Program Sekolah Berintegritas
Mewujudkan Pendidikan Bermartabat dan Berkarakter
Alihkan ke: Kurikulum 2013, PPK, Kurikulum Merdeka, P5RA, Profil Lulusan 8 Dimensi, Korupsi, Pendidikan Antikorupsi, Good Governance.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep,
dasar pemikiran, dan strategi implementasi program Sekolah Berintegritas
sebagai upaya membangun budaya jujur, tanggung jawab, dan antikorupsi sejak
jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Di tengah tantangan bangsa dalam
memberantas korupsi, sekolah dipandang sebagai aktor utama dalam membentuk
karakter generasi muda yang berintegritas. Artikel ini menjelaskan berbagai
landasan filosofis, yuridis, dan pedagogis dari program tersebut, termasuk
integrasi nilai-nilai integritas ke dalam kurikulum, penguatan budaya sekolah,
pemanfaatan teknologi digital sebagai instrumen transparansi dan edukasi, serta
pelibatan masyarakat dalam pengawasan etika sekolah. Studi kasus dari beberapa
sekolah di Indonesia ditampilkan sebagai contoh praktik baik yang dapat
direplikasi. Di sisi lain, artikel ini juga mengidentifikasi sejumlah tantangan
yang menghambat implementasi, seperti rendahnya kompetensi guru dalam
pendidikan nilai dan budaya permisif terhadap kecurangan. Untuk mengatasi hal
tersebut, diajukan sejumlah rekomendasi kebijakan, antara lain pengarusutamaan
pendidikan integritas dalam kebijakan nasional, pengembangan indikator evaluasi
integritas sekolah, dan transformasi digital yang etis. Artikel ini menegaskan
bahwa pendidikan integritas bukanlah tambahan, melainkan fondasi utama dalam
membangun bangsa yang bersih dan bermartabat.
Kata Kunci: Pendidikan integritas; sekolah berintegritas;
karakter; antikorupsi; transparansi; digitalisasi pendidikan; budaya jujur;
penguatan pendidikan karakter.
PEMBAHASAN
Implementasi Program Sekolah Berintegritas dalam
Mewujudkan Pendidikan Antikorupsi
1.
Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk
karakter generasi muda yang berintegritas. Dalam konteks bangsa Indonesia,
pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi
juga untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang beriman, bertakwa, dan
berakhlak mulia sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu nilai utama yang perlu
ditanamkan sejak dini dalam pendidikan adalah integritas, yaitu sikap
jujur, konsisten, bertanggung jawab, dan berani menolak segala bentuk
penyimpangan, termasuk korupsi.
Fenomena korupsi yang semakin meluas di berbagai
sektor, termasuk dunia pendidikan, menunjukkan bahwa upaya pemberantasan
korupsi tidak cukup hanya dengan penindakan hukum, melainkan juga harus melalui
pendekatan edukatif dan preventif. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengungkapkan bahwa pendidikan antikorupsi melalui lembaga pendidikan sangat
penting karena korupsi bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan moral
dan budaya yang berakar dalam perilaku individu dan sistem sosial masyarakat¹.
Dalam merespons hal tersebut, pemerintah melalui
KPK bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kemendikbudristek)
menggagas program Sekolah Berintegritas, yaitu sebuah inisiatif yang
bertujuan menciptakan ekosistem pendidikan yang menanamkan nilai-nilai
kejujuran, tanggung jawab, dan antikorupsi dalam seluruh aspek penyelenggaraan
pendidikan, baik melalui kurikulum, budaya sekolah, maupun manajemen
kelembagaan². Program ini menjadi bagian dari strategi nasional pencegahan
korupsi dan sejalan dengan semangat Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017.
Lebih jauh, pendidikan integritas di sekolah tidak
hanya berdampak pada siswa sebagai individu, tetapi juga pada kualitas
masyarakat di masa depan. Thomas Lickona, seorang tokoh pendidikan karakter
terkemuka, menegaskan bahwa karakter yang kuat seperti kejujuran dan tanggung
jawab harus ditanamkan secara konsisten melalui pendidikan, karena karakter
tidak tumbuh secara alami melainkan dibentuk melalui lingkungan dan kebiasaan
yang baik³. Sekolah, sebagai lembaga sosial formal, memiliki posisi ideal untuk
menanamkan nilai-nilai tersebut secara sistematis dan terukur.
Dengan latar belakang tersebut, artikel ini akan
mengkaji secara komprehensif konsep, strategi, tantangan, serta praktik baik
dalam pelaksanaan program Sekolah Berintegritas. Diharapkan, pembahasan ini
dapat memberikan kontribusi dalam memperkuat peran pendidikan sebagai benteng
pertama dalam membentuk generasi antikorupsi yang tangguh dan bermoral tinggi.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan
Antikorupsi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: KPK, 2021), 5.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Panduan Sekolah Berintegritas (Jakarta: Kemendikbud, 2020),
3–4.
[3]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 45.
2.
Konsep
Dasar Integritas dalam Dunia Pendidikan
Integritas merupakan fondasi moral yang membentuk pribadi manusia yang jujur,
konsisten, dan bertanggung jawab. Dalam konteks pendidikan, integritas bukan
hanya sekadar nilai moral individual, melainkan juga sistem nilai yang harus
terinternalisasi dalam seluruh dimensi institusi pendidikan—mulai dari guru,
siswa, kurikulum, manajemen sekolah, hingga interaksi sosial di lingkungan
belajar.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
integritas diartikan sebagai kesatuan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan
yang berdasarkan pada nilai-nilai etika dan kejujuran¹. Integritas dalam dunia
pendidikan mencakup komitmen untuk menolak segala bentuk kecurangan akademik,
penyalahgunaan kewenangan, manipulasi data, dan perilaku tidak etis lainnya.
Maka dari itu, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari upaya sistematis
membentuk karakter peserta didik yang berintegritas.
Dalam kajian pendidikan karakter, integritas sering
disandingkan dengan nilai-nilai lain seperti kejujuran, tanggung jawab,
keteladanan, dan keberanian moral. Thomas Lickona menyatakan bahwa karakter
yang baik adalah kombinasi dari “moral knowing, moral feeling, and moral
behavior”—tiga elemen yang harus dikembangkan secara terpadu dalam proses
pendidikan². Artinya, integritas tidak hanya diajarkan secara konseptual,
tetapi juga dilatih melalui pembiasaan dan keteladanan.
Dalam lingkup global, integritas pendidikan juga
menjadi perhatian internasional. UNESCO, dalam kerangka Education for
Sustainable Development, menekankan pentingnya pendidikan nilai yang
membentuk warga dunia yang bertanggung jawab, jujur, dan berpikir etis dalam
menghadapi tantangan sosial kontemporer³. Pendidikan yang tidak membentuk
integritas justru rentan menghasilkan generasi yang cerdas secara kognitif,
tetapi miskin moral.
Lebih lanjut, integritas tidak hanya menyangkut
perilaku individual, tetapi juga menyangkut tata kelola kelembagaan. Sekolah
sebagai institusi harus memiliki sistem dan budaya yang transparan, akuntabel,
dan bebas dari praktik penyimpangan. Hal ini mencakup penerapan tata kelola
sekolah yang baik (good school governance), mulai dari pengelolaan
anggaran, penilaian siswa, hingga rekrutmen tenaga pendidik.
Oleh karena itu, membangun integritas dalam
pendidikan memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan berkesinambungan. Sekolah
Berintegritas bukanlah sekadar slogan, melainkan proses pembudayaan yang
melibatkan seluruh ekosistem pendidikan untuk menjadikan integritas sebagai
nilai hidup yang nyata.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan
Antikorupsi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: KPK, 2021), 9.
[2]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 51.
[3]
UNESCO, Education for Sustainable Development: A
Roadmap (Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization, 2020), 28.
3.
Landasan
Filosofis, Yuridis, dan Pedagogis Program Sekolah Berintegritas
Program Sekolah
Berintegritas tidak lahir dari ruang hampa, melainkan berpijak pada
landasan yang kokoh secara filosofis, yuridis, dan pedagogis. Ketiga landasan
ini membentuk kerangka normatif sekaligus operasional yang menjadikan program
ini sahih secara prinsip dan aplikatif dalam dunia pendidikan.
3.1. Landasan Filosofis: Pendidikan sebagai Proses
Pemuliaan Martabat Manusia
Secara filosofis,
pendidikan dipahami sebagai proses pemanusiaan manusia (humanization),
yakni usaha sadar untuk menumbuhkan potensi manusia menuju kebajikan dan
integritas moral. Nilai-nilai luhur Pancasila menjadi dasar etis dan ideologis
dalam sistem pendidikan Indonesia. Sila kedua dan kelima, yang menekankan nilai
“kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia,” menuntut hadirnya sistem pendidikan yang
membangun kejujuran, tanggung jawab, dan sikap antikorupsi¹.
Selain itu, gagasan
Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai upaya menuntun kodrat anak agar
mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya juga menegaskan bahwa pembentukan
karakter, termasuk integritas, adalah inti dari pendidikan². Dalam paradigma
ini, integritas bukanlah pelengkap, melainkan substansi dari keseluruhan proses
pendidikan.
3.2. Landasan Yuridis: Kerangka Hukum dan Kebijakan
Nasional
Landasan yuridis program
Sekolah Berintegritas dapat ditelusuri dalam berbagai peraturan
perundang-undangan nasional yang menegaskan pentingnya pendidikan karakter dan
pemberantasan korupsi sejak dini. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab³.
Peraturan Presiden
Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menjadi tonggak
penting dalam mengarusutamakan nilai-nilai karakter inti—termasuk religiusitas,
nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas—dalam kurikulum dan
budaya sekolah⁴. Di sisi lain, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas
PK) yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 dan diperkuat
dalam Rencana Aksi Pencegahan Korupsi (RAN PK) menempatkan pendidikan
antikorupsi sebagai salah satu area prioritas dalam upaya jangka panjang
pemberantasan korupsi⁵.
3.3. Landasan Pedagogis: Prinsip-Prinsip Pendidikan
Karakter dan Pembelajaran Nilai
Dari sisi pedagogis,
Sekolah Berintegritas bertumpu pada pendekatan pendidikan karakter yang
mengintegrasikan aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik
(tindakan). Thomas Lickona menekankan bahwa pendidikan karakter harus dilakukan
secara sadar, sistematis, dan berkelanjutan dengan melibatkan keteladanan,
pembiasaan, serta pembelajaran nilai yang aplikatif dalam kehidupan nyata⁶.
Pendekatan ini menuntut keterlibatan aktif seluruh komponen sekolah dalam
membentuk ekosistem yang mendukung perilaku jujur dan bertanggung jawab.
Dalam konteks
pembelajaran, program ini dapat diintegrasikan secara intrakurikuler melalui
materi pada mata pelajaran seperti PPKn, agama, dan bahasa; secara kokurikuler
melalui kegiatan proyek penguatan profil pelajar Pancasila; serta secara
ekstrakurikuler melalui organisasi siswa, kegiatan kepramukaan, dan forum
diskusi etika.
Footnotes
[1]
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Naskah Akademik Penguatan Pendidikan
Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 11.
[2]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa, 2004), 15.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[4]
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter, Pasal 1 ayat (3).
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Strategi Nasional Pencegahan
Korupsi (Jakarta: KPK, 2021), 18–19.
[6]
Thomas Lickona, Character Matters: How to Help Our Children Develop
Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues (New York:
Touchstone, 2004), 67.
4.
Strategi
Implementasi Program Sekolah Berintegritas
Implementasi program
Sekolah
Berintegritas membutuhkan pendekatan sistemik dan kolaboratif,
menyasar seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan: kurikulum, budaya sekolah,
manajemen kelembagaan, serta pelibatan masyarakat dan orang tua. Strategi ini
menekankan pentingnya membangun ekosistem pendidikan yang secara
aktif memelihara dan menginternalisasi nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab,
dan antikorupsi ke dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
4.1. Integrasi Nilai Integritas dalam Kurikulum dan
Pembelajaran
Salah satu strategi
utama adalah mengintegrasikan nilai-nilai integritas ke dalam kurikulum. Nilai
seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian moral perlu dihadirkan tidak
hanya melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
atau Pendidikan Agama, tetapi juga diinternalisasi dalam berbagai konteks
pembelajaran lintas mata pelajaran¹. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menyarankan pendekatan embedded curriculum, di mana materi
pendidikan antikorupsi disisipkan ke dalam pembelajaran kontekstual melalui
studi kasus, diskusi etika, dan refleksi pengalaman².
Guru memegang peran
penting sebagai fasilitator nilai. Oleh karena itu, pelatihan khusus dan
pengembangan kapasitas pendidik dalam bidang pendidikan karakter dan integritas
menjadi kebutuhan mendesak. Pelatihan ini tidak hanya bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman kognitif guru tentang integritas, tetapi juga membekali
mereka dengan strategi pedagogis yang efektif untuk menanamkannya di kelas³.
4.2. Penguatan Budaya Sekolah yang Mendorong Integritas
Strategi
implementasi tidak cukup jika hanya berhenti pada tataran pembelajaran. Budaya
sekolah—yang mencakup norma, kebiasaan, dan sistem penghargaan-hukuman—harus
turut mendukung internalisasi nilai integritas. UNESCO menegaskan pentingnya
pendekatan holistik dalam pendidikan karakter, termasuk penciptaan school
ethos yang konsisten dan mendorong praktik baik⁴.
Sekolah dapat
menciptakan kebiasaan seperti pelaporan kecurangan ujian secara sukarela,
sistem “kotak integritas”, atau kegiatan “satu hari tanpa kebohongan”.
Program student
integrity ambassador juga dapat dikembangkan sebagai bentuk
pembelajaran sejawat (peer education). Keberhasilan pendekatan ini akan sangat
bergantung pada keteladanan pimpinan sekolah dan konsistensi seluruh warga
sekolah dalam menegakkan nilai yang sama.
4.3. Tata Kelola Sekolah yang Transparan dan Akuntabel
Penerapan prinsip
tata kelola yang baik (good school governance) merupakan
prasyarat penting bagi sekolah berintegritas. Pengelolaan anggaran sekolah,
proses pengambilan keputusan, dan manajemen penilaian harus dilakukan secara
terbuka, dapat diakses, dan melibatkan berbagai pihak. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan menyarankan penerapan School Financial Management Transparency System
berbasis digital untuk mencegah praktik manipulasi atau penyimpangan
administratif⁵.
Selain itu, penggunaan
teknologi informasi seperti e-raport, e-presensi,
dan sistem pengawasan daring dapat memperkuat transparansi dan akuntabilitas
proses pendidikan, sekaligus menumbuhkan budaya digital yang etis di lingkungan
sekolah.
4.4. Pelibatan Orang Tua dan Masyarakat
Strategi
implementasi juga harus melibatkan pemangku kepentingan eksternal. Orang tua
siswa dan masyarakat sekitar sekolah perlu dilibatkan melalui forum seperti
Komite Sekolah, kegiatan parenting education, dan program kemitraan antikorupsi
berbasis komunitas. KPK menekankan bahwa pendidikan antikorupsi hanya akan
berhasil jika menjadi gerakan kolektif lintas sektor⁶.
Dengan melibatkan
semua unsur dalam dan luar sekolah, program Sekolah Berintegritas akan memiliki
daya dukung sosial yang kuat, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan
pendidikan yang tidak hanya bebas dari kecurangan, tetapi juga proaktif dalam
memelihara nilai-nilai luhur bangsa.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Sekolah Berintegritas (Jakarta: Kemendikbud, 2020), 11–12.
[2]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan Antikorupsi untuk
Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: KPK, 2021), 21–23.
[3]
Bappenas dan KPK, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi: Laporan
Aksi Pendidikan (Jakarta: Bappenas, 2020), 14.
[4]
UNESCO, Education for Sustainable Development: A Roadmap
(Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization,
2020), 35.
[5]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Pedoman Tata
Kelola Sekolah yang Transparan dan Akuntabel (Jakarta: Kemendikbud, 2019),
17–18.
[6]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2021: Membangun
Sinergi untuk Integritas (Jakarta: KPK, 2022), 43.
5.
Studi
Kasus dan Praktik Baik Sekolah Berintegritas
Penerapan program Sekolah
Berintegritas telah menunjukkan berbagai praktik baik yang layak dijadikan
model replikasi. Studi-studi lapangan dan dokumentasi dari Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) pendidikan menunjukkan bahwa transformasi budaya sekolah
menuju nilai-nilai integritas bukan hanya memungkinkan, tetapi juga membawa
dampak positif yang signifikan terhadap iklim belajar, moralitas peserta didik,
serta kualitas tata kelola sekolah.
5.1. SMAN 1 Sewon, Yogyakarta: Integritas sebagai Budaya
Kolektif
Salah satu contoh
menonjol adalah SMAN 1 Sewon di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang menjadi
percontohan nasional dalam implementasi Sekolah Berintegritas. Sekolah ini
menerapkan program “SIPINTAR” (Siswa Pintar dan Integritas), yang memadukan
pembelajaran nilai dengan kegiatan praktik langsung, seperti debat etika,
laporan kejujuran mingguan, serta deklarasi integritas siswa setiap awal
semester¹.
Keberhasilan sekolah
ini terletak pada sinergi antara kepala sekolah, guru, dan siswa dalam
menanamkan budaya kolektif anti-kecurangan. Sekolah bahkan membentuk tim
audit integritas internal yang beranggotakan siswa dan guru untuk
memantau pelaksanaan aturan etika di sekolah secara sukarela. Pendekatan ini
terbukti meningkatkan kesadaran moral siswa dalam menghadapi godaan mencontek
atau manipulasi tugas².
5.2. MAN 2 Kota Malang: Integrasi Kurikulum dan Literasi
Antikorupsi
Praktik baik juga
ditemukan di MAN 2 Kota Malang, yang menyusun kurikulum integritas tematik pada
mata pelajaran PAI, Sejarah, dan Bahasa Indonesia. Setiap guru diberi kebebasan
menyisipkan materi antikorupsi melalui studi kasus lokal dan diskusi reflektif
dalam kelas. Selain itu, perpustakaan sekolah menyediakan “pojok literasi
integritas” yang berisi buku-buku antikorupsi, komik pendidikan etika,
serta film dokumenter dari KPK³.
Salah satu kegiatan
unggulan mereka adalah proyek kelas bertajuk “Zero Tolerance to Dishonesty”,
yang meminta siswa membuat kampanye kreatif mengenai nilai-nilai kejujuran.
Hasil evaluasi internal sekolah menunjukkan adanya penurunan drastis dalam
praktik menyontek dan peningkatan minat siswa terhadap isu etika sosial.
5.3. SD IT Nurul Fikri, Depok: Pendidikan Integritas
Sejak Dini
Pada jenjang
pendidikan dasar, SD IT Nurul Fikri di Depok berhasil membangun budaya
integritas dengan pendekatan character immersion. Sekolah ini
mengimplementasikan program “Pagi Penuh Arti”, di mana setiap pagi siswa
diberikan tantangan kecil untuk menunjukkan kejujuran, seperti mengembalikan
barang yang bukan miliknya atau memberikan laporan mandiri bila terlambat.
Nilai-nilai tersebut diperkuat melalui narasi kisah teladan dalam buku bacaan
harian⁴.
Keberhasilan sekolah
ini membuktikan bahwa pembentukan integritas tidak harus menunggu sampai
jenjang pendidikan tinggi. Dengan pendekatan yang konsisten dan kontekstual,
nilai-nilai etika dapat terinternalisasi sejak usia dini dalam bentuk kebiasaan
dan pengalaman nyata.
5.4. Faktor Keberhasilan dan Tantangan
Dari berbagai studi
kasus tersebut, beberapa faktor keberhasilan yang dapat diidentifikasi antara
lain:
·
Keteladanan pimpinan
sekolah dan guru dalam bersikap jujur dan terbuka.
·
Keterlibatan aktif siswa
dalam merancang dan menjalankan program.
·
Dukungan kebijakan dari
dinas pendidikan atau pemerintah daerah.
·
Ketersediaan bahan ajar dan
media edukatif yang relevan.
Namun demikian,
tantangan utama tetap ada, seperti resistensi terhadap perubahan budaya lama,
kurangnya pelatihan guru dalam metode pendidikan integritas, serta keterbatasan
sarana pendukung. Oleh karena itu, keberlanjutan program sangat bergantung pada
komitmen jangka panjang dan konsistensi pelaksanaan.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Praktik Baik Sekolah
Berintegritas 2020 (Jakarta: KPK, 2021), 14–16.
[2]
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Integritas dan
Pendidikan: Studi Kasus pada Sekolah Negeri di DIY (Yogyakarta: ELSAM,
2021), 22.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Buku
Panduan Implementasi Kurikulum Integritas di Sekolah (Jakarta:
Kemendikbud, 2020), 28–30.
[4]
Nurul Fikri Foundation, Laporan Evaluasi Program Pagi Penuh Arti:
Tahun Ajaran 2021–2022 (Depok: Yayasan Nurul Fikri, 2022), 5–6.
6.
Tantangan
dan Solusi dalam Mewujudkan Sekolah Berintegritas
Meskipun konsep Sekolah
Berintegritas mendapat dukungan luas secara konseptual,
implementasi di lapangan menghadapi berbagai tantangan struktural, kultural,
dan teknis. Hambatan ini tidak hanya bersumber dari keterbatasan sumber daya,
tetapi juga dari resistensi budaya serta kurangnya konsistensi dalam kebijakan
pendidikan. Oleh karena itu, identifikasi tantangan dan formulasi solusi yang
realistis menjadi bagian penting dalam memperkuat program ini secara
berkelanjutan.
6.1. Tantangan dalam Implementasi
6.1.1.
Budaya Permisif terhadap
Ketidakjujuran
Salah satu tantangan
paling mendasar adalah budaya permisif terhadap perilaku tidak jujur yang telah
lama melekat di berbagai lingkungan pendidikan. Praktik seperti mencontek,
manipulasi nilai, dan jual beli soal ujian masih dianggap hal biasa oleh
sebagian siswa dan bahkan guru¹. Hal ini menandakan lemahnya penanaman nilai
integritas sejak dini dan kurangnya keteladanan dari para pendidik.
6.1.2.
Kurangnya Kompetensi Guru
dalam Pendidikan Nilai
Mayoritas guru belum
mendapatkan pelatihan yang memadai tentang pendidikan karakter, khususnya integritas
dan antikorupsi. Penelitian KPK menunjukkan bahwa hanya sekitar 28% guru yang
memahami pendekatan pembelajaran nilai secara metodologis². Akibatnya, nilai
integritas sering hanya disampaikan secara verbal, tanpa pendekatan pedagogis
yang efektif.
6.1.3.
Ketiadaan Indikator dan
Evaluasi Khusus
Tidak adanya
indikator terukur untuk menilai keberhasilan pendidikan integritas membuat
program ini sulit dimonitor dan dievaluasi secara objektif. Sekolah belum
memiliki instrumen yang sahih untuk mengukur perubahan sikap, perilaku, dan
budaya integritas secara sistemik³.
6.1.4.
Tekanan Administratif dan
Beban Kurikulum
Guru dan sekolah
kerap dibebani berbagai tuntutan administratif dan target akademik yang sempit.
Dalam kondisi ini, pendidikan nilai sering dipinggirkan dan dianggap bukan
prioritas utama⁴. Ketimpangan ini menghambat integrasi nilai integritas secara
substansial dalam proses pembelajaran.
6.2. Solusi Strategis dan Rekomendasi Kebijakan
6.2.1.
Penguatan Kapasitas Guru
melalui Pelatihan Khusus
Pelatihan pendidikan
karakter berbasis integritas harus dijadikan bagian dari pengembangan
profesional guru. Program pelatihan perlu menitikberatkan pada pedagogi nilai,
strategi pembelajaran berbasis etika, dan praktik reflektif. Kementerian
Pendidikan dapat menggandeng KPK dan LSM pendidikan untuk menyusun modul
pelatihan yang kontekstual dan aplikatif⁵.
6.2.2. Reformasi Budaya Sekolah
Berbasis Keteladanan dan Partisipasi
Upaya mewujudkan
sekolah berintegritas harus dimulai dari pembentukan budaya organisasi yang
sehat. Keteladanan kepala sekolah dan guru sangat krusial sebagai role model.
Di samping itu, pelibatan siswa dalam penyusunan kode etik dan pengawasan etika
sekolah dapat meningkatkan rasa kepemilikan terhadap nilai-nilai integritas⁶.
6.2.3. Penetapan Indikator dan Evaluasi
Integritas Sekolah
Pemerintah dan
lembaga terkait perlu menyusun instrumen evaluasi yang mampu mengukur
pencapaian integritas di sekolah. Indikator ini mencakup dimensi kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap), dan perilaku nyata siswa serta praktik manajerial
sekolah. Evaluasi dapat dilakukan secara berkala sebagai bagian dari akreditasi
lembaga pendidikan⁷.
6.2.4. Integrasi Nilai Integritas
dalam Semua Komponen Kurikulum dan Ekstrakurikuler
Solusi lain yang
signifikan adalah memasukkan nilai-nilai integritas dalam RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran), proyek penguatan profil pelajar Pancasila, dan
kegiatan ekstrakurikuler. Melalui pendekatan lintas kurikulum, integritas tidak
menjadi “mata pelajaran tambahan”, melainkan nilai hidup yang melandasi
seluruh proses belajar mengajar⁸.
6.2.5. Optimalisasi Pemanfaatan
Teknologi dan Transparansi Digital
Penggunaan platform
digital seperti e-raport, e-keuangan,
dan dashboard
etika sekolah berbasis daring dapat meningkatkan transparansi tata
kelola dan menjadi sarana pendidikan nilai yang lebih akuntabel. Selain itu,
platform digital juga dapat digunakan untuk menyebarluaskan materi kampanye
antikorupsi secara masif⁹.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan Antikorupsi untuk
Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: KPK, 2021), 7–9.
[2]
Bappenas dan KPK, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi: Laporan
Aksi Pendidikan (Jakarta: Bappenas, 2020), 12.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Implementasi
Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 21.
[4]
Lembaga Studi Pendidikan Indonesia, Studi Evaluatif tentang Beban
Administratif Guru dan Kualitas Pembelajaran Nilai (Jakarta: LSPI, 2021),
15–16.
[5]
Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek, Pelatihan Pendidikan
Karakter Berbasis Nilai Integritas (Jakarta: Kemdikbudristek, 2022), 18.
[6]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2021: Sinergi
Antarkomponen dalam Pendidikan Antikorupsi (Jakarta: KPK, 2022), 38.
[7]
Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Indikator dan
Instrumen Evaluasi Pendidikan Karakter (Jakarta: BSKAP, 2021), 9–10.
[8]
UNESCO, Education for Sustainable Development: A Roadmap
(Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization,
2020), 33–34.
[9]
Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen, Digitalisasi Sekolah
dan Transparansi Tata Kelola (Jakarta: Kemendikbud, 2021), 23–25.
7.
Peran
Digitalisasi dan Teknologi dalam Mendorong Integritas di Sekolah
Era transformasi
digital menghadirkan peluang besar bagi penguatan integritas dalam sistem
pendidikan. Teknologi tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu pembelajaran,
tetapi juga sebagai instrumen transparansi, akuntabilitas, serta sarana
internalisasi nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab. Dalam konteks Sekolah
Berintegritas, digitalisasi dapat berperan strategis dalam
membentuk budaya sekolah yang terbuka, efisien, dan beretika.
7.1. Digitalisasi sebagai Instrumen Transparansi Tata
Kelola
Penerapan teknologi
informasi dalam tata kelola sekolah telah terbukti efektif dalam mencegah praktik
penyimpangan administratif. Sistem digital seperti e-raport, e-keuangan
sekolah, dan sistem manajemen pembelajaran (LMS)
memungkinkan pengawasan publik dan partisipasi orang tua secara real-time
terhadap proses dan hasil pendidikan¹. Melalui sistem ini, praktik manipulasi
nilai, pungutan liar, atau penyalahgunaan anggaran dapat diminimalkan karena
semua data tercatat secara digital dan dapat diaudit secara terbuka.
Berdasarkan studi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekolah-sekolah yang telah menerapkan
sistem manajemen berbasis digital menunjukkan tingkat pelanggaran etika dan
administratif yang lebih rendah dibanding sekolah yang masih menggunakan sistem
manual². Teknologi menciptakan jejak digital (digital
traceability) yang mendorong perilaku akuntabel dari semua pihak di lingkungan
sekolah.
7.2. Teknologi sebagai Sarana Edukasi Nilai dan Literasi
Digital Etis
Teknologi digital
juga dapat dimanfaatkan sebagai medium edukatif untuk menyampaikan nilai-nilai
integritas. Aplikasi pembelajaran berbasis etika, video animasi pendidikan
antikorupsi, permainan interaktif (serious games), serta media sosial
sekolah yang mengedepankan konten inspiratif dan keteladanan, merupakan
strategi efektif dalam membangun kesadaran moral siswa di era digital³.
UNESCO mendorong
implementasi Digital Citizenship Education yang
mengajarkan siswa untuk bertindak bertanggung jawab, kritis, dan etis dalam
lingkungan digital⁴. Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan
perangkat, tetapi juga mencakup nilai integritas dalam penggunaan informasi,
penghormatan terhadap privasi, serta keberanian melawan disinformasi dan ujaran
kebencian.
7.3. Penguatan Sistem Pelaporan dan Pengawasan
Partisipatif
Salah satu inovasi
penting dalam konteks sekolah berintegritas adalah pengembangan sistem
pelaporan pelanggaran berbasis teknologi (whistleblowing system). Melalui
platform digital yang aman dan anonim, siswa maupun guru dapat melaporkan
tindakan tidak jujur, perundungan, atau penyimpangan administratif tanpa rasa
takut. Sekolah-sekolah yang telah mengadopsi sistem ini mengalami peningkatan
kepedulian etis serta penurunan praktik tidak terpuji dalam aktivitas sekolah⁵.
Selain itu,
teknologi dapat digunakan untuk membentuk dashboard integritas sekolah, yakni
platform terbuka yang memuat indikator-indikator etika dan transparansi. Orang
tua, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dapat mengakses data tersebut
sebagai bentuk kontrol sosial terhadap praktik pendidikan.
7.4. Tantangan Etis dalam Pemanfaatan Teknologi
Namun, pemanfaatan
teknologi juga menyimpan risiko jika tidak disertai pendidikan nilai yang
memadai. Meningkatnya kasus plagiarisme digital, cyberbullying, dan kecanduan
gawai menunjukkan pentingnya membarengi digitalisasi dengan pendidikan
karakter. Oleh karena itu, pendidikan integritas berbasis teknologi harus
dilakukan dengan pendekatan menyeluruh yang tidak hanya mengedepankan aspek
teknis, tetapi juga penguatan nilai-nilai moral dan spiritual.
Footnotes
[1]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Pedoman
Penggunaan Sistem Informasi Manajemen Sekolah Digital (Jakarta:
Kemendikbud, 2020), 8–10.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Laporan
Evaluasi Digitalisasi Sekolah: Menuju Tata Kelola yang Transparan
(Jakarta: Kemendikbud, 2021), 17.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pendidikan Antikorupsi Digital: Modul
Interaktif untuk Sekolah (Jakarta: KPK, 2022), 12–15.
[4]
UNESCO, Digital Citizenship Education: Teaching Adolescents to
Navigate the Online World Responsibly (Paris: UNESCO, 2020), 5–7.
[5]
Lembaga Pendidikan dan Etika Publik (LPEP), Whistleblowing System
dan Sekolah Jujur: Studi Kasus di Kota Bandung (Bandung: LPEP, 2021), 19–21.
8.
Rekomendasi
Kebijakan dan Arah Penguatan Sekolah Berintegritas
Mewujudkan Sekolah
Berintegritas secara menyeluruh membutuhkan kerangka kebijakan yang
kuat, konsisten, dan berbasis bukti. Penguatan nilai integritas dalam
pendidikan tidak dapat mengandalkan pendekatan parsial atau sporadis, melainkan
menuntut sinergi antara regulasi nasional, dukungan kelembagaan, penguatan
kapasitas, serta keterlibatan aktif masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
sejumlah rekomendasi kebijakan strategis untuk memperkuat dan memperluas dampak
dari program ini.
8.1. Pengarusutamaan Pendidikan Integritas dalam
Kebijakan Pendidikan Nasional
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) perlu
mengarusutamakan pendidikan integritas dalam setiap dokumen kebijakan
strategis, termasuk dalam Kurikulum Merdeka dan Standar Nasional Pendidikan.
Nilai-nilai integritas harus dijadikan bagian dari profil pelajar Pancasila, bukan
sekadar muatan tambahan⁽¹⁾. Selain itu, indikator integritas harus dimasukkan
dalam standar penilaian sekolah, asesmen karakter, dan akreditasi lembaga
pendidikan⁽²⁾.
Kebijakan ini juga
perlu sejalan dengan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi
(Stranas PK) yang menekankan pentingnya pendekatan preventif melalui pendidikan
sejak dini sebagai bagian dari gerakan nasional antikorupsi⁽³⁾.
8.2. Penetapan Indikator Nasional Sekolah Berintegritas
Pemerintah perlu
mengembangkan Indeks Sekolah Berintegritas Nasional
sebagai instrumen evaluatif berbasis indikator terukur, baik kualitatif maupun
kuantitatif. Indikator ini mencakup:
·
Persentase guru yang telah
mengikuti pelatihan pendidikan karakter dan integritas.
·
Ketersediaan dan
pemanfaatan bahan ajar antikorupsi.
·
Tingkat partisipasi siswa
dalam program integritas sekolah.
·
Mekanisme transparansi dan
pelaporan internal sekolah.
·
Pelibatan masyarakat dalam
pengawasan etika sekolah⁽⁴⁾.
Indeks ini dapat
menjadi dasar untuk memberikan penghargaan, insentif, atau pembinaan bagi
sekolah-sekolah yang berhasil menginternalisasi nilai integritas secara
sistemik.
8.3. Sinergi Antarlembaga: Pemerintah, KPK, dan
Masyarakat Sipil
Penguatan program
sekolah berintegritas tidak dapat berjalan tanpa kerja sama lintas sektor.
Kemendikbudristek perlu memperluas kerja sama dengan KPK, LSM pendidikan, serta
lembaga-lembaga keagamaan untuk merancang materi, pelatihan, dan kampanye
integritas di sekolah. Kolaborasi ini dapat berupa penyusunan modul antikorupsi
yang kontekstual, penyelenggaraan lomba literasi etika, dan penguatan pelatihan
guru berbasis karakter⁽⁵⁾.
Selain itu,
pemerintah daerah juga perlu diberdayakan untuk menjadi champion
dalam menyukseskan sekolah berintegritas melalui kebijakan lokal dan
pengalokasian anggaran khusus.
8.4. Inovasi Teknologi dan Transformasi Digital yang
Etis
Dalam arah kebijakan
jangka menengah, perlu dikembangkan platform digital nasional yang mendukung
praktik transparansi dan edukasi nilai integritas. Pemerintah dapat membangun dashboard
integritas sekolah berbasis daring yang menampilkan data
pelaksanaan pendidikan karakter, laporan publik, serta materi kampanye antikorupsi.
Platform ini juga dapat menjadi pusat pelatihan digital bagi guru dan siswa⁽⁶⁾.
Namun, penguatan
literasi digital yang etis menjadi syarat mutlak agar transformasi digital
tidak justru memicu disinformasi atau pelanggaran etika baru di ruang siber.
8.5. Pembudayaan dan Konsistensi Nilai dalam Ekosistem
Pendidikan
Rekomendasi
terakhir, tetapi paling mendasar, adalah pentingnya pembudayaan
nilai secara konsisten. Sekolah harus menjadikan integritas
sebagai “nilai hidup”, bukan hanya sebagai tema kegiatan atau jargon.
Hal ini hanya dapat terwujud bila kepala sekolah, guru, staf, siswa, dan orang
tua terlibat aktif dalam menciptakan budaya positif yang menjunjung kejujuran
dan tanggung jawab⁽⁷⁾.
Pendekatan berbasis
ekosistem ini harus diperkuat oleh kepemimpinan moral yang kuat dan proses
refleksi bersama yang terus-menerus.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka: Penguatan Profil Pelajar
Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 25.
[2]
Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Buku Saku
Standar Nasional Pendidikan 2023 (Jakarta: BSKAP, 2023), 14–15.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi
2021–2024 (Jakarta: KPK, 2021), 18.
[4]
Pusat Penguatan Karakter, Indeks Integritas Sekolah: Instrumen
Evaluasi Internal (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kemitraan Antikorupsi: Praktik Baik
Kolaborasi Pendidikan dan Masyarakat Sipil (Jakarta: KPK, 2020), 12.
[6]
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar dan Menengah, Blueprint
Transformasi Digital Pendidikan Nasional 2021–2025 (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2021), 31.
[7]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 53.
9.
Penutup
Program Sekolah Berintegritas merupakan
langkah strategis dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan
sikap antikorupsi sejak dini dalam dunia pendidikan. Dalam konteks bangsa yang
terus berjuang melawan korupsi sebagai penyakit sosial dan sistemik, sekolah
tidak dapat lagi bersikap netral. Pendidikan yang hanya mencetak lulusan berprestasi
tanpa karakter berintegritas justru berpotensi melahirkan generasi cerdas yang
rawan menyalahgunakan kecerdasannya untuk kepentingan yang menyimpang¹.
Melalui pendekatan berbasis kurikulum, budaya
sekolah, teknologi, serta tata kelola yang transparan dan partisipatif, Sekolah
Berintegritas hadir bukan hanya sebagai program tambahan, melainkan sebagai
core value dari sistem pendidikan yang memanusiakan manusia. Seperti
ditegaskan oleh Thomas Lickona, pembentukan karakter bukanlah sesuatu yang
terjadi secara kebetulan, tetapi melalui proses pendidikan yang disengaja,
sistematis, dan berkelanjutan².
Pembahasan artikel ini menunjukkan bahwa penerapan
integritas di sekolah membutuhkan kolaborasi lintas sektor—pemerintah, sekolah,
keluarga, dan masyarakat sipil—dengan dukungan kebijakan yang kuat, pelatihan
guru yang memadai, serta sistem evaluasi yang akuntabel. Teknologi juga dapat
menjadi katalis yang memperkuat akuntabilitas dan literasi etika digital dalam
lingkungan belajar, asalkan digunakan dengan pendekatan yang reflektif dan
etis.
Namun, tantangan tetap ada: budaya permisif
terhadap ketidakjujuran, beban administratif guru, dan minimnya indikator
evaluasi pendidikan karakter masih menjadi hambatan nyata. Oleh karena itu,
penguatan Sekolah Berintegritas harus dilakukan melalui pendekatan
ekosistem, yang menjadikan integritas sebagai budaya bersama dan bukan sekadar
slogan.
Akhirnya, Sekolah Berintegritas bukanlah
tujuan akhir, melainkan proses panjang membentuk generasi yang tidak hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral. Membangun generasi
antikorupsi dimulai dari ruang kelas—dengan keteladanan, pembiasaan, dan
pembelajaran yang menanamkan integritas sebagai fondasi kehidupan.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan
Antikorupsi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: KPK, 2021), 4.
[2]
Thomas Lickona, Character Matters: How to Help
Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues
(New York: Touchstone, 2004), 48–49.
Daftar Pustaka
Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan.
(2023). Buku saku standar nasional pendidikan 2023. Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Bappenas & Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2020). Strategi nasional pencegahan korupsi: Laporan aksi pendidikan.
Bappenas.
Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen.
(2021). Digitalisasi sekolah dan transparansi tata kelola. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
(2019). Pedoman tata kelola sekolah yang transparan dan akuntabel.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
(2020). Pedoman penggunaan sistem informasi manajemen sekolah digital.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2019). Panduan implementasi pendidikan karakter dalam Kurikulum
2013. Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2020). Panduan sekolah berintegritas. Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2021). Laporan evaluasi digitalisasi sekolah:
Menuju tata kelola yang transparan. Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan implementasi Kurikulum
Merdeka: Penguatan profil pelajar Pancasila. Kemendikbudristek.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2020). Kemitraan
antikorupsi: Praktik baik kolaborasi pendidikan dan masyarakat sipil. KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2021). Laporan
praktik baik sekolah berintegritas 2020. KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2021). Modul
pendidikan antikorupsi untuk pendidikan dasar dan menengah. KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022). Laporan
tahunan KPK 2021: Sinergi antarkomponen dalam pendidikan antikorupsi. KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022). Pendidikan
antikorupsi digital: Modul interaktif untuk sekolah. KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2021). Strategi
nasional pencegahan korupsi 2021–2024. KPK.
Lembaga Pendidikan dan Etika Publik. (2021). Whistleblowing
system dan sekolah jujur: Studi kasus di Kota Bandung. LPEP.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. (2021). Integritas
dan pendidikan: Studi kasus pada sekolah negeri di DIY. ELSAM.
Lembaga Studi Pendidikan Indonesia. (2021). Studi
evaluatif tentang beban administratif guru dan kualitas pembelajaran nilai.
LSPI.
Lickona, T. (1991). Educating for character: How
our schools can teach respect and responsibility. Bantam Books.
Lickona, T. (2004). Character matters: How to
help our children develop good judgment, integrity, and other essential virtues.
Touchstone.
Nurul Fikri Foundation. (2022). Laporan evaluasi
program Pagi Penuh Arti: Tahun ajaran 2021–2022. Yayasan Nurul Fikri.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2017). Naskah
akademik penguatan pendidikan karakter. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Pusat Penguatan Karakter. (2022). Indeks
integritas sekolah: Instrumen evaluasi internal. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek. (2022).
Pelatihan pendidikan karakter berbasis nilai integritas.
Kemendikbudristek.
UNESCO. (2020). Digital citizenship education:
Teaching adolescents to navigate the online world responsibly. United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
UNESCO. (2020). Education for sustainable
development: A roadmap. United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar