Senin, 12 Mei 2025

Sejarah Filsafat Abad ke-19: Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Transformasi Pemikiran dari Idealism ke Nihilisme

Sejarah Filsafat Abad ke-19

Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Transformasi Pemikiran dari Idealism ke Nihilisme


Alihkan ke: Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai perkembangan filsafat abad ke-19 dengan menggunakan pendekatan sinkronik dan diakronik untuk mengungkap dinamika pemikiran dari dominasi idealisme menuju munculnya nihilisme. Melalui pendekatan sinkronik, artikel ini menelaah bagaimana aliran-aliran besar seperti idealisme Jerman, materialisme historis, positivisme, dan eksistensialisme awal saling berdialog dan berkonflik dalam kerangka waktu yang sejajar. Sementara pendekatan diakronik digunakan untuk menelusuri transformasi historis gagasan dari Fichte, Schelling, dan Hegel menuju kritik radikal yang dikemukakan oleh Feuerbach, Marx, Kierkegaard, Schopenhauer, dan Nietzsche. Kajian ini menunjukkan bahwa filsafat abad ke-19 tidak hanya mencerminkan perubahan gagasan, tetapi juga merefleksikan krisis spiritual, sosial, dan epistemologis masyarakat modern. Artikel ini menyimpulkan bahwa warisan filsafat abad ke-19 sangat penting dalam membentuk fondasi pemikiran kontemporer, baik dalam bidang eksistensialisme, hermeneutika, teori kritis, maupun dalam wacana postmodern. Dengan demikian, filsafat abad ke-19 tetap aktual sebagai medan refleksi atas dilema modernitas dan kebebasan manusia.

Kata Kunci: Filsafat Abad ke-19; Idealisme Jerman; Materialisme Historis; Nihilisme; Eksistensialisme; Sinkronik; Diakronik; Kritik Ideologi; Kehendak; Makna Modernitas.


PEMBAHASAN

Sejarah Pemikiran Filsafat Abad ke-19


1.           Pendahuluan

Abad ke-19 merupakan salah satu periode paling dinamis dalam sejarah filsafat modern, ditandai oleh pergeseran paradigma besar dari sistem rasionalistik menuju pemikiran yang menekankan eksistensi, kehendak, serta kritik terhadap struktur metafisik dan institusional yang mapan. Periode ini menyaksikan perdebatan yang intens antara idealisme metafisik yang mendominasi awal abad dengan materialisme, positivisme, dan eksistensialisme yang berkembang di paruh berikutnya. Maka dari itu, kajian terhadap filsafat abad ke-19 tidak dapat dilepaskan dari pendekatan sinkronik, yang menelaah hubungan antar ide dalam satu kurun waktu tertentu, serta diakronik, yang melacak perkembangan historis dan transformasi gagasan dari satu periode ke periode lainnya.

Secara sinkronik, abad ke-19 memperlihatkan koeksistensi berbagai aliran besar, termasuk Idealisme Jerman (Hegel, Schelling, Fichte), Materialisme Historis (Marx), dan Eksistensialisme Awal (Kierkegaard, Nietzsche). Masing-masing aliran ini tidak berdiri dalam kekosongan, melainkan saling memengaruhi dan merespons kondisi sosial-politik Eropa yang sarat revolusi, industrialisasi, dan sekularisasi. Misalnya, kritik Ludwig Feuerbach terhadap agama sebagai proyeksi manusia menjadi fondasi bagi Marx dalam merumuskan materialisme historis dan kritik ideologi.1

Sementara itu, pendekatan diakronik memperlihatkan kesinambungan dan diskontinuitas pemikiran yang mengakar sejak abad ke-18. Idealisme Hegelian, sebagai puncak sistematisasi rasional dari filsafat Pencerahan, menjadi sasaran kritik generasi berikutnya yang merasa bahwa sistem tersebut gagal menjawab persoalan konkret manusia dan kehidupan. Kierkegaard, misalnya, menolak universalisme Hegel dan menegaskan pentingnya subjektivitas eksistensial dalam menghadapi kecemasan, iman, dan keputusan moral individu.2 Demikian pula Nietzsche, yang tampil sebagai pewaris sekaligus penggugat tradisi metafisika Barat, menyerukan “kematian Tuhan” dan menyoroti kehampaan nilai dalam masyarakat modern.3

Krisis nilai dan identitas ini diperkuat oleh transformasi sosial yang dihadirkan oleh Revolusi Industri dan kemajuan ilmu pengetahuan. Munculnya positivisme Comte mempertegas dominasi pendekatan ilmiah terhadap realitas, yang semakin menjauh dari metafisika klasik.4 Di sinilah terlihat bahwa filsafat abad ke-19 tidak hanya berkembang dalam kerangka ide, tetapi juga sebagai refleksi dan kritik terhadap zaman, menjadikannya sebagai medan kontestasi antara rasionalisme sistemik dan respons eksistensial atas keterasingan manusia modern.

Dengan mempertimbangkan kedua pendekatan tersebut, kajian ini akan menelaah secara komprehensif dinamika pemikiran abad ke-19 dari perspektif tematik dan kronologis, dari kemegahan sistem idealisme ke kehampaan nilai nihilisme. Tujuannya adalah untuk menyingkap bukan hanya apa yang dipikirkan para filsuf, tetapi juga mengapa dan dalam konteks apa pemikiran itu muncul. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman menyeluruh atas warisan intelektual yang membentuk fondasi filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper & Brothers, 1957), 12–15.

[2]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 60–66.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[4]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:27–30.


2.           Konteks Historis Abad ke-19 dalam Bingkai Diakronik

Abad ke-19 adalah abad transisi besar-besaran dalam sejarah Eropa dan dunia Barat, baik secara politik, sosial, ekonomi, maupun intelektual. Transformasi tersebut tidak hanya memengaruhi institusi-institusi masyarakat, tetapi juga secara mendalam membentuk dan mengguncang fondasi pemikiran filsafat. Pendekatan diakronik memungkinkan kita untuk melacak kronologi perubahan yang secara progresif membentuk lanskap intelektual dari puncak idealisme sistematik menuju krisis eksistensial dan nihilisme.

Perubahan historis yang paling menentukan adalah Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Industri (sekitar 1760–1840). Revolusi Prancis menghancurkan sistem monarki absolut dan memperkenalkan ide-ide kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat. Perubahan ini melahirkan semangat emansipasi dan individualitas yang menginspirasi filsuf-filsuf generasi awal abad ke-19 seperti Hegel dan Fichte untuk membangun teori-teori tentang kesadaran diri dan kebebasan historis1. Namun, dalam perkembangannya, romantisisme revolusioner itu berubah menjadi skeptisisme historis, khususnya setelah restorasi monarki dan kegagalan eksperimen politik liberal.

Sementara itu, Revolusi Industri membawa perubahan mendalam dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat Eropa. Munculnya kelas proletar, urbanisasi massal, dan eksploitasi buruh menjadi latar material bagi munculnya materialisme historis Karl Marx, yang menempatkan kontradiksi kelas sebagai penggerak sejarah2. Di sisi lain, kondisi sosial yang mereduksi manusia menjadi komoditas ini juga memunculkan refleksi pesimis tentang makna hidup, yang nanti diartikulasikan dalam pemikiran Schopenhauer dan Nietzsche.

Dari segi keilmuan, abad ke-19 juga merupakan era sekularisasi pengetahuan dan ekspansi ilmu positif. Pengaruh kuat Newtonianisme dan kemajuan sains mendorong munculnya positivisme yang diasosiasikan dengan Auguste Comte, yang menyatakan bahwa pemikiran manusia telah berkembang dari tahap teologis dan metafisik ke tahap positif atau ilmiah3. Perkembangan ini memarginalkan metafisika sebagai cabang pengetahuan spekulatif dan memperkuat dominasi metode empiris dalam memahami realitas.

Di tengah-tengah perubahan tersebut, agama dan otoritas moral tradisional mengalami delegitimasi. Friedrich Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” sebagai metafora bagi hilangnya landasan absolut dalam kehidupan modern, dan bahwa nihilisme adalah konsekuensi dari penghapusan nilai-nilai transendental oleh modernitas itu sendiri4. Dalam bingkai diakronik, pernyataan Nietzsche dapat dilihat sebagai klimaks dari perjalanan panjang filsafat yang awalnya mengidealkan struktur rasional dan sistemik, lalu bergerak ke arah pembongkaran nilai dan ketidakpastian makna.

Pendekatan diakronik juga memperlihatkan bagaimana pergeseran dari sistem ke subjektivitas terjadi secara bertahap. Hegel menutup fase sistematisasi rasional filsafat, sementara Kierkegaard dan Nietzsche membuka fase yang menekankan otentisitas personal, krisis moral, dan kehendak individual. Maka, filsafat abad ke-19 tidak hanya merekam sejarah gagasan, tetapi juga menjadi refleksi dari tubuh sosial-politik dan kejiwaan kolektif yang mengalami transformasi krusial akibat perubahan zaman.

Dengan demikian, konteks sejarah abad ke-19 merupakan fondasi yang tak terpisahkan dari dinamika pemikiran filsafat pada masa itu. Melalui pendekatan diakronik, kita dapat melihat bukan hanya perubahan gagasan, tetapi juga kondisi objektif yang mendorong transformasi tersebut, mulai dari revolusi politik dan industri, perubahan ilmu pengetahuan, hingga krisis nilai dalam masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11–14.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 61–63.

[3]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:1–5.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.


3.           Idealisme Jerman dan Warisannya (Kajian Diakronik Awal Abad)

Awal abad ke-19 ditandai oleh dominasi Idealisme Jerman sebagai sistem filsafat paling berpengaruh yang muncul dari pengaruh langsung Kantianisme pasca-Critique of Pure Reason (1781). Dalam konteks diakronik, idealisme ini berkembang sebagai kelanjutan dari proyek Pencerahan yang mencari fondasi rasional dan transendental bagi pengetahuan dan kebebasan manusia. Namun dalam bingkai sinkronik, aliran ini juga merupakan reaksi terhadap tantangan metafisika dan empirisme sebelumnya serta kritik terhadap dualisme subjek-objek dalam pemikiran Kant.

3.1.       Johann Gottlieb Fichte: Subjektivitas sebagai Kekuatan Aktif

Fichte menjadi tokoh awal yang merevisi pemikiran Kant dengan mengedepankan peran aktif subjek sebagai pencipta realitas melalui "Tindakan Aku" (Tathandlung). Dalam Wissenschaftslehre, Fichte menolak bahwa dunia eksternal memiliki realitas independen; sebaliknya, dunia adalah produk dari aktivitas kesadaran murni1. Fichte memberikan penekanan radikal terhadap kebebasan manusia dan etika sebagai orientasi utama filsafat, sebuah pandangan yang menjadi pengantar bagi idealisme sebagai filsafat kebebasan.

3.2.       Friedrich Wilhelm Joseph Schelling: Alam sebagai Roh Absolut

Melanjutkan Fichte, Schelling mengembangkan apa yang dikenal sebagai Naturphilosophie, dengan pandangan bahwa alam bukan benda mati, melainkan ekspresi langsung dari roh yang sedang mengaktualkan dirinya dalam bentuk-bentuk materi dan kehidupan2. Dalam sistemnya, tidak ada dikotomi mutlak antara subjek dan objek—keduanya adalah manifestasi dari kesatuan Absolut. Schelling mencoba mendamaikan ilmu pengetahuan dan estetika dalam satu kerangka metafisik, menyatakan bahwa seni adalah wahana penyatuan antara kesadaran dan alam.

3.3.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel: Dialektika dan Realisasi Roh dalam Sejarah

Hegel menjadi puncak sistematisasi Idealisme Absolut. Melalui Phenomenology of Spirit dan Science of Logic, ia membangun struktur filsafat dialektis di mana Roh (Geist) berkembang melalui negasi diri menuju kesadaran-diri penuh dalam sejarah3. Dalam sistem Hegel, sejarah bukan sekadar peristiwa kronologis, tetapi ekspresi rasional dari perkembangan ide menuju kebebasan absolut. Dialektika “tesis-antitesis-sintesis” tidak hanya menjelaskan logika pemikiran, tetapi juga realitas itu sendiri sebagai proses pembentukan diri roh.

Hegel menyatukan metafisika, logika, sejarah, politik, dan agama dalam satu sistem total, menjadikannya pemikir sistemik terbesar dalam tradisi filsafat Barat modern. Namun, justru sistemisasi ekstrem inilah yang kelak mengundang kritik dari para pemikir setelahnya, yang menuduhnya mengabaikan realitas konkret dan eksistensi individual.


Warisan Idealisme Jerman: Sinkronik dan Diakronik

Secara sinkronik, pemikiran Fichte, Schelling, dan Hegel menunjukkan kecenderungan bersama: penolakan terhadap empirisme reduksionis, afirmasi peran aktif kesadaran, dan upaya sistematik untuk memahami dunia sebagai ekspresi rasional dari prinsip spiritual. Namun secara diakronik, perkembangan dari Fichte ke Schelling lalu ke Hegel menunjukkan transformasi dari subjektivisme radikal menuju totalitas objektif. Inilah yang kemudian menjadi titik balik: saat sistem Hegel dianggap menutup ruang kebebasan eksistensial, maka muncul gelombang kritik dari arah eksistensialis seperti Kierkegaard, dan dari materialis seperti Marx.

Dalam hal ini, idealisme Jerman memberikan dua warisan besar bagi abad ke-19: pertama, keyakinan bahwa rasio dapat menjelaskan realitas secara utuh; kedua, kesadaran bahwa sistem rasional tidak cukup untuk menjawab kompleksitas pengalaman manusia. Kritik terhadap kedua warisan ini kemudian menjadi fondasi bagi munculnya eksistensialisme dan nihilisme sebagai antitesis terhadap proyek idealisme.


Footnotes

[1]                Johann Gottlieb Fichte, The Science of Knowledge (Wissenschaftslehre), trans. Peter Heath and John Lachs (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 97–102.

[2]                F. W. J. Schelling, System of Transcendental Idealism (1800), trans. Peter Heath (Charlottesville: University of Virginia Press, 1978), 27–29.

[3]                G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 67–69; and Science of Logic, trans. George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 39–44.


4.           Reaksi terhadap Idealisme: Materialisme, Ilmiah, dan Kritik Ideologi

Setelah dominasi idealisme Jerman di awal abad ke-19, muncul gelombang pemikiran baru yang menolak sistem metafisik rasional sebagai kerangka utama dalam memahami dunia. Pendekatan sinkronik memperlihatkan bahwa reaksi terhadap idealisme berkembang dalam berbagai bentuk: materialisme filosofis, positivisme ilmiah, dan kritik ideologi. Sementara itu, pendekatan diakronik menunjukkan bahwa penolakan terhadap idealisme adalah bagian dari proses historis yang berkaitan erat dengan transformasi sosial, kemajuan sains, serta perubahan struktur ekonomi dan politik Eropa modern.

4.1.       Ludwig Feuerbach: Manusia sebagai Dasar Realitas

Feuerbach membuka jalur kritik terhadap idealisme Hegelian dengan melakukan "antropologisasi" terhadap metafisika. Dalam The Essence of Christianity, ia menegaskan bahwa Tuhan adalah proyeksi dari hakikat manusia; bahwa esensi ilahi sebenarnya adalah esensi manusia itu sendiri, yang telah diidealkan dan diasingkan1. Dengan demikian, ia membalikkan relasi metafisik: bukan manusia yang diciptakan oleh ide transenden, tetapi ide transenden merupakan hasil alienasi manusia dari dirinya sendiri. Kritik ini bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga filosofis—Feuerbach menolak sistem rasional yang abstrak dan menekankan pada keberadaan konkret dan material manusia.

4.2.       Karl Marx: Materialisme Historis dan Kritik Ideologi

Pemikiran Feuerbach menjadi titik tolak bagi Karl Marx, tetapi Marx mengkritik Feuerbach karena masih terlalu kontemplatif dan tidak menekankan transformasi praksis. Dalam Theses on Feuerbach, Marx menyatakan bahwa filsafat bukan hanya untuk menafsirkan dunia, melainkan untuk mengubahnya2. Marx mengembangkan materialisme historis, yaitu pandangan bahwa struktur ekonomi dan hubungan produksi adalah basis dari kesadaran sosial, hukum, agama, dan ideologi.

Marx juga memperkenalkan konsep "kritik ideologi"—yakni bahwa pemikiran dominan suatu zaman adalah pemikiran kelas yang berkuasa. Filsafat idealisme, dalam pandangannya, telah menjadi pelayan kepentingan borjuasi karena mengaburkan kondisi material yang melatarbelakangi penindasan kelas3. Dengan demikian, idealisme dikritik sebagai abstraksi spekulatif yang tidak menyentuh akar persoalan sosial.

4.3.       Auguste Comte: Positivisme dan Ilmu sebagai Jalan Progresif

Di ranah epistemologi, Auguste Comte mengembangkan positivisme, yang meyakini bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui observasi empiris dan metode ilmiah. Comte membagi perkembangan intelektual manusia menjadi tiga tahap: teologis, metafisik, dan positif4. Menurutnya, idealisme dan metafisika termasuk dalam tahap usang yang harus dilampaui, dan hanya ilmu yang dapat membawa umat manusia pada kemajuan.

Dengan positivisme, Comte menegaskan pemisahan filsafat dari spekulasi metafisik dan menyerukannya untuk berperan dalam pembangunan sosial yang rasional dan terukur. Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat kelak menginspirasi kelahiran sosiologi modern dan juga memperkuat arus secularisasi pengetahuan di abad ke-19.


Sintesis Sinkronik: Antimetafisika dan Peralihan ke Praksis

Jika ditelaah secara sinkronik, ketiga pemikir di atas—Feuerbach, Marx, dan Comte—mewakili reaksi konsisten terhadap idealisme, baik dari sisi ontologis, sosial, maupun epistemologis. Mereka menolak dunia ide sebagai pusat realitas, dan sebaliknya menekankan materialitas, keberadaan empiris, dan struktur sosial. Ketiganya juga berpandangan bahwa perubahan tidak lahir dari kontemplasi rasional, tetapi dari tindakan nyata: baik itu tindakan historis (Marx), tindakan etis dan insani (Feuerbach), atau tindakan ilmiah dan administratif (Comte).

Secara diakronik, arus ini menandai pergeseran mendasar dalam filsafat abad ke-19: dari pencarian sistem universal menuju penekanan pada kondisi konkret manusia dalam sejarah. Idealisme mulai ditinggalkan karena dianggap tidak memadai dalam menjelaskan kompleksitas dunia nyata yang sedang berubah cepat akibat revolusi industri, konflik kelas, dan ekspansi pengetahuan ilmiah.


Footnotes

[1]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper & Brothers, 1957), 14–18.

[2]                Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 145.

[3]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 64–67.

[4]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:2–5.


5.           Eksistensialisme Awal dan Psikologi Kehendak

Paruh kedua abad ke-19 ditandai dengan pergeseran tajam dari sistem idealisme rasional ke pemikiran yang menyoroti pengalaman subjektif, kecemasan eksistensial, dan kekuatan kehendak manusia. Pergeseran ini mencerminkan respons terhadap ketidakpuasan atas abstraksi metafisik dan determinisme historis yang mewarnai idealisme Jerman. Melalui pendekatan diakronik, dapat dilihat bahwa filsuf-filsuf seperti Kierkegaard, Schopenhauer, dan Nietzsche melanjutkan dan sekaligus menggugat warisan idealisme. Sementara itu, pendekatan sinkronik mengungkap bahwa mereka berbagi fokus pada keindividualan, penderitaan, dan otonomi eksistensial, meskipun dengan pendekatan dan kesimpulan yang berbeda.

5.1.       Søren Kierkegaard: Individu, Iman, dan Kecemasan

Kierkegaard dianggap sebagai pelopor eksistensialisme religius, yang berusaha mengembalikan fokus filsafat kepada subjektivitas eksistensial—bukan sistem rasional atau sejarah universal. Dalam The Concept of Anxiety, ia menekankan bahwa manusia sebagai individu yang berdiri di hadapan pilihan moral mengalami kecemasan (Angest) karena kebebasannya sendiri1. Kecemasan ini bukanlah kelemahan, melainkan pintu menuju autentisitas dan tanggung jawab spiritual.

Kierkegaard mengkritik Hegel karena mengorbankan individu demi sistem. Baginya, iman bukan hasil dialektika rasional, melainkan lompatan eksistensial melampaui rasio. Dalam hal ini, ia membalik asumsi idealisme: bukan rasio yang mengantarkan kepada Tuhan, melainkan pengakuan atas ketakberdayaan manusia dalam kebebasan yang membuka jalan menuju transendensi2.

5.2.       Arthur Schopenhauer: Dunia sebagai Kehendak dan Representasi

Schopenhauer menolak optimisme rasional idealisme dan memformulasikan metafisika yang berakar pada penderitaan dan kehendak buta. Dalam The World as Will and Representation, ia menyatakan bahwa dunia sebagaimana tampak bagi kita hanyalah representasi, sedangkan hakikat realitas adalah kehendak hidup yang irasional dan tak pernah puas3. Manusia terjebak dalam siklus hasrat dan penderitaan karena kehendak yang tak kunjung terpuaskan.

Bagi Schopenhauer, pelarian dari penderitaan bukan ditemukan dalam tindakan atau rasionalitas, melainkan melalui seni, kontemplasi, dan penyangkalan kehendak (sejalan dengan asketisme Buddhistik). Dalam pendekatan sinkronik, ia berdiri kontras dengan Kierkegaard: keduanya berbicara tentang penderitaan eksistensial, tetapi menawarkan jalan keluar yang berbeda—iman atau penyangkalan kehendak.

5.3.       Friedrich Nietzsche: Nihilisme, Kehendak untuk Berkuasa, dan Individu Kreatif

Nietzsche melanjutkan eksplorasi kehendak, tetapi menolak pesimisme Schopenhauer dan iman Kierkegaard. Dalam The Gay Science, ia mengumumkan “kematian Tuhan” sebagai metafora atas runtuhnya nilai-nilai absolut dalam masyarakat modern4. Nihilisme menjadi konsekuensi dari hilangnya landasan transendental dalam etika dan makna hidup.

Namun, Nietzsche tidak berhenti pada kehampaan; ia mengajukan konsep "kehendak untuk berkuasa" (der Wille zur Macht) sebagai dorongan fundamental manusia untuk mencipta, menafsirkan, dan mengatasi. Dalam Thus Spoke Zarathustra, ia memunculkan figur Übermensch (Manusia Unggul) sebagai simbol keberanian eksistensial untuk menciptakan nilai sendiri di tengah kekosongan makna tradisional5.

Dengan demikian, Nietzsche merekonstruksi kehendak sebagai kekuatan kreatif yang mampu membentuk realitas, bukan sebagai sumber penderitaan seperti dalam Schopenhauer. Pendekatan sinkronik memperlihatkan bahwa Nietzsche, Schopenhauer, dan Kierkegaard berangkat dari kritik terhadap rasionalitas sistemik dan merespons pengalaman manusia yang penuh kecemasan, tetapi menyuguhkan arah etis dan eksistensial yang berbeda.


Relevansi Diakronik: Dari Subjek ke Eksistensi

Secara diakronik, munculnya pemikiran eksistensialis dan psikologi kehendak ini menandai kemunduran sistem dan kebangkitan eksistensi. Jika idealisme Jerman mencari kepaduan melalui sintesis historis dan metafisika rasional, maka filsafat eksistensialis berusaha memahami keretakan dan keterpisahan sebagai kondisi dasar eksistensi manusia. Para filsuf ini menyoroti pengalaman konkret, kesendirian, dan kebebasan, yang tidak dapat direduksi oleh skema rasional.

Dalam konteks lebih luas, pemikiran Kierkegaard, Schopenhauer, dan Nietzsche menjadi fondasi bagi perkembangan filsafat eksistensial abad ke-20, psikologi modern (melalui pengaruhnya pada Freud dan Jung), serta teologi modern yang lebih personalistik. Oleh sebab itu, filsafat abad ke-19 tidak hanya mengalami krisis sistem, tetapi juga melahirkan bentuk baru dari pencarian makna dalam dunia yang kehilangan kepastian.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 42–46.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 55–59.

[3]                Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, vol. 1, trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), 110–117.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), “Prologue,” §§1–3.


6.           Sinkronisasi Wacana Filsafat Abad ke-19: Dinamika Paralel

Filsafat abad ke-19 bukanlah rentetan pemikiran yang berdiri sendiri atau berkembang dalam garis lurus semata, melainkan suatu jaringan pemikiran yang saling berdialog, bertentangan, dan menyilang lintas tema dan disiplin. Dengan menggunakan pendekatan sinkronik, kita dapat menangkap dinamika paralel yang berlangsung dalam periode waktu yang sama, sementara pendekatan diakronik memungkinkan kita memahami bagaimana perkembangan satu gagasan membuka ruang bagi kelahiran gagasan lain.

6.1.       Idealisme dan Materialisme: Sistem dan Anti-Sistem

Dalam kerangka sinkronik, dapat dilihat bagaimana idealisme Hegelian dan materialisme Marxian muncul bersamaan di panggung intelektual abad ke-19, meski dengan arah pemikiran yang saling menegasikan. Hegel memandang sejarah sebagai realisasi rasional dari Roh Absolut, sedangkan Marx menafsirkan sejarah sebagai pertarungan kelas akibat kontradiksi dalam struktur ekonomi1. Namun secara diakronik, Marx adalah murid dari tradisi idealisme yang justru ia kritik—pemikirannya merupakan transformasi dialektika Hegel ke dalam bentuk praksis material.

Keduanya menggunakan perangkat dialektika, namun dengan isi yang sangat berbeda. Di sinilah terlihat dinamika paralel yang kompleks: pemikiran yang tampaknya saling berlawanan ternyata saling berakar dalam metodologi yang serupa.

6.2.       Eksistensialisme dan Positivisme: Subjektivitas vs. Objektivitas

Sementara itu, eksistensialisme Kierkegaard dan Nietzsche berkembang sejajar dengan positivisme Comte, tetapi dengan semangat yang bertolak belakang. Comte mendorong supremasi metode ilmiah dalam membangun masyarakat rasional, sedangkan Kierkegaard justru menyatakan bahwa keputusan eksistensial dan iman tidak dapat dijelaskan oleh rasionalitas objektif2.

Sinkronik di sini memperlihatkan tensi antara pendekatan personal dan impersonal terhadap realitas. Kierkegaard memandang individu dalam relasi dengan Allah sebagai pusat makna, sedangkan Comte menghapuskan metafisika dan menempatkan pengetahuan pada observasi empiris dan hukum-hukum sosial. Namun secara diakronik, keduanya adalah tanggapan atas krisis modernitas pasca-Revolusi Prancis dan sekularisasi pengetahuan—mereka berbicara dalam bahasa berbeda terhadap masalah yang serupa.

6.3.       Nihilisme dan Kritik Ideologi: Krisis Makna dan Kekuasaan

Dalam akhir abad ke-19, terjadi pertemuan menarik antara nihilisme Nietzschean dan kritik ideologi Marxian, meskipun berasal dari latar belakang teoretis yang berbeda. Nietzsche menyatakan bahwa nilai-nilai tradisional telah runtuh, dan manusia modern menghadapi kehampaan eksistensial3. Marx, di sisi lain, menegaskan bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah universal, melainkan produk ideologi kelas dominan4.

Sinkroniknya, keduanya mengidentifikasi struktur ilusi yang menyelimuti kesadaran manusia, dan secara diakronik, keduanya mewakili hasil dari kekecewaan terhadap rasionalisme modern. Dalam hal ini, nihilisme dan kritik ideologi sama-sama menggugat klaim objektivitas moral dan metafisik, serta membuka jalan bagi pendekatan dekonstruktif terhadap nilai-nilai dominan.

6.4.       Persilangan Bidang: Estetika, Etika, dan Teologi

Filsafat abad ke-19 juga menunjukkan dinamika paralel antar bidang. Misalnya, estetika Schopenhauer (seni sebagai pelarian dari kehendak), etika Kierkegaard (iman sebagai bentuk tertinggi eksistensi), dan teologi Feuerbach (agama sebagai proyeksi humanistik), berbicara tentang pencarian makna manusia dalam ketegangan antara ideal dan real. Ketiganya menolak sistem total dan menawarkan pemahaman fenomenologis yang lebih intim terhadap pengalaman manusia.

Pendekatan sinkronik memperlihatkan bahwa meskipun berangkat dari bidang yang berbeda, para pemikir ini berbagi komitmen terhadap pembebasan individu dari struktur impersonal dan abstrak. Secara diakronik, semua arus ini menyiapkan landasan bagi kelahiran eksistensialisme abad ke-20 dan hermeneutika kritis terhadap sistem.


Kesimpulan Sinkronik-Diakronik

Sinkronisasi wacana filsafat abad ke-19 mengungkap bahwa dunia ide berkembang secara plural dan dialogis. Tidak ada satu arus dominan yang berdiri sendiri; masing-masing aliran memantulkan respons terhadap kondisi zaman dan saling memengaruhi. Diakronik, kita melihat trajektori evolutif yang berpindah dari sistem ke subjek, dari totalitas ke partikularitas, dari struktur ke pengalaman.

Peta intelektual ini menunjukkan bahwa filsafat abad ke-19 adalah arena dinamis pertarungan wacana, di mana pertanyaan tentang makna, kebebasan, dan realitas tak pernah memiliki jawaban tunggal. Justru dalam ketegangan dan persilanganlah terbentuk horizon baru yang mengantarkan filsafat ke abad ke-20.


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 65–68.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 72–74; Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:7–9.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[4]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 11–13.


7.           Warisan Filsafat Abad ke-19 bagi Pemikiran Modern

Filsafat abad ke-19 telah meletakkan fondasi intelektual yang kokoh sekaligus problematik bagi perkembangan filsafat abad ke-20 dan kontemporer. Melalui pendekatan sinkronik, kita dapat mengidentifikasi konstelasi pemikiran yang terbentuk dalam satu masa, seperti ketegangan antara sistem dan subjektivitas, antara rasio dan kehendak, antara sejarah dan eksistensi. Sementara itu, pendekatan diakronik memungkinkan kita menelusuri trajektori pengaruh yang dibawa oleh pemikir-pemikir besar abad ke-19 ke dalam kerangka filsafat modern, baik secara afirmatif maupun kritis.

7.1.       Dari Idealisme ke Fenomenologi dan Hermeneutika

Salah satu warisan penting dari idealisme Jerman, terutama Hegel, adalah gagasan bahwa kesadaran manusia terbentuk melalui sejarah dan bahwa kebenaran bersifat dialektis. Gagasan ini mengilhami munculnya fenomenologi Husserl, yang menekankan struktur kesadaran sebagai pusat pengetahuan, serta hermeneutika Heidegger dan Gadamer, yang menempatkan pemahaman dalam konteks historis dan linguistik1. Heidegger secara eksplisit mengakui bahwa meskipun ia meninggalkan sistem Hegelian, ia tetap berutang pada kerangka dialektika sejarah yang mempertemukan eksistensi dan waktu.

7.2.       Eksistensialisme dan Kritik terhadap Sistem

Pemikiran Kierkegaard, Schopenhauer, dan Nietzsche berkontribusi besar dalam pembentukan eksistensialisme abad ke-20, terutama pada Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger. Konsep seperti kecemasan, kehendak, kebebasan, dan otentisitas menjadi arus utama dalam eksistensialisme modern yang menolak reduksi manusia dalam sistem metafisik atau struktur sosial deterministik2. Nietzsche secara khusus berperan dalam membentuk kritik terhadap moralitas tradisional, membuka jalan bagi dekonstruksi dan genealogis ala Foucault, serta wacana post-strukturalis yang mempertanyakan otoritas pengetahuan dan kebenaran.

7.3.       Positivisme, Ilmu Sosial, dan Rasionalisasi Modern

Gagasan positivisme Comte memberikan pengaruh langsung terhadap perkembangan ilmu sosial modern seperti sosiologi, ekonomi, dan ilmu politik. Meskipun kemudian dikritik oleh mazhab Frankfurt dan para post-positivis, warisan Comte tetap hidup dalam bentuk rasionalisasi metodologis dan keyakinan pada kemajuan berbasis ilmu pengetahuan3. Di sisi lain, kritik terhadap positivisme juga menghidupkan kembali pentingnya refleksi etis dan subjektivitas dalam studi sosial, menegaskan bahwa manusia tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi objek pengamatan ilmiah.

7.4.       Materialisme Historis dan Teori Kritis

Karl Marx meninggalkan jejak yang sangat kuat dalam perkembangan teori kritis dan filsafat sosial-politik abad ke-20. Pemikirannya tentang ideologi, alienasi, dan struktur ekonomi sebagai basis kesadaran diadopsi dan dikembangkan oleh para pemikir Mazhab Frankfurt, seperti Adorno, Horkheimer, dan Habermas, serta oleh teori-teori poskolonial dan feminis yang menyoroti dimensi kekuasaan dalam produksi pengetahuan dan relasi sosial4. Marx tidak hanya mewariskan analisis kelas, tetapi juga metode kritik terhadap sistem hegemonik dan klaim netralitas dalam diskursus dominan.

7.5.       Krisis Makna dan Nihilisme Kontemporer

Nietzsche menjadi figur kunci dalam mengidentifikasi krisis makna dalam masyarakat modern. Pernyataan “Tuhan telah mati” tidak hanya mengacu pada kemunduran agama, tetapi juga keruntuhan nilai-nilai absolut dalam dunia modern yang didominasi oleh relativisme, konsumerisme, dan kehampaan spiritual5. Pemikiran Nietzsche menjadi benih bagi hermeneutika kecurigaan, dekonstruksi Derrida, serta pergeseran dari filsafat sistem ke filsafat fragmentasi dan performativitas dalam abad ke-21.


Integrasi Sinkronik-Diakronik: Kompleksitas Warisan

Pendekatan sinkronik menunjukkan bahwa filsafat abad ke-19 tidak pernah bergerak dalam satu arus tunggal. Justru keberagaman pemikiran—dari idealisme ke materialisme, dari positivisme ke eksistensialisme—menjadi kekayaan warisan yang memungkinkan pemikiran modern terus berkembang dalam dialog dan perbedaan. Sedangkan secara diakronik, kita menyaksikan bahwa sebagian besar tantangan filsafat kontemporer—krisis makna, relasi kuasa, otentisitas, dan teknologi—memiliki akar yang dalam dalam perdebatan intelektual abad ke-19.

Warisan filsafat abad ke-19 bukanlah sistem dogmatik, melainkan ruang reflektif dan kritis yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang lebih plural, kontekstual, dan terbuka. Dalam dunia modern yang terus berubah, pemikiran-pemikiran dari abad ke-19 tetap relevan sebagai cermin sejarah, kritik sosial, dan horizon etis dalam memahami manusia dan dunianya.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 44–47; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), xxii–xxvi.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 18–22.

[3]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1:5–10.

[4]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 1–6; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 19–23.

[5]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.


8.           Penutup

Filsafat abad ke-19 merupakan laboratorium ideologis yang mengolah dan merespons kompleksitas modernitas dengan cara yang sangat beragam—mulai dari sistem idealisme rasional hingga gugatan radikal terhadap sistem itu sendiri. Dalam artikel ini, telah dipaparkan bagaimana pendekatan diakronik mengungkap lintasan historis pemikiran yang bergerak dari idealisme Jerman menuju eksistensialisme dan nihilisme, sementara pendekatan sinkronik memperlihatkan dialog, ketegangan, dan keterkaitan gagasan yang berlangsung secara serempak dalam konteks intelektual abad tersebut.

Transformasi dari Fichte dan Hegel ke Marx, Kierkegaard, dan Nietzsche menunjukkan bahwa filsafat tidak berada dalam ruang hampa, melainkan lahir dari ketegangan antara harapan pencerahan dan realitas keterasingan modern. Idealisme, dengan klaimnya akan rasionalitas sistemik dan totalitas historis, akhirnya menimbulkan reaksi balik dalam bentuk kritik eksistensial terhadap sistem yang menyingkirkan pengalaman personal dan keunikan subjektif1.

Pemikir-pemikir seperti Feuerbach dan Marx menghadirkan pembalikan terhadap metafisika ke arah materialisme dan praksis, dengan menempatkan manusia konkret dan relasi sosial sebagai pusat kajian filosofis. Di sisi lain, Kierkegaard dan Nietzsche menyoroti keterasingan spiritual, kehampaan nilai, dan tanggung jawab eksistensial, yang kemudian menjadi inti dari eksistensialisme modern. Dalam semua itu, kehendak, kecemasan, dan kebebasan menjadi tema yang tak terelakkan dalam menjelaskan kondisi manusia modern yang terputus dari struktur tradisional dan nilai-nilai absolut2.

Melalui pendekatan sinkronik, kita menyaksikan bahwa dalam satu periode waktu yang sama, filsafat abad ke-19 mengalami dinamika paralel: positivisme Comte berdiri berdampingan dengan pesimisme Schopenhauer; ideologi Marxian bersanding secara dialektis dengan kritik nihilisme Nietzschean. Perbedaan-perbedaan ini bukan menunjukkan disintegrasi, melainkan kekayaan wacana yang memperkuat filsafat sebagai medan refleksi yang hidup dan terus bergerak.

Sementara itu, pendekatan diakronik menampakkan bahwa pergantian gagasan dalam filsafat tidak terjadi secara revolusioner dan terputus, melainkan melalui proses penurunan, transformasi, dan rekontekstualisasi dari gagasan-gagasan sebelumnya. Nietzsche, misalnya, tidak mungkin hadir tanpa Hegel dan Schopenhauer; Marx tidak terlepas dari pengaruh Feuerbach dan idealisme Jerman3. Artinya, nihilisme bukanlah antitesis total dari idealisme, tetapi fase mutakhir dari refleksi modern terhadap batas-batas nalar dan sistem.

Pada akhirnya, filsafat abad ke-19 menghadirkan warisan paradoksal bagi kita: di satu sisi, ia memberi fondasi rasional yang sistematis untuk memahami sejarah, pengetahuan, dan masyarakat; namun di sisi lain, ia menggugat rasionalisme itu sendiri melalui penekanan pada kehendak, penderitaan, dan kehilangan makna. Maka, abad ini menjadi titik krusial dalam sejarah pemikiran manusia—sebuah zaman yang menampilkan keagungan ide dan kegelisahan eksistensial secara bersamaan.

Dengan demikian, pemahaman atas filsafat abad ke-19 melalui pendekatan sinkronik dan diakronik tidak hanya memungkinkan kita untuk melacak asal usul gagasan modern, tetapi juga untuk memahami kedalaman dilema manusia dalam menghadapi dunia yang rasional sekaligus absurd. Filsafat tidak lagi semata-mata mencari kepastian, tetapi juga menyediakan ruang bagi perenungan yang jujur atas keterbatasan dan kebebasan manusia.


Footnotes

[1]                Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), §28–32.

[2]                Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 83–88; Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §343.

[3]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 12–14; Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, vol. 1, trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), 161–164.


Daftar Pustaka

Comte, A. (1896). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans., Vol. 1). George Bell & Sons.
(Asli diterbitkan tahun 1830–1842)

Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper & Brothers.
(Asli diterbitkan tahun 1841)

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
(Asli diterbitkan tahun 1960)

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans., Vol. 1). Beacon Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1807)

Hegel, G. W. F. (2010). The science of logic (G. di Giovanni, Trans.). Cambridge University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1812–1816)

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
(Asli diterbitkan tahun 1927)

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1944)

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1844)

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
(Asli diterbitkan tahun 1843)

Marx, K. (1904). A contribution to the critique of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr & Company.
(Asli diterbitkan tahun 1859)

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International Publishers.
(Asli ditulis tahun 1845–1846)

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics.
(Asli diterbitkan tahun 1848)

Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
(Asli diterbitkan tahun 1883–1885)

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
(Asli diterbitkan tahun 1882)

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
(Asli diterbitkan tahun 1946)

Schelling, F. W. J. (1978). System of transcendental idealism (1800) (P. Heath, Trans.). University of Virginia Press.

Schopenhauer, A. (1969). The world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans., Vol. 1). Dover Publications.
(Asli diterbitkan tahun 1818)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar