Konsep Berpikir Sinkronik
Konsep Berpikir Sinkronik dalam Kajian Sejarah
Alihkan ke: Konsep Berpikir Sejarah.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep
berpikir sinkronik dalam kajian sejarah sebagai salah satu pendekatan penting
untuk memahami kehidupan masyarakat pada masa lalu secara tematik dan
kontekstual. Berpikir sinkronik memfokuskan analisis pada berbagai aspek
sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam satu kerangka waktu tertentu, tanpa
mengikuti alur kronologis. Melalui kajian pustaka dari berbagai sumber ilmiah
dan historis, artikel ini menjelaskan perbedaan berpikir sinkronik dengan
pendekatan diakronik, pentingnya penerapan berpikir sinkronik dalam ilmu
sejarah dan sosial, serta berbagai contoh konkret penggunaannya, mulai dari
analisis struktur sosial Batavia pada abad ke-17 hingga dinamika masyarakat
Indonesia pada masa Orde Baru. Artikel ini juga mengulas tantangan metodologis
berpikir sinkronik, seperti keterbatasan sumber dan kecenderungan mengabaikan
proses perubahan historis. Di akhir pembahasan, disimpulkan bahwa pendekatan
sinkronik perlu dipadukan dengan pendekatan diakronik agar tercipta pemahaman
sejarah yang lebih utuh dan reflektif. Artikel ini diharapkan dapat memperkaya
wawasan guru, peneliti, dan peserta didik dalam mengembangkan keterampilan
berpikir historis yang kritis dan kontekstual.
Kata Kunci: berpikir sinkronik, berpikir diakronik, pendekatan
tematik, kajian sejarah, struktur sosial, pendidikan sejarah.
PEMBAHASAN
Konsep Berpikir Sinkronik dalam Kajian Sejarah
1.
Pendahuluan
Ilmu sejarah tidak hanya
berkutat pada pengumpulan fakta masa lalu, tetapi juga mencakup cara berpikir
kritis dalam memahami dinamika kehidupan manusia pada waktu dan ruang tertentu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo, sejarah merupakan ilmu yang tidak
hanya menjelaskan apa yang terjadi, tetapi
juga mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi
dalam konteks sosialnya.¹ Dalam upaya menjelaskan suatu peristiwa sejarah
secara mendalam, sejarawan tidak hanya dituntut untuk berpikir secara
kronologis (diakronik), tetapi juga secara struktural dan kontekstual, yang
dalam metodologi sejarah dikenal sebagai cara berpikir sinkronik.
Berpikir sinkronik merupakan
pendekatan analitis dalam sejarah yang bertujuan memahami suatu peristiwa atau
fenomena sosial secara meluas dalam batas waktu tertentu,
tanpa menelusuri perubahan dari waktu ke waktu.² Berbeda dari cara berpikir
diakronik yang menekankan urutan kronologis dan proses perubahan, cara berpikir
sinkronik memusatkan perhatian pada kondisi, hubungan, dan
struktur masyarakat dalam suatu kurun waktu spesifik.³ Oleh
karena itu, pendekatan sinkronik menjadi penting dalam kajian tematik, seperti
analisis struktur sosial pada masa kolonial, dinamika ekonomi di masa Orde
Baru, atau kondisi budaya masyarakat pada zaman kerajaan.
Penerapan cara berpikir
sinkronik dalam studi sejarah memperkaya pemahaman terhadap keterkaitan
antarunsur kehidupan dalam satu periode, yang tidak selalu
dapat dijelaskan secara runtut kronologis. Sejarawan seperti Sartono
Kartodirdjo mendorong integrasi antara pendekatan historis dengan ilmu sosial
melalui penggunaan konsep-konsep sinkronik untuk menganalisis struktur sosial
dan budaya pada suatu masa tertentu.⁴ Melalui pendekatan ini, sejarah tidak
lagi sekadar narasi linier tentang masa lalu, tetapi menjadi analisis
tematik yang multidimensional, sehingga pembelajaran sejarah
lebih kontekstual dan bermakna bagi peserta didik maupun masyarakat luas.
Dengan demikian, memahami
konsep berpikir sinkronik menjadi kunci penting dalam memperluas perspektif
kita terhadap sejarah. Artikel ini akan membahas secara komprehensif
pengertian, karakteristik, penerapan, serta tantangan berpikir sinkronik dalam
kajian sejarah, dengan mengacu pada berbagai sumber ilmiah yang kredibel.
Footnotes
[1]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 18.
[2]
Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu
Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27.
[3]
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jilid 5 (Jakarta:
Cipta Adi Pustaka, 2004), 384.
[4]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992), 56.
2.
Pengertian
Berpikir Sinkronik
Dalam kajian sejarah dan
ilmu-ilmu sosial, cara berpikir sinkronik merujuk pada pendekatan analitis yang
menekankan pemahaman terhadap suatu fenomena dalam
dimensi ruang yang luas, tetapi dalam rentang waktu yang terbatas.¹
Istilah sinkronik berasal dari bahasa Yunani, yaitu syn
yang berarti "bersama" dan chronos
yang berarti "waktu", sehingga secara harfiah berarti “pada
waktu yang bersamaan”.² Dalam konteks ini, berpikir sinkronik berarti melihat
suatu peristiwa secara horizontal, yaitu menelusuri keterkaitan
antarkomponen sosial, ekonomi, budaya, dan politik dalam satu periode tertentu,
tanpa memfokuskan diri pada proses perubahan dari masa ke masa.
Berbeda dengan pendekatan
diakronik yang bersifat kronologis dan evolusioner, pendekatan sinkronik
bersifat tematik dan struktural.³
Dalam ilmu sejarah, berpikir sinkronik digunakan untuk memahami struktur
masyarakat, kondisi sosial, sistem nilai, serta interaksi antarelemen kehidupan
pada suatu masa. Sebagai contoh, sejarawan dapat menggunakan pendekatan
sinkronik untuk mengkaji kehidupan masyarakat kerajaan Sriwijaya pada abad
ke-8, dengan fokus pada sistem pendidikan, pola perdagangan, dan struktur
sosial dalam waktu yang bersamaan.
Kuntowijoyo menyebut
pendekatan sinkronik sebagai bagian dari transformasi sejarah menjadi ilmu
sosial, di mana sejarah tidak hanya mencatat kronologi peristiwa, tetapi juga
menjelaskan struktur, sistem, dan makna
di balik peristiwa tersebut.⁴ Oleh karena itu, berpikir sinkronik memiliki
kedekatan epistemologis dengan pendekatan dalam ilmu sosiologi dan antropologi
yang bersifat tematik dan struktural. Dalam kajian sejarah sosial, cara
berpikir ini sering digunakan untuk memahami bagaimana nilai,
norma, dan relasi kuasa bekerja dalam satu konteks waktu
tertentu tanpa memperhitungkan dinamika perubahannya.⁵
Dalam praktiknya, berpikir
sinkronik menuntut keterampilan analisis lintas aspek. Peserta didik atau
peneliti sejarah harus mampu mengidentifikasi dan mengaitkan berbagai unsur
kehidupan masyarakat — seperti ekonomi, budaya, politik, dan agama — dalam satu
kerangka waktu tertentu, guna mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap latar
sosial-historis dari suatu peristiwa atau fenomena.
Dengan demikian, berpikir
sinkronik merupakan instrumen penting dalam pendidikan sejarah modern yang
tidak hanya mendidik siswa untuk mengenal masa lalu, tetapi juga untuk memahami
pola-pola kehidupan manusia yang kompleks dalam satu kesatuan waktu.
Pemahaman ini diperlukan agar sejarah dapat berfungsi sebagai cermin dan
pelajaran bagi kehidupan masa kini.
Footnotes
[1]
Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu
Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27.
[2]
Suyanto dan Yatim Riyanto, Metodologi
Penelitian Sosial (Surabaya: SIC,
2003), 105.
[3]
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jilid 5
(Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 2004), 384.
[4]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 45–46.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992), 58.
3.
Perbandingan
Berpikir Sinkronik dan Diakronik
Dalam kajian sejarah,
berpikir sinkronik dan diakronik merupakan dua pendekatan fundamental yang
saling melengkapi. Keduanya digunakan untuk memahami suatu peristiwa atau
fenomena masa lalu, namun memiliki fokus dan sudut pandang analisis yang
berbeda.¹
Berpikir
diakronik (dari bahasa Yunani dia =
melalui dan chronos = waktu) merupakan
pendekatan yang menekankan alur kronologis dan perkembangan suatu
peristiwa dari waktu ke waktu.² Dengan kata lain, pendekatan
ini mempelajari peristiwa sejarah secara linier, memperhatikan urutan,
perubahan, dan sebab-akibat. Sejarawan yang menggunakan cara berpikir diakronik
cenderung fokus pada proses evolusi atau transformasi, misalnya perkembangan
sistem pemerintahan Indonesia dari masa kolonial hingga reformasi.
Sebaliknya, berpikir
sinkronik melihat suatu peristiwa secara meluas dalam
batasan waktu tertentu tanpa memperhatikan aspek perubahan
waktu.³ Pendekatan ini bersifat statik dan tematik,
menyoroti keterkaitan unsur-unsur dalam satu periode tertentu, seperti kondisi
ekonomi, struktur sosial, budaya, dan politik pada zaman tertentu. Dengan
berpikir sinkronik, seorang peneliti dapat menelaah bagaimana masyarakat
Majapahit hidup dalam suatu sistem sosial dan kepercayaan tertentu pada abad ke-14,
tanpa menelusuri perubahan-perubahan yang terjadi sebelum atau sesudahnya.
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa
pendekatan diakronik cocok digunakan untuk menelusuri sebab
dan akibat dari suatu peristiwa, sedangkan pendekatan sinkronik
digunakan untuk menganalisis struktur dan hubungan
dalam suatu sistem sosial pada titik waktu tertentu.⁴ Dengan demikian,
diakronik berorientasi pada narasi waktu, sedangkan
sinkronik berorientasi pada analisis struktur dan konteks.
Perbedaan antara keduanya
dapat dijabarkan secara lebih sistematis dalam bullet point berikut:
1)
Fokus Analisis:
Berpikir Diakronik: Menyoroti
peristiwa secara kronologis atau berurutan dalam waktu.
Berpikir Sinkronik: Menyoroti tema
atau konteks dalam satu kerangka waktu tertentu.
2)
Dimensi Utama:
Berpikir Diakronik: Berbasis
waktu (time-based), memperhatikan perkembangan dari masa ke masa.
Berpikir Sinkronik: Berbasis
ruang (space-based), memperhatikan aspek sosial dalam satu periode waktu.
3)
Tujuan Analisis:
Berpikir Diakronik: Untuk menelusuri
perubahan, proses, dan sebab-akibat dari suatu peristiwa.
Berpikir Sinkronik: Untuk memahami
struktur, sistem, dan keterkaitan antarunsur masyarakat dalam satu waktu
tertentu.
4)
Karakteristik Pendekatan:
Berpikir Diakronik: Bersifat historis
dan naratif, menyusun cerita berdasarkan urutan waktu.
Berpikir Sinkronik: Bersifat analitis
dan deskriptif, mengkaji hubungan sosial secara tematik.
5)
Contoh Aplikasi:
Berpikir Diakronik:
Menganalisis sejarah kemerdekaan Indonesia dari masa penjajahan hingga
proklamasi.
Berpikir Sinkronik:
Menganalisis struktur sosial dan budaya kota Batavia pada abad ke-17.
Dalam praktik pembelajaran
sejarah, menggabungkan kedua pendekatan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih
utuh dan mendalam terhadap suatu peristiwa.⁵ Dengan berpikir
diakronik, siswa belajar melihat sejarah sebagai suatu proses yang berkembang,
sedangkan berpikir sinkronik mengajarkan cara berpikir kritis terhadap dinamika
sosial dalam satu masa tertentu.
Dengan demikian, berpikir
sinkronik dan diakronik bukanlah pendekatan yang saling menegasikan, melainkan komplementer.
Keduanya penting untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir
historis yang kritis dan reflektif.
Footnotes
[1]
Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu
Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27.
[2]
S. Nasution, Metode Sejarah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 39.
[3]
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jilid 5
(Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 2004), 384.
[4]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 45–46.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992), 59.
4.
Pentingnya
Berpikir Sinkronik dalam Ilmu Sejarah dan Sosial
Dalam ilmu sejarah, berpikir
sinkronik memiliki nilai strategis karena memungkinkan analisis peristiwa
secara tematik dan kontekstual,
khususnya untuk memahami struktur sosial, budaya, ekonomi, dan
politik dalam satu kerangka waktu tertentu.¹ Pendekatan ini
menjawab kebutuhan akan pemahaman yang lebih dalam dan kompleks terhadap
dinamika masyarakat masa lalu, tanpa harus terjebak dalam alur naratif
kronologis.
Salah satu nilai penting dari
berpikir sinkronik adalah kemampuannya dalam mengkaji keterkaitan antarelemen
sosial dalam suatu sistem masyarakat secara menyeluruh.²
Misalnya, ketika seorang sejarawan ingin menganalisis kehidupan masyarakat di
kerajaan Majapahit pada abad ke-14, pendekatan sinkronik memungkinkannya untuk
mengeksplorasi secara bersamaan bagaimana struktur pemerintahan, kepercayaan
agama, sistem pendidikan, dan aktivitas perdagangan saling memengaruhi dalam
kurun waktu tersebut.
Kuntowijoyo menekankan bahwa
pendekatan sinkronik membawa sejarah ke dalam wilayah ilmu sosial dengan
menjadikan struktur sebagai objek kajian utama, bukan sekadar kronologi
peristiwa.³ Melalui cara ini, sejarah diposisikan sebagai alat untuk membaca struktur
makna, bukan hanya rangkaian kejadian. Berpikir sinkronik
dengan demikian sejalan dengan pendekatan dalam antropologi atau sosiologi
struktural yang menelaah sistem dan pola dalam kehidupan manusia.
Dalam konteks pembelajaran
sejarah, pendekatan sinkronik penting untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis, analitis, dan tematik pada peserta didik.⁴
Siswa diajak untuk tidak hanya menghafal tanggal dan peristiwa, tetapi juga memahami
hubungan kausal dan sistemik dalam masyarakat pada suatu masa.
Hal ini membantu siswa untuk memperoleh pemahaman sejarah yang lebih utuh dan
relevan, serta menumbuhkan kesadaran sosial yang lebih tinggi.
Lebih dari itu, dalam ilmu
sosial secara umum, pendekatan sinkronik digunakan untuk menggambarkan
konfigurasi sosial pada suatu masa, yang menjadi dasar dalam
pengambilan kebijakan atau perencanaan sosial.⁵ Dalam penelitian interdisipliner,
misalnya sejarah sosial atau sejarah ekonomi, berpikir sinkronik menyediakan
alat untuk menafsirkan bagaimana suatu sistem masyarakat beroperasi pada titik
waktu tertentu — misalnya struktur masyarakat petani pada masa kolonial atau
jaringan ekonomi pribumi dan Tionghoa di kota-kota pelabuhan abad ke-19.
Dengan demikian, berpikir
sinkronik sangat penting tidak hanya bagi ilmu sejarah, tetapi juga dalam
konteks yang lebih luas, yakni untuk membaca dan memahami
kompleksitas kehidupan sosial manusia secara mendalam dan
terstruktur.
Footnotes
[1]
Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu
Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 28.
[2]
Suyanto dan Yatim Riyanto, Metodologi
Penelitian Sosial (Surabaya: SIC,
2003), 106.
[3]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 49–50.
[4]
Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam
Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 288–290.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992), 63–65.
5.
Contoh
Penerapan Berpikir Sinkronik dalam Kajian Sejarah
Penerapan berpikir sinkronik
dalam kajian sejarah memungkinkan sejarawan untuk menyelami
dinamika masyarakat pada satu titik waktu tertentu secara
mendalam dan tematik. Pendekatan ini sangat berguna ketika tujuan penelitian
atau pembelajaran bukan untuk menelusuri kronologi peristiwa, melainkan untuk
memahami struktur kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, atau politik dalam kerangka waktu tertentu.¹
Salah satu contoh penerapan
berpikir sinkronik yang signifikan adalah kajian mengenai struktur
sosial dan kehidupan masyarakat kota Batavia pada abad ke-17,
saat VOC menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Penelitian sinkronik akan berfokus pada bagaimana lapisan
masyarakat terbentuk, hubungan antara penduduk Eropa, Tionghoa,
dan pribumi, serta bagaimana sistem perdagangan, hukum, dan keagamaan
dijalankan dalam satu masa tersebut.² Pendekatan ini menjelaskan kompleksitas
sosial Batavia sebagai kota kosmopolitan, tanpa harus menganalisis bagaimana
kota itu berubah dari masa ke masa.
Contoh lainnya adalah
analisis terhadap kehidupan masyarakat kerajaan Majapahit
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (abad ke-14). Dengan
berpikir sinkronik, kajian dapat diarahkan pada struktur pemerintahan, peran
agama Hindu-Buddha, jaringan perdagangan internasional, dan nilai-nilai budaya
yang hidup pada masa tersebut.³ Pendekatan ini tidak mempersoalkan bagaimana
Majapahit berdiri atau runtuh, melainkan bagaimana elemen-elemen
sosial saling berinteraksi dalam satu periode puncak kejayaan.
Dalam konteks sejarah modern,
berpikir sinkronik dapat diterapkan untuk mengkaji dinamika
sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru tahun 1980-an.
Kajian ini bisa mencakup bagaimana negara membangun kontrol terhadap masyarakat
melalui birokrasi, media massa, dan pendidikan; bagaimana pola kehidupan
ekonomi rakyat terbentuk oleh industrialisasi dan urbanisasi; serta bagaimana
budaya populer tumbuh dalam batasan otoritarianisme.⁴ Dengan fokus pada satu
dekade tertentu, pendekatan ini membantu memperjelas relasi kuasa dan struktur
sosial yang tidak selalu tampak dalam narasi sejarah konvensional.
Dalam praktik pembelajaran
sejarah, penerapan berpikir sinkronik dapat dikembangkan dalam bentuk kajian
tematik. Misalnya, siswa dapat diminta menganalisis kehidupan
petani di masa penjajahan Belanda berdasarkan data sosial-ekonomi pada suatu
kurun waktu tertentu.⁵ Dengan demikian, siswa tidak hanya menghafal urutan
peristiwa, tetapi mampu memahami konfigurasi sosial yang
membentuk realitas sejarah.
Melalui berbagai contoh
tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir sinkronik memberikan ruang bagi analisis
yang lebih kritis, kontekstual, dan multidimensional terhadap
sejarah. Ia memperkaya wawasan historis tidak hanya sebagai rangkaian cerita
masa lalu, tetapi sebagai cerminan kompleksitas kehidupan manusia dalam konteks
ruang dan waktu tertentu.
Footnotes
[1]
Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu
Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 29.
[2]
Mona Lohanda, Sejarah Sosial Batavia (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), 67–69.
[3]
Slamet Muljana, Menuju Puncak
Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit
(Yogyakarta: LKiS, 2005), 112–115.
[4]
Ariel Heryanto, Culture, Politics, and
the New Order in Indonesia (Jakarta:
Masyarakat Indonesia, 1999), 45–48.
[5]
Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam
Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 289–291.
6.
Tantangan
dan Keterbatasan Berpikir Sinkronik
Meskipun berpikir sinkronik
menawarkan pendekatan tematik dan struktural yang kaya untuk memahami suatu
periode sejarah secara mendalam, pendekatan ini juga memiliki sejumlah
tantangan dan keterbatasan yang perlu dicermati, baik dari segi metodologis
maupun epistemologis.
Salah satu keterbatasan utama
berpikir sinkronik adalah kecenderungannya untuk mengabaikan
dimensi waktu dan perubahan historis.¹ Karena berpikir
sinkronik memfokuskan kajian pada satu titik waktu tertentu, maka proses-proses
evolusi sosial, transformasi budaya, atau perubahan politik yang terjadi
sebelum atau sesudah periode tersebut sering kali tidak diperhatikan. Hal ini
dapat menimbulkan potret yang terlalu statis dan ahistoris terhadap realitas
sosial yang sejatinya selalu bergerak.² Sartono Kartodirdjo mengingatkan bahwa
tanpa dilengkapi dengan pendekatan diakronik, analisis sinkronik dapat
kehilangan konteks historis yang esensial bagi interpretasi yang utuh.³
Tantangan lain terletak pada kompleksitas
dalam pengumpulan dan interpretasi data sejarah secara
sinkronik. Seorang peneliti perlu mengakses berbagai sumber yang saling
melengkapi, seperti catatan administratif, prasasti, laporan etnografi, atau
arsip kolonial, yang merekam kondisi sosial pada suatu masa tertentu. Namun,
sering kali sumber-sumber tersebut bersifat fragmentaris, terbatas, atau bahkan
bias, tergantung siapa yang mencatatnya.⁴ Hal ini menimbulkan kesulitan dalam
merangkai gambaran utuh mengenai kondisi masyarakat pada suatu periode.
Selain itu, pendekatan
sinkronik dapat menimbulkan risiko generalisasi berlebihan,
karena ia cenderung melihat kondisi masyarakat secara makro. Kajian struktural seperti
ini sering kali luput menangkap keragaman pengalaman individual atau dinamika
mikro dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika meneliti masyarakat Jawa abad
ke-18, seorang peneliti mungkin menyimpulkan struktur masyarakat yang hirarkis
dan feodal, tetapi tidak menangkap variasi pengalaman petani kecil atau
pedagang desa yang berbeda dari gambaran umum.⁵
Dalam konteks pendidikan,
pendekatan sinkronik juga menuntut kemampuan berpikir
konseptual yang tinggi dari peserta didik, khususnya dalam
mengaitkan antarunsur kehidupan sosial secara tematik dan lintas aspek. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi guru dalam mendesain pembelajaran yang
adaptif dan kontekstual agar siswa tidak sekadar menghafal informasi, tetapi
mampu membangun pemahaman historis yang kritis.⁶
Mengingat berbagai tantangan
tersebut, pendekatan sinkronik sebaiknya tidak digunakan secara tunggal.
Sebaliknya, ia harus dilengkapi dengan pendekatan diakronik agar dapat
menghasilkan analisis sejarah yang menyeluruh,
kontekstual, dan berimbang. Integrasi kedua pendekatan ini
memungkinkan peneliti dan peserta didik untuk memahami tidak hanya bagaimana
struktur sosial terbentuk dalam satu waktu, tetapi juga bagaimana struktur itu
berubah seiring waktu.
Footnotes
[1]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 52.
[2]
Supriatna, Nana dan Mamat Ruhimat, Ilmu
Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 29.
[3]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992), 66–67.
[4]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang
Budaya, Jilid 1 (Jakarta: Gramedia,
1996), 21–23.
[5]
Ricklefs, M.C., A History of Modern
Indonesia Since c.1200, 4th ed.
(Stanford: Stanford University Press, 2008), 109.
[6]
Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam
Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 292.
7.
Penutup
Berpikir sinkronik merupakan
salah satu pendekatan penting dalam kajian sejarah yang memberikan cara
pandang tematik dan kontekstual terhadap peristiwa masa lalu.
Dengan menitikberatkan analisis pada suatu periode tertentu dan menelusuri
hubungan antarunsur sosial, budaya, politik, serta ekonomi dalam ruang waktu
yang terbatas, berpikir sinkronik memungkinkan pemahaman yang lebih dalam
terhadap struktur dan dinamika masyarakat.¹
Sebagaimana dikemukakan oleh
Kuntowijoyo, berpikir sinkronik memposisikan sejarah tidak hanya sebagai narasi
masa lalu, tetapi juga sebagai ilmu sosial yang
menjelaskan struktur makna dalam kehidupan manusia.² Pendekatan
ini sangat berguna dalam memahami peristiwa sejarah secara multidimensional,
karena mampu menjawab pertanyaan bagaimana masyarakat bekerja
dalam suatu waktu tertentu, bukan hanya kapan atau apa
yang terjadi.
Namun demikian, berpikir
sinkronik juga memiliki keterbatasan metodologis, khususnya dalam hal kecenderungannya
mengabaikan proses perubahan historis dan kompleksitas data
sosial yang bersifat dinamis. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan harus dikombinasikan dengan pendekatan diakronik
agar menghasilkan interpretasi sejarah yang lebih utuh dan berimbang.³ Dalam
konteks pendidikan, integrasi kedua pendekatan ini juga dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis, reflektif, dan analitis pada peserta didik.⁴
Dengan memahami konsep dan
penerapan berpikir sinkronik secara komprehensif, guru, peneliti, maupun
peserta didik dapat memperluas wawasan dalam melihat sejarah bukan sekadar
deretan peristiwa, tetapi sebagai refleksi struktur kehidupan
manusia yang kompleks dan saling terkait. Sejarah pun tidak
lagi dimaknai hanya sebagai masa lalu, tetapi sebagai cermin untuk memahami
masa kini dan membentuk masa depan yang lebih sadar akan realitas sosialnya.
Footnotes
[1]
Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu
Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 29.
[2]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 45–46.
[3]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992), 66–67.
[4]
Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam
Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 292–293.
Daftar Pustaka
Heryanto, A. (1999). Culture, politics, and the
New Order in Indonesia. Masyarakat Indonesia.
Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan ilmu sosial
dalam metodologi sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. (1997). Pengantar ilmu sejarah.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya,
Jilid 1. Jakarta: Gramedia.
Lohanda, M. (2007). Sejarah sosial Batavia.
Jakarta: Masup Jakarta.
Muljana, S. (2005). Menuju puncak kemegahan:
Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS.
Mustajab. (2014). Pengembangan keterampilan
berpikir historis dalam pembelajaran sejarah di sekolah menengah. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 24(3), 288–293.
Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern
Indonesia since c.1200 (4th ed.). Stanford: Stanford University Press.
Supriatna, N., & Ruhimat, M. (2021). Ilmu
sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Suyanto, & Riyanto, Y. (2003). Metodologi
penelitian sosial. Surabaya: SIC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar