Sejarah Filsafat Abad ke-19
Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Transformasi
Pemikiran dari Idealism ke Nihilisme
Alihkan ke: Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai
perkembangan filsafat abad ke-19 dengan menggunakan pendekatan sinkronik dan
diakronik untuk mengungkap dinamika pemikiran dari dominasi idealisme menuju
munculnya nihilisme. Melalui pendekatan sinkronik, artikel ini menelaah bagaimana
aliran-aliran besar seperti idealisme Jerman, materialisme historis,
positivisme, dan eksistensialisme awal saling berdialog dan berkonflik dalam
kerangka waktu yang sejajar. Sementara pendekatan diakronik digunakan untuk
menelusuri transformasi historis gagasan dari Fichte, Schelling, dan Hegel
menuju kritik radikal yang dikemukakan oleh Feuerbach, Marx, Kierkegaard,
Schopenhauer, dan Nietzsche. Kajian ini menunjukkan bahwa filsafat abad ke-19
tidak hanya mencerminkan perubahan gagasan, tetapi juga merefleksikan krisis
spiritual, sosial, dan epistemologis masyarakat modern. Artikel ini
menyimpulkan bahwa warisan filsafat abad ke-19 sangat penting dalam membentuk
fondasi pemikiran kontemporer, baik dalam bidang eksistensialisme,
hermeneutika, teori kritis, maupun dalam wacana postmodern. Dengan demikian,
filsafat abad ke-19 tetap aktual sebagai medan refleksi atas dilema modernitas
dan kebebasan manusia.
Kata Kunci: Filsafat Abad ke-19; Idealisme Jerman; Materialisme
Historis; Nihilisme; Eksistensialisme; Sinkronik; Diakronik; Kritik Ideologi;
Kehendak; Makna Modernitas.
PEMBAHASAN
Sejarah Pemikiran Filsafat Abad ke-19
1.
Pendahuluan
Abad ke-19 merupakan
salah satu periode paling dinamis dalam sejarah filsafat modern, ditandai oleh
pergeseran paradigma besar dari sistem rasionalistik menuju pemikiran yang
menekankan eksistensi, kehendak, serta kritik terhadap struktur metafisik dan
institusional yang mapan. Periode ini menyaksikan perdebatan yang intens antara
idealisme metafisik yang mendominasi awal abad dengan materialisme,
positivisme, dan eksistensialisme yang berkembang di paruh berikutnya. Maka
dari itu, kajian terhadap filsafat abad ke-19 tidak dapat dilepaskan dari
pendekatan sinkronik, yang menelaah
hubungan antar ide dalam satu kurun waktu tertentu, serta diakronik,
yang melacak perkembangan historis dan transformasi gagasan dari satu periode
ke periode lainnya.
Secara sinkronik,
abad ke-19 memperlihatkan koeksistensi berbagai aliran besar, termasuk Idealisme
Jerman (Hegel, Schelling, Fichte), Materialisme
Historis (Marx), dan Eksistensialisme Awal
(Kierkegaard, Nietzsche). Masing-masing aliran ini tidak berdiri dalam
kekosongan, melainkan saling memengaruhi dan merespons kondisi sosial-politik
Eropa yang sarat revolusi, industrialisasi, dan sekularisasi. Misalnya, kritik
Ludwig Feuerbach terhadap agama sebagai proyeksi manusia menjadi fondasi bagi
Marx dalam merumuskan materialisme historis dan kritik ideologi.1
Sementara itu,
pendekatan diakronik memperlihatkan
kesinambungan dan diskontinuitas pemikiran yang mengakar sejak abad ke-18.
Idealisme Hegelian, sebagai puncak sistematisasi rasional dari filsafat
Pencerahan, menjadi sasaran kritik generasi berikutnya yang merasa bahwa sistem
tersebut gagal menjawab persoalan konkret manusia dan kehidupan. Kierkegaard,
misalnya, menolak universalisme Hegel dan menegaskan pentingnya subjektivitas
eksistensial dalam menghadapi kecemasan, iman, dan keputusan moral individu.2
Demikian pula Nietzsche, yang tampil sebagai pewaris sekaligus penggugat
tradisi metafisika Barat, menyerukan “kematian Tuhan” dan menyoroti
kehampaan nilai dalam masyarakat modern.3
Krisis nilai dan
identitas ini diperkuat oleh transformasi sosial yang dihadirkan oleh Revolusi
Industri dan kemajuan ilmu pengetahuan. Munculnya positivisme Comte mempertegas
dominasi pendekatan ilmiah terhadap realitas, yang semakin menjauh dari
metafisika klasik.4 Di sinilah terlihat bahwa filsafat abad ke-19
tidak hanya berkembang dalam kerangka ide, tetapi juga sebagai refleksi dan
kritik terhadap zaman, menjadikannya sebagai medan kontestasi antara
rasionalisme sistemik dan respons eksistensial atas keterasingan manusia
modern.
Dengan mempertimbangkan
kedua pendekatan tersebut, kajian ini akan menelaah secara komprehensif
dinamika pemikiran abad ke-19 dari perspektif tematik dan kronologis, dari
kemegahan sistem idealisme ke kehampaan nilai nihilisme. Tujuannya adalah untuk
menyingkap bukan hanya apa yang dipikirkan para filsuf, tetapi juga mengapa
dan dalam
konteks apa pemikiran itu muncul. Pendekatan ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman menyeluruh atas warisan intelektual yang membentuk fondasi
filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George
Eliot (New York: Harper & Brothers, 1957), 12–15.
[2]
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar
Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 60–66.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[4]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:27–30.
2.
Konteks
Historis Abad ke-19 dalam Bingkai Diakronik
Abad ke-19 adalah
abad transisi besar-besaran dalam sejarah Eropa dan dunia Barat, baik secara
politik, sosial, ekonomi, maupun intelektual. Transformasi tersebut tidak hanya
memengaruhi institusi-institusi masyarakat, tetapi juga secara mendalam
membentuk dan mengguncang fondasi pemikiran filsafat. Pendekatan diakronik
memungkinkan kita untuk melacak kronologi perubahan yang secara progresif
membentuk lanskap intelektual dari puncak idealisme sistematik
menuju krisis
eksistensial dan nihilisme.
Perubahan historis
yang paling menentukan adalah Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi
Industri (sekitar 1760–1840). Revolusi Prancis menghancurkan
sistem monarki absolut dan memperkenalkan ide-ide kebebasan, kesetaraan, dan
kedaulatan rakyat. Perubahan ini melahirkan semangat emansipasi dan
individualitas yang menginspirasi filsuf-filsuf generasi awal abad ke-19
seperti Hegel dan Fichte untuk membangun teori-teori tentang kesadaran diri dan
kebebasan historis1. Namun, dalam perkembangannya, romantisisme
revolusioner itu berubah menjadi skeptisisme historis, khususnya setelah
restorasi monarki dan kegagalan eksperimen politik liberal.
Sementara itu,
Revolusi Industri membawa perubahan mendalam dalam struktur sosial dan ekonomi
masyarakat Eropa. Munculnya kelas proletar, urbanisasi massal, dan eksploitasi
buruh menjadi latar material bagi munculnya materialisme historis Karl Marx,
yang menempatkan kontradiksi kelas sebagai penggerak sejarah2. Di
sisi lain, kondisi sosial yang mereduksi manusia menjadi komoditas ini juga
memunculkan refleksi pesimis tentang makna hidup, yang nanti diartikulasikan
dalam pemikiran Schopenhauer dan Nietzsche.
Dari segi keilmuan,
abad ke-19 juga merupakan era sekularisasi pengetahuan dan ekspansi ilmu
positif. Pengaruh kuat Newtonianisme dan kemajuan sains
mendorong munculnya positivisme yang diasosiasikan
dengan Auguste Comte, yang menyatakan bahwa pemikiran manusia telah berkembang
dari tahap teologis dan metafisik ke tahap positif atau ilmiah3.
Perkembangan ini memarginalkan metafisika sebagai cabang pengetahuan spekulatif
dan memperkuat dominasi metode empiris dalam memahami realitas.
Di tengah-tengah
perubahan tersebut, agama dan otoritas moral tradisional mengalami
delegitimasi. Friedrich Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah
mati” sebagai metafora bagi hilangnya landasan absolut dalam kehidupan modern,
dan bahwa nihilisme adalah konsekuensi dari penghapusan nilai-nilai
transendental oleh modernitas itu sendiri4. Dalam bingkai diakronik,
pernyataan Nietzsche dapat dilihat sebagai klimaks dari perjalanan panjang
filsafat yang awalnya mengidealkan struktur rasional dan sistemik, lalu
bergerak ke arah pembongkaran nilai dan ketidakpastian makna.
Pendekatan diakronik
juga memperlihatkan bagaimana pergeseran dari sistem ke subjektivitas
terjadi secara bertahap. Hegel menutup fase sistematisasi rasional filsafat,
sementara Kierkegaard dan Nietzsche membuka fase yang menekankan otentisitas
personal, krisis moral, dan kehendak individual. Maka, filsafat
abad ke-19 tidak hanya merekam sejarah gagasan, tetapi juga menjadi refleksi
dari tubuh
sosial-politik dan kejiwaan kolektif yang mengalami transformasi krusial
akibat perubahan zaman.
Dengan demikian, konteks
sejarah abad ke-19 merupakan fondasi yang tak terpisahkan dari dinamika
pemikiran filsafat pada masa itu. Melalui pendekatan diakronik, kita dapat
melihat bukan hanya perubahan gagasan, tetapi juga kondisi objektif yang
mendorong transformasi tersebut, mulai dari revolusi politik dan industri,
perubahan ilmu pengetahuan, hingga krisis nilai dalam masyarakat modern.
Footnotes
[1]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11–14.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 61–63.
[3]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:1–5.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
3.
Idealisme
Jerman dan Warisannya (Kajian Diakronik Awal Abad)
Awal abad ke-19
ditandai oleh dominasi Idealisme Jerman sebagai sistem
filsafat paling berpengaruh yang muncul dari pengaruh langsung Kantianisme
pasca-Critique
of Pure Reason (1781). Dalam konteks diakronik,
idealisme ini berkembang sebagai kelanjutan dari proyek Pencerahan yang mencari
fondasi rasional dan transendental bagi pengetahuan dan kebebasan manusia.
Namun dalam bingkai sinkronik, aliran ini juga
merupakan reaksi terhadap tantangan metafisika dan empirisme sebelumnya serta
kritik terhadap dualisme subjek-objek dalam pemikiran Kant.
3.1.
Johann Gottlieb
Fichte: Subjektivitas sebagai Kekuatan Aktif
Fichte menjadi tokoh
awal yang merevisi pemikiran Kant dengan mengedepankan peran aktif subjek
sebagai pencipta realitas melalui "Tindakan Aku" (Tathandlung).
Dalam Wissenschaftslehre,
Fichte menolak bahwa dunia eksternal memiliki realitas independen; sebaliknya,
dunia adalah produk dari aktivitas kesadaran murni1. Fichte
memberikan penekanan radikal terhadap kebebasan manusia dan etika sebagai
orientasi utama filsafat, sebuah pandangan yang menjadi pengantar bagi
idealisme sebagai filsafat kebebasan.
3.2.
Friedrich Wilhelm
Joseph Schelling: Alam sebagai Roh Absolut
Melanjutkan Fichte,
Schelling mengembangkan apa yang dikenal sebagai Naturphilosophie,
dengan pandangan bahwa alam bukan benda mati,
melainkan ekspresi langsung dari roh yang sedang mengaktualkan dirinya dalam bentuk-bentuk
materi dan kehidupan2. Dalam sistemnya, tidak ada dikotomi mutlak
antara subjek dan objek—keduanya adalah manifestasi dari kesatuan Absolut. Schelling
mencoba mendamaikan ilmu pengetahuan dan estetika dalam satu kerangka
metafisik, menyatakan bahwa seni adalah wahana penyatuan antara kesadaran dan
alam.
3.3.
Georg Wilhelm
Friedrich Hegel: Dialektika dan Realisasi Roh dalam Sejarah
Hegel menjadi puncak
sistematisasi Idealisme Absolut. Melalui Phenomenology
of Spirit dan Science of Logic, ia membangun
struktur filsafat dialektis di mana Roh (Geist) berkembang melalui
negasi diri menuju kesadaran-diri penuh dalam sejarah3. Dalam sistem
Hegel, sejarah bukan sekadar peristiwa kronologis, tetapi ekspresi rasional
dari perkembangan ide menuju kebebasan absolut. Dialektika
“tesis-antitesis-sintesis” tidak hanya menjelaskan logika pemikiran, tetapi
juga realitas itu sendiri sebagai proses pembentukan diri roh.
Hegel menyatukan
metafisika, logika, sejarah, politik, dan agama dalam satu sistem total,
menjadikannya pemikir sistemik terbesar dalam tradisi filsafat Barat modern.
Namun, justru sistemisasi ekstrem inilah yang kelak mengundang kritik dari para
pemikir setelahnya, yang menuduhnya mengabaikan realitas konkret dan eksistensi
individual.
Warisan Idealisme Jerman: Sinkronik dan Diakronik
Secara sinkronik,
pemikiran Fichte, Schelling, dan Hegel menunjukkan kecenderungan
bersama: penolakan terhadap empirisme reduksionis, afirmasi
peran aktif kesadaran, dan upaya sistematik untuk memahami dunia sebagai
ekspresi rasional dari prinsip spiritual. Namun secara diakronik,
perkembangan dari Fichte ke Schelling lalu ke Hegel menunjukkan transformasi
dari subjektivisme radikal menuju totalitas objektif. Inilah
yang kemudian menjadi titik balik: saat sistem Hegel dianggap menutup ruang
kebebasan eksistensial, maka muncul gelombang kritik dari arah eksistensialis
seperti Kierkegaard, dan dari materialis seperti Marx.
Dalam hal ini,
idealisme Jerman memberikan dua warisan besar bagi abad
ke-19: pertama, keyakinan bahwa rasio dapat menjelaskan realitas secara utuh;
kedua, kesadaran bahwa sistem rasional tidak cukup untuk menjawab kompleksitas
pengalaman manusia. Kritik terhadap kedua warisan ini kemudian menjadi fondasi
bagi munculnya eksistensialisme dan nihilisme sebagai antitesis terhadap proyek
idealisme.
Footnotes
[1]
Johann Gottlieb Fichte, The Science of Knowledge
(Wissenschaftslehre), trans. Peter Heath and John Lachs (Cambridge:
Cambridge University Press, 1982), 97–102.
[2]
F. W. J. Schelling, System of Transcendental Idealism (1800),
trans. Peter Heath (Charlottesville: University of Virginia Press, 1978),
27–29.
[3]
G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A. V.
Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 67–69; and Science of Logic,
trans. George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 39–44.
4.
Reaksi
terhadap Idealisme: Materialisme, Ilmiah, dan Kritik Ideologi
Setelah dominasi
idealisme Jerman di awal abad ke-19, muncul gelombang pemikiran baru yang menolak
sistem metafisik rasional sebagai kerangka utama dalam memahami dunia.
Pendekatan sinkronik memperlihatkan bahwa
reaksi terhadap idealisme berkembang dalam berbagai bentuk: materialisme
filosofis, positivisme ilmiah, dan kritik
ideologi. Sementara itu, pendekatan diakronik
menunjukkan bahwa penolakan terhadap idealisme adalah bagian dari proses
historis yang berkaitan erat dengan transformasi sosial, kemajuan sains, serta
perubahan struktur ekonomi dan politik Eropa modern.
4.1.
Ludwig Feuerbach:
Manusia sebagai Dasar Realitas
Feuerbach membuka
jalur kritik terhadap idealisme Hegelian dengan melakukan "antropologisasi"
terhadap metafisika. Dalam The Essence of Christianity, ia
menegaskan bahwa Tuhan adalah proyeksi dari hakikat manusia; bahwa esensi ilahi
sebenarnya adalah esensi manusia itu sendiri, yang telah diidealkan dan
diasingkan1. Dengan demikian, ia membalikkan relasi metafisik: bukan
manusia yang diciptakan oleh ide transenden, tetapi ide transenden merupakan
hasil alienasi manusia dari dirinya sendiri. Kritik ini bukan hanya bersifat
teologis, tetapi juga filosofis—Feuerbach menolak sistem rasional yang abstrak
dan menekankan pada keberadaan konkret dan material manusia.
4.2.
Karl Marx:
Materialisme Historis dan Kritik Ideologi
Pemikiran Feuerbach
menjadi titik tolak bagi Karl Marx, tetapi Marx
mengkritik Feuerbach karena masih terlalu kontemplatif dan tidak menekankan
transformasi praksis. Dalam Theses on Feuerbach, Marx
menyatakan bahwa filsafat bukan hanya untuk menafsirkan dunia, melainkan untuk
mengubahnya2. Marx mengembangkan materialisme historis, yaitu pandangan
bahwa struktur ekonomi dan hubungan produksi adalah basis dari kesadaran
sosial, hukum, agama, dan ideologi.
Marx juga
memperkenalkan konsep "kritik ideologi"—yakni
bahwa pemikiran dominan suatu zaman adalah pemikiran kelas yang berkuasa.
Filsafat idealisme, dalam pandangannya, telah menjadi pelayan kepentingan
borjuasi karena mengaburkan kondisi material yang melatarbelakangi penindasan
kelas3. Dengan demikian, idealisme dikritik sebagai abstraksi
spekulatif yang tidak menyentuh akar persoalan sosial.
4.3.
Auguste Comte:
Positivisme dan Ilmu sebagai Jalan Progresif
Di ranah
epistemologi, Auguste Comte mengembangkan positivisme,
yang meyakini bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui observasi
empiris dan metode ilmiah. Comte membagi perkembangan intelektual manusia
menjadi tiga tahap: teologis, metafisik, dan positif4. Menurutnya,
idealisme dan metafisika termasuk dalam tahap usang yang harus dilampaui, dan
hanya ilmu yang dapat membawa umat manusia pada kemajuan.
Dengan positivisme,
Comte menegaskan pemisahan filsafat dari spekulasi metafisik dan menyerukannya
untuk berperan dalam pembangunan sosial yang rasional dan terukur. Pendekatan
ilmiah terhadap masyarakat kelak menginspirasi kelahiran sosiologi modern dan
juga memperkuat arus secularisasi pengetahuan di
abad ke-19.
Sintesis Sinkronik: Antimetafisika dan Peralihan ke Praksis
Jika ditelaah secara
sinkronik, ketiga pemikir di atas—Feuerbach, Marx, dan Comte—mewakili reaksi
konsisten terhadap idealisme, baik dari sisi ontologis, sosial,
maupun epistemologis. Mereka menolak dunia ide sebagai pusat realitas, dan
sebaliknya menekankan materialitas, keberadaan empiris, dan struktur
sosial. Ketiganya juga berpandangan bahwa perubahan tidak lahir
dari kontemplasi rasional, tetapi dari tindakan nyata: baik itu tindakan
historis (Marx), tindakan etis dan insani (Feuerbach), atau tindakan ilmiah dan
administratif (Comte).
Secara diakronik,
arus ini menandai pergeseran mendasar dalam
filsafat abad ke-19: dari pencarian sistem universal menuju penekanan pada kondisi
konkret manusia dalam sejarah. Idealisme mulai ditinggalkan
karena dianggap tidak memadai dalam menjelaskan kompleksitas dunia nyata yang
sedang berubah cepat akibat revolusi industri, konflik kelas, dan ekspansi
pengetahuan ilmiah.
Footnotes
[1]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George
Eliot (New York: Harper & Brothers, 1957), 14–18.
[2]
Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The Marx-Engels Reader,
ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 145.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 64–67.
[4]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:2–5.
5.
Eksistensialisme
Awal dan Psikologi Kehendak
Paruh kedua abad
ke-19 ditandai dengan pergeseran tajam dari sistem idealisme rasional ke
pemikiran yang menyoroti pengalaman subjektif, kecemasan
eksistensial, dan kekuatan kehendak manusia.
Pergeseran ini mencerminkan respons terhadap ketidakpuasan atas abstraksi
metafisik dan determinisme historis yang mewarnai idealisme Jerman. Melalui
pendekatan diakronik, dapat dilihat bahwa
filsuf-filsuf seperti Kierkegaard, Schopenhauer, dan Nietzsche
melanjutkan dan sekaligus menggugat warisan idealisme. Sementara itu,
pendekatan sinkronik mengungkap bahwa
mereka berbagi fokus pada keindividualan, penderitaan,
dan otonomi
eksistensial, meskipun dengan pendekatan dan kesimpulan yang
berbeda.
5.1.
Søren Kierkegaard:
Individu, Iman, dan Kecemasan
Kierkegaard dianggap
sebagai pelopor eksistensialisme religius, yang
berusaha mengembalikan fokus filsafat kepada subjektivitas eksistensial—bukan
sistem rasional atau sejarah universal. Dalam The Concept of Anxiety, ia
menekankan bahwa manusia sebagai individu yang berdiri di hadapan pilihan moral
mengalami kecemasan (Angest) karena
kebebasannya sendiri1. Kecemasan ini bukanlah kelemahan, melainkan
pintu menuju autentisitas dan tanggung jawab spiritual.
Kierkegaard
mengkritik Hegel karena mengorbankan individu demi sistem. Baginya, iman
bukan hasil dialektika rasional, melainkan lompatan eksistensial melampaui
rasio. Dalam hal ini, ia membalik asumsi idealisme: bukan rasio yang
mengantarkan kepada Tuhan, melainkan pengakuan atas ketakberdayaan manusia dalam
kebebasan yang membuka jalan menuju transendensi2.
5.2.
Arthur Schopenhauer:
Dunia sebagai Kehendak dan Representasi
Schopenhauer menolak
optimisme rasional idealisme dan memformulasikan metafisika yang berakar pada penderitaan
dan kehendak buta. Dalam The World as Will and Representation,
ia menyatakan bahwa dunia sebagaimana tampak bagi kita hanyalah representasi,
sedangkan hakikat realitas adalah kehendak hidup yang irasional dan tak pernah
puas3. Manusia terjebak dalam siklus hasrat dan
penderitaan karena kehendak yang tak kunjung terpuaskan.
Bagi Schopenhauer,
pelarian dari penderitaan bukan ditemukan dalam tindakan atau rasionalitas,
melainkan melalui seni, kontemplasi, dan penyangkalan kehendak (sejalan dengan
asketisme Buddhistik). Dalam pendekatan sinkronik, ia berdiri kontras
dengan Kierkegaard: keduanya berbicara tentang penderitaan eksistensial, tetapi
menawarkan jalan keluar yang berbeda—iman atau penyangkalan kehendak.
5.3.
Friedrich Nietzsche:
Nihilisme, Kehendak untuk Berkuasa, dan Individu Kreatif
Nietzsche
melanjutkan eksplorasi kehendak, tetapi menolak pesimisme Schopenhauer dan iman
Kierkegaard. Dalam The Gay Science, ia mengumumkan “kematian
Tuhan” sebagai metafora atas runtuhnya nilai-nilai absolut
dalam masyarakat modern4. Nihilisme menjadi konsekuensi dari
hilangnya landasan transendental dalam etika dan makna hidup.
Namun, Nietzsche
tidak berhenti pada kehampaan; ia mengajukan konsep "kehendak untuk berkuasa" (der Wille zur Macht) sebagai dorongan
fundamental manusia untuk mencipta, menafsirkan, dan mengatasi. Dalam Thus
Spoke Zarathustra, ia memunculkan figur Übermensch
(Manusia Unggul) sebagai simbol keberanian eksistensial untuk
menciptakan nilai sendiri di tengah kekosongan makna tradisional5.
Dengan demikian,
Nietzsche merekonstruksi kehendak sebagai kekuatan kreatif yang mampu membentuk
realitas, bukan sebagai sumber penderitaan seperti dalam Schopenhauer.
Pendekatan sinkronik memperlihatkan bahwa
Nietzsche, Schopenhauer, dan Kierkegaard berangkat dari kritik terhadap
rasionalitas sistemik dan merespons pengalaman manusia yang penuh kecemasan,
tetapi menyuguhkan arah etis dan eksistensial yang berbeda.
Relevansi Diakronik: Dari Subjek ke Eksistensi
Secara diakronik,
munculnya pemikiran eksistensialis dan psikologi kehendak ini menandai kemunduran
sistem dan kebangkitan eksistensi. Jika
idealisme Jerman mencari kepaduan melalui sintesis historis dan metafisika
rasional, maka filsafat eksistensialis berusaha memahami keretakan
dan keterpisahan sebagai kondisi dasar eksistensi manusia. Para
filsuf ini menyoroti pengalaman konkret, kesendirian, dan kebebasan,
yang tidak dapat direduksi oleh skema rasional.
Dalam konteks lebih
luas, pemikiran Kierkegaard, Schopenhauer, dan Nietzsche menjadi fondasi bagi
perkembangan filsafat eksistensial abad ke-20,
psikologi modern (melalui pengaruhnya pada Freud dan Jung), serta teologi modern
yang lebih personalistik. Oleh sebab itu, filsafat abad ke-19 tidak hanya
mengalami krisis sistem, tetapi juga melahirkan bentuk baru dari pencarian
makna dalam dunia yang kehilangan kepastian.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar
Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 42–46.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 55–59.
[3]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation,
vol. 1, trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), 110–117.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), “Prologue,” §§1–3.
6.
Sinkronisasi
Wacana Filsafat Abad ke-19: Dinamika Paralel
Filsafat abad ke-19
bukanlah rentetan pemikiran yang berdiri sendiri atau berkembang dalam garis
lurus semata, melainkan suatu jaringan pemikiran yang saling berdialog,
bertentangan, dan menyilang lintas tema dan disiplin. Dengan
menggunakan pendekatan sinkronik, kita dapat menangkap
dinamika paralel yang berlangsung dalam periode waktu yang sama, sementara
pendekatan diakronik memungkinkan kita
memahami bagaimana perkembangan satu gagasan membuka ruang bagi kelahiran
gagasan lain.
6.1.
Idealisme dan
Materialisme: Sistem dan Anti-Sistem
Dalam kerangka
sinkronik, dapat dilihat bagaimana idealisme Hegelian dan materialisme
Marxian muncul bersamaan di panggung intelektual abad ke-19,
meski dengan arah pemikiran yang saling menegasikan. Hegel memandang sejarah
sebagai realisasi rasional dari Roh Absolut, sedangkan Marx menafsirkan sejarah
sebagai pertarungan kelas akibat kontradiksi dalam struktur ekonomi1.
Namun secara diakronik, Marx adalah murid dari tradisi idealisme yang justru ia
kritik—pemikirannya merupakan transformasi dialektika Hegel ke dalam bentuk
praksis material.
Keduanya menggunakan
perangkat dialektika, namun dengan isi yang sangat berbeda. Di sinilah terlihat
dinamika paralel yang kompleks: pemikiran yang tampaknya saling berlawanan
ternyata saling berakar dalam metodologi yang serupa.
6.2.
Eksistensialisme dan
Positivisme: Subjektivitas vs. Objektivitas
Sementara itu, eksistensialisme
Kierkegaard dan Nietzsche berkembang sejajar dengan positivisme
Comte, tetapi dengan semangat yang bertolak belakang. Comte
mendorong supremasi metode ilmiah dalam membangun masyarakat rasional,
sedangkan Kierkegaard justru menyatakan bahwa keputusan eksistensial dan iman tidak dapat
dijelaskan oleh rasionalitas objektif2.
Sinkronik di sini
memperlihatkan tensi antara pendekatan personal dan impersonal
terhadap realitas. Kierkegaard memandang individu dalam relasi
dengan Allah sebagai pusat makna, sedangkan Comte menghapuskan metafisika dan
menempatkan pengetahuan pada observasi empiris dan hukum-hukum sosial. Namun
secara diakronik, keduanya adalah tanggapan atas krisis modernitas
pasca-Revolusi Prancis dan sekularisasi pengetahuan—mereka berbicara dalam
bahasa berbeda terhadap masalah yang serupa.
6.3.
Nihilisme dan Kritik
Ideologi: Krisis Makna dan Kekuasaan
Dalam akhir abad
ke-19, terjadi pertemuan menarik antara nihilisme Nietzschean dan kritik
ideologi Marxian, meskipun berasal dari latar belakang teoretis
yang berbeda. Nietzsche menyatakan bahwa nilai-nilai tradisional telah runtuh,
dan manusia modern menghadapi kehampaan eksistensial3. Marx, di sisi
lain, menegaskan bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah universal, melainkan
produk ideologi kelas dominan4.
Sinkroniknya,
keduanya mengidentifikasi struktur ilusi yang menyelimuti kesadaran
manusia, dan secara diakronik, keduanya mewakili hasil dari
kekecewaan terhadap rasionalisme modern. Dalam hal ini, nihilisme dan kritik
ideologi sama-sama menggugat klaim objektivitas moral dan metafisik, serta
membuka jalan bagi pendekatan dekonstruktif terhadap nilai-nilai dominan.
6.4.
Persilangan Bidang:
Estetika, Etika, dan Teologi
Filsafat abad ke-19
juga menunjukkan dinamika paralel antar bidang. Misalnya, estetika Schopenhauer
(seni sebagai pelarian dari kehendak), etika Kierkegaard (iman sebagai bentuk
tertinggi eksistensi), dan teologi Feuerbach (agama sebagai proyeksi
humanistik), berbicara tentang pencarian makna manusia dalam ketegangan antara
ideal dan real. Ketiganya menolak sistem total dan menawarkan
pemahaman fenomenologis yang lebih intim
terhadap pengalaman manusia.
Pendekatan sinkronik
memperlihatkan bahwa meskipun berangkat dari bidang yang berbeda, para pemikir
ini berbagi komitmen terhadap pembebasan individu dari
struktur impersonal dan abstrak. Secara diakronik, semua arus
ini menyiapkan landasan bagi kelahiran eksistensialisme abad ke-20 dan
hermeneutika kritis terhadap sistem.
Kesimpulan Sinkronik-Diakronik
Sinkronisasi wacana
filsafat abad ke-19 mengungkap bahwa dunia ide berkembang secara plural dan dialogis.
Tidak ada satu arus dominan yang berdiri sendiri; masing-masing aliran
memantulkan respons terhadap kondisi zaman dan saling memengaruhi. Diakronik,
kita melihat trajektori evolutif yang berpindah dari sistem ke subjek, dari
totalitas ke partikularitas, dari struktur ke pengalaman.
Peta intelektual ini
menunjukkan bahwa filsafat abad ke-19 adalah arena dinamis
pertarungan wacana, di mana pertanyaan tentang makna,
kebebasan, dan realitas tak pernah memiliki jawaban tunggal. Justru dalam
ketegangan dan persilanganlah terbentuk horizon baru yang mengantarkan filsafat
ke abad ke-20.
Footnotes
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 65–68.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 72–74; Auguste Comte, The Positive
Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell
& Sons, 1896), 1:7–9.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[4]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 11–13.
7.
Warisan
Filsafat Abad ke-19 bagi Pemikiran Modern
Filsafat abad ke-19
telah meletakkan fondasi intelektual yang kokoh sekaligus problematik bagi
perkembangan filsafat abad ke-20 dan kontemporer. Melalui pendekatan sinkronik,
kita dapat mengidentifikasi konstelasi pemikiran yang
terbentuk dalam satu masa, seperti ketegangan antara sistem dan subjektivitas,
antara rasio dan kehendak, antara sejarah dan eksistensi. Sementara itu,
pendekatan diakronik memungkinkan kita
menelusuri trajektori pengaruh yang dibawa
oleh pemikir-pemikir besar abad ke-19 ke dalam kerangka filsafat modern, baik
secara afirmatif maupun kritis.
7.1.
Dari Idealisme ke
Fenomenologi dan Hermeneutika
Salah satu warisan
penting dari idealisme Jerman, terutama
Hegel, adalah gagasan bahwa kesadaran manusia terbentuk melalui sejarah
dan bahwa kebenaran bersifat dialektis. Gagasan ini mengilhami munculnya fenomenologi
Husserl, yang menekankan struktur kesadaran sebagai pusat
pengetahuan, serta hermeneutika Heidegger dan Gadamer,
yang menempatkan pemahaman dalam konteks historis dan linguistik1.
Heidegger secara eksplisit mengakui bahwa meskipun ia meninggalkan sistem
Hegelian, ia tetap berutang pada kerangka dialektika sejarah yang mempertemukan
eksistensi dan waktu.
7.2.
Eksistensialisme dan
Kritik terhadap Sistem
Pemikiran Kierkegaard,
Schopenhauer, dan Nietzsche berkontribusi besar dalam
pembentukan eksistensialisme abad ke-20,
terutama pada Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger. Konsep seperti kecemasan,
kehendak, kebebasan, dan otentisitas menjadi arus utama dalam
eksistensialisme modern yang menolak reduksi manusia dalam sistem metafisik
atau struktur sosial deterministik2. Nietzsche secara khusus
berperan dalam membentuk kritik terhadap moralitas tradisional,
membuka jalan bagi dekonstruksi dan genealogis ala Foucault, serta wacana
post-strukturalis yang mempertanyakan otoritas pengetahuan dan kebenaran.
7.3.
Positivisme, Ilmu
Sosial, dan Rasionalisasi Modern
Gagasan positivisme
Comte memberikan pengaruh langsung terhadap perkembangan ilmu
sosial modern seperti sosiologi, ekonomi, dan ilmu politik.
Meskipun kemudian dikritik oleh mazhab Frankfurt dan para post-positivis,
warisan Comte tetap hidup dalam bentuk rasionalisasi metodologis dan
keyakinan pada kemajuan berbasis ilmu pengetahuan3. Di sisi lain,
kritik terhadap positivisme juga menghidupkan kembali pentingnya refleksi etis
dan subjektivitas dalam studi sosial, menegaskan bahwa manusia tidak dapat
sepenuhnya direduksi menjadi objek pengamatan ilmiah.
7.4.
Materialisme
Historis dan Teori Kritis
Karl
Marx meninggalkan jejak yang sangat kuat dalam perkembangan teori
kritis dan filsafat sosial-politik abad ke-20.
Pemikirannya tentang ideologi, alienasi, dan struktur ekonomi
sebagai basis kesadaran diadopsi dan dikembangkan oleh para
pemikir Mazhab Frankfurt, seperti
Adorno, Horkheimer, dan Habermas, serta oleh teori-teori poskolonial dan
feminis yang menyoroti dimensi kekuasaan dalam produksi pengetahuan dan relasi
sosial4. Marx tidak hanya mewariskan analisis kelas, tetapi juga
metode kritik terhadap sistem hegemonik dan klaim netralitas dalam diskursus
dominan.
7.5.
Krisis Makna dan
Nihilisme Kontemporer
Nietzsche
menjadi figur kunci dalam mengidentifikasi krisis makna dalam masyarakat modern.
Pernyataan “Tuhan telah mati” tidak hanya mengacu pada kemunduran agama, tetapi
juga keruntuhan
nilai-nilai absolut dalam dunia modern yang didominasi oleh
relativisme, konsumerisme, dan kehampaan spiritual5. Pemikiran
Nietzsche menjadi benih bagi hermeneutika kecurigaan,
dekonstruksi Derrida, serta pergeseran dari filsafat sistem ke filsafat
fragmentasi dan performativitas dalam abad ke-21.
Integrasi Sinkronik-Diakronik: Kompleksitas Warisan
Pendekatan sinkronik
menunjukkan bahwa filsafat abad ke-19 tidak pernah bergerak dalam satu arus
tunggal. Justru keberagaman pemikiran—dari idealisme ke materialisme, dari
positivisme ke eksistensialisme—menjadi kekayaan warisan yang memungkinkan
pemikiran modern terus berkembang dalam dialog dan perbedaan. Sedangkan
secara diakronik,
kita menyaksikan bahwa sebagian besar tantangan filsafat kontemporer—krisis
makna, relasi kuasa, otentisitas, dan teknologi—memiliki akar
yang dalam dalam perdebatan intelektual abad ke-19.
Warisan filsafat
abad ke-19 bukanlah sistem dogmatik, melainkan ruang reflektif dan kritis yang
mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang lebih plural, kontekstual, dan
terbuka. Dalam dunia modern yang terus berubah, pemikiran-pemikiran dari abad
ke-19 tetap relevan sebagai cermin sejarah, kritik sosial, dan horizon etis
dalam memahami manusia dan dunianya.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 44–47; Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York:
Continuum, 2004), xxii–xxvi.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 18–22.
[3]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte,
trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:5–10.
[4]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 1–6; Jürgen
Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 19–23.
[5]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
8.
Penutup
Filsafat abad ke-19
merupakan laboratorium ideologis yang
mengolah dan merespons kompleksitas modernitas dengan cara yang sangat
beragam—mulai dari sistem idealisme rasional hingga gugatan radikal terhadap sistem
itu sendiri. Dalam artikel ini, telah dipaparkan bagaimana pendekatan diakronik
mengungkap lintasan historis pemikiran yang bergerak dari idealisme Jerman
menuju eksistensialisme dan nihilisme, sementara pendekatan sinkronik
memperlihatkan dialog, ketegangan, dan keterkaitan gagasan yang berlangsung
secara serempak dalam konteks intelektual abad tersebut.
Transformasi dari Fichte
dan Hegel ke Marx, Kierkegaard, dan Nietzsche
menunjukkan bahwa filsafat tidak berada dalam ruang hampa, melainkan lahir dari
ketegangan
antara harapan pencerahan dan realitas keterasingan modern.
Idealisme, dengan klaimnya akan rasionalitas sistemik dan totalitas historis,
akhirnya menimbulkan reaksi balik dalam bentuk kritik eksistensial terhadap
sistem yang menyingkirkan pengalaman personal dan keunikan subjektif1.
Pemikir-pemikir
seperti Feuerbach dan Marx menghadirkan
pembalikan terhadap metafisika ke arah materialisme dan praksis,
dengan menempatkan manusia konkret dan relasi sosial sebagai pusat kajian
filosofis. Di sisi lain, Kierkegaard dan Nietzsche
menyoroti keterasingan spiritual, kehampaan nilai, dan
tanggung jawab eksistensial, yang kemudian menjadi inti dari
eksistensialisme modern. Dalam semua itu, kehendak, kecemasan, dan kebebasan
menjadi tema yang tak terelakkan dalam menjelaskan kondisi manusia modern yang
terputus dari struktur tradisional dan nilai-nilai absolut2.
Melalui pendekatan sinkronik,
kita menyaksikan bahwa dalam satu periode waktu yang sama, filsafat abad ke-19
mengalami dinamika paralel: positivisme
Comte berdiri berdampingan dengan pesimisme Schopenhauer; ideologi Marxian
bersanding secara dialektis dengan kritik nihilisme Nietzschean.
Perbedaan-perbedaan ini bukan menunjukkan disintegrasi, melainkan kekayaan
wacana yang memperkuat filsafat sebagai medan refleksi yang
hidup dan terus bergerak.
Sementara itu,
pendekatan diakronik menampakkan bahwa
pergantian gagasan dalam filsafat tidak terjadi secara revolusioner dan
terputus, melainkan melalui proses penurunan, transformasi, dan rekontekstualisasi
dari gagasan-gagasan sebelumnya. Nietzsche, misalnya, tidak mungkin hadir tanpa
Hegel dan Schopenhauer; Marx tidak terlepas dari pengaruh Feuerbach dan
idealisme Jerman3. Artinya, nihilisme bukanlah antitesis total dari
idealisme, tetapi fase mutakhir dari refleksi modern terhadap
batas-batas nalar dan sistem.
Pada akhirnya,
filsafat abad ke-19 menghadirkan warisan paradoksal bagi kita:
di satu sisi, ia memberi fondasi rasional yang sistematis untuk memahami
sejarah, pengetahuan, dan masyarakat; namun di sisi lain, ia menggugat
rasionalisme itu sendiri melalui penekanan pada kehendak, penderitaan, dan
kehilangan makna. Maka, abad ini menjadi titik krusial dalam sejarah pemikiran
manusia—sebuah zaman yang menampilkan keagungan ide dan kegelisahan eksistensial
secara bersamaan.
Dengan demikian,
pemahaman atas filsafat abad ke-19 melalui pendekatan sinkronik dan diakronik
tidak hanya memungkinkan kita untuk melacak asal usul gagasan modern,
tetapi juga untuk memahami kedalaman dilema manusia dalam
menghadapi dunia yang rasional sekaligus absurd. Filsafat tidak
lagi semata-mata mencari kepastian, tetapi juga menyediakan ruang bagi perenungan yang jujur
atas keterbatasan dan kebebasan manusia.
Footnotes
[1]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit,
trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), §28–32.
[2]
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar
Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 83–88; Friedrich
Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage
Books, 1974), §343.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 12–14; Arthur
Schopenhauer, The World as Will and Representation, vol. 1, trans. E.
F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), 161–164.
Daftar Pustaka
Comte, A. (1896). The positive philosophy of
Auguste Comte (H. Martineau, Trans., Vol. 1). George Bell & Sons.
(Asli diterbitkan tahun 1830–1842)
Feuerbach, L. (1957). The essence of
Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper & Brothers.
(Asli diterbitkan tahun 1841)
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
(Asli diterbitkan tahun 1960)
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (T. McCarthy, Trans., Vol. 1). Beacon Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1807)
Hegel, G. W. F. (2010). The science of logic
(G. di Giovanni, Trans.). Cambridge University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1812–1816)
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
(Asli diterbitkan tahun 1927)
Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1944)
Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety
(R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1844)
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
(Asli diterbitkan tahun 1843)
Marx, K. (1904). A contribution to the critique
of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr & Company.
(Asli diterbitkan tahun 1859)
Marx, K., & Engels, F. (1970). The German
ideology (C. J. Arthur, Trans.). International Publishers.
(Asli ditulis tahun 1845–1846)
Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics.
(Asli diterbitkan tahun 1848)
Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
(Asli diterbitkan tahun 1883–1885)
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
(Asli diterbitkan tahun 1882)
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1946)
Schelling, F. W. J. (1978). System of
transcendental idealism (1800) (P. Heath, Trans.). University of Virginia
Press.
Schopenhauer, A. (1969). The world as will and
representation (E. F. J. Payne, Trans., Vol. 1). Dover Publications.
(Asli diterbitkan tahun 1818)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar