Jumat, 04 April 2025

Konsep Berpikir Sinkronik: Konsep Berpikir Sinkronik dalam Kajian Sejarah

Konsep Berpikir Sinkronik

Konsep Berpikir Sinkronik dalam Kajian Sejarah


Alihkan ke: Konsep Berpikir Sejarah.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep berpikir sinkronik dalam kajian sejarah sebagai salah satu pendekatan penting untuk memahami kehidupan masyarakat pada masa lalu secara tematik dan kontekstual. Berpikir sinkronik memfokuskan analisis pada berbagai aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam satu kerangka waktu tertentu, tanpa mengikuti alur kronologis. Melalui kajian pustaka dari berbagai sumber ilmiah dan historis, artikel ini menjelaskan perbedaan berpikir sinkronik dengan pendekatan diakronik, pentingnya penerapan berpikir sinkronik dalam ilmu sejarah dan sosial, serta berbagai contoh konkret penggunaannya, mulai dari analisis struktur sosial Batavia pada abad ke-17 hingga dinamika masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru. Artikel ini juga mengulas tantangan metodologis berpikir sinkronik, seperti keterbatasan sumber dan kecenderungan mengabaikan proses perubahan historis. Di akhir pembahasan, disimpulkan bahwa pendekatan sinkronik perlu dipadukan dengan pendekatan diakronik agar tercipta pemahaman sejarah yang lebih utuh dan reflektif. Artikel ini diharapkan dapat memperkaya wawasan guru, peneliti, dan peserta didik dalam mengembangkan keterampilan berpikir historis yang kritis dan kontekstual.

Kata Kunci: berpikir sinkronik, berpikir diakronik, pendekatan tematik, kajian sejarah, struktur sosial, pendidikan sejarah.


PEMBAHASAN

Konsep Berpikir Sinkronik dalam Kajian Sejarah


1.           Pendahuluan

Ilmu sejarah tidak hanya berkutat pada pengumpulan fakta masa lalu, tetapi juga mencakup cara berpikir kritis dalam memahami dinamika kehidupan manusia pada waktu dan ruang tertentu. Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo, sejarah merupakan ilmu yang tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi dalam konteks sosialnya.¹ Dalam upaya menjelaskan suatu peristiwa sejarah secara mendalam, sejarawan tidak hanya dituntut untuk berpikir secara kronologis (diakronik), tetapi juga secara struktural dan kontekstual, yang dalam metodologi sejarah dikenal sebagai cara berpikir sinkronik.

Berpikir sinkronik merupakan pendekatan analitis dalam sejarah yang bertujuan memahami suatu peristiwa atau fenomena sosial secara meluas dalam batas waktu tertentu, tanpa menelusuri perubahan dari waktu ke waktu.² Berbeda dari cara berpikir diakronik yang menekankan urutan kronologis dan proses perubahan, cara berpikir sinkronik memusatkan perhatian pada kondisi, hubungan, dan struktur masyarakat dalam suatu kurun waktu spesifik.³ Oleh karena itu, pendekatan sinkronik menjadi penting dalam kajian tematik, seperti analisis struktur sosial pada masa kolonial, dinamika ekonomi di masa Orde Baru, atau kondisi budaya masyarakat pada zaman kerajaan.

Penerapan cara berpikir sinkronik dalam studi sejarah memperkaya pemahaman terhadap keterkaitan antarunsur kehidupan dalam satu periode, yang tidak selalu dapat dijelaskan secara runtut kronologis. Sejarawan seperti Sartono Kartodirdjo mendorong integrasi antara pendekatan historis dengan ilmu sosial melalui penggunaan konsep-konsep sinkronik untuk menganalisis struktur sosial dan budaya pada suatu masa tertentu.⁴ Melalui pendekatan ini, sejarah tidak lagi sekadar narasi linier tentang masa lalu, tetapi menjadi analisis tematik yang multidimensional, sehingga pembelajaran sejarah lebih kontekstual dan bermakna bagi peserta didik maupun masyarakat luas.

Dengan demikian, memahami konsep berpikir sinkronik menjadi kunci penting dalam memperluas perspektif kita terhadap sejarah. Artikel ini akan membahas secara komprehensif pengertian, karakteristik, penerapan, serta tantangan berpikir sinkronik dalam kajian sejarah, dengan mengacu pada berbagai sumber ilmiah yang kredibel.


Footnotes

[1]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 18.

[2]                Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27.

[3]                Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 5 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 2004), 384.

[4]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 56.


2.           Pengertian Berpikir Sinkronik

Dalam kajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial, cara berpikir sinkronik merujuk pada pendekatan analitis yang menekankan pemahaman terhadap suatu fenomena dalam dimensi ruang yang luas, tetapi dalam rentang waktu yang terbatas.¹ Istilah sinkronik berasal dari bahasa Yunani, yaitu syn yang berarti "bersama" dan chronos yang berarti "waktu", sehingga secara harfiah berarti “pada waktu yang bersamaan”.² Dalam konteks ini, berpikir sinkronik berarti melihat suatu peristiwa secara horizontal, yaitu menelusuri keterkaitan antarkomponen sosial, ekonomi, budaya, dan politik dalam satu periode tertentu, tanpa memfokuskan diri pada proses perubahan dari masa ke masa.

Berbeda dengan pendekatan diakronik yang bersifat kronologis dan evolusioner, pendekatan sinkronik bersifat tematik dan struktural.³ Dalam ilmu sejarah, berpikir sinkronik digunakan untuk memahami struktur masyarakat, kondisi sosial, sistem nilai, serta interaksi antarelemen kehidupan pada suatu masa. Sebagai contoh, sejarawan dapat menggunakan pendekatan sinkronik untuk mengkaji kehidupan masyarakat kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8, dengan fokus pada sistem pendidikan, pola perdagangan, dan struktur sosial dalam waktu yang bersamaan.

Kuntowijoyo menyebut pendekatan sinkronik sebagai bagian dari transformasi sejarah menjadi ilmu sosial, di mana sejarah tidak hanya mencatat kronologi peristiwa, tetapi juga menjelaskan struktur, sistem, dan makna di balik peristiwa tersebut.⁴ Oleh karena itu, berpikir sinkronik memiliki kedekatan epistemologis dengan pendekatan dalam ilmu sosiologi dan antropologi yang bersifat tematik dan struktural. Dalam kajian sejarah sosial, cara berpikir ini sering digunakan untuk memahami bagaimana nilai, norma, dan relasi kuasa bekerja dalam satu konteks waktu tertentu tanpa memperhitungkan dinamika perubahannya.⁵

Dalam praktiknya, berpikir sinkronik menuntut keterampilan analisis lintas aspek. Peserta didik atau peneliti sejarah harus mampu mengidentifikasi dan mengaitkan berbagai unsur kehidupan masyarakat — seperti ekonomi, budaya, politik, dan agama — dalam satu kerangka waktu tertentu, guna mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap latar sosial-historis dari suatu peristiwa atau fenomena.

Dengan demikian, berpikir sinkronik merupakan instrumen penting dalam pendidikan sejarah modern yang tidak hanya mendidik siswa untuk mengenal masa lalu, tetapi juga untuk memahami pola-pola kehidupan manusia yang kompleks dalam satu kesatuan waktu. Pemahaman ini diperlukan agar sejarah dapat berfungsi sebagai cermin dan pelajaran bagi kehidupan masa kini.


Footnotes

[1]                Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27.

[2]                Suyanto dan Yatim Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: SIC, 2003), 105.

[3]                Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 5 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 2004), 384.

[4]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 45–46.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 58.


3.           Perbandingan Berpikir Sinkronik dan Diakronik

Dalam kajian sejarah, berpikir sinkronik dan diakronik merupakan dua pendekatan fundamental yang saling melengkapi. Keduanya digunakan untuk memahami suatu peristiwa atau fenomena masa lalu, namun memiliki fokus dan sudut pandang analisis yang berbeda.¹

Berpikir diakronik (dari bahasa Yunani dia = melalui dan chronos = waktu) merupakan pendekatan yang menekankan alur kronologis dan perkembangan suatu peristiwa dari waktu ke waktu.² Dengan kata lain, pendekatan ini mempelajari peristiwa sejarah secara linier, memperhatikan urutan, perubahan, dan sebab-akibat. Sejarawan yang menggunakan cara berpikir diakronik cenderung fokus pada proses evolusi atau transformasi, misalnya perkembangan sistem pemerintahan Indonesia dari masa kolonial hingga reformasi.

Sebaliknya, berpikir sinkronik melihat suatu peristiwa secara meluas dalam batasan waktu tertentu tanpa memperhatikan aspek perubahan waktu.³ Pendekatan ini bersifat statik dan tematik, menyoroti keterkaitan unsur-unsur dalam satu periode tertentu, seperti kondisi ekonomi, struktur sosial, budaya, dan politik pada zaman tertentu. Dengan berpikir sinkronik, seorang peneliti dapat menelaah bagaimana masyarakat Majapahit hidup dalam suatu sistem sosial dan kepercayaan tertentu pada abad ke-14, tanpa menelusuri perubahan-perubahan yang terjadi sebelum atau sesudahnya.

Kuntowijoyo menjelaskan bahwa pendekatan diakronik cocok digunakan untuk menelusuri sebab dan akibat dari suatu peristiwa, sedangkan pendekatan sinkronik digunakan untuk menganalisis struktur dan hubungan dalam suatu sistem sosial pada titik waktu tertentu.⁴ Dengan demikian, diakronik berorientasi pada narasi waktu, sedangkan sinkronik berorientasi pada analisis struktur dan konteks.

Perbedaan antara keduanya dapat dijabarkan secara lebih sistematis dalam bullet point berikut:

1)                  Fokus Analisis:

Berpikir Diakronik: Menyoroti peristiwa secara kronologis atau berurutan dalam waktu.

Berpikir Sinkronik: Menyoroti tema atau konteks dalam satu kerangka waktu tertentu.

2)                  Dimensi Utama:

Berpikir Diakronik: Berbasis waktu (time-based), memperhatikan perkembangan dari masa ke masa.

Berpikir Sinkronik: Berbasis ruang (space-based), memperhatikan aspek sosial dalam satu periode waktu.

3)                  Tujuan Analisis:

Berpikir Diakronik: Untuk menelusuri perubahan, proses, dan sebab-akibat dari suatu peristiwa.

Berpikir Sinkronik: Untuk memahami struktur, sistem, dan keterkaitan antarunsur masyarakat dalam satu waktu tertentu.

4)                  Karakteristik Pendekatan:

Berpikir Diakronik: Bersifat historis dan naratif, menyusun cerita berdasarkan urutan waktu.

Berpikir Sinkronik: Bersifat analitis dan deskriptif, mengkaji hubungan sosial secara tematik.

5)                  Contoh Aplikasi:

Berpikir Diakronik: Menganalisis sejarah kemerdekaan Indonesia dari masa penjajahan hingga proklamasi.

Berpikir Sinkronik: Menganalisis struktur sosial dan budaya kota Batavia pada abad ke-17.

Dalam praktik pembelajaran sejarah, menggabungkan kedua pendekatan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh dan mendalam terhadap suatu peristiwa.⁵ Dengan berpikir diakronik, siswa belajar melihat sejarah sebagai suatu proses yang berkembang, sedangkan berpikir sinkronik mengajarkan cara berpikir kritis terhadap dinamika sosial dalam satu masa tertentu.

Dengan demikian, berpikir sinkronik dan diakronik bukanlah pendekatan yang saling menegasikan, melainkan komplementer. Keduanya penting untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir historis yang kritis dan reflektif.


Footnotes

[1]                Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27.

[2]                S. Nasution, Metode Sejarah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 39.

[3]                Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 5 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 2004), 384.

[4]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 45–46.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 59.


4.           Pentingnya Berpikir Sinkronik dalam Ilmu Sejarah dan Sosial

Dalam ilmu sejarah, berpikir sinkronik memiliki nilai strategis karena memungkinkan analisis peristiwa secara tematik dan kontekstual, khususnya untuk memahami struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam satu kerangka waktu tertentu.¹ Pendekatan ini menjawab kebutuhan akan pemahaman yang lebih dalam dan kompleks terhadap dinamika masyarakat masa lalu, tanpa harus terjebak dalam alur naratif kronologis.

Salah satu nilai penting dari berpikir sinkronik adalah kemampuannya dalam mengkaji keterkaitan antarelemen sosial dalam suatu sistem masyarakat secara menyeluruh.² Misalnya, ketika seorang sejarawan ingin menganalisis kehidupan masyarakat di kerajaan Majapahit pada abad ke-14, pendekatan sinkronik memungkinkannya untuk mengeksplorasi secara bersamaan bagaimana struktur pemerintahan, kepercayaan agama, sistem pendidikan, dan aktivitas perdagangan saling memengaruhi dalam kurun waktu tersebut.

Kuntowijoyo menekankan bahwa pendekatan sinkronik membawa sejarah ke dalam wilayah ilmu sosial dengan menjadikan struktur sebagai objek kajian utama, bukan sekadar kronologi peristiwa.³ Melalui cara ini, sejarah diposisikan sebagai alat untuk membaca struktur makna, bukan hanya rangkaian kejadian. Berpikir sinkronik dengan demikian sejalan dengan pendekatan dalam antropologi atau sosiologi struktural yang menelaah sistem dan pola dalam kehidupan manusia.

Dalam konteks pembelajaran sejarah, pendekatan sinkronik penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan tematik pada peserta didik.⁴ Siswa diajak untuk tidak hanya menghafal tanggal dan peristiwa, tetapi juga memahami hubungan kausal dan sistemik dalam masyarakat pada suatu masa. Hal ini membantu siswa untuk memperoleh pemahaman sejarah yang lebih utuh dan relevan, serta menumbuhkan kesadaran sosial yang lebih tinggi.

Lebih dari itu, dalam ilmu sosial secara umum, pendekatan sinkronik digunakan untuk menggambarkan konfigurasi sosial pada suatu masa, yang menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan atau perencanaan sosial.⁵ Dalam penelitian interdisipliner, misalnya sejarah sosial atau sejarah ekonomi, berpikir sinkronik menyediakan alat untuk menafsirkan bagaimana suatu sistem masyarakat beroperasi pada titik waktu tertentu — misalnya struktur masyarakat petani pada masa kolonial atau jaringan ekonomi pribumi dan Tionghoa di kota-kota pelabuhan abad ke-19.

Dengan demikian, berpikir sinkronik sangat penting tidak hanya bagi ilmu sejarah, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas, yakni untuk membaca dan memahami kompleksitas kehidupan sosial manusia secara mendalam dan terstruktur.


Footnotes

[1]                Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 28.

[2]                Suyanto dan Yatim Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: SIC, 2003), 106.

[3]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 49–50.

[4]                Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 288–290.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 63–65.


5.           Contoh Penerapan Berpikir Sinkronik dalam Kajian Sejarah

Penerapan berpikir sinkronik dalam kajian sejarah memungkinkan sejarawan untuk menyelami dinamika masyarakat pada satu titik waktu tertentu secara mendalam dan tematik. Pendekatan ini sangat berguna ketika tujuan penelitian atau pembelajaran bukan untuk menelusuri kronologi peristiwa, melainkan untuk memahami struktur kehidupan sosial, budaya, ekonomi, atau politik dalam kerangka waktu tertentu

Salah satu contoh penerapan berpikir sinkronik yang signifikan adalah kajian mengenai struktur sosial dan kehidupan masyarakat kota Batavia pada abad ke-17, saat VOC menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara. Penelitian sinkronik akan berfokus pada bagaimana lapisan masyarakat terbentuk, hubungan antara penduduk Eropa, Tionghoa, dan pribumi, serta bagaimana sistem perdagangan, hukum, dan keagamaan dijalankan dalam satu masa tersebut.² Pendekatan ini menjelaskan kompleksitas sosial Batavia sebagai kota kosmopolitan, tanpa harus menganalisis bagaimana kota itu berubah dari masa ke masa.

Contoh lainnya adalah analisis terhadap kehidupan masyarakat kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (abad ke-14). Dengan berpikir sinkronik, kajian dapat diarahkan pada struktur pemerintahan, peran agama Hindu-Buddha, jaringan perdagangan internasional, dan nilai-nilai budaya yang hidup pada masa tersebut.³ Pendekatan ini tidak mempersoalkan bagaimana Majapahit berdiri atau runtuh, melainkan bagaimana elemen-elemen sosial saling berinteraksi dalam satu periode puncak kejayaan.

Dalam konteks sejarah modern, berpikir sinkronik dapat diterapkan untuk mengkaji dinamika sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru tahun 1980-an. Kajian ini bisa mencakup bagaimana negara membangun kontrol terhadap masyarakat melalui birokrasi, media massa, dan pendidikan; bagaimana pola kehidupan ekonomi rakyat terbentuk oleh industrialisasi dan urbanisasi; serta bagaimana budaya populer tumbuh dalam batasan otoritarianisme.⁴ Dengan fokus pada satu dekade tertentu, pendekatan ini membantu memperjelas relasi kuasa dan struktur sosial yang tidak selalu tampak dalam narasi sejarah konvensional.

Dalam praktik pembelajaran sejarah, penerapan berpikir sinkronik dapat dikembangkan dalam bentuk kajian tematik. Misalnya, siswa dapat diminta menganalisis kehidupan petani di masa penjajahan Belanda berdasarkan data sosial-ekonomi pada suatu kurun waktu tertentu.⁵ Dengan demikian, siswa tidak hanya menghafal urutan peristiwa, tetapi mampu memahami konfigurasi sosial yang membentuk realitas sejarah.

Melalui berbagai contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir sinkronik memberikan ruang bagi analisis yang lebih kritis, kontekstual, dan multidimensional terhadap sejarah. Ia memperkaya wawasan historis tidak hanya sebagai rangkaian cerita masa lalu, tetapi sebagai cerminan kompleksitas kehidupan manusia dalam konteks ruang dan waktu tertentu.


Footnotes

[1]                Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 29.

[2]                Mona Lohanda, Sejarah Sosial Batavia (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), 67–69.

[3]                Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (Yogyakarta: LKiS, 2005), 112–115.

[4]                Ariel Heryanto, Culture, Politics, and the New Order in Indonesia (Jakarta: Masyarakat Indonesia, 1999), 45–48.

[5]                Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 289–291.


6.           Tantangan dan Keterbatasan Berpikir Sinkronik

Meskipun berpikir sinkronik menawarkan pendekatan tematik dan struktural yang kaya untuk memahami suatu periode sejarah secara mendalam, pendekatan ini juga memiliki sejumlah tantangan dan keterbatasan yang perlu dicermati, baik dari segi metodologis maupun epistemologis.

Salah satu keterbatasan utama berpikir sinkronik adalah kecenderungannya untuk mengabaikan dimensi waktu dan perubahan historis.¹ Karena berpikir sinkronik memfokuskan kajian pada satu titik waktu tertentu, maka proses-proses evolusi sosial, transformasi budaya, atau perubahan politik yang terjadi sebelum atau sesudah periode tersebut sering kali tidak diperhatikan. Hal ini dapat menimbulkan potret yang terlalu statis dan ahistoris terhadap realitas sosial yang sejatinya selalu bergerak.² Sartono Kartodirdjo mengingatkan bahwa tanpa dilengkapi dengan pendekatan diakronik, analisis sinkronik dapat kehilangan konteks historis yang esensial bagi interpretasi yang utuh.³

Tantangan lain terletak pada kompleksitas dalam pengumpulan dan interpretasi data sejarah secara sinkronik. Seorang peneliti perlu mengakses berbagai sumber yang saling melengkapi, seperti catatan administratif, prasasti, laporan etnografi, atau arsip kolonial, yang merekam kondisi sosial pada suatu masa tertentu. Namun, sering kali sumber-sumber tersebut bersifat fragmentaris, terbatas, atau bahkan bias, tergantung siapa yang mencatatnya.⁴ Hal ini menimbulkan kesulitan dalam merangkai gambaran utuh mengenai kondisi masyarakat pada suatu periode.

Selain itu, pendekatan sinkronik dapat menimbulkan risiko generalisasi berlebihan, karena ia cenderung melihat kondisi masyarakat secara makro. Kajian struktural seperti ini sering kali luput menangkap keragaman pengalaman individual atau dinamika mikro dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika meneliti masyarakat Jawa abad ke-18, seorang peneliti mungkin menyimpulkan struktur masyarakat yang hirarkis dan feodal, tetapi tidak menangkap variasi pengalaman petani kecil atau pedagang desa yang berbeda dari gambaran umum.⁵

Dalam konteks pendidikan, pendekatan sinkronik juga menuntut kemampuan berpikir konseptual yang tinggi dari peserta didik, khususnya dalam mengaitkan antarunsur kehidupan sosial secara tematik dan lintas aspek. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru dalam mendesain pembelajaran yang adaptif dan kontekstual agar siswa tidak sekadar menghafal informasi, tetapi mampu membangun pemahaman historis yang kritis.⁶

Mengingat berbagai tantangan tersebut, pendekatan sinkronik sebaiknya tidak digunakan secara tunggal. Sebaliknya, ia harus dilengkapi dengan pendekatan diakronik agar dapat menghasilkan analisis sejarah yang menyeluruh, kontekstual, dan berimbang. Integrasi kedua pendekatan ini memungkinkan peneliti dan peserta didik untuk memahami tidak hanya bagaimana struktur sosial terbentuk dalam satu waktu, tetapi juga bagaimana struktur itu berubah seiring waktu.


Footnotes

[1]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 52.

[2]                Supriatna, Nana dan Mamat Ruhimat, Ilmu Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 29.

[3]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 66–67.

[4]                Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 1 (Jakarta: Gramedia, 1996), 21–23.

[5]                Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c.1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 109.

[6]                Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 292.


7.           Penutup

Berpikir sinkronik merupakan salah satu pendekatan penting dalam kajian sejarah yang memberikan cara pandang tematik dan kontekstual terhadap peristiwa masa lalu. Dengan menitikberatkan analisis pada suatu periode tertentu dan menelusuri hubungan antarunsur sosial, budaya, politik, serta ekonomi dalam ruang waktu yang terbatas, berpikir sinkronik memungkinkan pemahaman yang lebih dalam terhadap struktur dan dinamika masyarakat.¹

Sebagaimana dikemukakan oleh Kuntowijoyo, berpikir sinkronik memposisikan sejarah tidak hanya sebagai narasi masa lalu, tetapi juga sebagai ilmu sosial yang menjelaskan struktur makna dalam kehidupan manusia.² Pendekatan ini sangat berguna dalam memahami peristiwa sejarah secara multidimensional, karena mampu menjawab pertanyaan bagaimana masyarakat bekerja dalam suatu waktu tertentu, bukan hanya kapan atau apa yang terjadi.

Namun demikian, berpikir sinkronik juga memiliki keterbatasan metodologis, khususnya dalam hal kecenderungannya mengabaikan proses perubahan historis dan kompleksitas data sosial yang bersifat dinamis. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus dikombinasikan dengan pendekatan diakronik agar menghasilkan interpretasi sejarah yang lebih utuh dan berimbang.³ Dalam konteks pendidikan, integrasi kedua pendekatan ini juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan analitis pada peserta didik.⁴

Dengan memahami konsep dan penerapan berpikir sinkronik secara komprehensif, guru, peneliti, maupun peserta didik dapat memperluas wawasan dalam melihat sejarah bukan sekadar deretan peristiwa, tetapi sebagai refleksi struktur kehidupan manusia yang kompleks dan saling terkait. Sejarah pun tidak lagi dimaknai hanya sebagai masa lalu, tetapi sebagai cermin untuk memahami masa kini dan membentuk masa depan yang lebih sadar akan realitas sosialnya.


Footnotes

[1]                Nana Supriatna dan Mamat Ruhimat, Ilmu Sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 29.

[2]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), 45–46.

[3]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 66–67.

[4]                Mustajab, "Pengembangan Keterampilan Berpikir Historis dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 24, no. 3 (2014): 292–293.


Daftar Pustaka

Heryanto, A. (1999). Culture, politics, and the New Order in Indonesia. Masyarakat Indonesia.

Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo. (1997). Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya, Jilid 1. Jakarta: Gramedia.

Lohanda, M. (2007). Sejarah sosial Batavia. Jakarta: Masup Jakarta.

Muljana, S. (2005). Menuju puncak kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS.

Mustajab. (2014). Pengembangan keterampilan berpikir historis dalam pembelajaran sejarah di sekolah menengah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 24(3), 288–293.

Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern Indonesia since c.1200 (4th ed.). Stanford: Stanford University Press.

Supriatna, N., & Ruhimat, M. (2021). Ilmu sejarah untuk SMA/MA: Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Suyanto, & Riyanto, Y. (2003). Metodologi penelitian sosial. Surabaya: SIC.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar