
sebagai dua cabang filsafat yang berdiri sendiri: yang satu membahas apa
yang ada (being), dan yang lain membahas bagaimana kita mengetahui apa
yang ada. Namun, dalam tradisi filosofis yang matang, keduanya tidak dapat
dipisahkan secara mutlak. Titik temu antara ontologi dan epistemologi terletak
pada kenyataan bahwa pemahaman tentang keberadaan selalu bergantung pada
kerangka epistemik tertentu, dan sebaliknya, struktur epistemologi didasarkan
pada asumsi ontologis mengenai realitas yang ingin diketahui.¹ Hubungan ini
bersifat timbal balik dan membentuk semacam lingkaran hermeneutik antara
realitas dan pengetahuan.
Dalam filsafat Plato, misalnya, ide-ide atau
bentuk-bentuk (forms) bersifat ontologis sebagai realitas sejati yang
tetap dan tidak berubah, dan hanya dapat diketahui melalui akal (nous),
bukan melalui pancaindra.² Ini menunjukkan bahwa ontologi idealis Plato secara
langsung menentukan struktur epistemologi yang dibangunnya: hanya rasio yang
mampu menangkap realitas yang sesungguhnya. Sebaliknya, dalam pendekatan
Kantian, kerangka epistemik justru mendahului dan membentuk pemahaman tentang
realitas. Kant menyatakan bahwa “realitas pada dirinya sendiri” (das
Ding an sich) tidak dapat diakses secara langsung oleh manusia; yang kita
pahami hanyalah fenomena yang telah diformat oleh struktur a priori pikiran
manusia.³ Dengan demikian, epistemologi menjadi filter ontologis terhadap
pengalaman manusia.
Filsuf eksistensialis seperti Heidegger mencoba
menembus dikotomi klasik ini dengan mengajukan bahwa pertanyaan tentang
pengetahuan (epistemologi) tidak bisa dilepaskan dari pengalaman eksistensial
manusia sebagai makhluk yang “berada-di-dunia” (Dasein).⁴ Menurut
Heidegger, kita tidak bisa mengakses “objek pengetahuan” secara netral,
karena subjek dan dunia sudah selalu berada dalam keterlibatan (In-der-Welt-sein).
Dengan kata lain, ontologi dan epistemologi menyatu dalam eksistensi konkret
manusia.
Hubungan ini juga dikembangkan lebih lanjut dalam hermeneutika
filosofis oleh Hans-Georg Gadamer. Ia menegaskan bahwa proses pemahaman
selalu berada dalam horizon historis dan linguistik yang terbentuk secara
ontologis.⁵ Oleh karena itu, pengetahuan tidak pernah bersifat murni objektif,
melainkan selalu ditentukan oleh posisi eksistensial dan keterlibatan makna
dalam dunia. Ini mengaburkan batas antara ontologi sebagai kajian tentang “yang
ada” dan epistemologi sebagai cara kita mengetahui “yang ada.”
Dalam filsafat ilmu, hubungan ontologi dan
epistemologi menjadi sangat nyata ketika membicarakan paradigma-paradigma
ilmiah. Thomas Kuhn menunjukkan bahwa perubahan dalam paradigma bukan
hanya merupakan pergeseran teori ilmiah, tetapi juga transformasi dalam
pandangan ontologis dan cara memperoleh pengetahuan.⁶ Demikian pula dalam
pendekatan realisme kritis oleh Roy Bhaskar, ditegaskan bahwa struktur-struktur
realitas memiliki eksistensi ontologis yang independen, tetapi hanya bisa
dipahami secara bertahap melalui proses epistemik yang bersifat terbuka dan
bertingkat.⁷
Tradisi filsafat Islam juga mencerminkan titik temu
ini, terutama dalam pemikiran Mulla Sadra yang menyatukan teori ashalat
al-wujud (keutamaan eksistensi) dengan teori ittihad al-‘aqil wa
al-ma‘qul (kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan).⁸ Menurut
Sadra, pengetahuan bukan sekadar representasi pasif, tetapi merupakan penyatuan
eksistensial antara jiwa dan realitas yang diketahui. Dalam kerangka ini,
pengetahuan adalah sekaligus tindakan ontologis dan aktivitas epistemologis.
Titik temu antara ontologi dan epistemologi juga
mencuat dalam filsafat kontemporer yang bersifat interdisipliner, seperti dalam
ilmu sosial kritis, studi postmodern, dan teori konstruktivisme sosial. Dalam
pendekatan ini, realitas dipandang sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara
epistemik dalam konteks sosial, budaya, dan bahasa.⁹ Namun, bahkan konstruksi
sosial pun tak bisa lepas dari suatu dasar ontologis minimal yang memungkinkan
terjadinya interaksi, struktur, atau agensi.
Dengan demikian, hubungan antara ontologi dan
epistemologi bukanlah hubungan subordinatif atau hirarkis, tetapi relasional
dan dinamis. Keduanya saling membentuk, saling menegaskan, dan terkadang saling
mengoreksi. Pemahaman mendalam tentang hubungan ini membuka jalan bagi pendekatan
filosofis yang lebih holistik, integratif, dan kontekstual terhadap realitas
dan pengetahuan.
Footnotes
[1]
Peter Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2010), 13–15.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev.
C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 509d–511e.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A19/B33–A30/B45.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–83.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum,
2004), 269–290.
[6]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–135.
[7]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 2008), xvii–xxii.
[8]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the
Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute, 2008), 45–65.
[9]
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 6–15.
5.
Implikasi
Ontologi terhadap Kerangka Epistemologi
Ontologi sebagai studi tentang apa yang ada
atau hakikat realitas secara mendasar memengaruhi struktur dan validitas
epistemologi. Asumsi-asumsi ontologis dalam suatu sistem pemikiran secara
langsung menentukan batas dan cakupan pengetahuan yang mungkin diperoleh. Oleh
karena itu, epistemologi tidak pernah berlangsung dalam ruang hampa, melainkan
selalu bertumpu pada kerangka ontologis tertentu yang membimbing cara kita
memahami, merumuskan, dan mengevaluasi pengetahuan.¹
Salah satu contoh klasik dari pengaruh ontologi
terhadap epistemologi dapat ditemukan dalam filsafat Aristoteles. Ontologi
Aristoteles yang berbasis pada kategori-kategori substansi dan aksiden
membentuk fondasi bagi cara kita mengklasifikasikan dan memahami dunia secara
logis.² Dalam kerangka ini, pengetahuan ilmiah (epistēmē) diperoleh
melalui identifikasi kausalitas dan esensi dari sesuatu yang ada, karena
realitas memiliki struktur yang tetap dan dapat diketahui oleh akal manusia.³
Dengan demikian, pemahaman bahwa realitas bersifat teratur, rasional, dan dapat
diklasifikasikan secara hierarkis melahirkan pendekatan epistemologi yang
bersifat deduktif dan teleologis.
Dalam realisme metafisik, ontologi dipandang
sebagai struktur realitas objektif yang eksis secara independen dari subjek.
Asumsi ini menghasilkan pendekatan epistemologis yang menekankan representasi
akurat terhadap dunia sebagaimana adanya.⁴ Dalam kerangka ini, tujuan
epistemologi adalah untuk mencerminkan realitas secara benar dan koheren. Sains
modern banyak bertumpu pada premis semacam ini, sebagaimana tercermin dalam
pendekatan positivisme logis yang mengandaikan adanya fakta-fakta objektif yang
dapat diverifikasi secara empiris.⁵
Sebaliknya, dalam ontologi idealis seperti dalam
filsafat Hegel atau Berkeley, realitas tidak dipahami sebagai entitas objektif
yang lepas dari subjek, melainkan sebagai ekspresi kesadaran atau konstruksi
rasional. Maka epistemologi yang dibangun pun cenderung bersifat reflektif dan
dialektis, karena “yang ada” hanya bermakna sejauh ia disadari.⁶
Konsepsi ini menunjukkan bahwa sifat ontologis dari keberadaan menentukan
bagaimana pengetahuan dikonsepsi, baik dari sisi sumber, struktur, maupun
validitasnya.
Implikasi ontologis juga terlihat jelas dalam teori
realisme kritis oleh Roy Bhaskar. Ia menekankan bahwa meskipun realitas
bersifat independen secara ontologis, pengetahuan kita tentang realitas
bersifat historis dan fallibilis.⁷ Dengan kata lain, dunia memiliki struktur
ontologis yang kompleks, terdiri dari lapisan-lapisan realitas (empiris,
aktual, dan kausal), tetapi akses epistemologis kita terhadapnya bersifat
terbatas dan memerlukan pendekatan metodologis yang reflektif. Epistemologi
yang dihasilkan dari kerangka ini bersifat terbuka, kritis, dan tidak dogmatis,
namun tetap menjunjung keyakinan akan eksistensi objektif dari dunia.
Dalam konteks filsafat Islam, asumsi ontologis
tentang eksistensi juga memberi pengaruh besar terhadap struktur epistemologi.
Ibn Sina, misalnya, membedakan secara tajam antara mahiyyah (esensi) dan
wujud (eksistensi), dan menganggap bahwa pengetahuan hakiki hanya dapat
diperoleh melalui hubungan intelektif antara akal dan bentuk universal.⁸
Ontologi Sadrian, dengan doktrin ashalat al-wujud, memandang eksistensi
sebagai realitas dinamis dan bertingkat. Implikasi epistemologisnya adalah
bahwa pengetahuan juga bersifat bertingkat dan bergantung pada intensitas
eksistensial subjek.⁹
Di luar filsafat teoretis, konsekuensi ontologis
terhadap epistemologi juga terlihat dalam studi interdisipliner. Dalam
pendekatan critical realism pada ilmu sosial, misalnya, struktur sosial
dianggap memiliki eksistensi ontologis tersendiri, terlepas dari persepsi
individu. Namun pengetahuan sosial hanya dapat dikembangkan melalui refleksi
kritis terhadap tindakan, bahasa, dan makna.¹⁰ Dengan demikian, asumsi
ontologis tentang realitas sosial sebagai entitas yang bersifat emergen tetapi
nyata menuntut epistemologi yang bukan hanya interpretatif, melainkan juga
transformatif.
Implikasi utama dari relasi ini adalah bahwa setiap
pendekatan epistemologis selalu melibatkan suatu komitmen ontologis, baik
secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, kritik terhadap suatu teori
pengetahuan pada dasarnya juga merupakan kritik terhadap asumsi ontologis yang
mendasarinya.¹¹ Memahami implikasi ini membuka ruang reflektif yang luas bagi
pengembangan epistemologi yang lebih sadar akan fondasi metafisiknya.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction
to the Theory of Knowledge (Albany: State University of New York Press,
2003), 17–19.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book VII.
[3]
G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and
Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968),
45–67.
[4]
Michael Devitt, Realism and Truth, 2nd ed.
(Princeton: Princeton University Press, 1997), 25–33.
[5]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Penguin Books, 1971), 32–52.
[6]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (New York: Dover Publications, 2003), 23–27.
[7]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 2008), 13–35.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 101–120.
[9]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the
Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute, 2008), 38–57.
[10]
Margaret Archer et al., Critical Realism:
Essential Readings, eds. Margaret Archer et al. (London: Routledge, 1998),
358–372.
[11]
Lorraine Code, Epistemic Responsibility
(Hanover: University Press of New England, 1987), 14–19.
6.
Implikasi
Epistemologi terhadap Pembacaan Ontologi
Jika sebelumnya dijelaskan bahwa ontologi membentuk
batas dan struktur epistemologi, maka pada titik ini penting pula untuk
dicermati bagaimana cara manusia mengetahui (epistemologi) juga memberi
pengaruh besar terhadap bagaimana realitas (ontologi) dipahami,
didefinisikan, bahkan dikonstruksikan. Epistemologi tidak hanya berfungsi
sebagai “cermin” pasif dari realitas, tetapi juga sebagai medium aktif
yang memformat, menafsirkan, dan terkadang membentuk realitas dalam horizon
pemahaman tertentu.¹ Dengan kata lain, pembacaan ontologis terhadap dunia
senantiasa diwarnai oleh perangkat epistemik yang digunakan oleh subjek yang
mengetahui.
Dalam kerangka ini, Immanuel Kant adalah salah satu
pemikir utama yang secara tegas menempatkan epistemologi sebagai fondasi
pembentukan makna ontologis. Kant menolak gagasan bahwa akal manusia dapat
mengakses das Ding an sich (realitas pada dirinya sendiri) dan
menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada fenomena, yaitu realitas
yang telah diformat oleh bentuk-bentuk intuisi (ruang dan waktu) dan
kategori-kategori a priori pikiran.² Maka realitas sebagaimana yang kita pahami
bukanlah objek yang “ada di luar sana”, tetapi hasil dari konstruksi
aktif oleh kesadaran transendental manusia. Ini menunjukkan bahwa pemahaman
tentang keberadaan bersifat epistemologis sejak awal—dikonstitusi melalui
kerangka kognitif.
Pandangan konstruktivisme kognitif dalam filsafat
ilmu melanjutkan pendekatan ini. Jean Piaget, misalnya, menyatakan bahwa
pengetahuan adalah hasil dari interaksi dinamis antara subjek dan objek, di
mana subjek secara aktif membentuk struktur pengetahuan melalui proses
asimilasi dan akomodasi.³ Oleh karena itu, pemahaman tentang dunia tidak pernah
netral, melainkan selalu terikat pada kemampuan subjek untuk mengorganisasi
pengalaman. Dalam perspektif ini, struktur ontologis yang ditangkap oleh subjek
adalah hasil dari proses epistemologis.
Epistemologi juga memengaruhi ontologi dalam
paradigma konstruktivisme sosial, yang dipopulerkan oleh Peter Berger
dan Thomas Luckmann melalui karya The Social Construction of Reality.
Mereka menegaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui proses
intersubjektif, di mana makna, institusi, dan struktur sosial dibangun,
dilegitimasi, dan diinternalisasi melalui mekanisme pengetahuan yang diturunkan
secara sosial.⁴ Dalam pandangan ini, “realitas” bersifat terkonstitusi
secara epistemik dalam konteks historis dan budaya tertentu. Akibatnya,
ontologi sosial tidak bisa dipisahkan dari epistemologi partisipatif kolektif.
Pendekatan hermeneutik juga mendukung tesis bahwa
ontologi selalu didekati melalui horizon epistemik. Hans-Georg Gadamer
menekankan bahwa semua pemahaman adalah bentuk interpretasi yang terbentuk oleh
prapemahaman (Vorverständnis) subjek.⁵ Maka realitas tidak pernah hadir
secara murni, melainkan senantiasa dialami dan ditafsirkan dalam bingkai
bahasa, sejarah, dan tradisi yang membentuk kesadaran subjek. Dalam hal ini,
epistemologi bersifat konstitutif terhadap cara realitas dihadirkan dalam
kesadaran manusia.
Implikasi dari pendekatan ini juga tampak dalam
fenomenologi Edmund Husserl. Ia memperkenalkan metode reduksi fenomenologis
untuk mengesampingkan asumsi-asumsi ontologis yang tidak diverifikasi, dan
memfokuskan perhatian pada bagaimana objek tampak dalam kesadaran.⁶ Ontologi
dalam fenomenologi bukanlah realitas metafisik yang eksis mandiri, tetapi “objek
yang dimaknai” dalam intensionalitas subjek. Maka ontologi hanya mungkin
melalui klarifikasi proses epistemologis—yakni bagaimana objek hadir sebagai
“fenomena” dalam kesadaran.
Dalam filsafat Islam, konsep ittihad al-‘āqil wa
al-ma‘qūl (kesatuan subjek-objek dalam proses pengetahuan) yang
dikembangkan oleh Mulla Sadra menunjukkan bahwa pengetahuan bukan semata
representasi realitas luar, tetapi merupakan bentuk realisasi eksistensial
subjek dalam objek pengetahuannya.⁷ Di sini, epistemologi berfungsi bukan hanya
sebagai alat untuk memahami realitas, tetapi juga sebagai sarana penyatuan
ontologis antara manusia dan kebenaran hakiki.
Dalam perkembangan sains dan ilmu sosial
kontemporer, banyak pendekatan epistemologis yang kemudian berpengaruh langsung
terhadap bagaimana “realitas” didefinisikan. Misalnya, dalam kuantum
fisika, pengetahuan tentang partikel bersifat probabilistik dan tergantung pada
instrumen pengukuran, yang berarti bahwa “realitas kuantum” bersifat
epistemik dan tidak sepenuhnya deterministik seperti dalam fisika klasik.⁸ Hal
ini menantang asumsi ontologis tradisional tentang kepastian dan objektivitas
dunia fisik, dan menunjukkan bahwa struktur epistemologi sains ikut serta
membentuk ontologi ilmiah.
Dengan demikian, epistemologi tidak dapat hanya
dianggap sebagai alat pasif dalam mengenal realitas. Ia turut menentukan
bagaimana realitas itu sendiri dipahami, dibentuk, dan bahkan dilegitimasi.
Oleh karena itu, refleksi ontologis mesti mempertimbangkan kerangka
epistemologis yang mendahuluinya, baik dalam sains, filsafat, teologi, maupun dalam
dinamika sosial-budaya yang lebih luas.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction
to the Theory of Knowledge (Albany: State University of New York Press,
2003), 25–27.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A19/B33–A42/B59.
[3]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the
Child, trans. Margaret Cook (New York: Basic Books, 1954), 3–16.
[4]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1967), 1–20.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum,
2004), 268–290.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 33–41.
[7]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the
Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute, 2008), 88–104.
[8]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 45–52.
7.
Kasus-Kasus
Konkret dalam Ilmu dan Filsafat
Untuk memahami
secara lebih aplikatif hubungan antara ontologi dan epistemologi, kita dapat
meninjau beberapa kasus konkret dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
pemikiran filsafat. Dalam setiap contoh, tampak bahwa kerangka epistemologis
memengaruhi bagaimana realitas dikonseptualisasikan, sekaligus bahwa asumsi
ontologis membentuk cara pengetahuan dikembangkan dan dipraktikkan.
7.1. Fisika Klasik vs. Fisika Kuantum
Dalam paradigma fisika
klasik Newtonian, realitas dipandang sebagai sistem mekanis
yang teratur, bersifat deterministik, dan terdiri dari partikel-partikel
material yang bergerak dalam ruang dan waktu menurut hukum universal. Ontologi
ini mendukung epistemologi yang menekankan pada objektivitas, observasi
empiris, dan verifikasi.¹ Namun, revolusi ilmiah dalam fisika kuantum
mengguncang anggapan ini secara mendasar. Teori kuantum menunjukkan bahwa
partikel tidak memiliki posisi atau momentum yang pasti sebelum diukur, dan
hasil pengukuran dipengaruhi oleh keterlibatan pengamat.²
Fenomena seperti prinsip
ketidakpastian Heisenberg dan dualitas gelombang-partikel
menegaskan bahwa realitas di tingkat mikroskopis tidak bersifat deterministik,
melainkan probabilistik.³ Artinya, epistemologi ilmiah dalam mekanika kuantum
memerlukan revisi atas ontologi klasik: realitas tidak sepenuhnya dapat
diketahui sebagai entitas tetap dan terpisah dari subjek pengamat, melainkan
sebagai entitas yang hanya bermakna dalam konteks pengukuran dan relasi dengan
instrumen pengetahuan.
7.2. Biologi Evolusioner dan Konsep “Spesies”
Dalam ilmu biologi,
konsep “spesies” sering dianggap sebagai kategori ontologis yang stabil.
Namun, epistemologi evolusioner menunjukkan bahwa batas-batas antara spesies
bersifat relatif dan bergantung pada konteks observasi serta kerangka
konseptual yang digunakan.⁴ Berbagai definisi tentang spesies (biologis,
morfologis, filogenetik) tidak hanya mencerminkan variasi dalam pendekatan
ilmiah, tetapi juga menunjukkan bahwa realitas biologis dipengaruhi oleh cara
ilmuwan mengakses dan mengkonstruksi pengetahuan tentang organisme.
Dengan demikian, “spesies”
bukan hanya entitas ontologis, tetapi juga kategori epistemologis yang
merefleksikan metodologi dan pendekatan ilmiah yang dipakai. Ini memperlihatkan
bahwa klasifikasi ilmiah bersifat dinamis dan terbuka terhadap revisi ontologis
berdasarkan pengembangan pengetahuan.
7.3. Ontologi dan Epistemologi dalam Ilmu Sosial
Dalam ilmu sosial,
perdebatan antara struktur dan agensi
mencerminkan ketegangan antara posisi ontologis yang menekankan determinasi
sosial dengan posisi epistemologis yang mengedepankan kebebasan individu.
Anthony Giddens, melalui teori strukturasi, mencoba mengatasi
dikotomi ini dengan mengajukan bahwa struktur dan agensi saling mengonstruksi.⁵
Ontologi sosial tidak bisa dipahami tanpa epistemologi yang mempertimbangkan
keterlibatan aktor dalam mereproduksi struktur.
Demikian pula,
pendekatan konstruktivis dalam ilmu politik atau hubungan internasional
(seperti oleh Alexander Wendt) menegaskan bahwa struktur anarki dalam sistem
internasional tidak bersifat ontologis tetap, melainkan dibentuk oleh interaksi
epistemologis antarpelaku negara.⁶ Di sini tampak bahwa realitas sosial politik
bersifat tergantung pada kerangka pengetahuan dan interpretasi yang berlaku di
suatu komunitas epistemik.
7.4. Hermeneutika dan Realitas Teks
Dalam tradisi hermeneutika
filosofis, teks tidak dianggap sebagai objek ontologis yang
memiliki satu makna tetap. Sebaliknya, realitas teks bergantung pada proses
pemahaman yang dilakukan oleh pembaca. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa
interpretasi tidak bisa dilepaskan dari horizon pemahaman pembaca, yang
dibentuk oleh sejarah, bahasa, dan tradisi.⁷ Dengan demikian, teks adalah
entitas ontologis yang terbuka, yang aktualitas maknanya tergantung pada
epistemologi interpretatif.
Fenomena ini juga
berlaku dalam studi-studi keagamaan dan tafsir, di mana realitas naskah suci
tidak dapat dipisahkan dari konteks epistemik pembacanya. Ini menunjukkan bahwa
ontologi teks bersifat dinamis dan terbentuk secara dialogis.
7.5. Ontologi Digital dalam Filsafat Teknologi
Perkembangan teknologi
informasi memperkenalkan konsep “realitas virtual” dan “keberadaan
digital”, yang menantang batas ontologis tradisional antara nyata dan maya.
Epistemologi digital, yang menyangkut bagaimana kita memperoleh, memvalidasi,
dan memproses informasi di ruang digital, turut mengonstruksi bentuk-bentuk
eksistensi baru seperti avatar, big data entities, atau algoritmik
being.⁸ Ontologi digital tidak dapat dipahami tanpa merefleksikan
epistemologi interaksi manusia-mesin.
Penutup Bagian
Kasus-kasus konkret
di atas menunjukkan bahwa hubungan antara ontologi dan epistemologi tidak
bersifat teoritis semata, tetapi nyata dalam praktik ilmu dan filsafat. Cara
kita mengetahui, menafsirkan, dan mengorganisasi pengetahuan menentukan (dan
sekaligus ditentukan oleh) cara kita memahami apa yang ada. Hubungan ini
menjadi landasan penting dalam membangun filsafat yang integratif, kontekstual,
dan reflektif.
Footnotes
[1]
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica,
trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1999), Book I.
[2]
Niels Bohr, “The Quantum Postulate and the Recent Development of Atomic
Theory,” Nature 121 (1928): 580–590.
[3]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 43–56.
[4]
Kevin de Queiroz, “Species Concepts and Species Delimitation,” Systematic
Biology 56, no. 6 (2007): 879–886.
[5]
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory
of Structuration (Cambridge: Polity Press, 1984), 1–40.
[6]
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 246–312.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–290.
[8]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 155–174.
8.
Kritik
dan Tantangan Konseptual
Meskipun hubungan
antara ontologi dan epistemologi tampak saling memperkuat dan memberi dasar
filosofis yang integral, namun relasi ini tidak lepas dari kritik dan
problematika konseptual. Beberapa tantangan mendasar muncul baik dari segi
metodologis, logis, maupun metafilosofis, yang patut mendapat perhatian dalam
pengembangan filsafat kontemporer.
8.1. Problema Circular Reasoning (Lingkaran Penalaran)
Salah satu kritik
klasik dalam hubungan ontologi dan epistemologi adalah potensi circular
reasoning, yaitu ketika upaya membenarkan suatu klaim pengetahuan
(epistemologi) didasarkan pada asumsi tentang realitas (ontologi), sementara
realitas itu sendiri hanya diketahui melalui cara kita mengetahui.¹ Dalam hal
ini, epistemologi dan ontologi tampak saling mengandaikan secara simultan,
sehingga muncul persoalan: bagaimana kita dapat membenarkan salah satunya tanpa
terjebak dalam lingkaran logis?
Masalah ini telah
disadari sejak era modern. Misalnya, Descartes mencoba menghindari lingkaran
ini melalui methodic doubt dan fondasi kognitif
yang ia temukan dalam cogito (cogito ergo sum), namun ia tetap
bergantung pada asumsi tentang keandalan akal untuk mengakses kebenaran.²
Demikian pula, dalam empirisme, keandalan pengalaman inderawi sebagai dasar
epistemik didasarkan pada keyakinan akan realitas eksternal yang stabil, suatu
asumsi ontologis yang tak dapat dibuktikan tanpa perangkat epistemik itu
sendiri.³
8.2. Ancaman Relativisme dan Skeptisisme
Kritik lainnya
berasal dari konsekuensi relativisme epistemologis yang dapat melemahkan
klaim-klaim ontologis. Dalam konstruktivisme sosial yang radikal, realitas
dianggap sebagai hasil konstruksi linguistik atau sosial sepenuhnya, sehingga
tidak ada "realitas objektif" yang dapat dijadikan acuan
ontologis yang stabil.⁴ Hal ini menimbulkan risiko skeptisisme metafisik: jika
realitas senantiasa ditentukan oleh cara kita mengetahuinya, maka apakah
mungkin ada realitas yang benar-benar ada, terlepas dari kerangka
epistemik manusia?
Tokoh seperti
Richard Rorty dalam neopragmatisme bahkan menolak dikotomi
ontologi–epistemologi, menganggap bahwa pertanyaan tentang “realitas
objektif” tidak lagi relevan dalam diskursus filsafat postmodern.⁵ Bagi
Rorty, filsafat harus beralih dari pencarian truth-as-correspondence kepada truth-as-solidarity,
yang berarti bahwa kebenaran dan realitas hanyalah konsensus dalam komunitas
diskursif.⁶ Kritik ini menantang fondasi relasi ontologis-epistemologis yang
bersifat transenden dan universal.
8.3. Fragmentasi dan Disiplinisasi Ilmu
Dalam praktik
keilmuan kontemporer, fragmentasi disiplin seringkali menyebabkan pemisahan
antara pendekatan ontologis dan epistemologis. Filsafat ilmu mengalami
kesulitan dalam menyatukan pandangan ontologis tentang realitas ilmiah dengan
keragaman metodologi epistemik di berbagai bidang. Misalnya, ontologi dalam
fisika kuantum tidak dapat serta-merta digunakan dalam ilmu sosial, sementara
epistemologi interpretatif dalam antropologi sering kali tidak dapat mendukung
asumsi ontologis naturalistik.⁷
Ini menunjukkan
perlunya kerangka interdisipliner atau metaphilosophical reflection yang
mampu menjembatani keragaman pendekatan filosofis dan ilmiah. Tanpa refleksi
lintas-bidang ini, relasi antara ontologi dan epistemologi terancam menjadi
tidak koheren dan kehilangan daya kritisnya.
8.4. Tantangan Teknologi dan Ontologi Baru
Kemunculan
bentuk-bentuk eksistensi digital—seperti kecerdasan buatan, dunia virtual, dan
entitas algoritmik—memunculkan tantangan baru dalam memahami ontologi. Apakah AI
atau big data
dapat dianggap “ada” dalam pengertian klasik metafisika? Bagaimana
epistemologi menangani entitas yang tidak kasatmata, tidak fisikal, dan bahkan
tidak memiliki intensionalitas manusiawi?
Beberapa pemikir
kontemporer, seperti Luciano Floridi, mencoba menjawab tantangan ini melalui informational
ontology, yaitu ontologi yang berlandaskan pada informasi sebagai
entitas dasar keberadaan.⁸ Namun pendekatan ini sendiri masih membuka perdebatan
epistemologis: informasi sebagai apa, oleh siapa, dan dalam konteks apa ia
dianggap “nyata”?
8.5. Ketergantungan Kontekstual dan Bahasa
Bahasa sebagai
medium epistemik juga menjadi sumber tantangan bagi ontologi. Perspektif
hermeneutis dan post-strukturalis (misalnya, dalam pemikiran Derrida)
menunjukkan bahwa bahasa tidak mampu merepresentasikan realitas secara langsung
karena selalu bekerja melalui perbedaan (différance) dan penundaan makna.⁹
Jika realitas hanya dapat diakses melalui representasi linguistik yang
senantiasa tertunda dan tergelincir, maka ontologi tidak pernah hadir secara
utuh dan final, tetapi selalu bersifat tentatif.
Penutup Bagian
Kritik dan tantangan
ini tidak membatalkan pentingnya relasi antara ontologi dan epistemologi,
melainkan mendorong pengembangan pendekatan yang lebih reflektif, terbuka, dan
dialogis. Alih-alih menuntut kepastian mutlak, filsafat kontemporer justru
mendorong pemahaman akan keterbatasan dan kebertanggungan antara realitas dan
pengetahuan. Dalam kerangka ini, relasi ontologis–epistemologis tidak dimaknai
sebagai hubungan linier, tetapi sebagai medan dialektis yang terus terbuka
untuk ditafsir dan direfleksi ulang.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, The Limits of Science (Berkeley: University
of California Press, 1984), 14–19.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993), Meditation II.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book IV.
[4]
Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 1–14.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 5–10.
[6]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 78–95.
[7]
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 20–42.
[8]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 155–174.
[9]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
9.
Penutup
Kajian mengenai hubungan antara ontologi dan
epistemologi bukanlah sekadar eksplorasi konseptual dua cabang filsafat,
melainkan suatu usaha untuk memahami bagaimana realitas dan pengetahuan saling
membentuk dalam dinamika reflektif manusia. Dari uraian sebelumnya, menjadi
jelas bahwa tidak ada pendekatan epistemologis yang sepenuhnya netral dari
asumsi ontologis, dan sebaliknya, tidak ada konsepsi ontologis yang terlepas
dari cara-cara manusia mengetahui, menafsirkan, dan mengalami realitas.
Dalam pemikiran klasik hingga kontemporer, kita
melihat bahwa setiap paradigma filosofis mengembangkan kerangka relasi tertentu
antara being dan knowing. Ontologi Platonik menekankan realitas
ideal sebagai dasar pengetahuan sejati, sementara epistemologi Kantian
menekankan struktur a priori pikiran sebagai pembentuk fenomena realitas.¹
Filsafat Heidegger memperluas ini dengan pendekatan eksistensial, di mana makna
keberadaan (Sein) hanya dapat diungkap melalui eksistensi manusia
sebagai subjek penanya.²
Perkembangan dalam ilmu pengetahuan modern juga
menegaskan bahwa pergeseran epistemologi berimplikasi langsung terhadap
pemaknaan ontologi. Dalam fisika kuantum, misalnya, pengaruh pengamat terhadap
hasil pengukuran membuktikan bahwa realitas tidak dapat dilepaskan dari cara ia
diakses dan dipahami secara ilmiah.³ Begitu pula dalam ilmu sosial dan teori
konstruktivis, realitas sosial terbentuk secara intersubjektif dan epistemik
melalui bahasa, norma, dan praktik budaya.⁴
Namun demikian, kajian ini juga mengungkapkan bahwa
relasi antara ontologi dan epistemologi penuh dengan tantangan: dari masalah
lingkaran penalaran, relativisme, hingga fragmentasi ilmu dan disrupsi
teknologi digital.⁵ Tantangan ini tidak menunjukkan kegagalan hubungan
keduanya, tetapi justru mendorong refleksi lebih dalam tentang keterbatasan dan
kemungkinan dalam berpikir filosofis. Filsafat tidak lagi bisa berpretensi
menemukan fondasi absolut bagi realitas atau pengetahuan, tetapi ia bisa terus
memainkan peran kritis dan reflektif dalam membuka ruang dialog antara
keberadaan dan pemahaman.
Dengan demikian, kesadaran akan hubungan
ontologis-epistemologis menjadi penting dalam membangun kerangka pengetahuan
yang tidak semata-mata teknis, tetapi juga filosofis, humanistik, dan
transdisipliner. Pendekatan ini sangat relevan di tengah dunia kontemporer yang
kompleks, plural, dan sarat transformasi. Filsafat masa kini tidak cukup hanya
menjawab apa itu realitas atau bagaimana kita tahu, tetapi juga
harus mempertanyakan bagaimana kita bertanggung jawab dalam menafsirkan dan
menghadirkan realitas melalui pengetahuan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Gadamer, “memahami
adalah selalu juga menafsir,” dan dalam proses itulah realitas dan
pengetahuan tidak hadir sebagai dua kutub terpisah, melainkan sebagai
dialektika yang saling menjalin dalam horizon eksistensial manusia.⁶
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A51/B75–A64/B89.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 23–43.
[3]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 52–62.
[4]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1967), 1–20.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 6–20.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum,
2004), 295–307.
Daftar Pustaka
Archer, M., Bhaskar, R., Collier, A., Lawson, T.,
& Norrie, A. (Eds.). (1998). Critical realism: Essential readings.
Routledge.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1963). Categories (J. L.
Ackrill, Trans.). Clarendon Press.
Ayer, A. J. (1971). Language, truth and logic
(2nd ed.). Penguin Books.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The
social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge.
Anchor Books.
Berkeley, G. (2003). A treatise concerning the
principles of human knowledge. Dover Publications.
Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science
(2nd ed.). Routledge.
Bohr, N. (1928). The quantum postulate and the
recent development of atomic theory. Nature, 121, 580–590.
Bunnin, N., & Yu, J. (2004). The Blackwell
dictionary of Western philosophy. Blackwell Publishing.
Code, L. (1987). Epistemic responsibility.
University Press of New England.
de Queiroz, K. (2007). Species concepts and species
delimitation. Systematic Biology, 56(6), 879–886.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing Company.
Descartes, R. (1998). Discourse on the method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing Company.
Derrida, J. (1978). Writing and difference (A.
Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Devitt, M. (1997). Realism and truth (2nd
ed.). Princeton University Press.
Feyerabend, P. (1975). Against method.
Verso.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.; 2nd rev. ed.). Continuum.
Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief
knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.
Giddens, A. (1984). The constitution of society:
Outline of the theory of structuration. Polity Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Hacking, I. (1999). The social construction of
what? Harvard University Press.
Harding, S. (1991). Whose science? Whose
knowledge? Thinking from women's lives. Cornell University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy:
The revolution in modern science. Harper & Row.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
James, W. (1995). Pragmatism. Dover
Publications.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.
Newton, I. (1999). Philosophiæ naturalis
principia mathematica (A. Motte, Trans.). University of California Press.
Parmenides. (1987). Fragments. In J. Barnes
(Ed.), Early Greek philosophy (pp. 132–138). Penguin Books.
Piaget, J. (1954). The construction of reality
in the child (M. Cook, Trans.). Basic Books.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing Company.
Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett,
Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.
Rescher, N. (1984). The limits of science.
University of California Press.
Rescher, N. (2003). Epistemology: An
introduction to the theory of knowledge. State University of New York
Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Sadra, M. (2008). The transcendent philosophy of
the four journeys of the intellect (R. Akbarian, Trans.). Sadra Islamic
Philosophy Research Institute.
Smith, B. (2004). Ontology. In L. Floridi (Ed.), The
Blackwell guide to the philosophy of computing and information (pp.
155–166). Blackwell.
Wendt, A. (1999). Social theory of international
politics. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar