Rabu, 28 Mei 2025

Hubungan Ontologi dan Epistemologi: Sebuah Kajian Ontologis-Epistemologis tentang Hubungan Ontologi dan Epistemologi dalam Filsafat

Hubungan Ontologi dan Epistemologi

Sebuah Kajian Ontologis-Epistemologis tentang Hubungan Ontologi dan Epistemologi dalam Filsafat


Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas hubungan fundamental antara ontologi (kajian tentang keberadaan) dan epistemologi (kajian tentang pengetahuan) dalam tradisi filsafat, baik klasik maupun kontemporer. Ontologi dan epistemologi tidak dipahami sebagai dua domain yang terpisah, melainkan sebagai dimensi yang saling membentuk dalam cara manusia memahami dan mengakses realitas. Melalui telaah terhadap pemikiran filsuf-filsuf besar seperti Plato, Kant, Heidegger, hingga pemikir kontemporer seperti Bhaskar, Gadamer, dan Rorty, artikel ini menunjukkan bagaimana asumsi ontologis mempengaruhi cara manusia membangun pengetahuan, dan sebaliknya, bagaimana kerangka epistemik membentuk pemaknaan terhadap realitas. Penjelajahan ini diperkuat dengan kasus-kasus konkret dari fisika kuantum, biologi evolusioner, ilmu sosial, hermeneutika, dan teknologi digital. Di sisi lain, artikel ini juga menguraikan kritik dan tantangan konseptual yang muncul dari relasi keduanya, termasuk problem lingkaran logis, relativisme epistemik, fragmentasi ilmu, serta implikasi dari ontologi informasi dalam era digital. Kajian ini menegaskan bahwa hubungan antara ontologi dan epistemologi perlu didekati secara reflektif dan integratif, guna membangun pemahaman filsafat yang kontekstual dan bertanggung jawab terhadap kompleksitas realitas kontemporer.

Kata Kunci: Ontologi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, Realitas, Konstruktivisme, Hermeneutika, Ontologi Digital, Relasi Filosofis, Ilmu dan Metafisika, Teori Pengetahuan.


PEMBAHASAN

Menjembatani Realitas dan Pengetahuan


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang hakikat realitas dan bagaimana manusia mengetahui realitas tersebut merupakan dua kutub utama dalam tradisi filsafat sejak zaman kuno. Ontologi dan epistemologi adalah dua cabang filsafat yang masing-masing menangani dua dimensi fundamental tersebut. Ontologi berfokus pada apa yang ada—yakni struktur, kategori, dan sifat-sifat dasar dari segala bentuk eksistensi. Sementara itu, epistemologi menyelidiki bagaimana kita mengetahui sesuatu, serta kriteria dan validitas dari pengetahuan yang diperoleh manusia. Keduanya bukanlah domain yang terpisah secara mutlak, melainkan saling terkait dalam cara yang kompleks dan saling memengaruhi.

Keterkaitan antara ontologi dan epistemologi bukan hanya sebatas hubungan metodologis, tetapi juga konseptual. Dalam banyak sistem filsafat, pemahaman tentang keberadaan (being) mendahului sekaligus membentuk struktur epistemik yang memungkinkan pengetahuan. Sebagai contoh, dalam filsafat Plato, realitas ideal (ontologi) menjadi dasar bagi pengetahuan sejati (episteme) yang melampaui sekadar opini atau persepsi inderawi (doxa).¹ Sebaliknya, dalam pendekatan Kantian, struktur pengetahuan manusia (epistemologi) justru menjadi kerangka yang membentuk pengalaman realitas (ontologi), sehingga realitas itu sendiri tidak dapat diketahui secara an sich, melainkan hanya melalui bentuk-bentuk intuisi dan kategori rasio.²

Tegangan antara pendekatan ontologis dan epistemologis ini juga tampak dalam perkembangan filsafat modern dan kontemporer. Dalam realisme ilmiah, ontologi dianggap mendahului dan membimbing konstruksi pengetahuan ilmiah, sementara dalam konstruktivisme, epistemologi membentuk dan bahkan "menciptakan" realitas sebagaimana dipahami oleh subjek.³ Dalam diskursus ini, menjadi penting untuk menelaah bagaimana asumsi ontologis mendasari teori-teori pengetahuan tertentu, dan sebaliknya, bagaimana pendekatan epistemologis memengaruhi konsepsi kita tentang realitas.

Kajian ini menjadi semakin penting dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat kontemporer yang semakin interdisipliner. Dalam filsafat ilmu, misalnya, pertanyaan tentang apa yang dianggap sebagai "realitas ilmiah" tidak dapat dipisahkan dari bagaimana sains mengakses, menginterpretasi, dan mengonstruksi realitas tersebut.⁴ Dengan demikian, hubungan antara ontologi dan epistemologi menjadi landasan filosofis dalam memahami dan membangun pengetahuan yang sahih dan koheren.

Melalui artikel ini, penulis akan membahas hubungan antara ontologi dan epistemologi secara mendalam, dengan menelusuri akar historis, pendekatan filosofis, dan relevansi kontemporernya. Tujuan utama kajian ini adalah menjelaskan bahwa pengembangan pemahaman tentang realitas tidak bisa dilepaskan dari cara kita mengetahuinya, dan sebaliknya, upaya epistemologis yang serius mesti memperhatikan struktur ontologis yang mendasarinya. Hubungan keduanya tidak bersifat linear atau sepihak, melainkan dialogis, dinamis, dan saling membentuk.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 476e–480a.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A64/B89.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–135.

[4]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–48.


2.           Konsep Dasar Ontologi

Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan atau being dalam makna yang paling mendasar dan menyeluruh. Ia berupaya menjawab pertanyaan seperti: Apa yang ada?; Apa sifat dasar dari kenyataan?; Apakah realitas terdiri dari satu jenis substansi atau banyak? Kajian ini tidak hanya mencakup klasifikasi keberadaan, tetapi juga struktur, relasi, dan prinsip-prinsip fundamental dari segala sesuatu yang eksis.¹ Dalam pengertian klasik, ontologi sering disebut sebagai metafisika pertama (prima philosophia), yaitu cabang filsafat yang mempelajari sebab pertama dan hakikat terdalam dari segala sesuatu.²

Pemikiran ontologis dapat ditelusuri sejak filsafat Yunani Kuno, terutama pada pemikiran Parmenides, yang menegaskan bahwa “yang ada itu ada, dan yang tidak ada tidak dapat dipikirkan.”³ Gagasan ini menekankan bahwa keberadaan adalah mutlak dan tidak dapat dinegasikan tanpa kontradiksi. Dalam sistem filsafat Plato, ontologi mendapat bentuk yang lebih sistematik melalui konsep dunia ide (world of forms) sebagai realitas yang sejati dan abadi, berlawanan dengan dunia fenomenal yang bersifat sementara dan berubah-ubah.⁴ Aristoteles kemudian merumuskan ontologi dalam kerangka substance metaphysics, dengan mendefinisikan ousia (substansi) sebagai inti dari apa yang membuat sesuatu itu ada.⁵

Seiring berkembangnya filsafat Barat, pandangan ontologis mengalami berbagai pergeseran, terutama pada masa modern. René Descartes, misalnya, memulai penyelidikan filosofisnya dari keraguan dan menghasilkan klaim ontologis melalui cogito: cogito ergo sum (“aku berpikir, maka aku ada”)⁶. Dalam hal ini, eksistensi subjek yang berpikir menjadi titik awal ontologi, bukan dunia eksternal sebagaimana dalam filsafat klasik. Pandangan ini membuka jalan bagi subjektivisme modern, yang memengaruhi pendekatan-pendekatan epistemologis kemudian.

Dalam filsafat kontemporer, ontologi tidak hanya menjadi urusan metafisika spekulatif, tetapi juga diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu. Martin Heidegger, dalam Sein und Zeit (1927), memperluas kajian ontologi dari sekadar "apa yang ada" menjadi "makna keberadaan itu sendiri" (Seinsfrage). Heidegger mengkritik filsafat Barat yang, menurutnya, melupakan pertanyaan tentang being itu sendiri dan terlalu terpaku pada entitas-entitas konkret.⁷ Ontologi dalam pemikiran Heidegger bukan lagi sekadar taksonomi metafisika, melainkan usaha eksistensial untuk mengungkap struktur makna dari keberadaan manusia (Dasein) dalam dunia.

Selain dalam filsafat Barat, ontologi juga berkembang dalam tradisi filsafat Islam. Filsuf seperti Ibn Sina (Avicenna) membedakan antara wujud (eksistensi) dan mahiyyah (esensi), dan menyatakan bahwa hanya Tuhan yang wajib al-wujud (niscaya dalam eksistensinya), sedangkan makhluk-makhluk lainnya bersifat mumkin al-wujud (mungkin ada atau tidak ada).⁸ Pemikiran ini kemudian diperluas oleh Mulla Sadra dengan teori ashalat al-wujud (keberadaan sebagai realitas primer), yang menegaskan bahwa keberadaanlah yang bersifat nyata, sementara esensi merupakan abstraksi mental.⁹

Dalam perkembangan terkini, ontologi menjadi bidang yang juga relevan dalam filsafat ilmu, terutama dalam diskusi mengenai asumsi dasar tentang realitas dalam pendekatan ilmiah. Setiap teori ilmiah, secara tersirat, mengandung klaim ontologis tentang jenis realitas apa yang sedang ditelaah—apakah berupa objek material, struktur sosial, atau proses simbolik.¹⁰ Oleh karena itu, memahami konsep dasar ontologi menjadi penting bukan hanya dalam filsafat murni, tetapi juga dalam membangun fondasi konseptual berbagai disiplin ilmu lainnya.


Footnotes

[1]                Barry Smith, "Ontology," in The Blackwell Guide to the Philosophy of Computing and Information, ed. Luciano Floridi (Oxford: Blackwell, 2004), 155–166.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book I, 980a–982a.

[3]                Parmenides, Fragments, in Early Greek Philosophy, ed. Jonathan Barnes (London: Penguin Books, 1987), 132–138.

[4]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 509d–511e.

[5]                Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), esp. ch. 5 (2a–4b).

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993), Meditation II.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 1–39.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 66–85.

[9]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2008), 12–28.

[10]             Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 2008), xvii–xxii.


3.           Konsep Dasar Epistemologi

Epistemologi, atau teori pengetahuan, merupakan cabang filsafat yang menyelidiki hakikat, sumber, batas, dan validitas pengetahuan. Secara etimologis, istilah “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani epistēmē (pengetahuan) dan logos (studi atau diskursus), sehingga epistemologi berarti kajian sistematis tentang pengetahuan.¹ Pertanyaan-pertanyaan sentral yang dikaji epistemologi antara lain: Apa itu pengetahuan? Bagaimana kita mengetahuinya? Apakah semua pengetahuan dapat dibenarkan? dan Apa syarat agar suatu keyakinan dapat disebut sebagai pengetahuan?

Sejak masa Yunani Kuno, para filsuf telah memperdebatkan kriteria dari pengetahuan yang sahih. Plato, dalam dialog Theaetetus, mendefinisikan pengetahuan sebagai justified true belief (kepercayaan yang benar dan dibenarkan), yang menjadi fondasi dari banyak teori epistemologi modern.² Namun, definisi tersebut kemudian dikritik karena dianggap tidak cukup mampu menjelaskan semua bentuk pengetahuan, terutama setelah munculnya paradoks Gettier pada abad ke-20, yang menunjukkan bahwa seseorang bisa memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, namun tetap bukan pengetahuan dalam arti sebenarnya.³

Dalam hal sumber pengetahuan, para filsuf terbagi ke dalam berbagai aliran. Rasionalisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti René Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz, menyatakan bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan, terutama dalam ranah kebenaran universal dan prinsip-prinsip logis.⁴ Sebaliknya, empirisme, yang berkembang melalui tokoh seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume, berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.⁵ Dalam pandangan empiris, pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa, dan segala pengetahuan diturunkan dari pengamatan atas dunia eksternal.

Immanuel Kant mencoba mendamaikan kedua pendekatan tersebut melalui apa yang disebut sebagai sintesis transendental. Menurutnya, meskipun semua pengetahuan bermula dari pengalaman, tidak semuanya berasal dari pengalaman. Struktur kognitif manusia seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori rasional bersifat a priori, dan menjadi kerangka bagi pengalaman itu sendiri.⁶ Dengan demikian, pengetahuan adalah hasil interaksi antara data empiris dan struktur apriori dari akal budi.

Dalam epistemologi kontemporer, muncul berbagai pendekatan baru yang memperluas cakupan kajian epistemik. Pragmatisme, yang dipelopori oleh Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey, menilai pengetahuan berdasarkan nilai praktis dan konsekuensi fungsionalnya dalam kehidupan.⁷ Sementara itu, epistemologi feminis dan epistemologi sosial menekankan bahwa produksi pengetahuan tidak bebas nilai, melainkan dibentuk oleh relasi sosial, konteks budaya, dan kekuasaan.⁸ Pendekatan-pendekatan ini menyoroti bahwa identitas, pengalaman, dan posisi sosial subjek berpengaruh dalam membentuk struktur epistemik.

Di samping itu, epistemologi juga membahas teori kebenaran, sebagai dimensi normatif dari pengetahuan. Tiga teori utama yang banyak dibahas adalah:

·                     Teori korespondensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara proposisi dan realitas.

·                     Teori koherensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah konsistensi logis dalam sistem keyakinan.

·                     Teori pragmatis, yang menilai kebenaran berdasarkan manfaat dan keberhasilannya dalam tindakan.⁹

Pada akhirnya, epistemologi bukan hanya menjadi diskursus abstrak tentang pengetahuan, tetapi juga memainkan peran kunci dalam metodologi ilmu pengetahuan, pengambilan keputusan etis, dan bahkan politik pengetahuan. Dalam konteks hubungan dengan ontologi, epistemologi menjadi lensa yang digunakan untuk melihat dan menginterpretasi realitas, sekaligus dibentuk oleh asumsi ontologis tertentu tentang apa yang ada dan apa yang bisa diketahui.


Footnotes

[1]                Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004), 216.

[2]                Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 201c–210a.

[3]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), Part IV.

[5]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, ch. I.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[7]                William James, Pragmatism (New York: Dover Publications, 1995), Lecture II.

[8]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 3–14.

[9]              Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2016/entries/truth-correspondence/.


4.           Titik Temu Ontologi dan Epistemologi

Ontologi dan epistemologi sering diperlakukan sebagai dua cabang filsafat yang berdiri sendiri: yang satu membahas apa yang ada (being), dan yang lain membahas bagaimana kita mengetahui apa yang ada. Namun, dalam tradisi filosofis yang matang, keduanya tidak dapat dipisahkan secara mutlak. Titik temu antara ontologi dan epistemologi terletak pada kenyataan bahwa pemahaman tentang keberadaan selalu bergantung pada kerangka epistemik tertentu, dan sebaliknya, struktur epistemologi didasarkan pada asumsi ontologis mengenai realitas yang ingin diketahui.¹ Hubungan ini bersifat timbal balik dan membentuk semacam lingkaran hermeneutik antara realitas dan pengetahuan.

Dalam filsafat Plato, misalnya, ide-ide atau bentuk-bentuk (forms) bersifat ontologis sebagai realitas sejati yang tetap dan tidak berubah, dan hanya dapat diketahui melalui akal (nous), bukan melalui pancaindra.² Ini menunjukkan bahwa ontologi idealis Plato secara langsung menentukan struktur epistemologi yang dibangunnya: hanya rasio yang mampu menangkap realitas yang sesungguhnya. Sebaliknya, dalam pendekatan Kantian, kerangka epistemik justru mendahului dan membentuk pemahaman tentang realitas. Kant menyatakan bahwa “realitas pada dirinya sendiri” (das Ding an sich) tidak dapat diakses secara langsung oleh manusia; yang kita pahami hanyalah fenomena yang telah diformat oleh struktur a priori pikiran manusia.³ Dengan demikian, epistemologi menjadi filter ontologis terhadap pengalaman manusia.

Filsuf eksistensialis seperti Heidegger mencoba menembus dikotomi klasik ini dengan mengajukan bahwa pertanyaan tentang pengetahuan (epistemologi) tidak bisa dilepaskan dari pengalaman eksistensial manusia sebagai makhluk yang “berada-di-dunia” (Dasein).⁴ Menurut Heidegger, kita tidak bisa mengakses “objek pengetahuan” secara netral, karena subjek dan dunia sudah selalu berada dalam keterlibatan (In-der-Welt-sein). Dengan kata lain, ontologi dan epistemologi menyatu dalam eksistensi konkret manusia.

Hubungan ini juga dikembangkan lebih lanjut dalam hermeneutika filosofis oleh Hans-Georg Gadamer. Ia menegaskan bahwa proses pemahaman selalu berada dalam horizon historis dan linguistik yang terbentuk secara ontologis.⁵ Oleh karena itu, pengetahuan tidak pernah bersifat murni objektif, melainkan selalu ditentukan oleh posisi eksistensial dan keterlibatan makna dalam dunia. Ini mengaburkan batas antara ontologi sebagai kajian tentang “yang ada” dan epistemologi sebagai cara kita mengetahui “yang ada.”

Dalam filsafat ilmu, hubungan ontologi dan epistemologi menjadi sangat nyata ketika membicarakan paradigma-paradigma ilmiah. Thomas Kuhn menunjukkan bahwa perubahan dalam paradigma bukan hanya merupakan pergeseran teori ilmiah, tetapi juga transformasi dalam pandangan ontologis dan cara memperoleh pengetahuan.⁶ Demikian pula dalam pendekatan realisme kritis oleh Roy Bhaskar, ditegaskan bahwa struktur-struktur realitas memiliki eksistensi ontologis yang independen, tetapi hanya bisa dipahami secara bertahap melalui proses epistemik yang bersifat terbuka dan bertingkat.⁷

Tradisi filsafat Islam juga mencerminkan titik temu ini, terutama dalam pemikiran Mulla Sadra yang menyatukan teori ashalat al-wujud (keutamaan eksistensi) dengan teori ittihad al-‘aqil wa al-ma‘qul (kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan).⁸ Menurut Sadra, pengetahuan bukan sekadar representasi pasif, tetapi merupakan penyatuan eksistensial antara jiwa dan realitas yang diketahui. Dalam kerangka ini, pengetahuan adalah sekaligus tindakan ontologis dan aktivitas epistemologis.

Titik temu antara ontologi dan epistemologi juga mencuat dalam filsafat kontemporer yang bersifat interdisipliner, seperti dalam ilmu sosial kritis, studi postmodern, dan teori konstruktivisme sosial. Dalam pendekatan ini, realitas dipandang sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara epistemik dalam konteks sosial, budaya, dan bahasa.⁹ Namun, bahkan konstruksi sosial pun tak bisa lepas dari suatu dasar ontologis minimal yang memungkinkan terjadinya interaksi, struktur, atau agensi.

Dengan demikian, hubungan antara ontologi dan epistemologi bukanlah hubungan subordinatif atau hirarkis, tetapi relasional dan dinamis. Keduanya saling membentuk, saling menegaskan, dan terkadang saling mengoreksi. Pemahaman mendalam tentang hubungan ini membuka jalan bagi pendekatan filosofis yang lebih holistik, integratif, dan kontekstual terhadap realitas dan pengetahuan.


Footnotes

[1]                Peter Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 13–15.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 509d–511e.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19/B33–A30/B45.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–83.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–290.

[6]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–135.

[7]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 2008), xvii–xxii.

[8]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2008), 45–65.

[9]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 6–15.


5.           Implikasi Ontologi terhadap Kerangka Epistemologi

Ontologi sebagai studi tentang apa yang ada atau hakikat realitas secara mendasar memengaruhi struktur dan validitas epistemologi. Asumsi-asumsi ontologis dalam suatu sistem pemikiran secara langsung menentukan batas dan cakupan pengetahuan yang mungkin diperoleh. Oleh karena itu, epistemologi tidak pernah berlangsung dalam ruang hampa, melainkan selalu bertumpu pada kerangka ontologis tertentu yang membimbing cara kita memahami, merumuskan, dan mengevaluasi pengetahuan.¹

Salah satu contoh klasik dari pengaruh ontologi terhadap epistemologi dapat ditemukan dalam filsafat Aristoteles. Ontologi Aristoteles yang berbasis pada kategori-kategori substansi dan aksiden membentuk fondasi bagi cara kita mengklasifikasikan dan memahami dunia secara logis.² Dalam kerangka ini, pengetahuan ilmiah (epistēmē) diperoleh melalui identifikasi kausalitas dan esensi dari sesuatu yang ada, karena realitas memiliki struktur yang tetap dan dapat diketahui oleh akal manusia.³ Dengan demikian, pemahaman bahwa realitas bersifat teratur, rasional, dan dapat diklasifikasikan secara hierarkis melahirkan pendekatan epistemologi yang bersifat deduktif dan teleologis.

Dalam realisme metafisik, ontologi dipandang sebagai struktur realitas objektif yang eksis secara independen dari subjek. Asumsi ini menghasilkan pendekatan epistemologis yang menekankan representasi akurat terhadap dunia sebagaimana adanya.⁴ Dalam kerangka ini, tujuan epistemologi adalah untuk mencerminkan realitas secara benar dan koheren. Sains modern banyak bertumpu pada premis semacam ini, sebagaimana tercermin dalam pendekatan positivisme logis yang mengandaikan adanya fakta-fakta objektif yang dapat diverifikasi secara empiris.⁵

Sebaliknya, dalam ontologi idealis seperti dalam filsafat Hegel atau Berkeley, realitas tidak dipahami sebagai entitas objektif yang lepas dari subjek, melainkan sebagai ekspresi kesadaran atau konstruksi rasional. Maka epistemologi yang dibangun pun cenderung bersifat reflektif dan dialektis, karena “yang ada” hanya bermakna sejauh ia disadari.⁶ Konsepsi ini menunjukkan bahwa sifat ontologis dari keberadaan menentukan bagaimana pengetahuan dikonsepsi, baik dari sisi sumber, struktur, maupun validitasnya.

Implikasi ontologis juga terlihat jelas dalam teori realisme kritis oleh Roy Bhaskar. Ia menekankan bahwa meskipun realitas bersifat independen secara ontologis, pengetahuan kita tentang realitas bersifat historis dan fallibilis.⁷ Dengan kata lain, dunia memiliki struktur ontologis yang kompleks, terdiri dari lapisan-lapisan realitas (empiris, aktual, dan kausal), tetapi akses epistemologis kita terhadapnya bersifat terbatas dan memerlukan pendekatan metodologis yang reflektif. Epistemologi yang dihasilkan dari kerangka ini bersifat terbuka, kritis, dan tidak dogmatis, namun tetap menjunjung keyakinan akan eksistensi objektif dari dunia.

Dalam konteks filsafat Islam, asumsi ontologis tentang eksistensi juga memberi pengaruh besar terhadap struktur epistemologi. Ibn Sina, misalnya, membedakan secara tajam antara mahiyyah (esensi) dan wujud (eksistensi), dan menganggap bahwa pengetahuan hakiki hanya dapat diperoleh melalui hubungan intelektif antara akal dan bentuk universal.⁸ Ontologi Sadrian, dengan doktrin ashalat al-wujud, memandang eksistensi sebagai realitas dinamis dan bertingkat. Implikasi epistemologisnya adalah bahwa pengetahuan juga bersifat bertingkat dan bergantung pada intensitas eksistensial subjek.⁹

Di luar filsafat teoretis, konsekuensi ontologis terhadap epistemologi juga terlihat dalam studi interdisipliner. Dalam pendekatan critical realism pada ilmu sosial, misalnya, struktur sosial dianggap memiliki eksistensi ontologis tersendiri, terlepas dari persepsi individu. Namun pengetahuan sosial hanya dapat dikembangkan melalui refleksi kritis terhadap tindakan, bahasa, dan makna.¹⁰ Dengan demikian, asumsi ontologis tentang realitas sosial sebagai entitas yang bersifat emergen tetapi nyata menuntut epistemologi yang bukan hanya interpretatif, melainkan juga transformatif.

Implikasi utama dari relasi ini adalah bahwa setiap pendekatan epistemologis selalu melibatkan suatu komitmen ontologis, baik secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, kritik terhadap suatu teori pengetahuan pada dasarnya juga merupakan kritik terhadap asumsi ontologis yang mendasarinya.¹¹ Memahami implikasi ini membuka ruang reflektif yang luas bagi pengembangan epistemologi yang lebih sadar akan fondasi metafisiknya.


Footnotes

[1]                Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 17–19.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book VII.

[3]                G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 45–67.

[4]                Michael Devitt, Realism and Truth, 2nd ed. (Princeton: Princeton University Press, 1997), 25–33.

[5]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 1971), 32–52.

[6]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (New York: Dover Publications, 2003), 23–27.

[7]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 2008), 13–35.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 101–120.

[9]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2008), 38–57.

[10]             Margaret Archer et al., Critical Realism: Essential Readings, eds. Margaret Archer et al. (London: Routledge, 1998), 358–372.

[11]             Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University Press of New England, 1987), 14–19.


6.           Implikasi Epistemologi terhadap Pembacaan Ontologi

Jika sebelumnya dijelaskan bahwa ontologi membentuk batas dan struktur epistemologi, maka pada titik ini penting pula untuk dicermati bagaimana cara manusia mengetahui (epistemologi) juga memberi pengaruh besar terhadap bagaimana realitas (ontologi) dipahami, didefinisikan, bahkan dikonstruksikan. Epistemologi tidak hanya berfungsi sebagai “cermin” pasif dari realitas, tetapi juga sebagai medium aktif yang memformat, menafsirkan, dan terkadang membentuk realitas dalam horizon pemahaman tertentu.¹ Dengan kata lain, pembacaan ontologis terhadap dunia senantiasa diwarnai oleh perangkat epistemik yang digunakan oleh subjek yang mengetahui.

Dalam kerangka ini, Immanuel Kant adalah salah satu pemikir utama yang secara tegas menempatkan epistemologi sebagai fondasi pembentukan makna ontologis. Kant menolak gagasan bahwa akal manusia dapat mengakses das Ding an sich (realitas pada dirinya sendiri) dan menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada fenomena, yaitu realitas yang telah diformat oleh bentuk-bentuk intuisi (ruang dan waktu) dan kategori-kategori a priori pikiran.² Maka realitas sebagaimana yang kita pahami bukanlah objek yang “ada di luar sana”, tetapi hasil dari konstruksi aktif oleh kesadaran transendental manusia. Ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang keberadaan bersifat epistemologis sejak awal—dikonstitusi melalui kerangka kognitif.

Pandangan konstruktivisme kognitif dalam filsafat ilmu melanjutkan pendekatan ini. Jean Piaget, misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan adalah hasil dari interaksi dinamis antara subjek dan objek, di mana subjek secara aktif membentuk struktur pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi.³ Oleh karena itu, pemahaman tentang dunia tidak pernah netral, melainkan selalu terikat pada kemampuan subjek untuk mengorganisasi pengalaman. Dalam perspektif ini, struktur ontologis yang ditangkap oleh subjek adalah hasil dari proses epistemologis.

Epistemologi juga memengaruhi ontologi dalam paradigma konstruktivisme sosial, yang dipopulerkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann melalui karya The Social Construction of Reality. Mereka menegaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui proses intersubjektif, di mana makna, institusi, dan struktur sosial dibangun, dilegitimasi, dan diinternalisasi melalui mekanisme pengetahuan yang diturunkan secara sosial.⁴ Dalam pandangan ini, “realitas” bersifat terkonstitusi secara epistemik dalam konteks historis dan budaya tertentu. Akibatnya, ontologi sosial tidak bisa dipisahkan dari epistemologi partisipatif kolektif.

Pendekatan hermeneutik juga mendukung tesis bahwa ontologi selalu didekati melalui horizon epistemik. Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa semua pemahaman adalah bentuk interpretasi yang terbentuk oleh prapemahaman (Vorverständnis) subjek.⁵ Maka realitas tidak pernah hadir secara murni, melainkan senantiasa dialami dan ditafsirkan dalam bingkai bahasa, sejarah, dan tradisi yang membentuk kesadaran subjek. Dalam hal ini, epistemologi bersifat konstitutif terhadap cara realitas dihadirkan dalam kesadaran manusia.

Implikasi dari pendekatan ini juga tampak dalam fenomenologi Edmund Husserl. Ia memperkenalkan metode reduksi fenomenologis untuk mengesampingkan asumsi-asumsi ontologis yang tidak diverifikasi, dan memfokuskan perhatian pada bagaimana objek tampak dalam kesadaran.⁶ Ontologi dalam fenomenologi bukanlah realitas metafisik yang eksis mandiri, tetapi “objek yang dimaknai” dalam intensionalitas subjek. Maka ontologi hanya mungkin melalui klarifikasi proses epistemologis—yakni bagaimana objek hadir sebagai “fenomena” dalam kesadaran.

Dalam filsafat Islam, konsep ittihad al-‘āqil wa al-ma‘qūl (kesatuan subjek-objek dalam proses pengetahuan) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra menunjukkan bahwa pengetahuan bukan semata representasi realitas luar, tetapi merupakan bentuk realisasi eksistensial subjek dalam objek pengetahuannya.⁷ Di sini, epistemologi berfungsi bukan hanya sebagai alat untuk memahami realitas, tetapi juga sebagai sarana penyatuan ontologis antara manusia dan kebenaran hakiki.

Dalam perkembangan sains dan ilmu sosial kontemporer, banyak pendekatan epistemologis yang kemudian berpengaruh langsung terhadap bagaimana “realitas” didefinisikan. Misalnya, dalam kuantum fisika, pengetahuan tentang partikel bersifat probabilistik dan tergantung pada instrumen pengukuran, yang berarti bahwa “realitas kuantum” bersifat epistemik dan tidak sepenuhnya deterministik seperti dalam fisika klasik.⁸ Hal ini menantang asumsi ontologis tradisional tentang kepastian dan objektivitas dunia fisik, dan menunjukkan bahwa struktur epistemologi sains ikut serta membentuk ontologi ilmiah.

Dengan demikian, epistemologi tidak dapat hanya dianggap sebagai alat pasif dalam mengenal realitas. Ia turut menentukan bagaimana realitas itu sendiri dipahami, dibentuk, dan bahkan dilegitimasi. Oleh karena itu, refleksi ontologis mesti mempertimbangkan kerangka epistemologis yang mendahuluinya, baik dalam sains, filsafat, teologi, maupun dalam dinamika sosial-budaya yang lebih luas.


Footnotes

[1]                Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 25–27.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19/B33–A42/B59.

[3]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child, trans. Margaret Cook (New York: Basic Books, 1954), 3–16.

[4]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1967), 1–20.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 268–290.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 33–41.

[7]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans. Reza Akbarian (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2008), 88–104.

[8]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 45–52.


7.           Kasus-Kasus Konkret dalam Ilmu dan Filsafat

Untuk memahami secara lebih aplikatif hubungan antara ontologi dan epistemologi, kita dapat meninjau beberapa kasus konkret dari perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat. Dalam setiap contoh, tampak bahwa kerangka epistemologis memengaruhi bagaimana realitas dikonseptualisasikan, sekaligus bahwa asumsi ontologis membentuk cara pengetahuan dikembangkan dan dipraktikkan.

7.1.       Fisika Klasik vs. Fisika Kuantum

Dalam paradigma fisika klasik Newtonian, realitas dipandang sebagai sistem mekanis yang teratur, bersifat deterministik, dan terdiri dari partikel-partikel material yang bergerak dalam ruang dan waktu menurut hukum universal. Ontologi ini mendukung epistemologi yang menekankan pada objektivitas, observasi empiris, dan verifikasi.¹ Namun, revolusi ilmiah dalam fisika kuantum mengguncang anggapan ini secara mendasar. Teori kuantum menunjukkan bahwa partikel tidak memiliki posisi atau momentum yang pasti sebelum diukur, dan hasil pengukuran dipengaruhi oleh keterlibatan pengamat.²

Fenomena seperti prinsip ketidakpastian Heisenberg dan dualitas gelombang-partikel menegaskan bahwa realitas di tingkat mikroskopis tidak bersifat deterministik, melainkan probabilistik.³ Artinya, epistemologi ilmiah dalam mekanika kuantum memerlukan revisi atas ontologi klasik: realitas tidak sepenuhnya dapat diketahui sebagai entitas tetap dan terpisah dari subjek pengamat, melainkan sebagai entitas yang hanya bermakna dalam konteks pengukuran dan relasi dengan instrumen pengetahuan.

7.2.       Biologi Evolusioner dan Konsep “Spesies”

Dalam ilmu biologi, konsep “spesies” sering dianggap sebagai kategori ontologis yang stabil. Namun, epistemologi evolusioner menunjukkan bahwa batas-batas antara spesies bersifat relatif dan bergantung pada konteks observasi serta kerangka konseptual yang digunakan.⁴ Berbagai definisi tentang spesies (biologis, morfologis, filogenetik) tidak hanya mencerminkan variasi dalam pendekatan ilmiah, tetapi juga menunjukkan bahwa realitas biologis dipengaruhi oleh cara ilmuwan mengakses dan mengkonstruksi pengetahuan tentang organisme.

Dengan demikian, “spesies” bukan hanya entitas ontologis, tetapi juga kategori epistemologis yang merefleksikan metodologi dan pendekatan ilmiah yang dipakai. Ini memperlihatkan bahwa klasifikasi ilmiah bersifat dinamis dan terbuka terhadap revisi ontologis berdasarkan pengembangan pengetahuan.

7.3.       Ontologi dan Epistemologi dalam Ilmu Sosial

Dalam ilmu sosial, perdebatan antara struktur dan agensi mencerminkan ketegangan antara posisi ontologis yang menekankan determinasi sosial dengan posisi epistemologis yang mengedepankan kebebasan individu. Anthony Giddens, melalui teori strukturasi, mencoba mengatasi dikotomi ini dengan mengajukan bahwa struktur dan agensi saling mengonstruksi.⁵ Ontologi sosial tidak bisa dipahami tanpa epistemologi yang mempertimbangkan keterlibatan aktor dalam mereproduksi struktur.

Demikian pula, pendekatan konstruktivis dalam ilmu politik atau hubungan internasional (seperti oleh Alexander Wendt) menegaskan bahwa struktur anarki dalam sistem internasional tidak bersifat ontologis tetap, melainkan dibentuk oleh interaksi epistemologis antarpelaku negara.⁶ Di sini tampak bahwa realitas sosial politik bersifat tergantung pada kerangka pengetahuan dan interpretasi yang berlaku di suatu komunitas epistemik.

7.4.       Hermeneutika dan Realitas Teks

Dalam tradisi hermeneutika filosofis, teks tidak dianggap sebagai objek ontologis yang memiliki satu makna tetap. Sebaliknya, realitas teks bergantung pada proses pemahaman yang dilakukan oleh pembaca. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa interpretasi tidak bisa dilepaskan dari horizon pemahaman pembaca, yang dibentuk oleh sejarah, bahasa, dan tradisi.⁷ Dengan demikian, teks adalah entitas ontologis yang terbuka, yang aktualitas maknanya tergantung pada epistemologi interpretatif.

Fenomena ini juga berlaku dalam studi-studi keagamaan dan tafsir, di mana realitas naskah suci tidak dapat dipisahkan dari konteks epistemik pembacanya. Ini menunjukkan bahwa ontologi teks bersifat dinamis dan terbentuk secara dialogis.

7.5.       Ontologi Digital dalam Filsafat Teknologi

Perkembangan teknologi informasi memperkenalkan konsep “realitas virtual” dan “keberadaan digital”, yang menantang batas ontologis tradisional antara nyata dan maya. Epistemologi digital, yang menyangkut bagaimana kita memperoleh, memvalidasi, dan memproses informasi di ruang digital, turut mengonstruksi bentuk-bentuk eksistensi baru seperti avatar, big data entities, atau algoritmik being.⁸ Ontologi digital tidak dapat dipahami tanpa merefleksikan epistemologi interaksi manusia-mesin.


Penutup Bagian

Kasus-kasus konkret di atas menunjukkan bahwa hubungan antara ontologi dan epistemologi tidak bersifat teoritis semata, tetapi nyata dalam praktik ilmu dan filsafat. Cara kita mengetahui, menafsirkan, dan mengorganisasi pengetahuan menentukan (dan sekaligus ditentukan oleh) cara kita memahami apa yang ada. Hubungan ini menjadi landasan penting dalam membangun filsafat yang integratif, kontekstual, dan reflektif.


Footnotes

[1]                Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1999), Book I.

[2]                Niels Bohr, “The Quantum Postulate and the Recent Development of Atomic Theory,” Nature 121 (1928): 580–590.

[3]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 43–56.

[4]                Kevin de Queiroz, “Species Concepts and Species Delimitation,” Systematic Biology 56, no. 6 (2007): 879–886.

[5]                Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Cambridge: Polity Press, 1984), 1–40.

[6]                Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 246–312.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–290.

[8]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 155–174.


8.           Kritik dan Tantangan Konseptual

Meskipun hubungan antara ontologi dan epistemologi tampak saling memperkuat dan memberi dasar filosofis yang integral, namun relasi ini tidak lepas dari kritik dan problematika konseptual. Beberapa tantangan mendasar muncul baik dari segi metodologis, logis, maupun metafilosofis, yang patut mendapat perhatian dalam pengembangan filsafat kontemporer.

8.1.       Problema Circular Reasoning (Lingkaran Penalaran)

Salah satu kritik klasik dalam hubungan ontologi dan epistemologi adalah potensi circular reasoning, yaitu ketika upaya membenarkan suatu klaim pengetahuan (epistemologi) didasarkan pada asumsi tentang realitas (ontologi), sementara realitas itu sendiri hanya diketahui melalui cara kita mengetahui.¹ Dalam hal ini, epistemologi dan ontologi tampak saling mengandaikan secara simultan, sehingga muncul persoalan: bagaimana kita dapat membenarkan salah satunya tanpa terjebak dalam lingkaran logis?

Masalah ini telah disadari sejak era modern. Misalnya, Descartes mencoba menghindari lingkaran ini melalui methodic doubt dan fondasi kognitif yang ia temukan dalam cogito (cogito ergo sum), namun ia tetap bergantung pada asumsi tentang keandalan akal untuk mengakses kebenaran.² Demikian pula, dalam empirisme, keandalan pengalaman inderawi sebagai dasar epistemik didasarkan pada keyakinan akan realitas eksternal yang stabil, suatu asumsi ontologis yang tak dapat dibuktikan tanpa perangkat epistemik itu sendiri.³

8.2.       Ancaman Relativisme dan Skeptisisme

Kritik lainnya berasal dari konsekuensi relativisme epistemologis yang dapat melemahkan klaim-klaim ontologis. Dalam konstruktivisme sosial yang radikal, realitas dianggap sebagai hasil konstruksi linguistik atau sosial sepenuhnya, sehingga tidak ada "realitas objektif" yang dapat dijadikan acuan ontologis yang stabil.⁴ Hal ini menimbulkan risiko skeptisisme metafisik: jika realitas senantiasa ditentukan oleh cara kita mengetahuinya, maka apakah mungkin ada realitas yang benar-benar ada, terlepas dari kerangka epistemik manusia?

Tokoh seperti Richard Rorty dalam neopragmatisme bahkan menolak dikotomi ontologi–epistemologi, menganggap bahwa pertanyaan tentang “realitas objektif” tidak lagi relevan dalam diskursus filsafat postmodern.⁵ Bagi Rorty, filsafat harus beralih dari pencarian truth-as-correspondence kepada truth-as-solidarity, yang berarti bahwa kebenaran dan realitas hanyalah konsensus dalam komunitas diskursif.⁶ Kritik ini menantang fondasi relasi ontologis-epistemologis yang bersifat transenden dan universal.

8.3.       Fragmentasi dan Disiplinisasi Ilmu

Dalam praktik keilmuan kontemporer, fragmentasi disiplin seringkali menyebabkan pemisahan antara pendekatan ontologis dan epistemologis. Filsafat ilmu mengalami kesulitan dalam menyatukan pandangan ontologis tentang realitas ilmiah dengan keragaman metodologi epistemik di berbagai bidang. Misalnya, ontologi dalam fisika kuantum tidak dapat serta-merta digunakan dalam ilmu sosial, sementara epistemologi interpretatif dalam antropologi sering kali tidak dapat mendukung asumsi ontologis naturalistik.⁷

Ini menunjukkan perlunya kerangka interdisipliner atau metaphilosophical reflection yang mampu menjembatani keragaman pendekatan filosofis dan ilmiah. Tanpa refleksi lintas-bidang ini, relasi antara ontologi dan epistemologi terancam menjadi tidak koheren dan kehilangan daya kritisnya.

8.4.       Tantangan Teknologi dan Ontologi Baru

Kemunculan bentuk-bentuk eksistensi digital—seperti kecerdasan buatan, dunia virtual, dan entitas algoritmik—memunculkan tantangan baru dalam memahami ontologi. Apakah AI atau big data dapat dianggap “ada” dalam pengertian klasik metafisika? Bagaimana epistemologi menangani entitas yang tidak kasatmata, tidak fisikal, dan bahkan tidak memiliki intensionalitas manusiawi?

Beberapa pemikir kontemporer, seperti Luciano Floridi, mencoba menjawab tantangan ini melalui informational ontology, yaitu ontologi yang berlandaskan pada informasi sebagai entitas dasar keberadaan.⁸ Namun pendekatan ini sendiri masih membuka perdebatan epistemologis: informasi sebagai apa, oleh siapa, dan dalam konteks apa ia dianggap “nyata”?

8.5.       Ketergantungan Kontekstual dan Bahasa

Bahasa sebagai medium epistemik juga menjadi sumber tantangan bagi ontologi. Perspektif hermeneutis dan post-strukturalis (misalnya, dalam pemikiran Derrida) menunjukkan bahwa bahasa tidak mampu merepresentasikan realitas secara langsung karena selalu bekerja melalui perbedaan (différance) dan penundaan makna.⁹ Jika realitas hanya dapat diakses melalui representasi linguistik yang senantiasa tertunda dan tergelincir, maka ontologi tidak pernah hadir secara utuh dan final, tetapi selalu bersifat tentatif.


Penutup Bagian

Kritik dan tantangan ini tidak membatalkan pentingnya relasi antara ontologi dan epistemologi, melainkan mendorong pengembangan pendekatan yang lebih reflektif, terbuka, dan dialogis. Alih-alih menuntut kepastian mutlak, filsafat kontemporer justru mendorong pemahaman akan keterbatasan dan kebertanggungan antara realitas dan pengetahuan. Dalam kerangka ini, relasi ontologis–epistemologis tidak dimaknai sebagai hubungan linier, tetapi sebagai medan dialektis yang terus terbuka untuk ditafsir dan direfleksi ulang.


Footnotes

[1]                Nicholas Rescher, The Limits of Science (Berkeley: University of California Press, 1984), 14–19.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1993), Meditation II.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book IV.

[4]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 1–14.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 5–10.

[6]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 78–95.

[7]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 20–42.

[8]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 155–174.

[9]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.


9.           Penutup

Kajian mengenai hubungan antara ontologi dan epistemologi bukanlah sekadar eksplorasi konseptual dua cabang filsafat, melainkan suatu usaha untuk memahami bagaimana realitas dan pengetahuan saling membentuk dalam dinamika reflektif manusia. Dari uraian sebelumnya, menjadi jelas bahwa tidak ada pendekatan epistemologis yang sepenuhnya netral dari asumsi ontologis, dan sebaliknya, tidak ada konsepsi ontologis yang terlepas dari cara-cara manusia mengetahui, menafsirkan, dan mengalami realitas.

Dalam pemikiran klasik hingga kontemporer, kita melihat bahwa setiap paradigma filosofis mengembangkan kerangka relasi tertentu antara being dan knowing. Ontologi Platonik menekankan realitas ideal sebagai dasar pengetahuan sejati, sementara epistemologi Kantian menekankan struktur a priori pikiran sebagai pembentuk fenomena realitas.¹ Filsafat Heidegger memperluas ini dengan pendekatan eksistensial, di mana makna keberadaan (Sein) hanya dapat diungkap melalui eksistensi manusia sebagai subjek penanya.²

Perkembangan dalam ilmu pengetahuan modern juga menegaskan bahwa pergeseran epistemologi berimplikasi langsung terhadap pemaknaan ontologi. Dalam fisika kuantum, misalnya, pengaruh pengamat terhadap hasil pengukuran membuktikan bahwa realitas tidak dapat dilepaskan dari cara ia diakses dan dipahami secara ilmiah.³ Begitu pula dalam ilmu sosial dan teori konstruktivis, realitas sosial terbentuk secara intersubjektif dan epistemik melalui bahasa, norma, dan praktik budaya.⁴

Namun demikian, kajian ini juga mengungkapkan bahwa relasi antara ontologi dan epistemologi penuh dengan tantangan: dari masalah lingkaran penalaran, relativisme, hingga fragmentasi ilmu dan disrupsi teknologi digital.⁵ Tantangan ini tidak menunjukkan kegagalan hubungan keduanya, tetapi justru mendorong refleksi lebih dalam tentang keterbatasan dan kemungkinan dalam berpikir filosofis. Filsafat tidak lagi bisa berpretensi menemukan fondasi absolut bagi realitas atau pengetahuan, tetapi ia bisa terus memainkan peran kritis dan reflektif dalam membuka ruang dialog antara keberadaan dan pemahaman.

Dengan demikian, kesadaran akan hubungan ontologis-epistemologis menjadi penting dalam membangun kerangka pengetahuan yang tidak semata-mata teknis, tetapi juga filosofis, humanistik, dan transdisipliner. Pendekatan ini sangat relevan di tengah dunia kontemporer yang kompleks, plural, dan sarat transformasi. Filsafat masa kini tidak cukup hanya menjawab apa itu realitas atau bagaimana kita tahu, tetapi juga harus mempertanyakan bagaimana kita bertanggung jawab dalam menafsirkan dan menghadirkan realitas melalui pengetahuan.

Sebagaimana ditegaskan oleh Gadamer, “memahami adalah selalu juga menafsir,” dan dalam proses itulah realitas dan pengetahuan tidak hadir sebagai dua kutub terpisah, melainkan sebagai dialektika yang saling menjalin dalam horizon eksistensial manusia.⁶


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A64/B89.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 23–43.

[3]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 52–62.

[4]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1967), 1–20.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 6–20.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 295–307.


Daftar Pustaka

Archer, M., Bhaskar, R., Collier, A., Lawson, T., & Norrie, A. (Eds.). (1998). Critical realism: Essential readings. Routledge.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1963). Categories (J. L. Ackrill, Trans.). Clarendon Press.

Ayer, A. J. (1971). Language, truth and logic (2nd ed.). Penguin Books.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.

Berkeley, G. (2003). A treatise concerning the principles of human knowledge. Dover Publications.

Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science (2nd ed.). Routledge.

Bohr, N. (1928). The quantum postulate and the recent development of atomic theory. Nature, 121, 580–590.

Bunnin, N., & Yu, J. (2004). The Blackwell dictionary of Western philosophy. Blackwell Publishing.

Code, L. (1987). Epistemic responsibility. University Press of New England.

de Queiroz, K. (2007). Species concepts and species delimitation. Systematic Biology, 56(6), 879–886.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing Company.

Descartes, R. (1998). Discourse on the method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing Company.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Devitt, M. (1997). Realism and truth (2nd ed.). Princeton University Press.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.; 2nd rev. ed.). Continuum.

Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.

Giddens, A. (1984). The constitution of society: Outline of the theory of structuration. Polity Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Hacking, I. (1999). The social construction of what? Harvard University Press.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women's lives. Cornell University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. Harper & Row.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

James, W. (1995). Pragmatism. Dover Publications.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.

Newton, I. (1999). Philosophiæ naturalis principia mathematica (A. Motte, Trans.). University of California Press.

Parmenides. (1987). Fragments. In J. Barnes (Ed.), Early Greek philosophy (pp. 132–138). Penguin Books.

Piaget, J. (1954). The construction of reality in the child (M. Cook, Trans.). Basic Books.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing Company.

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.

Rescher, N. (1984). The limits of science. University of California Press.

Rescher, N. (2003). Epistemology: An introduction to the theory of knowledge. State University of New York Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Sadra, M. (2008). The transcendent philosophy of the four journeys of the intellect (R. Akbarian, Trans.). Sadra Islamic Philosophy Research Institute.

Smith, B. (2004). Ontology. In L. Floridi (Ed.), The Blackwell guide to the philosophy of computing and information (pp. 155–166). Blackwell.

Wendt, A. (1999). Social theory of international politics. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar