Zaman Keemasan Islam (Islamic Golden Age)
Kontribusi Peradaban Islam terhadap Ilmu Pengetahuan
dan Dunia Modern
Alihkan ke: Pembagian Zaman.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif periode
Zaman Keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-14 M) sebagai tonggak penting dalam
sejarah peradaban dunia, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan
teknologi. Melalui pendekatan historis-tematik, artikel ini menelusuri latar
belakang kemunculan era keemasan tersebut dalam konteks politik dan sosial
Dinasti Abbasiyah, serta menelaah perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan
seperti kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan ilmu-ilmu keislaman.
Artikel ini juga menyoroti lembaga dan infrastruktur intelektual yang menopang
kemajuan tersebut, seperti Bayt al-Hikmah, madrasah, perpustakaan, dan
observatorium. Di samping itu, dibahas pula faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran dunia Islam pasca-keemasan, termasuk invasi Mongol, fragmentasi
politik, konservatisme intelektual, dan perubahan sosial ekonomi. Terakhir,
artikel ini menekankan relevansi warisan Zaman Keemasan Islam dalam membangun
kembali budaya ilmiah dan kemandirian intelektual dunia Muslim kontemporer.
Dengan menyatukan antara wahyu dan akal, serta menghidupkan kembali etos ijtihad,
umat Islam masa kini dapat merekonstruksi peradaban berbasis ilmu pengetahuan
yang inklusif, kreatif, dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Zaman Keemasan Islam, Ilmu Pengetahuan, Peradaban
Islam, Bayt al-Hikmah, Abbasiyah, Ijtihad, Ilmu dan Wahyu, Transfer Ilmu,
Kemunduran Intelektual, Renaisans Eropa.
PEMBAHASAN
Zaman Keemasan Islam dalam Konteks Sejarah
1.
Pendahuluan
Zaman Keemasan Islam (Islamic Golden Age)
merupakan sebuah fase dalam sejarah peradaban Islam yang ditandai oleh
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seni secara pesat yang
berlangsung kira-kira dari abad ke-8 hingga abad ke-14 Masehi. Periode ini
menyaksikan munculnya para cendekiawan Muslim yang tidak hanya menafsirkan dan
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga turut memberi kontribusi
signifikan terhadap ilmu-ilmu rasional dan eksperimental, termasuk kedokteran,
astronomi, matematika, kimia, hingga filsafat. Sebagaimana ditegaskan oleh
Bernard Lewis, masa ini mencerminkan “the most brilliant period of
intellectual and cultural development in the history of Islamic civilization.”¹
Periode ini bermula terutama pada masa Dinasti
Abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Khalifah al-Ma’mun (r. 813–833),
yang mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad sebagai
pusat penerjemahan dan pengembangan ilmu pengetahuan.² Interaksi antara umat
Islam dengan peradaban Persia, Yunani, India, dan bahkan Tiongkok menghasilkan
akumulasi ilmu yang luar biasa, yang kemudian diproses melalui lensa pemikiran
Islam dan dikembangkan lebih lanjut dengan pendekatan yang kritis dan
inovatif.³ Proyek-proyek penerjemahan dan sintesis ilmu asing ke dalam bahasa
Arab yang dilakukan pada masa ini menjadi jembatan penting bagi transformasi
pengetahuan dari dunia kuno menuju Renaisans Eropa.⁴
Zaman Keemasan Islam tidak hanya ditandai oleh
akumulasi pengetahuan, tetapi juga oleh terbentuknya ekosistem keilmuan yang
mendukung proses berpikir ilmiah. Peran para ulama dan ilmuwan dalam
mengembangkan metode eksperimental, verifikasi empiris, dan sistem dokumentasi
karya ilmiah menjadikan peradaban Islam sebagai salah satu fondasi peradaban
modern. Sebagaimana dinyatakan oleh George Saliba, ilmu pengetahuan dalam Islam
bukan sekadar transfer pasif dari pengetahuan Yunani ke Eropa, tetapi
mencerminkan "a dynamic and creative reworking of that knowledge in
ways that were often radically new."⁵
Kajian mengenai Zaman Keemasan Islam menjadi sangat
penting tidak hanya untuk menelusuri kontribusi peradaban Islam terhadap
sejarah umat manusia, tetapi juga untuk menginspirasi generasi Muslim
kontemporer dalam membangun kembali hubungan harmonis antara iman, akal, dan
ilmu. Dalam konteks dunia modern yang tengah mencari keseimbangan antara
spiritualitas dan rasionalitas, warisan intelektual Islam dari masa keemasan
ini dapat berfungsi sebagai model epistemologis yang relevan dan aplikatif.⁶
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menggali secara mendalam
kontribusi peradaban Islam pada masa tersebut dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, serta menelaah pengaruhnya terhadap pembentukan dunia modern.
Catatan
Kaki
[1]
Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact
and Middle Eastern Response (New York: Oxford University Press, 2002), 3.
[2]
Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic
Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York:
Penguin Press, 2010), 38–42.
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 5–9.
[4]
George Makdisi, “The Rise of Colleges: Institutions
of Learning in Islam and the West,” Islamic Studies 31, no. 2 (1992):
147–148.
[5]
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 18.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 12–14.
2.
Konteks Sejarah dan Politik Dunia Islam
Untuk memahami secara utuh Zaman Keemasan Islam,
penting untuk menelusuri konteks sejarah dan politik dunia Islam yang menjadi
fondasi tumbuhnya dinamika intelektual yang luar biasa. Masa ini secara umum
berpusat pada era Dinasti Abbasiyah yang didirikan pada tahun 750 M,
menggantikan Dinasti Umayyah. Kepemimpinan Abbasiyah ditandai oleh
kecenderungan kuat terhadap ilmu pengetahuan, birokrasi yang mapan, serta
integrasi kebudayaan yang luas dari berbagai wilayah kekuasaan Islam.¹
Puncak kemajuan intelektual berlangsung selama
pemerintahan beberapa khalifah Abbasiyah, terutama Khalifah Harun al-Rasyid (r.
786–809) dan putranya al-Ma’mun (r. 813–833). Di bawah kepemimpinan mereka,
Baghdad dibangun dan dikembangkan menjadi pusat peradaban global yang tidak
hanya unggul dalam kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga sebagai episentrum
ilmu pengetahuan.² Khalifah al-Ma’mun secara khusus dikenal sebagai pelindung
kaum intelektual, yang mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan),
sebuah lembaga riset dan penerjemahan ilmu-ilmu dari Yunani, Persia, dan India
ke dalam bahasa Arab.³
Dalam struktur politik Abbasiyah, ilmu pengetahuan
dipandang sebagai instrumen legitimasi kekuasaan dan prestise kebudayaan. Para
khalifah secara aktif memfasilitasi kegiatan ilmiah melalui pemberian dana,
penghargaan, dan ruang diskusi ilmiah yang bebas.⁴ Tradisi majlis ilmiah
di istana khalifah memungkinkan para cendekiawan dari berbagai latar belakang
agama dan etnis untuk berdebat dan berdiskusi secara terbuka, termasuk para
Yahudi, Nasrani, dan Zoroastrian yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam.⁵ Hal
ini menunjukkan adanya suatu atmosfer pluralistik dan kosmopolitan yang sangat
jarang ditemukan pada masa itu, menjadikan dunia Islam sebagai pelabuhan
intelektual bagi banyak ilmuwan dari berbagai penjuru dunia.
Interaksi lintas budaya juga menjadi katalisator
penting dalam pembentukan karakter sains Islam. Melalui jalur perdagangan dan
penaklukan, umat Islam berinteraksi dengan warisan ilmiah Yunani, sistem angka
India, astronomi Persia, dan teknologi Tiongkok. Proses asimilasi ini tidak
bersifat pasif, melainkan aktif dan kreatif.⁶ Para penerjemah dan cendekiawan Muslim
bukan hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi menyempurnakan, mengkritisi, dan
mengembangkan konsep-konsep baru dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk
filsafat, kedokteran, matematika, dan optika.⁷
Kestabilan politik, kemakmuran ekonomi, dan kebijakan
terbuka terhadap pengetahuan menjadi fondasi utama berkembangnya peradaban ilmu
selama Zaman Keemasan Islam. Namun demikian, dinamika internal seperti konflik
teologis (misalnya antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah), serta pemberontakan
regional seperti gerakan Syiah dan perlawanan etnis, menjadi tantangan
tersendiri yang turut mewarnai kompleksitas zaman tersebut.⁸ Namun secara umum,
periode ini tetap dikenal sebagai zaman yang menghadirkan integrasi harmonis
antara kekuasaan politik dan eksplorasi intelektual.
Catatan
Kaki
[1]
Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A
Political History (London: Croom Helm, 1981), 45–47.
[2]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization, Vol. 2 (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 111.
[3]
Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic
Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York:
Penguin Press, 2010), 39–43.
[4]
George Makdisi, “The Rise of Humanism in Classical
Islam and the Christian West,” in Islam and the Medieval West, ed.
Khalil I. Semaan (Albany: SUNY Press, 1984), 29.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 17.
[6]
Fuat Sezgin, Science and Technology in Islam:
Catalogue of the Exhibition of the Institute for the History of Arabic-Islamic
Science (Frankfurt: Institute for the History of Arabic-Islamic Science,
2000), 12–15.
[7]
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 21–24.
[8]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A
Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
250–253.
3.
Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan yang Berkembang
Zaman Keemasan Islam
tidak hanya menjadi saksi kebangkitan intelektual dalam lingkup keislaman
semata, tetapi juga memperlihatkan kemajuan luar biasa dalam berbagai cabang
ilmu pengetahuan yang mencakup baik ilmu agama (al-‘ulūm al-naqliyyah) maupun ilmu
rasional (al-‘ulūm
al-‘aqliyyah). Para ilmuwan Muslim pada masa ini tidak sekadar
mewarisi pengetahuan dari peradaban sebelumnya, tetapi turut mengembangkan
disiplin-disiplin ilmu secara orisinal dan sistematis.
3.1.
Ilmu Keislaman
Ilmu keislaman
menjadi fondasi utama perkembangan peradaban Islam. Disiplin seperti tafsir,
hadis, fiqih, dan ilmu kalam mengalami kodifikasi dan elaborasi yang sangat
signifikan. Tafsir al-Qur’an berkembang dari pendekatan naratif (tafsīr
bi al-ma’thūr) menjadi pendekatan analitik-linguistik (tafsīr
bi al-ra’y). Tokoh-tokoh seperti al-Tabari (w. 923 M) dan
al-Zamakhsyari (w. 1144 M) memberikan kontribusi besar terhadap penafsiran
holistik terhadap teks suci.¹
Di bidang fiqih,
lahir empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang menyusun
metode istinbat hukum yang sistematis.² Sementara itu, ilmu kalam sebagai
bentuk teologi rasional Islam berkembang dengan munculnya perdebatan antara
aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah, yang masing-masing memberikan
kontribusi terhadap penyelarasan antara akal dan wahyu.³
3.2.
Ilmu Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab
mengalami perkembangan luar biasa sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ilmu nahwu
dan sharaf dikembangkan secara metodologis oleh tokoh-tokoh seperti Sibawayh
dalam al-Kitāb,
yang menjadi rujukan utama tata bahasa Arab hingga kini.⁴ Sastra Arab klasik
pun mencapai puncaknya melalui karya para penyair seperti al-Mutanabbi dan
al-Ma’arri, yang tidak hanya mencerminkan keindahan estetika, tetapi juga
kekuatan intelektual dan filsafat dalam puisi.⁵
3.3.
Ilmu Kedokteran dan Farmasi
Ilmu kedokteran
mengalami lompatan besar dalam Zaman Keemasan Islam. Tokoh monumental seperti
Ibn Sina (Avicenna) menulis al-Qānūn fi al-Ṭibb, sebuah
ensiklopedia kedokteran yang menjadi rujukan utama di Eropa hingga abad ke-17.⁶
Al-Razi (Rhazes) menulis al-Hawi, yang mengintegrasikan
pengamatan klinis dan teori medis Yunani.⁷ Inovasi lain termasuk pembangunan bimaristan
(rumah sakit) dengan sistem rawat inap, apotek, dan catatan medis.⁸
3.4.
Ilmu Astronomi dan Matematika
Astronomi berkembang
melalui pembangunan observatorium dan perhitungan kalender yang lebih akurat.
Al-Battani dan al-Sufi melakukan pengamatan langit dengan metode empiris,
sementara al-Zarqali dari Andalusia menyempurnakan astrolab dan teori gerak
planet.⁹
Dalam bidang
matematika, kontribusi terbesar datang dari al-Khwarizmi yang memperkenalkan
sistem aljabar (al-jabr) dan konsep algoritma.¹⁰
Trigonometri dan geometri juga mendapat perhatian besar dari ilmuwan seperti
Thabit ibn Qurra dan al-Tusi, yang memengaruhi perkembangan matematika
modern.¹¹
3.5.
Ilmu Filsafat dan Logika
Islam mengadopsi dan
mengembangkan tradisi filsafat Yunani melalui gerakan penerjemahan dan
interpretasi terhadap karya Plato dan Aristoteles. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina, dan Ibn Rushd menjadi tokoh-tokoh rasionalis utama yang membangun sistem
filsafat Islam, khususnya dalam metafisika, etika, dan logika.¹² Ibn Rushd,
atau Averroes, bahkan menjadi tokoh penting dalam kebangkitan skolastik Eropa
melalui komentarnya atas Aristoteles.¹³
3.6.
Ilmu Alam dan Teknologi
Ilmu kimia, atau
yang dikenal sebagai al-kīmiyā’, berkembang melalui
eksperimen praktis dan sistematis. Jabir ibn Hayyan dianggap sebagai “Bapak
Kimia” karena pengembangan metode distilasi, kristalisasi, dan analisis
laboratorium awal.¹⁴
Dalam bidang fisika
dan optika, Ibn al-Haytham menulis Kitāb al-Manāẓir yang menjelaskan
prinsip-prinsip pembiasan cahaya dan metode eksperimen ilmiah, menjadikannya
pelopor metode ilmiah modern.¹⁵ Al-Jazari, ahli teknik dari abad ke-12,
menciptakan berbagai mesin otomatis dan alat mekanik yang mencerminkan
kejeniusan teknologis dunia Islam.¹⁶
Catatan
Kaki
[1]
Jane Dammen McAuliffe, Qur'ānic Christians: An Analysis of
Classical and Modern Exegesis (Cambridge: Cambridge University Press,
1991), 15–19.
[2]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 75–78.
[3]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu‘tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 34–36.
[4]
Kees Versteegh, Greek Elements in Arabic Linguistic Thinking
(Leiden: Brill, 1977), 22–27.
[5]
Salma Khadra Jayyusi, Trends and Movements in Modern Arabic Poetry
(Leiden: Brill, 1977), 10.
[6]
Emilie Savage-Smith, “Medicine,” in Encyclopaedia of the History of
Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures, ed. Helaine
Selin (Dordrecht: Springer, 2008), 1466–1469.
[7]
Roy Porter, The Greatest Benefit to Mankind: A Medical History of
Humanity (New York: Norton, 1997), 103.
[8]
Peter E. Pormann and Emilie Savage-Smith, Medieval Islamic Medicine
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), 67.
[9]
David A. King, Islamic Astronomy and Geography (London:
Ashgate Variorum, 2012), 45–49.
[10]
Roshdi Rashed, The Development of Arabic Mathematics: Between
Arithmetic and Algebra (London: Routledge, 1994), 29–34.
[11]
Glen Van Brummelen, The Mathematics of the Heavens and the Earth:
The Early History of Trigonometry (Princeton: Princeton University Press,
2009), 114–116.
[12]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 88–91.
[13]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 304–307.
[14]
Paul Kraus, Jābir ibn Ḥayyān: Contribution à l’histoire des idées
scientifiques dans l’Islam (Cairo: Institut Français d’Archéologie
Orientale, 1942), 132.
[15]
A. I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg
Institute, 1989), 14–16.
[16]
Donald R. Hill, Islamic Science and Engineering (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1993), 155–160.
4.
Lembaga dan Infrastruktur Intelektual
Keberhasilan ilmiah
dalam Zaman Keemasan Islam tidak dapat dilepaskan dari dukungan struktur
kelembagaan dan infrastruktur intelektual yang dirancang secara sistematis dan
strategis oleh para pemimpin Muslim. Lembaga-lembaga ini tidak hanya
menyediakan sarana pendidikan dan penelitian, tetapi juga menciptakan ekosistem
ilmiah yang inklusif dan produktif bagi para cendekiawan dari berbagai latar
belakang budaya dan agama.
4.1.
Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan)
Salah satu lembaga
paling monumental dalam sejarah intelektual Islam adalah Bayt al-Hikmah yang didirikan di Baghdad pada abad ke-9 oleh Khalifah
al-Ma’mun (r. 813–833). Lembaga ini berfungsi sebagai perpustakaan besar, pusat
penerjemahan, dan institut penelitian yang mempertemukan para ilmuwan dari
berbagai penjuru dunia Islam.¹ Bayt al-Hikmah menjadi pusat kegiatan
penerjemahan teks-teks penting dari bahasa Yunani, Persia, dan Sanskerta ke
dalam bahasa Arab, termasuk karya-karya Aristoteles, Galen, Ptolemaeus, dan
Euclid.² Para penerjemah seperti Hunayn ibn Ishaq dan Thabit ibn Qurra
memainkan peran penting dalam proses ini, tidak hanya menerjemahkan secara
literal, tetapi juga menyunting dan mengembangkan ide-ide ilmiah secara
kritis.³
4.2.
Perpustakaan dan Lembaga Pendidikan
Selain Bayt al-Hikmah, berbagai kota besar di dunia Islam seperti Kairo, Damaskus, Cordoba,
dan Nishapur memiliki perpustakaan-perpustakaan besar yang mendukung aktivitas
ilmiah. Perpustakaan Dar al-‘Ilm di Kairo, yang didirikan oleh Dinasti
Fatimiyah pada abad ke-10, memiliki ribuan manuskrip dalam berbagai bidang ilmu
dan terbuka bagi umum.⁴ Di Andalusia, perpustakaan Khalifah al-Hakam II di
Cordoba dikatakan menyimpan lebih dari 400.000 volume, menjadikan kota tersebut
sebagai pusat ilmu pengetahuan Eropa pada masa itu.⁵
Madrasah sebagai
lembaga pendidikan formal berkembang pesat pada abad ke-11, dimulai oleh Nizam
al-Mulk, wazir Dinasti Saljuk, yang mendirikan Madrasah Nizamiyah di Baghdad.⁶
Lembaga ini tidak hanya fokus pada ilmu agama, tetapi juga menyediakan
pendidikan dalam bidang logika, sastra, dan ilmu rasional lainnya. Sistem
pendidikan ini menjadi model institusi universitas di Eropa, seperti
Universitas Bologna dan Paris.⁷
4.3.
Observatorium dan Laboratorium
Ilmiah
Lembaga penelitian
astronomi dan eksperimental juga menjadi ciri penting dari Zaman Keemasan
Islam. Observatorium Maragha yang dibangun oleh Nasir al-Din al-Tusi di Persia
pada abad ke-13 merupakan pusat astronomi yang dilengkapi dengan instrumen
observasi mutakhir dan staf ilmuwan dari berbagai wilayah.⁸ Demikian pula,
Observatorium Samarkand yang didirikan oleh Ulugh Beg di abad ke-15 melanjutkan
tradisi ini dengan pengukuran langit yang akurat dan pembuatan zij
(tabel astronomi) yang digunakan hingga ratusan tahun kemudian.⁹
Beberapa ilmuwan
seperti Jabir ibn Hayyan dan al-Razi bahkan mendirikan laboratorium pribadi
untuk eksperimen kimia dan medis.¹⁰ Mereka tidak hanya menyalin teori kuno,
tetapi memperkenalkan metode observasi, verifikasi, dan dokumentasi yang
menjadi cikal bakal metode ilmiah modern.
4.4.
Inklusivitas Sosial dan Keragaman
Intelektual
Keunikan
infrastruktur intelektual dunia Islam terletak pada inklusivitasnya.
Lembaga-lembaga ilmiah ini tidak eksklusif bagi Muslim semata, tetapi terbuka
bagi Yahudi, Kristen, Zoroastrian, dan lainnya yang hidup di bawah Dār
al-Islām. Hal ini memungkinkan terciptanya pertukaran gagasan yang
kaya dan tidak sektarian, serta mempercepat kemajuan ilmu pengetahuan.¹¹
Lebih jauh,
mobilitas ilmuwan yang tinggi, baik secara geografis maupun sosial, mempermudah
penyebaran ide dan perkembangan jaringan ilmiah antarkota.¹² Ulama dan ilmuwan
kerap melakukan perjalanan panjang dari Maroko ke Asia Tengah demi belajar dan
berdiskusi, menjadikan dunia Islam sebagai satu kesatuan wilayah intelektual
yang terhubung secara dinamis.
Catatan
Kaki
[1]
Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic Science Saved
Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York: Penguin Press,
2010), 38–42.
[2]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th
centuries) (London: Routledge, 1998), 24–26.
[3]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 29.
[4]
Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning
(London: I.B. Tauris, 1997), 75–77.
[5]
María Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews,
and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (New York:
Little, Brown, 2002), 135.
[6]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 31–33.
[7]
Jonathan Lyons, The House of Wisdom: How the Arabs Transformed
Western Civilization (New York: Bloomsbury Press, 2009), 144–146.
[8]
Nasir al-Din al-Tusi, Tadhkirah fi Ilm al-Hay’ah (Memoir on
Astronomy), ed. A.I. Sabra (London: Warburg Institute, 1956), xxiii.
[9]
David A. King, Islamic Astronomy and Geography (London:
Ashgate Variorum, 2012), 51–54.
[10]
Paul Kraus, Jābir ibn Ḥayyān: Contribution à l’histoire des idées
scientifiques dans l’Islam (Cairo: Institut Français d’Archéologie
Orientale, 1942), 121–127.
[11]
F. E. Peters, Islam: A Guide for Jews and Christians
(Princeton: Princeton University Press, 2003), 117.
[12]
Francis Robinson, “The Ulama of the Islamic World and the Transmission
of Learning,” Islamic Studies 37, no. 3 (1998): 345–356.
5.
Pengaruh dan Warisan Zaman Keemasan Islam
Zaman Keemasan Islam
meninggalkan warisan intelektual dan ilmiah yang berdampak luas, tidak hanya
bagi dunia Islam sendiri, tetapi juga terhadap peradaban global, khususnya
Eropa. Melalui penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Arab ke Latin, serta
adopsi sistem pendidikan dan metode ilmiah, peradaban Barat memperoleh fondasi
penting yang akan menjadi pemicu Renaisans dan perkembangan ilmu modern.
5.1.
Transfer Ilmu ke Dunia Barat
Salah satu jalur
utama transmisi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat adalah melalui
wilayah Andalusia (Spanyol Muslim) dan Sisilia. Kota-kota seperti Toledo,
Sevilla, dan Cordoba menjadi pusat interaksi intelektual antara Muslim,
Kristen, dan Yahudi. Proyek-proyek penerjemahan besar dimulai pada abad ke-12,
yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gerard dari Cremona, yang menerjemahkan
lebih dari 70 karya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa Latin, termasuk al-Qānūn
fi al-Ṭibb karya Ibn Sina dan al-Jabr wa al-Muqābalah karya
al-Khwarizmi.¹
Penerjemahan ini
tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga epistemologis—yakni pengenalan
metode rasional, sistematis, dan observasional yang menjadi ciri khas sains
Islam.² Roger Bacon, salah satu pelopor metode ilmiah di Barat, mengakui
pengaruh besar dari karya-karya ilmiah Muslim, khususnya dalam bidang optika
dan logika.³ Bahkan, universitas-universitas awal di Eropa seperti Bologna dan
Paris menggunakan kurikulum yang berakar dari model pendidikan Islam, baik
dalam struktur lembaga maupun silabus pengajaran.⁴
5.2.
Pengaruh terhadap Ilmu Pengetahuan
Modern
Kontribusi ilmuwan
Muslim dalam bidang matematika, astronomi, kedokteran, dan kimia membentuk
dasar bagi banyak penemuan modern. Sistem angka desimal dan konsep nol yang
diperkenalkan oleh ilmuwan Muslim melalui adopsi angka Hindu menjadi dasar
aritmetika modern.⁵ Konsep algoritma yang diambil dari nama al-Khwarizmi
memberikan pengaruh mendasar dalam bidang ilmu komputer saat ini.⁶
Dalam bidang optika,
karya Ibn al-Haytham tentang cahaya dan penglihatan dianggap sebagai awal dari
metode eksperimental modern.⁷ Hal ini diakui oleh ilmuwan modern seperti David
C. Lindberg, yang menyatakan bahwa “the impact of al-Haytham’s optics on
Western science was direct and profound.”⁸
5.3.
Warisan Epistemologis dan
Metodologis
Selain warisan
teknis, peradaban Islam juga mewariskan pendekatan metodologis terhadap ilmu
pengetahuan yang memadukan antara iman dan rasio. Dalam tradisi ilmiah Islam,
pencarian ilmu tidak dianggap sebagai aktivitas sekuler, melainkan sebagai
bentuk ibadah dan upaya memahami ciptaan Tuhan.⁹ Pandangan ini memberi
inspirasi bagi konsep scientia sacra yang dikembangkan
oleh cendekiawan Muslim modern seperti Seyyed Hossein Nasr.¹⁰
Tradisi ijtihad,
atau usaha intelektual untuk memahami realitas berdasarkan prinsip-prinsip
Islam, menjadi bukti adanya keterbukaan dalam menafsirkan ilmu secara dinamis
dan kontekstual.¹¹ Dengan demikian, Zaman Keemasan Islam menunjukkan bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan dapat selaras dengan spiritualitas dan nilai-nilai
religius.
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks global
saat ini, warisan Zaman Keemasan Islam mengandung pelajaran penting bagi dunia
Muslim kontemporer. Keberhasilan ilmiah masa lalu bukanlah hasil dari penolakan
terhadap ajaran agama, melainkan justru karena integrasi yang harmonis antara
ilmu dan iman, antara akal dan wahyu.¹² Penggalian kembali tradisi ilmiah Islam
tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga menjadi strategi penting untuk
membangun kembali peradaban Islam yang inklusif, ilmiah, dan berdaya saing di
panggung dunia modern.
Catatan
Kaki
[1]
Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program
in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context 14, no. 1–2
(2001): 249–288.
[2]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 32–36.
[3]
A.C. Crombie, Robert Grosseteste and the Origins of Experimental
Science 1100–1700 (Oxford: Clarendon Press, 1953), 45.
[4]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 85–88.
[5]
J.L. Berggren, Mathematics in Medieval Islam (Aldershot:
Variorum, 1986), 21–24.
[6]
Roshdi Rashed, The Development of Arabic Mathematics: Between
Arithmetic and Algebra (London: Routledge, 1994), 54.
[7]
A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg
Institute, 1989), 5–9.
[8]
David C. Lindberg, Theories of Vision from Al-Kindi to Kepler
(Chicago: University of Chicago Press, 1976), 58.
[9]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 87–92.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 56–59.
[11]
Wael B. Hallaq, Authority, Continuity and Change in Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 129.
[12]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 17–19.
6.
Kemunduran dan Faktor Penyebabnya
Meskipun Zaman
Keemasan Islam pernah menempatkan dunia Islam sebagai pusat peradaban ilmu
pengetahuan, fase kejayaan tersebut tidak berlangsung selamanya. Mulai abad
ke-13 M, tanda-tanda kemunduran peradaban ilmiah Islam mulai tampak, ditandai
oleh berkurangnya produktivitas ilmiah, melemahnya institusi pendidikan, serta
terhentinya inovasi dalam berbagai disiplin ilmu. Kemunduran ini bukanlah hasil
dari satu penyebab tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai faktor internal
maupun eksternal yang saling berinteraksi secara kompleks.
6.1.
Serangan Mongol dan Keruntuhan Baghdad
(1258 M)
Salah satu titik
balik yang sangat mencolok dalam sejarah dunia Islam adalah penghancuran kota
Baghdad oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Serangan
ini menyebabkan kehancuran fisik dan psikologis yang luar biasa, termasuk
pembumihangusan Bayt al-Hikmah dan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk,
termasuk para ulama dan cendekiawan.¹ Kota Baghdad yang sebelumnya menjadi
pusat ilmu dan budaya dunia Islam, berubah menjadi reruntuhan. Hal ini menandai
berakhirnya dominasi Dinasti Abbasiyah dan keruntuhan pusat gravitasi
intelektual dunia Islam.²
6.2.
Fragmentasi Politik dan Melemahnya
Patronase Ilmiah
Setelah runtuhnya
kekuasaan Abbasiyah, dunia Islam mengalami fragmentasi politik yang parah.
Berbagai wilayah seperti Mamluk di Mesir, Turki Utsmani di Anatolia, dan
berbagai dinasti kecil di Persia dan India berdiri dengan kepentingan politik
masing-masing.³ Keadaan ini membuat fokus para penguasa lebih terarah pada
stabilitas kekuasaan dan militer dibanding pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Lebih jauh, sistem
patronase ilmiah yang sebelumnya diberikan oleh khalifah dan elite istana mulai
menghilang. Ketika perlindungan dan dukungan finansial terhadap ilmuwan
berkurang, banyak dari mereka berhenti menulis, meneliti, atau bahkan berpindah
ke bidang non-ilmiah seperti sufisme atau mistisisme.⁴
6.3.
Dominasi Ortodoksi dan Penurunan
Iklim Intelektual
Munculnya
konservatisme keagamaan yang menekankan ketaatan terhadap otoritas tekstual
telah mempersempit ruang kebebasan berpikir ilmiah. Salah satu contohnya adalah
penolakan terhadap filsafat dan ilmu-ilmu rasional oleh sebagian ulama
ortodoks, yang dipicu oleh karya seperti Tahāfut al-Falāsifah karya
al-Ghazali (w. 1111 M).⁵ Meskipun al-Ghazali sendiri tetap menghargai logika
dan teologi rasional, pengaruh polemiknya turut mendorong munculnya sikap
anti-filsafat dalam kalangan ortodoksi Sunni.⁶
Sebaliknya, pada
masa yang sama, Eropa justru mulai mengadopsi dan mengembangkan warisan ilmiah
Islam melalui Renaisans dan Revolusi Ilmiah. Dunia Islam mulai tertinggal
karena tidak lagi aktif dalam proses penciptaan ilmu baru, melainkan cenderung
mengulang dan mensyarah karya-karya klasik tanpa inovasi.⁷
6.4.
Perubahan Orientasi Sosial dan
Ekonomi
Transformasi
sosial-ekonomi juga turut memengaruhi kemunduran dunia ilmiah Islam.
Perdagangan internasional yang dahulu menjadi sumber utama kekayaan dunia Islam
mulai terganggu oleh dominasi kekuatan maritim Eropa, terutama setelah penemuan
jalur laut ke India dan Asia oleh bangsa Portugis dan Spanyol.⁸ Hal ini
berdampak langsung terhadap pendanaan lembaga-lembaga ilmiah dan aktivitas
keilmuan yang sebelumnya sangat bergantung pada kestabilan ekonomi dan hubungan
dagang yang kuat.
Selain itu, naiknya
kelas birokrasi yang lebih administratif ketimbang intelektual juga mengubah
orientasi lembaga pendidikan. Madrasah, yang pada awalnya menjadi pusat
pembelajaran multidisipliner, mulai membatasi kurikulum hanya pada ilmu-ilmu
agama formal, seperti fikih dan hadis, dengan mengesampingkan ilmu-ilmu rasional.⁹
6.5.
Ketidakmampuan Beradaptasi terhadap
Perubahan Dunia
Akhirnya, salah satu
penyebab struktural dari kemunduran ilmu di dunia Islam adalah stagnasi
metodologis dan kurangnya kemampuan beradaptasi dengan dinamika zaman. Banyak
institusi pendidikan Islam bertahan dengan metode dan teks klasik yang tidak
mengalami pembaruan, bahkan ketika dunia luar—khususnya Eropa—mengalami
transformasi ilmiah dan revolusi teknologi.¹⁰
Kecenderungan untuk
memandang masa lalu secara idealistik tanpa semangat kritis dan inovatif
menyebabkan hilangnya etos ilmiah yang sebelumnya sangat kuat dalam sejarah
awal Islam. Dalam konteks inilah, warisan Zaman Keemasan Islam mulai terlupakan
dan kehilangan relevansinya dalam praktik kehidupan sosial dan ilmiah umat
Islam.
Catatan Kaki
[1]
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and
Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge, MA: Da Capo Press, 2005),
292.
[2]
Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic Science Saved
Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York: Penguin Press,
2010), 216.
[3]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 258–261.
[4]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 107–110.
[5]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 1–3.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 298–301.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 181.
[8]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and
History in a World Civilization, Vol. 3 (Chicago: University of Chicago
Press, 1974), 23–25.
[9]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 120–123.
[10]
Ahmad Dallal, “The Interplay of Science and Theology in the
Fourteenth-Century Kalam,” in Arabic Theology, Arabic Philosophy: From the
Many to the One, ed. James E. Montgomery (Leuven: Peeters, 2006), 317–339.
7.
Relevansi Zaman Keemasan Islam bagi Dunia
Kontemporer
Di tengah tantangan
modernitas, krisis identitas, dan ketertinggalan ilmu pengetahuan yang dialami
banyak negara Muslim saat ini, Zaman Keemasan Islam menghadirkan warisan dan
inspirasi yang sangat penting. Periode kejayaan ini bukan semata-mata nostalgia
sejarah, melainkan cermin bagi potensi integrasi antara iman dan akal, tradisi
dan inovasi, serta spiritualitas dan ilmu pengetahuan dalam konteks
kontemporer.
7.1.
Inspirasi Epistemologis: Integrasi
Wahyu dan Akal
Salah satu warisan
paling esensial dari Zaman Keemasan Islam adalah pendekatan epistemologis yang
tidak mempertentangkan antara wahyu dan akal. Para ilmuwan Muslim klasik
seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan al-Ghazali menunjukkan bahwa pemikiran
rasional tidak hanya kompatibel dengan nilai-nilai Islam, tetapi bahkan menjadi
instrumen penting dalam mendalami kebesaran ciptaan Tuhan.¹ Pendekatan ini
sangat relevan dalam merespons dikotomi modern antara agama dan sains yang
sering kali dipertentangkan secara tidak proporsional.²
Konsep ilmu dalam
Islam—sebagaimana dijelaskan oleh Franz Rosenthal sebagai “a religious duty
and a moral obligation”³—dapat membentuk landasan etis dan spiritual bagi
kebangkitan kembali sains yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
dan tanggung jawab sosial.
7.2.
Model Peradaban Inklusif dan
Multikultural
Zaman Keemasan Islam
juga menawarkan model peradaban yang inklusif dan multikultural. Keterlibatan
aktif ilmuwan Yahudi, Kristen, dan Zoroastrian dalam pusat-pusat ilmu
pengetahuan Islam mencerminkan kemampuan umat Islam masa lalu dalam membangun
dialog antarbudaya yang produktif.⁴ Dalam konteks globalisasi hari ini, model
tersebut menjadi inspirasi untuk membangun masyarakat ilmu pengetahuan yang
terbuka, kolaboratif, dan bebas dari sektarianisme maupun eksklusivisme dogmatis.
Sebagaimana dicatat
oleh María Rosa Menocal, “medieval Muslim societies were profoundly
pluralistic, with intellectual vibrancy stemming from intercultural encounters.”⁵
Prinsip ini bisa menjadi landasan bagi dunia Muslim kontemporer untuk menata
ulang relasi antara identitas keagamaan dengan keterbukaan ilmiah dan sosial.
7.3.
Etos Keilmuan dan Kemandirian
Intelektual
Para ilmuwan Muslim
klasik tidak hanya sekadar mewarisi ilmu dari Yunani atau India, tetapi mereka
mengembangkan etos keilmuan berbasis eksperimen, observasi, dan deduksi.⁶ Ibn
al-Haytham misalnya, tidak sekadar mengadopsi teori optika Ptolemaeus,
melainkan mengujinya secara eksperimen dan membangun teori baru yang lebih
akurat.⁷ Etos seperti ini sangat diperlukan di dunia Muslim hari ini untuk membangun
kemandirian intelektual, yang tidak hanya bergantung pada konsumsi ilmu Barat,
tetapi mampu berkontribusi secara orisinal dalam perkembangan sains global.
Sebagaimana
ditegaskan oleh George Saliba, kemajuan sains Islam masa lalu “was not merely about preservation, but innovation
through critique and construction of new models.”⁸
7.4.
Strategi Rekonstruksi Peradaban
Islam Kontemporer
Zaman Keemasan Islam
dapat dijadikan sebagai model strategis untuk rekonstruksi peradaban Islam di
era modern. Hal ini mencakup pembenahan sistem pendidikan yang tidak terjebak
pada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, mendorong riset interdisipliner,
serta membangun lembaga-lembaga keilmuan yang tidak hanya menghafal masa lalu
tetapi juga mencipta masa depan.⁹
Konsep ijtihad
dan tajdid
(pembaruan) dalam tradisi Islam klasik harus dihidupkan kembali dalam ranah
keilmuan agar umat Islam mampu menjawab tantangan zaman secara dinamis. Pemikir
seperti Fazlur Rahman telah menekankan pentingnya “a critical and ethical
reconstruction of Islamic intellectual legacy” untuk menjembatani warisan
klasik dengan kebutuhan kontemporer.¹⁰
7.5.
Peran Dunia Islam dalam Sains Global
Kebangkitan dunia
Islam tidak akan sempurna tanpa peran aktif dalam sains dan teknologi global.
Negara-negara Muslim perlu menanamkan kembali budaya riset, memperkuat literasi
ilmiah masyarakat, dan mendorong kolaborasi antarnegara dalam proyek ilmiah
strategis. Warisan Zaman Keemasan Islam dapat menjadi motivasi kolektif untuk
membangun maqāsid
al-‘ilm (tujuan ilmu pengetahuan) yang tidak hanya mengejar
keuntungan material, tetapi juga memberi solusi etis dan berkelanjutan bagi
peradaban manusia.
Catatan
Kaki
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 116–121.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 128–130.
[3]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 5.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London:
Routledge, 1998), 51.
[5]
María Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews,
and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (New York:
Little, Brown, 2002), 89.
[6]
Roshdi Rashed, The Development of Arabic Mathematics: Between
Arithmetic and Algebra (London: Routledge, 1994), 12.
[7]
A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg
Institute, 1989), 23–25.
[8]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 17.
[9]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Decline Theory
(London: Grey Seal, 1989), 79–84.
[10]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 148–150.
8.
Kesimpulan
Zaman Keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-14 M)
merupakan periode penting dalam sejarah peradaban manusia yang menunjukkan
bagaimana Islam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan melalui sintesis
kreatif antara wahyu, akal, dan pengalaman empiris. Kejayaan ini tercermin
dalam kemajuan yang luar biasa di berbagai cabang ilmu seperti kedokteran,
matematika, astronomi, filsafat, dan teknologi.¹ Berbagai institusi seperti Bayt al-Hikmah, madrasah, dan observatorium bukan hanya menjadi simbol kemajuan
struktural, tetapi juga menunjukkan keseriusan umat Islam dalam membangun
masyarakat ilmiah yang inklusif dan kolaboratif.²
Kontribusi ilmuwan Muslim tidak terbatas pada
penerjemahan ilmu dari Yunani, Persia, atau India, tetapi juga terletak pada
proses kreatif dalam mengembangkan teori, menyempurnakan metodologi, dan
memperkenalkan pendekatan sistematis berbasis eksperimen.³ Keberhasilan mereka
menjadi fondasi penting bagi kemajuan peradaban Eropa melalui transfer ilmu
pengetahuan ke Barat, yang turut memicu munculnya Renaisans dan Revolusi
Ilmiah.⁴ Dengan demikian, peradaban Islam memiliki posisi sentral dalam rantai
perkembangan ilmu pengetahuan global.
Namun, kejayaan tersebut tidak berlangsung abadi.
Faktor-faktor seperti invasi Mongol, fragmentasi politik, melemahnya patronase
ilmiah, serta dominasi konservatisme intelektual mengakibatkan kemunduran
drastis dalam produktivitas ilmiah dunia Islam.⁵ Ilmu yang dahulu berkembang
dalam semangat pencarian kebenaran menjadi stagnan karena pendekatan yang
terlalu tekstual dan kurang inovatif. Keadaan ini semakin diperburuk oleh
perubahan geopolitik global serta marginalisasi dunia Islam dalam peta ekonomi
dan teknologi internasional.⁶
Meski demikian, warisan Zaman Keemasan Islam tetap
relevan untuk zaman kini. Pendekatan epistemologis yang menyatukan wahyu dan
rasio, keterbukaan terhadap pluralitas intelektual, dan semangat ijtihad
dalam pencarian ilmu merupakan prinsip-prinsip abadi yang dapat dijadikan
landasan bagi kebangkitan peradaban Islam modern.⁷ Sebagaimana ditegaskan oleh
Seyyed Hossein Nasr, “to revive Islamic science is not to repeat its past
but to renew its spirit in the service of the future.”⁸
Dengan meneladani semangat ilmiah dari masa
keemasan, umat Islam kontemporer diharapkan dapat membangun kembali sistem
pendidikan, riset, dan kebudayaan yang berpijak pada nilai-nilai ilahiyah
sekaligus berdaya saing secara global. Upaya ini membutuhkan sinergi antara
negara, institusi keilmuan, dan masyarakat luas, demi menciptakan peradaban
yang berkeilmuan, berkeadaban, dan berkelanjutan.
Catatan
Kaki
[1]
Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic
Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York:
Penguin Press, 2010), 54–56.
[2]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981), 22–27.
[3]
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 18–22.
[4]
Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin
Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context
14, no. 1–2 (2001): 257.
[5]
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim
World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge, MA: Da
Capo Press, 2005), 289–293.
[6]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3 (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 45–47.
[7]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of
the Decline Theory (London: Grey Seal, 1989), 84.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), xii.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2000). The
incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young
University Press. (Original work published 1095)
Al-Khalili, J. (2010). The
house of wisdom: How Arabic science saved ancient knowledge and gave us the
Renaissance. Penguin Press.
Berggren, J. L. (1986). Mathematics
in medieval Islam. Variorum.
Burnett, C. (2001). The
coherence of the Arabic–Latin translation program in Toledo in the twelfth
century. Science in Context, 14(1–2), 249–288. https://doi.org/10.1017/S026988970100009X
Crombie, A. C. (1953). Robert
Grosseteste and the origins of experimental science 1100–1700. Clarendon
Press.
Dallal, A. (2006). The
interplay of science and theology in the fourteenth-century kalam. In J. E.
Montgomery (Ed.), Arabic theology, Arabic philosophy: From the many to the
one (pp. 317–339). Peeters.
Fakhry, M. (2004). A
history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Gutas, D. (1998). Greek
thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and
early ‘Abbāsid society (2nd–4th/8th–10th centuries). Routledge.
Halm, H. (1997). The
Fatimids and their traditions of learning. I.B. Tauris.
Hallaq, W. B. (2001). Authority,
continuity and change in Islamic law. Cambridge University Press.
Hallaq, W. B. (2005). The
origins and evolution of Islamic law. Cambridge University Press.
Hill, D. R. (1993). Islamic
science and engineering. Edinburgh University Press.
Hodgson, M. G. S. (1974). The
venture of Islam: Conscience and history in a world civilization (Vols.
2–3). University of Chicago Press.
Jayyusi, S. K. (1977). Trends
and movements in modern Arabic poetry. Brill.
Kalin, I. (2010). Knowledge
in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition.
Oxford University Press.
Kennedy, H. (2005). When
Baghdad ruled the Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty.
Da Capo Press.
Kraus, P. (1942). Jābir
ibn Ḥayyān: Contribution à l’histoire des idées scientifiques dans l’Islam.
Institut Français d’Archéologie Orientale.
Lapidus, I. M. (2002). A
history of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge University Press.
Leaman, O. (2002). An
introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge
University Press.
Lindberg, D. C. (1976). Theories
of vision from Al-Kindi to Kepler. University of Chicago Press.
Lyons, J. (2009). The
house of wisdom: How the Arabs transformed Western civilization.
Bloomsbury Press.
Makdisi, G. (1981). The
rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West.
Edinburgh University Press.
Makdisi, G. (1984). The
rise of humanism in classical Islam and the Christian West. In K. I. Semaan
(Ed.), Islam and the medieval West (pp. 27–53). SUNY Press.
Martin, R. C. (1997). Defenders
of reason in Islam: Mu‘tazilism from medieval school to modern symbol.
Oneworld.
Menocal, M. R. (2002). The
ornament of the world: How Muslims, Jews, and Christians created a culture of
tolerance in medieval Spain. Little, Brown.
Nasr, S. H. (1968). Science
and civilization in Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. SUNY Press.
Peters, F. E. (2003). Islam:
A guide for Jews and Christians. Princeton University Press.
Pormann, P. E., &
Savage-Smith, E. (2007). Medieval Islamic medicine. Edinburgh
University Press.
Rashed, R. (1994). The
development of Arabic mathematics: Between arithmetic and algebra.
Routledge.
Robinson, F. (1998). The
Ulama of the Islamic world and the transmission of learning. Islamic
Studies, 37(3), 345–356.
Rosenthal, F. (1970). Knowledge
triumphant: The concept of knowledge in medieval Islam. Brill.
Sabra, A. I. (1989). The
optics of Ibn al-Haytham. Warburg Institute.
Saliba, G. (2007). Islamic
science and the making of the European Renaissance. MIT Press.
Sardar, Z. (1989). Islamic
science: The myth of the decline theory. Grey Seal.
Savage-Smith, E. (2008).
Medicine. In H. Selin (Ed.), Encyclopaedia of the history of science,
technology, and medicine in non-Western cultures (pp. 1466–1469).
Springer.
Sezgin, F. (2000). Science
and technology in Islam: Catalogue of the exhibition of the Institute for the
History of Arabic-Islamic Science. Institute for the History of
Arabic-Islamic Science.
Van Brummelen, G. (2009). The
mathematics of the heavens and the earth: The early history of trigonometry.
Princeton University Press.
Versteegh, K. (1977). Greek
elements in Arabic linguistic thinking. Brill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar