Sabtu, 31 Mei 2025

Eksistensialisme Modern: Kebebasan, Makna, dan Kegelisahan Manusia di Dunia Kontemporer

Eksistensialisme Modern

Kebebasan, Makna, dan Kegelisahan Manusia di Dunia Kontemporer


Alihkan ke: Eksistensialisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan, karakteristik, dan relevansi eksistensialisme modern dalam menjawab tantangan kebudayaan dan kemanusiaan kontemporer. Eksistensialisme muncul sebagai respons filosofis terhadap krisis makna yang ditimbulkan oleh modernitas, perang dunia, dan runtuhnya fondasi metafisis tradisional. Melalui tokoh-tokoh utama seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Martin Heidegger, eksistensialisme menekankan pentingnya kebebasan, tanggung jawab, keotentikan, serta penciptaan makna dalam dunia yang absurd. Artikel ini juga menelaah kontribusi eksistensialisme dalam bidang sastra, psikologi, dan budaya populer, serta relevansinya dalam merespons isu-isu kontemporer seperti alienasi digital, krisis identitas, dan kesehatan mental. Meskipun menghadapi berbagai kritik, eksistensialisme tetap penting sebagai kerangka reflektif yang menempatkan manusia sebagai subjek etis yang bertanggung jawab atas keberadaannya. Artikel ini menegaskan bahwa eksistensialisme bukanlah sistem tertutup, melainkan undangan untuk hidup secara sadar, bebas, dan otentik di tengah ketidakpastian dunia modern.

Kata Kunci: Eksistensialisme modern, kebebasan, makna hidup, Jean-Paul Sartre, absurditas, keotentikan, krisis identitas, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Menelaah Eksistensialisme Modern di Dunia Kontemporer


1.           Pendahuluan

Eksistensialisme modern merupakan salah satu aliran filsafat yang lahir dari kegelisahan manusia atas krisis makna dan kebebasan dalam kehidupan modern. Filsafat ini berkembang secara signifikan di Eropa pada abad ke-20, terutama pasca Perang Dunia I dan II, ketika manusia menghadapi kehampaan eksistensial akibat kehancuran perang, nihilisme, serta kegagalan rasionalisme dan sains dalam memberikan jawaban moral dan spiritual terhadap penderitaan manusia. Dalam konteks ini, eksistensialisme muncul sebagai sebuah pendekatan filsafat yang menempatkan keberadaan manusia sebagai persoalan utama, sekaligus sebagai upaya reflektif atas penderitaan, kebebasan, tanggung jawab, dan absurditas hidup manusia modern1.

Tidak seperti aliran-aliran filsafat sebelumnya yang menekankan pada struktur metafisis atau sistem logis yang mapan, eksistensialisme lebih menyoroti aspek eksistensial manusia yang konkret dan subjektif. Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, yang kerap disebut sebagai pelopor pemikiran ini, mengkritik keras kecenderungan filsafat tradisional yang mengabaikan keunikan dan penderitaan pribadi manusia2. Pemikiran mereka kemudian memberi inspirasi bagi tokoh-tokoh eksistensialis modern seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Martin Heidegger, dan Albert Camus yang memperluas cakupan eksistensialisme menjadi wacana multidisipliner yang menjangkau etika, sastra, teologi, hingga psikologi.

Eksistensialisme modern menyoroti sejumlah tema penting seperti kesendirian manusia dalam semesta yang sunyi, kecemasan sebagai kondisi ontologis, absurditas realitas, kebebasan sebagai beban eksistensial, serta tanggung jawab moral individu dalam membentuk makna hidupnya sendiri3. Sartre secara tegas menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi", yang berarti manusia tidak memiliki kodrat atau makna tetap yang diwarisi sejak lahir, tetapi harus menciptakan maknanya sendiri melalui tindakan-tindakan bebas dan sadar4. Inilah yang membedakan eksistensialisme dengan determinisme atau pandangan-pandangan teologis yang menganggap makna hidup telah ditentukan sejak awal.

Dalam dunia kontemporer, ketika manusia berhadapan dengan realitas yang semakin kompleks—ditandai oleh alienasi digital, krisis identitas, disintegrasi komunitas, dan kehilangan nilai-nilai luhur—eksistensialisme tetap menawarkan kerangka reflektif yang kuat untuk memahami dan merespons kegelisahan eksistensial tersebut. Dengan demikian, eksistensialisme modern bukan hanya sekadar warisan filsafat, melainkan juga menjadi cara berpikir dan bersikap dalam menghadapi dunia yang absurd, bebas, sekaligus penuh tanggung jawab.


Footnotes

[1]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 1–4.

[2]                David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford: Blackwell Publishers, 1999), 15–21.

[3]                John Macquarrie, Existentialism (Philadelphia: Westminster Press, 1972), 14–19.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 21–22.


2.           Akar Historis Eksistensialisme

Eksistensialisme modern memiliki akar historis yang dalam dan kompleks, yang tidak dapat dilepaskan dari pergulatan filosofis dan religius Eropa sejak abad ke-19. Meskipun puncak popularitas eksistensialisme terjadi pada pertengahan abad ke-20, benih-benih pemikiran eksistensial telah disemai oleh para pemikir sebelumnya, terutama oleh Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Keduanya dianggap sebagai "bapak eksistensialisme" karena keberanian mereka menggugat sistem filsafat rasionalistik yang menyingkirkan aspek personal, subjektif, dan paradoksal dari kehidupan manusia1.

Søren Kierkegaard (1813–1855), seorang teolog dan filsuf asal Denmark, menolak sistem Hegelian yang mengabstraksikan realitas manusia menjadi struktur logika universal. Bagi Kierkegaard, eksistensi manusia adalah persoalan yang bersifat personal, penuh paradoks, dan ditandai oleh pilihan-pilihan eksistensial yang menentukan keotentikan individu. Ia menekankan pentingnya “lompatan iman” sebagai cara untuk mengatasi keputusasaan dan mencapai otentisitas spiritual dalam menghadapi absurditas dan penderitaan2. Kierkegaard juga memperkenalkan konsep-konsep penting seperti "kecemasan" (angst) dan "putus asa" (despair) sebagai kondisi dasar manusia di hadapan kebebasan dan tanggung jawab.

Sementara itu, Friedrich Nietzsche (1844–1900), filsuf Jerman yang dikenal dengan kritik radikal terhadap agama, moralitas tradisional, dan filsafat Barat, memberikan dimensi nihilistik sekaligus pemberontakan kreatif terhadap realitas. Gagasannya tentang “kematian Tuhan” (God is dead) bukanlah penolakan literal terhadap keberadaan Tuhan, melainkan ekspresi dari runtuhnya sistem nilai religius dan metafisik yang selama ini menopang peradaban Barat3. Nietzsche menyerukan lahirnya "manusia unggul" (Übermensch) yang menciptakan nilai-nilainya sendiri melalui kehendak untuk berkuasa (will to power) dan keberanian untuk hidup dalam dunia yang tanpa makna absolut4.

Selain Kierkegaard dan Nietzsche, eksistensialisme juga banyak dipengaruhi oleh tradisi fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl. Fenomenologi memperkenalkan metode "kembali ke benda itu sendiri" (zu den Sachen selbst) yang menolak abstraksi sistematik dan berusaha memahami pengalaman sebagaimana dialami secara langsung. Pengaruh ini terlihat jelas dalam karya Martin Heidegger, yang menggabungkan fenomenologi dengan pendekatan eksistensial dalam menjelaskan struktur keberadaan manusia (Dasein)5.

Transisi dari eksistensialisme awal ke eksistensialisme modern terjadi pada awal abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia I dan II, ketika krisis eksistensial menjadi pengalaman kolektif umat manusia. Tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus mengangkat pemikiran eksistensial ke dalam wacana publik melalui tulisan filsafat, sastra, dan teater. Berbeda dengan pendahulunya, mereka menyajikan eksistensialisme dalam bentuk ateistik dan humanistik, serta lebih terlibat dalam isu-isu sosial-politik kontemporer6.

Dengan demikian, akar historis eksistensialisme merupakan hasil dari interaksi berbagai arus pemikiran: teologi Kristen, kritik terhadap metafisika modern, krisis nilai-nilai Barat, serta pendekatan fenomenologis terhadap kesadaran manusia. Akar-akar ini membentuk fondasi yang kokoh bagi munculnya eksistensialisme modern sebagai respons filsafat terhadap kegelisahan manusia yang mendalam dalam dunia yang tidak lagi menawarkan kepastian metafisik maupun otoritas moral yang tunggal.


Footnotes

[1]                David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford: Blackwell Publishers, 1999), 12–16.

[2]                Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 233–240.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181.

[4]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 41–47.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 50–60.

[6]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 7–10.


3.           Karakteristik Umum Eksistensialisme Modern

Eksistensialisme modern sebagai aliran filsafat tidak dibangun dalam bentuk sistematis seperti rasionalisme atau idealisme. Sebaliknya, eksistensialisme merupakan pendekatan filsafat yang bersifat reflektif, personal, dan terbuka, yang menekankan pengalaman subjektif manusia, terutama dalam menghadapi kegelisahan, kebebasan, dan makna hidup. Kendati para tokohnya memiliki latar belakang dan pandangan yang beragam—baik religius maupun ateistik—eksistensialisme modern memiliki sejumlah karakteristik kunci yang menjadi benang merah pemikirannya.

3.1.       Primasi Eksistensi atas Esensi

Salah satu prinsip paling fundamental dalam eksistensialisme modern adalah pernyataan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence), sebagaimana dirumuskan oleh Jean-Paul Sartre. Dalam kerangka ini, manusia tidak memiliki kodrat atau tujuan yang telah ditentukan sejak lahir. Manusia pertama-tama hadir (eksis) di dunia, dan baru kemudian membentuk makna dan hakikat dirinya melalui pilihan dan tindakan bebas1. Ini adalah penolakan langsung terhadap gagasan esensialis dalam metafisika klasik dan agama yang menganggap manusia memiliki natur tetap yang ditetapkan oleh Tuhan atau logos rasional.

3.2.       Kebebasan Radikal dan Tanggung Jawab Individu

Eksistensialisme memandang kebebasan bukan sekadar hak, melainkan kondisi ontologis manusia. Sartre menegaskan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena, dalam dunia tanpa Tuhan atau makna absolut, manusialah yang harus menciptakan arah hidupnya sendiri2. Namun, kebebasan ini bukan tanpa beban: ia membawa tanggung jawab moral yang penuh terhadap pilihan-pilihan yang dibuat. Karena tidak ada otoritas eksternal yang bisa dijadikan sandaran mutlak, individu harus menanggung konsekuensi dari tindakannya, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi kemanusiaan secara keseluruhan3.

3.3.       Kesadaran akan Absurd dan Kecemasan Eksistensial

Eksistensialisme modern juga ditandai oleh kesadaran mendalam terhadap absurditas kehidupan. Albert Camus menggambarkan absurditas sebagai ketegangan antara hasrat manusia akan makna dan keterdiaman semesta yang tidak memberikan jawaban. Dalam karya The Myth of Sisyphus, ia menyatakan bahwa kesadaran akan absurditas tidak harus membawa pada keputusasaan, tetapi justru membuka ruang untuk pemberontakan yang sadar, yaitu menerima absurditas dan tetap menciptakan makna secara autentik4.

Sejalan dengan itu, eksistensialisme juga mengakui perasaan dasar manusia berupa kecemasan (anxiety atau angst), yaitu kegelisahan yang muncul ketika manusia menyadari kebebasan dan ketidakpastian eksistensinya. Bagi Martin Heidegger, kecemasan merupakan bentuk kehadiran yang otentik (authentic being), karena ia membawa manusia kembali pada kesadaran akan kefanaan (Sein-zum-Tode) dan mendorongnya untuk hidup secara sadar dalam pilihan-pilihan eksistensialnya5.

3.4.       Penolakan terhadap Sistem dan Universalisme Abstrak

Eksistensialis menolak sistem filosofis yang mengklaim bisa menjelaskan segala sesuatu secara logis dan menyeluruh, karena realitas manusia selalu bersifat unik, konkret, dan kontekstual. Sartre, Camus, dan Beauvoir, misalnya, lebih memilih pendekatan naratif dan sastra dalam menyampaikan ide-ide filsafat mereka, karena medium tersebut dianggap lebih representatif terhadap pengalaman manusia yang kompleks6. Eksistensialisme menolak generalisasi universal atas moralitas, makna, atau kodrat manusia, dan lebih mendorong pencarian personal atas keotentikan.

3.5.       Pencarian Keotentikan (Authenticity)

Konsep keotentikan merupakan nilai kunci dalam eksistensialisme modern. Hidup yang otentik adalah hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh atas kebebasan, tanggung jawab, dan kefanaan diri. Manusia yang otentik tidak tunduk pada tekanan eksternal atau norma-norma sosial yang tidak dikritisi, melainkan secara sadar menciptakan nilai dan makna hidupnya sendiri. Simone de Beauvoir menerapkan prinsip ini dalam konteks perjuangan perempuan, yang menyerukan pembebasan dari konstruksi sosial yang menindas demi menjadi subjek yang bebas dan sadar7.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 553.

[3]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 37–39.

[4]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage Books, 1991), 10–15.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–180.

[6]                John Macquarrie, Existentialism (Philadelphia: Westminster Press, 1972), 46–48.

[7]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New York: Vintage Books, 2011), 731–735.


4.           Tokoh-Tokoh Utama dan Gagasan Sentral

Eksistensialisme modern berkembang melalui kontribusi tokoh-tokoh besar yang berasal dari latar belakang intelektual yang beragam, seperti filsafat, sastra, teologi, hingga feminisme. Di antara mereka, Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Martin Heidegger memainkan peran penting dalam membentuk dan menyebarluaskan gagasan eksistensialis dalam konteks abad ke-20. Meskipun memiliki nuansa yang berbeda-beda, keempat tokoh ini sama-sama menekankan kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam dunia yang tidak memiliki kepastian metafisik.

4.1.       Jean-Paul Sartre: Eksistensi, Kebebasan, dan Tanggung Jawab

Jean-Paul Sartre (1905–1980) adalah tokoh paling berpengaruh dalam pengembangan eksistensialisme modern, terutama melalui karyanya L’Être et le Néant (Being and Nothingness, 1943). Ia merumuskan prinsip utama eksistensialisme modern dengan pernyataannya bahwa “eksistensi mendahului esensi”, yang berarti manusia tidak memiliki kodrat atau tujuan bawaan; ia bebas dan harus membentuk identitas serta maknanya sendiri melalui tindakan1.

Sartre menggambarkan manusia sebagai makhluk yang bebas secara radikal, tetapi justru karena itulah manusia “dikutuk untuk bebas”—tidak bisa menghindari tanggung jawab atas pilihannya sendiri2. Dalam kebebasan ini, Sartre menolak keberadaan Tuhan sebagai penjamin makna hidup, dan menegaskan bahwa manusia sendirilah yang bertanggung jawab atas segala makna yang ia ciptakan dalam dunia yang absurd.

Konsekuensi dari kebebasan ini adalah beban tanggung jawab moral yang besar. Dalam karya populernya Existentialism is a Humanism (1946), Sartre menegaskan bahwa setiap tindakan individu adalah semacam pernyataan universal, karena melalui pilihan-pilihan kita, kita juga menyatakan seperti apa manusia seharusnya3.

4.2.       Simone de Beauvoir: Eksistensialisme dan Pembebasan Perempuan

Simone de Beauvoir (1908–1986), seorang filsuf dan feminis Prancis, adalah tokoh penting dalam memperluas cakupan eksistensialisme ke dalam persoalan identitas gender. Dalam magnum opus-nya Le Deuxième Sexe (The Second Sex, 1949), de Beauvoir menggunakan kerangka eksistensialis untuk menganalisis posisi perempuan dalam masyarakat patriarkal. Ia menyatakan bahwa "perempuan tidak dilahirkan, melainkan dijadikan" (on ne naît pas femme: on le devient), menandakan bahwa peran perempuan merupakan hasil konstruksi sosial, bukan kodrat biologis4.

De Beauvoir menekankan bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki, memiliki eksistensi otonom dan bebas, tetapi kebebasan itu seringkali terhambat oleh struktur sosial dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai “yang lain” (l’Autre)5. Dengan menggabungkan eksistensialisme dan feminisme, de Beauvoir tidak hanya mengungkap penindasan, tetapi juga mendorong perempuan untuk menjalani kehidupan yang otentik dengan melampaui batasan-batasan yang dipaksakan oleh masyarakat.

4.3.       Albert Camus: Absurditas dan Pemberontakan

Albert Camus (1913–1960), meskipun menolak disebut eksistensialis, karyanya sangat berkaitan erat dengan isu-isu eksistensial. Dalam Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus, 1942), Camus menggambarkan absurditas sebagai konflik antara dorongan manusia akan makna dan dunia yang tak menawarkan jawaban. Dalam menghadapi absurditas ini, Camus tidak menganjurkan bunuh diri sebagai solusi, melainkan pemberontakan sadar sebagai bentuk keberanian eksistensial6.

Camus menggunakan mitos Sisyphus—tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya terguling kembali—sebagai metafora manusia modern. Bagi Camus, manusia harus membayangkan Sisyphus bahagia karena kesadarannya menjadikannya bebas7. Dalam pandangannya, meskipun hidup tidak memiliki makna objektif, manusia dapat menciptakan maknanya sendiri melalui tindakan, cinta, dan solidaritas.

4.4.       Martin Heidegger: Dasein dan Keotentikan Eksistensial

Martin Heidegger (1889–1976) memberikan kontribusi besar terhadap eksistensialisme dari pendekatan fenomenologis. Dalam karya monumentalnya Sein und Zeit (Being and Time, 1927), Heidegger memperkenalkan konsep Dasein, yaitu "ada-di-dunia" sebagai cara berada manusia yang khas—bukan sekadar makhluk biologis, tetapi makhluk yang memiliki kesadaran akan eksistensinya8.

Heidegger mengungkapkan bahwa manusia sering terjebak dalam mode keberadaan yang tidak otentik (das Man), yaitu hidup sesuai ekspektasi publik atau konvensi sosial. Untuk mencapai keotentikan (Eigentlichkeit), manusia harus menyadari keterlemparannya ke dalam dunia, keterbatasan waktu, dan kefanaannya—yang ia sebut sebagai Sein-zum-Tode (being-toward-death)9. Dalam kesadaran akan kematian, Dasein dipanggil untuk hidup secara penuh dan memilih jalan hidupnya sendiri secara bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 21–24.

[2]                Ibid., 553.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.

[4]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New York: Vintage Books, 2011), 267.

[5]                Ibid., 731–735.

[6]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage Books, 1991), 10–15.

[7]                Ibid., 123.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–60.

[9]                Ibid., 274–284.


5.           Eksistensialisme dan Agama

Hubungan antara eksistensialisme dan agama merupakan salah satu perdebatan paling signifikan dalam sejarah perkembangan filsafat eksistensial. Di satu sisi, eksistensialisme kerap diidentikkan dengan ateisme radikal, terutama dalam pemikiran Sartre dan Camus yang menolak keberadaan Tuhan sebagai sumber makna absolut. Di sisi lain, terdapat pula tradisi eksistensialis religius yang meyakini bahwa pengalaman eksistensial manusia justru menuntun pada kebutuhan akan transendensi dan iman personal, seperti terlihat dalam pemikiran Søren Kierkegaard dan Gabriel Marcel. Perbedaan ini menunjukkan bahwa eksistensialisme bukanlah doktrin tunggal, melainkan medan refleksi yang terbuka bagi beragam interpretasi mengenai eksistensi manusia dan hubungan dengan Yang Ilahi.

5.1.       Eksistensialisme Ateis: Kehampaan Tanpa Tuhan

Eksistensialisme ateistik, yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan tidak ada, dan oleh karena itu, tidak ada nilai, esensi, atau tujuan hidup yang bersifat mutlak. Dalam pandangan ini, manusia “dilemparkan” ke dalam dunia yang sunyi dan acak, tanpa arahan metafisik. Sartre menegaskan bahwa tanpa Tuhan, “manusia tidak hanya kehilangan penopang moral eksternal, tetapi juga tidak memiliki alasan untuk eksis selain dari apa yang ia ciptakan sendiri1. Dalam dunia yang nihilistik ini, makna hidup tidak diberikan, tetapi harus diciptakan oleh individu melalui pilihan bebas dan kesadaran penuh.

Albert Camus menempuh jalan serupa, namun dengan pendekatan yang lebih tragis dan etis. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menyatakan bahwa meskipun kehidupan absurd dan tanpa makna transenden, manusia tetap harus menolak godaan bunuh diri dan hidup dalam “pemberontakan” melawan absurditas itu sendiri2. Dengan demikian, eksistensialisme ateistik tidak menyerah pada putus asa, tetapi justru mengafirmasi eksistensi manusia sebagai proyek penciptaan makna yang terus-menerus dalam dunia yang sunyi dari Tuhan.

5.2.       Eksistensialisme Religius: Iman sebagai Lompatan Eksistensial

Berbeda dengan pendekatan ateistik, eksistensialisme religius melihat pengalaman eksistensial seperti kecemasan, keterasingan, dan penderitaan bukan sebagai bukti ketiadaan Tuhan, melainkan sebagai pintu menuju hubungan personal dengan Yang Transenden. Søren Kierkegaard, yang dikenal sebagai “bapak eksistensialisme Kristen,” mengembangkan gagasan bahwa keputusasaan manusia muncul dari ketidaksadaran akan dirinya sebagai makhluk yang diciptakan dan ditentukan oleh hubungan dengan Tuhan3. Menurut Kierkegaard, manusia hanya dapat menemukan keotentikan melalui “lompatan iman” (leap of faith)—sebuah keputusan eksistensial yang melampaui rasionalitas demi menerima paradoks keberadaan dan penyelamatan ilahi4.

Gabriel Marcel, filsuf Katolik Prancis abad ke-20, juga menolak determinisme eksistensialis ateis dan menekankan pentingnya hubungan, kesetiaan, dan kehadiran ilahi dalam pengalaman manusia. Baginya, eksistensi manusia bukanlah keterasingan radikal, melainkan keterbukaan terhadap misteri dan partisipasi dalam keberadaan yang lebih tinggi5. Marcel membedakan antara “masalah” (problem) yang bisa diselesaikan secara objektif, dan “misteri” (mystery) yang hanya dapat dihayati secara eksistensial—dan agama, dalam pengertian terdalam, adalah wilayah misteri tersebut.

5.3.       Ketegangan dan Dialog antara Dua Kutub

Ketegangan antara eksistensialisme ateis dan religius tidak serta-merta meniadakan kemungkinan dialog. Keduanya sama-sama berangkat dari kesadaran akan keterbatasan manusia, keterlemparan ke dunia, dan pergulatan dalam mencari makna. Bedanya terletak pada jawaban terhadap pertanyaan fundamental: Apakah eksistensi manusia hanya menemukan maknanya dalam dirinya sendiri, ataukah ia menunjuk pada realitas yang lebih tinggi?

Beberapa pemikir kontemporer, seperti Paul Tillich dan Karl Jaspers, mencoba menjembatani dua kutub tersebut dengan pendekatan teologis yang tetap mempertahankan kedalaman eksistensial. Tillich, misalnya, menyebut Tuhan sebagai “dasar keberadaan” (the Ground of Being), yang tidak hadir sebagai entitas luar tetapi sebagai inti terdalam dari eksistensi manusia6.


Kesimpulan

Eksistensialisme dan agama memiliki hubungan yang ambivalen namun produktif. Di satu sisi, eksistensialisme ateistik menawarkan kritik tajam terhadap dogmatisme dan ilusi metafisik. Di sisi lain, eksistensialisme religius memberikan dimensi spiritual terhadap kegelisahan manusia dan menawarkan iman sebagai respons eksistensial terhadap absurditas dan keterbatasan. Keduanya, dalam cara yang berbeda, tetap berakar pada pencarian akan kejujuran eksistensial dan keotentikan pribadi dalam menghadapi misteri kehidupan.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–26.

[2]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage Books, 1991), 10–15.

[3]                Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 2004), 39–43.

[4]                Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 273–279.

[5]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol. 1, trans. G.S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 73–77.

[6]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 2000), 18–22.


6.           Eksistensialisme dalam Wacana Sosial dan Budaya

Eksistensialisme tidak hanya hadir dalam bentuk sistem filsafat abstrak, melainkan juga telah menyusup dan membentuk wacana sosial dan budaya modern. Dalam konteks ini, eksistensialisme menjadi semacam lensa hermeneutis untuk memahami krisis identitas, alienasi, kebebasan, dan makna dalam masyarakat kontemporer. Pengaruhnya dapat dilacak secara luas dalam dunia sastra, teater, psikologi, seni, hingga gerakan sosial, terutama pada abad ke-20 di tengah arus modernitas, perang dunia, dan industrialisasi yang mencabut manusia dari akar spiritual dan sosialnya.

6.1.       Eksistensialisme dalam Sastra dan Teater

Sastra dan teater menjadi medium ekspresif utama bagi gagasan eksistensialis. Jean-Paul Sartre dan Albert Camus tidak hanya menulis karya filsafat, tetapi juga drama dan novel sebagai sarana menggambarkan kompleksitas eksistensial manusia secara naratif dan simbolik. Dalam drama Sartre Huis Clos (No Exit, 1944), tema keterasingan dan tanggung jawab pribadi disampaikan melalui gambaran metaforis tentang neraka sebagai ruangan tertutup tanpa cermin, tempat manusia saling menghakimi dan tak bisa lari dari tatapan orang lain1.

Albert Camus, dalam novelnya L’Étranger (The Stranger, 1942), menggambarkan tokoh Meursault yang hidup dalam ketidakpedulian moral dan emosional, menjadi simbol manusia absurd yang tidak terikat oleh norma sosial, namun juga kehilangan makna dan arah hidup2. Dalam wacana ini, sastra eksistensialis bukan hanya menyajikan cerita, tetapi juga menjadi bentuk “pengalaman filsafat” yang menyentuh sisi afektif dan reflektif pembaca.

Teater absurdis, seperti karya-karya Samuel Beckett (Waiting for Godot, 1953), juga memperlihatkan pengaruh eksistensialisme dengan menampilkan dunia yang tanpa struktur logis dan karakter-karakter yang mengalami kekosongan makna dalam rutinitas tanpa akhir. Ketidakpastian, pengulangan, dan absurditas dalam karya-karya ini mencerminkan pengalaman manusia modern yang terlempar dalam dunia tanpa kepastian metafisik3.

6.2.       Eksistensialisme dan Psikologi

Eksistensialisme juga memberikan kontribusi penting dalam bidang psikologi, terutama dalam pendekatan humanistik dan eksistensial. Viktor E. Frankl, seorang psikiater dan penyintas Holocaust, mengembangkan logoterapi berdasarkan pemahaman eksistensialis bahwa kebutuhan utama manusia adalah menemukan makna dalam hidup, bahkan dalam penderitaan4. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Frankl menegaskan bahwa penderitaan bukanlah penghalang kebahagiaan, tetapi justru dapat menjadi sarana transformasi eksistensial bila individu mampu memaknainya secara otentik.

Selain Frankl, tokoh seperti Rollo May dan Irvin Yalom mengembangkan psikoterapi eksistensial yang menekankan pada kebebasan, tanggung jawab, kematian, dan keutuhan diri. Psikologi eksistensial tidak melihat gejala psikologis semata-mata sebagai masalah patologis, tetapi sebagai cerminan dari kegelisahan eksistensial yang membutuhkan pemaknaan baru terhadap hidup5.

6.3.       Eksistensialisme dan Kritik Sosial

Eksistensialisme juga menjadi fondasi bagi kritik sosial terhadap masyarakat modern yang dianggap menindas keotentikan individu melalui struktur kekuasaan, kapitalisme, dan konformitas. Sartre secara aktif terlibat dalam isu-isu politik dan mendukung pembebasan dari kolonialisme serta ketidakadilan sosial, walaupun ia tetap mempertahankan sikap bahwa perubahan sosial harus dimulai dari kesadaran individu6.

Eksistensialisme menentang apa yang disebut Heidegger sebagai das Man—keadaan tidak otentik ketika individu larut dalam massa dan hidup hanya berdasarkan apa yang “biasa” dilakukan. Dalam masyarakat yang dikuasai oleh birokrasi, teknologi, dan konsumerisme, eksistensialisme mengingatkan pentingnya refleksi diri dan tanggung jawab moral dalam membentuk masyarakat yang manusiawi.

6.4.       Eksistensialisme dalam Budaya Populer

Sejak pertengahan abad ke-20, tema-tema eksistensial mulai muncul dalam film, musik, dan budaya populer. Film-film seperti Taxi Driver (1976), The Truman Show (1998), dan Joker (2019) menggambarkan tokoh-tokoh yang berjuang menemukan identitas di tengah keterasingan sosial dan kehampaan moral. Musik grunge dan rock alternatif pada 1990-an, seperti karya Nirvana dan Radiohead, juga mencerminkan pencarian eksistensial yang diliputi kecemasan, kesendirian, dan penolakan terhadap nilai-nilai dominan.

Dengan cara ini, eksistensialisme tidak hanya hidup dalam buku-buku filsafat, tetapi juga meresap dalam ekspresi budaya kontemporer yang menggambarkan kegelisahan manusia modern di tengah dunia yang kehilangan arah.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart Gilbert (New York: Vintage International, 1989), 45–48.

[2]                Albert Camus, The Stranger, trans. Matthew Ward (New York: Vintage Books, 1989), 6–10.

[3]                Samuel Beckett, Waiting for Godot, trans. Samuel Beckett (New York: Grove Press, 1954), 22–27.

[4]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 66–70.

[5]                Rollo May, Existence: A New Dimension in Psychiatry and Psychology (New York: Basic Books, 1958), 11–14.

[6]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 51–55.


7.           Eksistensialisme dan Isu Kontemporer

Di tengah kompleksitas dunia kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, krisis lingkungan, serta krisis identitas dan makna, eksistensialisme tetap menawarkan kerangka reflektif yang relevan dan mendesak. Meskipun lahir dari konteks historis abad ke-20—terutama pasca Perang Dunia dan kehancuran nilai-nilai metafisis tradisional—eksistensialisme modern mampu menembus zaman dan menjawab persoalan-persoalan eksistensial manusia hari ini.

7.1.       Krisis Identitas dan Alienasi di Era Digital

Kehidupan dalam masyarakat digital membawa transformasi radikal terhadap cara manusia membentuk identitas, menjalin relasi, dan memaknai eksistensinya. Media sosial, algoritma personalisasi, dan budaya konsumsi identitas menciptakan kondisi keterasingan baru, di mana individu terfragmentasi antara “diri autentik” dan “diri yang ditampilkan” secara virtual1. Dalam konteks ini, konsep Heidegger tentang das Man—keberadaan tidak otentik yang mengikuti arus sosial—menjadi sangat relevan. Manusia digital kerap hidup dalam mode keberadaan yang dikendalikan oleh harapan eksternal dan validasi sosial, bukan oleh pilihan sadar yang autentik2.

Eksistensialisme mengajarkan pentingnya kesadaran reflektif terhadap kebebasan diri, yang dalam era digital sering tertutupi oleh kenyamanan virtual dan ilusi konektivitas. Sartre menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas dirinya bahkan ketika ia memilih untuk meniru atau menyembunyikan diri—bahkan ketidaktindakan pun adalah sebuah pilihan3.

7.2.       Ketidakpastian Global dan Kegelisahan Eksistensial

Pandemi global, konflik geopolitik, dan krisis iklim memperkuat rasa kegelisahan yang mendalam dalam kehidupan manusia kontemporer. Ketidakpastian terhadap masa depan, runtuhnya narasi besar, dan perasaan tidak berdaya menjadi bagian dari kesadaran kolektif global. Dalam kerangka eksistensialis, pengalaman ini bukan sekadar gejala psikologis, tetapi bagian dari kondisi ontologis manusia sebagai makhluk yang menyadari kematiannya dan keterbatasannya.

Camus, dalam refleksi tentang absurditas, menyatakan bahwa kesadaran akan ketiadaan makna tidak harus membawa kepada kehampaan, tetapi justru menjadi titik tolak untuk menciptakan makna secara bebas dan bertanggung jawab4. Dalam dunia yang tidak memberikan jaminan keamanan atau nilai tetap, manusia tetap memiliki kapasitas untuk merespons secara kreatif dan etis melalui pemberontakan eksistensial—yakni keberanian untuk tetap hidup dan mencipta dalam ketidakpastian.

7.3.       Eksistensialisme dan Isu Kesehatan Mental

Lonjakan gangguan kesehatan mental—seperti depresi, kecemasan, dan krisis makna hidup—merupakan fenomena global yang terus meningkat. Eksistensialisme memberikan perspektif yang berbeda dari psikologi positivistik dengan menyoroti bahwa penderitaan manusia sering kali bukan karena disfungsi, melainkan karena kehilangan arah eksistensial. Viktor E. Frankl, dalam logoterapi, menyatakan bahwa krisis makna adalah “kehampaan eksistensial” yang muncul ketika manusia gagal menjawab pertanyaan “mengapa saya hidup?”5.

Terapi eksistensial seperti yang dikembangkan oleh Irvin Yalom menekankan pentingnya menghadapi fakta-fakta eksistensial seperti kematian, kebebasan, keterasingan, dan makna sebagai jalan menuju pemulihan dan pertumbuhan. Eksistensialisme, dengan demikian, tidak menawarkan solusi praktis instan, melainkan mengarahkan manusia untuk menjalani penderitaan secara sadar dan merdeka.

7.4.       Politik Otonomi dan Tanggung Jawab Global

Di tengah meningkatnya populisme, polarisasi politik, dan manipulasi informasi, eksistensialisme mengingatkan manusia bahwa kebebasan bukanlah sekadar hak, tetapi tanggung jawab moral. Sartre menolak determinisme struktural dalam menjelaskan perilaku sosial, karena manusia selalu memiliki kapasitas untuk memilih dan bertindak berdasarkan nilai yang ia ciptakan sendiri6. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan penuh tekanan kolektif, kesadaran akan otonomi dan tanggung jawab menjadi kunci untuk mempertahankan kemanusiaan.

Selain itu, kesadaran eksistensial juga menuntut solidaritas dan empati terhadap sesama. Simone de Beauvoir menegaskan bahwa kebebasan individu sejati hanya bermakna jika tidak meniadakan kebebasan orang lain7. Maka, eksistensialisme hari ini menjadi dasar penting dalam membangun etika publik dan tanggung jawab sosial dalam dunia global yang saling terhubung.


Kesimpulan

Eksistensialisme modern tetap relevan dalam menjawab tantangan kontemporer, mulai dari krisis identitas digital, keresahan kolektif terhadap ketidakpastian global, hingga gelombang krisis makna hidup dalam masyarakat modern. Dengan menekankan kebebasan, keotentikan, tanggung jawab, dan kesadaran terhadap absurditas dunia, eksistensialisme menawarkan kerangka filosofis dan etis untuk hidup secara reflektif dan manusiawi di tengah dunia yang kompleks dan terus berubah.


Footnotes

[1]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 112–119.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 164–168.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 555–560.

[4]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage Books, 1991), 115–118.

[5]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 109–113.

[6]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 44–48.

[7]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 70–72.


8.           Kritik terhadap Eksistensialisme Modern

Meskipun eksistensialisme modern memberikan kontribusi besar dalam menggugah kesadaran manusia terhadap kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna hidup, aliran ini tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan filsuf rasionalis, teolog, ilmuwan sosial, maupun kaum pascamodern. Kritik-kritik tersebut menyasar pada beberapa aspek mendasar eksistensialisme, mulai dari metode berpikirnya yang dianggap subjektif hingga implikasi moral dan sosial dari filsafat ini yang dinilai problematis.

8.1.       Tuduhan Subjektivisme dan Relativisme

Salah satu kritik utama terhadap eksistensialisme adalah tuduhan bahwa ia terlalu menekankan aspek subjektif pengalaman manusia sehingga terjebak dalam relativisme moral. Filsuf analitik seperti A.J. Ayer dan Bertrand Russell mengkritik eksistensialisme karena dinilai tidak memberikan dasar rasional yang kuat untuk klaim-klaim etisnya. Bagi mereka, pengalaman subjektif semata tidak cukup untuk membangun sistem etika yang koheren dan dapat diuji secara logis1.

Jean-Paul Sartre, meskipun berusaha mengembangkan etika eksistensial dalam Existentialism Is a Humanism, tetap dianggap tidak berhasil menjelaskan bagaimana kebebasan individu dapat diarahkan ke arah nilai-nilai yang universal dan tidak bertentangan satu sama lain2. Relativisme eksistensial ini membuka potensi konflik antar nilai personal dan menimbulkan ketidakpastian moral dalam praktik sosial.

8.2.       Tuduhan Pesimisme dan Nihilisme

Banyak pengamat menilai bahwa eksistensialisme cenderung bersifat pesimistis, bahkan nihilistik. Fokus pada kecemasan, absurditas, dan keterlemparan ke dunia tanpa makna sering kali dipandang memperburuk kondisi psikologis manusia daripada memperbaikinya. Filsuf Katolik seperti Étienne Gilson menuduh eksistensialisme ateistik (seperti dalam pemikiran Sartre dan Camus) sebagai filsafat yang kehilangan harapan dan menawarkan jalan buntu spiritual bagi manusia3.

Namun, para eksistensialis membantah tuduhan ini dengan menunjukkan bahwa justru dari pengakuan atas absurditas dan ketiadaan makna objektif, manusia memiliki kesempatan untuk menciptakan makna yang otentik. Camus, misalnya, melihat absurditas bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal dari pemberontakan sadar terhadap kehampaan4. Demikian pula, Viktor Frankl menjadikan penderitaan sebagai jalan menuju pertumbuhan eksistensial, bukan keputusasaan.

8.3.       Kritik atas Individualisme dan Solipsisme

Eksistensialisme juga dikritik karena dianggap terlalu menekankan individualisme dan kebebasan pribadi, sehingga mengabaikan peran komunitas, struktur sosial, dan tanggung jawab kolektif. Pendekatan eksistensial sering kali mengisolasi individu dari konteks historis dan sosiologisnya. Karl Marx, misalnya, melihat filsafat eksistensialis sebagai ekspresi dari alienasi borjuis yang mengabaikan relasi produksi dan kondisi material manusia5.

Lebih lanjut, kritik dari perspektif feminis dan postmodern menyoroti bahwa eksistensialisme (terutama dalam versi Sartre) terlalu maskulin dan universalistik dalam mendefinisikan subjek manusia, tanpa cukup mempertimbangkan perbedaan gender, ras, dan budaya. Simone de Beauvoir sendiri, meskipun bagian dari gerakan eksistensialis, mengkritik Sartre karena terlalu menekankan kebebasan abstrak yang tak realistis bagi perempuan yang hidup dalam struktur opresif6.

8.4.       Keterbatasan dalam Membangun Tatanan Sosial

Eksistensialisme juga dianggap tidak memadai sebagai landasan pembangunan sosial dan politik yang berkelanjutan. Kebebasan eksistensial yang begitu ditekankan sering kali tidak terhubung secara konkret dengan konsep keadilan sosial, hak asasi manusia, dan institusi politik. Akibatnya, eksistensialisme dinilai gagal memberikan model tatanan sosial yang dapat dijadikan dasar kebijakan publik.

Meskipun Sartre kemudian mencoba menggabungkan eksistensialisme dengan Marxisme dalam Critique of Dialectical Reason, usaha tersebut tidak menghasilkan sintesis yang memadai. Beberapa pemikir menilai bahwa ketegangan antara kebebasan individual eksistensial dan struktur deterministik sosial-ekonomi tidak dapat dipersatukan secara konsisten7.


Kesimpulan

Eksistensialisme modern telah membuka ruang refleksi mendalam tentang eksistensi manusia, tetapi juga menimbulkan kontroversi dan kritik tajam dari berbagai sudut pandang. Tuduhan subjektivisme, pesimisme, solipsisme, dan ketidakmampuan dalam membentuk etika sosial menjadi tantangan serius bagi pengembangan lebih lanjut dari filsafat ini. Namun demikian, nilai-nilai eksistensialis tentang keotentikan, kebebasan, dan tanggung jawab tetap menjadi kontribusi penting dalam merespons tantangan zaman modern, asalkan dikontekstualisasikan secara kritis dalam kerangka sosial yang lebih inklusif dan relasional.


Footnotes

[1]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1946), 102–106.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 39–42.

[3]                Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy, trans. A.H.C. Downes (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 14–18.

[4]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage Books, 1991), 121–123.

[5]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 107–112.

[6]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New York: Vintage Books, 2011), 731–735.

[7]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), xxiv–xxx.


9.           Penutup

Eksistensialisme modern telah memainkan peran penting dalam membentuk wajah filsafat dan kebudayaan kontemporer. Ia lahir sebagai respons terhadap krisis makna yang melanda manusia modern, terutama setelah trauma perang, kegagalan rasionalisme klasik, dan keruntuhan otoritas metafisis tradisional. Melalui tokoh-tokohnya seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Martin Heidegger, eksistensialisme mengangkat isu-isu mendasar seperti kebebasan, tanggung jawab, kecemasan, dan pencarian makna sebagai tema sentral dalam keberadaan manusia1.

Salah satu kontribusi paling signifikan dari eksistensialisme adalah penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab atas keberadaannya. Dalam dunia yang tidak menawarkan makna tetap, eksistensialisme justru menemukan harapan dalam tindakan kreatif dan kesadaran reflektif manusia untuk menciptakan nilai dan arah hidupnya sendiri2. Kebebasan, dalam filsafat ini, bukanlah anarki, melainkan tanggung jawab eksistensial untuk menjadi otentik dan hidup sesuai dengan pilihan-pilihan yang disadari.

Eksistensialisme juga memperkaya pemahaman kita terhadap fenomena sosial dan budaya modern. Dalam wacana sastra, teater, psikologi, hingga budaya populer, eksistensialisme telah menjadi alat interpretasi yang kuat untuk menggambarkan kegelisahan manusia akan keterasingan, absurditas, dan kehilangan makna dalam dunia yang semakin kompleks dan terdigitalisasi3. Bahkan dalam krisis kontemporer seperti gangguan kesehatan mental, krisis lingkungan, atau kehampaan spiritual, eksistensialisme tetap relevan sebagai filsafat yang menempatkan manusia dalam posisi sentral sebagai subjek yang sadar dan mampu mengubah dirinya sendiri.

Namun demikian, eksistensialisme juga tidak lepas dari kritik. Tuduhan subjektivisme, relativisme moral, pesimisme, dan keterbatasan dalam membangun etika sosial menjadi tantangan serius yang tidak dapat diabaikan. Kritik ini memperlihatkan bahwa eksistensialisme memerlukan pelengkap, baik dalam bentuk dialog dengan tradisi filsafat lain maupun dengan pendekatan-pendekatan baru yang lebih inklusif dan transformatif4.

Meski demikian, daya hidup eksistensialisme justru terletak pada keterbukaannya terhadap kegelisahan manusia yang tak kunjung selesai. Eksistensialisme tidak menawarkan jawaban final, tetapi mendorong manusia untuk terus bertanya, menggugat, dan merefleksikan keberadaannya secara jujur. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, eksistensialisme mengajarkan bahwa makna hidup tidak ditemukan, tetapi diciptakan dalam kebebasan dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.


Footnotes

[1]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 1–4.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.

[3]                Rollo May, The Discovery of Being: Writings in Existential Psychology (New York: W.W. Norton, 1983), 17–21.

[4]                David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford: Blackwell Publishers, 1999), 91–95.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1946). Language, truth and logic (2nd ed.). Gollancz.

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Beauvoir, S. de. (1948). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.

Beckett, S. (1954). Waiting for Godot (S. Beckett, Trans.). Grove Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1942)

Camus, A. (1989). The stranger (M. Ward, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1942)

Cooper, D. E. (1999). Existentialism: A reconstruction. Blackwell Publishers.

Flynn, T. R. (2006). Existentialism: A very short introduction. Oxford University Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1946)

Gilson, É. (1991). The spirit of mediaeval philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press. (Original work published 1936)

Hannay, A. (2001). Kierkegaard: A biography. Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Marcel, G. (2001). The mystery of being (Vol. 1, G. S. Fraser, Trans.). St. Augustine’s Press.

Marx, K. (1964). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International Publishers.

May, R. (1958). Existence: A new dimension in psychiatry and psychology. Basic Books.

May, R. (1983). The discovery of being: Writings in existential psychology. W.W. Norton.

Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1883–1891)

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1882)

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)

Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical reason (Vol. 1, A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso. (Original work published 1960)

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar