Ilmu Pengetahuan
Hakikat, Cabang, dan Validitasnya dalam Perspektif
Filsafat dan Metodologi
Alihkan ke: Philosophy is the Mother of all Sciences.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif hakikat,
cabang-cabang, dan validitas ilmu pengetahuan melalui pendekatan filsafat ilmu
dan metodologi ilmiah. Dengan mengkaji dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis, artikel ini menekankan bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi
informasi, tetapi merupakan sistem pengetahuan yang disusun secara rasional,
sistematis, dan dapat diuji secara empiris. Penelitian ilmiah dijelaskan
sebagai instrumen utama dalam pengembangan dan pengujian teori, sementara
pendekatan-pendekatan ilmiah seperti kuantitatif, kualitatif, dan campuran
ditelaah dalam konteks paradigma ilmiah yang berbeda. Selain itu, artikel ini
menyoroti pentingnya etika dan tanggung jawab ilmuwan dalam menghadapi
tantangan kontemporer seperti fragmentasi ilmu, dilema etis teknologi, dan
ketimpangan akses terhadap pengetahuan. Di tengah dinamika global dan kompleksitas
zaman, artikel ini merekomendasikan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersifat
integratif, humanistik, dan berkelanjutan agar ilmu dapat terus berkontribusi
bagi kemajuan peradaban manusia secara adil dan beradab.
Kata Kunci: Ilmu pengetahuan, filsafat ilmu, validitas ilmiah,
paradigma, metodologi penelitian, etika ilmuwan, masa depan sains.
PEMBAHASAN
Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat dan
Metodologi
1.
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu tonggak utama
dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Sejak awal peradaban, manusia
telah menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap upaya memahami alam semesta,
kehidupan, serta dirinya sendiri melalui pengamatan, penalaran, dan eksperimen.
Dalam perjalanan sejarahnya, ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi sarana
pemahaman, tetapi juga menjadi fondasi bagi kemajuan teknologi, transformasi
sosial, dan reformasi budaya.
Menurut Karl R. Popper, ilmu pengetahuan berkembang
melalui proses pemalsuan (falsifikasi) terhadap teori-teori yang ada, bukan
sekadar verifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu bersifat terbuka terhadap
pengujian kritis dan senantiasa mengalami penyempurnaan melalui koreksi
terhadap kesalahan masa lalu.¹ Sementara itu, Thomas Kuhn memandang perkembangan
ilmu sebagai sebuah revolusi paradigma, di mana kerangka berpikir ilmiah dapat
berubah secara drastis ketika muncul anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh
paradigma lama.²
Di era modern ini, ilmu pengetahuan telah
berkembang menjadi suatu sistem yang sangat kompleks, mencakup berbagai cabang
dan metodologi, serta dipengaruhi oleh beragam pandangan filsafat. Filsafat
ilmu berperan penting dalam membedah dasar-dasar ontologis (hakikat realitas
yang ditelaah), epistemologis (cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis
(nilai-nilai yang melandasi dan mengarahkan penggunaan ilmu). Dengan kata lain,
ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri secara netral, melainkan selalu berada
dalam konteks nilai dan tanggung jawab moral.³
Relevansi pembahasan ilmu pengetahuan semakin
penting ketika dunia dihadapkan pada tantangan global seperti krisis iklim,
ketimpangan sosial, dan perkembangan teknologi berbasis kecerdasan buatan.
Dalam situasi ini, pemahaman yang mendalam tentang hakikat, validitas, dan
tanggung jawab etis dari ilmu pengetahuan menjadi kebutuhan mendesak. Dengan
memahami fondasi keilmuan secara filosofis dan metodologis, kita tidak hanya
mampu menggunakan ilmu secara teknis, tetapi juga mampu mempertanyakan dan
mengarahkannya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara
sistematis dan mendalam tentang hakikat ilmu pengetahuan, cabang-cabangnya,
serta validitasnya berdasarkan pendekatan filsafat ilmu dan metodologi ilmiah.
Kajian ini diharapkan dapat memberikan kerangka pemahaman yang utuh tentang
bagaimana ilmu terbentuk, bekerja, dan berperan dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery, trans. dari edisi Jerman oleh Paul Freedman (New York:
Routledge, 2002), 33–35.
[2]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 66–91.
[3]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 58.
2.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Secara etimologis, istilah ilmu berasal dari
bahasa Arab "al-‘ilm" yang berarti pengetahuan atau pemahaman.
Sementara dalam bahasa Latin, kata scientia (dari kata kerja scire)
berarti “mengetahui.” Kedua istilah tersebut mengandung makna mendalam tentang
usaha manusia untuk memahami realitas secara rasional dan sistematis.¹
Dalam konteks terminologi, ilmu pengetahuan
(science) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang disusun secara
sistematis, berdasarkan observasi, eksperimen, penalaran logis, dan dapat diuji
kebenarannya melalui metode ilmiah.² Paul Oskar Kristeller menyatakan bahwa
ilmu adalah “usaha sistematis untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia
berdasarkan fakta-fakta yang dapat diverifikasi.”³ Dengan demikian, ilmu tidak
sekadar bersifat spekulatif, tetapi menuntut adanya dasar empiris yang dapat
diuji oleh siapa pun dalam kondisi yang sama.
Beberapa ahli membedakan antara “pengetahuan biasa”
(common knowledge) dan “ilmu pengetahuan” (scientific knowledge). Pengetahuan
biasa seringkali diperoleh secara intuitif, turun-temurun, atau berdasarkan
pengalaman subjektif tanpa melalui prosedur ilmiah yang terstruktur.
Sebaliknya, ilmu pengetahuan mensyaratkan adanya sistematika, metodologi, dan
validitas logis-empiris.⁴
Sementara itu, filsafat ilmu memberikan penekanan
pada dimensi epistemologis dalam mendefinisikan ilmu pengetahuan. Menurut The
Liang Gie, ilmu adalah “pengetahuan yang telah disusun secara sistematis
dengan metode tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala
tertentu di alam semesta.”_⁵ Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan lahir
bukan semata-mata dari akumulasi informasi, tetapi dari proses berpikir kritis
dan terstruktur.
Definisi ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan
dari upaya manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang realitas.
Karena itu, ilmu memiliki fungsi ganda: sebagai instrumen untuk menjelaskan
dunia serta sebagai panduan dalam membuat keputusan rasional.⁶ Dalam era
modern, ilmu juga mengalami ekspansi makna, tidak hanya mencakup ilmu-ilmu alam
(natural sciences), tetapi juga ilmu sosial, humaniora, dan bahkan studi
interdisipliner yang memadukan berbagai pendekatan.
Dengan demikian, definisi ilmu pengetahuan bersifat
dinamis dan berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran dan peradaban manusia.
Namun, secara esensial, ilmu selalu mengacu pada pengetahuan yang
terorganisasi, metodis, dan terbuka terhadap pengujian serta pembuktian
rasional dan empiris.
Footnotes
[1]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat
Ilmu, dan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Barat dan Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006), 3.
[2]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan:
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2018),
4–5.
[3]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and
Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 15.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2011), 22.
[5]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1996), 21.
[6]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), 17.
3.
Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
sebagai bentuk pengetahuan yang khas memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya
dari pengetahuan biasa, kepercayaan, atau mitos. Ciri-ciri ini menjadi fondasi
utama bagi keabsahan ilmu sebagai alat untuk memahami, menjelaskan, dan
memprediksi realitas secara sistematis.
3.1. Rasional
Ilmu pengetahuan
bersandar pada akal sehat dan logika. Proses perumusannya didasarkan pada
penalaran logis dan deduktif atau induktif yang bisa ditelusuri secara
rasional. Jujun S. Suriasumantri menegaskan bahwa suatu pengetahuan dapat
dikatakan ilmiah bila mampu dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak hanya
bergantung pada intuisi atau dogma.¹
3.2. Empiris
Ilmu bersumber dari
pengalaman dan pengamatan langsung terhadap objek yang dikaji. Pengetahuan
ilmiah diperoleh melalui metode observasi dan eksperimen yang dapat diulang dan
dibuktikan secara konkret.² Dengan pendekatan empiris ini, ilmu menjadi
bersifat objektif dan tidak sekadar bersandar pada spekulasi atau asumsi
belaka.
3.3. Sistematis
Ilmu disusun secara
teratur berdasarkan suatu kerangka berpikir yang logis dan terstruktur.
Keteraturan ini menjadikan setiap bagian dalam ilmu memiliki hubungan satu sama
lain, mulai dari pengumpulan data, penyusunan hipotesis, hingga penyimpulan
hasil.³ Struktur sistematis ini memungkinkan ilmu berkembang secara kumulatif
dan progresif.
3.4. Objektif
Objektivitas berarti
bahwa ilmu bebas dari prasangka pribadi, emosi, atau nilai-nilai subyektif
peneliti. Pengetahuan ilmiah harus bisa diuji dan diverifikasi oleh siapa pun
dalam kondisi yang sama. Oleh karena itu, ilmu harus dapat diterima oleh
komunitas ilmiah secara umum.⁴
3.5. Metodis
Setiap proses dalam
kegiatan ilmiah dilakukan dengan mengikuti metode tertentu yang telah
disepakati dalam dunia akademik. Penggunaan metode ilmiah (scientific method)
seperti observasi, perumusan masalah, hipotesis, eksperimen, dan penarikan
kesimpulan menjadikan ilmu bersifat sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.⁵
3.6. Universal
Pengetahuan ilmiah
bersifat universal, artinya kebenaran ilmiah berlaku di mana saja dan kapan
saja, selama kondisi dan variabelnya sama. Kebenaran ilmu tidak dibatasi oleh
wilayah geografis atau budaya tertentu, meskipun penggunaannya dapat
beradaptasi dengan konteks lokal.⁶
3.7. Kumulatif
Ilmu pengetahuan
bersifat berkembang dan memperkaya diri melalui koreksi dan penyempurnaan atas
teori-teori sebelumnya. Pengetahuan ilmiah tidak bersifat final dan selalu
terbuka untuk diuji ulang, diperbaiki, bahkan digantikan oleh teori yang lebih
baik dan lebih sesuai dengan temuan empiris baru.⁷
Dengan mengakui dan
memahami ciri-ciri ini, kita dapat membedakan antara ilmu pengetahuan yang
sahih dan bentuk pengetahuan lainnya. Ciri-ciri ini juga membantu menjaga
integritas dan objektivitas ilmu dalam memberikan kontribusi nyata bagi
kemajuan umat manusia.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 71.
[2]
Sugiyono, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2018), 10.
[3]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak
Hakikat Ilmu dan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Barat dan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 25.
[4]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 29.
[5]
Zainal Arifin, Metodologi Penelitian
Pendidikan (Surabaya: Lentera
Cendekia, 2011), 14.
[6]
J. R. Fraenkel, Norman E. Wallen, and Helen H. Hyun, How to Design and Evaluate Research in Education, 8th ed. (New York: McGraw-Hill, 2012), 22.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, 2nd ed.
(Chicago: University of Chicago Press, 1970), 52.
4.
Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
berkembang menjadi berbagai cabang sebagai respons terhadap kompleksitas
realitas dan keragaman objek kajian. Klasifikasi cabang-cabang ilmu dilakukan
agar setiap bidang dapat dikaji secara lebih mendalam dengan pendekatan yang
sesuai. Secara umum, para ilmuwan dan filsuf ilmu membagi ilmu pengetahuan ke
dalam tiga kelompok besar: ilmu formal, ilmu empiris, dan ilmu terapan.¹
4.1. Ilmu Formal
Ilmu formal adalah
ilmu yang objek kajiannya bersifat abstrak dan tidak berhubungan langsung
dengan kenyataan empiris. Ia menggunakan sistem simbolik yang logis dan
konsisten secara internal. Contoh utama dari ilmu formal adalah matematika
dan logika.²
Dalam ilmu formal, kebenaran diperoleh melalui pembuktian deduktif, bukan dari
pengamatan langsung. Misalnya, dalam matematika, suatu teorema dianggap benar
jika dapat diturunkan secara logis dari aksioma-aksioma yang telah diterima.
4.2. Ilmu Empiris
Ilmu empiris
mengkaji fenomena nyata yang dapat diamati dan diuji secara langsung melalui
pengalaman inderawi. Cabang ini terbagi menjadi dua subkategori besar:
·
Ilmu Alam (Natural
Sciences)
Mempelajari gejala-gejala alam yang bersifat
fisik, biologis, dan kimiawi. Termasuk dalam kelompok ini adalah fisika,
kimia, biologi, astronomi,
dan geologi. Ilmu alam berusaha menjelaskan hukum-hukum alam
yang bersifat universal melalui pendekatan eksperimental dan kuantitatif.³
·
Ilmu Sosial (Social
Sciences)
Mempelajari manusia sebagai makhluk sosial, baik
dalam individu maupun kelompok. Cabang-cabangnya antara lain sosiologi,
antropologi, ekonomi, psikologi
sosial, dan ilmu politik.⁴ Ilmu sosial sering kali
menggunakan pendekatan gabungan antara kuantitatif dan kualitatif, karena objek
kajiannya bersifat kompleks dan dinamis.
4.3. Ilmu Humaniora
Meskipun sering
diperdebatkan statusnya sebagai “ilmu” dalam pengertian empiris, ilmu humaniora
memegang peran penting dalam pemahaman makna, nilai, dan ekspresi manusia.
Termasuk di dalamnya adalah filsafat, sejarah,
sastra,
bahasa,
dan teologi.
Ilmu humaniora lebih menekankan interpretasi dan refleksi kritis daripada
eksperimen.⁵
4.4. Ilmu Terapan (Applied Sciences)
Ilmu terapan
merupakan cabang ilmu yang memanfaatkan hasil temuan dari ilmu dasar (formal
atau empiris) untuk tujuan praktis dalam kehidupan. Contohnya adalah teknologi,
kedokteran,
pertanian,
dan rekayasa
teknik.⁶ Dalam hal ini, ilmu tidak hanya menjadi alat untuk
memahami, tetapi juga untuk mengubah realitas demi kepentingan manusia.
4.5. Ilmu Interdisipliner dan Multidisipliner
Perkembangan zaman
juga mendorong munculnya ilmu-ilmu baru yang bersifat interdisipliner, seperti bioteknologi,
neuropsikologi,
linguistik
komputasional, atau environmental science.
Bidang-bidang ini menggabungkan dua atau lebih disiplin ilmu untuk menjawab
persoalan kompleks yang tidak bisa ditangani oleh satu pendekatan tunggal.⁷
Klasifikasi cabang
ilmu ini tidak bersifat kaku, melainkan bersifat dinamis sesuai dengan
perkembangan kebutuhan pengetahuan dan problematika global. Pengelompokan ini
bertujuan memudahkan pemahaman terhadap objek kajian ilmu, serta mendukung
perkembangan metodologi yang relevan dalam masing-masing cabang tersebut.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 37.
[2]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 40.
[3]
Peter Godfrey-Smith, Theory
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 19.
[4]
Neuman, W. Lawrence, Social
Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 25–26.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 9–11.
[6]
Mario Bunge, Philosophy of Science:
From Problem to Theory (New York:
Routledge, 1998), 112.
[7]
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity:
History, Theory, and Practice
(Detroit: Wayne State University Press, 1990), 5–6.
5.
Filsafat Ilmu dan Validitas Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu
merupakan cabang filsafat yang secara khusus mempelajari dasar-dasar filosofis
dari ilmu pengetahuan. Ia mengkaji pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa
itu ilmu? Bagaimana ilmu diperoleh? Apa yang membedakan ilmu dari bentuk
pengetahuan lain? Sejauh mana kebenaran ilmiah dapat dipercaya? Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, filsafat ilmu berperan sebagai fondasi
konseptual bagi ilmu pengetahuan, dengan menganalisis dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dari ilmu.¹
5.1. Dimensi Ontologis
Dimensi ontologi
dalam filsafat ilmu berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat realitas yang
dikaji oleh ilmu pengetahuan.² Ontologi berusaha menjawab: apa yang dianggap
sebagai “real” dalam ilmu? Misalnya, dalam ilmu alam, realitas dipahami sebagai
materi dan energi, sementara dalam ilmu sosial, realitas dapat berupa tindakan
sosial, struktur masyarakat, atau nilai-nilai budaya.³ Pandangan ontologis ini
memengaruhi metode pendekatan yang digunakan dalam riset ilmiah.
5.2. Dimensi Epistemologis
Epistemologi adalah
kajian tentang asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Dalam
konteks filsafat ilmu, epistemologi menjadi pusat perhatian karena menyangkut
bagaimana ilmu dibangun, bagaimana kebenaran diuji, dan bagaimana justifikasi
ilmiah dilakukan.⁴ Ada dua pendekatan utama yang memengaruhi epistemologi ilmu,
yaitu rasionalisme
(kebenaran diperoleh melalui akal/logika) dan empirisme (kebenaran diperoleh
melalui pengalaman dan observasi).⁵ Positivisme logis, sebagai salah satu
aliran besar dalam filsafat ilmu abad ke-20, menekankan bahwa suatu proposisi
ilmiah harus dapat diverifikasi secara empiris agar dianggap bermakna.⁶
Karl Popper
mengkritik pendekatan verifikasionisme ini dan mengusulkan falsifikasi
sebagai kriteria validitas ilmu. Menurutnya, sebuah teori ilmiah harus dapat
diuji dan terbuka untuk dibantah; jika tidak bisa difalsifikasi, maka teori
tersebut tidak ilmiah.⁷ Pendekatan Popper menekankan bahwa kebenaran ilmiah
bersifat sementara dan revisibel, bukan absolut.
5.3. Dimensi Aksiologis
Dimensi aksiologi
membahas nilai-nilai yang mendasari dan mengarahkan kegiatan ilmiah. Ini
mencakup pertanyaan tentang tujuan ilmu, tanggung jawab moral ilmuwan, serta
implikasi sosial dari penerapan ilmu pengetahuan.⁸ Ilmu bukan hanya alat untuk
memahami alam dan masyarakat, tetapi juga memiliki dampak etis terhadap
kehidupan manusia. Misalnya, riset di bidang bioteknologi atau kecerdasan
buatan harus mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, keberlanjutan, dan
keadilan sosial.⁹
5.4. Validitas Ilmu Pengetahuan
Validitas dalam
konteks ilmu pengetahuan mengacu pada sejauh mana suatu pengetahuan ilmiah
dapat dianggap benar, dapat dipercaya, dan relevan. Validitas ini diperoleh
melalui koherensi logis, korespondensi
dengan fakta empiris, dan relevansi pragmatis.¹⁰ Sebuah
teori dikatakan valid jika secara logis konsisten, terbukti secara empiris, dan
dapat diterapkan dalam praktik untuk memecahkan masalah nyata. Dalam metodologi
penelitian, validitas juga terkait dengan validitas internal (kekuatan
logika inferensi dalam riset) dan validitas eksternal (keterterapan
hasil riset di luar konteks studi).¹¹
Filsafat ilmu dengan
demikian tidak hanya menyediakan kerangka untuk memahami hakikat dan
batas-batas ilmu, tetapi juga membekali ilmuwan dengan sikap kritis dan
tanggung jawab terhadap penggunaan ilmu. Validitas ilmu pengetahuan tidak
bersifat mutlak, melainkan selalu terbuka terhadap kritik dan revisi,
sebagaimana ilmu itu sendiri merupakan proses dinamis yang terus berkembang.
Footnotes
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 2.
[2]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 58.
[3]
Alex Rosenberg, Philosophy of Social
Science, 3rd ed. (Boulder: Westview
Press, 2008), 13–14.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A
Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 5.
[5]
Richard Swinburne, Epistemic Justification (Oxford: Oxford University Press, 2001), 22.
[6]
A.J. Ayer, Language, Truth and
Logic (New York: Dover Publications,
1952), 36.
[7]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery, trans. Paul Freedman (New
York: Routledge, 2002), 40–42.
[8]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 102.
[9]
Philip Brey, “Ethics of Emerging Technologies,” in The Oxford Handbook of Information and Computer Ethics, ed. L. Floridi (Oxford: Oxford University Press,
2008), 213.
[10]
Peter Godfrey-Smith, Theory
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 71.
[11]
John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches, 5th ed. (Thousand Oaks:
SAGE, 2018), 206.
6.
Paradigma dan Pendekatan dalam Ilmu Pengetahuan
Perkembangan ilmu
pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari perubahan paradigma dan pendekatan
ilmiah yang melandasinya. Paradigma dalam konteks filsafat ilmu merujuk pada
kerangka berpikir menyeluruh yang mencakup asumsi dasar, nilai-nilai, dan
metode yang digunakan dalam penelitian. Istilah "paradigma"
dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions,
di mana ia menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang tidak secara linear,
tetapi melalui pergantian paradigma ilmiah yang disebut “revolusi ilmiah.”_¹
6.1. Pengertian Paradigma Ilmiah
Kuhn mendefinisikan
paradigma sebagai keseluruhan nilai, teknik, dan kepercayaan yang dianut oleh
komunitas ilmiah tertentu dalam kurun waktu tertentu. Dalam masa “ilmu
normal”, para ilmuwan bekerja dalam kerangka paradigma yang mapan. Namun,
saat terjadi akumulasi anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh paradigma lama,
muncullah krisis yang mengarah pada revolusi ilmiah dan lahirnya paradigma
baru.²
Paradigma ilmiah
tidak hanya mencakup isi pengetahuan, tetapi juga metode penelitian dan cara
pandang terhadap realitas. Oleh karena itu, perubahan paradigma dapat mengubah
cara ilmuwan memahami objek kajiannya secara mendasar.³
6.2. Pendekatan dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam praktiknya,
ilmu pengetahuan berkembang melalui berbagai pendekatan ilmiah, yang
dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan. Dua pendekatan utama yang
mendominasi dunia ilmu adalah:
·
Pendekatan
Positivistik (Kuantitatif)
Pendekatan ini berpijak pada paradigma
positivisme yang menganggap bahwa realitas bersifat objektif dan dapat diukur
secara empiris. Ciri khas pendekatan ini adalah penggunaan metode deduktif,
instrumen statistik, serta fokus pada hubungan kausal. Penelitian dengan
pendekatan ini menekankan pengendalian variabel dan generalisasi hasil.⁴
Auguste Comte sebagai pelopor positivisme menyatakan bahwa ilmu harus
berlandaskan pada observasi dan eksperimen yang terukur.⁵
·
Pendekatan
Interpretatif (Kualitatif)
Berbeda dari positivisme, pendekatan ini
berlandaskan pada paradigma konstruktivisme yang melihat realitas sebagai hasil
konstruksi sosial. Pengetahuan dipandang sebagai produk interaksi antara subjek
dan objek. Penelitian interpretatif menekankan pemahaman mendalam terhadap
makna dan konteks sosial suatu fenomena.⁶ Max Weber adalah salah satu tokoh
awal yang menekankan pentingnya “verstehen” (pemahaman) dalam ilmu
sosial.⁷
Selain dua
pendekatan utama tersebut, muncul pula pendekatan mixed
methods, yaitu gabungan antara kuantitatif dan kualitatif untuk
memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Pendekatan ini berkembang dalam
paradigma pragmatik, yang menekankan
kegunaan metode untuk menjawab pertanyaan penelitian secara efektif.⁸
6.3. Perubahan Paradigma dalam Ilmu Alam dan Sosial
Dalam ilmu alam,
perubahan paradigma yang signifikan dapat dilihat dalam peralihan dari
paradigma Newtonian (mekanistik dan deterministik) ke paradigma Einsteinian
(relativistik dan probabilistik). Hal ini mencerminkan bagaimana pemahaman
terhadap realitas fisik dapat berubah secara radikal seiring dengan penemuan
dan pergeseran teori.⁹
Sementara itu, dalam
ilmu sosial, pergeseran paradigma mencakup transisi dari positivisme klasik ke
konstruktivisme, kritisisme, hingga postmodernisme. Setiap paradigma menawarkan
perspektif yang berbeda tentang realitas sosial, metode penelitian, dan posisi
peneliti dalam proses ilmiah.¹⁰
Dengan demikian,
paradigma dan pendekatan dalam ilmu pengetahuan merupakan aspek fundamental
yang membentuk cara berpikir ilmiah. Kesadaran akan paradigma yang digunakan
memungkinkan ilmuwan untuk bersikap reflektif, terbuka terhadap alternatif
metodologis, dan mampu memahami ilmu sebagai proses dinamis yang selalu
berkembang.
Footnotes
[1]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.
[2]
Ibid., 66–91.
[3]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 80–82.
[4]
John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design:
Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed. (Thousand
Oaks: SAGE, 2018), 19–22.
[5]
Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet
Martineau (New York: Calvin Blanchard, 1858), 25.
[6]
Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, The SAGE Handbook of
Qualitative Research, 4th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2011), 12–14.
[7]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 4.
[8]
Abbas Tashakkori and Charles Teddlie, Mixed Methodology: Combining Qualitative
and Quantitative Approaches (Thousand Oaks: SAGE, 1998), 5–6.
[9]
Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels
Between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 2000),
56.
[10]
Alan Bryman, Social Research Methods, 5th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 19–20.
7.
Peran Penelitian dalam Pengembangan Ilmu
Penelitian merupakan
jantung dari proses ilmiah. Melalui penelitian, ilmu pengetahuan tidak hanya
dijaga keberlangsungannya, tetapi juga terus berkembang secara dinamis dan
progresif. Penelitian berfungsi sebagai alat utama untuk menemukan,
membuktikan, menguji, dan memverifikasi teori-teori ilmiah.¹ Dengan kata lain,
penelitian menjadi sarana utama bagi ilmu untuk terus menyesuaikan diri dengan
kompleksitas realitas serta menjawab tantangan-tantangan baru yang muncul dalam
kehidupan manusia.
7.1. Penelitian sebagai Landasan Pengembangan Teori
Setiap teori ilmiah
dibangun atas dasar data empiris yang diperoleh melalui proses penelitian.
Teori tidak muncul dari spekulasi semata, melainkan dari pengamatan sistematis
terhadap fenomena yang dikaji.² Penelitian juga memungkinkan pengujian terhadap
hipotesis, yang pada akhirnya akan memperkuat, merevisi, atau menggugurkan
teori yang ada. Proses ini menjadikan ilmu bersifat self-correcting, yakni
mampu mengoreksi dirinya sendiri secara berkelanjutan.
Karl Popper
menegaskan bahwa teori yang baik adalah teori yang dapat difalsifikasi, yaitu
dapat diuji dan dibantah oleh hasil penelitian.³ Dengan demikian, keberadaan
penelitian sangat menentukan validitas dan kredibilitas sebuah pengetahuan
ilmiah.
7.2. Jenis-Jenis Penelitian dalam Ilmu
Terdapat berbagai
jenis pendekatan dalam penelitian, tergantung pada tujuan dan karakteristik
ilmu yang dikaji:
·
Penelitian
Kuantitatif, berlandaskan pada paradigma positivistik, menggunakan
data numerik, statistik, dan logika deduktif. Pendekatan ini banyak digunakan
dalam ilmu alam dan sosial untuk menjelaskan hubungan antar variabel secara
objektif.⁴
·
Penelitian
Kualitatif, lebih menekankan pada pemahaman mendalam terhadap fenomena
dalam konteks alami, menggunakan metode seperti wawancara, observasi
partisipatif, dan analisis naratif.⁵
·
Penelitian Campuran
(Mixed Methods), menggabungkan elemen-elemen dari pendekatan
kuantitatif dan kualitatif secara simultan untuk memberikan gambaran yang lebih
utuh terhadap suatu fenomena.⁶
Setiap jenis
penelitian memiliki kekuatan dan keterbatasannya masing-masing, dan pemilihan
pendekatan sangat bergantung pada pertanyaan penelitian, tujuan studi, serta
sifat dari objek yang diteliti.
7.3. Hubungan antara Penelitian, Data, dan Teori
Penelitian berfungsi
sebagai jembatan antara dunia realitas empiris dan konstruksi teoretis. Dari
data yang dikumpulkan melalui observasi dan eksperimen, peneliti menyusun
inferensi logis yang dapat dikembangkan menjadi konsep atau teori.⁷
Selanjutnya, teori tersebut digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi
fenomena baru. Di sinilah letak siklus ilmiah yang terus-menerus: dari data ke
teori, dari teori ke penelitian lanjutan, dan kembali ke data.
7.4. Penelitian sebagai Solusi terhadap Masalah Nyata
Dalam konteks
aplikatif, penelitian juga berfungsi sebagai alat pemecahan masalah sosial,
teknologi, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Penelitian terapan
menghasilkan inovasi, teknologi baru, kebijakan publik, dan perbaikan sistem
sosial. Oleh karena itu, keterkaitan antara riset akademik dan kebutuhan
praktis masyarakat menjadi sangat penting.⁸
Lebih dari sekadar
aktivitas akademis, penelitian adalah manifestasi dari tanggung jawab keilmuan
dalam menyumbangkan solusi yang rasional, terukur, dan berdampak bagi
kehidupan. Di sinilah letak urgensi pendidikan riset yang kuat di setiap
jenjang pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 45.
[2]
John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches, 5th ed. (Thousand Oaks:
SAGE, 2018), 56.
[3]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery, trans. Paul Freedman (New
York: Routledge, 2002), 40.
[4]
Neuman, W. Lawrence, Social
Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 145–147.
[5]
Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, The SAGE Handbook of Qualitative Research, 4th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2011), 13.
[6]
Abbas Tashakkori and Charles Teddlie, Mixed Methodology: Combining Qualitative and Quantitative
Approaches (Thousand Oaks: SAGE,
1998), 17.
[7]
Peter Godfrey-Smith, Theory
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 88.
[8]
Zainal Arifin, Metodologi Penelitian
Pendidikan (Surabaya: Lentera
Cendekia, 2011), 9.
8.
Etika dan Tanggung Jawab Ilmuwan
Ilmu pengetahuan
tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral dan etis. Meskipun metode ilmiah
menjunjung tinggi objektivitas, proses dan hasil ilmiah tetap berinteraksi erat
dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, setiap
ilmuwan memiliki tanggung jawab etis yang melekat pada aktivitas
keilmuannya—baik dalam proses penelitian maupun dalam penerapan hasil
temuannya.¹
8.1. Etika dalam Penelitian Ilmiah
Etika penelitian
ilmiah merujuk pada prinsip-prinsip moral yang mengatur bagaimana suatu riset
harus dilakukan secara benar dan bertanggung jawab. Beberapa prinsip dasar
dalam etika penelitian meliputi kejujuran (honesty), integritas (integrity),
objektivitas (objectivity), keterbukaan (openness), dan akuntabilitas
(accountability).²
Kejujuran menjadi
aspek paling mendasar, baik dalam merancang eksperimen, mengumpulkan data,
hingga mempublikasikan hasil penelitian. Pemalsuan data, plagiarisme, atau
manipulasi statistik tidak hanya merusak reputasi ilmuwan, tetapi juga
mencemari integritas ilmu pengetahuan itu sendiri.³ Oleh karena itu, berbagai
institusi penelitian dan jurnal ilmiah internasional menerapkan kode etik dan
standar integritas ilmiah yang ketat untuk menjaga keabsahan riset.
8.2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Tanggung jawab
ilmuwan tidak berhenti pada publikasi ilmiah. Ilmuwan juga memiliki kewajiban
sosial untuk mempertimbangkan dampak dari penemuan dan inovasinya terhadap
masyarakat dan lingkungan.⁴ Sejarah mencatat bagaimana teknologi hasil
penelitian ilmiah dapat digunakan untuk tujuan destruktif, seperti senjata
nuklir, manipulasi genetik tanpa etika, hingga algoritma digital yang
memperkuat ketimpangan sosial. Hal ini menuntut ilmuwan agar tidak hanya
berpikir dalam kerangka teknis, tetapi juga dalam kerangka etis dan humanistik.
Paul T. Durbin
menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus diarahkan untuk memperkuat nilai-nilai
kemanusiaan, bukan hanya sekadar untuk mengejar efisiensi atau kemajuan
teknologi.⁵ Oleh karena itu, pendekatan interdisipliner yang melibatkan filsafat,
etika, dan humaniora sangat penting dalam membimbing arah perkembangan sains.
8.3. Ilmu sebagai Amanah dan Tanggung Jawab Moral
Dalam perspektif
filsafat Islam, ilmu adalah amanah (kepercayaan) yang harus digunakan untuk
kemaslahatan umat manusia.⁶ Konsep ini menekankan bahwa keilmuan bukanlah
sesuatu yang netral, melainkan membawa implikasi moral yang besar. Seorang
ilmuwan bukan hanya pencari kebenaran, tetapi juga penjaga nilai dan penentu
arah perkembangan masyarakat. Dalam konteks ini, sikap rendah hati, tanggung
jawab sosial, dan komitmen pada keadilan menjadi nilai-nilai etis yang harus
diinternalisasi oleh setiap ilmuwan.
8.4. Penguatan Etika Ilmiah dalam Pendidikan
Pendidikan sains dan
penelitian perlu memberikan ruang yang cukup untuk pembelajaran tentang etika
ilmiah. Penanaman kesadaran etis sejak dini akan mendorong terbentuknya
karakter ilmuwan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga
bijaksana secara moral.⁷ Oleh karena itu, pengajaran filsafat ilmu, etika
penelitian, dan tanggung jawab sosial ilmuwan seharusnya menjadi bagian
integral dalam kurikulum pendidikan tinggi.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 102.
[2]
National Academy of Sciences, On
Being a Scientist: A Guide to Responsible Conduct in Research, 3rd ed. (Washington, D.C.: National Academies Press,
2009), 3–5.
[3]
Resnik, David B., “What is Ethics in Research & Why is it
Important?” National Institute of
Environmental Health Sciences, last
modified December 23, 2022, https://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/whatis/index.cfm.
[4]
Sheila Jasanoff, The Ethics of
Invention: Technology and the Human Future (New York: W. W. Norton & Company, 2016), 13.
[5]
Paul T. Durbin, Social Responsibility
in Science, Technology, and Medicine
(Bethlehem: Lehigh University Press, 1992), 35.
[6]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi
Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan, 2006), 112.
[7]
Zainal Arifin, Metodologi Penelitian
Pendidikan (Surabaya: Lentera
Cendekia, 2011), 68.
9.
Tantangan dan Masa Depan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
telah membawa perubahan revolusioner dalam berbagai aspek kehidupan
manusia—dari kemajuan teknologi, transformasi sosial, hingga peningkatan
kualitas hidup. Namun demikian, perkembangan ilmu juga menghadapi berbagai
tantangan fundamental, baik dari sisi internal (metodologis dan epistemologis)
maupun eksternal (sosial, politik, dan etika). Menghadapi abad ke-21 dan
seterusnya, ilmu dituntut tidak hanya untuk terus berinovasi, tetapi juga untuk
merefleksikan arah dan dampaknya terhadap kehidupan umat manusia dan planet
bumi secara keseluruhan.¹
9.1. Tantangan Epistemologis dan Metodologis
Perkembangan sains
modern yang sangat cepat telah menimbulkan fragmentasi ilmu pengetahuan. Ilmu
semakin terspesialisasi dan terkotak-kotakkan sehingga mengurangi kemampuan
untuk memahami realitas secara utuh.² Hal ini menimbulkan kebutuhan akan
pendekatan interdisipliner, multidisipliner,
bahkan transdisipliner,
yang mampu mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan dalam memecahkan masalah
kompleks seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketimpangan global.³
Selain itu,
perkembangan big data, kecerdasan buatan, dan algoritma digital telah mengubah
lanskap metodologi ilmiah. Validitas ilmiah tidak lagi hanya bergantung pada
eksperimen konvensional, melainkan juga pada analisis data dalam skala besar,
yang menuntut pengembangan metode baru dalam epistemologi ilmu.⁴
9.2. Tantangan Etika dan Sosial
Ilmu pengetahuan
saat ini berhadapan dengan dilema etis yang semakin kompleks. Teknologi hasil
penelitian ilmiah dapat menghasilkan dampak ambivalen—baik konstruktif maupun
destruktif. Contohnya adalah teknologi rekayasa genetika, robotika, dan
kecerdasan buatan yang dapat meningkatkan taraf hidup manusia, tetapi sekaligus
menimbulkan ancaman terhadap hak privasi, keadilan sosial, hingga eksistensi
pekerjaan manusia.⁵
Selain itu,
komersialisasi ilmu (science commercialization) dan tekanan industri terhadap
riset akademik dapat mengaburkan tujuan luhur ilmu sebagai pencarian kebenaran.
Banyak ilmuwan dihadapkan pada dilema antara integritas ilmiah dan tuntutan
pasar.⁶ Dalam konteks ini, diperlukan peneguhan kembali etika penelitian dan tanggung
jawab sosial ilmuwan, sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya.
9.3. Ketimpangan Akses terhadap Ilmu
Tantangan besar
lainnya adalah ketimpangan akses terhadap ilmu dan teknologi antara negara maju
dan berkembang. Ketimpangan ini berpotensi memperlebar jurang sosial, ekonomi,
dan kultural di tingkat global. Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi milik
umat manusia secara universal, justru seringkali terkungkung dalam kepentingan
geopolitik dan ekonomi.⁷
Untuk menjawab
tantangan ini, perlu dikembangkan pendekatan yang lebih inklusif dan
kontekstual, termasuk pengakuan terhadap pengetahuan lokal (local
wisdom) dan integrasi ilmu dengan nilai-nilai budaya serta agama dalam
masyarakat.⁸
9.4. Masa Depan Ilmu: Menuju Ilmu yang Humanistik dan
Berkelanjutan
Masa depan ilmu
pengetahuan terletak pada kemampuannya untuk menjadi humanistik—yakni
ilmu yang berpihak pada kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan bumi. Hal ini
sejalan dengan visi “ilmu yang beradab” sebagaimana digagas oleh para
pemikir filsafat ilmu kontemporer, seperti Ziauddin Sardar dan Mulyadhi
Kartanegara, yang menekankan pentingnya mengintegrasikan ilmu dengan nilai
spiritual dan etika global.⁹
Perkembangan
keilmuan masa depan juga ditentukan oleh kemampuan pendidikan tinggi dalam
mencetak ilmuwan yang tidak hanya kompeten secara metodologis, tetapi juga
memiliki kesadaran filosofis dan tanggung jawab moral.¹⁰
Dengan itu, ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi alat untuk menguasai alam,
tetapi juga sarana untuk menjaga kelestarian hidup bersama.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 103.
[2]
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity:
History, Theory, and Practice
(Detroit: Wayne State University Press, 1990), 11–12.
[3]
Helga Nowotny et al., Re-Thinking
Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge: Polity Press, 2001), 48.
[4]
Sabina Leonelli, “Data-Centric Biology and the Logics of Knowledge
Production,” The Journal of the
Philosophy of Science 84, no. 4
(2017): 810–812.
[5]
Sheila Jasanoff, The Ethics of
Invention: Technology and the Human Future (New York: W. W. Norton & Company, 2016), 17.
[6]
Philip Mirowski and Esther-Mirjam Sent, Science Bought and Sold: Essays in the Economics of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2002), 3–6.
[7]
UNESCO, Science Report: Towards
2030 (Paris: United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization, 2015), 85.
[8]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi, dan Etika
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 27–28.
[9]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi
Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan, 2006), 143.
[10]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The
Myth of the Objective (London: Grey
Seal, 1987), 113.
10.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan merupakan hasil tertinggi dari
upaya intelektual manusia dalam memahami realitas secara sistematis, rasional,
dan empiris. Ia tidak hanya hadir sebagai akumulasi informasi, tetapi sebagai
sistem pengetahuan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip logika,
verifikasi, dan objektivitas.¹ Dalam perkembangannya, ilmu telah
diklasifikasikan ke dalam berbagai cabang seperti ilmu formal, empiris,
humaniora, dan terapan, masing-masing dengan pendekatan metodologis dan objek
kajian yang khas.²
Filsafat ilmu memainkan peran penting dalam
menjelaskan fondasi ontologis (apa yang dikaji), epistemologis (bagaimana ilmu
diperoleh), dan aksiologis (untuk apa ilmu digunakan) dari ilmu pengetahuan.³
Aspek-aspek ini menjadikan ilmu tidak hanya sebagai alat penjelas realitas,
tetapi juga sebagai produk refleksi kritis yang harus bertanggung jawab secara
moral dan sosial.⁴ Validitas ilmu pun tidak semata ditentukan oleh akurasi
data, melainkan juga oleh konsistensi logis, relevansi praktis, dan
keterbukaannya terhadap kritik serta falsifikasi.⁵
Penelitian menjadi penggerak utama dalam
perkembangan ilmu. Melalui riset, teori-teori dikembangkan, diuji, dan
dikoreksi secara berkesinambungan.⁶ Berbagai pendekatan seperti kuantitatif,
kualitatif, dan campuran menunjukkan betapa dinamisnya metode ilmiah dalam
menjawab persoalan-persoalan yang kompleks. Dalam proses ini, peneliti dituntut
tidak hanya memiliki kompetensi teknis, tetapi juga integritas etis dan
tanggung jawab sosial.⁷
Di era kontemporer, ilmu pengetahuan menghadapi
tantangan besar: fragmentasi keilmuan, dilema etika teknologi, komersialisasi
riset, dan ketimpangan akses global terhadap ilmu.⁸ Masa depan ilmu terletak
pada kemampuannya untuk menjadi lebih integratif, humanistik, dan berorientasi
pada keberlanjutan.⁹ Visi ilmu tidak cukup berhenti pada efisiensi dan
produktivitas, tetapi harus diarahkan untuk menciptakan keadilan, keseimbangan
ekologis, dan peningkatan martabat manusia.
Sebagaimana dinyatakan oleh Mulyadhi Kartanegara,
ilmu pengetahuan seharusnya dikembangkan tidak hanya berdasarkan rasio dan
observasi, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai spiritual dan etika.¹⁰ Dengan
demikian, ilmu dapat berfungsi secara utuh sebagai cahaya bagi kemajuan umat
manusia yang adil, beradab, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 71.
[2]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1996), 40–45.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), 2–3.
[4]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An
Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago
Press, 2003), 91.
[5]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery, trans. Paul Freedman (New York: Routledge, 2002), 40–42.
[6]
John W. Creswell and J. David Creswell, Research
Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed.
(Thousand Oaks: SAGE, 2018), 56.
[7]
National Academy of Sciences, On Being a
Scientist: A Guide to Responsible Conduct in Research, 3rd ed. (Washington,
D.C.: National Academies Press, 2009), 4–6.
[8]
Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention:
Technology and the Human Future (New York: W. W. Norton & Company,
2016), 22.
[9]
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity:
History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press,
1990), 13–15.
[10]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2006), 139.
Daftar Pustaka
Amin Abdullah, M. (2012). Islam
sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. New York: Dover Publications.
Bakhtiar, A. (2006). Filsafat
ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Brey, P. (2008). Ethics of
emerging technologies. In L. Floridi (Ed.), The Oxford handbook of
information and computer ethics (pp. 213–232). Oxford: Oxford University
Press.
Bryman, A. (2016). Social
research methods (5th ed.). Oxford: Oxford University Press.
Capra, F. (2000). The
Tao of physics: An exploration of the parallels between modern physics and
Eastern mysticism (4th ed.). Boston: Shambhala.
Comte, A. (1858). The
positive philosophy (H. Martineau, Trans.). New York: Calvin Blanchard.
Creswell, J. W., &
Creswell, J. D. (2018). Research design: Qualitative, quantitative, and
mixed methods approaches (5th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE.
Denzin, N. K., &
Lincoln, Y. S. (Eds.). (2011). The SAGE handbook of qualitative research
(4th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE.
Durbin, P. T. (1992). Social
responsibility in science, technology, and medicine. Bethlehem, PA: Lehigh
University Press.
Fraenkel, J. R., Wallen, N.
E., & Hyun, H. H. (2012). How to design and evaluate research in
education (8th ed.). New York: McGraw-Hill.
Godfrey-Smith, P. (2003). Theory
and reality: An introduction to the philosophy of science. Chicago:
University of Chicago Press.
Jasanoff, S. (2016). The
ethics of invention: Technology and the human future. New York: W. W.
Norton & Company.
Kartanegara, M. (2006). Integrasi
ilmu: Sebuah rekonstruksi holistik. Bandung: Mizan.
Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity:
History, theory, and practice. Detroit: Wayne State University Press.
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance
thought and its sources. New York: Columbia University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The
structure of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of
Chicago Press.
Leonelli, S. (2017).
Data-centric biology and the logics of knowledge production. Journal of the
Philosophy of Science, 84(4), 810–812.
Mirowski, P., & Sent,
E.-M. (Eds.). (2002). Science bought and sold: Essays in the economics of
science. Chicago: University of Chicago Press.
National Academy of
Sciences. (2009). On being a scientist: A guide to responsible conduct in
research (3rd ed.). Washington, DC: National Academies Press.
Neuman, W. L. (2011). Social
research methods: Qualitative and quantitative approaches (7th ed.).
Boston: Pearson.
Nowotny, H., Scott, P.,
& Gibbons, M. (2001). Re-thinking science: Knowledge and the public in
an age of uncertainty. Cambridge: Polity Press.
Popper, K. R. (2002). The
logic of scientific discovery (P. Freedman, Trans.). New York: Routledge.
(Original work published 1959)
Resnik, D. B. (2022,
December 23). What is ethics in research & why is it important? National
Institute of Environmental Health Sciences. https://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/whatis/index.cfm
Rosenberg, A. (2008). Philosophy
of social science (3rd ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Sardar, Z. (1987). Islamic
science: The myth of the objective. London: Grey Seal.
Sugiyono. (2018). Metode
penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suriasumantri, J. S.
(1999). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Suriasumantri, J. S.
(2005). Ilmu dalam perspektif: Sebuah kumpulan karangan tentang hakikat
ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Swinburne, R. (2001). Epistemic
justification. Oxford: Oxford University Press.
Tashakkori, A., &
Teddlie, C. (1998). Mixed methodology: Combining qualitative and
quantitative approaches. Thousand Oaks, CA: SAGE.
Tafsir, A. (2006). Filsafat
ilmu: Menguak hakikat ilmu dan ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat dan
Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
The Liang Gie. (1996). Pengantar
filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty.
UNESCO. (2015). Science
report: Towards 2030. Paris: United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization.
Weber, M. (1978). Economy
and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C.
Wittich, Eds.). Berkeley: University of California Press.
Zainal Arifin. (2011). Metodologi
penelitian pendidikan. Surabaya: Lentera Cendekia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar