Jumat, 30 Mei 2025

Zaman Keemasan Islam (Islamic Golden Age): Kontribusi Peradaban Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dan Dunia Modern

Zaman Keemasan Islam (Islamic Golden Age)

Kontribusi Peradaban Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dan Dunia Modern


Alihkan ke: Pembagian Zaman.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif periode Zaman Keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-14 M) sebagai tonggak penting dalam sejarah peradaban dunia, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan teknologi. Melalui pendekatan historis-tematik, artikel ini menelusuri latar belakang kemunculan era keemasan tersebut dalam konteks politik dan sosial Dinasti Abbasiyah, serta menelaah perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan ilmu-ilmu keislaman. Artikel ini juga menyoroti lembaga dan infrastruktur intelektual yang menopang kemajuan tersebut, seperti Bayt al-Hikmah, madrasah, perpustakaan, dan observatorium. Di samping itu, dibahas pula faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dunia Islam pasca-keemasan, termasuk invasi Mongol, fragmentasi politik, konservatisme intelektual, dan perubahan sosial ekonomi. Terakhir, artikel ini menekankan relevansi warisan Zaman Keemasan Islam dalam membangun kembali budaya ilmiah dan kemandirian intelektual dunia Muslim kontemporer. Dengan menyatukan antara wahyu dan akal, serta menghidupkan kembali etos ijtihad, umat Islam masa kini dapat merekonstruksi peradaban berbasis ilmu pengetahuan yang inklusif, kreatif, dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Zaman Keemasan Islam, Ilmu Pengetahuan, Peradaban Islam, Bayt al-Hikmah, Abbasiyah, Ijtihad, Ilmu dan Wahyu, Transfer Ilmu, Kemunduran Intelektual, Renaisans Eropa.


PEMBAHASAN

Zaman Keemasan Islam dalam Konteks Sejarah


1.           Pendahuluan

Zaman Keemasan Islam (Islamic Golden Age) merupakan sebuah fase dalam sejarah peradaban Islam yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seni secara pesat yang berlangsung kira-kira dari abad ke-8 hingga abad ke-14 Masehi. Periode ini menyaksikan munculnya para cendekiawan Muslim yang tidak hanya menafsirkan dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga turut memberi kontribusi signifikan terhadap ilmu-ilmu rasional dan eksperimental, termasuk kedokteran, astronomi, matematika, kimia, hingga filsafat. Sebagaimana ditegaskan oleh Bernard Lewis, masa ini mencerminkan “the most brilliant period of intellectual and cultural development in the history of Islamic civilization.”¹

Periode ini bermula terutama pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Khalifah al-Ma’mun (r. 813–833), yang mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad sebagai pusat penerjemahan dan pengembangan ilmu pengetahuan.² Interaksi antara umat Islam dengan peradaban Persia, Yunani, India, dan bahkan Tiongkok menghasilkan akumulasi ilmu yang luar biasa, yang kemudian diproses melalui lensa pemikiran Islam dan dikembangkan lebih lanjut dengan pendekatan yang kritis dan inovatif.³ Proyek-proyek penerjemahan dan sintesis ilmu asing ke dalam bahasa Arab yang dilakukan pada masa ini menjadi jembatan penting bagi transformasi pengetahuan dari dunia kuno menuju Renaisans Eropa.⁴

Zaman Keemasan Islam tidak hanya ditandai oleh akumulasi pengetahuan, tetapi juga oleh terbentuknya ekosistem keilmuan yang mendukung proses berpikir ilmiah. Peran para ulama dan ilmuwan dalam mengembangkan metode eksperimental, verifikasi empiris, dan sistem dokumentasi karya ilmiah menjadikan peradaban Islam sebagai salah satu fondasi peradaban modern. Sebagaimana dinyatakan oleh George Saliba, ilmu pengetahuan dalam Islam bukan sekadar transfer pasif dari pengetahuan Yunani ke Eropa, tetapi mencerminkan "a dynamic and creative reworking of that knowledge in ways that were often radically new."⁵

Kajian mengenai Zaman Keemasan Islam menjadi sangat penting tidak hanya untuk menelusuri kontribusi peradaban Islam terhadap sejarah umat manusia, tetapi juga untuk menginspirasi generasi Muslim kontemporer dalam membangun kembali hubungan harmonis antara iman, akal, dan ilmu. Dalam konteks dunia modern yang tengah mencari keseimbangan antara spiritualitas dan rasionalitas, warisan intelektual Islam dari masa keemasan ini dapat berfungsi sebagai model epistemologis yang relevan dan aplikatif.⁶ Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menggali secara mendalam kontribusi peradaban Islam pada masa tersebut dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta menelaah pengaruhnya terhadap pembentukan dunia modern.


Catatan Kaki

[1]                Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response (New York: Oxford University Press, 2002), 3.

[2]                Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York: Penguin Press, 2010), 38–42.

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 5–9.

[4]                George Makdisi, “The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West,” Islamic Studies 31, no. 2 (1992): 147–148.

[5]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 18.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 12–14.


2.           Konteks Sejarah dan Politik Dunia Islam

Untuk memahami secara utuh Zaman Keemasan Islam, penting untuk menelusuri konteks sejarah dan politik dunia Islam yang menjadi fondasi tumbuhnya dinamika intelektual yang luar biasa. Masa ini secara umum berpusat pada era Dinasti Abbasiyah yang didirikan pada tahun 750 M, menggantikan Dinasti Umayyah. Kepemimpinan Abbasiyah ditandai oleh kecenderungan kuat terhadap ilmu pengetahuan, birokrasi yang mapan, serta integrasi kebudayaan yang luas dari berbagai wilayah kekuasaan Islam.¹

Puncak kemajuan intelektual berlangsung selama pemerintahan beberapa khalifah Abbasiyah, terutama Khalifah Harun al-Rasyid (r. 786–809) dan putranya al-Ma’mun (r. 813–833). Di bawah kepemimpinan mereka, Baghdad dibangun dan dikembangkan menjadi pusat peradaban global yang tidak hanya unggul dalam kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga sebagai episentrum ilmu pengetahuan.² Khalifah al-Ma’mun secara khusus dikenal sebagai pelindung kaum intelektual, yang mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), sebuah lembaga riset dan penerjemahan ilmu-ilmu dari Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab.³

Dalam struktur politik Abbasiyah, ilmu pengetahuan dipandang sebagai instrumen legitimasi kekuasaan dan prestise kebudayaan. Para khalifah secara aktif memfasilitasi kegiatan ilmiah melalui pemberian dana, penghargaan, dan ruang diskusi ilmiah yang bebas.⁴ Tradisi majlis ilmiah di istana khalifah memungkinkan para cendekiawan dari berbagai latar belakang agama dan etnis untuk berdebat dan berdiskusi secara terbuka, termasuk para Yahudi, Nasrani, dan Zoroastrian yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam.⁵ Hal ini menunjukkan adanya suatu atmosfer pluralistik dan kosmopolitan yang sangat jarang ditemukan pada masa itu, menjadikan dunia Islam sebagai pelabuhan intelektual bagi banyak ilmuwan dari berbagai penjuru dunia.

Interaksi lintas budaya juga menjadi katalisator penting dalam pembentukan karakter sains Islam. Melalui jalur perdagangan dan penaklukan, umat Islam berinteraksi dengan warisan ilmiah Yunani, sistem angka India, astronomi Persia, dan teknologi Tiongkok. Proses asimilasi ini tidak bersifat pasif, melainkan aktif dan kreatif.⁶ Para penerjemah dan cendekiawan Muslim bukan hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi menyempurnakan, mengkritisi, dan mengembangkan konsep-konsep baru dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, kedokteran, matematika, dan optika.⁷

Kestabilan politik, kemakmuran ekonomi, dan kebijakan terbuka terhadap pengetahuan menjadi fondasi utama berkembangnya peradaban ilmu selama Zaman Keemasan Islam. Namun demikian, dinamika internal seperti konflik teologis (misalnya antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah), serta pemberontakan regional seperti gerakan Syiah dan perlawanan etnis, menjadi tantangan tersendiri yang turut mewarnai kompleksitas zaman tersebut.⁸ Namun secara umum, periode ini tetap dikenal sebagai zaman yang menghadirkan integrasi harmonis antara kekuasaan politik dan eksplorasi intelektual.


Catatan Kaki

[1]                Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political History (London: Croom Helm, 1981), 45–47.

[2]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 111.

[3]                Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York: Penguin Press, 2010), 39–43.

[4]                George Makdisi, “The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West,” in Islam and the Medieval West, ed. Khalil I. Semaan (Albany: SUNY Press, 1984), 29.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 17.

[6]                Fuat Sezgin, Science and Technology in Islam: Catalogue of the Exhibition of the Institute for the History of Arabic-Islamic Science (Frankfurt: Institute for the History of Arabic-Islamic Science, 2000), 12–15.

[7]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 21–24.

[8]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 250–253.


3.           Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan yang Berkembang

Zaman Keemasan Islam tidak hanya menjadi saksi kebangkitan intelektual dalam lingkup keislaman semata, tetapi juga memperlihatkan kemajuan luar biasa dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang mencakup baik ilmu agama (al-‘ulūm al-naqliyyah) maupun ilmu rasional (al-‘ulūm al-‘aqliyyah). Para ilmuwan Muslim pada masa ini tidak sekadar mewarisi pengetahuan dari peradaban sebelumnya, tetapi turut mengembangkan disiplin-disiplin ilmu secara orisinal dan sistematis.

3.1.       Ilmu Keislaman

Ilmu keislaman menjadi fondasi utama perkembangan peradaban Islam. Disiplin seperti tafsir, hadis, fiqih, dan ilmu kalam mengalami kodifikasi dan elaborasi yang sangat signifikan. Tafsir al-Qur’an berkembang dari pendekatan naratif (tafsīr bi al-ma’thūr) menjadi pendekatan analitik-linguistik (tafsīr bi al-ra’y). Tokoh-tokoh seperti al-Tabari (w. 923 M) dan al-Zamakhsyari (w. 1144 M) memberikan kontribusi besar terhadap penafsiran holistik terhadap teks suci.¹

Di bidang fiqih, lahir empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang menyusun metode istinbat hukum yang sistematis.² Sementara itu, ilmu kalam sebagai bentuk teologi rasional Islam berkembang dengan munculnya perdebatan antara aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah, yang masing-masing memberikan kontribusi terhadap penyelarasan antara akal dan wahyu.³

3.2.       Ilmu Bahasa dan Sastra

Bahasa Arab mengalami perkembangan luar biasa sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ilmu nahwu dan sharaf dikembangkan secara metodologis oleh tokoh-tokoh seperti Sibawayh dalam al-Kitāb, yang menjadi rujukan utama tata bahasa Arab hingga kini.⁴ Sastra Arab klasik pun mencapai puncaknya melalui karya para penyair seperti al-Mutanabbi dan al-Ma’arri, yang tidak hanya mencerminkan keindahan estetika, tetapi juga kekuatan intelektual dan filsafat dalam puisi.⁵

3.3.       Ilmu Kedokteran dan Farmasi

Ilmu kedokteran mengalami lompatan besar dalam Zaman Keemasan Islam. Tokoh monumental seperti Ibn Sina (Avicenna) menulis al-Qānūn fi al-Ṭibb, sebuah ensiklopedia kedokteran yang menjadi rujukan utama di Eropa hingga abad ke-17.⁶ Al-Razi (Rhazes) menulis al-Hawi, yang mengintegrasikan pengamatan klinis dan teori medis Yunani.⁷ Inovasi lain termasuk pembangunan bimaristan (rumah sakit) dengan sistem rawat inap, apotek, dan catatan medis.⁸

3.4.       Ilmu Astronomi dan Matematika

Astronomi berkembang melalui pembangunan observatorium dan perhitungan kalender yang lebih akurat. Al-Battani dan al-Sufi melakukan pengamatan langit dengan metode empiris, sementara al-Zarqali dari Andalusia menyempurnakan astrolab dan teori gerak planet.⁹

Dalam bidang matematika, kontribusi terbesar datang dari al-Khwarizmi yang memperkenalkan sistem aljabar (al-jabr) dan konsep algoritma.¹⁰ Trigonometri dan geometri juga mendapat perhatian besar dari ilmuwan seperti Thabit ibn Qurra dan al-Tusi, yang memengaruhi perkembangan matematika modern.¹¹

3.5.       Ilmu Filsafat dan Logika

Islam mengadopsi dan mengembangkan tradisi filsafat Yunani melalui gerakan penerjemahan dan interpretasi terhadap karya Plato dan Aristoteles. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd menjadi tokoh-tokoh rasionalis utama yang membangun sistem filsafat Islam, khususnya dalam metafisika, etika, dan logika.¹² Ibn Rushd, atau Averroes, bahkan menjadi tokoh penting dalam kebangkitan skolastik Eropa melalui komentarnya atas Aristoteles.¹³

3.6.       Ilmu Alam dan Teknologi

Ilmu kimia, atau yang dikenal sebagai al-kīmiyā’, berkembang melalui eksperimen praktis dan sistematis. Jabir ibn Hayyan dianggap sebagai “Bapak Kimia” karena pengembangan metode distilasi, kristalisasi, dan analisis laboratorium awal.¹⁴

Dalam bidang fisika dan optika, Ibn al-Haytham menulis Kitāb al-Manāẓir yang menjelaskan prinsip-prinsip pembiasan cahaya dan metode eksperimen ilmiah, menjadikannya pelopor metode ilmiah modern.¹⁵ Al-Jazari, ahli teknik dari abad ke-12, menciptakan berbagai mesin otomatis dan alat mekanik yang mencerminkan kejeniusan teknologis dunia Islam.¹⁶


Catatan Kaki

[1]                Jane Dammen McAuliffe, Qur'ānic Christians: An Analysis of Classical and Modern Exegesis (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 15–19.

[2]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 75–78.

[3]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu‘tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 34–36.

[4]                Kees Versteegh, Greek Elements in Arabic Linguistic Thinking (Leiden: Brill, 1977), 22–27.

[5]                Salma Khadra Jayyusi, Trends and Movements in Modern Arabic Poetry (Leiden: Brill, 1977), 10.

[6]                Emilie Savage-Smith, “Medicine,” in Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures, ed. Helaine Selin (Dordrecht: Springer, 2008), 1466–1469.

[7]                Roy Porter, The Greatest Benefit to Mankind: A Medical History of Humanity (New York: Norton, 1997), 103.

[8]                Peter E. Pormann and Emilie Savage-Smith, Medieval Islamic Medicine (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), 67.

[9]                David A. King, Islamic Astronomy and Geography (London: Ashgate Variorum, 2012), 45–49.

[10]             Roshdi Rashed, The Development of Arabic Mathematics: Between Arithmetic and Algebra (London: Routledge, 1994), 29–34.

[11]             Glen Van Brummelen, The Mathematics of the Heavens and the Earth: The Early History of Trigonometry (Princeton: Princeton University Press, 2009), 114–116.

[12]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 88–91.

[13]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 304–307.

[14]             Paul Kraus, Jābir ibn Ḥayyān: Contribution à l’histoire des idées scientifiques dans l’Islam (Cairo: Institut Français d’Archéologie Orientale, 1942), 132.

[15]             A. I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg Institute, 1989), 14–16.

[16]             Donald R. Hill, Islamic Science and Engineering (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1993), 155–160.


4.           Lembaga dan Infrastruktur Intelektual

Keberhasilan ilmiah dalam Zaman Keemasan Islam tidak dapat dilepaskan dari dukungan struktur kelembagaan dan infrastruktur intelektual yang dirancang secara sistematis dan strategis oleh para pemimpin Muslim. Lembaga-lembaga ini tidak hanya menyediakan sarana pendidikan dan penelitian, tetapi juga menciptakan ekosistem ilmiah yang inklusif dan produktif bagi para cendekiawan dari berbagai latar belakang budaya dan agama.

4.1.       Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan)

Salah satu lembaga paling monumental dalam sejarah intelektual Islam adalah Bayt al-Hikmah yang didirikan di Baghdad pada abad ke-9 oleh Khalifah al-Ma’mun (r. 813–833). Lembaga ini berfungsi sebagai perpustakaan besar, pusat penerjemahan, dan institut penelitian yang mempertemukan para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia Islam.¹ Bayt al-Hikmah menjadi pusat kegiatan penerjemahan teks-teks penting dari bahasa Yunani, Persia, dan Sanskerta ke dalam bahasa Arab, termasuk karya-karya Aristoteles, Galen, Ptolemaeus, dan Euclid.² Para penerjemah seperti Hunayn ibn Ishaq dan Thabit ibn Qurra memainkan peran penting dalam proses ini, tidak hanya menerjemahkan secara literal, tetapi juga menyunting dan mengembangkan ide-ide ilmiah secara kritis.³

4.2.       Perpustakaan dan Lembaga Pendidikan

Selain Bayt al-Hikmah, berbagai kota besar di dunia Islam seperti Kairo, Damaskus, Cordoba, dan Nishapur memiliki perpustakaan-perpustakaan besar yang mendukung aktivitas ilmiah. Perpustakaan Dar al-‘Ilm di Kairo, yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah pada abad ke-10, memiliki ribuan manuskrip dalam berbagai bidang ilmu dan terbuka bagi umum.⁴ Di Andalusia, perpustakaan Khalifah al-Hakam II di Cordoba dikatakan menyimpan lebih dari 400.000 volume, menjadikan kota tersebut sebagai pusat ilmu pengetahuan Eropa pada masa itu.⁵

Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal berkembang pesat pada abad ke-11, dimulai oleh Nizam al-Mulk, wazir Dinasti Saljuk, yang mendirikan Madrasah Nizamiyah di Baghdad.⁶ Lembaga ini tidak hanya fokus pada ilmu agama, tetapi juga menyediakan pendidikan dalam bidang logika, sastra, dan ilmu rasional lainnya. Sistem pendidikan ini menjadi model institusi universitas di Eropa, seperti Universitas Bologna dan Paris.⁷

4.3.       Observatorium dan Laboratorium Ilmiah

Lembaga penelitian astronomi dan eksperimental juga menjadi ciri penting dari Zaman Keemasan Islam. Observatorium Maragha yang dibangun oleh Nasir al-Din al-Tusi di Persia pada abad ke-13 merupakan pusat astronomi yang dilengkapi dengan instrumen observasi mutakhir dan staf ilmuwan dari berbagai wilayah.⁸ Demikian pula, Observatorium Samarkand yang didirikan oleh Ulugh Beg di abad ke-15 melanjutkan tradisi ini dengan pengukuran langit yang akurat dan pembuatan zij (tabel astronomi) yang digunakan hingga ratusan tahun kemudian.⁹

Beberapa ilmuwan seperti Jabir ibn Hayyan dan al-Razi bahkan mendirikan laboratorium pribadi untuk eksperimen kimia dan medis.¹⁰ Mereka tidak hanya menyalin teori kuno, tetapi memperkenalkan metode observasi, verifikasi, dan dokumentasi yang menjadi cikal bakal metode ilmiah modern.

4.4.       Inklusivitas Sosial dan Keragaman Intelektual

Keunikan infrastruktur intelektual dunia Islam terletak pada inklusivitasnya. Lembaga-lembaga ilmiah ini tidak eksklusif bagi Muslim semata, tetapi terbuka bagi Yahudi, Kristen, Zoroastrian, dan lainnya yang hidup di bawah Dār al-Islām. Hal ini memungkinkan terciptanya pertukaran gagasan yang kaya dan tidak sektarian, serta mempercepat kemajuan ilmu pengetahuan.¹¹

Lebih jauh, mobilitas ilmuwan yang tinggi, baik secara geografis maupun sosial, mempermudah penyebaran ide dan perkembangan jaringan ilmiah antarkota.¹² Ulama dan ilmuwan kerap melakukan perjalanan panjang dari Maroko ke Asia Tengah demi belajar dan berdiskusi, menjadikan dunia Islam sebagai satu kesatuan wilayah intelektual yang terhubung secara dinamis.


Catatan Kaki

[1]                Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York: Penguin Press, 2010), 38–42.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 24–26.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 29.

[4]                Heinz Halm, The Fatimids and Their Traditions of Learning (London: I.B. Tauris, 1997), 75–77.

[5]                María Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (New York: Little, Brown, 2002), 135.

[6]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 31–33.

[7]                Jonathan Lyons, The House of Wisdom: How the Arabs Transformed Western Civilization (New York: Bloomsbury Press, 2009), 144–146.

[8]                Nasir al-Din al-Tusi, Tadhkirah fi Ilm al-Hay’ah (Memoir on Astronomy), ed. A.I. Sabra (London: Warburg Institute, 1956), xxiii.

[9]                David A. King, Islamic Astronomy and Geography (London: Ashgate Variorum, 2012), 51–54.

[10]             Paul Kraus, Jābir ibn Ḥayyān: Contribution à l’histoire des idées scientifiques dans l’Islam (Cairo: Institut Français d’Archéologie Orientale, 1942), 121–127.

[11]             F. E. Peters, Islam: A Guide for Jews and Christians (Princeton: Princeton University Press, 2003), 117.

[12]             Francis Robinson, “The Ulama of the Islamic World and the Transmission of Learning,” Islamic Studies 37, no. 3 (1998): 345–356.


5.           Pengaruh dan Warisan Zaman Keemasan Islam

Zaman Keemasan Islam meninggalkan warisan intelektual dan ilmiah yang berdampak luas, tidak hanya bagi dunia Islam sendiri, tetapi juga terhadap peradaban global, khususnya Eropa. Melalui penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Arab ke Latin, serta adopsi sistem pendidikan dan metode ilmiah, peradaban Barat memperoleh fondasi penting yang akan menjadi pemicu Renaisans dan perkembangan ilmu modern.

5.1.       Transfer Ilmu ke Dunia Barat

Salah satu jalur utama transmisi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat adalah melalui wilayah Andalusia (Spanyol Muslim) dan Sisilia. Kota-kota seperti Toledo, Sevilla, dan Cordoba menjadi pusat interaksi intelektual antara Muslim, Kristen, dan Yahudi. Proyek-proyek penerjemahan besar dimulai pada abad ke-12, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gerard dari Cremona, yang menerjemahkan lebih dari 70 karya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa Latin, termasuk al-Qānūn fi al-Ṭibb karya Ibn Sina dan al-Jabr wa al-Muqābalah karya al-Khwarizmi.¹

Penerjemahan ini tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga epistemologis—yakni pengenalan metode rasional, sistematis, dan observasional yang menjadi ciri khas sains Islam.² Roger Bacon, salah satu pelopor metode ilmiah di Barat, mengakui pengaruh besar dari karya-karya ilmiah Muslim, khususnya dalam bidang optika dan logika.³ Bahkan, universitas-universitas awal di Eropa seperti Bologna dan Paris menggunakan kurikulum yang berakar dari model pendidikan Islam, baik dalam struktur lembaga maupun silabus pengajaran.⁴

5.2.       Pengaruh terhadap Ilmu Pengetahuan Modern

Kontribusi ilmuwan Muslim dalam bidang matematika, astronomi, kedokteran, dan kimia membentuk dasar bagi banyak penemuan modern. Sistem angka desimal dan konsep nol yang diperkenalkan oleh ilmuwan Muslim melalui adopsi angka Hindu menjadi dasar aritmetika modern.⁵ Konsep algoritma yang diambil dari nama al-Khwarizmi memberikan pengaruh mendasar dalam bidang ilmu komputer saat ini.⁶

Dalam bidang optika, karya Ibn al-Haytham tentang cahaya dan penglihatan dianggap sebagai awal dari metode eksperimental modern.⁷ Hal ini diakui oleh ilmuwan modern seperti David C. Lindberg, yang menyatakan bahwa “the impact of al-Haytham’s optics on Western science was direct and profound.”⁸

5.3.       Warisan Epistemologis dan Metodologis

Selain warisan teknis, peradaban Islam juga mewariskan pendekatan metodologis terhadap ilmu pengetahuan yang memadukan antara iman dan rasio. Dalam tradisi ilmiah Islam, pencarian ilmu tidak dianggap sebagai aktivitas sekuler, melainkan sebagai bentuk ibadah dan upaya memahami ciptaan Tuhan.⁹ Pandangan ini memberi inspirasi bagi konsep scientia sacra yang dikembangkan oleh cendekiawan Muslim modern seperti Seyyed Hossein Nasr.¹⁰

Tradisi ijtihad, atau usaha intelektual untuk memahami realitas berdasarkan prinsip-prinsip Islam, menjadi bukti adanya keterbukaan dalam menafsirkan ilmu secara dinamis dan kontekstual.¹¹ Dengan demikian, Zaman Keemasan Islam menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dapat selaras dengan spiritualitas dan nilai-nilai religius.

Relevansi Kontemporer

Dalam konteks global saat ini, warisan Zaman Keemasan Islam mengandung pelajaran penting bagi dunia Muslim kontemporer. Keberhasilan ilmiah masa lalu bukanlah hasil dari penolakan terhadap ajaran agama, melainkan justru karena integrasi yang harmonis antara ilmu dan iman, antara akal dan wahyu.¹² Penggalian kembali tradisi ilmiah Islam tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga menjadi strategi penting untuk membangun kembali peradaban Islam yang inklusif, ilmiah, dan berdaya saing di panggung dunia modern.


Catatan Kaki

[1]                Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context 14, no. 1–2 (2001): 249–288.

[2]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 32–36.

[3]                A.C. Crombie, Robert Grosseteste and the Origins of Experimental Science 1100–1700 (Oxford: Clarendon Press, 1953), 45.

[4]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 85–88.

[5]                J.L. Berggren, Mathematics in Medieval Islam (Aldershot: Variorum, 1986), 21–24.

[6]                Roshdi Rashed, The Development of Arabic Mathematics: Between Arithmetic and Algebra (London: Routledge, 1994), 54.

[7]                A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg Institute, 1989), 5–9.

[8]                David C. Lindberg, Theories of Vision from Al-Kindi to Kepler (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 58.

[9]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 87–92.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 56–59.

[11]             Wael B. Hallaq, Authority, Continuity and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 129.

[12]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 17–19.


6.           Kemunduran dan Faktor Penyebabnya

Meskipun Zaman Keemasan Islam pernah menempatkan dunia Islam sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan, fase kejayaan tersebut tidak berlangsung selamanya. Mulai abad ke-13 M, tanda-tanda kemunduran peradaban ilmiah Islam mulai tampak, ditandai oleh berkurangnya produktivitas ilmiah, melemahnya institusi pendidikan, serta terhentinya inovasi dalam berbagai disiplin ilmu. Kemunduran ini bukanlah hasil dari satu penyebab tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai faktor internal maupun eksternal yang saling berinteraksi secara kompleks.

6.1.       Serangan Mongol dan Keruntuhan Baghdad (1258 M)

Salah satu titik balik yang sangat mencolok dalam sejarah dunia Islam adalah penghancuran kota Baghdad oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Serangan ini menyebabkan kehancuran fisik dan psikologis yang luar biasa, termasuk pembumihangusan Bayt al-Hikmah dan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk, termasuk para ulama dan cendekiawan.¹ Kota Baghdad yang sebelumnya menjadi pusat ilmu dan budaya dunia Islam, berubah menjadi reruntuhan. Hal ini menandai berakhirnya dominasi Dinasti Abbasiyah dan keruntuhan pusat gravitasi intelektual dunia Islam.²

6.2.       Fragmentasi Politik dan Melemahnya Patronase Ilmiah

Setelah runtuhnya kekuasaan Abbasiyah, dunia Islam mengalami fragmentasi politik yang parah. Berbagai wilayah seperti Mamluk di Mesir, Turki Utsmani di Anatolia, dan berbagai dinasti kecil di Persia dan India berdiri dengan kepentingan politik masing-masing.³ Keadaan ini membuat fokus para penguasa lebih terarah pada stabilitas kekuasaan dan militer dibanding pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Lebih jauh, sistem patronase ilmiah yang sebelumnya diberikan oleh khalifah dan elite istana mulai menghilang. Ketika perlindungan dan dukungan finansial terhadap ilmuwan berkurang, banyak dari mereka berhenti menulis, meneliti, atau bahkan berpindah ke bidang non-ilmiah seperti sufisme atau mistisisme.⁴

6.3.       Dominasi Ortodoksi dan Penurunan Iklim Intelektual

Munculnya konservatisme keagamaan yang menekankan ketaatan terhadap otoritas tekstual telah mempersempit ruang kebebasan berpikir ilmiah. Salah satu contohnya adalah penolakan terhadap filsafat dan ilmu-ilmu rasional oleh sebagian ulama ortodoks, yang dipicu oleh karya seperti Tahāfut al-Falāsifah karya al-Ghazali (w. 1111 M).⁵ Meskipun al-Ghazali sendiri tetap menghargai logika dan teologi rasional, pengaruh polemiknya turut mendorong munculnya sikap anti-filsafat dalam kalangan ortodoksi Sunni.⁶

Sebaliknya, pada masa yang sama, Eropa justru mulai mengadopsi dan mengembangkan warisan ilmiah Islam melalui Renaisans dan Revolusi Ilmiah. Dunia Islam mulai tertinggal karena tidak lagi aktif dalam proses penciptaan ilmu baru, melainkan cenderung mengulang dan mensyarah karya-karya klasik tanpa inovasi.⁷

6.4.       Perubahan Orientasi Sosial dan Ekonomi

Transformasi sosial-ekonomi juga turut memengaruhi kemunduran dunia ilmiah Islam. Perdagangan internasional yang dahulu menjadi sumber utama kekayaan dunia Islam mulai terganggu oleh dominasi kekuatan maritim Eropa, terutama setelah penemuan jalur laut ke India dan Asia oleh bangsa Portugis dan Spanyol.⁸ Hal ini berdampak langsung terhadap pendanaan lembaga-lembaga ilmiah dan aktivitas keilmuan yang sebelumnya sangat bergantung pada kestabilan ekonomi dan hubungan dagang yang kuat.

Selain itu, naiknya kelas birokrasi yang lebih administratif ketimbang intelektual juga mengubah orientasi lembaga pendidikan. Madrasah, yang pada awalnya menjadi pusat pembelajaran multidisipliner, mulai membatasi kurikulum hanya pada ilmu-ilmu agama formal, seperti fikih dan hadis, dengan mengesampingkan ilmu-ilmu rasional.⁹

6.5.       Ketidakmampuan Beradaptasi terhadap Perubahan Dunia

Akhirnya, salah satu penyebab struktural dari kemunduran ilmu di dunia Islam adalah stagnasi metodologis dan kurangnya kemampuan beradaptasi dengan dinamika zaman. Banyak institusi pendidikan Islam bertahan dengan metode dan teks klasik yang tidak mengalami pembaruan, bahkan ketika dunia luar—khususnya Eropa—mengalami transformasi ilmiah dan revolusi teknologi.¹⁰

Kecenderungan untuk memandang masa lalu secara idealistik tanpa semangat kritis dan inovatif menyebabkan hilangnya etos ilmiah yang sebelumnya sangat kuat dalam sejarah awal Islam. Dalam konteks inilah, warisan Zaman Keemasan Islam mulai terlupakan dan kehilangan relevansinya dalam praktik kehidupan sosial dan ilmiah umat Islam.


Catatan Kaki

[1]                Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge, MA: Da Capo Press, 2005), 292.

[2]                Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York: Penguin Press, 2010), 216.

[3]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 258–261.

[4]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 107–110.

[5]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 1–3.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 298–301.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 181.

[8]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 23–25.

[9]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 120–123.

[10]             Ahmad Dallal, “The Interplay of Science and Theology in the Fourteenth-Century Kalam,” in Arabic Theology, Arabic Philosophy: From the Many to the One, ed. James E. Montgomery (Leuven: Peeters, 2006), 317–339.


7.           Relevansi Zaman Keemasan Islam bagi Dunia Kontemporer

Di tengah tantangan modernitas, krisis identitas, dan ketertinggalan ilmu pengetahuan yang dialami banyak negara Muslim saat ini, Zaman Keemasan Islam menghadirkan warisan dan inspirasi yang sangat penting. Periode kejayaan ini bukan semata-mata nostalgia sejarah, melainkan cermin bagi potensi integrasi antara iman dan akal, tradisi dan inovasi, serta spiritualitas dan ilmu pengetahuan dalam konteks kontemporer.

7.1.       Inspirasi Epistemologis: Integrasi Wahyu dan Akal

Salah satu warisan paling esensial dari Zaman Keemasan Islam adalah pendekatan epistemologis yang tidak mempertentangkan antara wahyu dan akal. Para ilmuwan Muslim klasik seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan al-Ghazali menunjukkan bahwa pemikiran rasional tidak hanya kompatibel dengan nilai-nilai Islam, tetapi bahkan menjadi instrumen penting dalam mendalami kebesaran ciptaan Tuhan.¹ Pendekatan ini sangat relevan dalam merespons dikotomi modern antara agama dan sains yang sering kali dipertentangkan secara tidak proporsional.²

Konsep ilmu dalam Islam—sebagaimana dijelaskan oleh Franz Rosenthal sebagai “a religious duty and a moral obligation”³—dapat membentuk landasan etis dan spiritual bagi kebangkitan kembali sains yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

7.2.       Model Peradaban Inklusif dan Multikultural

Zaman Keemasan Islam juga menawarkan model peradaban yang inklusif dan multikultural. Keterlibatan aktif ilmuwan Yahudi, Kristen, dan Zoroastrian dalam pusat-pusat ilmu pengetahuan Islam mencerminkan kemampuan umat Islam masa lalu dalam membangun dialog antarbudaya yang produktif.⁴ Dalam konteks globalisasi hari ini, model tersebut menjadi inspirasi untuk membangun masyarakat ilmu pengetahuan yang terbuka, kolaboratif, dan bebas dari sektarianisme maupun eksklusivisme dogmatis.

Sebagaimana dicatat oleh María Rosa Menocal, “medieval Muslim societies were profoundly pluralistic, with intellectual vibrancy stemming from intercultural encounters.”⁵ Prinsip ini bisa menjadi landasan bagi dunia Muslim kontemporer untuk menata ulang relasi antara identitas keagamaan dengan keterbukaan ilmiah dan sosial.

7.3.       Etos Keilmuan dan Kemandirian Intelektual

Para ilmuwan Muslim klasik tidak hanya sekadar mewarisi ilmu dari Yunani atau India, tetapi mereka mengembangkan etos keilmuan berbasis eksperimen, observasi, dan deduksi.⁶ Ibn al-Haytham misalnya, tidak sekadar mengadopsi teori optika Ptolemaeus, melainkan mengujinya secara eksperimen dan membangun teori baru yang lebih akurat.⁷ Etos seperti ini sangat diperlukan di dunia Muslim hari ini untuk membangun kemandirian intelektual, yang tidak hanya bergantung pada konsumsi ilmu Barat, tetapi mampu berkontribusi secara orisinal dalam perkembangan sains global.

Sebagaimana ditegaskan oleh George Saliba, kemajuan sains Islam masa lalu “was not merely about preservation, but innovation through critique and construction of new models.”⁸

7.4.       Strategi Rekonstruksi Peradaban Islam Kontemporer

Zaman Keemasan Islam dapat dijadikan sebagai model strategis untuk rekonstruksi peradaban Islam di era modern. Hal ini mencakup pembenahan sistem pendidikan yang tidak terjebak pada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, mendorong riset interdisipliner, serta membangun lembaga-lembaga keilmuan yang tidak hanya menghafal masa lalu tetapi juga mencipta masa depan.⁹

Konsep ijtihad dan tajdid (pembaruan) dalam tradisi Islam klasik harus dihidupkan kembali dalam ranah keilmuan agar umat Islam mampu menjawab tantangan zaman secara dinamis. Pemikir seperti Fazlur Rahman telah menekankan pentingnya “a critical and ethical reconstruction of Islamic intellectual legacy” untuk menjembatani warisan klasik dengan kebutuhan kontemporer.¹⁰

7.5.       Peran Dunia Islam dalam Sains Global

Kebangkitan dunia Islam tidak akan sempurna tanpa peran aktif dalam sains dan teknologi global. Negara-negara Muslim perlu menanamkan kembali budaya riset, memperkuat literasi ilmiah masyarakat, dan mendorong kolaborasi antarnegara dalam proyek ilmiah strategis. Warisan Zaman Keemasan Islam dapat menjadi motivasi kolektif untuk membangun maqāsid al-‘ilm (tujuan ilmu pengetahuan) yang tidak hanya mengejar keuntungan material, tetapi juga memberi solusi etis dan berkelanjutan bagi peradaban manusia.


Catatan Kaki

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 116–121.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 128–130.

[3]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 5.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 51.

[5]                María Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (New York: Little, Brown, 2002), 89.

[6]                Roshdi Rashed, The Development of Arabic Mathematics: Between Arithmetic and Algebra (London: Routledge, 1994), 12.

[7]                A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham (London: Warburg Institute, 1989), 23–25.

[8]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 17.

[9]                Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Decline Theory (London: Grey Seal, 1989), 79–84.

[10]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 148–150.


8.           Kesimpulan

Zaman Keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-14 M) merupakan periode penting dalam sejarah peradaban manusia yang menunjukkan bagaimana Islam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan melalui sintesis kreatif antara wahyu, akal, dan pengalaman empiris. Kejayaan ini tercermin dalam kemajuan yang luar biasa di berbagai cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan teknologi.¹ Berbagai institusi seperti Bayt al-Hikmah, madrasah, dan observatorium bukan hanya menjadi simbol kemajuan struktural, tetapi juga menunjukkan keseriusan umat Islam dalam membangun masyarakat ilmiah yang inklusif dan kolaboratif.²

Kontribusi ilmuwan Muslim tidak terbatas pada penerjemahan ilmu dari Yunani, Persia, atau India, tetapi juga terletak pada proses kreatif dalam mengembangkan teori, menyempurnakan metodologi, dan memperkenalkan pendekatan sistematis berbasis eksperimen.³ Keberhasilan mereka menjadi fondasi penting bagi kemajuan peradaban Eropa melalui transfer ilmu pengetahuan ke Barat, yang turut memicu munculnya Renaisans dan Revolusi Ilmiah.⁴ Dengan demikian, peradaban Islam memiliki posisi sentral dalam rantai perkembangan ilmu pengetahuan global.

Namun, kejayaan tersebut tidak berlangsung abadi. Faktor-faktor seperti invasi Mongol, fragmentasi politik, melemahnya patronase ilmiah, serta dominasi konservatisme intelektual mengakibatkan kemunduran drastis dalam produktivitas ilmiah dunia Islam.⁵ Ilmu yang dahulu berkembang dalam semangat pencarian kebenaran menjadi stagnan karena pendekatan yang terlalu tekstual dan kurang inovatif. Keadaan ini semakin diperburuk oleh perubahan geopolitik global serta marginalisasi dunia Islam dalam peta ekonomi dan teknologi internasional.⁶

Meski demikian, warisan Zaman Keemasan Islam tetap relevan untuk zaman kini. Pendekatan epistemologis yang menyatukan wahyu dan rasio, keterbukaan terhadap pluralitas intelektual, dan semangat ijtihad dalam pencarian ilmu merupakan prinsip-prinsip abadi yang dapat dijadikan landasan bagi kebangkitan peradaban Islam modern.⁷ Sebagaimana ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr, “to revive Islamic science is not to repeat its past but to renew its spirit in the service of the future.”⁸

Dengan meneladani semangat ilmiah dari masa keemasan, umat Islam kontemporer diharapkan dapat membangun kembali sistem pendidikan, riset, dan kebudayaan yang berpijak pada nilai-nilai ilahiyah sekaligus berdaya saing secara global. Upaya ini membutuhkan sinergi antara negara, institusi keilmuan, dan masyarakat luas, demi menciptakan peradaban yang berkeilmuan, berkeadaban, dan berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                Jim Al-Khalili, The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (New York: Penguin Press, 2010), 54–56.

[2]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 22–27.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 18–22.

[4]                Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context 14, no. 1–2 (2001): 257.

[5]                Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge, MA: Da Capo Press, 2005), 289–293.

[6]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 45–47.

[7]                Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Myth of the Decline Theory (London: Grey Seal, 1989), 84.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), xii.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press. (Original work published 1095)

Al-Khalili, J. (2010). The house of wisdom: How Arabic science saved ancient knowledge and gave us the Renaissance. Penguin Press.

Berggren, J. L. (1986). Mathematics in medieval Islam. Variorum.

Burnett, C. (2001). The coherence of the Arabic–Latin translation program in Toledo in the twelfth century. Science in Context, 14(1–2), 249–288. https://doi.org/10.1017/S026988970100009X

Crombie, A. C. (1953). Robert Grosseteste and the origins of experimental science 1100–1700. Clarendon Press.

Dallal, A. (2006). The interplay of science and theology in the fourteenth-century kalam. In J. E. Montgomery (Ed.), Arabic theology, Arabic philosophy: From the many to the one (pp. 317–339). Peeters.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbāsid society (2nd–4th/8th–10th centuries). Routledge.

Halm, H. (1997). The Fatimids and their traditions of learning. I.B. Tauris.

Hallaq, W. B. (2001). Authority, continuity and change in Islamic law. Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution of Islamic law. Cambridge University Press.

Hill, D. R. (1993). Islamic science and engineering. Edinburgh University Press.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam: Conscience and history in a world civilization (Vols. 2–3). University of Chicago Press.

Jayyusi, S. K. (1977). Trends and movements in modern Arabic poetry. Brill.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Kennedy, H. (2005). When Baghdad ruled the Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Da Capo Press.

Kraus, P. (1942). Jābir ibn Ḥayyān: Contribution à l’histoire des idées scientifiques dans l’Islam. Institut Français d’Archéologie Orientale.

Lapidus, I. M. (2002). A history of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge University Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Lindberg, D. C. (1976). Theories of vision from Al-Kindi to Kepler. University of Chicago Press.

Lyons, J. (2009). The house of wisdom: How the Arabs transformed Western civilization. Bloomsbury Press.

Makdisi, G. (1981). The rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.

Makdisi, G. (1984). The rise of humanism in classical Islam and the Christian West. In K. I. Semaan (Ed.), Islam and the medieval West (pp. 27–53). SUNY Press.

Martin, R. C. (1997). Defenders of reason in Islam: Mu‘tazilism from medieval school to modern symbol. Oneworld.

Menocal, M. R. (2002). The ornament of the world: How Muslims, Jews, and Christians created a culture of tolerance in medieval Spain. Little, Brown.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. SUNY Press.

Peters, F. E. (2003). Islam: A guide for Jews and Christians. Princeton University Press.

Pormann, P. E., & Savage-Smith, E. (2007). Medieval Islamic medicine. Edinburgh University Press.

Rashed, R. (1994). The development of Arabic mathematics: Between arithmetic and algebra. Routledge.

Robinson, F. (1998). The Ulama of the Islamic world and the transmission of learning. Islamic Studies, 37(3), 345–356.

Rosenthal, F. (1970). Knowledge triumphant: The concept of knowledge in medieval Islam. Brill.

Sabra, A. I. (1989). The optics of Ibn al-Haytham. Warburg Institute.

Saliba, G. (2007). Islamic science and the making of the European Renaissance. MIT Press.

Sardar, Z. (1989). Islamic science: The myth of the decline theory. Grey Seal.

Savage-Smith, E. (2008). Medicine. In H. Selin (Ed.), Encyclopaedia of the history of science, technology, and medicine in non-Western cultures (pp. 1466–1469). Springer.

Sezgin, F. (2000). Science and technology in Islam: Catalogue of the exhibition of the Institute for the History of Arabic-Islamic Science. Institute for the History of Arabic-Islamic Science.

Van Brummelen, G. (2009). The mathematics of the heavens and the earth: The early history of trigonometry. Princeton University Press.

Versteegh, K. (1977). Greek elements in Arabic linguistic thinking. Brill.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar