Eksistensialisme Modern
Kebebasan, Makna, dan Kegelisahan Manusia di Dunia
Kontemporer
Alihkan ke: Eksistensialisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan, karakteristik, dan relevansi eksistensialisme modern dalam menjawab
tantangan kebudayaan dan kemanusiaan kontemporer. Eksistensialisme muncul
sebagai respons filosofis terhadap krisis makna yang ditimbulkan oleh
modernitas, perang dunia, dan runtuhnya fondasi metafisis tradisional. Melalui
tokoh-tokoh utama seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert Camus,
dan Martin Heidegger, eksistensialisme menekankan pentingnya kebebasan,
tanggung jawab, keotentikan, serta penciptaan makna dalam dunia yang absurd.
Artikel ini juga menelaah kontribusi eksistensialisme dalam bidang sastra,
psikologi, dan budaya populer, serta relevansinya dalam merespons isu-isu
kontemporer seperti alienasi digital, krisis identitas, dan kesehatan mental.
Meskipun menghadapi berbagai kritik, eksistensialisme tetap penting sebagai
kerangka reflektif yang menempatkan manusia sebagai subjek etis yang
bertanggung jawab atas keberadaannya. Artikel ini menegaskan bahwa
eksistensialisme bukanlah sistem tertutup, melainkan undangan untuk hidup
secara sadar, bebas, dan otentik di tengah ketidakpastian dunia modern.
Kata Kunci: Eksistensialisme modern, kebebasan, makna hidup,
Jean-Paul Sartre, absurditas, keotentikan, krisis identitas, filsafat
kontemporer.
PEMBAHASAN
Menelaah Eksistensialisme Modern di Dunia Kontemporer
1.
Pendahuluan
Eksistensialisme
modern merupakan salah satu aliran filsafat yang lahir dari kegelisahan manusia
atas krisis makna dan kebebasan dalam kehidupan modern. Filsafat ini berkembang
secara signifikan di Eropa pada abad ke-20, terutama pasca Perang Dunia I dan II,
ketika manusia menghadapi kehampaan eksistensial akibat kehancuran perang,
nihilisme, serta kegagalan rasionalisme dan sains dalam memberikan jawaban
moral dan spiritual terhadap penderitaan manusia. Dalam konteks ini,
eksistensialisme muncul sebagai sebuah pendekatan filsafat yang menempatkan
keberadaan manusia sebagai persoalan utama, sekaligus sebagai upaya reflektif
atas penderitaan, kebebasan, tanggung jawab, dan absurditas hidup manusia
modern1.
Tidak seperti
aliran-aliran filsafat sebelumnya yang menekankan pada struktur metafisis atau
sistem logis yang mapan, eksistensialisme lebih menyoroti aspek eksistensial
manusia yang konkret dan subjektif.
Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, yang
kerap disebut sebagai pelopor pemikiran ini, mengkritik keras kecenderungan
filsafat tradisional yang mengabaikan keunikan dan penderitaan pribadi manusia2.
Pemikiran mereka kemudian memberi inspirasi bagi tokoh-tokoh eksistensialis
modern seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Martin Heidegger, dan Albert Camus yang memperluas
cakupan eksistensialisme menjadi wacana multidisipliner yang menjangkau etika,
sastra, teologi, hingga psikologi.
Eksistensialisme
modern menyoroti sejumlah tema penting seperti kesendirian manusia dalam
semesta yang sunyi, kecemasan sebagai kondisi ontologis, absurditas realitas,
kebebasan sebagai beban eksistensial, serta tanggung jawab moral individu dalam membentuk makna
hidupnya sendiri3. Sartre secara tegas menyatakan bahwa
"eksistensi mendahului esensi", yang berarti manusia tidak memiliki
kodrat atau makna tetap yang diwarisi sejak lahir, tetapi harus menciptakan
maknanya sendiri melalui tindakan-tindakan bebas dan sadar4. Inilah
yang membedakan eksistensialisme dengan determinisme atau pandangan-pandangan
teologis yang menganggap makna hidup telah ditentukan sejak awal.
Dalam dunia
kontemporer, ketika manusia berhadapan dengan realitas yang semakin
kompleks—ditandai oleh alienasi digital, krisis identitas, disintegrasi
komunitas, dan kehilangan nilai-nilai luhur—eksistensialisme tetap menawarkan kerangka reflektif yang kuat untuk memahami
dan merespons kegelisahan eksistensial tersebut. Dengan demikian,
eksistensialisme modern bukan hanya sekadar warisan filsafat, melainkan juga
menjadi cara berpikir dan bersikap dalam menghadapi dunia yang absurd, bebas,
sekaligus penuh tanggung jawab.
Footnotes
[1]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 1–4.
[2]
David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford:
Blackwell Publishers, 1999), 15–21.
[3]
John Macquarrie, Existentialism (Philadelphia: Westminster
Press, 1972), 14–19.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 21–22.
2.
Akar Historis
Eksistensialisme
Eksistensialisme
modern memiliki akar historis yang dalam dan kompleks, yang tidak dapat
dilepaskan dari pergulatan filosofis
dan religius Eropa sejak abad ke-19. Meskipun puncak popularitas
eksistensialisme terjadi pada pertengahan abad ke-20, benih-benih pemikiran
eksistensial telah disemai oleh para pemikir sebelumnya, terutama oleh Søren
Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Keduanya dianggap sebagai "bapak
eksistensialisme" karena keberanian mereka menggugat sistem filsafat
rasionalistik yang menyingkirkan aspek personal, subjektif, dan paradoksal dari
kehidupan manusia1.
Søren Kierkegaard
(1813–1855), seorang teolog dan filsuf asal Denmark, menolak sistem Hegelian
yang mengabstraksikan realitas manusia menjadi struktur logika universal. Bagi
Kierkegaard, eksistensi manusia adalah persoalan yang bersifat personal, penuh
paradoks, dan ditandai oleh pilihan-pilihan eksistensial yang menentukan
keotentikan individu. Ia menekankan pentingnya “lompatan iman” sebagai cara
untuk mengatasi keputusasaan dan mencapai otentisitas spiritual dalam
menghadapi absurditas dan penderitaan2. Kierkegaard juga
memperkenalkan konsep-konsep penting seperti "kecemasan" (angst)
dan "putus asa" (despair) sebagai kondisi dasar
manusia di hadapan kebebasan dan tanggung jawab.
Sementara itu,
Friedrich Nietzsche (1844–1900), filsuf Jerman yang dikenal dengan kritik
radikal terhadap agama, moralitas tradisional, dan filsafat Barat, memberikan
dimensi nihilistik sekaligus pemberontakan kreatif terhadap realitas.
Gagasannya tentang “kematian Tuhan” (God is dead) bukanlah
penolakan literal terhadap keberadaan Tuhan, melainkan ekspresi dari runtuhnya
sistem nilai religius dan metafisik yang selama ini menopang peradaban Barat3.
Nietzsche menyerukan lahirnya "manusia unggul" (Übermensch)
yang menciptakan nilai-nilainya sendiri melalui kehendak untuk berkuasa (will to
power) dan keberanian untuk hidup dalam dunia yang tanpa makna
absolut4.
Selain Kierkegaard
dan Nietzsche, eksistensialisme juga banyak dipengaruhi oleh tradisi
fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl. Fenomenologi memperkenalkan
metode "kembali ke benda itu sendiri" (zu den
Sachen selbst) yang menolak abstraksi sistematik dan berusaha
memahami pengalaman sebagaimana dialami secara langsung. Pengaruh ini terlihat
jelas dalam karya Martin Heidegger, yang menggabungkan fenomenologi dengan
pendekatan eksistensial dalam menjelaskan struktur keberadaan manusia (Dasein)5.
Transisi dari
eksistensialisme awal ke eksistensialisme modern terjadi pada awal abad ke-20,
terutama setelah Perang Dunia I dan II, ketika krisis eksistensial menjadi
pengalaman kolektif umat manusia. Tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan
Albert Camus mengangkat pemikiran eksistensial ke dalam wacana publik melalui
tulisan filsafat, sastra, dan teater. Berbeda dengan pendahulunya, mereka
menyajikan eksistensialisme dalam bentuk ateistik dan humanistik, serta lebih
terlibat dalam isu-isu sosial-politik kontemporer6.
Dengan demikian,
akar historis eksistensialisme merupakan hasil dari interaksi berbagai arus
pemikiran: teologi Kristen, kritik terhadap metafisika modern, krisis
nilai-nilai Barat, serta pendekatan fenomenologis terhadap kesadaran manusia.
Akar-akar ini membentuk fondasi yang kokoh bagi munculnya eksistensialisme
modern sebagai respons filsafat terhadap kegelisahan manusia yang mendalam
dalam dunia yang tidak lagi menawarkan kepastian metafisik maupun otoritas
moral yang tunggal.
Footnotes
[1]
David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford:
Blackwell Publishers, 1999), 12–16.
[2]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 233–240.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), 181.
[4]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 41–47.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 50–60.
[6]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 7–10.
3.
Karakteristik Umum
Eksistensialisme Modern
Eksistensialisme
modern sebagai aliran filsafat tidak dibangun dalam bentuk sistematis seperti
rasionalisme atau idealisme. Sebaliknya, eksistensialisme merupakan pendekatan
filsafat yang bersifat reflektif, personal, dan terbuka, yang menekankan
pengalaman subjektif manusia, terutama dalam menghadapi kegelisahan, kebebasan,
dan makna hidup. Kendati para tokohnya memiliki latar belakang dan pandangan
yang beragam—baik religius maupun ateistik—eksistensialisme modern memiliki
sejumlah karakteristik kunci yang menjadi benang merah pemikirannya.
3.1.
Primasi Eksistensi atas Esensi
Salah satu prinsip
paling fundamental dalam eksistensialisme modern adalah pernyataan bahwa “eksistensi
mendahului esensi” (existence precedes essence),
sebagaimana dirumuskan oleh Jean-Paul Sartre. Dalam kerangka ini, manusia tidak
memiliki kodrat atau tujuan yang telah ditentukan sejak lahir. Manusia
pertama-tama hadir (eksis) di dunia, dan baru kemudian membentuk makna dan
hakikat dirinya melalui pilihan dan tindakan bebas1. Ini
adalah penolakan langsung terhadap gagasan esensialis dalam metafisika klasik
dan agama yang menganggap manusia memiliki natur tetap yang ditetapkan oleh
Tuhan atau logos rasional.
3.2.
Kebebasan Radikal dan Tanggung Jawab
Individu
Eksistensialisme
memandang kebebasan bukan sekadar hak, melainkan kondisi ontologis manusia.
Sartre menegaskan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena, dalam
dunia tanpa Tuhan atau makna absolut, manusialah yang harus menciptakan arah
hidupnya sendiri2. Namun, kebebasan ini
bukan tanpa beban: ia membawa tanggung jawab moral yang penuh terhadap
pilihan-pilihan yang dibuat. Karena tidak ada otoritas eksternal yang bisa
dijadikan sandaran mutlak, individu harus menanggung konsekuensi dari
tindakannya, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi kemanusiaan
secara keseluruhan3.
3.3.
Kesadaran akan Absurd dan Kecemasan
Eksistensial
Eksistensialisme
modern juga ditandai oleh kesadaran mendalam terhadap absurditas kehidupan.
Albert Camus menggambarkan absurditas sebagai ketegangan antara hasrat manusia
akan makna dan keterdiaman semesta yang tidak memberikan jawaban. Dalam karya The Myth
of Sisyphus, ia menyatakan bahwa kesadaran akan absurditas tidak
harus membawa pada keputusasaan, tetapi justru membuka ruang untuk
pemberontakan yang sadar, yaitu menerima absurditas dan tetap menciptakan makna
secara autentik4.
Sejalan dengan itu,
eksistensialisme juga mengakui perasaan dasar manusia berupa kecemasan (anxiety
atau angst),
yaitu kegelisahan yang muncul ketika manusia menyadari kebebasan dan
ketidakpastian eksistensinya. Bagi Martin Heidegger, kecemasan merupakan bentuk
kehadiran yang otentik (authentic being), karena ia membawa
manusia kembali pada kesadaran akan kefanaan (Sein-zum-Tode) dan mendorongnya
untuk hidup secara sadar dalam pilihan-pilihan eksistensialnya5.
3.4.
Penolakan terhadap Sistem dan
Universalisme Abstrak
Eksistensialis
menolak sistem filosofis yang mengklaim bisa menjelaskan segala sesuatu secara
logis dan menyeluruh, karena realitas manusia selalu bersifat unik, konkret,
dan kontekstual. Sartre, Camus, dan Beauvoir, misalnya, lebih memilih
pendekatan naratif dan sastra dalam menyampaikan ide-ide filsafat mereka, karena
medium tersebut dianggap lebih representatif terhadap pengalaman manusia yang
kompleks6. Eksistensialisme menolak generalisasi universal
atas moralitas, makna, atau kodrat manusia, dan lebih mendorong pencarian
personal atas keotentikan.
3.5.
Pencarian Keotentikan (Authenticity)
Konsep keotentikan
merupakan nilai kunci dalam eksistensialisme modern. Hidup yang otentik adalah
hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh atas kebebasan, tanggung jawab, dan
kefanaan diri. Manusia yang otentik tidak tunduk pada tekanan eksternal atau
norma-norma sosial yang tidak dikritisi, melainkan secara sadar menciptakan
nilai dan makna hidupnya sendiri. Simone de Beauvoir menerapkan prinsip ini
dalam konteks perjuangan perempuan, yang menyerukan pembebasan dari konstruksi sosial
yang menindas demi menjadi subjek yang bebas dan sadar7.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 553.
[3]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 37–39.
[4]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage Books, 1991), 10–15.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–180.
[6]
John Macquarrie, Existentialism (Philadelphia: Westminster
Press, 1972), 46–48.
[7]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New
York: Vintage Books, 2011), 731–735.
4.
Tokoh-Tokoh Utama
dan Gagasan Sentral
Eksistensialisme
modern berkembang melalui kontribusi tokoh-tokoh besar yang berasal dari latar
belakang intelektual yang beragam, seperti filsafat, sastra, teologi, hingga
feminisme. Di antara mereka, Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert
Camus, dan Martin Heidegger memainkan peran penting dalam membentuk dan
menyebarluaskan gagasan eksistensialis dalam konteks abad ke-20. Meskipun
memiliki nuansa yang berbeda-beda, keempat tokoh ini sama-sama menekankan
kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam dunia yang tidak memiliki
kepastian metafisik.
4.1.
Jean-Paul Sartre: Eksistensi,
Kebebasan, dan Tanggung Jawab
Jean-Paul Sartre
(1905–1980) adalah tokoh paling berpengaruh dalam pengembangan eksistensialisme
modern, terutama melalui karyanya L’Être et le Néant
(Being
and Nothingness, 1943). Ia merumuskan prinsip utama
eksistensialisme modern dengan pernyataannya bahwa “eksistensi mendahului
esensi”, yang berarti manusia tidak memiliki kodrat atau tujuan bawaan; ia
bebas dan harus membentuk identitas serta maknanya sendiri melalui tindakan1.
Sartre menggambarkan
manusia sebagai makhluk yang bebas secara radikal, tetapi justru karena itulah
manusia “dikutuk untuk bebas”—tidak bisa menghindari tanggung jawab atas
pilihannya sendiri2. Dalam kebebasan ini,
Sartre menolak keberadaan Tuhan sebagai penjamin makna hidup, dan menegaskan
bahwa manusia sendirilah yang bertanggung jawab atas segala makna yang ia
ciptakan dalam dunia yang absurd.
Konsekuensi dari
kebebasan ini adalah beban tanggung jawab moral yang besar. Dalam karya
populernya Existentialism
is a Humanism (1946), Sartre menegaskan bahwa setiap tindakan
individu adalah semacam pernyataan universal, karena melalui pilihan-pilihan
kita, kita juga menyatakan seperti apa manusia seharusnya3.
4.2.
Simone de Beauvoir: Eksistensialisme
dan Pembebasan Perempuan
Simone de Beauvoir
(1908–1986), seorang filsuf dan feminis Prancis, adalah tokoh penting dalam
memperluas cakupan eksistensialisme ke dalam persoalan identitas gender. Dalam
magnum opus-nya Le Deuxième Sexe
(The
Second Sex, 1949), de Beauvoir menggunakan kerangka eksistensialis
untuk menganalisis posisi perempuan dalam masyarakat patriarkal. Ia menyatakan
bahwa "perempuan tidak dilahirkan, melainkan dijadikan" (on
ne naît pas femme: on le devient), menandakan bahwa peran perempuan
merupakan hasil konstruksi sosial, bukan kodrat biologis4.
De Beauvoir
menekankan bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki, memiliki eksistensi
otonom dan bebas, tetapi kebebasan itu seringkali terhambat oleh struktur
sosial dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai “yang lain” (l’Autre)5.
Dengan menggabungkan eksistensialisme dan feminisme, de Beauvoir tidak hanya
mengungkap penindasan, tetapi juga mendorong perempuan untuk menjalani
kehidupan yang otentik dengan melampaui batasan-batasan yang dipaksakan oleh
masyarakat.
4.3.
Albert Camus: Absurditas dan
Pemberontakan
Albert Camus
(1913–1960), meskipun menolak disebut eksistensialis, karyanya sangat berkaitan
erat dengan isu-isu eksistensial. Dalam Le Mythe de Sisyphe (The Myth
of Sisyphus, 1942), Camus menggambarkan absurditas sebagai konflik
antara dorongan manusia akan makna dan dunia yang tak menawarkan jawaban. Dalam
menghadapi absurditas ini, Camus tidak menganjurkan bunuh diri sebagai solusi,
melainkan pemberontakan sadar sebagai bentuk keberanian eksistensial6.
Camus menggunakan
mitos Sisyphus—tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum mendorong batu ke
puncak gunung hanya untuk melihatnya terguling kembali—sebagai metafora manusia
modern. Bagi Camus, manusia harus membayangkan Sisyphus bahagia karena
kesadarannya menjadikannya bebas7. Dalam pandangannya,
meskipun hidup tidak memiliki makna objektif, manusia dapat menciptakan
maknanya sendiri melalui tindakan, cinta, dan solidaritas.
4.4.
Martin Heidegger: Dasein dan
Keotentikan Eksistensial
Martin Heidegger
(1889–1976) memberikan kontribusi besar terhadap eksistensialisme dari
pendekatan fenomenologis. Dalam karya monumentalnya Sein und Zeit (Being
and Time, 1927), Heidegger memperkenalkan konsep Dasein,
yaitu "ada-di-dunia" sebagai cara berada manusia yang khas—bukan
sekadar makhluk biologis, tetapi makhluk yang memiliki kesadaran akan
eksistensinya8.
Heidegger
mengungkapkan bahwa manusia sering terjebak dalam mode keberadaan yang tidak
otentik (das Man),
yaitu hidup sesuai ekspektasi publik atau konvensi sosial. Untuk mencapai
keotentikan (Eigentlichkeit), manusia harus
menyadari keterlemparannya ke dalam dunia, keterbatasan waktu, dan
kefanaannya—yang ia sebut sebagai Sein-zum-Tode (being-toward-death)9.
Dalam kesadaran akan kematian, Dasein dipanggil untuk hidup secara penuh dan
memilih jalan hidupnya sendiri secara bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 21–24.
[2]
Ibid., 553.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.
[4]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New
York: Vintage Books, 2011), 267.
[5]
Ibid., 731–735.
[6]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage Books, 1991), 10–15.
[7]
Ibid., 123.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–60.
[9]
Ibid., 274–284.
5.
Eksistensialisme dan
Agama
Hubungan antara
eksistensialisme dan agama merupakan salah satu perdebatan paling signifikan dalam
sejarah perkembangan filsafat eksistensial. Di satu sisi, eksistensialisme
kerap diidentikkan dengan ateisme radikal, terutama dalam pemikiran Sartre dan
Camus yang menolak keberadaan Tuhan sebagai sumber makna absolut. Di sisi lain,
terdapat pula tradisi eksistensialis religius yang meyakini bahwa pengalaman
eksistensial manusia justru menuntun pada kebutuhan akan transendensi dan iman
personal, seperti terlihat dalam pemikiran Søren Kierkegaard dan Gabriel
Marcel. Perbedaan ini menunjukkan bahwa eksistensialisme bukanlah doktrin
tunggal, melainkan medan refleksi yang terbuka bagi beragam interpretasi
mengenai eksistensi manusia dan hubungan dengan Yang Ilahi.
5.1.
Eksistensialisme Ateis: Kehampaan
Tanpa Tuhan
Eksistensialisme
ateistik, yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, berangkat
dari keyakinan bahwa Tuhan tidak ada, dan oleh karena itu, tidak ada nilai,
esensi, atau tujuan hidup yang bersifat mutlak. Dalam pandangan ini, manusia “dilemparkan”
ke dalam dunia yang sunyi dan acak, tanpa arahan metafisik. Sartre menegaskan
bahwa tanpa Tuhan, “manusia tidak hanya kehilangan penopang moral eksternal,
tetapi juga tidak memiliki alasan untuk eksis selain dari apa yang ia ciptakan
sendiri”1. Dalam dunia yang
nihilistik ini, makna hidup tidak diberikan, tetapi harus diciptakan oleh
individu melalui pilihan bebas dan kesadaran penuh.
Albert Camus
menempuh jalan serupa, namun dengan pendekatan yang lebih tragis dan etis.
Dalam The Myth
of Sisyphus, Camus menyatakan bahwa meskipun kehidupan absurd dan
tanpa makna transenden, manusia tetap harus menolak godaan bunuh diri dan hidup
dalam “pemberontakan” melawan absurditas itu sendiri2.
Dengan demikian, eksistensialisme ateistik tidak menyerah pada putus asa,
tetapi justru mengafirmasi eksistensi manusia sebagai proyek penciptaan makna
yang terus-menerus dalam dunia yang sunyi dari Tuhan.
5.2.
Eksistensialisme Religius: Iman
sebagai Lompatan Eksistensial
Berbeda dengan
pendekatan ateistik, eksistensialisme religius melihat pengalaman eksistensial
seperti kecemasan, keterasingan, dan penderitaan bukan sebagai bukti ketiadaan
Tuhan, melainkan sebagai pintu menuju hubungan personal dengan Yang Transenden.
Søren Kierkegaard, yang dikenal sebagai “bapak eksistensialisme Kristen,”
mengembangkan gagasan bahwa keputusasaan manusia muncul dari ketidaksadaran
akan dirinya sebagai makhluk yang diciptakan dan ditentukan oleh hubungan
dengan Tuhan3. Menurut Kierkegaard,
manusia hanya dapat menemukan keotentikan melalui “lompatan iman” (leap of
faith)—sebuah keputusan eksistensial yang melampaui rasionalitas
demi menerima paradoks keberadaan dan penyelamatan ilahi4.
Gabriel Marcel,
filsuf Katolik Prancis abad ke-20, juga menolak determinisme eksistensialis
ateis dan menekankan pentingnya hubungan, kesetiaan, dan kehadiran ilahi dalam
pengalaman manusia. Baginya, eksistensi manusia bukanlah keterasingan radikal,
melainkan keterbukaan terhadap misteri dan partisipasi dalam keberadaan yang
lebih tinggi5. Marcel membedakan antara
“masalah” (problem) yang bisa diselesaikan
secara objektif, dan “misteri” (mystery) yang hanya dapat dihayati
secara eksistensial—dan agama, dalam pengertian terdalam, adalah wilayah
misteri tersebut.
5.3.
Ketegangan dan Dialog antara Dua
Kutub
Ketegangan antara
eksistensialisme ateis dan religius tidak serta-merta meniadakan kemungkinan
dialog. Keduanya sama-sama berangkat dari kesadaran akan keterbatasan manusia,
keterlemparan ke dunia, dan pergulatan dalam mencari makna. Bedanya terletak
pada jawaban terhadap pertanyaan fundamental: Apakah eksistensi manusia hanya
menemukan maknanya dalam dirinya sendiri, ataukah ia menunjuk pada realitas
yang lebih tinggi?
Beberapa pemikir
kontemporer, seperti Paul Tillich dan Karl Jaspers, mencoba menjembatani dua
kutub tersebut dengan pendekatan teologis yang tetap mempertahankan kedalaman
eksistensial. Tillich, misalnya, menyebut Tuhan sebagai “dasar keberadaan”
(the
Ground of Being), yang tidak hadir sebagai entitas luar tetapi
sebagai inti terdalam dari eksistensi manusia6.
Kesimpulan
Eksistensialisme dan
agama memiliki hubungan yang ambivalen namun produktif. Di satu sisi,
eksistensialisme ateistik menawarkan kritik tajam terhadap dogmatisme dan ilusi
metafisik. Di sisi lain, eksistensialisme religius memberikan dimensi spiritual
terhadap kegelisahan manusia dan menawarkan iman sebagai respons eksistensial
terhadap absurditas dan keterbatasan. Keduanya, dalam cara yang berbeda, tetap
berakar pada pencarian akan kejujuran eksistensial dan keotentikan pribadi
dalam menghadapi misteri kehidupan.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–26.
[2]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage Books, 1991), 10–15.
[3]
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair
Hannay (London: Penguin Books, 2004), 39–43.
[4]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 273–279.
[5]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol. 1, trans. G.S.
Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 73–77.
[6]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 2000), 18–22.
6.
Eksistensialisme
dalam Wacana Sosial dan Budaya
Eksistensialisme
tidak hanya hadir dalam bentuk sistem filsafat abstrak, melainkan juga telah
menyusup dan membentuk wacana sosial dan budaya modern. Dalam konteks ini,
eksistensialisme menjadi semacam lensa hermeneutis untuk memahami krisis
identitas, alienasi, kebebasan, dan makna dalam masyarakat kontemporer.
Pengaruhnya dapat dilacak secara luas dalam dunia sastra, teater, psikologi,
seni, hingga gerakan sosial, terutama pada abad ke-20 di tengah arus
modernitas, perang dunia, dan industrialisasi yang mencabut manusia dari akar
spiritual dan sosialnya.
6.1.
Eksistensialisme dalam Sastra dan
Teater
Sastra dan teater
menjadi medium ekspresif utama bagi gagasan eksistensialis. Jean-Paul Sartre
dan Albert Camus tidak hanya menulis karya filsafat, tetapi juga drama dan
novel sebagai sarana menggambarkan kompleksitas eksistensial manusia secara
naratif dan simbolik. Dalam drama Sartre Huis Clos (No Exit,
1944), tema keterasingan dan tanggung jawab pribadi disampaikan melalui
gambaran metaforis tentang neraka sebagai ruangan tertutup tanpa cermin, tempat
manusia saling menghakimi dan tak bisa lari dari tatapan orang lain1.
Albert Camus, dalam
novelnya L’Étranger
(The
Stranger, 1942), menggambarkan tokoh Meursault yang hidup dalam
ketidakpedulian moral dan emosional, menjadi simbol manusia absurd yang tidak
terikat oleh norma sosial, namun juga kehilangan makna dan arah hidup2.
Dalam wacana ini, sastra eksistensialis bukan hanya menyajikan cerita, tetapi
juga menjadi bentuk “pengalaman filsafat” yang menyentuh sisi afektif dan
reflektif pembaca.
Teater absurdis,
seperti karya-karya Samuel Beckett (Waiting for Godot, 1953), juga
memperlihatkan pengaruh eksistensialisme dengan menampilkan dunia yang tanpa
struktur logis dan karakter-karakter yang mengalami kekosongan makna dalam
rutinitas tanpa akhir. Ketidakpastian, pengulangan, dan absurditas dalam
karya-karya ini mencerminkan pengalaman manusia modern yang terlempar dalam
dunia tanpa kepastian metafisik3.
6.2.
Eksistensialisme dan Psikologi
Eksistensialisme
juga memberikan kontribusi penting dalam bidang psikologi, terutama dalam pendekatan
humanistik dan eksistensial. Viktor E. Frankl, seorang psikiater dan penyintas
Holocaust, mengembangkan logoterapi berdasarkan pemahaman
eksistensialis bahwa kebutuhan utama manusia adalah menemukan makna dalam
hidup, bahkan dalam penderitaan4. Dalam bukunya Man’s
Search for Meaning, Frankl menegaskan bahwa penderitaan bukanlah
penghalang kebahagiaan, tetapi justru dapat menjadi sarana transformasi
eksistensial bila individu mampu memaknainya secara otentik.
Selain Frankl, tokoh
seperti Rollo May dan Irvin Yalom mengembangkan psikoterapi eksistensial yang
menekankan pada kebebasan, tanggung jawab, kematian, dan keutuhan diri.
Psikologi eksistensial tidak melihat gejala psikologis semata-mata sebagai
masalah patologis, tetapi sebagai cerminan dari kegelisahan eksistensial yang
membutuhkan pemaknaan baru terhadap hidup5.
6.3.
Eksistensialisme dan Kritik Sosial
Eksistensialisme
juga menjadi fondasi bagi kritik sosial terhadap masyarakat modern yang
dianggap menindas keotentikan individu melalui struktur kekuasaan, kapitalisme,
dan konformitas. Sartre secara aktif terlibat dalam isu-isu politik dan
mendukung pembebasan dari kolonialisme serta ketidakadilan sosial, walaupun ia
tetap mempertahankan sikap bahwa perubahan sosial harus dimulai dari kesadaran
individu6.
Eksistensialisme
menentang apa yang disebut Heidegger sebagai das Man—keadaan tidak otentik
ketika individu larut dalam massa dan hidup hanya berdasarkan apa yang “biasa”
dilakukan. Dalam masyarakat yang dikuasai oleh birokrasi, teknologi, dan konsumerisme,
eksistensialisme mengingatkan pentingnya refleksi diri dan tanggung jawab moral
dalam membentuk masyarakat yang manusiawi.
6.4.
Eksistensialisme dalam Budaya
Populer
Sejak pertengahan
abad ke-20, tema-tema eksistensial mulai muncul dalam film, musik, dan budaya
populer. Film-film seperti Taxi Driver (1976), The
Truman Show (1998), dan Joker (2019) menggambarkan
tokoh-tokoh yang berjuang menemukan identitas di tengah keterasingan sosial dan
kehampaan moral. Musik grunge dan rock alternatif pada 1990-an, seperti karya
Nirvana dan Radiohead, juga mencerminkan pencarian eksistensial yang diliputi
kecemasan, kesendirian, dan penolakan terhadap nilai-nilai dominan.
Dengan cara ini,
eksistensialisme tidak hanya hidup dalam buku-buku filsafat, tetapi juga meresap
dalam ekspresi budaya kontemporer yang menggambarkan kegelisahan manusia modern
di tengah dunia yang kehilangan arah.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart
Gilbert (New York: Vintage International, 1989), 45–48.
[2]
Albert Camus, The Stranger, trans. Matthew Ward (New York:
Vintage Books, 1989), 6–10.
[3]
Samuel Beckett, Waiting for Godot, trans. Samuel Beckett (New
York: Grove Press, 1954), 22–27.
[4]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 66–70.
[5]
Rollo May, Existence: A New Dimension in Psychiatry and Psychology
(New York: Basic Books, 1958), 11–14.
[6]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 51–55.
7.
Eksistensialisme dan
Isu Kontemporer
Di tengah
kompleksitas dunia kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi,
krisis lingkungan, serta krisis identitas dan makna, eksistensialisme tetap
menawarkan kerangka reflektif yang relevan dan mendesak. Meskipun lahir dari
konteks historis abad ke-20—terutama pasca Perang Dunia dan kehancuran
nilai-nilai metafisis tradisional—eksistensialisme modern mampu menembus zaman
dan menjawab persoalan-persoalan eksistensial manusia hari ini.
7.1.
Krisis Identitas dan Alienasi di Era
Digital
Kehidupan dalam
masyarakat digital membawa transformasi radikal terhadap cara manusia membentuk
identitas, menjalin relasi, dan memaknai eksistensinya. Media sosial, algoritma
personalisasi, dan budaya konsumsi identitas menciptakan kondisi keterasingan
baru, di mana individu terfragmentasi antara “diri autentik” dan “diri
yang ditampilkan” secara virtual1. Dalam
konteks ini, konsep Heidegger tentang das Man—keberadaan tidak
otentik yang mengikuti arus sosial—menjadi sangat relevan. Manusia digital
kerap hidup dalam mode keberadaan yang dikendalikan oleh harapan eksternal dan
validasi sosial, bukan oleh pilihan sadar yang autentik2.
Eksistensialisme
mengajarkan pentingnya kesadaran reflektif terhadap kebebasan diri, yang dalam
era digital sering tertutupi oleh kenyamanan virtual dan ilusi konektivitas.
Sartre menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas dirinya bahkan ketika ia
memilih untuk meniru atau menyembunyikan diri—bahkan ketidaktindakan pun adalah
sebuah pilihan3.
7.2.
Ketidakpastian Global dan
Kegelisahan Eksistensial
Pandemi global,
konflik geopolitik, dan krisis iklim memperkuat rasa kegelisahan yang mendalam
dalam kehidupan manusia kontemporer. Ketidakpastian terhadap masa depan,
runtuhnya narasi besar, dan perasaan tidak berdaya menjadi bagian dari
kesadaran kolektif global. Dalam kerangka eksistensialis, pengalaman ini bukan
sekadar gejala psikologis, tetapi bagian dari kondisi ontologis manusia sebagai
makhluk yang menyadari kematiannya dan keterbatasannya.
Camus, dalam
refleksi tentang absurditas, menyatakan bahwa kesadaran akan ketiadaan makna
tidak harus membawa kepada kehampaan, tetapi justru menjadi titik tolak untuk
menciptakan makna secara bebas dan bertanggung jawab4.
Dalam dunia yang tidak memberikan jaminan keamanan atau nilai tetap, manusia
tetap memiliki kapasitas untuk merespons secara kreatif dan etis melalui
pemberontakan eksistensial—yakni keberanian untuk tetap hidup dan mencipta
dalam ketidakpastian.
7.3.
Eksistensialisme dan Isu Kesehatan
Mental
Lonjakan gangguan
kesehatan mental—seperti depresi, kecemasan, dan krisis makna hidup—merupakan
fenomena global yang terus meningkat. Eksistensialisme memberikan perspektif
yang berbeda dari psikologi positivistik dengan menyoroti bahwa penderitaan
manusia sering kali bukan karena disfungsi, melainkan karena kehilangan arah
eksistensial. Viktor E. Frankl, dalam logoterapi, menyatakan bahwa krisis
makna adalah “kehampaan eksistensial” yang muncul ketika manusia gagal
menjawab pertanyaan “mengapa saya hidup?”5.
Terapi eksistensial
seperti yang dikembangkan oleh Irvin Yalom menekankan pentingnya menghadapi
fakta-fakta eksistensial seperti kematian, kebebasan, keterasingan, dan makna
sebagai jalan menuju pemulihan dan pertumbuhan. Eksistensialisme, dengan
demikian, tidak menawarkan solusi praktis instan, melainkan mengarahkan manusia
untuk menjalani penderitaan secara sadar dan merdeka.
7.4.
Politik Otonomi dan Tanggung Jawab
Global
Di tengah
meningkatnya populisme, polarisasi politik, dan manipulasi informasi,
eksistensialisme mengingatkan manusia bahwa kebebasan bukanlah sekadar hak,
tetapi tanggung jawab moral. Sartre menolak determinisme struktural dalam
menjelaskan perilaku sosial, karena manusia selalu memiliki kapasitas untuk
memilih dan bertindak berdasarkan nilai yang ia ciptakan sendiri6.
Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan penuh tekanan kolektif, kesadaran
akan otonomi dan tanggung jawab menjadi kunci untuk mempertahankan kemanusiaan.
Selain itu,
kesadaran eksistensial juga menuntut solidaritas dan empati terhadap sesama.
Simone de Beauvoir menegaskan bahwa kebebasan individu sejati hanya bermakna
jika tidak meniadakan kebebasan orang lain7. Maka,
eksistensialisme hari ini menjadi dasar penting dalam membangun etika publik
dan tanggung jawab sosial dalam dunia global yang saling terhubung.
Kesimpulan
Eksistensialisme
modern tetap relevan dalam menjawab tantangan kontemporer, mulai dari krisis
identitas digital, keresahan kolektif terhadap ketidakpastian global, hingga
gelombang krisis makna hidup dalam masyarakat modern. Dengan menekankan
kebebasan, keotentikan, tanggung jawab, dan kesadaran terhadap absurditas
dunia, eksistensialisme menawarkan kerangka filosofis dan etis untuk hidup
secara reflektif dan manusiawi di tengah dunia yang kompleks dan terus berubah.
Footnotes
[1]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 112–119.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 164–168.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 555–560.
[4]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage Books, 1991), 115–118.
[5]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 109–113.
[6]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 44–48.
[7]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 70–72.
8.
Kritik terhadap
Eksistensialisme Modern
Meskipun
eksistensialisme modern memberikan kontribusi besar dalam menggugah kesadaran
manusia terhadap kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna hidup, aliran
ini tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan filsuf rasionalis,
teolog, ilmuwan sosial, maupun kaum pascamodern. Kritik-kritik tersebut
menyasar pada beberapa aspek mendasar eksistensialisme, mulai dari metode
berpikirnya yang dianggap subjektif hingga implikasi moral dan sosial dari
filsafat ini yang dinilai problematis.
8.1.
Tuduhan Subjektivisme dan
Relativisme
Salah satu kritik
utama terhadap eksistensialisme adalah tuduhan bahwa ia terlalu menekankan
aspek subjektif pengalaman manusia sehingga terjebak dalam relativisme moral.
Filsuf analitik seperti A.J. Ayer dan Bertrand Russell mengkritik
eksistensialisme karena dinilai tidak memberikan dasar rasional yang kuat untuk
klaim-klaim etisnya. Bagi mereka, pengalaman subjektif semata tidak cukup untuk
membangun sistem etika yang koheren dan dapat diuji secara logis1.
Jean-Paul Sartre,
meskipun berusaha mengembangkan etika eksistensial dalam Existentialism
Is a Humanism, tetap dianggap tidak berhasil menjelaskan bagaimana
kebebasan individu dapat diarahkan ke arah nilai-nilai yang universal dan tidak
bertentangan satu sama lain2. Relativisme eksistensial
ini membuka potensi konflik antar nilai personal dan menimbulkan ketidakpastian
moral dalam praktik sosial.
8.2.
Tuduhan Pesimisme dan Nihilisme
Banyak pengamat
menilai bahwa eksistensialisme cenderung bersifat pesimistis, bahkan
nihilistik. Fokus pada kecemasan, absurditas, dan keterlemparan ke dunia tanpa
makna sering kali dipandang memperburuk kondisi psikologis manusia daripada
memperbaikinya. Filsuf Katolik seperti Étienne Gilson menuduh eksistensialisme
ateistik (seperti dalam pemikiran Sartre dan Camus) sebagai filsafat yang
kehilangan harapan dan menawarkan jalan buntu spiritual bagi manusia3.
Namun, para
eksistensialis membantah tuduhan ini dengan menunjukkan bahwa justru dari
pengakuan atas absurditas dan ketiadaan makna objektif, manusia memiliki
kesempatan untuk menciptakan makna yang otentik. Camus, misalnya, melihat
absurditas bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal dari pemberontakan sadar
terhadap kehampaan4. Demikian pula, Viktor
Frankl menjadikan penderitaan sebagai jalan menuju pertumbuhan eksistensial,
bukan keputusasaan.
8.3.
Kritik atas Individualisme dan
Solipsisme
Eksistensialisme
juga dikritik karena dianggap terlalu menekankan individualisme dan kebebasan
pribadi, sehingga mengabaikan peran komunitas, struktur sosial, dan tanggung
jawab kolektif. Pendekatan eksistensial sering kali mengisolasi individu dari
konteks historis dan sosiologisnya. Karl Marx, misalnya, melihat filsafat
eksistensialis sebagai ekspresi dari alienasi borjuis yang mengabaikan relasi
produksi dan kondisi material manusia5.
Lebih lanjut, kritik
dari perspektif feminis dan postmodern menyoroti bahwa eksistensialisme (terutama
dalam versi Sartre) terlalu maskulin dan universalistik dalam mendefinisikan
subjek manusia, tanpa cukup mempertimbangkan perbedaan gender, ras, dan budaya.
Simone de Beauvoir sendiri, meskipun bagian dari gerakan eksistensialis,
mengkritik Sartre karena terlalu menekankan kebebasan abstrak yang tak
realistis bagi perempuan yang hidup dalam struktur opresif6.
8.4.
Keterbatasan dalam Membangun Tatanan
Sosial
Eksistensialisme
juga dianggap tidak memadai sebagai landasan pembangunan sosial dan politik
yang berkelanjutan. Kebebasan eksistensial yang begitu ditekankan sering kali
tidak terhubung secara konkret dengan konsep keadilan sosial, hak asasi
manusia, dan institusi politik. Akibatnya, eksistensialisme dinilai gagal
memberikan model tatanan sosial yang dapat dijadikan dasar kebijakan publik.
Meskipun Sartre
kemudian mencoba menggabungkan eksistensialisme dengan Marxisme dalam Critique
of Dialectical Reason, usaha tersebut tidak menghasilkan sintesis
yang memadai. Beberapa pemikir menilai bahwa ketegangan antara kebebasan
individual eksistensial dan struktur deterministik sosial-ekonomi tidak dapat
dipersatukan secara konsisten7.
Kesimpulan
Eksistensialisme
modern telah membuka ruang refleksi mendalam tentang eksistensi manusia, tetapi
juga menimbulkan kontroversi dan kritik tajam dari berbagai sudut pandang.
Tuduhan subjektivisme, pesimisme, solipsisme, dan ketidakmampuan dalam
membentuk etika sosial menjadi tantangan serius bagi pengembangan lebih lanjut
dari filsafat ini. Namun demikian, nilai-nilai eksistensialis tentang
keotentikan, kebebasan, dan tanggung jawab tetap menjadi kontribusi penting
dalam merespons tantangan zaman modern, asalkan dikontekstualisasikan secara
kritis dalam kerangka sosial yang lebih inklusif dan relasional.
Footnotes
[1]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1946),
102–106.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 39–42.
[3]
Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy, trans. A.H.C.
Downes (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 14–18.
[4]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage Books, 1991), 121–123.
[5]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 107–112.
[6]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New
York: Vintage Books, 2011), 731–735.
[7]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1,
trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), xxiv–xxx.
9.
Penutup
Eksistensialisme modern telah memainkan peran
penting dalam membentuk wajah filsafat dan kebudayaan kontemporer. Ia lahir
sebagai respons terhadap krisis makna yang melanda manusia modern, terutama
setelah trauma perang, kegagalan rasionalisme klasik, dan keruntuhan otoritas
metafisis tradisional. Melalui tokoh-tokohnya seperti Jean-Paul Sartre, Simone
de Beauvoir, Albert Camus, dan Martin Heidegger, eksistensialisme mengangkat
isu-isu mendasar seperti kebebasan, tanggung jawab, kecemasan, dan pencarian
makna sebagai tema sentral dalam keberadaan manusia1.
Salah satu kontribusi paling signifikan dari
eksistensialisme adalah penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan
bertanggung jawab atas keberadaannya. Dalam dunia yang tidak menawarkan makna
tetap, eksistensialisme justru menemukan harapan dalam tindakan kreatif dan
kesadaran reflektif manusia untuk menciptakan nilai dan arah hidupnya sendiri2.
Kebebasan, dalam filsafat ini, bukanlah anarki, melainkan tanggung jawab
eksistensial untuk menjadi otentik dan hidup sesuai dengan pilihan-pilihan yang
disadari.
Eksistensialisme juga memperkaya pemahaman kita
terhadap fenomena sosial dan budaya modern. Dalam wacana sastra, teater,
psikologi, hingga budaya populer, eksistensialisme telah menjadi alat
interpretasi yang kuat untuk menggambarkan kegelisahan manusia akan
keterasingan, absurditas, dan kehilangan makna dalam dunia yang semakin
kompleks dan terdigitalisasi3. Bahkan dalam krisis kontemporer
seperti gangguan kesehatan mental, krisis lingkungan, atau kehampaan spiritual,
eksistensialisme tetap relevan sebagai filsafat yang menempatkan manusia dalam
posisi sentral sebagai subjek yang sadar dan mampu mengubah dirinya sendiri.
Namun demikian, eksistensialisme juga tidak lepas
dari kritik. Tuduhan subjektivisme, relativisme moral, pesimisme, dan
keterbatasan dalam membangun etika sosial menjadi tantangan serius yang tidak
dapat diabaikan. Kritik ini memperlihatkan bahwa eksistensialisme memerlukan
pelengkap, baik dalam bentuk dialog dengan tradisi filsafat lain maupun dengan
pendekatan-pendekatan baru yang lebih inklusif dan transformatif4.
Meski demikian, daya hidup eksistensialisme justru
terletak pada keterbukaannya terhadap kegelisahan manusia yang tak kunjung
selesai. Eksistensialisme tidak menawarkan jawaban final, tetapi mendorong
manusia untuk terus bertanya, menggugat, dan merefleksikan keberadaannya secara
jujur. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, eksistensialisme mengajarkan
bahwa makna hidup tidak ditemukan, tetapi diciptakan dalam kebebasan dan
keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Footnotes
[1]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 1–4.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.
[3]
Rollo May, The Discovery of Being: Writings in
Existential Psychology (New York: W.W. Norton, 1983), 17–21.
[4]
David E. Cooper, Existentialism: A
Reconstruction (Oxford: Blackwell Publishers, 1999), 91–95.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1946). Language, truth and logic
(2nd ed.). Gollancz.
Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (H.
M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)
Beauvoir, S. de. (1948). The ethics of ambiguity
(B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.
Beckett, S. (1954). Waiting for Godot (S.
Beckett, Trans.). Grove Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1942)
Camus, A. (1989). The stranger (M. Ward,
Trans.). Vintage Books. (Original work published 1942)
Cooper, D. E. (1999). Existentialism: A
reconstruction. Blackwell Publishers.
Flynn, T. R. (2006). Existentialism: A very
short introduction. Oxford University Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1946)
Gilson, É. (1991). The spirit of mediaeval
philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press.
(Original work published 1936)
Hannay, A. (2001). Kierkegaard: A biography.
Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Marcel, G. (2001). The mystery of being
(Vol. 1, G. S. Fraser, Trans.). St. Augustine’s Press.
Marx, K. (1964). Economic and philosophic
manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International Publishers.
May, R. (1958). Existence: A new dimension in
psychiatry and psychology. Basic Books.
May, R. (1983). The discovery of being: Writings
in existential psychology. W.W. Norton.
Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1883–1891)
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1882)
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)
Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical
reason (Vol. 1, A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso. (Original work published
1960)
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
published 1946)
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. Basic Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar