Minggu, 08 Desember 2024

Ilmu Pengetahuan: Hakikat, Cabang, dan Validitasnya dalam Perspektif Filsafat dan Metodologi

Ilmu Pengetahuan

Hakikat, Cabang, dan Validitasnya dalam Perspektif Filsafat dan Metodologi


Alihkan ke: Philosophy is the Mother of all Sciences.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif hakikat, cabang-cabang, dan validitas ilmu pengetahuan melalui pendekatan filsafat ilmu dan metodologi ilmiah. Dengan mengkaji dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis, artikel ini menekankan bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi informasi, tetapi merupakan sistem pengetahuan yang disusun secara rasional, sistematis, dan dapat diuji secara empiris. Penelitian ilmiah dijelaskan sebagai instrumen utama dalam pengembangan dan pengujian teori, sementara pendekatan-pendekatan ilmiah seperti kuantitatif, kualitatif, dan campuran ditelaah dalam konteks paradigma ilmiah yang berbeda. Selain itu, artikel ini menyoroti pentingnya etika dan tanggung jawab ilmuwan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti fragmentasi ilmu, dilema etis teknologi, dan ketimpangan akses terhadap pengetahuan. Di tengah dinamika global dan kompleksitas zaman, artikel ini merekomendasikan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersifat integratif, humanistik, dan berkelanjutan agar ilmu dapat terus berkontribusi bagi kemajuan peradaban manusia secara adil dan beradab.

Kata Kunci: Ilmu pengetahuan, filsafat ilmu, validitas ilmiah, paradigma, metodologi penelitian, etika ilmuwan, masa depan sains.


PEMBAHASAN

Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat dan Metodologi


1.           Pendahuluan

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu tonggak utama dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Sejak awal peradaban, manusia telah menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap upaya memahami alam semesta, kehidupan, serta dirinya sendiri melalui pengamatan, penalaran, dan eksperimen. Dalam perjalanan sejarahnya, ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi sarana pemahaman, tetapi juga menjadi fondasi bagi kemajuan teknologi, transformasi sosial, dan reformasi budaya.

Menurut Karl R. Popper, ilmu pengetahuan berkembang melalui proses pemalsuan (falsifikasi) terhadap teori-teori yang ada, bukan sekadar verifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu bersifat terbuka terhadap pengujian kritis dan senantiasa mengalami penyempurnaan melalui koreksi terhadap kesalahan masa lalu.¹ Sementara itu, Thomas Kuhn memandang perkembangan ilmu sebagai sebuah revolusi paradigma, di mana kerangka berpikir ilmiah dapat berubah secara drastis ketika muncul anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh paradigma lama.²

Di era modern ini, ilmu pengetahuan telah berkembang menjadi suatu sistem yang sangat kompleks, mencakup berbagai cabang dan metodologi, serta dipengaruhi oleh beragam pandangan filsafat. Filsafat ilmu berperan penting dalam membedah dasar-dasar ontologis (hakikat realitas yang ditelaah), epistemologis (cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (nilai-nilai yang melandasi dan mengarahkan penggunaan ilmu). Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri secara netral, melainkan selalu berada dalam konteks nilai dan tanggung jawab moral.³

Relevansi pembahasan ilmu pengetahuan semakin penting ketika dunia dihadapkan pada tantangan global seperti krisis iklim, ketimpangan sosial, dan perkembangan teknologi berbasis kecerdasan buatan. Dalam situasi ini, pemahaman yang mendalam tentang hakikat, validitas, dan tanggung jawab etis dari ilmu pengetahuan menjadi kebutuhan mendesak. Dengan memahami fondasi keilmuan secara filosofis dan metodologis, kita tidak hanya mampu menggunakan ilmu secara teknis, tetapi juga mampu mempertanyakan dan mengarahkannya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis dan mendalam tentang hakikat ilmu pengetahuan, cabang-cabangnya, serta validitasnya berdasarkan pendekatan filsafat ilmu dan metodologi ilmiah. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kerangka pemahaman yang utuh tentang bagaimana ilmu terbentuk, bekerja, dan berperan dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. dari edisi Jerman oleh Paul Freedman (New York: Routledge, 2002), 33–35.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 66–91.

[3]                Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 58.


2.           Definisi Ilmu Pengetahuan

Secara etimologis, istilah ilmu berasal dari bahasa Arab "al-‘ilm" yang berarti pengetahuan atau pemahaman. Sementara dalam bahasa Latin, kata scientia (dari kata kerja scire) berarti “mengetahui.” Kedua istilah tersebut mengandung makna mendalam tentang usaha manusia untuk memahami realitas secara rasional dan sistematis.¹

Dalam konteks terminologi, ilmu pengetahuan (science) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, berdasarkan observasi, eksperimen, penalaran logis, dan dapat diuji kebenarannya melalui metode ilmiah.² Paul Oskar Kristeller menyatakan bahwa ilmu adalah “usaha sistematis untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia berdasarkan fakta-fakta yang dapat diverifikasi.”³ Dengan demikian, ilmu tidak sekadar bersifat spekulatif, tetapi menuntut adanya dasar empiris yang dapat diuji oleh siapa pun dalam kondisi yang sama.

Beberapa ahli membedakan antara “pengetahuan biasa” (common knowledge) dan “ilmu pengetahuan” (scientific knowledge). Pengetahuan biasa seringkali diperoleh secara intuitif, turun-temurun, atau berdasarkan pengalaman subjektif tanpa melalui prosedur ilmiah yang terstruktur. Sebaliknya, ilmu pengetahuan mensyaratkan adanya sistematika, metodologi, dan validitas logis-empiris.⁴

Sementara itu, filsafat ilmu memberikan penekanan pada dimensi epistemologis dalam mendefinisikan ilmu pengetahuan. Menurut The Liang Gie, ilmu adalah “pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu di alam semesta.”_⁵ Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan lahir bukan semata-mata dari akumulasi informasi, tetapi dari proses berpikir kritis dan terstruktur.

Definisi ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari upaya manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang realitas. Karena itu, ilmu memiliki fungsi ganda: sebagai instrumen untuk menjelaskan dunia serta sebagai panduan dalam membuat keputusan rasional.⁶ Dalam era modern, ilmu juga mengalami ekspansi makna, tidak hanya mencakup ilmu-ilmu alam (natural sciences), tetapi juga ilmu sosial, humaniora, dan bahkan studi interdisipliner yang memadukan berbagai pendekatan.

Dengan demikian, definisi ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran dan peradaban manusia. Namun, secara esensial, ilmu selalu mengacu pada pengetahuan yang terorganisasi, metodis, dan terbuka terhadap pengujian serta pembuktian rasional dan empiris.


Footnotes

[1]                Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu, dan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Barat dan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 3.

[2]                Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2018), 4–5.

[3]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 15.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 22.

[5]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 21.

[6]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 17.


3.           Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan sebagai bentuk pengetahuan yang khas memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari pengetahuan biasa, kepercayaan, atau mitos. Ciri-ciri ini menjadi fondasi utama bagi keabsahan ilmu sebagai alat untuk memahami, menjelaskan, dan memprediksi realitas secara sistematis.

3.1.       Rasional

Ilmu pengetahuan bersandar pada akal sehat dan logika. Proses perumusannya didasarkan pada penalaran logis dan deduktif atau induktif yang bisa ditelusuri secara rasional. Jujun S. Suriasumantri menegaskan bahwa suatu pengetahuan dapat dikatakan ilmiah bila mampu dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak hanya bergantung pada intuisi atau dogma.¹

3.2.       Empiris

Ilmu bersumber dari pengalaman dan pengamatan langsung terhadap objek yang dikaji. Pengetahuan ilmiah diperoleh melalui metode observasi dan eksperimen yang dapat diulang dan dibuktikan secara konkret.² Dengan pendekatan empiris ini, ilmu menjadi bersifat objektif dan tidak sekadar bersandar pada spekulasi atau asumsi belaka.

3.3.       Sistematis

Ilmu disusun secara teratur berdasarkan suatu kerangka berpikir yang logis dan terstruktur. Keteraturan ini menjadikan setiap bagian dalam ilmu memiliki hubungan satu sama lain, mulai dari pengumpulan data, penyusunan hipotesis, hingga penyimpulan hasil.³ Struktur sistematis ini memungkinkan ilmu berkembang secara kumulatif dan progresif.

3.4.       Objektif

Objektivitas berarti bahwa ilmu bebas dari prasangka pribadi, emosi, atau nilai-nilai subyektif peneliti. Pengetahuan ilmiah harus bisa diuji dan diverifikasi oleh siapa pun dalam kondisi yang sama. Oleh karena itu, ilmu harus dapat diterima oleh komunitas ilmiah secara umum.⁴

3.5.       Metodis

Setiap proses dalam kegiatan ilmiah dilakukan dengan mengikuti metode tertentu yang telah disepakati dalam dunia akademik. Penggunaan metode ilmiah (scientific method) seperti observasi, perumusan masalah, hipotesis, eksperimen, dan penarikan kesimpulan menjadikan ilmu bersifat sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.⁵

3.6.       Universal

Pengetahuan ilmiah bersifat universal, artinya kebenaran ilmiah berlaku di mana saja dan kapan saja, selama kondisi dan variabelnya sama. Kebenaran ilmu tidak dibatasi oleh wilayah geografis atau budaya tertentu, meskipun penggunaannya dapat beradaptasi dengan konteks lokal.⁶

3.7.       Kumulatif

Ilmu pengetahuan bersifat berkembang dan memperkaya diri melalui koreksi dan penyempurnaan atas teori-teori sebelumnya. Pengetahuan ilmiah tidak bersifat final dan selalu terbuka untuk diuji ulang, diperbaiki, bahkan digantikan oleh teori yang lebih baik dan lebih sesuai dengan temuan empiris baru.⁷

Dengan mengakui dan memahami ciri-ciri ini, kita dapat membedakan antara ilmu pengetahuan yang sahih dan bentuk pengetahuan lainnya. Ciri-ciri ini juga membantu menjaga integritas dan objektivitas ilmu dalam memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan umat manusia.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 71.

[2]                Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2018), 10.

[3]                Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu dan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Barat dan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 25.

[4]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 29.

[5]                Zainal Arifin, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: Lentera Cendekia, 2011), 14.

[6]                J. R. Fraenkel, Norman E. Wallen, and Helen H. Hyun, How to Design and Evaluate Research in Education, 8th ed. (New York: McGraw-Hill, 2012), 22.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 52.


4.           Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan berkembang menjadi berbagai cabang sebagai respons terhadap kompleksitas realitas dan keragaman objek kajian. Klasifikasi cabang-cabang ilmu dilakukan agar setiap bidang dapat dikaji secara lebih mendalam dengan pendekatan yang sesuai. Secara umum, para ilmuwan dan filsuf ilmu membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga kelompok besar: ilmu formal, ilmu empiris, dan ilmu terapan.¹

4.1.       Ilmu Formal

Ilmu formal adalah ilmu yang objek kajiannya bersifat abstrak dan tidak berhubungan langsung dengan kenyataan empiris. Ia menggunakan sistem simbolik yang logis dan konsisten secara internal. Contoh utama dari ilmu formal adalah matematika dan logika.² Dalam ilmu formal, kebenaran diperoleh melalui pembuktian deduktif, bukan dari pengamatan langsung. Misalnya, dalam matematika, suatu teorema dianggap benar jika dapat diturunkan secara logis dari aksioma-aksioma yang telah diterima.

4.2.       Ilmu Empiris

Ilmu empiris mengkaji fenomena nyata yang dapat diamati dan diuji secara langsung melalui pengalaman inderawi. Cabang ini terbagi menjadi dua subkategori besar:

·                     Ilmu Alam (Natural Sciences)

Mempelajari gejala-gejala alam yang bersifat fisik, biologis, dan kimiawi. Termasuk dalam kelompok ini adalah fisika, kimia, biologi, astronomi, dan geologi. Ilmu alam berusaha menjelaskan hukum-hukum alam yang bersifat universal melalui pendekatan eksperimental dan kuantitatif.³

·                     Ilmu Sosial (Social Sciences)

Mempelajari manusia sebagai makhluk sosial, baik dalam individu maupun kelompok. Cabang-cabangnya antara lain sosiologi, antropologi, ekonomi, psikologi sosial, dan ilmu politik.⁴ Ilmu sosial sering kali menggunakan pendekatan gabungan antara kuantitatif dan kualitatif, karena objek kajiannya bersifat kompleks dan dinamis.

4.3.       Ilmu Humaniora

Meskipun sering diperdebatkan statusnya sebagai “ilmu” dalam pengertian empiris, ilmu humaniora memegang peran penting dalam pemahaman makna, nilai, dan ekspresi manusia. Termasuk di dalamnya adalah filsafat, sejarah, sastra, bahasa, dan teologi. Ilmu humaniora lebih menekankan interpretasi dan refleksi kritis daripada eksperimen.⁵

4.4.       Ilmu Terapan (Applied Sciences)

Ilmu terapan merupakan cabang ilmu yang memanfaatkan hasil temuan dari ilmu dasar (formal atau empiris) untuk tujuan praktis dalam kehidupan. Contohnya adalah teknologi, kedokteran, pertanian, dan rekayasa teknik.⁶ Dalam hal ini, ilmu tidak hanya menjadi alat untuk memahami, tetapi juga untuk mengubah realitas demi kepentingan manusia.

4.5.       Ilmu Interdisipliner dan Multidisipliner

Perkembangan zaman juga mendorong munculnya ilmu-ilmu baru yang bersifat interdisipliner, seperti bioteknologi, neuropsikologi, linguistik komputasional, atau environmental science. Bidang-bidang ini menggabungkan dua atau lebih disiplin ilmu untuk menjawab persoalan kompleks yang tidak bisa ditangani oleh satu pendekatan tunggal.⁷

Klasifikasi cabang ilmu ini tidak bersifat kaku, melainkan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan kebutuhan pengetahuan dan problematika global. Pengelompokan ini bertujuan memudahkan pemahaman terhadap objek kajian ilmu, serta mendukung perkembangan metodologi yang relevan dalam masing-masing cabang tersebut.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 37.

[2]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 40.

[3]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 19.

[4]                Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 25–26.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 9–11.

[6]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New York: Routledge, 1998), 112.

[7]                Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 5–6.


5.           Filsafat Ilmu dan Validitas Ilmu Pengetahuan

Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang secara khusus mempelajari dasar-dasar filosofis dari ilmu pengetahuan. Ia mengkaji pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa itu ilmu? Bagaimana ilmu diperoleh? Apa yang membedakan ilmu dari bentuk pengetahuan lain? Sejauh mana kebenaran ilmiah dapat dipercaya? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, filsafat ilmu berperan sebagai fondasi konseptual bagi ilmu pengetahuan, dengan menganalisis dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari ilmu.¹

5.1.       Dimensi Ontologis

Dimensi ontologi dalam filsafat ilmu berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat realitas yang dikaji oleh ilmu pengetahuan.² Ontologi berusaha menjawab: apa yang dianggap sebagai “real” dalam ilmu? Misalnya, dalam ilmu alam, realitas dipahami sebagai materi dan energi, sementara dalam ilmu sosial, realitas dapat berupa tindakan sosial, struktur masyarakat, atau nilai-nilai budaya.³ Pandangan ontologis ini memengaruhi metode pendekatan yang digunakan dalam riset ilmiah.

5.2.       Dimensi Epistemologis

Epistemologi adalah kajian tentang asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Dalam konteks filsafat ilmu, epistemologi menjadi pusat perhatian karena menyangkut bagaimana ilmu dibangun, bagaimana kebenaran diuji, dan bagaimana justifikasi ilmiah dilakukan.⁴ Ada dua pendekatan utama yang memengaruhi epistemologi ilmu, yaitu rasionalisme (kebenaran diperoleh melalui akal/logika) dan empirisme (kebenaran diperoleh melalui pengalaman dan observasi).⁵ Positivisme logis, sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat ilmu abad ke-20, menekankan bahwa suatu proposisi ilmiah harus dapat diverifikasi secara empiris agar dianggap bermakna.⁶

Karl Popper mengkritik pendekatan verifikasionisme ini dan mengusulkan falsifikasi sebagai kriteria validitas ilmu. Menurutnya, sebuah teori ilmiah harus dapat diuji dan terbuka untuk dibantah; jika tidak bisa difalsifikasi, maka teori tersebut tidak ilmiah.⁷ Pendekatan Popper menekankan bahwa kebenaran ilmiah bersifat sementara dan revisibel, bukan absolut.

5.3.       Dimensi Aksiologis

Dimensi aksiologi membahas nilai-nilai yang mendasari dan mengarahkan kegiatan ilmiah. Ini mencakup pertanyaan tentang tujuan ilmu, tanggung jawab moral ilmuwan, serta implikasi sosial dari penerapan ilmu pengetahuan.⁸ Ilmu bukan hanya alat untuk memahami alam dan masyarakat, tetapi juga memiliki dampak etis terhadap kehidupan manusia. Misalnya, riset di bidang bioteknologi atau kecerdasan buatan harus mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, keberlanjutan, dan keadilan sosial.⁹

5.4.       Validitas Ilmu Pengetahuan

Validitas dalam konteks ilmu pengetahuan mengacu pada sejauh mana suatu pengetahuan ilmiah dapat dianggap benar, dapat dipercaya, dan relevan. Validitas ini diperoleh melalui koherensi logis, korespondensi dengan fakta empiris, dan relevansi pragmatis.¹⁰ Sebuah teori dikatakan valid jika secara logis konsisten, terbukti secara empiris, dan dapat diterapkan dalam praktik untuk memecahkan masalah nyata. Dalam metodologi penelitian, validitas juga terkait dengan validitas internal (kekuatan logika inferensi dalam riset) dan validitas eksternal (keterterapan hasil riset di luar konteks studi).¹¹

Filsafat ilmu dengan demikian tidak hanya menyediakan kerangka untuk memahami hakikat dan batas-batas ilmu, tetapi juga membekali ilmuwan dengan sikap kritis dan tanggung jawab terhadap penggunaan ilmu. Validitas ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak, melainkan selalu terbuka terhadap kritik dan revisi, sebagaimana ilmu itu sendiri merupakan proses dinamis yang terus berkembang.


Footnotes

[1]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 2.

[2]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 58.

[3]                Alex Rosenberg, Philosophy of Social Science, 3rd ed. (Boulder: Westview Press, 2008), 13–14.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 5.

[5]                Richard Swinburne, Epistemic Justification (Oxford: Oxford University Press, 2001), 22.

[6]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 36.

[7]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Paul Freedman (New York: Routledge, 2002), 40–42.

[8]                Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 102.

[9]                Philip Brey, “Ethics of Emerging Technologies,” in The Oxford Handbook of Information and Computer Ethics, ed. L. Floridi (Oxford: Oxford University Press, 2008), 213.

[10]             Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 71.

[11]             John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2018), 206.


6.           Paradigma dan Pendekatan dalam Ilmu Pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari perubahan paradigma dan pendekatan ilmiah yang melandasinya. Paradigma dalam konteks filsafat ilmu merujuk pada kerangka berpikir menyeluruh yang mencakup asumsi dasar, nilai-nilai, dan metode yang digunakan dalam penelitian. Istilah "paradigma" dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, di mana ia menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang tidak secara linear, tetapi melalui pergantian paradigma ilmiah yang disebut “revolusi ilmiah.”_¹

6.1.       Pengertian Paradigma Ilmiah

Kuhn mendefinisikan paradigma sebagai keseluruhan nilai, teknik, dan kepercayaan yang dianut oleh komunitas ilmiah tertentu dalam kurun waktu tertentu. Dalam masa “ilmu normal”, para ilmuwan bekerja dalam kerangka paradigma yang mapan. Namun, saat terjadi akumulasi anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh paradigma lama, muncullah krisis yang mengarah pada revolusi ilmiah dan lahirnya paradigma baru.²

Paradigma ilmiah tidak hanya mencakup isi pengetahuan, tetapi juga metode penelitian dan cara pandang terhadap realitas. Oleh karena itu, perubahan paradigma dapat mengubah cara ilmuwan memahami objek kajiannya secara mendasar.³

6.2.       Pendekatan dalam Ilmu Pengetahuan

Dalam praktiknya, ilmu pengetahuan berkembang melalui berbagai pendekatan ilmiah, yang dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan. Dua pendekatan utama yang mendominasi dunia ilmu adalah:

·                     Pendekatan Positivistik (Kuantitatif)

Pendekatan ini berpijak pada paradigma positivisme yang menganggap bahwa realitas bersifat objektif dan dapat diukur secara empiris. Ciri khas pendekatan ini adalah penggunaan metode deduktif, instrumen statistik, serta fokus pada hubungan kausal. Penelitian dengan pendekatan ini menekankan pengendalian variabel dan generalisasi hasil.⁴ Auguste Comte sebagai pelopor positivisme menyatakan bahwa ilmu harus berlandaskan pada observasi dan eksperimen yang terukur.⁵

·                     Pendekatan Interpretatif (Kualitatif)

Berbeda dari positivisme, pendekatan ini berlandaskan pada paradigma konstruktivisme yang melihat realitas sebagai hasil konstruksi sosial. Pengetahuan dipandang sebagai produk interaksi antara subjek dan objek. Penelitian interpretatif menekankan pemahaman mendalam terhadap makna dan konteks sosial suatu fenomena.⁶ Max Weber adalah salah satu tokoh awal yang menekankan pentingnya “verstehen” (pemahaman) dalam ilmu sosial.⁷

Selain dua pendekatan utama tersebut, muncul pula pendekatan mixed methods, yaitu gabungan antara kuantitatif dan kualitatif untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Pendekatan ini berkembang dalam paradigma pragmatik, yang menekankan kegunaan metode untuk menjawab pertanyaan penelitian secara efektif.⁸

6.3.       Perubahan Paradigma dalam Ilmu Alam dan Sosial

Dalam ilmu alam, perubahan paradigma yang signifikan dapat dilihat dalam peralihan dari paradigma Newtonian (mekanistik dan deterministik) ke paradigma Einsteinian (relativistik dan probabilistik). Hal ini mencerminkan bagaimana pemahaman terhadap realitas fisik dapat berubah secara radikal seiring dengan penemuan dan pergeseran teori.⁹

Sementara itu, dalam ilmu sosial, pergeseran paradigma mencakup transisi dari positivisme klasik ke konstruktivisme, kritisisme, hingga postmodernisme. Setiap paradigma menawarkan perspektif yang berbeda tentang realitas sosial, metode penelitian, dan posisi peneliti dalam proses ilmiah.¹⁰

Dengan demikian, paradigma dan pendekatan dalam ilmu pengetahuan merupakan aspek fundamental yang membentuk cara berpikir ilmiah. Kesadaran akan paradigma yang digunakan memungkinkan ilmuwan untuk bersikap reflektif, terbuka terhadap alternatif metodologis, dan mampu memahami ilmu sebagai proses dinamis yang selalu berkembang.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[2]                Ibid., 66–91.

[3]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 80–82.

[4]                John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2018), 19–22.

[5]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (New York: Calvin Blanchard, 1858), 25.

[6]                Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, The SAGE Handbook of Qualitative Research, 4th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2011), 12–14.

[7]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 4.

[8]                Abbas Tashakkori and Charles Teddlie, Mixed Methodology: Combining Qualitative and Quantitative Approaches (Thousand Oaks: SAGE, 1998), 5–6.

[9]                Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels Between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 2000), 56.

[10]             Alan Bryman, Social Research Methods, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2016), 19–20.


7.           Peran Penelitian dalam Pengembangan Ilmu

Penelitian merupakan jantung dari proses ilmiah. Melalui penelitian, ilmu pengetahuan tidak hanya dijaga keberlangsungannya, tetapi juga terus berkembang secara dinamis dan progresif. Penelitian berfungsi sebagai alat utama untuk menemukan, membuktikan, menguji, dan memverifikasi teori-teori ilmiah.¹ Dengan kata lain, penelitian menjadi sarana utama bagi ilmu untuk terus menyesuaikan diri dengan kompleksitas realitas serta menjawab tantangan-tantangan baru yang muncul dalam kehidupan manusia.

7.1.       Penelitian sebagai Landasan Pengembangan Teori

Setiap teori ilmiah dibangun atas dasar data empiris yang diperoleh melalui proses penelitian. Teori tidak muncul dari spekulasi semata, melainkan dari pengamatan sistematis terhadap fenomena yang dikaji.² Penelitian juga memungkinkan pengujian terhadap hipotesis, yang pada akhirnya akan memperkuat, merevisi, atau menggugurkan teori yang ada. Proses ini menjadikan ilmu bersifat self-correcting, yakni mampu mengoreksi dirinya sendiri secara berkelanjutan.

Karl Popper menegaskan bahwa teori yang baik adalah teori yang dapat difalsifikasi, yaitu dapat diuji dan dibantah oleh hasil penelitian.³ Dengan demikian, keberadaan penelitian sangat menentukan validitas dan kredibilitas sebuah pengetahuan ilmiah.

7.2.       Jenis-Jenis Penelitian dalam Ilmu

Terdapat berbagai jenis pendekatan dalam penelitian, tergantung pada tujuan dan karakteristik ilmu yang dikaji:

·                     Penelitian Kuantitatif, berlandaskan pada paradigma positivistik, menggunakan data numerik, statistik, dan logika deduktif. Pendekatan ini banyak digunakan dalam ilmu alam dan sosial untuk menjelaskan hubungan antar variabel secara objektif.⁴

·                     Penelitian Kualitatif, lebih menekankan pada pemahaman mendalam terhadap fenomena dalam konteks alami, menggunakan metode seperti wawancara, observasi partisipatif, dan analisis naratif.⁵

·                     Penelitian Campuran (Mixed Methods), menggabungkan elemen-elemen dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara simultan untuk memberikan gambaran yang lebih utuh terhadap suatu fenomena.⁶

Setiap jenis penelitian memiliki kekuatan dan keterbatasannya masing-masing, dan pemilihan pendekatan sangat bergantung pada pertanyaan penelitian, tujuan studi, serta sifat dari objek yang diteliti.

7.3.       Hubungan antara Penelitian, Data, dan Teori

Penelitian berfungsi sebagai jembatan antara dunia realitas empiris dan konstruksi teoretis. Dari data yang dikumpulkan melalui observasi dan eksperimen, peneliti menyusun inferensi logis yang dapat dikembangkan menjadi konsep atau teori.⁷ Selanjutnya, teori tersebut digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena baru. Di sinilah letak siklus ilmiah yang terus-menerus: dari data ke teori, dari teori ke penelitian lanjutan, dan kembali ke data.

7.4.       Penelitian sebagai Solusi terhadap Masalah Nyata

Dalam konteks aplikatif, penelitian juga berfungsi sebagai alat pemecahan masalah sosial, teknologi, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Penelitian terapan menghasilkan inovasi, teknologi baru, kebijakan publik, dan perbaikan sistem sosial. Oleh karena itu, keterkaitan antara riset akademik dan kebutuhan praktis masyarakat menjadi sangat penting.⁸

Lebih dari sekadar aktivitas akademis, penelitian adalah manifestasi dari tanggung jawab keilmuan dalam menyumbangkan solusi yang rasional, terukur, dan berdampak bagi kehidupan. Di sinilah letak urgensi pendidikan riset yang kuat di setiap jenjang pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 45.

[2]                John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2018), 56.

[3]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Paul Freedman (New York: Routledge, 2002), 40.

[4]                Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 145–147.

[5]                Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, The SAGE Handbook of Qualitative Research, 4th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2011), 13.

[6]                Abbas Tashakkori and Charles Teddlie, Mixed Methodology: Combining Qualitative and Quantitative Approaches (Thousand Oaks: SAGE, 1998), 17.

[7]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 88.

[8]                Zainal Arifin, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: Lentera Cendekia, 2011), 9.


8.           Etika dan Tanggung Jawab Ilmuwan

Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral dan etis. Meskipun metode ilmiah menjunjung tinggi objektivitas, proses dan hasil ilmiah tetap berinteraksi erat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, setiap ilmuwan memiliki tanggung jawab etis yang melekat pada aktivitas keilmuannya—baik dalam proses penelitian maupun dalam penerapan hasil temuannya.¹

8.1.       Etika dalam Penelitian Ilmiah

Etika penelitian ilmiah merujuk pada prinsip-prinsip moral yang mengatur bagaimana suatu riset harus dilakukan secara benar dan bertanggung jawab. Beberapa prinsip dasar dalam etika penelitian meliputi kejujuran (honesty), integritas (integrity), objektivitas (objectivity), keterbukaan (openness), dan akuntabilitas (accountability).²

Kejujuran menjadi aspek paling mendasar, baik dalam merancang eksperimen, mengumpulkan data, hingga mempublikasikan hasil penelitian. Pemalsuan data, plagiarisme, atau manipulasi statistik tidak hanya merusak reputasi ilmuwan, tetapi juga mencemari integritas ilmu pengetahuan itu sendiri.³ Oleh karena itu, berbagai institusi penelitian dan jurnal ilmiah internasional menerapkan kode etik dan standar integritas ilmiah yang ketat untuk menjaga keabsahan riset.

8.2.       Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Tanggung jawab ilmuwan tidak berhenti pada publikasi ilmiah. Ilmuwan juga memiliki kewajiban sosial untuk mempertimbangkan dampak dari penemuan dan inovasinya terhadap masyarakat dan lingkungan.⁴ Sejarah mencatat bagaimana teknologi hasil penelitian ilmiah dapat digunakan untuk tujuan destruktif, seperti senjata nuklir, manipulasi genetik tanpa etika, hingga algoritma digital yang memperkuat ketimpangan sosial. Hal ini menuntut ilmuwan agar tidak hanya berpikir dalam kerangka teknis, tetapi juga dalam kerangka etis dan humanistik.

Paul T. Durbin menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus diarahkan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan hanya sekadar untuk mengejar efisiensi atau kemajuan teknologi.⁵ Oleh karena itu, pendekatan interdisipliner yang melibatkan filsafat, etika, dan humaniora sangat penting dalam membimbing arah perkembangan sains.

8.3.       Ilmu sebagai Amanah dan Tanggung Jawab Moral

Dalam perspektif filsafat Islam, ilmu adalah amanah (kepercayaan) yang harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia.⁶ Konsep ini menekankan bahwa keilmuan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan membawa implikasi moral yang besar. Seorang ilmuwan bukan hanya pencari kebenaran, tetapi juga penjaga nilai dan penentu arah perkembangan masyarakat. Dalam konteks ini, sikap rendah hati, tanggung jawab sosial, dan komitmen pada keadilan menjadi nilai-nilai etis yang harus diinternalisasi oleh setiap ilmuwan.

8.4.       Penguatan Etika Ilmiah dalam Pendidikan

Pendidikan sains dan penelitian perlu memberikan ruang yang cukup untuk pembelajaran tentang etika ilmiah. Penanaman kesadaran etis sejak dini akan mendorong terbentuknya karakter ilmuwan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara moral.⁷ Oleh karena itu, pengajaran filsafat ilmu, etika penelitian, dan tanggung jawab sosial ilmuwan seharusnya menjadi bagian integral dalam kurikulum pendidikan tinggi.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 102.

[2]                National Academy of Sciences, On Being a Scientist: A Guide to Responsible Conduct in Research, 3rd ed. (Washington, D.C.: National Academies Press, 2009), 3–5.

[3]                Resnik, David B., “What is Ethics in Research & Why is it Important?” National Institute of Environmental Health Sciences, last modified December 23, 2022, https://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/whatis/index.cfm.

[4]                Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention: Technology and the Human Future (New York: W. W. Norton & Company, 2016), 13.

[5]                Paul T. Durbin, Social Responsibility in Science, Technology, and Medicine (Bethlehem: Lehigh University Press, 1992), 35.

[6]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2006), 112.

[7]                Zainal Arifin, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: Lentera Cendekia, 2011), 68.


9.           Tantangan dan Masa Depan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan telah membawa perubahan revolusioner dalam berbagai aspek kehidupan manusia—dari kemajuan teknologi, transformasi sosial, hingga peningkatan kualitas hidup. Namun demikian, perkembangan ilmu juga menghadapi berbagai tantangan fundamental, baik dari sisi internal (metodologis dan epistemologis) maupun eksternal (sosial, politik, dan etika). Menghadapi abad ke-21 dan seterusnya, ilmu dituntut tidak hanya untuk terus berinovasi, tetapi juga untuk merefleksikan arah dan dampaknya terhadap kehidupan umat manusia dan planet bumi secara keseluruhan.¹

9.1.       Tantangan Epistemologis dan Metodologis

Perkembangan sains modern yang sangat cepat telah menimbulkan fragmentasi ilmu pengetahuan. Ilmu semakin terspesialisasi dan terkotak-kotakkan sehingga mengurangi kemampuan untuk memahami realitas secara utuh.² Hal ini menimbulkan kebutuhan akan pendekatan interdisipliner, multidisipliner, bahkan transdisipliner, yang mampu mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan dalam memecahkan masalah kompleks seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketimpangan global.³

Selain itu, perkembangan big data, kecerdasan buatan, dan algoritma digital telah mengubah lanskap metodologi ilmiah. Validitas ilmiah tidak lagi hanya bergantung pada eksperimen konvensional, melainkan juga pada analisis data dalam skala besar, yang menuntut pengembangan metode baru dalam epistemologi ilmu.⁴

9.2.       Tantangan Etika dan Sosial

Ilmu pengetahuan saat ini berhadapan dengan dilema etis yang semakin kompleks. Teknologi hasil penelitian ilmiah dapat menghasilkan dampak ambivalen—baik konstruktif maupun destruktif. Contohnya adalah teknologi rekayasa genetika, robotika, dan kecerdasan buatan yang dapat meningkatkan taraf hidup manusia, tetapi sekaligus menimbulkan ancaman terhadap hak privasi, keadilan sosial, hingga eksistensi pekerjaan manusia.⁵

Selain itu, komersialisasi ilmu (science commercialization) dan tekanan industri terhadap riset akademik dapat mengaburkan tujuan luhur ilmu sebagai pencarian kebenaran. Banyak ilmuwan dihadapkan pada dilema antara integritas ilmiah dan tuntutan pasar.⁶ Dalam konteks ini, diperlukan peneguhan kembali etika penelitian dan tanggung jawab sosial ilmuwan, sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya.

9.3.       Ketimpangan Akses terhadap Ilmu

Tantangan besar lainnya adalah ketimpangan akses terhadap ilmu dan teknologi antara negara maju dan berkembang. Ketimpangan ini berpotensi memperlebar jurang sosial, ekonomi, dan kultural di tingkat global. Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi milik umat manusia secara universal, justru seringkali terkungkung dalam kepentingan geopolitik dan ekonomi.⁷

Untuk menjawab tantangan ini, perlu dikembangkan pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual, termasuk pengakuan terhadap pengetahuan lokal (local wisdom) dan integrasi ilmu dengan nilai-nilai budaya serta agama dalam masyarakat.⁸

9.4.       Masa Depan Ilmu: Menuju Ilmu yang Humanistik dan Berkelanjutan

Masa depan ilmu pengetahuan terletak pada kemampuannya untuk menjadi humanistik—yakni ilmu yang berpihak pada kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan bumi. Hal ini sejalan dengan visi “ilmu yang beradab” sebagaimana digagas oleh para pemikir filsafat ilmu kontemporer, seperti Ziauddin Sardar dan Mulyadhi Kartanegara, yang menekankan pentingnya mengintegrasikan ilmu dengan nilai spiritual dan etika global.⁹

Perkembangan keilmuan masa depan juga ditentukan oleh kemampuan pendidikan tinggi dalam mencetak ilmuwan yang tidak hanya kompeten secara metodologis, tetapi juga memiliki kesadaran filosofis dan tanggung jawab moral.¹⁰ Dengan itu, ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi alat untuk menguasai alam, tetapi juga sarana untuk menjaga kelestarian hidup bersama.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 103.

[2]                Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 11–12.

[3]                Helga Nowotny et al., Re-Thinking Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge: Polity Press, 2001), 48.

[4]                Sabina Leonelli, “Data-Centric Biology and the Logics of Knowledge Production,” The Journal of the Philosophy of Science 84, no. 4 (2017): 810–812.

[5]                Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention: Technology and the Human Future (New York: W. W. Norton & Company, 2016), 17.

[6]                Philip Mirowski and Esther-Mirjam Sent, Science Bought and Sold: Essays in the Economics of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2002), 3–6.

[7]                UNESCO, Science Report: Towards 2030 (Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2015), 85.

[8]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 27–28.

[9]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2006), 143.

[10]             Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Objective (London: Grey Seal, 1987), 113.


10.       Kesimpulan

Ilmu pengetahuan merupakan hasil tertinggi dari upaya intelektual manusia dalam memahami realitas secara sistematis, rasional, dan empiris. Ia tidak hanya hadir sebagai akumulasi informasi, tetapi sebagai sistem pengetahuan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip logika, verifikasi, dan objektivitas.¹ Dalam perkembangannya, ilmu telah diklasifikasikan ke dalam berbagai cabang seperti ilmu formal, empiris, humaniora, dan terapan, masing-masing dengan pendekatan metodologis dan objek kajian yang khas.²

Filsafat ilmu memainkan peran penting dalam menjelaskan fondasi ontologis (apa yang dikaji), epistemologis (bagaimana ilmu diperoleh), dan aksiologis (untuk apa ilmu digunakan) dari ilmu pengetahuan.³ Aspek-aspek ini menjadikan ilmu tidak hanya sebagai alat penjelas realitas, tetapi juga sebagai produk refleksi kritis yang harus bertanggung jawab secara moral dan sosial.⁴ Validitas ilmu pun tidak semata ditentukan oleh akurasi data, melainkan juga oleh konsistensi logis, relevansi praktis, dan keterbukaannya terhadap kritik serta falsifikasi.⁵

Penelitian menjadi penggerak utama dalam perkembangan ilmu. Melalui riset, teori-teori dikembangkan, diuji, dan dikoreksi secara berkesinambungan.⁶ Berbagai pendekatan seperti kuantitatif, kualitatif, dan campuran menunjukkan betapa dinamisnya metode ilmiah dalam menjawab persoalan-persoalan yang kompleks. Dalam proses ini, peneliti dituntut tidak hanya memiliki kompetensi teknis, tetapi juga integritas etis dan tanggung jawab sosial.⁷

Di era kontemporer, ilmu pengetahuan menghadapi tantangan besar: fragmentasi keilmuan, dilema etika teknologi, komersialisasi riset, dan ketimpangan akses global terhadap ilmu.⁸ Masa depan ilmu terletak pada kemampuannya untuk menjadi lebih integratif, humanistik, dan berorientasi pada keberlanjutan.⁹ Visi ilmu tidak cukup berhenti pada efisiensi dan produktivitas, tetapi harus diarahkan untuk menciptakan keadilan, keseimbangan ekologis, dan peningkatan martabat manusia.

Sebagaimana dinyatakan oleh Mulyadhi Kartanegara, ilmu pengetahuan seharusnya dikembangkan tidak hanya berdasarkan rasio dan observasi, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai spiritual dan etika.¹⁰ Dengan demikian, ilmu dapat berfungsi secara utuh sebagai cahaya bagi kemajuan umat manusia yang adil, beradab, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 71.

[2]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1996), 40–45.

[3]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 2–3.

[4]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 91.

[5]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Paul Freedman (New York: Routledge, 2002), 40–42.

[6]                John W. Creswell and J. David Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 5th ed. (Thousand Oaks: SAGE, 2018), 56.

[7]                National Academy of Sciences, On Being a Scientist: A Guide to Responsible Conduct in Research, 3rd ed. (Washington, D.C.: National Academies Press, 2009), 4–6.

[8]                Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention: Technology and the Human Future (New York: W. W. Norton & Company, 2016), 22.

[9]                Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 13–15.

[10]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2006), 139.


Daftar Pustaka

Amin Abdullah, M. (2012). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika. Yogyakarta: IRCiSoD.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. New York: Dover Publications.

Bakhtiar, A. (2006). Filsafat ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Brey, P. (2008). Ethics of emerging technologies. In L. Floridi (Ed.), The Oxford handbook of information and computer ethics (pp. 213–232). Oxford: Oxford University Press.

Bryman, A. (2016). Social research methods (5th ed.). Oxford: Oxford University Press.

Capra, F. (2000). The Tao of physics: An exploration of the parallels between modern physics and Eastern mysticism (4th ed.). Boston: Shambhala.

Comte, A. (1858). The positive philosophy (H. Martineau, Trans.). New York: Calvin Blanchard.

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (5th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE.

Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2011). The SAGE handbook of qualitative research (4th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE.

Durbin, P. T. (1992). Social responsibility in science, technology, and medicine. Bethlehem, PA: Lehigh University Press.

Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H. H. (2012). How to design and evaluate research in education (8th ed.). New York: McGraw-Hill.

Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An introduction to the philosophy of science. Chicago: University of Chicago Press.

Jasanoff, S. (2016). The ethics of invention: Technology and the human future. New York: W. W. Norton & Company.

Kartanegara, M. (2006). Integrasi ilmu: Sebuah rekonstruksi holistik. Bandung: Mizan.

Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity: History, theory, and practice. Detroit: Wayne State University Press.

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and its sources. New York: Columbia University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Leonelli, S. (2017). Data-centric biology and the logics of knowledge production. Journal of the Philosophy of Science, 84(4), 810–812.

Mirowski, P., & Sent, E.-M. (Eds.). (2002). Science bought and sold: Essays in the economics of science. Chicago: University of Chicago Press.

National Academy of Sciences. (2009). On being a scientist: A guide to responsible conduct in research (3rd ed.). Washington, DC: National Academies Press.

Neuman, W. L. (2011). Social research methods: Qualitative and quantitative approaches (7th ed.). Boston: Pearson.

Nowotny, H., Scott, P., & Gibbons, M. (2001). Re-thinking science: Knowledge and the public in an age of uncertainty. Cambridge: Polity Press.

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery (P. Freedman, Trans.). New York: Routledge. (Original work published 1959)

Resnik, D. B. (2022, December 23). What is ethics in research & why is it important? National Institute of Environmental Health Sciences. https://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/whatis/index.cfm

Rosenberg, A. (2008). Philosophy of social science (3rd ed.). Boulder, CO: Westview Press.

Sardar, Z. (1987). Islamic science: The myth of the objective. London: Grey Seal.

Sugiyono. (2018). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suriasumantri, J. S. (1999). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suriasumantri, J. S. (2005). Ilmu dalam perspektif: Sebuah kumpulan karangan tentang hakikat ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Swinburne, R. (2001). Epistemic justification. Oxford: Oxford University Press.

Tashakkori, A., & Teddlie, C. (1998). Mixed methodology: Combining qualitative and quantitative approaches. Thousand Oaks, CA: SAGE.

Tafsir, A. (2006). Filsafat ilmu: Menguak hakikat ilmu dan ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat dan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

The Liang Gie. (1996). Pengantar filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty.

UNESCO. (2015). Science report: Towards 2030. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). Berkeley: University of California Press.

Zainal Arifin. (2011). Metodologi penelitian pendidikan. Surabaya: Lentera Cendekia.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar